program penelitian paus oleh jepang ditinjau dari

20
Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING THE SCIENTIFIC WHALE RESEARCH PROGRAM BY JAPAN UNDER THE INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING Farah Elsa Nova Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Jalan Banda No. 42 Bandung 40115 E-mail: [email protected]; Telp.: (022) 4220696 Diterima: 01/08/2019; Revisi: 20/11/2019; Disetujui: 21/11/2019 DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.14197 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan mengkaji penelitian terhadap Paus oleh Jepang dengan mengacu pada Internasional Convention for the Regulation of Whaling. Pasal VIII ICRW telah menimbulkan interpretasi yang berbeda dimana adanya celah terhadap isi pasal konvensi ICRW terkait pelegalan perburuan paus untuk kepentingan ilmiah. ICJ memutuskan bahwa Jepang harus menghentikan pelaksanaan penelitian ilmiahnya karena terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal VIII ICRW. Namun, putusan tersebut tidak menghentikan perburuan paus yang dilakukan oleh Jepang. Pada tahun 2014 Jepang mengajukan kembali proposal program penelitian baru yang menimbulkan banyak pertentangan dari negara anggota anti whaling. Dengan menggunakan metode yuridis normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan kasus, menemukan bahwa melalui pendekatan tekstual ICJ menafsirkan pasal VII ICRW dengan mempertimbang- kan unsur-unsur rancangan dan pelaksanaan program itu wajar dalam kaitannya dengan tujuan ilmiah atau tidak. Sampai saat ini IWC terus melaporkan bahwa pelaksanaan program penelitian Jepang yang baru masih dalam hal yang wajar sehubungan dengan tujuan penelitiannya. Kata Kunci: perburuan paus; kepentingan ilmiah; icrw. ABSTRACT This study aims to examine the research on whales by Japan with reference to the International Convention for the Regulation of Whaling. Article VIII ICRW has led to different interpretations where there is a gap in the contents of the ICRW convention articles related to legalizing whaling for scientific purposes. The ICJ decided that Japan should stop carrying out its scientific research because it was proven to violate the provisions in Article VIII of the ICRW. However, the ruling did not stop whaling by the Japanese. In 2014 Japan resubmitted a new research program proposal which caused much opposition from anti-whaling member countries. Using a normative juridical method, this research uses a case study approach, finding that through the textual approach ICJ interprets Article VII of the ICRW by considering the elements of program design and implementation that are reasonable in relation to scientific objectives or not. Until now the IWC continues to report that the implementation of the new Japanese research program is still in reasonable terms with respect to its research objectives. Key Words: whaling; research purposes; ICRW.

Upload: others

Post on 03-Jan-2022

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

Kanun: Jurnal Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 23111. ISSN: 0854-5499 │e-ISSN: 2527-8482. Open access: http://www.jurnal.unsyiah.ac.id/kanun

PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI INTERNATIONAL

CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING

THE SCIENTIFIC WHALE RESEARCH PROGRAM BY JAPAN UNDER THE

INTERNATIONAL CONVENTION FOR THE REGULATION OF WHALING

Farah Elsa Nova

Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran

Jalan Banda No. 42 Bandung 40115

E-mail: [email protected]; Telp.: (022) 4220696

Diterima: 01/08/2019; Revisi: 20/11/2019; Disetujui: 21/11/2019

DOI: https://doi.org/10.24815/kanun.v21i3.14197

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan mengkaji penelitian terhadap Paus oleh Jepang dengan mengacu

pada Internasional Convention for the Regulation of Whaling. Pasal VIII ICRW telah

menimbulkan interpretasi yang berbeda dimana adanya celah terhadap isi pasal

konvensi ICRW terkait pelegalan perburuan paus untuk kepentingan ilmiah. ICJ

memutuskan bahwa Jepang harus menghentikan pelaksanaan penelitian ilmiahnya

karena terbukti melanggar ketentuan dalam Pasal VIII ICRW. Namun, putusan tersebut

tidak menghentikan perburuan paus yang dilakukan oleh Jepang. Pada tahun 2014

Jepang mengajukan kembali proposal program penelitian baru yang menimbulkan

banyak pertentangan dari negara anggota anti whaling. Dengan menggunakan metode

yuridis normatif, penelitian ini menggunakan pendekatan kasus, menemukan bahwa

melalui pendekatan tekstual ICJ menafsirkan pasal VII ICRW dengan mempertimbang-

kan unsur-unsur rancangan dan pelaksanaan program itu wajar dalam kaitannya dengan

tujuan ilmiah atau tidak. Sampai saat ini IWC terus melaporkan bahwa pelaksanaan

program penelitian Jepang yang baru masih dalam hal yang wajar sehubungan dengan

tujuan penelitiannya.

Kata Kunci: perburuan paus; kepentingan ilmiah; icrw.

ABSTRACT

This study aims to examine the research on whales by Japan with reference to the

International Convention for the Regulation of Whaling. Article VIII ICRW has led to

different interpretations where there is a gap in the contents of the ICRW convention

articles related to legalizing whaling for scientific purposes. The ICJ decided that

Japan should stop carrying out its scientific research because it was proven to violate

the provisions in Article VIII of the ICRW. However, the ruling did not stop whaling by

the Japanese. In 2014 Japan resubmitted a new research program proposal which

caused much opposition from anti-whaling member countries. Using a normative

juridical method, this research uses a case study approach, finding that through the

textual approach ICJ interprets Article VII of the ICRW by considering the elements of

program design and implementation that are reasonable in relation to scientific

objectives or not. Until now the IWC continues to report that the implementation of the

new Japanese research program is still in reasonable terms with respect to its research

objectives. Key Words: whaling; research purposes; ICRW.

Page 2: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

418

PENDAHULUAN

Paus merupakan kelompok binatang yang berukuran besar. Paus termasuk dalam kelompok

mamalia (binatang menyusui) yang hidup di lautan yang dilindungi karena terancam kepunahannya

(Whitcombe, 2005). Perburuan paus sebagai industri dimulai abad ke-11 ketika orang-orang

Basques memulai perburuan dan menjual produk yang berasal dari paus Atlantik Utara. Kemudian

perburuan mereka diikuti oleh bangsa Belanda dan Inggris, kemudian bangsa Amerika dan semakin

lama bangsa-bangsa di dunia mengikutinya (Murti, 2018).

Pada zaman sekarang ini, paus telah menjadi sasaran perburuan hanya untuk memenuhi

kebutuhan manusia. Paus memiliki berbagai manfaat seperti lemak dalam tubuh paus sejak abad ke-

10 hingga ke-17 digunakan sebagai bahan baku pembuatan lilin, produk tekstil, dan pelumas mesin.

Tulang dan giginya bisa dijadikan sebagai barang-barang kebutuhan rumah tangga seperti korset,

piring, sisir, dan hiasan rumah. Minyaknya digunakan sebagai sumber penerangan yang tak

menimbulkan bau dan asap. Spesies paus yang paling sering diburu untuk diambil minyaknya yaitu

paus sperma (catodon macrocephalus). Paus ini memiliki kandungan zat yang disebut spermatic di

kepalanya. Zat inilah yang pada masa itu dijadikan sebagai bahan utama pembuat lilin (Akbar,

2018).

Hal ini memunculkan kekhawatiran dunia akan menipisnya jumlah atau bahkan punahnya

beberapa spesies ikan paus, khususnya Paus Biru sehingga para peneliti mulai merencanakan

pembentukan peraturan internasional pada awal tahun 1930-an. Pada awalnya hal ini didasarkan

karena alasan ekonomi. Pada tahun 1930-1931 penangkapan paus terbilang tinggi sebanyak 40.000

baleen paus ditangkap dan dijadikan minyak baleen paus yang mengakibatkan jatuhnya harga

minyak per barel. Oleh karena itu, kuota penangkapan paus harus dibatasi untuk menstabilkan harga

pasar.

Pada tahun 1946, International Convention For The Regulation Of Whaling (ICRW)

disetujui di Washington DC. Konvensi ini menyimpulkan 11 article untuk memenuhi tujuan dan

Page 3: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

419

maksudnya dan menjadi dasar terbentuknya International Whaling Commision (IWC). IWC adalah

Badan antar-pemerintah global yang diakui secara resmi oleh PBB yang bertugas untuk konservasi

ikan paus dan pengelolaan penangkapan ikan paus yang selalu mengedepankan ilmu pengetahuan

dan penelitian sebagai bagian dari organisasi itu sendiri. IWC saat ini memiliki 88 negara anggota

dari negara-negara di seluruh dunia (IWC, 2018). Semua negara dapat berpartisipasi ke dalam IWC

dengan syarat, bahwa negara yang ingin bergabung harus menandatangani perjanjian ICRW (Putri,

Trihastuti, & Warno, 2016).

Tugas utama dari IWC adalah untuk melakukan tinjauan dan merevisi seperlunya langkah-

langkah yang ditetapkan dalam jadwal konvensi yang mengatur pelaksanaan penangkapan ikan

paus di seluruh dunia. Langkah-langkah yang dilakukan oleh IWC antara lain dalam memberikan

perlindungan spesies tertentu, menunjuk daerah-daerah tertentu sebagai cagar alam bagi ikan paus,

menetapkan batas jumlah dan ukuran ikan paus yang dapat diambil, dan merumuskan dan

menentukan musim terbuka dan tertutup dan area untuk penangkapan ikan paus. Penyusunan

laporan penangkapan ikan paus dan catatan statistik dan biologi lainnya juga diperlukan untuk

membantu keberhasilan IWC dalam memperbaiki regulasi. IWC juga bekerja untuk mengurangi

frekuensi serangan kapal penangkapan paus terhadap ikan paus, dan juga untuk mengkoordinasi

kegiatan penguraian dan untuk membangun Conservation Management Plans untuk mengatur

masalah populasi dan spesies yang tergolong dalam spesies kunci dan paling langka (Airlangga,

2014).

Tingginya jumlah paus yang dibunuh mendorong IWC segera untuk menyetujui

pemberlakuan moratorium. Kemudian pada tahun 1982, IWC menyetujui moratorium yang

melarang segala bentuk perburuan ikan paus komersial yang mulai aktif pada tahun 1986 sebagai

respon tingginya perburuan paus yang terjadi masa itu. Moratorium tersebut tentu menyulitkan

Jepang sebagai salah satu negara dengan jumlah tangkapan paus terbesar hingga saat ini. Jepang

termasuk negara yang telah menyetujui terikat secara hukum dan menandatangani ICRW pada

Page 4: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

420

tanggal 21 April 1951. Pemberlakuan moratorium membuat Jepang merasa dihalangi dalam

melakukan perburuan ikan paus untuk komersialisasi. Setahun setelah diberlakukannya moratorium,

Jepang mengajukan proposal berisi permohonan untuk melakukan scientific whaling kepada IWC.

Scientific whaling menjadi satu-satunya cara bagi Jepang agar tetap bisa meneruskan perburuan

paus setelah commercial whaling tidak diperbolehkan karena moratorium (Airlangga, 2014).

Dalam Pasal IV dan VIII Konvensi ICRW menyatakan bahwa perburuan paus dilegalkan

untuk kepentingan ilmiah. Perizinan dan penetapan kuota untuk melakukan scientific whaling

ditentukan dari hasil perundingan anggota-anggota dalam IWC. Upaya Jepang dalam mendapatkan

special permit tersebut ialah dengan mempergunakan power yang dimiliki oleh negaranya.

Negosiasi yang dilakukan oleh Jepang dilakukan dengan mengarahkan permasalahan perburuan

paus kepada tujuan ilmiah dan budaya. Pertama, Jepang meyakinkan IWC bahwa ikan paus

mengkonsumsi sangat banyak ikan, hal ini sangat berpengaruh kepada terancamnya mata

pencaharian nelayan diseluruh dunia. Kedua, negosiasi dalam hal budaya juga menjadi salah satu

poin penting bagi Jepang untuk meyakinkan IWC dan masyarakat dunia bahwa scientific whaling

menjadi salah satu media bagi Jepang untuk melakukan penelitian demi populasi paus sehingga

Jepang dapat menemukan cara dalam membantu pengembangbiakan ikan paus dan

mempertahankan populasinya, agar Jepang dapat tetap mempertahankan tradisinya tanpa

berpengaruh kepada kondisi stok paus (Airlangga, 2014).

Dalam penerapan program penelitian ilmiahnya, Jepang telah membuat 2 program

diantaranya adalah Japanese Whale Research under Special Permit in the Antartic (JARPA) pada

tahun 1987/1988-2005 dan Japanese Whale Research Program under Special Permit in the Western

North Pacific (JARPN) pada tahun 1994-1999. Kemudian Jepang melanjutkan program fase kedua,

melalui Second Phase of the Japanese Whale Research Program under Special permit in the

Antarctic (JARPA II) pada tahun 2005 – 2007. Namun, setelah dikeluarkannya putusan ICJ pada 31

Maret tahun 2014, program JARPA II harus dihentikan karena tidak sesuai dengan ketentuan dalam

Page 5: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

421

Pasal VIII ayat 1 ICRW. Pemberian special permit terkait JARPA II, tidak sesuai dengan ketentuan

dalam paragraf 10 (e) dalam Schedule ICRW. Memutuskan bahwa Jepang telah melanggar

ketentuan dalam paragraf 7 (b) Schedule ICRW dan memerintahkan Jepang untuk mencabut segala

izin berkelanjutan mengenai program JARPA II.

Namun, pada tahun 2014 Pemerintah Jepang mengajukan kembali proposal program

penelitian baru untuk menggantikan program JARPA II yaitu New Scientific Whale Research

Program in the Antarctic Ocean atau NEWREP-A yang rencananya akan dimulai pada tahun 2015.

Program baru oleh Jepang tersebut diajukan pada pertemuan tahunan IWC yang bertempat di

Portoroz, Slovenia bulan November tahun 2014. Program ini juga memasukkan cagar alam

Samudera Hindia yang ditetapkan oleh IWC sebagai cakupan wilayah penelitiannya (Putri,

Trihastuti, & Warno, 2016).

Program baru oleh Jepang ini menarik untuk diteliti terutama ditinjau dari ICRW yang akan

menimbulkan asumsi bahwa apakah Pemerintah Jepang tidak memiliki niat untuk setidaknya dalam

waktu dekat menghentikan program scientific research yang telah diputuskan oleh ICJ sebelumnya

untuk program JARPA II.

Artikel mengenai program penelitian paus oleh Jepang dapat ditelusuri melalui sejumlah

artikel lainnya, antara lainI Gusti Krishna Aditama (Aditama, 2017) dan Rizza Oktavia Tunggal

Putri (Putri, 2016). Artikel ini ingin melihat penyebab Jepang melakukan penangkapan paus dan

implikasi keputusan hakim terhadap perburuan paus oleh Jepang.

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (normative

law research), dengan pendekatan kasus (case approach), yaitu meneliti alasan-alasan hukum yang

digunakan oleh hakim untuk sampai kepada keputusannya dalam rangka menemukan jawaban dari

permasalahan penulisan ini.

Page 6: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

422

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, dimana penelitian ini dilakukan terhadap

berbagai macam sumber bahan hukum seperti bahan hukum primer yang berupa Vienna Convention

On The Law Of Treaties 1969 (Konvensi Wina 1969), International Convention for the Regulation

of Whaling (ICRW) 1946, dan Putusan International Court of Justice (ICJ) No. 226 Tahun 2004.

Bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum dikumpulkan melalui studi

kepustakaan dan mengumpulkan berbagai informasi yang terkait program penangkapan ikan paus

yang terjadi di Jepang. Dengan demikian studi ini untuk mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori,

pendapat-pendapat, dan penemuan-penemuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan.

Selanjutnya data diolah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan disajikan dalam

bentuk deskriptif analitis.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1) Interpretasi pada Konvensi Wina 1969

Interpretasi dibutuhkan apabila pengertian istilah-istilah dalam suatu perjanjian mengandung

ketidakjelasan sehingga mengakibatkan kegandaan makna dan para pihak mempunyai pengertian

yang berbeda serta tidak mampu memberikan pengertian pada istilah-istilah tersebut (Usmawadi,

1988). Interpretasi dapat terjadi karena karena perbedaan bahasa dan perbedaan cara memandang

suatu fenomena. Oleh karena itu, interpretasi dapat diartikan sebagai suatu kewajiban untuk

memberikan penjelasan mengenai maksud-maksud para pihak sebagaimana dinyatakan dalam kata-

kata yang mereka gunakan dipandang dari segi keadaan-keadaan yang mengelilinginya Usmawadi,

1988). Cara menafsirkan suatu perjanjian internasional ialah harus mengacu kepada Konvensi Wina

tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, yang telah diatur dalam pasal 31 dan pasal 32 (Usmawadi,

1988).

Interpretasi sering dilakukan ketika adanya sengketa antara para pihak, bisa terjadi secara

langsung atau tidak langsung. Sengketa secara langsung dilakukan dengan meminta pendapat

Page 7: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

423

kepada ICJ, sedangkan tidak langsung dilakukan tanpa adanya sengketa namun ICJ memberikan

interpretasi terhadap istilah-istilah yang dianggap kabur atau tidak jelas (Latipulhayat, 2018).

Interpretasi dari perjanjian internasional lebih mendekati kepada upaya-upaya yang diperbuat

untuk dapat menerapkan ketentuan-ketentuan perjanjian tersebut ke dalam suatu tindakan yang

nyata untuk memenuhi prestasi dari perjanjian tersebut. Oleh karena itu, interpretasi pada

hakekatnya merupakan suatu proses kedua yang hanya dapat dilakukan jika perjanjian itu tidak

mungkin dirasakan masuk akal, khususnya terhadap istilah-istilah biasa yang ada dalam suatu

perjanjian.

Interpretasi atas suatu perjanjian internasional pada dasarnya hanya bisa dilakukan oleh pihak-

pihak yang ikut serta dalam pembuatan perjanjian tersebut, namun sampai saat ini belum ada

keseragaman mengenai cara menginterpretasi suatu perjanjian internasional, dan belum ada suatu

badan yang berwenang untuk memberikan penafsiran terhadap perjanjian internasional yang

mengikat semua negara. Dalam konstruksi Pasal 31 sampai dengan Pasal 33 Konvensi Wina 1969

sendiri tidak disebutkan secara jelas mengenai siapa yang berhak untuk melakukan penafsiran atas

perjanjian internasional, walaupun lazimnya interpretasi perjanjian internasional dilakukan oleh

Pihak ketiga yaitu diluar pihak yang bersengketa dan ICJ sebagai pilihan terakhir dalam

memberikan interpretasi atau kejelasan terhadap suatu perjanjian internasional (Latipulhayat, 2018).

Pengadilan nasional juga bisa menafsirkan ketentuan dalam perjanjian internasional sepanjang hal

tersebut menyangkut hak-hak dan kepentingan individual dan termasuk dalam yurisdiksi pengadilan

tersebut, dan tidak mempengaruhi kekuatan dari perjanjian tersebut.

Ada tiga aliran pemikiran yang berbeda tentang interpretasi perjanjian internasional yaitu: (a)

pendekatan tekstual (textual school); (b) pendekatan niat (intention school); dan (c) pendekatan

teleologis (teleological school). Pendekatan tekstual menempatkan penekanan khusus pada teks

perjanjian sebagai menggabungkan ekspresi otentik dari niat para pihak. Pendekatan niat

menegaskan bahwa tujuan utama dari penafsiran perjanjian adalah berusaha untuk memastikan niat

Page 8: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

424

para pihak. Dan pendekatan teleologis yang lebih dinamis mempertahankan bahwa tugas pembuat

keputusan adalah untuk memastikan kembali apa objek dan tujuan suatu perjanjian sehingga ketika

ditafsirkan dapat memberi efek pada objek dan tujuan perjanjian tersebut. Seperti antara pendekatan

tekstual dan pendekatan niat, perbedaan utama terletak pada sejauh mana dan keadaan di mana jalan

menuju pekerjaan persiapan harus diterima sebagai bantuan dalam proses interpretasi (Sinclair,

1970).

Konvensi Wina tahun 1969 memuat aturan mengenai interpretasi hanya dalam tiga pasal,

yaitu Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33.

Pasal 31

Aturan Umum lnterpretasi

1. Suatu perjanjian diinterpretasikan dalam itikad baik (good faith) sesuai dengan pengertian

yang lazim diberikan pada istilah-istilah dari perjanjian dalam konteks dan dipandang

dari maksud dan tujuannya;

2. Konteks untuk maksud interpretasi suatu perjanjian mencakup tambahan pada teks,

termasuk preamble dan lampiran-Iampiran :

a. Setiap persetujuan berkenaan dengan perjanjian yang dibuat antara semua pihak

berkaitan dengan penutupan perjanjian;

b. Setiap instrumen yang dibuat oleh satu atau lebih pihak berkenaan dengan penutupan

perjanjian dan diterima oleh pihak-pihak lain sebagai suatu instrumen yang

berhubungan dengan perjanjian.

3. Harus diperhatikan bersama-sama dengan konteks :

a. Setiap persetujuan antara pihak - pihak mengenai interpretasi perjanjian atau aplikasi

ketentuannya;

b. Setiap praktek kemudian dalam penerapan perjanjian yang membentuk persetujuan

antara pihak – pihak mengenai interpretasinya;

c. Setiap ketentuan hukum internasional yang relevan yang dapat dipakai dalam

hubungan antara pihak-pihak. .

4. Suatu pengertian khusus dapat diberikan pada suatu istilah jika para pihak menetapkan

maksudnya demikian.

Pasal 32

Cara-cara tambahan interpretasi

Usaha lain yang dapat dipakai sebagai cara tambahan interpretasi, termasuk pekerjaan

pendahuluan perjanjian dan keadaan pada saat penutupannya, supaya memperkuat pengertian

penerapan pasal 31, atau untuk menetapkan pengertian interpretasi menurut pasal 31;

a. memberikan arti ganda atau kabur; atau

b. menghasilkan arti yang menunjukkan tidak masuk akal atau tidak layak.

Jika mengacu kepada komentar-komentar tentang kedua pasal ini pada saat penyusunannya.

Dalam komentar Pasal 27 dan Pasal 28 yang merupakan rancangan Pasal 31 dan Pasal 32, bahwa

Page 9: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

425

teks (naskah) perjanjian dipandang sebagai pendekatan tekstual dari maksud para pihak. Oleh

karena itu, titik-tolak interpretasi adalah menjelaskan arti teks (naskah). Pendekatan tekstual dalam

hal interpretasi ialah suatu perjanjian harus ditafsirkan dengan iktikad baik, artinya ditetapkan

menurut pada “konteks” perjanjian dan dipandang dari maksud dan tujuan perjanjian (Sinclair,

1970). Indikasi “konteks” perjanjian di sini dimuat dalam Pasal 31 ayat (2) dimana suatu

persetujuan diadakan untuk menginterpretasikan ketentuan-ketentuan tertentu suatu perjanjian yang

dibuat sebelum dan pada saat penutupan perjanjian ditaati sebagai dari perjanjian itu. Demikian juga

suatu persetujuan untuk menginterpretasikan ketentuan suatu perjanjian yang dicapai setelah

penutupan perjanjian dinyatakan sebagai suatu interpretasi otentik (Usmawadi, 1988). Selanjutnya

yang harus diperhitungkan bersama-sama dengan konteks adalah "Setiap praktik kemudian dalam

aplikasi perjanjian yang membentuk kehendak para pihak mengenai interpretasi perjanjian".

Dengan perkataan lain kehendak dan praktik para pihak secara langsung memberikan porsi yang

sangat besar untuk mendapatkan fakta-fakta objektif mengenai arti perjanjian. Kemudian di dalam

pendapatnya Mahkamah menyatakan "If there were any ambiguity, the Court might, for the purpose

of arriving at the true meaning, consider the action which has been taken under Treaty"

(Usmawadi, 1988). Jadi apabila terdapat kekaburan, diperkenankan bagi mahkamah untuk

mempertimbangkan tindakan yang telah dilakukan menurut perjanjian. Tindakan di sini maksudnya

adalah praktik-praktik yang dilakukan oleh para pihak dalam suatu perjanjian dan praktik-praktik

itu mencerminkan penginterpretasian dari ketentuan-ketentuan perjanjian itu yang dianggap kabur.

2) Interpretasi Pasal VIII dari ICRW

Sebagaimana bunyi pasal VIII ICRW adalah:

“Notwithstanding anything contained in this Convention any Contracting Government may

grant to any of its nationals a special permit authorizing that national to kill, take and treat

whales for purposes of scientific research subject to such restrictions as to number and

subject to such other conditions as the Contracting Government thinks fit, and the killing,

taking, and treating of whales in accordance with the provisions of this Article shall be

exempt from the operation of this Convention. Each Contracting Government shall report at

Page 10: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

426

once to the Commission all such authorizations which it has granted. Each Contracting

Government may at any time revoke any such special permit which it has granted.”

Perdebatan awal muncul berkaitan dengan persoalan klausul di atas yakni “killing, taking, and

treating of whales in accordance with the provisions of this Article shall be exempt from the

operation of this Convention” yang berarti pembunuhan, pengambilan, dan perawatan ikan paus

sesuai dengan ketentuan pasal ini akan dikecualikan dari pengoperasian Konvensi ini. Jepang

menafsirkan untuk tujuan penelitian ilmiah akan dikecualikan dari pengaturan Konvensi ini

sehingga harus dianggap berdiri sendiri dan harus dibaca secara terpisah dari ketentuan lain dari

Konvensi (ICJ, 2014). Menarik untuk dicermati, meskipun dalam Pasal VIII memberikan

wewenang kepada Pemerintah Negara peserta untuk memberikan perizinan khusus dalam hal

penelitian ilmiah, namun New Zealand sebagai negara ketiga yang ikut campur tangan untuk

memberi penerangan mengenai interpretasi dari Pasal VIII mengamati bahwa frasa tersebut

diartikan sebagai “memberikan kewenangan terbatas kepada Pemerintah untuk mengeluarkan izin

khusus untuk tujuan spesifik yang diartikulasikan dari penelitian ilmiah ”.

Pengadilan mencatat bahwa Pasal VIII merupakan bagian integral dari Konvensi (ICJ, 2014).

Oleh karena itu tidak bisa berdiri sendiri, harus ditafsirkan secara jelas berdasarkan objek dan

tujuan Konvensi dan dengan mempertimbangkan ketentuan lain dari Konvensi dan schedule.

Schedule ialah beberapa ketentuan pelaksanaan diatur lebih lanjut di dalam ICRW yang dilengkapi

pula dengan penjelasan detail secara rinci terkait klasifikasi paus yang di atur dalan ICRW,

mengenai Factory Ship Operations, Land Station Operations, dan Other Operations dan

pengaturan Area Limits For Factory Ships, Classifications of Areas and Divisions, Whales Stocks,

Classifications of Stocks dan Whale Catch Limits.

Namun, karena Pasal VIII ayat 1, menetapkan bahwa “pembunuhan, pengambilan, dan

perawatan ikan paus sesuai dengan ketentuan Pasal ini akan dikecualikan dari pengoperasian

Konvensi ini”, jika ditafsirkan menggunakan pendekata tekstual (textual school) berarti perburuan

paus yang dilakukan dibawah Pasal VIII yaitu untuk kepentingan ilmiah tidak tunduk pada

Page 11: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

427

kewajiban berdasarkan schedule karena schedule hanya mengatur penangkapan ikan paus untuk

tujuan komersial, larangan penangkapan ikan paus komersial di Cagar Alam Laut Selatan dan

moratorium yang berkaitan dengan kapal-kapal pabrik (ICJ, 2014).

Mahkamah Internasional menggunakan Pasal 31 VCLT 1969 sebagai dasar dari metode

penafsirannya tersebut. Merujuk pada Pasal 31 dalam rangka menjelaskan bahwa pada Preamble

ICRW menunjukkan bahwa tujuan Konvensi ialah menjamin konservasi semua spesies ikan paus

sementara memungkinkan untuk eksploitasi berkelanjutan. Dengan demikian, paragraf Preamble

pertama mengakui “the interest of the nations of the world in safeguarding for future generations

the great natural resources represented by the whale stocks”. Hal yang sama pada paragraf kedua

Preamble menyatakan keinginan “to protect all species of whales from further overfishing”.

Namun, paragraf ketiga mengacu pada eksploitasi ikan paus, “increases in the size of whale stocks

will permit increases in the number of whales which may be captured without endangering these

natural resources”, dan menambahkan di paragraf kelimanya bahwa “whaling operations should

be confined to those species best able to sustain exploitation”. Tujuan ICRW lebih lanjut

ditunjukkan dalam paragraf akhir Preamble, yang menyatakan bahwa Para Pihak “memutuskan

untuk mengadakan konvensi untuk menyediakan konservasi stok ikan paus yang tepat dan dengan

demikian memungkinkan pengembangan yang teratur dari industri penangkapan ikan paus” (ICJ,

2014).

Mencermati pernyataan Preamble sebagaimana dipaparkan di atas, maka interpretasi pasal

VIII beranjak dari istilah konservasi dan eksploitasi sebagai objek dan tujuan Konvensi. Menurut

Australia dan New Zealand, Pasal VIII ayat 1 harus ditafsirkan secara terbatas karena meskipun

Pemerintah negara anggota dapat mengeluarkan izin khusus namun harus ditafsirkan secara lebih

ketat agar tidak bertentangan terhadap objek dan tujuan pelestariannya. Pernyataan ini ditentang

oleh Jepang, yang secara khusus menyatakan bahwa kekuasaan untuk mengesahkan pengambilan

paus untuk tujuan penelitian ilmiah harus dilihat dalam konteks kebebasan untuk terlibat dalam

Page 12: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

428

perburuan paus yang dinikmati oleh negara di bawah hukum kebiasaan internasional. Jepang

mengaggap maksud dari pasal VIII adalah negaralah yang ditugaskan untuk mengevaluasi program

yang diajukan oleh salah satu warga atau badan tertentu sehingga dapat memberikan izin seperti

yang dianggap sesuai oleh Pemerintahnya namun Australia dan New Zealand mengartikannya

bahwa negara mempunyai wewenang untuk memberi izin kepada orang atau badan yang ingin

melakukan scientific research dengan standar yang bersifat objektif dan bukan berarti sebebas-

bebasnya (ICJ, 2014).

Kemudian yang perlu dipahami ialah mengenai standar yang akan diterapkan dalam meninjau

pemberian izin khusus yang mengesahkan pembunuhan, pengambilan dan perawatan ikan paus

berdasarkan Pasal VIII ayat 1 ICRW. Australia mendesak mahkamah mengevaluasi izin yang telah

diberikan untuk tujuan ilmiah, khususnya tentang program yang dibuat oleh Jepang dan apa saja

yang telah diperoleh dari penelitian tersebut (ICJ, 2014). Standar ini yang nantinya bisa mendasari

apakah suatu program untuk tujuan penelitian ilmiah telah sesuai dengan tujuan konvensi atau tidak.

Pengadilan akan menilai, pertama, apakah program di mana kegiatan ini terjadi melibatkan

penelitian ilmiah. Kedua, Pengadilan akan mempertimbangkan apakah program tersebut dalam

penggunaan metode mematikan (lethal), serta memeriksa apakah pelaksanaan program tersebut

masuk akal dalam kaitannya dengan mencapai tujuan yang dinyatakannya. Standar peninjauan ini

adalah yang obyektif (ICJ, 2014).

Arti istilah “scientific research” dalam Pasal VIII Pengadilan mencatat bahwa istilah tersebut

tidak didefinisikan dalam Konvensi. Dalam hal ini salah satu ahli ilmiah dari Australia, Mangel,

berpendapat bahwa penelitian ilmiah memiliki empat karakteristik penting yaitu: (1) adanya tujuan

yang pasti dan dapat dicapai (pertanyaan atau hipotesis) yang bertujuan untuk berkontribusi pada

konservasi dan manajemen; (2) Metode yang tepat yakni termasuk penggunaan metode mematikan

yang hanya dapat digunakan jika penelitian tidak dapat dilakukan dengan cara lain; (3) peer review

atau pemeriksaan penelitian oleh pakar lain di bidang tersebut untuk membuat penelitian memenuhi

Page 13: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

429

standar disiplin ilmiah dan standar keilmuan pada umumnya; (4) menghindari sesuatu yang dapat

berakibat kepada stok paus. Untuk mendukung kriteria ini, Australia juga mengacu pada resolusi

Komisi dan Panduan terkait dengan izin khusus oleh Scientific Comittee atau Komite Keilmuan

(ICJ, 2014).

Terkait dengan metode mematikan yang digunakan oleh Jepang, Australia menegaskan bahwa

Pasal VIII ayat 1 memberikan wewenang pemberian izin khusus untuk membunuh, mengambil dan

mengobati paus hanya ketika metode tidak mematikan tidak tersedia, hal tersebut diungkapkan oleh

Australia sesuai dengan resolusi IWC 1986-2 yang merekomendasikan bahwa ketika mempertim-

bangkan izin khusus yang diusulkan, Negara Peserta harus mempertimbangkan apakah tujuan

penelitian secara ilmiah layak melalui teknik penelitian yang tidak mematikan dan Annex P juga

mengatur dalam hal mengevaluasi apakah tujuan penelitian bisa dicapai dengan metode yang tidak

mematikan atau apakah ada tujuan yang wajar setara yang bisa dicapai metode tidak mematikan

(Manage, 2016).

Australia mengklaim bahwa resolusi IWC dapat menjadi interpretasi Pengadilan terhadap

Pasal VIII karena sesuai dengan pasal 31 ayat 3 huruf (a) dan (b) Konvensi Wina tentang Hukum

Perjanjian. Namun hal ini ditentang oleh Jepang yang menekankan bahwa resolusi ini hanya bentuk

rekomendasi dan tidak bersifat mengikat (ICJ, 2014).

Pengadilan dalam hal ini menilai bahwa pertama, banyak resolusi IWC yang diadopsi tanpa

dukungan dari semua Negara Peserta Konvensi khususnya tanpa persetujuan Jepang. Kedua,

mengenai masalah substansi dari IWC resolution dan guideline yang menyatakan kepada negara-

negara Peserta untuk mempertimbangkan apakah tujuan penelitian dapat dicapai dengan

menggunakan metode penelitian yang tidak mematikan. Terkait hal ini Pengadilan justru menilai

seharusnya tidak perlu menetapkan persyaratan bahwa “metode mematikan hanya digunakan jika

metode lain tidak tersedia”, karena hal tersebut justru membuat kesimpulan bahwa “metode

mematikan memang dapat digunakan” . Dengan demikian, instrumen tersebut tidak dapat dianggap

Page 14: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

430

sebagai kesepakatan selanjutnya untuk interpretasi Pasal VIII, atau sebagai praktik berikutnya yang

menetapkan kesepakatan para pihak mengenai interpretasi perjanjian dalam arti pasal 31 ayat 3

huruf (a) dan (b) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian.

Pada putusannya Mahkamah Internasional menggunakan metode penafsiran dengan

menggunakan Pasal 31 VCLT 1969 sebagai dasar dari metode tersebut. Sehubungan dengan

penafsiran tersebut, Mahkamah mengindikasikan bahwa JARPA II secara luas dapat digambarkan

sebagai program "penelitian ilmiah". Kemudian beralih ke pertanyaan apakah itu untuk tujuan

penelitian ilmiah yang menggunakan metode mematikan. Untuk menjawab pertanyaan itu,

Mahkamah menafsirkan bahwa untuk memastikan apakah penggunaan metode mematikan tersebut

adalah untuk tujuan penelitian ilmiah, Pengadilan akan mempertimbangkan unsur-unsur rancangan

dan pelaksanaan program itu wajar dalam kaitannya dengan tujuan ilmiah meliputi: (1) alasan

penggunaan metode mematikan; (2) skala penggunaan metode mematikan; (3) metodologi yang

digunakan untuk memilih ukuran sampel; (4) perbandingan ukuran sampel target dan pengambilan

aktual; jangka waktu suatu program; (5) output ilmiah program; dan (6) sejauh mana program

mengkoordinasikan kegiatannya dengan penelitian terkait (ICJ, 2014). Dengan menafsirkan hal

tersebut, Mahkamah menyatakan bahwa Program JARPA II adalah program illegal karena pada

kenyataannya terjadi pelanggaran yakni pembunuhan paus dengan jumlah yang berlebihan.

Disimpulkan bahwa izin khusus yang dikeluarkan oleh Jepang sehubungan dengan JARPA II tidak

diberikan "untuk tujuan penelitian ilmiah" sesuai dengan Pasal VIII ayat 1 ICRW. Mahkamah

meminta Jepang menghentikan program tersebut dan Pemerintah Jepang harus berhenti

mengeluarkan ijin untuk penyelenggaraannya.

3) Praktik Program NEWREP-A dan Pasal VIII ICRW

Setelah putusan ICJ, Pemerintah Jepang memutuskan untuk menghentikan JARPA II dan

memutuskan untuk merumuskan program penelitian Paus ilmiah baru di laut Antartika yang diberi

Page 15: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

431

nama New Scientific Whale Research Program in the Antarctic Ocean (NEWREP-A). Program

ini diajukan untuk diulas oleh IWC pada bulan November 2016.

Jepang seharusnya harus bertanggung jawab terlebih dahulu karena telah melakukan

pembunuhan paus dengan jumlah yang berlebihan sesuai dengan Teori Kesalahan (Fault Theory)

yang melahirkan prinsip tanggung jawab subjektif (subjective responsibility) atau tanggung jawab

atas dasar kesalahan (liability based on fault), yaitu bahwa tanggung jawab negara atas

perbuatannya jika dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan pada perbuatan itu. Teori Kesalahan

dapat diterapkan karena Jepang telah melanggar peraturan yang telah diterapkan oleh ICRW

(Ariani, 2013).

Pengaturan perlindungan terhadap paus diterapkan kedalam ICRW merupakan salah satu

bentuk pengaturan perlindungan lingkungan secara global menggunakan pendekatan global (global

approach), yaitu suatu pendekatan yang mengutamakan kepentingan bersama (common interest).

Menurut Mochtar Kusumaatmaja menyatakan bahwa (Kusumaatmaja, 2003): “...masyarakat

internasional merupakan kehidupan bersama daripada negara-negara yang merdeka dan sederajat, ...

kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan-hubungan yang bermanfaat demikian

merupakan suatu kepentingan bersama”.

Atas dasar kepentingan bersama maka pentingnya perlindungan paus merupakan salah satu

upaya memelihara kepentingan bersama serta mengatasi permasalahan yang berdampak masif dan

global seperti perburuan paus secara illegal dan berlebihan (Illegal Whale Over Fishing).

Menurut pengamatan IWC dalam program barunya pemburu dari Jepang telah menangkap

total sebanyak 333 ekor paus selama lebih dari satu tahun terakhir (ICR 2011), di mana terdiri dari

152 ekor pejantan dan 181 ekor betina (Utomo, 2018). Berita ini mengejutkan banyak pihak karena

meskipun paus berjenis minke tidak termasuk dalam golongan kategori terancam punah, namun

jumlahnya terus menurun. Selain itu, Jepang berpendapat bahwa penangkapan paus dengan

jenis ini dalam keadaan sedang hamil maupun yang masih muda perlu dilakukan untuk mencari

Page 16: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

432

tahu usia kematangan seksual. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan data yang dimana akan

digunakan untuk membuktikan bahwa penangkapan paus berjenis minke dapat dilakukan karena

populasinya dalam keadaan sehat (Aditama, 2017).

Disisi lain Jepang berpendapat bahwa awalnya Jepang setuju IWC melarang perburuan paus

biru yang hampir punah namun kenapa tahun 1980 paus yg tidak terancam punah pun dilarang

untuk diburu padahal total populasi paus mengkonsumsi 250-440 juta ikan dan itu 3-5 kali lipat dari

ikan yang dipancing oleh manusia. Padahal hal tersebut tidak relevan untuk dilarang, sehingga

tuduhan negara anggota yang anti whaling ke Jepang sebenarnya salah, Jepang sangat berpartispasi

dalam menjaga kelestarian paus (JEAIL, 2011).

IWC sebagai badan yang bertugas untuk konservasi, pengelolaan dan penangkapan ikan paus

selalu memberikan laporan mengenai program penelitian ikan paus yang sedang berlangsung.

Mengingat ICJ telah menetapkan standar peninjauan dalam putusan kasus JARPA II sebelumnya.

Standar inilah yang akan digunakan untuk menilai apakah praktik program baru Jepang yaitu

NEWREP-A sudah sesuai atau tidak dengan regulasi pada konvensi ICRW. Sampai saat ini IWC

terus memberikan laporan mengenai semua program penelitian ilmiah ikan paus dan menemukan

bahwa penggunaan pengambilan sampel yang mematikan masih dalam hal yang wajar sehubungan

dengan tujuan penelitian NEWREP-A. Namun, efisiensi pengambilan sampel biopsi dan

pengambilan sampel mematikan masih diperdebatkan. Karena sehubungan dengan efisiensi,

pengambilan sampel biopsi memakan waktu lebih lama dibandingkan dari pengambilan sampel

mematikan (RSC, 2018). IWC juga mengakui bahwa metode non lethal (tidak mematikan) tidak

akan cukup untuk melakukan penelitian penuh pada paus minke yang berenang sangat cepat

(JEAIL, 2011). Meskipun demikian, Jepang berkomitmen untuk tetap mengutamakan metode yang

tidak mematikan. Oleh karena itu, sejauh laporan dan data yang diberikan oleh IWC bahwa program

penelitian paus oleh NEWREP-A bukanlah pelanggaran atau penyalahgunaan celah dalam konvensi

Page 17: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

433

internasional. Sebaliknya, ini adalah hak yang sah dari negara anggota yang terikat berdasarkan

Pasal VIII ICRW selama masuk akal dalam kaitannya dengan mencapai tujuan program.

SIMPULAN

Pada putusannya ICJ menggunakan Pasal 31 Konvensi Wina 1969 sebagai dasar dari metode

interpretasi perjanjian internasional. Sehubungan dengan interpretasi tersebut, ICJ mengindikasikan

bahwa JARPA II secara luas dapat digambarkan sebagai program "penelitian ilmiah" meskipun

Australia menyatakan bahwa metode mematikan (lethal) oleh Jepang telah melanggar Pasal VIII

ICRW. Melalui pendekatan tekstual ICJ menyatakan bahwa Pasal VIII tidak melarang penggunaan

metode mematikan dalam hal perburuan paus untuk kepentingan ilmiah namun ICJ menafsirkan

bahwa untuk memastikan apakah penggunaan metode mematikan tersebut adalah untuk tujuan

penelitian ilmiah, pengadilan akan mempertimbangkan unsur-unsur rancangan dan pelaksanaan

program itu wajar dalam kaitannya dengan tujuan ilmiah.

Namun, putusan yang dikeluarkan ICJ untuk pemberhentian pelaksanaan program JARPA II,

kurang efektif. Pemerintah Jepang kembali mengajukan program baru yaitu New Scientific Whale

Research Program in the Antarctic Ocean atau NEWREP-A untuk melakukan penelitian kembali di

Antartika. Pemerintah Jepang tidak memiliki niat untuk setidaknya dalam waktu dekat menghenti-

kan program scientific whaling. Walaupun, putusan ICJ tersebut tidak serta melarang Jepang untuk

membuat program baru. Sampai saat ini IWC terus memberikan laporan mengenai semua program

penelitian ilmiah ikan paus dan menemukan bahwa pelaksanaan program penelitian oleh Jepang

mematikan masih dalam hal yang wajar sehubungan dengan tujuan penelitian NEWREP-A.

Disarankan kepada pemerintah Jepang harus lebih mengoptimalkan penegakan hukum dan

perlindungan hukum terhadap paus dengan cara bekerjasama dengan IWC untuk membentuk

produk hukum nasional secara jelas dalam mengatur pelaksanaan pemberian izin khusus dalam

perburuan paus untuk penelitian ilmiah agar tidak bertentangan dengan ICRW.

Page 18: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

434

International Whaling Comission (IWC) seharusnya dapat mengadakan pengawasan lebih

ketat dan mengadakan berbagai macam program konservasi bersama Pemerintah negara anggota

yang sedang melakukan program perburuan paus baik untuk kepentingan ilmiah atau komersial

sehingga tercipta kepastian hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Kusumaatmaja, M., Agoes, E. R. (2003). Pengantar Hukum Internasional. Bandung: PT. Alumni.

Whitcombe. (2005). Paus dan Hiu. Jakarta: Niaga Swadaya.

Jurnal

Aditama, I. G. K. (2017). Penyebab Jepang Melakukan Penangkapan Paus di Antartika. Journal of

International Relations, 3 (2).

Airlangga, B. D. (2014). Implementasi Keanggotaan Jepang Dalam International Whaling

Commission (IWC) Terkait Kebijakan Scientific Whaling. Jurnal Analisis Hubungan

Internasional, 3 (3).

Murti, B. R. (2018). Ketidakefektifan Peran IWC (International Whaling Commision dalam Upaya

Penyelamatan Lumba-Lumba di Taiji, Jepang. Jurnal Ilmiah Mahasiswa. Yogyakarta:

Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dikutip dari http://repository.umy.ac.id/bitstream/

handle/123456789/7664/Jurnal.pdf?sequence=1, Diunduh 2 Deseber 2018.

Putri, R. O. T., Trihastuti, N., Warno, N. D. (2016). Implikasi Putusan ICJ Berkaitan Dengan

Sengketa Antara Jepang dan Australia Mengenai Perburuan Paus Ilegal di Wilayah Antartika

(Studi Terhadap Putusan ICJ No. 226 Tahun 2014). Diponegoro Law Journal, 5 (3).

Sinclair, I. M. (1970). Vienna Conference on the Law of Treaties. The International and

Comparative Law Quarterly, 19 (1).

Page 19: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Kanun Jurnal Ilmu Hukum Farah Elsa Nova Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436.

435

Usmawadi. (1988). Tinjauan Singkat Tentang Interpretasi Perjanjian Internasional Menurut

konvensi Wina Tahun 1969. Jurnal Hukum dan Pembangunan,

http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/download/1269/1192, diunduh 20 November 2019.

Hasil Penelitian

Ariani, D. A. (2013). Tanggung Jawab Negara Terhadap Tindakan Perburuan Ikan Paus Secara

Ilegal Berdasarkan Perspektf International Convention for Regulation of Whaling (ICRW).

Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.

JEAIL. (2014). The Whaling Dispute in the South Pacific: A Japanese Perspective, IV.

Web

Akbar, J. (2018). “Haus Berburu Paus”. https://historia.id/kuliner/articles/haus-berburu-paus-

vxKnD, diunduh 14 November 2018.

ICJ (2014). “International Court Of Justice, Reports Of Judgments, Advisory Opinions And Orders

Whaling In The Antarctic (Australia v. JAPAN : New Zealand intervening) judgment of 31

March 2014”, https://www.icj-cij.org/files/case-related/148/148-20140331-JUD-01-00-

EN.pdf, diunduh 6 November 2018.

ICR (2016). “Outline of the New Scientific Whale Research Program in the Antarctic Ocean

(NEWREP-A)”, https://www.icrwhale.org/NEWREP-AgaiyouEng.html, diunduh 22

Desember 2018 pukul 18.56 WIB.

IWC. (2019). The International Whaling Commission, https://iwc.int/home, diunduh 3 Desember

2018.

Manage, JTR. (2016). “Report of The Scientific Committee, Annex P Process for the Review of

Special Permit Proposals and Research Results from Existing and Completed Permits as

Modified at SC/66a in Light of Resolution 2014-5”, archive.iwc.int › pages › download.

Page 20: PROGRAM PENELITIAN PAUS OLEH JEPANG DITINJAU DARI

Kanun Jurnal Ilmu Hukum Program Penelitian Paus oleh Jepang Ditinjau dari ICRW Vol. 21, No. 3, (Desember, 2019), pp. 417-436. Farah Elsa Nova

436

Utomo. (2018). “Nelayan Jepang Menangkap dan Membunuh 122 Ekor Paus Hamil”.

https://www.liputan6.com/global/read/3545148/nelayan-jepang-menangkap-dan-membunuh-

122-ekor-paus-hamil, diunduh 22 Desember 2018.

Bahan Kuliah

Latipulhayat, A. (2018). “Perkuliahan tentang Interpretasi Perjanjian Internasional”. Bandung:

Universitas Padjadjaran.