problem based learning immunology

152
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Penyakit Autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmune tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk. Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon immun untuk melawan substansi tersebut dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi karena kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya. pSebenarnya apa terjadi, mengapa system imun yang terlalu aktif menyebabkan imunitas tidak mengenali bagian dari dirinya, sehingga terjadi penyerangan-penyerangan oleh system immune? 1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang autoimunitas dan dampaknya bagi pertahanan tubuh, penyakit yang berkaitan, gejala klinis dan penatalaksanaannya. 1.3 SASARAN PEMBELAJARAN Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui tentang: 1. Autoimunitas secara umum 2. Penyakit-penyakit autoimun 3. Menentukan WD dan DD berdasarkan skenario 1 1

Upload: dota-2

Post on 29-Jan-2016

273 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

dsa

TRANSCRIPT

Page 1: Problem Based Learning Immunology

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Penyakit Autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmune tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk.

Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon immun untuk melawan substansi tersebut dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi karena kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya.pSebenarnya apa terjadi, mengapa system imun yang terlalu aktif menyebabkan imunitas tidak mengenali bagian dari dirinya, sehingga terjadi penyerangan-penyerangan oleh system immune?

1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang autoimunitas dan dampaknya bagi pertahanan tubuh, penyakit yang berkaitan, gejala klinis dan penatalaksanaannya.

1.3 SASARAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui tentang:

1. Autoimunitas secara umum2. Penyakit-penyakit autoimun3. Menentukan WD dan DD berdasarkan skenario 1

1

Page 2: Problem Based Learning Immunology

BAB IIANALISA MASALAH

2.1 SKENARIOSeorang wanita, 20 tahun, datang dengan keluhan timbul kemerahan pada wajahnya

setelah piknik ke pantai 5 hari yang lalu. Kemerahan itu menetap dan tidak hilang sampai sekarang. Sering mengeluh kaku pada sendi kaki dan tangan, terutama di pagi hari. Kekakuan berkurang menjelang siang. Tidak ada riwayat sakit sendi rematik sebelumnya dan tidak juga ada pada keluarga. Berat badan menurun daam 2 bulan terakhir. Mulut lukam tidak bisa makan.

2.2 KATA SULIT-

2.3 KATA/KALIMAT KUNCI

1. Wanita, 20 tahun2. Kemerahan pada wajah, 5 hari yang lalu.3. Kemerahan menetap, tidak hilang sampai sekarang4. Kaku pada sendi tangan dan kaki, pagi hari.5. Kaku berkurang menjelang siang.6. Tidak ada riwayat rematik.7. Berat badan menurun, 2 bulan terakhir.8. Mulut luka, tidak bisa makan.

2

Page 3: Problem Based Learning Immunology

2.4 MIND MAP

3

AUTOIMUNITAS

DEFINISI AUTOIMUNITAS PENYAKIT

AUTOIMUNITAS

DEFINISI

ETIOLOGI

PATOMEKANISME

TANDA

DAN GEJA

LA KLIN

ISPENATALAKSANAAN

SKENARIO

WD DD

Page 4: Problem Based Learning Immunology

2.5 PERTANYAAN

1. Jelaskan autoimunitas secara umum!2. Jelaskan penyakit-penyakit autoimun!

a. SLE e. Addison i. Sklerodermab. Miastenia Gravis f. Polimeositis j. Dermatomiositisc. Arthritis Rheumatoid g. Hepatitis Autoimun k. Sindrom Fibriomialgiad. Trombositopenia Autoimun h. Sindrom Sjogren l. Vaskulitis

m. Glomeluronefritis

3. Tentukan WD dan DD berdasarkan skenario!

4

Page 5: Problem Based Learning Immunology

BAB IIIPEMBAHASAN

3.1 Autoimunitas secara umum

Definisi

Autoimunitas adalah respon simun terhadap antigen jaringan sendiri yang

disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan sel

f-tolerance sel B, sel atau keduanya.Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau

gangguan fungs ifisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun.Perbedaan

tersebut adalah penting, oleh karena respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit

atau penyakit yang ditimbulkan mekanisme lain (sepertiinfeksi). 5

Kriteria

Untuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit tertentu,

diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi, seperti halnya postulat Koch untuk

penyakit infeksi mikroorganisme. Ada 6 butir yang diperlukan untuk menentukan

kriteria autoimunitas :

No Kriteria Catatan

1 Autoantibodi atausel T

autoreaktif dengan

spesifitas untuk organ

yang terkena

ditemukan pada

penyakit

Kriteria ditemukan pada kebanyakan penyakit

endokrin autoimun. Lebih sulit ditemukan pada

antigen sasaran yang tidak diketahui seperti pada AR.

Auto antibody ilebih mudah ditemukan dibandingkan

sel T autoreaktif, tetapi auto antibody dapat juga

ditemukan pada beberapa subjek normal.

2 Auto antibody dan

atau sel T ditemukan

di jaringan dengan

cedera

Benar pada beberapa penyakit endokrin, LES dan

beberapa glomerulonephritis

3 Ambang auto antibody

atau respons sel T

menggambarkan

aktivitas penyakit

Hanya ditemukan pada penyakit auto imun sistemik

akut dengan kerusakan jaringan progresif cepat seperti

pada LES, vaskulitis sistemik atau penyakit anti

glomerulus membrane basal

5

Page 6: Problem Based Learning Immunology

4 Penurunan respons

auto imun memberikan

perbaikan penyakit

Keuntungan imuno supresi terlihat pada beberapa

penyakit, terbanyak imuno supresan tidak spesifik dan

berupa anti inflamasi

5 Transfer antibody

atausel T ke pejamu

sekunder

menimbulkan penyakit

auto imun pada

resipien

Ditemukan pada model hewan. Pada manusia dengan

transfer transplasental antibody IgG auto reaktif

selama kehamilan trimester terakhir dan dengan

timbulnya penyakit auto imun pada resipien transplant

sumsum tulang bila donor memiliki penyakit autoimun

6. Imunisasi dengan auto

antigen dan kemudian

induksi respons

autoimun

menimbulkan

penyakit.

Banyak protein sel menginduksi respons autoimun

pada hewan bila disuntikan ajuvan yang benar. Lebih

sulit dibuktikan pada manusia, tetapi imunisasi rabies

dengan jaringan otak mamalia yang terinfeksi (tidak

infeksius) dapat menimbulkan ensefalomielitis

autoimun. 5

Bukti terbaik adanya auto imunitas pada manusia adalah transfer pasif IgG melalui plasenta yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga. Hal ini dapat menerangkan terjadinya penyakit auto imun sementara pada janin dan neonates :

Penyakit yang dapat di indukai IgG dan dapat ditransfer melalui plasenta

Antibody maternal yang berperan

Penyakit yang diinduksipadaneonatus

Hormon yang merangsangtiroid Penyakit Grave NeonatusMolekuladhesi membrane basal epidermal

Pemfigoid Neonatus

Sel darah merah Anemia hemolitikTrombosit TrombositopeniaReseptor asetilkolin Miastenia gravis neonatesRo dan La Lupus kulit neonates dan heart block

kongenital komplit 5

Faktor Imun yang Berperan

A. Sequestered antigen

6

Page 7: Problem Based Learning Immunology

Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya,

tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari system imun.Inflamasi (sekunder oleh

infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat menjadikan auto antigen Sequestered

antigen terpajan dengan system imun. Protein lensa intraocular, sperma, dan MBP

dapat memacu terjadinya uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi. MBP

yang dilepas oleh infeksi virus dan meningkat pada kerusakan sawar darah – otak

akan mengaktifkan sel B dan T yang imuno kompeten dan menimbulkan ensifalo

mielitis. Inflamasi jaringan dapat pula mengubah struktur self antigen yang

membentuk determinan baru dan memicu reaksi autoimun. 5

B. Gangguan presentasi

Pasca infeksi dapat terjadi gangguan presentasi antigen, peningkatan respons

MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguanresponsterhadap IL-

2. Pada kegagalan sel Th atauTr, sel Th dapat diaktifkan dan menimbulkan auto

imunitas. 5

C. Ekspresi MHC-II yang tidakbenar

Sel β pancreas pada penderita dengan IDDM mengekspresikan kadar tinggi

MHC-I dan MHC-II, sedang subjek sehat sel β mengekspresikan MHC-I yang lebih

sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Sama halnya dengan sel

kelenjar tiroid pada penderita Grave mengekspresikan MHC-II pada membrane.

Ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan

pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptide yang berasal dari sel β atau

tiroid dan mengaktifkan sel β atau Tc atau Th1 terhadap self antigen. 5

D. Aktivasisel B poliklonal

Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus

(EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang

menimbulkan autoimunitas. Sel B tersebut membentuk berbagai jenis Autoantibodi. 5

E. Peran CD4 danreseptor MHC

Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifikasi.

Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama

pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE di timbulkan oleh Th1 CD4 yang spesifik

7

Page 8: Problem Based Learning Immunology

untuk antigen.Penyakit dapat dipindahkan dari hewan yang satu ke yang lain melalui

sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP atau PLP atau sel lain dari klon sel T asal

hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibody anti CD4. Sel T mengenal antigen

melalui TCR dan MHC serta peptide antigenic. Untuk seseorang menjadi rentan

terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen

sel sendiri. 5

F. Keseimbangan Th1-Th2

Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4.

Ternyata keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1

menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak

hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progress penyakit.

Pada EAE sitokin Th1 (IL-2, TNF-α dan IFN-γ) ditemukan dalam SSP dengan kadar

tertinggi padapenyakit. 5

G. Sitokin

Beberapa mekanisme kontrol melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya

adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis

sitokin dan inhibitornya. Ekspresi sitokin yang berlebihan dapat berdampak terhadap

penyakit autoimun.5

Faktor Lingkungan yang Berperan

Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba, hormon,

radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.

A. Virus

Virus adeno dan koksaki A9, B2, B4, B6 sering berhubungan dengan poliartritis,

pleuritis, myalgia, ruamkulit, faringitis, miokarditis dan leukositosis.Respon

autoimunitas terhadap virus HCV adalah multifactorial.Resolusi HCV terjadi pada

penderita dengan respons antibody yang cepat dan infeksi cenderung menjadi kronis

pada penderita dengan respons antibody yang lambat. 5

B. Bakteri

8

Page 9: Problem Based Learning Immunology

Antigen patogen tertentu memiliki determinan dengan kemiripan yang bereaksi

silang dengan antigen self sehingga respons imun terhadap determinan tersebut dapat

menimbulkan sel efektor atau antibody yang bereaksiterhadapnya. 5

C. Hormon

Penyakit autoimunitas lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pria.LES

ditemukan 10x lebih banyak pada wanita dibanding pria.Puncak awitan penyakit AI

terbanyak ditemukan pada periode reproduksi, estrogen di duga merupakan pemicu.

Kadar prolactin yang timbul tiba-tiba setelah kehamilan cenderung menimbulkan

penyakit autoimunitas seperti RA. 5

D. Obat

Beberapa obat dapat menginduksi produksi ANA dan anti-DNA, tetapi jarang

disertai LES klinis.Sejumlah obat dihubungkan dengan ANCA.Kebanyakan kasus

adalah ringan, membaik dan antibody menghilang bila obat yang menimbulkannya

dihentikan. 5

E. Sinar UV

Pajanan dengan radiasi ultraviolet diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit

dan kadang LES. Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas

self antigen yang meningkatkan imunogenitas. 5

F. Oksigen Radikal Bebas

Bentuk lain darikerusakanfisisdapatmengubahimunogenitasself

antigenterutamakerusakan self molekulolehradikalbebasoksigen yang

menimbulkansebagian proses inflamasi. 5

G. Logam

Berbagai logam dapat menimbulkan ekspresi autoantibody dan penyakit

autoimunitas. Salah satu bentuk yang sudah banyak diteliti antara lain adalah silikon.

Inhalasi debu silikon di lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan silicosis. Silica

dapat pula memacu produksi ANA, RF, gejala LES atau sindrom sklerodema dengan

endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis local. 5

9

Page 10: Problem Based Learning Immunology

3.2 A. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)

Definsi

SLE adalah suatu penyakit autoimun multisystem dengan manifestasi dan sifat

yang sangat berubah- ubah. Secara klinis, SLE merupakan suatu penyakit kambuhan,

dan sulit diperkirakan dengan awal manifestasi yang akut atau tersamar yang

sebenarnya dapat menyerang setiap organ tubuh; namun penyakit ini terutama

menyerang kulit, ginjal, membrane serosa, sendi dan jantung.

SLE adalah penyakit yang cukup lazim; prevalensinya dalam populasi tertentu kira- 1

kasus per 2500 orang. Sebagian besar penyakit ini terjadi pada perempuan (kira-kira

9:1). Penyakit tersebut lebih umum menyerang orang kulit hitam Amerika.34

Etiologi

Kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan mempertahankan tolerensi

diri. Akibatnya, terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak

jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.

1. Stres

2. Cahaya matahari

3. Infeksi

4. Faktor genetik

Bukti yang mendukung kecenderungan genetik terjadinya SLE mempunyai beberapa

bentuk diantaranya :

Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik versus kembar

dizigotik (1% hingga 3%). Anggota keluarga mempunyai resiko yang meningkat

untuk menderita SLE, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara

klinis tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibody.

Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat hubungan positif antara

SLE dan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.

Beberapa pasien lupus (sekitar 6%) mengalami defesiensi komponen komplemen

yang diturunkan. Kekurangan komplemen mungkin akan mengganggu pembersihan

10

Page 11: Problem Based Learning Immunology

kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan

jejas jaringan.

5. Faktor Nongenetik

Contoh yang paling jelas dari faktor nongenetik (misalnya, lingkungan).

6. Faktor Imunologis 35

Patofisiologi

Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat

terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang

berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-

faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya

terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar

termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ),

isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan

kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-

obatan.

Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan

terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan

kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang

selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan

menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan

hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T

autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang

memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih

belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar

ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama

terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan

non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk

agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel

11

Page 12: Problem Based Learning Immunology

ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-

spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).

Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar

dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ

dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini

menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya

reaksi radang.

Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi

yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang

resisten.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak

dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,

penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis.17

Tanda dan Gejala Klinis

Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 4 kriteria

sebagaimana t ercantum di bawah ini, yaitu :

Kriteria BATASAN

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol,

pada daerah malar dan

cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.

Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan

sumbatan folikular. Pada SLE

lanjut dapat ditemukan parut atrofi.

Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal

terhadap sinar matahari, baik

dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh

dokter pemeriksa.

Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak

nyeri dan dilihat oleh dokter

pemeriksa.

Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau

12

Page 13: Problem Based Learning Immunology

lebih sendi perifer, ditandai oleh

nyeri tekan, bengkak atau efusi

Serositis

Pleuritis

Perikarditis

a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc fric!

on rub yang didengar oleh dokter

pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.

Atau

b. Terbukti dengan rekaman EKG atau

pericardial fric! on rub atau terdapat

bukti efusi perikardium.

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari

atau >3+ bila tidak dilakukan

pemeriksaan kuantitatif

atau

b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder

eritrosit, hemoglobin, granular,

tubular atau campuran.

Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-

obatan atau gangguan metabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-

seimbangan elektrolit).

atau

b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-

obatan atau gangguan metabolik

(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-

seimbangan elektrolit).

Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis

atau

b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih

atau

c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali

pemeriksaan atau lebih

13

Page 14: Problem Based Learning Immunology

atau

d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa

disebabkan oleh obat-obatan

Gangguan imunologik a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA

dengan titer yang abnormal

atau

b. Anti -Sm: terdapatnya antibodi terhadap

antigen nuklear Sm

atau

c. Temuan positif terhadap anti bodi anti

fosfolipid yang didasarkan atas:

1) kadar serum anti bodi anti kardiolipin

abnormal baik IgG atau IgM,

2) Tes lupus anti koagulan positif

menggunakan metoda standard, atau

3) hasil tes serologi positif palsu terhadap

sifilis sekurang-kurangnya

selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test

imobilisasi Treponema

pallidum atau tes fluoresensi absorpsi anti

bodi treponema.

Anti bodi anti nuklear positif

(ANA)

Titer abnormal dari anti bodi anti -nuklear

berdasarkan pemeriksaan

imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat

pada setiap kurun waktu perjalan penyakit

tanpa keterlibatan obat yang diketahui

berhubungan

dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.17

Penatalaksanaan

Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi 

remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.

Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada

manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum

14

Page 15: Problem Based Learning Immunology

digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-

Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker

(imunosupresan). Selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon,

imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi

sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat

digunakan untuk mengobati SLE ringan. Obat antimalaria seperti klorokuin dan

hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi SLE dengan lesi kulit berbentuk

cakram. Apabila terdapat pasien dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak

memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi

kortikosteroid.

Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.

Pengobatan yang diberikan harus rasional, yakni memenuhi kriteria 4T 1W (Tepat

Indikasi, Tepat Dosis dan Cara Pengunaan, Tepat Pasien, Tepat Obat). Perawatan

pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV

terhadap tubuh pasien. Dengan adanya pengobatan dan perawatan yang tepat dan

benar selama masa terapi, diharapkan terapi dapat berjalan optimum sehingga kualitas

hidup pasien dapat ditingkatkan. 17

B. Miastenia Gravis

Definisi

Miastenia gravis merupakan penyakit yang disebabkan oleh blockade

neuromuscular secara imunologis. Biasa mengenai orang usia 20-40 tahun dengan

progresivitas kelemahan yang fluktuasi, mengenai terutama otot ocular, otot bulbus

dan otot tungkai proksimal. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria.

Lebih dari 90% penderita mempunyai antibody terhadap protein reseptor asetilkolin

yang mengikat pada reseptor post- sinaptik dan memblok transmisi saraf.34

Patofisiologi

Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,

maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin

akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan

bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini

15

Page 16: Problem Based Learning Immunology

menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba

menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir

(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran

otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang

sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan

kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi,

astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.

Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas

dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada

membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena

kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar

sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat

dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung

oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena

dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan

kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan

belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada

kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita

hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.

Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila

otot dipergunakan terus-menerus.

Pembuktian etiologi autotoimunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa

kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati

kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur

timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat

germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.18

Manifestasi Klinis

Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi

reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini

sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi

penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.

16

Page 17: Problem Based Learning Immunology

Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan

sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat

gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas

tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20%

penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.

Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang

menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral.

Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia

(paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang

sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.

Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga

boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.

Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot

okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan

memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator

palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak

normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan

melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata

saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan

kematian.

Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada

pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat

LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-

otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika

pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan

pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang

menggantung. Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut

sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan

dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi

otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk

lagi.Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan

akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan

17

Page 18: Problem Based Learning Immunology

lendir. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat

dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih

atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:

1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama

siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.

2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan

infeksi yang disertai diare dan demam.

3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka

berada dalam keadaan tegang.

4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu

obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.19

Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan

fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis.

Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai

timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes

diagnostik sebagai berikut:

1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin

Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna

untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita

miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi

ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.

2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)

Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan

lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak

ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka

kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.

18

Page 19: Problem Based Learning Immunology

3. Tes tensilon (edrofonium klorida)

Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat

apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau

hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya

miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka

disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan

kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis,

lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya

kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika

diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia

gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik

mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya

ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan

keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor

pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom

miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang

kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan

pemeriksaan EMG.

4. Foto dada

Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat

apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.

5. Tes Wartenberg

Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.

Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua

mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena

menunjukkan ptosis.

6. Tes prostigmin

19

Page 20: Problem Based Learning Immunology

Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan

intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang

dan tenaga membaik.19

Terapi

1. Antikolinesterase

Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin

bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat.

Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan,

neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg

per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian

atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat dari kekuatan dan daya tahan semula.

Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan

IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi

parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,

lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek

samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian

propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari

bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga

dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena

neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini

dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek

smping tersebut.

2. Steroid

Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis,

dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari

efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10

mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai

dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis

mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat

diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek

20

Page 21: Problem Based Learning Immunology

samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.

Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis

maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh

dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus

dihindari.

3. Azatioprin

Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang

baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa

gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan

dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan

pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium

dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan

azatioprin sangat dianjurkan.

4. Timektomi

Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi

dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita

beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase

sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi

dengan fisioterapi dan antibiotik.

5. Plasmaferesis

Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50

ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.

Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imunosupresan akan

sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas

bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu

hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik

karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi

tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 19

C. RA (Rheumatoid Arthritis)

21

Page 22: Problem Based Learning Immunology

Definisi

RA (Rheumatoid Arthritis) adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian secara simetris mengalami peradangan kronis (biasanya mengenai sendi-sendi kecil ditangan dan kaki), sehingga terjadi pembengkakan, timbul rasa nyeri, serta seringkali pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan kelainan bentuk sendi.37

Etiologi

Rheumatoid artritis terjadi karena sistem kekebalan tubuh menyerang selaput yang melapisi sendi (reaksi autoimun), sehingga terjadi peradangan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan dan tulang yang menyusun sendi. Umumnya, sendi akan mengalami perubahan bentuk dan kesegarisannya.

Penyebab terjadinya gangguan ini belum diketahui secara pasti, tetapi berbagai factor (termasuk kecenderungan genetic) bias mempengaruhi terjadinya reaksi autoimun. Factor genetic bias membuat seseorang lebih rentan terhadap berbagai factor lingkungan yang mungkin memicu timbulnya penyakit (misalnya infeksi virus atau bakteri tertentu).

Beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya rheumatoid artritis antara lain :

- Jenis kelamin, rheumatoid artritis lebih cenderung terjadi pada wanita dibandingkan pria.

- Usia, reummatoid artritis bias terjadi pada berbagai usia, tetapi paling sering terjadi antara usia 40-60 tahun.

- Riwayat keluarga, jika terdapat anggota keluarga yang terkena rheumatoid artritis, maka risiko terjadinya penyakit lebih tinggi.37

Patogenesis

Hipotesis terbaik saat ini mengenai pathogenesis artritis rheumatoid meliputi inisiasi oleh antigen artritogenik yang mungkin berupa suatu agen microbial pada pejamu yang rentan secara imunogenetik. Sesudah jejas inisial terjadi reaksi autoimun yang berkelanjutan dengan sel-sel T (CD4+) yang melepaskan sitokin dan mediator inflamasi yang pada akhirnya akan menghancurkan sendi.

Korelasi dengan HLA-DRB1 menunjukkan adanya kerentanan genetic.

Mikroba pemicu yang pasti tidak diketahui tetapi virus Epstein-Barr merupakan tersangka utama. Agen penyebab lainnya seperti retrovirus, mikobakteria, Borrelia dan Mycoplasma juga dicurigai sebagai pemicu reaksi autoimun tersebut.

Begitu sinovitis inflamatorik dimulai, reaksi autoimun akan terjadi: sel-sel CD4+

diaktifkan dengan pelepasan banyak sitokin, khususnya IL1 dan TNF-α. Sel-sel ini di dalam sendi akan memediasi proses lisis kartilago sendi, memulai sinovitis inflamatorik dan menstimulasi resorpsi tulang juksta-artikular.

22

Page 23: Problem Based Learning Immunology

Autoantibodi dihasilkan dan sebagian di antaranya merupakan autoantibodi terhadap immunoglobulin G (IgG) autolog.

Autoantibodi terhadap bagian Fc dari IgG autolog disebut factor rheumatoid (biasanya autoantibodi ini berupa IgM tetapi kadang-kadang IgG, IgA atau IgE).

Factor rheumatoid turut memberikan kontribusi pada pathogenesis artritis rheumatoid dan menunjukkan bahwa respon humoral juga berperan penting pada penyakit ini. 37

Tanda dan gejala15

Sendi-sendi membengkak, terasa hangat dan nyeri

Kekakuan sendi pada pagi hari (saat bangun tidur) yang bisa berlangsung selama beberapa jam.

Benjolan-benjolan keras pada jaringan di bawah kulit di lengan (nodul rheumatoid)

Kelelahan, demam, dan penurunan berat badan

Rheumatoid artritis awalnya cenderung mengenai sendi-sendi kecil, terutama sendi-sendi yang menghubungkan jari-jari ke tangan dan kaki. Seiring dengan berjalannya penyakit, gejala seringkali menyebar ke lutut, pergelangan kaki, siku, pinggul, dan bahu. Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala muncul pada sendi yang sama pada kedua sisi tubuh. Keparahan penyaki mungkin bervariasi. Tanda dan gejala yang terjadi juga bisa hilang timbul.

Rheumatoid artritis pada tangan menyebabkan penderita kesulitan untuk mengerjakan tugas sehari-hari, seperti membuka knob pintu dan membuka tutup botol. Rheumatoid artritis pada sendi-sendi kecil di kaki menyebabkan penderita merasa sakit untuk berjalan, terutama pada pagi hari setelah bangun tidur.

Peradangan kronis bisa menyebabkan kerusakan pada jaringan, termasuk tulang rawan dan tulang, sehingga bisa terjadi kelainan bentuk dan gangguan fungsi sendi yang terkena. Sendi bisa mengalami kontraktur sehingga tidak dapat diregangkan atau digerakkan sepenuhnya. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok kea rah kelingking, sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.

Pemeriksaan laboratorium15

LED sangat tinggi

Anemi

Pemeriksaan radiologi15

Ruang sendi menyempit

Pemeriksaan khusus15

Factor rheumatoid serum positif

23

Page 24: Problem Based Learning Immunology

ANA test

HLA DR-4

Analisis cairan synovia

Penatalaksanaan15

a. Terapi umum

Istirahat

Diet

Medikamentosa

Obat pertama:

- NSAID

- Kortikosteroid

Obat alternatif:

- DMARD

Obat remitif

- Klorokin

- Salazopirin

D. Purpura Trombositopenia Autoimun

Definisi

Idiopathic (Autoimmune) thrombocytopenic purpura (ITP/ATP) merupakan

kelainan autoimun akibat adanya pengikatan trombosit oleh autoantibodi sehingga

menyebabkan destruksi trombosit secara dini oleh sistem retikuloendotelium yang

mengakibatkan trombositopenia (Purwanto, 2009).

Manifestasi klinik

Perjalanan klinik purpura yang disertai trombositopenia autoimun (Idiopatik, ITP) dapat bersifat akut atau kronik. Bentuk akut biasanya ditemukan pada anak-anak setelah penyakit virus dan membaik pada sebagian besar kasus. Bentuk yang kronis paling sering terjadi pada orang dewasa, wanita lebih sering terkena daripada pria. ITP orang dewasa bermula secara perlahan-lahan dan jarang mereda secara spontan. Penyebab tampaknya adalah suatu antibody yang diarahkan terhadap antigen yang berhubungan dengan trombosit.20

Diagnosis

24

Page 25: Problem Based Learning Immunology

Diagnosis ditegakkan bila ditemukan trombositopenia dan aspirasi sumsum tulang memperlihatkan hiperplasia megakariositik, sering disertai peningkatan ukuran megakariosit. Penyebab konsumsi trombosit lainnya (misalnya pembekuan intravascular diseminata, purpura trombositopenik trombotik, sindroma uremic hemolitik) atau pengumpulan trombosit (misalnya splenomegali) harus disingkirkan. 20

Terapi

A. Kortikosteroid adalah terapi baris pertama pada pasien dengan ITP kronis. Prednisone, 60-100 mg/hari secara oral, harus diberikan selama 2 minggu penuh. Jika akan terdapat respons yang baik (hitung trombosit > 100.000/µL), ini terjadi dalam 2 minggu pertama terapi pada lebih 90% kasus. Bila hitung trombosit lebih dari 100.000/µL, cobalah untuk menyapih pasien dari kortikosteroid selama 2 sampai 3 bulan.

B. Splenektomi dilakukan pada pasien yang tidak dapat diatasi dengan kortikosteroid, atau yang tidak dapat disapih dari kosteroid dan hitung trombositnya tetap lebih besar dari 100.000/ µL. splenektomi berhasil mempertahankan hitung trombosit lebih dari 100.000/ µL pada sepertiga sampai separuh pasien ini. Kortikosteroid harus dilanjutkan selama waktu ini dan perlahan-lahan dikurangi selama 2 bulan. Sampai setengah dari pasien ini mungkin masih memerlukan terapi kortikosteroid untuk mempertahankan hitung trombosit yang memadai setelah splenektomi.

C. Terapi imunosupresif dapat dipertimbangkan jika splenoktomi tidak berhasil. Berbagai jenis obat, termasuk azatioprin, vinkristin, dan vinblastine, telah digunakan. Infus globulin gamma berhasil meningkatkan hitung trombosit pada anak-anak penderita ITP. Tetapi, seperti halnya obat imunosupresif yang lain, kemampuanya untuk mendukung hitung trombosit pada orang dewasa hanya bersifat marginal. Obat imunosupresif hanya digunakan bagi pasien yang gagal dengan terapi kortikosteroid dan splenektomi. 20

E. Penyakit Addison

Definisi

Kegagalan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone dalam jumlah yang

adekuat sehingga akan mempengaruhi kerja tubuh dalam menekan dan meregulasi

tekanan darah serta mengatur keseimbangan air dan garam.28

Etiologi

1.Prosesautoimun

Penyakit Addison karena proses autoimundidapatkanpada 75% daripenderita.

Secarahistologiktidakdidapatkan 3 lapisankorteks adrenal, tampakbercak-bercak

fibrosis dan infiltrasilimfositkorteksadrenal .Pada serum penderitadidapatkanantibodi

25

Page 26: Problem Based Learning Immunology

adrenal yang dapatdiperiksadengancara Coons test, ANA test,

sertaterdapatpeningkatanimunoglobulinG.

2.Tuberkulosis

Kerusakankelenjar Adrenal akibattuberkulosisdidapatkanpada 21% dari

penderita .Tampak daerah nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan

serbukan sel-sel limfosit, kadang kadang dapat dijumpai tuberkel serta kalsifikasi

Seringkali didapatkan proses tuberkulosis yang aktif pada organ-organ lain, misalnya

tuberculosis paru, tuberculosis genito-urinari, tuberculosis vertebrata (Pott s disease),

hati, limpa serta kelenjar limpa.

3. Infeksi lain

Penyebabkerusakan kelenjar adrenal karenainfeksi yang

lebihjarangialahkarena : histoplasmosis, koksidioidomikosis, serta septicemia karena

kuman stafilokok atau meningokok yang sering menyebabkan perdarahan dan

nekrosis.

4.Bahan-bahan kimia

Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipo fungsi kelenjar adrenal dengan

menghalangi biosintesis yaitu metirapon; sedang yang membloking enzim misalnya

amfenon, amino- glutetimid dll.

5.Iskemia

Embolisasi dan thrombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal, walaupun

hal ini jarang terjadi.

6.Infiltrasi

Hipo fungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor, sarkoidosis,

penyakit amiloid dan hemokromatosis.

7.Perdarahan

Perdarahan korteks adrenal dapat terjadi pada penderita yang mendapat pengobatan

dengan antikoagulan, pascaoperasi tumor adrenal.

8.Lain-lain

Akibat pengobatan radiasi, adrenalektomi bilateral dan kelainan kongenital. 28

Gejala klinik Penyakit Addison kronik

1. Onset keluhan biasanya samar dan tidak khas

2. Hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa sering mendahului seluruh gejala lain

selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

3. Penemuan kulit yang lain seperti vitiligo, di mana paling sering tampak berkaitan

dengan keadaan hiperpigmentasi addison disease idiopatikautoimun. Hal ini karenater

jadi destruk si autoimun terhadapmelanosit.

4. Hampir seluruh pasien mengeluhkan kelemahan progresif, lelah, nafsu makan

kurang, dan kehilangan berat badan.

26

Page 27: Problem Based Learning Immunology

5. Gejala gastrointestinal prominent dapat berupa pening, mualmuntah, dan kadang-

kadang diare. Steatorrhea yang responsive terhadap glukokortikoid telah dilaporkan.

6. Pusing dengan ortostatis karena hipotensiadakalanyadapatmemicusinkop. Hal ini

karena efek kombinasi deplesi volume, kehilangan efek mineral okortikoidaldosteron,

dan kehilangan efek permisif (membolehkan) kortisol dalam meningkatkan efek

vasopresorkatekolamin.

7. Mialgia dan paralisis flasid otot dapat terjadi karena hiperkalemia.

8. Pasien dapat memiliki riwayat menggunakan obat yang diketahui untuk

mempengaruhi fungsi adrenokortikal atau untuk meningkatkan metabolism kortisol.

9. Gejala lain yang dilaporkan meliputi nyeri otot dan sendi, kemampuan indra

pembau ,mengecap, dan mendengar meningkat; dan merasa kurang garam (menjadi

lebihsuka garam).

10. Pasien dengan diabetes yang sebelumnya terkontrol dengan baik, tiba-tiba

mengalami penurunan yang tajam dalam kebutuhan insulin dan mengalami

hipoglikemi karena peningkatan sensitivitas terhadap insulin.

11. Impoten dan penurunan libido dapat terjadi pada pasien laki-laki, terutama pada

mereka denganfungsi testis terganggu atau berada pada batas minimal.

12. Pasien perempuan yang dapat memiliki riwayat amenore karena efek kombinasi

dari kehilangan berat badan dan sakit kronik atau kegagalan ovarium premature

autoimun sekunder. Hiperprolaktinemia yang responsif terhadap steroid dapat

berperan terhadap penurunan fungsi gonad dan amenoretersebut.11

Gejala klinik Penyakit Addison akut

1. Pasien pada krisis adrenal akut sering mengalami mual, muntah dan kolaps

pembuluh darah. Mereka dapat menjadi syok dan tampak sianotik dan kebingungan.

2. Gejala abdominal dapat menyerupai gejala akut abdomen.

3. Pasien dapat mengalami hiperpireksia, dengan temperature dapat mencapai 105o F

atau lebih, dan mungkin pingsan.

4. Pada perdarahan adrenal akut, pasien, biasanya pada pengaturan perawatan akut,

memburuk dengan tiba-tiba pingsan, nyeri abdomen atau pinggang, dan muntah

dengan atau tanpa hiperpireksia. 11

Patofisiologi

Hipo fungsi adrenokortikal menghasilkan penurunan level mineralokortikoid

(aldosteron), glukokortikoid (cortisol), dan androgen. Penurunana ldosteron

menyebabkan kebanyakan cairan dan ketidakseimbanganelektrolit.Secara normal,

aldosteronmendorongpenyerapan Sodium (Na+) dan mengeluarkan potassium (K+).

Penurunan aldosteron menyebabkan peningkatan ekskresi sodium, sehingga hasil dari

27

Page 28: Problem Based Learning Immunology

rantai dari peristiwa tersebut antara lain: ekskresi air meningkat, volume ekstraseluler

menjadi habis (dehidrasi), hipotensi, penurunan kardiak output, dan jantung menjadi

mengecil sebagai hasil berkurangnya beban kerja. Akhirnya, hipotensi menjadi

memberat dan aktivitas kardiovaskular melemah, mengawali kolaps sirkulasi, shock,

dan kematian.Meskipun tubuh mengeluarkan sodium berlebih, ini mempertahankan

kelebihan potassium. Level potassium lebih dari 7 mEq/L hasil pada aritmia,

memungkinkan terjadinya kardiak arrest. Penurunan glukokortikoid menyebabkan

meluasnya gangguan metabolic.Ingat bahwa glukokortikoid memicu glukoneogenesis

dan memiliki efek anti-insulin.Sehingga, ketika glukokortikoid menurun,

glukoneogenesis menurun, sehingga hasilnya hipoglikemia dan penurunan glikogen

hati. Klien menjadi lemah, lelah, anorexia, penurunan BB, mual, dan muntah.

Gangguan emosional dapat terjadi, mulai dari gejala neurosis ringan hingga depressi

berat. Di sampingitu, penurunan glukokortikoid mengurangi resistensi terhadap stress.

Pembedahan, kehamilan, luka, infeksi, atau kehilangan garam karena diaphoresis

berlebih dapat menyebabkan krisi Addison (insufisiensi adrenal akut).Akhirnya,

penurunan kortisol menghasilkan kegagalan untuk menghambat sekresi ACTH dari

pituitary anterior. MSH menstimulasi melanosit epidermal, yang menghasilkan

melanin, pigmen warnagelap. Penurunansekresi ACTH menyebabkan peningkatan

pigmentasi kulit dan membrane mukosa.Sehingga klien denganpenyakit Addison

memiliki peningkatan level ACTH dan warna keperakan atau kecokelatan pun

muncul. Defisiensi androgen gagal untuk menghasilkan beberapa macam gejala pada

laki-laki karena testes menyuplai adekuat jumlah hormone seksual. Namun, pada

perempuan tergantung pada korteks adrenal untuk mensekresi androgen secara

adekuat. Hormone-hormon tersebut disekresi oleh korteks adrenal yang penting bagi

kehidupan. Orang dengan penyakit Addison yang tidak diobati akan berakhir fatal.31

Penatalaksanaan

- Terapi darurat ditujukan untuk mengatasi syok, memulihkan sirkulasi, memberikan

caiaran, pergantian kortikosteroid.

a. Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu dosis

12,5 – 50 mg/hr

b. Hidrokortison (solu – cortef) disuntikan secara IV

c. Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti kortisol

d. Pemberian infuse dekstrose 5% dalam larutan saline

e. Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral

- Pantau tanda-tanda vital.

- Menempatkan klien pada posisi stengah duduk dengan kedua tungkai ditinggikan.

- Hidrokortison disuntikan IV, kemudian IVFD D5% dalam larutan normal saline.

- Kaji stress/keadaan sakit yang menimbulkan serangan akut.

28

Page 29: Problem Based Learning Immunology

- Bila asupan oral (+), IVFD perlahan dikurangi

- Bila kortek.adrenal tidak berfungsi lagi, perlu dilakukan terapi penggantian preparat

kortikosteroid dan mineral okortikoid seumur hidup.29

F. Polymyositis

Definisi

Merupakan penyakit inflamasi otot persisten yang menimbulkan kelemahan

otot rangka dan dapat dikelompokkan sebagai miopati inflamatori kronis.Otot-otot

yang terpengaruh secara khas adalah mereka yang terdekat pada batang tubuh.Ini

berakibat pada kelemahan yang dapat menjadi berat/parah. Polymyositis adalah suatu

penyakit kronis dengan periode-periode dari peningkatan gejala-gejala, yang disebut

flares atau relapses (kekambuhan), dan gejala-gejala minimal atau tidak ada gejala-

gejala, dikenal sebagai remisi-remisi (pengampunan).10

Etiologi

Saat ini, tidak ada penyebab dari polymyositis yang telah diisolasi oleh

peneliti-peneliti ilmiah.Ada indikator-indikator dari kepekaan yang diturunkan

(genetik) yang dapat ditemukan pada beberapa pasien-pasien.Ada bukti yang tidak

langsung dari infeksi oleh suatu virus yang harus diidentifikasi dalam suatu bentuk

dari polymyositis yang adalah terutama resisten pada perawatan, yang disebut

inclusion body myositis.Bentuk ini dari polymyositis didiagnosa oleh seorang ahli

patologi seorang dokter spesialis yang menginterpretasikan penemuan-penemuan

mikroskop dari jaringan otot.Jaringan otot dalam bentuk polymyositis ini

memperlihatkan area-area yang jelas didalam sel-sel otot (disebut vacuoles) ketika

dilihat dibawah pembesaran dari suatu mikroskop.10

Peneliti-peneliti dari Swedia pada pertemuan nasional dari the American College of

Rheumatology pada tahun 2007 melaporkan penemuan-penemuan mereka bahwa sel-

sel T dari sistim imun pada beberapa pasien-pasien polymyositis bereaksi melawan

cytomegalovirus (CMV) dan bahwa antibodi-antibodi yang terdeteksi yang melawan

CMV hadir. Kesimpulan mereka adalah bahwa mungkin ada subsets dari pasien-

pasien yang mengembangkan penyakit mereka, sebagian karena infeksi dengan virus

tertentu ini. 10

Gejala Klinik

29

Page 30: Problem Based Learning Immunology

Polymyositis pada kelompok usia dewasa mempunyai perjalanan klinis yang

kurang lebih serupa, sedangkan pada anak-anak lebih sering onsetnya akut.

Manifestasi klinis dapat dimulai selama atau setelah terjadinya suatu infeksi.Gejala

yang umumnya ditemukan berupa kelemahan otot-otot yang terjadi secara simetris

pada gelang bahu, lengan atas, panggul dan paha.Gejala lain yang dialami adalah

nyeri sendi, dan otot-otot periartikular, sulit menelan, demam, fatigue dan penurunan

berat badan.

Kelemahan otot dapat timbul mendadak atau secara berangsur, dapat memburuk

dalam beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian.Karena lebih sering mengenai

otot proksimal, maka gangguan fungsi yang terjadi berupa menurunnya kemampuan

mengangkat beban, menaiki tangga dan bangkit dari duduk. Jika mengenai otot leher,

makan penderita akan mengalami kesulitan mengangkat kepala. Kelemahan bahu dan

hip menyebabkan penderita harus menggunakan kursi roda atau bahkan terbaring tak

berdaya di tempat tidur. Kerusakan otot proksimal esophagus akan menyebabkan

dysfagiadan bahkan terjadi regugitasi makanan. Namun demikian, oenyakit ini hampir

tidak pernah mengenai otot-otot tangan, kaki dan wajah.Nyeri dan peradangan sendi

terdapat pada 30% penderita yang biasanya berlangsung ringan.

Polymyositis jarang mengenai organ selain organ dalam kecuali larynx dan

pharynx.Namun demikian walaupun jarang dapat pula mengenai jantung dan paru

sehingga mengakibatkan sesak nafas dan batuk.39

Penatalaksanaan

Kortikosteroid merupakan obat lini pertama untuk PM dengan dosis 60mg/hari

sampai 2 mg/kgBB prednisone. Perbaikan klinik akan terlihat pada minggu pertama

pengobatan atau bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi kekuatan otot dan kadar

CPK harus dilakukan setiap 3 minggu sekali. Pada minggu ke6, keputusan dosis

steroid harus ditentukan.Bila pada minggu ke6 setelah steroid diberikan tidak

menunjukan perbaikan yang diharapkan, maka dapat ditambahkan azatioprin dengan

dosis 2-3mg/kgBB.Selama pemberian azatioprin harus hati-hati terhadap

kemungkinan efek samping penekanan sumsum tulang dan gangguan fungsi

hati.Metotreksat juga dapat diberikan pada PM baik pada dewasa maupun anak-anak.

39

G. Hepatis Autoimun

30

Page 31: Problem Based Learning Immunology

Adalah suatu hepatitis kronik yang gambaran histologiknya mungkin tidak

dapat dibedakan dengan gambaran hepatitis virus kronik.1 Perjalanan penyakit ini

dapat indolen maupun parah; gambaran penting antara lain adalah sebagai berikut :

a. Pendominasi wanita (78%), terutama wanita muda dan perimenopause. Insidens

per tahun paling tinggi pada orang kulit putih eropa utara sebesar 1,9 per 100.000,

tetapi semua kelompok etnik dapat terkena.

b. Tidak adanya marker serologik virus

c. Meningkatnya kadar IgG dan ɣ-globulin serum (>1,5 kali normal)

d. Tingginya titer autoantibodi serum pada 80% kasus, termasuk antibodi

antinukleus (ANA), anti-otot polos (antismooth muscle, SMA) dan/atau anti-

mikrosom hati/ginjal (anti-LKM1).

e. Tidak adanya antibodi antimitokondria (AMA)

Bentuk-bentuk penyakit autoimun lain terdapat pada hampir 60% pasien hepatitis

autoimun, seperti RA, tiroiditis, sindrom Sjogren, dan kolitis ulseratif. Telah diketahui

beberapa subkelompok hepatitis autoimun, tipe yang tersering, tipe1, memperlihatkan

penanda ANA dan/atau SMA dalam serumnya. Subkelompok 2 pada pasien yang

lebih muda, memperlihatkan antibodi terhadap mikrosom hati/ginjal (anti-

LKM1).Subkalsifikasi semacam ini saat ini belum diketahui maknanya karena tidak

ada perbedaan etiologi atau perbedaan respons terhadap terapi. 1

Pada hepatis autoimun, keseluruhan spectrum histologic hepatitis kronik dapat

ditemukan, berupa infiltrat limfosit dan sel plasma yang mencolok (infiltrate sel

plasma yang mencolok umumnya tidak dijumpai pada bentuk hepatitis lain).

Gambaran klinis hepatis autoimun serupa dengan bentuk lain hepatitis kronik, dan

bahkan dapat berkemang menjadi sirosis tanpa diagnosis klinis. Namun, pasien yang

memperlihatkan gejala, umumnya mengalami kerusakan hati dan pembentukan

jaringan parut yang substansial saat didiagnosis. Hepatitis autoimun dapat

memeperlihatkan gambaran atipikal berupa gejala yang mencerminkan kelainan

sistem organ lain sehingga menyuitkan penegakan diagnosa. Penyakit biasanya akan

memperlihatkan gambaran atipikal berupoa gejala yang mencerminkan kelainan

sistem organ lain sehingga menyulitkan penegakan diagnosa. Penyakit biasanya akan

memperlihatkan gejala akut (40%) dan bias saja terjadi kelainan fulminant berupa

awitan ensefalopati hepatica setelah 8 minggu masa sakit. Pada sejumlah kecil pasien,

31

Page 32: Problem Based Learning Immunology

hepatitis autoimun (berdasarkan kriteria klinis) memperlihatkan kerusakan saluran

empedu (“kolangitis autoimun”) sehingga sulit untuk membedakannya dari sirosis

biliaris primer atau kolangitis sklerotikans primer. 1

Pada penyakit berat yang tidak ditangani, hampir 40% pasien meninggal dalam bulan

setelah didiagnosis, dan sirosis terjadi setidaknya pada 40% pasien yang masih

bertahan hidup. Penyakit ini berespons terhadap terapi imunosupresif, dan pada

penyakit berat, transplantasi hati meberikan prognosis yang sangat baik. 1

Etiologi

Hepatitis non virus disebabkan oleh agen bakteri, cedera oleh fisik atau kimia,

pada prinsipnya penyebab hepatitis terbagi atas infeksi dan bukan infeksi.Hepatitis B

dan C dapat berkembang menjadi sirosis (pengerasan hati), kanker hati dan

komplikasi lainnya yang dapat mengakibatkan kematian.

Dalam masyarakat kita, penyakit hepatitis biasa dikenal sebagai penyakit

kuning.Sebenarnya hepatitis adalah peradangan organ hati (liver) yang disebabkan

oleh berbagai faktor. Faktor penyebab penyakit hepatitis atau sakit kuning ini antara

lain adalah infeksi virus, gangguan metabolisme, konsumsi alkohol, penyakit

autoimun, hasil komplikasi dari penyakit lain, efek samping dari konsumsi obat-

obatan maupun kehadiran parasit dalam organ hati (liver). Salah satu gejala penyakit

hepatitis (hepatitis symptoms) adalah timbulnya warna kuning pada kulit, kuku dan

bagian putih bola mata.Peradangan pada sel hati dapat menyebabkan kerusakan sel-

sel, jaringan, bahkan semua bagian dari organ hati (liver). Jika semua bagian organ

hati (liver) telah mengalami kerusakan maka akan terjadi gagal hati (liver) yang

menyebabkan kematian. 1

Patogenesis

Beberapa agen diperkirakan dapat dianggap sebagai pencetus terjadinya proses

autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus, bakteri, bahan kimia, obat, dan

faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap sebagai pencetus hepatitis

autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D,

herpes simpleks tipe 1 dan virus Epstein-Barr. (Manns, 1995; Manns, 1999)

32

Page 33: Problem Based Learning Immunology

Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan

imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini

menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen

permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).

Pada penyakit berat yang tidak ditangani, hampir 40% pasien meninggal dalam bulan

setelah didiagnosis, dan sirosis terjadi setidaknya pada 40% pasien yang masih

bertahan hidup. Penyakit ini berespons terhadap terapi imunosupresif, dan pada

penyakit berat, transplantasi hati meberikan prognosis yang sangat baik. 1

Gambaran klinis

Hepatitis autoimun memiliki gambaran klinis yang beragam dan adalah

penting untuk mendiagnosisnya pada stadium-stadium awal penyakit ini. Gambaran

awal dapat hanya berupa keluhan lemah dan nyeri sendi namun sebanyak 25% hingga

34% pasien tidak mengeluh apapun saat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin

saja tanpa ditemukan kelainan namun dapat pula ditemukan hepatomegali,

splenomegali, ikterik, dan tanda-tanda dari penyakit hati kronik.8,9, 16

Pemeriksaan laboratorium dan histologik pun dapat memberikan gambaran

yang asimtomatis.9 Umumnya, pasien dengan HAI adalah seorang perempuan, meski

dalam kepustakaan lain disebutkan sering ditemukan pada lelaki.9 Mereka umumnya

memiliki kadar serum aspartate aminotransferase (SGOT) dan alanin

aminotransferase (SGPT) yang abnormal, meningkatnya kadar gamma globulin, dan

gambaran histologik pada biopsi hati berupa interface hepatitis atau sirosis dengan

inflamasi ringan.9, 16

Gambaran lain dari HAI adalah adanya autoantibodi pada sirkulasi darah,

hipergamaglobulinemia, dan perubahan mikroskopis pada jaringan hati berupa

interface hepatitis, infiltrasi sel plasma dan regenerasi sel-sel hati rosettes.32

Tata Laksana Hepatitis Autoimun9

Berdasarkan panduan American Association for The Study of Liver Disease (AASLD,

2002), indikasi terapi pada hepatitis autoimun adalah

33

Page 34: Problem Based Learning Immunology

Terapi seharusnya diberikan pada pasien dengan kadar serum aminotransferae

lebih besar dari 10 kali lipat nilai normal. (Rating I).

Pasien dengan kadar serum aminotransferase sekitar 5 kali lipat nilai normal

disertai adanya peningkatan kadar serum -globulin level minimal dua kali dari

nilai normal harus diberikan terapi (Rating I).

Gambaran histologik berupa bridging necrosis atau nekrosis multiasinar

kompleks. (Rating I)

Pasien yang tidak memenuhi kriteria dari rekomendasi 1 sampai 3 di atas, terapi

bersifat individual. Adanya hepatitis interface tanpa bridging necrosis atau

multiacinar necrosis dari pemeriksaan histologi tidak serta membutuhkan terapi

(Rating, III).

Dikenal dua regimen terapi HAI yakni pemberian prednisone tunggal atau kombinasi

prednisone dengan azathioprin (Tabel 4). Kedua regimen ini memberikan perubahan

klinis, laboratorium, dan histologik yang sama. Penggunaan kombinasi lebih

didasarkan pertimbangan untuk menghindari komplikasi efek samping kortikosteroid

dosis tinggi. 1

  Tabel 4.Regimen Terapi HAI pada Dewasa.

 

Prednison Saja

(mg/hari)

Kombinasi

Prednison

(mg/hari)

Azathioprin

(mg/hari)

Minggu ke-1 60 30 50

Minggu ke-2 40 20 50

Minggu ke-3 30 15 50

Minggu ke-4 30 15 50

Pemeliharaan

hingga target

akhir

20 10 50

Alasan untuk

Pemberian

Sitopenia Postmenopause  

  Defisiensi Tiopurin

metiltransferase

Osteoporosis  

34

Page 35: Problem Based Learning Immunology

 

Prednison Saja

(mg/hari)

Kombinasi

Prednison

(mg/hari)

Azathioprin

(mg/hari)

  Kehamilan Diabetes  

  Keganasan Obesitas  

  Jangka Pendek (< 6 bulan) Acne  

    Hipertensi  

Czaja AJ, Freese DK. Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis. Hepatology

2002;(36):2:480-497

Target Terapi

Terapi pada HAI terus diberikan hingga tercapai keadaan remisi, gagal terapi,

respon tidak lengkap ataupun toksisitas obat (Tabel 5). Sembilan puluh persen pasien

akan mengalami perbaikan pada kadar serum aminotransferase, bilirubin dan gamma

globulin dalam dua minggu. Jarang yang mengalami remisi kurang dari 12 bulan, dan

peluang remisi selama terapi berkurang setelah dua tahun.

Tabel 5.Target Terapi Hepatitis Autoimun

Target Akhir Terapi Kriteria Tindak Lanjut

Remisi Menghilangnya gejala Taperring perlahan prednison

dalam 6 minggu

  Kadar serum bilirubin dan gamma

globulin normal

Menghentikan pemberian

azathioprin

  Kadar aminotransferase serum

normal atau kurang dari 2 kali

normal

Pemantauan teratur terhadap

relaps

  Jaringan hati normal/ inflamasi

minimal, tidak ada interface

hepatitis

Gagal Terapi Perburukan gejala klinis,

laboratorium, dan gambaran

Prednison, 60 mg perhari atau

prednison 30 mg perhari, dan

35

Page 36: Problem Based Learning Immunology

histologik meski berobat teratur azathioprin 150 mg per hari,

minimal satu bulan

  Peningkatan serum transaminase

sebesar 67%.

Pengurangan dosis tiap bulan

dimana ada perbaikan hingga

tercapai dosis pemeliharaan  Munculnya ikterik, asites, atau

ensefalopati hepatikum

Respon tidak

sempurna

Sedikit atau tidak ada perbaikan

gambaran klinis, laboratorium dan

gambaran histologik selama terapi

Gagal mencapai remisi setelah 3

tahun

Tidak ada perburukan kondisi

Pengurangan dosis hingga

serendah mungkin untuk

mencegah perburukan

Terapi indefinite

Toksikasi Obat Munculnya perubahan kosmetik

yang tidak dapat ditolerir,

osteopeni simtomatik, emosi labil,

hipertensi tidak terkontrol,

diabetes atau sitopenia yang

progresif

Pengurangan dosis atau

menghentikan obat tersangka

tergantung dari beratnya gejala

efek samping

Pemeliharaan dengan dosis yang

disesuaikan

Dikutip dari Czaja AJ, Freese DK. Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis.

Hepatology 2002;(36):2:480-497

Efek Samping Obat

Pemantauan efek samping obat sangat diperlukan mengingat pasien akan

diberikan terapi imunosupresi jangka panjang. Delapan puluh persen akan mengalami

perubahan dari segi kosmetik, seperti wajah membulat, jerawat, pembentukan dorsal

hump dan obesitas, umumnya terjadi setelah pemberian kortikosteroid dua tahun.

Komplikasi lainnya yang sering dilaporkan adalah osteoporosis, kompresi vertebral,

diabetes, katarak, hipertensi, biasanya muncul setelah terapi berkesinambungan

selama 18 bulan dan pada dosis prednison lebih dari 10 mg per hari. Umumnya,

36

Page 37: Problem Based Learning Immunology

alasan untuk menghentikan terapi adalah perubahan kosmetik dan obesitas (47%),

osteopenia dan kompresi vertebral (27%).

Komplikasi penggunaan azathioprin adalah hepatitis kolestatik, penyakit vena-

oklusif, pankreatitis, mual, muntah, kemerahan, dan supresi sumsum tulang.Efek

samping ini muncul pada 10% pasien yang menerima azathioprin 50mg per

hari.Keluhan ini biasanya membaik dengan mengurangi dosis atau menghentikan

obat.

H. Sindrom Sjogren1

Adalah suatu penyakit kronik yang ditandai oleh mata kering

(keratokonjungtivitis ska) dan mulut kering (xerostomia) akibat kerusakan kelenjar

lakrimalis dan liur yang diperantarai oleh sistem imun. Penyakit ini dapat timbul

sebagai kelainan tersendiri (bentuk primer), juga dikenal sebagai sindrom sika, atau

(yang lebih sering) berkaitan dengan penyakit autoimun lain (bentuk sekunder). Di

antara berbagai penyakit terkait, RA adalah yang tersering.Akan tetapi, sebagian

pasien juga mengidap SLE, polimiositis, scleroderma, vaskulitis, oenyakit jaringan

ikat campuran (mixed connective tussye disease), atau tiroiditis.

Etiologi dan Patogenesis.

Penurunan air mata dan air liur (sindrom sika) yang khas ini terjadi akibat

infiltrasi limfosit dan fibrosis di kelenjar lakrimalis dan liur. Infiltrat terutama

mengandung sel T penolong CD4+ aktif dan beberapa sel B, termasuk sel plasma

yang mengeluarkan antibodi secara local. Sekitar 75% pasien memiliki faktor

rheumatoid tanpa memandang ada tidaknya RA.ANA terdekteksi pada 50% sampai

80% pasien.Sejumlah antibodi spesifik-organ dan nonspesifik-organ juga dapat

ditemukan.Namun, yang terpenting adalah antibodi terhadap d ua antigen

ribonukleoprotein, yaitu SS-A (Ro) dan SS-B (La), yang dapat di temukan pada

hampir 90% pasien dengan teknik-teknik yang sangat sensitive.Oleh karena itu,

antibodi-antibodi ini dianggap sebagai penanda serologis peyakit.Pasien dengan titer

antibodi terhadap SS-A yang tinggi lebih besar kemungkinannya memperlihatkan

awitan dini, durasi penyakit yang lebih lama, dan kelainan di luar kelenjar, seperti

vaskulitis kulit dan nefritis.Autoantibodi-autoantibodi ini juga terdapat pada sejumlah

kecil pasien SLE dan karenanya, tidak diagnostic untuk sindrom Sjogren.

37

Page 38: Problem Based Learning Immunology

Seperti pada penyakit autoimun lainnya, sindrom Sjogren memperlihatkan

keterkaitan, meskipun lemah, dengan alel-alel HLA tertentu.Studi-studi terhadap

pasien berkulit putih dan hitam mengisyaratkan keterikatan bentuk primer dengan

lokus HLA-B8, HLA-DR3, dan DRW52 serta HLA-DQA1 dan HLA-DQB1.Pada

pasien dengan antibodi anti-SS-A atau anti-SS-B, sering ditemukan alel spesifik

HLA-DQA-1 dan HLA-DQB1.Hal ini mengisyaratkan bahwa, seperti pada SLE,

pewarisan molekul kelas II tertentu mempermudah terbentuknya autoantibodi

tertentu.

Banyak autoantibodi yang dijumpai, tetapi tidak ada bukti bahwa antiboodi-

antibodi ini menjadi kausa primer cedera jaringan. Sindrom sjogren kemungkinan

besar dipicu oleh sel T CD4+ .Analisis molecular terhadap reseptor sel T dari sel-sel

T CD4+ yang menginfiltrasi jaringan menunjukkan bahwa sebagian dari sel T

tersebut berplorifeasi secara klonal, yang mengisyaratkan adanya stimulasi akibat

rangsangan antigen. Sifat autoantigen (-autoantigen) yang dikenali oleh sel-sel T ini

masih misterius. Kandidat autoantigen antara lain adalah suatu protein sitoskeleton

yang disebut α-fordin. Akan tetapi, peran α-fordin pada timbulnya penyakit masih

belum dipastikan.

Mekanisme terpicunya reaksi autoimun masih belum diketahui.Banyak

perhatian diarahkan pada virus sebagai kemungkinan etiologinya.Terdapat beberapa

bukti tidak-langsung yang mengakibatkan EBV, virus tersangka, dan virus hepatitis C

sebagai penyebab sindrom Sjogren.Selain itu, sejumlah kecil pasien yang terinfeksi

oleh human T-cell lymphotropic virus tipe I (HTLV-I) memperlihatkan gambaran

klinis dan patologis yang hampir identik dengan yang dijumpai pada sindrom

sjogren.Apakah virus-virus ini juga berperan pada pathogenesis sindrom jogren pada

pasien yang tidak memperlihatkan manifestasi infeksi virus-virus itu, masih belum

sepenuhnya jelas.

Gambaran klinis.

Sindrom sjogren paling sering terjadi pada wanita berusia lanjut, biasanya usia

antara 50 dan 60. Seperti yang telah diperkirakan, gejala-gejala timbul akibat

kerusakan inflamatori kelenjar-elenjar eksokrin.Keratokonjungtivitas menyebabkan

penglihatan kabur, rasa terbakar, dan gatal serta sekresi kental yang menumpuk di

kantung konjungtivita.Xerostomia menimbulkan kesulitan untuk menelan makanan

38

Page 39: Problem Based Learning Immunology

padat, penurunan kemampuan mengecap rasa, fisura dan retakan di mulut, serta

keringnya mukosa pipi.Pembesaran kelenjar parotis dijumpai pada separuh pasien;

kekeringan mukosa hidung, epistaksis, bronchitis berulang, dan pneumonitis juga

dapat dijumpai.Manifestasi kelainan di luar kelenjar ditemukan pada sepertiga pasien

dan mencakup sinovitis, fibrosis paru difus, neuropati perifer. Sekitar 60% pasien juga

mengidap penyakit autoimun lain, sperti RA, dan pasien-pasien ini juga

memperlihatkan gejala dan tanda penyakit tersebut.

Kombinasi peradangan kelenjar liur dan lakrimalis dahulu disebut penyakit

mikulicz. Namun, nama ini skerang diganti oleh sindrom Mukulicz, yang diperluas

untuk mencakup pembesaran kelenjar lakrimalis dan liur oleh sebab apapun.

Sarkoidosis, leukemia, limforma, dan tumor lain juga dapat menyebabkan sindorm

Mikulicz. Jadi, biopsy bibir (untuk memeriksa kelenjar liur minor) esensial untuk

menegakan diagnosis sindrom Sjogren.

Kelenjar limfe pada pasien sindrom Sjogren tidak saja memperlihatkan

pembesaran, tetapi juga infiltrate pleomorfik sel-sel dengan banyak gambara mitosis.

Pada stadium awal penyakit, sel-sel B, yang mungki berespon terhadap beberapa

autoantigen, bersifat poliklonal.Namun, limfoma non-Hodgkin, terutama tipe sel B,

pernah dilaporkan timbul di kelenjar liur dan kelenjar limfe beberapa

pasien.Diperkirakan bahwa pengaktifan sel B poliklonal di dalam kelenjar liur dan

limfe mempermudah timbulnya populasi sel B monoclonal neoplastic.Tumor-tumor

ini disebut sebagai limfoma zona marginal.

Penatalaksanaan Sindrom Sjogren

Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi

kelenjar dimata dan mulut dan manifestasi ektraglandular.Prinsipnya hanyalah

simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.

Mata

Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet

untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari.44, 46 Lubrikasi pada mata kering

dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata

kering.Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air mata pengganti bisa

39

Page 40: Problem Based Learning Immunology

diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar.Tetes mata yang

mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.

Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat

muskarinik reseptor.Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu

golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12

minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali sehari.

Mulut

Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan

pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi

mulut.Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat

untuk mengatasinya.

Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang

kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan digunakan sugar-free

lozenges, cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang

masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol,

sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur topikal. 44, 46

Ektraglandular

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin

digunakan untuk atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1

mg/kgBB/hari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk

mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus intersisial lung disease,

glomerulonefritis, vaskulitis.42, 44

Tabel 7.Obat Yang Digunakan Untuk Terapi Sindrom Sjogren 8

40

Page 41: Problem Based Learning Immunology

Obat Yang Digunakan Untuk Terapi Sindrom Sjogren

1. Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin)

Digunakan untuk terapi sicca symptoms karena merangsang reseptor M1 dan

M3 pada kelenjer ludah sehinggameningkatkan fungsi sekresi.8. Suatu penelitian

pasien Sindrom Sjogren yangditerapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu

terdapat perbaikankeluhan. Sementara itu penelitian lain menggunakan Cevimelin

dengan dosis 3 x15 mg/30 mg selama 6 minggu juga dapat memperbaiki keluhan.14

Sedangkan penelitian di Loannina.Greece pada 29 pasie SS yang mendapat Pilokarpin

2 x 5 mg selama 12 minggu juga terdapat perbaikan keluhan.33

Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang diterapi

dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat perbaikan

keluhan mata dan mulut kering.15 Pilokarpin dapat meningkatkan produksi kelenjer

saliva dan mata. Efek samping pilokarpin berupa keringat yang berlebih, diare, rasa

panas dikulit terutama disekitar wajah dan leher, nyeri otot, ingusan dan gangguan

penglihatan.33

2. Agen Biologik

41

Page 42: Problem Based Learning Immunology

Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang

diterapi dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6 terdapat

perbaikan keluhan. 33

Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien

sindrom sjogren primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut

kering. 33

3.Terapi lain

Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolon

secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS. Hidroksiklorokuin yang

digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk penyakit autoimun dan dari

penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer dapat meningkatkan produksi

kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan.14, 33

Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis

400 mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat

perbaikan keluhan.33

I. SKLERODERMA

Definisi

Skleroderma merupakan penyakit yang kompleks, dimana terjadinya perluasan proses fibrosis, perubahan vaskularisasi dan autoimun terhadap berbagai antigen merupakan ciri-ciri yang utama, skleroderma juga terbagi dalam dua bentuk: skleroderma lokalisata dan skeleroderma sistemik. Sebuah penyakit yang jarang terjadi dengan penyebab yang belum diketahui, dimana proses pengerasan dapat terlihat di kulit, biasanya muncul setelah terjadi infeksi tetapi juga muncul pda penyakit diabetes dan akan hilang secara spontan dalam rentang waktu bulan atau tahun. Didapatkan asam mukopoli-sakarida di dalam dermisSkleroderma lokalisata adalah bentuk skleroderma yang menyerang kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan keras, seringkali mempunyai halo ungu di sekitarnya. Penyakit ini dimulai dengan stadium inisial yang inflamatorik, kemudian memasuki fase sklerodermatik.Skleroderma sistemik mirip skleroderma lokalisata, penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya, ditandai oleh fibrosis kulit, penyakit ini kemudian menyerang paru-paru, traktus gastrointestinal, ginjal dan jantung. Kerusakan sel endotel di pembuluh darah mengakibatkan fibrosis dan sklerosis pada organ yang dikhawatirkan.

42

Page 43: Problem Based Learning Immunology

Gb. 1. A,B. Difusi kutan pada sklerosis sistemik. Kulit sklerosis pada sklerosis sistemik difusi kutan melebar sampai proksimal siku dan lutut, dan sering meliputi dada dan dinding abdominal. Kontraktur jarigan lunak yang berat dapat terjadi, dan ulserasi, khususnya ada bidang ekstensor. Sklerosis kulit terparah pada 18 bulan pertama dari penyakit ini. Fenomena Raynaund dapat terjadi setelah onset dari kulit berubah.

Gb. 2. Gambaran sklerosis lokalisata yang menunjukkan perubahan pada wajah yang terlihat seperti topeng, tidak dapat membuka mulut, sklerodaktil, dan ulserasi.

Klasifikasi:

Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus

terbatas (80% kasus).

1. Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas

bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru

dan jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak

organ dalam, tidak hanya kulit saja.

2. Tipe terbatas menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud,

disfungsi esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya

terbatas pada wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas.

Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri

dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya

lupus sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren

43

Page 44: Problem Based Learning Immunology

Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat

dibagi menjadi dua kelompok yaitu:

1. Skleroderma Lokal

Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa

disertai kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :

a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh

mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan. Fenomena Raynaud

adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang

dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional.

Perubahahspesifik umumnya terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari

kaki, daun telinga, lidah dan hidung.

b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma

pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan

tulang dibawahnya

c. Skeleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana

garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah

frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.

2. Sklerosis sistemik

a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas,

muka dan seluruh tubuh.

b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut

tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma

CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).

c. Sklerosis sistemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan

kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas

untuk sklerosis sistemik.

d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit

otot inflamasi

e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena

Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis

sitemik

Faktor yang mempengaruhi timbulnya Skeleroderma:

a. Faktor Genetik

44

Page 45: Problem Based Learning Immunology

Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang

menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk

systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat

pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan

pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi

imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang

lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah

dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE),

endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte

chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha,

IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya

(connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-

beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).

b. Faktor Lingkungan

Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan

pentingnya faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama

virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat

mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan

antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I

autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit.

Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada

pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan

dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic

hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).

Gejala dan Tanda

Gejala Klinis:

Secara umum Skleroderma mempengaruhi jaringan ikat, terutama pada kulit dan

dinding pembuluh darah, dan, pada tingkat yang lebih rendah, dapat mempengaruhi

hati saluran pencernaan, paru-paru dan ginjal.

Cutaneous symptoms (Gejala pada Kulit):

45

Page 46: Problem Based Learning Immunology

Gejala yang timbu pada kulit, sering dikaitkan atau didahului dengan fenomena

Raynaud dan arthralgias pada jari, hal ini biasanya menjadi tanda-tanda awal

perjalanan penyakit Skeleroderma. Oleh karena itu gejala awal ini dapat membantu

untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.

Tanda:

akumulasi jaringan ikat yang berlebihan

fibrosis

pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler

dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah,

saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung.

Tampilan Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difus

Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan

distal, wajah, progresifitas

lambat

Difus:jari-jari,

ekstremitas,wajah,badan,

progreifitas cepat

Fenomena Raynaud Mendahului keterlibatan

kulit,berhubungan dengan

iskemia

Sejalan dengan

keterlibatan kulit

Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat

Hipertensi arteri

pulmonal

Sering, lambat, mungkin

terisolasi

Dapat terjadi,

berhubungan dengan

fibrosis pulmonal

Krisis renal

Skeleroderma

Sangat jarang 15% terjadi, diawal

Kalsinosis kultis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan

Karakteristik

autoantibody

Antisentomer Antitopoisomerase

46

Page 47: Problem Based Learning Immunology

Gambaran Klinis

Skleroderma lokalisata:

Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosa skleroderma lokalisata, tetapi tes sering dilakukan untuk mengevaluasi tingkat dari inflamasi dan masalah yang terkait dengan skleroderma lokalisata, serta untuk memastikan pasien tidak mempunyai penyakit lain. Biopsi kulit dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis.Gambaran klinis dari skleroderma lokalisata terbagi 5, yaitu:-Morfea soliter (morfea en plaque)

Lesi terdiri atas sebuah bercak sklerotik yang numuler atau sebesar telapak tagan. Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan berkilat seperti lilin. Warna bercak merah kebiru-biruan, kadang-kadang seperti gading dengan halo ungu (violaceus ilia ring). Hal tersebut berarti lesi masi inflamatorik (aktif). Bagian tengan bercak berawarna putih kekuningan seperti gading.Didalam lesi, rambut berkurang, begitu juga respon keringat menurun. Bercak atau plak tersebut keras dan berindurasi, tetapi tidak melekat erat pada jaringan di bawahnya.-Morfea gutata

Bentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bulat yang atrofik. disekitarnya terdapat hal ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi berkelompok, lokalisasi biasanya di dada atau di leher.-Skleroderma linear (Skleroderma en coup de sabre)

Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi atau ekstrimitas. Pada lesi terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea biasa, yang terletak di seuperfisial, maka skleroderma linear menyerang laisan-lapisan kulit dalam.Bila penyakit mulai pada usia dekade pertama atau kedua, maka seringkali disertai deformitas. Yang dapat dijumpai ialah hemi-atrofi dari sebuah ekstrimitas atau wajah, kontraktur di wajah, atau anomali kolumna vertebrata.-Morfea segmental

Bila berada di satu atau lebih ekstrimitas. Disamping ada indurasi, ada atrofi pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon, serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki.-Morfea generalisata

Bentuk tersebut merupakan kombinasi empat bentuk diatas. Morfea tersebar luas dan disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul disabilitas. Lokasi terutama di badan bagian atas, abdomen, bokong, dan tungkai.

Semua bentuk morfea biasanya dalan tiga sampai lima bulan menjadi inaktif, bahkan kemudian menghilang dalam beberapa tahun, kecuali skleroderma linear, yang biasanya makin meluas.

Skleroderma sistemik:

47

Page 48: Problem Based Learning Immunology

American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:

-Kriteria Mayor:Skleroderma proksimal terlihat penebalan, penegangan dan pengerasan kulit

yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstrimitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)-Kriteria Minor: Sklerodaktil: Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada

jari. Pencengkungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada

ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia. Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang reticular

terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor.Satu jenis dari sklerosis sistemik adalah sindrom C.R.E.S.T. Pada skleroderma tipe ini ditemukan:

Calcinosis: Kalsinosis dari kalsium yang terdapat dibawah kulit jari tangan dan kaki.

Raynaud’s phenomenon: Fenomena Raynaud dengan sirkulasi pembuluh darah yang buruk.

Esophagus: Dismotilitas esophagus. Sclerosis: Sklerosis jari tangan dan kaki.

Teleangiectasia:

(a) (b)Gambar 7: (a) Penebalan dan Peregangan kulit pada wajah, (b) Sclerodactyly dengan

48

Page 49: Problem Based Learning Immunology

ulserasi digital; hilangnya lipatan kulit dan kontraktur sendi, rambut jarang.

Gb. 3. Gejala klinis dan pemeriksaan histology pada pasien dengan skleroderma. Panel A memperlihatkan hyperkeratosis di kuku pasien fase edema pada skleroderma lokalisata. Panel B memperlihatkan ulserasi di ujung jari pada pasien skleroderma lokalisata. Panel C memperlihatkan sebuah infiltrate limfohistiositik di sekitar pembuluh darah pada preparat kulit. Pada Panel D, sebuah spesimen biopsy kulit dari pasien dengan skleroderma sistemik memperlihatkan deposisi dari matriks kolagen keluar dari dermis sampai jaringan lemak subkutan. Panel A memperlihatkan penebalan pada pertengahan arteri interlobulus (panah) dan dua arteri yang meruncing (asterisk) di ginjal dari pasien skleroderma. Sebagian gromerulus telah tidak bekerja dan epitel dari tubular mengalami atrofi. Fibrosis dengan infiltrasi sel mononuklear terjadi di interstitium.

Epidemiologi

Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar 19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1. Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.

Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin, trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.

49

Page 50: Problem Based Learning Immunology

Prevalensi di Inggris tahun 2004 ditemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12 diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian di Amerika utara tahun 2003 dan penelitian tahun 2001 di Australia.

Kesimpulan dari studi demografik didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam kerentanan yang terjadi pada populasi.

Etiologi

Untuk skleroderma lokalisata, etiologinya belum diketahui. Tetapi terdapat beberapa faktor familial. Kehamilan dapat menyebabkan presipitasi atau agravasi pada morfea. Ada laporan yang menngabarkan penyakit ini muncul setelah terjadi infeksi, seperti morbili, varisela dan borrelia burgdorferi, ada juga yang menyatakan pemicunya termasuk trauma dari vaksin bacille calmette-guerin (BCG), injeksi vitamin b, terapi radiasi, penisilamin, dan bromokriptin. Tetapi bagaimanapun tidak ada satupun yang merupakan penyebab langsung yang terbukti.Sedangkan sklerosis sistemik ialah penyakit kompleks yang berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan. Tentang faktor genetic, terdapat perbedaan mengenai jenis kelamin. Perbandingan wanita dan pria ialah 2:1 sampai 21:1. Sklerosis sistemik juga berhubungan dengan HLA, misalnya HLA-A1, B8-DR3 atau dengan DR3 dan DR-2, terjadi pula peningkatan pemecahan kromosom. Faktor lingkugan yang diduga berhubungan ialah debu silika, polivinyl klorida, hidrokarbon aromatik. Juga obat-obatan misalnya bleomisisn, pentazokin dan L-triptofon. Adanya faktor pencetus akan menstimulasi sistem imun, baik selular maupun humoral.

Patogenesis

Skleroderma lokalisata:

Epidermis bisa terlihat normal atau menipis dan terjadi atrofi disertai hilangnya rete ridges. Pada awalnya lapisan dermis akan mengalami edema, pembengkakan dan degenerasi dari jaringan kolagen fibril, yang kemudian menjadi homogen dan eosinofilik. Kemungkinan adanya kekurangan infiltrat limfatik pada perivaskular. Infiltrat selular dari limfosit, sel plasma, dan makrofag, dari perivaskular atau difusi, terjadi 84% dalam satu kali proses. Kemudian dermis akan menebal, dengan kolagen yang padat dan beberapa fibroblast yang terlihat. Jaringan elastis akan berkurang. Kulit bagian paling luar, dermis, dan lemak subkutan akan hilang dengan cepat. Beberapa kelenjar keringat mungkin dapat bertahan, jauh di dalam massa sklerosis sistemik sklerotik yang padat. Pembuluh darah dermis akan terlihat menebal. Lebih singkatnya, Inflamasi dapat memicu sel jaringan ikat untuk memproduksi banyak kolagen yang merupakan bagian utama dari banyak jaringan. Kolagen yang berlebihan dapat menyebabkan fibrosis, yang terlihat seperti jaringan parut.

50

Page 51: Problem Based Learning Immunology

Skleroderma sistemik:

Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluatkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B dan CTAP-III. Yang akan menyebabkan proliferasi fibroblast dan sintesis matriks oleh fibroblast. Aktifasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblast dan sintesis matriks. Aspek utama dari penyakit ini termasuk inflamasi pembuluh darah, dan sel yang diproduksi jaringan ikat. Faktor genetik spertinya juga penting seperti penyakit kompleks lainnya. Faktor keturunan yang berperan adalah jenis kelamin, rasio wanita dengan laki-laki adalah 2:1 sampai 20:1, walaupun demikian faktor hormone seks pada patogenesis penyakit ini belum diketahui.

Diagnosis

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl

70) dan antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik.

Selain itu, evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus

dilakukan. Bila keadaan meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.

Gambar 9. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien Skeleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma.

Terdapat beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi

diagnosis atau mengevaluasi keparahan organ-organ tertentu yang dicurigai terkena.

Tes-tes laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:

1. Blood test-Sejumlah tes darah dapat menunjuk kea rah Skeleroderma,

pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :

51

Page 52: Problem Based Learning Immunology

Rheumatoid factor (Rematoid factor)

Erythrocyte sedimentation rate (Laju sedimentasi eritrosit)

Antinuclear antibody (Antinuklear Antibodi)

Skeleroderma antibody (Skleroderma Antibodi)

Anticentromere antibody (Anticentromere Antibodi)

2. Imaging Test- Tes ini dapat memvisualisasikan organ-organ internal untuk

melihat bagaimana penyakit tersebut dapat mempengaruhi organ. Pada area

tertentu dapat dilakukan pemeriksaan menggunkan imaging-test yang dapat dipilih

berdasarkan gejala yang ditimbulkan. Yang termasuk dalam imaging test antara

lain :

Sinar-X :tes yang menggunakan radiasi untuk mengambil gambar dari struktur

di dalam tubuh.

CT Scan :tipe dari x-ray yang menggunakan komputer untuk membuat gambar

dari struktur di dalam tubuh.

MRI Scan :tes yang menggunakan gelombang magnetik untuk membuat

gambar dari struktur di dalam tubuh.

Nailfold capillaroscopy : tes ini memungkinkan kita melihat gambaran dari

nailfold yang diperbesar untuk memeriksa kapiler.

3. Skin Biopsi : Sebuah sampel kecil dari kulit bisa dihapus dan diperiksa di

laboratorium untuk karakteristik tertentu yang menunjukkan skleroderma

Diagnosis Banding

Diagnosis biasanya tidak sulit, perkembangan berbahaya plak yang berbatas tegas dan berbekas di kulit, dengan atau tanpa hemiatrophy, yang mungkin terjadi dalam kondisi lainnya. Jika ada perbatasan berwarna ungu, diagnosis menjadi lebih mudah.. Lesi Morfea terjadi pada sarkoidosis. Lesi dapat mulai sebagai eritema pembuluh darah, dan biasanya mirip dengan naevus makula vaskular. Pada fase akut, kondisi ini harus dibedakan dari scleroedema dari Buschke, tetapi dalam kondisi awal morphoea jauh lebih akut, dan lesi dapat memasuki sebuah fase menular. Lesi hipopigmentasi kadang-kadang sangat sulit untuk didiagnosa, tetapi riwayat bebearapa lesi yang berbatas tegas biasanya membantu dalam menegakkan diagnosis. Lesi atrofi berpigmen menyerupai lesi atrofi Pierini dan Pasini terjadi pada satu pasien dalam satu fase. Lesi yang terdapat pada perut mungkin akan membingungkan dengan apa penyakit centrifugalis infantilis abdominalis lipodystrophia. Plak atrofi morphoea dapat terjadi sebagai hasil dari suntikan intramuskular vitamin K atau suntikan subkutan kortikosteroid.

52

Page 53: Problem Based Learning Immunology

Pada saat kondisi sedang memproduksi pseudoSkeleroderma mungkin harus menjadi pertimbangan dalam mendiagnosis penyakit ini. Melorheostosis adalah suatu kondisi langka di mana ada kelainan abnormal pada tulang dan jaringan lunak yang berdekatan, biasanya terbatas pada satu ekstremitas. Kepadatan tulang endosteal dari tulang panjang yang terlihat pada radiografi, dan marker yang digunakan menyerupai lilin akan mengalir sepanjang tulang yang terinfeksi. Pada anak-anak, presentasi yang biasa terlihat adalah anggota tubuh yang memiliki kontraktur asimetris, dalam kejadiannya memiliki hubungan dengan penebalan kulit dan wajah, dan masalah pembuluh darah distal diperburuk oleh pembedahan masalah ortopedi, termasuk angioma, dan malformasi arteriovenous.

Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhan Skeleroderma.

Obat-obat yang tersedia hanya untuk menyembuhkan atau mengobati gejala.

penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal reflux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterialhypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:Skeleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)

1. Non farmakologi

Makan makanan yang mudah dikunyah dan berprotein tinggi dan banyak

mengandung vitamin. Nikotin harus dihilangkan karena efek vasoconstrictoriy

nya.

"Menjaga tubuh tetap hangat" oleh pakaian pelindung seperti celana hangat,

sarung tangan, kaus kaki dan sepatu. Pemanasan tangan selama lima menit

53

Page 54: Problem Based Learning Immunology

setiap empat jam dalam bak air hangat menyebabkan perbaikan klinis yang

signifikan.

Menghindari paparan zat berbahaya lingkungan seperti silika, ethylens

terklorinasi, pelarut, monomer dari plastik atau obat-obatan tertentu untuk

menghentikan efek mereka pathogenetically progresif.

1. Farmakologi

Terapi ini diarahkan pada:

a. Vaskular sistem

PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)

Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan

penurunan nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous

epoprostenol (Flolan) dan subcutaneous atau intravenous treprostinil

(Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and Drug Administration

(FDA) dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA IV.

Efek prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan

tempat untuk pemberiannya dengan cara inhalasi untuk menghindari efek

sitemiknya. Pemberian Iloprost (Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan

fungsi dan hemodinamik serta menurunkan kecepatan progresifitas penyakit.

Skeleroderma Renal Crisis (SCR)

Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia hemolitik

mikroangiopati pada pasien Skeleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah

dengan ACE inhibitor (kaptopril, 75-150 mg per hari secara oral). Obat ini

tetap dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastis. Jika

diperlukan dapat dilakukan dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid

dan plasmafaresis tidak ada gunanya.

Raynaud’s Phenomenon (RP)

Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan,

penghangat tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-

channel blockers seperti amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi

medikal pertama pada RP. Kalsium channel blockers menghambat penyerapan

kalsium intraseluler dan akibatnya kontraksi sel otot polos pada dinding

pembuluh, yang dimediasi oleh protein kinase tergantung kalsium. Tiga dosis

54

Page 55: Problem Based Learning Immunology

10 mg nifedipin atau nicardipin dapat mengurangi frekuensi dan keparahan

serangan Raynaud. Dosis rendah selective serotonin reuptake inhibitors

(SSRIs) juga digunakan karena dapat menhambat efek agregasi dan aktivasi

trombosit. Diantara SSRI, fluoxetine (Prozac, Symbyax, Sarafem) responnya

baik dalam beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk

RP. Iskemi dan ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara

intermiten serta obat-obatan lain yang dipakai pada PAH.

b. Sistem kekebalan tubuh (radang, immunmodulation, autoimunitas)

Cyclophosphamide

Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk

penyakit paru interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini,

cyclophosphamide meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9%

dibandingkan dengan placebo

Transplantasi Stem Cell autologous

Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell

perifer autologous telah dipertimbangkan untuk Skeleroderma. Berbagai studi

terus menerus dilakukan untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk

dengan CYC dalam penatalaksanaan Skeleroderma

Methotrexate

Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam

Skeleroderma dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar

dibandingkan dengan plasebo. Methotrexate digunakan untuk kasus awal

Skeleroderma dengan Skeleroderma terbatas pada kulit dan muskuloskeletal

sistem, termasuk myositis.

Mofetil Mycophenolate

Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam

penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil

mycophenolate mungkin efektif pada skleroderma.

Corticosteroids

Prednisolon (awalnya: 40-100 mg / hari, dosis pemeliharaan: 10-15 mg / hari)

atau metilprednisolon pada umumnya menghambat peradangan tetapi juga

memberikan suatu efek katabolik pada sintesis kolagen (atrofi). Metil

prednisolon diindikasikan dalam pengobatan inflamasi dari SSC,

sklerodermatomyositis, khususnya pada arthritis, miositis alveolitis, dan

55

Page 56: Problem Based Learning Immunology

vaskulitis. Namun, ada bukti bahwa kortikosteroid (> 15 mg / hari

prednisolon) meningkatkan risiko memicu krisis SSC ginjal. Selain itu,

berbagai signifikan efek samping karena pengobatan jangka panjang

pemeliharaan seperti hipertensi hiperglikemia, osteoporosis , ulserasi peptik,

atrofi otot.

c. Fibrosis

Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam

patofisiologi skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang

terbukti efektif untuk saat ini. Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan

rekombinan relaksin manusia, telah gagal dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi

faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam patogenesis skleroderma

telah mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta. Meskipun

penggunaan anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal aman,

namun bukti klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil

pada skleroderma.

J. Dermatomiositis

Definisi

Merupakan penyakit radang kulit dan otot yang ditandai dengan ruam kulit khas yang

sapat menyertai atau mendahului awitan kelainan otot. Ruam klasik memperlihatkan bentuk

diskolorisasi heliotrope atau seperti warna bunga lilac di kelopak mata atas disertai edema

periorbita.4

Etilogi dan patomekanisme

Penyebab miopati inflamatorik atau dermatosiositis(disertai radang pada kulit) tidak

diketahu penyebabnya, tetapi cedera jaringan tampaknya diperantarai mekanisme imunologis.

Pada dermatomiositis, kapiler merupakan sasaran utama. Pembuluh-pembuluh mikro diserang

oleh antibody komplemen sehingga terbentuk fokus-fokus nekrosis miosit iskemik.

Pengendapan antobodi dan komplemen dikapiler mendahului peradangan dan kerusakan serat

otot. Sel B dan sel T CD4+ terdapat didalam otot, tetapi di daerah otot yang cedera, jumlah

limfositnya sedikit. 4

Tanda dan gejala klinis

Menifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otot yang dapat mengenai sebagian

atau semua otot skelet; timbul akut atau subakut. Paling sering mengenai otot proksimal

56

Page 57: Problem Based Learning Immunology

gelang bahu dang gelang panggul, kadang-kadang juga dapat mengenai otot lain, sehingga

menimbulkan kesulitan mengangkat kepala, berjalan lurus dan sebagainya. Juga ditemukan

kesulitan menelan yang menyebabkan ancaman aspirasi yang dapat mengancam jiwa. Pada

kasus berat semua otot skelet dapat terkena dan menyebabkan pendirita harus diam di tempat

tidur karena tidak dapat bergerak. Gejala sistemik dapat berupa badan lemah, demam,

malaise,anoreksia dan berat badan menurun. Pada kulit akan terdapat ruam heliotrope, yaitu

ruam ungu kemerahan agak bersisik yang dapat ditemukan di daerah periorbital, malar, dahi,

dan lupatan nasolabial. Selain itu juga ditemukan papul Gottron, yaitu papul-papul ungu

kemerahan pada interfalang jari-jari. Di daerah dada dan leher dapat ditemukan ruam

kemerahan yang berkonfluens yang disebut V-sign rash. Pada kuku dapat ditemukan eritema

periungual, pertumbuhan kutikular dan dilatasi lengkung kapiler. Pada sendi juga ditemukan

sinovitis subakut yang mungkin menyerupai gambaran artritis rheumatoid. Pada paru dapat

ditemukan fibrosis paru dan pneumonia interstitial, sedangkan pada saluran cerna dapat

ditemukan disfagia dan enterovaskulitis terutama pada anak-anak. 4

Pemeriksaan penunjang

Kadar SGOT dan SGPT, keratin fosfokinase (CPK) dan aldolase akan meningkat;

laju endap darah akan meningkat(LED) dan C- Reactive Protein (CRP). Didalam urin juga

akan ditemukan peningkatan kadar mioglobulin dan keratin. Pada elektromiografi didapatkan

fibrilasi spontan dan potensial polifasik serta berjangka pendek yang menunjukan adanya

aktifasi inersional. Pada pemeriksaan radiologic akan didapatkan kalsifikasi subkutan,

terutama pada dermamiositisi juvenile yang sangat ekstensif. Pada pemeriksaan

histopatologik akan tampak gambaran nekrosis fokal serabut otot dengan garis-garis serat

melingtang otot menghilang disertai diinfitrasi dan mungkin di fagositosi oleh sel-sel radang

akut dan kronik. Juga tampak infiltrasi sel-sel radang ke daerah perivascular; kadang-kadang

tampak gambaran vaskulitis.

Faktor Autoantibody yang berpengaruh

Autoantibodi Antigen Gambaran Klinis

Anti-PM-Scl Tidak diketahui Miositis, scleroderma,

arthritis

Anti-Ku DNA-binding protein Overlap myositis,

scleroderma-SLE

Anti-KJ Unidentified translation

factor

PM, Pneumonitis

interstitial, fenomena

Raynoud

Anti-Fer Elongation factor 1 alpha Myositis

57

Page 58: Problem Based Learning Immunology

Anti-MJ Tidak diketahui DM Juvenil

Anti-MAS tRNA antigen related Miositis, hepatitis,

rabdomiolisis alcoholic

Anti-U1RNP U1 small nuclear RNP MCTD (Mixed Conective

Tissue Disease)

Anti-sn RNP’s U2-U6 small nuclear

RNP’s

Overlap PM-Skleroderma

Anti-Ro/SSA Protein RNA Miositis dengan sindrom

Sjorgen atau SLE4

Penatalaksanaan

a. Non-farmakologik

Pada fase akut pasien dianjurkan untuk istirahat tirah baring. Gerakan pasif harus

dilakukan selama masa akut untuk mencegah kontraktur. Kontraktur sering terjadi pada

DM juvenile. Setelah fase akut teratasi, pasien harus melakukan latihan aktif, baik latihan

isometric maupun isotonic. Peran fisioterapis sangat penting, tidak hanya untuk

membantu melakukan tes kekuatan otot, tetapi juga dalam membuat perencanaan

program latihan untuk penguat otot. Latihan-latihan tersebut sangat berguna untuk

mencegah atrofi otot dan kontraktur.

b. Farmakologik

Obat lini pertama yaitu pemberian kortikosteroid dengan dosis 60 mg/hari sampai 2

mg/KgBB prednisone. Perbaikan klinik akan terlihat pada minggu pertama pengobatan

atau bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi kekuatan otot dan kadar CPK harus

dilakukan setiap 3 minggu sekali. Pada minggu ke-6, keputusan dosis steroid harus di

tentukan. Bila keadaan pasien membaik, maka dosis awal steroid dipertahankan sampai

kekuatan otot dan kadar CPK kembali normal. Dosis tersebut harus dipertahankan sampai

4-8 minggu kemudian, baru diturunkan secara perlahan, yaitu 10 mg/hari setiap bulan.

Setelah dosis prednisone mencapai 10 mg/hari selama 1 bulan, dosis diturunkan lagi

menjadi 5 mg/hari dan dipertahankan sampai 1 tahun. Bila saat dosis steroid diturunkan

terjadi kekambuhan, maka naikan dosis seperti awal. Bila pada minggu ke-6 setelah

steroid diberikan tidak menunjukkan perbaikan yang diharapkan, maka dapat

ditambahkan azatioprin dengan dosis 2-3 mg/KgBB, dimulai dengan dosis 50 mg, 1

kali/hari. Bila setelah 3 minggu tidak ada perbaikan, dosos azatiopirin dinaikkan menjadi

100 mg/ hari dan dapat dinaikkan lagi sampai dosis 150 mg/ hari. Selama pemberian

azatiopirin harus hati-hati terhadap kemungkinan efek samping penekanan sumsum

tulang belakang dan gangguan fungsi hati. Metotreksat juga dapat diberikan pada

58

Page 59: Problem Based Learning Immunology

penderita dermatomiositis baik pada dewasa maupun anak-anak, dengan dosis awal 7,5

mg/minggu dan dapat dinaikkan sampai 15 mg/minggu bila setelah 4-6 minggu tidak

didapatkan perbaikan yang diharapkan. Siklofosfamid dan sklosporin-A jarang diberikan

pada DM walaupun mungkin memberikan efek yang baik. Siklosporin-A memberikan

hasil yang baik pada miositosis dengan anti-Jo-1 positif dan poliomiositis refrakter. Lesi

kulit pada dermatomiositosis memberikan respon yang baik dengan pemberian

hidroksiklorokuin 200 mg/hari. Terap dengan keganasan. Walaupun demikian,

hidroksiklorokuin tidak berefek terhadap miosistisnya. 4

Prognosis

Harapan hidup 5 tahun pasien Dermatomiositis cukup baik, dapat mencapai 85%

sedangkan pasien yang berhubungan dengan keganasan sangat tergantung pada prognosis

keganasannya. Harapan hidup 5 tahun pasien yang memiliki antibody antiM1-2 positif lebih

baik lagi, dapat mencapai 90%. Prognosis terburuk didapatkan pada pasien yang memiliki

antibody anti-SRP, dimana harapa hidup 5 tahunnya hanya 30%.4

K. Sindroma Fibromialgia

Definisi

Fibromyalgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya nyeri

musculoskeletal kronik yang menyebar luas disertai rasa kelelahan dan ditandai dengan tender

point pada penekanan otot ligament dan insersi tendon dengan penyebaran yang simetris,

kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Sir William Gowers 1904,pertama kali

menggunakan istilah fibromiositis,kini istilah tersebut ternyata kurang tepat. Berbagai nama

lain kemudian berkembang dan dikenal sebagai sinonim dari fibromyalgia : soft tissue

rheumatism, tendomiopati, miogelosis, neuroasthenia, muscular rheumatism, myalgic

encephalomyelitis, dll.40

Fibromialgia bukan merupakan suatu bentuk artritis karena tidak menyebabkan kelainan

sendi, tetapi dapat muncul bersamaan dengan jenis artritis rheumatoid, SLE, ataupun penyakit

jaringan ikat lain. Pada pasien penyakit autoimun didapatkan sebanyak 20-25% disertai

dengan fibromyalgia

Faktor-Faktor yang memperberat/memperingan

Faktor yang memperberat adalah Cuaca dingin dan lembab, tidur yang tidak nyaman,

kelelahan fisik atau mental, aktivitas fisik yang berlebihan dan inaktivitas fisik dan stress

59

Page 60: Problem Based Learning Immunology

Faktor yang memperingan adalah cuaca hangat dan kering, mandi air panas, tidur nyenyak,

dan aktivitas sedang seperti peregangan dan pijat. 40

Epidemiologi

Insiden fibromyalgia diseluruh dunia antara 0,5%-12% dari populasi. Di Amerika

dilaporkan insiden sekitar 3-5%, Denmark 0,66%, Finlandia 0,75%, Swedia 1,0%, Jerman 1,9

%, Afrika Selatan 3,2%, Kanada 3,3%, Norwegia 10,5% dan New Zealand 1,1%.

Fibromyalgia lebih banyak menyerang perempuan dibandingkan laki-laki, dengan rasio 9:1

dan antara umur 20 tahun-60 tahun. Prevalensi fibro- mialgia pada populasi umum di

Amerika Serikat untuk perempuan ialah 3,4%, sedangkan untuk laki-laki 0,5%. Fibromialgia

juga lebih sering ditemukan pada perempuan di atas 50 tahun.

Dari seluruh penyakit musculoskeletal,bahwa insiden di Asia 21-39%, sedang di Negara barat

23%.40

Etiologi

Sampai saat ini etiologi dan pathogenesis fibromyalgia belum diketahui secara pasti.

Benneth (2002) menyatakan bahwa sidnrom fibromyalgia semata-mata adalah kelainan

psikosomatik dan didapatkan sering bersamaan dengan kondisi ko-morbid yang lain seperti

irritable bowel syndrome, hipotensi postural, sakit kepala, migre,dysmenorrhoe dan gangguan

tidur. Gangguan neuroendokrin yang berhubungan dengan hipotalamus, kelenjar hipofisis

anterior dan kelenjar adrenal dikatakan mempunyai peran sebagai fibromyalgia. Faktor

eksogen yang diduga sebagai penyebab antara lain : trauma, infeksi virus, bakteri atau parasit.

Faktor genetic juga mempunyai peran,dimana pasien fibromyalgia sering bersamaan dengan

penyakit atoimun seperti : SLE, AR, dan Sindrom Sjogren. Kebanyakan sasaran penilitian

dipusatkan pada 3 keadaan,yaitu: Gangguan tidur, Perubahan otot, dan Paramaeter psikologi

Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan,1,3,4 namun telah diketahui

bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme,

dan trauma. Fibromialgia juga telah ditemukan pada pasien yang terinfeksi hepatitis C, HIV,

parvovirus B19, dan lyme disease. Pendapat lain menyebutkan kurangnya latihan,

penggunaan otot secara berlebihan, dan perubahan metabolisme otot sebagai kemungkinan

penyebab fibromialgia. 40

Patogenesis dan Hubungan dengan gejala

Meskipun penyebab pasti fibromialgia masih menjadi misteri, secara umum para ahli

sepakat mengenai adanya mekanisme pengolahan input yang tidak normal, khususnya input

60

Page 61: Problem Based Learning Immunology

nyeri (nosiseptif), pada sistem saraf pusat.Pada studi dolorimetri dan pemberian stimuli

seperti panas, dingin dan elektrik, ditemukan ambang rangsang yang rendah pada pasien

fibromialgia. Pasien fibromialgia mempersepsikan stimuli non-nosiseptif sebagai stimuli

nosiseptif serta kurang mampu mentoleransi nyeri yang seharusnya dapat ditoleransi oleh

orang normal.

Beberapa kelainan fisiologik dan biokimia telah ditemukan pada susunan saraf pusat pasien

fibromialgia sehingga fibromialgia tidak lagi dapat disebut sebagai keluhan subjektif.

Kelainan tersebut adalah :

1. Kadar serotonin yang rendah

2. Disfungsi poros hipotalamus hipofisis

3. Kadar hormon pertumbuhan yang rendah

4. Kadar substansi P yang meningkat dan faktor pertumbuhan saraf yang meningkat. 40

Gangguan Tidur (Kadar Serotonin yang Rendah)

Pasien fibromyalgia 90% sering mengalami gangguan tidur. Diduga Growth Hormon

dan prolactin memegang peranan. Defisiensi GH pada orang dewasa dapat dihubungkan

dengan fibromyalgia ini. Sekitar 80% produksi GH dikeluarkan saat tidur pada stage IV yang

didapatkan pada saat tidur yang paling dalam dan hal ini berhubungan dengan intensitas dan

tidur yang cukup. GH juga menyebabkan hati membentuk suatu protein yang disebut

somatomedin atau insulin like growth factor yang paling banyak dikeluarkan pada saat tidur

yang dalam (stage IV). Benneth dkk(1944) mendapatkan kadar somatomedin yang rendah

pada pasien fibromyalgia dibandingkan group control

Prolactin juga dikeluarkan pada saat tidur yang panjang dan dalam dan diduga dapat

meningkatkan efisiensi tidur. Kadar prolactin dijumpai rendah pada pasien fibromyalgia.

Serotonin dan triptopan juga pegang peranan. Triptopan adalah prekusor dari serotonin , suatu

neurotransmitter yang juga berperan dalam regulasi tidur dan jika kadar serotonin rendah

maka dapat meimbulkan insomnia. Serotonin merupakan neurotransmiter yang berperan

dalam tidur, nyeri dan perubahan mood. Serotonin yang disekresikan oleh ujung serat neuron

rafe, dapat menyebabkan perangsangan daerah tertentu dari otak yang kemudian

menyebabkan tidur. Serotonin yang disekresi oleh radiks dorsalis medula spinalis dapat

merangsang sekresi enkefalin yang menimbulkan hambatan presinaptik dan postsinaptik pada

serabut nyeri. Kadar serotonin yang rendah diduga memiliki peran dalam patogenesis

61

Page 62: Problem Based Learning Immunology

fibromialgia yaitu dengan menurunkan efek hambatan pada serabut nyeri. Hal tersebut

diperkuat dengan penemuan bahwa pasien fibromialgia ternyata memiliki kadar serotonin

yang rendah di cairan serebrospinalnya. Bukti lain menunjukkan bahwa obat yang

mempengaruhi serotonin ternyata tidak menunjukkan efek dramatis pada fibromialgia. 40

Disfungsi Poros Hipotalamus Hipofisis

Poros hipotalamus hipofisis berperan penting dalam respons adaptasi terhadap stres.

Pada sistem yang berfungsi normal, hipotalamus mensekresi corticotropin-releasing hormone

(CRH) yang kemudian merangsang sekresi adreno- corticotropic hormone (ACTH) oleh

hipofisis. ACTH kemudian merangsang korteks adrenal mensekresi glukokortikoid yang

berperan dalam respons adaptasi terhadap stres. Regulasi sirkadian sistem poros hipotalamus

hipofisis sebagian dipengaruhi metabolisme serotonin. Disfungsi sistem poros hipotalamus

hipofisis diperkirakan sebagai akibat dari rendahnya kadar serotonin. Sebaliknya, disfungsi

sistem poros hipotalamus hipofisis juga diperkirakan memperburuk abnormalitas kadar

serotonin di sistem saraf pusat. 40

Beberapa kelainan yang dapat ditemukan berkaitan dengan disfungsi sistem poros

hipotalamus hipofisis adalah kadar kortisol 24 jam yang rendah, hilangnya ritme sirkadian

dengan peningkatan kadar kortisol sore hari, hipoglikemia yang diinduksi insulin berkaitan

dengan produksi ACTH yang berlebihan, kadar hormon pertumbuhan yang rendah dan

sekresi glukokortikoid yang rendah.Selain itu ditemukan juga kadar kortisol bebas pada urin

yang rendah, serta berkurangnya respons kortisol terhadap ncorticotropin-re- leasing

hormone pada pasien fibromialgia. 40

Perubahan Otot (Kadar Growth Hormone yang Rendah)

Growth hormone (GH) adalah suatu hormon yang berperan dalam pertumbuhan

karena sifatnya yang meningkatkan sintesis protein, meningkatkan penggunaan lemak untuk

energi, menurunkan pemakaian glukosa untuk energi, dan merangsang pertumbuhan tulang.

Hormon tersebut secara normal disekresi pada tahap 4 dari tidur, sehingga gangguan tidur

diduga dapat menurunkan sekresinya.

Growth hormone juga merupakan suatu peptide anabolic yang menstimulasi peningkatan

sintseis DNA, RNA dan protein yang berguna pada pertumbuhan semua jaringan tubuh pada

orang dewasa memegang peranan penting pada homeostasis otot dalam hal memelihara otot

yang normal dan perbaikannya akibat dari pemakaian sehari-hari dan kerusakan otot.

Pada pasien fibromialgia ditemukan penurunan kadar GH yang penting untuk proses repair

62

Page 63: Problem Based Learning Immunology

otot dan kekuatan, yang diduga diakibatkan oleh gangguan tidur. Pada fibromyalgia juga

didapatkan kontraksi isokinetic dan isometric otot berkurang serta penurunan kapasitas

aerobic otot dan aliran darah otot juga berkurang.Juga ditemukan penurunan kadar ATP dan

ADP serta peningkatan AMP. 40

Faktor Psikologi (Kadar Substansi P yang Meningkat)

Faktor psikologi juga memegang peranan penting yang dapat menimbulkan spasme

otot sehingga muncul symptom fisik seperti nyeri otot, kaku dan pembengkakan jaringan

lunak. Riwayat depresi pada keluarga lebih sering dijumpai pada pasien fibromyalgia

dibandingkan dengan artritis rheumatoid.

Kadar serotonin yang rendah pada pasien fibromyalgia berkorelasi dengan tender point dan

kadar triptopan yang rendah menyebabkan serotonin juga menurun dan mengakibatkan rasa

nyeri persisten yang difus pada pasien. Substansi P adalah neurotransmiter yang dilepaskan

bila akson distimulasi. Peningkatan kadar substansi P meningkatkan sensitivitas saraf

terhadap nyeri. Kadar substansi P yang tinggi menyebabkan stimulus normal dipersepsikan

sebagai stimulus nosiseptif oleh penderita fibromialgia. Kadar substansi P yang meningkat di

cairan cerebrospinal pasien fibromialgia juga mungkin berperan dalam menyebarkan nyeri

otot. Peneliti pada 4 studi yang independen melaporkan kadar substansi P pada pasien

fibromialgia meningkat sampai 2-3 kali kadar pada individu normal.

Selain hal-hal di atas ditemukan juga abnormalitas lain seperti berkurangnya aliran

darah ke talamus, nukleus kaudatus, serta tektum pontine, yang merupakan area signaling,

integrasi, dan modulasi nyeri. Disfungsi saraf otonom diduga juga berperan dalam

fibromialgia, dengan ditemukannya hipotensi ortostatik setelah uji tilt table dan peningkatan

frekuensi denyut jantung istirahat terlentang. Penelitian dalam bidang genetik memperkirakan

adanya peran polimorfisme gen sebagai etiologi fibromialgia. Gen yang diperkirakan

mengalami abnormalitas adalah gen yang mengatur sistem serotonergik, katekolaminergik

dan dopaminergik. 40

KLASIFIKASI 40

Fibromialgia Primer :

Gambaran karakterisitik fibromyalgia tanpa diketahui penyebabnya atau penyakit

yang melatarbelakangi

Fibromialgia sekunder :

63

Page 64: Problem Based Learning Immunology

Gambaran karakteristik fibromyalgia yang diketahui penyebabnya atau penyakit yang

melatarbelakanginya dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain yang erat hubungannya

dengan fibromyalgia dan ditandai dengan hilangnya keluhan fibromyalgia setelah penyakit

primernya teratasi

Fibromialgia Regional atau Terlokalisasi :

Nyeri miofasial yang disertai dengan trigger point biasanya sekunder terhadap strain

otot (pekerjaan berulang) sangat mirip dengan sindrom miofasial local, regional atau spsifik

dan tidak memenuhi syarat kriteria untuk fibromyalgia primer/sekunder

Fibromialgia usia lanjut :

Sama dengan fibromyalgia primer atau sekunder, perlu perhatian khusus terhadap

kemungkinan adanya polymyalgia reumatika, penyakit degenerative atau

neurologic,osteoporosis, penyakit Parkinson, sindrom otak organic atau sindrom kelelahan

pasca penyakit virus

Fibromialgia Juvenille :

Sama dengan fibromilagia primer pada pasien usia muda

Gambaran Klinis 40

Sindrom fibromyalgia menampilkan 4 jenis gambaran klinis yang saling berkaitan,

yaitu:

Gambaran utama, berupa keluhan nyeri musculoskeletal generalisata kronis yang meluas

dan nyeri tekan yang terlokalisir pada otot dan insersi otot dengan tendon. Keluhan ini

97% didapatkan pada penderita fibromyalgia.

Gambaran karakteristik. Berupa keluhan kelelahan( fatique), kaku pada pagi hari

(morning stiffness) dan tidur tidak nyenyak atau terganggu (non refereshed or disturbed

sleep) yang ditemukan pada 75%kasus.

Gambaran umum, bukan merupakan keluhan penting, ditemukan pada 25% pasien.

Keluhan tersebut antara lain : Irritable Bowel Syndrome, fenomena Raynaud, nyeri

kepala, rasa bengkak, aparastesia, psikologik abnormal dan disabilitas fungsi.

Koeksistensi dengan beberapa gangguan reumatik yang gejalanya saling tumpang tindih

dengan sindrom fibromyalgia seperti artritis, nyeri pinggang bawah, nyeri tengkuk dan

64

Page 65: Problem Based Learning Immunology

tendonitis

Ada 3 gejala utama yang dikenal dengan TRIAD Fibromialgia, yaitu :

1. Nyeri musculoskeletal

Lokasi nyeri yang sering dijumpai adalah pada aksial, yaitu di sekeliling bahu, leher dan

belakang bawah (low back). Paling menonjol pada servikal dan lumbal. Sebagian pasien

mengeluh nyeri otot dan rasa lemah, walaupun secara objektif tidak ditemukan kelemahan

otot.

2. Kekakuan (stiffness)

Merupakan gejala umum paling sering dijumpai, seperti pada pasien reumatik lainnya.

Rasa kaku terutama pada pagi hari dan membaik setelah bergerak, walaupun pada pasien

dapat berlangsung selama 3 hari.

3. Kelelahan (fatique)

Keluhan ini erat kaitannya dengan gangguan tidur. Gangguan tidur berupa sering

terbangun malam hari sehingga pasien tidak segar pada saat bangun tidur dan merasa

sangat lelah. Gangguan tidur juga ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap

intensitas nyeri, kelelahan sepanjang hari dan kaku pagi hari.

Dalam riwayat penyakit dapat ditemukan keluhan yang bertambah berat bila kena air

dingin, suara keras, kerja berat, stress mental dan kecemasan.

Riwayat pengobatan menunjukkan pasien mengalami kegagalan dengan aspirin dan obat

antiinflamasi nonsteroid.

Riwayat penyakit yang berhubungan dengan stress misal irritable bowel syndrome,

irritable bladder, tension headache, migren dan dismenorrhoe.

Suatu keadaan yang khas pada pemeriksaan fisik pada Tender Point (titik nyeri). Tender

point dapat dirasakan dengan penekanan menggunakan ibu jari tangan yang setara dengan

beban 4kg.

Penelitian menggunakan dolorimeter menunjukkan bahwa pada lokasi tender point pasien

ini didapatkan ambang nyeri yang lebih rendah dibanding normal.

Tender point tidak hanya dijumpai pada pasien fibromyalgia tetapi pada regional pain

65

Page 66: Problem Based Learning Immunology

syndrome yang mirip dengan fibromyalgia tetapi tanpa disertai dengan kekakuan umum

dan kelelahan. Sindrom ini disebut sindrom miofasial (myofacial pain syndrome). Untuk

membedakan kedua titik tersebut maka titik pada miofasial syndrome disebut dengan

trigger point. Istilah ini digunakan oleh karena penekanan pada titik tersebut akan

menimbulkan nyeri yang disebarkan ke daerah sekitarnya, sedangkan tender point hanya

menimbulkan nyeri local saja

Pemeriksaan laboratorium biasanya hanya memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan

psikologik menunjukkan keluhan ini memburuk bila ada stress. Ada yang beranggapan

fibromilagia merupakan depresi terselubung atau gangguan ansietas yang somatisasi

menonjol dan hipokondria. Pasien fibromialgiayang jelas menunjukkan depresi, ansietas

dan hipokondria umumnya sukar untuk disembuhkan. Hipotesis menyatakan adanya

lingkaran setan antara kejang otot, gangguan tidur, psikologik abnormal.

Diagnosis

Diagnosis fibromialgia dilakukan dengan mengacu pada kriteria ACR 1990, yaitu sebagai

berikut.

1. Riwayat nyeri yang menyebar

Definisi: Nyeri dianggap menyebar jika ada di seluruh lokasi berikut :

Nyeri di sisi kiri tubuh,

Nyeri di sisi kanan tubuh

Nyeri di atas pinggang, dan

Nyeri di bawah pinggang

Nyeri rangka aksial skeletal (nyeri vertebra servikal, dada depan, vertebra thorakalis, atau

low back

2. Nyeri di 11 dari 18 tender points pada palpasi dengan jari

Definisi: Pada palpasi dengan jari, nyeri harus terdapat pada minimal 11 dari 18 situs tender

points di bawah ini.

a. Oksiput : bilateral, di insersi otot suboksipital

b. Servikal bawah : bilateral, di aspek anterior spasium intertransversum di C5 hingga C7

66

Page 67: Problem Based Learning Immunology

c. Trapezius – bilateral, di titik tengah batas atas

d. Supraspinatus – bilateral, di origo, di atas spina scapula dekat batas mediale.

e. Iga kedua – bilateral, di junctio kostokondral kedua, sedikit ke lateral dari persambungan

permukaan atas

f. Epikondilus lateral – bilateral, 2 cm distal dari epikondilus

g. Gluteal – bilateral, di kuadran atas luar dari bokong di lipatan otot anterior

h. Trochanter mayor – bilateral, posterior dari prominensia trochanteri

i. Lutut – bilateral, pada bantalan lemak medial, proksimal dari garis sendi lutut

Palpasi dengan jari dilakukan dengan tekanan yang sedang. Untuk menyebut sebuah tender

point positif, subjek harus mengatakan bahwa pada palpasi terasa nyeri

Ada 4 kontrol point pada sindrom fibromyalgia, yaitu

1. Titik tengah dari dahi

2. Aspek volar dari pertengahan lengan atas

3. Kuku ibu jari

4. Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Pemeriksaan laboratorium dan radiologis biasanya memberikan hasil yang

normal,pemeriksaan ini dilakukan hanya untuk menyingkirkan gangguan atau kelainan lain.

Diagnosis fibromyalgia dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi kedua kriteria ACR 1990,

yaitu

Riwayat nyeri muskuloskeletal yang menyebar minimal 3 bulan dan

Nyeri yang signifikan pada minimal 11 dari 18 tender points (Gambar 1) jika dilakukan

palpasi dengan jari.1,2,7

Kriteria ACR sangat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, meskipun beberapa pasien

memiliki jumlah tender sites yang lebih sedikit dan nyeri regional yang lebih, sehingga

didiagnosis fibromyalgia. Pemeriksaan neurologis muskuloskeletal dan laboratorium tetap

normal pada fibromyalgia.1

67

Page 68: Problem Based Learning Immunology

Gambar 1. Letak Tender Points di Tubuh.1

Fibromialgia, meskipun memiliki gejala yang serupa, perlu dibedakan dengan chronic

fatigue syndrome. Kedua penyakit tersebut berkaitan dengan kelelahan, gangguan tidur, nyeri

muskuloskeletal, gangguan memori, konsentrasi, dan kondisi psikiatrik seperti depresi dan

cemas. Pasien chronic fatigue syndrome lebih cenderung memiliki gejala seperti penyakit

akibat virus, seperti demam ringan, sakit tenggorokan, dan nyeri di ketiak dan nodus

limfatikus servikalis anterior dan posterior. Onset chronic fatigue syndrome biasanya tiba-

tiba, serta diagnosisnya tidak memerlukan tender points.1

Pasien fibromialgia mengeluh lemah otot, namun pada uji kekuatan otot, ditemukan

kelemahan “menyerah” (“give- away” weakness) akibat nyeri yang dirasakan. Kelemahan

otot proksimal dan peningkatan enzim otot membedakan polimyositis dari fibromyalgia.

Polimyalgia rheumatika dibedakan dari fibromyalgia pada pasien usia lanjut dengan

kekakuan otot proksimal dan nyeri serta LED yang meningkat. Sleep apnea dibedakan

dengan keadaan somnolen pada siang hari. Diagnosis banding lain di antaranya

hipotiroidisme, restless leg syndrome, dan myofascial pain syndrome. 40

Diagnosa Banding

Fibromialgia dapat sebagai penyakit yang berdiri sendiri aau muncul bersama penyakit lain

seperti SLE, RA, Sklerosis multiple atau kelainan autoimun lain

Diagnosa banding fibromyalgia antara lain :

Sindrom nyeri miofasial

Artritis rheumatoid

68

Page 69: Problem Based Learning Immunology

Polymyalgia rheumatika/Giamt cell arteritis

Polimiositis/dermatomiositis

Miopati karena kelainan endokrin hiptiroid, hipertiroid, hipoparatiroid, hiperparatiroid,

insufisiensi adrenal

Miopati metabolic (glycogen storage disease,lipid myopathies)

Neurosis (depresi,ansietas)

Karsinoma metastase

Sindrom fatique kronis

Parkinsonisme (fase diskinetik)

Tabel 2. Perbedaan Gambaran antara Sindrom Fibromialgia dan Sindrom Fibromialgia dan

sindrom nyeri Miofasial

Gambaran

Nyeri

Kelelahan

Kekakuan pagi hari

Palpasi

Terapi

Prognosis

Sindroma Fibromialgia

Menyeluruh/difus

Sangat nyata/sering

Generalisata/sering

Tender points:

Tersebar luas/difus

Latihan umum

Obat gangguan tidur

Penyakit cenderung kronik

dengan beberapa disabilitas

fungsional

Sindrom Miofasial

Regional/local

Biasanya tidak ada/jarang

Regional/jarang

Trigger point:

Regional/local

Menghindari faktor pemberat,

latihan peregangan

Diharapkan resolusi sempurna,

walaupun sering kambuh

Tata Laksana

69

Page 70: Problem Based Learning Immunology

Tatalaksana fibromialgia dapat dibagi menjadi

Tatalaksana non farmakologis dan

Tatalaksana farmakologis.

Tatalaksana non-farmakologis, selain untuk mengurangi nyeri, gangguan tidur serta depresi

juga digunakan untuk mengatasi kelelahan otot. Salah satu caranya ialah edukasi pasien.

Edukasi pasien merupakan salah satu tatalaksana fibromyalgia yang paling penting. Edukasi

pasien harus dilakukan sebagai langkah pertama dalam tatalaksana pasien fibromialgia.

Pasien perlu diinformasikan mengenai penyakit yang sedang dialaminya. Pasien juga perlu

diinformasikan bahwa fibromyalgia tidak menyebabkan kelumpuhan dan tidak bersifat

degeneratif, serta terdapat pengobatan untuk penyakit ini.1 Setelah itu, barulah dapat

dilakukan usaha untuk menghilangkan berbagai keluhan pasien. 40

Tata Laksana Farmakologis

Tatalaksana farmakologis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, gangguan tidur

serta depresi dan kecemasan.

Tidak ada obat khusus untuk pengobatan fibromyalgia, pengobatan simptomatis memberikan

perbaikan sebanyank 30-50%

Obat-obatan yang dapat diberikan :

Trisiklik antidepressant :

o Amitriptilin 5-50mg/hari. Nortriptilin (pamelor) 10-50mg/hari, Sinequan

(Doksepin) 2,5-75mg/hari

o Selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) : Trazadon (desirel) 25-50mg/hari,

fluoksetin (prozak) 1-20mg/hari, paroksetin (paksil) 5-220mg/hari

o Muscle relaxan : Siklobenzaprin (flekseril) 10-30mg/hari

o Benzodiazepine : Klonazepam (klonopin) 0,5-1mg/hari Alprazolam (Xanax)

0,25-1,25 mg/hari

o Analgesic sederhana : OAINS (Ibuprofen, selekosib) Acetaminofen (tidak boleh

lebih dari 4 gram/hari)

70

Page 71: Problem Based Learning Immunology

o Analgesic sentral golongan opioid : Kodein, metadon, Tramadol

o Topical krim Capsaicin 0,25% 40

Tata Laksana Non-farmakologis

Latihan olahraga : peregangan,penguatan,aerobic. Latihan olahraga merupakan

pengobatan nonfarmakologi yang paling penting. Latihan olahraga yang teratur dimulai

dengan peregangan dan diikuti aerobic dapat meningkatkan nilai ambang rasa

nyeri,meningkatkan oksigen ke otot, memperbaiki kondisi umum

Pemanasaan: Dapat meningkatkan sirkulasi dan mengurangi nyeri

Terapi perubahan tingkah laku (kognitif): berfikir dan tingkah laku yang positif

Pendidikan : penyuluhan mengenai penyakit dan pengobatannya, perbaikan tidur

termasuk tidur teratur, lingkungan bersih dan tidak rebut, menjauhi alcohol, rokok dan

kopi menjelang tidur.

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : dapat meningkatkan opioid

endogen

Diet: rendah lemak dan tinggi serat

Suplement diet : Koenzim 10, Magnesium,Vit B12

Relaksasi/akupunktur :

Akupressure: meditasi,pemijatan.

Distraction, misalnya menonton film yang lucu (funny movie) dan relaksasi, misalnya

mendengarkan music yang lembut

PROGNOSIS

Pasien usia muda dengan gejala ringan cenderung prognosisnya lebih baik, walaupun

pasien memberikan respon terhadap pengobatan kadang-kadang masih juga ada keluhan yang

ringan tetapi nyeri tersebut dapat ditoleransi. Penyembuhan akan sulit pada pasien yang

mempunyai stress emosional berupa ansietas dan depresi, oleh karena itu perlu

penatalaksanaan secara multidispliner. 40

L. VASKULITIS

71

Page 72: Problem Based Learning Immunology

Definisi

Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh darah dan menyebabkan

kerusakan struktur dinding pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding pembuluh

darah dapat menyebabkan perdarahan, dan adanya gangguan pada lumen pembuluh

darah menimbulkan iskemik maupus nekrosis. Secara umum, vaskulitis dapat

mengenai berbagai ukuran, tipe maupun lokasi pembuluh darah, dan berhubungan

dengan suatu kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai suatu proses

primer ataupun sekunder dari penyakit lain (reumatik, keganasan atau infeksi dll). 40

Etiologi

Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan jelas, namun

ada beberapa yang memegang peranan yang memicu timbulnya penyakit ini, yaitu:

Komplek imun

Infeksi bakteri atau virus

Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan parasit.

Genetik

Nekrosis granulomatosa 40

Patomekanisme

Mekanisme pasti yang mendasari kelainan ini masih belum jelas. Ada

beberapa patogenesis berbeda yang diajukan untuk membantu menjelaskan mengapa

lesi pada jenis vaskulitis tertentu hanya ditemukan pada pembuluh darah tertentu.

1. Distribusi antigen yang bertanggung jawab terhadap vaskulitis menentukan pola

pembuluh darah yang terlibat.

2. Akumulasi infiltrat radang ditentukan oleh sel endotel, termasuk ekspresi dari

molekul adhesi, sekresi peptide dan hormone, dan interaksi yang spesifik dengan

sel-sel inflamasi.

Beberapa sel inflamasi lebih lanjut menarik sel-sel radang, sementara sel yang lain

tidak. Struktur non-endotel dinding pembuluh darah bekerja mengontrol proses

keradangan. Selain sel endotel yang berfungsi sebagai ko-stimulator, komponen sel-

sel lain berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) dan berkontribusi terhadap

72

Page 73: Problem Based Learning Immunology

mediator proinflamasi. Inflamasi umumnya terjadi pada pembuluh darah arteri,

namun juga dapat melibatkan pembuluh darah vena maupun kapiler.

Tanda dan gejala khas keradangan vascular timbul akibat gangguan fungsi dan

perfusi serta terjadi kerusakan pada organ yang terkena, contoh ekstrim adalah

terjadinya infark organ akibat adanya proses inflamasi pada lumen pembuluh darah.

Secara histologi, infiltrasi mielomonosit yang prominen tampak pada dinding

pembuluh darah yang terlibat. 40

Tanda dan Gejala Klinis

Gejala-gejala klinis ialah seperti demam, malaise, berkeringat, lelah, nafsu makan

menurun, dan berat badan turun. Penderita vaskulitis tidak dapat menentukan dengan

pasti jam atau hari dimana sakitnya dimulai. Hal ini seringkali menyebabkan diagnose

vaskukitis menjadi terlambat. Kemudian, akan ada juga tanda inflamasi dan nyeri.

Penyakit vaskulitis juga akan menyebabkan kelainan yang melibatkan banyak sistem

tubuh. 40

Penatalaksanaan

Pada era sebelum kortikosteroid digunakan, sebelum tahun 1950an, prognosis

vaskulitis sangat buruk, dengan harapan hidup 5 tahun hanya sekitar 15%. Setelah

penemuan kortikosteroid dan penggunaannya pada vaskulitis lebih dari 50% pasien

dapat tertolong.

Setelah pengenalan terapi imunosupresif dan kemoterapi sebagai lini kedua terapi

vaskulitis, terutama siklofosfamid. Obat ini berpotensi mencapai remisi penyakit,

menurunkan kebutuhan dosis tinggi kortikosteroid lebih cepat. Obat-obat lain yang

digunakan adalah azathioprine,klorambusil, dan metotreksat.

Sampai tahun-tahun terakhir strategi pengobatan terhadap vaskulitis masih terbatas.

Pengobatan dengan agen biologi masih dikembangan saat ini. Beberapa kasus

dilaporkan berespons baik terhadap agen tersebut. 40

Klasifikasi Vaskulitis

Table 1. Klasifikasi Vaskulitis Menurut Churg

Vaskulitis Primer (Idiopatik) Vaskulitis Sekunder

- Polierteritis nodosa (PAN) - Infeksi

73

Page 74: Problem Based Learning Immunology

- Granulomatosis Wegener

- Granulomatosa elergik

- Vaskulitis primer susunan saraf

pusat

- Arteritis sel besar

- Arteritis Takayasu

- Vaskulitis Granulomatosa

Idiopatik

- Vaskulitis pembuluh darah kecil

- Purpura Henoch-Schonlein

- Sindrom Bechet

- Tromboangitis obliteran

- Penyakit Kawasaki

- Penyakit jaringan ikat

- Vaskulitis hipokomplementemik

- Krioglobulinemia

- Vaskulitis sarkoidosis

- Reaksi obat dan serum sickness

- Keganasan

-Vaskulitis radiasi

- Keadaan lain seperti: akibat hipertensi

Table 2. Klasifikasi Vaskulitis Menurut Konsesus Chapel Hill

Klasifikasi Jenis Vaskulitis

- Vaskulitis pembuluh darah besar

- Vaskulitis pembuluh darah

sedang

- Vaskulitis pembuluh darah kecil

- Arteritis sel besar (Giant cell arteritis)

- Arteritis Takayasu

- Poliarteritis nodosa

- Penyakit Kawasaki

- Sindroma Churg Strauss

- Granulomatosa Wegener

- Purpura Henoch Schonlein

- Poliangitis mikroskopik

- Vaskulitis krioglobulin esensial

- Angitis kutaneus leukositoklastik40

M. Glomerulonefritis

Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap

akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi glomerulonefritis yang

dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama

terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.2

74

Page 75: Problem Based Learning Immunology

Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan

dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.

Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan

mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula

digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan

kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya

menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis. 2

Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara

menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. 2

Gejalanya: berupa mual-mual

kurang darah (anemia) atau hipertensi

Gejala umum: sembab kelopak mata

kencing sedikit dan berwarna merah

biasanya disertai hipertensi.

Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10%

berakibat fatal.

1. Glomerulonefritis Akut7

Definisi

Glomerulonefritis akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologic pada ginjal

terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman

streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan lebih

sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita.

GNA juga dapat dihasilkan dari penyakit sistemik atau penyakit glomerulus primer,

tapi glomerulonefritisakut post streptococcus (juga diketahui sebagai

glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk keadaan yang sebagian besar terjadi.

Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan streptococcus beta hemolitik A

adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak teratur ini. Stafilococcus

atau infeksi virus seperti hepatitis B, gondok, atau varicela (chickenpox) dapat

berperan penting untuk glomerulonefritis  akut pasca infeksi yang serupa.

 Etiologi

Faktor penyebab yang mendasari sindrom ini dapat dibagi menjadi kelompok infeksi

dan noninfeksi:

75

Page 76: Problem Based Learning Immunology

1. Infeksi

Infeksi streptokokus terjadi sekitar 5-6% pada orang dengan radang

tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus

meliputi bakteri, virus, dan parasit.

2. Noninfeksi

Penyakit sistemik multisistem seperti pada Lupus Eritematosus Sistemik

(SLE), Vaskulitis, sindrom Goodpasture, granulomatosis Wegener.

Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus

respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus

golongan A tipe 12, 4, 16, 25, dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan

infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan

alasan  bahwa:

1)   Timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina

2)    Diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A

3)    Meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum pasien.

Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa

laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25

lebih bersifat nefritogen daripada yang lain. Mungkin faktor iklim atau alergi yang

mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman streptococcus. GNA

juga disebabkan karena sifilis, keracunan, (timah hitam tridion), penyakit amiloid,

trombosis vena renalis, purpura, anafilaktoid, dan lupus eritematosis.2

Menurut penyelidikan klinik-imunologis dan percobaan pada binatang

menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa

penyelidik menunjukkan hipotensi sebagai berikut : 2

1)   Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membran basalis

glomerulus dan kemudian merusaknya.

2)    Proses  autoimun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh

menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus

3)   Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen

antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran

basalis ginjal.

76

Page 77: Problem Based Learning Immunology

 Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan

disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:

1)   Bakteri           : Streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,

Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus,

albus,Salmonella thypi,dll

2)   Virus                 : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,

           parotitis epidemika dll.

3)    Parasit              : Malaria dan toksoplasma

Tanda dan Gejala

Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit

punggung, dan udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak),

mual dan muntah-muntah. Sulit buang air kecil dan air seni menjadi keruh.

 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis penyakit glomerulonefritis sebagai berikut :

1)   Penyakit ringan umumnya ditemukan saat dilakukan urinalisis secara rutin.

2)   Riwayat infeksi : faringitis oleh streptokokus kelompok A, Virus hepatitis B, dan

Endokarditis

3)   Proteinuria, Hematuria, dan Oliguria

4)    Wajah seperti bulan dan edema pada ekstremitas

5)    Lemah dan anoreksia

6)    Hipertensi (ringan, sedang, atau berat)

7)    Anemia akibat kehilangan sel darah ke dalam urine

8)    Dari hasil study klinik kejadian glomerulonefritis akut dapat sembuh sampai

90%, dengan fugsi ginjal normal dalam 60 hari :

a. Diuresis biasanya mulai satu-dua minggu sesudah serangan

b. Renal clearence dan konsentrasi urea darah kembali normal

c. Edema dan Hipertensi berkurang

d. Pada pemeriksaan mikroskop proteinuria dan hematuria masih ada selama beberapa

bulan.

     

Patofisiologi

77

Page 78: Problem Based Learning Immunology

            Patofisiologi dari glomeulonefritis akut sebagai berikut:

1. Proliferasi Seluler

Peningkatan sel endotelia yang melapisi glomerulus, Infiltrasi leukosit ke

glomerulus, dan penebalan membran filtrasi glomerulus atau membran basal

menghasilkan jaringan parut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada

glomerulonefritis akut, ginjal membesar, bengkak, dan kongesti. Seluruh jaringan

renal-glomerulus, tubulus dan pembuluh darah-dipengaruhi dalam berbagai tingkat

tanpa memperhatikan tipe glomerulonefritis akut yang ada. Pada banyak pasien,

antigen diluar tubuh (misalnya medikasi, serum asing) mengawali proses,

menyebabkan pengendapan kompleks di glomerulus. Pada pasien yang lain, jaringan

ginjal sendiri berlaku sebagai antigen penyerang. Elektron-mikroskopis dan analisis

imunogluoresen mekanisme imun membantu identifikasi asal lesi. Biopsi ginjal

diperlukan untuk membedakan berbagai jenis glomerulonefritis akut.

2. Proliferasi Leukosit

Adanya neutrofil dan monosit dalam lumen kapiler dan sering menyertai

proliferasi seluler.

3. Penebalan membran basal glomelurus muncul sebagai penebalan dinding

kapiler baik di sisi endotel atau epitel membran dasar.

4. Hialinisasi atau sklerosis menunjukkan cedera irreversible.

 Penatalaksanaan

1)   Penatalaksanaan gejala dan antihipertensi, obat untuk penatalaksanaan

hiperkalemia (berhubungan dengan insufisiensi renal), H2Blocker (untuk mencegah

ulcer stres), dan agen pengikat fosfat (untuk mengurangi fosfat dan menambah

kalsium)

2)   Terapi antibiotik untuk menyembuhkan infeksi (jika masih ada)

3)   Pembatasan cairan

4)   Diet ketat pembatasan protein jika terdapat oliguria dan BUN

meningkat. Pembatasan perlu diperketat jika mengarah ke gagal ginjal

5)   Tingkatkan karbohidrat untuk membantu tenaga dan mengurangi katabolisme

protein.

6)   Asupan potasium dan sodium diperketat jika terdapat edema, hiperkalemia, atau

tanda gagal jantung (CHF)

78

Page 79: Problem Based Learning Immunology

7)    Terapi untuk mempercepat progresif glomerulonefritis meliputi :

a. Penggantian plasma

b. Pemberian Imunosupressan (corticosterois;cyclopfosphamid (Cytoxan)

Komplikasi

1)   Hipertensi, congestive heart failure (CHF),

2)   Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada fase akut

3)   Malnutrisi

4)   Hipertensi Encephalopati

 Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan diagnostik untuk glomerulonefritis akut yaitu laju endap darah

meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).

Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis

meninggi. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50 % pasien. Ditemukan pula

albumin (+), eritrosit (+), Leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit dan hialin. Albumin

serum sedikit menurun, demikian juga lomplemen serum (globulin beta-IC), ureum

dan kreatinin meningkat. Titer antistreptolisin umumnya meningkat, kecuali kalau

infeksi infeksi streptococcus yang mendahului hanya mengenai kulit saja. Uji fungsi

ginjal normal pada 50% pasien.

Pemeriksaan yang lebih penting dan mendesak adalah urinalisis untuk

mengetahui proteinuria, hematuria dan debri-debri jaringan. BUN dan kreatinin serum

diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal. Pemeriksaan imunologi seperti titer antigen

antibodi dan immunoelectrophoresis dilaksanakan.

2. Glomerulonefritis Kronis7

     

Definisi

             Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa

penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama

bertahun-tahun.Glomerulonefritis kronik adalah kategori heterogen  dari penyakit

dengan berbagai kasus. Semua bentuk gambaran sebelumya dari glomerulonefritis

dapat meningkat menjadi keadan kronik. Kadang- kadang glomerulonefritis pertama

dilihat sebagai sebuah proses kronik.

79

Page 80: Problem Based Learning Immunology

Pasien dengan penyakit ginjal (glomerulonefritis) yang dalam pemeriksaan urinnya

masih selalu terdapat hematuria dan proteinuria dikatakan menderita glomerulonefritis

kronik. Hal ini terjadi karena eksaserbasi berulang dari glomerulonefritis akut yang

berlangsung dalam beberapa waktu beberapa bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi

akan menimbulkan kerusakan pada ginjal yang berkibat gagal ginjal

Etiologi

Penyebabnya tidak diketahui. Pada 50% penderita ditemukan glomerulopati

sebagai penyebabnya, meskipun tidak pernah timbul gejala-gejalanya.

Tanda dan Gejala 7

              Glomerulonefritis kronik (GNK) ditandai oleh kerusakan glomerulus secara

progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Umumnya

GMK tidak mempunyai hubungan dengan GNAPS (Glomerulonefritis akut pasca

streptokok) maupun GNPC (Glomerulonefritis progresif cepat), tetapi kelihatannya

merupakan penyakit denova. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya,

dan biasanya baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika gejala-gejala

insufisiensi ginjal timbul.

Menurut stadium penyakit, mungkin akan timbulpoliuria atau oliguria,

berbagai derajat proteinuria, hipertensi, ozotemia progresif dan kematian akibat

uremia. Pada GNK yang lanjut maka ginjal tampak mengkerut, kadang-kadang

beratnya hanya tinggal 50 gram saja dan permukaannya bergranula. Perubahan-

perubahan ini disebabkan karena berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan

hilangnya nefron. Dilihat dengan mikroskop maka tampak sebagian besar glomerulus

mengalami perubahan. Mungkin terdapat campuran antara perubahan-perubahan

membranosa dan proliferatif dan pembentukan epitel berbentuk sabit.Akhirnya

tubulus mengalami atropi, Fibrosis interstisialis dan penebalan dinding arteria. Kalau

semua organ strukturnya telah mengalami kerusakan hebat, maka organ ini disebut

ginjal stadium akhir, dan mungkin sulit menentukan apakah lesi asalnya terjadi pada

glomerulus, interstisial, dan disebabkan oleh pielonefritis kronik, atau vaskuler.

Patofisiologi 7

80

Page 81: Problem Based Learning Immunology

Glomerulonefritis kronik awalnya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau

tampak sebagai tipe reaksi antigen-antibody yang lebih ringan, kadang-kadang sangat

ringan sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal

sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan

fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjasi lapisan yang tebalnya 1 sampai 2 mm

atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks, menyebabkan permukaan

ginjal  kasar dan irreguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi

jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi kerusakan

glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir (ESRG) 

     

Manifestasi Klinis 7

Gejala Glomerulonefritis kronik bervariasi. Banyak pasien dengan penyakit

yang telah parah memperlihatkan kondisi tanpa gejala sama sekali untuk beberapa

tahun. Kondisi mereka secara insidental dijumpai ketika terjadi hipertensi atau

peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum. Diagnosis dapat ditegakkan

ketika perubahan vaskuler atau perdarahan retina ditemukan selama pemeriksaan

mata. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke, atau kejang

yng terjadi secara mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahu bahwa tungkai

mereka sedikit bengkak dimalam hari. Mayoritas pasien pasien juga mengalami gejala

umum sepertikehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan

peningkatan berkemih dimalam hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan gangguan

pencernaan umumnya terjadi.

              

Seiring dengan berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan gejala

insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasientampaksangatkurus,

pigmenkulittampakkuningkeabu-abuan dan terjadi edema perifer (dependen) dan

periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau naik dengan tajam. Temuan pada

retina mencakup hemoragi, adanya eksudat, arteriol menyempit dan berliku-liku, serta

papiledema. Membran mukosa pucat karena anemia. Pangkal vena mengalami

distensi akibat cairan yang berlebihan. Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal

jantung kongestif lain dapat terjadi. Bunyi krekel dapat didengar di paru.

           

    Neuropati perifer disertai hilangnya reflek tendon dan perubahan

neurosensori muncul setelah penyakit terjadi. Pasien mengalami konfusi dan

81

Page 82: Problem Based Learning Immunology

memperlihatkan rentang penyakit yang menyempit. Temuan lain mencakup

perikarditis disertai friksi perikardial dan pulsus paradoksus (perbedaan tekanan darah

lebih dari 10 mmHg selama inspirasi dan ekspirasi)

 Pemeriksaan Diagnostik7

Sejumlahlaboratoriumabnormalmuncul.

Urinalisis  menunjukkangravitasispesifikmendekati 1.010, berbagai proteinuria, dan

endapan urinarius (butir-butirprotein yang disekresi oleh tubulus ginjal yang rusak).

Ketika gagal ginjal terjadi dan filtrasi glomerulus menurun di bawah 50 ml/menit,

perubahan berikut dapat dijumpai :

1. Hiperkalemiaakibatpenurunanekskresi, masukandarimakanan dan medikasi,

asidosis, dan katabolisme.

2. Asidosis metabolik akibat sekresi asam oleh ginjal dan ketidakmampuan untuk

regenerasi bikarbonat.

3. Anemia akibat penurunan eritropoesis (produksi sel darah merah)

4. Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui membran

glomerulus yang rusak.

5. Serum fosfot meningkat akibat penurunan ekskresi renal

6. Serum kalsium meningkat (kalsium terikat pada fosfot untuk mengkompensasi

peningkatan kadar serum fosfor)

7. Hipermagnesemia akibat penurunan ekskresi dan ingesti antasid yang mengandung

magnesium

8. Kerusakan antara syaraf akibat abnormalitas elektrolit dan uremia.

Pemeriksaan sinar X pada dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema

pulmoner. Elektrokardiogram mungkin normal namun dapat juga menunjukkan

adanya hipertensi disertai hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit, seperti

hiperkalemia dan puncak gelombang T yang tinggi.

     

Penatalaksanaan7

Gejala yang muncul pada pasien glomerulonefritis kronis akan menjadi

pedoman perawatan rawat jalan. Jika terjadi hipertensi, tekanan darah diturunkan

dengan natrium dan pembatasan cairan. Protein dengan nilai biologis yang tinggi

(produk susu, telur dan daging) diberikan untuk mendukung status nutrisi yang baik

82

Page 83: Problem Based Learning Immunology

pada pasien. Kalori yang adekuat juga penting untuk menyediakan protein bagi

pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Infeksi traktus urinarius harus ditangani dengan

tepat untuk mencegah kerusakan renal lebih lanjut.

 Jika edema berat terjadi, pasien harus tirah baring. Kepala tempat tidur

dinaikkan untuk kenyamanan dan diuresis. Berat badan harian dipantau, dan diuretik

digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan. Masukan natrium dan cairan

disesuaikan dengan kemampuan ginjal pasien untuk mengekskresi air dan natrium.

Dimulainya dialisis dipertimbangkan diawal terapi untuk menjaga agar kondisi fisik

paien tetap optimal, mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan

mengurangi resiko komplikasi gagal ginjal. Rangkaian penanganan dialisis sebelum

pasien menunjukkan komplikasi signifikan adalah lambat.

Obat yang biasa dipakai seperti rifampin, penicillin, sulfonamid, cepalospirin,

allopurinol, captopril, cimetidine, azathioprine, phenytoin, thiazin, lithium,,

nonstreroid anti agen inflamasi  dan furosemide bila memungkinkan.

3.3 Working Diagnosis

Lupus Eritematosus Sistemik

Definisi

83

Page 84: Problem Based Learning Immunology

Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)

adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena

adanya perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakitcollagen-vascular yaitu

suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan

pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan

pengobatan yang kompleks.40

Epidemiologi

SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika –

Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1

kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi

penderita SLE di Cina adalah 1 :1000). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di

Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata

sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam  yang hidup di Afrika.  Di Inggris,

SLE mempunyai prevalensi 12 kasus  per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39

kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini

pada Polynesiansebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per

100.000 populasi pada orang kulit putih. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE

secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE

di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan

hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama

tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat

setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar

Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang

dengan 1 orang meninggal dunia. 40

Etiologi

Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui, namun terdapat banyak

bukti bahwa Sistemik lupus erythematosus (SLE) bersifat multifaktor, mencakup : 40

a. Genetik

b. Infeksi

c. Lingkungan

d. Stress

84

Page 85: Problem Based Learning Immunology

e. Cahaya matahari

f. Faktor Resiko : hormon; imunitas; obat

Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun

abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di

dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus

eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun

terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.

1.      Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan

penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear

(ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat

di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan

teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat

spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein

juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.

Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear

dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding

pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan

kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan

peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering

menurun pada fase aktif SLE.

Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE.

Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang

memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap

protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis

perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang

mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.

2.      Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti

hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia

jantung). Penyakit diinduksi – obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk

adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering

menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara

bertahap.

85

Page 86: Problem Based Learning Immunology

3.      Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan

lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari

jaringan pasien.

4.      Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis

SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat

tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan

bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi

berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien

yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4)

juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR. 40

Tabel  Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lain

Antibodi Insidensi Antigen Makna Klinis

Antibodi antinuklear1

Anti-DNA 70% DNA Anti-DNA untai-ganda

adalah spesifik untuk

SLE; anti-DNA untai-

tunggal tidak spesifik

Anti-Sm 30% Ribonukleoprotein (Ag

Smith)

Spesifik untuk SLE

Anti-RNP 40% Ribonukleprotein Titer tinggi pada penyakit

jaringan ikat campuran

Anti-histon 70% Histon Positif pada 95% kasus

SLE yang diinduksi obat

Anti-Ro(SS-

A)

30% Ribonukleprotein Berkaitan dengan

sindrom Sjögren dan

nefritis

Anti-LA(SS-

B)

10% Ribonukleprotein Berkaitan dengan

sindrom Sjögren

Anti-

sentromer

<5% Sentromer Berkaitan dengan

sindrom CREST

Anti-Sci 70 <5% Topoisomerase DNA Berkaitan dengan

sklerosis sistemik

Anti-Jo 1 <5% tRNA sintetase Berkaitan dengan

86

Page 87: Problem Based Learning Immunology

polimiositis

Antibodi lain

Antikardiopili

n

50% Fosfolipid Berkaitan dengan

thrombosis, aborsi

spontan; antkoagulan

lupus; VDRL positif

palsu

Antieritrosit 60% Antigen permukaan eritrosit Hemolisis (jarang)

Antitrombosit ? Antigen permukaan trombosit Trombositopenia

Antilimfosit 70% Antigen permukaan limfe (?) disfungsi sel T

Antineuronal 60% Antigen permukaan neuron (?) Lupus system syaraf

pusat

Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak

mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien. 40

Patofisiologi

Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat

terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang

berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-

faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya

terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar

termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ),

isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan

kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-

obatan.

Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan

terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan

kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang

selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic

akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan

hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T

87

Page 88: Problem Based Learning Immunology

autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang

memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih

belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar

ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama

terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan

non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk

agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel

ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-

spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan

antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam

sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan

akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan

aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.

Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme

regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu

yang resisten.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak

dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,

penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai

gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang,

berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-

kadang disertai menggigil.

Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa

arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang

paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,

pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena

adalah kaput femoris. 40

Manifestasi Klinik

Keluhan utama dan pertama sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah

artralgia, dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Pasien

mengeluh lemas, lesu dan capek sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam pegal

linu seluruh tubuh, nyeri otot dan penurunan berat badan terdapat kelainan kulit

88

Page 89: Problem Based Learning Immunology

spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu dimuka dan eritema umum yang

menonjol. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula

sebagai eritema papul atau plak bersisik. Dapat pula terjadi kelaian darah berupa

anemia hemoditik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, gastrointestinal,

gangguan saraf dan kelainan psikatrik.

Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:

·         Artralgia

·         Artritis (sinovitis)

·         Pembengkakan sendi

·         Nyeri tekan

·         Rasa nyeri ketika bergerak

·         Rasa kaku pada pagi hari. 40

Pemeriksaan Diagnostik

Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk

membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.

Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi

adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah

autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE

menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan

penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody

yang spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:

·         Antibody anti – DNA

·         Antibody anti – SM

·         Antibody anti – RNP

·         Antibody anti – Ro

·         Antibody anti – La

Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil

pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah

ini. 40

Pemeriksaan Diagnostik Hasil

LED Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya

inflamasi

89

Page 90: Problem Based Learning Immunology

Kadar komplemen Menurun pada penyakit aktif

Hitung darah lengkap Hitung hemoglobin dan trombosit rendah

Urinalisis Proteinuria dan hematuria

Biopsy kulit Perubahan histology yang sesuai dengan lupus

ANA Positif pada sebagian besar kasus

Autoantibody lain :

anti – DNA, anti – SM,

anti – RNP, anti – Ro, dan

anti – La

Hasil bervariasi pada individu

 Penatalaksanaan

Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat

disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit.

Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami

gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan

pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan

rawat inap. ml pada tiap lesi.

Bercak kemerahan kecil biasanya berhasil diobati dengan krim kortikosteroid.

Bercak lebih besar resisten, kadang memerlukan pengobatan selama beberapa bulan

dengan kortikosteroid per-oral (ditelan) atau dengan obat imunosupresan seperti

digunakan untuk mengobati lupus eritematosus sistemik. Krim steroid yang kuat

sebaliknya dioleskan pada bercak kulit sebanyak 1-2 kali/hari. Sampai bercak

menghilang jika bercak sudah mulai kurang bisa digunakan krim steroid yang lebih

ringan.

Salep cortison yang dioleskan pada lesi sering kali dapat memperbaiki keadaan dan

memperlambat perkembangan penyakit. Suntikan cortison yang dioleskan pada dalam

lesi juga bisa mengobati keadaan ini dan bisanya lebih efektif dari pada salep.

Lupus discoid tidak disebabkan oleh malaria, tetapi obat anti malaria ( cloroquine,

hydroxcloroquine ) memiliki daya anti peradangan yang ampuh bagi sebagian besar

kasus lupus discoid. 40

Komplikasi

Komplikasi lupus eritematosus sistemik

1. Serangan pada Ginjal

90

Page 91: Problem Based Learning Immunology

a)      Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)

b)      Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)

c)      Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).

2. Serangan pada Jantung dan Paru

a)      Pleuritis

b)      Pericarditis

c)      Efusi pleura

d)     Efusi pericard

e)      Radang otot jantung atau Miocarditis

f)       Gagal jantung

g)      Perdarahan paru (batuk darah).

3. Serangan Sistem Saraf

a)      Sistem saraf pusat

·         Cognitive dysfunction

·         Sakit kepala pada lupus

·         Sindrom anti-phospholipid

·         Sindrom otak

·         Fibromyalgia.

b)      Sistem saraf tepi

·         Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki

c)      Sistem saraf otonom

·         Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak,

dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen

(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.

4. Serangan pada Kulit

·         Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya

disebut lesi diskoid

·         Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :

a)      Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif

terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus

subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.

b)      Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area

yang luas di bagian tubuh

c)      Lesi non spesifik

91

Page 92: Problem Based Learning Immunology

- Rambut rontok (alopecia)

- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.

Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok.

- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai

pusing.

5. Serangan pada Sendi dan Otot

- Radang sendi pada lupus

- Radang otot pada lupus

6. Serangan pada Mata

7. Serangan pada Darah

·          Anemia

·         Trombositopenia

·         Gangguan pembekuan

·         Limfositopenia

8. Serangan pada Hati40

Diagnosis Diferensial

Reumatoid Arthritis

Definisi

Reumatoid artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi

sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi

klinik klasik reumatoid atritis adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai

sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki, selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa

mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru paru, dan mata.

Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit

ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. 40

Epidemiologi

Kasus Ar di indonesia merupakan kasus baru pada tahun 2000-2007 dari

keseluruhan jumlah pasien yang datang. Tercatat sebanyak 203 pasien kasus AR dari

1364 orang pasien yang datang 15,1%. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada

perempuan dibandingkan laki laki dengan rasio 3:1. Dan dapat terjadi pada semua

92

Page 93: Problem Based Learning Immunology

kelompok umur, dengan angka kejadian lebih tinggi pada dekade keempat dan

kelima. 40

Etiologi

-Faktor genetik

Faktor genetik berperan penting pada AR, dengan angka kepeekaan dan

ekspresi penyakit sebesar 60%, hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah

diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan

AR, seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor

nucklear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang

pada AR

-Hormon Sex

Ar lebih sering terjadi pada wanita maka hormon sex pasti berpengaruh dalam

perkembangan penyakit AR

-Faktor infeksi

Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab terjadinya reumatoid artritis

Agen infeksi Mekanisme patogenik

Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen

Parvovirus b

19

Infeksi sinovial langsung

Retrovirus Infeksi sinovial langsung

Enteric

bacteria

Kemiripan molekul

Mycobacteri

a

Kemiripan molekul

Epstein-barr

virus

Kemiripan molekul

Bacterial cell

walls

Aktifasi makrfag

93

Page 94: Problem Based Learning Immunology

Oganisme tersebut diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah

reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit

Faktor Risiko

Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya AR antara lain jenis

kelamin perempuan, riwayat keturunan pernah menderita AR, konsumsi kopi

berlebihan, merokok, umur, makanan tinggi vitamin D. 40

Patofisiologi

Kerusakan sendi pada AR dimulai dari piliferasi makrofag dan fibroblas

sinovial setelah adanya faktor pencetus berupa autoimun atau infeksi. Limfosit

menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel, yang

selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat

mengalami oklusi oleh bekuan bekuan kecil atau sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan

yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk

jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai

macam sitokinin. Interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan.sehingga

mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. 40

Komplikasi

Komplikasi dari penyakit AR antara lain:

-anemia

-kanker

-komplikasi kardiak

-penyakit tulang belakang

-gangguan mata

-pembentukan fistula

- peningkatan infeksi

- deformitas sendi tangan

94

Page 95: Problem Based Learning Immunology

- deformitas sendi lainya

-komplikasi pernafasan

-nodul reumatoid

-vaskulitis40

Prognosis

Prediktor prognosis buruk pada kasus AR adalah : skor fungsional yang

rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga

penderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai cr CRP atau LED tinggi saat permulaan

penyakit, RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada

nodul rematoid/ manifestasi ekstraartikular lainnya. 40

Tanda dan Gejala

-Kaku dipagi hari (morning stiffness)

-artritis pada 3 persendian atau lebih

-artritis pada persendian tangan

-artritis yang simetrik

-nodul rematoid

-perubahan gambaran radiologis40

95

Page 96: Problem Based Learning Immunology

BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Pada skenario dikatakan seorang wanita, 20 tahun, datang dengan keluhan timbul

kemerahan pada wajahnya setelah piknik ke pantai 5 hari yang lalu. Kemerahan itu menetap

dan tidak hilang sampai sekarang. Sering mengeluh kaku pada sendi-sendi kaki dan tangan,

terutama di pagi hari. Kekakuan berkurang menjelang siang. Tidak ada riwayat sakit sendi

rematik sebelumnya dan tidak juga pada keluarga. Berat badan menurun dalam 2 bulan

terakhir. Mulut luka, tidak bisa makan.

Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, kami menyimpulkan bahwa wanita tersebut

menderita penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE) mengingat gejala-gejala yang

disimpulkan dari kata kunci pada skenario mengacu kepada penyakit tersebut.

4.2 SARAN 

Butuh mencari sumber yang lebih banyak dan merujuk ke buku-buku imunologi

Mencari referensi yang ilmiah.

96

Page 97: Problem Based Learning Immunology

DAFTAR PUSTAKA

1Abbas, Abul K, et al. 2010.ROBBINS & COTRAN DASAR PATOLOGIS PENYAKIT, Ed. 7.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

2Ardiyanti Tunru. 2012. Glomerulonefritis Akut.

3Armando G., M,D., Enrico V.A., M.D., Thomas K., M.D. 2009. Mechanism of Disease

Skeleroderma. The New England Journal of Medicine.

4Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,

Jilid III, Edisi V, hal 2630-2631, Jakarta: InternaPublishing.

5 Baratawidjaja Karnen Garna, Rengganis Iris. 2014. Imunologi Dasar. Edisi 11. Jakarta;

FKUI.

6 Corwin, Elizabeth, J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta; EGC.

7 Cotran, Robbins. 2010. Dasar Patologis Penyakit Ed. 7. Jakarta:EGC.

8Czaja AJ, Freese DK. Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis. Hepatology 2002;

(36):2:480-497.

9Czaja AJ, Manns MP. Advances in the diagnosis, pathogenesis, and management of

autoimmune hepatitis. Gastroenterology. 2010;139:58–72.

10 Dalakas MC, Hohlfeld R.Polymyositis and dermatomyositis. Lancet. 2003.11 Danial. Penyakit – Penyakit Autoimun. 2008, dari

:http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Penyakit%20autoimun.html.

12 Division of Allergy &Clinical Immunology Faculty of Medicine, University of Indonesia

(http://www.jacinetwork.org/index.php?

option=com_content&view=article&id=84:diagnosis-dan-tatalaksana-hepatitis-autoimun-

pada-hiv-positif&catid=42:immunodeficiency--hiv&Itemid=68).

97

Page 98: Problem Based Learning Immunology

13 Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:

Badan Penerbit FKUI; 2010.

14 Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and dry

eye symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern Med.2000;159:174-181.

15 Halim Mubin, A. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; EGC.

16 Hennes EM, Zeniya M, Czaja AJ, et al. Simplified criteria for the diagnosis of.

17 Http: / www. Research. ui. ac. id / VI / Images.

8 Http://www.myasthenia.org/information/summary.htm.19 http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm

20 Jay H. Stein, MD. Panduan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; EGC.

21 J.C.E Underwood. Patologi Umum dan Sistematik. Edisi 2. Jakarta; EGC

22 John H, John S, Mark D. Clinical dermatology, 3th ed. USA; 2003. 23 Li S., M.D., phD, Zulian F, M.D., Beam T. 2012. Pediatric Localized Skeleroderma.

American College of Rheumatology.

24 Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 3. Jakarta. EGC.

25 Papamichalis PA, Zachou K, Koukoulis GK, Veloni A, Karacosta EG, Kypri L, et al. The

revised international autoimmune hepatitis score in chronic liver diseases including

autoimmune hepatitis/overlap syndromes and autoimmune hepatitis with concurrent other

liver disorders. J Autoimmune Dis 2007;4:3.

26 Patient: a therapeutic dilemma. AIDS Patient Care STDS. 2009 Jun;23(6):407-13.

27 Paul KB. ABC of Dermatology. 4th ed. London; 2003.

28 Penyakit Autoimun Dalam : Imunologi Klinik 29 Persatuan Ahli Penyakit Dalam. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2.Jilid

1.Jakarta : Balai Penerbit FKUI: 1986.

98

Page 99: Problem Based Learning Immunology

30 Plewrg G, Jansen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7 th ed Vol 1 & 2. USA;

2008.

31 Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses

penyakit.Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC: 1254-1257.

32 Puius YA, Dove LM, Brust DG, Shah DP, et al. Three cases of autoimmune hepatitis in

HIV-infected patients. J Clin Gastroenterol. 2008 Apr;42(4):425-9.

33 Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome associated

with hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases. Medicine.2005;84:81-89.

34 Robbins. 2013. Buku Ajar Patologi 1. Edisi 4. Jakarta; EGC.

35 Robbins. 2013. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta. EGC.

36 Robbins dan Cotran. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta; EGC.

37 Robbins dan Cotra. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta; EGC.

38 Setiyohadi B., 2006. Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Pusat penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta.39 Setiyohadi, Bambang. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.

40 Sudoyo, Ari W et.al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:InternaPublishing.

41Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.

42 Sumariyono. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Sjogren. Kumpulan makalah temu ilmiah

Reumatologi.2008:134-136.

43 Stein, Jay H.2001. Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:EGC.

44 Troy Daniels, DDS, MS. Sjogrens Syndrome Primer on rheumatic diseases.2008;13:389-

397.

45 Wan DW, Marks K, Yantiss RK, Talal AH. Autoimmune hepatitis in the HIV-infected.

46Yuliasih.Sindrom Sjogren.Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi IV. Pusat

Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.

99

Page 100: Problem Based Learning Immunology

100