filsafat hukum islam tentang taklik talak

22
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan pengadilan 1 . Putusnya perkawinan karena perceraian, di Indonesia pada umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Lembaga taklik talak di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada sampai saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia yang dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat ta’lik thalak oleh suami. Sekalipun sifatnya suka rela, namun di negara ini, membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan oleh suami. Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa, dengan tujuan untuk melindungi pihak isteri supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh pihak suami. Jika isteri tidak ridha atas perlakuan suami, maka isteri dapat mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik sebagaimana disebutkan di dalam sighat ta’lik. Eksistensi taklik talak ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik di kalangan fuqaha maupun para pengamat hukum Islam. Dalam pada itu, permasalahan ini perlu dan relevan untuk dibahas agar penerapannya benar-benar sesuai dengan 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Upload: yudi-hardiyanto

Post on 06-Aug-2015

432 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

             Dalam Pendahuluan Pasal 38 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan disebutkan bahwa perkawinan dapat putus karena

tiga hal, yaitu karena kematian, karena perceraian dan atas putusan

pengadilan1.

            Putusnya perkawinan karena perceraian, di Indonesia pada

umumnya mengunakan lembaga taklik talak (cerai talak). Namun tidak

sedikit pula yang putus karena putusan pengadilan, diantaranya ialah

gugat cerai dengan alasan pelanggaran taklik talak. Lembaga taklik talak

di Indonesia telah ada sejak zaman dahulu. Kenyataan yang ada sampai

saat ini pun menunjukkan hampir setiap perkawinan di Indonesia yang

dilaksanakan menurut agama Islam selalu diikuti pengucapan sighat ta’lik

thalak oleh suami. Sekalipun sifatnya suka rela, namun di negara ini,

membaca taklik talak seolah-olah menjadi kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh suami.

            Sighat ta’lik dirumuskan sedemikian rupa, dengan tujuan untuk

melindungi pihak isteri supaya tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh

pihak suami. Jika isteri tidak ridha atas perlakuan suami, maka isteri dapat

mengajukan gugatan perceraian berdasarkan terwujudkan syarat ta’lik

sebagaimana disebutkan di dalam sighat ta’lik.

            Eksistensi taklik talak ternyata banyak melahirkan kontoversi, baik

di kalangan fuqaha maupun para pengamat hukum Islam. Dalam pada itu,

permasalahan ini perlu dan relevan untuk dibahas agar penerapannya

benar-benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan benar-

benar dapat memenuhi serta memberikan kepastian hukum bagi pencari

keadilan.

1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Page 2: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

2

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pada latar belakang masalah yang telah penulis

uraikan di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

Bagaimanakah Filosofi Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap

Kedudukan Wanita Dalam Rumah Tangga?

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui makna filosofi taklik talak dan pengaruhnya

terhadap kedudukan wanita dalam rumah tangga.

b. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Hukum Islam yang

diampuh oleh Bapak Drs. Abdullah Sulaiman, M.Hum

1.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:

a. Agar didapatkan informasi mengenai makna filosofi taklik talak dan

pengaruhnya terhadap kedudukan wanita dalam rumah tangga

b. Agar masyarakat dan wanita mengerti akan kedudukannya dalam

rumah tangga

Page 3: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

3

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Taklik talak

            Yang dimaksud dengan taklik talak ialah menyandarkan jatuhnya

thalaq kepada sesuatu perkara, baik kepada aucapan, perbuatan maupun

waktu tertentu2. Hal ini dimaksudkan untuk  menjaga perbuatan

sewenang-wenang dari pihak suami. Taklik talak ini dilakukan setelah

akad nikah, baik langsung waktu itu mauoun di waktu lain3.

            Dengan taklik talak ini berarti suami menggantungkan talaknya

kepada perjanjian yang ia setujui. Apabila perjanjian itu dilanggar, dengan

sendirinya jatuh talak kepada isterinya.

2.2 Sejarah Taklik Talak di Indonesia

            Menurut catatan sejarah, pelembagaan taklik talak mulai dari

perintah Sultan Agung Hanyakrakususma, raja Mataram (1554 Jawa-1630

Masehi) dalam upaya memberi kemudahan bagi wanita untuk melepaskan

ikatan perkawinan dari suami yang meninggalkan pergi dalam jangka

waktu tertentu, disamping jaminan bagi suami bila bepergian intu adalah

dalam tugas negara. Ta’lik itu disebut Takluk Janji Dalem, atau “taklek

janjining ratu” artinya ta’lik dalam kaitan dengan tugas negara4.

2 Moch. Anwar, 1991, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro: Bandung., hal. 68.

3 Daniel S. Lev, 1986, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet. II., PT. Intermasa: Jakarta., hal. 204.

4 Ta’lik tidak dibaca oleh pengantin pria, tetapi diucapkan oleh penghulu Naib dan cukup dengan dijawab: Hinggih sendika (Saya bersedia). Bentuk itu dulu berlaku di daerah Surakarta sampai masa menjelang kemerdekaan. Lihat Moh. Adnan, 1984, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa, Penerbit Mardi Kintoko: Surakarta., hal. 70.

Page 4: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

4

            Dalam suasana pemerintahan Hindia Belanda, sejak Daendels

mengeluarkan instruksi bagi Bupati tahun 1808, kemudian ditegaskan

dalam Stb. 1835 No. 58 untuk mengawasi tugas para penghulu, Stb. 1882

No. 152 tentang pembentukan Raad Agama di mana penghulu juga

menjadi ketuanya, kemudian keluar Ordonansi Pencatatan Perkawinan

Stb. 1895 No. 198 jis Stb. 1929 No. 348 dan Stb. 1931 No. 348, Stb. 1933

No. 98 untuk Solo dan Jogya, maka timbul gagasan para Penghulu dan

Ulama dengan persetujuan Bupati, untuk melembagakan taklik talak

sebagai sarana pendidikan bagi para suami agar lebih mengerti

kewajibannya terhadap isteri, yaitu dengan tambahan rumusan sighat

tentang kewajiban nafkah dan tentang penganiayaan suami.

            Melihat bahwa bentuk ta’lik thalak di Jawa itu bermanfaat dalam

menyelesaikan perselisihan suami isteri, maka banyak penguasa adaeah

luar Jawa dan Madura memberlakukannya di daerah masing-masing. Ini

menjadi lebih merata dengan berlakunya Ordonansi Pencatatan Nikah

untuk luar Jawa dan Madura, yakni Stb. 1932 No, 4825.

            Ketika Indonesia merdeka, dengan berlakunya UU No.2 Tahun

1946 jo. UU No. 32 Tahun 1952, maka ketentuan tentang sighat taklik

talak diberlakukan seragam di sluruh Indonesia, dengan pola saran Sidang

Khusus Birpro Peradilan Agama pada Konferensi Kerja Kementerian

Agama di Tretes, Malang tahun 18566, dan terakhir setelah UU Perkawinan

No. 1 Tahun 1974 dengan bunyi sighat taklik yang ditetapkan dalam

Peraturan Menteri Agama No. 2 Tahun 1990, seperti di bawah ini:

Sesudah akad nikah saya.........bin.........berjanji dengan sesungguh hati,

bahwa saya akan menepati kewajiban saya sebagai seorang suami, dan

akan saya pergauli isteri saya bernama ........ binti....... dengan baik

(mu’asyarah bil ma’ruf) menurut ajaran syariat Agama Islam

5 Sekitar tahun 1925 sudah berlaklu taklik talak di daerah Minangkabau, bahkan di Muara Tembusi sudah sejak 1910, begitu juga pula di Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Selatan serta Sulawesi Selatan. Zaini Ahmad Noeh, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII, 1997, hal. 66.

6 Buku Laporan Kementerian Agama 1956, hal. 322.

Page 5: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

5

            Selanjutnya saya mengucapkan sighat ta’lik atas isteri saya itu

sebagai berikut:

Sewaktu-waktu saya:

(1)   Meningalkan isteri saya tersebut enam bulan berturut-turut;

(2)   Atau saya tidak memberi nafkah wajib kepadanya tiga bulan

lamanya;

(3)   Atau saya menyakiti badan/jasmani isteri saya itu;

(4)   Atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya itu enam

bulan lamanya:

Kemudian isteri saya itu tidak ridha dan mengadukan halnya kepada

Pengadilan Agama atau petugas yang diberi hak mengurusi

pengaduan itu, dan pengaduannya dibenartkan serta diterima oleh

pengadilan atau petugas tersebut, dan isteri saya membayar uang

sebesar Rp. 1.000,- (seribu rupiah) sebagai iwadl (pengganti) kepada

saya, makla jatuhlah talak saya satu kepadanya.

Kepada Pengadilan atau petugas tersebut tadi saya kuasakan untuk

menerima uang iwadl (pengganti) itu dan kemudian menyerahkannya

kepada Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) Pusat, untuk keperluan

ibadah sosial7.

2.3 Eksistensi Taklik Talak

            Pembahasan mengenai taklik talak sebagai alasan perceraian

telah dibahas para ulama fiqih dalam berbagai kitab fiqih. Dalam

pembahasan mengenai hal ini mereka ikhtilaf. Ada yang membolehkan

dan ada pula yang menolaknya, ada yang pro dan ada pula yang kontra.

Perbedaan tersebut sampai sekarang mewarnai perkembangan Hukum

Islam.

            Di antara yang membolehkan pun terdapat dua pendapat. Ada

yang membolehkan secara mutlak dan ada yang membolehkan dengan

syarat-syarat tertentu. Perbedaan faham di antara mereka yang

membolehkan, pada dasarnya terletak pada bentuk sifat dan sighat taklik

talak yang bersangkutan. Yang membolehkan secara mutlak, mereka

membolehkan semua bentuk sighat taklik, baik yang

7 Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995, hal. 70.

Page 6: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

6

bersifat syarthi maupun qasami, yang bersifat umum maupun yang

dikaitkan dengan sesuatu. Sedang yang membolehkan ialah sighat taklik

yang bersifat syarthi, dan sesuai dengan maksud tujuan hukum syar’i8.

            Fakta yuridis mengenai alasan perceraian sebagaimana yang

tersebut dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan beserta penjelasannya,

maupun dalam Pasal 19 PP No.9 Tahun 1975, tidak disinggung mengenai

taklik talak sebagai alasan perceraian.

            Pembuat undang-undang menganggap bahwa perceraian

berdasarkan penjelasan Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan jo. Pasal 19 PP

No.9 Tahun 1975 telah cukup memadai, sesuai dengan jiwa undang-

undang tersebut yang antara lain menganut asas mempersukar terjadinya

perceraian. Sehingga tidak perlu lagi ditambah atau diperluas.

            M. Yahya Harahap dalam karyanya Tinjauan Masalah Perceraian di

Indonesia, juga mengatakan demikian. Dinyatakan bahwa UU Perkawinan

tidak menutup perceraian. Pada saat yang bersamaan undang-undang

juga tidak membuka lebar-lebar pintu perceraian. Oleh karena itu jumlah

perceraian harus dibatasi. Apa yang diatur dalam aturan perundang-

undangan dianggap cukup memadai, mensejajari kebutuhan masyarakat.

Apalagi jika dilihat dari keluwesan Pasal 19 f PP No.9 Tahun 1975, dan

dikaitkan dengan perluasan alasan “melalaikan kewajiban” sebagaimana

yang diatur dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan. Alasan perceraian

yang kita miliki lebih dari cukup. Tidak perlu ditambah, dan memang

alasan perceraian telah ditetapkan oleh undang-undang secara limitatif.

Di liar itu tidak ada lasan yang dapat dipergunakan9.

            Namun bila dicermati dari fakta yang ada saat ini, nampak jelas

bahwa perkara cerai gugat dengan alasan taklik talak yang diterima oleh

8 Mahmoud Syaltut, 1978, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh, terjemahan

Ismuha, Bulan Bintang: Jakarta., hal. 218-219.9 M. Yahya harahap, 1989,Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia, FH-UI: Jakarta.,

hal. 4.

Page 7: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

7

Pengadilan Agama mencapai jumlah yang tidak sedikit, mencapai puluhan

ribu setiap tahunnya.

            Mengenai sikap Pengadilan Agama yang tampaknya telah

membenarkan alasan perceraian di luar undang-undang dapat

dirumuskan beberapa hal:

            Pertama, taklik talak dari segi esensinya sebagai perjanjian yang

digantungkan kepada syarat dengan tujuan utamanya melindungi isteri

dari kemudharatan karena tindakan sewenang-wenang suami,

mempunyai landasan hukum yang kuat, yaitu dalil-dalil dari kitab suci

Alquran dan Hadis.

            Kedua, taklik talak sebagai alasan perceraian telah melembaga

dalam Hukum islam sejak lama, sejak masa sahabat. Sebahagian besar

ulama sepakat tentang sahnya dan sampai sekarang diamalkan oleh

kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, khususnya di Malaysia dan

Indonesia.

            Ketiga, substansi taklik talak yang telah ditetapkan oleh Menteri

Agama RI, dipandang telah cukup memadai, dipandang dari asas Hukum

Islam ataupun jiwa UU Perkawinan.

            Keempat, di Indonesia lembaga taklik talak secara yuridis formal

telah berlaku sejak zaman penjajahan Belanda, berdasarkan Staatblaad

1882 No. 152 sampai sekarang setelah merdeka menjelang

diundangkannya UU Perkawinan bahkan sampai menjelang

diundangkannya UU No.7 Tahun 1989. Sekalipun Staatblad 1882 No. 152

yang memberi landasan yuridis berlakunya hukum taklik talak telah

dicabut dengan UU No.7 Tahun 1989 pada saat sekarang ini dengan

diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam melalui INPRES No.1 Tahun 1991

yang antara lain mengatur juga mengenai taklik talak maka taklik talak

dapat dikategorikan sebagai hukum tertulis.

Page 8: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

8

            Dalam praktik di Pengadilan Agama baik ia sebagai perjanjian atau

pun alasan perceraian, maka hakim secara tegas mempertimbangkannya

dalam putusannya. Hendaknya hakim mempertajam upaya dalam

mengkonstatir, mengkualifisir maupun mengkonstituir perkaranya,

sehingga kecenderungan selama ini untuk menggiring atau mengarahkan

perkara cerai gugat menjadi perkara taklik talak dapat dikurangi.

            Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kiranya ketentuan-ketentuan

mengenai hukum acara dapat dilaksanakan dengan benar, dan ketentuan

sebagaimana dikehendaki oleh Pasal 62 ayat (1) UU No.7 Tahun 1989,

yakni: Segala Penetapan dan Putusan Pengadilan, setelah memuat alasan-

alasan atau dasar-dasarnya, juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari

peraturan-peraturan yang bersangkutan, dapat terpenuhi.

            Atas dasar ini pula penulis berpendapat bahwa taklik talak sebagai

alasan perceraian relevan dan dapat dibenarkan menurut hukum10.

2.4. Rumusan Perjanjian Taklik Talak

            Sebagaimana disinggung di atas, bahwa para ahli hukum Islam

berbeda pendapat dalam pembahasan mengenai taklik talak. Ibn Hazm

berpendapat bahwa dari dua macam bentuk taklik talak, yaitu

taklik qasamy dan taklik syarthi, keduanya tidak sah dan ucapannya tidak

mempunyai akibat apa-apa. Alasannya karena Allah telah mengatur

secara jelas mengenai talak, sedang taklik talak tidak ada tuntunannya

dalam Alquran dan Sunnah11.

            Ada juga yang berpendapat bahwa taklik qasamy yang

mengandung masud, tidak mempunyai akibat jatuhnya talak. Faham ini

dianut di Mesir, dimuat dalam Pasal 2 Undang-Undang Negara tersebut

10 Pada Pasal 116 (g) Bab VI dalam Kompilasi Hukum Islam dikatakan bahwa alasan perceraian adalah suami melanggar taklik talak. Lihat  Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara: Jakarta., hal. 153.

11 Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr: Beirut., hal. 223.

Page 9: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

9

No. 25 Tahun 1929 yang intinya sebagai berikut: Talak tidak tunai terjadi

jika dengan talak tersebut yang dimaksud ialah menyuruh berbuat

sesuatu atau meninggalkannya semata-mata. Ketentuan yang sama juga

dipakai di Sudan sejak tahun 1935, dengam maklumat Syar’i No. 41.

            Jumhur ulama berpendapat bahwa apabila seseorang telah

mentaklikkan talaknya yang dalam wewenangnya dan telah terpenuhi

syarat-syaratnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh mereka masing-

masing, maka taklik itu dianggap sah untuk semua bentuk taklik,

baik  taklik itu mengandung sumpah (qasamy) atau mengandung syarat

biasa. Karena orang yang mentaklikkan talaknya itu tidak menjatuhkan

talaknya pada saat orang itu mengucapkannya, akan tetapi orang itu

menggantungkan talak kepada telah terpenuhinya  syarat yang

terkandung dalam ucapannya12.

            Pendapat jumhur inilah yang dianut oleh Pemerintah Hindia

Belanda di Indonesia, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

Staatblad 1882 No. 152, bahwa Raad Agama berwenang untuk memeriksa

bahwa syarat taklik telah berlaku.

            Setelah Indonesia merdeka rumusan sighat taklik talak ditentukan

oleh Departemen Agama. Tidak lain maksudnya adalah untuk membatasi

agar bentuk sighat taklik talak tidak secara bebas begitu saja diucapkan

oleh suami, juga bertujuan agar terdapat keseimbangan antara hak talak

yang diberikan secara mutlak kepada suami dengan perlindungan

terhadap isteri dari perbuatan kesewenang-wenangan suami.

            Berdasarkan fakta yuridis yang dihimpun dapat diketahui bahwa

sejak tahun 1940 sampai sekarang, rumusan sighat taklik talak telah

mengalami beberapa kali perubahan. Perubahan itu bila diamati, tidak

mengenai unsur-unsur pokoknya, tetapi mengenai volume/kualitas dari

syarat taklik yang bersangkutan serta mengenai besarnya iwadh.

12 Mahmoud Syaltout, Op.Cit., hal. 227.

Page 10: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

10

            Unsur-unsur dimaksud ialah: 1. suami meninggalkan isteri, 2.

Suami tidak memberi nafkah kepada isteri, 3. Suami menyakitti isteri,

atau 4. Suami membiarkan (tidak memedulikan isteri), 5. Isteri tidak

ridha, 6. Isteri mengadukan halnya ke Pengadilan, 7. Pengaduan isteri

diterima oleh Pengadilan, 8. Isteri membayar uang iwadh, 9. Jatuhnya

talak suami satu kepada isteri dan 10. Uang iwadh oleh suami diterimakan

kepada Pengadilan untuk diserahkan kepada pihak ketiga untuk

kepentingan ibadah sosial.13

            Perubahan mengenai kualitas syarat taklik talak yang berlaku di

Indonesia sejak sebelum merdeka (19400 hingga setelah merdeka, yakni

yang ditentukan oleh Departemen Agama, masing-masing pada tahun

1947, 1950, 1956 dan tahun 1975 semakin menunjukkan kualitas yang

lebih sesuai dengan asas syari’i, yakni mempersukar terjadinya

perceraian dan sekaligus melindungi isteri dari perbuatan sewenang-

wenang suami14.

            Perlunya pengaturan sighat taklik secara formal oleh Menteri

Agama adalah dimaksudkan agar relevan dengan asas-asas syar’i tentang

perceraian,  demikian pula agar relevan dengan asas-asas yang

terkandung dengan UU Perkawinan khususnya yang berkaitan dengan

alasan perceraian.

            Oleh karena itu rumusan sighat taklik talak sebagaimana yang

terakhir ditetapkan dalam Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990

juncto sesuai dengan yang dimaksudkan dalam Pasal 46 ayat (2) KHI

dianggap telah memadai dan relevan dengan asas-asas tersebut. Dengan

kata lain (mafhum mukhalafahnya) maka semua bentk taklik talak selain

(di luar) yang ditentukan oleh Departemen Agama/Menteri Agama

seharusnya dianggap tidak pernah terjadi.

13 Arso Sastroadmodjo, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia, Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang: Jakarta., hal. 91.

14 Mohd. Idris Ramulyo, Op.Cit., hal. 119.

Page 11: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

11

2.5 Pengaruh Taklik Talak terhadap Kedudukan Wanita dalam

Rumah Tangga

            Dalam sistem hukum dunia, kompetensi perceraian sepenuhnya

berada di tangan hakim. Pengadilan adalah astu-satunya forum yang

dapat memenuhi permohonan cerai dan mengesahkan pembubaran

mahligai perkawinan. Walaupun dalam hukum Islam diketahui bahwa

hakim sama sekali tidak mempunyai hak menjatuhkan talak terhadap istri

dalam kondisi apapun15.

            Perceraian adalah hak pria, asalkan ia berlaku secara wajar

terhadap istrinya. Perilaku yang wajar dari seorang pria terhadap isterinya

ialah bahwa apabila ia berkehendak untuk hidup bersama isterinya, maka

ia harus mengurusinya dengan sepatutnya, menghormati hak-hak

isterinya, dan berlaku kasih sayang terhadapnya. Apabila tidak ada jalan

baginya untuk meneruskan kehidupan bersama isterinya itu maka ia

harus secara sopan dan ramah menceraikannya.

            Kenyataan di lapangan terlihat banyaknya perceraian yang

disebabkan kelalaian suami terhadap isteri dalam hal pengurusan,

pemberian nafkah, dan penghargaan terhadap wanita16. Dalam hal inilah

tampak akan fungsi taklik talak yang mengikat pertanggungjawaban

suami terhadap isterinya.

            Dari satu sisi suami akan lebih konsisten dan bertanggungjawab

terhadap kelangsunan rumah tangga dan di sisi lain isteri akan lebih

dihargai. Pelanggaran suami terhadap hal-hal yang termaktub dalam

15 Islam tidak mengekang wanita, tetapi memberi kesempatan untuk menuntut talak di hadapan hakim seandainya ia merasakan penderitaan yang sangat berat dan tidak bisa hidup dalam naungan suami. Ia boleh meminta cerai atas dasar penderitaan ini dan hakim harus membuktikan dan menyelidiki perkaranya. Lihat Ibrahim Muhammad al-Jamal,1995,  Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II, Pustaka Amani: Jakarta., hal. 311.

16 Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum, Cetakan I, PT Bina Aksara: Jakarta, hal. 10.

Page 12: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

12

sighat taklik talak sudah merupakan alasan bagi istri untuk mengajukan

keberatan dan menuntut dijatuhkannya talak.

            Walau masih terdapat beberapa pendapat yang kontradiktif

terhadap keberadaan taklik saat ini, namun pengaruhnya terhadap

penghargaan terhadap wanita dalam rumah tangga lebih besar.

            Menurut Abdul Karim Amrullah, lembaga taklik talak dapat

menolong wanita dari perbuatan kesewenang-wenangan laki-laki.

Sebagaimana dahulu banyak terjadi di daerah Minangkabau, banyak

perempuan yang terkatung-katung, tidak pernah begaul dan tidak pernah

diberi nafkah oleh suami, tetapi tidak pula diceraikan.

            Apabila mereka mengadu ke Pengadilan, mereja justru disalahkan

karena sulitnya Hakim Agama mengabulkan gugatan perceraian dari

mereka, padahal mereka benar-benar ditelantarkan oleh suaminya,

kemudian banyak diantara mereka yang murtad, dengan sendirinya

putuslah nikah dengan suaminya. Oleh karena itu pada tahun 1916, untuk

membebaskan perempuan dari laki-laki yang tidak bertanggungjawab,

atas usul beliau di daerah Minangkabau diberlakukan taklik talak17.

            Mahmoud Syaltout dalam buku Perbandingan Mazhab menjelaskan

bahwa para ahli hukum Islam berpendapat bahwa perjanjian taklik talak

adalah jalan terbaik dalam melindungi kaum wanita dari perbuatan tidak

baik dari pihak suami. Sekiranya seorang suami telah mengadakan

perjanjian taklik talak, ketika akad nikah dilaksanakan dan bentuk

perjanjian itu telah disepakati bersama, maka perjanjian taklik talak itu

dianggap sah untuk semua bentuk taklik. Apabila suami melanggar

perjanjian yang telah disepakati itu maka isteri dapat meminta cerai

kepada hakim yang telah ditunjuk oleh pihak yang berwenang18.

17 Hamka, 1981, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat: Jakarta., hal. 7118 Daniel S. Lev, Op.Cit., hal 4.

Page 13: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

13

            Untuk itulah maka sesuai dan menurut kemaslahatan bagi suami

maupun isteri, eksistensi taklik talak sangatlah penting19. Murtadha

Muthahhari mengilustrasikan perceraian yang wajar dan normal ibarat

suatu kelahiran yang normal, yang berlangsung sendirinya secara normal,

tetapi perceraian dari seorang suami yang tidak mau melaksanakan

kewajibannya dan tidak mau pula menceraikan isterinya ibarat suatu

kelahiran yang tidak alami dan tidak normal, dimana diperlukan seorang

dokter atau ahli bedah (hakim)20.

BAB III

PENUTUP

            Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahawa

keberadaan taklik talak sangatlah penting. Eksistensi taklik talak yang

19 Murtadha Muthahhari, The Rights of Women in Islam, terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung, 1997, hal. 197.

20 Ibid. 

Page 14: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

14

sudah ditopang oleh kekuatan hukum yang jelas dalam Kompilasi Hukum

Islam serta pengaruhnya terhadap keberadaan wanita menambah

pentingnya arti taklik talak dalam kehidupan rumah tangga.

            Kedudukan wanita akan lebih berarti karena akan terhindar dari

sikap kesewenang-wenangan suami, tanggung jawab suami sebagai

pemimpin rumah tangga akan lebih dihargai dan pada akhirnya tentunya

tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku:

Arso Sastroadmodjo, 1975, Hukum Perkawinan di Indonesia,

Cetakan I, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta.

Page 15: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

15

Daniel S. Lev, 1986, Islamic Court in Indonesia (Peradilan Agama

Islam di Indonesia), terjemahan H. Zaini Ahmad Noeh, Cet.

II., PT. Intermasa, Jakarta.

Hamka, 1981, Tafsir al-Azhar, Juz V, Panji Masyarakat, Jakarta.

Ibrahim Muhammad al-Jamal, 1995, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah (Fiqh

Muslimah), terjemahan Zaid Hussein al-Hamid, Cet. II,

Pustaka Amani, Jakarta.

M. Yahya Harahap, 1989, Tinjauan Masalah Perceraian di Indonesia,

FH-UI, Jakarta.

Mahmoud Syaltut, 1978, Perbandingan Mazhab Dalam Masalah Fiqh,

terjemahan Ismuha, Bulan Bintang, Jakarta.

Moch. Anwar, 1991, Dasar-Dasar Hukum Islam dalam Menetapkan

Keputusan di Pengadilan Agama, CV. Diponegoro, Bandung,

1991.

Moh. Adnan, 1984, Tatacara Islam, Bahasa dan Tulisan Jawa,

Penerbit Mardi Kintoko, Surakarta.

Mohd. Idris Ramulyo, 1996, Hukum Islam Perkawinan (Suatu Analisis

Dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi

Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta.

Murtadha Muthahhari, 1997, The Rights of Women in Islam,

terjemahan M. Hashem, Penerbit Pustaka, Bandung.

Sayyid Sabiq, 1983, Fiqh Sunnah, Jilid III, Dar al-Fikr, Beirut.

Victor Situmorang, 1988, Kedudukan Wanita di Mata Hukum,

Cetakan I, PT Bina Aksara, Jakarta.

Zaini Ahmad Noeh, 1997, Pembacaan Sighat Taklik Thalaq sesudah

Akad Nikah , dalam Mimbar Hukum, No. 30 Tahun VIII.

Page 16: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

16

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Peraturan Menteri Agama No.2 Tahun 1990

C. Majalah, jurnal, laporan

Buku Laporan Kementerian Agama 1956.

Mimbar Hukum, No. 23 Tahun VI, 1995.

TUGAS MANDIRI

FILOSOFI TAKLIK TALAK DAN PENGARUHNYA TERHADAP

KEDUDUKAN WANITA DALAM RUMAH TANGGA

D O S E N P E N G A M P U:Drs. ABDULLAH SULAIMAN, M.Hum

Page 17: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

17

MATA KULIAH

FILSAFAT HUKUM ISLAM

DISUSUN OLEH:

NAMA : YUDI HARDIYANTO

NPM : 121020008

KELAS : A/B REGULER

PROGRAM PASCA SARJANA ILMU HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM RIAU

2012

DAFTAR ISI

Page 18: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

18

HALAMAN JUDULKATA PENGANTAR DAFTAR ISIBAB I PENDAHULUAN.................................................................1

1.1 Latar Belakang Masalah ....................................................................2

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................2

1.3 Tujuan Penulisan ...............................................................................2

1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................2

BAB II PEMBAHASAN..................................................................3

2.1 Pengertian Taklik Talak .....................................................................3

2.2 Sejarah Taklik Talak di Indonesia ......................................................3

2.3 Eksistensi Taklik Talak .......................................................................5

2.4 Rumusan Perjanjian Taklik Talak .......................................................8

2.5 Pengaruh Taklik Talak terhadap Kedudukan Wanita dalam Rumah Tangga ...................................................................................................10

BAB III PENUTUP......................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................14

KATA PENGANTAR

Page 19: Filsafat Hukum ISlam tentang Taklik Talak

19

Segala puji kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan tugas mandiri matakuliah Filsafat Hukum Islam dengan

judul Filosofi Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap Kedudukan

Wanita Dalam Rumah Tangga ini dengan baik dan sesuai dengan

waktu yang telah ditentukan.

Dalam penulisan makalah ini, penulis banyak mendapat bantuan,

dorongan dan pengarahan dari banyak pihak, karena itu penulis

mengucapkan banyak terimakasih yang tidak terhingga kepada semua

pihak yang telah berperan dan membantu dalam penyelesaian tugas

makalah ini.

Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan dengan

adanya penulisan makalah seperti ini, dapat kita pelajari tentang Filosofi

Taklik Talak dan Pengaruhnya Terhadap Kedudukan Wanita Dalam Rumah

Tangga untuk kepentingan proses belajar kita terutama dalam bidang

kajian Filsafat Hukum Islam. Semoga segala yang telah kita kerjakan

merupakan bimbingan yang lurus dari Yang Maha Kuasa.

Dalam penyusunan tugas ini tentu jauh dari sempurna, oleh karena

itu segala kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan dan

penyempurnaan tugas ini dan untuk pelajaran bagi kita semua dalam

pembuatan tugas-tugas yang lain di masa mendatang. Semoga dengan

adanya tugas ini kita dapat belajar bersama demi kemajuan kita dan

kemajuan ilmu pengetahuan.

Pekanbaru, 06 Desember

2012

Penulis

YUDI HARDIYANTO