proposal penelitian sl
DESCRIPTION
proposalTRANSCRIPT
PREVALENSI OBESITAS PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK DI
KELURAHAN JATI, KECAMATAN PADANG TIMUR, PADANG, DAN
HUBUNGANNYA DENGAN SEDENTARY LIFE ANAK
Proposal Penelitian Skripsi
Diajukan ke Fakultas Kedokteran – Universitas Andalas
sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
RIZKIA CHAIRANI ASRI
NIM. 1110313076
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
PREVALENSI OBESITAS PADA ANAK TAMAN KANAK-KANAK DI
KELURAHAN JATI, KECAMATAN PADANG TIMUR, PADANG, DAN
HUBUNGANNYA DENGAN SEDENTARY LIFE ANAK
Proposal Penelitian Skripsi
Diajukan ke Fakultas Kedokteran – Universitas Andalas
sebagai pemenuhan salah satu syarat untuk mendapatkan
gelar Sarjana Kedokteran
Oleh:
RIZKIA CHAIRANI ASRI
NIM. 1110313076
Disetujui oleh:
Pembimbing I Pembimbing II
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI
Judul Penelitian : PREVALENSI OBESITAS PADA ANAK
TAMAN KANAK-KANAK DI
KELURAHAN JATI, KECAMATAN
PADANG TIMUR, PADANG, DAN
HUBUNGANNYA DENGAN SEDENTARY
LIFE ANAK
Data Mahasiswa :
Nama Lengkap : RIZKIA CHAIRANI ASRI
Nomor Induk Mahasiswa : 1110313076
Tanggal Lahir : 10 Desember 1993
Tahun Masuk FK UNAND : 2011
Nama Pembimbing Akademik : dr. Nora Haminarti, M. Biomed
Jenis Penelitian : Deskriptif-analitik
Diketahui oleh
Wakil Dekan I
dr. Rina Gustia, Sp.KK
NIP. 19650819199032001
Padang, 17 September 2013
Mahasiswa Peneliti
Rizkia Chairani Asri
NIM. 1110313076
DAFTAR ISI
Daftar Isi iDaftar Gambar ii
BAB I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang 11.2 Rumusan Masalah 21.3 Hipotesis 31.4 Tujuan Penelitian 4
1.4.1 Tujuan Umum 41.4.2 Tujuan Khusus 4
1.5 Manfaat Penelitian 51.5.1 Bagi Peneliti
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Tekanan Darah 6
2.1.1 Curah Jantung 72.1.1.1 Volume Isi Sekuncup 72.1.1.2 Frekuensi Denyut Jantung 9
2.1.2 Resistensi Pembuluh Darah Perifer 112.2 Diet Tinggi Garam 142.3 Perbedaan Tekanan Darah Jantan dan Betina 18
BAB III. KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS3.1 Kerangka Konsep 223.2 Hipotesis 23
BAB IV METODE PENELITIAN4.1 Jenis Penelitian 244.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 254.3 Populasi dan Sampel Penelitian 25
4.3.1 Kriteria Inklusi 254.3.2 Kriteria Ekslusi 26
4.4 Variabel Penelitian 264.4.1 Klasifikasi Variabel 264.4.2 Definisi Operasional 26
4.5 Bahan Penelitian 264.6 Instrumen Penelitian 274.7 Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data 27
4.7.1 Pemberian Diet Tinggi Garampada Tikus Wistar 27
4.7.2 Cara Pengukuran Tekanan DarahTikus Wistar 28
4.8 Cara Pengolahan dan Analisis Data 29
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obesitas adalah keadaan dimana terdapat penimbunan lemak berlebih pada
tubuh seseorang. Umumnya, obesitas ditentukan menggunakan indeks massa ubuh
(IMT) / Body Mass Index (BMI), yaitu perbandingan berat badan (dalam
kilogram) dengan kuadrat tinggi badan (dalam meter). Pada usia 0-20 tahun,
indeks massa tubuh ditentukan dengan memplot IMT menggunakan gradik
indeks-massa-tubuh CDC 2000, yaitu di atas persetil 95th. Sedangkan pada usia
lebih dari 20 tahu, menurut kriteria WHO untuk kawasan Asia Pasifik, obesitas
dientukan jika IMT > 25.1-4
Obesias merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemui di seluruh
dunia. Penelitian tentang obesitas telah banyak dilakukan di luar negeri, namun di
Indonesia masih sedikit. Hal ini disebabkan peneliti di Indonesia lebih disibukkan
dengan masalah gizi kurang dibandingkan masalah gizi lebih, Indonesia berada
dalam keadaan double burden disease. Obesitas telah menjadi masalah kesehatan
global, terutama di negara-negara maju Obesitas mempunyai korelasi yang kuat
dengan morbiditas dan mortalitas, sehingga perlu mendapatkan perhatian serius
mengenai penyebab, tindakan pencegahan, dan upaya pengobatanya.1,2
Obesitas ditentukan oleh banyak faktor risiko, salah satunya adalah faktor
herediter. Menurut Whitaker dkk, prevalensi oenderita obesitas pada subyek
dengan minima salah satu orang tua penderita obesitas lebih tinggi dibandingkan
subyek dengan orang tua tidak menderita obesitas. Keadaan ini dapat disebabkan
oleh pola makan keluarga yang banyak dan sering, serta dengan kandungan lemak
tinggi , dan jajan. Hal tersebut menyebabkan masukan energi melebihi
kebutuhan.3 Pola makan yang tinggi, dengan komposisi makan dminannya adalah
lemak dan karbohidrat akan memicu proses penyimpanan energi ersebut di dalam
jaringan adiposa (adipose tissues) sehingga outcome yang terjadi adalah
peningkatan lipogenesis.2 Diet tinggi lemak dan tinggi kalori dan pola hidup
kurang gerak (sedentary lifestyle) adalah dua karakteristik yang sangat berkaitan
dengan peningkatan prevalensi obesitas di seluruh dunia (WHO,2000).
Dua hal yang menyebabkan patogenesis obesitas adalah input makanan berlebih
disertai ouput energi yang rendah. Perhatian kalangan medis bukan hanya tertuju
pada kasus-kasus undernutrition ataupun gizi buruk, tetapi juga pada kasus
overnutrition yang trendnya semakin meningkat. Hal tersebut disebabkan semakin
rendahnya aktivitas fisik sehingga gaya hidup masyarakat saait ini lebih sedentary
dibandingkan dengan beberapa dekade silam. Hal ini juga terdapat dalam
peneltian Tan Evi15 dan Robinson16 yang menyelidiki hubungan aktivitas fiik
terhadap kejadian obesitas pada anak.
Telah banyak dilakukan penelitian mengenai faktor aktivitas fisik dan
sedentary life (dalam hal ini menonton televisi, bermain video game/komputer)
dikaitkan dengan obesitas. Dari studi tersebut, ditemukan kecenderungan
peningkatan risiko obesitas apda populasi yang menjalani gaya hidup sedentary
dan aktvitas fisik rendah (Dietz, dkk).7 Populasi yang sudah dieliti adalah dewasa,
dewasa muda, remaja dan anak Sekolah Dasar (SD). Penulis ingin menyelidiki
faktor sedentary life pada anak Taman Kanak-kana (TK) yang sebenernya pada
fase usia muda ini merupakan fase penting dalam terjadinya obesitas, terutama
saat usi mereka lebih dewasa.
Hingga sast ini, obesitas pada anak Taman Kanak-Kanak di Padang belum
ada datanya. Selain itu, peneliti memilih responden anak Taman Kanak-kanak,
karena merea erupakan konsumer semi-pasif, diamana konsumsi makanan dan
minuman yang mereka konsumsi sebagian besar bergantung pada orang tuanya.
Peneliti memilih Kelurahan Jati, Kecamatan Padang Timur, Padang, karena alasan
keterjangkauan yaitu dekatnya lokasi penelitian dengan kampus.
Obesitas mempunyai dampak terhadap tumbuh kembang anak, terutama
aspek perkembangan psikososial. Selain itu, obesitas pada msa anak berisiko
tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa dan berpotensi mengalammi berbagai
kesakitan dan kematian anatara lain penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus,
dan lain-lain.1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan pada latar belakang, rumusan masalah pada penelitian ini
adalah:
1. Berapa besar prevalensi obesitas pada anak Taman Kanak-kanak di Kelurahan
Jati, Kecamatan Padang Timur, Padang?
2. Apakah terdapat hubungan antara obesitas pada anak dengan melewatkan
makan pagi?
1.3 Hipotesis
1. Terdapat hubungan antara obesitas pada anak dengan melewatkan akan
pagi.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi obesitas pada
anak Taman Kanak-kanak dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketaahuinya prevalensi obesitas anak Taman Kanak-kanak di
Kelurahan Jati, Kecamatan Padang Timur, Padang.
2. Diketahuinya hubungan antara obesitas pada anak dengan
melewatkan makan pagi.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Peneliti
1. Diperoleh pengalaan belajar da pengetahuan dalam melakukan penelitian.
2. Penerapan ilmu kedokteran yang dimiliki dan didapat selama pendidikan
di Fakultas Kedokteran Universitas Andalas selama ini.
3. Peningkatan kemampuan komunikasi peneliti dengan masyarakat.
4. Pengembangan daya nalar, minat , dan kemampuan peneliti dalam bidang
penelitian.
1.5.2 Bagi Perguruan Tinggi
1. Realisasi Tridarma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan fungsinya
sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian bagi masyarakat.
2. Meningkatkan kerja sama antara mahasiswa dan staf pengajar.
3. Data awal bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan
faktor risiko obesitas pada anak Taman Kanak-kanak.
1.5.3 Bagi Masyarakat
1. Memberikan gambaan wawasan mengenai obesitas dan faktor risiko
obesitas pada anak Taman Kanak-kanak.
2. Menumbuhkan kepedulian dan kepekaan anak Taman Kanak-kanak dan
masyarakat dalam mencari informasi yang benar mengenai obesitas serta
informasi yang benar mengenai faktor risiko obesitas.
3. Menjadi dasar untuk melakukan upaya-upaya peningkatan pengetahuan
tentang obesitas.
4. Sebagai masukan bagi instansi penddikan, kesehatan, media informasi dan
komunikasi, serta pihak-pihak lain yang terkait dalam melaksanakan
penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan tentang obesitas
pada anak Taman Kanak-kanak.
1.5.4 Perkembangan ilmu kedokteran
1. Mengetahui prevalensi obesitas pada anak Taman Kanak-kanak di
Kelurahan Jati, Kecamatan Padang Timur, Padang.
2. Mengembangkan pengetahua mengenai obesitas, khususya pada anak
Taman Kanak-kanak.
3. Mengembangkan pengetahuan mengenai faktor-faktor risiko yang
mempengaruhi obesitas pada anak Taman Kanak-Kanak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defini si Obesitas dan Overweight
Obesitas dan overweight, adalah dua istilah yang sering digunakan untuk
menyatakan adanya kelebihan berat badan. Kedua istilah ini sebenarnya
mempunyai pengertian yang berbeda. Obesitas didefinisikan sebagai suatu
kelainan atau penyakt yang ditandai dengan penimbunan jaringan lemak tubuh
secara berlebihan. Overweight adalah kelebihan berat badan dibandingkan dengan
berat badan ideal yang dapat disebabkan oleh penimbunan jaringan lemak atau
nonlemak, misalnya pada seorang atlet biaragawan, kelebihan berat badan dapat
disebabkan oeh hipetrofi otot.1
2.2 Cara Menentukan Obesitas
Obesitas berkaitan tidak hanya dengan berat badan total, namun juga
distribusi lemak yang tersimpan di dalam tubuh. Secara klins obesitas dapat
dengan mudah dikenali antara lain:1
Wajah membulat
Pipi tembab
Dagu rangkaap
Leher relatif pendek
Dada membusung dengan payudara yang membesar yang
mengandung jaringan lemak
Perut membuncit disrtai dinding perut yang berlipat
Kedua tungkai berbentuk X dengan kedua pangkal paha bagian
dalam saling menempel dan bergesekan. Akibatnya dapat terjaddi
laserasi dan ulserasi yang dapat menimbulkan bau yang kurang
sedap.
Pada anak laki-laki, penis tampak kecil karena tersembunyi
jaringan lemak suprapubik (burried penis).
Banyak eknik yang digunakan untuk menentukan akumulasi lemak
yang ada di dalam tubuh seseorang, antara lain:1
a. Mengukur dan menghubungkan berat badan dengan tinggi badan
menggunakan Body Mass Index (BMI)
b. Pengukuran lemak subkutan dengan mengukur tebal lipaan kulit
c. Variasi lingkar badan, biasanya merupakan rasio dari pinggang dan
panggul.
Untuk menentukan seseorang menderita obesitas atau tidak, cara yang
paling banyak digunakan adalah mengggunakan Body Mass Index (BMI). BMI
ditunjukan dengan perhitungan kilogram per meter kuadrat (kg/m2), nerkolerasi
dengan lemak yang terdapat di dalam tubuh. Rumus menentukan BMI adalah:
BMI = Berat badan (kg)
[Tinggi Badan (m)}]2
Klasifikasi Obesitas untuk orang dewasa menurut kriteria Asia Pasifik
tertuang pada tabel 2.1 berikut ini:
Tabel 2.1 Klasifikasi Berat Badan Lebih dan Obesitas pada Orang Dewasa
Berdasarkan IMT Menurut Kriteria Asia Pasifik.12
Klasifikasi IMT (kg/m2)
Underweight <18,5
Normal 18,5-22,9
Overweight >23,0-24,9
Obesitas I 25,0-29,9
Obesitas II >30,0
Untuk anak-anak pada masa tumbuh kembang, penentuan obesitas
ditentukan menggunakan grafik CDC 2000. Dengan memasukan data ke gradi
dapat ditentukan presentilya. Untuk persentil > 95 dikategorikan dalam
obesitas.1,2 Grafik CDC 2000 dapat dilihat pada grafik 2.1 dan 2.2 berikut ini.
2.3 Etiologi Obesitas
Obesitasmerupakan penyakit dengan etiologi yag sangat kompleks dan belum
seenuhnya diketahui. Keadaan obesitas terjadi jika makanan sehari-harinya
mengandung energi yang melebihi kebutuhan anak yang bersangkutan (positive
energy balance). Pada umumnya, berbagai faktor yang menentukan keadaan
obesitas seseorang seperti:
a. Herediter
Anak yag obesitas biasanya berasal dari keluarga ayng obesitas. Bila
kedua orang tua obesitas, sekitar 80% anak-anak mereka akan menjadi obesitas.
Bila salah satu orangtua obesitas maka kejadian menjadi 40% dan bila kedua
orang tua tidak obesitas maka prevalensi obesitas akan turun menjadi 14%.
Peningkatan risiko kmenjadi obesitas tersebut disebabkan oleh pengaruh gen atau
faktor lingkungan dalam keluarga.1
Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Whitaker dkk, dapat dilihat
bahwa seseorag yang mempunyai orang tua obesitas berisiko dua kali lebih besar
terekna obesitas daripada yang tidak mempunyai orang tua obesitas.3
b. Pola makan
Peran nutrisi dimulai sejak masa gestasi. Perilaku makan mulai terkondisi
dan terlatih sejak berbulan-bulan pertama kehidupan yaitu saat diasuh orangtua.
Pemberian susu botol pada bayi mempunyai kecenderungan diberikan pada
jumlah yang berlebihan sehingga risiko menjadi obesitas lebih besar daripada ASI
saja. Akibatnya anak akan terbiasa untuk mengkonsumsi makanan melebihi
kebutuhan dan berlanjut ke masa prasekolah, masa usia sekolah, sampai masa
remaja.1 Penelitian yang dilakukan oleh Vaugelers dan Fitzgerald menunjukan
bahwa kebiasaan anak-anak untuk melewatkan sarapan pagi dapat meningkatkan
risiko seseorang menderita obesitas.4
Peranan diet terhadap terjadinya obesitas asngat besar, terutama diet tinggi
kalori yang berasal dari karbohidrat dan lemak. Masukan energi tersebut lebih
besar daripada energi yang digunakan. Anak-anak usia sekolah mempunyai
kebiasaan mengkonsumsi makanan cepat saji (junk foods dan fast foods), yang
umumnya mengandung energi tinggi karena 40-50% nya berasal dari lemak.1
Kebiasaan lain adalah mengkonsumsi makanan camilan yang banyak
mengandung dula sambil menonon televisi. Pilihan jenis makanan camilan bisa
dipengaruhi oleh iklan di televisi.1,7
c. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik sehari-hari dipercaya menjadi salah satu faktor munculnya
obesitas pada seseorang. Penelitian yang dilakukan oleh Veugelers dan Fitzgerald
menunjukan bahwa kebiasaan anak-anak untuk menonton televisi sambil makan
dapat meningkatkan rsiko seseorang menderita obesitas.4
Suatu data menujukan bahwa aktivitas fisik anak-anak cenderung
menurun. Anak-anak lebih banyak bermain di dalam rumah dibandingkan di luar
rumah, misalnya bermain games komputer maupun media elektronik lain dan
menonton televisi.
Sebalikya menonton televisi akan menurunkan aktivitas dan keluaran
energi, karena mereka menjadi jarang atau kurang berjalan, bersepeda, naik-turun
tangga. Suatu penelitian kohort mengatakkan bahwa menonton telesi lebih dari 5
jam akan meningkatkan prevalensi dan angka kejadian obesitas pada anak usia 6-
12 tahun (18%), seta menurunkan angka keberhasilan sembuh dari terapi obesitas
sebanyak 33%.1 Dikatakan bahwa anak yang menonton TV > 4 jam sehari
mempunyai risiko delapan kali lipat untuk mempunyai berat badan lebih
dibandingkan anak yyang menonton TV 2 jam sehari15 atau terjadi peningkatan
prevalensi obesitas sebanyak 2% untuk tiap jam per hari pada anak usia 12-17
tahun.8
Menurut Hadi et al (2004) remaja obesitas mempunyai waktu untuk
menonton TV lebih lama dibandingkan remaja non-obes (3,14+1,56 jam/hari VS
2,62 + 1,67 jam/hari). Remaja obes dalam kesehariannya mmpunyai waktu untuk
aktivitas ringan biasa seperti baca buku, duduk-duduk , dan bermain play station
lebih panjang (12,20+1,94 jam/hari VS 11,36+1,76) dibandingkan dengan remaja
non-obes.
Sebaliknya remaja obes mempunyai waktu untuk melakukan aktivitas
sedang atau bera seperti naik sepeda, sepak bola, dan basket lebih pendek
dibandingkan rremaja non-obes. Dalam analisis lebih lanjut ditemukan bahwa
remaja dengan asupan energi normal (<2.200 kkal/hari) tetapi menonton TV >3
jam/hari mempuyai risiko obesitas 2,7 kali lebih tinggi dibandingkan dengan
remaja yang asupan energi normal dan menonton TV <3 jam/hari. Remaja yang
asupan energinya tinggi (>2.200 kkal/hari) dan mempunyai waktu menonton TV
>3 jam/hari mempunyai risiko penderita obesitas 12,3 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan remaja yang asupan energi <2.200 kkal/hari dan waktu
menonton TV <3 jam/hari. Studi ini menunjukan adanya onteraksi yang bersifat
adiktif , multiplikatif antara gaya hidup sedentarian dan diet tinggi kalori.
d. Tingkat pendidikan ibu
Menurut Kromeyer-Hausechild, frekuesi overweight menurun pada ibu dengan
tingkat pendidikan yang tinggi dibandingkan ibu dengam tingkat pendidikan
menengah.8
e. Gangguan hormonal
Walaupun sangat jarang, adakalanya obesitas disebabkan oleh endocrine
disorder, seperti pada Sindroma Cushing, hiperaktivitas adrenokortikal
hipogonadisme, dan penyakit hormon lain.1
2.4 Patogenesis Obesitas
Obesitas terjadi karena etidakseimbangan antara asupan energi dengan
keluaran energi (energy expenditures) sehingga terjadi kelebihan energi yag akan
disimpan di dalam jaringan adiposa.1 Asupan dan pengeluaran energi tubuh diatur
dan disimpan di dalam jaringan adiposa.1 Asupn dan pengeluaran energi tubuh
diatur oleh mekanisme saraf dan hormona. Karena itu, berat badan dipertahankan
secara baik dalam cakupan yang sempita dalam waktu lama. Diperkirakan,
keseimbangan yang baik ini dipertahankan oleh internal set point atau lipostat,
yang dapat mendeteksi jumlah energi yang terimpan (jaringan adiposa) dan
semestinya meregulasi asupan makan supaya seimbang dengan energi yang
dibutuhkan.2
Skema yang dapat dipakai untuk emmaami mekanisme neurohormonal
yang meregulasi keseimbangan energi dan selanjutnya mempengaruhi berat badan
terlihat pada gambar1. Secara garis besar, ada 3 komponen pada sistem tersebut:
1. Ssistem aferen, menghasilkan sinyal humoral dari ajringan adiposa
(leptin), pankreas (insulin) dan perut (ghrelin)
2. Central processing unit, terutam terdapat pada hipotalamus, yang mana
terintegrasi dengan sinya aferen.
3. Sistem eeefktor, membawa perintah dari hypothalamic nuclei dalam
bentuk reaksi untuk makan dan pengeluaran energi.
(gambar)
Pada keadaan energi tersimpan berlebih dalam bentuk jaringan adiposan dan
individu tersebut makan, sinya adiposa aferen (insuli, lepthin, ghrelin) akan
dikirim ke uni proses sistem saraf pusat pada hipotalamus. Di sini sinyal adiposa
menghambat jalur anabolisme dan mengaktifkan jalur katabolisme. Lengan
efektor pada jalur sentral ini kemudian mengatur keseimbangan energi dengan
menghambat masukan makanan dan mempromosi pegeluaran energi. Hal ini akan
mereduksi energi yang tersimpan. Sebaliknya, jika energi tersimpan sedikit,
ketersediaan jalur katabolisme akan digantikan jalur anabolisme untuk
menghasilkan energi yang akan disimpan dalam bentuk jaringan adioposa,
sehingga tercipta keseimbangan antara keduanya.2
Pada sinya aferen, insulin dan leptin mengontrol siklus energi dalam
jangka waktu yang lama dengan mengaktifkn jaras katabolisme dan menghambat
jaras anabolisme, Sebaliknya ghrelin secara dominan menjadi mediator dalam
waktu yang singkat.2
Hormon gjrelin menstimulasi rasa lapar melalui aksinya di pusat makanan
di hipotalamus. Sintesis ghrelin terjadi dominan di sel-sel epitel di bagian fundus
lambung. Sebagian kecil dihasilkan di plasenta, ginjal, kelenjar pituitari, dan
hipotalamus. Sedangkan reseptor ghrelin terdapat di sel-sel pituitari yang
mensekresikan hormon pertumbuhan, hipotalamus jantung, dan jaringan adiposa.2
Konsentrasi ghrelin dalam darah paling rendah terjadi seteah makan dan
meningkat ketika puasa sampai waktu makan berikutnya. Gambar 2 berikut ini
menunjukan pola kadar plasma ghrelin pada satu hari.12
(gambar)
Data yang ada menyatakan bahwa leptin mempunyai peran yang lebih
penting daripada insulin dalam pengaturan homeostatis energi di sistem saraf
pusat.
Sel-sel adiposa berkomunikasi dengan pusat hypothalamic yang
mengontrol selera makan dan pengeluaran energi dengan cara sekresi leptin. Jika
terdapar energi cadangan yang berlimpah dalam bentuk jaringan adiposa,
dihasilkan leptin dalam jumlah besar yang melntasi sawar darah otak dan berikatn
dengan reseptor leptin. Ikatna ini mengasilkan efek yaitu menghambat jalur
anabolisme dan memicu jalur katabolisme melalui neuron yang berbeda. Hasil
akhir dari leptin adalah mengurangi asupan makanan dan mempromoskan
pengeluaran energi. Pada keadaan in, equilibrium atau energy balance tercapai.
Siklus ini akan terbalik jika jaringan adiposa habis dan jumlah leptin berada di
bawah ambang batas normal.
Cara erja leptin secara molekuler sangat kompleks dan belum dapat
diuraikan secara lengkap. Secara gari besar, leptin bekerja melalui salah satu
bagua najras neural yang terintegrasi yang disebut leptin-melanocortin circuit,
seperti diilustrasikan pada gambar 3. Pemahaman tentang sirkuit ini pentng
mengingat obesitas merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup setius
dan pengembangan obat antiobesitas tergantung sepenuhnya pada pemahaman
jaras ini.2
(gambar)
2.5 Risiko Komplikasi Obesitas
Dampak obesitas, meliputi faktor risiko kardovaskularm sleep apneu, gangguan
fungsi hati, masalah ortopedik yang berkaitan dengan obesitas, kelainan kulit serta
gangguan psikiatrik.1 Komplikasi yang mungkin terjadi pada penderita besitas
terangkum dalam tabel di bawah ini.
Tabel 2.2 Komplikasi medis yang berhubungan dengan obesitas.2
Sistem Komplikasi yang terjadi
Gastrointestinal Kolelitiasis, pankreatitis, hernia
abdomen, GERD.
Metabolik-Endokrin Metabolic syndrome, resistensi insulin,
toleransi glukosa terganggu, DM tipe II,
dyslipidemia, sindrom ovarium polikistik.
Kardiovaskuler Hipertensi, penyakit jantung koroner,
gagal jantung kongestif, aritmia, cor
pulmonale, stroke iskemik, thromboss
vena dalam, emboli paru.
Respirasi Abnormalitas fungsi paru, obstructive
sleep apnea, sindrom hipoventilasi
obesitas
Muskuloskeletal Ostearthtriti, gout arthtritis, low back pain
Ginekologi Menstruasi abnormal, infertilitas
Genitourinaria Urinary stess incontience
Ophtalmologi Katarak
Neurologi Hipertensi intrakrnial idiopatik
(pseudotumor cerebri)
Kanker Esophagus, colon, empedu, prostat,
payudara, uterus, cervix, ginjal
Perilaku dan kebiasaan makan yang baik merupakan cara terapeutik yang
dianjurkan untuk menghindari obesitas. Secara umum farmakoterapi untuk
obesitas dikelompokan menjadi tiga, yaitu penekan nafsu makan misalnya
sibutramin, penghambat absorbsi zat-zat gizi misalnya orlistat, dan kelompok lain
termasuk leptin, octreotide, dan metformin. Belum tuntasnya penelitian tentang
jangka panjang penggunaan farmakoterapi obesitas pada anak, menyebabkan
belum ada satupun farmakoterapi tersebut di atas yang diizinkan pemakaiannya
pada anak oleh U.S Food and Drug Administration sampai saat ini.1
2.6 Prevalensi Obesitas pada Anak
Obesitas pada anak merupakan salah satu masalah kesehatan publik yang
cukup serius pada abad 21. Masalah ini secara global terus-menerus
mempengaruhi banyak negara-negara dengan tingkat pendapata rendah dan
menengah, terutama pada daerah perotaan. Prevalensinya meningkat sangat cepat.
Pada tahun 2007 diperkitakan 22 juta anak di bawah usia 5 tahun menderita
overweight. Lebih dar 75% anak-anak yang overweight dan obes tinggal di
negara-egara yang tingkat pendapatannya rendah dan menengah.13
Prevalensi obesitas pada anak usia 6-17 tahun di Amerika Serikat dalam
tiga dekade terakhir meningkat dari 7,6-10,8% menjadi 13-14%. Prevalensi
obeitas pada anak usia 6-8 thaun di Ruia adalah 10% di Cina 3,4%, di Inggris 10-
17%, bergantung pada umur dan jenis kelamin. Prevalensi obesitas pada anak-
anak usia sekolah di Singapura meningkat dari 9-19%.1 Prevalensi obesitas pada
anak usia 5-12 tahun di Thailan meningkat dari 12,2% menjadi 15-16% hanya
dalam 2 tahun.14
Di Indonesia, prevalensi obesitas pada balita menurut SUSENAS
meningkat baik di desa maupun di perkotaan.1 Pada tahun 1992. Prevaensi
obesitas pada daerah perkotaan didapatkan 6,3% pada laku-laki dan 8% pada
perempuan. Di tahun 1995, prevalens obesitas di 27 propinsi adalah 4,6%.1
2.7 Tatalaksana Komprehensif
Tatalaksana komprehensif obesitas meliputi penanganan obesitas dan dampak
yang muncul. Prinsip penatalaksanaannya adalah mengurangi asupan energi dan
meningkatkan pengeluaran energi. Caranya denga pengaturan diet, peningkatan
aktifitas fisik, memodifikasi perilaku, dan yang terpenting adalah keterlibatan
keluarga dalam proses terapi.1
Untuk mengatur diet, yang perlu diperhhatikan adalah pemberian diet yang
seimbang sesuai dengan RDA, dengan cara mengintervensi diet anak. Salah satu
cara pengaturan diet untuk anak yaitu the traffic light fiet. Pada program ini
terdapat tiga golongan makanan yaitu, green food (makanan rendah kalori dan
lemak yang boleh dikonsumsi dengan bebas), yellow food (makana yang rendah
lemak namun dengan kalori sedang yang boleh dimakan namun terbatas), dan red
food (makanan mengandung lemak dan kalori kadar tinggi yang tidak boleh
dimakan sama sekali atau hanya seminggu sekali).1
Dalam pengaturan kalori yang perlu diperhatikan adalah:1
Kalori yang diberikan sesuai dengan kebutuhan normal.
Diet seimbang degan komposisi berat 50-60%, lemak 30% dan protein 15-
20%
Diet tinggi serat dapat membantu pengatura berat badan melalui jalur
intrinsik, hormonal dan kolonk.
Untuk pengaturan aktivitas fisik, cara yang dilakuan adalah latihan dan
meningkatkan aktivitas harian. Aktivitas fisik berpengaruh bermakna terhadap
penggunaan energi. Peningkatan aktifitas pada anak gemuk bisa menurunkan
nafsu makan dan meningkatkan laju metabolisme. Latihan aerobik teratur yang
dikombinasikan dengan pengurangan asupan enegi akan menghasilkan penurunan
berat badan yang lebih besar dibandingkan hanya dengan diet biasa. Latihan fisik
yang diberikan pada anak disesuaikan dengan tingkat perkembangan motorik,
kemampuan fiik, dan umurnya. Aktivitas sehari-hari dioptimalkan, misalnya
berjalan kaki atau bersepeda ke sekolah, menempati kamar tingkat agar naik-turun
tangga, mengurangi lama menonton televisi, atau bermain games komputer,
menganjurkan bermain di luar rumah.1
Untukk memodifikasi perilaku, tatalaksana diet dan aktivitas fisik
merupakan komponen yang efektif untuk pengobatan, serta menjadi perhatian
paling penting bagi ahli fisiologi untuk mendapatkan bagaimana memperoleh
perubahan makan dan aktivitas perilakunya. Beberapa cara perubahan perilaku
ersebut diantaranya:1
Pengawasan sendiri terhadap berat badan, masukan makanan, dan aktivitas
fisik, serta mencatat perkembangannya
Kontrol terhadap rangsangan stimulus
Mengubah perilaku makan
Penghargaan dan hukuman dari orangtua
Pengenddalian diri
Peran serta orangtua, anggota keluarga, teman dan guru telah terbukti
efektif dalam penurunan berat badan atau keberhasilan pengobatan. Peran tersebut
dapat berupa menyediakan nutrisi yang sesuai dengan petunjuk ahli gizi,
berpartisipasi mendukung program diet, atau memberikan pujian bila anaknya
berhasil menurunkan berat badannya.1
Bila pasien obesitas disertai penyakit penyerta tidak memberikan respon
pada terapi konvensional, maka dapat dilakukan terapi intensif. Terapi ini terdiri
dari diet berkalori sangat rendah, farmakoterapi dan terapi bedah.1
Terapi diet berkalori sangat rendah diindikasikan jika berat badan >140%
BB ideal. Proteein-sparing modified fast (PSMF) adalah formula diet berkalori
sangat rendah yang sering diterapkan. Diet ini membatasi asupan kalori hanya
600-800 kalori/hari. Secara umum diet ini hanya boleh diterapkan selama 12
minggu denga npengawasan dokter.1
Secara umum farmakoterapi untuk obesitas dikelompokan menjadi tiga
yatu penekan nafsu makan, misalnya sibutramin, penghambat absorbsi zat gizi,
misal orlistat dan kelompok lainnya termasuk leptin, ocretreoide, dna
metforrmin.1
Terapi bedah jika BB >200% BB ideal. Prinsipnya ada dua, yaitu: 1
Gastric-banding dan vertical banded gastroplasty utuk mengurangi asupan
makanan dan memperlambat pengosongan lambung.
Membuat gastric bypass dari lambung ke bagian akhir usus halus
2.8 Pencegahan
Pecegahan dilakukan dengan menggunakan dua strategi pedekatan, yaitu strategi
pendekata populasi untuk mempromosikann cara hidup sehat pada semua anak
dan remaja beserta orang tuanya, serta strategi pendekaran pada komplek yng
berisiko tinggi obestas. Anak-anak yang berisiko menjadi obesitas adalah seorang
anak yang salah satu atau kedua orang tuanya obesitas. Anak-anak yang berisko
obesitas adalah anak yang salah satu atau kedua orangtuanya obesitas dan anak
yang memiliki kelebihan berat badan semenjak masa kanak-kanak.1
Upaya yang dapat dilakukan antara lain mempromosikan pemberian ASI
eksklusif sampai usia enm bulan terutama pada bayi yang secara genetik rentan
untuk menjadi obesitas. Beberapa penelitian membuktikan bahwa pemberian ASI
jangka panjang serta menunda pemberian makanan pendamping ASI dapat
membantu menurunkan makanan pendamping ASI dapar membantu menurunkan
prevalensi obesitas.
2.9 Kerangka Konsep
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Konsep
Diet Tinggi GaramJantanBetina
Na+
Cairan Ektrasel
TestosteronEstrogen
3.2 Hipotesis
Berdasarkan pembahasan pada tinjauan pustaka, maka hipotesis pada
penelitian ini adalah:
1. Diet tinggi garam dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah pada Tikus
Wistar.
2. Kenaikan tekanan darah akibat diet tinggi garam lebih tinggi pada Tikus
Wistar jantan daripada Tikus Wistar betina.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Jenis Penilitian
Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental dengan rancangan post
test only control group design untuk mengetahui tekanan darah setelah
pemberian diet tinggi garam serta membandingkannya pada jenis kelamin
yang berbeda. Subjek penelitian adalah tikus jenis Wistar (Rattus norvegicus)
yang terdiri dari tikus jantan dan tikus betina dalam jumlah yang sama banyak.
Gambar 4.1: Rencana Kerja Perlakuan
Keterangan:
S : SampelP : Kelompok dengan perlakuan diet tinggi garamK : Kelompok tanpa perlakuan (kontrol)♂ : Sampel tikus jantan♀ : Sampel tikus betina
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Farmasi Universitas
Andalas. Penelitian dilakukan selama dua bulan atau 8 minggu dengan rincian
satu minggu melakukan persiapan, empat minggu untuk pelaksanaan perlakuan,
satu minggu untuk mengumpulkan data, dua minggu untuk mengolah data dan
membuat laporan.
♂ 6 ekor tikus wistar jantan
P♀ 6 ekor tikus wistar betina
S
K♂ 6 ekor tikus wistar jantan
♀ 6 ekor tikus wistar betina
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi penelitian adalah Tikus Wistar (Rattus norvegicus). Jumlah
tikus yang dipakai sebagai sampel adalah sesuai dengan kriteria World
Health Organization (WHO), minimal lima ekor tikus pada setiap
kelompok perlakuan (Fatriyanti, 2009).
Penelitian ini akan menggunakan sampel sebanyak 24 ekor
Tikus Wistar, yang terdiri dari 12 ekor jantan dan 12 ekor betina.
Sampel dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Kelompok P sebagai
kelompok perlakuan dan Kelompok K sebagai kelompok kontrol.
Masing-masing kelompok terdiri dari 6 ekor tikus jantan dan 6
ekor tikus betina. Kelompok P diberi perlakuan diet tinggi garam,
sementara Kelompok K sebagai kelompok kontrol tidak diberi
perlakuan. Pemilihan sampel serta pengelompokannya dilakukan
secara acak.
4.3.1 Kriteria Inklusi
Tikus Wistar sehat jantan dan betina
Tikus Wistar dewasa berumur 2-3 bulan pada saat pemilihan sampel
Tikus Wistar dengan berat 120-180 gram
4.3.2 Kriteria Eksklusi
Tikus Wistar sakit
Tikus Wistar mati
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi Variabel
1. Variabel bebas: diet tinggi garam
2. Variabel tergantung: tekanan darah tikus
3. Variabel terkontrol: umur, berat badan, dan galur tikus, serta makanan
tikus
4.4.2 Definisi Operasional
1. Hewan coba adalah Tikus Wistar jantan dan betina, sehat dengan
umur berkisar antara 2-3 bulan.
2. Diet tinggi garam adalah pemberian 58 mg garam per hari melalui air
minum dengan teknik sonde pada setiap ekor Tikus Wistar.
3. Teknik sonde merupakan teknik pemberian air minum kepada hewan
coba melalui rongga mulut dengan menggunakan spuit dan jarum
suntik tumpul.
4. Tekanan darah yang diukur pada Tikus Wistar adalah tekanan darah
arteri rata-rata (mean arterial pressure).
4.5 Bahan Penelitian
1. 24 (dua puluh empat) ekor Tikus Wistar yang terdiri dari 12 ekor tikus
jantan dan 12 ekor tikus betina dengan umur dan berat badan yang
sama
2. 5 (lima) g garam dapur (NaCl)
3. Air
4. Uretan 20%
5. Heparin-Saline 25 IU/ml
6. Alkohol 70%
4.6 Instrumen Penelitian
1. Kandang tikus
2. Timbangan digital
3. Manometer air raksa
4. Kanula
5. 1 (satu) set alat bedah
6. Alat suntik dan sonde
7. Papan bedah
4.7 Prosedur Penelitian serta Pengambilan dan Pengumpulan Data
4.7.1 Pemberian Diet Tinggi Garam pada Tikus Wistar
Setiap kelompok sampel diberikan makanan yang sama. Hanya saja
kedalam air minum Kelompok P ditambahkan garam dapur sebanyak 58 mg yang
dibagi menjadi beberapa kali pemberian per hari. Pemberian minum ini dilakukan
dengan teknik sonde untuk memastikan agar tidak ada air minum yang terbuang
atau tersisa. Perlakuan ini diberikan selama 4 (empat) minggu.
Setelah empat minggu perlakuan, semua hewan coba diukur tekanan darah
arteri rata-ratanya dengan menggunakan manometer air raksa di laboratorium
pada hari yang sama. Hasil pengukuran kemudian dicatat dan dibandingkan,
antara tekanan darah tikus yang diberi diet tinggi garam dan yang tidak, serta
antara tekanan darah tikus jantan dan betina.
4.7.2 Pengukuran Tekanan Darah Tikus Wistar
Pengukuran tekanan darah Tikus Wistar dilakukan dengan menggunakan
alat manometer air raksa di Laboratorium Farmasi Universitas Andalas dibantu
oleh asisten laboratorium di laboratorium terkait. Pengukuran tekanan darah tikus
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Tikus dianastesi dengan larutan uretan 20% dalam NaCl fisiologis dengan
dosis 1,25 gram/kg bb secara intraperitonial.
2. Keempat kaki tikus diikat dengan benang kasur dan ditambatkan pada
paku di bagian pinggir papan. Bulu di sekitar leher tikus digunting
kemudian dibersihkan dengan kapas yang telah dibasahi oleh alkohol 70%.
3. Pada kulit dibagian tengah leher dibuat irisan vertikal ± 3 cm dengan
menggunakan gunting bedah sampai tampak trakea. Otot dan lemak yang
menyelubungi trakea dan arteri karotis disisihkan dengan menggunakan
gunting tumpul, selama pembedahan diusahakan tidak ada pendarahan.
4. Di bagian bawah trakea terdapat 2 arteri karotis sebelah menyebelah
dengan trakea. Salah satu arteri karotis diisolasi dengan diangkat dan
diregangkan dengan menggunakan pinset tumpul. Arteri karotis
dipisahkan dari saraf yang menepel padanya. Pada bagian bebasnya
dimasukan kanula yang telah dihubungkan dengan manometer air raksa.
Arteri karotis ke arah distal diikat dengan menggunakan benang.
Kemudian diikat dengan benang agar posisinya tidak berubah, lalu
regangan dilepaskan.
5. Untuk mencegah darah membeku, kanula terlebih dahulu diisi dengan
larutan heparin-saline encer. Secara perlahan-lahan darah dari dalam arteri
karotis akan mendesak cairan heparin-saline di dalam kanula dan akhirnya
menekan air raksa di tabung sebelah kiri ke bawah dan mendorong air
raksa di tabung sebelah kanan atas. Perbedaan tinggi air raksa pada tabung
sebelah kiri dan kanan manometer air raksa menunjukan tekanan darah
arteri rata-rata.
4.8 Pengolahan dan Analisis Data
Semua data ditabulasikan menurut kelompoknya, kemudian dihitung rata-
rata (mean) dan simpangan baku (standard deviasi) untuk setiap kelompok.
Perbedaan rata-rata tekanan darah pada tikus jantan dan betina dianalisis dengan
menggunakan “t” test. Perbedaan dinyatakan bermakna bila p ≤ 0,5.
Semua nilai yang didapatkan dari hasil penelitian disajikan dalam bentuk
mean ± SD (standard deviasi).
DAFTAR PUSTAKA
Al-Solaiman Y, Jesri A, Zhao Y, Morrow JD, Egan BM, 2010. Low Sodium DASH Reduces Oxidative Stress and Improves Vascular Function in Salt-Sensitive Humans”. NIH Public Access. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2783838/. Diakses pada tanggal 13 Maret 2012.
Armenia A, Munavvar AS, Abdullah NA, Helmi A, Johns ES. 2004. The Contribution of Adrenoceptor Subtype(S) in the Renal Vasculature of Diabetic Spontaneously Hypertensive Rats. Br J of Pharmacology.
Bayorh MA, Socci RR, Eatman D, Wang M, Thierry-Palmer M, 2001. The Role of Gender in Salt-Induced Hypertension. Clin and Exper. Hypertension, Volume 23. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11339690. Diakses pada tanggal 13 November 2011.
Bernstein MA, Willett WC, 2010. Trends in 24-h Urinary Sodium Excretion in the Unite State, 1957-2003: A Systematic Review. Am J Clin Nutr 2010. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20826631. Diakses pada tanggal 1 Maret 2012.
CDC (Centers for Disease Control and Prevention), 2011. High Blood Pressure. http://www.cdc.gov/bloodpressure/. Diakses pada tanggal 26 Maret 2012.
Chamarthi B, Williams JS, Williams GH, 2011. A Mechanism For Salt Sensitive Hypertension: Abnormal Dietary Sodium Mediated Vascular Response to Angiotensin II. NIH Public Access. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20216091. Diakses pada tanggal 19 Maret 2012.
Cunha PJ, Marks WJ (ed), 2010. High Blood Pressure (Hypertension). http://www.medicinenet.com/high_blood_pressure/article.htm. Diakses pada tanggal 25 Januari 2012.
Davidyan A, 2007. Physiology of the Circulatory System. http://www.severehypertension.net/hbp/more/physiology-of-the circulatory-system/. Diakses pada tanggal 29 Februari 2012.
Dinas Kesehatan Kota Padang, 2011. Laporan Tahunan Tahun 2010 Edisi 2011. Padang, hal 110-111.
Dinas Kesehatan Kota Padang, 2010. Laporan Tahunan Tahun 2009 Edisi 2010. Padang, hal 137.
Dorland WAN, 2002. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 29. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Dreisbach AW, Batuman V (ed), 2011. Epidemiology of Hypertension. http://emedicine.medscape.com/article/1928048-overview#showall. Diakses pada tanggal 26 Maret 2012.
Drenjancevic-Peric I, Jelakovic B, Lombard JH, Kunert MP, Kibel A, 2011. Higt-Salt Diet and Hypertention: Focus on the Renin-Angiotensin System. Kidney Blood Press Ress 2011. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3214830/?tool=pubmed. Diakses pada tanggal 20 Maret 2012.
Dubey RK, Oparil S, Imthum B, Jackson EK, 2002. Review: Sex Hormones and Hypertension. Cardiovascular Research Volume 53. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11861040. Diakses pada tanggal 11 November 2011.
Esteva-Font C, et al., 2010. Are Sodium Transporters in Unirary Exosomes Reliable Marker of Tubular Sodium Reabsorption in Hypertensive Patients?. Nephron Physial 2010. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20068364. Diakses pada tanggal 1 Maret 2012.
Fatriyanti AY, 2009. Efek Aloksan terhadap Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar. Laporan Akhir Penelitian Karya Tulis Ilmiah, Universitas Diponegoro, Indonesia. http://eprints.undip.ac.id/7527/1/adhita_yuriska_f.pdf. Diakses pada tanggal 26 Februari 2012.
Gu D, et al., 2010. Genetic Variants in the Renin-Angiotensin-Aldosterone-System and Salt Sensitivity of Blood Pressure. NIH Public Access. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2884148/. Diakses pada tanggal 11 November 2011.
Gu D, et al., 2007. Heritability of Blood Pressure Response to Dietary Sodium and Potassium Intake in Chinese Population. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17485599. NIH Public Access. Diakses pada tanggal 19 Maret 2012.
Guyton AC, Hall JE, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
He J, et al., 2009. Gender Difference in Blood Pressure Responces to Dietary Sodium Intervention in the GenSalt Study. NIH Public Access. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19145767. Diakses pada tanggal 7 November 2011.
Herman RB, 2011. Buku Ajar Fisiologi Jantung. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Kawanishi H, et al., 2007. Involvement of The Endothelin ETB Receptor in Gender Differences in Deoxycorticosterone Acetate-Salt-Induced Hypertention. Clinical and Experimental Pharmacology and Psicology 2007. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17324138. Diakses pada tanggal 13 November 2011.
Kimball, John W., 2011. The Kidneys. http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/K/Kidney.html. Diakses pada tanggal 26 Februari 2012.
Klabuende ER, 2007. Factors Regulating Arterial Blood Pressure. http://www.cvphysiology.com/Blood%20Pressure/BP022.htm. Diakses pada tanggal 29 Februari 2012.
Klabuende ER, 2007. Mean Arterial Pressure. http://www.cvphysiology.com/Blood%20Pressure/BP006.htm. Diakses pada tanggal 19 Maret 2012.
Lago MR, et al., 2009. Interindividual Variation in Serum Sodium and Longitudinal Blood Pessure Tracking in the Framingham Heart Study. NIH Public Access. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18854750. Diakses pada tanggal 19 Maret 2012.
Liu B, Ely D, 2011. Research Artic le: Testosterone Increases: Sodium Reabsorption, Blood Pressure, and Renal Pathology in Female Spontaneously Hypertensive Rats on High Sodium Diet. Hindawi Publishing Corporation: Advances in Pharmacological Sciences Volume 2011. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21603136. Diakses pada tanggal 13 November 2011.
Morris JM, Na ES, Johnson AK, 2009. Salt Craving: the Psychobiology of Pathogenic Sodium Intake. NIH Public Access. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18514747. Diakses pada tanggal 1 Maret 2012.
Nafrialdi, 2007. Farmakologi dan Terapi: Antihipertensi. Jakarta: Balai Penerbit UI.
Pechere-Bertschi A, Burnier M, 2004. Female Sex Hormones, Salt, and Blood Pressure Regulation. The American Journal of Hypertension, Ltd 2004. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15485766. Diakses pada tanggal 13 November 2011.
Pollock D, 2006. Kidney Function and Regulation III. http://sehrgut.co.uk/codex/notes/?int22. Diakses pada tanggal 5 Maret 2012.
Rahajeng E, Tuminah S, 2009. Prevalence of Hypertension and Its Determinants in Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia Volume: 59 Nomor: 12. http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/view/700. Diakses pada tanggal 26 Maret 2012.
Reinhardt HW, Seeliger E, 2000. Toward an Integratif Concept of Control of Total Body Sodium. News Physiol. Sci. Volume 15. http://physiologyonline.physiology.org/content/15/6/319.full. Diakses pada tanggal 20 Maret 2012.
Riaz K, et al. 2011. Hypertension. http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview. Diakses pada tanggal 19 Maret 2012.
Rogers J, 1999. Cardiovascular Physiology. http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u10/u1002_01.htm. Diakses pada tanggal 29 Februari 2012.
Sherwood L, 2001. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Strazzullo P, D’Elia L, Kandala N, Kappuccio FP, 2010. Salt Intake, Stroke, and Cardiovascular Disaese: meta-analysis of Prosfective Studies. BMJ.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19934192. Diakses pada tanggal 11 November 2011.
Sulastri D, 2011. Peran Genetik dan Konsumsi Lemak pada Hipertensi (Sebuah Prespektif Baru dalam Patogenesis Penyakit). Orasi Ilmiah. Dibacakan pada Acara Dies Natalis ke-56 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Taylor TA, Gariepy CE, Pollock DM, Pollock JS, 2003. Gender Diffrences in ET and NOS System in ETB Receptor-Deficient Rats: Effect of a High Salt Diet. Hypertension Journal of American Heart Association. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12623975. Diakses pada tanggal 13 November 2011.
U. S Departement of Health and Human Services, 2003. Reference Card From Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7). http://www.nhlbi.nih.gov/guidelines/hypertension/phycard.pdf. Diakses pada tanggal 12 Maret 2011.
World Health Organization, 2011. Review and Updating of Current WHO Recomendations on Salt/Sodium and Potassium Consumption. http://www.who.int/nutrition/events/NUGAG_dietandhealth_subgroup_call_public_comment_scope_of_Na_K.pdf. Diakses pada tanggal 12 Desember 2011.
World Health Organization, 1996. Sodium in Drinking-water: Background document for development of WHO Guidelines for Drinking-water Quality. http://www.who.int/water_sanitation_health/dwq/chemicals/sodium.pdf. Diakses pada tanggal 23 April 2012.