proposal nurul juni09

50
I. Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km sehingga potensi sumberdaya pesisir dan lautannya sangat besar. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumber daya alam yang dapat diperbaharui (perikanan, pertanian, peternakan, kehutanan dan lainnya) maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, gas, mineral dan bahan tambang lainnya ). (Bengen 2001) Keanekaragaman (biodiversity) sumberdaya perikanan di Indonesia mengalami penurunan baik dalam jumlah maupun jenisnya, termasuk sumberdaya perikanan. Sedangkan kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar produksi ikan dunia juga sudah mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir, penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% (FAO, 2004). Penurunan jumlah maupun jenis sumberdaya perikanan diiringi dengan peningkatan kebutuhan, tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat dunia yang didorong oleh kesadaran masyarakat yang memandang ikan sebagai salah satu produk makanan yang sehat dan aman, sehingga perlu dikembangkan perikanan budidaya. 1

Upload: api-19966426

Post on 14-Jun-2015

1.441 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: proposal nurul juni09

I. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki 17.508 pulau

dengan panjang garis pantai 81.000 km sehingga potensi sumberdaya pesisir dan

lautannya sangat besar. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia dikenal sebagai negara

yang memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam, baik sumber daya

alam yang dapat diperbaharui (perikanan, pertanian, peternakan, kehutanan dan

lainnya) maupun sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi, gas,

mineral dan bahan tambang lainnya ). (Bengen 2001)

Keanekaragaman (biodiversity) sumberdaya perikanan di Indonesia mengalami

penurunan baik dalam jumlah maupun jenisnya, termasuk sumberdaya perikanan.

Sedangkan kawasan Asia-Pasifik yang saat ini menjadi penyumbang terbesar

produksi ikan dunia juga sudah mulai overfishing. Dalam 25 tahun terakhir,

penurunan stok ikan di kawasan Asia-Pasifik sekitar 6-33% (FAO, 2004). Penurunan

jumlah maupun jenis sumberdaya perikanan diiringi dengan peningkatan kebutuhan,

tingkat konsumsi ikan oleh masyarakat dunia yang didorong oleh kesadaran

masyarakat yang memandang ikan sebagai salah satu produk makanan yang sehat dan

aman, sehingga perlu dikembangkan perikanan budidaya.

Dalam pengembangan perikanan budidaya, salah satunya adalah usaha budidaya

udang di tambak. Meskipun hasil budidaya udang di Indonesia pada dekade tahun

1980 sampai dengan awal tahun 1990 mampu bersaing pada peringkat lima besar

sebagai sumber devisa di luar migas, namun lambat laun terjadi penurunan hasil

produksi udang nasional dan kualitas produk seafood yang ditandai dengan adanya

pengembalian produk seafood dari pembeli, terutama pembeli dari luar negeri.

Sebagai contoh kasus adalah: (1) Uni Eropa sejak bulan Maret 2006 menerapkan

Rapid Alert System (RAS). Hal ini dikarenakan mereka tidak percaya terhadap

kualitas produk perikanan dari negara Indonesia. Peraturan bernama Commission

Decision 236 itu diterapkan menyusul ditemukannya residu antibiotik dan logam

berat merkuri pada sejumlah produk perikanan (termasuk udang) yang dikirim dari

Indonesia. Pada tahun 2007, UE menemukan 12 kasus, yang salah satunya adalah

kandungan merkuri pada produk udang windu beku. (2) Pada bulan Agustus 2007,

1

Page 2: proposal nurul juni09

China mengeluarkan kebijakan larangan sementara selama enam bulan terhadap

impor produk perikanan dari Indonesia. Padahal selama kurun waktu lima tahun

sebelumnya, ekspor produk perikanan ke China meningkat rata-rata 52%. Pada tahun

2006, volume ekspor produk seafood Indonesia ke China sebesar 109.337,7 ton. (3)

Jepang begitu ketat menerapkan standar mutu terhadap produk udang impor.

Sepanjang tahun 2007, sekitar 50 kontainer produk perikanan asal Indonesia ditolak,

terutama udang, karena terdeteksi mengandung residu antibiotik dan terdeteksi

adanya bakteri Vibrio parahaemolyticus pada udang (DKP 2008).

Munculnya berbagai penyakit udang, salah satunya adalah vibriosis, yaitu

penyakit udang yang disebabkan karena serangan bakteri Vibrio spp. yang

mengindikasikan terjadinya penurunan kualitas lingkungan budidaya. Penyakit

karena bakteri Vibrio spp. telah terdeteksi di Indonesia sejak tahun 2006, karena

menginfeksi udang jenis L. vannamae and P. monodon di Sulawesi Selatan. Jenis

bakteri ini akan berkembang melimpah jika didukung oleh faktor pendukung utama

seperti bahan organik dalam air melimpah (Agung 2007).

Pemberian pakan (kering) dengan jumlah 2 kali lipat produk biomassa (basah),

jika dihitung konversinya maka hanya 10 – 12% yang dapat dipanen menjadi

biomassa, sedangkan 90% lainnya terbuang ke lingkungannya. Bahan organik yang

mengandung protein ini akan diuraikan menjadi polipeptida, asam amino dan amonia

sebagai hasil akhir yang menumpuk di dasar tambak (Nurdjana 1997). Bahan organik

yang ada dalam air limbah terdiri atas 3 bentuk yaitu: terlarut (dissolved), koloid dan

partikulat, yang mempunyai sifat mudah didegradasi secara biologi (biodegradable)

dan sulit atau tidak dapat didegradasi secara biologis (Suryadiputra 1995).

Bakteri pathogen opportunistik terhadap udang adalah Vibrio spp. yang sering

menimbulkan kematian udang baik di panti pembenihan maupun tambak. Bakteri ini

akan berkembang dan menjadi pathogen jika terjadi penurunan mutu air akibat

penumpukan bahan organik yang berasal dari sisa pakan dan kotoran udang (Madeali

et al., 1998). Bakteri Vibrio Harveyi akan bersifat pathogen bagi udang apabila

kepadatannya dalam air mencapai 8.35x104 CFU/ml (Roza et al. 1997). Pada

konsentrasi bakteri Vibrio spp. 104 CFU/ml dapat menyebabkan kematian udang

dalam waktu 72 jam (Rokhmani 1994).

2

Page 3: proposal nurul juni09

Namun sejauh ini belum dipelajari secara lebih mendalam mengenai hubungan

antara peningkatan populasi Vibrio spp. dengan peningkatan bahan organik sebagai

dampak dari kegiatan budidaya. Sebagai salah satu upaya untuk mencegah

berkembangnya bakteri Vibrio spp. lebih lanjut, diperlukan Analisis Keterkaitan

Kandungan Bahan Organik di Wilayah Pesisir terhadap Kelimpahan Vibrio spp. pada

Kawasan Tambak Udang.

3

Page 4: proposal nurul juni09

1.2. Kerangka Pemikiran

Secara ringkas kerangka pemikiran dari “Analisis Keterkaitan Kandungan Bahan

Organik di Wilayah Pesisir terhadap Kelimpahan Vibrio spp. pada Kawasan Tambak

Udang” disajikan pada table di bawah ini:

Gambar 1. Kerangka pemikiran dalam penelitian

4

Analisis Keterkaitan Kandungan Bahan Organik di Wilayah Pesisir terhadap Kelimpahan Vibrio spp. pada Kawasan Tambak Udang

Skenario pengelolaan tambak udang yang sehat

Penurunan kualitas produk seafood Input

Proses

Output

Pemanfaatan kawasan pesisir

Penurunan kualitas lingkungan di kawasan pesisir

Munculnya bakteri Vibrio spp. sebagai penyebab penyakit vibriosis pada udang hasil budidaya di tambak

Salah satu pemanfaatan kawasan pesisir adalah pengembangan budidaya udang

Peningkatan kandungan bahan organik di wilayah pesisir

Page 5: proposal nurul juni09

1.3. Perumusan Masalah

Gambar 2. Permasalahan umum di kawasan tambak udang

5

Peningkatan kandungan bahan organik dan bakteri Vibrio spp. di kawasan tambak udang

Kurangnya aplikasi teknologi pengelolaan limbah di kawasan tambak udang

Penurunan pengawasan mutu lingkungan di kawasan tambak udang

Penurunan kualitas air di kawasan tambak udang

Kurangnya teknik pengawasan yang efektif dan efisien

Lemahnya peraturan dan pelaksanaannya

Kurangnya perhatian stakehol-ders terkait

Meningkatnya kandungan limbah di wilayah pesisir

Sebab

Problem inti

Akibat

Penurunan devisa negara

Penurunan nilai ekspor udang nasional

Penurunan kepercayaan konsumen akan kualitas produk seafood nasional

Penurunan keuntungan produsen

Menurunnya kesadaran stakeholders dalam mencegah meningkatnya kandungan limbah di pesisir/laut

Kurangnya dana untuk aplikasi teknologi modern

Meningkatnya aktivitas di kawasan pesisir

Penurunan kualitas produk seafood

Page 6: proposal nurul juni09

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah:

- Mengetahui perubahan konsentrasi bahan organik (yang terkandung dalam

bahan tersuspensi total, TSS) diwilayah pesisir akibat adanya limbah buangan dari

kegiatan tambak udang.

- Mengetahui kelimpahan total bakteri Vibrio spp. di kawasan tambak

udang.

- Mengetahui hubungan keberadaan Vibrio harveyi dan Vibrio

parahaemolyticus dengan perubahan kandungan bahan organik dalam TSS.

1.5. Hipotesis

Dari uraian latar belakang, permasalahan dan tujuan penelitian tersebut di atas,

maka hipotesis yang ingin dibuktikan adalah:

”Jika kandungan bahan organik (dalam TSS) di wilayah pesisir meningkat, maka

adanya kecenderungan peningkatan kelimpahan bakteri Vibrio spp. pada kawasan

tambak udang.”

6

Page 7: proposal nurul juni09

II. Tinjauan Pustaka

2.1. Dinamika Bahan Organik dalam Perairan

Kandungan bahan organik di perairan meningkat karena disebabkan oleh

meningkatnya jumlah limbah dari rumah tangga, pertanian, industri maupun dari

sumber lainnya. Bahan organik tersebut akan mengalami fluktuasi karena pengaruh

perubahan musim, yaitu pada musim kemarau kandungan bahan organik akan

meningkat sehingga akan meningkatkan pula kandungan unsur hara perairan dan

sebaliknya pada musim hujan akan terjadi penurunan kandungan bahan organik

karena adanya proses pengenceran (Wardoyo 1995).

Padatan tersuspensi total (total suspended solid/TSS) adalah bahan-bahan

tersuspensi yang tertahan pada kertas saring ukuran pori-pori 0,45 μm. TSS terdiri

atas lumpur dan pasir halus serta jasad-jasad renik, yang terutama disebabkan oleh

kikisan tanah atau erosi tanah yang terbawa ke badan air (Effendi 2003).

Padatan tersuspensi dapat mempengaruhi kekeruhan dan kecerahan air sehingga

mempengaruhi fotosintesis dalam perairan. Padatan tersuspensi dalam air pada

umumnya terdiri dari plankton, kotoran (manusia dan hewan), lumpur, sisa tanaman

dan hewan serta limbah industri. Untuk menjamin berhasilnya usaha perikanan, maka

harus dijaga agar konsentrasi kandungan padatan tersuspensi tidak lebih dari 1000

mg/l. Kandungan padatan tersuspensi maksimal adalah 400 mg/l. (Hamsiah, 2000)

TSS adalah materi padat seperti pasir, lumpur, tanah maupun logam berat yang

tersuspensi di perairan. TSS merupakan salah satu parameter biofisik perairan yang

dinamikanya mencerminkan dinamika perubahan yang terjadi di daratan dan perairan.

Tingginya TSS di badan air seringkali meningkatkan jumlah bakteri, nutrient,

pestisida dan bahan-bahan metal di perairan. Polutan akan terlepas dari sediment di

dasar kolam. Analisis spasial TSS di perairan diharapkan dapat berguna untuk

mengetahui keterkaitan antara ekologi daratan dan lautan. Perubahan yang terjadi

pada suatu ekosistem pesisir cepat atau lambat akan mempengaruhi ekosistem

lainnya. TSS dapat dianggap sebagai indikator awal dalam mengevaluasi kondisi

lingkungan pesisir setempat berkaitan dengan keberlanjutan kegiatan yang sudah dan

7

Page 8: proposal nurul juni09

akan dikembangkan. TSS merupakan agregat dari karbonat, bikarbonat, klorida,

sulfat, fosfat, nitrat dan garam-garam lainnya dari Ca, Mg, Na, K dan senyawa

lainnya. Tingginya kadar TSS dapat mengakibatkan menurunnya tingkat penetrasi

sinar matahari ke dalam air, sehingga fotosintesa berkurang. Menurunnya aktivitas

fotosintesa oleh phytoplankton dan mengakibatkan kadar oksigen terlarut menurun.

Sebagian tanaman kemudian akan mati dan mengalami terdekomposisi oleh bakteri,

sehingga akan semakin menurunkan kadar oksigen. Hal ini akan mengakibatkan

udang akan mengalami kematian. Tingginya TSS juga bisa mengakibatkan

meningkatnya suhu perairan, karena partikelnya menyerap panas dari sinar matahari,

sehingga juga akan menambah menurunnya kadar oksigen di perairan dan akan

mengakibatkan berkembangnya berbagai biota yang tidak diinginkan di perairan

tersebut (Murphy 2007).

Penurunan kecerahan perairan karena TSS dapat berdampak pada menurunnya

kemampuan udang dalam melihat dan menangkap makanan. Sedimen yang terlarut

juga dapat menurunkan tingkat pertumbuhan dan daya tahan udang terhadap

penyakit. Tingginya TSS di badan air seringkali meningkatkan jumlah bakteri,

nutrien, pestisida dan bahan-bahan metal di perairan. Polutan akan dilepas dari

sediment dari aliran air di dasar kolam.

Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan TSS adalah:

- Kecepatan arus air

Arus air merupakan faktor yang penting dalam konsentrasi TSS. Kecepatan arus

air dapat membawa partikel dan sediment yang berukuran besar. Hujan yang

lebat dapat mengangkat pasir, lumpur, tanah liat dan partikel organik lainnya dari

dasar perairan dan terbawa ke permukaan air. Perubahan aliran juga menimbulkan

dampak bagi TSS, jika kecepatan atau arah arus berubah, maka partikel dari

dasar (sediment) akan terlarut kembali.

- Erosi tanah

Erosi tanah disebabkan oleh adanya gangguan pada permukaan tanah, konstruksi

jalan, gedung, kebakaran, penebangan hutan dan penambangan. Partikel tanah

yang tererosi dapat terbawa oleh gerakan air ke permukaan. Hal ini akan

meningkatkan TSS di badan air.

8

Page 9: proposal nurul juni09

- Banjir

Selama peristiwa banjir, partikel tanah dari jalan, industri, kawasan pemukiman

dapat tercuci oleh banjir. Dikarenakan perubahan kondisi tersebut maka

mengakibatkan sedimentasi meningkat dan kondisi alam berubah. Sedimen

biasanya terbawa oleh banjir secara langsung dari sungai.

- Limbah rumah tangga

Limbah rumah tangga dapat menambah padatan terlarut dalam air. Hal ini dapat

dicegah salah satunya dengan cara mengatur jarak septic tank ke perairan

(minimal 10 meter).

- Sisa ekskresi udang

Sisa ekskresi udang bila tidak rutin dibersihkan akan mengendap menjadi

sedimen.

- Sisa pakan udang

Sisa pakan udang dapat menjadi sedimen sehingga merupakan bagian dari TSS

(Murphy 2007).

2.2. Mikrobiologi Pengganggu Budidaya Udang

Laut dapat mengandung sejumlah bakteri yang sebagian besar bersifat patogen

pada manusia. Sumber dari patogen (bahan pencemar bersifat biologis) ini

disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari limbah industri, rumah tangga,

pertanian/perikanan/peternakan dan lainnya. Jenis-jenis bakteri yang termasuk bakteri

pencemar antara lain Vibrio spp., Salmonella dan Escherichia coli. Pencemaran yang

disebabkan oleh bakteri dapat menyebabkan menurunnya kualitas perairan.

Kontaminan di laut yang prinsipal pada negara-negara berkembang adalah limbah

yang tidak diolah (Ginting 1995).

Menurut Bergey’s manual of determinative Bacteriology (Buchanan et al. 1974),

bakteri Vibrio sp. diklasifikasikan sebagai berikut:

Dunia : Procaryotae

Filum : Bacteria

Kelas : Schizomycetes

9

Page 10: proposal nurul juni09

Family : Vibrionaceae

Genus : Vibrio

Jenis : Vibrio sp.

Bakteri Vibrio spp. merupakan bakteri yang dominan pada lingkungan air payau

dan estuaria. Vibrio spp. menyerang lebih dari 40 spesies ikan di 16 negara. Secara

umum bakteri Vibrio spp. menyebabkan penyakit pada organisme perairan laut dan

payau. Sejumlah spesies Vibrio spp. yang dikenal bersifat patogen adalah

V. alginolyticus, V. anguillarum, V. carchariae, V. cholerae, V. harveyi, V. ordalii dan

V. vulnificus.

Vibrio spp. mempunyai sifat gram negatif, sel tunggal berbentuk batang pendek

yang bengkok (koma) atau lurus, berukuran panjang (1,4 – 5,0) µm dan lebar (0,3 –

1,3) µm, motil dan mempunyai flagella tunggal. Sifat biokimia Vibrio spp. adalah

oksidase positif, fermentatif terhadap glukosa dan sensisif terhadap uji O/129

(Gultom 2003).  Bakteri Vibrio spp. adalah jenis bakteri yang dapat hidup pada

salinitas yang relatif tinggi. Sebagian besar bakteri berpendar bersifat halofil yang

tumbuh optimal pada air laut bersalinitas 20 – 40 ‰. Bakteri Vibrio sp. yang

berpendar termasuk bakteri anaerobic fakultatif, yaitu dapat hidup baik dengan

atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio spp. tumbuh pada pH 4 - 9  dan tumbuh

optimal pada pH 6,5 - 8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Herawati, 1996).

Vibrio spp. merupakan patogen oportunistik yang dalam keadaan normal ada

dalam lingkungan pemeliharaan, kemudian berkembang dari sifat yang saprofitik

menjadi patogenik jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Bakteri Vibrio spp.

dapat hidup di bagian tubuh organisme lain baik di luar tubuh dengan jalan

menempel, maupun pada organ tubuh bagian dalam seperti hati, usus dan sebagainya.

Beberapa jenis Vibrio spp. bersifat patogen karena mengeluarkan toksin ganas dan

seringkali mengakibatkan kematian pada manusia dan ikan (Austin 1988).

Di alam, bakteri Vibrio spp. mempunyai keragaman dan heterogenitas yang

tinggi. Keragaman bakteri Vibrio spp. diantaranya adalah keragaman serotype, sifat

biokimia dan patogenisitas (Harrell, et al. 1976). Bakteri Vibrio spp. yang

ditemukan menyerang udang hasil budidaya antara lain: Vibrio harveyi, Vibrio

parahaemolyticus , V. alginolyticus, V. fishery, V. ligei, V. splendidus, V. albensis, V.

10

Page 11: proposal nurul juni09

vulvinicus, V. cambellii, V. anguillarum, V. costicola dan V. mimicus. Bakteri Vibrio

spp. juga sebagai penyebab penyakit kunang-kunang yang merupakan penyakit

berbahaya, yaitu V. harveyi, V. parahaemolyticus, V. alginolyticus, V. fishery, V.

logei, V. splendidus, V. Albensis. (Hastein et al. 1977).

Bakteri Vibrio spp. yang terdapat dalam udang hasil budidaya dapat

menyebabkan penyakit vibriosis (Penaeid bacterial septicemia atau Penaeid

vibriosis, Luminescent vibriosis, Red-leg disease, sien dun dan di Thailand disebut

black splint, Sea gull syndrome atau Sindrome gaviota dalam negara Amerika Latin),

yang menyebabkan kematian berkisar 90% dari hasil panen. Jenis penyakit yang

sering menyerang udang dan menimbulkan banyak kerugian adalah penyakit

vibriosis. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri dari jenis Vibrio spp. yang dapat

menyebabkan kematian massal dalam waktu kurang dari satu minggu. Dampak yang

paling membahayakan adalah ketika bakteri ini menyerang udang ukuran post-larvae

dan juvenile. Vibrio harveyi adalah bakteri vibrio yang memiliki luminescent dan

seringkali bersifat “pathogenic outbreaks” pada tambak udang. Bakteri Vibrio spp.

akan menyebabkan stress pada udang jika berjumlah 103 CFU/ml, sedangkan pada

kisaran 104 CFU/ml akan menyebabkan kematian massal pada udang di dalam

tambak.(Madeali et al. 1998).

Jumlah total bakteri vibrio spp. dinyatakan sebagai TVC (total viable count).

Dilihat kenampakan pada media TCBSA (Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose

Agar) maka bisa terlihat koloni hijau, tidak berpendar dan berpendar. Kelompok

Vibrio harveyi berpendar dicirikan dengan membentuk koloni hijau pada media

TCBSA yang diinkubasi pada suhu 28oC, oksidase positif, menghasilkan protease

pada media LA+skim, menghasilkan kitinase pada media kitin, mereduksi nitrat,

namun berpendar (luminous). Vibrio harveyi yang tidak berpendar, dicirikan dengan

membentuk koloni hijau pada media TCBSA yang diinkubasi pada suhu 28oC,

oksidase positif, menghasilkan protease pada media LA+skim, menghasilkan kitinase

pada media kitin, mereduksi nitrat. (Baumann et al. 1994).

Pada media TCBSA, penampakan koloni berukuran lebih kecil dengan pusat

koloni berwarna kebiruan adalah jenis bakteri Vibrio parahaemolyticus. Vibrio ini

merupakan bakteri yang mengakibatkan acute gastroenteritis (pada manusia) dan

11

Page 12: proposal nurul juni09

bersifat pathogen bagi organisme yang hidup di lingkungan pesisir (Bacteriol 1998).

Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri yang bisa beradaptasi di permukaan perairan,

biasanya berupa system gen yang besar, dapat berpindah, membentuk koloni dan

tidak berpendar. Vibrio ini mempunyai ciri-ciri: berwarna hijau kebiruan, diameter

3-5 mm, pusat koloni berwarna hijau tua. Karakteristik fisika-biokimia adalah

pewarnaan gram negatif dan mempunyai sifat fermentatif, katalase, oksidase,

glukosa, laktosa, galaktosa dan manitol positif. Sedangkan sellobiosa, fruktosa,

methyl red dan H2S bersifat negatif. Tingginya konsentrasi bakteri ini dapat

mengakibatkan sel pecah dan kematian. Vibriosis dapat berbahaya menyerang

budidaya udang L. vannamei., jika mencapai jumlah 105 CFU/ml dan 104 CFU/ml,

karena menyerang hepatopancreas dari hemolymph. (Thompson 2004)

Vibriosis adalah penyakit pada ikan atau hewan akuatik yang disebabkan oleh

serangan bakteri Vibrio spp. Penyakit vibriosis adalah penyakit bakterial yang paling

utama dalam budidaya udang, yang disebabkan oleh bakteri Vibrio spp. khususnya

bakteri Vibrio harveyi (Rukyani 1999).

Penyakit vibriosis yang disebabkan oleh bakteri berpendar bersifat sangat akut

dan ganas. Munculnya penyakit vibriosis karena perubahan keseimbangan antara

lingkungan, inang dan bakteri. Penyakit udang di tambak terjadi karena terjadi

penurunan kualitas air yang diikuti dengan menurunnya kondisi kesehatan udang

akibat stress. Dalam keadaan demikian bakteri vibrio sp. dapat berkembang dan

menyebabkan penyakit pada udang. Penyakit vibriosis pada udang dewasa di tambak

mengakibatkan terjadinya bercak coklat putih pada cangkangnya (Taslihan 1991).

Bakteri Vibrio spp. sudah bersifat pathogen bagi udang jika kandungan bahan

organik total berada antara 20-59 mg/l dalam perairan, bahkan pada kandungan bahan

organik total 50 – 59 mg/l dapat menyebabkan terjadinya kematian massal. Sebaiknya

kandungan bahan organik total dalam media air tambak udang adalah lebih kecil dari

26 ppm. (Atmomarsono 1992).

Peningkatan bahan organik dalam tambak dapat menyebabkan meningkatnya

populasi bakteri Vibrio spp., karena bahan organik tersebut akan digunakan bakteri

sebagai sumber makanan yaitu untuk pertumbuhan dan perkembangan bakteri.

Bakteri Vibrio sp. pada kepadatan 104 CFU/ml sudah bersifat pathogen pada udang,

12

Page 13: proposal nurul juni09

apalagi ditambah dengan kualitas air yang buruk. Vibriosis dapat bersifat sebagai

infeksi primer atau sekunder. Dalam suatu kondisi dimana kadar bahan organik pada

air sangat tinggi, akan banyak terdapat bakteri Vibrio spp. (Ginting 1995).

2.3. Pengelolaan Tambak Udang yang Sehat

Pengelolaan tambak udang yang sehat dilakukan untuk mengurangi resiko udang

terkena penyakit dan untuk meningkatkan pengamanan produk makanan (food

safety). Pelaksanaan dari pengelolaan kesehatan udang diantaranya adalah:

- Melakukan kajian terhadap faktor-faktor yang berpengaruh terhadap penyebab

menurunnya kesehatan udang, yaitu diantaranya mencegah peningkatan bahan

organik dan mencegah munculnya bakteri Vibrio spp. ditambak.

- Melaksanakan strategi pengelolaan dalam mencegah penyebaran penyakit udang

selama proses budidaya.

- Melakukan praktek pengelolaan dengan cara menurunkan stress pada udang dan

lingkungan.

- Menerapkan biosecurity dan meminimumkan penyakit pada stok induk, system

hatchery dan pembesaran udang.

- Meminimumkan penggunaan obat dan antibiotik.

- Meyakinkan pengamanan dan kualitas produk udang dengan mengurangi resiko

penggunaan bahan-bahan kimia yang membahayakan kesehatan manusia.

- Peningkatan produk yang aman untuk dikonsumsi manusia sesuai tuntutan pasar

internasional (Poernomo 1979).

Beberapa faktor penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya udang adalah

meliputi: kualitas air, induk, benur, pakan dan pencegahan serangan penyakit.

Produk udang yang higienis tidak lepas dari upaya pengamanan produk melalui

sistem kontrol yang berbentuk sertifikat mutu pada:

- Pembesaran udang di tambak. Pentingnya pengawasan pengamanan produk, yaitu

tindakan sertifikasi yang disebut sebagai kontrol pada level primer. Sertifikat

meliputi Good Agricultural Practice (GAP), Code of Conduct (CoC) dan sertifikasi

pakan udang.

13

Page 14: proposal nurul juni09

- Pemrosesan udang primer. Kontrol pada produksi udang yang akan diekspor. Pada

pengawasan tahap awal adalah saat pemilihan dan pengepakan. Sertifikatnya

berdasarkan Good Hygienic Practice yang tercantum di Codex Guideline adalah

untuk meyakinkan kualitas dan keamanan produk.

- Pemrosesan udang sekunder. Sertifikasi fokus pada kualitas dan pengamanan

produk sesuai permintaan importir.

Kebijakan Dijen Perikanan Budidaya dan Dinas Perikanan di daerah telah

melakukan penyuluhan-penyuluhan terhadap petambak-petambak yang rentan dalam

masalah ini, karena kebanyakan petambak di Indonesia hanya mengelola tambak-

tambak dengan pengetahuan seadanya. Peran tenaga-tenaga ahli dalam melakukan

penyuluhan-penyuluhan di berbagai tempat harus ditingkatkan untuk menunjang

keberhasilan masyarakat petambak dalam meningkatkan hasil produksinya secara

berkelanjutan (DKP 2008).

14

Page 15: proposal nurul juni09

III. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Tambak Pandu Karawang terletak di Desa Pusaka Jaya Utara, Kecamatan Cilebar,

Kabupaten Karawang, semula bernama Proyek Pandu Tambak Inti Rakyat (PP-TIR) yang

dibangun berdasarkan KEPPRES No. 18 tahun 1984, dengan tujuan mewujudkan kawasan

percontohan usaha budidaya udang yang maju, ramah lingkungan dan berkelanjutan, guna

memandu pengembangan usaha budidaya udang nasional.

Pada tanggal 15 Juni 2002 oleh Sekretariat Negara RI, PP-TIR diserah-terimakan kepada

Departemen Kelautan dan Perikanan sebagai departemen teknis. Sejak tahun 2003

Departemen Kelautan dan Perikanan Cq. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya mulai

melakukan pendekatan dan identifikasi terhadap beberapa masalah di daerah. Pada tahun

2004-2005 dilakukan upaya pemulihan dengan program pemberdayaan masyarakat, namun

upaya ini masih belum maksimal. Tahun 2006 sejalan dengan pelaksanaan Program

Revitalisasi Perikanan Nasional, Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya mengarahkan Eks.

PP-TIR menjadi etalase dan inkubator bisnis pengembangan usaha perikanan budidaya.

Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perikanan Budidaya No. 11/DPB.0/I/2006

tentang penunjukan Kepala Unit Tambak Pandu Karawang (TPK) ditegaskan tugas utama

Tambak Pandu Karawang harus mampu menjadi trend center bagi kemajuan kegiatan usaha

perikanan budidaya.

Dalam kurun waktu kurang lebih 2 tahun, Satuan Kerja Pengembangan Kawasan Tambak

Pandu Karawang telah memperlihatkan perkembangan yang sangat pesat dimulai dari

pelaksanaan konsolidasi sosial, integrasi asset dan pengembangan berbagai model usaha

budidaya.

Luas lahan sekitar 450 Ha, telah diintegrasikan sebanyak 300 Ha atau 66,3% ke dalam

pengelolaan pemerintah melalui Satuan Kerja Tambak Pandu Karawang, sementara 33,4%

atau 151 Ha lainnya masih dalam proses pemulihan di bawah pengelolaan plasma TIR. Dari

luas tersebut secara bertahap akan dikembangkan menjadi beberapa zona pengembangan

budidaya air tawar, payau dan laut.

15

Page 16: proposal nurul juni09

Kegiatan pengembangan budidaya dilakukan sejak tahun 2007, yaitu budidaya udang

vannamae intensif, vannamae semi intensif, vannamae tradisional plus, windu organik,

bandeng gelondongan dan bandeng air tawar. Secara umum pelaksanaan budidaya di tambak

Pandu Karawang berjalan dengan baik, hal ini dibuktikan dengan produksi yang dihasilkan

dan setoran PNBP yang melebihi target yang telah ditetapkan. Kegiatan budidaya Udang

Vannamae secara intensif dengan padat tebar 100 ekor/m2 tahun anggaran 2007 dilakukan di

blok D-III dan D-IV, sebanyak 12 petak yang terdiri dari 7 petak budidaya dan 5 petak

tandon. Tingkat keberhasilan diperoleh cukup memuaskan dengan produktivitas rata-rata

4.230,3 kg/0,5 Ha, umur panen 110 hari, ukuran panen 18,8 gram ukuran udang 55 ekor/kg

dengan FCR 1,6 : 1.

Gambar 3. Denah Lokasi Penelitian (Sumber: Balai Layanan Usaha Produksi Perikanan Budidaya 2007)

16

Page 17: proposal nurul juni09

Gambar 4. Kawasan Lokasi Penelitian (Sumber: BAKOSURTANAL 2001)

17

Page 18: proposal nurul juni09

IV. Bahan dan Metode

4.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini rencananya akan dilaksanakan di Kawasan Tambak Pandu

Karawang. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Desember 2009.

4.2 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini bersifat deskriptif korelasional yaitu berusaha menggambarkan atau

mendeskripsikan secara sistematis mengenai fakta-fakta serta hubungan antar

fenomena yang diteliti. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat memperoleh

gambaran yang komprehensif dan mendalam mengenai obyek yang diteliti (Nazir

1983).

Pengumpulan data menggunakan metode survey dan pengamatan yang bertujuan

untuk mengumpulkan data dari sejumlah data primer melalui pengamatan langsung di

laboratorium. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka dan data penunjang dari

instansi terkait.

4.3 Pengambilan Sampel

Sampel diambil (masing-masing 3 kali untuk ulangan, dengan menggunakan

botol sampel steril dan cool box) dari lokasi:

Laut lepas

Kawasan pesisir

Muara sungai

Saluran pemasukan air (inlet)

Kolam treatment

Kolam tandon air

Petak tambak budidaya intensif (di daerah pinggiran tambak (1-2 meter dari

tanggul), daerah 5 -10 mater dari pinggir tanggul dan daerah central drainage)

Saluran pengeluaran air (outlet)

18

Page 19: proposal nurul juni09

4.4 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan

4.4.1 TSS

Gambar 5. Prosedur pengukuran TSS (Sumber: APHA 2005)

Perhitungan:

TSS (mg/l) = (A-B) X 1.000.000

Vol. Sampel (ml)

A = bobot padatan + GF/C + aluminium foil cup

B = bobot GF/C + aluminium foil cup

19

GF/C + aluminium foil cup dikeringkan dengan oven pada temperature 105oC selama 1-2 jam

Mendinginkan dalam desikator sampai temperature ruangan

Menimbang GF/C + aluminium foil

100 ml sample disaring melalui GF/C dengan alat section pump

Mengeringkan dalam oven 105oC selama 1 jam, memasukkan dalam desikator sampai temperature ruangan

Menimbang sampai bobot tetap

Page 20: proposal nurul juni09

4.4.2 Chlorophyl dan Phaeopytin

Prinsip analisa

Phytoplankton dalam kolam (seawater) disaring dengan filter. Endapannya yang

berisi phytoplankton diekstraksi dengan kloroform : metanol = 2 : 1 dan konsentrasi

klorofil ditentukan dengan spektrophotometer.

Gambar 6. Prosedur pengukuran Klorofil dan Phaeopytin (Sumber: APHA 2005)

20

Menyaring sample air(100 – 200 ml) tergantung pada kerapatan plankton dengan suction pump

Setelah sample disaring, melipat GF/C kertas dan masukkan dalam tabung reaksi tertutup

Mixer (1 – 2 menit) dan saring ekstraktan

Menambah chloroform : methanol = 2:1 (10 – 15 ml) ke dalam tabung dan tutup rapat

Membiarkan pada ruangan gelap selama semalam pada temperature ruangan

Mixer (1 – 2 menit)

Membaca absorbansi pada panjang gelombang 665 nm dan 750 nm dengan menggunakan kloroform : methanol sebagai blanko

Setelah pembacaan absorbansi, ditambah 1 tetes HCl 0,5 N

Mixer (1-2 menit)

Mengukur absorbansi pada panjang gelombang 665 nm dan 750 nm

Page 21: proposal nurul juni09

4.4.3 Klorofil a

Prinsip analisa:

Phytoplankton dari sample disaring dengan kertas saring GF/C menggunakan

section pump. Phytoplankton yang terdapat di kertas saring diekstraksi dengan aseton

90%. Konsentrasi klorofil a diukur dengan menggunakan spektrofotometer pada

panjang gelombang 750, 664, 647, 630 nm.

Gambar 7. Prosedur pengukuran Chlorophyl a (Sumber: APHA 2005)

21

Menentukan ratio (A665 – A750) : (A665 – A750) dan merubah menjadi persen dari klorofil dan pheophytin

Menghitung nilai total dari klorofil a + pheophytin a (mg/l)

Mengalikan persen klorofil a dengan nilai total (diperoleh konsentrasi klorofil a, mg/l)

Menghitung konsentrasi pheophytin a yaitu konsentrasi total (klorofil a + pheopytin a) – konsentrasi klorofil a

Menyaring sample air 50 ml – 100 ml tergantung pada kerapatan plankton dengan section pump

Setelah disaring, melipat GF/C kertas dan masukkan dalam tabung rekasi tertutup

Menambahkan Aceton 90% 10 ml ke dalam tabung dan tutup rapat

Menggerus kertas saring dengan glass rod atau batang pengaduk sampai hancur.

Menutup dan membiarkan semalam dalam ruang gelap pada temperatur ruangan

Page 22: proposal nurul juni09

Catatan:

E 664 artinya absorbansi 664 nm – absorbansi 750 nm

Jumlah klorofil di atas dengan satuan mg/ml ekstrak

Jumlah klorofil a dalam sampel = mg Klorofil / ml = Ca x v

V

Ca = Chlorophyl a

v = Volume aseton akhir

V = Volume sampel

Tabel 1. Pengukuran parameter kualitas air lainnya

No Parameter Satuan Alat /Bahan Pengamatan

Fisika

1. Suhu oC Thermometer Insitu

2. Salinitas ppt Refraktometer Insitu

Kimia

3. pH - pH- meter Insitu

4. Oksigen terlarut/DO mg/l Titrimetrik, modifikasi Winkler

Insitu

Sumber: APHA (2005)

22

Memisahkan kertas saring dari aseton dengan sentrifuge atau kapas

Mengukur absorbansi pada panjang gelombang 750 nm (absorbansi sampel di 750 harus < 0,050, jika > 0,050 ulangi sentrifuge untuk pencegahan turbidity

Melanjutkan cek absorbansi pada panjang gelombang 664, 647 dan 630 nm pipet aseton sisa dari tabung reaksi (V = aseton)

Page 23: proposal nurul juni09

4.5 Pengamatan Bakteri Vibrio spp.

Penelitian ini dilakukan dengan metoda survey. Identifikasi bakteri dilakukan

berdasarkan morfologi koloni, sifat gram, motilitas dan sel bakteri serta pengujian

sifat biokimia menurut Bergey’s Manual of determinative Bacteriology. Pengamatan

morfologi koloni dilakukan pada isolat yang telah murni dan terpisah. Koloni bakteri

yang dikultur pada media TCBSA pada suhu kamar selama 24 jam, diamati bentuk

koloni bakteri serta bentuk tepi pertumbuhan bakteri (Anonim, 1994) dengan

menggunakan mikroskop Binokuler NIKON pada perbesaran 10X.

Bakteri diinokulasi pada media TCBSA secara aseptik dengan biakan bakteri

secara goresan menggunakan jarum ose, kemudian diinkubasikan pada suhu kamar

27oC selama 24 jam. Morfologi bakteri diamati dengan teknik pengecatan gram dan

pengecatan flagella, selanjutnya diamati bentuk morfologi bakteri apakah batang

(bacillus), bulat (coccus) atau bentuk spiral dengan menggunakan mikroskop

Binokuler NICON pada perbesaran 10X dan 40X.

4.5.1 Penyiapan Media

Gambar 8. Media TCBSA 0,85% (Bacteriological Analytical Manual, 1998)

23

Menimbang 68 gr TCBS pure dan 8,5 gr NaCl ke dalam erlenmeyer steril

Melarutkan ke dalam 1000 ml aquades yang sudah disterilkan, aduk hingga homogen dengan menggunakan MS

Mengukur pH media dengan pH meter, dan tepatkan 8,6 + 0,2

Memanaskan dan didihkan media + 1 menit (untuk 1000 ml larutan aquades + media) dengan hotplate, hindarkan panas berlebihan (media diangkap menjelang mendidih) yang akan meninggalkan kerak di dasar erlenmeyer dan media menjadi rusak

Memasukkan media ke dalam waterbath bersuhu 45oC

Menuang media ke petri steril sebanyak 10 -15 ml dan biarkan membeku

Page 24: proposal nurul juni09

4.5.2 Menumbuhkan Bakteri

Gambar 8. Tahapan Menumbuhkan bakteri Vibrio sp. (Bacteriological Analytical Manual, 1998)4.5.3 Isolasi dan Identifikasi Bakteri secara Biokimia

Pengujian sifat biokimia untuk mengetahui sifat bakteri dalam melakukan

perombakan terhadap bahan-bahan tertentu dan untuk melihat respon bakteri terhadap

substratnya. Untuk pengujian biokimia bakteri, digunakan kultur bakteri yang

berumur tidak lebih dari 48 jam. Semua media yang dipergunakan mengandung 1,5%

NaCl. Jenis pengujian biokimia bakteri yang dilakukan menurut Bacteriological

Analytical Manual (1998), meliputi:

- Uji oxidase, dengan prossedur kerja: kertas filter dibasahi dengan reagan oksidase

(1% tetramethyl-p-phenylenediamine dihydro-chlorideaquose), kemudian bakteri

yang diambil dengan lidi steril dioleskan pada kertas filter tersebut. Apabila pada

kertas filter timbul warna biru pada daerah yang diolesi biakan bakteri

menunjukkan bahwa bakteri tersebut dapat mengkonsumsi oksigen, berarti hasil

test positif (+).

- Uji katalase, dengan prosedur kerja: bakteri dioleskan pada obyek gelas (slide)

dengan menggunakan ose (loop), kemudian diteteskan larutan Hydrogen Peroxide

30% pada daerah yang telah diolesi bakteri. Apabila setelah tetesan Hydrogen

Peroxide timbul gelembung gas menunjukkan terjadi pelepasan oksigen (+).

- Uji Hugh-Leifson (O/F), dengan prosedur kerja: dipersiapkan medium Hugh-

Leifson (O/F) dengan komposisi (Pepton 2 gr, NaCl 5 gr, Bromothymol Blue 2 ml

dalam larutan stock 15%, agar 3 gr dilarutkan dalam aquades 1 liter), kemudian

dipersiapkan larutan glukose (10%) yang disterilkan dengan filter sterilization.

Setelah semua bahan dilarutkan, ditambahkan 10 cc larutan glukose 10%

sehingga konsentrasi akhir glukose menjadi 1%. Selanjutnya medium dituangkan

ke dalam tabung reaksi setinggi 4 cm, kemudian diinokulasikan secara tusukan

pada dua tabung reaksi untuk setiap jenis bakteri dan dua tabung lainnya untuk

kontrol. Ditambahkan minyak paraffin steril pada satu tabung reaksi yang

24

Page 25: proposal nurul juni09

diinokulasi dan satu tabung kontrol dengan kedalaman 1 cm dan diinkubasikan

selama 24 jam. Hasil uji fermentatif (F) apabila kedua tabung, baik yang terbuka

(tanpa minyak paraffin) maupun tertutup (dengan minyak paraffin) berwarna

kuning. Oksidatif, apabila tabung terbuka berwarna kuning dan tabung tertutup

berwarna hijau atau biru. Alkaline (Alk), apabila tabung terbuka bagian atas

berwarna biru dan tabung tertutup berwarna hijau. Tanpa reaksi (NR), apabila

kedua tabung berwarna hijau dan perkembangan lambat. Tidak tumbuh (NG)

apabila tidak terdapat pertumbuhan.

- Uji sulfida, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri diinokulasikan secara tusukan

pada medium tegak yang mengandung Sulfide Indol Motility (SIM) atau Triple

Sugar Iron Agar (TSIA) dengan komposisi (Pepton 20 gr, NaCl 5 gr, Lactose 10

gr, Sucrose 10 gr, Glucose 1 gr, Ferrous Ammonium Sulphate 0,2 gr, Sodium

Thio Sulphate 0,2 gr, Phenol Red 0,025 gr dan agar 13 gr), bahan kemudian

dilarutkan menjadi 1 liter dengan penambahan aquades, kemudian secara goresan

pada medium miring, diinkubasikan selama 24 jam pada suhu 27oC. Hasil uji

positif jika terlihat warna kehitaman sepanjang goresan pada medium.

- Uji indole, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri diinokulasi dengan cara

tusukan pada medium SIM atau dicelupkan menggunakan ose ke dalam larutan

broth, diinkubasikan selama 1-2 hari pada suhu 27oC, kemudian ditambahkan

reagan Kovacs (P-Dymethyle Aminobenzaldehyde 5 gr, Amyl Alkohol 75 gr,

HCl pekat 25 ml) yang berwarna kuning cerah sampai coklat cerah sebanyak 0,4

ml. Hasil uji setelah 20 menit menunjukkan reaksi positif (+) jika terbentuk warna

merah muda sampai tua pada lapisan reagan.

- Uji reduksi nitrat, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri diinokulasikan pada

medium Nitrat Broth (Nitrat Broth 8 gr dan KNO3 1 gr yang dilarutkan dalam

aquades menjadi 1 liter) dengan menggunakan ose, diinkubasikan selama 24 jam

pada suhu 27oC, kemudian ditambahkan 5 tetes Sulphanilic Acid dan 5 tetes α-

Naphtylamine. Dipersiapkan Reagan A dengan komposisi ( 0,8% Sulfanilic Acid

dalam 5 N Acetic Acid, 0,6 % α-naphtylamine dalam 5 N Acetic Acid, serbuk

zink). Hasil uji terjadi reaksi positif (+) jika terbentuk warna merah setelah 1-2

menit penambahan reagen A. Apabila tidak terbentuk warna merah, kemudian

25

Page 26: proposal nurul juni09

ditambahkan sedikit serbuk zink, terbentuknya warna merah menunjukkan bahwa

reaksi negatif (nitrat tidak tereduksi).

- Uji citrate, dengan prosedur kerja: suspensi bakteri di inokulasikan secara goresan

dengan menggunakan jarum steril pada medium Simmon’s Citrate Agar

(Ammonium Dihydrogen Phosphate 1 gr, Dipottasium phosphate 1 gr, NaCl 5 gr,

Sodium Citrate 2 gr, Magnesium Sulfat 2 gr, Agar 15 gr, Bromothymol Blue

0,007 gr), bahan kemudian dilarutkan menjadi 1 ltr dengan penambahan aquades,

pH akhir adalah 6,9 kemudian diinkubasikan selama 1-4 hari. Hasil uji positif (+)

jika terbentuk warna biru dan negatif (-) jika terbentuk warna kuning.

- Uji penggunaan gula, dengan prosedur kerja: dipersiapkan medium TSIA.

Suspensi bakteri diinokulasikan secara tusukan pada medium tegak (SIM) dan

goresan pada medium miring (TSIA), kemudian diinkubasikan selama 18-24 jam

pada suhu 27oC. Hasil uji K/A apabila hanya glukose yang terfermentasi, A/A

apabila glukose dan laktose atau sukrose terfermentasi, A/K apabila laktose atau

sukrose terfermentasi, K/K apabila gula tidak terfermentasi, H2S apabila terbentuk

wana kehitaman pada bekas goresan, terbentuk gas apabila terjadi retakan pada

medium. Cara pembacaan K=basa (merah), A=asam (kuning) dibaca sebagai

medium tegak/kuning.

- Uji lipase, dengan prosedur kerja: dipersiapkan medium (pepton 1 gr, NaCl 1 gr,

CaCl2 0,01 gr dan agar 2 gr), kemudian dilarutkan menjadi 100 ml aquades.

Suspensi dipanaskan sambil diaduk sampai mendidih, disterilkan dengan

autoclave pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah suhu medium menjadi 50oC

dilarutkan tween 40 (ester asam palmitat) atau tween 60 (ester asam stearat) atau

tween 80 (ester asam oleat) sebanyak 1 ml. Selanjutnya kultur bakeri

diinokulasikan secara spot inokulating, diinkubasi selama 24 – 48 jam sampai

terlihat penumbuhan yang nyata. Hasil uji positif (+) jika terbentuk daerah yang

kusam (seperti awan) di sekitar pertumbuhan bakteri.

- Uji sensitivitas 0/129 disk, untuk identifikasi jenis bakteri Vibrio spp. dengan

prosedur: dipersiapkan Vibriostatic Agent yang mengandung senyawa (2,4

Diamino – 6,7 Diisopropyl pteridine (0/129) yang dimasukkan ke dalam 0/129

Sensitivity Disc, kemudian dengan menggunakan table identifikasi dapat

26

Page 27: proposal nurul juni09

ditentukan jenis bakteri yang diisolasi apakah termasuk jenis Vibrio spp.

(sensitive) atau bakteri lainnya (resisten).

- Uji swarming, untuk menguji apakah pertumbuhan bakteri memiliki sifat

pertumbuhan melebar (swarming) pada permukaan media padat seperti NA.

- Uji pertumbuhan bakteri dengan media selektif Vibrio (TCBSA), maka dapat

dilihat kenampakan koloni besar-kuning maka jenis bakteri V. alginolyticus,

kenampakan koloni datar dengan diameter 2-3 mm dan berwarna kuning adalah

jenis bakteri V. cholerae, kenampakan koloni berukuran lebih kecil dengan pusat

berwarna hijau kebiruan, diameter 3- 5 mm, pusat koloni berwarna hijau tua

adalah V. Parahaemolyticus, kenampakan koloni hijau berpendar adalah V.

harveyi

V. Analisis Data

5.1 Analisis Deskriptif

Analisa deskriptif dilakukan untuk menggambarkan kondisi perairan secara

umum, kandungan bahan organik (TSS) dan kelimpahan bakteri Vibrio spp. di

perairan kawasan tambak udang.

5.2 Persentase Fase Tingkat Perubahan

Perubahan konsentrasi bahan organik, parameter fisika kimia dan jumlah Vibrio

spp. untuk mengetahui persentase perubahan yang terjadi terhadap beberapa

parameter – parameter pada awal pengamatan dan akhir pengamatan.

Rumus persentase perubahan yang diacu dari Apriadi (2008) adalah sebagai berikut:

% perubahan = a-b/a X 100%

Keterangan:

a = nilai awal parameter, b= nilai akhir pengamatan

5.3 Analisis PCA (Principal Component Analysis)

27

Page 28: proposal nurul juni09

Untuk melihat hubungan faktor-faktor yang berpengaruh dalam perbedaan

kelimpahan bakteri Vibrio spp. dengan kandungan bahan organik di kawasan tambak

udang deilakukan dengan analisis komponen utama (Principal Component

Analysis/PCA). Analisa komponen utama (PCA merupakan metode statistic

deskriptif yang bertujuan untuk menampilkan data dalam bentuk grafik dan informasi

maksimum yang terdapat dalam suatu matriks data. Matriks data yang dimaksud

terdiri dari variable sebagai kolom dan hasil observasi sebagai baris.

Analisis ini digunakan untuk mereduksi dimensi dari segugus data peubah ganda

yang besar. Hal ini seringkali dilakukan dengan cara mereduksi gugus peubah

tersebut menjadi gugus peubah yang lebih kecil atau gugus peubah baru yang lebih

sedikit. Peubah-peubah baru tersebut merupakan fungsi dari peubah asal atau peubah

asal itu sendiri yang memiliki proporsi informasi yang dignifikan mengenai gugus

data tersebut. Pereduksian dimensi ini sangat diperlukan pada saat melakukan

eksplorasi data menggunakan plot-plot untuk memberikan informasi secara visual.

Penggunaan komponen utama yang merupakan fungsi linear tertentu dari peubah asal

sering disarankan untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah.

(FMIPA-IPB 2003)

Pada prinsipnya PCA menggunakan jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan

antara individual/baris dan variable/kolom yang berkoresponden) pada data, yaitu:

p

D2(l,l’) = Σ (Xij – Xi’j)2

J=i

Dimana I dan I’ adalah baris dan j adalah indeks kolom. Semakin kecil jarak

Euclidean antara variabel, maka makin mirip karakteristiknya. Demikian pula

sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antara variabel, maka semakin berbeda

karakteristiknya/kedekatannya. Pengolahan data melalui analisis komponen utama

menggunakan program komputer STAT-ITCF. Tahap pengolahan data dengan

analisis ini yaitu:

1) Input data, berupa data matriks XsxN

28

Page 29: proposal nurul juni09

2) Standarisasi data, dengan mentransformasikan matriks XsxN menjadi matriks

AsxN, dimana:

Aij = Xij - Xi

Si

3) Menghitung korelasi antara matriks AsxN, RsxN – AsxN. A’sxN

4) Menghitung ragam dari matriks RsxS, [R - א] = 0

5) Menentukan koordinat dari matriks AsxN berdasarkan א (Bengen, 2000).

5.4 Cluster Analysis

Menurut Romesburg (1990), Cluster analysis adalah merupakan metode

matematika untuk menganalisa data yang jumlahnya ratusan dan dapat digunakan

untuk mendapatkan kesamaan suatu obyek. Obyek yang sama akan dikelompokkan

secara matematika sehingga menjadi 1 kelompok.

Tujuan dari analysis ini adalah untuk mendapatkan kelompok-kelompok obyek

yang sama maupun yang tidak sama, sehingga bisa diklasifikasikan. Jika kita

memiliki segugus pengamatan (obyek) dan kita ingin membuat kelompok-kelompok

(sehingga menjadi lebih sedikit kelompok) dari pengamatan-pengamatan yang mirip

sehingga pada sebiah kelompok, obyek yang ada lebih mirip satu sama lain,

dibandingkan dengan antar obyek di kelompok yang lain.

Hal yang penting dalam cluster anaysis adalah bagaimana mengkuantifikasi

ukuran kemiripan antar obyek. Dengan memiliki sebuah ukuran kuantitatif, maka

untuk mengetahui bahwa dua obyek tertentu lebih mirip dibandingkan dengan obyek

lain akan menghilangkan kebingungan dan mempermudah proses formal dalam

penggerombolan. Ukuran yang dimiliki cukup satu indeks saja, indeks kemiripan atau

indeks ketidakmiripan, dan dengan menggunakan transformasi satu-ke-satu maka

indeks kemiripan bisa dikonversi menjadi indeks ketidakmiripan, demikian pula

sebaliknya.

Dalam analysis ini menggunakan dialog, BRS dan SDC secara komputerisasi.

Tahapan dalam analysis ini adalah:

29

Page 30: proposal nurul juni09

- Mengumpulkan data matrik untuk kolomnya yaitu obyek yang akan

dikelompokkan, sedangkan pada baris adalah atribut yang menggambarkan

obyek.

- Menstandarisasikan data matriks

- Menggunakan data matriks yang telah distandarisasikan dalam bentuk nilai

kesamaan kelompok obyek.

- Menggunakan metode cluster untuk memproses nilai yang dihasilkan dalam

bentuk diagram yang biasa disebut tree atau dendrogram yang menunjukkan

hierarki kesamaan kelompok obyek. (FMIPA-IPB 2003)

VI. Daftar Pustaka

Agung, M.U.K. 2007. Penelusuran Efektifitas Beberapa Bahan Alam Sebagai Kandidat Antibakteri dalam Mengetasi Penyakit Vibriosis pada Udang Windu. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

AOAC International, 1998. Bacteriological Analytical Manual. 8th Edition Revision A. USA.

Aoki, T., T., Kitao, T. Habashi, Y. Wada, and M. Sakai.1981. Protein and lipopolysaccharides in the membran of Vibrio anguillarum. Dev. Biol. Standard.

Apriadi, T. 2008. Kombinasi Bakteri dan Tumbuhan Air sebagai Bioremediator dalam Mereduksi Kandungan Bahan Organik Limbah Kantin. Skripsi. MSP. FPIK. IPB. Bogor.

American Public Health Association (APHA), 2005. Standard Methods for the examination of water and waste water. APHA, AWWA (American Water Works Association) dan WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington.

Atmomarsono, M. 1992. Faktor Penduga Kesuburan Tambak Tradisional. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai.

Austin, B., 1988. Bacterial fish pathogens: Disease in farmed and wild fish. Ellis Horwood. Chichester.

Austin, B., E. Baudet., M. Stobie. 1992. Inhibition of Bacteria Fish Patogens by Tetraselmis suecica. J. Fish of Disease.

Badan korrdinasi Survey dan pemetaan nasional (BAKOSURTANAL), 2001. Peta Rupabumi Digital Indonesia. Cibinong. Bogor

30

Page 31: proposal nurul juni09

Balai Layanan Usaha, 2007. Naskah Akademis. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Baumann, P., A. L. Furniss and J.V. Lee. 1994. Facultative anaerobic gram negative rods. P. in J.G. Holt, N.R. Krieg. P.H.A. Sneath, J.T. Staley and S.T. Wilkins (Eds.). Bergey’s manual of determinative bacteriology. Ninth edition. The Williams and Wilkins. Baltimore. Maryland USA.

Bengen, D.G., 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB-Bogor.

Bengen, D.G., 2000. Sinopsis Teknik Pengambilan Contoh dan Analisis Data Bifisik Sumberdaya Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.

Buchanan, R. E., and Gibbons, N. E., 1974. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. Eight edition. Williams and Wilkins. Baltimore.

Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), 2008. Laporan Bulanan. Jakarta. Efendi, I., 1999. Pengantar mikrobiologi Laut. Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan

Universitas Riau. Pekanbaru. Effendi, H., 2000. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan

pesisir. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Effendi, H., 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta : Kanisius. Faddin, M. J. F., 1980. Biochemical tests for Identification of Medical Bacteria.

William and Wilkiins. Baltimore. USA. FAO, 2004. Ovefishing on the increase in Asia-Pacific seas.

http://www.fao.org/newsroom/en/news/2004/49367/index.htmlFMIPA-IPB, 2003. Modul teori Analisi Peubah Ganda. Institut Pertanian Bogor.Ginting, E.L. 1995. Hubungan Habitat Tambak Udang Windu (Penaeus monodon.)

dengan Populasi Bakteri Vibrio spp. Institut Pertanian Bogor. Gultom, D.M. 2003. Patogenisitas Bakteri Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu

(Penaeus monodon). Institut Pertanian Bogor.Hamsiah, 2000. Peranan Keong Bakau (Telescopium telescopium L.) sebagai Biofilter

dalam Pengelolaan Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Institut Pertanian Bogor.

Harrell, L.W., H.M. Etlinger and H.O. Hodgins, 1976. Humoral factors important in resistance of salmonid fish to bacterial disease. II Anti-Vibrio anguillarum activity in mucus and observation on complement. Aquaculture.

Hastein, T., and J.E. Smith, 1977. A study of Vibrio anguillarum from farmed and wild fish using principal components analysis.J.of Fish Biology.

Herawati, E. 1996. Karakterisasi Fisiologi dan Genetik Vibrio Berpendar sebagai Penyebab Penyakit Udang Windu. Institut Pertanian Bogor.

Madeali, M.I. dan Muliani, M. A., 1998. Pengaruh Penggunaan Kekerangan sebagai Biofilter terhadap Kelimpahan dan Komposisi Jenis Bakteri pada Budidaya Udang Windu dengan sistem resirkulasi air. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai Maros. Ujungpandang.

Murphy, S. 2007. General Information on Solids. City of Boulder/USGS Water Quality Monitoring.

Nazir, M. 1983. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta

31

Page 32: proposal nurul juni09

Nurdjana, M. L. 1997. Tujuh jurus menuju sukses dalam budidaya udang. Media budidaya air payau. Direktorat Jenderal Perikanan. .

Parwati, E., Tatik K, Joko I, Fanny D A.K., Mawardi N dan Mahdi K., 2007. Kajian hubungan antara laju perubahan TSS dengan penutup/penggunaan lahan di wilayah Pesisir Kabupaten Berau. Kalimantan Timur. Proceeding Geo-Marine Research Forum.

Poernomo. 1979. Budidaya udang, sejarah, jenis udang tambak, pembenihan, pembesaran, penyakit-parasit-hama, petunjuk adanya gejala kurang baik pada tambak. Dalam udang, biologi, potensi, budidaya, produksi udang sebagai bahan makann di indonesia. LON-LIPI. Jakarta.

Romesburg, C. H., 1990. Cluster Analisis for Researchers, Robert E. Krieger Publishing Company. Malabar. Florida. 1990.

Rokhmani, 1994., Pengaruh Manipulasi Suhu dan Tingkat Aerasi Terhadap Infeksi Bakteri Vibrio harveyi pada Larva Udang Windu (Penaeus monodon F.). Institut Pertanian Bogor.

Roza, D., Zafran., I. Taufik dan M.A. Girsang. 1997. Pengendalian Vibrio harveyi secara biologis pada larva Udang Windu: Isolasi bakteri penghambat. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia III.

Rukyani, A. 1999. Beberapa Jenis Penyakit Sebagai Kendala Utama Budidaya Udang dan Cara Pengendaliannya. Badan Litbang Pertanian.

Suryadiputra, I.N.N. 1995. Pengolahan Air Limbah dengan Metode Biologi. Pelatihan Sistem Operasi Pengendalian dan Pemeliharaan Air Laut. Proyek Pengembangan Pendidikan Ilmu Kelautan. Bogor.

Taslihan, A. 1991. Jenis Penyakit yang menyerang Udang Windu. Makalah yang disampaikan pada Workshop Penetapan Hama dan Penyakit Ikan Karantina. Bogor.

Thompson, F. L., Tetsuya, I., and Jean, S., 2004. Biodiversity of Vibrios, Laboratory of Microbiology and,1 BCCM/LMG Bacteria Collection Ghent University, Ghent, Belgium,2 Department of Bacterial Infections, Research Institute for Microbial Diseases. Osaka University. Japan..

Wardoyo, S. T.H. 1995. Pengelolaan Kualitas Air. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi. Institut Pertanian Bogor.

32

Page 33: proposal nurul juni09

USULAN PENELITIAN

ANALISIS KETERKAITAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK

DI WILAYAH PESISIR TERHADAP KELIMPAHAN BAKTERI Vibrio spp.

DI KAWASAN INDUSTRI TAMBAK INTENSIF.

Oleh :

Nurul Istiqomah

NRP. C262070021

33

Page 34: proposal nurul juni09

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

34