peran ultrasonografi dalam tatalaksana penyakit paru...
TRANSCRIPT
1
PERAN ULTRASONOGRAFI DALAM TATALAKSANA PENYAKIT
PARU DAN PLEURA
C. Martin Rumende
A. PENDAHULUAN
Ultrasonografi sangat bermanfaat untuk pemeriksaan radiologi paru dan pleura
karena bersifat real-time dengan kemampuan pencitraan yang multiplanar.
Ultrasonografi bersifat portable sehingga dapat digunakan untuk pemeriksaan
pasien-pasien di emergensi dan di ICU secara bed-side. Kelebihan lain adalah
karena pemeriksaa USG tidak mempunyai efek radiasi yang merugikan sehingga
aman digunakan untuk semua pasien. Pemeriksaan USG secara transtorakal dapat
digunakan untuk mengevaluasi kelainan pada parenkim paru perifer, pleura dan
dinding dada. Visualisasi parenkim paru dan pleura tersebut dilakukan dengan
melakukan sken sepanjang sela iga saat pernapasan biasa dan saat menahan napas
untuk melihat lesi secara lebih rinci. Pemeriksaan USG toraks dapat juga
digunakan untuk menuntun tindakan yang bersifat invasif di bidang paru.1,2
B. PRINSIP MEKANIK GELOMBANG ULTRASONIK
Gelombang suara dipancarkan oleh piezoelectric material yang sebagian besar
terdiri dari substansi keramik sintetik (lead zirconate titanate [PZT]) dan terdapat
dalam transducer ultrasound (Gambar 1). Jika alternating electrical voltase secara
cepat diaplikasi ke piezoelectric material maka substansi tersebut akan mengalami
osilasi mekanik. Sebagaimana substansi yang berosilasi secara cepat akan
menimbulkan vibrasi pada struktur di sekitarnya, maka vibrasi piezoelectric
material tersebut akan menimbulkan gelombang suara.3,4
Gambar 1. Transducer yang mengandung piezoelectric material
2
Sifat mekanik piezoelectric material akan menentukan rentang frekuensi
gelombang suara yang dihasilkan. Gelombang suara akan menyebar melalui media
dengan mengalami kompresi dan rarefaction (Gambar 2).
Gambar 2. Gelombang suara yang menyebar melalui udara
Proses mekanik yang timbul akibat aplikasi sinyal listrik pada piezoelectric
material tersebut dikenal sebagai reverse piezoelectric effect. Proses sebaliknya
yaitu pembentukan sinyal listrik melalui proses mekanik pada piezoelectric
material disebut sebagai direct piezoelectric effect. Pada ultrasonografi transducer
yang digunakan akan menghasilkan gelombang ultrasound (echo) melalui proses
reverse piezoelectric effect, dan gelombang ultrasound yang mengalami refleksi
akan diterima kembali oleh transducer yang sama dan kemudian akan dikonversi
kembali menjadi sinyal elektrik melalui direct piezoelectric effect. Sinyal elektrik
tersebut selanjutnya akan dianalisis oleh prosesor dan berdasarkan amplitudo
sinyal yang diterima akan dihasilkan grey scale image pada layar monitor.
Parameter yang berperan dalam pembentukan gelombang ultrasonik adalah
frekuensi, panjang gelombang, kecepatan, power dan intensitas. Lebih lanjut dalam
proses pembentukan gambar ultrasonografi perlu dipahami mengenai resolusi,
ultrasound image, impedansi akustik dan atenuasi.3,4
3
1. Frekuensi dan Panjang Gelombang
Ultrasonik adalah gelombang suara dengan frekuensi di atas kisaran pendengaran
manusia normal yaitu > 20 kHz. Frekuensi yang digunakan dalam ultrasonografi
berada dalam rentang 2-18 MHz. Frekuensi () berbanding terbalik dengan
panjang gelombang () dan bervariasi sesuai dengan kecepatan spesifik suara pada
jaringan tertentu (c), dengan rumus = c/. Dalam pemeriksaan ultrasonografi ada
dua hal penting yang harus dipertimbangkan yaitu kedalaman penetrasi dan
resolusi atau ketajaman gambar yang umumnya ditentukan oleh panjang
gelombang yang digunakan. Ketika menggunakan panjang gelombang 1 mm, maka
bila diperiksa dengan skala yang < 1 mm maka gambar yang muncul akan menjadi
kabur. Gelombang ultrasonik dengan panjang gelombang yang lebih pendek
memiliki frekuensi yang lebih tinggi sehingga akan menghasilkan gambar dengan
resolusi yang lebih tinggi, namun dengan penetrasi yang lebih dangkal. Sebaliknya
gelombang ultrasonik dengan panjang gelombang yang lebih besar memiliki
frekuensi yang lebih rendah sehingga akan menghasilkan gambar dengan resolusi
yang lebih rendah, namun kemampuan penetrasinya lebih dalam. Dengan demikian
transducer dengan frekuensi yang tinggi akan menghasilkan gambar yang lebih
tajam, namun dengan penetrasi yang lebih dangkal. Sebaliknya tranducer dengan
frekuensi rendah akan menghasilkan gambar dengan ketajaman yang lebih rendah
namun dengan penetrasi yang lebih dalam. Hubungan antara frekuensi, resolusi
dan penetrasi gelombang pada berbagai jaringan diperlihatkan pada gambar 3.3,4
Gambar 3. Hubungan antara frekuensi gelombang ultrasonik dengan penetrasi
dan panjang gelombang (image resolution).
4
Yang menjadi pertimbangan utama dalam memilih frekuensi transducer yang
sesuai adalah memaksimalkan resolusi aksial sambil mempertahankan penetrasi
jaringan yang memadai. Frekuensi yang lebih tinggi digunakan pada linear-array
transducer untuk memvisualisasikan struktur yang letaknya superfisial seperti
pembuluh darah dan saraf perifer. Frekuensi yang lebih rendah digunakan pada
curvilinear dan phased-array transducer untuk memvisualisasikan struktur yang
letaknya lebih dalam, baik pada rongga dada, abdomen maupun panggul.3,4
2. Power dan Intensitas
Average Power adalah total energi yang dipakai oleh jaringan dalam waktu tertentu
(W). Intensitas adalah konsentrasi power per unit area (W/cm2), dan intensitas
menggambarkan kekuatan dari gelombang suara. Intensitas gelombang ultrasonic
akan menentukan berapa banyak panas yang akan dihasilkan dalam jaringan.
Pembentukan panas biasanya tidak signifikan dalam pencitraan diagnostik USG,
tapi menjadi penting dalam penerapan terapi gelombang ultrasonik misalnya pada
litotripsi.4
3. Resolusi (Ketajaman Gambar)
Resolusi gambar dibagi dalam beberapa komponen yaitu aksial, lateral, elevasional
dan komponen temporal. Resolusi aksial adalah kemampuan untuk membedakan
dua obyek di sepanjang aksis sorotan transducer (ultrasound beam) dan
merupakan resolusi dengan arah vertikal di layar monitor. Resolusi aksial
dipengaruhi oleh frekuensi transducer. Frekuensi yang lebih tinggi akan
menghasilkan gambar dengan resolusi aksial yang lebih baik, namun dengan
penetrasi yang lebih dangkal. Resolusi lateral atau resolusi horisontal adalah
kemampuan untuk membedakan dua obyek dengan arah tegak lurus terhadap arah
sorotan transducer. Resolusi lateral yang optimal dapat dicapai dengan
menempatkan struktur target di focus zona of ultrasound beam. Focus zona adalah
bagian tersempit dari sorotan gelombang ultrasonik. Gelombang ultrasonik
memiliki bentuk yang melengkung, dan focus zona adalah area sorotan gelombang
ultrasonik dengan intensitas tertinggi. Visualisasi organ-organ yang letaknya lebih
dalam akan menghasilkan resolusi lateral yang semakin rendah karena terjadi
divergensi dan peningkatan hamburan gelombang ultrasonik. Resolusi elevasi
adalah sifat tetap transducer yang mengacu pada kemampuan untuk
5
memvisualisasikan objek yang berada dalam rentang ketebalan dari sorotan
gelombang ultrasonik. Jumlah kristal PZT yang dipancarkan dan gelombang
ultrasonik yang diterima kembali, serta sensitivitasnya akan mempengaruhi
resolusi, presisi dan ketajaman gambar. Resolusi temporal mengacu pada
kejelasan, atau resolusi dari struktur yang bergerak (Gambar 4).4
Gambar 4 : Arah sorotan gelombang ultrasonik dengan berbagai macam resolusi yang
dihasilkannya
4. Pembentukan Gambar Ultrasound (Ultrasound Image)
Gelombang suara dapat dipantulkan, dibiaskan, disebar, ditransmisikan, dan
diserap oleh jaringan karena adanya perbedaan sifat fisis berbagai jaringan.
Gambar ultrasound akan dihasilkan oleh gelombang suara yang mengalami
refleksi dan tersebar kembali ke transducer (Gambar 5).3,4
Gambar 5. Gelombang ultrasonik yang mengalami refleksi, penyebaran.
refraksi, transmisi dan absorpsi oleh jaringan.
6
Transducer selanjutnya akan menerima dan mencatat intensitas gelombang suara
yang kembali. Secara khusus, deformasi mekanik piezoelectric material yang
terdapat dalam transducer akan menghasilkan impuls listrik sebanding dengan
amplitudo gelombang suara yang kembali. Selanjutnya impuls listrik secara
kumulatif akan menghasilkan peta gray-scale points yang terlihat sebagai gambar
ultrasound. Kedalaman struktur sepanjang aksis sorotan ditentukan oleh jeda
waktu untuk kembalinya gelombang ultrasonik ke transducer. Proses pemancaran
dan penerimaan kembali gelombang ultrasonik oleh transducer yang berlangsung
secara terus menerus dan berulang-ulang akan menghasilkan gambar yang bersifat
dinamis (Gambar 6). Refleksi dan penyebaran gelombang suara melalui jaringan
dipengaruhi oleh dua parameter penting yaitu impedansi akustik dan atenuasi.3,4
Gambar 6. Pembentukan gambar ultrasound (Ultrasound image)
5. Impedansi Akustik
Propagation speed adalah kecepatan suara pada berbagai jaringan yang
dipengaruhi oleh sifat fisik dari jaringan tersebut. Impedansi akustik adalah
resistensi jaringan terhadap hantaran gelombang suara yang melaluinya dan
merupakan salah satu sifat tetap dari jaringan. Impedansi akustik dipengaruhi oleh
kepadatan jaringan dan kecepatan hantaran gelombang suara pada jaringan
tersebut. Perbedaan impedansi akustik pada berbagai jaringan akan menentukan
besarnya reflektifitas gelombang suara pada batas (interface) antar jaringan
tersebut. Perbedaan impedansi akustik yang lebih besar akan menyebabkan refleksi
7
gelombang suara yang juga lebih besar. Sebagai contoh gelombang suara akan
direfleksikan ke segala arah atau menyebar pada batas antara udara-jaringan karena
adanya perbedaan impedansi akustik yang besar antara udara dan jaringan tersebut.
Karena adanya hamburan gelombang suara pada batas antara udara-jaringan
tersebut maka saat melakukan pemeriksaan USG diperlukan gel yang cukup untuk
memfasilitasi hantaran gelombang ultrasonik ke dalam tubuh. Mesin USG harus
dikalibrasi hingga perbedaan impedansi yang kecil, karena hanya 1% dari
gelombang suara yang direfleksikan yang akan kembali ke transducer. Jadi
sebagian besar gelombang suara (99%) yang dipancarkan tidak akan kembali ke
transducer.4
6. Atenuasi (Redaman)
Atenuasi adalah hilangnya energi saat gelombang suara dihantarkan melalui
jaringan, yang terjadi akibat penyerapan dan defleksi, Besarnya atenuasi ditentukan
oleh koefisien atenuasi jaringan, frekuensi gelombang suara dan jarak yang
ditempuh oleh gelombang suara tersebut. Penyerapan yang merupakan penyebab
atenuasi terpenting yang menggambarkan energi yang ditansfer dari gelombang
ultrasonik ke jaringan sebagai panas. Pembatasan pembentukan panas merupakan
hal yang penting pada ultrasonografi dimana masing-masing jaringan memiliki
koefisien atenuasi intrinsik yang berbeda-beda. Penyerapan merupakan faktor
terpenting yang menentukan kedalaman penetrasi gelombang ultrasonik.
Gelombang suara dengan frekuensi yang tinggi akan lebih mudah diserap dan
karena itu penetrasinya menjadi lebih dangkal dibandingkan dengan frekuensi yang
rendah. Defleksi yang merupakan penyebab atenuasi terpenting lainnya
menggambarkan terjadinya refleksi, refraksi, dan hamburan energi pada jaringan
secara kolektif. Defleksi akan menyebabkan berkurangnya amplitudo gelombang
suara (echo), terutama bila interface antar jaringan letaknya tidak tegak lurus
terhadap arah sorotan. Divergence adalah hilangnya intensitas gelombang
ultrasonik sejalan dengan semakin melebarnya arah sorotan, sehingga sejumlah
tetap energi akustik akan tersebar. Upaya mengatasi atenuasi dapat dilakukan
dengan meningkatkan gain, atau dengan memperkuat sinyal postprocessing.
Namun peningkatan gain akan mempengaruhi sinyal dan kebisingan. Pengaturan
gain hanya akan memanipulasi gambar yang dihasilkan komputer dan tidak
memperbaiki kualitas sinyal.3,4
8
C. MODES
Beberapa mode pencitraan USG telah dikembangkan untuk meningkatkan akuisisi
yaitu B-mode/two-dimensional mode (2-D), M-mode, color flow Doppler, dan
spectral Doppler. Khusus untuk pemeriksaan USG paru mode yang sering
digunakan adalah B-mode dan M-mode.1,2,5,6
1. B-Mode /Two-Dimensional (2-D) Mode
Two-dimensional (2-D) mode atau B-mode merupakan mode yang paling banyak
digunakan pada alat USG, dan mayoritas pemeriksaan bedside USG dilakukan
dengan menggunakan mode ini. Manfaat B-mode adalah untuk memperlihatkan
kecerahan gambar (brightness/echogenicity), karena kecerahan struktur yang
terlihat akan ditentukan oleh intensitas gelombang ultrasonik yang direfleksikan.
Struktur yang menghantarkan semua gelombang suara tanpa terjadi refleksi akan
tampak anechoic (tampak hitam) pada layar monitor. Contoh struktur yang tampak
anechoic adalah cairan. Struktur yang merefleksikan gelombang suara dengan
jumlah yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan struktur sekitarnya, maka akan
tampak hypoechoic, sedangkan struktur yang merefleksikan gelombang suara
dengan jumlah yang sama dengan struktur sekitarnya akan tampak isoechoic.
Struktur hypoechoic dan isoechoic akan tampak sebagai warna abu-abu yang
umumnya menggambarkan struktur jaringan lunak. Struktur hyperechoic akan
merefleksikan sebagian besar gelombang suara dan pada layar akan tampak putih
cerah. Kalsifikasi dan semua struktur yang padat seperti diafragma atau
perikardium akan tampak hyperechoic. Beberapa struktur hyperechoic lain seperti
tulang akan menampilkan bayangan hyperechoic akibat terjadinya refleksi
gelombang suara yang nyaris total sehingga visualisasi struktur di bagian distalnya
seringkali menjadi terhalang. Gambar 7 mengilustrasikan echogenicities dari
berbagai jaringan yang berbeda di abdomen kuadran kanan atas.5,6
9
Gambar 7. Echogenicities berbagai jaringan yang berbeda pada abdomen kanan atas
2. M-Mode
Motion mode atau M-mode atau adalah mode pencitraan ultrasonografi yang lebih
tua namun masih sering digunakan hingga saat ini untuk menganalisis pergerakan
struktur dari waktu ke waktu. Setelah gambar B-mode diperoleh, selanjutnya
diterapkan pencitraan dengan menggunakan M-mode di sepanjang suatu garis
dalam bayangan B-mode tersebut. Sorotan pada satu aksis dipancarkan di
sepanjang garis yang dipilih dan data pergerakan semua jaringan di sepanjang jalur
tersebut kemudian dikumpulkan. Semua titik di sepanjang garis tersebut digambar
dari waktu ke waktu untuk mengevaluasi dimensi suatu rongga dan untuk menilai
gerak struktur yang diperiksa. Sebagai contoh adalah M-mode yang digunakan
untuk mengukur besarnya rongga jantung atau menilai gerakan katup jantung
sepanjang siklus jantung. Penggunaan lain yang sering diaplikasikan dalam
perawatan yaitu pengukuran perubahan diameter vena cava inferior selama silus
respirasi, dan evaluasi batas paru-pleura (lung-pleura interface) untuk
menyingkirkan adanya pneumotoraks. Gambar 8 adalah contoh dari pencitraan
dengan menggunakan M-mode.5,6
10
Gambar 8. Pemeriksaan rongga jantung dengan menggunakan M-mode
D. PRINSIP KERJA ULTRASONOGRAFI
Untuk dapat melakukan pemeriksaan dengan baik serta menginterpretasikan hasil
pemeriksaan dengan tepat diperlukan pemahaman mengenai prinsip kerja alat USG
tersebut. Seperti juga pada pemeriksaan penunjang medis lainnya maka data klinis
pasien yang mencakup anamnesis, pemeriksaan fisis dan data laboratorium sangat
diperlukan sebelum melakukan pemeriksaan. Pemeriksaan penunjang lain
misalnya foto dada yang umumnya selalu diperiksakan sebelumnya serta
pemeriksaan radiologi lainnya bila ada misalnya CT-scan dada harus dievaluasi
terlebih dahulu. Lebih lanjut pengenalan mengenai alat USG serta pengetahuan
secara garis besar mengenai cara kerjanya juga diperlukan agar dapat dilakukan
pemeriksaan dengan baik. Berkaitan dengan alat USG maka ada beberapa hal yang
harus diketahui oleh pemeriksa yaitu mengenai jenis transduser, preset yang
digunakan serta terminologi yang sering digunakan khususnya mengenai
echogenicity.
1. Echogenicity
Echogenicity adalah terminologi yang digunakan untuk menilai tampilan gambar
yang tampak pada layar monitor dan dinyatakan dalam bentuk skala echogenicity
(gray scale). Densitas echo yang kuat akan tampak putih sedangkan densitas echo
yang lemah dimana tidak didapatkan pantulan gelombang suara akan tampak
hitam. Gambaran echogeniticity yang didapat pada pemeriksaan sonografi paru
ditentukan oleh besarnya amplitudo gelombang yang dipantulkan (direfleksikan).
Gambaran anechoic akan didapat bila tidak ada gelombang suara yang dipantulkan
sehingga akan tampak tampilan gambar berupa bayangan hitam, misalnya pada
11
efusi pleura. Bila gelombang echo yang didapat sebanding dengan jaringan
sekitarnya akan tampak densitas yang isoechoic, misalnya pada ginjal dan limfa.
Bila densitas echo yang didapat lebih kuat dari jaringan sekitarnya misalnya
densitas yang didapatkan pada diafragma maka akan tampak tampilan gambar
berupa bayangan yang lebih putih dan disebut hyperechoic, sedangkan sebaliknya
disebut hypoechoic bila densitasnya lebih rendah dari jaringan sekitarnya sehingga
tampilan gambar yang didapat tampak lebih gelap.1,2,5,6
2. Jenis Transducer.
Untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik maka power ultrasound harus
diatur/disesuaikan sehingga akan tampak bayangan densitas echo yang adekuat.
Seiring dengan peningkatan frekwensi gelombang maka penetrasi gelombang
ultrasonik ke jaringan akan semakin berkurang. Organ-organ yang letaknya
superfisial akan lebih jelas tervisualisasi dengan menggunakan transducer dengan
frekuensi yang lebih tinggi, sebaliknya untuk struktur yang lebih dalam akan lebih
baik terlihat dengan menggunakan transducer dengan frekwensi yang lebih rendah.
Sebagian besar alat USG diperlengkapi dengan mode tertentu untuk organ-organ
spesifik sehingga bisa didapatkan gambaran yang lebih baik. Untuk pemeriksaan
struktur yang superfisial digunakan preset kelenjar tiroid, sedangkan untuk
pemeriksaan struktur rongga dada digunakan preset abdominal.7
Pemilihan ukuran transducer sangat penting dalam pemeriksaan
ultrasonografi secara real-time. Ada 3 jenis transducer yang dapat digunakan yaitu
linear array, curvilinear array dan phased array. Linear array transducer
membentuk gelombang suara secara paralel sehingga memberikan gambaran yang
rektanguler. Linear array transducer yang mempunyai frekwensi 5 - 10 MHz
digunakan untuk pemeriksaan struktur yang letaknya superfisial misalnya untuk
mengetahui adanya penebalan pleura, massa di pleura dan adanya lesi di parenkim
paru subpleura. Curved array transducers yang mempunyai frekuensi 2 - 5 MHz
dengan permukaan yang cembung akan membentuk gelombang yang bersifat
radial, sehingga area visualisasinya menjadi lebih luas. Transducer jenis ini sangat
baik untuk memperlihatkan adanya efusi pleura masif serta untuk pemeriksaan
paru melalui abdominal approach. Phased array transducers yang mempunyai
frekwensi 1 - 5 MHz digunakan untuk pemeriksaan struktur yang terletak lebih
12
dalam misalnya untuk melihat adanya atelektasis paru dan efusi pleura yang
complicated (Gambar 9).5,6,7
Gambar 9. Berbagai jenis transducer pada ultrasonografi (a. Linear array transducer, b.
Curvilinear transducer, c. Phased array transducer)
Dalam pemeriksaan USG paru dikenal istilah populer yang sering digunakan yaitu
earth-sky axis. Organ-organ dalam rongga dada terutama terdiri dari air dan udara.
Sesuai dengan hukum gravitasi maka udara akan selalu berada di atas sedangkan
cairan akan selalu berada di bawah sehingga akan berpindah-pindah sesuai dengan
posisi pasien. Diperlukan pemahaman mengenai anatomi berbagai organ dalam
rongga dada dalam berbagai posisi tubuh pasien agar dapat diperoleh hasil
pemeriksaan yang baik. Adanya pembesaran kelenjar getah bening atau tumor
dalam rongga mediastium anterior yang pada posisi supinasi tidak bersinggungan
dengan dinding dada, sebaiknya diperiksa dalam posisi lateral dekubitus kanan
atau kiri dan sedikit pronasi sehingga memungkinkan kelainan yang ada akan lebih
dekat ke dinding dada. Rongga pleura dapat divisualisasikan lebih baik dengan
menempatkan transducer di dinding posterior dan pasien dalam posisi duduk
dengan lengan sisi yang sakit diletakkan di pundak kontralateral atau di atas
kepala. Untuk mendeteksi efusi pleura yang minimal sebaiknya pasien diperiksa
dalam posisi duduk tegak sehingga cairan akan terkumpul pada costo-
diaphragmatic recess. Untuk mendeteksi adannya cairan efusi pleura pada pasien
dalam posisi supine maka transducer harus diletakkan sejajar dekat dengan tempat
tidur pasien.7
3. Orientasi Transducer
Untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dengan baik maka data pemeriksaan
ultrasonografi yang didapat harus selalu dikaitkan dengan anatomi berbagai organ
13
dalam rongga dada, serta dikaitkan juga dengan data klinis pasien. Walaupun
pemeriksaa USG paru memberikan gambaran 2 dimensi, namun dengan
mengamati pergerakan pernapasan secara seksama saat menggeser transducer
maka dapat diperoleh seakan-akan ada bayangan 3 dimensi yang dinamis.
Kemampuan untuk melihat kelainan patologis secara 3 dimensi sangat penting
dalam menginterpretasikan hasil pemeriksaan. Untuk menentukan letak transducer
maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah keluhan klinis pasien, kelainan yang
didapat dari pemeriksaan fisis, pemeriksaan foto dada dan CT-Scan (bila ada) serta
kemampuan mobilisasi pasien. Untuk semua hal tersebut diperlukan pengalaman
dari dokter yang akan melakukan pemeriksaan. Setiap transducer diperlengkapi
dengan probe indicator yang akan menentukan arah pemeriksaan dan berkaitan
dengan penanda (marker) yang akan muncul pada layar monitor. Umumnya
marker ini akan tampak di sudut kiri atas layar monitor (Gambar 10)8
Gambar 10. Transducer yang diperlengkapi dengan probe indicator
Untuk melakukan pemeriksaan dalam potongan sagital maka probe indicator
transducer diletakkan dalam posisi cephalad direction. Selama melakukan
pemeriksaan probe indicator diletakkan dengan arah kranial semaksimal mungkin
melalui intercostal window sepanjang aksis tulang iga. Untuk pemeriksaan di
bidang transversal probe indicator diarahkan ke sisi kanan pasien. Letak
transducer dan arah probe indicator pada berbagai bidang saat pemeriksaan USG
paru dapat dilihat pada gambar 11.7,8
14
Gambar 11. Letak transducer dan arah probe indicator pada berbagai bidang
Struktur dalam rongga dada dapat divisualisaikan lebih baik dengan
mempertahankan letak transducer sepanjang aksis longitudinal (sagital) atau
transversal di atas sela iga. Kadang-kadang diperlukan upaya berulang kali untuk
mendapatkan posisi dan sudut pandang yang terbaik saat melakukan inspeksi target
struktur tertentu. Anatomic landmarks dapat membantu pemeriksaan khususnya
saat melakukan tindakan yang bersifat invasif. Pleura sisi kanan dibatasi oleh
diafragma dan hati sedangkan sisi kiri oleh diafragma dan limfa.8
E. TEHNIK PEMERIKSAAN
Agar dapat dilakukan pemeriksaan secara menyeluruh maka posisi pemeriksa,
pasien dan transducer diatur sedemikian rupa sehingga bersifat fleksibel.
Transducer dapat diletakkan pada beberapa tempat di sepanjang dinding dada
tergantung dari lokasi kelainan yang diperiksa (Gambar 12). Untuk memeriksa
kelainan dinding dada dan rongga pleura posterior, pasien dalam posisi lateral
dekubitus dan transducer diletakkan secara longitudinal di atas sela iga dengan
probe indicator mengarah ke kranial (a). Transducer dapat juga diletakkan secara
transversal, dengan probe indicator mengarah ke sisi kanan pasien (b). Untuk
pemeriksaan dinding dada dan rongga pleura bagian postero-lateral pada pasien
dalam posisi duduk maka transducer diletakkan secara transversal dengan probe
indicator mengarah ke sisi kanan pasien (c), transducer bisa juga diletakkan secara
longitudinal dengan probe indicator mengarah ke arah kranial (d). Untuk
pemeriksaan jantung dilakukan dengan xiphisternal approach dengan probe
indicator mengarah ke kanan (e), transhepatic approach dilakukan untuk menilai
pleura, diafragma dan hati pada pasien dalam posisi supine (f). Pemeriksaan
15
mediastinum dilakukan dengan posisi lateral dekubitus kiri dan sedikit pronasi
sehingga struktur mediastinum menjadi lebih dekat ke dinding dada anterior (g)
dan demikian juga untuk pemeriksaan dinding lateral dada, pasien dalam posisi
lateral dekubitus kiri (h).8
Gambar 12. Berbagai posisi pasien dan letak transducer saat pemeriksaan USG toraks.
F. GAMBARAN ULTRASONOGRAFI PARU NORMAL
Dengan menggunakan transducer frekwensi rendah (3,5 MHz) dinding dada yang
normal akan menunjukkan gambaran echogenic lapisan jaringan ikat yang terdiri
dari lapisan otot dan fasia. Pada potongan sagital (longitudinal) iga-iga akan
tampak berupa struktur yang melengkung dengan posterior acustic shadow,
sedangkan pada potongan transversal korteks bagian anterior iga-iga akan tampak
berupa echogenic lines halus di bawah jaringan ikat. Pleura parietal dan viseral
tampak berupa suatu garis dengan tingkat echogenic tinggi dibawah iga yang
16
menggambarkan permukaan pleura. Dengan menggunakan transducer linear yang
mempunyai resolusi tinggi kedua lapisan pleura akan terlihat sebagai dua garis
dengan echogenic yang berbeda, dimana pleura parietal akan tampak lebih tipis
(Gambar 13). Kedua lapisan pleura tersebut tampak saling bergerak satu terhadap
yang lainnya selama fase inspirasi dan ekspirasi. Dengan real-time imaging akan
tampak pergerakan dari kedua lapisan pleura tersebut yang dikenal dengan gliding
sign. Selanjutnya gerak pernapasan paru terhadap dinding dada dikenal sebagai
lung sliding sign.1,2,5,6
(A) (B)
Gambar 13. Gambaran USG toraks normal pada bidang transversal (A) dan sagital (B)
Pp : Pleura parietal , Pv : Pleura viseral, L : Lung
Dinding dada dengan seluruh lapisan yang terdapat diantara transducer dan paru
akan tervisualisasi secara akurat, sementara area yang berada di bawah pleura line
akan tampak berupa latar belakang dengan gambaran kilauan halus dengan
beberapa garis echogenic linier yang berjalan secara horizontal. Perbedaan
acoustic impedance yang besar antara jaringan lunak dengan alveoli yang berisi
udara akan menghambat visualisasi organ-organ mediastinum dengan membentuk
artefak multipel. Bila dilihat gambaran tersebut lebih lanjut maka akan tampak
bahwa pleura seakan-akan berfungsi sebagai cermin dimana area artefak tersebut
akan merefleksikan gambaran dinding dada di bawah pleural line. Fenomena
tersebut dapat diibaratkan seperti lukisan Itali terkenal yang dibuat oleh
17
Caravaggio pada akhir abad ke 15 yang menggambarkan cerita dongeng mengenai
Narcissus (Gambar 14).6
Gambar 14. Sonogram paru normal (kiri) yang diibaratkan bagaikan
cermin pada permukaan air (kanan)
Lung sliding dapat dikonfirmasi lebih lanjut dengan menggunakan M-mode yaitu
dengan mengarahkan sorotan transducer diantara bayangan iga sehingga
memotong pleural line secara transversal. Dengan cara demikian memungkinkan
operator untuk menganalisis gerakan struktur secara lengkap pada lokasi tersebut.
Dalam keadaan normal dengan menggunakan M-mode akan tampak gambaran
seashore sign berupa garis horizontal yang terletak superfisial terhadap lapisan
pleura yang menunjukkan struktur dinding dada yang tidak bergerak saat repirasi.
Selanjutnya lebih dalam akan tampak garis horizontal hyperechoic yang
menggambarkan lapisan pleura dan lebih kedalam dari garis pleura tersebut akan
tampak gambaran dengan pola glanular yang menunjukkan aerasi paru normal saat
inspirasi dan ekspirasi (Gambar 15).5,6
Gambar 15. Seashore sign
Evaluasi parenkim paru dilakukan berdasarkan adanya perbedaan pola artefak yang
mana semuanya berasal dari pleural line. A-lines merupakan pantulan pleural line
18
yang kearah dalam memperlihatkan gambaran beberapa garis paralel yang masing-
masing dengan jarak yang sama. Parenkim paru yang normal akan memperlihatkan
gambaran lung sliding disertai gambaran A-lines yang dominan (Gambar 16).1,2,5,6
Gambar 16. Gambaran paru normal yang memperlihatkan pleural line dengan lung sliding
disertai gambaran A-lines
Dalam keadaan abnormal pleura tidak akan berfungsi sebagai cermin, dimana pada
sonografi akan tampak kelainan pada parenkim paru. Hal ini terjadi karena adanya
perbedaan antara kandungan udara dan cairan yang terdapat pada parenkim paru.
Gambar 16 memperlihatkan adanya fenomena cermin pada paru yang normal,
sedangkan pada gambar 17 diperlihatkan gambaran konsolidasi paru yang ditandai
dengan berkurangnya kandungan udara dalam alveoli secara signifikan akibat
adanya peningkatan cairan dan sel-sel radang yang terjadi secara masif. Efek
cermin menghilang akibat kandungan udara di alveoli menurun sedangkan
kandungan cairan meningkat. Bila impedansi akustik antara jaringan lunak dengan
kandungan alveoli semakin sama satu dengan yang lainnya sebagai mana terjadi
pada alveloli yang berisi cairan maka gelombang suara akan dengan mudah
dihantarkan dan akan menghasilkan gambaran sonografi yang riil. Fenomena ini
umumnya didapat pada sebagian besar penyakim paru yang dapat dinilai dengan
ultrasonografi. Sebaliknya pemeriksaan USG paru tidak dapat digunakan untuk
menilai adanya emfisema akibat adanya peningkatan kandungan udara dalam paru,
karena pada keadaan ini kandungan udara dalam paru meningkat dan fenomena
cermin yang didapat tidak dapat membedakan antara keadaan emfisema dengan
paru yang normal.5,6
19
G. IDENTIFIKASI PNEUMOTORAKS
Sebelum melakukan pemeriksaan ultrasonografi pada pasien dengan dugaan
pneumotoraks harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis untuk
mendapatkan data-data pendukung yang penting. Untuk mendiagnosis adanya
pneumotoraks dilakukan pemeriksaan ultrasonografi dengan pasien dalam posisi
terlentang dengan transducer diletakkan di dinding anterior dada pada 6 sampai 8
posisi pada masing-masing hemitorak untuk mengidentifikasi adanya lung sliding.
Adanya lung sliding dapat menyingkirkan adanya pneumotoraks pada posisi-posisi
tersebut. Sebaliknya bila gambaran lung sliding menghilang maka akan tampak
pleura parietal tanpa gambaran sliding dari pleura viseral. Untuk memastikan ada
atau tidaknya lung sliding dilakukan pemeriksaan dengan M-mode. Pada
pneumotoraks gambaran lung sliding menghilang dan pada M-mode akan tampak
gambaran barcode sign atau stratosphere sign yaitu berupa garis-garis paralel
horizontal yang memanjang dan mengisi seluruh layar monitor yang memberikan
petunjuk akan tidak adanya gerakan pengembangan paru yang normal (Gambar
17). Hilangnya lung sliding disertai adanya barcode sign menunjukkan adanya
kelainan patologis yang menyebabkan hilangnya kontak fisiologis antara lapisan
pleura parietal dan viseral atau terpisahnya kedua lapisan pleura tersebut. Keadaan
tersebut bisa didapatkan pada pneumonia berat, efusi pleura, atelektasis, obstruksi
saluran napas akut berat, pasca pleurodesis dan pasca pleurektomi. Walaupun
hilangnya gambaran lung sliding tidak spesifik untuk pneumotoraks namun
sebaliknya adanya gambaran lung sliding sangat efektif untuk menyingkirkan
adanya pneumotoraks pada daerah interkostal dimana transducer diletakkan.9,10,11
Gambar 17. Barcode (strathospere) sign
20
Lung point merupakan gambaran yang jarang didapat namun sangat spesifik
untuk mendeteksi adanya pneumotoraks. Lung point merupakan perbatasan antara
bagian paru yang mengalami pneumotoraks (ditandai dengan hilangnya lung
sliding) dengan bagian paru yang normal (ditandai dengan adanya lung sliding, A-
lines atau B-lines) yang bergerak sesuai dengan siklus pernapasan (Gambar 18).9,10
Gambar 18. Lung Point : Batas antara paru yang mengalami
pneumotoraks dan paru yang normal
Gambaran lung point tidak hanya bermanfaat untuk mendiagnosis pneumotoraks,
namun bermanfaat juga untuk menentukan batas dan menentukan luasnya
pneumotoraks. Gambaran lung point juga bermanfaat sebagai penuntun dalam
prosedur pemasangan tube untuk evakuasi pneumotoraks. Gambaran lung point
dapat dilihat dengan menggunakan M-mode dimana pada monitor akan tampak
gambaran seashore dan barcode sign secara fluktuatif (Gambar 19). Pada
pneumotoraks luas yang menyebabkan kolapsnya sebagian besar paru, maka posisi
lung point akan berada jauh di posterior atau mungkin tidak ditemukan sama sekali
karena tidak adanya bagian paru yang masih menempel pada dinding dada. Pada
pneumotoraks minimal maka posisi lung point akan didapat di daerah anterior dan
kaudal. Sebagai pedoman bagi operator adalah sebagai berikut yaitu semakin luas
pneumotoraks yang terjadi maka posisi lung point akan semakin ke lateral dan ke
posterior.10
21
Gambar 19 : Gambaran lung point yang silih berganti dengan M-mode
H. PERAN ULTRASONOGRAFI DALAM TATALAKSANA DISPNEA
AKUT
Ultrasonografi paru dapat digunakan sebagai alat diagnostik pada pasien-pasien
yang dirawat di intensive care unit (ICU). Selain bermanfaat dalam mengevaluasi
kelainan pada rongga dada, ultrasonografi paru dapat juga memandu klinisi dalam
melakukan prosedur tindakan di bidang pulmonologi. Pada tahun 2008 Daniel
Lichtenstein mengevaluasi peran USG dalam mendiagnosis penyebab dipsnea akut
dan mengembangkan BLUE Protocol (Bedside Lung Ultrasound in Emergency
Protocol) sebagai alat diagnostik.12
1. Peralatan dan Teknik Pemeriksaan
Dalam melakukan BLUE Protocol dianjurkan untuk menggunakan convex phased-
array transducer dengan rentang frekuensi 4 - 8 MHz. Dengan menggunakan
frekuensi tersebut dimungkinkan untuk memvisualisasi struktur yang letaknya
dalam khususnya pada pasien obes. Walaupun linear transducers dapat juga
digunakan, namun ada keterbatasan dalam pemakaiannya karena penetrasinya yang
kurang sehingga tidak dapat digunakan untuk memvisualisasi struktur-struktur
yang letaknya dalam dimana sebagian besar konsolidasi, atelektasis dan efusi
pleura ditemukan.
Untuk pemeriksaan USG toraks, dinding dada dibagi menjadi tiga bidang
anatomi yaitu anterior, lateral, dan posterior yang masing-masing dibatasi oleh
garis aksilaris anterior dan posterior. Masing-masing area tersebut kemudian dibagi
dua yaitu bagian atas (kranial) dan bawah (kaudal), sehingga akan didapatkan
enam area anatomi (six anatomic regions) yaitu bagian kranial dan kaudal dari
dinding dada anterior, lateral, dan posterior.12
22
Teknik pemeriksaan USG paru pada BLUE Protocols adalah sebagai berikut :
1. Seluruh pakaian dan penutup dinding dada dibuka, kemudian oleskan jeli
ultrasound pada keenam regio pada dinding dada.
2. Pemeriksaan dimulai dengan menempatkan transducer pada sela iga
pertama pada upper anterior region, dengan USG marker mengarah ke
kepala pasien.
3. Pemeriksaan dilanjutkan dengan menggeser ultrasound probe dengan arah
longitudinal, dari arah kranal ke kaudal.
4. Pemeriksaan dilakukan pada setiap ruang sela iga, dengan memfokuskan
pada gambar yang terdapat diantara dua bayangan iga, dan harus diamati
selama setidaknya hingga satu siklus pernapasan lengkap.
5. Ulangi prosedur pemeriksaan tersebut pada dinding dada lateral dan
posterior dengan cara yang sama.
6. Gambaran USG paru yang didapat dievaluasi untuk mendapatkan tanda-
tanda berikut :
a. A-lines
b. B-lines
c. Lung Sliding
d. Efusi pleura
e. Konsolidasi
7. Selain tanda-tanda tersebut, dilakukan juga evaluasi pada jantung dan
pembuluh darah untuk melengkapi pemeriksaan :
a. Fungsi dan ukuran ventrikel kiri
b. Fungsi dan ukuran ventrikel kanan
c. Ada tidaknya trombosis pada pembuluh darah di ekstremitas bawah
Selama melakukan prosedur BLUE Protocols dilakukan identifikasi gambaran
berikut ini :
1. A-lines yang predominan disertai dengan lung sliding menunjukkan adanya
asma atau penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksasebasi akut
(Sensitivitas 89% dan spesifisitas 97%).
2. Gambaran B-lines multipel dan difus disertai dengan adanya lung sliding
menunjukkan adanya edema paru (Sensitivitas 97% dan spesifisitas 95%).
3. Gambaran profil yang normal disertai dengan adanya trombosis vena dalam
pada tungkai bawah mengindikasikan adanya emboli paru (Sensitivitas 81%
23
dan 99% spesifisitas).
4. Hilangnya gambaran lung-sliding di bagian anterior disertai dengan adanya
A-lines dan lung point menunjukkan adanya pneumotoraks (Sensitivitas 81%
dan 100% spesifisitas).
5. Konsolidasi alveolar dan B-lines yang difus di anterior dengan lung sliding
negatif atau adanya gambaran interstisial yang asimetris di anterior,
konsolidasi di posterior atau efusi pleura tanpa adanya gambaran B-lines
yang difus di anterior mengindikasikan adanya pneumonia (sensitivitas 89%
dan 94% spesifisitas).
2. Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Dalam pendekatan diagnostik harus dikumpulkan semua tanda dan gejala yang ada
untuk mengevaluasi penyebab dispnea akut (Gambar 20) :
1. Tentukan dan amati integritas antara permukaan paru-paru, garis pleura serta
iga atas dan bawah. Adanya emfisema subkutis dapat menyebabkan
hilangnya integrasi yang normal dari struktur-struktur tersebut.
2. Selanjutnya tentukan ada tidaknya lung sliding. Hilangnya lung sliding
merupakan indikasi adanya pneumotoraks jika disertai dengan adanya lung
point.
3. Bila lung sliding dapat ditemukan, kemudian dicari A-lines yang
menggambarkan adanya udara. Hal ini dapat bersifat fisiologis atau
patologis. Untuk analisis lebih lanjut, disarankan untuk melakukan
pemeriksaan USG vena tungkai bawah. Interpretasi yang didapat bisa salah
satu dari yang berikut:
a. Adanya A-lines dan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis)
mengindikasikan adanya emboli paru.
b. Adanya A-lines tanpa didapatkan adanya trombosis vena dalam
mengindikasikan adanya pneumonia bila didapatkan juga adanya
posterior lateral alveolar/pleural syndrome (PLAPS) atau
PPOK/asma eksaserbasi akut bila tidak didapatkan PLAPS.
4. Lebih lanjut diperiksa untuk menentukan ada tidaknya B-lines. Adanya B-
lines cukup untuk menyingkirkankan adanya pneumotoraks pada daerah
dimana transducer diletakkan. Adanya B-lines yang disertai dengan tanda-
tanda lain perlu diinterpretasikan lebih lanjut secara akurat dengan
melakukan analisis berikut :
24
a. B-lines yang difus dan bilateral (minimal empat titik pada dinding
dada anterior) dapat mengindikasikan adanya edema paru baik
kardiogenik maupun non-kardiogenik. Pada keadaan ini perlu
dilakukan pemeriksaan ekokardiografi untuk memastikannya.
b. B-lines yang bersifat fokal dapat menunjukkan adanya interstitial
syndrome.
5. Langkah terakhir adalah untuk mencari sinusoid sign yang menjadi pertanda
adanya efusi pleura. Sinusoid sign menggambarkan adanya pergerakan
pleura viseral di dalam cairan efusi yang menuju dan menjauhi dinding dada
selama pernapasan berlangsung.
I. INTERSTITIAL SYNDROME
Lung Sliding
Present Any Abolished
B profile A lines
The
BLUE
protocol
Pneumonia Plus
lung point
Without
lung point
Pneumothorax Need for
other
diagnosis
modalities
A/B or C
profile
Pneumonia Pulmonary
edema
Venous
analysis
B profile A profile
Thrombosed vein Free vein
Pulmonary
embolism
Stage 3
PLAPS no PLAPS
Pneumonia COPD or
Asthma
Gambar 20. BLUE protocol dalam mendiagnosis penyebab dispnea akut
25
Interstitial syndrome merupakan suatu keadaan dimana terdapat kelainan pada
rongga alveoli akibat peningkatan cairan dalam jaringan interstisial dengan
beberapa bagian paru masih menunjukkan aerasi yang normal. Keadaan ini dapat
terjadi akibat adanya acute respiratory distress syndrome (ARDS), acute
cardiogenic pulmonary edema (ACPE) dan fibrosis paru. Pemeriksaaan CT scan
tidak dapat digunakan dalam praktek sehari-hari untuk mendiagnosis ARDS karena
beberapa alasan yaitu paparan radiasi yang tinggi, biaya yang besar dan sulitnya
transportasi pasien yang biasanya dalam kondisi sakit yang berat. Demikian juga
dengan pemeriksaan foto toraks yang kadang-kadang sulit untuk membedakan
antara ARDS dan ACPE, sehingga pemeriksaan USG paru menjadi salah satu
penunjang lain yang bersifat non-invasif, bebas radiasi dan dapat dilakukan secara
bed-side.13,14
Pada keadaan normal gelombang ultrasound tidak dapat ditransmisikan
melalui struktur yang berisi udara. Adanya penyakit paru akan menyebabkan
berkurangnya aerasi di alveoli disertai dengan penebalan septum interlobular
subpleura dan penebalan jaringan interstisial akibat edema, sehingga memberikan
gambaran hyperechoic sonographic pattern. Pola gambaran hyperechoic tersebut
timbul akibat semakin banyak dan semakin tebalnya artefak yang disebut sebagai
B-lines atau comet-tails. Jumlah B-lines yang didapat adalah sebanding dengan
jumlah cairan ekstravaskuler paru sehingga dapat menjadi pertanda adanya
alveolar-interstitial syndrome. Artefak B-lines maupun comet-tails menyebabkan
hilangnya efek cermin dari pleura, dan dengan demikian menyebabkan hilangnya
juga bayangan Narcissus akibat adanya riak-riak kecil pada permukaan air.
(Gambar 21).6,13,14
Gambar 21. Gambaran interstitial syndrome pada ARDS dan ACPE (kiri) serta
fenomena hilangnya bayangan Narcissus (kanan).
26
J. GAMBARAN ULTRASONOGRAFI PARU PADA ARDS DAN ACPE Ultrasonografi berperan dalam mendiagnosis penyebab alveolar-interstitial
syndrome, ditandai dengan pola gambaran USG yang nonspesifik berupa B-lines
dan white lung yang bisa didapatkan baik pada ARDS maupun ACPE. Copetti et
al13,14
menganalisis pola gambaran USG paru pada ARDS dan ACPE dengan
membedakan pleuropulmonary sonographic pattern pada kedua keadaan tersebut.
Pada ACPE terjadi edema hidrostatik homogen yang ditandai dengan penebalan
struktur jaringan interstitial dan terjadinya transudasi cairan ke dalam alveoli, tanpa
disertai kerusakan pada alveolar-capillary membrane. Sebaliknya pada ARDS
integritas alveolar-capillary membrane akan terganggu sehingga menyebabkan
gambaran alveolar flooding yang difus dan heterogen. Dengan demikian pada
ACPE akan didapatkan pola gambaran white lung homogen baik di lapangan paru
anterior maupun posterior, disertai dengan adanya efusi pleura. Sebaliknya pada
ARDS gambaran white lung pattern akan tampak lebih heterogen pada lapangan
paru anterior (spared area), sedangkan pada lapangan paru posterior tampak lebih
homogen dengan perubahan pada pleural line bilateral disertai dengan adanya area
konsolidasi. Untuk membedakan antara ARDS dan ACPE secara radiologis dengan
bantuan USG perlu diidentifikasi ada tidaknya kelainan-kelainan berikut yaitu B-
lines, spared area, konsolidasi, pleural line abnormalities dan efusi pleura.13,14
B-lines. B-lines adalah artefak vertikal atau disebut juga comet-tail artifact
yang berjalan memanjang hingga mencapai tepi layar monitor dengan memotong
A-lines dan bergerak sesuai dengan gerakan pleural line selama inspirasi. Pada
ACPE karena alveolar-capillary membrane tetap normal maka B-lines yang
membentuk comet-tail artifact tampak homogen, sedangkan pada ARDS tampak
heterogen akibat adanya kerusakan pada alveolar-capillary membrane. Pada
ARDS, B-lines tampak bilateral dengan jumlah ≥ 3, dan dapat menyatu secara
sempurna hingga membentuk gambaran white lung. Pada lapangan paru anterior
distribusi B-lines tidak homogen, sedangkan pada lapangan paru posterior B-lines
tampak lebih padat dan homogen sehingga memberikan gambaran global white
lung yang seperti tampak juga pada ACPE (Gambar 22).13,14
27
Gambar 22. Gambaran B-lines pada ARDS dan ACPE
Spared area. Spared area adalah area paru normal yang terlihat
paling tidak pada satu sela iga, dikelilingi oleh area B-lines atau white lung.
Area ini biasanya didapat pada lapangan anterior paru. Spared area
umumnya didapat pada ARDS dan tidak didapat pada ACPE (Gambar 23).13
Gambar 23. Spared area pada ARDS (A), tidak tampak spared area pada ACPE (B).
Konsolidasi. Konsolidasi merupakan area hyperechoic echotexture dengan
punctiform elemens atau “hepatisasi”, disertai gambaran air bronchogram yang
statis dan dinamis. Pada ARDS konsolidasi biasanya tampak pada lapangan
posterior paru, terutama pada bagian basal. Gambaran konsolidasi paru umumnya
didapatkan pada ARDS namun tidak pada ACPE (Gambar 24).13,14
28
Gambar 24. Konsolidasi paru dengan air bronchogram pada lapang paru posterior (A dan B)
Pleural line abnormalities : Penebalan pleura > 2 mm dengan permukaan yang
ireguler disertai dengan konsolidasi subpleura yang ringan (Gambar 25).13
Gambar 25. Konsolidasi subpleura pada ARDS (A), tidak tampak konsolidasi pada ACPE (B)
Pada ARDS selalu didapatkan adanya keterlibatan pleural line yang menyebabkan
berkurangnya lung sliding pada area white lung dan pleural line tampak bergerak
sesuai irama dengan denyut jantung (lung pulse sign). Pada ACPE pleural line
tetap normal dan tidak didapatkan adanya lung pulse sign (Gambar 26).13,14
Gambar 26. Pleural line yang mengalami penebalan dengan permukaan yang ireguler pada
ARDS (A) dan pleural line yang tetap normal pada ACPE (B).
29
Efusi pleura. Dengan USG efusi pleura akan tampak sebagai area pleura
yang anechoic dan homogen, tanpa adanya gambaran udara di dalamnya, yang
dibatasi oleh diafragma dan pleura. Bila efusi pleura menyebabkan kompresi
mekanik maka paru lobus bawah akan terlihat kolaps dan mengapung (floating).
Efusi pleura jarang ditemukan pada ARDS (namun hal ini tergantung dari etiologi
ARDS), sedangkan pada ACPE sering ditemukan (Gambar 27).9-11,13
Gambar 27. Efusi pleura minimal pada ARDS (A), Efusi pleura pada ACPE (B).
K. KESIMPULAN
Pemeriksaan USG paru mempunyai peranan penting dalam tatalaksana
pasien dengan penyakit paru dan pleura.
Kelebihan pemeriksaan USG adalah karena tidak mengakibatkan efek
radiasi, praktis dan dapat mendeteksi kelainan pleura/paru secara lebih cepat.
Pengertian akan prinsip mekanik gelombang ultrasonik diperlukan untuk
memahami mekanisme terjadinya berbagai pola gambaran ultrasonografi
baik pada paru maupun pleura.
Diperlukan pengenalan mengenai berbagai jenis transducer dan manfaatnya
masing-masing serta pemahaman mengenai berbagai bidang anatomi
sebelum melakukan pemeriksaan ultrasonografi paru.
BLUE Protocol merupakan prosedur yang dilakukan untuk mengevaluasi
penyebab dipsnea akut dengan menggunakan ultrasonografi, dan dalam
pelaksanaannya harus selalu dikaitkan dengan data klinis lainnya.
Pemeriksaan ultrasonografi paru bermanfaat untuk mendiagnosis kelainan
interstitial syndrome baik yang disebabkan oleh ARDS maupun ACPE, serta
dapat digunakan untuk membedakan kedua kelainan tersebut.
30
Keterbatasan USG antara lain karena kurang dapat digunakan untuk
mengevaluasi kelainan-kelainan di mediastinum serta hasil pemeriksaannya
bersifat operator-dependent.
31
L. DAFTAR PUSTAKA 1. Anantham D, Ernst A. Ultrasonography. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin
TR, King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of
Respiratory Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 445-60.
2. Moore CL, Copel JA. Point-of-Care Ultrasonography. N Engl J Med.
2011;364:749-57.
3. Mayette M, Mohabir P. Ultrasound Physics. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors. Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.9-18.
4. Ahmad S, Eisen LA. Lung Ultrasound : The Basics. In : Lumb P, Karakitsos D, editors. Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.106-10.
5. Mathis G, Sparchez Z, Volpicelli G. Chest Sonography. In: Dietrich CF, ed.
EFSUMB - European Course Book. Italy: EFSUMB; 2010. p. 2-21.
6. Gardeli et al. Chest Ultrasonography in the ICU. Respir Care 2012;57(5):773-81.
7. Chiem AT. Transducers. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors. Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.19-24.
8. Walker C, Mohabir P. Orientation. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors. Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.25-31.
9. Fein D, Tofts RPH, Kory P. Lung and Pleural Ultrasound Technique. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors. Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.51-8.
10. Lee PMJ, Tofts RPH, Kory. Lung Ultrasound Interpretation. In : Soni NJ, Arntfield R, Kory P, editors. Point-of- Care ULTRASOUND. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.51-8. 59-69.
11. Lama KW, Chichra A, Cohen RI, Narasimhan M. Pleural Ultrasound. In : Lumb P, Karakitsos D, editors. Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.111-4.
12. Venegas C, Eisen LA, Shiloh AL. Lung Ultrasound : Protocols in Acute Dyspnea. In : Lumb P, Karakitsos D, editors. Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.128-30.
13. Corradi F, Brusasco C, Abreu MG, Pelosi P. Lung Ultrasound in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.11-22.
32
14. Corradi F, Brusasco C, Abreu GDM, Pelosi P. Lung Ultrasound in Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In : Lumb P, Karakitsos D, editors. Critical Care Ultrasound. Philadelphia : ELSEVIER Saunders; 2015.p.119-22.
33
34