problematika talak di luar pengadilan bagi masyarakat di...
TRANSCRIPT
PROBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
OLEH :
Eko Pratama Putra NIM : 106044101394
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1431 H/2010 M
KATA PENGANTAR
اهللا الرحمن الرحيمبسم
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia yang
tidak terhingga banyaknya. Demikian pula tak luput penulis ucapkan shalawat
beriring salam kepada Imamnya para Nabi dan Rasul, Imamnya para orang-orang
yang bertakwa yaitu Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan
pengikutnya yang setia hingga akhir zaman.
Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
“Problematika Talak Di Luar Pengadilan Bagi Masyarakat Di Wilayah Tigaraksa”
sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy). Dalam proses
penyelesaian skripsi ini, banyak sekali hikmah dan manfaat yang penulis petik dan
menjadi kesan tersendiri bagi penulis.
Dengan tersusunnya skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum sekaligus dosen penasehat akademik Jurusan Peradilan Agama
kelas A angkatan 2006/2007.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. Ketua Program Studi Ahwal
Syakhshiyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, dan Bapak
Kamarusdiana, S.Ag, M.H. sebagai Sekretaris Jurusan Peradilan Agama
i
ii
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Drs. H. Sayed Usman, S.H., M.H., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.H.,
sebagai pembimbing penulis yang sudah berkenan memberikan waktu dan
arahannya dalam rangka menyelesaikan karya ini.
4. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengamalkan ilmunya
kepada penulis semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat. Dan
seluruh staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun perpustakaan
utama UIN Syarif Hidayatullah atas pelayanannya yang sangat membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Pengadilan Agama Tigaraksa, khususnya para hakim dan staf, penulis ucapkan
terima kasih atas bantuan yang telah diberikan kepada penulis untuk
memperoleh data-data dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Orang tua tercinta H.M. Mulyani dan Hj. Uung Kurniasih yang selalu memberikan
yang terbaik yang tiada balasannya untuk keberhasilan anak-anaknya dari dalam
kandungan sampai saat ini.
7. Seluruh sahabat-sahabat, yakni teman-teman seperjuangan yang telah mewarnai
sehari-hari penulis dengan hal-hal positif terutama teman-teman Peradian
Agama angkatan 2006 yang memberikan kesan tersendiri bagi penulis selama
menuntut ilmu di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
8. Sahabat-sahabat yang tergabung dalam Pusat Studi dan Bantuan Hukum
(PUSBAKUM) Semesta yang membantu dan mendukung untuk mendapatkan
ilmu dan pengalaman yang belum didapat di kampus.
Penulis ucapkan terima kasih kepada seluruh komponen yang berjasa yang telah
memberikan bantuannya. Tidak ada balasan dari penulis kecuali do’a semoga Allah
SWT membalas amal budi baik sekalian. Amin
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb
Jakarta, 04 Juni 2010
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ................................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................................. iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Batasan dan Perumusan Masalah .................................................. 7
C. Tujuan Penelitian .......................................................................... 8
D. Studi Review Terdahulu ................................................................ 8
E. Metode Penelitian ........................................................................10
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK
A. Pengertian dan Dasar Hukum Talak ........................................... 14
B. Syarat dan Rukun Talak .............................................................. 21
C. Macam-Macam Talak ................................................................. 22
D. Hukum Menjatuhkan Talak ........................................................ 29
BAB III GAMBARAN UMUM HAKIM PENGADILAN AGAMA
TIGARAKSA
A. Profil Pengadilan Agama Tigaraksa ............................................ 33
B. Struktur Pengadilan Agama Tigaraksa ....................................... 41
C. Fungsi dan Peran Hakim Agama ................................................. 43
v
D. Seputar Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa ............................. 46
BAB IV PROBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN BAGI
MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA
A. kedudukan Talak Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam dan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ............................................. 47
B. Pandangan Hakim Tentang Talak di Luar Pengadian ................. 50
C. Dampak Talak di Luar Pengadilan .............................................. 52
D. Problematika Talak Di Luar Pengadilan Bagi Masyarakat Di
Wilayah Tigaraksa ........................................................................54
E. Analisis Penulis Tentang Talak Di Luar Pengadilan .................. 61
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 64
B. Saran-Saran .................................................................................. 65
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 66
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana telah diketahui, bahwa peradilan dapat diidentifikasikan
sebagai bagian dari pranata hukum, sedangkan hukum dapat diidentifikasikan
sebagai pranata sosial. Hukum tergantung pada apa yang terjadi dengan kondisi-
kondisi kekuasaan dan wewenang politik, dan kondisi tersebut ditentukan oleh
beragam kekuatan sosial, budaya dan ekonomi. Apabila kondisi-kondisi tersebut
berubah, maka hukum pun mengalami perubahan.
Dalam perubahan tersebut, bukan hal yang tidak mungkin terdapat
perselisihan untuk menegakkan keadilan hukum. Oleh karena itu, dibutuhkan
pengendali kehidupan masyarakat yang berfungsi untuk menyelesaikan
perselisihan, persengketaan, dan bentuk-bentuk pertentangan lainnya sehingga
hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat diperoleh. Atau, ketertiban dapat
diwujudkan dalam kehidupan bersama-sama dan masing-masing memperoleh
ketenteraman.
Untuk memperoleh ketenteraman dalam menjalankan hidup, setiap insan
manusia selalu memiliki rasa saling membutuhkan orang lain dalam kehidupan
sehari-hari yang sering disebut sebagai makhluk sosial, termasuk dalam ikatan
perkawinan. Rasa saling membutuhkan inilah yang menjadi landasan manusia
1
2
untuk saling berinteraksi, baik dari segi ibadah, munakahat, muamalah, dan
jinayah.1
Semua tingkah laku umat manusia telah diatur dalam Islam baik yang
tertuang dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, apalagi sebagaimana menurut
Aristoteles (384-322 SM) menjuluki manusia dengan zoon politicon, yaitu
sebagai makhluk yang pada dasarnya selalu mempunyai keinginan untuk
berkumpul dengan manusia-manusia lainnya (makhluk bermasyarakat).2
Salah satu dari sekian interaksi dalam kehidupan yaitu perkawinan, yakni
perbuatan hukum yang mengikat antara seorang pria dengan seorang wanita
(suami dan isteri) yang mengandung nilai ibadah kepada Allah, di satu pihak dan
di pihak lainnya mengandung aspek keperdataan yang menimbulkan hak dan
kewajiban antara suami dan isteri. Oleh karena itu, hak dan kewajiban merupakan
hubungan timbal balik antara suami dan isterinya.
Ikatan perkawinan adalah suatu hal yang sangat sakral, baik menurut ajaran
agama ataupun kedudukannya dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Pengertian lebih luas dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang terkandung dalam pasal 1 adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
1 Cik Hasan Bisri, MS., Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), cet. Ke-4, h. 67.
2 J.C.T. Simorangkir dan Worjono Satropranoto, Peladjaran Hukum Indonesia, (Djakarta: Gunung Agung, 1959), h. 7.
3
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan perkawinan adalah ikatan lahir batin dan
tanggung jawab yang berkelanjutan, tidak hanya hubungan keperdataan semata,
tetapi hubungan antara sesama manusia baik di dunia maupun di akhirat.3
Akad perkawinan dalam hukum Islam bukanlah perkara perdata semata,
melainkan ikatan suci (mitsaqan galizha) yang terkait dengan keyakinan dan
keimanan kepada Allah. Dengan demikian ada dimensi ibadah dalam sebuah
perkawinan. Untuk itu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa
abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya
keluarga sejahtera (mawaddah wa rahmah) dapat terwujud.4
Dalam sistem hukum perkawaninan, di dalamnya mencakup pula mengenai
persoalan pertalakan. Karena, suatu ikatan perkawinan tidak akan cukup
menjawab persoalan hati manusia yang selalu membutuhkan pasangan hidup.
Adakalanya manusia itu memiliki rasa kecewa, kurangnya kepuasan lahir maupun
batin terhadap pasangannya, dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, perlu adanya
hukum pertalakan dalam rumah tangga, walaupun perkara yang halal untuk
dilakukan tetapi dibenci oleh Allah adalah pertalakan, bukan tidak mungkin Allah
mengijinkan pasangan suami-isteri untuk bertalak dalam keadaan tertentu.
3 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukarja, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, (Jakarta: PT. Hida Karya Agung, 1981), cet. Ke 1, h. 7.
4 Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), cet. Ke-3, h. 206.
4
Islam telah mengatur mengenai pertalakan dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya. Ketentuan Islam mengenai pertalakan perlu disosialisasikan agar
orang mengetahui bagaimana Allah SWT. menjelaskan adab dan tuntunan kepada
mereka yang akan bertalak.
Kerap timbul anggapan bahwa apabila seorang suami sudah mengucapkan
kata “talak” kepada isterinya, maka jatuhlah talak itu. Seorang lelaki, apabila
dalam keadaan emosi, tidak sedikit yang mengeluarkan ungkapan untuk bertalak.
Apalagi dalam keadaan ekonomi seperti saat ini, kebutuhan hidup semakin sulit
dan lapangan pekerjaan susah, sementara harga bahan baku semakin mahal dan
tekanan hidup semakin berat, potensi terjadinya pertentangan dan keributan dalam
rumah tangga amat besar. Bisa jadi dalam rumah tangga yang masih terasa
harmonis, dapat terjadi sedikit salah paham, bertengkar, dan akhirnya dalam
keadaan emosi terucap kata “talak” dalam waktu sesaat.
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya suami-isteri penuh
kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun pada kenyataannya
rasa kasih sayang itu tidak dirawat bisa menjadi pudar, bahkan bisa hilang
berganti dengan kebencian. Jika kebencian sudah datang, dan suami-isteri tidak
dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan memulihkan kembali kasih
sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya. Oleh karena itu,
upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang perlu
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi kebencian. Akan
5
tetapi perlu pula diingat, bahwa kebencian itu kemudian bisa pula kembali
menjadi kasih sayang.5
Seperti halnya yang terjadi pada sebagian masyarakat di wilayah Tigaraksa,
yaitu terdapat pihak yang melakukan talak di luar Pengadilan. Berawal dari rasa
kepercayaan dan cinta kasih yang dalam, dan pada akhirnya sepakat antara
keduanya untuk memutus tali perkawinan. Akan tetapi, tidak melakukan
perceraian di muka sidang Pengadilan.
Pada dasarnya, perceraian merupakan wewenang suami terhadap isterinya.
Dalam kitab-kitab fikih klasik dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan disebutkan pula bahwa perceraian bisa terjadi dengan segala cara
yang mengindikasikan berakhirnya suatu hubungan suami-isteri, baik talak yang
dijatuhkan oleh suami atau cerai gugat (khulu’) yang diajukan oleh pihak isteri
atau sebab lainnya.
Dengan tujuan mempersulit terjadinya perceraian tersebut, maka
ditentukanlah: untuk melakukan perceraian, harus ada cukup alasan (bukti) bahwa
antara suami-isteri tersebut tidak dapat hidup rukun lagi. Perceraian itu seperti
disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. PP
No. 9 Tahun 1975 jo. UU No. 7 Tahun 1989 jo. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam mesti terjadi di hadapan sidang Pengadilan.6
5 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta:
Kencana, 2004), ed. 1, cet. Ke-2, h. 96.
6 K. Wanjtik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghali Indonesia), h. 37.
6
Dengan kata lain, perceraian yang sah menurut prosedural hukum yang
berlaku di Indonesia ialah harus dilakukan di hadapan sidang pengadilan.
Perceraian yang dilakukan di luar prosedur pengadilan dianggap tidak terjadi
perceraian. Namun, akibat dari proses prosedural ini dapat menimbulkan
polemik-polemik baru bagi masyarakat dalam menjalankan kehidupan dalam
rumah tangga, khususnya dampat dari akibat perceraian tersebut (perceraian di
luar pengadilan).
Untuk lebih memahami dan menjawab segala permasalahan yang mencakup
terhadap perceraian yang dilakukan di luar prosedur Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, harus paham terhadap penjelasan masalah
perceraian dalam Undang-Undang tersebut serta pandangan Hakim Pengadilan
Agama. Karena, baik Undang-Undang maupun Hakim adalah satu kesatuan yang
terdapat dalam ranah hukum yang keduanya memiliki peran sangat penting demi
tercapainya suatu keteraturan dalam bermasyarakat sehingga menimbulkan
ketenteraman.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tergugah untuk membahas:
“PROBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN BAGI
MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA.”
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah Jika ditelusuri masalah yang diuraikan pada proses perceraian,
sesungguhnya banyak sekali hal-hal yang terkait dalam masalah tersebut.
7
Oleh sebab itu, untuk mempermudah dan memperjelas pokok bahasan, maka
penulis membatasi pada pokok-pokok pembahasan perceraian kepada
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, status hukum
perkawinan akibat talak di luar Pengadilan, pandangan Hakim Pengadilan
Agama Tigaraksa terhadap talak di luar Pengadilan selaku pemutus perkara di
Pengadilan Agama dan aplikasinya terhadap masyarakat di wilayah
Tigaraksa.
2. Perumusan Masalah
Mestinya, perceraian hanya dilakukan melalui proses persidangan sesuai
dengan peraturan yang berlaku, namun pada kenyataannya kerap terjadi
perceraian di luar Pengadilan. Maka penulis akan merumuskan masalah
tersebut kepada beberapa poin, yaitu sebagai berikut:
1. Apa konsekuensi hukum talak di luar Pengadilan?
2. Bagaimana pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa terhadap
status hukum talak di luar Pengadilan?
3. Apa dampak talak yang dilakukan di luar Pengadilan dan kenyataannya
pada masyarakat di wilayah Tigaraksa.
4. Apa problematika masyarakat di wilayah Tigaraksa ketika melakukan
talak di luar Pengadilan?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan:
8
1. Untuk mengetahui konsekuensi hukum talak di luar Pengadilan.
2. Untuk mengetahui pandangan
Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa tentang status hukum perceraian di luar
pengadilan.
3. Untuk mengetahui dampak talak
di luar Pengadilan dan kenyataannya pada masyarakat di wilayah Tigaraksa.
4. Untuk mengetahui problematika
masyarakat di wilayah Tigaraksa melakukan talak di luar Pengadilan?
D. Studi Review Terdahulu
PENULIS/NIM JUDUL KESIMPULAN
AJID/0044219362
Persepsi Ulama Serang
Tentang Talak di
Bawah Tangan
Lebih terfokus kepada
pandangan ulama yang
berada di Serang
mengenai talak di bawah
tangan sehingga tidak
memberikan solusi
terhadap pelaku
pertalakan di bawah
tangan.
Cici Dampak Perceraian Untuk mengetahui
9
Indriani/102044124997 (Cerai Talak) di Luar
Prosedur Pengadilan
Agama Terhadap
Nafkah Iddah Dan
Nafkah Anak
pemahaman masyarakat
terhadap pernikahan,
termasuk di dalamnya
masalah perceraian yang
sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku di
Indonesia, dan
mengetahui faktor yang
menyebabkan perceraian
di luar Pengadilan,
sekaligus mengetahui
presentase objek
penelitian yang
melaksanakan perceraian
di luar prosedur. Serta
mengetahui dampak
yang akan dirasakan
terutama implikasinya
terhadap nafkah iddah
dan nafkah anak.
10
Adapun yang membedakan antara skripsi yang disebut di atas dengan
skripsi yang akan dibahas dengan judul “Problematika Talak Di Luar Pengadilan
Bagi Masyarakat Di Wilayah Tigaraksa” adalah tempat objek penelitian yang
berbeda. Karena kondisi lingkungan sangat memberikan peran penting dalam
mempengaruhi kehidupan dan pola berpikir masyarakat, dan pokok pembahasan
yang menyingkronkan antara pandangan Hakim tentang talak di luar Pengadilan
dan kondisi masyarakat di wilayah Tigaraksa yang telah melakukan talak di luar
Pengadilan.
E. Metode Penelitian
Penulis menggunakan beberapa metode penelitian sebagai pedoman, yaitu:
1. Metode Penelitian
Jenis metode yang dilakukan sebagai acuan adalah penelitian
kepustakaan (library research) dan peneletian lapangan (field research) yang
dilakukan dengan terjun langsung ke daerah yang masuk dalam wilayah
Tigaraksa.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
deskriftif dan komperatif. Penelitian deskriftif adalah berusaha menuangkan
fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi yang terjadi pada saat
penelitian ini dilakukan dan melihat sejauh mana pentingnya penjatuhan talak
di depan Pengadilan. Penelitian komperatif adalah dengan melihat pandangan-
11
pandangan para Hakim dalam memberi pemahaman yang sebenarnya dalam
memahami konsep penjatuhan talak dan yang terjadi di masyarakat wilayah
Tigaraksa dalam memutuskan tali perkawinan.
3. Teknik Pengumpulan Data
a) Kajian Kepustakaan
Pengumpulan data kualitatif yaitu melalui studi kepustakaan. Data
kualitatif diperoleh melalui bahan primer dan sekunder. Data-data primer
yaitu bersumber atas hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama
Tigaraksa. Data sekunder diperoleh melalui situs-situs pemerintahan,
dan/atau didapati melalui surat kabar/media cetak dan penulisan ilmiah di
dalam majalah-majalah dan jurnal-jurnal hukum.
b) Wawancara
Adapun metode yang digunakan dalam tekhnik pengumpulan data
selanjutnya adalah dengan melakukan wawancara berstruktur dengan
menggunakan instrumen pedoman wawancara.
Wawancara dalam hal ini adalah percakapan yang diarahkan kepada
masalah tertentu yang dimaksud dalam penelitian ini untuk mendapatkan
informasi dengan bertanya langsung kepada responden yaitu Hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa dan responden yang telah melakukan talak
di luar Pengadilan.
12
c) Angket
Angket adalah daftar pertanyaan atau pernyataan yang dikirimkan
kepada 25 orang responden yang dipilih secara acak, bertempat tinggal di
wilayah Tigaraksa baik secara langsung atau tidak langsung.
4. Teknik Pengolahan Data
Data yang akan dikumpulkan dari kajian kepustakaan akan diedit dan
disusun mengikuti kesesuaian judul atau bab yang terkait.
Data yang dikumpulkan melalui wawancara dan angket yang diisi oleh
responden akan diteliti kelengkapannya oleh penulis, bila terdapat jawaban
yang diragukan atau tidak dijawab, maka penulis akan menghubungi
responden yang bersangkutan untuk menyempurnakan jawaban tersebut.
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan panduan buku “Pedoman Penulisan Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”. Adapun
sistematika dalam penilisan skripsi ini penulis membaginya ke dalam Lima Bab,
antara lain:
BAB I PENDAHULUAN, yang meliputi : Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitan, Studi Review Terdahulu,
Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
13
BAB II TIJAUAN UMUM TANTANG TALAK, yang meliputi :
Pengertian Talak, Dasar Hukum Talak, Syarat dan Rukun Talak, Macam-Macam
Talak, Hukum Menjatuhkan Talak.
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG HAKIM AGAMA
TIGARAKSA, yang meliputi : Profil Pengadilan Agama Tigaraksa, Struktur
Pengadilan Agama Tigaraksa, Fungsi dan Peran Hakim Agama, Seputar Hakim
Pengadilan Agama Tigaraksa.
BAB IV PROBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN BAGI
MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA, yang meliputi : Kedudukan
Talak Di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam Dan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, Pandangan Hakim Tentang Talak Di Luar Pengadilan Agama
Tigaraksa, Dampak Talak Di Luar Pengadilan, Problematika Yang Dirasakan
Masyarakat Di Wilayah Tigaraksa Setelah Melakukan Talak Di Luar Pengadilan,
Analisis Penulis Mengenai Talak Di Luar Pengadilan.
BAB V PENUTUP, yang meliputi : Kesimpulan dan Saran-Saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Talak
1. Pengertian
Menurut bahasa, talak berasal dari kata االطالق اإلرسال: yang bermaksud
melepaskan, meninggalkan atau melepaskan ikatan perkawinan.1 Dalam kitab
kifayatul akhyar disebutkan bahwa talak menurut bahasa adalah melepaskan
ikatan.2
Menurut istilah, seperti yang dituliskan al-Jaziri, talak adalah
melepaskan ikatan (حل القيد) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan
menggunakan kata-kata yang telah ditentukan.3 Sayyid Sabiq mendefinisikan
talak dengan upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya
mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri.4
Di dalam kitab kifayatul akhyar menjelaskan talak sebagai sebuah nama
untuk melepaskan ikatan perkawinan dan talak adalah lafadz jahiliyyah yang
setelah Islam datang menetapkan lafadz itu sebagai kata untuk melepaskan
1 Wahbah Zuhaili, Fiqh Dan Perundangan Islam, Terjemahan Ahmad Syeid Husain,
Dewan Bahasa Dan Pustaka, Jilid VII (Selanggor, 2001), h. 579.
2 Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, Juz II (Bandung: Al-Haromain Jaya, 2005), h. 84.
3 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‘Ala Madzahib Al-Arba’ah, Juz IV (Kairo: Dar Fikr, t.t), h. 278.
4 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz II (Beirut: Dar Fikr, 1983), h. 206.
14
15
nikah. Dalil-dalil tentang talak itu berdasarkan al-kitab, hadits, ijma’ ahli
agama dan ahli sunnah.5
Dari definisi di atas, bahwa talak adalah pemutusan tali perkawinan dan
talak merupakan suatu yang disyariatkan.6 Dan jelaslah bahwa talak
merupakan sebuah institusi yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan
perkawinan, dengan demikian ikatan perkawinan sebanarnya dapat putus dan
tata caranya telah diatur baik di dalam fikih maupun di dalam Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).7
Pada dasarnya, kehidupan rumah tangga harus didasari oleh mawaddah,
rahmah dan cinta kasih, yaitu bahwa suami isteri harus memerankan peran
masing-masing, yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi. Di
samping itu harus juga diwujudkan keseragaman, keeratan, kelembutan dan
saling pengertian satu dengan yang lain sehingga rumah tangga menjadi hal
yang sangat menyenangkan, penuh kebahagiaan, kenikmatan dan melahirkan
generasi yang baik yang merasakan kebahagiaan yang dirasakan oleh orang
tua mereka.8
5 Taqiyuddin, Kifayatul Akhyar, h. 84.
6 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), h. 207.
7 Amiur Nurudun, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h. 207.
8 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 205.
16
Jika mata air cinta dan kasih sayang sudah kering dan tidak lagi
memancarkan airnya, sehingga hati salah satu pihak atau keduanya (suami
isteri) sudah tidak lagi merasakan cinta kasih, lalu kedua-duanya sudah tidak
saling mempedulikan satu dengan lainnya serta sudah tidak menjalankan
tugas dan kewajibannya masing-masing, sehingga yang tinggal hanya
pertengkaran dan tipu daya. Kemudian keduanya berusaha memperbaiki,
namun tidak berhasil, begitu juga keluarganya telah berusaha melakukan
perbaikan, namun tidak kunjung berhasil pula, maka pada saat itu, talak
adalah kata yang paling tepat seakan-akan ia merupakan setrika yang di
dalamnya terdapat obat penyembuh, namun ia merupakan obat yang paling
akhir diminum.9
Sebagaimana yang disebut dalam pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa atau dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebut dengan mitsaqan
ghalizha (ikatan yang kuat), namun dalam realitanya seringkali perkawinan
tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan
baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan
berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.10
9 Ibid, Fikih Keluarga, h. 205.
10 Martiman Prodjohamidjodjo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Indonesia Legal Center Publishing, 2002), h. 41.
17
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan yang dimaksud dengan
talak adalah: “Ikrar suami di hadapan sidang pengadilan agama yang menjadi
salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagimana dimaksud
dalam pasal 129, 130, dan 131.”11
2. Dasar Hukum Talak
Setiap produk hukum pastilah selalu didasarkan dengan hukum yang
mempertimbangkan akan kedudukan produk hukum tersebut, tidak terkecuali
dengan adanya talak. Berikut yang menjadi landasan hukum terhadap
eksistensi talak dalam rumah tangga.
a) Firman Allah SWT
أن لكم يحل وال بإحسان تسريح أو بمعروف فإمساك مرتان قالطال
أال خفتم فإن الله حدود يقيما أال يخافا أن إال شيئا ءاتيتموهن مما تأخذوا
تعتدوها فال الله حدود تلك به افتدت فيما عليهما جناح فال هالل حدود يقيما
.الظالمون هم فأولئك الله حدود يتعد ومن
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma`ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
11 Amiur Nurudun, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, h.
220.
18
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al-Baqarah: 229)
الله واتقوا العدة وأحصوا لعدتهن فطلقوهن النساء طلقتم إذا النبي ياأيها
مبينة بفاحشة يأتين نأ إال يخرجن وال بيوتهن من تخرجوهن ال ربكم
يحدث الله لعل تدري ال نفسه ظلم فقد الله حدود يتعد ومن الله حدود وتلك
معروفب فارقوهن أو بمعروف فأمسكوهن أجلهن بلغن فإذا .أمرا ذلك بعد
يؤمن آان من به يوعظ ذلكم لله الشهادة وأقيموا منكم عدل ذوي وأشهدوا
.مخرجا له يجعل الله يتق ومن الآخر واليوم بالله
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar.” (Q.S. At-Thalaq: 1-2)
19
b) Hadits Nabi SAW
ده عيلع ضائ حيه وهتأر امقل طهنا أمهن ع اهللايض ررم ع ابننع
صلي اهللالوسر ابن الخطاب رم علأسف ملس وهيل عي اهللال ص اهللالوسر
مره اهللا صلي اهللا عليه وسلم لوس رلاقف كل ذناهللا عليه وسلم ع
فليراجعها ثم ليمسكها حتي تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شاء أمسك بعد
12.ها النساءو إن شاء طلق قبل أن يمس فتلك العدة التي أمر اهللا أن تطلق ل
Artinya: “Dari Ibnu Umar r.a. bahwasannya dia menceraikan isterinya yang dalam keadaan haid pada masa Rasulallah saw. Maka Umar bin Khatab bertanya kepada Rasulallah tentang hal tersebut, Rasulallah menjawab: Perintahkan anakmu itu supaya rujuk (kembali) kepada isterinya itu, kemudian hendaklah ia teruskan pernikahan tersebut sehingga ia suci dari haid, lalu haid kembali dan kemudian suci dari haid yang kedua. Maka, jika berkehendak, ia boleh meneruskan sebagaimana yang telah berlalu, dan jika menghendaki, ia boleh menceraikannya sebelum ia mencampurinya. Demikianlah iddah diperintahkan Allah saat wanita itu diceraikan.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih)
Para ulama sepakat membolehkan talak. Bisa saja sebuah rumah
tangga mengalami keretakan hubungan yang mengakibatkan runyamnya
keadaan sehingga pernikahan mereka berada dalam keadaan kritis,
terancam perpecahan, serta pertengkaran yang tidak membawa
keuntungan sama sekali. Dan pada saat itu, dituntut adanya jalan untuk
12 Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadits-Hadits Muttafaq’alaih
Bagian Munakahat dan Mu’amalat, (Jakarta: Kencana, 2004), Ed. 1, Cet. Ke-1, h. 62.
20
menghindari dan menghilangkan berbagai hal negatif tersebut dengan cara
talak.13
c) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Talak (perceraian) disebutkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan pada pasal 38 yang berbunyi: “Perkawinan
dapat putus karena: a. Kematian, b. Perceraian, dan c. Keputusan
Pengadilan.” Dalam pasal 39 yang berbunyi: “(1) Perceraian hanya
dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah
pihak. (2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa
antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
(3) Tata cara perceraian di depan Sidang Pengadilan diatur dalam
Peraturan Perundangan tersendiri.”
d) Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Tidak hanya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pun menjelaskan
perceraian. Di antaranya pada pasal 113 yang menyebutkan: “Perkawinan
dapat putus karena: (a) kematian, (b) perceraian, dan (c) atas putusan
Pengadilan.” Dan pasal 114 menyebutkan: “Putusnya perkawinan yang
13 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 208.
21
disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau
berdasarkan gugatan perceraian.”
B. Syarat dan Rukun Talak
1. Syarat Talak
a) Ikatan Suami Isteri
Syarat jatuhnya talak adalah terjadinya ikatan suami isteri, jika tidak
terjadi ikatan suami isteri maka tidak sah talaknya.14 Yang tidak
menyebabkan terjatuhnya talak ada empat: anak kecil, orang gila, orang
yang tidur, dan orang mabuk.15
b) Baligh
Seseorang yang menjatuhkan talak harus mumayyiz, anak kecil
tidaklah dapat menjatuhkan talak. Baligh merupakan istilah dalam hukum
Islam yang menunjukkan seseorang telah mencapai kedewasaan. "Baligh"
diambil dari kata bahasa Arab yang secara bahasa memiliki arti "sampai",
maksudnya "telah sampainya usia seseorang pada tahap kedewasaan".
c) Berakal Sehat
Yang dimaksud dengan berakal sehat adalah seorang suami yang
menjatuhkan talak kepada isterinya dalam keadaan sehat. Oleh karena itu,
14 Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, h. 102.
15 Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, h. 104.
22
orang gila tidak sah talaknya, baik kegilaannya terus menerus atau hanya
sewaktu-waktu yang diakibatkan oleh penyakit.
Bukan hanya gila bisa disebut sebagai alasan yang tidak dapat
mensahkan talak, tetapi tidurpun masuk kategori yang tidak bisa
mensahkan talak.
2. Rukun Talak
Pada dasarnya rukun talak terbagi kepada tiga, yaitu:
a. Suami, selain sumianya isteri yang ditalak tidak dapat mentalak.
b. Isteri, yaitu orang yang berada di bawah perlindungan suami dan ia
adalah objek yang akan mendapatkan talak.
c. Sighat, yaitu lafadz yang menunjukkan adanya talak, baik itu
diucapkan secara terang-terangan maupun dilakukan melalui sindiran
dengan syarat harus disertai adanya niat.16
C. Macam-Macam Talak
Talak terbagi kepada beberapa macam. Bila talak itu mutlak jatuh oleh
kehendak suami maka terbagi 2 (dua) macam, yaitu talak raj’i dan talak ba’in.
Bila talak itu datang dari kehendak seorang isteri disebut khuluk.17
16 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar,
1996), Cet. Ke-1, h. 437.
17 Hasbi Indra, Potret Wanita Sholehah, (Jakarta: Penamadani, 2004), Cet. Ke-1, h. 228.
23
Mengenai talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap keadaan isteri ada 2
(dua) macam pula, yaitu talak sunni dan talak bid’i,18 begitupun dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) disebutkan pula bahwa talak selain dari yang dua macam
(talak raj’i dan talak ba’in) adalah talak sunni dan talak bid’i, yang terdapat dari
pasal 118 samapi dengan pasal 122 KHI.
1. Talak Raj’i
Pasal 118 dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa:
“Talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dalam talak ini suami berhak
rujuk selama isteri dalam masa iddah.”
As-Siba’i mengatakan bahwa talak raj’i adalah talak yang untuk
kembalinya mantan isteri kepada mantan suaminya tidak memerlukan
pembaharuan akad nikah, tidak memerlukan mahar, serta tidak memerlukan
persaksian.
Setelah terjadi talak raj’i maka isteri wajib beriddah, hanya bila
kemudian mantan suami hendak kembali kepada mantan isterinya sebelum
berakhir masa iddah, maka hal itu dapat dilakukan dengan menyatakan rujuk,
tetapi jika dalam masa iddah tersebut mantan suami tidak menyatakan rujuk
terhadap mantan isterinya, maka dengan berakhirnya masa iddah tersebut
kedudukan talak menjadi talak ba’in, kemudian jika sesudah berakhirnya
18 Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, h. 87.
24
masa iddah itu suami ingin kembali kepada mantan isterinya maka wajib
dilakukan dengan akad baru dan dengan mahar pula.19
Talak raj’i hanya terjadi pada talak pertama dan kedua saja, berdasarkan
firman Allah SWT. dalam surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
تأخذوا أن لكم يحل وال بإحسان تسريح أو بمعروف فإمساك مرتان قالطال
حدود يقيما أال خفتم فإن الله حدود يقيما أال يخافا أن إال شيئا ءاتيتموهن مما
حدود يتعد ومن تعتدوها فال الله حدود تلك به افتدت فيما عليهما جناح فال الله
.الظالمون هم فأولئك الله
Artinya : “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah: 229).
2. Talak Ba’in
Talak ba’in adalah talak yang tidak memberi hak merujuk bagi mantan
suami terhadap mantan isterinya. Untuk mengembalikan mantan isteri ke
19 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Premena Jaya, 2006), Cet. Ke-2, h. 191
25
dalam ikatan perkawinan dengan mantan suami harus melalui akad nikah
baru, lengkap dengan rukun dan syarat-syaratnya.20
Talak ba’in terdapat 2 (dua) macam, yaitu:
a) Talak Ba’in Shughra
Talak ba’in shughra adalah talak ba’in yang menghilangkan
pemilikan mantan suami terhadap isteri tetapi tidak menghilangkan
kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan isteri, baik
dalam masa iddahnya maupun sesudah berakhirnya masa iddah.
Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan:
(1) Talak ba’in shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.
(2) Talak ba’in shughra sebagaimana tersebut pada Ayat (1) adalah:
a. talak yang terjadi qabla ad-dukhul;
b. talak dengan tebusan atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.
b) Talak Ba’in Kubra
Talak ba’in kubra adalah talak yang menghilangkan pemilikan
mantan suami terhadap mantan isteri serta menghilangkan kehalalan
mantan suami untuk berkawin kembali dengan mantan isterinya. Kecuali
setelah mantan isteri itu kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul
20 Ibid, Fiqh Munakahat, h. 198.
26
dengan suami keduanya itu serta telah bercerai secara wajar dan telah
selesai menjalankan masa iddahnya. Talak ba’in kubra terjadi pada talak
yang ketiga. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah
ayat 230 yang menyebutkan:
⌧ ⌧ ⌧ ⌧
☺
☺
☺
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 230)
Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga menyebutkan dan
memberikan definisi talak ba’in kubra; “Talak ba’in kubra adalah talak
yang terjadi untuk yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk
dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas isteri menikah dengan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba'da ad-dukhul dan habis masa iddahnya.”
27
c) Talak Sunni
Talak sunni adalah talak yang diperbolehkan untuk dijatuhkan
kepada isteri, yaitu talak dijatuhkan kepada isteri yang dalam keadaan suci
serta tidak dicampuri.21 Begitupun Kompilasi Hukum Islam (KHI)
menyebutkan pengertian talak sunni yang terdapat di dalam pasal 121
yang berbunyi: “Talak sunni adalah talak yang dibolehkan yaitu talak
yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut.”
d) Talak Bid’i
Talak bid’i adalah larangan menjatuhkan talak kepada isteri yang
dalam keadaan haid atau suci tetapi setelah digauli dan nifas.22 Bila
diperinci, terdiri dari beberapa macam:23
1. Apabila seorang suami menceraikan isterinya ketika sedang dalam
keadaan haid atau nifas.
2. Jika seorang suami menceraikan isterinya ketika dalam keadaan suci,
namun ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut.
21 Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, h. 87-88.
22 Ibid, h. 88.
23 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 211.
28
3. Seorang suami menjatuhkan talak tiga terhadap isterinya dengan satu
kalimat atau tiga kalimat dalam satu waktu.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pula mendefinisikan talak
bid’i sebagaimana yang tercantum pada pasal 122: “Talak bid’i adalah
talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam
keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada
waktu suci tersebut.”
e) Khuluk
Talak yang terjadi akibat khuluk, yaitu suatu ikatan perkawinan yang
putus karena pihak isteri telah memberikan hartanya untuk membebaskan
dirinya dari ikatan perkawinan. Selain itu, khuluk adalah perceraian yang
terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau uang ‘iwad
kepada dan atas persetujuan suaminya. Oleh karena itu, khuluk adalah
perceraian yang terjadi dalam bentuk mengurangi jumlah talak dan tidak
dapat dirujuk. Hal ini bedasarkan pasal 161 KHI yang berbunyi:
“Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat
dirujuk.”24
Kompilasi Hukum Islam (KHI) menerangkan pula mengenai khuluk
pada pasal 124 yang berbunyi: “Khuluk harus berdasarkan atas alasan
perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.” Dan pasal 116 berbunyi:
24 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.
79.
29
“Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan: (a) salah satu
pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan; (b) salah satu pihak meninggalkan
pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan
tanpa alasan yang sah karena hal lain di luar kemampuannya; (c) salah
satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
lebih berat setelah perkawinan berlangsung; (d) salah satu pihak
melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan
pihak yang lain; (e) salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
(f) antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga; (g)
suami melanggar taklik talak; (h) peralihan agama atau murtad yang
menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.”
D. Hukum Menjatuhkan Talak
Ditilik dari kemaslahatan atau kemudharatannya, maka hukum talak ada 5
(lima).25 Yaitu:
1. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri, lalu tidak ada jalan yang
dapat ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus
perkara keduanya. Jika kedua hakim tersebut memandang bahwa perceraian
25 Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 211.
30
lebih baik bagi mereka, maka saat itulah talak menjadi wajib. Jadi, jika sebuah
rumah tangga tidak mendatangkan apa-apa selain keburukan, perselisihan,
pertengkarang dan bahkan menjerumuskan keduanya dalam kemaksiatan,
maka pada saat itu talak adalah wajib baginya.26
2. Makruh
Talak menjadi makruh jika talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan
dan kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mengatakan mengenai talak yang
makruh ini terdapat dua pendapat;27
Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan, karena dapat
menimbulkan mudharat bagi dirinya juga bagi isterinya, serta tidak
mendatangkan manfaat apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan
merusak atau menghamburkan harta kekayaan tanpa guna.
Kedua, menyatakan bahwa talak seperti itu dibolehkan.
Talak itu dibenci karena dilakukan tanpa adanya tuntutan dan sebab
yang membolehkan. Dan karena talak semacam itu dapat membatalkan
pernikahan yang menghasilkan kebaikan yang memang disunahkan, sehingga
talak itu menjadi makruh.28
3. Mubah
26 Ibid, Fikih Keluarga, h. 221.
27 Ibid, Fikih Keluarga, h. 221.
28 Ibid, Fikih Keluarga, h. 209.
31
Talak hukumnya mubah (diperbolehkan) ketika ada keperluan untuk itu,
yakni karena jeleknya perilaku isteri, buruknya sikap isteri terhadap suami,
suami menderita karena tingkah laku isteri, suami tidak mencapai tujuan dari
perkawinan dari isteri.29
4. Sunah
Hukumnya sunah yaitu talak yang dilakukan pada saat isteri
mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang telah diwajibkan kepadanya,
misalnya shalat, puasa dan kewajiban lainnya, sedangkan suami juga sudah
tidak sanggup lagi memaksanya. Atau isterinya sudah tidak lagi menjaga
kehormatan dan kesucian dirinya. Hal itu mungkin saja terjadi, karen memang
wanita itu mempunyai kekurangan dalam hal agama, sehingga mungkin saja
ia berbuat selingkuh dan melahirkan anak hasil dari perselingkuhan dengan
laki-laki lain. Dalam kondisi seperti itu dibolehkan bagi suaminya untuk
mempersempit ruang dan geraknya.30 Sebagaimana yang difirmankan Allah
SWT.
⌧
☺
29 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih II, (Yogyakarta, Verisi Yogya Grafika, 1995), h. 191.
30 Syekh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, h. 210.
32
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (Q.S. An-Nisa`: 19).
5. Haram (Mahzhur)
Mahzhur yaitu talak yang dilakukan ketika isteri sedang haid. Para
ulama di Mesir telah sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga
dengan talak bid’ah. Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu
menyalahi sunnah Rasulullah dan mengabaikan perintah Allah SWT. dan
Rasul-Nya.31 Sebagaimana Allah telah berfirman,
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Q.S. At-Thalaq: 1).
31 Ibid, Fikih Keluarga, h. 210.
BAB III
GAMBARAN UMUM
TENTANG HAKIM PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
A. Profil Pengadilan Agama Tigaraksa
Pengadilan Agama Tigaraksa dibentuk berdasarkan keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor : 85 tahun 1996 tanggal 01 Nopember 1996 dan
Pengadilan Agama Tigaraksa dengan kelas 1B diresmikan pada hari kamis
tanggal 21 Agustus 1997 bertepatan dengan tanggal 17 Rabiul Awwal 1418 H
oleh Direktur Peradilan Agama atas nama Menteri Agama bertempat di gedung
Negara (Pendopo) PEMDA Kabupaten DT.II Tangerang yang pada saat itu Bapak
Let.Kol. Agus Junara menjabat sebagai Bupati.
Yurusdiksi relatif ( kewanangan mengadili) yaitu meliputi wilayah hukum
kabupaten Tangerang yang merupakan pemekaran wilayah baru antara kabupaten
Tangerang dan kota Tangerang telah diserahkan pada tanggal 21 Agustus 1996
antara Drs. H. ABDURAHMAN ABROR selaku Ketua Pengadilan Agama
Tangerang kepada Drs. A.D. DIMYATI, S.H. selaku Ketua Pengadilan Agama
Tigaraksa yang terdiri dari 19 kecamatan 3 kemantren dan 306 desa serta
berdasarkan PERDA Kabupaten Tangerang telah mengalami Pemekaran menjadi
36 Kecamatan.
Pada saat diresmikan, Pengadilan Agama Tigaraksa berkantor di Jl. Raya
serang KM. 12 Kp. Pulo, Desa Bitung jaya, Kecamatan Cikupa, Kabupaten
33
34
Tangerang dengan luas bangunan 7x12 meter di atas tanah 864 m2. Pada tahun
2002 Pengedailan Agama Tigaraksa menempati Gedung Baru yang terletak di
Jalan mesjid Agung Al-Amjad No.1 Komplek Perkantoran Pemda Kabupaten
Tangerang dengan luas tanah 2000 m2 dengan gedung berlantai 2 yang terdiri dari
ruang Ketua, ruang Wakil Ketua, Ruang Panitera Sekertaris, Ruang Hakim, ruang
Kesekretariatan, ruang Kepaniteaan, 2 buah ruang sidang, ruang arsip, ruang
tunggu para pihak, ruang register, ruang komputer, ruang perpustakaan dan ruang
kasir
1. Kebijakan Umum Peradilan1
Fenomena pembangunan hukum pada akhir-akhir ini mulai akrab
dengan aspirasi teoritik dan meninggalkan ketergantungannya pada ranah
politik dan kekuasaan. Salah satu sub dari sistem hukum itu adalah kekuasaan
kehakiman yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dengan badan-
badan peradilan di bawahnya. Satu dari empat lingkungan peradilan
pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah Peradilan Agama yang diatur
dengan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua Undang-
Undang Peradilan Agama.
Struktur organisasi Pengadilan Agama ketika dikaitkan dengan kajian
mendalam era reformasi semakin menjadi tokoh ketika memasuki wilayah
1 Pengadilan Agama Tigaraksa, Laporan Kinerja Tahun 2009, (Tangerang, 2010), h. 2.
35
satu atap dengan Mahkamah Agung baik secara administratif, anggaran,
kepegawaian selain yang sifatnya Yudisial yang sejak lama menjadi bagian
Mahkamah Agung. Posisi Pengadilan Agama dalam struktur satu atap dengan
Mahkamah Agung menjadi tantangan ke depan yang harus dipikirkan dalam
hal:
(1) Daya saing dengan Lembaga Peradilan lainnya, sejauh mana daya saing
Pengadilan Agama dalam memberi palayanan dan solusi hukum
terhadap sengketa yang menjadi kewenangannya.
(2) Pengadilan Agama pada satu sisi ia berhadapan dengan tuntutan realitas
empirik dari siklus kehidupan berinstitusi, di sisi lain ia beriringan
dengan kenyataan sebagai tamu pada institusi besar yang dinamakan
Mahkamah Agung.
Aparat Pengadilan Agama (dalam hal ini Hakim Pengadilan Agama)
harus mampu berperan sebagai penghakim Undang-Undang, tetapi dengan
daya kreasinya juga mampu berperan sebagai pencipta hukum (Recht
Vinding). Hal ini penting mengingat pembuat Peraturan Perundang-Undangan
Peradilan Agama berjalan lambat. Padahal kita sering dihadapkan kepada
kebutuhan hukum yang mendesak untuk mengadili masalah tertentu dengan
segera. Dengan kreativitas aparatur Pengadilan Agama boleh terjadi
36
kekosongan di bidang Undang-Undang, tetapi diharapkan tidak sampai terjadi
kekosongan di bidang hukum.2
Tugas pokok Pengadilan Agama yang diamanatkan3 Undang-Undang
yaitu memerikasa, mengadili dan menyelesaikan perkara tertentu bagi mereka
yang beragama Islam dibutuhkan:
(1) Kebijkan yang mendorong penguasaan Hukum Materiil pun harus
menguasai Hukum Formil (Hukum Acara) bagi Hakim Pengadilan
Agama. Sebagaimana tersurat dalam pasal 54 Undang-Undang No. 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 3 Tahun
2006, dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 perubahan kedua atas
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 yang pada dasarnya hukum acara
perdata yang berlaku di Pengadilan Agama adalah Herziene Indonesiche
Reglement (HIR) Stb. 1941 No. 44, dan hukum acara yang terdapat dalam
Undang-Undang No. 7 Tahun 1989/Lex Specialis.
(2) Kebijakan yang mendorong penguasaan dan implementasi secara benar
tentang SPO (Standar Prosedur Operasional) yang dikenal dengan pola
BINDALMIN yang terdiri:4
- Pola Prosedur Penerimaan Perkara.
2 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 2. 3 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 2.
4 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 3.
37
- Pola Register Perkara.
- Pola Keuangan Perkara.
- Pola Keuangan Pelaporan Perkara.
- Pola Pengarsipan Perkara.
(3) Kebijakan yang mendorong kesekretariatan sebagai fasilitator dan
dinamisator yang mampu mengalokasikan anggaran secara efektif dan
efisien dengan sistem SAI dan SABMIN, serta mampu menghindari
kebocoran, mark up dan penyalahgunaan anggaran (DIPA).
(4) Kebijakan yang mendorong transparansi dalam pengelolaan keuangan
APBN maupun biaya proses peradilan.
(5) Kebijakan yang mampu mendorong terciptanya client service yang
memuaskan (satisfied) bagi para pencari keadilan sehingga terhindarnya
informasi yang salah (false information).
2. Visi, Misi dan Strategi5
Visi :
“Mewujudkan Pengadilan Agama Tigaraksa yang Terhormat dan
Bermartabat.”
5 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 3.
38
Misi :
1. Mewujudkan pelayanan prima yang memberikan rasa keadilan
yang cepat dan jujur serta didukung oleh SDM Profesional, Sarana
dan Prasarana yang memadai.
2. Mewujudkan Pengadilan Agama yang mandiri dan independen
dari campur tangan pihak lain.
3. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas input, proses dan output
eksternal pada peradilan.
4. Memperbaiki akses pada pelayanan hukum dan peradilan.
5. Mengupayakan sistem informasi sesuasi program IT.
Tujuan :
1. Tercapainya pelayanan prima kepada masyarakat pencari keadilan.
2. Tersedianya Sarana dan Prasarana yang memadai serta didukung
oleh SDM yang profesional.
3. Terciptanya peradilan agama yang mandiri dan independen serta
bebas dari campur tangan pihak lain dalam proses peradilan.
39
4. Terciptanya kualitas pelayanan hukum kepada masyarakat yang
didasari pada asas peradilan yang sederharna, cepat dan biaya
ringan.
5. Terwujudnya sistem peradilan yang cepat, efektif, efesien dan
informasi yang mudah diserap.
Sasaran :6
1. Meningkatkan kualitas proses pelayanan sehingga dapat
diselesaikan kurang dari 6 (enam) bulan.
2. Meningkatkan tingkat kepuasan masyarakat dalam menyelesaikan
perkara.
3. Terpenuhinya sarana, fasilitas dan mobilitas serta SDM yang
pofesional.
Strategi untuk Mencapai Tujuan dan Sasaran7
Kebijakan :
1. Meningkatkan fungsi IT dengan maksimal, dan mendorong penyelesaian
beban pekerjaan dengan modul shcedul time.
2. Mengefektifkan lembaga mediasi.
6 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 4. 7 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 4.
40
3. Mendorong terselenggaranya diklat baik bidang teknis fungsional maupun
bidang administrasi keuangan.
4. Mengusulkan pembangunan sarana gendung, fasilitas, mobilitas dan
mengiutsertakan aparatur peradilan baik ke setiap Diklat Reguler ataupun
ke jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi.
5. Meningkatkan koordinasi dengan PEMDA, MUSPIDA dan Instansi
terkait guna kelancaran tugas dan fungsi Pengadilan Agam Tigaraksa di
Kabupaten Tangerang.
6. Meningkatkan pengawasan melekat dan pengawasan melalui Hakim
Pengawas Bidang (HAWASBID).
Program :8
1. Menerapkan SIADPA (Sistem Administrasi Peradilan Agama) dan
membuka akses internet serta membuat kartu kendali perkara.
2. Menunjuk hakim mediator dan menyediakan Hot Line.
3. Menyelenggarakan Diklat In Job Training.
4. Melakukan Eksaminasi dengan Eksaminator dari Ahli Hukum.
5. Penyuluhan hukum kepada masyarakat.
8 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 4.
41
6. Melakukan sosialisai Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah
7. Melakukan studi banding khususnya bidang Ekonomi Syari’ah.
8. Mengusulkan pengadaan Gedung dan fasilitasnya dalam RKAKL
(Rencana Kerja ke Menterian dan Lembaga) komponen belanja modal
disertai data pendukung.
9. Melakasanakan Sidang Keliling.
10. Menerapkan Punishment and Reward dengan baik dan benar.
11. Mengimplementasikan Keputusan Ketua Mahkamah Agung tentang
pengawasan dengan membuat Job Description Hakim Pengawas Bidang
(HAWASBID).
3. Rencana Kerja Titik Berat Tahun 2009 s/d Tahun 2017
Dari visi, misi tujuan serta sasaran dan program di atas dapat
dirumuskan rencana kerja titik berat pengadilan agama tigaraksa tahun 2009
s/d 2017 sebagai berikut:9
1. Penanganan perkara dengan efektif dan efesien melalui pola
BINDALMIN.
9 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 5.
42
2. Peningkatan akses masyarakat terhadap pelayanan hukum yang
berkualitas.
3. Peningkatan infrastruktu perkantoran.
4. Pemberdayaan SDM manusia melalui pengikutsertaan diklat fungsional
dan struktural.
5. Penciptaan tata perkantoran yang baik.
6. Peningkatan ketertiban dan kenyamanan bagi para pihak yang
berperkara.
7. Peningkatan akses masyarakat terhadap informasi keperkaraan melalui
IT.
8. Peningkatan motivasi kerja aparatur melalui reward dan punishment.
9. Membangun sisterm karir pegawai melalui parameter legalitas formal,
senioritas dan kinerja untuk dipromosikan kejenjang yang lebih tinggi.
10. Revitalisasi pola BINDALMIN melalui SIADPA.
11. Lahan tanah 3500 m2 dari Pemda Kabupaten Tangerang untuk
Pengadilan Agama Tigaraksa, segera akan dibuatkan sertifikat atas nama
Pengadilan Agama Tigaraksa dan akan segera dibangun gedung
43
pengadilan sesuai dengan stadarisasi Mahkamah Agung Republik
Indonesia.
B. Struktur Pengadilan Agama Tigaraksa10
Struktur organisasi Pengadilan Agama Tigaraksa terdiri dari:
1. Ketua
2. Wakil Ketua
3. Panitera/Sekretaris
4. Wakil Panitera
5. Wakil sekretaris
BAGAN ORGANISASI PENGADILAN AGAMA TIGARAKSA
K E T U A Drs. H. KHAERUDIN, S.H.,
10 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 6.
W A K I L K E T U A Drs. H. M. HASANY NASIR,
HAKIM Drs. SAPRUDIN, S.H.
Drs. HARYADI HASAN, M.H.
Drs. SOLEMAN, M.H. Dra. ABSARI
Drs. SODIKIN, S.H. Drs. MUSIFIN, M.H.
Drs. ARWENDI Drs. M. AMINUDIN AHMAD BISRI, S.H.
44
PANITERA/SEKRETARIS
Drs. BAIHAKI WAKIL SEKRETARIS
AHMAD MUHTADIN, WAKIL PANITERA
DEDE SUPRIADI, S.H.,
KASUB UMUM DZUL FADLI
HIDAYAT, S.T.
KASUB KEUANGAN AGUS PRIONO,
S.H.
KASUB KEPEGAWAIAN AMIN HIDAYAT SANIE
PANMUD HUKUM
NAILI IVADA, S.Ag.
PANMUD PERMOHONAN
EFI YAYAH ZULFIAH, S.Ag.
PANMUD GUGATAN
PARIYANTI, S.H.
JURUSITA PENGGANTI PANITERA PENGGANTI
45
C. Fungsi dan Peran Hakim Agama11
Tentang kedudukan Hakim Pengadilan Agama dalam kurun waktu peroide
1970-1989, dikemukakan oleh Purwo S. Gandasubrata, Wakil Ketua Mahkamah
Agung RI dalam simposium sejarah Peradilan Agama tanggal 5 April 1982 di
Jakarta bahwa Hakim Peradilan Agama sekarang bukan lagi “Penghulu Rechter”
zaman dahulu.
Sesuai dengan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 di mana
dijelaskan bahwa Peradilan Agama termasuk salah satu lingkungan Peradilan
yang diakui Negara, maka Hakim yang bekerja di Peradilan Agama adalah Hakim
Negara dengan tugas mengadili perkara-perkara tertentu yang masuk
kewenangannya.12 Lebih lanjut dikemukakan dalam Undang-Undang bahwa
sesuai dengan tugas dan sumpah jabatannya, maka Hakim Peradilan Agama
berkewajiban mengadili dan memutuskan perkara yang menjadi wewenangnya
berdasarkan hukum Islam dan peraturan yang berlaku.13 Jadi, kedudukan Hakim
11 Ibid, Laporan Kinerja Tahun 2009, h. 7.
12 A. Manan Chik Lamkuta, Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama, Artikel dalam Harian Pelita, terbitan hari Rabu tanggal 7 Maret 1984, h. 3.
13 Ibid, Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama, Artikel dalam Harian Pelita, terbitan hari Rabu tanggal 7 Maret 1984, h. 4.
46
Agama adalah Hakim Negara dan sama dengan Hakim dalam lingkungan
peradilan lainnya, tidak ada perbedaan dan tidak ada diskriminasi.14
Pasca Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman dan Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
menunjukkan banyak peran hakim peradilan agama yang harus dilaksanakan
antara lain sebagai berikut;
a. Sebagai Penegak Hukum
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan berkewajiban mengikuti
dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Tugas
tersebut dibebankan kepada Hakim Peradilan Agama agar dapat memutuskan
perkara yang diajukan kepadanya dengan adil dan benar.15
Mukti Ali, ketika menjabat Menteri Agama RI pada penutupan latihan
Hakim Agama mengemukakan bahwa Hakim Agama harus dapat menggali,
memahami, dan menghayati hukum yang hidup dalam masyarakat dengan
14 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (suatu kajian dalam
sistem Peradilan Islam), (Jakarta: Kencana, 2007), Ed. 1, Cet. Ke-1, h. 176.
15 Ibid, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (suatu kajian dalam sistem Peradilan Islam), h. 177.
47
cara meningkatkan ilmu pengetahuan. Sangat besar bahayanya apabila Hakim
tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup.16
b. Sebagai Pembentuk Undang-Undang atau Penemu Hukum
Oleh karena Undang-Undang sering tidak lengkap atau tidak jelas, maka
Hakim harus mencari hukumnya dan menemukan makna normatif hukumnya.
Penemuan hukum (rechtsvinding) lazimnya diartikan sebagai proses
pembentukan hukum oleh Hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang
diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang
konkret. Ini merupakan konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang
bersifat umum dengan mengikat peristiwa konkret.17
c. Sebagai Penafsir Undang-Undang
Interprestasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan yang gamblang terhadap undang-undang agar ruang
lingkup kaidah dapat searah dengan peristiwa tertentu. Penafsiran Hakim
mengenai peraturan hukum merupakan penjelasan yang harus menuju kepada
pemahaman terhadap peristiwa yang konkret yang dapat diterima oleh
masyarakat. Penggunaan penafsiran ini dengan baik, mensyarakatkan Hakim
16 A. Manan Chik Lamkuta, Hakim Di Lingkungan Peradilan Agama, h. 5.
17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suara Pengantar, (Yogyakarta: Liberty), h. 135-137.
48
dengan sungguh-sungguh memahami berbagai macam metode penafsiran
hukum, atau Undang-Undang, antara lain metode dramatikal, teleologis,
historis, komperatif, faturistis, restriktif dan ekstensif, serta moteda
contrario.18
d. Sebagai Anggota Masyarakat
Hakim Pengadilan Agama dipandang oleh masyarakat19 bukan sebagai
pegawai negeri dan aparat penegak hukum semata, tetapi juga dianggap
sebagai tokoh masyarkat yang mempunyai ototoritas. Oleh karena itu, Hakim
Pengadilan Agama harus menjadi teladan dalam masyarakat sekitarnya.
Hakim pengadilan agama harus membawa diri sebaik-baiknya, sehingga di
dalam bekerja tidak direpotkan oleh tindakan yang tidak bertanggung jawab
dari masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung.20
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009
tentang kekuasaan kehakiman pasal 10 ayat (1) Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan
dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud
18 Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 179.
19 Ibid, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 180. 20 Ibid, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan, h. 180.
49
pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara
perdamaian.
D. Seputar Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
Dalam Laporan Kinerja Tahun 2009, Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
berjumlah 11 (sebelas) orang, yang terdiri dari 10 (sepuluh) orang dan 1 (satu)
orang wanita. Adapun yang menjadi narasumber dalam penilitian ini adalah:
1) Drs. Haryadi Hasan, M.H.
2) Drs. Sodikin, S.H.
3) Drs. Soleman, M.H.
4) Drs. Saprudin, S.H.
5) Ahmad Bisri, S.H.
BAB IV
PORBLEMATIKA TALAK DI LUAR PENGADILAN
BAGI MASYARAKAT DI WILAYAH TIGARAKSA
A. Kedudukan Talak di Luar Pengadilan Menurut Hukum Islam Dan Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Sebelum mengetahui kedudukan talak di luar Pengadilan, baik menurut
hukum Islam maupun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
perlu diketahui bahwa yang terkandung di dalam pasal 39 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa “perceraian hanya dapat
dilakukan di depan Sidang Pengadilan yang berwenang” adalah landasan dalam
perceraian yang terkandung di dalam Undang-Undang yang cenderung kepada
persaksian talak.1 Oleh sebab itu, kedudukan talak di luar Pengadilan lebih
difokuskan kepada persaksian talak, sebagai implementasi yang dituangkan dalam
pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tersebut.
Kebanyakan fuqaha (jumhur ulama) berpendapat bahwa talak itu dapat
terjadi tanpa persakian, yakni dipandang sah oleh hukum Islam suami
menjatuhkan talak kepada isterinya tanpa kehadiran dan kesaksian dua orang
1 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Premena Jaya, 2006, Cet. Ke-2, h. 191.
47
48
saksi, karena talak itu menjadi hak suami sehingga berhak sewaktu-waktu
menggunakan haknya tanpa harus menghadirkan dua orang saksi.2
Menurut ketentuan hukum Islam, talak adalah termasuk salah satu hak
suami, Allah menjadikan hak talak di tangan suami, tidak menjadikan hak talak
itu di tangan orang lain, baik orang lain itu isteri, saksi ataupun Pengadilan.3
Firman Allah dalam surat al-Ahzab ayat 49 menyatakan sebagai berikut:
☺ ☺
☺ ☺ ☺ ☯ ⌧
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.” (Q.S. al-Ahzab: 49)
Ibnu Qayyum berkata bahwa talak itu menjadi hak bagi orang yang
menikahi, karena itulah yang berhak menahan isteri yakni merujuknya, suami
tidak memerlukan persaksian untuk mempergunakan haknya.
2 Ibid, Fiqh Munakahat, h. 208.
3 Ibid, Fiqh Munakahat, h. 208.
49
Berbeda dengan ulama fuqaha Syi’ah Imamiyah berbeda pendapat dengan
fuqaha Jumhur, yaitu mereka berpendapat persaksian dalam talak adalah syarat
bagi sahnya talak, yang dilandaskan dengan firman Allah dalam surat at-Thalaq
ayat 2:
☺
☺
☺
⌧
☯ ⌧
Artinya: “Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia akan mengadakan baginya jalan keluar.”
(Q.S. At-Thalaq: 2)
Adapun talak di luar Pengadilan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, dalam hal persaksian talak rupanya Pemerintah
Indonesia cenderung kepada keharusan adanya persaksian talak dimaksud. Hal ini
dapat dilihat pada pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang telah disebut di atas, yang menyatakan bahwa “perceraian hanya
dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan”, kemudian pasal 14 Peraturan
50
Pemerintah No. 9 Tahun 1974 menyatakan bahwa “suami yang telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan menceraikan
isterinya, harus mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya, yang
berisi pemberitahuan bahwa dia bermaksud menceraikan isterinya disertai dengan
alasan-alasannya serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang untuk
keperluan itu”.4
Pasal 16 Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa Pengadilan hanya
memutuskan untuk mengadakan sidang Pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud dalam pasal 14 apabila memang terdapat alasan-alasan yang
cukup sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah ini, dan
Pengadilan berpendapat bahwa antara suami isteri bersangkutan tidak mungkin
didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
B. Pandangan Hakim Tentang Talak di Luar Pengadilan
Mengenai perceraian di luar Pengadilan, masih ada sebagian pendapat
fuqaha bahwa perceraian itu sah apabila dilakukan hanya dilakukan di hadapan
beberapa saksi, ini hanya sebahagian kecil saja. Tapi jika belajar dari pasal
perundang-undangan, bahwa perceraian itu hanya sah dilakukan di hadapan
4 Ibid, Fiqh Munakahat, h. 208.
51
persidangan, maka siapa pun yang melakukan perceraian di luar pengadilan maka
dinyatakan tidak sah.5
Dalam pandangannya Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa mengenai talak
di lura Pengadilan menyatakan pula bahwa hukum itu pertimbangannya adalah
fikih, dan fikih itu bukanlah hukum, fikih adalah sebuah faham, fikih itu menjadi
hukum jika sudah diundang-undangkan. Seperti pendapat Imam Hanafi, Syafi’i,
jika melihat dari sana harus mengambil pendapat Imam Hanafi, termasuk
pendapatnya itu adalah marsalah mursalah, pernikahannya harus dicatat, jika
mereka yang mengatakan tidak harus dicatat yang penting ada saksi dan adanya
wali, maka perceraian pun tidak harus dicatat, jadi menurut Syafi’iyah sah-sah
saja, tetapi menurut Imam Hanafi itu harus dicatat. Ketika zaman Rasulullah ada
sahabat yang datang ya Rasulullah isteri saya mempunyai penyakit dan isterinya
juga sama menghadap Rasulullah, bahwa ya Rasulullah suami saya tidak
memberikan nafkah, kemudian Rasulullah membawa mereka ke Masjid untuk
diceraikan, artinya ketika mereka hendak bercerai, mereka menghadap kepada
Rasulullah, dan dilakukanlah perceraiannya di masjid. Ketika perceraian tersebut
dilakukan, maka perceraian itu dicatat.6
Namun, perlu diingat pula bahwa berdasar kepada landasan al-Qur’an yang
menyatakan bahwa selain kita patuh kepada Allah dan Rasulnya, kita juga harus
5 Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
6 Wawancara Pribadi dengan Soleman, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
52
patuh kepada para pemimpin. dalam hal perceraian, pemimpin negara telah
mempercayakan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berhak menyelesaikan
perceraian bagi orang Islam sehingga perceraian harus mengikuti produk Undang-
Undang yaitu harus melalui persidangan.7
Talak yang dilakukan di luar Pengadilan tidak memiliki sebuah pembuktian
perdata karena bahwa lembaga Pengadilan Agama sudah ditunjuk menjadi satu-
satunya lembaga dalam Islam di negara Indonesia yang berhak mengeluarkan
pernyataan perceraian.
C. Dampak Talak di Luar Pengadilan
Yang paling mendasar sebagai dampak dari talak di luar Pengadilan adalah
tidak adanya kepastian hukum untuk perceraiannya, maka dianggap tidak ada
perceraian bagi suami isteri yang bercerai di luar Pengadilan tersebut karena tidak
ada legal formalnya, padahal legal formal mengenai perceraian bagi orang Islam
itu hanya dikeluarkan oleh Pengadilan Agama8 dan tidak akan mendapatkan hak
apapun bagi suami isteri yang melakukan percerain tersebut.9 Sehingga, dari
ketiadaan hukum secara pasti itulah akan berakibat kepada:
1. Tidak ada kepastian hukum
7 Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
8 Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
9 Wawancara Pribadi dengan Soleman, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
53
Bagi keduanya (suami isteri) tidak mempunyai kepastian hukum dalam
penjatuhan talaknya. Akibat dari tidak ada kepastian hukum tersebut, jika
salah satu atau kedua belah pihak ingin menikah kembali dengan orang lain
maka pernikahannya tidak akan diterima atau tidak akan sah karena dianggap
masih memiliki ikatan perkawinan dengan pasangan sebelumnya.10
2. Ada kesewenangan suami terhadap isteri11
Jika perceraian tidak dilakukan di depan Pengadilan, akan menimbulkan
kesewengan suami terhadap isterinya, di antaranya isteri cenderung akan
dirugikan karena anggapannya adalah talak termasuk ke dalam haknya suami
dan jika hal ini terjadi, maka suami akan melakukan hal yang diinginkan
suami semaunya.
3. Akan menimbulkan prioritas suami lebih dari pada isteri12
Jika talak dilakukan di luar Pengadilan, maka suami akan mentalak isteri
dengan tidak beraturan, karena menganggap talak adalah hak suami.
Akibatnya isteri cenderung dirugikan, padahal dalam rumah tangga didasari
dengan rasa cinta, kasih dan saling menjaga keutuhan rumah tangga.
4. Anak
10 Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
11 Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
12 Wawancara Pribadi dengan Sodikin, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
54
Anak dalam posisi ini bisa diasumsikan akan dirugikan.13 Karena,
dengan bercerainya orang tua anak tersebut, anak harus mendapatkan haknya
untuk hidup berkembang dengan mendapatkan pendidikan yang layak dan
kebutuhan kehidupan sehari-hari. Namun, jika orang tua anak dimaksud
melakukan talak di luar Pengadilan dan kemudian anak tidak mendapatkan
haknya, maka tidak bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk
mendaptkan hak anak tersebut karena talak yang dilakukan di luar Pengadilan
tidak akan mendapatkan legalitas sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
5. Harta Bersama14
Di dalam pengajuan cerai di Pengadilan baik melalui proses permohonan
atau gugatan, harta bersama dijadikan sebagai objek gugatan dan bisa
didapatkan oleh kedua belah yang bercerai. Akan tetapi, jika oleh kedua pihak
melakukan talak di luar Pengadilan, maka harta bersama tidak akan bisa
digugat, karena yang akan mengeluarkan legalitas adalah Pengadilan Agama.
6. Kewarisan15
Waris hanya berasal karena ada kematian di antara anggota keluarga,
dan ahli warisnya adalah anggota keluarga yang masih sah masuk ke dalam
13 Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
14 Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
15 Wawancara Pribadi dengan Haryadi Hasan, Tigaraksa, 26 Maret 2010.
55
hubungan perkawinan, sahnya hubungan perkawinan bisa dilihat dari legalitas
perkawinan tersebut, dan apabila tidak terjadi pemutusan hubungan suami
isteri melalui pengadilan, maka hubungan perkawinan masih memiliki
largalitas. Walaupun antara suami isteri telah melakukan talak di luar
Pengadilan, hubungan perkawinannya masih sah, sehingga jika salah satu
pihak meninggal dunia maka pihak yang lainnya dapat mengajukan
gugatan/permohonan untuk harta warisan yang ditinggalkan, karena dianggap
masih dalam hubungan suami isteri yang sah menurut ketentuan yang berlaku.
D. Problematika Talak Di Luar Pengadilan Bagi Masyarakat Di Wilayah
Tigaraksa
Berbagai masalah timbul akibat tidak berperan andil dalam berpartisipasi
untuk menjalankan tatanan peraturan yang berlaku di Indonesia, sehingga tidak
sedikit hak-hak yang tidak bisa didapatkan karena itu. Namun, dalam segala
sesutu yang berhubungan dengan masyarakat tentang aturan-aturan perkawinan,
tidak lepas dengan kondisi tertentu baik kebiasaan, kondisi perekonomian,
ketidaktahuan/ketidakpahaman akan peraturan, enggannya berproses yang rumit,
atau bahkan keacuhan terhadap aturan itu sendiri.
56
Dalam skripsi ini, penulis meneliti sebagian kecil masyarakat yang berada di
wilayah Tigaraksa tentang problematika talak di luar Pengadilan yang dirasakan
oleh masyarakat tersebut dalam berbagai kondisi.
Kondisi masyarakat yang dimaksud penulis adalah kondisi masyarakat yang
berada di wilayah Tigaraksa dalam melakukan talak, yang dilihat dari usia
pernikahan, cara melakukan pernikahan, cara melakukan talak dan hak-hak yang
terpenuhi atau tidak setelah terjadi talak, dengan hasil dari penelitian lapangan
yang mengikut sertakan responden dengan jumlah 25 orang di wilayah Tigaraksa
yang dipilih secara acak.
Hasil penelitan dilihat dengan persentase responden dengan rumus:
P
P adalah persentase
J adalah jumlah peryataan
R adalah jumlah responden keseluruhan
Responden yang dipilih melakukan perkawinan pada usia tertentu dapat
dilihat dari daftar tabel berikut:
Usia Perkawinan
Jumlah Responden %
57
< 15 Tahun 2 8
15-30 Tahun 22 88
30-50 Tahun 1 4
Total 25 100
Dari hasil peneletian, rata-rata dengan persentase 88 % responden
melakukan perkawinan pada usia antara 15-30 Tahun.
Selanjutnya mengenai tata cara talak yang dilakukan oleh banyak kalangan
di masyarakat. Namun, sebelum penulis menjelaskan tata cara talak yang
dilakukan oleh responden, dipandang penting untuk mengetahui tata cara
perkawinan yang dilakukan responden, mengingat kriteria yang dibutuhkan dalam
penelitian ini adalah responden yang melakukan perkawinan yang dicatat melalui
Kantor Urusan Agama (KUA) akan tetapi tidak melakukan talak melalui proses
Pengadilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai kriteria responden
yang melakukan perkawinan yang dicatat melalui Kantor Urusan Agama (KUA)
dengan menanyakan pernyataan “ya” atau “tidak” kepada responden, apakah
menikah melalui prosedur yang telah ditetapkan yaitu melalui KUA? Hasilnya
dapat dilihat dari tabel berikut:
Jawaban Jumlah Responden %
58
Ya 13 52
Tidak 12 48
Total 25 100
Dengan tabel di atas dapat diketahui bahwa sekitar 52 % dari jumlah
responden mencatatkan perkawinannya melalui Kantor Urusan Agama (KUA)
yaitu berjumlah 13 orang responden, dan kemudian dari 13 orang tersebut akan
dipilih untuk menentukan berapa jumlah yang masuk ke dalam kriteria penilitian
ini, yaitu dengan mananyakan bagaimana melakukan talak yang dilakukan oleh
para responden tersebut, dengan menanyakan pernyataan apakah melakukan talak
melalui Pengadilan dengan pilihan jawaban “ya” atau “tidak”.
Hasil penelitian dapat dilihat dari tabel berikut:
Jawaban Jumlah Responden %
Ya 3 23
Tidak 10 74
Total 13 100
Dari hasil penelitian yang dilakukan, penulis mendapatkan jawaban bahwa
sebanyak 10 orang responden dengan presentase 74 % melakukan talak di luar
59
Pengadilan, dengan hasil tersebut dapat diketahui bahwa responden yang masuk
ke dalam kriteria yang dimaksud dalam penelitian ini adalah berjumlah 10 orang.
Dari responden yang masuk ke dalam kriteria penelitian ini telah ditanyakan
mengenai alasan-alasan tidak melakukan talak melalui Pengadilan, dan hasilnya
dapat dilihat pada tabel berikut:
Alasan Jumlah Responden %
Rumit 5 50
Lama 1 10
Alasan lain 4 40
Total 10 100
Yang menganggap bahwa porses talak di Pengadilan rumit hanya 5 orang
dengan presentase 50 % dari jumlah responden yang ke dalam kriteria penelitian
ini, dan dengan alasan lama prosesnya adalah 1 orang dengan presentase 10 %,
tetapi lebih banyak bersalasan talak tidak di Pengadilan dengan alasan lain.
Maksud alasan lain, di antaranya adalah tidak mengetahui proses yang berlaku
mengenai talak, terdapat sebagian yang menyatakan bahwa ketika responden
tersebut melakukan talak belum ada peraturan yang mengatur karena responden
melakukan talak bertepatan sebelum tahun 1974.
60
Sesuai dengan pernyataan Empat Patmawati melalui wawancara, bahwa jika
melakukan talak melalui Pengadilan prosesnya rumit dan tidak mendapatkan
pengarahan langsung bagaimana cara berporses di Pengadilan Agama untuk
melakukan talak, ditambah dengan biaya mahal yang akhirnya mengurungkan niat
untuk memproses talaknya melalui Pengadilan.16
Adapun dampak dari talak yang dilakukan di luar Pengadilan adalah bisa
dilihat dari hasil peneletian yang dilakukan dengan pertanyaan pernyataan “ya”
atau “tidak” terhadap pertanyaan hak-hak yang didapat dari talak tersebut yang
dituangkan oleh penulis ke dalam tabel berikut:
Jawaban Iddah % Anak % Ya 4 40 5 56
Tidak 6 60 4 44 Jumlah 10 100 9 100
Sebanyak 60 % para responden yang melakukan talak di luar Pengadilan
tidak mendapatkan hak iddahnya, untuk anak baik dari segi pengasuhan dan
nafkah untuk anak tersebut dengan presentase yang mendapatkan haknya 56 %
dan yang tidak mendapatkan haknya 44 % dari jumlah 9 responden dari 10
responden yang masuk ke dalam kriteria penelitian ini, adapun 1 orang responden
tersebut tidak memiliki keturunan (anak) ketika melakukan talak tersebut.
16 Wawancara Pribadi dengan Empat Patmawati, Tigaraksa, 22 Juni 2010.
61
Adapun mengenai dampak yang dirasakan oleh salah seorang responden
dalam wawancara khusus yaitu merasakan sulitnya untuk menikah lagi dengan
orang lain karena tidak memiliki legalitas untuk perceriannya tersebut, pihak
KUA tidak memberkan izin karena masih berstatus sebagai isteri dari suami yang
pertama.17
Adapun hasil penelitian dari seluruh responden baik yang masuk ke dalam
kriteria penelitian ini ataupun tidak mengenai dampak yang dirasakan ketika
melakukan perkawinan ataupun perceraian tidak melalui prosedur yang berlaku
adalah bisa dilihat pada tabel berikut:
Jawaban Iddah % Anak % Ya 6 24 8 32
Tidak 19 76 10 40 Jumlah 25 100 18 100
Dengan jumlah yang sangat besar di atas, memberikan kejelasan bahwa jika
melakukan perkawinan atau perceraian dengan tidak mengikuti prosedur yang
berlaku maka kerugian yang seperti dicantukan dalam tabel di atas akan
didapatkan oleh para pihak yang melakukannya tanpa prosedur.
Namun, di antara kemajemukan masyarakat di wilayah tigaraksa ternyata
masih ada yang menganggap bahwa baik perkawinan atau perceraian seutuhnya
mengikuti para Imam Madzhab khususnya madzhab syafi’i dan timbah dengan
keteranga ulama setempat, sehingga jika ingin melakukan cerai yang dipandang
17 Wawancara Pribadi dengan Empat Patmawati, Tigaraksa, 22 Juni 2010.
62
penting adalah seorang suami telah mengucapkan talak maka talak itu sudah jatuh
untuk isteri tanpa harus melalui proses Pengadilan dan Pengadilan hanya
mengurus hal yang bersifat administratif, dan dirasa cukup jika talak disampaikan
oleh suami ditambah dengan surat pernyataan yang ditandatangani di atas
materai.18
Apalagi ketika harus berhadapan dengan lembaga penegak hukum, yang
dirasakan adalah ketakutan untuk berperkara di Pengadilan19 karena lembaga
pengadilan dianggap sebagai yang memberatkan kepada kehidupan selanjutnya.
E. Analisis Penulis Tentang Talak di Luar Pengadilan
Adanya Pengadilan Agama sebagai satu-satunya lembaga yang ditunjuk
oleh negara dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara orang Islam di
antaranya adalah perceraian, merupakan langkah tepat untuk menghindari dari
kesewenangan seorang suami terhadap isterinya dengan mudah menjatuhkan
talak.
Perceraian memang harus dilakukan hanya di hadapan Pengadilan. Karena
dengan melakukan perceraian di hadapan sidang, baik pihak suami atau isteri
yang bercerai tersebut memiliki kapstian hukum terhadap talaknya, sehingga hak-
hak akibat talak tersebut bisa dilaksanakan dan diterima dengan utuh oleh pihak
18 Wawancara Pribadi dengan Alex Z, Tigaraksa, 22 Juni 2010.
19 Wawancara Pribadi dengan Alex Z, Tigaraksa, 22 Juni 2010.
63
yang bercerai. Pengadilan tidak mengenal pengesahan talak yang dilakukan di
luar Pengadilan, tidak ada proses legalisasi/itsbat perceraian.
Sesuai dengan pendapat Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa dalam
menyikapi dan memberikan pandangan mengenai talak yang dilakukan di luar
Pengadilan, seluruhnya memberikan pandangan bahwa talak yang dilakukan di
luar Pengadilan adalah tidak sah. Karena, perceraian hanya sah dilakukan di
hadapan Pengadilan, dan lembaga yang ditunjuk oleh Negara yang memiliki
kewenangan dalam meriksa, memutus dan mengadili yang berhubungan dengan
umat Islam di Indonesia adalah Pengadilan Agama. Oleh karena itu, semua Islam
di Indonesia diharuskan menghadap ke Pengadilan Agama jika hendak melakukan
perceraian.
Selain dari Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, firman
Allah pun sangat dijadikan landasan agar umat Islam yang hendak melakukan
talak harus melalui proses/prosedur Pengadilan dengan menyatakan bahwasannya
selain harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sebagai umat Islam harus pula
mentaati pemimpin.
Di Indonesia, pemimpin tertinggi Negara adalah Presiden, dan Presiden
telah memberikan kewenangannya terhadap penyelesaian permasalahan di
kalangan umat Islam kepada Pengadilan Agama melalui Undang-Undang No. 50
Tahun 2009 tentang perubahan ke dua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
64
tentang Peradilan Agama. Sedangkan mengenai perkawinan dan permasalahan
umat Islam, tertuang dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pada realita yang terjadi di masyarakat wilayah Tigaraksa, banyak yang
tidak mendapatkan hak-haknya akibat putusnya perkawinan tanpa melaui proses
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang berlaku, sehingga dengan adanya
penelitian lapangan yang dilakukan oleh penulis dapat mengetahui apa yang
disampaikan oleh Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa tentang talak di luar
Pengadilan terhadap dampaknya dapat terjadi di kehidupan masyarakat, karena
dengan talak yang dilakukan di luar Pengadilan tidak akan mendapatkan legalitas
atas perceraiannya dan hal tersebut telah dibuktikan dengan penelitian ini.
Suatu dilema bagi masyarakat tentang adanya sebuah peraturan tentang talak
yang harus dilakukan hanya melalui proses Pengadilan, satu sisi yang akan
dirasakan adalah ketakutan untuk berproses di Pengadilan dan rumit, sekaligus
lamanya waktu berporses untuk menyelesaikan sebuah perkara di Pengadilan dan
di sisi yang lain jika tidak mengikuti peraturan yang berlaku, maka tidak akan
mendapatkan legalitas yang diakui oleh Negara sehingga dengan tidak adanya
legalitas tersebut akan memberikan dampak bahwa tidak akan memberikan hk
apapun bagi pelaku talak di luar Pengadilan.
65
Selain itu, masyarakat lebih memegang teguh kepada prinsip awal ketika
belum adanya sebuah peraturan yang mengharuskan melakukan talak di
Pengadilan, yaitu beranggapan bahwa di fikih yang penting seorang suami ketika
menjatuhkan talak kepada isterinya maka jatuhlah talak tersebut, tanpa harus
mengajukannya ke Pengadilan, dan hal tersebut sempat dinyatakan pula oleh salah
seorang responden yang berhasil penulis wawancarai.20
20 Wawancara Pribadi dengan Alex Z, Tigaraksa, 22 Juni 2010.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Konsekuensi talak di luar Pengadilan adalah tidak sah secara hukum di
Indonesia dan sebagaimana pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
yang memandang talak tanpa putusan Pengadilan tidak sah, berlandaskan
kepada Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Pandangan Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa tentang talak di luar
Pengadilan adalah menganggap talak tersebut tidak sah, karena tidak memiliki
legalitas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama. Sesuai dengan ketentuan
pasal 39 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 terntang Perkawinan yang
mengatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.
3. Akibat yang akan timbul dari talak di luar Pengadilan tersebut adalah tidak
mendapatkan legalitas sehingga tidak dapat menuntut hak-hak yang timbul
dari perceraiannya tersebut. Di antara dampak yang akan timbul adalah tidak
bisa menuntut harta bersama, nafkah iddah, hadhonah dan nafkah anak.
Sesuai yang terjadi pada masyarakat di wilayah Tigaraksa, dan apa yang
60
61
dikahawatirkan oleh Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa, bahwa dampak itu
terjadi dalam kondisi masyarakat di wilayah Tigaraksa yang majemuk.
4. Problem yang dirasakan oleh masyarakat di wilayah Tigaraksa ketika
melakukan talak di luar Pengadilan adalah tidak terpenuhinya hak-hak yang
harus didapatkan. Namun, talak tidak akan dilakukan di luar Pengadilan
apabila rasa aman, percaya, pahamnya akan aturan-aturan yang berlaku di
Indonesia serta tidak rumit dan lamanya waktu berperkara di Pengadilan.
B. Saran –Saran
1. Agar talak di luar Pengadilan dapat diminimalisir dan bahkan dihilangkan
dari keragaman masyarakat pada umumnya, penulis memberikan saran
kepada para ahli hukum memberikan konsultasi hukum dan bimbingan
hukum secara komprehensif kepada masyarakat luas baik dalam advokasi
birokrasi maupun advokasi litigasi yang baik dan benar.
2. Perlu adanya tambahan wewenang absolut Pengadilan Agama untuk
memproses legalisasi talak yang telah dilakukan di luar Pengadilan, agar
tidak terjadi kesewenangan pihak yang tidak memiliki i’tikad baik dalam
hubungan perkawinan berikut dengan masalah perceraiannya.
3. Agar pemerintah dalam hal ini Kantor Urusan Agama (KUA) melalui BP4
dapat memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang prosedur yang
sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dalam menyelesaikan
62
perkara perkawinan ataupun perceraian, sehingga tidak ada lagi masyarakat
yang menyatakan ketidaktahuannya tentang prosedur perkawinan dan
perceraian tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Abdullah, Gani, Abdul, Pengantar Kompilasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gema Insani Press, 1994.
Ahs-Shan’ani, al-Yamaini, al-Amir, Bin Isma’il, Muhammad, Imam, Subulussalam
(Syarh Bulughulmarom), Daar Fikr, Jilid 3. Al-‘Asqolani, Bin Hajar, al-Hafidz, Bulughulmarom (Min Adillah Al-Ahkam), Daar
Ahya Al-Kutub Al-‘Arobiyyah. Al-Anshoriy, Zakaria, Syeikh, Haasyiyah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal ‘Alaa
Syahril Minhaj, Daarul Fikr, Jilid 4. Al-Bukhari, Al-Imam, Shahih Bukhari, Beirut: Libnan, 1958, jilid 7. Al-Husaini, Abu Bakar, Taqiyuddin, Imam, Kifayatul Akhyar Fii Alli Ghayatil
Ikhtishar, Jilid 2. Aripin, Jaenal, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di Indonesia,
Jakarta: Kencana: 2008, ed. 1, cet. Ke-1. Ash-Shiddieqy, Muhammad, Teungku, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Jakarta: Kencana,
2005, ed. 1 cet. Ke-1. Ayyub, Hasan, Syeikh, Fikih Keluarga, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001, cet. Ke-1. Bisri, Hasan, Cik, Drs., MS., Peradilan Agama Di Indonesia, Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2003, ed. Revisi, cet. Ke-4. Departemen Agama, Pegawai Pencatat Nikah, Jakarta: direktorat Jenderal
Bimbingan Masyarakat Islam Dan Urusan Haji Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1991/1992, cet. Ke-2.
Ghazaly, Rahman, Abdul, Fiqh Munkahat, Jakarta: Prenada Media, 2003. Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mahaly, Al-Jalal, Al-Din, Al-Mahaly, Surabaya: Daar Ahya Al-Kutub Al-‘Arabiyyah,
Jilid 3.
63
64
Manan, Abdul, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Suatu Kajian Dalam Sistem Peradilan Islam), Jakarta: Kencana: 2007, ed. 1, cet. Ke-1.
Musthofa, Kepaniteraan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana, 2005, ed. 1, cet. Ke-
1. Nuruddin, Amiur, dan Tarigan, Akmal, Azhari, Hukum Perdata Islam Di Indonesia,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006, cet. Ke-3. Rahman, Bakri, A., dan Sukarja, Ahmad, Hukum Perkawinan Menurut Hukum Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata/BW, Jakarta: Hida Karya Agung, PT. 1981, cet. Ke-1.
Saleh, Wanjtik, K., Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghali Indonesia. Simorangkir, J.C.T. dan Satropranoto, Worjono, Peladjaran Hukum Indonesia,
Djakarta: Gunung Agung, 1959. Suma, Amin, Muhammad, Prof., Hukum Keluarga Islam Di Dunia Islam, Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada, 2004, cet. Ke-1. Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia (Antara Fikih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan), Jakarta: Kencana, 2007, ed. 1, cet. Ke-2. Taimiyah, Ibnu, Syeikh, Islam, Majmu’ Fatwa Tentang Nikah, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2002, ed. Indonesia, cet. Ke-1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Zein, M., Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer,
Jakarta: Kencana, 2004, ed. 1, cet. Ke-2.