program penelitian paus oleh jepang ditinjau dari
TRANSCRIPT
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun
PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI INTERNATIONAL
CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING
THE SCIENTIFIC WHALE RESEARCH PROGRAM BY JAPAN UNDER THE
INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING
Farah Elsa Nova
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran
Jalan Banda No. 42 Bandung 40115
E-mail: [email protected]; Telp.: (022) 4220696
Diterima: 01/08/2019; Revisi: 20/11/2019; Disetujui: 21/11/2019
DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.14197
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan mengkaji penelitian terhadap Paus oleh Jepang dengan mengacu
pada Internasional Convention for the Regulation of Whaling. Pasal VIII ICRW telah
menimbulkan interpretasi yang berbeda dimana adanya celah terhadap isi pasal
konvensi ICRW terkait pelegalan perburuan paus untuk kepentingan ilmiah. ICJ
memutuskan bahwa Jepang harus menghentikan pelaksanaan penelitian ilmiahnya
karena terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal VIII ICRW. Namun, putusan tersebut
tidak menghentikan perburuan paus yang dilakukan oleh Jepang. Pada tahun 2014
Jepang mengajukan kembali proposal program penelitian baru yang menimbulkan
banyak pertentangan dari negara anggota anti whaling. Dengan menggunakan metode
yuridis normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan kasus, menemukan bahwa
melalui pendekatan tekstual ICJ menafsirkan pasal VII ICRW dengan mempertimbang-
kan unsur-unsur rancangan dan pelaksanaan program itu wajar dalam kaitannya dengan
tujuan ilmiah atau tidak. Sampai saat ini IWC terus melaporkan bahwa pelaksanaan
program penelitian Jepang yang baru masih dalam hal yang wajar sehubungan dengan
tujuan penelitiannya.
Kata Kunci: perburuan paus; kepentingan ilmiah; icrw.
ABSTRACT
This study aims to examine the research on whales by Japan with reference to the
International Convention for the Regulation of Whaling. Article VIII ICRW has led to
different interpretations where there is a gap in the contents of the ICRW convention
articles related to legalizing whaling for scientific purposes. The ICJ decided that
Japan should stop carrying out its scientific research because it was proven to violate
the provisions in Article VIII of the ICRW. However, the ruling did not stop whaling by
the Japanese. In 2014 Japan resubmitted a new research program proposal which
caused much opposition from anti-whaling member countries. Using a normative
juridical method, this research uses a case study approach, finding that through the
textual approach ICJ interprets Article VII of the ICRW by considering the elements of
program design and implementation that are reasonable in relation to scientific
objectives or not. Until now the IWC continues to report that the implementation of the
new Japanese research program is still in reasonable terms with respect to its research
objectives. Key Words: whaling; research purposes; ICRW.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
418
PENDAHULUAN
Paus merupakan kelompok binatang yang berukuran besar. Paus termasuk dalam kelompok
mamalia (binatang menyusui) yang hidup di lautan yang dilindungi karena terancam kepunahannya
(Whitcombe, 2005). Perburuan paus sebagai industri dimulai abad ke-11 ketika orang-orang
Basques memulai perburuan dan menjual produk yang berasal dari paus Atlantik Utara. Kemudian
perburuan mereka diikuti oleh bangsa Belanda dan Inggris, kemudian bangsa Amerika dan semakin
lama bangsa-bangsa di dunia mengikutinya (Murti, 2018).
Pada zaman sekarang ini, paus telah menjadi sasaran perburuan hanya untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Paus memiliki berbagai manfaat seperti lemak dalam tubuh paus sejak abad ke-
10 hingga ke-17 digunakan sebagai bahan baku pembuatan lilin, produk tekstil, dan pelumas mesin.
Tulang dan giginya bisa dijadikan sebagai barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti korset,
piring, sisir, dan hiasan rumah. Minyaknya digunakan sebagai sumber penerangan yang tak
menimbulkan bau dan asap. Spesies paus yang paling sering diburu untuk diambil minyaknya yaitu
paus sperma (catodon macrocephalus). Paus ini memiliki kandungan zat yang disebut spermatic di
kepalanya. Zat inilah yang pada masa itu dijadikan sebagai bahan utama pembuat lilin (Akbar,
2018).
Hal ini memunculkan kekhawatiran dunia akan menipisnya jumlah atau bahkan punahnya
beberapa spesies ikan paus, khususnya Paus Biru sehingga para peneliti mulai merencanakan
pembentukan peraturan internasional pada awal tahun 1930-an. Pada awalnya hal ini didasarkan
karena alasan ekonomi. Pada tahun 1930-1931 penangkapan paus terbilang tinggi sebanyak 40.000
baleen paus ditangkap dan dijadikan minyak baleen paus yang mengakibatkan jatuhnya harga
minyak per barel. Oleh karena itu, kuota penangkapan paus harus dibatasi untuk menstabilkan harga
pasar.
Pada tahun 1946, International Convention For The Regulation Of Whaling (ICRW)
disetujui di Washington DC. Konvensi ini menyimpulkan 11 article untuk memenuhi tujuan dan
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
419
maksudnya dan menjadi dasar terbentuknya International Whaling Commision (IWC). IWC adalah
Badan antar-pemerintah global yang diakui secara resmi oleh PBB yang bertugas untuk konservasi
ikan paus dan pengelolaan penangkapan ikan paus yang selalu mengedepankan ilmu pengetahuan
dan penelitian sebagai bagian dari organisasi itu sendiri. IWC saat ini memiliki 88 negara anggota
dari negara-negara di seluruh dunia (IWC, 2018). Semua negara dapat berpartisipasi ke dalam IWC
dengan syarat, bahwa negara yang ingin bergabung harus menandatangani perjanjian ICRW (Putri,
Trihastuti, & Warno, 2016).
Tugas utama dari IWC adalah untuk melakukan tinjauan dan merevisi seperlunya langkah-
langkah yang ditetapkan dalam jadwal konvensi yang mengatur pelaksanaan penangkapan ikan
paus di seluruh dunia. Langkah-langkah yang dilakukan oleh IWC antara lain dalam memberikan
perlindungan spesies tertentu, menunjuk daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam bagi ikan paus,
menetapkan batas jumlah dan ukuran ikan paus yang dapat diambil, dan merumuskan dan
menentukan musim terbuka dan tertutup dan area untuk penangkapan ikan paus. Penyusunan
laporan penangkapan ikan paus dan catatan statistik dan biologi lainnya juga diperlukan untuk
membantu keberhasilan IWC dalam memperbaiki regulasi. IWC juga bekerja untuk mengurangi
frekuensi serangan kapal penangkapan paus terhadap ikan paus, dan juga untuk mengkoordinasi
kegiatan penguraian dan untuk membangun Conservation Management Plans untuk mengatur
masalah populasi dan spesies yang tergolong dalam spesies kunci dan paling langka (Airlangga,
2014).
Tingginya jumlah paus yang dibunuh mendorong IWC segera untuk menyetujui
pemberlakuan moratorium. Kemudian pada tahun 1982, IWC menyetujui moratorium yang
melarang segala bentuk perburuan ikan paus komersial yang mulai aktif pada tahun 1986 sebagai
respon tingginya perburuan paus yang terjadi masa itu. Moratorium tersebut tentu menyulitkan
Jepang sebagai salah satu negara dengan jumlah tangkapan paus terbesar hingga saat ini. Jepang
termasuk negara yang telah menyetujui terikat secara hukum dan menandatangani ICRW pada
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
420
tanggal 21 April 1951. Pemberlakuan moratorium membuat Jepang merasa dihalangi dalam
melakukan perburuan ikan paus untuk komersialisasi. Setahun setelah diberlakukannya moratorium,
Jepang mengajukan proposal berisi permohonan untuk melakukan scientific whaling kepada IWC.
Scientific whaling menjadi satu-satunya cara bagi Jepang agar tetap bisa meneruskan perburuan
paus setelah commercial whaling tidak diperbolehkan karena moratorium (Airlangga, 2014).
Dalam Pasal IV dan VIII Konvensi ICRW menyatakan bahwa perburuan paus dilegalkan
untuk kepentingan ilmiah. Perizinan dan penetapan kuota untuk melakukan scientific whaling
ditentukan dari hasil perundingan anggota-anggota dalam IWC. Upaya Jepang dalam mendapatkan
special permit tersebut ialah dengan mempergunakan power yang dimiliki oleh negaranya.
Negosiasi yang dilakukan oleh Jepang dilakukan dengan mengarahkan permasalahan perburuan
paus kepada tujuan ilmiah dan budaya. Pertama, Jepang meyakinkan IWC bahwa ikan paus
mengkonsumsi sangat banyak ikan, hal ini sangat berpengaruh kepada terancamnya mata
pencaharian nelayan diseluruh dunia. Kedua, negosiasi dalam hal budaya juga menjadi salah satu
poin penting bagi Jepang untuk meyakinkan IWC dan masyarakat dunia bahwa scientific whaling
menjadi salah satu media bagi Jepang untuk melakukan penelitian demi populasi paus sehingga
Jepang dapat menemukan cara dalam membantu pengembangbiakan ikan paus dan
mempertahankan populasinya, agar Jepang dapat tetap mempertahankan tradisinya tanpa
berpengaruh kepada kondisi stok paus (Airlangga, 2014).
Dalam penerapan program penelitian ilmiahnya, Jepang telah membuat 2 program
diantaranya adalah Japanese Whale Research under Special Permit in the Antartic (JARPA) pada
tahun 1987/1988-2005 dan Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Western
North Pacific (JARPN) pada tahun 1994-1999. Kemudian Jepang melanjutkan program fase kedua,
melalui Second Phase of the Japanese Whale Research Program under Special permit in the
Antarctic (JARPA II) pada tahun 2005 – 2007. Namun, setelah dikeluarkannya putusan ICJ pada 31
Maret tahun 2014, program JARPA II harus dihentikan karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
421
Pasal VIII ayat 1 ICRW. Pemberian special permit terkait JARPA II, tidak sesuai dengan ketentuan
dalam paragraf 10 (e) dalam Schedule ICRW. Memutuskan bahwa Jepang telah melanggar
ketentuan dalam paragraf 7 (b) Schedule ICRW dan memerintahkan Jepang untuk mencabut segala
izin berkelanjutan mengenai program JARPA II.
Namun, pada tahun 2014 Pemerintah Jepang mengajukan kembali proposal program
penelitian baru untuk menggantikan program JARPA II yaitu New Scientific Whale Research
Program in the Antarctic Ocean atau NEWREP-A yang rencananya akan dimulai pada tahun 2015.
Program baru oleh Jepang tersebut diajukan pada pertemuan tahunan IWC yang bertempat di
Portoroz, Slovenia bulan November tahun 2014. Program ini juga memasukkan cagar alam
Samudera Hindia yang ditetapkan oleh IWC sebagai cakupan wilayah penelitiannya (Putri,
Trihastuti, & Warno, 2016).
Program baru oleh Jepang ini menarik untuk diteliti terutama ditinjau dari ICRW yang akan
menimbulkan asumsi bahwa apakah Pemerintah Jepang tidak memiliki niat untuk setidaknya dalam
waktu dekat menghentikan program scientific research yang telah diputuskan oleh ICJ sebelumnya
untuk program JARPA II.
Artikel mengenai program penelitian paus oleh Jepang dapat ditelusuri melalui sejumlah
artikel lainnya, antara lainI Gusti Krishna Aditama (Aditama, 2017) dan Rizza Oktavia Tunggal
Putri (Putri, 2016). Artikel ini ingin melihat penyebab Jepang melakukan penangkapan paus dan
implikasi keputusan hakim terhadap perburuan paus oleh Jepang.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (normative
law research), dengan pendekatan kasus (case approach), yaitu meneliti alasan-alasan hukum yang
digunakan oleh hakim untuk sampai kepada keputusannya dalam rangka menemukan jawaban dari
permasalahan penulisan ini.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
422
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, dimana penelitian ini dilakukan terhadap
berbagai macam sumber bahan hukum seperti bahan hukum primer yang berupa Vienna Convention
On The Law Of Treaties 1969 (Konvensi Wina 1969), International Convention for the Regulation
of Whaling (ICRW) 1946, dan Putusan International Court of Justice (ICJ) No. 226 Tahun 2004.
Bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum dikumpulkan melalui studi
kepustakaan dan mengumpulkan berbagai informasi yang terkait program penangkapan ikan paus
yang terjadi di Jepang. Dengan demikian studi ini untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,
pendapat-pendapat, dan penemuan-penemuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.
Selanjutnya data diolah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan disajikan dalam
bentuk deskriptif analitis.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1) Interpretasi pada Konvensi Wina 1969
Interpretasi dibutuhkan apabila pengertian istilah-istilah dalam suatu perjanjian mengandung
ketidakjelasan sehingga mengakibatkan kegandaan makna dan para pihak mempunyai pengertian
yang berbeda serta tidak mampu memberikan pengertian pada istilah-istilah tersebut (Usmawadi,
1988). Interpretasi dapat terjadi karena karena perbedaan bahasa dan perbedaan cara memandang
suatu fenomena. Oleh karena itu, interpretasi dapat diartikan sebagai suatu kewajiban untuk
memberikan penjelasan mengenai maksud-maksud para pihak sebagaimana dinyatakan dalam kata-
kata yang mereka gunakan dipandang dari segi keadaan-keadaan yang mengelilinginya Usmawadi,
1988). Cara menafsirkan suatu perjanjian internasional ialah harus mengacu kepada Konvensi Wina
tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, yang telah diatur dalam pasal 31 dan pasal 32 (Usmawadi,
1988).
Interpretasi sering dilakukan ketika adanya sengketa antara para pihak, bisa terjadi secara
langsung atau tidak langsung. Sengketa secara langsung dilakukan dengan meminta pendapat
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
423
kepada ICJ, sedangkan tidak langsung dilakukan tanpa adanya sengketa namun ICJ memberikan
interpretasi terhadap istilah-istilah yang dianggap kabur atau tidak jelas (Latipulhayat, 2018).
Interpretasi dari perjanjian internasional lebih mendekati kepada upaya-upaya yang diperbuat
untuk dapat menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ke dalam suatu tindakan yang
nyata untuk memenuhi prestasi dari perjanjian tersebut. Oleh karena itu, interpretasi pada
hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak
mungkin dirasakan masuk akal, khususnya terhadap istilah-istilah biasa yang ada dalam suatu
perjanjian.
Interpretasi atas suatu perjanjian internasional pada dasarnya hanya bisa dilakukan oleh pihak-
pihak yang ikut serta dalam pembuatan perjanjian tersebut, namun sampai saat ini belum ada
keseragaman mengenai cara menginterpretasi suatu perjanjian internasional, dan belum ada suatu
badan yang berwenang untuk memberikan penafsiran terhadap perjanjian internasional yang
mengikat semua negara. Dalam konstruksi Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 Konvensi Wina 1969
sendiri tidak disebutkan secara jelas mengenai siapa yang berhak untuk melakukan penafsiran atas
perjanjian internasional, walaupun lazimnya interpretasi perjanjian internasional dilakukan oleh
Pihak ketiga yaitu diluar pihak yang bersengketa dan ICJ sebagai pilihan terakhir dalam
memberikan interpretasi atau kejelasan terhadap suatu perjanjian internasional (Latipulhayat, 2018).
Pengadilan nasional juga bisa menafsirkan ketentuan dalam perjanjian internasional sepanjang hal
tersebut menyangkut hak-hak dan kepentingan individual dan termasuk dalam yurisdiksi pengadilan
tersebut, dan tidak mempengaruhi kekuatan dari perjanjian tersebut.
Ada tiga aliran pemikiran yang berbeda tentang interpretasi perjanjian internasional yaitu: (a)
pendekatan tekstual (textual school); (b) pendekatan niat (intention school); dan (c) pendekatan
teleologis (teleological school). Pendekatan tekstual menempatkan penekanan khusus pada teks
perjanjian sebagai menggabungkan ekspresi otentik dari niat para pihak. Pendekatan niat
menegaskan bahwa tujuan utama dari penafsiran perjanjian adalah berusaha untuk memastikan niat
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
424
para pihak. Dan pendekatan teleologis yang lebih dinamis mempertahankan bahwa tugas pembuat
keputusan adalah untuk memastikan kembali apa objek dan tujuan suatu perjanjian sehingga ketika
ditafsirkan dapat memberi efek pada objek dan tujuan perjanjian tersebut. Seperti antara pendekatan
tekstual dan pendekatan niat, perbedaan utama terletak pada sejauh mana dan keadaan di mana jalan
menuju pekerjaan persiapan harus diterima sebagai bantuan dalam proses interpretasi (Sinclair,
1970).
Konvensi Wina tahun 1969 memuat aturan mengenai interpretasi hanya dalam tiga pasal,
yaitu Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33.
Pasal 31
Aturan Umum lnterpretasi
1. Suatu perjanjian diinterpretasikan dalam itikad baik (good faith) sesuai dengan pengertian
yang lazim diberikan pada istilah-istilah dari perjanjian dalam konteks dan dipandang
dari maksud dan tujuannya;
2. Konteks untuk maksud interpretasi suatu perjanjian mencakup tambahan pada teks,
termasuk preamble dan lampiran-Iampiran :
a. Setiap persetujuan berkenaan dengan perjanjian yang dibuat antara semua pihak
berkaitan dengan penutupan perjanjian;
b. Setiap instrumen yang dibuat oleh satu atau lebih pihak berkenaan dengan penutupan
perjanjian dan diterima oleh pihak-pihak lain sebagai suatu instrumen yang
berhubungan dengan perjanjian.
3. Harus diperhatikan bersama-sama dengan konteks :
a. Setiap persetujuan antara pihak - pihak mengenai interpretasi perjanjian atau aplikasi
ketentuannya;
b. Setiap praktek kemudian dalam penerapan perjanjian yang membentuk persetujuan
antara pihak – pihak mengenai interpretasinya;
c. Setiap ketentuan hukum internasional yang relevan yang dapat dipakai dalam
hubungan antara pihak-pihak. .
4. Suatu pengertian khusus dapat diberikan pada suatu istilah jika para pihak menetapkan
maksudnya demikian.
Pasal 32
Cara-cara tambahan interpretasi
Usaha lain yang dapat dipakai sebagai cara tambahan interpretasi, termasuk pekerjaan
pendahuluan perjanjian dan keadaan pada saat penutupannya, supaya memperkuat pengertian
penerapan pasal 31, atau untuk menetapkan pengertian interpretasi menurut pasal 31;
a. memberikan arti ganda atau kabur; atau
b. menghasilkan arti yang menunjukkan tidak masuk akal atau tidak layak.
Jika mengacu kepada komentar-komentar tentang kedua pasal ini pada saat penyusunannya.
Dalam komentar Pasal 27 dan Pasal 28 yang merupakan rancangan Pasal 31 dan Pasal 32, bahwa
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
425
teks (naskah) perjanjian dipandang sebagai pendekatan tekstual dari maksud para pihak. Oleh
karena itu, titik-tolak interpretasi adalah menjelaskan arti teks (naskah). Pendekatan tekstual dalam
hal interpretasi ialah suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan iktikad baik, artinya ditetapkan
menurut pada “konteks” perjanjian dan dipandang dari maksud dan tujuan perjanjian (Sinclair,
1970). Indikasi “konteks” perjanjian di sini dimuat dalam Pasal 31 ayat (2) dimana suatu
persetujuan diadakan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan tertentu suatu perjanjian yang
dibuat sebelum dan pada saat penutupan perjanjian ditaati sebagai dari perjanjian itu. Demikian juga
suatu persetujuan untuk menginterpretasikan ketentuan suatu perjanjian yang dicapai setelah
penutupan perjanjian dinyatakan sebagai suatu interpretasi otentik (Usmawadi, 1988). Selanjutnya
yang harus diperhitungkan bersama-sama dengan konteks adalah "Setiap praktik kemudian dalam
aplikasi perjanjian yang membentuk kehendak para pihak mengenai interpretasi perjanjian".
Dengan perkataan lain kehendak dan praktik para pihak secara langsung memberikan porsi yang
sangat besar untuk mendapatkan fakta-fakta objektif mengenai arti perjanjian. Kemudian di dalam
pendapatnya Mahkamah menyatakan "If there were any ambiguity, the Court might, for the purpose
of arriving at the true meaning, consider the action which has been taken under Treaty"
(Usmawadi, 1988). Jadi apabila terdapat kekaburan, diperkenankan bagi mahkamah untuk
mempertimbangkan tindakan yang telah dilakukan menurut perjanjian. Tindakan di sini maksudnya
adalah praktik-praktik yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan praktik-praktik
itu mencerminkan penginterpretasian dari ketentuan-ketentuan perjanjian itu yang dianggap kabur.
2) Interpretasi Pasal VIII dari ICRW
Sebagaimana bunyi pasal VIII ICRW adalah:
“Notwithstanding anything contained in this Convention any Contracting Government may
grant to any of its nationals a special permit authorizing that national to kill, take and treat
whales for purposes of scientific research subject to such restrictions as to number and
subject to such other conditions as the Contracting Government thinks fit, and the killing,
taking, and treating of whales in accordance with the provisions of this Article shall be
exempt from the operation of this Convention. Each Contracting Government shall report at
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
426
once to the Commission all such authorizations which it has granted. Each Contracting
Government may at any time revoke any such special permit which it has granted.”
Perdebatan awal muncul berkaitan dengan persoalan klausul di atas yakni “killing, taking, and
treating of whales in accordance with the provisions of this Article shall be exempt from the
operation of this Convention” yang berarti pembunuhan, pengambilan, dan perawatan ikan paus
sesuai dengan ketentuan pasal ini akan dikecualikan dari pengoperasian Konvensi ini. Jepang
menafsirkan untuk tujuan penelitian ilmiah akan dikecualikan dari pengaturan Konvensi ini
sehingga harus dianggap berdiri sendiri dan harus dibaca secara terpisah dari ketentuan lain dari
Konvensi (ICJ, 2014). Menarik untuk dicermati, meskipun dalam Pasal VIII memberikan
wewenang kepada Pemerintah Negara peserta untuk memberikan perizinan khusus dalam hal
penelitian ilmiah, namun New Zealand sebagai negara ketiga yang ikut campur tangan untuk
memberi penerangan mengenai interpretasi dari Pasal VIII mengamati bahwa frasa tersebut
diartikan sebagai “memberikan kewenangan terbatas kepada Pemerintah untuk mengeluarkan izin
khusus untuk tujuan spesifik yang diartikulasikan dari penelitian ilmiah ”.
Pengadilan mencatat bahwa Pasal VIII merupakan bagian integral dari Konvensi (ICJ, 2014).
Oleh karena itu tidak bisa berdiri sendiri, harus ditafsirkan secara jelas berdasarkan objek dan
tujuan Konvensi dan dengan mempertimbangkan ketentuan lain dari Konvensi dan schedule.
Schedule ialah beberapa ketentuan pelaksanaan diatur lebih lanjut di dalam ICRW yang dilengkapi
pula dengan penjelasan detail secara rinci terkait klasifikasi paus yang di atur dalan ICRW,
mengenai Factory Ship Operations, Land Station Operations, dan Other Operations dan
pengaturan Area Limits For Factory Ships, Classifications of Areas and Divisions, Whales Stocks,
Classifications of Stocks dan Whale Catch Limits.
Namun, karena Pasal VIII ayat 1, menetapkan bahwa “pembunuhan, pengambilan, dan
perawatan ikan paus sesuai dengan ketentuan Pasal ini akan dikecualikan dari pengoperasian
Konvensi ini”, jika ditafsirkan menggunakan pendekata tekstual (textual school) berarti perburuan
paus yang dilakukan dibawah Pasal VIII yaitu untuk kepentingan ilmiah tidak tunduk pada
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
427
kewajiban berdasarkan schedule karena schedule hanya mengatur penangkapan ikan paus untuk
tujuan komersial, larangan penangkapan ikan paus komersial di Cagar Alam Laut Selatan dan
moratorium yang berkaitan dengan kapal-kapal pabrik (ICJ, 2014).
Mahkamah Internasional menggunakan Pasal 31 VCLT 1969 sebagai dasar dari metode
penafsirannya tersebut. Merujuk pada Pasal 31 dalam rangka menjelaskan bahwa pada Preamble
ICRW menunjukkan bahwa tujuan Konvensi ialah menjamin konservasi semua spesies ikan paus
sementara memungkinkan untuk eksploitasi berkelanjutan. Dengan demikian, paragraf Preamble
pertama mengakui “the interest of the nations of the world in safeguarding for future generations
the great natural resources represented by the whale stocks”. Hal yang sama pada paragraf kedua
Preamble menyatakan keinginan “to protect all species of whales from further overfishing”.
Namun, paragraf ketiga mengacu pada eksploitasi ikan paus, “increases in the size of whale stocks
will permit increases in the number of whales which may be captured without endangering these
natural resources”, dan menambahkan di paragraf kelimanya bahwa “whaling operations should
be confined to those species best able to sustain exploitation”. Tujuan ICRW lebih lanjut
ditunjukkan dalam paragraf akhir Preamble, yang menyatakan bahwa Para Pihak “memutuskan
untuk mengadakan konvensi untuk menyediakan konservasi stok ikan paus yang tepat dan dengan
demikian memungkinkan pengembangan yang teratur dari industri penangkapan ikan paus” (ICJ,
2014).
Mencermati pernyataan Preamble sebagaimana dipaparkan di atas, maka interpretasi pasal
VIII beranjak dari istilah konservasi dan eksploitasi sebagai objek dan tujuan Konvensi. Menurut
Australia dan New Zealand, Pasal VIII ayat 1 harus ditafsirkan secara terbatas karena meskipun
Pemerintah negara anggota dapat mengeluarkan izin khusus namun harus ditafsirkan secara lebih
ketat agar tidak bertentangan terhadap objek dan tujuan pelestariannya. Pernyataan ini ditentang
oleh Jepang, yang secara khusus menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengesahkan pengambilan
paus untuk tujuan penelitian ilmiah harus dilihat dalam konteks kebebasan untuk terlibat dalam
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
428
perburuan paus yang dinikmati oleh negara di bawah hukum kebiasaan internasional. Jepang
mengaggap maksud dari pasal VIII adalah negaralah yang ditugaskan untuk mengevaluasi program
yang diajukan oleh salah satu warga atau badan tertentu sehingga dapat memberikan izin seperti
yang dianggap sesuai oleh Pemerintahnya namun Australia dan New Zealand mengartikannya
bahwa negara mempunyai wewenang untuk memberi izin kepada orang atau badan yang ingin
melakukan scientific research dengan standar yang bersifat objektif dan bukan berarti sebebas-
bebasnya (ICJ, 2014).
Kemudian yang perlu dipahami ialah mengenai standar yang akan diterapkan dalam meninjau
pemberian izin khusus yang mengesahkan pembunuhan, pengambilan dan perawatan ikan paus
berdasarkan Pasal VIII ayat 1 ICRW. Australia mendesak mahkamah mengevaluasi izin yang telah
diberikan untuk tujuan ilmiah, khususnya tentang program yang dibuat oleh Jepang dan apa saja
yang telah diperoleh dari penelitian tersebut (ICJ, 2014). Standar ini yang nantinya bisa mendasari
apakah suatu program untuk tujuan penelitian ilmiah telah sesuai dengan tujuan konvensi atau tidak.
Pengadilan akan menilai, pertama, apakah program di mana kegiatan ini terjadi melibatkan
penelitian ilmiah. Kedua, Pengadilan akan mempertimbangkan apakah program tersebut dalam
penggunaan metode mematikan (lethal), serta memeriksa apakah pelaksanaan program tersebut
masuk akal dalam kaitannya dengan mencapai tujuan yang dinyatakannya. Standar peninjauan ini
adalah yang obyektif (ICJ, 2014).
Arti istilah “scientific research” dalam Pasal VIII Pengadilan mencatat bahwa istilah tersebut
tidak didefinisikan dalam Konvensi. Dalam hal ini salah satu ahli ilmiah dari Australia, Mangel,
berpendapat bahwa penelitian ilmiah memiliki empat karakteristik penting yaitu: (1) adanya tujuan
yang pasti dan dapat dicapai (pertanyaan atau hipotesis) yang bertujuan untuk berkontribusi pada
konservasi dan manajemen; (2) Metode yang tepat yakni termasuk penggunaan metode mematikan
yang hanya dapat digunakan jika penelitian tidak dapat dilakukan dengan cara lain; (3) peer review
atau pemeriksaan penelitian oleh pakar lain di bidang tersebut untuk membuat penelitian memenuhi
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
429
standar disiplin ilmiah dan standar keilmuan pada umumnya; (4) menghindari sesuatu yang dapat
berakibat kepada stok paus. Untuk mendukung kriteria ini, Australia juga mengacu pada resolusi
Komisi dan Panduan terkait dengan izin khusus oleh Scientific Comittee atau Komite Keilmuan
(ICJ, 2014).
Terkait dengan metode mematikan yang digunakan oleh Jepang, Australia menegaskan bahwa
Pasal VIII ayat 1 memberikan wewenang pemberian izin khusus untuk membunuh, mengambil dan
mengobati paus hanya ketika metode tidak mematikan tidak tersedia, hal tersebut diungkapkan oleh
Australia sesuai dengan resolusi IWC 1986-2 yang merekomendasikan bahwa ketika mempertim-
bangkan izin khusus yang diusulkan, Negara Peserta harus mempertimbangkan apakah tujuan
penelitian secara ilmiah layak melalui teknik penelitian yang tidak mematikan dan Annex P juga
mengatur dalam hal mengevaluasi apakah tujuan penelitian bisa dicapai dengan metode yang tidak
mematikan atau apakah ada tujuan yang wajar setara yang bisa dicapai metode tidak mematikan
(Manage, 2016).
Australia mengklaim bahwa resolusi IWC dapat menjadi interpretasi Pengadilan terhadap
Pasal VIII karena sesuai dengan pasal 31 ayat 3 huruf (a) dan (b) Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian. Namun hal ini ditentang oleh Jepang yang menekankan bahwa resolusi ini hanya bentuk
rekomendasi dan tidak bersifat mengikat (ICJ, 2014).
Pengadilan dalam hal ini menilai bahwa pertama, banyak resolusi IWC yang diadopsi tanpa
dukungan dari semua Negara Peserta Konvensi khususnya tanpa persetujuan Jepang. Kedua,
mengenai masalah substansi dari IWC resolution dan guideline yang menyatakan kepada negara-
negara Peserta untuk mempertimbangkan apakah tujuan penelitian dapat dicapai dengan
menggunakan metode penelitian yang tidak mematikan. Terkait hal ini Pengadilan justru menilai
seharusnya tidak perlu menetapkan persyaratan bahwa “metode mematikan hanya digunakan jika
metode lain tidak tersedia”, karena hal tersebut justru membuat kesimpulan bahwa “metode
mematikan memang dapat digunakan” . Dengan demikian, instrumen tersebut tidak dapat dianggap
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
430
sebagai kesepakatan selanjutnya untuk interpretasi Pasal VIII, atau sebagai praktik berikutnya yang
menetapkan kesepakatan para pihak mengenai interpretasi perjanjian dalam arti pasal 31 ayat 3
huruf (a) dan (b) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian.
Pada putusannya Mahkamah Internasional menggunakan metode penafsiran dengan
menggunakan Pasal 31 VCLT 1969 sebagai dasar dari metode tersebut. Sehubungan dengan
penafsiran tersebut, Mahkamah mengindikasikan bahwa JARPA II secara luas dapat digambarkan
sebagai program "penelitian ilmiah". Kemudian beralih ke pertanyaan apakah itu untuk tujuan
penelitian ilmiah yang menggunakan metode mematikan. Untuk menjawab pertanyaan itu,
Mahkamah menafsirkan bahwa untuk memastikan apakah penggunaan metode mematikan tersebut
adalah untuk tujuan penelitian ilmiah, Pengadilan akan mempertimbangkan unsur-unsur rancangan
dan pelaksanaan program itu wajar dalam kaitannya dengan tujuan ilmiah meliputi: (1) alasan
penggunaan metode mematikan; (2) skala penggunaan metode mematikan; (3) metodologi yang
digunakan untuk memilih ukuran sampel; (4) perbandingan ukuran sampel target dan pengambilan
aktual; jangka waktu suatu program; (5) output ilmiah program; dan (6) sejauh mana program
mengkoordinasikan kegiatannya dengan penelitian terkait (ICJ, 2014). Dengan menafsirkan hal
tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa Program JARPA II adalah program illegal karena pada
kenyataannya terjadi pelanggaran yakni pembunuhan paus dengan jumlah yang berlebihan.
Disimpulkan bahwa izin khusus yang dikeluarkan oleh Jepang sehubungan dengan JARPA II tidak
diberikan "untuk tujuan penelitian ilmiah" sesuai dengan Pasal VIII ayat 1 ICRW. Mahkamah
meminta Jepang menghentikan program tersebut dan Pemerintah Jepang harus berhenti
mengeluarkan ijin untuk penyelenggaraannya.
3) Praktik Program NEWREP-A dan Pasal VIII ICRW
Setelah putusan ICJ, Pemerintah Jepang memutuskan untuk menghentikan JARPA II dan
memutuskan untuk merumuskan program penelitian Paus ilmiah baru di laut Antartika yang diberi
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
431
nama New Scientific Whale Research Program in the Antarctic Ocean (NEWREP-A). Program
ini diajukan untuk diulas oleh IWC pada bulan November 2016.
Jepang seharusnya harus bertanggung jawab terlebih dahulu karena telah melakukan
pembunuhan paus dengan jumlah yang berlebihan sesuai dengan Teori Kesalahan (Fault Theory)
yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab
atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas
perbuatannya jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu. Teori Kesalahan
dapat diterapkan karena Jepang telah melanggar peraturan yang telah diterapkan oleh ICRW
(Ariani, 2013).
Pengaturan perlindungan terhadap paus diterapkan kedalam ICRW merupakan salah satu
bentuk pengaturan perlindungan lingkungan secara global menggunakan pendekatan global (global
approach), yaitu suatu pendekatan yang mengutamakan kepentingan bersama (common interest).
Menurut Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa (Kusumaatmaja, 2003): “...masyarakat
internasional merupakan kehidupan bersama daripada negara-negara yang merdeka dan sederajat, ...
kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan-hubungan yang bermanfaat demikian
merupakan suatu kepentingan bersama”.
Atas dasar kepentingan bersama maka pentingnya perlindungan paus merupakan salah satu
upaya memelihara kepentingan bersama serta mengatasi permasalahan yang berdampak masif dan
global seperti perburuan paus secara illegal dan berlebihan (Illegal Whale Over Fishing).
Menurut pengamatan IWC dalam program barunya pemburu dari Jepang telah menangkap
total sebanyak 333 ekor paus selama lebih dari satu tahun terakhir (ICR 2011), di mana terdiri dari
152 ekor pejantan dan 181 ekor betina (Utomo, 2018). Berita ini mengejutkan banyak pihak karena
meskipun paus berjenis minke tidak termasuk dalam golongan kategori terancam punah, namun
jumlahnya terus menurun. Selain itu, Jepang berpendapat bahwa penangkapan paus dengan
jenis ini dalam keadaan sedang hamil maupun yang masih muda perlu dilakukan untuk mencari
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
432
tahu usia kematangan seksual. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang dimana akan
digunakan untuk membuktikan bahwa penangkapan paus berjenis minke dapat dilakukan karena
populasinya dalam keadaan sehat (Aditama, 2017).
Disisi lain Jepang berpendapat bahwa awalnya Jepang setuju IWC melarang perburuan paus
biru yang hampir punah namun kenapa tahun 1980 paus yg tidak terancam punah pun dilarang
untuk diburu padahal total populasi paus mengkonsumsi 250-440 juta ikan dan itu 3-5 kali lipat dari
ikan yang dipancing oleh manusia. Padahal hal tersebut tidak relevan untuk dilarang, sehingga
tuduhan negara anggota yang anti whaling ke Jepang sebenarnya salah, Jepang sangat berpartispasi
dalam menjaga kelestarian paus (JEAIL, 2011).
IWC sebagai badan yang bertugas untuk konservasi, pengelolaan dan penangkapan ikan paus
selalu memberikan laporan mengenai program penelitian ikan paus yang sedang berlangsung.
Mengingat ICJ telah menetapkan standar peninjauan dalam putusan kasus JARPA II sebelumnya.
Standar inilah yang akan digunakan untuk menilai apakah praktik program baru Jepang yaitu
NEWREP-A sudah sesuai atau tidak dengan regulasi pada konvensi ICRW. Sampai saat ini IWC
terus memberikan laporan mengenai semua program penelitian ilmiah ikan paus dan menemukan
bahwa penggunaan pengambilan sampel yang mematikan masih dalam hal yang wajar sehubungan
dengan tujuan penelitian NEWREP-A. Namun, efisiensi pengambilan sampel biopsi dan
pengambilan sampel mematikan masih diperdebatkan. Karena sehubungan dengan efisiensi,
pengambilan sampel biopsi memakan waktu lebih lama dibandingkan dari pengambilan sampel
mematikan (RSC, 2018). IWC juga mengakui bahwa metode non lethal (tidak mematikan) tidak
akan cukup untuk melakukan penelitian penuh pada paus minke yang berenang sangat cepat
(JEAIL, 2011). Meskipun demikian, Jepang berkomitmen untuk tetap mengutamakan metode yang
tidak mematikan. Oleh karena itu, sejauh laporan dan data yang diberikan oleh IWC bahwa program
penelitian paus oleh NEWREP-A bukanlah pelanggaran atau penyalahgunaan celah dalam konvensi
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
433
internasional. Sebaliknya, ini adalah hak yang sah dari negara anggota yang terikat berdasarkan
Pasal VIII ICRW selama masuk akal dalam kaitannya dengan mencapai tujuan program.
SIMPULAN
Pada putusannya ICJ menggunakan Pasal 31 Konvensi Wina 1969 sebagai dasar dari metode
interpretasi perjanjian internasional. Sehubungan dengan interpretasi tersebut, ICJ mengindikasikan
bahwa JARPA II secara luas dapat digambarkan sebagai program "penelitian ilmiah" meskipun
Australia menyatakan bahwa metode mematikan (lethal) oleh Jepang telah melanggar Pasal VIII
ICRW. Melalui pendekatan tekstual ICJ menyatakan bahwa Pasal VIII tidak melarang penggunaan
metode mematikan dalam hal perburuan paus untuk kepentingan ilmiah namun ICJ menafsirkan
bahwa untuk memastikan apakah penggunaan metode mematikan tersebut adalah untuk tujuan
penelitian ilmiah, pengadilan akan mempertimbangkan unsur-unsur rancangan dan pelaksanaan
program itu wajar dalam kaitannya dengan tujuan ilmiah.
Namun, putusan yang dikeluarkan ICJ untuk pemberhentian pelaksanaan program JARPA II,
kurang efektif. Pemerintah Jepang kembali mengajukan program baru yaitu New Scientific Whale
Research Program in the Antarctic Ocean atau NEWREP-A untuk melakukan penelitian kembali di
Antartika. Pemerintah Jepang tidak memiliki niat untuk setidaknya dalam waktu dekat menghenti-
kan program scientific whaling. Walaupun, putusan ICJ tersebut tidak serta melarang Jepang untuk
membuat program baru. Sampai saat ini IWC terus memberikan laporan mengenai semua program
penelitian ilmiah ikan paus dan menemukan bahwa pelaksanaan program penelitian oleh Jepang
mematikan masih dalam hal yang wajar sehubungan dengan tujuan penelitian NEWREP-A.
Disarankan kepada pemerintah Jepang harus lebih mengoptimalkan penegakan hukum dan
perlindungan hukum terhadap paus dengan cara bekerjasama dengan IWC untuk membentuk
produk hukum nasional secara jelas dalam mengatur pelaksanaan pemberian izin khusus dalam
perburuan paus untuk penelitian ilmiah agar tidak bertentangan dengan ICRW.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
434
International Whaling Comission (IWC) seharusnya dapat mengadakan pengawasan lebih
ketat dan mengadakan berbagai macam program konservasi bersama Pemerintah negara anggota
yang sedang melakukan program perburuan paus baik untuk kepentingan ilmiah atau komersial
sehingga tercipta kepastian hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Kusumaatmaja, M., Agoes, E. R. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni.
Whitcombe. (2005). Paus dan Hiu. Jakarta: Niaga Swadaya.
Jurnal
Aditama, I. G. K. (2017). Penyebab Jepang Melakukan Penangkapan Paus di Antartika. Journal of
International Relations, 3 (2).
Airlangga, B. D. (2014). Implementasi Keanggotaan Jepang Dalam International Whaling
Commission (IWC) Terkait Kebijakan Scientific Whaling. Jurnal Analisis Hubungan
Internasional, 3 (3).
Murti, B. R. (2018). Ketidakefektifan Peran IWC (International Whaling Commision dalam Upaya
Penyelamatan Lumba-Lumba di Taiji, Jepang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Yogyakarta:
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dikutip dari http://repository.umy.ac.id/bitstream/
handle/123456789/7664/Jurnal.pdf?sequence=1, Diunduh 2 Deseber 2018.
Putri, R. O. T., Trihastuti, N., Warno, N. D. (2016). Implikasi Putusan ICJ Berkaitan Dengan
Sengketa Antara Jepang dan Australia Mengenai Perburuan Paus Ilegal di Wilayah Antartika
(Studi Terhadap Putusan ICJ No. 226 Tahun 2014). Diponegoro Law Journal, 5 (3).
Sinclair, I. M. (1970). Vienna Conference on the Law of Treaties. The International and
Comparative Law Quarterly, 19 (1).
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.
435
Usmawadi. (1988). Tinjauan Singkat Tentang Interpretasi Perjanjian Internasional Menurut
konvensi Wina Tahun 1969. Jurnal Hukum dan Pembangunan,
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/1269/1192, diunduh 20 November 2019.
Hasil Penelitian
Ariani, D. A. (2013). Tanggung Jawab Negara Terhadap Tindakan Perburuan Ikan Paus Secara
Ilegal Berdasarkan Perspektf International Convention for Regulation of Whaling (ICRW).
Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
JEAIL. (2014). The Whaling Dispute in the South Pacific: A Japanese Perspective, IV.
Web
Akbar, J. (2018). “Haus Berburu Paus”. https://historia.id/kuliner/articles/haus-berburu-paus-
vxKnD, diunduh 14 November 2018.
ICJ (2014). “International Court Of Justice, Reports Of Judgments, Advisory Opinions And Orders
Whaling In The Antarctic (Australia v. JAPAN : New Zealand intervening) judgment of 31
March 2014”, https://www.icj-cij.org/files/case-related/148/148-20140331-JUD-01-00-
EN.pdf, diunduh 6 November 2018.
ICR (2016). “Outline of the New Scientific Whale Research Program in the Antarctic Ocean
(NEWREP-A)”, https://www.icrwhale.org/NEWREP-AgaiyouEng.html, diunduh 22
Desember 2018 pukul 18.56 WIB.
IWC. (2019). The International Whaling Commission, https://iwc.int/home, diunduh 3 Desember
2018.
Manage, JTR. (2016). “Report of The Scientific Committee, Annex P Process for the Review of
Special Permit Proposals and Research Results from Existing and Completed Permits as
Modified at SC/66a in Light of Resolution 2014-5”, archive.iwc.int › pages › download.
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova
436
Utomo. (2018). “Nelayan Jepang Menangkap dan Membunuh 122 Ekor Paus Hamil”.
https://www.liputan6.com/global/read/3545148/nelayan-jepang-menangkap-dan-membunuh-
122-ekor-paus-hamil, diunduh 22 Desember 2018.
Bahan Kuliah
Latipulhayat, A. (2018). “Perkuliahan tentang Interpretasi Perjanjian Internasional”. Bandung:
Universitas Padjadjaran.