proporsi penderita tukak peptik di rumah sakit haji...
TRANSCRIPT
i
PROPORSI PENDERITA TUKAK PEPTIK
DI RUMAH SAKIT HAJI JAKARTA
TAHUN 2015 – 2018
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA KEDOKTERAN
OLEH :
Lathifa An Nada Rahma
11151030000083
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H / 2018 M
v
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji dan rasa syukur saya panjatkan kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala atas segala limpahan rahmat-Nya saya dapat menyelesasikan penelitian ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Shallalahu
‘Alaihi Wasalam beserta keluarga, sahabat, serta seluruh umatnya.
Alhamdulillah penelitian ini dapat diselesaikan berkat bantuan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. dr. H. Hari Hendarto, Ph.D., Sp.PD-KEMD selaku dekan FK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. dr. Ahmad Zaki, M.Epid, Sp.OT selaku ketua program studi kedokteran UIN
Syarif Hidayatullah.
3. dr. Femmy Nurul Akbar, Sp. PD, KGEH dan Dr. dr. Fransisca A Tjakradidjaja
MS., Sp.GK selaku pembimbing I dan pembimbing II saya yang senantiasa
memberi arahan, nasihat, dan bantuan dalam penyusunan penelitian ini.
4. dr. Sayid Ridho, Sp. PD, FINASIM dan dr. Nursyahidah, Sp.FK selaku
penguji, yang telah meluangkan waktunya untuk menguji penelitian saya serta
memberi arahan dalam pengujian kelayakan penelitian ini.
5. drg. Laifa Annisa Hendarmin, Ph.D selaku penanggung jawab (PJ) modul riset
PSPKD 2015.
6. Ayahanda Agus Santoso, S.E. dan Ibunda Suprihatin Rokhana, kedua orang
tua saya yang senantiasa mencurahkan cinta dan kasihnya, serta memberi
semangat dan doa untuk kebaikan saya dalam menjalani pendidikan dan
keseharian saya hingga saat ini. Terima kasih atas kebaikan tanpa mengenal
pamrih yang selalu diberikan kepada saya sampai kapan pun. Dan seluruh
keluarga besar saya yang telah memberikan kasih sayang kepada saya.
7. dr. Muhammad Luthfi yang selalu mensupport, memberi semangat, serta
berbagi ilmu selama saya mengerjakan skripsi ini.
8. Teman-teman angkatan saya Nur Fajrina, Kharisna Afrida Aini, Qotrun Nada,
dan teman-teman Amigdala (FK UIN 2015) yang tidak bisa saya sebutkan satu-
satu yang senantiasa memberi dukungan dan motivasi.
vi
9. Teman seperjuangan skripsi saya, Megawati Latenriolle dan Monalisa, yang
selalu mengingatkan saya untuk kembali berjuang dan berbagi pengalaman
bersama dalam mengerjakan skripsi saya.
10. Seluruh pihak yang membantu, memberi semangat, serta motivasi dalam
penelitian ini yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu.
Saya menyadari dalam skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan.
Kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat saya harapkan agar
laporan penelitian ini menjadi lebih baik. Demikian skripsi ini saya tulis, semoga
dapat memberikan banyak manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya.
Ciputat, 16 Oktober 2018
Penulis
vii
ABSTRAK
Lathifa An Nada Rahma. Program Studi Kedokteran. Proporsi Penderita
Tukak Peptik di RS Haji Jakarta Tahun 2015-2018.
Latar belakang: Angka morbiditas dan mortalitas penyakit tukak peptik di negara-
negara berkembang seperti Indonesia masih tinggi. Namun data epidemiologi yang
tersedia terbatas, padahal data mutakhir dibutuhkan sebagai landasan penanganan
kasus ini. Sebagai pembanding, proporsi tukak peptik di Tiongkok adalah 17,2%.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi tukak peptik pada
pasien di RS Haji Jakarta periode Januari 2015 s.d. April 2018 serta memaparkan
faktor risiko usia, jenis kelamin, dan gambaran riwayat konsumsi OAINS pasien
tersebut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-kategorik. Subjek
penelitian diambil dari data pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi di RS
Haji Jakarta periode Januari 2015 s.d. April 2018. Subjek yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi dipilih secara random sebanyak jumlah yang dibutuhkan. Data
keluhan, diagnosis, usia, jenis kelamin, dan riwayat konsumsi OAINS yang diambil
dari rekam medis subjek sterpilih selanjutnya diolah dan ditampilkan sebagai hasil.
Hasil: Dari proses randomisasi terpilih 112 subjek yang memenuhi syarat
penelitian. Keluhan terbanyak subjek saat datang adalah dispepsia (42,9%).
Proporsi pasien tukak peptik adalah 16 (14,3%). Subjek laki-laki dengan tukak
peptik lebih mendominasi (75%). Subjek tukak peptik paling banyak berusia >46
tahun (68,8%). 81,3% subjek dengan tukak memiliki riwayat mengonsumsi
OAINS, dengan asam mefenamat merupakan jenis yang paling sering digunakan
(41,2%). Kesimpulan: Pasien yang datang dengan dispepsia perlu
dipertimbangkan memiliki tukak peptik. Proporsi tukak peptik di Indonesia hampir
sama dengan negara Asia lainnya. Lansia harus lebih sadar risikonya menderita
tukak peptik, terutama yang memiliki riwayat mengonsumsi OAINS.
Kata kunci: Epidemiologi, Tukak Peptik, Usia, Jenis Kelamin, Riwayat
Mengonsumsi OAINS.
viii
ABSTRACT
Lathifa An Nada Rahma. Faculty of Medicine. Proportion of Peptic Ulcer in
Haji Hospital Jakarta in 2015-2018.
Background: The morbidity and mortality rate of peptic ulcer disease (PUD) is
still high in developing country such as Indonesia. There’s lack of epidemiological
data available for the disease, whereas an up-to-date data are needed as a basis for
a proper management of this case. As a comparison, proportion of PUD in China
was 17,2%. Objective: This study aims to determine the proportion of PUD of Haji
Hospital Jakarta’s patients during the period of January 2015 until April 2018, and
describes the risk factors of age, sex, and history of NSAIDs medication of these
patients. Method: This is a descriptive-categorical study. Samples were patiens
who undergo endoscopic examinations at the Haji Hospital Jakarta during the
period of January 2015 until April 2018. Samples who met the inclusion dan
exclusion criteria were selected randomly as needed. Data of chief complaints,
diagnosis, age, sex, and history of NSAIDs medication were taken from the
sample’s medical record, then collected and reported as a result of this study.
Outcome: After randomization, 112 samples were selected. Major chief complaint
found were dyspepsia (42,9%). Proportion of PUD was 16 (14,3%), dominantly
were male (75%). Most of samples with PUD were >46 years old (68.8%). 81.3%
samples had a history of NSAIDs medication, with mefenamic acid was the most
commonly used (41,2%). Conclusion: Any patient who present with dyspepsia
should be considered to have PUD. The proportion of PUD in Indonesia is almost
the sama as other Asian countries. Elder people should be more aware of the risk of
getting PUD, especially those who have a histroy of NSAIDs medication.
Keywords: Epidemiology, Peptic Ulcer, Age, Sex, NSAIDs Medication History.
ix
DAFTAR ISI
Halaman
Cover .................................................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................ ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xiii
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................. xiv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah .............................................................................. 3
1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................... 3
1.3. Manfaat Penelitian ............................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 5
2.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung ....................................................... 5
2.1.1. Anatomi Lambung ................................................................. 5
2.1.2. Fisiologi Lambung ................................................................. 6
2.2. Anatomi dan Fisiologi Duodenum .................................................... 9
2.2.1. Anatomi Duodenum ............................................................... 10
2.2.2. Fisiologi Duodenum .............................................................. 11
2.3. Definisi Tukak Peptik ........................................................................ 13
2.4. Epidemiologi Tukak Peptik ............................................................... 13
2.5. Klasifikasi Tukak Peptik ................................................................... 14
2.6. Faktor Risiko dan Etiologi Tukak Peptik .......................................... 15
2.7. Patofisiologi Tukak Peptik ................................................................ 16
2.7.1. Sistem Pertahanan Mukosa Gastroduodenal .......................... 17
2.7.2. Penggunaan OAINS ............................................................... 19
2.7.2.1. Patofisiologi Tukak Lambung Akibat OAINS ........ 19
x
2.7.2.2. Patofisiologi Tukak Duodenum Akibat OAINS ...... 21
2.7.3. Hubungan Jenis Kelamin dan Usia ........................................ 22
2.8. Penegakan Diagnosis Tukak Peptik .................................................. 23
2.8.1. Pendekatan Klinis .................................................................. 23
2.8.2. Pemeriksaan Penunjang ......................................................... 25
2.8.3. Gambaran Pemeriksaan Endoskopi ....................................... 26
2.9. Penatalaksanaan Tukak Peptik .......................................................... 27
2.9.1. Penatalaksanaan Medikamentosa .......................................... 29
2.9.2. Penatalaksanaan Non-medikamentosa ................................... 33
2.10. Pencegahan Tukak Peptik .................................................................. 33
2.11. Komplikasi dan Prognosis Tukak Peptik ........................................... 35
2.11.1. Komplikasi ............................................................................. 35
2.11.2. Prognosis ................................................................................ 37
2.12. Kiat Berpuasa Bagi Pasien Tukak Peptik .......................................... 38
2.13. Kerangka Teori .................................................................................. 41
2.14. Kerangka Konsep .............................................................................. 41
2.15. Definisi Operasional .......................................................................... 42
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ...................................................... 44
3.1. Jenis dan Desain Penelitian ............................................................... 44
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................ 44
3.3. Populasi dan Subjek Penelitian .......................................................... 44
3.3.1. Populasi Target . ..................................................................... 44
3.3.2. Populasi Terjangkau .............................................................. 44
3.3.3. Besaran Subjek Penelitian ..................................................... 44
3.3.4. Cara Pengambilan Subjek ...................................................... 45
3.4. Kriteria Subjek .................................................................................. 45
3.4.1. Kriteria Inklusi ....................................................................... 45
3.4.2. Kriteria Eksklusi .................................................................... 45
3.5. Cara Kerja Penelitian ......................................................................... 46
3.6. Alur Penelitian .................................................................................. 46
3.7. Rencana Analisis Data ....................................................................... 47
3.8.1. Instrumen Penelitian .............................................................. 47
xi
3.8.2. Pengumpulan Data ................................................................. 47
3.8.3. Pengolahan dan Analisis Data ............................................... 47
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................... 48
4.1. Deskripsi Subjek ................................................................................ 48
4.2. Diagnosis Awal Subjek Saat Datang Berobat ................................... 48
4.3. Proporsi Tukak Peptik ....................................................................... 49
4.4. Faktor Jenis Kelamin ......................................................................... 50
4.5. Faktor Usia ....... ................................................................................. 51
4.6. Riwayat Konsumsi OAINS ............................................................... 54
4.7. Keterbatasan Penelitian ..................................................................... 57
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 58
5.1. Kesimpulan .................................................................................. 58
5.2. Saran .................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 60
LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1. Rekomendasi tatalaksana medikamentosa pada pasien tukak
peptik ............................................................................................... 29
Tabel 2.2. Klasifikasi pasien dengan peningkatan risiko gangguan saluran
cerna ................................................................................................ 30
Tabel 2.3. Rekomendasi untuk pencegahan komplikasi tukak terkait
OAINS ............................................................................................. 31
Tabel 2.4. Definisi operasional ......................................................................... 42
Tabel 4.1. Diagnosis awal subjek saat datang berobat ..................................... 48
Tabel 4.2. Diagnosis awal subjek dengan tukak peptik saat datang berobat .... 49
Tabel 4.3. Distribusi frekuensi subjek berdasarkan diagnosis menurut
hasil pemeriksaan endoskopi ............................................................ 50
Tabel 4.4. Distribusi frekuensi subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik
berdasarkan jenis kelamin di dalam tabel kontingensi 2x2 ............. 50
Tabel 4.5. Distribusi frekuensi subjek dengan tukak peptik berdasarkan
kelompok usia. ................................................................................ 52
Tabel 4.6. Distribusi frekuensi subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik
berdasarkan kategori usia di dalam tabel kontingensi 2x2 ............... 52
Tabel 4.7. Distribusi frekuensi subjek dengan tukak peptik berdasarkan
riwayat konsumsi OAINS ................................................................ 54
Tabel 4.8. Distribusi frekuensi obat-obatan OAINS yang digunakan oleh
sampel dengan riwayat konsumsi OAINS positif ........................... 56
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1. Anatomi eksternal dan internal lambung .................................... 5
Gambar 2.2. Struktur kelenjar lambung .......................................................... 8
Gambar 2.3. Mekanisme sekresi asam lambung oleh sel-sel parietal
lambung ...................................................................................... 9
Gambar 2.4. Pembagian duodenum menjadi 4 bagian. ................................... 10
Gambar 2.5. Gambaran histologis dinding duodenum .................................... 11
Gambar 2.6. Klasifikasi tukak lambung berdasarkan kriteria Johnson ........... 14
Gambar 2.7. Faktor-faktor yang memainkan peran penting dalam
patofisiologi tukak peptik ........................................................... 17
Gambar 2.8. Komponen-komponen yang terlibat dalam sistem pertahanan
dan restitusi mukosa lambung .................................................... 19
Gambar 2.9. Diagram skematik dari mekanisme kerusakan lambung akibat
OAINS ........................................................................................ 21
Gambar 2.10. Hipotesis 3 tahapan proses OAINS menyebabkan kerusakan
pada duodenum ........................................................................... 22
Gambar 2.11. Citra pemeriksaan radiografi barium pada kasus tukak peptik .. 26
Gambar 2.12. Citra pemeriksaan endoskopi pada kasus tukak peptik 1 ............ 27
Gambar 2.13. Citra pemeriksaan endoskopi pada kasus tukak peptik 2 ............ 27
Gambar 2.14. Algoritma penatalaksanaan tukak peptik .................................... 29
Gambar 2.15. Kerangka Teori ........................................................................... 41
Gambar 2.16. Kerangka Konsep ....................................................................... 41
Gambar 3.1. Alur Penelitian ............................................................................ 46
Gambar 4.1. Grafik distribusi frekuensi subjek dengan riwayat mengonsumsi
OAINS berdasarkan usia ............................................................ 54
Gambar 4.2. Grafik distribusi frekuensi subjek dengan riwayat mengonsumsi
OAINS berdasarkan jenis kelamin ............................................. 55
xiv
DAFTAR SINGKATAN
ACG : American College of Gastroenterology
ACh : Acetylcholine
AS : Amerika Serikat
ATP : Adenosine Triphosphate
BSS : Bismuth Subsalisilat
Ca2+ : Kalsium
CBS : Coloid Bismuth Subsitrat
CCK : Cholecystokinin
Cl– : Klorida
COX : Cyclooxigenase
CRF : Corticotropin-Releasing Factor
CV : Cardiovascular
EGF : Epidermal Growth Factor
FGF : Fibroblast Growth Factor
H+ : Hidrogen
H2RA : Histamine-2 Receptor Antagonist
HCl : Hydrochloric Acid
HCO3– : Bikarbonat
H. pylori : Helicobacter pylori
IGF : Insulin-like Growth Factor
IVR : Interventional Radiography
K+ : Kalium
LOX : Lipoxygenase
MMC : Migrating Motility Complexes
Na+ : Natrium
OAINS : Obat Anti Inflamasi Non Steroid
PG : Prostaglandin
PGE2 : Prostaglandin E2, disebut juga dengan dinoproston
PGI2 : Prostasiklin
xv
pH : Potential of Hydrogen, derajat keasaman suatu larutan
PPI : Proton Pump Inhibitor
RS : Rumah Sakit
SPSS : Statistical Package for the Social Sciences
TGFα : Transforming Growth Factor Alpha
TRF : Thyrotropin Releasing Factor
UBT : Urea Breath Test
VEGF : Vascular Endothelial Growth Factor
V. Lumbal : Vertebra Lumbal
V. Torakal : Vertebra Torakal
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Tukak peptik adalah suatu keadaan terdapat gangguan integritas mukosa
lambung atau duodenum sehingga terbentuk defek lokal maupun luka yang
memiliki kedalaman tertentu akibat adanya suatu proses inflamasi aktif. Tukak
peptik yang terdapat di lambung pada umumnya disebut juga tukak lambung (tukak
gaster) dan yang terdapat di duodenum disebut sebagai tukak duodenum. Secara
klinis, suatu tukak peptik adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan lebih
dalam dari mukosa lambung maupun duodenum dengan diameter > 5 mm yang
dapat diamati secara endoskopis atau radiologis. Definisi ini selanjutnya
memberikan perbedaan yang jelas antara tukak peptik (terutama tukak lambung)
dengan gastritis erosiva.1-3
Gejala yang paling sering ditemukan pada penderita tukak peptik adalah
sensasi seperti terbakar di epigastrium. Selain itu juga terdapat gejala-gejala lainnya
seperti nyeri tumpul abdomen, mual, muntah, rasa tidak nyaman, atau perasaan
kembung. Gejala khas lainnya adalah keluhan nyeri yang biasanya muncul dalam
keadaan puasa, saat tidur di malam hari, dan membaik setelah makan atau
mengonsumsi antasida. Dalam menegakkan diagnosis tukak peptik, saat ini
pemeriksaan endoskopi menjadi alat diagnostik pilihan karena memiliki sensitivitas
dan spesifisitas yang sangat tinggi.1,4
Tukak peptik merupakan keadaan yang perlu mendapat perhatian yang
serius karena prevalensinya yang cukup tinggi. Penyakit ini setidaknya pernah
dialami oleh 5-10% penduduk dunia. Di Amerika Serikat, kasus tukak peptik
dijumpai pada sekitar 4,5 juta penduduk per tahun. Penelitian di Swedia penderita
tukak peptik adalah 4,1% dari 1.001 subjek. Penelitian di China menunjukkan
prevalensi kasus tukak peptik sebesar 17,2% dari 1.022 subjek. Di Indonesia,
berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada Subbagian
Gastroenterologi RS Pendidikan di Makassar, prevalensi tukak duodenum
sebanyak 14%, tukak duodenum dan tukak lambung 5%. Usia terbanyak antara
2
45-65 tahun dengan kecenderungan semakin tua umur, prevalensi semakin
meningkat dan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2:1.3-7
Faktor risiko berupa usia dan jenis kelamin menyumbang peningkatan
presentase angka kejadian tukak peptik. Penelitian oleh Barazandeh, dkk
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit tukak peptik paling banyak ditemukan
pada rentang usia diatas 40 tahun. Dari sudut pandang usia penderita, kasus tukak
peptik lebih sering dijumpai pada pasien dewasa tua daripada kelompok usia yang
lebih muda. Menurut publikasi ilmiah dari Harvard Medical School populasi
dengan jenis kelamin laki-laki ditemukan lebih berisiko menderita tukak peptik.
Meskipun hubungan antara usia dan jenis kelamin terhadap kasus tukak peptik
masih belum dapat dipaparkan dengan jelas, namun persentasenya yang cukup
besar membuat kedua faktor risiko ini membutuhkan perhatian khusus.8-10
Menurut penelitan terakhir, efek penggunaan OAINS (Obat Anti Inflamasi
Non Steroid) jangka panjang merupakan penyebab utama tukak peptik selain
infeksi H. pylori. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Kang, dkk, riwayat
penggunaan OAINS ditemukan pada 154 dari 438 subjek pasien dengan tukak
peptik. OAINS merupakan salah satu jenis obat yang paling sering diresepkan
untuk penatalaksanaan nyeri, demam, dan inflamasi seperti reumatoid artritis,
osteoartritis, dismenorea, serta kelainan serebrovaskular iskemik. Di sisi lain,
ketersediaan sejumlah OAINS secara bebas sebagai analgesik juga ikut
meningkatkan konsumsi obat-obatan ini oleh masyarakat dan dikhawatirkan ikut
mempengaruhi peningkatan angka morbiditas penyakit tukak peptik ini.2,11-13
Angka mortalitas dari tukak peptik adalah sekitar 1 kematian per 100.000
kasus. Walaupun demikian, angka mortalitas akibat komplikasi dari tukak peptik
seperti perdarahan saluran cerna atas masih cukup tinggi. Penelitian di Manado
menunjukkan angka mortalitas akibat perdarahan saluran cerna atas mencapai 7-
14%. Kenyataan bahwa prevalensi penyakit tukak peptik masih cukup tinggi
terutama di negara-negara berkembang, merupakan alasan yang kuat mengenai
perlunya perhatian khusus terhadap penyakit ini.5,10,14
Sehingga peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai
proporsi tukak peptik pada pasien yang menjalani tindakan endoskopi di RS Haji
3
Jakarta selama periode Januari 2015 s.d. April 2018, serta memaparkan faktor risiko
berupa usia dan jenis kelamin dan gambaran riwayat konsumsi OAINS pada pasien
tersebut.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana proporsi pasien tukak peptik di Rumah Sakit Haji Jakarta
dengan faktor risiko usia dan jenis kelamin serta gambaran riwayat konsumsi
OAINS pada pasien periode Januari 2015 s.d. April 2018?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui proporsi pasien tukak peptik di RS Haji Jakarta selama
periode Januari 2015 – April 2018.
1.3.1 Tujuan Khusus
1. Mengetahui diagnosis awal utama pada subjek.
2. Mengetahui proporsi tukak peptik pada subjek.
3. Mengetahui proporsi tukak peptik berdasarkan jenis kelamin.
4. Mengetahui proporsi tukak peptik berdasarkan usia.
5. Mengetahui distribusi frekuensi pasien tukak peptik dengan riwayat
mengonsumsi OAINS, serta jenis OAINS yang paling sering digunakan.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Bagi Institusi
a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan dalam ilmu
pengetahuan terkait proporsi tukak peptik beserta faktor risikonya.
b. Menjadi pemicu untuk dilakukan penelitian lebih lanjut.
1.4.2. Bagi Masyarakat
Memberikan pengetahuan kepada masyarakat terkait proporsi tukak peptik
beserta faktor risikonya.
4
1.4.3. Bagi Peneliti
a. Merupakan sarana pembelajaran dan pengalaman bagi peneliti.
b. Mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran.
1.4.4. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan dalam
melakukan penelitian selanjutnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Lambung
2.1.1. Anatomi Lambung
Lambung adalah organ yang merupakan bagian dari saluran pencernaan
dengan luas penampang terbesar serta terletak diantara esofagus dan duodenum.
Spesifiknya, lambung terletak di abdomen bagian atas, memanjang dari kuadran
kiri atas ke arah bawah, depan, dan kanan abdomen. Posisinya mencakup regio
hipokondrium kiri, epigastrium, umbilikus, dan secara vertikal terletak antara
vertebra T7 dan L3. Volume kapasitas reratanya bervariasi dari 20-30 ml pada bayi
baru lahir hingga sekitar 1000-1500 ml pada orang dewasa.15
Gambar 2.1. Anatomi eksternal dan internal lambung.16
Organ dengan bentuk seperti huruf ‘J’ ini seperti yang terlihat pada gambar
2.1, memiliki kurvatura minor pendek yang membentuk permukaan medial, dan
kurvatura mayor yang lebih panjang dan membentuk permukaan lateralnya. Secara
rata-rata, kurvatura minor memiliki panjang sekitar 10 cm dan kurvatura mayor
memiliki panjang 40 cm. Permukaan anterior dan posterior lambung memiliki
6
bentuk sedikit membulat. Lambung dibagi menjadi 4 bagian:
1. Esofagus membentuk sambungan dengan lambung pada bagian cardia,
dinamakan demikian karena lokasinya yang dekat dengan jantung. Bagian ini
mencakup seluruh area superior medial dari lambung yang berjarak 3 cm dari
persambungan antara lambung dengan esofagus. Lokasi persambungannya
disebut dengan orifisium cardia.16
2. Bagian dari lambung yang terletak lebih superior dari persambungan
gastroesofagus disebut dengan fundus. Di bagian luar, fundus menempel pada
bagian inferior dan posterior dari diafragma.16
3. Area antara fundus dan lekukan ‘J’ dari lambung adalah bagian corpus (body).
Merupakan bagian terbesar dari lambung, dan berfungsi sebagai ‘tangki’
tempat terjadinya percampuran antara makanan dengan cairan yang
disekresikan oleh lambung.16
4. Pilorus adalah bagian lekukan ‘J’. Pilorus dibagi menjadi antrum pilorus,
bagian dari pilorus yang berhubungan dengan corpus lambung, dan kanal
pilorus yang berhubungan dengan duodenum, segmen proksimal dari usus
halus. Selama terjadinya gerakan yang memungkinkan percampuran makanan
dengan sekresi lambung dalam proses pencernaan, pilorus kerap mengalami
perubahan bentuk. Otot sfingter pilorus mengatur pelepasan kimus dari
orifisium pilorus kedalam duodenum.16
Secara histologis, seluruh bagian lambung dilapisi oleh epitel kolumnar
selapis, terdiri dari sel permukaan mukosa (mucous surface cells) yang membentuk
lapisan sekretorik dan menghasilkan mukus yang menutupi permukaan lumen
lambung. Lapisan mukus ini akan melindungi epitelium dari asam dan enzim yang
dihasilkan di dalam lumen lambung selama proses pencernaan kimiawi.16
2.1.2. Fisiologi Lambung
Lambung memiliki tiga fungsi utama, yaitu:
1. Fungsi paling penting dari lambung adalah sebagai tempat transit makanan
yang telah ditelan hingga dapat dikosongkan kedalam usus halus dengan
kelajuan yang optimal untuk proses pencernaan dan absorpsi.17
7
2. Lambung mensekresikan asam lambung (hydrochloric acid, HCl) dan enzim-
enzim yang menginisiasi pencernaan protein.17
3. Melalui mekanisme gerakan lambung, makanan yang masuk kedalamnya akan
dilumat dan dicampurkan dengan sekresi lambung untuk menghasilkan sejenis
campuran kental yang disebut dengan kimus. Setiap makanan yang melewati
lambung harus diubah menjadi kimus terlebih dahulu sebelum dapat
dikosongkan ke dalam duodenum.17
Ketika makanan mulai memasuki lambung, fundus dan bagian atas corpus
akan berelaksasi (relaksasi reseptif) untuk mengkompensasi peningkatan tekanan.
Relaksasi reseptif ini dikontrol melalui nervus vagus dan dipicu oleh pergerakan
faring dan esofagus. Refleks intrinsik juga akan memicu relaksasi ketika ada
peregangan dari dinding lambung. Gerakan peristaltik selanjutnya akan
memberikan gerakan sapuan ke arah pilorus. Kontraksi bagian distal lambung yang
ikut membentuk gerakan peristaltik ini disebut sebagai sistol antral dan dapat
berlangsung hingga 10 detik. Gerakan ini akan mencampur dan melumat makanan
untuk membentuk kimus yang selanjutnya dikosongkan ke dalam duodenum.
Dalam proses transit makanan dan pengosongan lambung ini, diperkirakan antrum,
pilorus, dan duodenum bagian atas bekerja sebagai satu kesatuan.18
Tingkat kelajuan pengosongan lambung bergantung pada jenis makanan
yang dikonsumsi. Makanan yang kaya karbohidrat umumnya akan segera
dikosongkan dalam beberapa jam. Makanan yang mengandung tinggi protein akan
dikosongkan dalam waktu yang lebih lama, dan waktu pengosongan untuk makanan
yang mengandung tinggi lemak adalah yang paling lama. Selain oleh jenis
makanan, kecepatan pengosongan lambung juga dipengaruhi oleh tekanan osmotik
yang dihasilkan oleh makanan.18
Seperti telah dijelaskan di atas, selain akibat gerakan melumat dari
lambung, dalam proses pembentukan kimus juga dibutuhkan sekresi asam lambung
dan enzim-enzim lainnya oleh kelenjar lambung. Mukosa lambung mengandung
banyak kelenjar. Pada bagian cardia dan pilorus, kelenjar-kelenjar ini
mensekresikan mukus. Di bagian corpus dan fundus, kelenjar-kelenjar ini juga
mengandung sel-sel parietal yang mensekresikan asam lambung dan faktor
8
intrinsik, serta sel-sel chief yang mensekresikan pepsinogen. Gambaran struktur
kelenjar lambung beserta sekresinya dapat dilihat pada gambar 2.2. di bawah ini.18
Gambar 2.2. Struktur kelenjar lambung.17
Asam lambung disekresikan oleh sel parietal melalui suatu mekanisme
yang dirangsang oleh asetilkolin (ACh), gastrin, dan histamin. Sel-sel parietal
lambung secara aktif mensekresikan H+ dan Cl– melalui kerja dari dua pompa yang
berbeda. H+ disekresikan ke dalam lumen oleh pompa transpor aktif primer H+-K+
ATPase pada bagian luminal sel parietal. H+ yang disekresikan bersama dengan
HCO3– dibentuk didalam sel parietal dari H2O dan CO2 melalui reaksi yang
dikatalisasi oleh enzim karbonik anhidrase. Cl– disekresikan oleh pompa aktif
sekunder. Dipicu oleh adanya gradien konsentrasi HCO3–, antiporter Cl–-HCO3
– di
membran basolateral mentransport HCO3– ke dalam plasma sesuai dengan gradien
konsentrasinya dan pada saat yang bersamaan mentransport Cl– ke dalam sel
parietal melawan gradien konsentrasinya. Sekresi Cl– terjadi karena Cl– yang masuk
9
dari plasma akan berdifusi keluar dari sel parietal menuju lumen lambung melalui
kanal Cl– di bagian luminal sel mengikuti gradien elektrokimianya. Mekanisme
sekresi asam lambung dapat terlihat lebih jelas pada ilustrasi pada gambar 2.3 di
bawah ini.17,19
Gambar 2.3. Mekanisme sekresi asam lambung oleh sel-sel parietal lambung.17
2.2. Anatomi dan Fisiologi Duodenum
2.2.1. Anatomi Duodenum
Duodenum yang memiliki panjang sekitar 25 cm pada orang dewasa
adalah segmen usus halus yang paling pendek namun memiliki luas permukaan
paling besar. Bagian proksimalnya sepanjang 2,5 cm terletak di intraperitoneal
sedangkan sisanya terletak di retroperitoneal. Secara anatomis, duodenum terletak
antara vertebra L1 dan L4 dan dibagi menjadi 4 bagian. Bagian pertama, bagian
dengan mobilitas paling tinggi, memiliki panjang sekitar 5 cm yang dimulai dari
kanal pilorus hingga lekukan duodenum superior. Bagian ini terletak tepat di bagian
anterior dari arteri gastroduodenal, sehingga adanya tukak di bagian ini berisiko
menimbulkan perdarahan yang hebat. Bagian kedua (descending part) memiliki
10
panjang sekitar 8 cm, dimulai dari lekukan duodenum superior hingga lekukan
duodenum inferior. Pada bagian ini terdapat ampula vateri yang merupakan muara
dari kelenjar pankreas dan saluran empedu. Bagian ketiga (horizontal part) dimulai
dari lekukan duodenum inferior sepanjang 10 cm hingga persambungan dengan
bagian keempat (ascending part). Bagian keempat ini memiliki panjang sekitar 2,5
cm dan berakhir di lekukan duodenojejunal dan dilanjutkan dengan segmen usus
halus jejunum. Gambaran pembagiannya sesuai dengan gambar 2.4 di bawah.15,16
Gambar 2.4. Pembagian duodenum menjadi 4 bagian.15
Secara histologis, dinding duodenum (dan juga segmen usus halus lainnya)
terdiri dari empat lapisan: mukosa, submukosa, muskularis, dan serosa. Mukosa
terbentuk oleh lapisan epitel, lamina propria, dan mukosa muskularis. Lapisan
epitelnya terdiri dari epitel kolumnar selapis yang mengandung banyak jenis sel,
diantaranya adalah sel-sel absorptif pada epitel yang berfungsi mencerna dan
mengabsorpsi nutrien dari kimus dan sel-sel goblet yang mensekresi mukus.
Selanjutnya pada lapisan submukosa, terdapat kelenjar-kelenjar duodenum
(Brunner’s) yang mensekresikan mukus basa untuk membantu menetralisir
kandungan asam lambung pada kimus. Meskipun secara umum tidak terdapat
perbedaan mencolok antara lapisan penyusun usus halus dengan organ-organ
11
pencernaan lainnya, terdapat struktur khusus pada bagian ini yang berfungsi untuk
memfasilitasi proses pencernaan dan absorpsi. Struktur-struktur ini meliputi lipatan
sirkular, vili, dan mikrovili. Gambaran histologis dinding duodenum dapat dilihat
pada gambar 2.5 di bawah ini.19
Gambar 2.5. Gambaran histologis dinding duodenum.19
2.2.2. Fisiologi Duodenum
Duodenum (dan seluruh segmen usus halus pada umumnya) memiliki
peran sangat penting karena sebagian besar proses pencernaan dan absorpsi nutrien
terjadi di sini. Proses pencernaan secara mekanis ditunjang oleh adanya dua jenis
pergerakan usus halus yaitu segmentasi dan sejenis gerakan peristaltik yang disebut
kompleks migrating motility (migrating motility complexes, MMC). Sedangkan
proses pencernaan kimiawi terjadi dengan dibantu oleh sejumlah enzim. Di organ-
organ sebelumnya, makanan yang dikonsumsi telah menjalani sejumlah proses
pencernaan kimiawi parsial, sehingga kimus yang dikosongkan kedalam usus halus
telah mengandung karbohidrat, protein, dan lipid yang telah dicerna sebagian.
Penyempurnaan dari proses pencernaan karbohidrat, protein, dan lipid ini
12
selanjutnya terjadi di usus halus dengan bantuan getah pankreas, garam empedu,
dan getah usus.17-19
Sekitar 1-2 liter getah usus, suatu cairan berwarna kuning jernih,
disekresikan setiap harinya. Getah usus mengandung air dan mukus serta bersifat
sedikit basa (pH 7,6). Bersama dengan getah pankreas, getah usus merupakan
medium perantara berbentuk cairan yang membantu absorpsi zat-zat yang
dibutuhkan tubuh dari kimus. Sel-sel absorptif dari usus halus juga mensintesis
beberapa enzim pencernaan, disebut juga enzim brush-border, yang disekresikan
ke dalam membran plasma dari mikrovili. Oleh karena itu, beberapa proses
pencernaan enzimatik terjadi di permukaan sel-sel absorptif yang melapisi vili,
berbeda dengan pada organ pencernaan lainnya yang umumnya terjadi secara
terpisah di dalam lumen. Enzim-enzim brush-border ini diantaranya adalah empat
enzim pencernaan karbohidrat yaitu α-dekstrinase, maltase, sukrase, dan laktase;
enzim pencernaan protein yaitu peptidase (aminopeptidase dan dipeptidase); dan
dua jenis enzim pencernaan nukleotida yaitu nukleosidase dan fosfatase. Selain itu,
sejumlah sel-sel absorptif juga akan mengelupaskan dirinya ke dalam lumen, yang
selanjutnya akan pecah dan melepaskan enzim-enzim yang akan membantu
mencerna nutrien dari kimus.19
Pada dasarnya, seluruh proses pencernaan yang terjadi baik yang bersifat
mekanis maupun kimiawi bertujuan untuk mengonversi zat-zat makanan yang
dikonsumsi menjadi bentuk sederhana seperti monosakarida dari karbohidrat, asam
amino tunggal, dipeptida, dan tripeptida dari protein, serta asam lemak, gliserol,
dan monogliserida dari trigliserida sehingga dapat melewati lapisan epitel absortif
yang melapisi mukosa usus halus dalam proses absorpsi. Proses absorpsi zat-zat
nutrien ini dapat terjadi secara difusi, difusi terfasilitasi, osmosis, ataupun trasnport
aktif di sebagian besar permukaan mukosa. Secara keseluruhan, sekitar 90% dari
seluruh proses absorpsi pada saluran cerna terjadi di usus halus karena ditunjang
oleh adanya vili sehingga dapat meningkatkan luas permukaan absorpsi secara
signifikan. Sisa 10% zat yang tidak terabsorpsi di sini selanjutnya akan diproses di
usus besar.19
13
2.3. Definisi Tukak Peptik
Istilah tukak secara umum digunakan untuk menggambarkan adanya
gangguan integritas mukosa yang dapat menyebabkan terbentuknya defek lokal
maupun luka akibat adanya suatu proses inflamasi aktif. Tukak peptik secara
anatomis didefinisikan sebagai suatu defek mukosa/submukosa yang berbatas tegas
di lambung maupun duodenum, dan dapat menembus muskularis mukosa sampai
lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi. Tukak peptik yang terdapat di
lambung pada umumnya disebut juga tukak lambung (tukak gaster) dan yang
terdapat di duodenum disebut sebagai tukak duodenum.1-3
Secara klinis, tukak peptik adalah hilangnya epitel superfisial atau lapisan
lebih dalam dari mukosa lambung maupun duodenum dengan diameter > 5 mm
yang dapat diamati secara endoskopis atau radiologis.3
2.4. Epidemiologi Tukak Peptik
Diperkirakan 5-10% dari seluruh penduduk dunia pernah mengalami tukak
peptik. Di Amerika Serikat, kasus tukak peptik dijumpai pada sekitar 4,5 juta
penduduk per tahun dan setidaknya sekitar 10% dari seluruh penduduk AS pernah
mengalami tukak peptik minimal sekali seumur hidupnya. Jumlah total kasus tukak
peptik yang ditemukan di negara-negara maju seperti halnya AS dan Belanda
memang mengalami penurunan dalam 3-4 dekade terakhir, namun secara spesifik
sebenarnya yang terjadi adalah perubahan tren dimana mayoritas kasus yang
disebabkan oleh infeksi Helicobacter pylori mengalami penurunan sementara kasus
yang disebabkan oleh penggunaan OAINS cenderung stabil atau bahkan meningkat
terutama pada penderita lanjut usia. Jumlah kasus rawatan rumah sakit untuk kasus
tukak peptik dijumpai sekitar 30 pasien dari 100.000 kasus.5,20
Di negara-negara berkembang, pada dasarnya tidak ditemukan angka
prevalensi yang jauh berbeda. Pada penelitian di China tahun 2010, 17,2% dari
1.022 subjek ditemukan menderita tukak peptik melalui pemeriksaan endoskopi.
Data di Indonesia, berdasarkan hasil pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas terhadap 1.615 pasien dengan dispepsia kronik pada Subbagian
Gastroenterologi RS Pendidikan di Makassar ditemukan prevalensi tukak
14
duodenum sebanyak 14%, tukak duodenum dan tukak lambung 5%. Umur
terbanyak antara 45-65 tahun dengan kecenderungan makin tua umur, prevalensi
semakin meningkat dan perbandingan antara laki-laki dan perempuan 2:1. 3,7
.
2.5. Klasifikasi Tukak Peptik25
Ilustrasi dari klasifikasi tukak lambung dapat dilihat pada gambar 2.6 di
bawah ini.
Gambar 2.6. Klasifikasi tukak lambung berdasarkan kriteria Johnson. Titik hitam
menggambarkan lokasi tukak. Tukak lambung tipe V meliputi seluruh lokasi
lambung pada kasus yang diinduksi OAINS.25
Sesuai dengan gambar 2.6 di atas, menurut kriteria Johnson yang telah
dimofikasi, tukak lambung dapat diklasifikasikan menjadi 5 tipe:
1. Tipe I. Merupakan tipe yang paling sering ditemukan. Umumnya lokasi tukak
berada di incisura angularis pada kurvatura minor, dekat dengan perbatasan
antara antrum dan mukosa korpus. Pasien dengan tukak lambung tipe I
biasanya mempunya kadar sekresi asam lambung yang normal atau sedikit
menurun.
2. Tipe II. Tukak lambung tipe II dihubungkan dengan keadaan penyakit tukak
peptik dalam kondisi aktif atau diam. Pasien dengan tipe ini memiliki kadar
sekresi asam lambung yang normal atau sedikit meningkat.
15
3. Tipe III. Tukak lambung tipe III merupakan tipe dengan lokasi tukak
prepilorik. Seperti halnya tipe II, pasien dengan tukak lambung tipe III
memiliki kadar sekresi asam lambung yang normal atau sedikit meningkat.
4. Tipe IV. Pada tipe ini, lokasi tukak berada dekat dengan perbatasan
gastroentero. Pasien dengan tukak lambung tipe IV memiliki kadar sekresi
asam lambung yang normal atau dibawah normal.
5. Tipe V. Semua kasus tukak lambung yang diinduksi akibat penggunaan obat-
obatan digolongkan ke dalam tipe ini, tanpa melihat lokasi spesifiknya.
2.6. Faktor Risiko dan Etiologi Tukak Peptik
Beberapa faktor risiko terjadinya tukak peptik adalah
1. Infeksi Helycobacter pylori.
2. Penggunaan OAINS dan obat-obatan antinyeri lainnya.
3. Konsumsi alkohol yang berlebihan.
4. Perilaku merokok.
5. Berusia 46 tahun keatas.
6. Memiliki riwayat keluarga dengan tukak peptik.2,24
Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa etiologi utama tukak peptik
yang telah diketahui sebagai faktor agresif yang merusak pertahanan mukosa adalah
H. pylori, OAINS, asam lambung/pepsin, dan faktor-faktor lingkungan serta
kelainan satu atau beberapa faktor pertahanan yang berpengaruh pada kejadian
tukak peptik.3
Faktor penyebab utama dari tukak peptik adalah inflamasi kronik akibat
adanya koloni Helycobacter pylori di mukosa antrum. Bakteri ini, yang sebelumnya
dinamakan Campilobacter pyloridis, termasuk kedalam golongan gram-negatif,
berbentuk batang, dan bersifat mikroaerofilik. Umumnya ditemukan pada bagian
dasar dari mukus yang melapisi mukosa lambung atau diantara lapisan mukus
dengan epitel lambung. 1,23
Penggunaan Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) merupakan faktor
penyebab utama lainnya selain infeksi H. pylori, dan adanya hubungan antara
16
infeksi H. pylori dengan konsumsi OAINS dalam menyebabkan tukak peptik masih
kontroversial dan diperkirakan sangat kompleks. OAINS merupakan salah satu obat
yang paling sering digunakan dalam berbagai keperluan, seperti antipiretik,
antiinflamasi, analgetik, antitrombotik, dan kemoprevensi kanker kolateral.
Pemakai OAINS secara kronis dan reguler mengalami peningkatan risiko
perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat lebih tinggi dibanding yang bukan pemakai.
Pada usia lanjut, penggunaan OAINS dapat meningkatkan angka kematian akibat
terjadinya komplikasi berupa perdarahan atau perforasi dari tukak. Pemakaian
OAINS bukan hanya dapat menyebabkan kerusakan struktural pada
gastroduodenal, tetapi juga pada usus halus dan usus besar berupa inflamasi,
ulserasi, atau perforasi. OAINS diketahui dapat mengganggu lapisan pertahanan
mukosa lambung melalui efek toksik langsung maupun efek samping akibat
mekanisme kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase dan penurunan
produksi prostaglandin.3,23
2.7. Patofisiologi Tukak Peptik
Pada kondisi normal terdapat keseimbangan fisiologis antara sekresi asam
lambung dengan sistem pertahanan mukosa gastroduodenal. Kerusakan mukosa,
dan selanjutnya tukak peptik, terjadi ketika keseimbangan antara faktor agresif dan
mekanisme pertahanan (faktor protektif) ini terganggu. OAINS dan Infeksi H.
pyloric berperan dalam menyebabkan terjadinya kerusakan integritas lapisan
pelindung mukosa dan produksi prostaglandin sehingga membuat agen-agen iritatif
seperti asam lambung dapat masuk dan merusak lapisan dalam dari dinding
lambung.26
Ilustrasi keseimbangan faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada ilustrasi
gambar 2.7 di bawah ini.
17
Gambar 2.7. Faktor-faktor yang memainkan peran penting dalam patofisiologi
tukak peptik. 26
2.7.1. Sistem Pertahanan Mukosa Gastroduodenal
Epitel lambung diiritasi terus menerus oleh sekumpulan faktor internal
yang meliputi asam lambung, pepsinogen/pepsin, dan garam empedu. Selain itu
diperparah oleh faktor eksternal seperti obat-obatan, alkohol, dan bakteri yang
menyerang mukosa lambung. Untuk penangkal iritasi ini, terdapat sistem
pertahanan mukosa gastroduodenal yang terdiri dari tiga lapisan pelindung yaitu
pre epitel, epitel, dan post epitel/subepitel.1,27
Lapisan pre epitel berisi mukus-bikarbonat bekerja sebagai rintangan
fisikokimia terhadap molekul seperti ion hidrogen. Mukus yang disekresi oleh sel
epitel permukaan ini mengandung 95% air dan campuran lipid dengan glikoprotein.
Mucin, unsur utama glikoprotein dalam ikatan dengan fosfolipid, membentuk
lapisan penahan air/hidrofobik dengan asam lemak yang muncul keluar dari
membran sel. Lapisan mukosa yang tidak tembus air merintangi difusi ion dan
molekul seperti pepsin. Bikarbonat memiliki kemampuan mempertahankan
perbedaan pH yaitu pH 1-2 di dalam lumen lambung dengan pH 6-7 di dalam sel
epitel. Sekresi bikarbonat dirangsang oleh Ca2+, prostaglandin, kolinergik, dan
keasaman lumen.27
Sel epitel permukaan adalah pertahanan kedua dengan kemampuan
menghasilkan mukus, transportasi ionik sel epitel serta produksi bikarbonat yang
18
dapat mempertahankan pH intraselular (pH 6-7), sebagai Intracellular tight
junction. Bila pertahanan pre epitel dapat ditembus oleh faktor agresif maka sel
epitel yang berbatasan dengan daerah yang rusak berpindah/migrasi memperbaiki
kerusakan/restitusi. Proses ini memerlukan sirkulasi darah yang baik.27
Kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki melalui proses restitusi
dilaksanakan melalui proliferasi sel. Regenerasi sel epitel diatur oleh prostaglandin,
FGF, dan TGFα. Berurutan dengan pembaruan sel epitel, terjadi pembentukan
pembuluh darah baru (angiogenesis) dalam areal kerusakan. FGF dan VEGF
(Vascular Endothelial Growth Factor) memegang peran penting dalam proses
angiogenesis ini.27
Sistem mikrovaskular yang rapi didalam lapisan submukosa lambung
adalah komponen kunci dari pertahanan/perbaikan sistem sub epitel. Sirkulasi yang
baik yang dapat menghasilkan bikarbonat/HCO3 untuk menetralkan HCl yang
disekresi sel parietal, memberikan asupan mikronutrien dan oksigen serta
membuang hasil metabolik toksik.1,27
Prostaglandin yang banyak ditemukan pada mukosa lambung, dihasilkan
dari metabolisme asam arakidonat memegang peran sentral pada pertahanan dan
perbaikan sel epitel lambung, menghasilkan mukus-bikarbonat, menghambat
sekresi sel parietal, mempertahankan sirkulasi mukosa dan restitusi sel.1,27
Ilustrasi komponen-komponen yang ikut berperan dalam proses pertahanan mukosa
lambung dapat dilihat pada gambar 2.8 di bawah ini.
19
Gambar 2.8. Komponen-komponen yang terlibat dalam sistem pertahanan dan
restitusi mukosa lambung. Ket: CCK, cholecystokinin; CRF, corticotropin-
releasing factor; EGF, epidermal growth factor; HCl, hydrochloride; IGF,
insulin-like growth factor; TGFα, transforming growth factor α, TRF, thyrotropin
releasing factor.1
2.7.2. Penggunaan OAINS
2.7.2.1. Patofisiologi Tukak Lambung Akibat OAINS
Terdapat tiga mekanisme yang berbeda: inhibisi enzim siklooksigenase-1
(COX-1), prostaglandin (PG) gastroprotektif, permeabilisasi membran, dan
produksi mediator proinflamasi tambahan.
1. Inhibisi COX-1 dan PG gastroprotektif. Terdapat 2 bentuk COX, yaitu COX-
1 dan COX-2, yang memiliki fungsi berbeda. COX-1 diekspresikan secara
20
konstitutif dan bertanggung jawab untuk memproteksi mukosa lambung pada
keadaan fisiologis. Enzim ini mengkatalisasi sintesis prostaglandin, yang
melindungi lapisan lambung dari asam, mempertahankan aliran darah di
mukosa lambung, dan memproduksi bikarbonat. Sedangkan COX-2 dipicu
oleh adanya kerusakan sel, sitokin-sitokin proinflamasi, dan tumor-derived
factors. Gastropati akibat OAINS utamanya disebabkan oleh efek inhibisi
COX-1 oleh OAINS.11,29,30
2. Permeabilisasi membran. OAINS juga memiliki efek sitotoksik langsung pada
sel mukosa lambung dan dapat menyebabkan timbulnya lesi. Beberapa
penelitian menunjukkan bawa efek sitotoksik langsung ini tidak berhubungan
dengan aktivitas COX. Kerusakan topikal jenis ini telah diteliti pada kasus
OAINS yang bersifat asam seperti aspirin yang menyebabkan terbentuknya
akumulasi OAINS terionisasi, fenomena yang dikenal sebagai ‘perangkap ion’.
Hal ini terjadi karena kebanyakan OAINS adalah asam lemah. Di dalam getah
lambung, obat-obatan ini bersifat tidak terionisasi dan larut dalam lemak.
OAINS berdifusi melewati membran sel epital mukosa lambung ke dalam
sitoplasma, dimana pH-nya netral. Dalam keadaan pH netral, OAINS
dikonversi menjadi terionisasi kembali dan relatif lipofobik. Oleh karena itu,
OAINS akan terperangkap dan berakumulasi di dalam sel, menyebabkan
kerusakan seluler. Selain itu, OAINS juga diperkirakan dapat menginduksi
nekrosis dan apoptosis sel-sel mukosa lambung.11,13,31
3. Produksi mediator proinflamasi tambahan. Inhibisi sintesis PG oleh OAINS
pada saat yang bersamaan akan menyebabkan aktivasi jalur lipoksigenase dan
meningkatkan sintesis leukotrien. Leukotrien menyebabkan inflamasi dan
iskemia jaringan yang dapat menyebabkan kerusakan mukosa. Sejalan dengan
hal ini juga terdapat peningkatan produksi mediator proinflamasi seperti faktor
nektrosis tumor. Hal ini selanjutnya akan menyebabkan terjadinya oklusi
pembuluh-pembuluh darah mikro di lambung yang mengurangi aliran darah ke
lambung dan melepaskan radikal bebas. Radikal bebas ini akan bereaksi
dengan asam lemak tidak jenuh rantai panjang dari mukosa dan menyebabkan
peroksidasi lipid serta kerusakan jaringan.11,13
21
Diagram mekanisme ini dapat dilihat pada gambar 2.9 di bawah.
Gambar 2.9. Diagram skematik dari mekanisme kerusakan lambung akibat
OAINS.11
2.7.2.2. Patofisiologi Tukak Duodenum Akibat OAINS
Hubungan OAINS terhadap tukak duodenum hanya sedikit diketahui dibandingkan
dengan hubungannya terhadap tukak lambung. Saat ini hanya terdapat hipotesis
yang mencoba menjelaskan proses terjadinya kerusakan duodenum akibat OAINS
dalam 3 tahapan. Tahap pertama, OAINS yang diabsorpsi ke dalam enterosit akan
menghambat reaksi fosforilasi oksidasi di mitokondria. Tahapan ini dinilai sebagai
proses utama yang mendasari terjadinya kerusakan jaringan mukosa duodenum,
meskipun mekanisme biokimiawi yang jelas mengenai bagaimana OAINS dapat
menghampat fosforilasi oksidatif masih belum diketahui dengan pasti. Diagram
gambaran alur patofisiologinya dapat dilihat pada gambar 2.10 berikut ini.13
22
Gambar 2.10. Hipotesis yang mencoba menjelaskan 3 tahapan proses OAINS
menyebabkan kerusakan pada duodenum.13
Tahap kedua, terjadinya peningkatan permeabilitas duodenum melalui
mekanisme yang juga belum sepenuhnya dimengerti, namun secara ringkas dapat
dijelaskan: adanya inhibisi fosforilasi oksidatif pada tahapan sebelumnya
menyebabkan defisiensi ATP intraseluler dan kebocoran kalsium (Ca2+) dari
mitokondria. Kedua proses ini selanjutnya meningkatkan Ca2+ sitosolik,
peningkatan produksi spesies oksigen reaktif, mengganggu nilai rasio
natrium/kalium (Na+/K+) dan menyebabkan ketidakseimbangan osmotik seluler,
yang pada akhirnya berujung pada disfungsi dari taut erat intraseluler dan
peningkatan permeabilitas. Sebagai tambahan, apoptosis seluler yang dipicu oleh
OAINS juga mungkin terlibat dalam menyebabkan peningkatan permeabilitas.13
Tahap terakhir, melalui lapisan mukosa yang telah mengalami peningkatan
permeabilitas sebelumnya, enterosit menjadi terpapar dengan isi lumen, misalnya
asam empedu, enzim hidroeolitik/proteolitik, sekresi pankreas, dan akhirnya
bakteri-bakteri yang terdapat di dalam usus, menyebabkan timbulnya gerakan
kemotaksis neutrofil disertai aktivasi neutrofil yang mengakibatkan terjadinya
inflamasi nonspesifik dan timbulnya ulserasi (tukak).13
2.7.3. Hubungan Jenis Kelamin dan Usia
Penjelasan tentang faktor jenis kelamin dapat meningkatkan risiko
terjadinya tukak peptik masih belum dapat dijelaskan secara rinci. Beberapa
23
penelitian menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh
Lauret, dkk menunjukkan bahwa jumlah subjek laki-laki dan perempuan sebanding.
Sementara penelitian serupa yang dilakukan oleh Kang, dkk justru menunjukkan
bahwa jumlah subjek perempuan lebih mendominasi dengan 61,2%. Sedangkan
menurut publikasi ilmiah dari laman Harvard Medical School, populasi laki-laki
ditemukan lebih berisiko mengalami tukak peptik. Paparan Gokakin, dkk yang juga
menemukan bahwa subjek laki-laki lebih mendominasi keseluruhan subjek pasien
tukak peptik, hal ini mungkin dapat terjadi karena adanya sejumlah perilaku
berisiko tukak peptik lainnya yang lebih sering didapati pada laki-laki, misalnya
merokok dan mengonsumsi alkohol, meskipun belum ditemukan penelitian
maupun penjelasan lebih lanjut untuk mengonfirmasinya.4,9,12,32
Menurut sejumlah penelitian baik yang dilakukan di dalam maupun di luar
negeri, kejadian tukak peptik cenderung terjadi pada kelompok usia dewasa tua
hingga lansia. Penelitian yang dilakukan di di Subbagian Gastroenterologi RS
Pendidikan di Makassar ditemukan bahwa usia terbanyak penderita tukak peptik
berada diantara 45-65 tahun. Penelitian oleh Barazandeh, dkk menemukan bahwa
prevalensi tertinggi dijumpai pada kelompok usia diatas 40 tahun. Selanjutnya
penelitian oleh Kang, dkk menunjukkan bahwa prevalensi tertinggi kasus tukak
peptik ditemukan pada kelompok usia 51-60 tahun. Kecenderungan tingginya
angka kejadian pada kelompok usia yang lebih tua ini diperkirakan merupakan efek
penggunaan OAINS jangka panjang baik sebagai obat tunggal maupun obat
kombinasi terhadap berbagai penyakit degeratif, disamping juga memang telah
terjadi penurunan fungsi dari lapisan protektif saluran cerna (lambung dan
duodenum) akibat faktor usia.3,8,12,33
2.8. Penegakan Diagnosis Tukak Peptik
2.8.1. Pendekatan Klinis
Nyeri abdomen adalah gejala yang paling umum untuk kebanyakan
kelainan pada saluran cerna, termasuk tukak lambung dan tukak duodenum, namun
memiliki nilai prediktif yang sangat rendah terhadap adanya kedua penyakit ini.
Sekitar 10% dari seluruh pasien yang mengalami tukak akibat OAINS dapat datang
24
dengan komplikasi (perdarahan, perforasi, dan obstruksi) tanpa adanya gejala
sebelumnya. Walaupun hanya memiliki nilai prediktif yang sangat rendah,
anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan komponen paling penting dalam
melakukan diagnosis terhadap pasien yang dicurigai menderita tukak peptik.1,34
Nyeri epigastrium adalah temuan yang paling sering ditemukan pada
pasien tukak peptik. Keluhan ini digambarkan seperti rasa terbakar atau rasa tidak
nyaman disertai perih dapat dirasakan oleh penderita tukak lambung dan tukak
duodenum. Rasa tidak nyaman ini juga sering digambarkan sebagai rasa sakit yang
tidak jelas atau seperti nyeri akibat kelaparan. Keluhan nyeri pada penderita tukak
duodenum umumnya berlangsung 90 menit hingga 3 jam setelah makan dan nyeri
dirasakan mereda setelah pemberian antasid atau makanan. Adanya rasa nyeri yang
dapat membangunkan pasien dari tidurnya (antara tengah malam hingga pukul 3
pagi) adalah gejala yang paling khas, dengan dua per tiga pasien tukak duodenum
mengalami gejala ini. Namun demikian, gejala yang mirip juga muncul pada satu
per tiga pasien dispepsia tanpa tukak. Pasien tukak peptik yang berusia lanjut
biasanya tidak mengalami gejala nyeri perut sebagai keluhan utama, dan cenderung
datang dengan komplikasi seperti perdarahan saluran cerna atau perforasi. Pola
nyeri pada penderita tukak lambung dapat saja berbeda dengan pasien tukak
duodenum, dimana rasa tidak nyaman terkadang dipicu oleh makanan. Keluhan
mual dan penurunan berat badan lebih sering dijumpai pada pasien tukak lambung.
Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi tukak pada <30% pasien yang
mengalami dispepsia.1,4,31
Mekanisme munculnya nyeri abdomen pada pasien tukak masih belum
diketahui. Beberapa penjelasan yang mungkin diantaranya aktivasi reseptor
kimiawi duodenum yang dipicu oleh asam, peningkatan sensitivitas duodenum
terhadap asam empedu dan pepsin, atau adanya perubahan motilitas
gastroduodenal.1
Variasi pada intensitas atau distribusi dari nyeri abdomen, dan juga awitan
dari gejala yang dianggap berhubungan seperti mual dan/atau muntah dapat
menjadi indikasi adanya komplikasi tukak. Dispepsia yang berlangsung menetap,
tidak berkurang oleh makanan atau antasida, atau adanya keluhan yang menjalar
25
hingga ke punggung dapat menjadi indikasi tukak yang berpenetrasi (ke pankreas).
Gejala nyeri perut hebat yang dirasakan di seluruh lapangan perut dapat
mengindikasikan adanya perforasi. Nyeri yang diperparah dengan pemberian
makan, mual, dan memuntahkan makanan yang belum dicerna merupakan tanda
adanya obstruksi pilorus. Feses berwarna hitam seperti ter atau muntah berwarna
kehitaman dapat menjadi indikasi adanya perdarahan.1,4
2.8.2. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi barium gastroduodenal telah hampir sepenuhnya
ditinggalkan dan digantikan dengan pemeriksaan eksplorasi endoskopik dalam
protokol diagnostik rutin, walaupun pemeriksaan ini masih bermanfaat bagi
beberapa pasien yang menolak tindakan endoskopi, atau pada kasus dimana
pemeriksaan endoskopi tidak dapat dilakukan karena terjadi penyempitan esofagus.
Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan radiografi barium bergantung pada
pengalaman dokter ahli radiologi, teknik yang digunakan, ukuran lesi (jika
ukurannya <0,5 cm akan sulit dideteksi) dan kedalaman tukak. Tanda-tanda
radiologis yang mengindikasikan keadaan yang jinak adalah batas yang reguler dan
lipatan mukosa yang simetris. Selain itu terdapat gambaran sekeliling lesi
(a)
(b)
Gambar 2.11. Citra pemeriksaan radiografi barium: (a) tukak lambung jinak pada
kurvatura minor; (b) lesi ganas pada corpus lambung.4
26
translusen yang rata, yang mengelilingi ‘kawah’ tukak serta menampilkan kesan
edema dan lekukan dari dinding di sisi yang berlawanan [Gambar 2.11. (a)].
Sebaliknya, tanda-tanda keadaan ganas dapat dilihat dari ukuran tukak yang besar,
lipatan mukosa yang ireguler, dan tidak adanya kontras ataupun pengisiaan yang
ireguler [Gambar 2.11. (b)].4
2.8.3. Gambaran Pemeriksaan Endoskopi
Endoskopi saluran cerna bagian atas (esofagogastroduodenoskopi)
merupakan pemeriksaan penunjang pilihan untuk mengevaluasi pasien yang
dicurigai menderita tukak peptik. Sensitivitasnya sangat tinggi dalam mendiagnosis
tukak lambung dan duodenum, dapat sekaligus digunakan untuk melakukan
pemeriksaan biopsi atau pengambilan subjek pemeriksaan sitologi pada kasus tukak
lambung untuk membedakan antara tukak jinak atau suatu lesi ganas, dan dapat
digunakan dalam mendeteksi infeksi H. pylori melalui biopsi antral untuk dilakukan
rapid urea test dan/atau pemeriksaan histopatologi pada pasien dengan tukak
peptik.5,36
Pada pemeriksaan endoskopi, tukak lambung terlihat sebagai suatu lesi
mukosa yang jelas dengan bagian dasar tukak yang rata dan menonjol ke arah luar,
dan seringnya terisi dengan eksudat fibrinoid berwarna keputih-putihan. Tukak
sering bersifat soliter, memliki pinggir yang jelas, dan biasanya memiliki diameter
0,5 – 2,5 cm. Kebanyakan tukak peptik ditemukan di persambungan antara fundus
dan antrum di sepanjang kurvatura minor. Tukak jinak cenderung memiliki bagian
tepi yang halus, reguler, membentuk lingkaran dengan dasar rata, dan mukosa di
sekelilingnya menunjukkan lipatan menyebar. Tukak ganas umumnya memiliki
tepi yang seperti tertimbun secara ireguler ataupun tepi yang menjorok. Massa
tukaknya sering menonjol ke dalam lumen, dan lipatan yang mengelilingi ‘kawah’
tukak sering berbentuk nodul dan ireguler.5
Gambaran pemeriksaan endoskopi pada sejumlah kasus tukak peptik dapat
dilihat pada gambar 2.12 dan 2.13 di bawah ini.
27
Gambar 2.12. [Kiri] Tukak peptik dengan dasar tukak yang menonjol ke arah luar
dan berisi eksudat fibrinoid berwarna keputih-putihan. [Kanan] Tukak peptik
(kurvatura minor) dengan dasar yang menonjol ke arah luar dan berisi eksudat
berwarna keputih-putihan.5
Lebih dari 95% tukak duodenum ditemukan pada bagian pertama dari
duodenum; kebanyakannya berdiameter kurang dari 1 cm. Tukak duodenum
memiliki karakteristik adanya garis pembatas yang jelas pada mukosa yang dapat
meluas ke dalam lapisan muskularis propria dari duodenum.5
Gambar 2.13. [Kiri] Gambaran endoskopik dari suatu tukak (posisi tengah atas)
pada dinding duodenum, segmen pertama dari usus halus. Tukak ini berbentuk
luka terbuka. [Kanan] Tukak duodenum pada laki-laki usia 65 tahun dengan
osteoartritis yang datang dengan keluhan hematemesis dan melena.5
2.9. Penatalaksanaan Tukak Peptik
Pada umumnya manajemen atau pengobatan tukak peptik dilakukan secara
medikamentosa dengan dukungan terapi non-medikamentosa, sedangkan cara
pembedahan dilakukan apabila terjadi komplikasi seperti perforasi, obstruksi, dan
perdarahan yang tidak dapat diatasi.3
28
Tujuan dari pengobatan adalah menghilangkan gejala-gejala terutama
nyeri epigastrium, mempercepat penyembuhan tukak secara sempurna, mencegah
terjadinya komplikasi, dan mencegah terjadinya kekambuhan.3
Alur penanganan pasien dengan kasus tukak peptik dapat dilihat pada
diagram gambar 2.14 di bawah ini.
Gambar 2.14. Algoritma penatalaksanaan tukak peptik.
Keterangan: IVR – interventional radiography.37
29
2.9.1. Penatalaksanaan Medikamentosa
Rekomendasi pemberian tatalaksana farmakologis pada penderita tukak
peptik dapat dilihat pada tabel 2.1 di bawah ini.
Tabel 2.1. Rekomendasi tatalaksana medikamentosa pada pasien tukak peptik.4
Jenis terapi Obat Dosis Waktu
Triple therapy
PPI
Amoksisilin
Klaritromisin
Dosis ganda*/12 jam
1 g/12 jam
500 mg/12 jam
14 hari
Triple threapy
(alergi penisilin)
PPI
Metronidazol
Klaritromisin
Dosis ganda*/12 jam
500 mg/12 jam
500 mg/12 jam
10-14 hari
Quadruple therapy
(terapi bersamaan)
PPI
Amoksisilin
Klaritromisin
Metronidazole
Dosis standar/12 jam
1 g/12 jam
500 mg/12 jam
500 mg/12 jam
10-14 hari
Rescue treatment
(setelah kegagalan
triple therapy atau
concomitant
therapy)
PPI
Amoksisilin**
Levofloksasin
Dosis standar/12 jam
1 g/12 jam
500 mg/12-24 jam
14 hari
Classic quadruple
therapy
PPI
Bismuth
Tetrasiklin
Metronidazole
Dosis standar/12 jam
120 mg/6 jam
500 mg/6 jam
500 mg/8 jam
10-14 hari
* Omeprazole 40 mg, Lansoprazol 60 mg, Pantoprazol 80 mg, Rabeprazol 40 mg,
Esomeprazol 40 mg
** Pada pasien dengan alergi penisilin, rejimen yang mengandung levofloksasin
(bersamaan dengan PPI dan klaritromisin) menjadi alternatif lini ke-2
A. Tukak peptik akibat H. pylori
Untuk mencapai tujuan terapi, maka eradikasi H. pylori merupakan tujuan
utama. Walaupun antibiotik mungkin cukup untuk terapi tukak dengan
ditemukan H. pylori, namun kombinasi dengan penghambat pompa proton
(PPI) dengan 2 jenis antibiotik (triple therapy) merupakan cara terapi terbaik.3
B. H. pylori disertai penggunaan OAINS
Eradikasi H. pylori sebagai tindakan utama tetap dilakukan dan bila mungkin
OAINS dihentikan, atau diganti dengan OAINS spesifik COX-2 inhibitor yang
mempunyai efek merugikan lebih kecil pada gastroduodenal. Walaupun harus
diperhitungkan efek samping COX-2 inhibitor pada jantung.3
30
Penyembuhan akan tetap sama pada tukak peptik kausa H. pylori sendiri atau
bersama-sama dengan OAINS yaitu dengan menggunakan PPI untuk
meningkatkan pH lambung di atas 4. Penggunaan OAINS terus-menerus
setelah eradikasi H. pylori perlu diberikan PPI sebagai upaya pencegahan
terjadinya komplikasi.3
C. Tukak peptik akibat OAINS
Terkait risiko komplikasi tukak terkait penggunaan OAINS, American College
of Gastroenterology (ACG) mengeluarkan sebuah guideline pencegahan
komplikasi. OAINS merupakan agen yang banyak digunakan dalam perawatan
artritis dan gangguan muskuloskeletal lainnya, dan juga sebagai analgesik
dalam berbagai kasus. Sayangnya penggunaan OAINS terkait dengan risiko
efek samping saluran cerna, termasuk tukak peptik dan komplikasinya,
kebanyakan perdarahan saluran cerna bagian atas dan perforasi. Sekitar 25%
pengguna NSAID kronis mengalami tukak, dan 2-4% mengalami perdarahan
atau perforasi. Dalam guideline ini, ACG menyusun klasifikasi pasien dengan
risiko tinggi, sedang, atau rendah mengalami gangguan gastrointestinal terkait
OAINS seperti dapat dilihat pada tabel 2.2 di bawah.
Tabel 2.2. Klasifikasi pasien dengan peningkatan risiko gangguan saluran cerna.38
Risiko tinggi
1. Riwayat tukak, terutama yang baru terjadi
2. Faktor risiko multipel
Risiko sedang (1-2 faktor risiko)
1. Umur > 65 tahun
2. Terapi OAINS dosis tinggi
3. Riwayat tukak non komplikasi
4. Penggunaan bersamaan aspirin (termasuk dosis rendah) dengan kortikosteroid atau
antikoagulan
Risiko rendah
1. Tidak ada faktor risiko
H. Pylori merupakan faktor risiko independen dan aditif sehingga perlu diklasifikasikan
terpisah
Dalam guideline ini, ACG juga merumuskan rekomendasi untuk pencegahan
komplikasi tukak terkait OAINS. Semua pasien dengan riwayat tukak yang
memerlukan OAINS harus dites untuk H. pylori, dan jika terdapat infeksi,
31
harus diberi terapi eradikasi. Dalam guideline ini juga dijelaskan secara singkat
bahwa penggunaan H2-blocker dosis tinggi (misal: famotidine 40 mg 2 kali
sehari) efektif dalam mengurangi risiko ulkus lambung yang disebabkan
OAINS. Economic modeling menunjukkan bahwa ko-terapi bersama H2-
blocker mungkin merupakan strategi yang paling cost effective untuk
pencegahan perdarahan tukak pada pengguna OAINS. Akan tetapi dalam
guideline ini, PPI tampaknya lebih dipilih karena terbukti lebih efektif secara
signif kan dibanding H2-blocker. Terdapat studi yang menunjukkan bahwa
pada pasien dengan risiko tukak rendah– sedang, H2-blocker mungkin dapat
digunakan sebagai alternatif yang lebih ekonomis dibanding PPI.
Simpulannya, pada pasien dengan risiko gastrointestinal sedang–tinggi yang
membutuhkan OAINS, sebaiknya diberikan misoprostol atau PPI untuk
menurunkan risiko komplikasi tukak. H2-blocker mungkin dapat digunakan
sebagai alternatif yang lebih ekonomis dibanding PPI. Rekomendasi rejimen
OAINS untuk mencegah terjadinya komplikasi tukak dapat dilihat pada tabel
2.3 di bawah ini.11,38
Tabel 2.3. Rekomendasi untuk pencegahan komplikasi tukak terkait OAINS.38
Parameter Risiko Gastrointestinal
Rendah Sedang Tinggi
Risiko CV rendah
OAINS saja (yang
paling tidak
ulserogenik)
dengan dosis
efektif terendah
OAINS +
PPI/misoprostol
Terapi alternatif,
jika mungkin:
COX-2 inhibitor +
PPI/misoprostol
Risiko CV tinggi
(aspirin dosis
rendah diperlukan)
Naproxen +
PPI/misoprostol
Naproxen +
PPI/misoprostol
Hindari OAINS
atau COX-2
inhibitor, gunakan
terapi alternatif
Obat-obatan penangkal sekresi asam berlebihan dan kerusakan mukus
A. Antasida
Obat ini dapat menyembuhkan tukak namun dosis biasanya lebih tinggi dan
digunakan dalam jangka waktu lebih lama dan lebih sering (tujuh kali sehari
dengan dosis total 1008 mEq/hari) dengan komplikasi diare yang mungkin
32
terjadi. Dari penelitian lain dimana antasida sebagai obat untuk menetralisir
asam, cukup diberikan 120-240 mEq/hari dalam dosis terbagi.3
B. H2 receptor Antagonist (H2RA)
Obat ini berperan menghambat pengaruh histamin sebagai mediator untuk
sekresi asam melalui reseptor histamin-2 pada sel parietal, tetapi kurang
berpengaruh terhadap sekresi asam melalui pengaruh kolinergik atau gastrin
postprandial. Beberapa jenis preparat yang dapat digunakan seperti:
- Cimetidin 2 x 400 mg/hari atau 1 x 800 mg pada malam hari
- Ranitidin diberikan 300 mg sebelum tidur malam atau 2 x 150 mg/hari
- Famotidin diberikan 40 mg sebelum tidur malam atau 2 x 20 mg/hari
Masing-masing diberikan selama 8-12 minggu dengan penyembuhan sekitar
90%.3
C. Protont pump inhibitor (PPI)
Merupakan obat pilihan untuk penyakit tukak peptik, diberikan sekali sehari
sebelum sarapan pagi atau jika perlu 2 kali sehari sebelum makan pagi dan
makan malam, selama 4 minggu dengan tingkat penyembuhan di atas 90%.3
D. Koloid bismuth (Coloid Bismuth Subsitrat/CBS dan Bismuth
Subsalisilat/BSS)
Mekanisme kerja belum jelas, kemungkinan membentuk lapisan penangkal
bersama protein pada dasar tukak dan melindunginya terhadap pengaruh asam
dan pepsin, berikatan dengan pepsin sendiri, merangsang sekresi prostaglandin,
bikarbonat, mukus. Diberikan 2 x 2 tablet sehari. Efek samping tinja berwarna
kehitaman sehingga menimbulkan keraguan dengan perdarahan.27
E. Sukralfat
Mekanisme kerja kemungkinan melalui pelepasan kutub aluminium hidroksida
yang berkaitan dengan kutub positif molekul protein membentuk lapisan
fisikokemikal pada dasar tukak, yang melindungi tukak dari pengaruh agresif
asam dan pepsin. Efek lain membantu sintesis prostaglandin, kerjasama dengan
EGF, menambah sekresi bikarbonat dan mukus, meningkatkan daya
pertahanan dan perbaikan mukosa. Diberikan 4 x 1 g/hari.27
33
F. Prostaglandin
Mekanisme kerja mengurangi sekresi asam lambung, menambah sekresi
mukus, bikarbonat, dan meningkatkan aliran darah mukosa serta pertahanan
dan perbaikan mukosa. Efek penekanan sekresi asam lambung kurang kuat
dibandingkan dengan H2AR. Biasanya digunakan sebagai penangkal terjadinya
tukak gaster pada pasien yang menggunakan OAINS. Dosis 4 x 200 mg atau 2
x 400 mg pagi dan malam hari.27
2.9.2. Penatalaksanaan Non-medikamentosa
A. Istirahat
Secara umum pasien tukak dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang
berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap di rumah sakit.
Penyembuhan akan lebih cepat dengan rawat inap walaupun mekanismenya
belum jelas, kemungkinan oleh bertambahnya jam istirahat, berkurangnya
refluks empedu, stres, dan penggunaan analgetik. Stres dan kecemasan
memegang peran dalam peningkatan asam lambung dan penyakit tukak.27
B. Diet
Makanan lunak apalagi bubur saring, makanan yang mengandung susu, tidak
lebih baik daripada makanan biasa, karena makanan halus dapat merangsang
pengeluaran asam lambung. Cabai dan makanan lainnya yang mengandung
asam dapat menimbulkan rasa sakit pada beberapa pasien tukak dan dispepsia
nontukak, walaupun belum didapat bukti keterkaitannya. Pasien kemungkinan
mengalami intoleransi terhadap beberapa jenis makanan tertentu atau makanan
tersebut mempengaruhi mobilitas lambung. Dalam hal ini dianjurkan
pemberian makanan dalam jumlah yang sedang atau menghindari makanan
tersebut.27
2.10. Pencegahan Tukak Peptik
Cara terbaik dan paling hemat biaya untuk mencegah terjadinya tukak
peptik adalah dengan menghindari faktor risikonya.
34
A. Pencegahan Infeksi Helycobacter pylori
Guideline terkini menganjurkan dilakukannya eradikasi profilaksis H. pylori
pada individu maupun populasi yang berisiko tinggi terkena infeksi bakteri ini.
Metode lainnya seperti pemberian vaksin sebagai langkah pencegahan infeksi
H. pylori juga belum dapat dipastikan manfaatnya, karena diketahui adanya
kegagalan dari sistem imun untuk menyapu bersih infeksi ini. Berdasarkan
penelitian, pemberian vaksin ini tidak meberikan imunitas yang adekuat untuk
melawan infeksi.39
Cara pencegahan terbaik saat ini adalah mencegah terjadinya infeksi dengan
mengganggu proses transmisi H. pylori. Langkah yang dapat dilakukan
misalnya menjaga higienitas makanan yang dikonsumsi dan lingkungan hidup.
Cara ini sudah diterapkan dibidang kesehatan masyarakat meskipun belum
memberikan hasil yang memuaskan, tapi tampaknya metode ini merupakan
pilihan tunggal sebelum ditemukannya suatu metode pencegahan yang
memiliki tingkat keberhasilan lebih baik.39
B. Menghindari obat-obatan pemicu timbulnya tukak peptik
OAINS sebaiknya dihindari. Pemberian secara parenteral (supositoria dan
injeksi) tidak terbukti lebih aman. Bila diperlukan dosis OAINS diturunkan
atau dikombinasi dengan H2RA/PPI/misoprostol (lihat tabel 2.3). Pada saat ini
sudah tersedia COX-2 inhibitor yang selektif untuk penyakit
osteoartritis/reumatoid artritis yang kurang menimbulkan keluhan perut.
Pemakaian aspirin dosis kecil untuk pasien kardiovaskular belum menjamin
tidak terjadi kerusakan mukosa lambung. Penggunaan parasetamol atau kodein
sebagai analgetik dapat dipertimbangkan.27,30
C. Faktor psikologis: menghindari stres
Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan adanya hubugan kuat antara
keadaan stres dengan terjadinya peningkatan sekresi asam lambung sehingga
dapat menyebabkan atau memperparah tukak peptik. Meskipun sekarang faktor
stres tidak dianggap berpengaruh langsung, namun efek yang dapat
ditimbulkan tetap memberikan risiko terhadap timbulnya tukak, sehingga
menghindari stres menjadi salah satu tindakan pencegahan penting.40
35
D. Konsumsi diet yang kaya akan zat protektif terhadap lambung dan
duodenum
Diet kaya akan serat dapat menurunkan risiko tukak peptik hingga 50%. Serat
yang terdapat dalam sayur dan buah-buahan bersifat protektif, serta vitamin A
yang terkandung dalam makanan-makanan ini meningkatkan manfaat yang
diperoleh. Konsumsi yogurt juga memiliki efek protektif terhadap tukak peptik
melalui kandungan probiotiknya.40
E. Hindari merokok
Menghindari kebiasaan merokok termasuk salah satu tindakan pencegahan
terpenting karena merokok dapat menginisiasi timbulnya tukak,
memperlambat penyembuhan tukak, dan meningkatkan risiko terjadinya
kekambuhan. Rokok juga menurunkan produksi prostaglandin dan bikarbonat,
mengurangi aliran darah mukosa, mengganggu kerja antagonis reseptor
histamin H2, dan mempercepat masa pengosongan cairan lambung.
Menghentikan atau mengurangi kebiasaan merokok umumnya berefek baik
terhadap gejala tukak peptik yang telah ada sebelumnya.40
F. Menghindari konsumsi alkohol berlebihan
Alkohol meningkatkan produksi asam lambung, yang dapat memicu timbulnya
tukak maupun mengiritasi tukak yang telah terbentuk. Mengganti kebiasaan
mengonsumsi alkohol yang memiliki efek toksisitas tinggi dengan minuman
alkohol yang kurang toksik seperti white wine dapat mengurangi risiko.
Menghentikan sama sekali konsumsi alkohol adalah langkah yang lebih baik.40
2.11. Komplikasi dan Prognosis Tukak Peptik
2.11.1. Komplikasi
Sejumlah komplikasi dapat terjadi pada pasien tukak peptik dengan
berbagai etiologi. Kondisi ini adalah alasan utama tingginya angka morbiditas dan
mortalitas hingga saat ini. Beberapa tindakan terkini termasuk terapi eradikasi H.
pylori telah berhasil menurunkan angka insidensi timbulnya komplikasi. Dewasa
ini, komplikasi yang lebih banyak timbul pada kasus tukak peptik akibat konsumsi
36
OAINS jangka panjang atau pada penderita dengan kebiasaan merokok. Terdapat
4 komplikasi utama dari penyakit tukak peptik:
1. Perdarahan. Merupakan komplikasi yang sering ditemui dalam keadaan
gawat darurat dan terdapat pada 10-20% penderita tukak peptik. Tukak akibat
OAINS lebih cenderung untuk mengalami perdarahan dibandingkan akibat
infeksi H. pylori. Populasi yang paling sering mengalami komplikasi ini adalah
pasien lanjut usia dan pasien dengan penyakit penyerta. Manifestasi klinis
tersering dijumpai: 15% dengan melena, 30% dengan hematemesis, 50%
dengan keduanya, dan 5% dengan hematokezia. Endoskopi merupakan standar
baku emas untuk diagnosis perdarahan dan tindakan hemostasis. Penggunaan
klasifikasi Forrest untuk tukak sering dipakai di Asia dan Eropa untuk menilai
karakteristik tukak dan kemungkinan rekurensinya.4,41,42
2. Perforasi. Terjadi pada sekitar 5% dari seluruh pasien tukak peptik. Sekitar
60%-nya terjadi pada pasien tukak peptik dengan lokasi di dinding anterior dari
bulbus duodeni dan 40%-nya terjadi pada pasien tukak peptik dengan lokasi di
kurvatura minor. Gejala yang umum dijumpai adalah nyeri abdomen hebat
yang timbul tiba-tiba dan berlokasi di epigastrium dan dapat menjalar ke
punggung. Pada pemeriksaan fisik dijumpai abdomen yang keras dan kaku saat
dipalpasi, dengan nyeri tekan hebat. Pemeriksaan auskultasi didapati adanya
peningkatan bising usus pada kondisi awal, hingga tidak terdengar bising usus
sama sekali sesuai perjalanan kondisinya. Pada 70% kasus dapat dijumpai
pneumoperitoneum pada hasil foto polos abdomen.4
3. Penetrasi. Komplikasi ini terjadi ketika tukak menembus lapisan mukosa
lambung atau duodenum, namun tidak seperti pada kebanyakan kasus dimana
terbentuk luka perforasi ke rongga peritoneum, pada kasus ini tukak berlanjut
ke organ terdekat. Keadaan ini terjadi pada 25% dari seluruh kasus tukak
duodenum dan 15% dari kasus tukak lambung. Organ-organ yang paling sering
terkena adalah pankreas, hati, dan omentum. Manifestasi klinis yang timbul
umumnya mirip dengan pada kasus tukak tanpa kompliaksi, namun nyeri yang
dirasakan lebih hebat dan menetap. Nyeri ini tidak hilang dengan makan,
bahkan semakin memburuk dan pada kasus yang sering terjadi dapat
37
membangunkan pasien pada malam hari. Terkadang rasa nyeri dapat menjalar
ke punggung ketika tukak berpenetrasi ke pankreas atau menjalar ke kuadran
atas abdomen ketika terjadi penetrasi ke omentum gastrohepatika.4
4. Obstruksi. Adalah komplikasi yang sangat jarang terjadi, dan hanya terdapat
pada 5% penderita tukak. Tukak yang dapat menyebabkan obstruksi biasanya
berlokasi di kanal pilorus atau bulbus duodeni, terjadi sebagai akibat dari
terbentuknya edema yang mengiringi proses ulserasi aktif atau merupakan
proses penyembuhan dari tukak itu sendiri. Gejala utama adalah mual, muntah,
rasa cepat kenyang, dan anoreksia. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
gejala dehidrasi dan adanya bunyi air yang dihasilkan oleh retensi air dan udara
pada bagian yang mengalami distensi ketika diperkusi. Konfirmasi diagnosis
dapat dilakukan dengan pemeriksaan endoskopi.4
2.11.2. Prognosis
1. Terapi medis menyembuhkan tukak setelah 4-6 minggu, baik dengan antagonis
reseptor-H2 (H2RA) maupun PPI. Namun, penggunaan OAINS harus
dihentikan selama proses pengobatan.43
2. Rekurensi tukak sering terjadi bila tidak dilakukan eradikasi H. pylori.
Regimen eradikasi triple therapy memiliki tingkat keberhasilan 70-80%.
Keberhasilan harus dibuktikan dengan urea breath test 13C-UBT. Bila
eradikasi gagal, tindakan yang tepat adalah melakukan reendoskopi disertai
kultur organisme untuk sensitivitas terbaik sebagai langkah menghindari
perburukan prognosis.43
3. Angka mortalitas tukak peptik mencapai 1 dari 100.000 kasus. Angka ini sudah
jauh mengalami penurunan selama beberapa dekade terakhir. Angka mortalitas
yang tinggi disebabkan terutama oleh kasus tukak peptik berkomplikasi. Pada
tindakan operasi kasus perforasi akibat tukak peptik, risiko mortalitas
mencapai 6-30%.5
38
2.12. Kiat Berpuasa Bagi Penderita Tukak Peptik
2.12.1. Wajib Makan Sahur
Setiap penderita tukak peptik diharuskan makan sahur sebelum berpuasa.
Saat berpuasa, lambung akan mengalami kekosongan selama hampir 14 jam. Sahur
dapat mengurangi waktu kekosongan lambung dan mencegah peningkatan asam
lambung berlebih. Selain itu, sahur juga merupakan sumber energi bagi orang yang
berpuasa.
Demikian juga diantara keberkahan sahur adalah mendapat shalawat dari
Allah dan para malaikat, sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Sa’id Al-Khudry
radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
حور جرعة أحدكم يجرع أن ولو تدعوه فل بركة أكلة الس فإن ماء من رين لىع يصلون وملئكته للا المتسح
Artinya : Sahur adalah makanan berkah, maka jangan kalian tinggalkan walaupun
salah seorang dari kalian hanya meneguk seteguk air, karena Allah dan
para malaikat bershalawat atas orang-orang yang bersahur. (HR Ibnu
Abu Syaibah dan Ahmad).
2.12.2. Segera Berbuka
Bagi penderita tukak peptik, disarankan untuk segera berbuka pada saat
waktu maghrib tiba. Minumlah air hangat ketika berbuka. Hindari untuk
mengonsumsi teh pekat, kopi, dan air dingin atau es, karena dapat merangsang
pengeluaran asam lambung. Selain itu, konsumsi makanan ringan dan manis,
seperti kurma, untuk mengganti kebutuhan glukosa sangatlah baik untuk dilakukan.
Hadits no. 658 dari kitab Bulughul Maram, Ibnu Hajar membawakan
hadits:
ل وعن ن سه د ب ي سع هه للاه رض ول أن ، عن ه عل للاه صلى للا رسه ر الناسه يزاله ل: قال وسلم ي ر جلهواع ما ب خي ل ف ط
تفق ) ه مه (علي
Artinya : Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih)
39
2.12.3. Konsumsi Obat Secara Teratur
Untuk penderita tukak peptik, sebaiknya mengonsumsi obat-obatan secara
teratur, sesuai dengan anjuran dokter. Biasanya, obat yang disarankan adalah obat
golongan antasida, Proton Pump Inhibitor (PPI), atau golongan H2 antagonis. Obat-
obatan lambung akan membantu mengurangi produksi asam lambung, menetralisir
asam lambung dan juga melindungi mukosa lambung. Dengan mengonsumsi obat-
obatan, maka penderita tukak lambung akan terbantu dalam menjalankan ibadah
puasa.
2.12.4. Makan Secukupnya
Hindari makan berlebihan, terutama pada saat berbuka. Langkah yang baik
saat berbuka puasa, makan dalam porsi kecil, tapi lebih sering. Misalnya, mulai
dengan makanan ringan dan air putih, lalu shalat maghrib, diikuti oleh makanan
utama sebelum Tarawih. Praktik lain yang baik adalah untuk berhenti makan
beberapa waktu sebelum tidur untuk memberikan waktu istirahat bagi sistem
pencernaan sebagaima firman Allah swt :
د زينتكم خذوا آدم بني يا جد كل عن ربوا وكلوا مس رفوات ول واش رفين يحب ل إنه س ال مس
Artinya : Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-
lebihan. (QS Al A’raf : 31)
2.12.5. Pilih Makanan dan Minuman yang Sesuai
Hindari makanan yang dapat merangsang peningkatan pengeluaran asam
lambung, seperti makanan pedas dan makanan yang terlalu asam. Hindari kebiasaan
merokok pada saat sahur dan berbuka puasa, karena racun dalam rokok dapat
menyebabkan iritasi mukosa lambung dan memperberat tukak peptik. Selanjutnya
baiknya mengonsumsi sumber karbohidrat seperti nasi, pada saat sahur dan
berbuka, Konsumsi makanan yang mengandung serat dan protein yang cukup
karena serat dan protein dapat membuat pasien merasa kenyang lebih lama dan
41
2.13. Kerangka Teori
Gambar 2.15. Kerangka teori penelitian.
2.14. Kerangka Konsep
Gambar 2.16. Kerangka Konsep
Usia
Tukak Peptik
Jenis kelamin Riwayat
OAINS
Dispepsia
Nyeri Kolik
Gastritis Anemia Hematemesis Melena
GERD Gejala
42
2.15. Definisi Operasional
Tabel 2.4. Definisi operasional
No Variabel Definisi Cara
Ukur
Alat ukur Skala
Pengukuran
1 Tukak
peptik
Rusaknya
integritas
mukosa
lambung atau
duodenum
dengan diameter
>5 mm yang
dapat diamati
secara
endoskopis
Observasi
dokumen
Data hasil
endoskopi
berdasarkan
rekam medis rs
haji jakarta
Nominal
(positif,
negatif)
2 Kelompok
umur
Golongan usia
pasien saat
menjalani
tindakan
endoskopi
berdasarkan
kelompok
rentang yang
telah ditetapkan
Observasi
dokumen
Data identitas
pasien
berdasarkan
rekam medis
RS Haji
Jakarta
Ordinal
(dalam
rentang tahun)
berdasarkan
Depkes RI
tahun 2009
Masa remaja
akhir : 17-25
tahun
Masa dewasa
awal : 26-35
tahun
Masa dewasa
akhir : 36-45
tahun
Masa lansia
awal : 46-55
tahun
Masa lansia
akhir : 56-65
tahun
Masa manula
: 65-sampai
atas
3 Jenis
kelamin
Jenis kelamin
pasien yang
menjalani
tindakan
endoskopi
Observasi
dokumen
Data identitas
pasien
berdasarkan
rekam medis
RS Haji
Jakarta
Nominal
(laki-laki,
perempuan)
4 Riwayat
Mengon-
Sumsi
Oains
Status pasien
Terhadap
Paparan dengan
Terapi OAINS
Sebelumnya
Observasi
Dokumen
Data riwayat
Pengobatan
oains pasien
berdasarkan
rekam medis
Nominal (ya,
tidak)
43
RS Haji
Jakarta
5 Keluhan
saat datang
Manifestasi
klinis subjektif
yang dirasakan
pasien dan
merupakan
indikasi
dilakukannya
tindakan
endoskopi
Observasi
dokumen
Data
anamnesis
pasien
berdasarkan
rekam medis
RS Haji
Jakarta
Nominal
(nyeri
epigastrium,
mual atau
muntah,
hematemesis,
melena,
keluhan
lainnya)
44
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Jenis dan Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif-kategorik
dengan pendekatan cross sectional untuk mengetahui proporsi pasien tukak peptik
dengan gambaran faktor risiko usia, jenis kelamin, dan riwayat konsumsi OAINS
disertai dengan keluhan utamanya datang saat berobat. Data diperoleh berdasarkan
rekam medis pasien yang menjalani tindakan endoskopi di Rumah Sakit Haji
Jakarta selama periode Januari 2015 sampai dengan April 2018.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada :
Waktu : Maret – Juli 2018.
Tempat : Rumah Sakit Haji Jakarta
Jl. Raya Pondok Gede No.4, Pinang Ranti, Makasar, RT.1/RW.1,
Pinang Ranti, Makasar, Kota Jakarta Timur, DKI Jakarta – 13560.
3.3. Populasi dan Subjek Penelitian
3.3.1. Populasi Target
Pasien yang menjalani pengobatan rawat inap dan rawat jalan di Rumah
Sakit Haji Jakarta.
3.3.2. Populasi Terjangkau
Pasien yang menjalani tindakan endoskopi di RS Haji Jakarta selama
periode Januari 2015 sampai dengan April 2018.
3.3.3. Besaran Subjek Penelitian
Dalam penghitungan minimal besaran subjek, digunakan rumus berikut.
𝑛 = 𝑍𝑎2. 𝑃. 𝑄
𝑑2
45
Keterangan :
n = Jumlah subjek.
Zα = Nilai Z pada derajat kemaknaan.
P = Proporsi pasien tukak peptik menurut sebuah penelitian di China
sebanyak 17,2%.7,45
Q = 1-P.
d = Derajat penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan.
𝑛 = (1,96)2 . 0,172 . 0,828
(0,07)2
𝑛 = 3,8416 . 0,172 . 0,828
0,0049≈ 112
3.3.4. Cara pengambilan subjek
Peneliti mengambil data rekam medis pasien yang memenuhi kriteria
eksklusi dan inklusi, didapatkan data pasien yang melakukan pemeriksaan
endoskopi yaitu 1.169 pasien. Pengambilan subjek dilakukan dengan cara random
sampling sesuai dengan jumlah besaran subjek yang dibutuhkan secara acak dengan
bantuan program aplikasi Research Randomizer.
3.4. Kriteria Subjek
3.4.1. Kriteria Inklusi
Pasien yang menjalani tindakan endoskopi di RS Haji Jakarta periode
Januari 2015 sampai dengan Februari 2018.
3.4.2. Kriteria Eksklusi
Pasien usia di bawah 17 tahun.
Pasien yang telah meninggal dunia.
Pasien dengan data yang tidak lengkap
46
3.5. Cara Kerja Penelitian
1. Melakukan persiapan bahan penelitian, termasuk menentukan dosen
pembimbing, menentukan judul penelitian dan menyiapkan proposal
penelitian.
2. Melakukan survey dan mengurus izin penelitian di RS Haji Jakarta.
3. Melakukan pengambilan data hasil endoskopi di RS Haji Jakarta.
4. Melakukan pengambilan data rekam medik pasien di RS Haji Jakarta.
5. Melakukan pengolahan dan analisis data.
6. Membuat hasil penelitian.
3.6. Alur Penelitian
Gambar 3.1. Alur Penelitian
Populasi target : Seluruh pasien
yang berobat di RS Haji Jakarta
berdasarkan data rekam medis.
SUBJEK
- Memenuhi
kriteria inklusi
- Tidak termasuk
dalam kriteria
eksklusi
Keluhan saat
datang berobat Usia
17-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
46-55 tahun
56-65 tahun
65 tahun – ke atas
Jenis
Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Riwayat
OAINS
Ya
Tidak
Randomisasi
Data Rekam Medis
47
3.7. Rencana Analisis Data
3.7.1. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder
menggunakan rekam medis pasien yang menjalani tindakan endoskopi pada
Januari 2015 sampai dengan Februari 2018 di Rumah Sakit Haji Jakarta.
3.7.2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan mencatat data rekam medis yang
didapat dari Rumah Sakit Haji Jakarta.
3.7.3. Pengolahan dan Analisis Data
Semua data dari data rumah sakit dan rekam medis dikumpulkan kemudian
diolah dengan menggunakan program SPSS 25 for Windows dan Microsoft Office
Excel 2016.
Langkah awal dimulai dengan editing, coding, data entry, dan dilanjutkan
dengan tabulasi.
48
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Deskripsi Subjek
Sesuai dengan rencana penelitian, peneliti mengambil subjek dari populasi
pasien yang berobat di RS Haji Jakarta selama periode Januari 2015 sampai dengan
Februari 2018. Pemilihan subjek dilakukan secara random sampling sesuai dengan
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditetapkan. Dari seluruh pasien yang
termasuk dalam populasi terjangkau, didapatkan 1.169 data rekam medis yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu pasien yang menjalani tindakan
endoskopi selama periode Januari 2015 s.d. April 2018 dan berusia di atas 17 tahun.
Sesuai dengan jumlah minimal subjek yang dibutuhkan menurut rumus yang telah
dipaparkan sebelumnya yaitu 112 subjek, maka peneliti kemudian mengambil
subjek sebanyak 112 orang secara random sampling dari seluruh subjek yang
memenuhi kriteria.
4.2. Diagnosis Awal Subjek Saat Datang Berobat
Seluruh pasien yang dijadikan subjek merupakan pasien yang menjalani
tindakan endoskopi di RS Haji Jakarta. Diagnosis klinis yang ditegakkan pada
subjek ketika datang berobat dapat dilihat pada tabel 4.1 di bawah ini.
Tabel 4.1. Diagnosis awal subjek saat datang berobat.
Diagnosis Frekuensi Persentase
Dispepsia 48 42,9%
Nyeri kolik 13 11,6%
Gastritis 1 0,9%
Anemia 3 2,7%
Hematemesismelena 5 4,5%
Melena 8 7,1%
GERD 5 4,5%
Lainnya 29 25,9%
49
Dari tabel diatas diketahui bahwa dispepsia merupakan diagnosis yang
paling sering ditegakkan pada subjek sebelum menjalani tindakan endoskopi di RS
Haji Jakarta. Persentase dari diagnosis ini mencapai 42,9% atau hampir setengah
jumlah subjek. Sedangkan data diagnosis awal subjek yang setelah menjalani
tindakan endoskopik selanjutnya didiagnosis dengan tukak peptik saat datang
berobat dapat dilihat pada tabel 4.2 di bawah ini.
Tabel 4.2. Diagnosis awal subjek dengan tukak peptik saat datang berobat.
Diagnosis Frekuensi Persentase
Dispepsia 5 31,3%
Nyeri kolik 3 18,8%
Anemia 1 6,3%
Hematemesismelena 2 12,5%
Melena 4 25,0%
GERD 1 6,3%
Berdasarkan data diatas, diagnosis awal subjek yang didiagnosis dengan
tukak peptik tidak jauh berbeda dari tabel 4.1 sebelumnya. Dispepsia menjadi
diagnosis yang paling sering ditegakkan dengan persentase 31,3%.
Hasil yang mirip dikemukakan oleh penelitian yang dilakukan
sebelumnya, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Barzandeh, dkk di
Iran. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa mayoritas pasien yang menjalani
didiagnosis dengan tukak peptik datang dengan keluhan yang mengarah pada
dispepsia atau bahkan telah mendapat terapi untuk dispepsia saat kunjungan ke
dokter sebelumnya.8
4.3. Proporsi Tukak Peptik
Setelah dilakukan tindakan penunjang berupa pemeriksaan endoskopi,
subjek didiagnosis berdasarkan konfirmasi temuan saat pemeriksaan tersebut. Pada
tabel 4.3 di bawah ini dapat dilihat distribusi frekuensi subjek berdasarkan
diagnosis setelah dilakukan tindakan pemeriksaan endoskopi.
50
Tabel 4.3. Distribusi frekuensi subjek berdasarkan diagnosis menurut hasil
pemeriksaan endoskopi.
Diagnosis Frekuensi Persentase
Tukak peptik 16 14,3%
Non tukak peptik 96 85,7%
Total 112 100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa jumlah subjek yang
didiagnosis dengan tukak peptik berjumlah 16 pasien atau 14,3% dari seluruh
subjek.
Proporsi pasien dengan diagnosis tukak peptik di Swedia sebesar 4,1% dan
Korea Selatan 5,4%. Sementara data dari Cina, India, dan Malaysia, tiga negara
berkembang di kawasan Asia, menunjukkan proporsi sebesar 17,2%, 8,8%, dan
9,5% secara berturut-turut, yang tidak jauh berbeda dari hasil penelitian ini.
Persentase yang lebih tinggi di negara-negara berkembang tersebut mungkin
disebabkan oleh tingkat sosioekonomi dari subjek yang diteliti. Sejumlah literatur
memaparkan bahwa prevalensi tukak peptik memang dipengaruhi oleh tingkat
sosial ekonomi dimana penyakit ini banyak terjadi pada kelompok masyarakat
dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, terutama populasi di negara-negara
berkembang.6,45-48
4.4. Faktor Jenis Kelamin
Persentase pasien yang menjalani tindakan endoskopi di RS Haji Jakarta
selama periode Januari 2015 sampai dengan April 2018 dan didiagnosis dengan
tukak peptik berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.4 dibawah ini.
Tabel 4.4. Distribusi frekuensi subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik
berdasarkan jenis kelamin di dalam tabel kontingensi 2x2.
Jenis kelamin Tukak Peptik Non Tukak Peptik
Laki-laki 12 (75%) 39 (40,6%)
Perempuan 4 (25%) 57 (59,4%)
Total 16 (100%) 96 (100%)
51
Berdasarkan tabel 4.4 di atas, dapat disimpulkan bahwa subjek yang diteliti
didominasi oleh jenis kelamin laki-laki. Terdapat beberapa perbedaan dari
penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan antara jenis kelamin dengan
kejadian tukak peptik. Penelitian oleh Gokakin, dkk menunjukkan hasil yang mirip
dengan yang dilakukan peneliti yaitu subjek berjenis kelamin laki-laki lebih
mendominasi yaitu 83,1%. Hal ini juga sesuai dengan informasi dari publikasi
ilmiah Harvard Medical School yang menyatakan bahwa kasus tukak peptik lebih
sering ditemui pada laki-laki. Satu teori yang dapat menjelaskan hal ini adalah
adanya sejumlah perilaku berisiko tukak peptik yang lebih sering didapati pada laki-
laki, misalnya merokok dan mengonsumsi alkohol. Sementara itu penelitian yang
dilakukan oleh Kang, dkk di Namwon Medical Center, Korea, justru menunjukkan
hasil subjek perempuan ditemukan lebih mendominasi dengan angka 61,2%.9,12,32
Penelitian sebelumnya oleh Lauret, dkk, yang menjelaskan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara jumlah penderita tukak peptik laki-laki
dan perempuan. Hal sejalan juga dikemukakan oleh Lau, dkk bahwa terdapat
inkonsistensi dari sejumlah penelitian mengenai hubungan jenis kelamin terhadap
kejadian tukak peptik, serta hanya sedikit penelitian saja yang dapat menunjukkan
adanya hubungan antara jenis kelamin dengan kejadian tukak peptik dan bermakna
secara statistik. Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Feinstein, dkk
dengan mengamati tren epidemiologi kasus tukak peptik dari tahun 1998-2005
menunjukkan adanya dominasi kasus tukak peptik oleh subjek laki-laki pada tahun-
tahun awal data penelitian, namun kecenderungan ini mulai berubah pada tahun-
tahun akhir penelitian dengan selisih jumlah subjek laki-laki dan perempuan yang
tidak jauh berbeda. Dapat disimpulkan bahwa hanya terdapat sedikit bukti ilmiah
yang menunjukkan adanya pengaruh jenis kelamin tertentu terhadap kejadian tukak
peptik.4,33,49
4.5. Faktor Usia
Data persebaran subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik berdasarkan
usia dapat dilihat pada tabel 4.5 dibawah ini.
52
Tabel 4.5. Distribusi frekuensi subjek dengan tukak peptik berdasarkan kelompok
usia.
Kelompok usia Frekuensi Persentase
26-35 tahun 1 6,3%
36-45 tahun 4 25%
46-55 tahun 2 12,5%
55-65 tahun 4 25%
>65 tahun 5 31,3%
Berdasarkan tabel 4.5 di atas dapat dilihat bahwa pasien yang menjalani
tindakan endoskopi di RS Haji Jakarta dan didiagnosis dengan tukak peptik dapat
ditemukan mulai kelompok usia 26 tahun, dengan frekuensi tertinggi berada pada
kelompok usia >65 tahun yaitu 5 subjek.
Selanjutnya dilakukan pengelompokan subjek berdasarkan kategori usia.
Penelitian oleh Fezzi, dkk menjelaskan bahwa peningkatan angka kejadian tukak
peptik ditemukan paling signifikan pada usia lansia. Menurut kategori umur
menurut Depkes RI tahun 2009, usia diatas 46 tahun sudah dikategorikan sebagai
lansia dengan pembagian 46-55 tahun (lansia awal), 56-65 tahun (lansia akhir), dan
diatas 65 tahun (manula). Berdasarkan penelitian dan kategori usia tersebut, peneliti
mengelompokkan subjek berdasarkan kategori lansia (46+ tahun) dan belum lansia
(<46 tahun) ke dalam tabel kontignensi 2x2 yang dapat dilihat pada tabel 4.6 di
bawah ini.50
Tabel 4.6. Distribusi frekuensi subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik
berdasarkan kategori usia di dalam tabel kontingensi 2x2.
Kategori usia Tukak Peptik Non Tukak Peptik
46+ tahun 11 (68,8%) 28 (29,2%)
<46 tahun 5 (31,2%) 68 (70,8%)
Total 16 (100%) 96 (100%)
Dari tabel 4.6 dijumpai bahwa distribusi terbanyak ditemukan pada
kategori usia lansia dibandingkan pada kelompok usia lebih muda, yaitu 11 subjek
atau 68,8% dari total 16 subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik.
53
Pada penelitian yang dilakukan di Subbagian Gastroenterologi RS
Pendidikan di Makassar ditemukan hasil yang tidak jauh berbeda, bahwa usia
terbanyak penderita tukak peptik berada diantara 45-65 tahun dengan
kecenderungan angka prevalensi yang semakin meningkat seiring dengan
peningkatan usia. Hasil yang sama juga dikemukakan oleh peneliti di beberapa
negara yang berbeda diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Kang, dkk di
Korea dimana prevalensi tertinggi diperoleh pada kelompok usia 51-60 tahun dan
penelitian yang dilakukan oleh Barazandeh, dkk di Iran dengan prevalensi kasus
tukak peptik tertinggi diperoleh pada kelompok usia 40-49 dan 60-69 tahun.3,8,12
Rendahnya frekuensi kelompok usia yang lebih muda sesuai dengan
pemaparan diatas dapat terjadi akibat minimnya penggunaan OAINS pada rentang
usia tersebut dibandingkan pada kelompok usia yang lebih tua. Hal ini juga
didukung oleh menurunnya angka kejadian infeksi H. pylori yang merupakan salah
satu penyebab utama lainnya dari kasus tukak peptik pada generasi ini seiring
dengan peningkatan sanitasi dan penurunan faktor risiko transmisi H. pylori.
Adanya peningkatan kesadaran baik di kalangan praktisi kesehatan maupun pasien
tentang hubungan yang erat antara infeksi H. pylori dengan kasus tukak peptik juga
ikut berpengaruh dalam menurunkan angka kejadian tukak peptik.33
Pada kelompok usia yang lebih tua, penyakit tukak peptik diperkirakan
merupakan efek tak terhindarkan akibat penggunaan OAINS jangka panjang baik
sebagai obat tunggal maupun obat kombinasi terhadap berbagai penyakit degeratif.
Namun demikian, hal ini bukanlah satu-satunya penyebab yang diidentifikasi.
Adanya penyakit penyerta (seperti penyakit jantung koroner, diabetes melitus,
penyakit paru obstruktif kronis, gagal ginjal, hipertensi, gagal jantung kongestif,
dan pemberian terapi kombinasi terdapat penyakit-penyakit penyerta tersebut) juga
merupakan faktor risiko yang memiliki peran signifikan. Selain itu faktor-faktor
lainnya, seperti penurunan fungsi lapisan pelindung mukosa lambung dan
duodenum yang terjadi akibat dari proses penuaan (disebabkan oleh penurunan
aliran darah mukosa, sekresi lapisan mukus pelindung lambung, sekresi bikarbonat,
atau ploriferasi sel-sel mukosa), diketahui ikut bertanggung jawab dalam
meningkatkan angka kejadian tukak peptik pada lansia.32
54
4.6. Riwayat Konsumsi OAINS
Data mengenai riwayat konsumsi OAINS oleh subjek dapat dilihat pada
tabel 4.7 di bawah ini.
Tabel 4.7. Distribusi frekuensi subjek dengan tukak peptik berdasarkan riwayat
konsumsi OAINS.
Riwayat mengonsumsi
OAINS
Frekuensi Persentase
Ya 13 81,3%
Tidak 3 18,7%
Pada tabel diatas diketahui total subjek yang memiliki riwayat
mengonsumsi OAINS mendominasi dengan persentase sebesar 81,3%. Kemudian
untuk data subjek dengan tukak peptik yang memiliki riwayat mengonsumsi
OAINS berdasarkan kelompok usia dan jenis kelamin dapat dilihat pada gambar
4.1 dan 4.2 dibawah ini.
Gambar 4.1. Grafik distribusi frekuensi subjek dengan riwayat
mengonsumsi OAINS berdasarkan usia.
0%
12,5% 12,5%
25%
31,25%
6,25%
12,5%
0% 0% 0%0
1
2
3
4
5
6
26-35 tahun 36-45 tahun 46-55 tahun 56-65 tahun >65 tahun
Frek
uen
si
Distribusi Frekuensi Subjek dengan Tukak Peptik yang Memiliki Riwayat Mengonsumsi OAINS Berdasarkan
Kelompok Usia
Memiliki Riwayat Mengonsumsi OAINS Tidak Memiliki Riwayat Mengonsumsi OAINS
55
Gambar 4.2. Grafik distribusi frekuensi subjek dengan riwayat
mengonsumsi OAINS berdasarkan jenis kelamin.
Berdasarkan gambar 4.1 diatas dapat diketahui bahwa subjek dengan
riwayat mengonsumsi OAINS ditemukan terbanyak pada kelompok usia >65 tahun
yaitu 5 subjek (31,25% dari seluruh subjek dengan tukak peptik). Tingginya angka
konsumsi OAINS pada kelompok usia tua sendiri merupakan implikasi langsung
dari pemberian terapi terhadap penyakit-penyakit degeneratif seperti osteoarthritis
yang membutuhkan terapi OAINS jangka panjang. Selain itu, sejumlah obat-obatan
OAINS juga tergolong ke dalam obat-obatan OTC (over the counter) yang tidak
membutuhkan resep dokter dan telah terkenal di kalangan masyarakat awam
sebagai obat penghilang nyeri, sehingga penggunaannya menjadi tidak terkontrol.
Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, subjek dengan riwayat mengonsumsi
OAINS dijumpai lebih mendominasi pada kedua kelompok subjek. Namun, tidak
ditemukan adanya perbedaan jumlah subjek yang signifikan antara subjek pada
kelompok jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang memiliki riwayat
mengonsumsi OAINS.
Telah diketahui bahwa penggunaan OAINS terutama untuk konsumsi
jangka panjang menduduki peringkat kedua sebagai penyebab terbanyak penyakit
tukak peptik setelah infeksi H. pylori. Pada penelitian ini, keterkaitan antara
62,5%
18,75%12,5%
6,25%
0
2
4
6
8
10
12
Laki-Laki Perempuan
Frek
uen
si
Distribusi Frekuensi Subjek dengan Tukak Peptik yang Memiliki Riwayat Mengonsumsi OAINS Berdasarkan
Jenis Kelamin
Memiliki Riwayat Mengonsumsi OAINS Tidak Memiliki Riwayat Mengonsumsi OAINS
56
kelompok usia yang memiliki riwayat mengonsumsi OAINS terbanyak dan
kelompok usia yang menderita tukak peptik terbanyak jelas terlihat. Pada tabel 4.4
sebelumnya diketahui bahwa kelompok usia subjek dengan kasus tukak peptik
tertinggi terdapat pada usia diatas 65 tahun. Hal ini sesuai dengan frekuensi
kelompok usia tertinggi dengan riwayat konsumsi OAINS yang juga terdapat pada
usia diatas 65 tahun.23
Mekanisme OAINS dalam menyebabkan tukak peptik masih kontroversial
dan diperkirakan sangat kompleks. OAINS diketahui dapat mengganggu lapisan
pertahanan mukosa lambung melalui efek toksik langsung maupun efek samping
akibat mekanisme kerjanya yang menghambat enzim siklooksigenase dan
penurunan produksi prostaglandin.3,23
Selanjutnya dalam penelitian ini, peneliti juga menghimpun data nama-
nama generik OAINS yang dikonsumsi oleh sampel dengan riwayat konsumsi
OAINS positif seperti terangkum dalam tabel 4.8 di bawah.
Tabel 4.8. Distribusi frekuensi obat-obatan OAINS yang digunakan oleh sampel
dengan riwayat konsumsi OAINS positif.
Nama Obat Frekuensi Persentase
Natrium Diklofenak 6 35,3%
Asam Mefenamat 7 41,2%
Asam Asetilsalisilat 4 23,5%
Berdasarkan tabel 4.8 di atas dapat diketahui bahwa dari seluruh sampel
pasien tukak peptik dengan riwayat mengonsumsi OAINS, penggunaan asam
mefenamat paling mendominasi dengan persentase 41,2%, lalu diikuti dengan
natrium diklofenak dan asam asetilsalisilat. Riwayat penggunaan obat-obatan
penghambat selektif enzim COX-2 seperti celecoxib, yang telah terbukti lebih aman
terhadap risiko terbentuknya tukak peptik, justru tidak dijumpai pada subjek
penelitian ini.
57
4.7. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data sekunder, yaitu data
rekam medis pasien. Karenanya, terdapat beberapa variabel yang tidak lengkap
maupun hasil pemeriksaan yang tidak terlampir, terutama variabel riwayat
mengonsumsi OAINS peneliti hanya dapat mengetahui riwayat pengobatan yang
pernah dijalani subjek dari rekam medik yang tersedia di RS Haji Jakarta, sehingga
kemungkinan adanya terapi OAINS yang didapat dari rumah sakit/pusat kesehatan
lainnya maupun yang dibeli pasien sendiri tanpa resep dokter tidak dapat diketahui.
Hal ini sedikit banyak berpengaruh terhadap validitas gambaran frekuensi subjek
dengan riwayat mengonsumsi OAINS yang dipaparkan didalam penelitian ini.
Selain itu, terbatasnya waktu yang diizinkan untuk mengambil data
penelitian di bagian rekam medik RS Haji Jakarta juga merupakan kendala yang
dialami oleh peneliti, sehingga ikut membatasi variasi dari variabel yang digunakan
dan penelusuran lebih jauh tentang variabel-variabel yang diteliti dari subjek. Poin-
poin tersebut seharusnya akan dapat menjelaskan dengan lebih rinci tentang hasil
penelitian ini sehingga diharapkan tujuan dari dilakukannya penelitian dapat
tercapai dengan lebih baik.
Dalam pembahasan hasil, peneliti juga mencantumkan adanya pengaruh
tingkat sosioekonomi subjek terhadap angka kejadian tukak peptik. Namun peneliti
tidak membahas lebih lanjut mengenai perbedaan tingkat sosioekonomi antara
negara-negara maju dan berkembang ini dikarenakan keterbatasan waktu dan
sumber penelitian.
59
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan mengenai gambaran
pengaruh faktor-faktor risiko yang ditengarai merupakan penyebab kejadian tukak
peptik (usia, jenis kelamin, dan riwayat mengonsumsi OAINS) pada pasien dengan
penyakit tukak peptik yang menjalani tindakan endoskopi di Rumah Sakit Haji
Jakarta selama periode Januari 2015 s.d. April 2018, dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Gejala klinis yang paling banyak ditemui adalah dispepsia dengan persentase
42,9%. Pada pasien tukak peptik, gejala klinis yang paling banyak ditemui juga
merupakan dispepsia dengan persentase 31,3%.
2. Proporsi tukak peptik adalah 16 dari 112 subjek (14,3%).
3. Proporsi tukak peptik lebih banyak pada laki-laki dengan persentase 75%.
4. Proporsi tukak peptik paling banyak pada kelompok usia 46 tahun ke atas yaitu
68,75%.
5. 81,3% subjek dengan tukak peptik memiliki riwayat mengonsumsi OAINS.
Temuan paling paling banyak pada kelompok usia di atas 65 tahun. Asam
mefenamat menjadi jenis OAINS yang paling banyak digunakan dengan
persentase 41,2%.
5.2. Saran
Beberapa hal yang dapat peneliti sarankan baik berdasarkan pengalaman
selama melakukan penelitian maupun dari hasil penelitian ini sendiri antara lain
sebagai berikut :
1. Bagi Peneliti Lain
a. Hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut menggunakan data primer
dengan metode penelitian yang dapat lebih dalam mengkaji hubungan
antara faktor risiko dengan efeknya terhadap tukak peptik, dan
menggunakan jumlah minimal sampel 136 pasien.
60
b. Jika memungkinkan, disarankan untuk mengambil data subjek ke Rumah
Sakit lebih awal agar tidak terpengaruh oleh keterbatasan waktu.
c. Mengingat kurangnya penelitian tentang tukak peptik di Indonesia, untuk
menyempurnakan penelitian ini hendaknya dilakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan metode penelitian lain yang dapat lebih dalam mengkaji
hubungan antara faktor resiko dengan efeknya terhadap tukak peptik.
2. Bagi Masyarakat.
a. Meskipun penelitian ini tidak bertujuan untuk menunjukan adanya
hubungan antara jenis kelamin dan tukak peptik, namun masyarakat
khususnya laki-laki yang memiliki faktor resiko terkena tukak peptik harus
tetap menjaga kesehatan diri dan mencegah dari terkena tukak peptik.
b. Pada masyarakat dengan usia lanjut terutama yang saat ini dalam keadaan
yang menharuskan mengonsumsi OAINS, baiknya lebih sadar akan
kondisinya yang rentan terkena tukak peptik.
3. Bagi Pemerintah
a. Membuat program pengawasan terhadap pemberian resep OAINS di Rumah
Sakit dan Instansi kesehatan lainnya khususnya pada pasien lanjut usia.
60
DAFTAR PUSTAKA
1. Valle JD. Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. Dalam: Kasper DL,
Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Loscalzo J, editor. Harrison’s
Principle of Internal Medicine. Edisi ke-19. New York: McGraw-Hill
Education; 2015. p. 1911-32.
2. Roy S. Clinical Study of Peptic Ulcer Disease. Asian Journal of Biomedical
and Pharmaceutical Sciences 2016;6(53):41-3.
3. Akil HA. Tukak Duodenum. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 1792-7.
4. Lauret ME, Rodriguez-Pelaez M, Perez I, Rodrigo L. Peptic Ulcer Disease. J
Gastro Hepato Dis 2015;1(1):105-12.
5. Anand BS, Katz J. Peptic Ulcer Disease. Medscape 2017 [diakses tanggal 7
Maret 2018]. Tersedia di: https://emedicine.medscape.com/article/181753.
6. Aro P, Storskrubb T, Ronkainen J, Bolling-Sternevald E, Engstrand L, Vieth
M, dkk. Peptic ulcer disease in a general adult population: the Kalixanda
sturdy: a random population based study. Am J Epidemiol
2006;163(11):1025-34.
7. Li Z, Zou D, Ma X, Chen J, Shi X, Gong Y, dkk. Epidemiology of peptic
ulcer disease: endoscopic results of the systemic investigation of
gastrointestinal disease in China. Am J Gastroenterol 2010;105(12):2570-7.
8. Barazandeh F, Yazdanbod A, Pourfarzi F, Sepanlou SG, Derakhshan MH,
Malekzadeh R. Epidemiology of Peptic Ulcer Disease: Endoscopic Results
of a Systematic Investigation in Iran. Middle East J Dig Dis 2012;4(2):90-6.
9. Harvard Health Publishing. Peptic Ulcer. Harvard Medical School 2014
[diakses tanggal 29 Juli 2018]. Tersedia di:
https://www.health.harvard.edu/digestive-health/peptic-ulcer-overview
10. Velani Y, Galani P. Prevalence of Peptic Ulcer Disease among the Patients
with Abdominal Pain Attending the Department of Surgery in Gujarat Adani
Institute of Medical Science, Bhuj, India. Indian Journal of Applied Research
2015;5(12):409-11.
60
11. Sinha M, Gautam L, Shukla PK, Kaur P, Sharma S, Singh TP. Current
Perspectives in NSAID-Induced Gastropathy. Mediators of Inflammation
2013:1-11.
12. Kang JW, Lee JS, Bae KM. Correlation between Peptic Ulcer Disease and
Risk Factors. Korean J Fam Pract 2016;6(5):479-83.
13. Matsui H, Shimokawa O, Kaneko T, Nagano Y, Rai K, Hyodo I. The
pathophysiology of non-steroidal anti-inflammatory drug (NSAID)-induced
mucosal injuries in stomach and small intestine. J Clin Biochem Nutr
2011;48(2):107-11.
14. Effendi J, Waleleng BJ, Sugeng C. Profil pasien perdarahan saluran cerna
bagian atas yang dirawat di RSUP Prof. Dr. R. D Kandou Manado periode
2013-2015. Jurnal e-Clinic (eCl) 2016;4(2).
15. Standring S, editor. Gray’s Anatomy The Anatomical Basis of Clinical
Practice. Edisi ke-41. London: Elsevier; 2016.
16. Martini FH, Timmons MJ, Tallitsch RB. Human Anatomy. Edisi ke-7.
Glenview: Pearson Education; 2012.
17. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. Edisi ke-9. Boston:
Cengage Learning; 2016.
18. Barrett KE, Boitano S, Barman SM, Brooks HL. Ganong’s Review of
Medical Physiology. Edisi ke-25. New York: McGraw-Hill Education; 2016.
19. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology. Edisi ke-14.
Hoboken: John Wiley & Sons; 2014.
20. Loffeld RJ, Liberov B, Dekkers PE. Peptic Ulcer Disease: A Vanishing
Disease!. J Gastric Disord Ther 2016;2(4):1-3.
21. Siddique RA. Prevalence of Peptic Ulcer Disease among the Patients with
Abdominal Pain Attending the Department of Medicine in Dhaka Medical
College Hospital, Bangladesh. IOSR Journal of Dental and Medical Sciences
2014;13(1):5-20.
22. Syam AF. Current situation of Helicobacter pylori infection in Indonesia.
Med J Indones 2016;25:263-6.
61
23. Mustafa M, Menon J, Muiandy RK, Fredie R, Fariz A. Risk Factors,
Diagnosis, and Management of Peptic ulcer Disease. IOSR Journal of Dental
and Medical Sciences 2015;14(7):40-6.
24. González-Pérez A, Sáez ME, Johansson S, Nagy P, Rodríguez LA. Risk
Factors Associated with Uncomplicated Peptic Ulcer and Changes in
Medication Use after Diagnosis. PLoS ONE 2014;9(7):1-9.
25. Kitagawa Y, Dempsey DT. Stomach. Dalam: Brunicardi FC, Andersen DK,
Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, dkk. Schwartz’s Principles of
Surgery. Edisi ke-10. New York: McGraw-Hill Medical; 2015. p. 1035-98.
26. Zatorski H. Pathophysiology and Risk Factors in Peptic Ulcer Disease.
Dalam: Fichna J, editor. Introduction to Gastrointestinal Diseases Vol. 2.
Cham: Springer International Publishing AG; 2017. p. 7-20.
27. Tarigan P. Tukak Gaster. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata
M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi
ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 1781-91.
28. Koncoro H, Wibawa I. Peptic Ulcer Disease Different Pathogenesis of
Duodenal and Gastric Ulcer. The Indonesian Journal of Gastroenterology,
Hepatology and Digestive Endoscopy 2015;16(3):179-82.
29. Drini M. Peptic ulcer disease and non-steroidal anti-inflammatory drugs. Aust
Prescr 2017;40(3):91-3.
30. Iwamoto J, Sito Y, Honda A, Matsuzaki Y. Clinical features of
gastroduodenal injury associated with long-term low-dose aspirin therapy.
World J Gastroenterol 2013;19(11):1673-82.
31. Cryer B, Mahaffey KW. Gastrointestinal ulcers, role of aspirin, and clinical
outcomes: pathobiology, diagnosis, and treatment. Journal of
Multidisciplinary Healthcare 2014;7:137-46.
32. Gokakin AK, Atabey M, Koyuncu A, Topcu O. Peptic Ulcer Perforation in
Elderly: 10 years’ Experience of a Single Institution. International Journal of
Gerontology 2016;10(4):198-201.
62
33. Feinstein LB, Holman RC, Christensen KLY, Steiner CA, Swerdlow DL.
Trends in Hospitalizations for Peptic Ulcer Disease, United States, 1998-
2005. Emerging Infectious Diseases 2010;16(9):1410-8.
34. Fashner J, Gitu AC. Diagnosis and Treatment of Peptic Ulcer Disease and H.
pylori Infection. American Family Physician 2015;91(4):236-42.
35. Simadibrata M, Makmun D, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A, Renaldi K,
dkk., editor. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi
Helicobacter pylori. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI)
dan Kelompok Studi Helicobacter pylori Indonesia (KSHPI); 2014.
36. Syam AF. Esofagogastroduodenoskopi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 371-3.
37. Satoh K, Yoshino J, Akamatsu T, Itoh T, Kato M, Kamada T, dkk. Evidence-
based cinical practice guidelines for peptic ulcer disease 2015. J Gastroenterol
2016;51:177-94.
38. KalbeMed. Guideline Kombinasi NSAID dengan Obat Gastroprotektif untuk
Pencegahan Ulkus. CDK-203 2013;40(4):288.
39. In press
Habeeb A, Tiwari SK, Bardia A, Khan S, Vishwakarma SK, Habeeb S, dkk.
Pepic Ulcer Disease: Descriptive Epidemiology, Risk Factors, Management
and Prevention. SMGroup. In press 2016.
40. Morsy M, El-Sheikh A. Prevention of Gastric Ulcers. Dalam: Chai J, editor.
Peptic Ulcer Disease. Shanghai: InTech; 2011. p. 437-60.
41. Kim JS, Park SM, Kim B. Endoscopic Management of Peptic Ulcer Bleeding.
Clin Endosc 2015;48:106-11.
42. Nugraha DA. Diagnosis dan Tatalaksana Perdarahan Saluran Cerna Bagian
Atas Non-Variseal. CDK-252 2017;44(5):323-7.
43. Davey P. Medicine at a Glance. Edisi ke-4. Hoboken: John Wiley & Sons;
2014.
44. Li LF, Chan RLY, Lu L, Shen J, Zhang L, Wu WKK, dkk. Cigarette smoking
and gastrointestinal diseases: The causal relationship and underlying
63
molecular mechanisms (review). International Journal of Molecular Medicine
2014;34:372-80.
45. Notoadmojo S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi Cetakan
Kedua. Jakarta: Rineka Cipta; 2012.
46. Kim N, Kim JW, Kim HJ, dkk. Distribution of upper gastroduodenal disease
in health check-up subjects in 2006. Korean J Helicobacter Up Gastrointest
Res 2008;8:1-8.
47. Singh V, Sachdev B, Nain CK, Singh K, Vaiphei K. Epidemiology of
Helicobacter pylori and peptic ulcer in India. Journal of Gastroenterology and
Hepatology 2002;17(6):659-65.
48. Rosaida MS, Menon J, Radzi H, Yung CL, Tan M, Yip KF, dkk. Use of Drugs
for Acid Related Disorders. Malaysian Statistics of Medicines 2007;(3):15-8.
49. Lau JY, Sung J, Hill C, Henderson C, Howden CW, Metz DC. Systematic
Review of the Epidemiology of Complicated Peptic Ulcer Disease: Incidence,
Recurrence, Risk Factors and Mortality. Digestion 2011;84:102-13.
50. Fezzi M, Roseano M, Turoldo A, Liguori G. The treatment of bleeding peptic
ulcer in the elderly. BMC Geriatr 2009;9(Suppl 1):A31.
LAMPIRAN 3
Hasil Analisis Data
1. Diagnosis awal subjek saat datang berobat.
2. Diagnosis awal subjek dengan tukak peptik saat datang berobat.
3. Distribusi frekuensi subjek berdasarkan diagnosis menurut hasil pemeriksaan
endoskopi.
4. Distribusi frekuensi subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik
berdasarkan jenis kelamin.
5. Distribusi frekuensi subjek dengan tukak peptik berdasarkan kelompok usia.
6. Distribusi frekuensi subjek yang didiagnosis dengan tukak peptik
berdasarkan kategori usia
7. Distribusi frekuensi subjek dengan tukak peptik berdasarkan riwayat
konsumsi OAINS.
8. Distribusi frekuensi subjek dengan riwayat mengonsumsi OAINS
berdasarkan usia.
9. Grafik distribusi frekuensi subjek dengan riwayat mengonsumsi OAINS
berdasarkan jenis kelamin.
10. Distribusi frekuensi obat-obatan OAINS yang digunakan oleh sampel dengan
riwayat konsumsi OAINS positif.
LAMPIRAN 4
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DATA PRIBADI
Nama : Lathifa An Nada Rahma
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Juni 1996
Status : Belum menikah
Agama : Islam
Alamat : Komplek Billy & Moon, Blok L1, No. 8,
Jakarta Timur
Nomor Telepon : 0852 8803 5585
Email : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1) Tahun 2002 – 2008 : SDIT Ar Ridho Jakarta
2) Tahun 2008 – 2011 : SMPIT Ihya As Sunnah Tasikmalaya
3) Tahun 2011 – 2015 : SMAIT Ihya As Sunnah Tasikmalaya
4) Tahun 2015 – Sekarang : Program Studi Kedokteran dan Profesi Dokter
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta