program studi antropologi fakultas ilmu budaya …repository.ub.ac.id/8221/1/pratama, dhimas...
TRANSCRIPT
NILAI ANAK: KONSUMSI BANDENG OLEH ANAK DAN
PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG KESEHATAN ANAK DI
MASYARAKAT PETANI TAMBAK BANDENG, DESA BAKARAN
KULON, KECAMATAN JUWANA, KABUPATEN PATI
SKRIPSI
OLEH:
DHIMAS LINGGA PRATAMA
NIM 125110807111002
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
NILAI ANAK: KONSUMSI BANDENG OLEH ANAK DAN
PENGETAHUAN ORANG TUA TENTANG KESEHATAN ANAK DI
MASYARAKAT PETANI TAMBAK BANDENG, DESA BAKARAN
KULON, KECAMATAN JUWANA, KABUPATEN PATI
SKRIPSI
OLEH:
DHIMAS LINGGA PRATAMA
NIM 125110807111002
PROGRAM STUDI ANTROPOLOGI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul Nilai Anak: Konsumsi Bandeng oleh Anak dan Pengetahuan
Orang Tua tentang Kesehatan Anak di Masyarakat Petani Tambak Bandeng,
Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Program Studi Antropologi Universitas
Brawijaya. Saya menyadari bahwa Skripsi ini jauh dari kesempurnaan, karenanya
tentu saya juga sangat menantikan kritik atau saran dari para pembaca.
Selama penulisan skripsi ini tentunya penulis mendapat banyak bantuan dari
berbagai pihak yang telah mendukung dan membimbing penulis. Kasih yang tulus
serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Ibunda Wahyu Kinasih, Ayahanda Didik Murdiyanto, Kakak saya Ian Sakti
Pradiantoko serta adik saya Gilang Nanda Pranadita dan seluruh keluarga
besar penulis, terima kasih atas curahan kasih sayang, dorongan doa,
nasihat, motivasi, dan pengorbanan materilnya selama saya menempuh
studi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.
2. Dr. Hipolitus K. Kewuel, M. Hum. Selaku Ketua Prodi Antropologi,
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
3. Prof. Myrtati Dyah Artaria, Dra., M.A., Ph.D. selaku pembimbing yang
selalu membimbing dan mengarahkan saya dalam menyusun Skripsi ini.
4. Irsyad Martias, M.A yang selalu membimbing dan mengarahkan saya
dalam menyusun Skripsi ini.
5. Keluargaku yang angkatan 2012 yang tidak mampu saya sebutkan satu-
persatu, terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya.
6. Sahabat-sahabatku kontrakan Srigading, Rengga, Aan, Rizal, Dimas, Erik,
Jaya, terimakasih atas dukungannya, terimakasih sudah mau dititipi makan,
terimakasih sudah mau membuatkan saya kopi untuk teman mengerjakan
Skripsi.
7. Sahabat-sahabatku “arek taek”, Adin, Dino, Wisnu, Luqman, Bella, Mella,
Gabriella, terimakasih atas dukungan kalian, kalian selalu mengingatkan
saya untuk mengerjakan Skripsi, kalian selalu memberikan saran pada saat
proses penulisan Skripsi, “suwun gawe kabeh rek”.
8. Kekasih saya Yashinta Ella Izmiarni, terimakasih sudah mendukung serta
selalu menyemangati saya.
Rasa hormat dan terimakasih bagi semua pihak atas segala dukungan dan doanya.
Semoga Allah SWT, membalas segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada
penulis, Amin.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah
membantu dan semoga Allah SWT melimpahkan karunianya dalam setiap amal
kebaikan kita dan diberikan balasan. Amin.
Malang, 09 Desember 2017
Dhimas Lingga Pratama
DAFTAR ISI
COVER DALAM.....................................................Error! Bookmark not defined.
PERNYTAAN KEASLIAN.....................................Error! Bookmark not defined.
HALAMAN PERSETUJUAN BIMBINGAN SKRIPSIError! Bookmark not defined.
HALAMAN PENGESAHAAN TIM PENGUJI SKRIPSIError! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR..............................................Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ................................................................Error! Bookmark not defined.
ABSTRACT..............................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI...........................................................................................................1
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................3
DAFTAR TABEL ..................................................................................................4
BA B I PENDAHULUAN........................................Error! Bookmark not defined.
1.1 Latar Belakang .............................................Error! Bookmark not defined.
1.2 Rumusan Masalah ........................................Error! Bookmark not defined.
1.3 Tujuan Penelitian..........................................Error! Bookmark not defined.
1.3.1 Tujuan Umum........................................Error! Bookmark not defined.
1.3.2 Tujuan Khusus.......................................Error! Bookmark not defined.
1.4 Kajian Pustaka..............................................Error! Bookmark not defined.
1.5 Kerangka Teori.............................................Error! Bookmark not defined.
1.6 Metode Penelitan..........................................Error! Bookmark not defined.
1.6.1 Lokasi Penelitian ...................................Error! Bookmark not defined.
1.6.2 Pemilihan Informan ...............................Error! Bookmark not defined.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data ....................Error! Bookmark not defined.
1.6.4 Teknik Analisis Data .............................Error! Bookmark not defined.
1.7 Pedoman Wawancara: ..................................Error! Bookmark not defined.
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIANError! Bookmark not defined.
2.1 Letak Geografis dan Demografi ...................Error! Bookmark not defined.
2.1.1 Pengunaan Lahan & Wilayah ................Error! Bookmark not defined.
2.2. KEPENDUDUKAN....................................Error! Bookmark not defined.
2.2.1. JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMINError! Bookmark not
defined.
2.2.2. Jumlah Penduduk Menurut Mata PencaharianError! Bookmark not defined.
2.2.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat PendidikanError! Bookmark not defined.
BAB III KEGIATAN PETANI TAMBAK BANDENG DAN POLA KEHIDUPAN
....................................................................................Error! Bookmark not defined.
3.1 Kegiatan Petani Tambak Bandeng ...............Error! Bookmark not defined.
3.1.1 Proses Bertani Tambak Bandeng...........Error! Bookmark not defined.
3.1.2 Aktivitas Sehari-hari Petani Tambak BandengError! Bookmark not defined.
3.1.3 Proses Panen dan Penghasilan Petani TambakError! Bookmark not defined.
3.2 Menjaga Kesehatan Medis dan Pengetahuan Tentang GiziError! Bookmark not
defined.
3.2.1 Pengetahuan tentang Gizi Bandeng untuk AnakError! Bookmark not defined.
BAB IV PANDANGAN KELUARGA DAN KONSUMSI IKAN BANDENG PADA
ANAK PETANI TAMBAK.....................................Error! Bookmark not defined.
4.1 Kehidupan Keluarga Petani Tambak............Error! Bookmark not defined.
4.2 Alasan Masyarakat Tidak mengkonsumsi BandengError! Bookmark not defined.
4.3 Pandangan Ibu terhadap Kecukupan Gizi AnakError! Bookmark not defined.
5.1 Kesimpulan...................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA...............................................Error! Bookmark not defined.
LAMPIRAN..............................................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Peta Administratif Desa Bakaran KulonError! Bookmark not defined.
Gambar 2.2 Peta Administratif Pembagian Wilayah Desa Bakaran KulonError!
Bookmark not defined.
Gambar 3.1 Proses Pengeringan Tambak ...Error! Bookmark not defined.
Gambar 3.2 Kolam Siap Ditebar Nener ......Error! Bookmark not defined.
Gambar 3.3 Proses Meracik Pakan Ikan BandengError! Bookmark not defined.
Gambabr 3.5 Pakan Hasil Racikan .............Error! Bookmark not defined.
Gambar 3.6 Teknik Memberian Makan Ikan BandengError! Bookmark not defined.
DAFTAR TABEL
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Desa Bakaran KulonError! Bookmark not defined.
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Desa Bakaran KulonError! Bookmark not defined.
Tabel 2.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Bakaran KulonError! Bookmark not
defined.
Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bakaran KulonError! Bookmark
not defined.
ABSTRAK
Pratama, Dhimas Lingga. 2017. Niai Anak: Konsumsi Bandeng oleh Anak dan
Pengetahuan Orang Tua tentang Kesehatan Anak di Masyarakat Petani
Tambak Bandeng, Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati.
Progam Studi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Brawijaya.
Pembimbing: Prof Myrtati Dyah Artaria., Dra., M.A., Ph.D
Kata Kunci: Petani, Tambak, Bandeng, Keluarga, Anak, Gizi,
Ikan bandeng memiliki nilai gizi yang sangat tinggi, ikan ini yang memiliki
kandungan omega 3 dan protein hewani yang besar. Gizi ini sangatlah penting bagi
tumbuh kembang anak untuk kecerdasan otak serta kekebalan tubuh anak. Namun
hal ini tidak dilakukan di petani tambak bandeng Desa Bakaran Kulon, Kecamatan
Juwana, Kabupaten Pati. Oleh karena itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana
pandangan orang tua (petani tambak) terhadap pemenuhan gizi anaknya. Serta
alasan mengapa anak mereka tidak diberi makan ikan bandeng. Studi ini
menggunakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik
pengumpulan data yang digunakan melalui observasi dan wawancara. Penelitian
dilakukan dengan mengikuti langsung kehidupan keluarga para petani tambak
supaya mendapatkan data tentang pemberian gizi anak petani tambak bandeng.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya beberapa faktor yang
mempengaruhi para petani tambak tidak memberi makan anak mereka dengan ikan
bandeng. Ikan bandeng dianggap sebagai nilai “uang” oleh masyarakat petani
tambak bandeng, sehingga tidak dijadikan sebagai bahan konsumsi mereka. Petani
juga dihadapkan oleh mitos yang membatasi mereka untuk mengkonsumsi ikan
bandeng. Anggapan tentang anak yang “gemuk” adalah anak yang memiliki gizi
cukup juga sangat berkembang di masyarakat petani tambak. Padahal belum tentu
anak yang “gemuk” memiliki gizi yang cukup, dan belum tentu juga anak kurus
kekurangan gizi. Pemikiran seperti ini yang menyebabkan orang tua tidak memberi
anaknya makan bandeng karena mereka menganggap anaknya sudah gemuk.
ABSTRACT
Pratama, Dhimas Lingga. 2017.Child Value: Children's Milkfish Consumption
and Parental Knowledge of Children's Health in the community of milkfish
farmers Bakaran Kulon village, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Study
Program of Anthropology. Faculty of Cultural Study.
Supervisor: Prof Myrtati Dyah Artaria., Dra., M.A., Ph.D
Key words : Farmer, Fishpond, Milkfish, Family, Kid, Nutrient
The Milkfish have a highest nutrient, it have contents omega 3 and biggest
animal proteint. This nutrient is very important for growth of the kids, briant
intelligence and body immune. However, its not applicable for fish farmers in the
Bakaran Kulon village, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Therefore, this
research want to know how the views of parents (fish farmers) for fulfillment of
nutrion their children. And also the reason why their children didn’t feed with the
milkfish. This study use kualitatif research with ethnography approach. The result
collection technique that be used by observation and interview. The research did
with following directly the fish farmer’s life to get the information about giving
nutrient for fish farmer’s kid.
The result of the research show there are some factor that influence the fish
farmer not to feed their children with milkfish. It considered as “worth” by the fish
farmer, so the milkfish isn’t being food consumption. The fish farmers also faced
by the myth that limit them to consume milkfish. The assumption about ‘fat child’
who has good nutrition also very fame in the fish farmer community. Even though
that is not necessarily “fat child” have good nutrition, and also “thin child” is not
necessarily malnutrition. This mindset cause the parents didn’t feed the children
with milkfish because they think that their children was fat.
1
BA B I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Pati sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu daerah
penghasil ikan (khususnya bandeng) terbesar di Propinsi Jawa Tengah. Kabupaten
yang secara geografis terletak di sepanjang pantai ini mempunyai potensi
pengembangan usaha perikanan yang sangat besar, baik perikanan budidaya
maupun perikanan tangkap (Kundi,2005). Kabupaten Pati memilik daerah pesisir
yang potensi perikanan yang sangat baik dan Kabupaten Pati juga memiliki daerah
agraris yang potensinya cukup baik sesuai dengan slogan "Pati Bumi Mina Tani"
yang artinya Kabupaten Pati kaya akan potensi Pertanian dan Perikanan yang
dimilikinya (Suroso,2009).
Produksi Ikan di Kabupaten Pati terdiri dari perikanan laut dan perikanan
darat, dalam perikanan laut di Kabupaten Pati dijual dalam bentuk segar sedangkan
perikanan darat dijual dalam bentuk olahan seperti Bandeng Presto, Bandeng Presto
Juwana merupakan salah satu makanan khas Kabupaten Pati dan Bandeng Presto
merupakan oleh-oleh yang terkenal di daerah Jawa Tengah (Wibowo, 2014).
Ikan bandeng banyak memiliki kandungan gizi yang baik dan diperlukan
oleh tubuh. Kadar proteinnya yaitu sebesar 22,84g dimana protein berguna untuk
menambah kekuatan atau energi, membuat sel jaringan baru dalam tubuh, mengatur
dan membentuk zat dalam tubuh. Kadar kalori sebesar 148g kalori berguna sebagai
tenaga dan energi dalam beraktifitas. Kalsium sebesar 51g. yang berguna bagi
2
pertumbuhan tulang dan gigi untuk anak di masa pertumbuhan. Vitamin A yang
berguna mengoptimalkan perkembangan janin, meningkatkan daya tahan tubuh,
anti oksidan dan memerangi penyakit malaria di dalam Ikan Bandeng terdapat
sebesar 100g (Wibowo, 2014).
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Makanan
yang diberikan sehari-hari harus mengandung zat gizi sesuai kebutuhan, sehingga
menunjang pertumbuhan yang optimal dan dapat mencegah penyakit-penyakit
defisiensi, mencegah keracunan, dan juga membantu mencegah timbulnya
penyakit-penyakit yang dapat mengganggu kelangsungan hidup anak (Soekirman,
2001).
Gizi yang terkandung dalam ikan bandeng sangatlah berguna untuk
pertumbuhan anak. Pada umur balita protein sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan
tubuh dan perkembangan otak. Salah satu alternatif untuk memenuhi kebutuhan
akan sumber protein hewani adalah ikan. Kandungan protein ikan tidak kalah
dengan kandungan protein yang berasal dari daging atau telur. Selain itu ikan adalah
salah satu sumber protein hewani yang harganya lebih murah dibandingkan dengan
sumber protein hewani lainnya seperti daging sapi dan ayam (Yuli, 2006).
Rendahnya tingkat konsumsi ikan per kapital di Indonesia tampaknya
disebabkan karena masih adanya anggapan di kalangan masyarakat bahwa makan
ikan kurang bergengsi atau identik dengan kemiskinan. Bahkan masih ada
anggapan dalam masyarakat makan ikan akan menyebabkan cacingan atau alergi.
Ada pula anggapan bahwa mengkonsumsi ikan menyebabkan bau badan amis dan
3
bila ibu-ibu yang sedang menyusui mengkonsumsi maka air susunya menjadi
kurang sedap. Selain itu ada ibu-ibu yang enggan untuk masak ikan karena harus
membersihkan isi perut, membuang sisik dan duri, sehingga menimbulkan kesan
bahwa masak ikan adalah sangat merepotkan (Dahuri, 2004 : 33 dalam Yuli, 2006).
Foster dan Anderson juga mengatakan konsumsi makanan dipengaruhi oleh
kebiasaan makan dan selera (Foster dan Andersen,2013).
Pemberian gizi (protein) terhadap anak termasuk dalam pentingnya
pengetahuan orang tua terhadap anak. Masalah gizi disebabkan oleh banyak faktor
yang saling terkait baik secara langsung maupun tidak langsung, secara langsung
dipengaruhi oleh penyakit infeksi dan tidak cukupnya asupan gizi secara kuantitas
maupun kualitas, sedangkan secara tidak langsung dipengaruhi oleh jangkauan dan
kualitas pelayanan kesehatan, pola asuh anak yang kurang memadai, kurang
baiknya kondisi sanitasi lingkungan serta rendahnya ketahanan pangan di tingkat
rumah tangga (Siti, 2008)
UNICEF (1988) faktor - faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita
dan penyebab kurang gizi pada balita di masyarakat yaitu: penyebab langsung dan
tidak langsung. Timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan asupan makanan
yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup makanan tetapi
sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula
pada anak yang tidak memperoleh cukup makan, maka daya tahan tubuhnya akan
melemah dan akan mudah terserang penyakit (Supariasa dalam Siti, 2008).
4
Penyebab tidak langsung ada tiga yaitu: a) ketahanan pangan, b) pola
pengasuhan anak, c) pelayanan kesehatan dan lingkungan. Ketahanan pangan
keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga diharapkan mampu untuk
memenuhi kebutuhan pangan seluruh anggota keluarganya dalam jumlah yang
cukup baik jumlah maupun mutu gizinya. Pola pengasuhan anak kurang memadai.
Setiap keluarga dan masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian,
dan dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh kembang dengan baik fisik, mental
dan sosial. Juga disebabkan adanya sistem dan fasilitas pelayanan kesehatan dan
lingkungan kurang memadai. Sistem pelayanan kesehatan yang ada diharapkan
dapat menjamin penyediaan air bersih dan sarana pelayanan kesehatan dasar yang
terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan. Ketiga faktor ini saling
berhubungan, ketahanan pangan keluarga terkait dengan ketersediaan pangan,
harga pangan dan daya beli keluarga serta pengetahuan tentang gizi dan kesehatan.
Pola pengasuhan anak berupa sikap dan perilaku orang tua atau pengasuh lain
dalam hal kedekatannya dengan anak, cara memberikan makan maupun
pengetahuan tentang jenis makanan yang harus diberikan sesuai umur dan
kebutuhan, memberi kasih sayang dan sebagainya. Faktor tidak langsung yang lain
adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap air bersih dan
pelayanan kesehatan yang baik seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan,
penimbangan anak, pendidikan kesehatan dan gizi serta sarana kesehatan. Sering
kali, pokok masalah di masyarakat adalah kurangnya pemberdayaan keluarga dan
kurangnya pemanfaatan sumber daya masyarakat berkaitan dengan berbagai faktor
5
langsung maupun tidak langsung sehingga akan menurunkan tingkat pendidikan,
pengetahuan dan ketrampilan (Supariasa dalam Siti, 2008).
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas dapat kita rumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana proses produksi tambak bandeng di Desa Bakaran Kulon,
Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati? Dan apakah hasil produksi tambak
bandeng diperuntukkan pada kebutuhan subsisten atau pada kebutuhan
pasar?
2. Seberapa sering konsumsi ikan bandeng pada anak petani tambak di Desa
Bakaran Kulon Kecamatan Juwana Kabupaten Pati? Dan bagaimana
pengetahuan petani tambak tentang kesehatan anak terkait dengan
kecukupan gizi?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tulisan ini bertujuan untuk melihat bagaimana petani tambak bandeng dalam
hal pemberian gizi (protein) kepada anak dan pengetahuan petani tambak bandeng
tentang kesehatan anak di Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana kabupaten
Pati. Penelitian ini juga didalami dengan menganalisa aspek ekonomi, sosial
budaya dan permasalahan kesehatan yang berkenaan dengan asupan protein anak
dan permasalahan kesehatan anak. Selain itu diharapkan nantinya penelitian ini
akan menjadi tambahan literatur untuk penelitian selanjutnya.
6
1.3.2 Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui seberapa sering konsumsi ikan bandeng pada
anak petani tambak yang berkesinambungan dengan permasalahan
kesehatan anak petani tambak bandeng di Kecamatan Juawana
Kabupaten Pati.
b. Untuk mengetahui bagaimana pengetahuan petani tambak bandeng
tentang kesehatan anak mereka.
1.4 Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah penelitian atau tulisan terdahulu yang menjadi tolok
ukur atau referensi yang cukup penting bagi penelitian ini. Menurut Cooper dalam
Creswell (2013, p. 40) Tinjauan pustaka memiliki beberapa tujuan utama:
menginformasikan kepada pembaca hasil hasil penelitian lain yang berkaitan erat
dengan penelitian yang dilakukan saat ini, menghubungkan penelitian dengan
literatur-literatur yang ada, dan mengisi celah-celah dalam penelitian-penelitian
sebelumnya. Diharapkan nantinya, kekurangan kekurangan dalam penelitian
terdahulu dapat dilengkapi dalam penelitian ini.
Kajian pustaka yang pertama pada penelitian ini adalah skripsi yang berjudul
Kontribusi Sosial Budaya Penyebab Malnutrisi pada Balita di keluarga Nelayan
(Studi pada Keluarga Nelayan di Kelurahan Keteguhan Kecamatan Teluk Betung
Barat Kota Bandar Lampung) oleh Trisia Dian Agustina (2010). Penelitian ini
menganalisis kontribusi sosial budaya penyebab malnutrisi pada balita di keluarga
nelayan yang dilihat dari budaya makan, prioritas makan, pola konsumsi dan
7
distribusi, kepercayaan, mitos, dan tahayul di Kota Bandar Lampung. Masalah gizi
pada anak-anak atau balita yang terjadi selama ini penanggulangannya hanya
dilakukan melalui pendekatan secara medis (bidang kedokteran) dan pelayanan
kesehatan saja tanpa melihat aspek sosial budaya yang ada di dalam masyarakat.
Perlu disadari bahwa masalah gizi juga dipengaruhi oleh budaya, keadaan ini
merupakan realitas yang dapat dilihat pada kehidupan masyarakat. Permasalahan
dalam penelitian ini adalah bagaimana kontribusi sosial budaya penyebab malnutrisi
pada balita di keluarga nelayan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
kontribusi sosial budaya penyebab manutrisi pada balita di keluarga nelayan. Untuk
memperoleh dan mengolah data yang diterima di lapangan maka penelitian ini
menggunakan tipe penelitian kualitatif, objeknya adalah manusia. Objek itu diteliti
dalam kondisi sebagaimana adanya atau dalam keadaan sewajarnya dan secara
naturalistik (natural setting). Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
mendalam yang didukung pula dengan melakukan observasi dan dokumentasi di
lapangan. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi
data, penyajian data, dan mengambil kesimpulan atau verifikasi. Sumber informasi
atas data diambil secara purposive, yaitu dengan mendasarkan pada informan yang
bersangkutan dan bersedia memberikan data. Hasil penelitian di lapangan
memperlihatkan bahwa dalam kasus malnutrisi harus memperhatikan aspek sosial
budaya yang di dalam penelitian ini memberikan dominasi terhadap terjadinya
malnutrisi. Kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur lainnya, dalam
kehidupan masyarakat, bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri namun didukung
oleh unsur-unsur lainnya sehingga kemiskinan menjadi kebudayaan kemiskinan.
8
Kontribusi sosial budaya yang diperoleh dari hasil penelitian ini adalah budaya
makan, prioritas makan, pola konsumsi dan distribusi, kepercayaan, mitos, dan
tahayul.
Kajian Pustaka yang kedua adalah skripsi yang berjudul Pengaruh Orang
Tua terhadap Pemberian Gizi pada Anak Balita (Study Deskriptif di Desa Girsang.
Kec. Girsang Sipangan Bolon Parapat) oleh Christon.R.E.Sihombing (Sihombing,
2010). Tujuan penelitian ini adalah untuk menggambarkan atau mengungkapkan
bagaimana pengaruh orang tua terhadap pemberian gizi pada anak balita di Desa
Girsang Kecamatan Girsang Sipangan Bolon Parapat. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa faktor ekonomi rumah tangga di Desa Girsang masih rendah,
mereka bekerja sebagai petani dengan lahan yang kurang serta pengetahuan tentang
teknologi yang canggih dalam segi pertanian masih minim sehingga pendapatan
ataupun hasil yang mereka dapat sangatlah rendah atau bahkan tidak dapat
mencukupi kebutuhan keluarga mereka, sedangkan mengenai gizi pada anak balita
di desa Girsang ini juga termasuk dalam kategori kurang gizi di mana dalam
peningkatan gizi balita sosial ekonomi sangatlah berperan selain kesibukan orang
tua dalam mencari nafkah sudah merupakan faktor utama penyebab kurang gizi
yang dialami anak balita tersebut dan berdasarkan hasil penelitian di atas maka
disarankan agar semua pihak terutama keluarga berpartisiasi untuk meningkatkan
upaya pencegahan terjadinya kurang gizi pada anak, di antaranya dengan
pembinaan dan pemberdayaan keluarga yang memiliki risiko kurang gizi pada
anak. Pemberdayaan dan pembinaan keluarga ini dapat dilakukan oleh puskesmas
setempat dengan melibatkan perawat kesehatan komunitas. Selain itu perlu
9
dilakukan informasi tentang gizi untuk meningkatkan pengetahuan keluarga
khususnya ibu yang kurang mengerti asupan nutrisi dan tentang akan gizi, cara
pengolahan dan pemilihan bahan makanan yang baik pada anak.
1.5 Kerangka Teori
Teori merupakan seperangkat konstruk atau variabel yang saling
berhubungan, yang berasosiasi dengan proposisi atau hipotesis yang memperinci
hubungan antarvariabel (Creswell, 2013). Teori yang digunakan dapat menjadi
inspirasi dan membantu dalam proses analisis. Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dan dalam penelitian kualitatif, teori berperan sebagai penjelasan awal
tentang perspektif bagi penelitian dan terkadang pula justru dihasilkan selama
penelitian itu berlangsung (Creswell, 2013). Penelitian ini menggunakan teori
Foster/Anderson dalam bukunya yang berjudul Antropologi Kesehatan
(terjemahan), buku ini membahas tentang permasalahan kesehatan.
Foster dan Anderson mengatakan dalam bukunya (Foster/Anderson, 2013,
hal 311) dari 4 bilyun di dunia, ratusan orang menderita gizi buruk. Banyak dari
masalah kekurangan gizi berasal dari ketidakmampuan negara-negara non industri
untuk menghasilkan cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan penduduk mereka
yang berkembang. Banyak dari masalah juga tergantung pada kepercayaan-
kepercayaan yang keliru, dan yang terdapat di mana-mana, mengenai hubungan
antara makanan dan kesehatan, dan juga tergantung pada kepercayaaan-
kepercayaan, pantangan-pantangan, dan upacara-upacara yang mencegah orang
memanfaatkan sebaik-baiknya makanan yang tersedia bagi mereka.
10
Foster dan Anderson (2013) membagi dua aspek penting dalam memandang
antropologi gizi (1) sifat sosial, budaya dan psikologi dari makanan (yaitu peranan-
peranan sosial-budaya dari makanan, yang berbeda dengan peranan-peranan gizi),
dan (2) cara-cara dimana dimensi-dimensi sosial-budaya dan psikologis dari
makanan berkaitan dengan masalah gizi yang cukup, terutama pada masyarakat
tradisional.
a. Makanan dalam Konteks Budaya
Menurut Foster dan Anderson (2013) kebiasaan makan sebagai suatu
kompleks kegiatan masak-memasak, masalah kesukaan dan ketidaksukaan, kearifan
rakyat, kepercayaan-kepercayaan, pantangan-pantangan dan tahayul yang berkaitan
dengan produksi, persiapan dan konsumsi makanan. Dan, sebagai suatu kategori
budaya yang penting, ahli-ahli antropologi melihat makanan mempengaruhi dan
berkaitan dengan banyak kategori budaya lainnya.
b. Kebudayaan Menentukan Makanan
Budaya ikut serta dalam proses menentukan makanan, sebagai suatu gejala
budaya makanan bukanlah semata-mata suatu produk organik dengan kualitas-
kualitas biokimia, yang dapat dipakai oleh organisma yang hidup, termasuk
manusia, untuk mempertahankan hidup (Foster/Anderson, 2013). Lebih tepat, bagi
para anggota tiap masyarakat, makanan dibentuk secara budaya; bagi sesuatu yang
akan dimakan, ia memerlukan pengesahan budaya dan keaslian. Tidak ada suatu
kelompok pun, bahkan pada saat kelaparan akut, akan mempergunakan makanan
(gizi) untuk dimakan. Karena pantangan agama, tahayul, kepercayaan tentang
11
kesehatan, dan peristiwa yang kebetulan dalam sejarah ada bahan makanan yang
bergizi yang tidak boleh dimakan mereka klasifikasikan “bukan makanan”.
Selanjutnya pilihan pribadi lebih mengurangi variasi makanan yang disantap
oleh individu. Makanan yang digemari dari kecil maka akan berdampak juga pada
makanan yang digemari pada saat dewasa (Foster/Anderson, 2013).
Makanan bergizi yang diberikan pada saat masih kecil akan menjadikan seseorang
gemar memakan makanan bergizi tersebut. Jadi dengan adanya pantangan agama,
tahayul, akan menjadikan kegemaran makanan bergizi tersebut hilang, karena pada
saat kecil sudah dilarang memakan makanan tersebut dan akan berputar terus-
menerus seperti itu.
Pola makan yang diatur secara budaya membentuk penyesuaian fisiologi,
yang memunculkan reaksi berupa nafsu makan dan rasa lapar (Foster/Anderson,
2013). Nafsu makan, yang merupakan konsep budaya yang berbeda-beda pada tiap
masyarakat, muncul sebagai akibat reaksi fisiologi. Rasa lapar merupakan keadaan
tubuh yang tidak mendapat nutrien yang diperlukan, sehingga menimbulkan
keadaan fisiologi pada saat makan. Setiap masyarakat, dengan menggunakan
kebudayaannya, mengenal berbagai klasifikasi makanan. Dasar klasifikasi
makanan itu antara lain adalah jenis, kuantitas, kualitas, cara penyiapan, maupun
penyajian. Makanan secara budaya dapat berperan secara simbolik. Makanan
merupakan ungkapan ikatan kehidupan sosial, karena perolehan (produksi)
makanan itu tidak dapat dilakukan secara individual. Secara sosial, makanan
merupakan ungkapan kasih sayang, perhatian, maupun persahabatan. Budaya
12
balas-membalas dalam pemberian dan penerimaan makanan merupakan ungkapan
ikatan sosial yang tidak dapat diremehkan (Foster/Anderson, 2013).
Kementrian kesehatan (2014), Pola makan merupakan perilaku paling
penting yang dapat mempengaruhi keadaan gizi. Hal ini disebabkan karena
kuantitas dan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi akan
mempengaruhi tingkat kesehatan individu dan masyarakat. Agar tubuh tetap sehat
dan terhindar dari berbagai penyakit kronis atau penyakit tidak menular terkait gizi,
maka pola makan masyarakat perlu ditingkatkan ke arah konsumsi gizi seimbang.
Keadaan gizi yang baik dapat meningkatkan kesehatan individu dan masyarakat.
Gizi yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan normal serta perkembangan
fisik dan kecerdasan bayi, anak-anak, serta seluruh kelompok umur. Gizi yang baik
membuat berat badan normal atau sehat, tubuh tidak mudah terkena penyakit
infeksi, produktivitas kerja meningkat serta terlindung dari penyakit kronis dan
kematian dini.
Kualitas atau mutu gizi dan kelengkapan zat gizi dipengaruhi oleh
keragaman jenis pangan yang dikonsumsi. Semakin beragam jenis pangan yang
dikonsumsi semakin mudah untuk memenuhi kebutuhan gizi. Bahkan semakin
beragam pangan yang dikonsumsi semakin mudah tubuh memperoleh berbagai zat
lainnya yang bermanfaat bagi kesehatan. Oleh karena itu konsumsi anekaragam
pangan merupakan salah satu anjuran penting dalam mewujudkan gizi seimbang.
Cara menerapkan pesan ini adalah dengan mengonsumsi lima kelompok pangan
setiap hari atau setiap kali makan. Kelima kelompok pangan tersebut adalah
makanan pokok, lauk-pauk, sayuran, buah-buahan dan minuman. Mengonsumsi
13
lebih dari satu jenis untuk setiap kelompok makanan (makanan pokok, lauk pauk,
sayuran dan buah-buahan) setiap kali makan akan lebih baik. Lauk pauk terdiri dari
pangan sumber protein hewani dan pangan sumber protein nabati. Kelompok
pangan lauk pauk sumber protein hewani meliputi daging ruminansia (daging sapi,
daging kambing, dll), daging unggas (daging ayam, daging bebek dll), ikan
termasuk seafood, telur dan susu. Kelompok pangan lauk pauk sumber protein
nabati meliputi kacang-kacangan dan hasil olahnya seperti kedele menjadi tahu dan
tempe.
Kementrian kesehatan juga mengklasifikasikan gizi seimbang menurut usia:
1. Gizi Seimbang untuk Anak usia 2-5 tahun
Kebutuhan zat gizi anak pada usia 2-5 tahun meningkat karena masih berada pada
masa pertumbuhan cepat dan aktivitasnya tinggi. Demikian juga anak sudah
mempunyai pilihan terhadap makanan yang disukai termasuk makanan jajanan.
Oleh karena itu jumlah dan variasi makanan harus mendapatkan perhatian secara
khusus dari ibu atau pengasuh anak, terutama dalam “memenangkan” pilihan anak
agar memilih makanan yang bergizi seimbang. Disamping itu anak pada usia ini
sering keluar rumah sehingga mudah terkena penyakit infeksi dan kecacingan,
sehingga perilaku hidup bersih perlu dibiasakan untuk mencegahnya.
2. Gizi Seimbang untuk Anak 6-9 tahun
Anak pada kelompok usia ini merupakan anak yang sudah memasuki masa sekolah
dan banyak bermain diluar, sehingga pengaruh kawan, tawaran makanan jajanan,
aktivitas yang tinggi dan keterpaparan terhadap sumber penyakit infeksi menjadi
14
tinggi. Sebagian anak usia 6-9 tahun sudah mulai memasuki masa pertumbuhan
cepat pra-pubertas, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi mulai meningkat secara
bermakna. Oleh karenanya, pemberian makanan dengan gizi seimbang untuk anak
pada kelompok usia ini harus memperhitungkan kondisi-kondisi tersebut diatas.
3. Gizi Seimbang untuk Remaja (10-19 tahun)
Kelompok ini adalah kelompok usia peralihan dari anak-anak menjadi remaja muda
sampai dewasa. Kondisi penting yang berpengaruh terhadap kebutuhan zat gizi
kelompok ini adalah pertumbuhan cepat memasuki usia pubertas, kebiasaan jajan,
menstruasi dan perhatian terhadap penampilan fisik “Body image” pada remaja.
Dengan demikian perhitungan terhadap kebutuhan zat gizi pada kelompok ini harus
memperhatikan kondisi-kondisi tersebut.
1.6 Metode Penelitan
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan
metode etnografi dalam mengkajinya. Penggunaan metode etnografi dalam
penelitian ini diharapkan mampu membantu peneliti dalam mendeskripsikan
temuan-temuan lapangan tentang pengetahuan kesehatan petani tambak bandeng
terhadap cakupan gizi anak. Metode etnografi dipilih karena peneliti mempunyai
waktu yang cukup untuk terjun langsung ke masyarakat guna memperoleh data
yang kita inginkan. Hal ini sesuai dengan pengertian etnografi bahwa tulisan atau
laporan tentang suatu suku bangsa yang ditulis oleh seorang antropolog atas hasil
penelitian lapangan (Field work) selama sekian bulan (Spradley, 2006).
15
1.6.1 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitan ini berada di Desa Bakaran Kulon, Kec. Juwana ,
Kab. Pati. Pemilihan lokasi penelitian ini sangat penting untuk bisa
membantu menjawab rumusan masalah dengan mudah dan mendapatkan
data yang akurat juga sesuai. Secara administratif Desa Bakaran Kulon
termasuk dalam wilayah Kecamatan Juwana Kabupaten Pati Provinsi Jawa
Tengah, dengan batas-batas sebagai berikut:
- Sebelah Utara : Laut Jawa
- Sebelah Timur : Desa Bakaran Wetan
- Sebelah Selatan : Desa Margo Mulyo
- Sebelah Barat : Desa Langgen Harjo
Desa Bakaran Kulon memiliki wilayah seluas 444,4 hektar yang
terdiri atas 16 RT dan 5 RW. Secara garis besar tata guna lahan Desa
Bakaran Kulon dibagi menjadi tiga bagian yaitu sawah, pemukiman, dan
tambak. (sumber: Profile Desa Bakaran Kulon)
1.6.2 Pemilihan Informan
Metode pemilihan informan untuk penelitian kali ini dengan cara
menentukan informan kunci dan informan tambahan sesuai cerita yang
diinginkan peneliti setelah melakukan observasi untuk membuat data yang
didapatkan lebih fokus. Menurut Spradley (Spradley, 2006, p. 65) terdapat
lima syarat minimal dalam memilih informan yang baik, yaitu: enkulturasi
penuh pada sebuah kebudayaan, keterlibatan langsung, suasana budaya
yang tidak dikenal, waktu yang cukup dan non analitis.
16
Setelah memahami karakteristik informan menurut Spradley (2007),
sasaran informan yang akan dijadikan sumber data adalah:
1. Beberapa rumah tangga yang bekerja sebagai petani tambak dan
mempunyai anak kecil
2. Warga yang sudah lama bermukim di tambak bandeng Juwana (desa
Bakaran Kulon) dan bisa dikategorikan sebagai warga asli.
3. Pemerintahan atau lembaga yang ada di sekitar tambak bandeng Juwana
(desa Bakaran Kulon) seperti kepala desa, ketua RT, ketua RW,
pengurus tambak Bandeng.
4. Pemerintah atau lembaga kesehatan yang ada di desa Bakaran Kulon
seperti Puskesmas, Posyandu, dll.
Pemilihan informan ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang
sesuai demi menjawab rumusan masalah. Selain itu, informan kunci
yang telah ditetapkan kriterianya adalah orang yang memahami
kebudayaan sekitar dan mengerti aspek-aspek kehidupan sekitar.
1.6.3 Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Menurut Bungin (2007:115) observasi adalah metode pengumpulan
data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui
pengamatan dan pengindraan. Penulis mengamati melalui indra terhadap
masyarakat mulai dari aktivitas mereka sehari-hari, dan mencari unsur-
unsur yang ada di dalamnya sebagai culture sharing, yakni perilaku-
17
perilaku yang beradasarkan ide-ide atau gagasan manusia dalam
membentuk suatu kebudayaan.
Dalam tahapan observasi ini peneliti membangun raport kepada
informan, hal ini dilakukan agar informan bisa memberikan data yang
diharapkan oleh peneliti. Peneliti mengobservasi petani tambak bandeng
dan peneliti akan mengikuti kegiatan sehari-hari petani tambak bandeng
guna mendapatkan data yang diharapkan.
b. Wawancara Mendalam kepada Informan
Wawancara atau interview ditujukan untuk mendapatkan keterangan
atau pendirian secara lisan dari seorang informan (Koenjaranigrat,
1977:129). Wawancara mendalam biasanya dinamakan wawancara baku
etnografi atau wawancara kualitatif. Teknik wawancara mendalam
dilakukan dengan santai, dan informal. Wawancara mendalam dilakukan
untuk memperoleh data yang menyeluruh dan lebih bermanfaat
(Endraswara,2006:214). Penelitian ini menggunakan dua teknik wawancara
yang dilakukan yaitu teknik wawancara terstruktur dan juga wawancara
tidak terstruktur. Wawancara terstruktur merupakan teknik pengumpulan
data, bila peneliti telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang
diperoleh. Dalam hal ini dalam menggunakan wawancara terstruktur
peneliti harus menyiapkan pertanyaan utama yang merupakan pokok
penting dalam pencarian data. Wawancara tidak terstruktur adalah
wawancara bebas di mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara
yang telah tersusun secara sistematis melalui pertanyaan-pertanyaan yang
18
telah dibangun pada wawancara terstruktur (Sugiyono, 2008:138-140).
Peneliti menggunakan jenis wawancara terstruktur, karena dengan
menggunakan wawancara terstruktur data yang dicari tidak keluar batas dan
sesuai ruang lingkup topik penelitian.
c. Dokumentasi
Dokumentasi dirasa penting bagi peneliti karena sebagi bukti secara
visual yang mana untuk melengkapi kebenaran dari data yang tertulis yang
sudah ada. Dokumentasi lapangan dibutuhkan dalam rangka mencari suatu
arsip data dalam penelitian ini. Seperti foto-foto, dan rekaman suara dalam
wawancara kepada informan, dokumen yang bersifat audio tersebut,
digunakan peneliti dengan maksud untuk memperjelas dari data yang
diperoleh sebelumnya.
1.6.4 Teknik Analisis Data
Untuk memudahkan peneliti dalam menganalisis data, maka terdapat beberapa
tahap yang digunakan dalam analisis data seperti yang dijelaskan oleh Spradley
(2006). Adapun tahap-tahap yang dilakukan sebagai berikut:
1. Memilih masalah: umumnya penelitian etnografi dimulai dengan
permasalahan umum yang sama. Pemasalahan dipersempit menjadi isu atau
topik yang diangkat. Isu tersebut telah terangkum dalam rumusan masalah
yang telah dijelaskan di atas. Dalam pemilihan masalah penelitian,
permasalahan yang diambil pada penilitian kali ini adalah mengenai
kesehatan petani tambak bandeng. Permasalahan kesehatan yang ada pada
19
petani tambak bandeng menjadi menarik jika dikaji melalui konsep atau
perilaku sehat dari sudut pandang petani tersebut.
2. Mengumpulkan data kebudayaan: Pada tahap ini peneliti melakukan
wawancara dengan mengajukan pertanyaan deskriptif, sturktural serta
kontras. Hal ini dilakukan agar mendapat informasi serta data yang sesuai
dengan topik permasalahan dalam penelitian ini. Mengumpulkan data
kebudayaan merupakan cara yang dilakukan peneliti dalam melihat
bagaimana budaya-budaya yang ada di dalam lingkungan petani tersebut.
Kebudayaan-kebudayaan itu dapat dilihat dari segi kebiasaan, adat istiadat,
serta kepercayaan yang ada di lingkungan petani tambak bandeng.
3. Menganalisis data kebudayaan: Pada bagian ini memeriksa ulang data yang
didapat ketika turun lapangan. Dalam tahap ini, setiap item data beri tanda.
Hal ini di lakukan agar mudah untuk mencari hubungan satu sama lain, baik
dalam wujud makna atau simbol-simbol tersebut. Setelah mendapatkan
data-data mengenai kebudayaan yang ada pada kehidupan penambang
nantinya data tersebut dapat memberikan gambaran bagaimana kehidupan
budaya yang terjadi pada petani tambak bandeng.
4. Menulis etnografis: Pada bagian ini proses temuan data yang didapat di
lapangan dideskripsikan dalam sebuah hubungan antara data dengan konsep
atau teori yang digunakan.
20
1.7 Pedoman Wawancara:
a. Setiap panen upah yang didapat berapa pak/bu?
b. Setelah tambak bandeng ini panen, hasil bandengnya langsung dijual
semua atau sebagian untuk dimasak di rumah?
c. Kenapa dijual semua (kalau jawaban dijual semua)?
d. Seberapa banyak yang untuk dimasak di rumah? Dan untuk lauk makan
berapa hari?
e. Menu untuk makan sehari-hari bapak/ibu sekeluarga apa?
f. Bapak/ibu sering tidak memberi makan anak anda ikan bandeng?
g. Di desa Bakaran Kulon ini sering tidak diadakan imunisasi? Anak
bapak/ibu sudah diimunisasi belum?
h. Ibu sering atau tidak menyuruh anak ibu makan ketika anak ibu main
sampai lupa waktu untuk makan?
i. Apa yang ibu lakukan ketika anak ibu jatuh sakit?
j. Anak-anak balita di desa ini sering terkena penyakit apa?
k. Apakah Ibu mengunjungi POSYANDU ketika anak masih balita?
Seberapa sering? Mengapa?
l. Berapa umur anak bapak/ibu yang terkecil saat ini? Apakah berat
tersebut sesuai dengan grafik yang disarankan oleh puskesmas?
Menurut bapak/ibu mengapa sesuai/tidak sesuai? Apa penyebabnya?
(peneliti juga melakukan observasi apakah kira-kira anak tersebut
underweight atau normal)
21
m. Apakah anak ibu pernah mengalami cacingan? Seberapa sering? Jika
pernah, apa usaha yang dilakukan untuk menyembuhkan? Apa
penyebab kecacingan? (peneliti juga melakukan observasi apakah ada
tanda-tanda cacingan, yaitu perut anak yang buncit dan tangan serta kaki
sangat kurus)
n. Menurut bapak/ibu, berat badan yang ideal untuk anak itu seberapa?
Apakah sering memantau berat badan anak? Bagaimana caranya? Jika
berat terlalu rendah/tinggi, apa yang dilakukan?
o. Menurut bapak/ibu, makanan yang baik untuk kesehatan anak bapak/ibu
itu yang bagaimana? Mengapa itu dikatakan terbaik? Apakah makanan
terbaik itu telah dilakukan? Seberapa sering dikonsumsi? Mengapa?
p. Menurut bapak/ibu, jenis makanan paling banyak yang harus
dikonsumsi anak itu apa? Apakah nasi? Roti? Ikan? Daging sapi?
Ayam? Ikan? Telur? Seberapa porsi nasi yang diberikan pada waktu
makan? Seberapa sering mengkonsumsi daging sapi/ayam/telur?
(peneliti melakukan diobservasi terlebih dahulu sewaktu anak makan,
sehingga sesudah ditanya tidak menyebabkan perubahan perilaku secara
sengaja
22
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1 Letak Geografis dan Demografi Desa Bakaran Kulon, Kecamatan
Juwana, Kabupaten Pati
Desa Bakaran Kulon merupakan salah satu Desa di Kecamatan Juwana
Kabupaten Pati Propinsi Jawa Tengah, secara geografis terletak di 6˚42' 50,05'' -
6˚39'52,43'' LS dan 111˚ 06' 01.71'' - 111˚ 11' 06.33”. Desa Bakaran Kulon
mempunyai 5 (lima) RW dan 16 RT dengan luas wilayah 767,5 Ha, atau sebesar
11,93% dari luas wilayah Kecamatan Juwana Kabupaten Pati.
Desa Bakaran Kulon terletak di ketinggian + 2 m di atas permukaan laut beriklim
tropis-panas. Adapun Batas Wilayah Desa Bakaran Kulon, meliputi:
Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Margomulyo, Kec. Juwana
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Langenharjo Kec. Juwana
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Bakaran Wetan
2.1.1 Pengunaan Lahan & Wilayah
Pola penggunaan lahan pada suatu wilayah merupakan manifestasi
hubungan antara manusia dengan lingkungan. Polarisasi dan intensitas penggunaan
lahan tersebut juga merupakan indikator yang mencerminkan aktivitas utama dalam
tingkat penguasaan teknologi penduduk dalam mengeksploitasi sumberdaya lahan
sekaligus mencerminkan karakteristik potensi wilayah yang bersangkutan.
Penggunaan lahan di Desa Bakara Kulon sebagian besar digunakan sebagai
lahan terbangun untuk permukiman, perdagangan dan jasa. Lahan non bangunan
adalah pekarangan, tambak, makam, dan lapangan. Gambar 2.1 adalah gambar luas
masing-masing guna lahan.
Gambar 2.1 Peta Administratif Desa Bakaran Kulon
(Sumber: Desa Bakaran Kulon)
Gambar 2.2 Peta Administratif Pembagian Wilayah Desa Bakaran Kulon
(Sumber : Desa Bakaran Kulon)
Dari total Luas wilayah Desa Bakaran Kulon, 81 % merupakan Daerah
Tambak, yaitu seluas 629 Ha, 12% Sawah seluas 89 Ha & untuk Area Permukiman
Penduduk hanya sebesar 7% seluas 49,5 Ha.
Area pemukiman penduduk di Desa Bakaran Kulon relatif padat penduduk,
secara administratif pembagian wilayah Desa Bakaran Kulon adalah seperti pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Jumlah Rw dan Rt Desa Bakaran Kulon
No RW. 01 RW. 02 RW. 03 RW. 04 RW. 05
1 RT. 01 RW.
01
RT. 01 RW.
02
RT. 01 RW.
03
RT. 01 RW.
04
RT. 01 RW.
05
2 RT. 02 RW.
01
RT. 02 RW.
02
RT. 02 RW.
03
RT. 02 RW.
04
RT. 02 RW.
05
3 RT. 03 RW.
01
RT. 03 RW.
02
RT. 03 RW.
03
RT. 03 RW.
04
RT. 03 RW.
05
4 RT. 04 RW.
02
Sumber : Desa Bakaran Kulon
2.2. KEPENDUDUKAN
Jumlah Penduduk Desa Bakaran Kulon sebesar 6.790 Jiwa, terdiri dari
3.422 laki-laki & 3.348 perempuan, sedangkan untuk penduduk dewasanya
berjumlah 5.173 Jiwa, yang terdiri dari 2.108 Kepala Keluarga. Jumlah penduduk
tersebut tersebar dalam 16 RT, jumlah penduduk masing-masing basis (RT) dapat
dilihat pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Jumlah Penduduk Desa Bakaran Kulon
No RT Jumlah
Penduduk (jiwa)
Jumlah
KK
1 RT. 01 RW. 01 772 245
2 RT. 02 RW. 01 637 193
3 RT. 03 RW. 01 376 112
4 RT. 01 RW. 02 207 65
5 RT. 02 RW. 02 269 83
6 RT. 03 RW. 02 424 127
7 RT. 04 RW. 02 373 113
8 RT. 01 RW. 03 294 87
9 RT. 02 RW. 03 357 109
10 RT. 03 RW. 03 381 121
11 RT. 01 RW. 04 464 150
12 RT. 02 RW. 04 372 114
13 RT. 03 RW. 04 431 138
14 RT. 01 RW. 05 829 261
15 RT. 02 RW. 05 430 137
16 RT. 03 RW. 05 174 53
Jumlah 6790 2108
Sumber : Desa Bakaran Kulon
2.2.1. JUMLAH PENDUDUK MENURUT JENIS KELAMIN
Jumlah penduduk laki laki di Desa Bakaran Kulon lebih banyak dibanding
jumlah penduduk perempuan dengan prosentase 50,1 % dan penduduk perempuan
49,9 %. Jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di tiap-tiap RT dapat dilihat
pada tabel 2.3.
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Desa Bakaran Kulon
No RT Jumlah Laki
Laki
Jumlah
Perempuan
Jumlah
Penduduk
1 RT. 01 RW. 01 397 375 772
2 RT. 02 RW. 01 340 297 637
3 RT. 03 RW. 01 175 201 376
4 RT. 01 RW. 02 100 107 207
5 RT. 02 RW. 02 141 128 269
6 RT. 03 RW. 02 215 209 424
7 RT. 04 RW. 02 175 198 373
8 RT. 01 RW. 03 147 147 294
9 RT. 02 RW. 03 175 182 357
10 RT. 03 RW. 03 195 186 381
11 RT. 01 RW. 04 243 221 464
12 RT. 02 RW. 04 184 188 372
13 RT. 03 RW. 04 220 211 431
14 RT. 01 RW. 05 422 407 829
15 RT. 02 RW. 05 225 205 430
16 RT. 03 RW. 05 88 86 174
Jumlah 3442 3348 6790
Sumber : Desa Bakaran Kulon
2.2.2. Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Penduduk usia kerja adalah penduduk usia 17 tahun keatas. Jenis
pekerjaan di Desa Bakaran Kulon, dominan pada jenis mata pencaharian
wiraswasta dan sektor Pertanian/ Tambak. Berikut disajikan data mata pencaharian
penduduk Desa Bakaran Kulon, sebagaimana tabel 2.4.
Tabel 2.4 Mata Pencaharian Penduduk Desa Bakaran Kulon
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Wiraswasta 1808
2 Pertanian & Tambak 1049
3 Mengurus Rumah Tangga 569
4 Pedagang 225
5 Buruh Harian Lepas 203
6 Karyawan Swasta 179
7 Guru 77
8 Pegawai Negeri Sipil 29
9 Perdagangan 22
10 Perangkat Desa 9
11 Nelayan/Perikanan 8
12 Karyawan Honorer 6
13 Pensiunan 6
14 Apoteker 3
15 Tukang Las/Pandai Besi 1
16 Tukang Jahit 1
Sumber : Desa bakaran Kulon
2.2.3. Jumlah Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan warga menunjukkan tingkat kesejahteraan, semakin
tinggi kesejahteraan warga maka semakin tinggi tingkat pendidikannya. Selain
dipengaruhi oleh rendahnya kesejahteraan, rendahnya tingkat pendidikan juga
dipengaruhi oleh pola pikir masyarakat yang belum sadar akan pentingnya
pendidikan.
Sebagian besar warga Desa Bakaran Kulon memiliki pendidikan
setingkat SD/ sederajat sebesar 38%, sebagian yang lain menyusul adalah SMA
(15%), SMP (13%), Tidak Tamat SD (12%), & Diploma/ Sarjana (5%). Berikut
disajikan data Jumlah Penduduk berdasarkan Pendidikan Desa Bakaran Kulon,
sebagaimana tabel 2.5.
Tabel 2.5 Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Bakaran Kulon
No Tingkat Pendidikan Jumlah %
1 Tidak/ Belum Sekolah 1.130 16,6%
2 Tidak Tamat SD 841 12,4%
3 Tamat SD/ Sederajat 2.617 38,6%
4 SLTP/ Sederajat 895 13,2%
5 SLTA/ Sederajat 1.017 15,0%
6 Diploma I/II 22 0,3%
7 Diploma III/ S. Muda 107 1,6%
8 Diploma IV/ Strata I 158 2,3%
JUMLAH 6.787 100,0%
Sumber : Desa Bakaran Kulon
Berdasarkan dari data tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa tingkat
pendidikan penduduk di Desa Bakaran Kulon relatif masih rendah, yaitu sekitar
51% masih berpendidikan Sekolah Dasar dan Tidak Tamat SD. Kondisi tersebut
banyak dijumpai pada penduduk yang mempunyai usia di atas 46 tahun ke atas.
Sejak era tahun 1990an penduduk di Desa Bakaran Kulon sudah mempunyai
kesadaran untuk menyekolahkan anak sampai ke jenjang yang lebih tinggi bahkan
sampai tingkat sarjana, dengan harapan bisa mempunyai pola pikir yang maju dan
dapat menjadi lebih sejahtera (wawancara dengan perangkat desa bakaran kulon)
BAB III
KEGIATAN PETANI TAMBAK BANDENG DAN POLA KEHIDUPAN
3.1 Kegiatan Petani Tambak Bandeng
3.1.1 Proses Bertani Tambak Bandeng
Desa Bakaran Kulon merupakan desa yang berbatasan langsung dengan
laut, maka dari itu potensi perikanan di daerah ini sangat baik terutama tambak
bandeng. Potensi inilah mengakibatkan banyak warga yang memilih menjadi petani
tambak bandeng. Tambak bandeng ini dilakukan secara turun-temurun dari
keluarga, orang tua yang dulunya petani tambak bandeng akan mewariskan
tambaknya untuk dikelola sang anak. Hal ini yang menjadikan budidaya bandeng
ini tetap bertahan sampai saat ini.
Selain pewarisan tambak, petani juga sewa tambak bandeng kepada saudara
atau orang lain. Pada saudara ini maksudnya petani memiliki adik atau kakak yang
juga mendapat warisan tambak bandeng. Sang adik atau kakak ini tidak mau bekerja
sebagai petani tambak bandeng, sehingga tambaknya disewa untuk dikerjakan oleh
saudaranya yang berprofesi sebagai petani. Harga sewa tambak menurut Pak
Roikan (36 tahun) sekitar 10-20 juta rupiah per hektar per tahun. Apabila tambak
disewakan tentu pemilik asli tidak memiliki hak atas bandeng walaupun mereka
adalah saudara sekandung.
Ketika petani sudah mendapatkan lokasi atau tambak yang cocok, hal
pertama yang dilakukan petani adalah mengeringkan tanah pada tambak tersebut.
Hal ini dilakukan untuk membuang gas beracun dari tanah, membuang sisa-sisa
makanan bandeng yang mengendap di tanah, untuk membuang kotoran bandeng
yang lama, mempercepat proses penguraian dan menaikan pH tanah. Pengeringan
kolam ini memakan waktu sekitar 1-2 minggu tergantung panas matahari (cuaca).
Setelah benar-benar kering kemudian diisi air, biasanya para petani mengambil air
dari sungai dekat kolam bandeng. Kolam di dekat kolam ini langsung menuju laut,
sehingga menghasilkan air payau dan mempunyai kandungan yang cukup dan
cocok digunakan untuk pembudidayaan bandeng. Setelah air diisikan ke
tambak/kolam para petani menunggu sekitar 3-5 hari, hal ini dikarenakan agar
kandungan air di dalam kolam bisa stabil dan mulai munculnya plankton sebagai
tambahan makanan ikan bandeng. Dalam proses itu juga para petani mulai
melakukan pemupukan dengan memberikan cairan kimia yang diharapkan untuk
membunuh parasit yang ada di dalam kolam.
Gambar 3.1 Proses Pengeringan Tambak (Dokumentasi Pribadi)
Setelah proses pemberian air, tahap selanjutnya nener (bibit ikan bandeng)
dimasukkan ke kolam. Memasukkan nener ini juga membutuhkan proses, para
petani biasanya memasukkan nener menunggu air kolam hingga warna kehijauan,
ketika air berwarna sedikit kehijauan maka plankton dan lumut sudah mulai
tumbuh, hal tersebut diharapkan ikan akan dapat asupan makan dari plankton dan
lumut tersebut. Memasukkan nener biasanya dilakukan pada sore hari atau pada
saat matahari terbenam mulai pukul 5-6 sore, karena pada pukul 5-6 sore kondisi
perubahan suhu tidak mencolok, parameter air dan lingkungan tidak banyak
berubah hal ini mengakibatkan bibit ikan bisa beradaptasi.
Gambar 3.2 Kolam Siap Ditebar Nener (dokumentasi pribadi)
Setelah nener sudah ditebar petani, maka proses pembudidayaan mulai
dilakukan. Perawatan ikan bandeng dari mulai masih bibit (nener) hingga siap
konsumsi, ikan konsumsi biasanya memiliki berat 200-250gram per ikan, atau
dalam 1kg ikan bandeng berisi 4-6 ekor ikan bandeng. Untuk mencapai ikan dengan
ukuran tersebut dibutuhkan waktu 4-5 bulan tergantung dari cara pembudidayaan.
Cara pembudidayaan ikan bandeng di desa Bakaran Kulon menggunakan semi
modern atau semi intensif. Menurut pak roykan (35th) ketua petani tambak bandeng
desa bakaran kulon.
“kalau cara pembudidayaan biasanya ada 3 jenis, modern atau intensif, semi
modern atau semi intensif dan tradisional, namun di desa ini para petani hanya
menggunakan yang semi intensif. Karena kalau menggunakan yang modern modal
yang dikeluarkan cukup besar, memang hasil panen dan masa panen bagus dan
cepat. Pembeda antara modern atau intensif, semi modern atau semi intensif dan
tradisional adalah kalau modern menggunakan kincir untuk tambahan oksigen
ikan, pemberian pakan dan pupuk (mes dan tetes tebu) bisa 4-5 kali dalam sehari.
Kalau semi modern tidak menggunakan kincir, tapi tetap menggunakan pupuk
(mes dan tetes tebu) untuk campuran pakan, pemberian makan sehari 2-3 kali.
Sedangkan untuk tradisional, cukup menggunakan pakan pelet saja. Cara bertani
ini tentu akan berbeda hasilnya, penggunaan cara modern biasanya hanya
memakan waktu 3 bulan dan sudah siap untuk dipanen, semi modern memakan
waktu 4-5 bulan, sedangkan untuk tradisional akan memakan waktu lebih dari 6
bulan untuk panen.
3.1.2 Aktivitas Sehari-hari Petani Tambak Bandeng
Petani tambak bandeng setiap hari berangkat pada pukul 08.00 wib untuk
menuju ke tambak yang jaraknya sekitar 2-5 kilometer, setelah sampai di tambak
para petani langsung menuju ke gubuk (tempat penyimpanan pakan ikan). Satu
kolam biasanya dikerjakan oleh 1-3 orang petani untuk kegiatan sehari-hari, hal
tersebut tergantung dengan luas kolam. Jika kolam lebarnya 2-3 hektar maka cukup
untuk dilakukan oleh satu orang petani, namun jika kolam lebih dari 5 hektar maka
akan dikerjakan oleh 2-3 orang untuk pemberian makan dan mengatur kondisi
kolam. Pada pukul 08.00 wib, tugas petani adalah meracik pakan ikan, racikan
pakan terdiri dari mes (obat kimia untuk penggemukan ikan), tetes tebu (limbah dari
pabrik gula) dan pelet ikan (makanan utama ikan). Pertama-tama pelet satu ember
dicampur dengan mes secukupnya dan diberi tetes secukupnya kemudian dicampur
hingga rata dan diberikan langsung ke ikan. Setelah memberi makan ikan kemudian
petani membersihkan sekitar kolam. Pemberian makan ini dilakukan secara rutin
setiap pagi, siang dan sore.
Gambar 3.3 Proses Meracik Pakan Ikan Bandeng (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3.5 Pakan Hasil Racikan (Dokumentasi Pribadi)
Teknik pemberian makan ikan bandeng cukup unik, petani akan
menggendong ember yang berisikan pakan, dan membawa tongkat yang di
pucuknya diberi potongan botol sebagai alat untuk menebar pakan. Petani akan
jalan mengelilingi tambak sambil menebar pakan. Satu kali pemberian pakan
biasanya petani menghabiskan 20 kg pelet yang sudah dicampur dengan mes dan
tetes tebu.
Gambar 3.6 Teknik Memberian Makan Ikan Bandeng (Dokumentasi Pribadi)
3.1.3 Proses Panen dan Penghasilan Petani Tambak
Sebelum melakukan proses panen, petani akan mengambil sampel ikan
untuk mengetahui seberapa besar ikan yang ada di kolam, ikan yang siap untuk
panen berusia 4-5 bulan. Setelah bobot ikan dirasa cukup maka petani akan
memanen ikan tersebut. Proses panen memakan banyak tenaga kerja, pemilik
tambak akan mempekerjakan petani lain untuk membantu proses panen. Biasanya
dalam sekali panen pemilik tambak akan mempekerjakan 20 orang petani. Jadi
untuk kegiatan rutin pembudidayaan membutuhkan 3 orang termasuk pemilik
tambak yang ikut bekerja, dalam kegiatan panen membutuhkan 20 orang petani.
Petani yang dipanggil untuk proses panen akan dibayar sebesar Rp.65.000 dan
pemilik akan memberikan sedikit hasil panen ikan kepada orang yang membantu
panen.
Sekali panen biasanya 1 hektar kolam akan menghasilkan 1 ton ikan
bandeng. Per kilogram ikan bandeng dihargai Rp.13.000-Rp.16.000 tergantung
besar kecilnya ikan. Rata-rata pemilik tambak memiliki tambak lebih dari 2 hektar,
untuk sekali panen rata-rata petani bisa mendapatkan keuntungan lebih dari 500 juta
rupiah. Di balik keuntungan yang besar proses produksi juga memakan banyak
uang, menurut Pak Roykan (35).
“ya kalau keuntungan tergantung besar kecilnya ikan, biasanya kita jual seharga
Rp 13.000 – Rp. 16.000 dan saya punya kolam sebesar 6 hektar, jadi yaa sekitar
ratusan hingga milliaran mas. Tapi biaya produksi belum keitung, untuk pakan aja
satu hari 3 sak dan satu sak harganya Rp. 200.000 mas. Terus belum lagi biaya
untuk bayar para petani, sehari Rp. 65.000, saya punya 2 petani mas. Jadi untuk
biaya bisa setengah bahkan ¾ dari hasil panen.”
Ketika mau memasuki masa panen, petani menghubungi tengkulak untuk proses
jual-beli ikan. Tengkulak inilah yang akan membeli ikan di tambak dan kemudian
menjualnya lagi di pasar, tempat produksi rumahan maupun pabrik di pusat oleh-
oleh yang berhubungan dengan bandeng. Bandeng ini juga dikirim ke luar kota di
area Jawa Tengah, misal di Semarang, bahkan di Semarang memakai brand
bandeng Juwana pada oleh-oleh kota Semarang. Brand bandeng presto Juwana
menunjukkan kalau bandeng yang dimasak dan di jual itu berasal dari Kecamatan
Juwana, Kabupaten Pati.
3.2 Menjaga Kesehatan Medis dan Pengetahuan Tentang Gizi
Pengetahuan tentang cara menjaga kesehatan para petani tambak bandeng
sangatlah minim, penyakit yang sangat banyak dihadapi petani adalah penyakit
kulit, dari mulai panu, kadas, dan kutu air. Petani tambak bandeng pada saat bekerja
kebanyakan tidak memakai baju, dan terkadang hanya menggunakan celana dalam.
Cuaca yang sangat panas dan kerja yang sangat memeras keringat akan
mengakibatkan panu. Selain itu ketika membersihkan kolam mereka harus
menceburkan diri ke dalam kolam. Kebanyakan petani meninggalkan baju untuk
kerja mereka di dalam gubuk, dan baju itu selalu dipakai pada saat bertani tambak
bandeng. Baju yang mereka gunakan itu terkadang lebih dari satu minggu tidak
dicuci, padahal baju tersebut sudah mereka pakai untuk masuk ke kolam dan basah.
Pada saat mereka bertani, asupan makanan mereka adalah mie instan yang dimasak
di gubuk dekat kolam, para petani ini tidak pernah mencuci piring yang mereka
gunakan untuk makan dengan sabun. Para petani hanya mencuci piring mereka
dengan air kolam dan diusap dengan tangan, mereka beranggapan tidak akan mati
walaupun makan dengan piring yang tidak dicuci dengan sabun.
Ancaman petani saat bekerja adalah terkena gigitan ular, di kawasan
tambak sangat banyak ular baik yang berbisa maupun tidak berbisa. Perlu kehati-
hatian dalam saat bekerja ditambah lagi para petani tidak memiliki asuransi
kesehatan. Jadi pada saat ada kecelakaan pada saat bekerja biaya akan ditanggung
petani dan dibantu oleh pemilik tambak. Sarana kesehatan medis yang ada di Desa
Bakaran kulon adalah puskesmas yang terletak di desa Growong lor. Puskesmas ini
yang digunakan petani dan keluarga petani jika mengalami gangguan kesehatan.
3.2.1 Pengetahuan tentang Gizi Bandeng untuk Anak
“Banyak yang ngomong orang Juwana itu pintar-pintar” (Pak Roykan, 3
april 2017. pukul 19.25 wib). Di daerah Kabupaten Pati terkenal dengan julukan
orang Juwana pintar-pintar, karena di Kecamatan Juwana berbatasan langsung
dengan laut, dan di daerah Kecamatan Juwana kebanyakan masyarakatnya bekerja
sebagai nelayan dan bertani tambak baik tambak bandeng, udan, nila, dan garam.
Hasil ikan di daerah Kecamatan Juwana sangat melimpah, dan banyak orang di
daerah Kabupaten Pati berfikiran konsumsi utama masyarakat Juwana adalah ikan.
Maka dari itu banyak yang beranggapan bahwa orang Juwana itu pintar-pintar.
Ikan yang ada di tambak hanya untuk di jual, dan tidak untuk dikonsumsi
oleh keluarga. Keluarga petani akan memakan ikan bandeng jika mereka tidak
punya uang untuk membeli bahan makanan. Walaupun mereka bisa mengambil
ikan di tambak, namun jika tidak terdesak mereka tidak akan makan ikan dari
tambak. Para petani dan istri petani beralasan mereka dan anak mereka sudah bosan
untuk makan ikan bandeng. Kata mereka sering melihat ikannya namun jarang
memakannya, karena cukup melihat saja sudah bosan untuk memakannya. Istri
petani malas memasak ikan bandeng karena ketika dia masak ikan bandeng anaknya
akan minta disuapin, anaknya tidak bisa makan sendiri karena banyak durinya. Jadi
menurut istri para petani ketika mereka masak ikan bandeng pekerjaan mereka akan
banyak.
Adanya mitos tentang makan ikan dari hasil tambak juga berpengaruh, menurut Pak
Roykan (35):
“dahulu ketika saya kecil dan waktu itu tambak ini masih milik mbahku mas,
memang tidak boleh makan ikan dari tambak. Menurut mbahku kalau makan ikan
dari tambak sendiri rejekinya akan seret. Sekarang sudah mulai berubah mas,
sekarang sudah bebas mau makan ikan dari kolam sendiri tidak apa-apa, tapi ada
syarat untuk memakan ikan dari kolam sendiri. Kalau mau makan dari kolam kita
sendiri, sisik ikan bandeng tidak boleh dihilangkan, jadi harus dimasak deng sisik-
sisiknya mas. Kalau sisiknya dibuang itu rejekinya seret akan mas”
Adanya syarat yang harus dilakukan jika memakan bandeng dari tambak milik
sendiri ini juga menjadi alasan para keluarga petani tidak makan bandeng dari hasil
tambak sendiri. Mereka takut kalau rejeki mereka akan seret jika mereka makan
bandeng dari hasil tambak mereka sendiri.
Para pemilik tambak bandeng kebanyakan lulusan dari bangku perkuliahan,
dan mereka paham jika bandeng adalah ikan yang mengandung banyak gizi. Namun
menurut para petani dan pemilik tambak bandeng adalah bandeng penghasil uang
bagi kehidupan mereka bukan untuk konsumsi. Kalau untuk urusan pemenuhan
gizi, mereka lebih sering memakan telur, ayam dan ikan (selain bandeng) yang
mereka beli dipasar. Tidak jarang disela-sela kegiatan bekerja memberi makan dan
membersihkan tambak, para petani menjaring ikan di sungai dekat tambak untuk
mereka bawa pulang dan dimasak. Ikan yang sering mereka dapat ketika menjaring
adalah ikan lundu/keting. Kegiatan mencari ikan di sungai tidak setiap hari mereka
lakukan, dan tidak setiap mereka menjaring akan mendapatkan ikan.
BAB IV
PANDANGAN KELUARGA DAN KONSUMSI IKAN BANDENG PADA
ANAK PETANI TAMBAK
4.1 Kehidupan Keluarga Petani Tambak
Keluarga adalah lingkungan di mana beberapa orang yang masih memiliki
hubungan darah dan bersatu. Definisi ini menunjukkan sesuatu yang penting
tentang ikatan kehidupan dan hubungan yang legal. Keluarga didefinisikan sebagai
sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai
hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan
lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum
menikah disebut keluarga batih. Sebagai unit pergaulan terkecil yang hidup dalam
masyarakat, keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu, yaitu (Soerjono,
2004: 23).1
Pertama, keluarga batih memiliki peranan sebagi pelindung bagi pribadi-
pribadi yang menjadi anggota (suami, istri dan anak), di mana ketentraman dan
ketertiban diperoleh dalam wadah tersebut. kedua, Keluarga batih merupakan
tempat menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup. Ketiga,
Keluarga batih merupakan wadah di mana manusia mengalami proses sosialisasi
awal, yakni suatu proses di mana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-
kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Terakhir/ keempat, yang juga
1 Soerjono Soekanto. 2004. Sosiologi Keluarga, Tentang Ikhwal Keluarga,Remaja dan Anak. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Cipta.
menjadi poin utama dalam pembahasan penelitian ini adalah Keluarga batih
merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil memenuhi kebutuhan
anggotanya.
Dari pengertian tersebut kiranya dapat dilihat bahwa keluarga memiliki
peranan awal sosial-ekonomis dalam tatanan organisasi sosial terkecil masyarakat.
Setiap anggota keluarga yaitu bapak/suami, kemudian Istri dan anak. Mengadakan
strategi atau mekanisme tertentu guna mencapai peranan tersebut. hal ini-lah
kemudian juga membentuk batas-batas fungsi antar tiap anggota keluarga itu
sendiri. Misalnya berbicara tentang keluarga Jawa pada umumnya, dimana posisi
bapak/suami lebih dilekatkan pada posisi publik (pencari nafkah), sedangkan istri
bertugas untuk mengurus kebutuhan Domestik.
Keadaan tersebut nampaknya juga masih bertahan hingga saat ini.
Penelitian ini menemukan bahwa pada umumnya seorang bapak pergi bekerja
mencari nafkah (sebagai petani tambak) memiliki frekuensi keberadaannya yang
cukup minim di rumah. Hal ini mengakibatkan hubungan antara ibu dan anak lebih
menonjol. Seorang ibu mempunyai tanggung jawab yang pertama terhadap anak
karena ibu yang paling dekat dengan anak. Seorang ibu yang mengandung,
melahirkan, menyusui, mengasuh, serta membesarkan anak mempunyai kedekatan
yang intim dengan anaknya. Dalam hal ini, ibu yang paling tahu mengenai keadaan
anak. Oleh karena itu, ibu mempunyai tanggung jawab yang pertama dan utama
terhadap anak.
“... nek urusan omah yo mboke cah-cah mas, ngerti dewe aku mulai isuk sampek
sore kadang yo sampek maghrib nang tambak. Mboke sng ngurusi cah-cah iku
mas. Aku ketemu anak-anak ku paling bengi tok mas. Nek isuk anakku sekolah aku
mangkat neng tambak, nek mboke kan bendino nang omah mulai isuk sampek isuk
maneh. Dadi iso ngurusi sekolahe cah-cah, ngurusi mangan ben dino.”
(... kalau urusan rumah itu urusan ibunya anak-anak mas, tau sendiri saya mulai
pagi sampai sore kadang juga sampai maghrib di tambak. Istri saya yang bagian
mengurus anak-anak mas. Saya ketemu anak-anak setiap malam aja mas. Kalau
pagi anak saya berangkat sekolah sedangkan saya berangkat ke tambak, kalau istri
setiap hari di rumah mulai dari pagi sampai pagi lagi. Jadi bisa mengurus
sekolahnya anak-anak, mengurus makan setiap hari.)
Di lain hal, posisi bapak/suami sebagai pencari nafkah secara tidak sadar
juga memposisikan istri pengatur keuangan keluarga. Seorang istri yang memiliki
intensitas di rumah lebih banyak serta mengasuh anak, akhirnya juga bertugas
sebagai pengatur keungan keluarga. Ia membuat perencanaan sesuai dengan
kebutuhan keluarga. Seorang ibu (istri) membuat skala prioritas atas kebutuhan
mana yang didahulukan atau pilihan-pilihan konsumsi setiap harinya.
Logika ini berdasar bahwa semua kebutuhan terpenuhi maka manusia mencari
pilihan yang tepat untuk memenuhi kebutuhannya. Di dalam mengalokasikan
sumber daya dan barang sebagai alat pemuas kebutuhan harus dilakukan secermat
mungkin agar pengalokasian tersebut dapat memenuhi kebutuhan.
“... bapake cah-cah ngekeki duit yo pas panen mas, panene olehe piro biasane di
kekne aku separo, sing separo di nggo biaya tambak maneh. Duit sing dikekno aku
iki di enggo 6 ulan mas pokoke di nggo sampe bapake panen maneh. Duit iki di
enggo kebutuhan bendino mas, yo koyok di enggo sangune cah-cah, di enggo bayar
listrik, di enggo bayar reno-reno mas”
(...suami saya ngasih uang ya pada saat panen mas, panen dapat uang berapa
biasanya yang separuh dikasikan ke saya, yang separuh lagi untuk biaya tambak.
Uang yang dikasihkan ke saya itu untuk biaya kebutuhan selama 6 bulan pokoknya
sampai panen lagi. Uang ini untuk kehidupan sehari-hari, seperti untuk uang saku
anak-anak sekolah, buat bayar listri dan kebutuhan lain.)
4.2 Alasan Masyarakat Tidak mengkonsumsi Bandeng
Nampaknya sebagian besar para petani Tambak juga berusaha mengikuti pola
gaya hidup global yang terutama berasal dari gaya hidup negara-negara maju. Gaya
hidup dari luar ini di antaranya ada yang bersifat positif, seperti pendidikan,
pemakaian benda-benda elektronik, telepon, kelengkapan isi rumahtangga, dan
kebutuhan terhadap rekreasi. Namun demikian untuk memenuhi gaya hidup yang
demikian, petani butuh biaya yang lebih besar. Akibatnya kini mereka lebih
memilih hasil produksi pertanian tambak yang ia miliki (bandeng) menjadi uang
guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Para petani tambak di desa Bakaran Kulon, amat minim untuk
memprioritaskan bandeng hasil produksi mereka sebagai makanan (lauk-pauk)
dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini disebabkan karena Bandeng yang memiliki
nilai ekonomis cukup tinggi, hasil pertanian tambak mereka yaitu ikan bandeng
lebih dipilih untuk di rupakan menjadi “uang”.
Pada konteks ini uang dirasa lebih fleksibel untuk me manage kebutuhan
keluarga tiap hari-nya, seperti pendidikan, pemakaian benda-benda elektronik,
telepon, kelengkapan isi rumahtangga, dan sejenisnya. Ketika ikan bandeng sudah
di rupakan menjadi uang ia semacam terbebas dari fungsi utamanya yaitu “bahan
pangan”. Peleburan tersebut menjadikannya memiliki fungsi yang tidak terbatas
lagi. Artinya ia juga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain,
selain kebutuhan konsusmsi/pangan.
“... bandeng iki yo di dol kabeh mas, duite di enggo kebutuhan liyane, koyok di enggo
bayar sekolah, bayar listrik, sangune cah-cah sekolah mas. Nek di pangan dewe yo
gak bathi mas, dadi yo kabeh di dol. Saiki mosok bayar listrik, bayar sekolah, anak-
anakku ape sangu bandeng mas, kan yo tetep sangu duit mas, hehe (tertawa)”
(...bandeng ini ya di jual semua mas, uangnya di pakai untuk kebutuhan lainnya,
seperti bayar sekolah anak-anak, bayar listrik, dan uang saku anak-anak sekolah mas.
Kalau dimakan sendiri ya tidak dapet untung mas, jadi ya dijual semua mas.
Sekarang gini masak bayar listrik, bayar sekolah, uang saku anak-anak mau dikasih
bandeng, kan ya tetap pakai uang mas, hehe (tertawa))
Pandangan tersebut juga diperkuat dari mitos masyarakat setempat yang
menceritakan bahwa:
“... ndisek pas aku iseh cilik, tambak iki iseh mbahku sing duwe mas, pancen gak
oleh mangan iwak soko tambake dewe, jarene mbahku nek mangan iwak soko
tambake dewe marai rejeki seret, Saiki wes berubah mas, saiki oleh jupuk iwak,
bebas jupuk iwak soko kolam, tapi enek syarate nek ape mangan iwak soko kolame
dewe. Nek ape mangan iwak soko tambake dewe iku sisike gak oleh di ilangi, dadi
yo dimasak sak sisike mas, nek sisike dibuak marai rejeki seret mas.”
(...dahulu ketika saya kecil, waktu itu tambak ini masih milik mbahku mas,
memang tidak boleh makan ikan dari tambak. Menurut mbahku kalau makan ikan
dari tambak sendiri rejekinya akan seret. Sekarang sudah mulai berubah mas,
sekarang sudah bebas mau makan ikan dari kolam sendiri tidak apa-apa, tapi ada
syarat untuk memakan ikan dari kolam sendiri. Kalau mau makan dari kolam kita
sendiri, sisik ikan bandeng tidak boleh dihilangkan, jadi harus dimasak sekalian
sisiknya mas. Kalau sisiknya di buang itu rejeki kita akan seret mas)
Adapuan orang-orang Desa Bakar Kulon, diperbolehkan untuk
mengkonsumsi bandeng adalah ketika mereka benar-benar dalam posisi terjepit.
Misalnya, ketika pada saat tidak ada lauk-pauk sama sekali. Jika dilogika pada
mitos diatas, ketika bandeng diambil terus menerus untuk konsumsi, maka
pendapatan mereka akan berkurang, hal tersebut tersirat pada kata rejeki akan
seret. Adanya pantangan yang harus dilakukan yaitu dengan mengolah bandeng
hasil dari tambak namun sisik tidak boleh dihilangkan. Hal ini menjadikan bandeng
akan susah dimakan, dan rasa akan tidak enak untuk dimakan. Dalam konteks ini
mitos berfungsi untuk meminimalisir agar bandeng tidak berlebihan dikonsumsi
secara pribadi.
Secara logika ikan bandeng yang berada di tambak jika dikonsumsi untuk
kebutuhan pangan tidak akan habis, maksudnya jika untuk kebutuhan pangan
mungkin hanya dalam volume yang sedikit, namun yang jadi permasalahan adalah
mitos ini merupakan hal yang sakral dan telah menjadi keputusan bersama,
sehingga mengakibatkan para keluarga petani enggan untuk mengambil ikan
bandeng dari tambak, karena mereka percaya jika mengambil ikan dari tambak
rejekinya akan seret.
Pada konteks ini Marvin Harris juga menjelaskan tentang tabu dalam
memakan sapi di India dan babi di masyarakat Timur Tengah. Harris menyatakan
bahwa sapi memainkan fungsi vital dalam konteks ekologi dan ekonomi orang
India, fingsi yang hanya dapat dipertahankan kalau sapi tetap dibiarkan hidup.
Kotoran sapi adalah sangat berharga bagi petani India, ia berfungsi sebagai pupuk
untuk ladang mereka, sebagai bahan bakar dalam memasak, dan bila dicampur
dengan air untuk merekatkan, dapat dijadikan bahan lantai rumah mereka. Tetapi
peran yang jauh lebih berguna yang dimainkan sapi adalah sebagai binatang penarik
dalam pembajakan ladang. Karena petani India tidak dapat membeli traktor, sapi
merupakan satu-satunya alat yang dapat mereka pakai untuk membajak.
Sebagaimana dinyatakan Harris secara empatik, para petani India yang pada masa
berat tertentu, tergoda untuk menyembelih sapi mereka untuk makanan ternyata
menyengsarakan mereka sendiri, karena mereka tidak akan pernah dapat membajak
lagi. Untuk menjaga kelestarian sapi di India, maka mereka menganggap bahwa
sapi ini suci (Sanderson, 2011)2
Sama halnya dengan teori Marvin Harris, ikan bandeng di Desa Bakaran
Kulon menurut norma di kehidupan para petani adalah sebagai makanan yang ‘tidak
patut’ untuk dikonsumsi, karena ikan bandeng ini adalah sumber ekonomi
masyarakat petani tambak. Ikan bandeng yang dipilih untuk dirupakan menjadi
uang, dirasa oleh masyarakat akan lebih menguntungkan efisiensinya untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga yang lain seperti; membayar listrik,
sekolah anak-anak mereka, dan sebagainya. Pada posisi terjepit masyarakat
Bakaran Kulon juga akan tergoda mengkonsumsi ikan bandeng, namun ternyata hal
ini mereka anggap malah semakin menyengsarakan diri mereka sendiri. Ketika
mereka mengkonsusmsi ikan bandeng, anak mereka akan cenderung lebih manja;
anak-anak tersebut akan meminta ibunya untuk selalu menyuapinya, ketika makan
dengan lauk ikan bandeng.
Hal tersebut menunjukan bahwa terdapat anggapan, ketika ikan bandeng di
konsumsi maka penghasilan mereka akan berkurang. Maka dari itu untuk menekan
konsumsi ikan bandeng dibutuhkan “mitos” yang sakral dan dihormati oleh para
petani tambak bandeng. Mitos ini agaknya berkaitan erat dengan strategi
masyarakat untuk menjaga populasi bandeng, agar tetap terjaga sebagai “barang
dagangan”. Ketika Ikan bandeng konsumsi secara berlebihan, tentu akan
berpengaruh terhadap hasil ekonomis mereka di tiap masa panen. Boleh jadi ikan
2 http://web.unair.ac.id. Sanderson, Stephen K. (2011). “Topik Khusus: Sapi yang Suci dan Babi yang
Menjijikkan”, dalam Makrososiologi (edisi kedua) (terj.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Diakses: 04 Januari 2018
bandeng dari segi kesehatan/ konsep medis secara akademis memiliki nilai Gizi
yang tinggi, namun untuk sampai pada tataran makanan tersebut dipilih untuk
dimakan ia juga harus melewati proses norma dari suatu kebudayaan tertentu.
4.3 Pandangan Ibu terhadap Kecukupan Gizi Anak
Makanan memegang peranan penting dalam memenuhi asupan dan
kebutuhan zat gizi seorang anak. Kebutuhan makanan anak berbeda dengan
kebutuhan makanan orang dewasa karena makanan bagi anak dibutuhkan juga
untuk pertumbuhan, di mana dipengaruhi oleh ketahanan makanan keluarga
(Soetjiningsih, 2000).3
Pada konteks demikian, anggota keluarga yang paling dekat pada anak adalah
ibu. Ia merupakan orang yang pertama yang mengajarkan cara berbicara, cara
menghitung jari di tangan, dan cara mengekspresikan rasa kasih sayang dan simpati
pada orang lain. Berkembangnya ide feminisme yang begitu pesat beberapa waktu
terakhir ini, terasa pengaruhnya terhadap cara pandang masyarakat terhadap peran
ibu. Peran ibu dianggap tidak produktif karena tidak menghasilkan materi.
Beberapa pihak cenderung mengganggap peran ibu mendomestikasi perempuan
dan menempatkan perempuan dalam posisi inferior.
Fakta membuktikan bahwa Ibu memainkan peran yang penting di dalam
mengajarkan cara makan yang baik dan benar dan waktu yang tepat untuk makan.
Ibu berperan dalam pemilihan dan menentukan makanan yang boleh dikonsumsi
3 Soetjiningsih. 2000. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
anak atau makanan yang akan dihidangkan seperti jenis-jenis makanan, contohnya
sayur-sayuran, buah-buahan, susu dll.
Ibu sebagai pengasuh mempunyai peran yang penting dalam hal yang
berkaitan dengan makanan, mulai dari penyusunan menu makanan, pembelian,
pemberian makanan pada anak, pola makan anak dan frekwensi makan anak.
Kesemuanya itu sangat berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak (Soegeng,
2001).4
Penelitian ini menemukan bahwa sebagian besar keluarga petani tambak
bandeng, amat jarang mengkonsumsi ikan Bandeng. Padahal diketahui Bandeng
memiliki nilai gizi yang tinggi. Ikan bandeng merupakan sumber protein hewani
yang tinggi, menyediakan vitamin B kompleks yang berfungsi menghasilkan energi
yang digunakan untuk fungsi organ tubuh khususnya jantung, otak, paru-paru dan
ginjal. Ikan bandeng juga memiliki manfaat untuk tubuh manusia di antaranya dapat
mencegah penyakit jantung koroner dan menurunkan kolesterol. Ikan bandeng
mengandung lemak tak jenuh yang lumayan banyak dan baik bagi kesehatan
jantung manusia (lemak omega 3). Asam lemak omega 3 juga baik untuk anak-
anak, lemak omega 3 dibutuhkan untuk perkembangan otak dan perkembangan
jantung bagi anak.5
Adapun faktor yang melatarbekalangi hal ini adalah pengaruh sosial-budaya
masyarakat setempat. Para ibu/istri petani tambak bandeng enggan untuk
4 Soegeng, dr. 2004. Kesehatan Dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta 5 www.Kompas.com. Kus Anna, Lusiana. (2015). Bandeng Sumber Gizi Penting Bagi Tubuh. Diakses: 21 November 2017
menjadikan ikan bandeng sebagai makanan konsumtif keluarga dan anak mereka.
Disamping karena alasan ikan bandeng miliki nilai ekonomis yang besar
(sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya). Para ibu “jarang”
mengkonsumsikan ikan Bandeng kepada anaknya juga disebabkan karena
pandangan tersendiri tentang “anak yang sehat dan tidak sehat”.
Pemaknaan mengenai “anak yang sehat” (atau berkecukupan gizinya) lebih
dilekatkan pada kondisi di mana anak “berpostur gemuk/ tidak kurus”. Untuk
mencapai hal tersebut para ibu biasanya akan menekan frekwensi makan anak-
anaknya. Para anak diharuskan makan setiap harinya sebanyak 3 kali yaitu pertama
pada waktu pagi antara pukul 06:30 s.d 08:00, kedua Siang antara pukul 12:00 s.d
13:00, dan ketiga adalah pada saat malam hari antara pukul, 18:00 s.d 19:00.
“... cah-cah nek isuk sak durunge mangkat sekolah mesti sarapan mas, nek awan
paling tuku neng sekolah tapi yo gak mesti, kadang yo pas muleh sekolah lagi
mangan, bengi jam 6 bar maghrib mangan maneh mas.”
(... anak-anak kalau pagi sebelum berangkat ke sekolah musti sarapan mas, kalau
siang paling beli makan di sekolah, tapi tidak selalu beli di sekolah, kadang pulang
sekolah baru makan siang, malem jam 6 setelah maghrib biasanya makan lagi mas”)
Ibu mengontrol porsi dan waktu makan anak-anak mereka, pada tiap waktu
tersebut ibu akan memarahi anak-anak mereka, jika makanan yang disajikan tidak
dihabiskan. Bahkan tidak jarang pula, muncul semacam ancaman kepada anak
(terkesan bersikap otoriter), ibu akan menegur bahwa jika mereka tidak
menghabiskan makanan tersebut mereka akan kurus dan itu artinya akan sakit/ tidak
sehat.
“...manganmu entek no kono lho, sawangen awakmu kuru iku lho, loro kuwe engko”
(makan kamu habiskan sana, lihat badanmu kurus itu, sakit kamu nanti). Kata-kata
ini secara tidak sengaja peneliti temukan pada saat observasi.
Hal ini nampaknya akan bertolak belakang dengan pandangan medis secara
umum, (Sudjatmoko, 2011) mengemukakan bahwa Orangtua yang terlalu mengatur
atau otoriter (controlling) akan menghambat regulasi proses makan anak secara
mandiri sehingga mereka cenderung kelebihan berat badan. Bila anak menolak
menghabiskan porsi makan mereka, sebaiknya piring makan diangkat, tanpa
disertai komentar. Diharapkan pada jam makan berikutnya anak akan menikmati
menu yang disajikan karena perut yang lapar. Tindakan tersebut merupakan hal
tersulit bagi orangtua dibanding anak mereka.
Faktor lainnya, mengenai pandangan terhadap kecukupan gizi anak adalah
keadaan responsif orang tua. Pada konteks ini para ibu berpandangan bahwa
meskipun ikan Bandeng memiliki nilai gizi yang tinggi namun mereka enggan
untuk menyajikan makanan ini kepada anak-anaknya.
Perlu diketahui bahwa para petani Tambak Bandeng di desa Bakar Kulon
sebenarnya juga hanya pada tataran penyediaan bahan mentah, masih belum
berbentuk olahan. Jika mengkonsumsi bandeng yang masih mentah, akan dirasa
sulit atau repot pada saat proses pengolahannya. Bandeng memperlukan proses
presto untuk “melunakkan” duri-duri nya yang cenderung lebih banyak dari pada
jenis ikan yang lain.
Ketika anak diberikan makan dengan lauk ikan bandeng, mereka akan
menjadi lebih manja (selalu meminta untuk disuapi ketika makan). Anak cenderung
tidak nyaman dengan keadaan memakan ikan bandeng yang berduri banyak.
Umumnya para ibu tidak bisa menolak hal ini. Oleh karena itu untuk meminimalisir
keadaan tersebut para ibu biasanya akan mengkonsumsi ikan bandeng hanya pada
saat keadaan ekonomi benar-benar sulit. Jika saat pendapatan ekonominya lebih
baik, para ibu akan lebih mengutamakan mengkonsumsi jenis bahan makanan yang
lain, seperti tempe, tahu, ayam atau ikan selain ikan bandeng (yang berduri lebih
sedikit).
“.. anakku emoh mangan bandeng mas, soale akih erine, bocahe gak iso mangan
dewe mesti njaluk didulang. Ibuke dewe yo males masak bandeng, soale anake males
mangan dewe iku mau, masio anakku wes SMP nek pas ibuke masak bandeng tetep
njaluk didulang.”
(... anakku tidak mau makan bandeng mas, soalnya banyak durinya, anakku gak bisa
makan sendiri dan musti minta untuk di suapi. Istriku juga malas untuk masak
bandeng, soalnya anakku gak bisa makan sendiri, walaupun anakku sudah SMP
kalau ibunya masak bandeng tetep minta disuapi)
Kutipan wawancara di atas menyatakan bahwa seorang anak selalu minta
disuapi makan ketika ibu masak ikan bandeng walaupun anaknya sudah SMP.
Padahal anak yang sudah di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) seharusnya
tidak patut untuk disuapi oleh orang tuanya (ibu) lagi. Klasifikasi usia menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2009), masa balita (0 – 5 tahun), masa
kanak-kanak (5 – 11 tahun), masa remaja Awal (12 – 1 6 tahun). Masa balita dan
masa kanak-kanak masih membutuhkan suapan makanan dari orang tua, sedangkan
masa remaja awal seharusnya sudah makan sendiri. Namun dalam kondisi ini anak
yang berada di remaja awal masih minta disuapi orang tuanya pada saat makan ikan
bandeng dengan alasan banyak duri.
Menurut medis tindakan ini akan menjadikan sifat orang tua menjadi
responsive, orang tua (ibu) akan selalu berada dekat dengan anaknya, berpotensi
memunculkan prilaku untuk selalu merespon keinginan anak. Penolakan anak
terhadap salah satu jenis makanan dan kemudian orang tua selalu menuruti hal
tersebut, bisa mengakibatkan orang tua memiliki perhatian terlalu berlebih. Bagi
anak, dengan cara menolak makan, anak akan mendapat perhatian yang
diinginkannya. Pada akhirnya anak akan hanya memakan, makanan yang
diinginkannya saja, terlepas apakah makanan tersebut mengandung gizi yang baik
atau tidak (Sudjatmoko, 2011).
Selanjutnya yang terakhir adalah para ibu berpandangan bahwa anak yang
gizinya sudah cukup adalah mereka yang secara kasat mata terlihat gemuk, berat
badannya naik, dan sejenisnya. Anak yang gemuk diangggap lucu, menggemaskan,
sehat dan membanggakan orang tuanya. Padahal secara medis hal ini belum tentu
dapat menjadi indikator utama bahwa anak tersebut berkecukupan gizinya. Bahkan
sebaliknya indikator tersebut malah menjadi permasalahan kesehatan lainnya
misalnya obesitas. Obesitas pada anak dapat meningkatkan resiko timbulnya
berbagai gangguan kesehatan, seperti kencing manis, hipertensi, penyakit jantung,
gangguan pernafasan, dan mempengaruhi hubungan sosial anak dengan teman
sebayanya ( Tanto, 2013)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Dari rumusan masalah penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Pertama, anak petani tambak sangat jarang makan ikan bandeng. Hal ini
dikarenakan beberapa faktor diantaranya: 1) Ibu (istri petani) malas untuk memasak
ikan bandeng karena ketika mereka masak ikan bandeng anak mereka menjadi
manja dan minta untuk disuapi makan walapun anak mereka sudah menginjak
remaja. Anak petani tambak tidak bisa makan ikan bandeng karena ikan bandeng
banyak duri. 2) Para petani tambak tidak memprioritaskan bandeng hasil produksi
mereka sebagai makanan (lauk-pauk) dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini
disebabkan karena ikan bandeng yang memiliki nilai ekonomis cukup tinggi, hasil
pertanian tambak mereka yaitu ikan bandeng lebih dipilih untuk di rupakan menjadi
“uang”.
Kedua, para petani tambak memiliki pengetahuan yang cukup tentang gizi
anak. Hal ini dapat dibuktikan dari petani yang memberikan anaknya makan seperti
telor, tahu, tempe, ayam dan ikan (selain ikan bandeng). Menurut mereka
pemberian gizi kepada anak tidak harus makan bandeng, petani tambak juga
mengetahui bahwa bandeng memiliki nilai gizi yang tinggi, namun mereka
terhalang akan mitos yang berkembang di masyarakat, mereka tidak bisa makan
ikan bandeng karena mereka takut rejeki mereka akan seret. Ketika Ikan bandeng
dikonsumsi secara berlebihan, tentu akan berpengaruh terhadap hasil ekonomis
mereka di tiap masa panen, hal tersebut tersirat pada mitos bandeng yang jika
bandeng dimakan maka rejeki akan seret. Walaupun ikan bandeng dari segi
kesehatan/ konsep medis secara akademis memiliki nilai gizi yang tinggi, namun
untuk sampai pada tataran makanan untuk dimakan ia juga harus melewati proses
norma dari suatu kebudayaan tertentu.
Kedua faktor tersebut, memberikan makna dalam masyarakat yang
disosialisasikan oleh keluarga petani Tambak secara turun-temurun. Budaya
merupakan sesuatu yang perlu dipelajari, karena tiap anggota masyarakat tidak
dilahirkan spontan mengenai nilai atau norma kehidupan sosial mereka, tetapi
mereka harus belajar tentang apa yang diterima dari keluarga. Anak menerima nilai
dalam perilaku mereka dari orang tua dan lingkungan mereka. Misal anak-anak
lebih suka makanan seperti ayam, tempe-tahu, telor, dan lain-lainnya karena
kemudahan pengolahannya dan tidak banyak duri seperti ikan bandeng. Bagi ibu
yang memiliki waktu banyak di rumah makanan tersebut dipilih karena tidak perlu
nyuapi anaknya, dan selain itu makanan tersebut tidak berkaitan dengan mitos yang
dipercaya di Desa Bakaran Kulon.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, F. (2013). Antropologi Kesehatan. Jakarta: UI Press.
Ariyanto, K. (2005). Faktor Geografis yang Mendorong Budaya Ikan
Bandeng di Desa Bakaran Kulon Kecamatan Juwana Kabupaten Pati.
Universitas negeri semarang.
Benih, A. (2014). Sosiologi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Bungin, B. (2011). Metodologi Penelitian Sosial Format-Format Kuantitatif dan
Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press.
Christon, R.E. Sihombing. (2010). Pengaruh Orang Tua terhadap Pemberian Gizi
Pada Anak Balita (Study Deskriptif Di Desa Girsang. Kec. Girsang
Sipangan Bolon Parapat). Universitas Sumatera Selatan.
Hartati, Y. (2006). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Ikan
dan Status Gizi Anak 1 – 2 Tahun di Kecamatan Gandus Kota Palembang
Tahun 2005. Universitas Diponegoro
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Gizi Seimbang.
Koentjaraningrat. (1977). Metode Wawancara in Metode-Metode Penelitian
Masyarakat (1sted, p. 129). Jakarta: PT Gramedia
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Marambi, H. (2009). Sosiologi dan Antropologi Kesehatan. Yogyakarta: Nuha
Medika
Munthofiah, S. (2008). Hubungan antara Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Ibu
dengan Status Gizi Anak Balita. Universitas Sebelas Maret
Soegeng. (2004). Kesehatan dan Gizi.Jakarta : Rineka Cipta
Soetjiningsih. (2000). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC.
Soerjono, S. 2004. Sosiologi Keluarga, tentang Ikhwal Keluarga,Remaja dan Anak.
Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka Cipta.
Spradley, J. P. (2007). Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wicana.
Tanto, A.D.T. (2013). Gambaran Persepsi Ibu tentang Obesitas pada Balita di
Desa Ngudirejo Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. STIKES
Pemkab Jombang
Trisia, D. A. (2010). Kontribusi Sosial Budaya Penyebab Malnutrisi pada Balita
di Keluarga Nelayan (Studi pada Keluarga Nelayan di Kelurahan
Keteguhan Kecamatan Teluk Betung Barat Kota Bandar Lampung).
Universitas Lampung
Wibowo, A.P. (2014). Analisis Rantai Nilai (Value Chain) Komoditas Ikan
Bandeng di Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati. Universitas Diponegoro
Arsip :
Profile Desa Bakaran Kulon, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati
Internet
www.kompas.com. Kus Anna, Lusiana. (2015). Bandeng Sumber Gizi Penting
Bagi Tubuh. Diakses: 21 November 20171.
http://web.unair.ac.id. Sanderson, Stephen K. (2011). “Topik Khusus: Sapi yang
Suci dan Babi yang Menjijikkan”, dalam Makrososiologi (edisi kedua)
(terj.). Jakarta: RajaGrafindo Persada. Diakses: 04 Januari 2018