prop ta 1.5

31
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi geografis dan geologis Indonesia yang terletak p pegunungan berapi membuat Indonesia kaya akan jenis-jenis batuan ala salah satunya adalah batu apung (pumice) . Batuan ini terbentuk dari magma asam oleh aksi letusan gunungapi yang mengeluarkan materialnya ke udara,kemudian mengalami transportasi secarahorizontal dan terakumulasi sebagai batuan piroklastik yang mengandung silica, alum soda, besi oksida dengan warna yang beragam seperti putih, kebiruan, abu-abu gelap, kemerah-merahan, kekuning-kuningan, hi jingga (Fadhillah, 2005). Kandungan batu apung sering dimanfaatkan terutama pada sektor industri dan konstruksi. Aplikasinya dalam sektor industri ce memproduksi barang-barang pelengkap, seperti cat, plamur, dan Sedangkan pada sektor konstruksi, cenderung menghasilkan bahan bangunan, seperti agregar ringan beton (Sukandarrumudi, 2009). Perkembangan sektor industri dan konstruksi, terutama di negar negara maju, mengakibatkan permintaan akan batu apung Indonesia teru meningkat, salah satunyaadalah Pulau Lombok. Pulau Lombok merupakan daerah penghasil batu apung terbanyak di Indonesia Geologi, 2009). Salah satu daerah pengghasil yang terkenal adalah De Ijobalit Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur. Eksplorasi batu apung di desa Ijobalit inimasih bersifat manual yaitu hanya memanfaatkan keberadaan yang tersingkap di permukaan tanah. H tentu kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga diperlukan informasi serta metode yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Metode yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi material d dalam perut bumi adalah metode geofisika. Metode geofisika merupakan kaidah atau tatanan ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip fisi mengetahui dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan bum

Upload: apriadi-putra

Post on 21-Jul-2015

192 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Posisi geografis dan geologis Indonesia yang terletak pada jalur pegunungan berapi membuat Indonesia kaya akan jenis-jenis batuan alam salah satunya adalah batu apung (pumice). Batuan ini terbentuk dari magma asam oleh aksi letusan gunungapi yang mengeluarkan materialnya ke udara, kemudian mengalami transportasi secara horizontal dan terakumulasi sebagai batuan piroklastik yang mengandung silica, alumina, soda, besi oksida dengan warna yang beragam seperti putih, abu-abu kebiruan, abu-abu gelap, kemerah-merahan, kekuning-kuningan, hingga jingga (Fadhillah, 2005). Kandungan batu apung sering dimanfaatkan terutama pada sektor industri dan konstruksi. Aplikasinya dalam sektor industri cenderung memproduksi barang-barang pelengkap, seperti cat, plamur, dan semen. Sedangkan pada sektor konstruksi, cenderung menghasilkan bahan baku bangunan, seperti agregar ringan beton (Sukandarrumudi, 2009). Perkembangan sektor industri dan konstruksi, terutama di negaranegara maju, mengakibatkan permintaan akan batu apung Indonesia terus meningkat, salah satunya adalah Pulau Lombok. Pulau Lombok merupakan daerah penghasil batu apung terbanyak di Indonesia (Badan Geologi, 2009). Salah satu daerah pengghasil yang terkenal adalah Desa Ijobalit Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur. Eksplorasi batu apung di desa Ijobalit ini masih bersifat manual yaitu hanya memanfaatkan keberadaan yang tersingkap di permukaan tanah. Hal ini tentu kurangnya pengetahuan masyarakat sehingga diperlukan informasi serta metode yang tepat untuk mengatasi masalah tersebut. Metode yang banyak digunakan untuk mengidentifikasi material di dalam perut bumi adalah metode geofisika. Metode geofisika merupakan kaidah atau tatanan ilmu yang menerapkan prinsip-prinsip fisika untuk mengetahui dan memecahkan masalah yang berhubungan dengan bumi1

termasuk kandungan material di dalamnya. Pemanfaatan metode atau teknik geofisika harus sesuai target atau event yang ingin dicapai sehingga diperlukan informasi yang akurat terkait sifat material sebelum melakukan penelitian (Santoso, 2002). Aplikasi metode geofisika untuk mementukan ketebalan lapisan batu apung dapat dilakukan dengan menggunakan survei geolistrik, well logg serta geomagnet. Pemilihan metode yang tepat tidak terlepas dari sifat dan karakteristik batu apung itu sendiri. Batu apung (pumice) termasuk jenis batuan yang berongga atau berpori sehingga aplikasi metode geolistrik sangat kecil kemungkinan bisa dilakaukan karena udara tidak mempunyai konduktivitas sehingga resistivitas semu yang

merupakan parameter ukur metode ini akan sangat kecil. Sedangkan metode well logg, identifikasi lapisan batu apung yang menjadi target survei hanya menggambarkan lapisan batuan yang berupa titik-titik tertentu yang perlu dibuktikan kebenarannya dengan melakukan pemboran secara langsung. Selain dapat merusak lapisan tanah, metode ini juga membutuhkan biaya yang mahal. Metode geomagnet merupakan salah satu metode geofisika yang praktis dan ramah lingkungan. Metode ini dikatakan praktis karena dalam aplikasinya metode ini hanya mengukur medan magnet di permukaan serta tidak membutuhkan banyak orang sehingga budget atau biaya yang dikeluarkan juga relatif sedikit. Metode geomagnet termasuk pengukuran pasif yang memanfaatkan sifat kemagnetikan batuan sehingga tidak merusak lingkungan. Selain berpori, batu apung merupakan jenis batuan beku yang keluar bersama lava gunung berapi sehingga diindikasikan mempunyai nilai kerentanan magnetik yang tinggi. Dengan mengetahui sifat magnetik batuan sehingga akan dengan mudah mengetahui keberadaan lapisan batu apung serta ketebalannya pada lapisan tanah.

1.2 Rumusan Masalah Berdasrkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

2

1. Bagaimana model lapisan batu apung yang menjadi target dalam survei geomagnet di Desa Ijobalit ? 2. Berapa ketebalan lapisan batu apung di Desa Ijobalit berdasarkan survei magnetik yang telah dilakukan ?

1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Menampilkan bentuk pemodelan lapisan batu apung berdasarkan survei geomagnet di Desa Ijobalit. 2. Analisis ketebalan lapisan batu apung (pumice) berdasarkan survei magnetik daerah penelitian.

1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai informasi ilmiah yang mampu menarik minat baik bagi pemerintah daerah atau perusahaan swasta untuk berinvestasi dalam pemanfaatan dan penambangan batu apung khususnya di Desa Ijobalit Kec. Labuhan Haji Kab. Lombok Timur. 2. Sebagai sumbangan pemikiran dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya di bidang aplikasi geofisiska terkait ilmu yang telah diperoleh dibangku perkuliahan. 3. Membantu masyarakat setempat dalam bidang pertambangan seperti memberikan gambaran lokasi sebaran serta kedalaman batu apung.

1.5 Batasan Masalah Pada penelitian ini, daerah kajian yang menjadi titik fokus penelitian adalah Desa Ijobalit Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat yang berjarak sekitar 500 meter ke arah selatan dari Kantor Lurah desa setempat. Selain itu, pada penelitian ini terbatas pada aplikasi metode geomagnet pada

3

penyelidikan kedalaman batu apung dalam bentuk pemodelan lapisan batuan dengan menggunakan software Mag2D.

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Batu Apung (Pumice) Kepulauan Indonesia sebagian besar berada pada busur gunungapi yang memanjang dari pantai barat Pulau Sumatera sampai ke selatan Pulau Jawa dan menerus ke Pulau Bali dan Nusatenggara, kemudian membelok kearah utara ke Pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Kepulauan Filipina merupakan daerah yang berpotensi adanya batu apung yang yang berkomposisi dengan magma yang menjadi media pembawa batu apung ke permukaan. Pulau Lombok merupakan salah satu daerah penghasil potensi non logam terbesar di Indonesia, khususnya dalam bidang penambangan batu apung seperti yang terlihat pada gambar 2.1 berikut (Badan Geologi, 2009).

Keterangan Gambar : : Andesit : Batu Apung : Batu Gamping : Sungai : Kota Kecamatan

Gambar 2.1 Potensi Batu Apung Pulau Lombok Sebaran batu apung di Pulau Lombok tersebar merata di setiap kabupaten. Berdasarkan penyelidikan potensi daerah yang telah

dilakaukan Badan Geologi Indonesia pada tahun 2009, potensi batu apung di Pulau Lombok lebih dari 300 juta . Salah satu daerah penyumbang

terbesar adalah Kabupaten Lombok Timur seperti yang terlihat jelas pada table 2.1 berikut :5

Tabel 2.1 Potensi Mineral Non Logam di Prop. NTB JENIS BAHAN GALIAN Batu Apung Batu Bangunan Batu Kapur Batu Silika Gipsum Kalsit Kaolin Marmer Pasir Perlit Sirtu Tanah Liat Tanah Urug Toseki Tras Zeolit Pospat Oker Granidiorit ton ton SAT . KOTA MATARAM LOMBOK BARAT LOMBOK UTARA LOMBOK TENGAH LOMBOK TIMUR

-

34.600

293.993.596

20.626.155

1.990.650

-

282.627.813 10.247.750 29.000 1.757.709 46.000 126.764 1.375.000 48.378.504 -

2.588.090 89.087.489 -

81.101.040 491.918.162 16.563.661 432 2.528.260 11.350.000 290.790.731 103.887.257 21.262.000 7 5.000 -

4.975.513 49.844.190 1.000 1.000 9.488 217.205 9.140.951 392.349 375.200 -

Sumber : Badan Geologi dan Sumberdaya Mineral Tahun 2009

6

Batu apung (pumice) merupakan jenis batuan yang berwarna terang apung yang mempunyai sifat vesicular yang tinggi, mengandung jumlah sel yang banyak (berstruktur selular) akibat ekspansi buih gas alam yang terkandung di dalamnya, dan pada umumnya terdapat sebagai bahan lepas atau fragmen-fragmen dalam breksi gunungapi ( gambar 2.2). Jenis batuan ini disebut juga batuan gelas vulkanik silikat karena mengandung buih yang terbuat dari gelembung berdinding gelas.

Gambar 2.2 Batu apung Proses terbentuknya pumice terjadi apabila magma asam yang berasal dari letusan gunung berapi muncul ke permukaan dan bersentuhan dengan udara luar. Buih gas alam dengan gas yang terkandung di dalamnya mempunyai kesempatan untuk keluar dan magma membeku dengan tiba-tiba. Pumice ini biasanya terdapat sebagai lelehan atau aliran permukaan, bahan lepas, atau fragmen dalam breksi gunungapi yang terlempar ke permukaan dalam bentuk kerikil sampai bongkahan (Sukandarrumudi, 2009).

2.2 Prinsip Dasar Metode Magnetik Metode magnetik merupakan salah satu metode geofisika yang digunakan untuk menggambarkan bentuk struktur geologi bawah permukaan berdasarkan hasil pengukuran variasi intensitas medan magnet di permukaan bumi. Intensitas ini disebabkan oleh adanya variasi distribusi benda termagnetisasi di bawah permukaan bumi. Variasi intensitas medan magnet tersebut muncul akibat variasi sifat kemagnetan

7

bahan penyusun bumi yakni distribusi suseptibilitas dan struktur yang tidak sama di permukaan. Pada dasarnya, metode magnetik mempelajari perbedaan tingkat magnetisasi suatu batuan yang diinduksi oleh medan magnet bumi. Perbedaan ini timbul akibat perbedaan sifat kemagnetan suatu material. Kemampuan termagnetisasi tergantung dari sifat suseptibilitas magnetik masing-masing batuan. Semakin besar suseptibilitas material maka kandungan mineral logamnya pun semakin besar, begitu juga sebaliknya. Dengan demikian, harga suseptibilitas batuan sangat penting dalam pencarian benda penyebab anomali yang merupakan sifat khas dalam metode magnetik.

2.3 Kemagnetan Bumi Bumi diasumsikan sebagai batang magnet raksasa yang terletak di dalam inti bumi, namun tidak berimpit dengan pusat bumi. Berikut ini adalah sifat-sifat kemagnetan pada bumi :

2.3.1 Medan Magnet Bumi Medan magnet bumi merupakan komponen medan magnet terbesar yang berada di alam. Medan magnet bumi terkarakterisasi oleh parameter fisis atau disebut juga elemen medan magnet bumi (gambar 2.3), yang dapat diukur yaitu meliputi arah dan intensitas kemagnetannya.

8

Gambar 2.3 Elemen-elemen medan magnet bumi Parameter fisis tersebut meliputi : 1. Deklinasi(D), yaitu sudut antara utara magnetik dengan komponen horizontal yang dihitung dari utara menuju timur 2. Inklinasi(I), yaitu sudut antara medan magnetik total dengan bidang horizontal yang dihitung dari bidang horizontal menuju bidang vertikal ke bawah 3. Intensitas Horizontal (H), yaitu besar dari medan magnetik total pada bidang horizontal 4. Medan magnetik total (F), yaitu intensitas medan magnetik total. 5. X adalah komponen utara H 6. Y adalah komponen timur H

Bumi yang dianggap sebagai batang magnet raksasa dengan medan magnet utama berasal dari inti bumi, menghasilkan medan magnet jauh lebih kecil daripada medan magnet utama yang dihasilkan bumi secara keseluruhan. Medan magnet yang teramati pada lapisan bumi merupakan anomali medan magnet bumi yang dipengaruhi oleh suseptibilitas batuan dan remanen magnetiknya. Secara umum, medan magnet bumi terdiri dari

9

3 bagian yaitu medan magnet utama, medan magnet luar dan medan magnet anomali. 1. Medan magnet utama (main field) Medan magnet utama merupakan medan magnet bumi yang berasal dari dalam yang diukur sebagai medan rata-rata hasil pengukuran dalam jangka waktu yang cukup lama mencakup daerah dengan luas lebih dari Besarnya medan ini

bergantung berbeda-beda di setiap permukaan bumi sehingga untuk menyaragamkan nilai medan magnetnya diperlukan standar nilai yang disebut IGRF (International Geomagnetic Reference Field) yang diperbaharui setiap 5 tahun. 2. Medan magnet luar (external field) Medan magnet luar (external field) merupakan medan magnet yang berasal dari pengaruh luar bumi sebagai hasil ionisasi di atmosfer yang ditimbulkan oleh sinar ultraviolet dari matahari. Perubahan medan ini terhadap waktu jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan medan utama karena sumber medan luar ini berhubungan dengan arus listrik yang mengalir dalam lapisan terionisasi di atmosfer. Meskipun mempunyai perubahan yang sangat cepat, medan magnet luar merupakan bagian terkecil (sekitar 1% ) dari medan magnet bumi. 3. Medan magnet anomali Selain komponen medan magnet di atas, medan magnet anomali merupakan medan magnet yang bersifat lokal (crustal field). Medan magnet ini timbul akibat adanya kandungan mineral magnetik pada batuan yang berada dipermukaan bumi. Medan magnet ini merupakan medan magnet yang menjadi target dalam aplikasi metode geomagnetik. Anomali medan magnet merupakan target dalam

melakukan pengukuran dengan metode magnetik. Secara garis besar anomali medan magnet disebabkan oleh medan magnet10

remanen dan medan magnet induksi yang merupakan hasil dari survei metode magnetik. Bila arah medan magnet remanen sama dengan arah medan magnet induksi maka anomalinya bertambah besar. Dalam survei magnetik, efek medan remanen akan diabaikan apabila anomali medan magnetik kurang dari 25 % medan magnet utama bumi (Telford, 1976), sehingga dalam pengukuran medan magnet berlaku :

dengan :

(2.1)

medan magnet total bumi = medan magnet utama bumi

= medan magnet luar = medan magnet anomali

2.3.2 Variasi Medan Magnet Bumi Pengukuran medan magnetik di permukaan bumi memiliki intensitas yang senantiasa berubah terhadap waktu. Perubahan medan magnetik ini dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat ataupun lama disebabkan oleh faktor yang berasal dari dalam maupun dari luar bumi. Berdasarkan faktor-faktor penyebabnya perubahan medan magnetik bumi dapat terjadi antara lain : 1. Variasi Sekuler Variasi sekuler adalah variasi medan magnet yang ditimbulkan akibat perubahan internal bumi. Perubahan yang terjadi

berlangsung sangat lambat mencapai orde puluhan sampai ratusan tahun untuk bisa mempengaruhi hasil survei magnetik. Perubahan akibat internal bumi (variasi sekuler) dapat diantisipasi dengan memperbaharui dan menetapkan nilai intensitas medan magnet

11

utama bumi setiap lima tahun sekali yang dikenal dengan IGRF (International Geomagnetik Reference Field). 2. Variasi Harian Variasi harian adalah variasi medan magnetik yang terjadi pada bumi yang diakibatkan oleh perubahan medan magnet luar. Medan magnet luar berasal dari pergerakan pertikel-pertikel matahari yang menimbulkan perputaran arus listrik di dalam lapisan ionosfer bumi sehingga menghasilkan fluktuasi arus yang dapat menjadi sumber medan magnet. Sifat perubahan harian ini terjadi secara acak yang berlangsung periodik selama 24jam dengan rentang harga perubahan 10 hingga 30 . 3. Badai Magnetik Badai magnetik adalah peristiwa alam yang berasal dari aktivitas matahari yang menggangau pengukuran medan magnetik bumi di permukaan. Peristiwa ini bisa berlangsung sangat cepat dengan fluktuasi medan yang bersifat acak dan tinggi hingga secara praktis dapat mengaburkan hasil survei magnetik. Osilasi magnitud badai di daerah sekitar garis khatulistiwa sampai dapat mencapai 1000. Faktor ini berhubungan dengan aktivitas sunspot (Telford, 1976). Oleh karena itu, pengukuran yang dilakukan pada hari dengan badai magnetik tidak digunakan, harus diulang kembali setelah badai berlalu.

2.3 Sifat Kemagnetan Material Kemagnetan material merupakan salah satu hal yang menjadi perhatian dalam metode magnetik. Sifat kemagnetikan material dapat dijelaskan sebagai berikut : 2.3.1 Gaya Magnetik Gaya magnet ini diberi simbol F, yang rumusnya berasal dari hukum Couloumb yang mirip dengan hukum Newton, yaitu

12

(2.2 )

dengan : F= gaya dalam dyne r = jarak antara dua kutub m1 dan m2 r = unit vektor dari m1 dan m2 = permeabilitas medium sekitarnya

2.3.2 Kuat Medan Magnet Simbol dari kuat medan magnet adalah H. Bila satu titik berada dalam jarak r dari kutub m, kuat medan magnetik pada titik tersebut H didefinisikan sebagai gaya pada satu satuan kutub magnetik :

(

)

(2.3 )

2.3.3 Intensitas magnetik Intensitas magnetik diberi simbol I. Suatu kutub magnetik yang diletakkan dalam suatu medan magnet akan dimagnetisasi oleh pengaruh imbasannya. Besar intensitas magnetik sebanding dengan kuat medan, arahnya sesuai dengan arah medan magnet tersebut. Besaran ini didefinisikan pula sebagai momen magnetik persatuan volume, yaitu

( 2.4)

2.3.4 Induksi Magnet Induksi magnet diberi simbol B. Suatu bahan magnetik yang diletakkan dalam medan magnet H akan terimbas dengan arah sesuai dengan magnet tersebut. Akibatnya pada bahan magnetik itu sendiri akan timbul medan magnet H yang mengakibatkan pula bertambah kuatnya medan magnetik. Medan magnet baru ini erat hubungannya dengan

13

intensitas kemagnetan. Induksi magnetik B dapat didefinisikan sebagai medan total dari bahan magnetik, dapat dituliskan : dimana

)

(2.5 )

(

(2.6 )

(

)

( 2.7)

Dalam satuan magnetik emu, B dinyatakan dalam gauss, sehingga satuan untuk permeabilitas adalah dalam gauss/oersted.

2.3.5 Suseptibilitas Magnet Suseptibilitas adalah derajat kemagnetan suatu bahan atau mineral dalam respon terhadap pengaruh medan magnet luar. Suseptibilitas tidak berdimensi, baik dalam sistem SI maupun sistem emu. Suseptibilitas dalam emu sebanding dengan 4 kali suseptibilitas dalam sistem satuan SI. Suseptibilitas magnet dilambangkan oleh simbol k yang dihasilkan oleh hubungan : (2.8) dengan : I = intensitas magnet ( ) H = kuat medan magnet bumi = 0.6 gauss = 0.6 k = suseptibilitas magnet

2.3.6 Hysterisis Loop Kurva histerisis merupakan suatu kurva yang menjelaskan hubungan antara B dan H. Bila suatu benda magnetik dimagnetisasi, B akan meningkat sesuai dengan bertambahnya H sehingga cenderung mendatar karena kejenuhannya (step 1). Bila secara perlahan-lahan medan magnet ditiadakan, penurunan kurva tidak melintas kurva yang sebelumnya, dan harga B adalah positif untuk H = 0 (step 2). Ini dikenal14

dengan magnetisasi sisa (residual magnetism) dari benda tersebut. Bila medan magnetik diubah dalam arah yang berlawanan, harga B menjadi 0 pada H yang negatif (step 3), ini dikenal sebagai coercive force. Pada posisi H yang lebih negatif (step 4), hingga kejenuhan magnetisasi kembali tercapai dan kemudian kembali pada posisi semula saat kejenuhan positif tercapai (step 5). Titik potong antara kurva dengan sumbu tegak adalah harga dari pada induksi polarisasi dimana dalam hal ini H= 0 seperti yang terlihat pada gambar 2.4 berikut

Gambar 2.4 Kurva Histerisis

Berdasarkan sifat kemagnetannya (Santoso,2002), material bumi dibagi menjadi : 1. Diamagnetik Suatu zat adalah tergolong pada jenis diamagnetik jika mempunyai suseptibilitas magnetik negatif sehingga intensitas magnetik yang diimbas I dalam zat oleh medan H adalah berlawanan arah H. Semua material pada dasarnya adalah diamagnetik karena gerak orbit elektron yang bermuatan negatif dalam zat di dalam medan luar H mempunyai arah yang melawan arah H. Tetapi

diamagnetisme akan timbul jika momen magnetik atomik total semua atom adalah nol jika H nol.

15

Dalam batuan diamagnetik atom-atom pembentuk batuan mempunyai kulit elektron yang telah jenuh yaitu setiap elektron berpasangan dan mempunyai spin yang berlawanan dalam tiap pasangan. Batuan ini mempunyai suseptibilitas negatif dan nilainya kecil serta suseptibilitas tidak bergantung pada temperatur dan magnet luar H. Mineral ini mempunyai harga suseptibilitas berkisar antara -8x hingga 3,1 x emu. Contoh yang termasuk jenis

ini adalah bismuth, gipsum, graphite, marmer, kwarsa, dan garam.

2. Paramagnetik Semua zat yang mempunyai suseptibilitas magnetik positif adalah zat paramagnetik. Dalam zat semacam ini setiap atom atau molekul mempunyai momen magnetik total yang taksama dengan nol dalam medan luar yang nol. Hal ini terjadi pada zat-zat yang subkulitnya takpenuh hingga maksimum. Di dalam bahan paramagnetik terdapat kulit elektron terluar yang belum jenuh yakni ada elektron yang spinnya tidak berpasangan dan mengarah pada arah spin yang sama. Jika terdapat medan magnet luar, spin tersebut akan membuat putaran yang akan menghasilkan medan yang mengarah searah dengan medan tersebut sehingga memperkuatnya. Mineral ini mempuunyai suseptibilitas berkisar antara 4x hingga 3,6x emu. Contoh yang termasuk material

jenis ini adalah pyroxene, fayalite, amphiboles, biotite, garnet.

3. Feromagnetik Elemen-elemen seperti besi, kobalt, dan nikel adalah elemen paramagnetik yang interaksi magnetik antara atom dengan group atom sedemikian kuatnya hingga terjadi penyearahan momen-momen dalam daerah yang besar dalam zatnya. Pada umumnya suseptibilitas material ferromagnetik kali material diamagnetik dan

paramagnetik.

16

Pada batuan ini terdapat banyak kulit elektron yang hanya di isi oleh satu elektron sehingga mudah terinduksi oleh medan luar. Keadaan ini diperkuat lagi oleh adanya kelompok-kelompok bahan spin searah yang membentuk dipol-dipol magnet mempunyai arah searah, apa lagi jika di dalam medan magnet di luar. Sifat yang dimiliki oleh material ini adalah suseptibilitas positif dan jauh lebih besar dari satu, serta nilai suseptibilitasnya bergantung pada temperatur. Nilai suseptibilitas mineral ini adalah 1x hingga 1,6

emu. Contoh material jenis ini adalah besi, nikel, dan kobal. Secara lebih spesifik batuan terbagi menjadi tiga macam, yaitu batuan sedimen, batuan beku, batuan metamorf yang memiliki suseptibilitas yang berbeda (Solihin, 2005), berikut nilai suseptibilitas masing-masing batuan : 1. Batuan sedimen, biasanya mempunyai jangkauan suseptibilitas 1x hingga 4x emu dengan rata-rata (1 sampai 7,5)x

emu, contoh dotomine, limestone, sandstone dan shales. 2. Batuan beku, biasanya mempunyai jangkauan suseptibilitas 1x hingga 9,7x emu dengan rata-rata (2 sampai 135)x emu,

contoh granite,rhyolite, basalt, dan andesit. 3. Batuan metamorf, biasanya mempunyai jangkauan suseptibilitas 1x hingga 58x emu dengan rata-rata (6 sampai 35)x

emu, contoh amphibolite, shist,phyllite, gneiss, quartzite, serpentine dan slate. Setiap jenis batuan mempunyai sifat dan karakteristik tertentu dalam medan magnet yang dimanifestasikan dalam parameter kerentanan magnetik batuan atau mineralnya (k). Dengan adanya perbedaan dan sifat khusus dari tiap jenis batuan atau mineral inilah yang melandasi digunakannya metoda magnetik untuk kegiatan eksplorasi maupun kepentingan geodinamika. Berdasarkan hasil uji laboratorium,

17

suseptibilitas batu apung berkisar antara 3,11x dalam satuan SI 2.4 Eksplorasi Dengan Metode Geomagnet

hingga 4,53x

Pada dasarnya, eksplorasi menggunakan metode geomagnet terdiri atas tiga tahap yang meliputi tahap akuisisi data lapangan, tahap processing dan interpretasi data. Pada tahap akuisisi data, dilakukan penentuan titik pengamatan dan pengukuran dengan menggunakan satu atau dua alat magnetometer. Hasil pembacaan alat merupakan nilai intensitas medan yang terukur pada titik pengukuran yang masih dipengaruhi oleh beberapa faktor baik yang berasal dari dalam bumi ataupun dari luar bumi. Untuk menghilangkan pengaruh tersebut, dilakukan processing (pengolahan) data lapangan. Pengolahan data lapangan meliputi koreksi harian, koreksi IGRF sehingga akan diperoleh intensitas medan magnet total pada titik pengukuran yang dirumuskan seperti persamaan H = Hobs- HD (2.9)

Anomali total ini merupakan superposisi (gabungan) penyebab anomali yang berada di lokasi penelitian sehingga untuk mendapatkan target yang diinginkan maka harus dilakukan pemisahan (reduksi) anomali. Anomali residual merupakan anomali yang diakibatkan oleh sumber anomali dangkal yang dicirikan dengan frekuensi spasial tinggi dan panjang gelombang pendek. Sedangkan anomali regional adalah anomali yang diakibatkan oleh sumber anomali dalam dan dicirikan oleh frekuensi spasial rendah dan panjang gelombang tinggi (Telford, 1982). Pemisahan animali dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti metode SVD (Second Vertical Derivative), Rataan Bergerak (Moving Average), ataupun metode Polynimial Fighting. Dalam penelitian ini, pemisahan anomali dilakukan dengan menggunakan metode SVD (Second Vertical Derivative). Metode ini dipilih karena survei yang

18

dilakukan

bersifat

lokal

dengan

luas ini

prospek

penelitian untuk

(1000x1000)meter

Pemisahan

anomali

dilakukan

memperoleh penyebab anomali yang bersal dari sumber yang relatif dangkal. Metode SVD akan memunculkan efek dangkal dari pengaruh yang ditimbulkan oleh regionalnya. Metode SVD secara matematis diturunkan dari persamaan Laplace yang dirumuskan sebagai berikut : (2.10) Sehingga (2.12) (2.11)

(

)

(2.13)

Untuk data geomagnet yang berupa penampang (profil), y mempunyai nilai konstan maka persamaannya menjadi : ( )

(2.14)

Dari persamaan di atas dapat diketahui bahwa second vertical derivative dari suatu anomali magnet permukaan adalah negatif dari derivative orde dua horisontalnya. Dengan kata lain, anomali second vertical derivative dapat diperoleh melalui turunan kedua

horisontalnya (Telford,1982). Tanda negatif menunjukkan kedalaman posisi anomali yang berada di bawah permukaan bumi yang diukur yang diukur melalui geoid bumi. Tahap selanjutnya adalah interpretasi data geomagnet. Interpretasi data terbagi menjadi 2 macam yaitu interpretasi kualitatif dan interpretasi kuantitatif. Interpretasi ini menjelaskan sebaran anomali yang ada di lokasi penelitian serta interval garis-garis kontur (isometri). Interpretasi kualitatif didasarkan pada pola kontur anomali

19

medan magnet

yang bersumber dari distribusi

benda-benda

termagnetisasi atau struktur geologi bawah permukaan bumi. Pola kontur anomali magnet memperlihatkan kelurusan atau pengkutuban anomali. Selain pengkutuban, anomali magnet juga memperlihatkan pola pembelokan anomali, kerapatan kontur yang tajam serta kontras anomali negatif dan positif yang besar. Kondisi demikian

mengindikasikan adanya struktur sesar atau kontak litologi dari batuan yang berbeda disekitar pola-pola anomali tersebut, sehingga menyebabkan struktur di daerah penyelidikan cukup komplek. Berbeda dengan interpretasi kualitatif, interpretasi kuantitatif

bertujuan untuk mengetahui bentuk serta kedalaman penyebab anomali. Salah satu pemodelan yang biasa digunakan adalah

pemodelan maju (forward modeling) guna menduga posisi, bentuk, kedalaman dan nilai suseptibilitas target survei. Pemodelan dua dimensi metode forward modeling dirumuskan sebagai berikut: ( ( ) * ) * ( ( )+ )+ (2.15) (2.16)

Persamaan (2.15) dan (2.16) menunjukkan daya tarik magnetik maka: Dimana Sehingga : ( ) (2.18) Dimana dan adalah komponen x dan z. dan ( ) (2.17)

adalah komponen x dan z dari B pada sisi l.

Gambar 2.5 Pita horizontal dari (x1,z) ke (x2,z) untuk benda dua dimensi20

2.5 Geologi Daerah Penelitian Kondisi geologi Pulau Lombok dengan batuan tertua berumur Tersier dan yang termuda berumur Kuarter, didominasi oleh Batuan Gunungapi serta Aluvium (resent) seperti yang terlihat pada gambar 2.4. Batuan Tersier di Pulau Lombok terdiri dari perselingan batu pasir kuarsa, batu lempung, breksi, lava, tufa dengan lensa-lensa batu gamping, batu gamping dan dasit. Batuan Kuarter di Pulau Lombok terdiri dari perselingan breksi gampingan dan lava, breksi, lava, tufa, batu apung dan breksi lahar.

Gambar 2.6 Peta Geologi Pulau Lombok

21

Gambar 2.7 Indeks Geologi Pulau Lombok

Berdasarkan informasi geologi di atas, kawasan Lombok bagian timur di dominasi oleh jenis batuan kuarter. Salah satu dominasinya adalah jenis batu apung (formasi Lekopiko). Sebaran lapisan batuan ini diduga berasal dari erupsi magma yang berasal dari gunung Rinjani. Selain kondisi geologi, morfologi Pulau Lombok juga beragam. Kenampakan atau morfologi berupa dataran rendah di bagian barat yang meninggi di bagian utara dan timur Pulau Lombok (Bappenas, 2003).

22

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Ijobalit Kecamatan Labuhan Haji Kabupaten Lombok Timur Propinsi Nusa Tenggara Barat seperti yang terlihat dalam gambar 3.1 berikut:

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian

Berdasarkan survei yang telah dilakukan, lokasi penelitian ini berupa perbukitan yang bergelombang dengan lahan yang gersang yang berjarak sekitar 500 meter dari kantor Kelurahan. Selain itu, lokasi penelitian ini juga berdekatan dengan salah satu pabrik yang menjadi lokasi penimbunan sementara hasil penambangan batu apung.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga April 2012 di Laboratorium Fisika Dasar Fakultas MIPA Universitas Mataram.

3.3 Peralatan Penalitian

23

Pada pengukuran dengan metode geomagnet, peralatan paling utama yang digunakan adalah magnetometer dengan jenis Proton Precission Magnetometer (PPM) yang digunakan untuk mengukur nilai kuat medan magnetik total. Peralatan lain yang bersifat pendukung di dalam survei magnetik adalah Global Positioning System (GPS). GPS ini digunakan dalam penentuan posisi suatu titik lokasi dengan menggunakan bantuan satelit yang meliputi bujur, lintang, ketinggian serta waktu pengukuran. Penggunaan sinyal satelit karena sinyal satelit menjangkau daerah yang sangat luas dan tidak terganggu oleh gunung, bukit, lembah, jurang, hutan hingga lautan. Secara umum, peralatan yang dibutuhkan dalam penelitian ini meliputi : 1. Proton Precission Magnetometer (PPM) jenis GEM-19T v7.0 2. Suceptibilitymeter SM-20 3. Kompas geologi 4. GPS Garmin-60CSx 5. Roll meter 6. PC atau Laptop 7. Software Surfer 9 dan Mag2D 8. Buku kerja 3.4 Metode Penelitian Metode penelitian ini berisi tentang alur penelitian (gambar 3.2) yang akan dilakukan. Berikut ini gambar diagram alur (flowchart) penelitian

24

Persiapan Penelitian

Studi Literatur

Survei Lokasi Penelitian

Akuisisi Data Geomagnet

Anomali Magnetik Total

Data Geologi

Filter SVDForward Modeling software Mag2D Tidak

Anomali magnetik residual

Profil anomali Interpretasi kualitatif

Cocok k Interpretasi Kuantutatif

Ya

Profil Model

Analisis

Hasil & Kesimpulan

Selesai

Gambar 3.2 Flowcart penelitian

25

Dari gambar 3.2 di atas, alur penelitian ini terbagi menjadi beberapa bagian yang meliputi : 1. Akuisisi data geomagnet Sebelum melakukan akuisisi data geomagnet terlebih dahulu mementukan lintasan pengukuran. Pada penelitian ini, panjang lintasan pengukuran adalah 1 km dengan jarak antar lintasan 250 meter dan spasi antar station pengukuran 25 meter. Panjang lintasan ini dipilih dengan asumsi kedalaman yang akan diperoleh hingga 300 meter sehingga mampu mencapai target yang diinginkan. Selain itu, hal yang terpenting yang harus dilakukan adalah sinkronisasi alat geomagnet antara alat di base dan mobile seperti menyamakan hari, tanggal, bulan, tahun, frekuensi serta waktu perekaman data. Hal ini dilakukan untuk akurasi data lapangna serta memudahkan dalam pengolahan data. Pada proses pengambilan data, hal yang perlu diperhatikan adalah sensor pada alat harus menghadap utara-selatan bumi karena kutub magnet bumi berada pada arah utara-selatan geografis bumi. Akuisisi data dilakukan dengan pengukuran medan magnet pada station-station pengukuran di setiap lintasan. Pada setiap station pengukuran dilakukan sebanyak 5 kali. Pada saat yang bersamaan pula dilakukan pengukuran variasi harian di base station. Hal ini akan terlihat pada gambar 3.3 berikut : 25 m line 5 line 4 line3 line 2 Base Station mobile line 1 250 m

1 km26

Gambar 3.3 Grid pengukuran

Berikut ini tabel pengukuran data geomagnet Tabel 3.1 Hasil pengukuran Geomagnet Hasil pembacaan di base station Posisi Lintang Bujur Read (nT) Waktu (GMT) Akurasi

Hasil pembacaan di station pengukuran Titik Pengukuran Waktu Lintang Bujur Read (nT) Koreksi Harian Koreksi IGRF

Station 1

Station 2

Station 3

27

Dst

2. Koreksi data geomagnetik Koreksi data geomagnet perlu dilakaukan untuk mendapatkan anomali yang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Koreksi yang biasa dilakukan adalah sebagai berikut : a. Koreksi Harian Koreksi harian atau yang biasa dikenal dengan diurnal correction merupakan penyimpangan nilai medan magnetik bumi akibat adanya perbedaan waktu dan efek radiasi yang berasal dari matahari dalam satu hari. Koreksi ini dilakukan untuk menghilangkan pengaruh medan magnet luar atau variasi harian. Dalam melakukan koreksi harian ini, waktu yang dikoreksi harus sesuai dengan waktu pengukuran data medan magnetik di setiap titik lokasi (stasiun pengukuran). Koreksi harian dilakukan dengan cara menambahkan nilai variasi harian yang terekam pada waktu tertentu terhadap data medan magnetik yang akan dikoreksi. Hal ini berlaku apabila variasi harian bernilai negatif. Sebaliknya apabila variasi harian bernilai positif, maka koreksinya dilakukan dengan cara mengurangkan nilai variasi harian yang terekan pada waktu tertentu terhadap data medan magnetik yang akan dikoreksi, hal ini dapat dituliskan dalam persamaan : H H (3.1)

b. Koreksi IGRF

28

Pada dasarnya, hasil pengukuran medan magnet dipermukaan bumi berasal dari tiga komponen, yaitu medan magnetik utama bumi, medan magnetik luar dan medan anomali. Nilai medan magnetik utama tidak lain adalah nilai IGRF. Nilai IGRF merupakan nilai terbesar yang ikut terukur pada saat melakukan pengukuran dengan metode magnetik sehingga diperlukan koreksi untuk menghilangkannnya. Koreksi IGRF bertujuan untuk menghilangkan variasi medan magnet yang bersal dari internal bumi. Persamaan koreksinya dapat dituliskan sebagai berikut : H (3.2)

3. Pembuatan kontur anomali magnetik Hasil koreksi medan magnet akan menghasilkan anomali total (persamaan 2.9). Pembuatan kontur anomali magnetik total dilakukan dengan menggunakan software Surfer 9. Kontur anomali total ini mencerminkan efek yang berasal dari anomali dangkal dan dalam sehingga keduanya perlu dipisahkan. Anomali total ini merupakan superposisi (gabungan) penyebab anomali yang berada di lokasi penelitian sehingga untuk mendapatkan target yang diinginkan maka harus dipisahkan (reduksi) anomali.

4. Uji suseptibilitas batuan Selain pengumpulan data geomagnet, uji suseptibilitas sempel batuan daerah penelitian juga perlu dilakukan. Hal ini dimaksudkan sebagai data geologi daerah penelitian. Data ini digunakan sebagai data dukung dalam pembuatan model lapisan batuan pada lokasi penelitian. Uji suseptibilitas batuan dilakukan dengan menggunakan alat suseptibilitymeter SM-20. Berikut ini tabel uji suseptibilitas batuan.

29

Tabel 3.2 Hasil uji suseptibilitas sampel batuan No. Sampel Lintang Bujur Suseptibilitas (SI) Sampel 1 Sampel 2 dst

5. Pemisahan Anomali Anomali magnetik total merupakan gabungan dari anomali regional dan anomali residual. Anomali regional berasal dari sumber yang lebih dalam sedangkan anomali residual berasal dari sumber yang lebih dangkal. Kedua anomali tersebut saling berinteraksi dan menimbulkan anomali yang tumpang-tindih. Oleh sebab itu, anomali-anomali tersebut harus dipisahkan. Pemisahan anomali dilakukan dengan metode Second Vertical Derivative (persamaan 2.14)

6. Interpretasi Secara umum, interpretasi terbagi menjadi 2 macam yaitu interpretasi kualitatif dan interpretasi kuantitatif. a. Interpretasi Kualitatif Interpretasi kualitatif dilakukan dengan melihat sebaran anomali pada kontur anomali total dan anomali residualnya. Anomali total mencirikan kondisi regional daerah penelitian dengan menunjukkan variasi nilai anomali positif (tinggi) dan negatif (rendah) serta pola kelurusan dan pembelokkan yang mencerminkan kondisi geologi daerah penelitian. Anomali residual manunjukkan pengaruh efek dangkal sehingga struktur geologi dekat permukaaan dapat digambarkan dengan

30

membuat residualnya.

profil

pada

penampang

melintang

kontur

b. Interpretasi kuantitatif Berbeda dengan interpretasi kualitatif, interpretasi kuantitatif bertujuan untuk mengetahui bentuk serta kedalaman penyebab anomali. Interpretasi kuantitatif dilakukan dengan pemodelan menggunakan metode forward modeling dengan bantuan software Mag2D dengan melakukan pencocokkan kurva profil (observasi) dan model (calculate) yang dihubungkan dengan informasi geologi daerah penelitian. Dengan kata lain, model yang dihasilkan harus sesuai dengan hasil perhitungan yang telah dilakukan (Blakely, 1995).

31