Download - Problem Based Learning Immunology
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Penyakit Autoimun adalah penyakit dimana sistem kekebalan yang terbentuk salah mengidentifikasi benda asing, dimana sel, jaringan atau organ tubuh manusia justru dianggap sebagai benda asing sehingga dirusak oleh antibodi. Jadi adanya penyakit autoimmune tidak memberikan dampak peningkatan ketahanan tubuh dalam melawan suatu penyakit, tetapi justru terjadi kerusakan tubuh akibat kekebalan yang terbentuk.
Jika tubuh dihadapkan sesuatu yang asing maka tubuh memerlukan ketahanan berupa respon immun untuk melawan substansi tersebut dalam upaya melindungi dirinya sendiri dari kondisi yang potensial menyebabkan penyakit. Untuk melakukana hal tersebut secara efektif maka diperlukan kemampuan untuk mengenali dirinya sendiri sehingga dapat memberikan respon pada kondisi asing atau bukan dirinya sendiri. Pada penyakit autoimmune terjadi karena kegagalan untuk mengenali beberapa bagian dari dirinya.pSebenarnya apa terjadi, mengapa system imun yang terlalu aktif menyebabkan imunitas tidak mengenali bagian dari dirinya, sehingga terjadi penyerangan-penyerangan oleh system immune?
1.2 TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu menjelaskan tentang autoimunitas dan dampaknya bagi pertahanan tubuh, penyakit yang berkaitan, gejala klinis dan penatalaksanaannya.
1.3 SASARAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini mahasiswa diharapkan mampu mengetahui tentang:
1. Autoimunitas secara umum2. Penyakit-penyakit autoimun3. Menentukan WD dan DD berdasarkan skenario 1
1
BAB IIANALISA MASALAH
2.1 SKENARIOSeorang wanita, 20 tahun, datang dengan keluhan timbul kemerahan pada wajahnya
setelah piknik ke pantai 5 hari yang lalu. Kemerahan itu menetap dan tidak hilang sampai sekarang. Sering mengeluh kaku pada sendi kaki dan tangan, terutama di pagi hari. Kekakuan berkurang menjelang siang. Tidak ada riwayat sakit sendi rematik sebelumnya dan tidak juga ada pada keluarga. Berat badan menurun daam 2 bulan terakhir. Mulut lukam tidak bisa makan.
2.2 KATA SULIT-
2.3 KATA/KALIMAT KUNCI
1. Wanita, 20 tahun2. Kemerahan pada wajah, 5 hari yang lalu.3. Kemerahan menetap, tidak hilang sampai sekarang4. Kaku pada sendi tangan dan kaki, pagi hari.5. Kaku berkurang menjelang siang.6. Tidak ada riwayat rematik.7. Berat badan menurun, 2 bulan terakhir.8. Mulut luka, tidak bisa makan.
2
2.4 MIND MAP
3
AUTOIMUNITAS
DEFINISI AUTOIMUNITAS PENYAKIT
AUTOIMUNITAS
DEFINISI
ETIOLOGI
PATOMEKANISME
TANDA
DAN GEJA
LA KLIN
ISPENATALAKSANAAN
SKENARIO
WD DD
2.5 PERTANYAAN
1. Jelaskan autoimunitas secara umum!2. Jelaskan penyakit-penyakit autoimun!
a. SLE e. Addison i. Sklerodermab. Miastenia Gravis f. Polimeositis j. Dermatomiositisc. Arthritis Rheumatoid g. Hepatitis Autoimun k. Sindrom Fibriomialgiad. Trombositopenia Autoimun h. Sindrom Sjogren l. Vaskulitis
m. Glomeluronefritis
3. Tentukan WD dan DD berdasarkan skenario!
4
BAB IIIPEMBAHASAN
3.1 Autoimunitas secara umum
Definisi
Autoimunitas adalah respon simun terhadap antigen jaringan sendiri yang
disebabkan oleh mekanisme normal yang gagal berperan untuk mempertahankan sel
f-tolerance sel B, sel atau keduanya.Penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan atau
gangguan fungs ifisiologis yang ditimbulkan oleh respons autoimun.Perbedaan
tersebut adalah penting, oleh karena respons imun dapat terjadi tanpa disertai penyakit
atau penyakit yang ditimbulkan mekanisme lain (sepertiinfeksi). 5
Kriteria
Untuk membuktikan bahwa autoimunitas merupakan sebab penyakit tertentu,
diperlukan sejumlah kriteria yang harus dipenuhi, seperti halnya postulat Koch untuk
penyakit infeksi mikroorganisme. Ada 6 butir yang diperlukan untuk menentukan
kriteria autoimunitas :
No Kriteria Catatan
1 Autoantibodi atausel T
autoreaktif dengan
spesifitas untuk organ
yang terkena
ditemukan pada
penyakit
Kriteria ditemukan pada kebanyakan penyakit
endokrin autoimun. Lebih sulit ditemukan pada
antigen sasaran yang tidak diketahui seperti pada AR.
Auto antibody ilebih mudah ditemukan dibandingkan
sel T autoreaktif, tetapi auto antibody dapat juga
ditemukan pada beberapa subjek normal.
2 Auto antibody dan
atau sel T ditemukan
di jaringan dengan
cedera
Benar pada beberapa penyakit endokrin, LES dan
beberapa glomerulonephritis
3 Ambang auto antibody
atau respons sel T
menggambarkan
aktivitas penyakit
Hanya ditemukan pada penyakit auto imun sistemik
akut dengan kerusakan jaringan progresif cepat seperti
pada LES, vaskulitis sistemik atau penyakit anti
glomerulus membrane basal
5
4 Penurunan respons
auto imun memberikan
perbaikan penyakit
Keuntungan imuno supresi terlihat pada beberapa
penyakit, terbanyak imuno supresan tidak spesifik dan
berupa anti inflamasi
5 Transfer antibody
atausel T ke pejamu
sekunder
menimbulkan penyakit
auto imun pada
resipien
Ditemukan pada model hewan. Pada manusia dengan
transfer transplasental antibody IgG auto reaktif
selama kehamilan trimester terakhir dan dengan
timbulnya penyakit auto imun pada resipien transplant
sumsum tulang bila donor memiliki penyakit autoimun
6. Imunisasi dengan auto
antigen dan kemudian
induksi respons
autoimun
menimbulkan
penyakit.
Banyak protein sel menginduksi respons autoimun
pada hewan bila disuntikan ajuvan yang benar. Lebih
sulit dibuktikan pada manusia, tetapi imunisasi rabies
dengan jaringan otak mamalia yang terinfeksi (tidak
infeksius) dapat menimbulkan ensefalomielitis
autoimun. 5
Bukti terbaik adanya auto imunitas pada manusia adalah transfer pasif IgG melalui plasenta yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga. Hal ini dapat menerangkan terjadinya penyakit auto imun sementara pada janin dan neonates :
Penyakit yang dapat di indukai IgG dan dapat ditransfer melalui plasenta
Antibody maternal yang berperan
Penyakit yang diinduksipadaneonatus
Hormon yang merangsangtiroid Penyakit Grave NeonatusMolekuladhesi membrane basal epidermal
Pemfigoid Neonatus
Sel darah merah Anemia hemolitikTrombosit TrombositopeniaReseptor asetilkolin Miastenia gravis neonatesRo dan La Lupus kulit neonates dan heart block
kongenital komplit 5
Faktor Imun yang Berperan
A. Sequestered antigen
6
Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak anatominya,
tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari system imun.Inflamasi (sekunder oleh
infeksi, kerusakan iskemia atau trauma), dapat menjadikan auto antigen Sequestered
antigen terpajan dengan system imun. Protein lensa intraocular, sperma, dan MBP
dapat memacu terjadinya uveitis pasca trauma dan orchitis pasca vasektomi. MBP
yang dilepas oleh infeksi virus dan meningkat pada kerusakan sawar darah – otak
akan mengaktifkan sel B dan T yang imuno kompeten dan menimbulkan ensifalo
mielitis. Inflamasi jaringan dapat pula mengubah struktur self antigen yang
membentuk determinan baru dan memicu reaksi autoimun. 5
B. Gangguan presentasi
Pasca infeksi dapat terjadi gangguan presentasi antigen, peningkatan respons
MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-β) dan gangguanresponsterhadap IL-
2. Pada kegagalan sel Th atauTr, sel Th dapat diaktifkan dan menimbulkan auto
imunitas. 5
C. Ekspresi MHC-II yang tidakbenar
Sel β pancreas pada penderita dengan IDDM mengekspresikan kadar tinggi
MHC-I dan MHC-II, sedang subjek sehat sel β mengekspresikan MHC-I yang lebih
sedikit dan tidak mengekspresikan MHC-II sama sekali. Sama halnya dengan sel
kelenjar tiroid pada penderita Grave mengekspresikan MHC-II pada membrane.
Ekspresi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan
pada APC dapat mensensitasi sel Th terhadap peptide yang berasal dari sel β atau
tiroid dan mengaktifkan sel β atau Tc atau Th1 terhadap self antigen. 5
D. Aktivasisel B poliklonal
Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus
(EBV), LPS dan parasit malaria yang dapat merangsang sel B secara langsung yang
menimbulkan autoimunitas. Sel B tersebut membentuk berbagai jenis Autoantibodi. 5
E. Peran CD4 danreseptor MHC
Gangguan yang mendasari penyakit autoimun sulit untuk diidentifikasi.
Penelitian pada model hewan menunjukkan bahwa CD4 merupakan efektor utama
pada penyakit autoimun. Pada tikus EAE di timbulkan oleh Th1 CD4 yang spesifik
7
untuk antigen.Penyakit dapat dipindahkan dari hewan yang satu ke yang lain melalui
sel T hewan yang diimunisasi dengan MBP atau PLP atau sel lain dari klon sel T asal
hewan. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibody anti CD4. Sel T mengenal antigen
melalui TCR dan MHC serta peptide antigenic. Untuk seseorang menjadi rentan
terhadap autoimunitas harus memiliki MHC dan TCR yang dapat mengikat antigen
sel sendiri. 5
F. Keseimbangan Th1-Th2
Penyakit autoimun organ spesifik terbanyak terjadi melalui sel T CD4.
Ternyata keseimbangan Th1-Th2 dapat mempengaruhi terjadinya autoimunitas. Th1
menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang pada beberapa penelitian Th2 tidak
hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progress penyakit.
Pada EAE sitokin Th1 (IL-2, TNF-α dan IFN-γ) ditemukan dalam SSP dengan kadar
tertinggi padapenyakit. 5
G. Sitokin
Beberapa mekanisme kontrol melindungi efek sitokin patogenik, diantaranya
adalah adanya ekspresi sitokin sementara dan reseptornya serta produksi antagonis
sitokin dan inhibitornya. Ekspresi sitokin yang berlebihan dapat berdampak terhadap
penyakit autoimun.5
Faktor Lingkungan yang Berperan
Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba, hormon,
radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.
A. Virus
Virus adeno dan koksaki A9, B2, B4, B6 sering berhubungan dengan poliartritis,
pleuritis, myalgia, ruamkulit, faringitis, miokarditis dan leukositosis.Respon
autoimunitas terhadap virus HCV adalah multifactorial.Resolusi HCV terjadi pada
penderita dengan respons antibody yang cepat dan infeksi cenderung menjadi kronis
pada penderita dengan respons antibody yang lambat. 5
B. Bakteri
8
Antigen patogen tertentu memiliki determinan dengan kemiripan yang bereaksi
silang dengan antigen self sehingga respons imun terhadap determinan tersebut dapat
menimbulkan sel efektor atau antibody yang bereaksiterhadapnya. 5
C. Hormon
Penyakit autoimunitas lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pria.LES
ditemukan 10x lebih banyak pada wanita dibanding pria.Puncak awitan penyakit AI
terbanyak ditemukan pada periode reproduksi, estrogen di duga merupakan pemicu.
Kadar prolactin yang timbul tiba-tiba setelah kehamilan cenderung menimbulkan
penyakit autoimunitas seperti RA. 5
D. Obat
Beberapa obat dapat menginduksi produksi ANA dan anti-DNA, tetapi jarang
disertai LES klinis.Sejumlah obat dihubungkan dengan ANCA.Kebanyakan kasus
adalah ringan, membaik dan antibody menghilang bila obat yang menimbulkannya
dihentikan. 5
E. Sinar UV
Pajanan dengan radiasi ultraviolet diketahui merupakan pemicu inflamasi kulit
dan kadang LES. Radiasi UV dapat menimbulkan modifikasi struktur radikal bebas
self antigen yang meningkatkan imunogenitas. 5
F. Oksigen Radikal Bebas
Bentuk lain darikerusakanfisisdapatmengubahimunogenitasself
antigenterutamakerusakan self molekulolehradikalbebasoksigen yang
menimbulkansebagian proses inflamasi. 5
G. Logam
Berbagai logam dapat menimbulkan ekspresi autoantibody dan penyakit
autoimunitas. Salah satu bentuk yang sudah banyak diteliti antara lain adalah silikon.
Inhalasi debu silikon di lingkungan pekerjaan dapat menimbulkan silicosis. Silica
dapat pula memacu produksi ANA, RF, gejala LES atau sindrom sklerodema dengan
endapan kompleks imun di glomerulus dan glomerulosklerosis local. 5
9
3.2 A. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE)
Definsi
SLE adalah suatu penyakit autoimun multisystem dengan manifestasi dan sifat
yang sangat berubah- ubah. Secara klinis, SLE merupakan suatu penyakit kambuhan,
dan sulit diperkirakan dengan awal manifestasi yang akut atau tersamar yang
sebenarnya dapat menyerang setiap organ tubuh; namun penyakit ini terutama
menyerang kulit, ginjal, membrane serosa, sendi dan jantung.
SLE adalah penyakit yang cukup lazim; prevalensinya dalam populasi tertentu kira- 1
kasus per 2500 orang. Sebagian besar penyakit ini terjadi pada perempuan (kira-kira
9:1). Penyakit tersebut lebih umum menyerang orang kulit hitam Amerika.34
Etiologi
Kelainan mendasar pada SLE adalah kegagalan mempertahankan tolerensi
diri. Akibatnya, terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak
jaringan secara langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun.
1. Stres
2. Cahaya matahari
3. Infeksi
4. Faktor genetik
Bukti yang mendukung kecenderungan genetik terjadinya SLE mempunyai beberapa
bentuk diantaranya :
Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik versus kembar
dizigotik (1% hingga 3%). Anggota keluarga mempunyai resiko yang meningkat
untuk menderita SLE, dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara
klinis tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibody.
Pada populasi orang kulit putih di Amerika Utara, terdapat hubungan positif antara
SLE dan gen HLA kelas II, terutama pada lokus HLA-DQ.
Beberapa pasien lupus (sekitar 6%) mengalami defesiensi komponen komplemen
yang diturunkan. Kekurangan komplemen mungkin akan mengganggu pembersihan
10
kompleks imun dari sirkulasi dan memudahkan deposisi jaringan, yang menimbulkan
jejas jaringan.
5. Faktor Nongenetik
Contoh yang paling jelas dari faktor nongenetik (misalnya, lingkungan).
6. Faktor Imunologis 35
Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-
faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar
termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ),
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan
terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic akan
menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar
ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan
non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel
11
ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody).
Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar
dalam sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ
dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini
menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya
reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi
yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu yang
resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis.17
Tanda dan Gejala Klinis
Kecurigaan akan penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai 4 kriteria
sebagaimana t ercantum di bawah ini, yaitu :
Kriteria BATASAN
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol,
pada daerah malar dan
cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial.
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan
sumbatan folikular. Pada SLE
lanjut dapat ditemukan parut atrofi.
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik
dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh
dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak
nyeri dan dilihat oleh dokter
pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau
12
lebih sendi perifer, ditandai oleh
nyeri tekan, bengkak atau efusi
Serositis
Pleuritis
Perikarditis
a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc fric!
on rub yang didengar oleh dokter
pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
Atau
b. Terbukti dengan rekaman EKG atau
pericardial fric! on rub atau terdapat
bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari
atau >3+ bila tidak dilakukan
pemeriksaan kuantitatif
atau
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder
eritrosit, hemoglobin, granular,
tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit).
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-
obatan atau gangguan metabolik
(misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-
seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan atau lebih
13
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa
disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti -DNA: antibodi terhadap native DNA
dengan titer yang abnormal
atau
b. Anti -Sm: terdapatnya antibodi terhadap
antigen nuklear Sm
atau
c. Temuan positif terhadap anti bodi anti
fosfolipid yang didasarkan atas:
1) kadar serum anti bodi anti kardiolipin
abnormal baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus anti koagulan positif
menggunakan metoda standard, atau
3) hasil tes serologi positif palsu terhadap
sifilis sekurang-kurangnya
selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test
imobilisasi Treponema
pallidum atau tes fluoresensi absorpsi anti
bodi treponema.
Anti bodi anti nuklear positif
(ANA)
Titer abnormal dari anti bodi anti -nuklear
berdasarkan pemeriksaan
imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat
pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui
berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.17
Penatalaksanaan
Pengobatan pada penderita SLE ditujukan untuk mengatasi gejala dan induksi
remisi serta mempertahankan remisi selama mungkin pada perkembangan penyakit.
Karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi maka pengobatan didasarkan pada
manifestasi yang muncul pada masing-masing individu. Obat-obat yang umum
14
digunakan pada terapi farmakologis penderita SLE yaitu NSAID (Non-Steroid Anti-
Inflammatory Drugs), obat-obat antimalaria, kortikosteroid, dan obat-obat antikanker
(imunosupresan). Selain itu terdapat obat-obat yang lain seperti terapi hormon,
imunoglobulin intravena, UV A-1 fototerapi, monoklonal antibodi, dan transplantasi
sumsum tulang yang masih menjadi penelitian para ilmuwan. NSAID dapat
digunakan untuk mengobati SLE ringan. Obat antimalaria seperti klorokuin dan
hidroklorokuin dapat digunakan untuk mengatasi SLE dengan lesi kulit berbentuk
cakram. Apabila terdapat pasien dengan manifestasi klinis yang serius dan tidak
memberikan respon terhadap penggunaan obat lain baru diberikan terapi
kortikosteroid.
Penderita SLE membutuhkan pengobatan dan perawatan yang tepat dan benar.
Pengobatan yang diberikan harus rasional, yakni memenuhi kriteria 4T 1W (Tepat
Indikasi, Tepat Dosis dan Cara Pengunaan, Tepat Pasien, Tepat Obat). Perawatan
pada pasien SLE juga harus diperhatikan, seperti mengurangi paparan sinar UV
terhadap tubuh pasien. Dengan adanya pengobatan dan perawatan yang tepat dan
benar selama masa terapi, diharapkan terapi dapat berjalan optimum sehingga kualitas
hidup pasien dapat ditingkatkan. 17
B. Miastenia Gravis
Definisi
Miastenia gravis merupakan penyakit yang disebabkan oleh blockade
neuromuscular secara imunologis. Biasa mengenai orang usia 20-40 tahun dengan
progresivitas kelemahan yang fluktuasi, mengenai terutama otot ocular, otot bulbus
dan otot tungkai proksimal. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan pria.
Lebih dari 90% penderita mempunyai antibody terhadap protein reseptor asetilkolin
yang mengikat pada reseptor post- sinaptik dan memblok transmisi saraf.34
Patofisiologi
Pada orang normal, bila ada impuls saraf mencapai hubungan neuromuskular,
maka membran akson terminal presinaps mengalami depolarisasi sehingga asetilkolin
akan dilepaskan dalam celah sinaps. Asetilkolin berdifusi melalui celah sinaps dan
bergabung dengan reseptor asetilkolin pada membran postsinaps. Penggabungan ini
15
menimbulkan perubahan permeabilitas terhadap natrium dan kalium secara tiba-tiba
menyebabkan depolarisasi lempeng akhir dikenal sebagai potensial lempeng akhir
(EPP). Jika EPP ini mencapai ambang akan terbentuk potensial aksi dalam membran
otot yang tidak berhubungan dengan saraf, yang akan disalurkan sepanjang
sarkolema. Potensial aksi ini memicu serangkaian reaksi yang mengakibatkan
kontraksi serabut otot. Sesudah transmisi melewati hubungan neuromuscular terjadi,
astilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase.
Pada miastenia gravis, konduksi neuromuskular terganggu. Abnormalitas
dalam penyakit miastenia gravis terjadi pada endplate motorik dan bukan pada
membran presinaps. Membran postsinaptiknya rusak akibat reaksi imunologi. Karena
kerusakan itu maka jarak antara membran presinaps dan postsinaps menjadi besar
sehingga lebih banyak asetilkolin dalam perjalanannya ke arah motor endplate dapat
dipecahkan oleh kolinesterase. Selain itu jumlah asetilkolin yang dapat ditampung
oleh lipatan-lipatan membran postsinaps motor end plate menjadi lebih kecil. Karena
dua faktor tersebut maka kontraksi otot tidak dapat berlangsung lama. Kelainan
kelenjar timus terjadi pada miastenia gravis. Meskipun secara radiologis kelainan
belum jelas terlihat karena terlalu kecil, tetapi secara histologik kelenjar timus pada
kebanyakan pasien menunjukkan adanya kelainan. Wanita muda cenderung menderita
hiperplasia timus, sedangkan pria yang lebih tua dengan neoplasma timus.
Elektromiografi menunjukkan penurunan amplitudo potensial unit motorik apabila
otot dipergunakan terus-menerus.
Pembuktian etiologi autotoimunologiknya diberikan oleh kenyataan bahwa
kelenjar timus mempunyai hubungan erat. Pada 80% penderita miastenia didapati
kelenjar timus yang abnormal. Kira-kira 10% dari mereka memperlihatkan struktur
timoma dan pada penderita-penderita lainnya terdapat infiltrat limfositer pada pusat
germinativa kelenjar timus tanpa perubahan di jaringan limfoster lainnya.18
Manifestasi Klinis
Miastenia gravis diduga merupakan gangguan autoimun yang merusak fungsi
reseptor asetilkolin dan mengurangi efisiensi hubungan neuromuskular. Keadaan ini
sering bermanifestasi sebagai penyakit yang berkembang progresif lambat. Tetapi
penyakit ini dapat tetap terlokalisir pada sekelompok otot tertentu saja.
16
Gambaran klinis miastenia gravis sangat jelas yaitu dari kelemahan local yang ringan
sampai pada kelemahan tubuh menyeluruh yang fatal. Kira-kira 33% hanya terdapat
gejala kelainan okular disertai kelemahan otot-otot lainnya. Kelemahan ekstremitas
tanpa disertai gejala kelainan okular jarang ditemukan dan terdapat kira-kira 20%
penderita didapati kesulitan mengunyah dan menelan.
Pada 90% penderita, gejala awal berupa gangguan otot-otot okular yang
menimbulkan ptosis dan diplopia. Mula timbul dengan ptosis unilateral atau bilateral.
Setelah beberapa minggu sampai bulan, ptosis dapat dilengkapi dengan diplopia
(paralysis ocular). Kelumpuhan-kelumpuhan bulbar itu timbul setiap hari menjelang
sore atau malam. Pada pagi hari orang sakit tidak diganggu oleh kelumpuhan apapun.
Tetapi lama kelamaan kelumpuhan bulbar dapat bangkit juga pada pagi hari sehingga
boleh dikatakan sepanjang hari orang sakit tidak terbebas dari kesulitan penglihatan.
Pada pemeriksaan dapat ditemukan ptosis unilateral atau bilateral, salah satu otot
okular paretik, paresis N III interna (reaksi pupil).Diagnosis dapat ditegakkan dengan
memperhatikan otot-otot levator palpebra kelopak mata. Walaupun otot levator
palpebra jelas lumpuh pada miastenia gravis, namun adakalanya masih bisa bergerak
normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi akan
melengkapi ptosis miastenia gravis. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata
saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan
kematian.
Miastenia gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring, dan faring. Pada
pemeriksaan dapat ditemukan paresis N VII bilateral atau unilateral yang bersifat
LMN, kelemahan otot pengunyah, paresis palatum mol/arkus faringeus/uvula/otot-
otot farings dan lidah. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika
pasien mencoba menelan, menimbulkan suara yang abnormal, atau suara nasal, dan
pasien tidak mampu menutup mulut yang dinamakan sebagai tanda rahang yang
menggantung. Kelemahan otot non-bulbar umumnya dijumpai pada tahap yang lanjut
sekali. Yang pertama terkena adalah otot-otot leher, sehingga kepala harus ditegakkan
dengan tangan. Kemudian otot-otot anggota gerak berikut otot-otot interkostal. Atrofi
otot ringan dapat ditemukan pada permulaan, tetapi selanjutnya tidak lebih memburuk
lagi.Terserangnya otot-otot pernapasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan
akhirnya dapat berupa serangan dispnea dan pasien tidak mampu lagi membersihkan
17
lendir. Biasanya gejala-gejala miastenia gravis dapat diredakan dengan beristirahat
dan dengan memberikan obat antikolinesterase. Gejala-gejala dapat menjadi lebih
atau mengalami eksaserbasi oleh sebab:
1. Perubahan keseimbangan hormonal, misalnya selama kehamilan, fluktuasi selama
siklus haid atau gangguan fungsi tiroid.
2. Adanya penyakit penyerta terutama infeksi saluran pernapasan bagian atas dan
infeksi yang disertai diare dan demam.
3. Gangguan emosi, kebanyakan pasien mengalami kelemahan otot apabila mereka
berada dalam keadaan tegang.
4. Alkohol, terutama bila dicampur dengan air soda yang mengandung kuinin, suatu
obat yang mempermudah terjadinya kelemahan otot, dan obat-obat lainnya.19
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkkan berdasarkan riwayat penyakit dan pemeriksaan
fisik. Penting sekali untuk mengetahui keadaan sebenarnya dari miastenia gravis.
Diagnosis dapat dibantu dengan meminta pasien melakukan kegiatan berulang sampai
timbul tanda-tanda kelelahan. Untuk kepastian diagnosisnya, maka diperlukan tes
diagnostik sebagai berikut:
1. Antibodi anti-reseptor asetilkolin
Antibodi ini spesifik untuk miastenia gravis, dengan demikian sangat berguna
untuk menegakkan diagnosis. Titer antibodi ini meninggi pada 90% penderita
miastenia gravis golongan IIA dan IIB, dan 70% penderita golongan I. Titer antibodi
ini umumnya berkolerasi dengan beratnya penyakit.
2. Antibodi anti-otot skelet (anti-striated muscle antibodi)
Antibodi ini ditemukan pada lebih dari 90% penderita dengan timoma dan
lebih kurang 30% penderita miastenia gravis. Penderita yang dalam serumnya tidak
ada antibodi ini dan juga tidak ada antibodi anti-reseptor asetilkolin, maka
kemungkinan adanya timoma adlah sangat kecil.
18
3. Tes tensilon (edrofonium klorida)
Tensilon adalah suatu penghambat kolinesterase. Tes ini sangat bermanfaat
apabila pemeriksaan antibodi anti-reseptor asetilkolin tidak dapat dikerjakan, atau
hasil pemeriksaannya negatif sementara secara klinis masih tetap diduga adanya
miastenia gravis. Apabila tidak ada efek samping sesudah tes 1-2 mg intravena, maka
disuntikkan lagi 5-8 mg tensilon. Reaksi dianggap positif apabila ada perbaikan
kekuatan otot yang jelas (misalnya dalam waktu 1 menit), menghilangnya ptosis,
lengan dapat dipertahankan dalam posisi abduksi lebih lama, dan meningkatnya
kapasitas vital. Reaksi ini tidak akan berlangsung lebih lama dari 5 menit. Jika
diperoleh hasil yang positif, maka perlu dibuat diagnosis banding antara miastenia
gravis yang sesungguhnya dengan sindrom miastenik. Penderita sindrom miastenik
mempunyai gejala-gejala yang serupa dengan miastenia gravis, tetapi penyebabnya
ada kaitannya dengan proses patologis lain seperti diabetes, kelainan tiroid, dan
keganasan yang telah meluas. Usia timbulnya kedua penyakit ini merupakan faktor
pembeda yang penting. Penderita miastenia sejati biasanya muda, sedangkan sindrom
miastenik biasanya lebih tua. Gejala-gejala sindrom miastenik biasanya akan hilang
kalau patologi yang mendasari berhasil diatasi.Tes ini dapat dikombinasikan dengan
pemeriksaan EMG.
4. Foto dada
Foto dada dalam posisi antero-posterior dan lateral perlu dikerjakan, untuk melihat
apakah ada timoma. Bila perlu dapat dilakukan pemeriksaan dengan sken tomografik.
5. Tes Wartenberg
Bila gejala-gejala pada kelopak mata tidak jelas, dapat dicoba tes Wartenberg.
Penderita diminta menatap tanpa kedip suatu benda yang terletak di atas bidang kedua
mata beberapa lamanya. Pada miastenia gravis kelopak mata yang terkena
menunjukkan ptosis.
6. Tes prostigmin
19
Prostigmin 0,5-1,0 mg dicampur dengan 0,1 mg atropin sulfas disuntikkan
intramuskular atau subkutan. Tes dianggap positif apabila gejala-gejala menghilang
dan tenaga membaik.19
Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridostigmin 30-120 mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromida 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Piridostigmin biasanya bereaksi secara lambat.
Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil yang menyolok. Apabila diperlukan,
neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara subkutan atau intramuskularis (15 mg
per oral setara dengan 1 mg subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian
atropin 0,5-1,0 mg. Neostigmin dapat dari kekuatan dan daya tahan semula.
Pemberian antikolinesterase akan sangat bermanfaat pada miastenia gravis golongan
IIA dan IIB. Efek samping pemberian antikolinesterase disebabkan oleh stimulasi
parasimpatis,termasuk konstriksi pupil, kolik, diare, salivasi berkebihan, berkeringat,
lakrimasi, dan sekresi bronkial berlebihan. Efek samping gastro intestinal (efek
samping muskarinik) berupa kram atau diare dapat diatasi dengan pemberian
propantelin bromida atau atropin. Penting sekali bagi pasien-pasien untuk menyadari
bahwa gejala-gejala ini merupakan tanda terlalu banyak obat yang diminum, sehingga
dosis berikutnya harus dikurangi untuk menghindari krisis kolinergik. Karena
neostigmin cenderung paling mudah menimbulkan efek muskarinik, maka obat ini
dapat diberikan lebih dulu agar pasien mengerti bagaimana sesungguhnya efek
smping tersebut.
2. Steroid
Di antara preparat steroid, prednisolon paling sesuai untuk miastenia gravis,
dan diberikan sekali sehari secara selang-seling (alternate days) untuk menghindari
efek samping. Dosis awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10
mg/minggu) untuk menghindari eksaserbasi sebagaimana halnya apabila obat dimulai
dengan dosis tinggi. Peningkatan dosis sampai gejala-gejala terkontrol atau dosis
mencapai 120 mg secara selang-seling. Pada kasus yang berat, prednisolon dapat
diberikan dengan dosis awal yang tinggi, setiap hari, dengan memperhatikan efek
20
samping yang mungkin ada. Hal ini untuk dapat segera memperoleh perbaikan klinis.
Disarankan agar diberi tambahan preparat kalium. Apabila sudah ada perbaikan klinis
maka dosis diturunkan secara perlahan-lahan (5 mg/bulan) dengan tujuan memperoleh
dosis minimal yang efektif. Perubahan pemberian prednisolon secara mendadak harus
dihindari.
3. Azatioprin
Azatioprin merupakan suatu obat imunosupresif, juga memberikan hasil yang
baik, efek sampingnya sedikit jika dibandingkan dengan steroid dan terutama berupa
gangguan saluran cerna,peningkatan enzim hati, dan leukopenia. Obat ini diberikan
dengan dosis 2,5 mg/kg BB selama 8 minggu pertama. Setiap minggu harus dilakukan
pemeriksaan darah lengkap dan fungsi hati. Sesudah itu pemeriksaan laboratorium
dikerjakan setiap bulan sekali. Pemberian prednisolon bersama-sama dengan
azatioprin sangat dianjurkan.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu perlu dilakukan timektomi. Perawatan pasca operasi
dan kontrol jalan napas harus benar-benar diperhatikan. Melemahnya penderita
beberapa hari pasca operasi dan tidak bermanfaatnya pemberian antikolinesterase
sering kali merupakan tanda adanya infeksi paru-paru. Hal ini harus segera diatasi
dengan fisioterapi dan antibiotik.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali dengan dosis 50
ml/kg BB. Cara ini akan memberikan perbaikan yang jelas dalam waktu singkat.
Plasmaferesis bila dikombinasikan dengan pemberian obat imunosupresan akan
sangat bermanfaat bagi kasus yang berat. Namun demikian belum ada bukti yang jelas
bahwa terapi demikian ini dapat memberi hasil yang baik sehingga penderita mampu
hidup atau tinggal di rumah. Plasmaferesis mungkin efektif padakrisi miastenik
karena kemampuannya untuk membuang antibodi pada reseptor asetilkolin, tetapi
tidak bermanfaat pada penanganan kasus kronik. 19
C. RA (Rheumatoid Arthritis)
21
Definisi
RA (Rheumatoid Arthritis) adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian secara simetris mengalami peradangan kronis (biasanya mengenai sendi-sendi kecil ditangan dan kaki), sehingga terjadi pembengkakan, timbul rasa nyeri, serta seringkali pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan kelainan bentuk sendi.37
Etiologi
Rheumatoid artritis terjadi karena sistem kekebalan tubuh menyerang selaput yang melapisi sendi (reaksi autoimun), sehingga terjadi peradangan yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan tulang rawan dan tulang yang menyusun sendi. Umumnya, sendi akan mengalami perubahan bentuk dan kesegarisannya.
Penyebab terjadinya gangguan ini belum diketahui secara pasti, tetapi berbagai factor (termasuk kecenderungan genetic) bias mempengaruhi terjadinya reaksi autoimun. Factor genetic bias membuat seseorang lebih rentan terhadap berbagai factor lingkungan yang mungkin memicu timbulnya penyakit (misalnya infeksi virus atau bakteri tertentu).
Beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko terjadinya rheumatoid artritis antara lain :
- Jenis kelamin, rheumatoid artritis lebih cenderung terjadi pada wanita dibandingkan pria.
- Usia, reummatoid artritis bias terjadi pada berbagai usia, tetapi paling sering terjadi antara usia 40-60 tahun.
- Riwayat keluarga, jika terdapat anggota keluarga yang terkena rheumatoid artritis, maka risiko terjadinya penyakit lebih tinggi.37
Patogenesis
Hipotesis terbaik saat ini mengenai pathogenesis artritis rheumatoid meliputi inisiasi oleh antigen artritogenik yang mungkin berupa suatu agen microbial pada pejamu yang rentan secara imunogenetik. Sesudah jejas inisial terjadi reaksi autoimun yang berkelanjutan dengan sel-sel T (CD4+) yang melepaskan sitokin dan mediator inflamasi yang pada akhirnya akan menghancurkan sendi.
Korelasi dengan HLA-DRB1 menunjukkan adanya kerentanan genetic.
Mikroba pemicu yang pasti tidak diketahui tetapi virus Epstein-Barr merupakan tersangka utama. Agen penyebab lainnya seperti retrovirus, mikobakteria, Borrelia dan Mycoplasma juga dicurigai sebagai pemicu reaksi autoimun tersebut.
Begitu sinovitis inflamatorik dimulai, reaksi autoimun akan terjadi: sel-sel CD4+
diaktifkan dengan pelepasan banyak sitokin, khususnya IL1 dan TNF-α. Sel-sel ini di dalam sendi akan memediasi proses lisis kartilago sendi, memulai sinovitis inflamatorik dan menstimulasi resorpsi tulang juksta-artikular.
22
Autoantibodi dihasilkan dan sebagian di antaranya merupakan autoantibodi terhadap immunoglobulin G (IgG) autolog.
Autoantibodi terhadap bagian Fc dari IgG autolog disebut factor rheumatoid (biasanya autoantibodi ini berupa IgM tetapi kadang-kadang IgG, IgA atau IgE).
Factor rheumatoid turut memberikan kontribusi pada pathogenesis artritis rheumatoid dan menunjukkan bahwa respon humoral juga berperan penting pada penyakit ini. 37
Tanda dan gejala15
Sendi-sendi membengkak, terasa hangat dan nyeri
Kekakuan sendi pada pagi hari (saat bangun tidur) yang bisa berlangsung selama beberapa jam.
Benjolan-benjolan keras pada jaringan di bawah kulit di lengan (nodul rheumatoid)
Kelelahan, demam, dan penurunan berat badan
Rheumatoid artritis awalnya cenderung mengenai sendi-sendi kecil, terutama sendi-sendi yang menghubungkan jari-jari ke tangan dan kaki. Seiring dengan berjalannya penyakit, gejala seringkali menyebar ke lutut, pergelangan kaki, siku, pinggul, dan bahu. Pada sebagian besar kasus, gejala-gejala muncul pada sendi yang sama pada kedua sisi tubuh. Keparahan penyaki mungkin bervariasi. Tanda dan gejala yang terjadi juga bisa hilang timbul.
Rheumatoid artritis pada tangan menyebabkan penderita kesulitan untuk mengerjakan tugas sehari-hari, seperti membuka knob pintu dan membuka tutup botol. Rheumatoid artritis pada sendi-sendi kecil di kaki menyebabkan penderita merasa sakit untuk berjalan, terutama pada pagi hari setelah bangun tidur.
Peradangan kronis bisa menyebabkan kerusakan pada jaringan, termasuk tulang rawan dan tulang, sehingga bisa terjadi kelainan bentuk dan gangguan fungsi sendi yang terkena. Sendi bisa mengalami kontraktur sehingga tidak dapat diregangkan atau digerakkan sepenuhnya. Jari-jari pada kedua tangan cenderung membengkok kea rah kelingking, sehingga tendon pada jari-jari tangan bergeser dari tempatnya.
Pemeriksaan laboratorium15
LED sangat tinggi
Anemi
Pemeriksaan radiologi15
Ruang sendi menyempit
Pemeriksaan khusus15
Factor rheumatoid serum positif
23
ANA test
HLA DR-4
Analisis cairan synovia
Penatalaksanaan15
a. Terapi umum
Istirahat
Diet
Medikamentosa
Obat pertama:
- NSAID
- Kortikosteroid
Obat alternatif:
- DMARD
Obat remitif
- Klorokin
- Salazopirin
D. Purpura Trombositopenia Autoimun
Definisi
Idiopathic (Autoimmune) thrombocytopenic purpura (ITP/ATP) merupakan
kelainan autoimun akibat adanya pengikatan trombosit oleh autoantibodi sehingga
menyebabkan destruksi trombosit secara dini oleh sistem retikuloendotelium yang
mengakibatkan trombositopenia (Purwanto, 2009).
Manifestasi klinik
Perjalanan klinik purpura yang disertai trombositopenia autoimun (Idiopatik, ITP) dapat bersifat akut atau kronik. Bentuk akut biasanya ditemukan pada anak-anak setelah penyakit virus dan membaik pada sebagian besar kasus. Bentuk yang kronis paling sering terjadi pada orang dewasa, wanita lebih sering terkena daripada pria. ITP orang dewasa bermula secara perlahan-lahan dan jarang mereda secara spontan. Penyebab tampaknya adalah suatu antibody yang diarahkan terhadap antigen yang berhubungan dengan trombosit.20
Diagnosis
24
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan trombositopenia dan aspirasi sumsum tulang memperlihatkan hiperplasia megakariositik, sering disertai peningkatan ukuran megakariosit. Penyebab konsumsi trombosit lainnya (misalnya pembekuan intravascular diseminata, purpura trombositopenik trombotik, sindroma uremic hemolitik) atau pengumpulan trombosit (misalnya splenomegali) harus disingkirkan. 20
Terapi
A. Kortikosteroid adalah terapi baris pertama pada pasien dengan ITP kronis. Prednisone, 60-100 mg/hari secara oral, harus diberikan selama 2 minggu penuh. Jika akan terdapat respons yang baik (hitung trombosit > 100.000/µL), ini terjadi dalam 2 minggu pertama terapi pada lebih 90% kasus. Bila hitung trombosit lebih dari 100.000/µL, cobalah untuk menyapih pasien dari kortikosteroid selama 2 sampai 3 bulan.
B. Splenektomi dilakukan pada pasien yang tidak dapat diatasi dengan kortikosteroid, atau yang tidak dapat disapih dari kosteroid dan hitung trombositnya tetap lebih besar dari 100.000/ µL. splenektomi berhasil mempertahankan hitung trombosit lebih dari 100.000/ µL pada sepertiga sampai separuh pasien ini. Kortikosteroid harus dilanjutkan selama waktu ini dan perlahan-lahan dikurangi selama 2 bulan. Sampai setengah dari pasien ini mungkin masih memerlukan terapi kortikosteroid untuk mempertahankan hitung trombosit yang memadai setelah splenektomi.
C. Terapi imunosupresif dapat dipertimbangkan jika splenoktomi tidak berhasil. Berbagai jenis obat, termasuk azatioprin, vinkristin, dan vinblastine, telah digunakan. Infus globulin gamma berhasil meningkatkan hitung trombosit pada anak-anak penderita ITP. Tetapi, seperti halnya obat imunosupresif yang lain, kemampuanya untuk mendukung hitung trombosit pada orang dewasa hanya bersifat marginal. Obat imunosupresif hanya digunakan bagi pasien yang gagal dengan terapi kortikosteroid dan splenektomi. 20
E. Penyakit Addison
Definisi
Kegagalan kelenjar adrenal untuk memproduksi hormone dalam jumlah yang
adekuat sehingga akan mempengaruhi kerja tubuh dalam menekan dan meregulasi
tekanan darah serta mengatur keseimbangan air dan garam.28
Etiologi
1.Prosesautoimun
Penyakit Addison karena proses autoimundidapatkanpada 75% daripenderita.
Secarahistologiktidakdidapatkan 3 lapisankorteks adrenal, tampakbercak-bercak
fibrosis dan infiltrasilimfositkorteksadrenal .Pada serum penderitadidapatkanantibodi
25
adrenal yang dapatdiperiksadengancara Coons test, ANA test,
sertaterdapatpeningkatanimunoglobulinG.
2.Tuberkulosis
Kerusakankelenjar Adrenal akibattuberkulosisdidapatkanpada 21% dari
penderita .Tampak daerah nekrosis yang dikelilingi oleh jaringan ikat dengan
serbukan sel-sel limfosit, kadang kadang dapat dijumpai tuberkel serta kalsifikasi
Seringkali didapatkan proses tuberkulosis yang aktif pada organ-organ lain, misalnya
tuberculosis paru, tuberculosis genito-urinari, tuberculosis vertebrata (Pott s disease),
hati, limpa serta kelenjar limpa.
3. Infeksi lain
Penyebabkerusakan kelenjar adrenal karenainfeksi yang
lebihjarangialahkarena : histoplasmosis, koksidioidomikosis, serta septicemia karena
kuman stafilokok atau meningokok yang sering menyebabkan perdarahan dan
nekrosis.
4.Bahan-bahan kimia
Obat-obatan yang dapat menyebabkan hipo fungsi kelenjar adrenal dengan
menghalangi biosintesis yaitu metirapon; sedang yang membloking enzim misalnya
amfenon, amino- glutetimid dll.
5.Iskemia
Embolisasi dan thrombosis dapat menyebabkan iskemia korteks adrenal, walaupun
hal ini jarang terjadi.
6.Infiltrasi
Hipo fungsi korteks adrenal akibat infiltrasi misalnya metastasis tumor, sarkoidosis,
penyakit amiloid dan hemokromatosis.
7.Perdarahan
Perdarahan korteks adrenal dapat terjadi pada penderita yang mendapat pengobatan
dengan antikoagulan, pascaoperasi tumor adrenal.
8.Lain-lain
Akibat pengobatan radiasi, adrenalektomi bilateral dan kelainan kongenital. 28
Gejala klinik Penyakit Addison kronik
1. Onset keluhan biasanya samar dan tidak khas
2. Hiperpigmentasi kulit dan membrane mukosa sering mendahului seluruh gejala lain
selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.
3. Penemuan kulit yang lain seperti vitiligo, di mana paling sering tampak berkaitan
dengan keadaan hiperpigmentasi addison disease idiopatikautoimun. Hal ini karenater
jadi destruk si autoimun terhadapmelanosit.
4. Hampir seluruh pasien mengeluhkan kelemahan progresif, lelah, nafsu makan
kurang, dan kehilangan berat badan.
26
5. Gejala gastrointestinal prominent dapat berupa pening, mualmuntah, dan kadang-
kadang diare. Steatorrhea yang responsive terhadap glukokortikoid telah dilaporkan.
6. Pusing dengan ortostatis karena hipotensiadakalanyadapatmemicusinkop. Hal ini
karena efek kombinasi deplesi volume, kehilangan efek mineral okortikoidaldosteron,
dan kehilangan efek permisif (membolehkan) kortisol dalam meningkatkan efek
vasopresorkatekolamin.
7. Mialgia dan paralisis flasid otot dapat terjadi karena hiperkalemia.
8. Pasien dapat memiliki riwayat menggunakan obat yang diketahui untuk
mempengaruhi fungsi adrenokortikal atau untuk meningkatkan metabolism kortisol.
9. Gejala lain yang dilaporkan meliputi nyeri otot dan sendi, kemampuan indra
pembau ,mengecap, dan mendengar meningkat; dan merasa kurang garam (menjadi
lebihsuka garam).
10. Pasien dengan diabetes yang sebelumnya terkontrol dengan baik, tiba-tiba
mengalami penurunan yang tajam dalam kebutuhan insulin dan mengalami
hipoglikemi karena peningkatan sensitivitas terhadap insulin.
11. Impoten dan penurunan libido dapat terjadi pada pasien laki-laki, terutama pada
mereka denganfungsi testis terganggu atau berada pada batas minimal.
12. Pasien perempuan yang dapat memiliki riwayat amenore karena efek kombinasi
dari kehilangan berat badan dan sakit kronik atau kegagalan ovarium premature
autoimun sekunder. Hiperprolaktinemia yang responsif terhadap steroid dapat
berperan terhadap penurunan fungsi gonad dan amenoretersebut.11
Gejala klinik Penyakit Addison akut
1. Pasien pada krisis adrenal akut sering mengalami mual, muntah dan kolaps
pembuluh darah. Mereka dapat menjadi syok dan tampak sianotik dan kebingungan.
2. Gejala abdominal dapat menyerupai gejala akut abdomen.
3. Pasien dapat mengalami hiperpireksia, dengan temperature dapat mencapai 105o F
atau lebih, dan mungkin pingsan.
4. Pada perdarahan adrenal akut, pasien, biasanya pada pengaturan perawatan akut,
memburuk dengan tiba-tiba pingsan, nyeri abdomen atau pinggang, dan muntah
dengan atau tanpa hiperpireksia. 11
Patofisiologi
Hipo fungsi adrenokortikal menghasilkan penurunan level mineralokortikoid
(aldosteron), glukokortikoid (cortisol), dan androgen. Penurunana ldosteron
menyebabkan kebanyakan cairan dan ketidakseimbanganelektrolit.Secara normal,
aldosteronmendorongpenyerapan Sodium (Na+) dan mengeluarkan potassium (K+).
Penurunan aldosteron menyebabkan peningkatan ekskresi sodium, sehingga hasil dari
27
rantai dari peristiwa tersebut antara lain: ekskresi air meningkat, volume ekstraseluler
menjadi habis (dehidrasi), hipotensi, penurunan kardiak output, dan jantung menjadi
mengecil sebagai hasil berkurangnya beban kerja. Akhirnya, hipotensi menjadi
memberat dan aktivitas kardiovaskular melemah, mengawali kolaps sirkulasi, shock,
dan kematian.Meskipun tubuh mengeluarkan sodium berlebih, ini mempertahankan
kelebihan potassium. Level potassium lebih dari 7 mEq/L hasil pada aritmia,
memungkinkan terjadinya kardiak arrest. Penurunan glukokortikoid menyebabkan
meluasnya gangguan metabolic.Ingat bahwa glukokortikoid memicu glukoneogenesis
dan memiliki efek anti-insulin.Sehingga, ketika glukokortikoid menurun,
glukoneogenesis menurun, sehingga hasilnya hipoglikemia dan penurunan glikogen
hati. Klien menjadi lemah, lelah, anorexia, penurunan BB, mual, dan muntah.
Gangguan emosional dapat terjadi, mulai dari gejala neurosis ringan hingga depressi
berat. Di sampingitu, penurunan glukokortikoid mengurangi resistensi terhadap stress.
Pembedahan, kehamilan, luka, infeksi, atau kehilangan garam karena diaphoresis
berlebih dapat menyebabkan krisi Addison (insufisiensi adrenal akut).Akhirnya,
penurunan kortisol menghasilkan kegagalan untuk menghambat sekresi ACTH dari
pituitary anterior. MSH menstimulasi melanosit epidermal, yang menghasilkan
melanin, pigmen warnagelap. Penurunansekresi ACTH menyebabkan peningkatan
pigmentasi kulit dan membrane mukosa.Sehingga klien denganpenyakit Addison
memiliki peningkatan level ACTH dan warna keperakan atau kecokelatan pun
muncul. Defisiensi androgen gagal untuk menghasilkan beberapa macam gejala pada
laki-laki karena testes menyuplai adekuat jumlah hormone seksual. Namun, pada
perempuan tergantung pada korteks adrenal untuk mensekresi androgen secara
adekuat. Hormone-hormon tersebut disekresi oleh korteks adrenal yang penting bagi
kehidupan. Orang dengan penyakit Addison yang tidak diobati akan berakhir fatal.31
Penatalaksanaan
- Terapi darurat ditujukan untuk mengatasi syok, memulihkan sirkulasi, memberikan
caiaran, pergantian kortikosteroid.
a. Terapi dengan pemberian kortikostiroid setiap hari selama 2 sampai 4 minggu dosis
12,5 – 50 mg/hr
b. Hidrokortison (solu – cortef) disuntikan secara IV
c. Prednison (7,5 mg/hr) dalam dosis terbagi diberikan untuk terapi pengganti kortisol
d. Pemberian infuse dekstrose 5% dalam larutan saline
e. Fludrukortison : 0,05 – 0,1 mg/hr diberikan per oral
- Pantau tanda-tanda vital.
- Menempatkan klien pada posisi stengah duduk dengan kedua tungkai ditinggikan.
- Hidrokortison disuntikan IV, kemudian IVFD D5% dalam larutan normal saline.
- Kaji stress/keadaan sakit yang menimbulkan serangan akut.
28
- Bila asupan oral (+), IVFD perlahan dikurangi
- Bila kortek.adrenal tidak berfungsi lagi, perlu dilakukan terapi penggantian preparat
kortikosteroid dan mineral okortikoid seumur hidup.29
F. Polymyositis
Definisi
Merupakan penyakit inflamasi otot persisten yang menimbulkan kelemahan
otot rangka dan dapat dikelompokkan sebagai miopati inflamatori kronis.Otot-otot
yang terpengaruh secara khas adalah mereka yang terdekat pada batang tubuh.Ini
berakibat pada kelemahan yang dapat menjadi berat/parah. Polymyositis adalah suatu
penyakit kronis dengan periode-periode dari peningkatan gejala-gejala, yang disebut
flares atau relapses (kekambuhan), dan gejala-gejala minimal atau tidak ada gejala-
gejala, dikenal sebagai remisi-remisi (pengampunan).10
Etiologi
Saat ini, tidak ada penyebab dari polymyositis yang telah diisolasi oleh
peneliti-peneliti ilmiah.Ada indikator-indikator dari kepekaan yang diturunkan
(genetik) yang dapat ditemukan pada beberapa pasien-pasien.Ada bukti yang tidak
langsung dari infeksi oleh suatu virus yang harus diidentifikasi dalam suatu bentuk
dari polymyositis yang adalah terutama resisten pada perawatan, yang disebut
inclusion body myositis.Bentuk ini dari polymyositis didiagnosa oleh seorang ahli
patologi seorang dokter spesialis yang menginterpretasikan penemuan-penemuan
mikroskop dari jaringan otot.Jaringan otot dalam bentuk polymyositis ini
memperlihatkan area-area yang jelas didalam sel-sel otot (disebut vacuoles) ketika
dilihat dibawah pembesaran dari suatu mikroskop.10
Peneliti-peneliti dari Swedia pada pertemuan nasional dari the American College of
Rheumatology pada tahun 2007 melaporkan penemuan-penemuan mereka bahwa sel-
sel T dari sistim imun pada beberapa pasien-pasien polymyositis bereaksi melawan
cytomegalovirus (CMV) dan bahwa antibodi-antibodi yang terdeteksi yang melawan
CMV hadir. Kesimpulan mereka adalah bahwa mungkin ada subsets dari pasien-
pasien yang mengembangkan penyakit mereka, sebagian karena infeksi dengan virus
tertentu ini. 10
Gejala Klinik
29
Polymyositis pada kelompok usia dewasa mempunyai perjalanan klinis yang
kurang lebih serupa, sedangkan pada anak-anak lebih sering onsetnya akut.
Manifestasi klinis dapat dimulai selama atau setelah terjadinya suatu infeksi.Gejala
yang umumnya ditemukan berupa kelemahan otot-otot yang terjadi secara simetris
pada gelang bahu, lengan atas, panggul dan paha.Gejala lain yang dialami adalah
nyeri sendi, dan otot-otot periartikular, sulit menelan, demam, fatigue dan penurunan
berat badan.
Kelemahan otot dapat timbul mendadak atau secara berangsur, dapat memburuk
dalam beberapa minggu atau beberapa bulan kemudian.Karena lebih sering mengenai
otot proksimal, maka gangguan fungsi yang terjadi berupa menurunnya kemampuan
mengangkat beban, menaiki tangga dan bangkit dari duduk. Jika mengenai otot leher,
makan penderita akan mengalami kesulitan mengangkat kepala. Kelemahan bahu dan
hip menyebabkan penderita harus menggunakan kursi roda atau bahkan terbaring tak
berdaya di tempat tidur. Kerusakan otot proksimal esophagus akan menyebabkan
dysfagiadan bahkan terjadi regugitasi makanan. Namun demikian, oenyakit ini hampir
tidak pernah mengenai otot-otot tangan, kaki dan wajah.Nyeri dan peradangan sendi
terdapat pada 30% penderita yang biasanya berlangsung ringan.
Polymyositis jarang mengenai organ selain organ dalam kecuali larynx dan
pharynx.Namun demikian walaupun jarang dapat pula mengenai jantung dan paru
sehingga mengakibatkan sesak nafas dan batuk.39
Penatalaksanaan
Kortikosteroid merupakan obat lini pertama untuk PM dengan dosis 60mg/hari
sampai 2 mg/kgBB prednisone. Perbaikan klinik akan terlihat pada minggu pertama
pengobatan atau bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi kekuatan otot dan kadar
CPK harus dilakukan setiap 3 minggu sekali. Pada minggu ke6, keputusan dosis
steroid harus ditentukan.Bila pada minggu ke6 setelah steroid diberikan tidak
menunjukan perbaikan yang diharapkan, maka dapat ditambahkan azatioprin dengan
dosis 2-3mg/kgBB.Selama pemberian azatioprin harus hati-hati terhadap
kemungkinan efek samping penekanan sumsum tulang dan gangguan fungsi
hati.Metotreksat juga dapat diberikan pada PM baik pada dewasa maupun anak-anak.
39
G. Hepatis Autoimun
30
Adalah suatu hepatitis kronik yang gambaran histologiknya mungkin tidak
dapat dibedakan dengan gambaran hepatitis virus kronik.1 Perjalanan penyakit ini
dapat indolen maupun parah; gambaran penting antara lain adalah sebagai berikut :
a. Pendominasi wanita (78%), terutama wanita muda dan perimenopause. Insidens
per tahun paling tinggi pada orang kulit putih eropa utara sebesar 1,9 per 100.000,
tetapi semua kelompok etnik dapat terkena.
b. Tidak adanya marker serologik virus
c. Meningkatnya kadar IgG dan ɣ-globulin serum (>1,5 kali normal)
d. Tingginya titer autoantibodi serum pada 80% kasus, termasuk antibodi
antinukleus (ANA), anti-otot polos (antismooth muscle, SMA) dan/atau anti-
mikrosom hati/ginjal (anti-LKM1).
e. Tidak adanya antibodi antimitokondria (AMA)
Bentuk-bentuk penyakit autoimun lain terdapat pada hampir 60% pasien hepatitis
autoimun, seperti RA, tiroiditis, sindrom Sjogren, dan kolitis ulseratif. Telah diketahui
beberapa subkelompok hepatitis autoimun, tipe yang tersering, tipe1, memperlihatkan
penanda ANA dan/atau SMA dalam serumnya. Subkelompok 2 pada pasien yang
lebih muda, memperlihatkan antibodi terhadap mikrosom hati/ginjal (anti-
LKM1).Subkalsifikasi semacam ini saat ini belum diketahui maknanya karena tidak
ada perbedaan etiologi atau perbedaan respons terhadap terapi. 1
Pada hepatis autoimun, keseluruhan spectrum histologic hepatitis kronik dapat
ditemukan, berupa infiltrat limfosit dan sel plasma yang mencolok (infiltrate sel
plasma yang mencolok umumnya tidak dijumpai pada bentuk hepatitis lain).
Gambaran klinis hepatis autoimun serupa dengan bentuk lain hepatitis kronik, dan
bahkan dapat berkemang menjadi sirosis tanpa diagnosis klinis. Namun, pasien yang
memperlihatkan gejala, umumnya mengalami kerusakan hati dan pembentukan
jaringan parut yang substansial saat didiagnosis. Hepatitis autoimun dapat
memeperlihatkan gambaran atipikal berupa gejala yang mencerminkan kelainan
sistem organ lain sehingga menyuitkan penegakan diagnosa. Penyakit biasanya akan
memperlihatkan gambaran atipikal berupoa gejala yang mencerminkan kelainan
sistem organ lain sehingga menyulitkan penegakan diagnosa. Penyakit biasanya akan
memperlihatkan gejala akut (40%) dan bias saja terjadi kelainan fulminant berupa
awitan ensefalopati hepatica setelah 8 minggu masa sakit. Pada sejumlah kecil pasien,
31
hepatitis autoimun (berdasarkan kriteria klinis) memperlihatkan kerusakan saluran
empedu (“kolangitis autoimun”) sehingga sulit untuk membedakannya dari sirosis
biliaris primer atau kolangitis sklerotikans primer. 1
Pada penyakit berat yang tidak ditangani, hampir 40% pasien meninggal dalam bulan
setelah didiagnosis, dan sirosis terjadi setidaknya pada 40% pasien yang masih
bertahan hidup. Penyakit ini berespons terhadap terapi imunosupresif, dan pada
penyakit berat, transplantasi hati meberikan prognosis yang sangat baik. 1
Etiologi
Hepatitis non virus disebabkan oleh agen bakteri, cedera oleh fisik atau kimia,
pada prinsipnya penyebab hepatitis terbagi atas infeksi dan bukan infeksi.Hepatitis B
dan C dapat berkembang menjadi sirosis (pengerasan hati), kanker hati dan
komplikasi lainnya yang dapat mengakibatkan kematian.
Dalam masyarakat kita, penyakit hepatitis biasa dikenal sebagai penyakit
kuning.Sebenarnya hepatitis adalah peradangan organ hati (liver) yang disebabkan
oleh berbagai faktor. Faktor penyebab penyakit hepatitis atau sakit kuning ini antara
lain adalah infeksi virus, gangguan metabolisme, konsumsi alkohol, penyakit
autoimun, hasil komplikasi dari penyakit lain, efek samping dari konsumsi obat-
obatan maupun kehadiran parasit dalam organ hati (liver). Salah satu gejala penyakit
hepatitis (hepatitis symptoms) adalah timbulnya warna kuning pada kulit, kuku dan
bagian putih bola mata.Peradangan pada sel hati dapat menyebabkan kerusakan sel-
sel, jaringan, bahkan semua bagian dari organ hati (liver). Jika semua bagian organ
hati (liver) telah mengalami kerusakan maka akan terjadi gagal hati (liver) yang
menyebabkan kematian. 1
Patogenesis
Beberapa agen diperkirakan dapat dianggap sebagai pencetus terjadinya proses
autoimun pada hepatitis autoimun antara lain virus, bakteri, bahan kimia, obat, dan
faktor genetik. Semua virus hepatotropik dapat dianggap sebagai pencetus hepatitis
autoimun, termasuk virus measles, hepatitis A, hepatitis B, hepatitis C, hepatitis D,
herpes simpleks tipe 1 dan virus Epstein-Barr. (Manns, 1995; Manns, 1999)
32
Studi awal menyebutkan bahwa hepatitis autoimun adalah suatu penyakit kelainan
imunoregulasi yang ditandai dengan disfungsi pada sel T-supresor. Hal ini
menyebabkan produksi autoantibodi, yang diproduksi oleh sel B, melawan antigen
permukaan hepatosit (autoantigen) (Mabee, 2000;Sherlock, 1999).
Pada penyakit berat yang tidak ditangani, hampir 40% pasien meninggal dalam bulan
setelah didiagnosis, dan sirosis terjadi setidaknya pada 40% pasien yang masih
bertahan hidup. Penyakit ini berespons terhadap terapi imunosupresif, dan pada
penyakit berat, transplantasi hati meberikan prognosis yang sangat baik. 1
Gambaran klinis
Hepatitis autoimun memiliki gambaran klinis yang beragam dan adalah
penting untuk mendiagnosisnya pada stadium-stadium awal penyakit ini. Gambaran
awal dapat hanya berupa keluhan lemah dan nyeri sendi namun sebanyak 25% hingga
34% pasien tidak mengeluh apapun saat diagnosis. Pada pemeriksaan fisik mungkin
saja tanpa ditemukan kelainan namun dapat pula ditemukan hepatomegali,
splenomegali, ikterik, dan tanda-tanda dari penyakit hati kronik.8,9, 16
Pemeriksaan laboratorium dan histologik pun dapat memberikan gambaran
yang asimtomatis.9 Umumnya, pasien dengan HAI adalah seorang perempuan, meski
dalam kepustakaan lain disebutkan sering ditemukan pada lelaki.9 Mereka umumnya
memiliki kadar serum aspartate aminotransferase (SGOT) dan alanin
aminotransferase (SGPT) yang abnormal, meningkatnya kadar gamma globulin, dan
gambaran histologik pada biopsi hati berupa interface hepatitis atau sirosis dengan
inflamasi ringan.9, 16
Gambaran lain dari HAI adalah adanya autoantibodi pada sirkulasi darah,
hipergamaglobulinemia, dan perubahan mikroskopis pada jaringan hati berupa
interface hepatitis, infiltrasi sel plasma dan regenerasi sel-sel hati rosettes.32
Tata Laksana Hepatitis Autoimun9
Berdasarkan panduan American Association for The Study of Liver Disease (AASLD,
2002), indikasi terapi pada hepatitis autoimun adalah
33
Terapi seharusnya diberikan pada pasien dengan kadar serum aminotransferae
lebih besar dari 10 kali lipat nilai normal. (Rating I).
Pasien dengan kadar serum aminotransferase sekitar 5 kali lipat nilai normal
disertai adanya peningkatan kadar serum -globulin level minimal dua kali dari
nilai normal harus diberikan terapi (Rating I).
Gambaran histologik berupa bridging necrosis atau nekrosis multiasinar
kompleks. (Rating I)
Pasien yang tidak memenuhi kriteria dari rekomendasi 1 sampai 3 di atas, terapi
bersifat individual. Adanya hepatitis interface tanpa bridging necrosis atau
multiacinar necrosis dari pemeriksaan histologi tidak serta membutuhkan terapi
(Rating, III).
Dikenal dua regimen terapi HAI yakni pemberian prednisone tunggal atau kombinasi
prednisone dengan azathioprin (Tabel 4). Kedua regimen ini memberikan perubahan
klinis, laboratorium, dan histologik yang sama. Penggunaan kombinasi lebih
didasarkan pertimbangan untuk menghindari komplikasi efek samping kortikosteroid
dosis tinggi. 1
Tabel 4.Regimen Terapi HAI pada Dewasa.
Prednison Saja
(mg/hari)
Kombinasi
Prednison
(mg/hari)
Azathioprin
(mg/hari)
Minggu ke-1 60 30 50
Minggu ke-2 40 20 50
Minggu ke-3 30 15 50
Minggu ke-4 30 15 50
Pemeliharaan
hingga target
akhir
20 10 50
Alasan untuk
Pemberian
Sitopenia Postmenopause
Defisiensi Tiopurin
metiltransferase
Osteoporosis
34
Prednison Saja
(mg/hari)
Kombinasi
Prednison
(mg/hari)
Azathioprin
(mg/hari)
Kehamilan Diabetes
Keganasan Obesitas
Jangka Pendek (< 6 bulan) Acne
Hipertensi
Czaja AJ, Freese DK. Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis. Hepatology
2002;(36):2:480-497
Target Terapi
Terapi pada HAI terus diberikan hingga tercapai keadaan remisi, gagal terapi,
respon tidak lengkap ataupun toksisitas obat (Tabel 5). Sembilan puluh persen pasien
akan mengalami perbaikan pada kadar serum aminotransferase, bilirubin dan gamma
globulin dalam dua minggu. Jarang yang mengalami remisi kurang dari 12 bulan, dan
peluang remisi selama terapi berkurang setelah dua tahun.
Tabel 5.Target Terapi Hepatitis Autoimun
Target Akhir Terapi Kriteria Tindak Lanjut
Remisi Menghilangnya gejala Taperring perlahan prednison
dalam 6 minggu
Kadar serum bilirubin dan gamma
globulin normal
Menghentikan pemberian
azathioprin
Kadar aminotransferase serum
normal atau kurang dari 2 kali
normal
Pemantauan teratur terhadap
relaps
Jaringan hati normal/ inflamasi
minimal, tidak ada interface
hepatitis
Gagal Terapi Perburukan gejala klinis,
laboratorium, dan gambaran
Prednison, 60 mg perhari atau
prednison 30 mg perhari, dan
35
histologik meski berobat teratur azathioprin 150 mg per hari,
minimal satu bulan
Peningkatan serum transaminase
sebesar 67%.
Pengurangan dosis tiap bulan
dimana ada perbaikan hingga
tercapai dosis pemeliharaan Munculnya ikterik, asites, atau
ensefalopati hepatikum
Respon tidak
sempurna
Sedikit atau tidak ada perbaikan
gambaran klinis, laboratorium dan
gambaran histologik selama terapi
Gagal mencapai remisi setelah 3
tahun
Tidak ada perburukan kondisi
Pengurangan dosis hingga
serendah mungkin untuk
mencegah perburukan
Terapi indefinite
Toksikasi Obat Munculnya perubahan kosmetik
yang tidak dapat ditolerir,
osteopeni simtomatik, emosi labil,
hipertensi tidak terkontrol,
diabetes atau sitopenia yang
progresif
Pengurangan dosis atau
menghentikan obat tersangka
tergantung dari beratnya gejala
efek samping
Pemeliharaan dengan dosis yang
disesuaikan
Dikutip dari Czaja AJ, Freese DK. Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis.
Hepatology 2002;(36):2:480-497
Efek Samping Obat
Pemantauan efek samping obat sangat diperlukan mengingat pasien akan
diberikan terapi imunosupresi jangka panjang. Delapan puluh persen akan mengalami
perubahan dari segi kosmetik, seperti wajah membulat, jerawat, pembentukan dorsal
hump dan obesitas, umumnya terjadi setelah pemberian kortikosteroid dua tahun.
Komplikasi lainnya yang sering dilaporkan adalah osteoporosis, kompresi vertebral,
diabetes, katarak, hipertensi, biasanya muncul setelah terapi berkesinambungan
selama 18 bulan dan pada dosis prednison lebih dari 10 mg per hari. Umumnya,
36
alasan untuk menghentikan terapi adalah perubahan kosmetik dan obesitas (47%),
osteopenia dan kompresi vertebral (27%).
Komplikasi penggunaan azathioprin adalah hepatitis kolestatik, penyakit vena-
oklusif, pankreatitis, mual, muntah, kemerahan, dan supresi sumsum tulang.Efek
samping ini muncul pada 10% pasien yang menerima azathioprin 50mg per
hari.Keluhan ini biasanya membaik dengan mengurangi dosis atau menghentikan
obat.
H. Sindrom Sjogren1
Adalah suatu penyakit kronik yang ditandai oleh mata kering
(keratokonjungtivitis ska) dan mulut kering (xerostomia) akibat kerusakan kelenjar
lakrimalis dan liur yang diperantarai oleh sistem imun. Penyakit ini dapat timbul
sebagai kelainan tersendiri (bentuk primer), juga dikenal sebagai sindrom sika, atau
(yang lebih sering) berkaitan dengan penyakit autoimun lain (bentuk sekunder). Di
antara berbagai penyakit terkait, RA adalah yang tersering.Akan tetapi, sebagian
pasien juga mengidap SLE, polimiositis, scleroderma, vaskulitis, oenyakit jaringan
ikat campuran (mixed connective tussye disease), atau tiroiditis.
Etiologi dan Patogenesis.
Penurunan air mata dan air liur (sindrom sika) yang khas ini terjadi akibat
infiltrasi limfosit dan fibrosis di kelenjar lakrimalis dan liur. Infiltrat terutama
mengandung sel T penolong CD4+ aktif dan beberapa sel B, termasuk sel plasma
yang mengeluarkan antibodi secara local. Sekitar 75% pasien memiliki faktor
rheumatoid tanpa memandang ada tidaknya RA.ANA terdekteksi pada 50% sampai
80% pasien.Sejumlah antibodi spesifik-organ dan nonspesifik-organ juga dapat
ditemukan.Namun, yang terpenting adalah antibodi terhadap d ua antigen
ribonukleoprotein, yaitu SS-A (Ro) dan SS-B (La), yang dapat di temukan pada
hampir 90% pasien dengan teknik-teknik yang sangat sensitive.Oleh karena itu,
antibodi-antibodi ini dianggap sebagai penanda serologis peyakit.Pasien dengan titer
antibodi terhadap SS-A yang tinggi lebih besar kemungkinannya memperlihatkan
awitan dini, durasi penyakit yang lebih lama, dan kelainan di luar kelenjar, seperti
vaskulitis kulit dan nefritis.Autoantibodi-autoantibodi ini juga terdapat pada sejumlah
kecil pasien SLE dan karenanya, tidak diagnostic untuk sindrom Sjogren.
37
Seperti pada penyakit autoimun lainnya, sindrom Sjogren memperlihatkan
keterkaitan, meskipun lemah, dengan alel-alel HLA tertentu.Studi-studi terhadap
pasien berkulit putih dan hitam mengisyaratkan keterikatan bentuk primer dengan
lokus HLA-B8, HLA-DR3, dan DRW52 serta HLA-DQA1 dan HLA-DQB1.Pada
pasien dengan antibodi anti-SS-A atau anti-SS-B, sering ditemukan alel spesifik
HLA-DQA-1 dan HLA-DQB1.Hal ini mengisyaratkan bahwa, seperti pada SLE,
pewarisan molekul kelas II tertentu mempermudah terbentuknya autoantibodi
tertentu.
Banyak autoantibodi yang dijumpai, tetapi tidak ada bukti bahwa antiboodi-
antibodi ini menjadi kausa primer cedera jaringan. Sindrom sjogren kemungkinan
besar dipicu oleh sel T CD4+ .Analisis molecular terhadap reseptor sel T dari sel-sel
T CD4+ yang menginfiltrasi jaringan menunjukkan bahwa sebagian dari sel T
tersebut berplorifeasi secara klonal, yang mengisyaratkan adanya stimulasi akibat
rangsangan antigen. Sifat autoantigen (-autoantigen) yang dikenali oleh sel-sel T ini
masih misterius. Kandidat autoantigen antara lain adalah suatu protein sitoskeleton
yang disebut α-fordin. Akan tetapi, peran α-fordin pada timbulnya penyakit masih
belum dipastikan.
Mekanisme terpicunya reaksi autoimun masih belum diketahui.Banyak
perhatian diarahkan pada virus sebagai kemungkinan etiologinya.Terdapat beberapa
bukti tidak-langsung yang mengakibatkan EBV, virus tersangka, dan virus hepatitis C
sebagai penyebab sindrom Sjogren.Selain itu, sejumlah kecil pasien yang terinfeksi
oleh human T-cell lymphotropic virus tipe I (HTLV-I) memperlihatkan gambaran
klinis dan patologis yang hampir identik dengan yang dijumpai pada sindrom
sjogren.Apakah virus-virus ini juga berperan pada pathogenesis sindrom jogren pada
pasien yang tidak memperlihatkan manifestasi infeksi virus-virus itu, masih belum
sepenuhnya jelas.
Gambaran klinis.
Sindrom sjogren paling sering terjadi pada wanita berusia lanjut, biasanya usia
antara 50 dan 60. Seperti yang telah diperkirakan, gejala-gejala timbul akibat
kerusakan inflamatori kelenjar-elenjar eksokrin.Keratokonjungtivitas menyebabkan
penglihatan kabur, rasa terbakar, dan gatal serta sekresi kental yang menumpuk di
kantung konjungtivita.Xerostomia menimbulkan kesulitan untuk menelan makanan
38
padat, penurunan kemampuan mengecap rasa, fisura dan retakan di mulut, serta
keringnya mukosa pipi.Pembesaran kelenjar parotis dijumpai pada separuh pasien;
kekeringan mukosa hidung, epistaksis, bronchitis berulang, dan pneumonitis juga
dapat dijumpai.Manifestasi kelainan di luar kelenjar ditemukan pada sepertiga pasien
dan mencakup sinovitis, fibrosis paru difus, neuropati perifer. Sekitar 60% pasien juga
mengidap penyakit autoimun lain, sperti RA, dan pasien-pasien ini juga
memperlihatkan gejala dan tanda penyakit tersebut.
Kombinasi peradangan kelenjar liur dan lakrimalis dahulu disebut penyakit
mikulicz. Namun, nama ini skerang diganti oleh sindrom Mukulicz, yang diperluas
untuk mencakup pembesaran kelenjar lakrimalis dan liur oleh sebab apapun.
Sarkoidosis, leukemia, limforma, dan tumor lain juga dapat menyebabkan sindorm
Mikulicz. Jadi, biopsy bibir (untuk memeriksa kelenjar liur minor) esensial untuk
menegakan diagnosis sindrom Sjogren.
Kelenjar limfe pada pasien sindrom Sjogren tidak saja memperlihatkan
pembesaran, tetapi juga infiltrate pleomorfik sel-sel dengan banyak gambara mitosis.
Pada stadium awal penyakit, sel-sel B, yang mungki berespon terhadap beberapa
autoantigen, bersifat poliklonal.Namun, limfoma non-Hodgkin, terutama tipe sel B,
pernah dilaporkan timbul di kelenjar liur dan kelenjar limfe beberapa
pasien.Diperkirakan bahwa pengaktifan sel B poliklonal di dalam kelenjar liur dan
limfe mempermudah timbulnya populasi sel B monoclonal neoplastic.Tumor-tumor
ini disebut sebagai limfoma zona marginal.
Penatalaksanaan Sindrom Sjogren
Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi
kelenjar dimata dan mulut dan manifestasi ektraglandular.Prinsipnya hanyalah
simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.
Mata
Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet
untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari.44, 46 Lubrikasi pada mata kering
dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata
kering.Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air mata pengganti bisa
39
diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar.Tetes mata yang
mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.
Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat
muskarinik reseptor.Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu
golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12
minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali sehari.
Mulut
Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan
pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi
mulut.Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat
untuk mengatasinya.
Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang
kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan digunakan sugar-free
lozenges, cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang
masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol,
sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur topikal. 44, 46
Ektraglandular
OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin
digunakan untuk atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1
mg/kgBB/hari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk
mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus intersisial lung disease,
glomerulonefritis, vaskulitis.42, 44
Tabel 7.Obat Yang Digunakan Untuk Terapi Sindrom Sjogren 8
40
Obat Yang Digunakan Untuk Terapi Sindrom Sjogren
1. Muskarinik agonis (Pilokarpin dan Cevimelin)
Digunakan untuk terapi sicca symptoms karena merangsang reseptor M1 dan
M3 pada kelenjer ludah sehinggameningkatkan fungsi sekresi.8. Suatu penelitian
pasien Sindrom Sjogren yangditerapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu
terdapat perbaikankeluhan. Sementara itu penelitian lain menggunakan Cevimelin
dengan dosis 3 x15 mg/30 mg selama 6 minggu juga dapat memperbaiki keluhan.14
Sedangkan penelitian di Loannina.Greece pada 29 pasie SS yang mendapat Pilokarpin
2 x 5 mg selama 12 minggu juga terdapat perbaikan keluhan.33
Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang diterapi
dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat perbaikan
keluhan mata dan mulut kering.15 Pilokarpin dapat meningkatkan produksi kelenjer
saliva dan mata. Efek samping pilokarpin berupa keringat yang berlebih, diare, rasa
panas dikulit terutama disekitar wajah dan leher, nyeri otot, ingusan dan gangguan
penglihatan.33
2. Agen Biologik
41
Suatu penelitian oleh steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang
diterapi dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6 terdapat
perbaikan keluhan. 33
Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien
sindrom sjogren primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut
kering. 33
3.Terapi lain
Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolon
secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS. Hidroksiklorokuin yang
digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk penyakit autoimun dan dari
penelitian pada 14 pasien Sindrom sjogren primer dapat meningkatkan produksi
kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan.14, 33
Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis
400 mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat
perbaikan keluhan.33
I. SKLERODERMA
Definisi
Skleroderma merupakan penyakit yang kompleks, dimana terjadinya perluasan proses fibrosis, perubahan vaskularisasi dan autoimun terhadap berbagai antigen merupakan ciri-ciri yang utama, skleroderma juga terbagi dalam dua bentuk: skleroderma lokalisata dan skeleroderma sistemik. Sebuah penyakit yang jarang terjadi dengan penyebab yang belum diketahui, dimana proses pengerasan dapat terlihat di kulit, biasanya muncul setelah terjadi infeksi tetapi juga muncul pda penyakit diabetes dan akan hilang secara spontan dalam rentang waktu bulan atau tahun. Didapatkan asam mukopoli-sakarida di dalam dermisSkleroderma lokalisata adalah bentuk skleroderma yang menyerang kulit secara lokal tanpa disertai kelainan sistemik dengan gejala khas bercak-bercak putih kekuning-kuningan dan keras, seringkali mempunyai halo ungu di sekitarnya. Penyakit ini dimulai dengan stadium inisial yang inflamatorik, kemudian memasuki fase sklerodermatik.Skleroderma sistemik mirip skleroderma lokalisata, penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya, ditandai oleh fibrosis kulit, penyakit ini kemudian menyerang paru-paru, traktus gastrointestinal, ginjal dan jantung. Kerusakan sel endotel di pembuluh darah mengakibatkan fibrosis dan sklerosis pada organ yang dikhawatirkan.
42
Gb. 1. A,B. Difusi kutan pada sklerosis sistemik. Kulit sklerosis pada sklerosis sistemik difusi kutan melebar sampai proksimal siku dan lutut, dan sering meliputi dada dan dinding abdominal. Kontraktur jarigan lunak yang berat dapat terjadi, dan ulserasi, khususnya ada bidang ekstensor. Sklerosis kulit terparah pada 18 bulan pertama dari penyakit ini. Fenomena Raynaund dapat terjadi setelah onset dari kulit berubah.
Gb. 2. Gambaran sklerosis lokalisata yang menunjukkan perubahan pada wajah yang terlihat seperti topeng, tidak dapat membuka mulut, sklerodaktil, dan ulserasi.
Klasifikasi:
Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus
terbatas (80% kasus).
1. Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas
bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru
dan jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak
organ dalam, tidak hanya kulit saja.
2. Tipe terbatas menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud,
disfungsi esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya
terbatas pada wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas.
Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri
dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya
lupus sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren
43
Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat
dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Skleroderma Lokal
Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa
disertai kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh
mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan. Fenomena Raynaud
adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang
dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional.
Perubahahspesifik umumnya terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari
kaki, daun telinga, lidah dan hidung.
b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma
pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan
tulang dibawahnya
c. Skeleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana
garis yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
2. Sklerosis sistemik
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas,
muka dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut
tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma
CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sistemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan
kulit walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas
untuk sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit
otot inflamasi
e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis
sitemik
Faktor yang mempengaruhi timbulnya Skeleroderma:
a. Faktor Genetik
44
Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang
menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk
systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat
pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan
pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi
imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang
lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah
dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE),
endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte
chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha,
IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya
(connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-
beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).
b. Faktor Lingkungan
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan
pentingnya faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama
virus, paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat
mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan
antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I
autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit.
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada
pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan
dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic
hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).
Gejala dan Tanda
Gejala Klinis:
Secara umum Skleroderma mempengaruhi jaringan ikat, terutama pada kulit dan
dinding pembuluh darah, dan, pada tingkat yang lebih rendah, dapat mempengaruhi
hati saluran pencernaan, paru-paru dan ginjal.
Cutaneous symptoms (Gejala pada Kulit):
45
Gejala yang timbu pada kulit, sering dikaitkan atau didahului dengan fenomena
Raynaud dan arthralgias pada jari, hal ini biasanya menjadi tanda-tanda awal
perjalanan penyakit Skeleroderma. Oleh karena itu gejala awal ini dapat membantu
untuk menegakkan diagnosis dan memulai terapi.
Tanda:
akumulasi jaringan ikat yang berlebihan
fibrosis
pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler
dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah,
saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung.
Tampilan Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difus
Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan
distal, wajah, progresifitas
lambat
Difus:jari-jari,
ekstremitas,wajah,badan,
progreifitas cepat
Fenomena Raynaud Mendahului keterlibatan
kulit,berhubungan dengan
iskemia
Sejalan dengan
keterlibatan kulit
Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat
Hipertensi arteri
pulmonal
Sering, lambat, mungkin
terisolasi
Dapat terjadi,
berhubungan dengan
fibrosis pulmonal
Krisis renal
Skeleroderma
Sangat jarang 15% terjadi, diawal
Kalsinosis kultis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan
Karakteristik
autoantibody
Antisentomer Antitopoisomerase
46
Gambaran Klinis
Skleroderma lokalisata:
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk mendiagnosa skleroderma lokalisata, tetapi tes sering dilakukan untuk mengevaluasi tingkat dari inflamasi dan masalah yang terkait dengan skleroderma lokalisata, serta untuk memastikan pasien tidak mempunyai penyakit lain. Biopsi kulit dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis.Gambaran klinis dari skleroderma lokalisata terbagi 5, yaitu:-Morfea soliter (morfea en plaque)
Lesi terdiri atas sebuah bercak sklerotik yang numuler atau sebesar telapak tagan. Bercak biasanya berbentuk bulat, berbatas jelas, dan berkilat seperti lilin. Warna bercak merah kebiru-biruan, kadang-kadang seperti gading dengan halo ungu (violaceus ilia ring). Hal tersebut berarti lesi masi inflamatorik (aktif). Bagian tengan bercak berawarna putih kekuningan seperti gading.Didalam lesi, rambut berkurang, begitu juga respon keringat menurun. Bercak atau plak tersebut keras dan berindurasi, tetapi tidak melekat erat pada jaringan di bawahnya.-Morfea gutata
Bentuk ini sangat jarang. Lesi terdiri atas bercak kecil dan bulat yang atrofik. disekitarnya terdapat hal ungu kebiru-biruan. Beberapa lesi berkelompok, lokalisasi biasanya di dada atau di leher.-Skleroderma linear (Skleroderma en coup de sabre)
Lesi soliter dan unilateral. Biasanya lesi di kepala, dahi atau ekstrimitas. Pada lesi terdapat atrofi dan depresi. Berbeda dengan morfea biasa, yang terletak di seuperfisial, maka skleroderma linear menyerang laisan-lapisan kulit dalam.Bila penyakit mulai pada usia dekade pertama atau kedua, maka seringkali disertai deformitas. Yang dapat dijumpai ialah hemi-atrofi dari sebuah ekstrimitas atau wajah, kontraktur di wajah, atau anomali kolumna vertebrata.-Morfea segmental
Bila berada di satu atau lebih ekstrimitas. Disamping ada indurasi, ada atrofi pada lemak subkutis dan otot. Akibatnya ialah kontraktur otot dan tendon, serta ankilosis pada sendi tangan dan kaki.-Morfea generalisata
Bentuk tersebut merupakan kombinasi empat bentuk diatas. Morfea tersebar luas dan disertai atrofi otot-otot, sehingga timbul disabilitas. Lokasi terutama di badan bagian atas, abdomen, bokong, dan tungkai.
Semua bentuk morfea biasanya dalan tiga sampai lima bulan menjadi inaktif, bahkan kemudian menghilang dalam beberapa tahun, kecuali skleroderma linear, yang biasanya makin meluas.
Skleroderma sistemik:
47
American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:
-Kriteria Mayor:Skleroderma proksimal terlihat penebalan, penegangan dan pengerasan kulit
yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstrimitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)-Kriteria Minor: Sklerodaktil: Perubahan kulit seperti tersebut diatas, tetapi hanya terbatas pada
jari. Pencengkungan jari atau hilangnya substansi jari. Daerah yang mencekung pada
ujung jari atau hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat iskemia. Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang reticular
terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru.
Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau 2 atau lebih kriteria minor.Satu jenis dari sklerosis sistemik adalah sindrom C.R.E.S.T. Pada skleroderma tipe ini ditemukan:
Calcinosis: Kalsinosis dari kalsium yang terdapat dibawah kulit jari tangan dan kaki.
Raynaud’s phenomenon: Fenomena Raynaud dengan sirkulasi pembuluh darah yang buruk.
Esophagus: Dismotilitas esophagus. Sclerosis: Sklerosis jari tangan dan kaki.
Teleangiectasia:
(a) (b)Gambar 7: (a) Penebalan dan Peregangan kulit pada wajah, (b) Sclerodactyly dengan
48
ulserasi digital; hilangnya lipatan kulit dan kontraktur sendi, rambut jarang.
Gb. 3. Gejala klinis dan pemeriksaan histology pada pasien dengan skleroderma. Panel A memperlihatkan hyperkeratosis di kuku pasien fase edema pada skleroderma lokalisata. Panel B memperlihatkan ulserasi di ujung jari pada pasien skleroderma lokalisata. Panel C memperlihatkan sebuah infiltrate limfohistiositik di sekitar pembuluh darah pada preparat kulit. Pada Panel D, sebuah spesimen biopsy kulit dari pasien dengan skleroderma sistemik memperlihatkan deposisi dari matriks kolagen keluar dari dermis sampai jaringan lemak subkutan. Panel A memperlihatkan penebalan pada pertengahan arteri interlobulus (panah) dan dua arteri yang meruncing (asterisk) di ginjal dari pasien skleroderma. Sebagian gromerulus telah tidak bekerja dan epitel dari tubular mengalami atrofi. Fibrosis dengan infiltrasi sel mononuklear terjadi di interstitium.
Epidemiologi
Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar 19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1. Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin, trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.
49
Prevalensi di Inggris tahun 2004 ditemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12 diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian di Amerika utara tahun 2003 dan penelitian tahun 2001 di Australia.
Kesimpulan dari studi demografik didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam kerentanan yang terjadi pada populasi.
Etiologi
Untuk skleroderma lokalisata, etiologinya belum diketahui. Tetapi terdapat beberapa faktor familial. Kehamilan dapat menyebabkan presipitasi atau agravasi pada morfea. Ada laporan yang menngabarkan penyakit ini muncul setelah terjadi infeksi, seperti morbili, varisela dan borrelia burgdorferi, ada juga yang menyatakan pemicunya termasuk trauma dari vaksin bacille calmette-guerin (BCG), injeksi vitamin b, terapi radiasi, penisilamin, dan bromokriptin. Tetapi bagaimanapun tidak ada satupun yang merupakan penyebab langsung yang terbukti.Sedangkan sklerosis sistemik ialah penyakit kompleks yang berkaitan dengan faktor genetik dan lingkungan. Tentang faktor genetic, terdapat perbedaan mengenai jenis kelamin. Perbandingan wanita dan pria ialah 2:1 sampai 21:1. Sklerosis sistemik juga berhubungan dengan HLA, misalnya HLA-A1, B8-DR3 atau dengan DR3 dan DR-2, terjadi pula peningkatan pemecahan kromosom. Faktor lingkugan yang diduga berhubungan ialah debu silika, polivinyl klorida, hidrokarbon aromatik. Juga obat-obatan misalnya bleomisisn, pentazokin dan L-triptofon. Adanya faktor pencetus akan menstimulasi sistem imun, baik selular maupun humoral.
Patogenesis
Skleroderma lokalisata:
Epidermis bisa terlihat normal atau menipis dan terjadi atrofi disertai hilangnya rete ridges. Pada awalnya lapisan dermis akan mengalami edema, pembengkakan dan degenerasi dari jaringan kolagen fibril, yang kemudian menjadi homogen dan eosinofilik. Kemungkinan adanya kekurangan infiltrat limfatik pada perivaskular. Infiltrat selular dari limfosit, sel plasma, dan makrofag, dari perivaskular atau difusi, terjadi 84% dalam satu kali proses. Kemudian dermis akan menebal, dengan kolagen yang padat dan beberapa fibroblast yang terlihat. Jaringan elastis akan berkurang. Kulit bagian paling luar, dermis, dan lemak subkutan akan hilang dengan cepat. Beberapa kelenjar keringat mungkin dapat bertahan, jauh di dalam massa sklerosis sistemik sklerotik yang padat. Pembuluh darah dermis akan terlihat menebal. Lebih singkatnya, Inflamasi dapat memicu sel jaringan ikat untuk memproduksi banyak kolagen yang merupakan bagian utama dari banyak jaringan. Kolagen yang berlebihan dapat menyebabkan fibrosis, yang terlihat seperti jaringan parut.
50
Skleroderma sistemik:
Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui. Diduga, faktor pencetus yang sampai sekarang belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan menimbulkan kerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluatkan berbagai mediator, seperti PDGF, TGF-B dan CTAP-III. Yang akan menyebabkan proliferasi fibroblast dan sintesis matriks oleh fibroblast. Aktifasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblast dan sintesis matriks. Aspek utama dari penyakit ini termasuk inflamasi pembuluh darah, dan sel yang diproduksi jaringan ikat. Faktor genetik spertinya juga penting seperti penyakit kompleks lainnya. Faktor keturunan yang berperan adalah jenis kelamin, rasio wanita dengan laki-laki adalah 2:1 sampai 20:1, walaupun demikian faktor hormone seks pada patogenesis penyakit ini belum diketahui.
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl
70) dan antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik.
Selain itu, evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus
dilakukan. Bila keadaan meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.
Gambar 9. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien Skeleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien skleroderma.
Terdapat beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi
diagnosis atau mengevaluasi keparahan organ-organ tertentu yang dicurigai terkena.
Tes-tes laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:
1. Blood test-Sejumlah tes darah dapat menunjuk kea rah Skeleroderma,
pemeriksaan yang dapat dilakukan antara lain :
51
Rheumatoid factor (Rematoid factor)
Erythrocyte sedimentation rate (Laju sedimentasi eritrosit)
Antinuclear antibody (Antinuklear Antibodi)
Skeleroderma antibody (Skleroderma Antibodi)
Anticentromere antibody (Anticentromere Antibodi)
2. Imaging Test- Tes ini dapat memvisualisasikan organ-organ internal untuk
melihat bagaimana penyakit tersebut dapat mempengaruhi organ. Pada area
tertentu dapat dilakukan pemeriksaan menggunkan imaging-test yang dapat dipilih
berdasarkan gejala yang ditimbulkan. Yang termasuk dalam imaging test antara
lain :
Sinar-X :tes yang menggunakan radiasi untuk mengambil gambar dari struktur
di dalam tubuh.
CT Scan :tipe dari x-ray yang menggunakan komputer untuk membuat gambar
dari struktur di dalam tubuh.
MRI Scan :tes yang menggunakan gelombang magnetik untuk membuat
gambar dari struktur di dalam tubuh.
Nailfold capillaroscopy : tes ini memungkinkan kita melihat gambaran dari
nailfold yang diperbesar untuk memeriksa kapiler.
3. Skin Biopsi : Sebuah sampel kecil dari kulit bisa dihapus dan diperiksa di
laboratorium untuk karakteristik tertentu yang menunjukkan skleroderma
Diagnosis Banding
Diagnosis biasanya tidak sulit, perkembangan berbahaya plak yang berbatas tegas dan berbekas di kulit, dengan atau tanpa hemiatrophy, yang mungkin terjadi dalam kondisi lainnya. Jika ada perbatasan berwarna ungu, diagnosis menjadi lebih mudah.. Lesi Morfea terjadi pada sarkoidosis. Lesi dapat mulai sebagai eritema pembuluh darah, dan biasanya mirip dengan naevus makula vaskular. Pada fase akut, kondisi ini harus dibedakan dari scleroedema dari Buschke, tetapi dalam kondisi awal morphoea jauh lebih akut, dan lesi dapat memasuki sebuah fase menular. Lesi hipopigmentasi kadang-kadang sangat sulit untuk didiagnosa, tetapi riwayat bebearapa lesi yang berbatas tegas biasanya membantu dalam menegakkan diagnosis. Lesi atrofi berpigmen menyerupai lesi atrofi Pierini dan Pasini terjadi pada satu pasien dalam satu fase. Lesi yang terdapat pada perut mungkin akan membingungkan dengan apa penyakit centrifugalis infantilis abdominalis lipodystrophia. Plak atrofi morphoea dapat terjadi sebagai hasil dari suntikan intramuskular vitamin K atau suntikan subkutan kortikosteroid.
52
Pada saat kondisi sedang memproduksi pseudoSkeleroderma mungkin harus menjadi pertimbangan dalam mendiagnosis penyakit ini. Melorheostosis adalah suatu kondisi langka di mana ada kelainan abnormal pada tulang dan jaringan lunak yang berdekatan, biasanya terbatas pada satu ekstremitas. Kepadatan tulang endosteal dari tulang panjang yang terlihat pada radiografi, dan marker yang digunakan menyerupai lilin akan mengalir sepanjang tulang yang terinfeksi. Pada anak-anak, presentasi yang biasa terlihat adalah anggota tubuh yang memiliki kontraktur asimetris, dalam kejadiannya memiliki hubungan dengan penebalan kulit dan wajah, dan masalah pembuluh darah distal diperburuk oleh pembedahan masalah ortopedi, termasuk angioma, dan malformasi arteriovenous.
Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhan Skeleroderma.
Obat-obat yang tersedia hanya untuk menyembuhkan atau mengobati gejala.
penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD : gastroesophageal reflux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF, mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterialhypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase; RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:Skeleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)
1. Non farmakologi
Makan makanan yang mudah dikunyah dan berprotein tinggi dan banyak
mengandung vitamin. Nikotin harus dihilangkan karena efek vasoconstrictoriy
nya.
"Menjaga tubuh tetap hangat" oleh pakaian pelindung seperti celana hangat,
sarung tangan, kaus kaki dan sepatu. Pemanasan tangan selama lima menit
53
setiap empat jam dalam bak air hangat menyebabkan perbaikan klinis yang
signifikan.
Menghindari paparan zat berbahaya lingkungan seperti silika, ethylens
terklorinasi, pelarut, monomer dari plastik atau obat-obatan tertentu untuk
menghentikan efek mereka pathogenetically progresif.
1. Farmakologi
Terapi ini diarahkan pada:
a. Vaskular sistem
PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)
Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan
penurunan nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous
epoprostenol (Flolan) dan subcutaneous atau intravenous treprostinil
(Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and Drug Administration
(FDA) dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA IV.
Efek prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan
tempat untuk pemberiannya dengan cara inhalasi untuk menghindari efek
sitemiknya. Pemberian Iloprost (Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan
fungsi dan hemodinamik serta menurunkan kecepatan progresifitas penyakit.
Skeleroderma Renal Crisis (SCR)
Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia hemolitik
mikroangiopati pada pasien Skeleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah
dengan ACE inhibitor (kaptopril, 75-150 mg per hari secara oral). Obat ini
tetap dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastis. Jika
diperlukan dapat dilakukan dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid
dan plasmafaresis tidak ada gunanya.
Raynaud’s Phenomenon (RP)
Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan,
penghangat tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-
channel blockers seperti amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi
medikal pertama pada RP. Kalsium channel blockers menghambat penyerapan
kalsium intraseluler dan akibatnya kontraksi sel otot polos pada dinding
pembuluh, yang dimediasi oleh protein kinase tergantung kalsium. Tiga dosis
54
10 mg nifedipin atau nicardipin dapat mengurangi frekuensi dan keparahan
serangan Raynaud. Dosis rendah selective serotonin reuptake inhibitors
(SSRIs) juga digunakan karena dapat menhambat efek agregasi dan aktivasi
trombosit. Diantara SSRI, fluoxetine (Prozac, Symbyax, Sarafem) responnya
baik dalam beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk
RP. Iskemi dan ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara
intermiten serta obat-obatan lain yang dipakai pada PAH.
b. Sistem kekebalan tubuh (radang, immunmodulation, autoimunitas)
Cyclophosphamide
Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk
penyakit paru interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini,
cyclophosphamide meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9%
dibandingkan dengan placebo
Transplantasi Stem Cell autologous
Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell
perifer autologous telah dipertimbangkan untuk Skeleroderma. Berbagai studi
terus menerus dilakukan untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk
dengan CYC dalam penatalaksanaan Skeleroderma
Methotrexate
Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam
Skeleroderma dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar
dibandingkan dengan plasebo. Methotrexate digunakan untuk kasus awal
Skeleroderma dengan Skeleroderma terbatas pada kulit dan muskuloskeletal
sistem, termasuk myositis.
Mofetil Mycophenolate
Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam
penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil
mycophenolate mungkin efektif pada skleroderma.
Corticosteroids
Prednisolon (awalnya: 40-100 mg / hari, dosis pemeliharaan: 10-15 mg / hari)
atau metilprednisolon pada umumnya menghambat peradangan tetapi juga
memberikan suatu efek katabolik pada sintesis kolagen (atrofi). Metil
prednisolon diindikasikan dalam pengobatan inflamasi dari SSC,
sklerodermatomyositis, khususnya pada arthritis, miositis alveolitis, dan
55
vaskulitis. Namun, ada bukti bahwa kortikosteroid (> 15 mg / hari
prednisolon) meningkatkan risiko memicu krisis SSC ginjal. Selain itu,
berbagai signifikan efek samping karena pengobatan jangka panjang
pemeliharaan seperti hipertensi hiperglikemia, osteoporosis , ulserasi peptik,
atrofi otot.
c. Fibrosis
Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam
patofisiologi skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang
terbukti efektif untuk saat ini. Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan
rekombinan relaksin manusia, telah gagal dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi
faktor pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam patogenesis skleroderma
telah mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta. Meskipun
penggunaan anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal aman,
namun bukti klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil
pada skleroderma.
J. Dermatomiositis
Definisi
Merupakan penyakit radang kulit dan otot yang ditandai dengan ruam kulit khas yang
sapat menyertai atau mendahului awitan kelainan otot. Ruam klasik memperlihatkan bentuk
diskolorisasi heliotrope atau seperti warna bunga lilac di kelopak mata atas disertai edema
periorbita.4
Etilogi dan patomekanisme
Penyebab miopati inflamatorik atau dermatosiositis(disertai radang pada kulit) tidak
diketahu penyebabnya, tetapi cedera jaringan tampaknya diperantarai mekanisme imunologis.
Pada dermatomiositis, kapiler merupakan sasaran utama. Pembuluh-pembuluh mikro diserang
oleh antibody komplemen sehingga terbentuk fokus-fokus nekrosis miosit iskemik.
Pengendapan antobodi dan komplemen dikapiler mendahului peradangan dan kerusakan serat
otot. Sel B dan sel T CD4+ terdapat didalam otot, tetapi di daerah otot yang cedera, jumlah
limfositnya sedikit. 4
Tanda dan gejala klinis
Menifestasi klinis yang utama adalah kelemahan otot yang dapat mengenai sebagian
atau semua otot skelet; timbul akut atau subakut. Paling sering mengenai otot proksimal
56
gelang bahu dang gelang panggul, kadang-kadang juga dapat mengenai otot lain, sehingga
menimbulkan kesulitan mengangkat kepala, berjalan lurus dan sebagainya. Juga ditemukan
kesulitan menelan yang menyebabkan ancaman aspirasi yang dapat mengancam jiwa. Pada
kasus berat semua otot skelet dapat terkena dan menyebabkan pendirita harus diam di tempat
tidur karena tidak dapat bergerak. Gejala sistemik dapat berupa badan lemah, demam,
malaise,anoreksia dan berat badan menurun. Pada kulit akan terdapat ruam heliotrope, yaitu
ruam ungu kemerahan agak bersisik yang dapat ditemukan di daerah periorbital, malar, dahi,
dan lupatan nasolabial. Selain itu juga ditemukan papul Gottron, yaitu papul-papul ungu
kemerahan pada interfalang jari-jari. Di daerah dada dan leher dapat ditemukan ruam
kemerahan yang berkonfluens yang disebut V-sign rash. Pada kuku dapat ditemukan eritema
periungual, pertumbuhan kutikular dan dilatasi lengkung kapiler. Pada sendi juga ditemukan
sinovitis subakut yang mungkin menyerupai gambaran artritis rheumatoid. Pada paru dapat
ditemukan fibrosis paru dan pneumonia interstitial, sedangkan pada saluran cerna dapat
ditemukan disfagia dan enterovaskulitis terutama pada anak-anak. 4
Pemeriksaan penunjang
Kadar SGOT dan SGPT, keratin fosfokinase (CPK) dan aldolase akan meningkat;
laju endap darah akan meningkat(LED) dan C- Reactive Protein (CRP). Didalam urin juga
akan ditemukan peningkatan kadar mioglobulin dan keratin. Pada elektromiografi didapatkan
fibrilasi spontan dan potensial polifasik serta berjangka pendek yang menunjukan adanya
aktifasi inersional. Pada pemeriksaan radiologic akan didapatkan kalsifikasi subkutan,
terutama pada dermamiositisi juvenile yang sangat ekstensif. Pada pemeriksaan
histopatologik akan tampak gambaran nekrosis fokal serabut otot dengan garis-garis serat
melingtang otot menghilang disertai diinfitrasi dan mungkin di fagositosi oleh sel-sel radang
akut dan kronik. Juga tampak infiltrasi sel-sel radang ke daerah perivascular; kadang-kadang
tampak gambaran vaskulitis.
Faktor Autoantibody yang berpengaruh
Autoantibodi Antigen Gambaran Klinis
Anti-PM-Scl Tidak diketahui Miositis, scleroderma,
arthritis
Anti-Ku DNA-binding protein Overlap myositis,
scleroderma-SLE
Anti-KJ Unidentified translation
factor
PM, Pneumonitis
interstitial, fenomena
Raynoud
Anti-Fer Elongation factor 1 alpha Myositis
57
Anti-MJ Tidak diketahui DM Juvenil
Anti-MAS tRNA antigen related Miositis, hepatitis,
rabdomiolisis alcoholic
Anti-U1RNP U1 small nuclear RNP MCTD (Mixed Conective
Tissue Disease)
Anti-sn RNP’s U2-U6 small nuclear
RNP’s
Overlap PM-Skleroderma
Anti-Ro/SSA Protein RNA Miositis dengan sindrom
Sjorgen atau SLE4
Penatalaksanaan
a. Non-farmakologik
Pada fase akut pasien dianjurkan untuk istirahat tirah baring. Gerakan pasif harus
dilakukan selama masa akut untuk mencegah kontraktur. Kontraktur sering terjadi pada
DM juvenile. Setelah fase akut teratasi, pasien harus melakukan latihan aktif, baik latihan
isometric maupun isotonic. Peran fisioterapis sangat penting, tidak hanya untuk
membantu melakukan tes kekuatan otot, tetapi juga dalam membuat perencanaan
program latihan untuk penguat otot. Latihan-latihan tersebut sangat berguna untuk
mencegah atrofi otot dan kontraktur.
b. Farmakologik
Obat lini pertama yaitu pemberian kortikosteroid dengan dosis 60 mg/hari sampai 2
mg/KgBB prednisone. Perbaikan klinik akan terlihat pada minggu pertama pengobatan
atau bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi kekuatan otot dan kadar CPK harus
dilakukan setiap 3 minggu sekali. Pada minggu ke-6, keputusan dosis steroid harus di
tentukan. Bila keadaan pasien membaik, maka dosis awal steroid dipertahankan sampai
kekuatan otot dan kadar CPK kembali normal. Dosis tersebut harus dipertahankan sampai
4-8 minggu kemudian, baru diturunkan secara perlahan, yaitu 10 mg/hari setiap bulan.
Setelah dosis prednisone mencapai 10 mg/hari selama 1 bulan, dosis diturunkan lagi
menjadi 5 mg/hari dan dipertahankan sampai 1 tahun. Bila saat dosis steroid diturunkan
terjadi kekambuhan, maka naikan dosis seperti awal. Bila pada minggu ke-6 setelah
steroid diberikan tidak menunjukkan perbaikan yang diharapkan, maka dapat
ditambahkan azatioprin dengan dosis 2-3 mg/KgBB, dimulai dengan dosis 50 mg, 1
kali/hari. Bila setelah 3 minggu tidak ada perbaikan, dosos azatiopirin dinaikkan menjadi
100 mg/ hari dan dapat dinaikkan lagi sampai dosis 150 mg/ hari. Selama pemberian
azatiopirin harus hati-hati terhadap kemungkinan efek samping penekanan sumsum
tulang belakang dan gangguan fungsi hati. Metotreksat juga dapat diberikan pada
58
penderita dermatomiositis baik pada dewasa maupun anak-anak, dengan dosis awal 7,5
mg/minggu dan dapat dinaikkan sampai 15 mg/minggu bila setelah 4-6 minggu tidak
didapatkan perbaikan yang diharapkan. Siklofosfamid dan sklosporin-A jarang diberikan
pada DM walaupun mungkin memberikan efek yang baik. Siklosporin-A memberikan
hasil yang baik pada miositosis dengan anti-Jo-1 positif dan poliomiositis refrakter. Lesi
kulit pada dermatomiositosis memberikan respon yang baik dengan pemberian
hidroksiklorokuin 200 mg/hari. Terap dengan keganasan. Walaupun demikian,
hidroksiklorokuin tidak berefek terhadap miosistisnya. 4
Prognosis
Harapan hidup 5 tahun pasien Dermatomiositis cukup baik, dapat mencapai 85%
sedangkan pasien yang berhubungan dengan keganasan sangat tergantung pada prognosis
keganasannya. Harapan hidup 5 tahun pasien yang memiliki antibody antiM1-2 positif lebih
baik lagi, dapat mencapai 90%. Prognosis terburuk didapatkan pada pasien yang memiliki
antibody anti-SRP, dimana harapa hidup 5 tahunnya hanya 30%.4
K. Sindroma Fibromialgia
Definisi
Fibromyalgia adalah kelainan yang sering ditemui, dicirikan oleh adanya nyeri
musculoskeletal kronik yang menyebar luas disertai rasa kelelahan dan ditandai dengan tender
point pada penekanan otot ligament dan insersi tendon dengan penyebaran yang simetris,
kekakuan, mudah lelah, parestesi, dan gangguan tidur. Sir William Gowers 1904,pertama kali
menggunakan istilah fibromiositis,kini istilah tersebut ternyata kurang tepat. Berbagai nama
lain kemudian berkembang dan dikenal sebagai sinonim dari fibromyalgia : soft tissue
rheumatism, tendomiopati, miogelosis, neuroasthenia, muscular rheumatism, myalgic
encephalomyelitis, dll.40
Fibromialgia bukan merupakan suatu bentuk artritis karena tidak menyebabkan kelainan
sendi, tetapi dapat muncul bersamaan dengan jenis artritis rheumatoid, SLE, ataupun penyakit
jaringan ikat lain. Pada pasien penyakit autoimun didapatkan sebanyak 20-25% disertai
dengan fibromyalgia
Faktor-Faktor yang memperberat/memperingan
Faktor yang memperberat adalah Cuaca dingin dan lembab, tidur yang tidak nyaman,
kelelahan fisik atau mental, aktivitas fisik yang berlebihan dan inaktivitas fisik dan stress
59
Faktor yang memperingan adalah cuaca hangat dan kering, mandi air panas, tidur nyenyak,
dan aktivitas sedang seperti peregangan dan pijat. 40
Epidemiologi
Insiden fibromyalgia diseluruh dunia antara 0,5%-12% dari populasi. Di Amerika
dilaporkan insiden sekitar 3-5%, Denmark 0,66%, Finlandia 0,75%, Swedia 1,0%, Jerman 1,9
%, Afrika Selatan 3,2%, Kanada 3,3%, Norwegia 10,5% dan New Zealand 1,1%.
Fibromyalgia lebih banyak menyerang perempuan dibandingkan laki-laki, dengan rasio 9:1
dan antara umur 20 tahun-60 tahun. Prevalensi fibro- mialgia pada populasi umum di
Amerika Serikat untuk perempuan ialah 3,4%, sedangkan untuk laki-laki 0,5%. Fibromialgia
juga lebih sering ditemukan pada perempuan di atas 50 tahun.
Dari seluruh penyakit musculoskeletal,bahwa insiden di Asia 21-39%, sedang di Negara barat
23%.40
Etiologi
Sampai saat ini etiologi dan pathogenesis fibromyalgia belum diketahui secara pasti.
Benneth (2002) menyatakan bahwa sidnrom fibromyalgia semata-mata adalah kelainan
psikosomatik dan didapatkan sering bersamaan dengan kondisi ko-morbid yang lain seperti
irritable bowel syndrome, hipotensi postural, sakit kepala, migre,dysmenorrhoe dan gangguan
tidur. Gangguan neuroendokrin yang berhubungan dengan hipotalamus, kelenjar hipofisis
anterior dan kelenjar adrenal dikatakan mempunyai peran sebagai fibromyalgia. Faktor
eksogen yang diduga sebagai penyebab antara lain : trauma, infeksi virus, bakteri atau parasit.
Faktor genetic juga mempunyai peran,dimana pasien fibromyalgia sering bersamaan dengan
penyakit atoimun seperti : SLE, AR, dan Sindrom Sjogren. Kebanyakan sasaran penilitian
dipusatkan pada 3 keadaan,yaitu: Gangguan tidur, Perubahan otot, dan Paramaeter psikologi
Hingga kini, penyebab pasti fibromialgia belum dapat ditemukan,1,3,4 namun telah diketahui
bahwa fibromialgia dapat dipicu oleh stres emosional, infeksi, pembedahan, hipotiroidisme,
dan trauma. Fibromialgia juga telah ditemukan pada pasien yang terinfeksi hepatitis C, HIV,
parvovirus B19, dan lyme disease. Pendapat lain menyebutkan kurangnya latihan,
penggunaan otot secara berlebihan, dan perubahan metabolisme otot sebagai kemungkinan
penyebab fibromialgia. 40
Patogenesis dan Hubungan dengan gejala
Meskipun penyebab pasti fibromialgia masih menjadi misteri, secara umum para ahli
sepakat mengenai adanya mekanisme pengolahan input yang tidak normal, khususnya input
60
nyeri (nosiseptif), pada sistem saraf pusat.Pada studi dolorimetri dan pemberian stimuli
seperti panas, dingin dan elektrik, ditemukan ambang rangsang yang rendah pada pasien
fibromialgia. Pasien fibromialgia mempersepsikan stimuli non-nosiseptif sebagai stimuli
nosiseptif serta kurang mampu mentoleransi nyeri yang seharusnya dapat ditoleransi oleh
orang normal.
Beberapa kelainan fisiologik dan biokimia telah ditemukan pada susunan saraf pusat pasien
fibromialgia sehingga fibromialgia tidak lagi dapat disebut sebagai keluhan subjektif.
Kelainan tersebut adalah :
1. Kadar serotonin yang rendah
2. Disfungsi poros hipotalamus hipofisis
3. Kadar hormon pertumbuhan yang rendah
4. Kadar substansi P yang meningkat dan faktor pertumbuhan saraf yang meningkat. 40
Gangguan Tidur (Kadar Serotonin yang Rendah)
Pasien fibromyalgia 90% sering mengalami gangguan tidur. Diduga Growth Hormon
dan prolactin memegang peranan. Defisiensi GH pada orang dewasa dapat dihubungkan
dengan fibromyalgia ini. Sekitar 80% produksi GH dikeluarkan saat tidur pada stage IV yang
didapatkan pada saat tidur yang paling dalam dan hal ini berhubungan dengan intensitas dan
tidur yang cukup. GH juga menyebabkan hati membentuk suatu protein yang disebut
somatomedin atau insulin like growth factor yang paling banyak dikeluarkan pada saat tidur
yang dalam (stage IV). Benneth dkk(1944) mendapatkan kadar somatomedin yang rendah
pada pasien fibromyalgia dibandingkan group control
Prolactin juga dikeluarkan pada saat tidur yang panjang dan dalam dan diduga dapat
meningkatkan efisiensi tidur. Kadar prolactin dijumpai rendah pada pasien fibromyalgia.
Serotonin dan triptopan juga pegang peranan. Triptopan adalah prekusor dari serotonin , suatu
neurotransmitter yang juga berperan dalam regulasi tidur dan jika kadar serotonin rendah
maka dapat meimbulkan insomnia. Serotonin merupakan neurotransmiter yang berperan
dalam tidur, nyeri dan perubahan mood. Serotonin yang disekresikan oleh ujung serat neuron
rafe, dapat menyebabkan perangsangan daerah tertentu dari otak yang kemudian
menyebabkan tidur. Serotonin yang disekresi oleh radiks dorsalis medula spinalis dapat
merangsang sekresi enkefalin yang menimbulkan hambatan presinaptik dan postsinaptik pada
serabut nyeri. Kadar serotonin yang rendah diduga memiliki peran dalam patogenesis
61
fibromialgia yaitu dengan menurunkan efek hambatan pada serabut nyeri. Hal tersebut
diperkuat dengan penemuan bahwa pasien fibromialgia ternyata memiliki kadar serotonin
yang rendah di cairan serebrospinalnya. Bukti lain menunjukkan bahwa obat yang
mempengaruhi serotonin ternyata tidak menunjukkan efek dramatis pada fibromialgia. 40
Disfungsi Poros Hipotalamus Hipofisis
Poros hipotalamus hipofisis berperan penting dalam respons adaptasi terhadap stres.
Pada sistem yang berfungsi normal, hipotalamus mensekresi corticotropin-releasing hormone
(CRH) yang kemudian merangsang sekresi adreno- corticotropic hormone (ACTH) oleh
hipofisis. ACTH kemudian merangsang korteks adrenal mensekresi glukokortikoid yang
berperan dalam respons adaptasi terhadap stres. Regulasi sirkadian sistem poros hipotalamus
hipofisis sebagian dipengaruhi metabolisme serotonin. Disfungsi sistem poros hipotalamus
hipofisis diperkirakan sebagai akibat dari rendahnya kadar serotonin. Sebaliknya, disfungsi
sistem poros hipotalamus hipofisis juga diperkirakan memperburuk abnormalitas kadar
serotonin di sistem saraf pusat. 40
Beberapa kelainan yang dapat ditemukan berkaitan dengan disfungsi sistem poros
hipotalamus hipofisis adalah kadar kortisol 24 jam yang rendah, hilangnya ritme sirkadian
dengan peningkatan kadar kortisol sore hari, hipoglikemia yang diinduksi insulin berkaitan
dengan produksi ACTH yang berlebihan, kadar hormon pertumbuhan yang rendah dan
sekresi glukokortikoid yang rendah.Selain itu ditemukan juga kadar kortisol bebas pada urin
yang rendah, serta berkurangnya respons kortisol terhadap ncorticotropin-re- leasing
hormone pada pasien fibromialgia. 40
Perubahan Otot (Kadar Growth Hormone yang Rendah)
Growth hormone (GH) adalah suatu hormon yang berperan dalam pertumbuhan
karena sifatnya yang meningkatkan sintesis protein, meningkatkan penggunaan lemak untuk
energi, menurunkan pemakaian glukosa untuk energi, dan merangsang pertumbuhan tulang.
Hormon tersebut secara normal disekresi pada tahap 4 dari tidur, sehingga gangguan tidur
diduga dapat menurunkan sekresinya.
Growth hormone juga merupakan suatu peptide anabolic yang menstimulasi peningkatan
sintseis DNA, RNA dan protein yang berguna pada pertumbuhan semua jaringan tubuh pada
orang dewasa memegang peranan penting pada homeostasis otot dalam hal memelihara otot
yang normal dan perbaikannya akibat dari pemakaian sehari-hari dan kerusakan otot.
Pada pasien fibromialgia ditemukan penurunan kadar GH yang penting untuk proses repair
62
otot dan kekuatan, yang diduga diakibatkan oleh gangguan tidur. Pada fibromyalgia juga
didapatkan kontraksi isokinetic dan isometric otot berkurang serta penurunan kapasitas
aerobic otot dan aliran darah otot juga berkurang.Juga ditemukan penurunan kadar ATP dan
ADP serta peningkatan AMP. 40
Faktor Psikologi (Kadar Substansi P yang Meningkat)
Faktor psikologi juga memegang peranan penting yang dapat menimbulkan spasme
otot sehingga muncul symptom fisik seperti nyeri otot, kaku dan pembengkakan jaringan
lunak. Riwayat depresi pada keluarga lebih sering dijumpai pada pasien fibromyalgia
dibandingkan dengan artritis rheumatoid.
Kadar serotonin yang rendah pada pasien fibromyalgia berkorelasi dengan tender point dan
kadar triptopan yang rendah menyebabkan serotonin juga menurun dan mengakibatkan rasa
nyeri persisten yang difus pada pasien. Substansi P adalah neurotransmiter yang dilepaskan
bila akson distimulasi. Peningkatan kadar substansi P meningkatkan sensitivitas saraf
terhadap nyeri. Kadar substansi P yang tinggi menyebabkan stimulus normal dipersepsikan
sebagai stimulus nosiseptif oleh penderita fibromialgia. Kadar substansi P yang meningkat di
cairan cerebrospinal pasien fibromialgia juga mungkin berperan dalam menyebarkan nyeri
otot. Peneliti pada 4 studi yang independen melaporkan kadar substansi P pada pasien
fibromialgia meningkat sampai 2-3 kali kadar pada individu normal.
Selain hal-hal di atas ditemukan juga abnormalitas lain seperti berkurangnya aliran
darah ke talamus, nukleus kaudatus, serta tektum pontine, yang merupakan area signaling,
integrasi, dan modulasi nyeri. Disfungsi saraf otonom diduga juga berperan dalam
fibromialgia, dengan ditemukannya hipotensi ortostatik setelah uji tilt table dan peningkatan
frekuensi denyut jantung istirahat terlentang. Penelitian dalam bidang genetik memperkirakan
adanya peran polimorfisme gen sebagai etiologi fibromialgia. Gen yang diperkirakan
mengalami abnormalitas adalah gen yang mengatur sistem serotonergik, katekolaminergik
dan dopaminergik. 40
KLASIFIKASI 40
Fibromialgia Primer :
Gambaran karakterisitik fibromyalgia tanpa diketahui penyebabnya atau penyakit
yang melatarbelakangi
Fibromialgia sekunder :
63
Gambaran karakteristik fibromyalgia yang diketahui penyebabnya atau penyakit yang
melatarbelakanginya dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain yang erat hubungannya
dengan fibromyalgia dan ditandai dengan hilangnya keluhan fibromyalgia setelah penyakit
primernya teratasi
Fibromialgia Regional atau Terlokalisasi :
Nyeri miofasial yang disertai dengan trigger point biasanya sekunder terhadap strain
otot (pekerjaan berulang) sangat mirip dengan sindrom miofasial local, regional atau spsifik
dan tidak memenuhi syarat kriteria untuk fibromyalgia primer/sekunder
Fibromialgia usia lanjut :
Sama dengan fibromyalgia primer atau sekunder, perlu perhatian khusus terhadap
kemungkinan adanya polymyalgia reumatika, penyakit degenerative atau
neurologic,osteoporosis, penyakit Parkinson, sindrom otak organic atau sindrom kelelahan
pasca penyakit virus
Fibromialgia Juvenille :
Sama dengan fibromilagia primer pada pasien usia muda
Gambaran Klinis 40
Sindrom fibromyalgia menampilkan 4 jenis gambaran klinis yang saling berkaitan,
yaitu:
Gambaran utama, berupa keluhan nyeri musculoskeletal generalisata kronis yang meluas
dan nyeri tekan yang terlokalisir pada otot dan insersi otot dengan tendon. Keluhan ini
97% didapatkan pada penderita fibromyalgia.
Gambaran karakteristik. Berupa keluhan kelelahan( fatique), kaku pada pagi hari
(morning stiffness) dan tidur tidak nyenyak atau terganggu (non refereshed or disturbed
sleep) yang ditemukan pada 75%kasus.
Gambaran umum, bukan merupakan keluhan penting, ditemukan pada 25% pasien.
Keluhan tersebut antara lain : Irritable Bowel Syndrome, fenomena Raynaud, nyeri
kepala, rasa bengkak, aparastesia, psikologik abnormal dan disabilitas fungsi.
Koeksistensi dengan beberapa gangguan reumatik yang gejalanya saling tumpang tindih
dengan sindrom fibromyalgia seperti artritis, nyeri pinggang bawah, nyeri tengkuk dan
64
tendonitis
Ada 3 gejala utama yang dikenal dengan TRIAD Fibromialgia, yaitu :
1. Nyeri musculoskeletal
Lokasi nyeri yang sering dijumpai adalah pada aksial, yaitu di sekeliling bahu, leher dan
belakang bawah (low back). Paling menonjol pada servikal dan lumbal. Sebagian pasien
mengeluh nyeri otot dan rasa lemah, walaupun secara objektif tidak ditemukan kelemahan
otot.
2. Kekakuan (stiffness)
Merupakan gejala umum paling sering dijumpai, seperti pada pasien reumatik lainnya.
Rasa kaku terutama pada pagi hari dan membaik setelah bergerak, walaupun pada pasien
dapat berlangsung selama 3 hari.
3. Kelelahan (fatique)
Keluhan ini erat kaitannya dengan gangguan tidur. Gangguan tidur berupa sering
terbangun malam hari sehingga pasien tidak segar pada saat bangun tidur dan merasa
sangat lelah. Gangguan tidur juga ternyata berpengaruh secara signifikan terhadap
intensitas nyeri, kelelahan sepanjang hari dan kaku pagi hari.
Dalam riwayat penyakit dapat ditemukan keluhan yang bertambah berat bila kena air
dingin, suara keras, kerja berat, stress mental dan kecemasan.
Riwayat pengobatan menunjukkan pasien mengalami kegagalan dengan aspirin dan obat
antiinflamasi nonsteroid.
Riwayat penyakit yang berhubungan dengan stress misal irritable bowel syndrome,
irritable bladder, tension headache, migren dan dismenorrhoe.
Suatu keadaan yang khas pada pemeriksaan fisik pada Tender Point (titik nyeri). Tender
point dapat dirasakan dengan penekanan menggunakan ibu jari tangan yang setara dengan
beban 4kg.
Penelitian menggunakan dolorimeter menunjukkan bahwa pada lokasi tender point pasien
ini didapatkan ambang nyeri yang lebih rendah dibanding normal.
Tender point tidak hanya dijumpai pada pasien fibromyalgia tetapi pada regional pain
65
syndrome yang mirip dengan fibromyalgia tetapi tanpa disertai dengan kekakuan umum
dan kelelahan. Sindrom ini disebut sindrom miofasial (myofacial pain syndrome). Untuk
membedakan kedua titik tersebut maka titik pada miofasial syndrome disebut dengan
trigger point. Istilah ini digunakan oleh karena penekanan pada titik tersebut akan
menimbulkan nyeri yang disebarkan ke daerah sekitarnya, sedangkan tender point hanya
menimbulkan nyeri local saja
Pemeriksaan laboratorium biasanya hanya memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan
psikologik menunjukkan keluhan ini memburuk bila ada stress. Ada yang beranggapan
fibromilagia merupakan depresi terselubung atau gangguan ansietas yang somatisasi
menonjol dan hipokondria. Pasien fibromialgiayang jelas menunjukkan depresi, ansietas
dan hipokondria umumnya sukar untuk disembuhkan. Hipotesis menyatakan adanya
lingkaran setan antara kejang otot, gangguan tidur, psikologik abnormal.
Diagnosis
Diagnosis fibromialgia dilakukan dengan mengacu pada kriteria ACR 1990, yaitu sebagai
berikut.
1. Riwayat nyeri yang menyebar
Definisi: Nyeri dianggap menyebar jika ada di seluruh lokasi berikut :
Nyeri di sisi kiri tubuh,
Nyeri di sisi kanan tubuh
Nyeri di atas pinggang, dan
Nyeri di bawah pinggang
Nyeri rangka aksial skeletal (nyeri vertebra servikal, dada depan, vertebra thorakalis, atau
low back
2. Nyeri di 11 dari 18 tender points pada palpasi dengan jari
Definisi: Pada palpasi dengan jari, nyeri harus terdapat pada minimal 11 dari 18 situs tender
points di bawah ini.
a. Oksiput : bilateral, di insersi otot suboksipital
b. Servikal bawah : bilateral, di aspek anterior spasium intertransversum di C5 hingga C7
66
c. Trapezius – bilateral, di titik tengah batas atas
d. Supraspinatus – bilateral, di origo, di atas spina scapula dekat batas mediale.
e. Iga kedua – bilateral, di junctio kostokondral kedua, sedikit ke lateral dari persambungan
permukaan atas
f. Epikondilus lateral – bilateral, 2 cm distal dari epikondilus
g. Gluteal – bilateral, di kuadran atas luar dari bokong di lipatan otot anterior
h. Trochanter mayor – bilateral, posterior dari prominensia trochanteri
i. Lutut – bilateral, pada bantalan lemak medial, proksimal dari garis sendi lutut
Palpasi dengan jari dilakukan dengan tekanan yang sedang. Untuk menyebut sebuah tender
point positif, subjek harus mengatakan bahwa pada palpasi terasa nyeri
Ada 4 kontrol point pada sindrom fibromyalgia, yaitu
1. Titik tengah dari dahi
2. Aspek volar dari pertengahan lengan atas
3. Kuku ibu jari
4. Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior
Pemeriksaan laboratorium dan radiologis biasanya memberikan hasil yang
normal,pemeriksaan ini dilakukan hanya untuk menyingkirkan gangguan atau kelainan lain.
Diagnosis fibromyalgia dapat ditegakkan apabila pasien memenuhi kedua kriteria ACR 1990,
yaitu
Riwayat nyeri muskuloskeletal yang menyebar minimal 3 bulan dan
Nyeri yang signifikan pada minimal 11 dari 18 tender points (Gambar 1) jika dilakukan
palpasi dengan jari.1,2,7
Kriteria ACR sangat bermanfaat dalam menegakkan diagnosis, meskipun beberapa pasien
memiliki jumlah tender sites yang lebih sedikit dan nyeri regional yang lebih, sehingga
didiagnosis fibromyalgia. Pemeriksaan neurologis muskuloskeletal dan laboratorium tetap
normal pada fibromyalgia.1
67
Gambar 1. Letak Tender Points di Tubuh.1
Fibromialgia, meskipun memiliki gejala yang serupa, perlu dibedakan dengan chronic
fatigue syndrome. Kedua penyakit tersebut berkaitan dengan kelelahan, gangguan tidur, nyeri
muskuloskeletal, gangguan memori, konsentrasi, dan kondisi psikiatrik seperti depresi dan
cemas. Pasien chronic fatigue syndrome lebih cenderung memiliki gejala seperti penyakit
akibat virus, seperti demam ringan, sakit tenggorokan, dan nyeri di ketiak dan nodus
limfatikus servikalis anterior dan posterior. Onset chronic fatigue syndrome biasanya tiba-
tiba, serta diagnosisnya tidak memerlukan tender points.1
Pasien fibromialgia mengeluh lemah otot, namun pada uji kekuatan otot, ditemukan
kelemahan “menyerah” (“give- away” weakness) akibat nyeri yang dirasakan. Kelemahan
otot proksimal dan peningkatan enzim otot membedakan polimyositis dari fibromyalgia.
Polimyalgia rheumatika dibedakan dari fibromyalgia pada pasien usia lanjut dengan
kekakuan otot proksimal dan nyeri serta LED yang meningkat. Sleep apnea dibedakan
dengan keadaan somnolen pada siang hari. Diagnosis banding lain di antaranya
hipotiroidisme, restless leg syndrome, dan myofascial pain syndrome. 40
Diagnosa Banding
Fibromialgia dapat sebagai penyakit yang berdiri sendiri aau muncul bersama penyakit lain
seperti SLE, RA, Sklerosis multiple atau kelainan autoimun lain
Diagnosa banding fibromyalgia antara lain :
Sindrom nyeri miofasial
Artritis rheumatoid
68
Polymyalgia rheumatika/Giamt cell arteritis
Polimiositis/dermatomiositis
Miopati karena kelainan endokrin hiptiroid, hipertiroid, hipoparatiroid, hiperparatiroid,
insufisiensi adrenal
Miopati metabolic (glycogen storage disease,lipid myopathies)
Neurosis (depresi,ansietas)
Karsinoma metastase
Sindrom fatique kronis
Parkinsonisme (fase diskinetik)
Tabel 2. Perbedaan Gambaran antara Sindrom Fibromialgia dan Sindrom Fibromialgia dan
sindrom nyeri Miofasial
Gambaran
Nyeri
Kelelahan
Kekakuan pagi hari
Palpasi
Terapi
Prognosis
Sindroma Fibromialgia
Menyeluruh/difus
Sangat nyata/sering
Generalisata/sering
Tender points:
Tersebar luas/difus
Latihan umum
Obat gangguan tidur
Penyakit cenderung kronik
dengan beberapa disabilitas
fungsional
Sindrom Miofasial
Regional/local
Biasanya tidak ada/jarang
Regional/jarang
Trigger point:
Regional/local
Menghindari faktor pemberat,
latihan peregangan
Diharapkan resolusi sempurna,
walaupun sering kambuh
Tata Laksana
69
Tatalaksana fibromialgia dapat dibagi menjadi
Tatalaksana non farmakologis dan
Tatalaksana farmakologis.
Tatalaksana non-farmakologis, selain untuk mengurangi nyeri, gangguan tidur serta depresi
juga digunakan untuk mengatasi kelelahan otot. Salah satu caranya ialah edukasi pasien.
Edukasi pasien merupakan salah satu tatalaksana fibromyalgia yang paling penting. Edukasi
pasien harus dilakukan sebagai langkah pertama dalam tatalaksana pasien fibromialgia.
Pasien perlu diinformasikan mengenai penyakit yang sedang dialaminya. Pasien juga perlu
diinformasikan bahwa fibromyalgia tidak menyebabkan kelumpuhan dan tidak bersifat
degeneratif, serta terdapat pengobatan untuk penyakit ini.1 Setelah itu, barulah dapat
dilakukan usaha untuk menghilangkan berbagai keluhan pasien. 40
Tata Laksana Farmakologis
Tatalaksana farmakologis dapat digunakan untuk mengatasi nyeri, gangguan tidur
serta depresi dan kecemasan.
Tidak ada obat khusus untuk pengobatan fibromyalgia, pengobatan simptomatis memberikan
perbaikan sebanyank 30-50%
Obat-obatan yang dapat diberikan :
Trisiklik antidepressant :
o Amitriptilin 5-50mg/hari. Nortriptilin (pamelor) 10-50mg/hari, Sinequan
(Doksepin) 2,5-75mg/hari
o Selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRI) : Trazadon (desirel) 25-50mg/hari,
fluoksetin (prozak) 1-20mg/hari, paroksetin (paksil) 5-220mg/hari
o Muscle relaxan : Siklobenzaprin (flekseril) 10-30mg/hari
o Benzodiazepine : Klonazepam (klonopin) 0,5-1mg/hari Alprazolam (Xanax)
0,25-1,25 mg/hari
o Analgesic sederhana : OAINS (Ibuprofen, selekosib) Acetaminofen (tidak boleh
lebih dari 4 gram/hari)
70
o Analgesic sentral golongan opioid : Kodein, metadon, Tramadol
o Topical krim Capsaicin 0,25% 40
Tata Laksana Non-farmakologis
Latihan olahraga : peregangan,penguatan,aerobic. Latihan olahraga merupakan
pengobatan nonfarmakologi yang paling penting. Latihan olahraga yang teratur dimulai
dengan peregangan dan diikuti aerobic dapat meningkatkan nilai ambang rasa
nyeri,meningkatkan oksigen ke otot, memperbaiki kondisi umum
Pemanasaan: Dapat meningkatkan sirkulasi dan mengurangi nyeri
Terapi perubahan tingkah laku (kognitif): berfikir dan tingkah laku yang positif
Pendidikan : penyuluhan mengenai penyakit dan pengobatannya, perbaikan tidur
termasuk tidur teratur, lingkungan bersih dan tidak rebut, menjauhi alcohol, rokok dan
kopi menjelang tidur.
Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) : dapat meningkatkan opioid
endogen
Diet: rendah lemak dan tinggi serat
Suplement diet : Koenzim 10, Magnesium,Vit B12
Relaksasi/akupunktur :
Akupressure: meditasi,pemijatan.
Distraction, misalnya menonton film yang lucu (funny movie) dan relaksasi, misalnya
mendengarkan music yang lembut
PROGNOSIS
Pasien usia muda dengan gejala ringan cenderung prognosisnya lebih baik, walaupun
pasien memberikan respon terhadap pengobatan kadang-kadang masih juga ada keluhan yang
ringan tetapi nyeri tersebut dapat ditoleransi. Penyembuhan akan sulit pada pasien yang
mempunyai stress emosional berupa ansietas dan depresi, oleh karena itu perlu
penatalaksanaan secara multidispliner. 40
L. VASKULITIS
71
Definisi
Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh darah dan menyebabkan
kerusakan struktur dinding pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding pembuluh
darah dapat menyebabkan perdarahan, dan adanya gangguan pada lumen pembuluh
darah menimbulkan iskemik maupus nekrosis. Secara umum, vaskulitis dapat
mengenai berbagai ukuran, tipe maupun lokasi pembuluh darah, dan berhubungan
dengan suatu kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai suatu proses
primer ataupun sekunder dari penyakit lain (reumatik, keganasan atau infeksi dll). 40
Etiologi
Sampai saat ini penyebab penyakit ini belum di ketahui dengan jelas, namun
ada beberapa yang memegang peranan yang memicu timbulnya penyakit ini, yaitu:
Komplek imun
Infeksi bakteri atau virus
Elergi terhadap obat atau akibat pajanan terhadap bakteri, virus dan parasit.
Genetik
Nekrosis granulomatosa 40
Patomekanisme
Mekanisme pasti yang mendasari kelainan ini masih belum jelas. Ada
beberapa patogenesis berbeda yang diajukan untuk membantu menjelaskan mengapa
lesi pada jenis vaskulitis tertentu hanya ditemukan pada pembuluh darah tertentu.
1. Distribusi antigen yang bertanggung jawab terhadap vaskulitis menentukan pola
pembuluh darah yang terlibat.
2. Akumulasi infiltrat radang ditentukan oleh sel endotel, termasuk ekspresi dari
molekul adhesi, sekresi peptide dan hormone, dan interaksi yang spesifik dengan
sel-sel inflamasi.
Beberapa sel inflamasi lebih lanjut menarik sel-sel radang, sementara sel yang lain
tidak. Struktur non-endotel dinding pembuluh darah bekerja mengontrol proses
keradangan. Selain sel endotel yang berfungsi sebagai ko-stimulator, komponen sel-
sel lain berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) dan berkontribusi terhadap
72
mediator proinflamasi. Inflamasi umumnya terjadi pada pembuluh darah arteri,
namun juga dapat melibatkan pembuluh darah vena maupun kapiler.
Tanda dan gejala khas keradangan vascular timbul akibat gangguan fungsi dan
perfusi serta terjadi kerusakan pada organ yang terkena, contoh ekstrim adalah
terjadinya infark organ akibat adanya proses inflamasi pada lumen pembuluh darah.
Secara histologi, infiltrasi mielomonosit yang prominen tampak pada dinding
pembuluh darah yang terlibat. 40
Tanda dan Gejala Klinis
Gejala-gejala klinis ialah seperti demam, malaise, berkeringat, lelah, nafsu makan
menurun, dan berat badan turun. Penderita vaskulitis tidak dapat menentukan dengan
pasti jam atau hari dimana sakitnya dimulai. Hal ini seringkali menyebabkan diagnose
vaskukitis menjadi terlambat. Kemudian, akan ada juga tanda inflamasi dan nyeri.
Penyakit vaskulitis juga akan menyebabkan kelainan yang melibatkan banyak sistem
tubuh. 40
Penatalaksanaan
Pada era sebelum kortikosteroid digunakan, sebelum tahun 1950an, prognosis
vaskulitis sangat buruk, dengan harapan hidup 5 tahun hanya sekitar 15%. Setelah
penemuan kortikosteroid dan penggunaannya pada vaskulitis lebih dari 50% pasien
dapat tertolong.
Setelah pengenalan terapi imunosupresif dan kemoterapi sebagai lini kedua terapi
vaskulitis, terutama siklofosfamid. Obat ini berpotensi mencapai remisi penyakit,
menurunkan kebutuhan dosis tinggi kortikosteroid lebih cepat. Obat-obat lain yang
digunakan adalah azathioprine,klorambusil, dan metotreksat.
Sampai tahun-tahun terakhir strategi pengobatan terhadap vaskulitis masih terbatas.
Pengobatan dengan agen biologi masih dikembangan saat ini. Beberapa kasus
dilaporkan berespons baik terhadap agen tersebut. 40
Klasifikasi Vaskulitis
Table 1. Klasifikasi Vaskulitis Menurut Churg
Vaskulitis Primer (Idiopatik) Vaskulitis Sekunder
- Polierteritis nodosa (PAN) - Infeksi
73
- Granulomatosis Wegener
- Granulomatosa elergik
- Vaskulitis primer susunan saraf
pusat
- Arteritis sel besar
- Arteritis Takayasu
- Vaskulitis Granulomatosa
Idiopatik
- Vaskulitis pembuluh darah kecil
- Purpura Henoch-Schonlein
- Sindrom Bechet
- Tromboangitis obliteran
- Penyakit Kawasaki
- Penyakit jaringan ikat
- Vaskulitis hipokomplementemik
- Krioglobulinemia
- Vaskulitis sarkoidosis
- Reaksi obat dan serum sickness
- Keganasan
-Vaskulitis radiasi
- Keadaan lain seperti: akibat hipertensi
Table 2. Klasifikasi Vaskulitis Menurut Konsesus Chapel Hill
Klasifikasi Jenis Vaskulitis
- Vaskulitis pembuluh darah besar
- Vaskulitis pembuluh darah
sedang
- Vaskulitis pembuluh darah kecil
- Arteritis sel besar (Giant cell arteritis)
- Arteritis Takayasu
- Poliarteritis nodosa
- Penyakit Kawasaki
- Sindroma Churg Strauss
- Granulomatosa Wegener
- Purpura Henoch Schonlein
- Poliangitis mikroskopik
- Vaskulitis krioglobulin esensial
- Angitis kutaneus leukositoklastik40
M. Glomerulonefritis
Glomerulonefritis merupakan penyebab utama terjadinya gagal ginjal tahap
akhir dan tingginya angka morbiditas pada anak. Terminologi glomerulonefritis yang
dipakai disini adalah untuk menunjukkan bahwa kelainan yang pertama dan utama
terjadi pada glomerulus, bukan pada struktur ginjal yang lain.2
74
Glomerulonefritis merupakan penyakit peradangan ginjal bilateral. Peradangan
dimulai dalam gromleurus dan bermanifestasi sebagai proteinuria dan atau hematuria.
Meskipun lesi utama pada gromelurus, tetapi seluruh nefron pada akhirnya akan
mengalami kerusakan, sehingga terjadi gagal ginjal. Penyakit yang mula-mula
digambarkan oleh Richard Bright pada tahun 1827 sekarang diketahui merupakan
kumpulan banyak penyakit dengan berbagai etiologi, meskipun respon imun agaknya
menimbulkan beberapa bentuk glomerulonefritis. 2
Gejala glomerulonefritis bisa berlangsung secara mendadak (akut) atau secara
menahun (kronis) seringkali tidak diketahui karena tidak menimbulkan gejala. 2
Gejalanya: berupa mual-mual
kurang darah (anemia) atau hipertensi
Gejala umum: sembab kelopak mata
kencing sedikit dan berwarna merah
biasanya disertai hipertensi.
Penyakit ini umumnya (sekitar 80%) sembuh spontan, 10% menjadi kronis, dan 10%
berakibat fatal.
1. Glomerulonefritis Akut7
Definisi
Glomerulonefritis akut (GNA) ialah suatu reaksi imunologic pada ginjal
terhadap bakteri atau virus tertentu. Yang sering ialah infeksi karena kuman
streptokokus. Penyakit ini sering ditemukan pada anak berumur 3-7 tahun dan lebih
sering mengenai anak pria dibandingkan dengan anak wanita.
GNA juga dapat dihasilkan dari penyakit sistemik atau penyakit glomerulus primer,
tapi glomerulonefritisakut post streptococcus (juga diketahui sebagai
glomerulonefritis proliferatif akut) adalah bentuk keadaan yang sebagian besar terjadi.
Infeksi dapat berasal dari faring atau kulit dengan streptococcus beta hemolitik A
adalah yang biasa memulai terjadinya keadaan yang tidak teratur ini. Stafilococcus
atau infeksi virus seperti hepatitis B, gondok, atau varicela (chickenpox) dapat
berperan penting untuk glomerulonefritis akut pasca infeksi yang serupa.
Etiologi
Faktor penyebab yang mendasari sindrom ini dapat dibagi menjadi kelompok infeksi
dan noninfeksi:
75
1. Infeksi
Infeksi streptokokus terjadi sekitar 5-6% pada orang dengan radang
tenggorokan dan 25% pada mereka dengan infeksi kulit. Penyebab nonstreptokokus
meliputi bakteri, virus, dan parasit.
2. Noninfeksi
Penyakit sistemik multisistem seperti pada Lupus Eritematosus Sistemik
(SLE), Vaskulitis, sindrom Goodpasture, granulomatosis Wegener.
Glomerulonefritis akut didahului oleh infeksi ekstra renal terutama di traktus
respiratorius bagian atas dan kulit oleh kuman streptococcus beta hemoliticus
golongan A tipe 12, 4, 16, 25, dan 29. Hubungan antara glomerulonefritis akut dan
infeksi streptococcus dikemukakan pertama kali oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan
alasan bahwa:
1) Timbulnya glomerulonefritis akut setelah infeksi skarlatina
2) Diisolasinya kuman streptococcus beta hemoliticus golongan A
3) Meningkatnya titer anti- streptolisin pada serum pasien.
Antara infeksi bakteri dan timbulnya glomerulonefritis akut terdapat masa
laten selama kurang 10 hari. Kuman streptococcus beta hemoliticus tipe 12 dan 25
lebih bersifat nefritogen daripada yang lain. Mungkin faktor iklim atau alergi yang
mempengaruhi terjadinya GNA setelah infeksi dengan kuman streptococcus. GNA
juga disebabkan karena sifilis, keracunan, (timah hitam tridion), penyakit amiloid,
trombosis vena renalis, purpura, anafilaktoid, dan lupus eritematosis.2
Menurut penyelidikan klinik-imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab. Beberapa
penyelidik menunjukkan hipotensi sebagai berikut : 2
1) Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membran basalis
glomerulus dan kemudian merusaknya.
2) Proses autoimun kuman streptococcus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus
3) Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen
antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membran
basalis ginjal.
76
Ada beberapa penyebab glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan
disebabkan karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
1) Bakteri : Streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans,
Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus,
albus,Salmonella thypi,dll
2) Virus : Hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza,
parotitis epidemika dll.
3) Parasit : Malaria dan toksoplasma
Tanda dan Gejala
Penderita biasanya mengeluh tentang rasa dingin, demam, sakit kepala, sakit
punggung, dan udema (bengkak) pada bagian muka biasanya sekitar mata (kelopak),
mual dan muntah-muntah. Sulit buang air kecil dan air seni menjadi keruh.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis penyakit glomerulonefritis sebagai berikut :
1) Penyakit ringan umumnya ditemukan saat dilakukan urinalisis secara rutin.
2) Riwayat infeksi : faringitis oleh streptokokus kelompok A, Virus hepatitis B, dan
Endokarditis
3) Proteinuria, Hematuria, dan Oliguria
4) Wajah seperti bulan dan edema pada ekstremitas
5) Lemah dan anoreksia
6) Hipertensi (ringan, sedang, atau berat)
7) Anemia akibat kehilangan sel darah ke dalam urine
8) Dari hasil study klinik kejadian glomerulonefritis akut dapat sembuh sampai
90%, dengan fugsi ginjal normal dalam 60 hari :
a. Diuresis biasanya mulai satu-dua minggu sesudah serangan
b. Renal clearence dan konsentrasi urea darah kembali normal
c. Edema dan Hipertensi berkurang
d. Pada pemeriksaan mikroskop proteinuria dan hematuria masih ada selama beberapa
bulan.
Patofisiologi
77
Patofisiologi dari glomeulonefritis akut sebagai berikut:
1. Proliferasi Seluler
Peningkatan sel endotelia yang melapisi glomerulus, Infiltrasi leukosit ke
glomerulus, dan penebalan membran filtrasi glomerulus atau membran basal
menghasilkan jaringan parut dan kehilangan permukaan penyaring. Pada
glomerulonefritis akut, ginjal membesar, bengkak, dan kongesti. Seluruh jaringan
renal-glomerulus, tubulus dan pembuluh darah-dipengaruhi dalam berbagai tingkat
tanpa memperhatikan tipe glomerulonefritis akut yang ada. Pada banyak pasien,
antigen diluar tubuh (misalnya medikasi, serum asing) mengawali proses,
menyebabkan pengendapan kompleks di glomerulus. Pada pasien yang lain, jaringan
ginjal sendiri berlaku sebagai antigen penyerang. Elektron-mikroskopis dan analisis
imunogluoresen mekanisme imun membantu identifikasi asal lesi. Biopsi ginjal
diperlukan untuk membedakan berbagai jenis glomerulonefritis akut.
2. Proliferasi Leukosit
Adanya neutrofil dan monosit dalam lumen kapiler dan sering menyertai
proliferasi seluler.
3. Penebalan membran basal glomelurus muncul sebagai penebalan dinding
kapiler baik di sisi endotel atau epitel membran dasar.
4. Hialinisasi atau sklerosis menunjukkan cedera irreversible.
Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan gejala dan antihipertensi, obat untuk penatalaksanaan
hiperkalemia (berhubungan dengan insufisiensi renal), H2Blocker (untuk mencegah
ulcer stres), dan agen pengikat fosfat (untuk mengurangi fosfat dan menambah
kalsium)
2) Terapi antibiotik untuk menyembuhkan infeksi (jika masih ada)
3) Pembatasan cairan
4) Diet ketat pembatasan protein jika terdapat oliguria dan BUN
meningkat. Pembatasan perlu diperketat jika mengarah ke gagal ginjal
5) Tingkatkan karbohidrat untuk membantu tenaga dan mengurangi katabolisme
protein.
6) Asupan potasium dan sodium diperketat jika terdapat edema, hiperkalemia, atau
tanda gagal jantung (CHF)
78
7) Terapi untuk mempercepat progresif glomerulonefritis meliputi :
a. Penggantian plasma
b. Pemberian Imunosupressan (corticosterois;cyclopfosphamid (Cytoxan)
Komplikasi
1) Hipertensi, congestive heart failure (CHF),
2) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit pada fase akut
3) Malnutrisi
4) Hipertensi Encephalopati
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan diagnostik untuk glomerulonefritis akut yaitu laju endap darah
meninggi, kadar Hb menurun sebagai akibat hipervolemia (retensi garam dan air).
Pada pemeriksaan urin didapatkan jumlah urin mengurang, berat jenis
meninggi. Hematuria makroskopis ditemukan pada 50 % pasien. Ditemukan pula
albumin (+), eritrosit (+), Leukosit (+), silinder leukosit, eritrosit dan hialin. Albumin
serum sedikit menurun, demikian juga lomplemen serum (globulin beta-IC), ureum
dan kreatinin meningkat. Titer antistreptolisin umumnya meningkat, kecuali kalau
infeksi infeksi streptococcus yang mendahului hanya mengenai kulit saja. Uji fungsi
ginjal normal pada 50% pasien.
Pemeriksaan yang lebih penting dan mendesak adalah urinalisis untuk
mengetahui proteinuria, hematuria dan debri-debri jaringan. BUN dan kreatinin serum
diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal. Pemeriksaan imunologi seperti titer antigen
antibodi dan immunoelectrophoresis dilaksanakan.
2. Glomerulonefritis Kronis7
Definisi
Glomerulonefritis Kronik adalah suatu kelainan yang terjadi pada beberapa
penyakit, dimana terjadi kerusakan glomeruli dan kemunduran fungsi ginjal selama
bertahun-tahun.Glomerulonefritis kronik adalah kategori heterogen dari penyakit
dengan berbagai kasus. Semua bentuk gambaran sebelumya dari glomerulonefritis
dapat meningkat menjadi keadan kronik. Kadang- kadang glomerulonefritis pertama
dilihat sebagai sebuah proses kronik.
79
Pasien dengan penyakit ginjal (glomerulonefritis) yang dalam pemeriksaan urinnya
masih selalu terdapat hematuria dan proteinuria dikatakan menderita glomerulonefritis
kronik. Hal ini terjadi karena eksaserbasi berulang dari glomerulonefritis akut yang
berlangsung dalam beberapa waktu beberapa bulan/tahun, karena setiap eksaserbasi
akan menimbulkan kerusakan pada ginjal yang berkibat gagal ginjal
Etiologi
Penyebabnya tidak diketahui. Pada 50% penderita ditemukan glomerulopati
sebagai penyebabnya, meskipun tidak pernah timbul gejala-gejalanya.
Tanda dan Gejala 7
Glomerulonefritis kronik (GNK) ditandai oleh kerusakan glomerulus secara
progresif lambat akibat glomerulonefritis yang sudah berlangsung lama. Umumnya
GMK tidak mempunyai hubungan dengan GNAPS (Glomerulonefritis akut pasca
streptokok) maupun GNPC (Glomerulonefritis progresif cepat), tetapi kelihatannya
merupakan penyakit denova. Penyakit cenderung timbul tanpa diketahui asal usulnya,
dan biasanya baru ditemukan pada stadium yang sudah lanjut, ketika gejala-gejala
insufisiensi ginjal timbul.
Menurut stadium penyakit, mungkin akan timbulpoliuria atau oliguria,
berbagai derajat proteinuria, hipertensi, ozotemia progresif dan kematian akibat
uremia. Pada GNK yang lanjut maka ginjal tampak mengkerut, kadang-kadang
beratnya hanya tinggal 50 gram saja dan permukaannya bergranula. Perubahan-
perubahan ini disebabkan karena berkurangnya jumlah nefron karena iskemia dan
hilangnya nefron. Dilihat dengan mikroskop maka tampak sebagian besar glomerulus
mengalami perubahan. Mungkin terdapat campuran antara perubahan-perubahan
membranosa dan proliferatif dan pembentukan epitel berbentuk sabit.Akhirnya
tubulus mengalami atropi, Fibrosis interstisialis dan penebalan dinding arteria. Kalau
semua organ strukturnya telah mengalami kerusakan hebat, maka organ ini disebut
ginjal stadium akhir, dan mungkin sulit menentukan apakah lesi asalnya terjadi pada
glomerulus, interstisial, dan disebabkan oleh pielonefritis kronik, atau vaskuler.
Patofisiologi 7
80
Glomerulonefritis kronik awalnya mungkin seperti glomerulonefritis akut atau
tampak sebagai tipe reaksi antigen-antibody yang lebih ringan, kadang-kadang sangat
ringan sehingga terabaikan. Setelah kejadian berulangnya infeksi ini, ukuran ginjal
sedikit berkurang sekitar seperlima dari ukuran normal dan terdiri dari jaringan
fibrosa yang luas. Korteks mengecil menjasi lapisan yang tebalnya 1 sampai 2 mm
atau kurang. Berkas jaringan parut merusak sisa korteks, menyebabkan permukaan
ginjal kasar dan irreguler. Sejumlah glomeruli dan tubulusnya berubah menjadi
jaringan parut, dan cabang-cabang arteri renal menebal. Akhirnya terjadi kerusakan
glomerulus yang parah, menghasilkan penyakit ginjal tahap akhir (ESRG)
Manifestasi Klinis 7
Gejala Glomerulonefritis kronik bervariasi. Banyak pasien dengan penyakit
yang telah parah memperlihatkan kondisi tanpa gejala sama sekali untuk beberapa
tahun. Kondisi mereka secara insidental dijumpai ketika terjadi hipertensi atau
peningkatan kadar BUN dan kreatinin serum. Diagnosis dapat ditegakkan
ketika perubahan vaskuler atau perdarahan retina ditemukan selama pemeriksaan
mata. Indikasi pertama penyakit dapat berupa perdarahan hidung, stroke, atau kejang
yng terjadi secara mendadak. Beberapa pasien hanya memberitahu bahwa tungkai
mereka sedikit bengkak dimalam hari. Mayoritas pasien pasien juga mengalami gejala
umum sepertikehilangan berat dan kekuatan badan, peningkatan iritabilitas, dan
peningkatan berkemih dimalam hari (nokuria), sakit kepala, pusing, dan gangguan
pencernaan umumnya terjadi.
Seiring dengan berkembangnya glomerulonefritis kronik, tanda dan gejala
insufisiensi renal dan gagal ginjal kronik dapat terjadi. Pasientampaksangatkurus,
pigmenkulittampakkuningkeabu-abuan dan terjadi edema perifer (dependen) dan
periorbital. Tekanan darah mungkin normal atau naik dengan tajam. Temuan pada
retina mencakup hemoragi, adanya eksudat, arteriol menyempit dan berliku-liku, serta
papiledema. Membran mukosa pucat karena anemia. Pangkal vena mengalami
distensi akibat cairan yang berlebihan. Kardiomegali, irama galop, dan tanda gagal
jantung kongestif lain dapat terjadi. Bunyi krekel dapat didengar di paru.
Neuropati perifer disertai hilangnya reflek tendon dan perubahan
neurosensori muncul setelah penyakit terjadi. Pasien mengalami konfusi dan
81
memperlihatkan rentang penyakit yang menyempit. Temuan lain mencakup
perikarditis disertai friksi perikardial dan pulsus paradoksus (perbedaan tekanan darah
lebih dari 10 mmHg selama inspirasi dan ekspirasi)
Pemeriksaan Diagnostik7
Sejumlahlaboratoriumabnormalmuncul.
Urinalisis menunjukkangravitasispesifikmendekati 1.010, berbagai proteinuria, dan
endapan urinarius (butir-butirprotein yang disekresi oleh tubulus ginjal yang rusak).
Ketika gagal ginjal terjadi dan filtrasi glomerulus menurun di bawah 50 ml/menit,
perubahan berikut dapat dijumpai :
1. Hiperkalemiaakibatpenurunanekskresi, masukandarimakanan dan medikasi,
asidosis, dan katabolisme.
2. Asidosis metabolik akibat sekresi asam oleh ginjal dan ketidakmampuan untuk
regenerasi bikarbonat.
3. Anemia akibat penurunan eritropoesis (produksi sel darah merah)
4. Hipoalbuminemia disertai edema akibat kehilangan protein melalui membran
glomerulus yang rusak.
5. Serum fosfot meningkat akibat penurunan ekskresi renal
6. Serum kalsium meningkat (kalsium terikat pada fosfot untuk mengkompensasi
peningkatan kadar serum fosfor)
7. Hipermagnesemia akibat penurunan ekskresi dan ingesti antasid yang mengandung
magnesium
8. Kerusakan antara syaraf akibat abnormalitas elektrolit dan uremia.
Pemeriksaan sinar X pada dada menunjukkan pembesaran jantung dan edema
pulmoner. Elektrokardiogram mungkin normal namun dapat juga menunjukkan
adanya hipertensi disertai hipertropi ventrikel kiri dan gangguan elektrolit, seperti
hiperkalemia dan puncak gelombang T yang tinggi.
Penatalaksanaan7
Gejala yang muncul pada pasien glomerulonefritis kronis akan menjadi
pedoman perawatan rawat jalan. Jika terjadi hipertensi, tekanan darah diturunkan
dengan natrium dan pembatasan cairan. Protein dengan nilai biologis yang tinggi
(produk susu, telur dan daging) diberikan untuk mendukung status nutrisi yang baik
82
pada pasien. Kalori yang adekuat juga penting untuk menyediakan protein bagi
pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Infeksi traktus urinarius harus ditangani dengan
tepat untuk mencegah kerusakan renal lebih lanjut.
Jika edema berat terjadi, pasien harus tirah baring. Kepala tempat tidur
dinaikkan untuk kenyamanan dan diuresis. Berat badan harian dipantau, dan diuretik
digunakan untuk mengurangi kelebihan cairan. Masukan natrium dan cairan
disesuaikan dengan kemampuan ginjal pasien untuk mengekskresi air dan natrium.
Dimulainya dialisis dipertimbangkan diawal terapi untuk menjaga agar kondisi fisik
paien tetap optimal, mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, dan
mengurangi resiko komplikasi gagal ginjal. Rangkaian penanganan dialisis sebelum
pasien menunjukkan komplikasi signifikan adalah lambat.
Obat yang biasa dipakai seperti rifampin, penicillin, sulfonamid, cepalospirin,
allopurinol, captopril, cimetidine, azathioprine, phenytoin, thiazin, lithium,,
nonstreroid anti agen inflamasi dan furosemide bila memungkinkan.
3.3 Working Diagnosis
Lupus Eritematosus Sistemik
Definisi
83
Systemic lupus erytematosus (SLE) atau lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang atau inflamasi multisistem yang penyebabnya diduga karena
adanya perubahan sistem imun. SLE termasuk penyakitcollagen-vascular yaitu
suatu kelompok penyakit yang melibatkan sistem muskuloskeletal, kulit, dan
pembuluh darah yang mempunyai banyak manifestasi klinik sehingga diperlukan
pengobatan yang kompleks.40
Epidemiologi
SLE lebih sering ditemukan pada ras-ras tertentu seperti bangsa Afrika –
Amerika, Cina, dan mungkin juga Filipina. Di Amerika, prevalensi SLE kira-kira 1
kasus per 2000 populasi dan insiden berkisar 1 kasus per 10.000 populasi. Prevalensi
penderita SLE di Cina adalah 1 :1000). Meskipun bangsa Afrika yang hidup di
Amerika mempunyai prevalensi yang tinggi terhadap SLE, penyakit ini ternyata
sangat jarang ditemukan pada orang kulit hitam yang hidup di Afrika. Di Inggris,
SLE mempunyai prevalensi 12 kasus per 100.000 populasi, sedangkan di Swedia 39
kasus per 100.000 populasi. Di New Zealand, prevalensi penyakit ini
pada Polynesiansebanyak 50 kasus per 100.000 populasi dan hanya 14,6 kasus per
100.000 populasi pada orang kulit putih. Di Indonesia sendiri jumlah penderita SLE
secara tepat belum diketahui tetapi diperkirakan sama dengan jumlah penderita SLE
di Amerika yaitu 1.500.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia). Berdasarkan
hasil survey, data morbiditas penderita SLE di RSU Dr. Soetomo Surabaya selama
tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi penyakit ini menempati urutan keempat
setelah osteoartritis, reumatoid artritis, dan low back pain. Di RSU Dr. Saiful Anwar
Malang, penderita SLE pada bulan Januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang
dengan 1 orang meninggal dunia. 40
Etiologi
Penyebab lupus eritematosus masih belum diketahui, namun terdapat banyak
bukti bahwa Sistemik lupus erythematosus (SLE) bersifat multifaktor, mencakup : 40
a. Genetik
b. Infeksi
c. Lingkungan
d. Stress
84
e. Cahaya matahari
f. Faktor Resiko : hormon; imunitas; obat
Ada sedikit keraguan bahwa penyakit ini diperantarai oleh respons imun
abnormal yang berkaitan dengan adanya berbagai antibodi dan kompleks imun di
dalam plasma yang menyebabkan efek-efek patologik yang terlihat pada lupus
eritematosus. Penyebab respons ini banyak diyakini akibat autoimun, meskipun
terdapat bukti adanya pengaruh virus dan genetik.
1. Asal Autoimun : Terdapat bukti yang dianggap benar bahwa SLE merupakan
penyakit autohipersensitivitas (autoimun) tipe III. Pembbentukan antibodi antinuklear
(ANA) penting dalam pathogenesis penyakit. Berbagai antibodi antinuklear terdapat
di dalam serum seluruh pasien SLE dan ini dapat diperiksa serta dicirikan dengan
teknik pemeriksaaan imunologik. Adanya antibodi terhadap DNA untai ganda sangat
spesifik untuk SLE, sementara antibodi DNA untai tunggal, RNA, dan nucleoprotein
juga ditemukan pada penyakit jaringan ikat lain.
Kompleks imun yang terbentuk di antara antibodi antinuklear dan antigen nuclear
dapat dideteksi di dalam serum dan di tempat aktivitas penyakit pada dinding
pembuluh darah kecil, kulit dan membrane basalais glomerulus. Penimbunan
kompleks imun di dalam jaringan mengaktivasi komplemen dan menyebabkan
peradangan melalui reaksi hipersensitivitas tipe III. Kadar komplemen serum sering
menurun pada fase aktif SLE.
Banyak juga ditemukan autoantibodi selain antibodi antinuklear pada SLE.
Autoantibodi ini meliputi (1) faktor rheumatoid (20-30%); (2) antibodi yang
memberikan reaksi positif palsu pada tes serologik untuk sifilis; (3) antibodi terhadap
protein koagulasi plasma, paling sering faktor VIII, mengakibatkan diathesis
perdarahan; dan (4) antibodi terhadap antigen eritrosit, leukosit, dan trombosit, yang
mungkin menyebabkan destruksi imun pada sel-sel ini di dalam sirkulasi perifer.
2. Lupus Diinduksi – Obat : SLE diketahui dicetuskan oleh obat-obetan, seperti
hidralazin (obat antihipertensi) dan prokainamid (digunakan untuk mengontrol aritmia
jantung). Penyakit diinduksi – obat ini dapat mirip dengan SLE idiopatik (termasuk
adanya antibodi antinuklear), tetapi penyakit ginjal jarang dijumpai. Putus obat sering
menyebabkan membaliknya dari penyakit dan hilangnya antibodi antinuklear secara
bertahap.
85
3. Berasal dari Virus : Agen infeksius – terutama virus – diduga menyebabkan
lupus eritematosus, tetapi tidak satu pun agen infeksius diisolasi secara konsisten dari
jaringan pasien.
4. Faktor Genetik : Predisposisi genetik SLE diduga karena tingginya indeks klinis
SLE pada kembar monozigot dan meningkatnya frekuensi penyakit pada kerabat
tingkat pertama. HL – DR2 lebih sering ditemukan pada SLE, memperkuat dugaan
bahwa gen yang menyebabkan respons imun dapat merupakan predisposisi
berkembangnya autoreaktivitas terhadap antigen nucleus. Terjadinya SLE pada pasien
yang mengalami defisiensi faktor komplemen dini yang diwariskan (C1, C2, dan C4)
juga menarik, karena gen C2 dan C4 berkaitan erat dengan daerah HLA – DR. 40
Tabel Antibodi pada SLE dan penyakit jaringan ikat lain
Antibodi Insidensi Antigen Makna Klinis
Antibodi antinuklear1
Anti-DNA 70% DNA Anti-DNA untai-ganda
adalah spesifik untuk
SLE; anti-DNA untai-
tunggal tidak spesifik
Anti-Sm 30% Ribonukleoprotein (Ag
Smith)
Spesifik untuk SLE
Anti-RNP 40% Ribonukleprotein Titer tinggi pada penyakit
jaringan ikat campuran
Anti-histon 70% Histon Positif pada 95% kasus
SLE yang diinduksi obat
Anti-Ro(SS-
A)
30% Ribonukleprotein Berkaitan dengan
sindrom Sjögren dan
nefritis
Anti-LA(SS-
B)
10% Ribonukleprotein Berkaitan dengan
sindrom Sjögren
Anti-
sentromer
<5% Sentromer Berkaitan dengan
sindrom CREST
Anti-Sci 70 <5% Topoisomerase DNA Berkaitan dengan
sklerosis sistemik
Anti-Jo 1 <5% tRNA sintetase Berkaitan dengan
86
polimiositis
Antibodi lain
Antikardiopili
n
50% Fosfolipid Berkaitan dengan
thrombosis, aborsi
spontan; antkoagulan
lupus; VDRL positif
palsu
Antieritrosit 60% Antigen permukaan eritrosit Hemolisis (jarang)
Antitrombosit ? Antigen permukaan trombosit Trombositopenia
Antilimfosit 70% Antigen permukaan limfe (?) disfungsi sel T
Antineuronal 60% Antigen permukaan neuron (?) Lupus system syaraf
pusat
Uji negative untuk antibodi antinuklear membuat diagnosis SLE menjadi tidak
mungkin ditegakkan karena hasilnya positif pada 95% pasien. 40
Patofisiologi
Penyakit sistemik lupus eritematosus ( SLE ) tampaknya terjadi akibat
terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto anti bodi yang
berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-
faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya
terjadi selama usia reproduktif ) dan lingkungan ( cahaya matahari, luka bakar
termal ). Obat-obat tertentu seperti hidralasin ( Apresoline , prokainamid ( Pronestyl ),
isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan
kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-
obatan.
Pada sistemik lupus eritematosus, peningkatan produksi auto anti bodi diperkirakan
terjadi akibat fungsi sel T-Supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya merangsang anti bodi tambahan, dan siklus tersebut berulang kembali.
Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang mempunyai prediposisi genetic
akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD4+, mengakibatkan
hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T
87
autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang
memproduksi auto antibody maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih
belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar
ultraviolet dan berbagai macam infeksi.
Pada SLE, antibodi yang berbentuk ditunjukkan terhadap antigen yang terutama
terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan
non-histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk
agregat protein dan atau kompleks protein-RNA yang disebut partikel
ribonukleoprotein (RNA). Cirri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-
spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan
antigennya yang spesifik, ANA membentuk komplek imun yang beredar dalam
sirkulasi. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan
akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan
aktivasi komplemen yang menghasilkan subtansi penyebab timbulnya reaksi radang.
Bagian yang penting dalam patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme
regulasi yang dalam keadaan normal mencegah automunitas patologis pada individu
yang resisten.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak
dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa,
penghentian kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai
gejala umum yang jelas seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun dan iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-
kadang disertai menggigil.
Gejala yang paling sering pada SLE pada system musculoskeletal, berupa
arthritis atau artralgia (93%) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang
paling sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,
pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki, sering terkena
adalah kaput femoris. 40
Manifestasi Klinik
Keluhan utama dan pertama sistemik lupus eritematosus (SLE) adalah
artralgia, dapat juga timbul artritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer. Pasien
mengeluh lemas, lesu dan capek sehingga menghalanginya beraktivitas. Demam pegal
linu seluruh tubuh, nyeri otot dan penurunan berat badan terdapat kelainan kulit
88
spesifik berupa bercak malar menyerupai kupu-kupu dimuka dan eritema umum yang
menonjol. Terdapat kelainan kulit menahun berupa bercak diskoid yang bermula
sebagai eritema papul atau plak bersisik. Dapat pula terjadi kelaian darah berupa
anemia hemoditik, kelainan ginjal, pneumonitis, kelainan jantung, gastrointestinal,
gangguan saraf dan kelainan psikatrik.
Gambaran klinis yang muncul pada penyakit SLE diantaranya adalah:
· Artralgia
· Artritis (sinovitis)
· Pembengkakan sendi
· Nyeri tekan
· Rasa nyeri ketika bergerak
· Rasa kaku pada pagi hari. 40
Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat sulit ditegakkan dan dibutuhkan waktu beberapa bulan untuk
membuat diagnosis yang akurat berdasarkan gejala.
Ada beberapa pemeriksaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis, meliputi
adanya autoantibody tertentu dalam darah. Antibody antinuclear (ANA) adalah
autoantibody yang paling sering ditemukan, dengan sebagian besar pasien SLE
menunjukkan hasil pemeriksaan positif terhadap ANA. Beberapa obat, infeksi, dan
penyakit lain juga menyebabkan hasil ANA positif. Oleh sebab itu, jenis antibody
yang spesifik terhadap SLE perlu diperiksa, yang meliputi:
· Antibody anti – DNA
· Antibody anti – SM
· Antibody anti – RNP
· Antibody anti – Ro
· Antibody anti – La
Tidak semua individu yang mengalami SLE akan menunjukkan hasil
pemeriksaan positif. Pemeriksaan lain yang berguna dijelaskan dalam tabel di bawah
ini. 40
Pemeriksaan Diagnostik Hasil
LED Meningkat sebagai respons fase akut dan adanya
inflamasi
89
Kadar komplemen Menurun pada penyakit aktif
Hitung darah lengkap Hitung hemoglobin dan trombosit rendah
Urinalisis Proteinuria dan hematuria
Biopsy kulit Perubahan histology yang sesuai dengan lupus
ANA Positif pada sebagian besar kasus
Autoantibody lain :
anti – DNA, anti – SM,
anti – RNP, anti – Ro, dan
anti – La
Hasil bervariasi pada individu
Penatalaksanaan
Pengobatan medis SLE bergantung pada gejala individual. SLE tidak dapat
disembuhkan sehingga penatalaksanaan berfokus pada penekanan aktivitas penyakit.
Analgesic NSAID berguna dalam mengendalikan gejala. Saat pasien mengalami
gejala penyakit yang parah, steroid, DMARD, dan obat sitotoksik diberikan dengan
pemantauan gejala dan respons yang saksama, yang dapat atau tidak memerlukan
rawat inap. ml pada tiap lesi.
Bercak kemerahan kecil biasanya berhasil diobati dengan krim kortikosteroid.
Bercak lebih besar resisten, kadang memerlukan pengobatan selama beberapa bulan
dengan kortikosteroid per-oral (ditelan) atau dengan obat imunosupresan seperti
digunakan untuk mengobati lupus eritematosus sistemik. Krim steroid yang kuat
sebaliknya dioleskan pada bercak kulit sebanyak 1-2 kali/hari. Sampai bercak
menghilang jika bercak sudah mulai kurang bisa digunakan krim steroid yang lebih
ringan.
Salep cortison yang dioleskan pada lesi sering kali dapat memperbaiki keadaan dan
memperlambat perkembangan penyakit. Suntikan cortison yang dioleskan pada dalam
lesi juga bisa mengobati keadaan ini dan bisanya lebih efektif dari pada salep.
Lupus discoid tidak disebabkan oleh malaria, tetapi obat anti malaria ( cloroquine,
hydroxcloroquine ) memiliki daya anti peradangan yang ampuh bagi sebagian besar
kasus lupus discoid. 40
Komplikasi
Komplikasi lupus eritematosus sistemik
1. Serangan pada Ginjal
90
a) Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b) Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c) Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a) Pleuritis
b) Pericarditis
c) Efusi pleura
d) Efusi pericard
e) Radang otot jantung atau Miocarditis
f) Gagal jantung
g) Perdarahan paru (batuk darah).
3. Serangan Sistem Saraf
a) Sistem saraf pusat
· Cognitive dysfunction
· Sakit kepala pada lupus
· Sindrom anti-phospholipid
· Sindrom otak
· Fibromyalgia.
b) Sistem saraf tepi
· Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c) Sistem saraf otonom
· Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak,
dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen
(stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom.
4. Serangan pada Kulit
· Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya
disebut lesi diskoid
· Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a) Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif
terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus
subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b) Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area
yang luas di bagian tubuh
c) Lesi non spesifik
91
- Rambut rontok (alopecia)
- Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari.
Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok.
- Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai
pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
- Radang sendi pada lupus
- Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
· Anemia
· Trombositopenia
· Gangguan pembekuan
· Limfositopenia
8. Serangan pada Hati40
Diagnosis Diferensial
Reumatoid Arthritis
Definisi
Reumatoid artritis adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi
sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi
klinik klasik reumatoid atritis adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai
sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki, selain lapisan sinovial sendi, AR juga bisa
mengenai organ-organ diluar persendian seperti kulit, jantung, paru paru, dan mata.
Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit
ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. 40
Epidemiologi
Kasus Ar di indonesia merupakan kasus baru pada tahun 2000-2007 dari
keseluruhan jumlah pasien yang datang. Tercatat sebanyak 203 pasien kasus AR dari
1364 orang pasien yang datang 15,1%. Prevalensi AR lebih banyak ditemukan pada
perempuan dibandingkan laki laki dengan rasio 3:1. Dan dapat terjadi pada semua
92
kelompok umur, dengan angka kejadian lebih tinggi pada dekade keempat dan
kelima. 40
Etiologi
-Faktor genetik
Faktor genetik berperan penting pada AR, dengan angka kepeekaan dan
ekspresi penyakit sebesar 60%, hubungan gen HLA-DRB1 dengan kejadian AR telah
diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLA juga berhubungan dengan
AR, seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR11A yang mengkode aktivator reseptor
nucklear factor kappa B (NF-kB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang
pada AR
-Hormon Sex
Ar lebih sering terjadi pada wanita maka hormon sex pasti berpengaruh dalam
perkembangan penyakit AR
-Faktor infeksi
Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab terjadinya reumatoid artritis
Agen infeksi Mekanisme patogenik
Mycoplasma Infeksi sinovial langsung, superantigen
Parvovirus b
19
Infeksi sinovial langsung
Retrovirus Infeksi sinovial langsung
Enteric
bacteria
Kemiripan molekul
Mycobacteri
a
Kemiripan molekul
Epstein-barr
virus
Kemiripan molekul
Bacterial cell
walls
Aktifasi makrfag
93
Oganisme tersebut diduga menginfeksi sel induk semang (host) dan merubah
reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit
Faktor Risiko
Faktor risiko yang berhubungan dengan terjadinya AR antara lain jenis
kelamin perempuan, riwayat keturunan pernah menderita AR, konsumsi kopi
berlebihan, merokok, umur, makanan tinggi vitamin D. 40
Patofisiologi
Kerusakan sendi pada AR dimulai dari piliferasi makrofag dan fibroblas
sinovial setelah adanya faktor pencetus berupa autoimun atau infeksi. Limfosit
menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi poliferasi sel-sel endotel, yang
selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat
mengalami oklusi oleh bekuan bekuan kecil atau sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan
yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk
jaringan pannus. Pannus menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. Berbagai
macam sitokinin. Interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan.sehingga
mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. 40
Komplikasi
Komplikasi dari penyakit AR antara lain:
-anemia
-kanker
-komplikasi kardiak
-penyakit tulang belakang
-gangguan mata
-pembentukan fistula
- peningkatan infeksi
- deformitas sendi tangan
94
- deformitas sendi lainya
-komplikasi pernafasan
-nodul reumatoid
-vaskulitis40
Prognosis
Prediktor prognosis buruk pada kasus AR adalah : skor fungsional yang
rendah, status sosialekonomi rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga
penderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai cr CRP atau LED tinggi saat permulaan
penyakit, RF atau anti CCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit, ada
nodul rematoid/ manifestasi ekstraartikular lainnya. 40
Tanda dan Gejala
-Kaku dipagi hari (morning stiffness)
-artritis pada 3 persendian atau lebih
-artritis pada persendian tangan
-artritis yang simetrik
-nodul rematoid
-perubahan gambaran radiologis40
95
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Pada skenario dikatakan seorang wanita, 20 tahun, datang dengan keluhan timbul
kemerahan pada wajahnya setelah piknik ke pantai 5 hari yang lalu. Kemerahan itu menetap
dan tidak hilang sampai sekarang. Sering mengeluh kaku pada sendi-sendi kaki dan tangan,
terutama di pagi hari. Kekakuan berkurang menjelang siang. Tidak ada riwayat sakit sendi
rematik sebelumnya dan tidak juga pada keluarga. Berat badan menurun dalam 2 bulan
terakhir. Mulut luka, tidak bisa makan.
Berdasarkan hasil diskusi kelompok kami, kami menyimpulkan bahwa wanita tersebut
menderita penyakit Systemic Lupus Erytematosus (SLE) mengingat gejala-gejala yang
disimpulkan dari kata kunci pada skenario mengacu kepada penyakit tersebut.
4.2 SARAN
Butuh mencari sumber yang lebih banyak dan merujuk ke buku-buku imunologi
Mencari referensi yang ilmiah.
96
DAFTAR PUSTAKA
1Abbas, Abul K, et al. 2010.ROBBINS & COTRAN DASAR PATOLOGIS PENYAKIT, Ed. 7.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
2Ardiyanti Tunru. 2012. Glomerulonefritis Akut.
3Armando G., M,D., Enrico V.A., M.D., Thomas K., M.D. 2009. Mechanism of Disease
Skeleroderma. The New England Journal of Medicine.
4Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,. (2009). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,
Jilid III, Edisi V, hal 2630-2631, Jakarta: InternaPublishing.
5 Baratawidjaja Karnen Garna, Rengganis Iris. 2014. Imunologi Dasar. Edisi 11. Jakarta;
FKUI.
6 Corwin, Elizabeth, J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Edisi 3. Jakarta; EGC.
7 Cotran, Robbins. 2010. Dasar Patologis Penyakit Ed. 7. Jakarta:EGC.
8Czaja AJ, Freese DK. Diagnosis and treatment of autoimmune hepatitis. Hepatology 2002;
(36):2:480-497.
9Czaja AJ, Manns MP. Advances in the diagnosis, pathogenesis, and management of
autoimmune hepatitis. Gastroenterology. 2010;139:58–72.
10 Dalakas MC, Hohlfeld R.Polymyositis and dermatomyositis. Lancet. 2003.11 Danial. Penyakit – Penyakit Autoimun. 2008, dari
:http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Penyakit%20autoimun.html.
12 Division of Allergy &Clinical Immunology Faculty of Medicine, University of Indonesia
(http://www.jacinetwork.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=84:diagnosis-dan-tatalaksana-hepatitis-autoimun-
pada-hiv-positif&catid=42:immunodeficiency--hiv&Itemid=68).
97
13 Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-6. Jakarta:
Badan Penerbit FKUI; 2010.
14 Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and dry
eye symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern Med.2000;159:174-181.
15 Halim Mubin, A. 2007. Panduan Praktis Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; EGC.
16 Hennes EM, Zeniya M, Czaja AJ, et al. Simplified criteria for the diagnosis of.
17 Http: / www. Research. ui. ac. id / VI / Images.
8 Http://www.myasthenia.org/information/summary.htm.19 http://www.ninds.nih.gov/health_and_medical/pubs/myastheniagravis.htm
20 Jay H. Stein, MD. Panduan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta; EGC.
21 J.C.E Underwood. Patologi Umum dan Sistematik. Edisi 2. Jakarta; EGC
22 John H, John S, Mark D. Clinical dermatology, 3th ed. USA; 2003. 23 Li S., M.D., phD, Zulian F, M.D., Beam T. 2012. Pediatric Localized Skeleroderma.
American College of Rheumatology.
24 Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15. Volume 3. Jakarta. EGC.
25 Papamichalis PA, Zachou K, Koukoulis GK, Veloni A, Karacosta EG, Kypri L, et al. The
revised international autoimmune hepatitis score in chronic liver diseases including
autoimmune hepatitis/overlap syndromes and autoimmune hepatitis with concurrent other
liver disorders. J Autoimmune Dis 2007;4:3.
26 Patient: a therapeutic dilemma. AIDS Patient Care STDS. 2009 Jun;23(6):407-13.
27 Paul KB. ABC of Dermatology. 4th ed. London; 2003.
28 Penyakit Autoimun Dalam : Imunologi Klinik 29 Persatuan Ahli Penyakit Dalam. 1996. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 2.Jilid
1.Jakarta : Balai Penerbit FKUI: 1986.
98
30 Plewrg G, Jansen T. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine 7 th ed Vol 1 & 2. USA;
2008.
31 Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. 2006.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses
penyakit.Edisi 6.Volume 2. Jakarta: EGC: 1254-1257.
32 Puius YA, Dove LM, Brust DG, Shah DP, et al. Three cases of autoimmune hepatitis in
HIV-infected patients. J Clin Gastroenterol. 2008 Apr;42(4):425-9.
33 Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome associated
with hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases. Medicine.2005;84:81-89.
34 Robbins. 2013. Buku Ajar Patologi 1. Edisi 4. Jakarta; EGC.
35 Robbins. 2013. Buku Ajar Patologi. Edisi 7. Jakarta. EGC.
36 Robbins dan Cotran. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta; EGC.
37 Robbins dan Cotra. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta; EGC.
38 Setiyohadi B., 2006. Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, Pusat penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Jakarta.39 Setiyohadi, Bambang. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing.
40 Sudoyo, Ari W et.al.2009.Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:InternaPublishing.
41Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, K Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Edisi ke-5. Jakarta: Interna Publishing.
42 Sumariyono. Diagnosis dan Tatalaksana Sindrom Sjogren. Kumpulan makalah temu ilmiah
Reumatologi.2008:134-136.
43 Stein, Jay H.2001. Panduan Klinik Ilmu Penyakit Dalam.Jakarta:EGC.
44 Troy Daniels, DDS, MS. Sjogrens Syndrome Primer on rheumatic diseases.2008;13:389-
397.
45 Wan DW, Marks K, Yantiss RK, Talal AH. Autoimmune hepatitis in the HIV-infected.
46Yuliasih.Sindrom Sjogren.Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II edisi IV. Pusat
Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.
99
100