presus dermatitis venenata rifqi

22
PRESENTASI KASUS DERMATITIS VENENATA Oleh : Rifqi Maziyansyah G1A212139 Pembimbing: dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Upload: chanifia-izza-millata

Post on 08-Dec-2015

279 views

Category:

Documents


24 download

DESCRIPTION

dermatitis venenata

TRANSCRIPT

Page 1: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS VENENATA

Oleh :Rifqi Maziyansyah

G1A212139

Pembimbing:dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMANSMF ILMU PENYAKIT KULIT KELAMIN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANRSUD PROF DR MARGONO SOEKARJO

PURWOKERTO

2014

Page 2: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS VENENATA

Oleh :Rifqi Maziyansyah G1A212139

Presentasi kasus diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Kulit & Kelamin RSUD Margono Soekarjo

Purwokerto

Disetujui dan disahkan,Pada tanggal.....Juni 2014

Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Page 3: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

BAB I

KASUS

A. IDENTITAS

Nama : Nn. A

Usia : 19 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Mahasiswa

Alamat : Kembaran 03/09, Purwokerto

Agama : Islam

Pendidikan : SMA

Status Marital : Belum menikah

Anamnesis : Autoanamnesis tanggal 21 Juni 2014, pukul 08.18

B. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Rasa gatal di bawah lengan sebelah kiri.

Keluhan Tambahan: Timbul bercak kemerahan disertai timbul seperti

gelembung-gelembung berisi cairan di bawah lengan sebelah kiri

Riwayat Penyakit :

Pasien datang ke Poliklinik Kulit & Kelamin RSUD Margono Soekarjo

dengan keluhan gatal dan timbul bercak kemerahan serta gelembung-

gelembung berisi cairan jernih pada lengan kiri sejak 2 hari SMRS.

2 hari yang lalu, saat bangun tidur pasien melihat ada bercak kemerahan

disertai rasa gatal . Beberapa jam kemudian pasien merasakan adanya

gelembung kecil berisi cairan yang kemudian bertambah banyak sampai

membentuk suatu “kissing fenomena”. Pasien juga mengeluh terasa panas dan

nyeri. Pasien juga mengaku menggaruk daerah tersebut akibat rasa gatal yang

dirasakan . Pasien menyangkal adanya riwayat alergi..

Riwayat Penyakit Dahulu:

- Riwayat menderita penyakit yang sama sebelumnya disangkal.

- Riwayat alergi disangkal.

- Riwayat penyakit kulit lainnya disangkal.

- Riwayat penyakit sistemik disangkal.

Page 4: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

Riwayat Penyakit Keluarga :

- Penyakit serupa pada anggota keluarga lain disangkal

- Riwayat alergi pada keluarga disangkal

- Riwayat penyakit sistemik disangkal.

C. STATUS GENERALIS DAN DERMATOVENEREOLOGIK

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit ringan

Kesadaran : Compos mentis

Tanda Vital

Tekanan Darah : 110/70 mmHg

Denyut Nadi : 78 x/menit

RR : 20 x/menit

Suhu : 36,7 C

Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), wajah

simetris

Dada : Paru: SD Vesikuler +/+, Rh (-/-), Wh (-/-)

: Jantung: BJ I dan II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

Abdomen : Supel, BU (+) normal

Extremitas : Akral hangat, sianosis (-), kelemahan (-)

2. Status Dermatologis

Regio / letak lesi : Antebrachii sinistraEfloresensi Primer : vesikel berdasar eritem Sekunder : krustaSifat UKK Ukuran : numular Susunan / bentuk : herpetiformis Penyebaran dan lokalisasi: unilateral

D. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji temple

Page 5: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

E. RESUME

Perempuan 19 tahun datang ke Poliklinik Kulit & Kelamin RSUD

Margono Soekarjo dengan dengan keluhan gatal dan timbul bercak kemerahan

serta gelembung-gelembung berisi cairan jernih pada lengan kiri sejak 2 hari

SMRS.

2 hari yang lalu, saat bangun tidur pasien melihat ada bercak kemerahan

disertai rasa gatal. Beberapa jam kemudian pasien merasakan adanya

gelembung kecil berisi cairan yang kemudian bertambah banyak sampai

membentuk suatu “kissing fenomena”. Pasien juga mengeluh terasa panas dan

nyeri. Pasien juga mengaku menggaruk daerah tersebut akibat rasa gatal yang

dirasakan. Pasien menyangkal adanya riwayat alergi.

dermatologikus ditemuka sebuah vesikel dengan dasar eritematosa,

berbatas tidak tegas dengan diameter ± 0,5cm pada regio antebrachii sinistra.

Bentuk herpetiform dan penyebaran unilateral

F. DIAGNOSIS BANDING

1. Dermatitis Venenata

2. Herpes Zoster

G. DIAGNOSIS KERJA

Dermatitis Venenata

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Umum

1. Pencucian sesegera mungkin area yang terpapar.

2. Edukasi pada pasien cara mengurangi risiko terpapar, seperti menghindari

agen iritan.

Penatalaksanaan Khusus

1. Topikal

Kortikosteroid topical: hidrokortison asetat, oleskan tipis pada tempat

yang sakit 2-4 kali/hari.

Page 6: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

I. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad functionam : bonam

Quo ad sanastionam : dubia ad bonam

Page 7: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Dermatitis venenata adalah dermatitis kontak iritan yang disebabkan oleh

terpaparnya bahan iritan dari beberapa tanaman seperti rumput, bunga, kopi,

mangga serta sayuran seperti tomat, wortel dan bawang. Bahan aktif dari

serangga juga dapat menjadi penyebab (Abdullah, 2009) Istilah lama

"dermatitis venenata, "menandakan" sebuah iritasi kulit akibat racun", secara

bertahap diganti dengan penunjukan lebih akurat, dermatitis kontak, atau erupsi

akibat kontak dengan beberapa substansi, yang belum tentu racun. Serangga

(Insecta) merupakan kelas dari filum Arthropoda. Ordo yang paling sering

mengakibatkan masalah kulit adalah klas Lepidoptera (kupu-kupu), hemiptera

(bed bug), Anoplura (Pediculus sp.), Diptera (nyamuk), Coleoptera (blister

beetle), Hymenoptera (lebah, tawon, semut), Shiponaptera (flea). Kelas

arthropoda lain yang bermakna secara dermatologis adalah myriapoda

(kelabang) dan arachnida (laba-laba, tick, mite, kalajengking) (James, 2006).

B. ETIOLOGI

Ratusan zat kimia, hewan, atau sayuran alam mampu menghasilkan

erupsi tipe ini. Paparan yang terjadi menyebabkan erupsi apabila mengenai

individu yang rentan terhadap iritasi tertentu. Bahan yang menyebabkan iritasi

selain dari racun antara lain, adalah pewarna rambut, pewarna yang digunakan

dalam bulu dan pakaian, dan bahan kimia seperti formaldehida, bichloride

merkuri, lysol antiseptik dan lainnya, dan sabun yang kuat (James, 2006).

C. PATOGENESIS

Seperti yang telah disebutkan, kerentanan individu merupakan faktor

penting dalam menghasilkan suatu erupsi.seorang individu dapat menggunakan

bahan-bahan itu tanpa menimbulkan erupsi, sedangkan pada individu lain

menyebabkan erupsi walaupun hanya dengan sedikit paparan (Abdullah, 2009).

Karena secara definisi, dermatitis venenata merupakan dermatitis

kontak alergi, maka patofisiologi juga mengikuti dermatitis kontak alergi.

Page 8: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

1. Fase primer (induktiflafferen), yaitu penetrasi bahan yang mempunyai berat

molekul kecil (hapten) ke kulit, yang kemudian berikatan dengan karier

protein di epidermis. Komponen tersebut akan disajikan oleh sel langerhans

(LCs) pada sel T. pada kelenjar limfe regional, komplek yang terbentuk

akan merangsang sel limfosit T di daerah parakorteks untuk memperbanyak

diri dan berdiferensiasi menjadi sel T efektor dan sel memori. Terbentuklah

sel T memori yang akan bermigrasi ke kulit, peredaran perifer, dll (Djuanda,

2010).

2. Fase sekunder (eksitasileferen), yaitu perjalanan hapten pada individu yang

telah tersensitisasi, sehingga antigen disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel

T memori di kulit dan limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang

menghasilkan limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T,

karena lepasnya bahan-bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini

maksimum 24-48 jam. Setelah pemajanan allergen pada kulit, antigen

tersebut secara imunologi ditangkap oleh sel langerhans (sel penyaji

antigen), kemudian diproses dan disajikan kepada limfosit T dengan

bantuan molekul MHC kelas 2. Sel langerhans dan keratinosit akan

menghasilkan interleukin 1 (lymphocyte activating factor) dan sel

langerhansakan mengalami perubahan morfologis menjadi sel langerhans

yang aktif sebagai penyaji sel (APCs). Sel ini akan bergerak ke kulit di

dermis parakortikal, kelenjar limfe. Sel langerhans menyajikan dalam

bentuk yang sesuai dengan HLA DR dengan reseptor HLA DR yang

dimiliki oleh sel limfosit T APCs lain seperti sel monosit dan makrofag

hanya dapat merangsang sel T memori, tidka dapat mengaktifkan sel T yang

belum disensitisasi. Pada fase eferen ini sel TH1 terletakn di sekitar

pembuluh darah kapiler di dermis. Selain itu sel limfosit T itu harus

diaktifkan oelh interleukin I yang dihasilkan oleh sel langerhans dan sel

keratinosit das el T ini akan menghasilkan interleukin II (lymphocyte

proliferating cell) (Djuanda, 2010).

D. MANIFESTASI KLINIS

Tanda dari dermatitis sering muncul dalam beberapa jam setelah paparan.

Erupsi dapat berupa kemerahan, scaling, dan sedikit bengkak, disertai gatal dan

Page 9: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

sensasi terbakar. Juga dapat ditemukan vesikel, krusta, serta tersusun linear.

Lokasi erupsi dipengaruhi bagian yang paling langsung terkena iritasi tersebut.

Erupsi yang paling sering terjadi, diantaranya pada tangan, lengan, wajah, dan

leher.1 Hal ini dimungkinkan karena daerah tersebut sering terpapar iritan

eksternal.2 Seorang individu yang terkena tidak bisa menularkan penyakit

melalui kontak langsung kepada orang lain. Dalam kasus poison ivy, atau

sayuran seperti iritasi yang kuat, yang mungkin terjadi pada individu yang

terkena yaitu dalam beberapa jam pertama, erupsi menyebar pada dirinya

(James, 2006).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Uji Tempel

Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya dipunggung. Untuk

melakukan uji tempel diperlukan antigen, biasanya antigen standar buatan

pabrik, misalnya finn chamber system kit dan T.R.U.E test, keduanya buatan

Amerika Serikat. Terdapat juga antigen standar buatan pabrik di Eropa dan

negara lain. Adakalanya test dilakukan dengan antigen yang bukan standar,

dapat berupa bahan kimia murni, atau lebih sering bahan campuran yang

berasal dari rumah, lingkungan kerja atau tempat rekreasi. Mungkin ada

sebagian bahan ini yang bersifat sangat toksik terhadap kulit atau walaupun

jarang dapat memberikan efek toksik secara sistemik. Oleh karena itu bila

menggunakan bahan tidak standar, apalagi dengan bahan industri, harus

berhati-hati sekali, jangan melakukan uji tempel dengan bahan yang tidak

diketahui (Djuanda, 2010).

Bahan yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit misalnya

kosmetik, pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung di gunakan

apa adanya (as is). Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan

air untuk membilasnya misalnya sampoo, pasta gigi, harus diencerkan terlebih

dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau dilarutkan dalam

vaselin atau minyak mineral, produk yang diketahui bersifat iritan, misalnya

detergen hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi. Apabila pakaian,

Page 10: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel

dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air

garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air dan ditempelkan dikulit

dengan memakai finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu

diingat bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol ( 5-10

orang) (Djuanda, 2010).

Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji temple

(Djuanda, 2010):

1. Dermatitis harus sudah tenang atau sembuh, bila masih dalam keadaan akut

atau berat dapat terjadi angry back atau excited skin, reaksi positif palsu,

dapat juga menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya makin

memburuk.

2. Tes dilakukan sekurang-kurangnya 1 minggu setelah pemakaian

kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel

dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20 mg perhari atau

dosis ekivalen kortikosteroid lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif

palsu. Pemberian kortikosteroid topikal di punggung dihentikan sekurang-

kurangnya 1 minggu sebelum tes dilaksanakan. Luka bakar sinar matahari

(sunburn) yang terjadi 1-2 minggu sebelum tes dilakukan juga dapat

memberi hasil negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik tidak

mempengaruhi hasil tes kecuali diduga karena urtikaria kontak.

3. Uji tempel dibuka setelah 2 hari, kemudian dibaca, pembacan kedua

dilakukan pada hari ketiga sampai ketujuh setelah aplikasi.

4. Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel

menjadi longgar (tidak menempel dengan baik) karena memberi hasil

negatif palsu. Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48

jam dan menjaga agar punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya

sampai pembacaan terakhir selesai.

5. Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakuka terhadap penderita yang

mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan atau immediate urtikaria type

Page 11: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

karena dapat menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis.

Pada penderita semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.

Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas.

Pembacaan pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan

bahan yang diuji telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat sebagai

berikut (Djuanda, 2010):

1 = reaksi lemah (nonvesikular): eritema, infiltrate, papul (+)

2 = reaksi kuat: edema dan vesikel (++)

3 = reaksi sangat kuat (ekstrim): bula atau ulkus (+++)

4 = meragukan: hanya macula eritematosa (?)

5 = iritasi:seperti terbakar, pustule, atau purpura (IR)

6 = reaksi negative (-)

7 = excited skin

8 = tidak dites (NT=not tested)

Reaksi excited skin atau “angry back” merupakan reaski positif palsu,

suatu fenomena regional disebabkan oleh 1 atau beberapa reaksi positif kuat,

yang dipicu oleh hipersensitivitas kulit, pinggir uji tempel yang lain menjadi

reaktif. Fenomena ini pertama dikemukakan oleh Bruno Bloch pada abad ke

20, kemudian diteliti oleh Mitchell pada tahun 1975 (Djuanda, 2010).

Pembacaan kedua perlu dilakukn sampai 1 minggu setelah aplikasi,

biasanya 72 atau 96 jam setelah aplikasi. Pembacaan kedua ini penting untuk

membantu membedakan antara respon alergi atau iritasi, dan juga

mengidentifikasi lebih banyak lagi respon positif alergen. Hasil positif dapat

bertambah setelah 96 jam aplikasi, olek karena itu perlu dipesan kepada pasien

untuk melapor, bila hal itu terjadi sampai 1 minggu setelah aplikasi (Djuanda,

2010).

Untuk menginterpretasi hasil uji tempel tidak mudah. Interpretasi

dilakukan setelah pembacaan kedua. Respon alergi biasanya menjadi lebih

jelas antara pembacaan kesatu dan kedua, berawal dari +/- ke + atau ++ bahkan

ke +++ ( reaksi tipe crescendo ), sedangkan respon iritan cenderung menurun

( reaksi tipe descrecendo ). Bila ditemukan respon positif terhadap suatu

Page 12: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

alergen, perlu ditemukan relevannya dengan keadaan klinik, riwayat penyakit

dan sumber antigen di lingkungan penderita. Mungkin respon positif tersebut

berhubungan dengan penyakit yang sekarang atau penyakit masa lalu yang

pernah dialami, atau mungkin tidak ada hubungannya ( tidak diketahui ).

Reaksi positif klasik terdiri atas eritem, edem, dan vesikel-vesikel kecil yang

letaknya berdekatan (Djuanda, 2010).

Reaski positif palsu dapat terjadi antara lain apabila konsentrasi terlalu

tinggi, atau bahan tersebut bersifat iritan bila dalam keadaan tertutup ( oklusi ),

efek pinggir uji tempel, umumnya karena iritasi, bagian tepi menunjukkan

reaksi lebih kuat, sedang dibagian tengahnya reaksi ringan atau sama sekali

tidak ada. Ini disebabkan karena meningkatnya konsentrasi iritasi cairan di

bagian pinggir. Sebab lain karena efek tekan, terjadi bial menggunakan bahan

padat (Djuanda, 2010).

Reaksi negatif palsu dapat terjadi misalnya konsetrasi terlalu rendah,

vehikulum tidak tepat, bahn uji tempel tidak melekat dengan baik atau longgar

akibat pergerakan, kurang cukup waktu penghentian pemakaian kortikosteroid

sistemik atau topikal poten yang lama dipakai pada uji tempel dilakukan

(Djuanda, 2010).

F. DIAGNOSIS BANDING

Penyakit ini harus dibandingkan dengan herpes zoster

G. PENATALAKSANAAN

1. Berbagai jenis dermatitis memang memerlukan upaya terapetik masing-

masing, sesuai dengan jenis dermatitisnya. Tetapi, secara umum prinsip

terapinya adalah serupa dan pengobatan utamanya adalah dengan preparat

kortikosteroid.

2. Penanganan dimulai dengan pemastian adanya dermatitis.

3. Upayakan mencari, untuk kemudian sedapat mungkin menghindari faktor

pencetus dan atau faktor pemberat kelainan.

4. Perhatikan kemungkinan diagnosis banding dermatofitosis atau dermatosis

lain yang steroid nonresponsive. Dermatitis umumnya responsif terhadap

Page 13: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

steroid dan terapi pada dasarnya bersifat simptomatis.

5. Yang perlu diperhatikan adalah kondisi klinis lesi. Hal ini penting karena

kita masih tetap memegang prinsip dasar dermatoterapi yang telah dikenal

sejak lama, yakni lesi yang ‘basah’ harus diterapi secara ‘basah’ dan

sebaliknya lesi ‘kering’ diterapi secara ‘kering’.

6. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah vehikulum selain bahan utama -

suatu obat yang pemilihan jenisnya juga ditentukan oleh kondisi klinis

kelainan.

7. Upaya pertama adalah penggunaan emolien dan menghindari bahan-bahan

yang bersifat iritan (misalnya deterjen dan sabun tertentu), karena

cenderung mengakibatkan kulit menjadi lebih kering, yang menambah

keluhan rasa gatal.

8. Upaya berikutnya adalah penggunaan kortikosteroid sebagai antiinflamasi.

9. Kadang-kadang diperlukan preparat kombinasi antara kortikosteroid dengan

antibiotika ataupun kortikosteroid dengan antimikotik.

10. Pada beberapa kasus diperlukan kombinasi dengan pengobatan sistemik

(steroid, antihistamin maupun antibiotika) sesuai dengan kebutuhan.

Kortikosteroid Topikal

Kegunaan dan khasiat pengobatan topical didapat dari pengaruh fisik dan

kimiawi obat-obat yang diaplikasikan di atas kulit yang sakit. Pengaruh fisik

antara lain ialah mengeringkan, membasahi, melembutkan, lubrikasi,

mendinginkan, memanaskan dan melindungi dari pengaruh buruk dari luar.

Semua hal itu bermaksud untuk mengadakan homeostasis, yaitu

mengembalikan kulit yang sakit dan jaringan di sekitarnya ke keadaan

fisiologik stabil secepatnya. Di samping itu untuk menghilangkan gejala-gejala

yang mengganggu, misalnya rasa gatal dan panas (Djuanda, 2010).

Prinsip obat topical secara umum terdiri dari 2 bagian, yaitu bahan dasar

(vehikulum) dan bahan aktif.

1. Bahan dasar (vehikulum)

Memilih bahan dasar obat topical merupakan langkah awal dan

terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada

umumnya sebagai pegangan ialah pada keadaan dermatosis yang membasah

Page 14: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

dipakai bahan dasar yang cair/basah, misalnya kompres; dan pada keadaan

kering dipakai bahan dasar padat/kering, misalnya salep (Djuanda, 2010).

2. Bahan aktif

Memilih obat topical selain faktor vehikulum, juga faktor bahan aktif

yang dimasukkan ke dalam vehikulum yang mempunyai khasiat tertentu

yang sesuai untuk pengobatan topical. Khasiat bahan aktif topical

dipengaruhi oleh keadaan fisika-kimiawi permukaan kulit, di samping

komposisi formulasi zat yang dipakai (Djuanda, 2010).

H. PROGNOSIS

Prognosis dari DKI akut baik jika penyebab iritasi dapat dikenali dan

dihilangkan. Prognosis untuk DKI kumulatif atau kronis tidak pasti dan bahkan

lebih buruk dari Dermatitis Kontak Alergi. Latar belakang pasien atopi,

kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, dan atau diagnosis dan

penatalaksanaan adalah faktor-faktor yang membawa ke perburukan dari

prognosis (Wolff, 2008).

Page 15: Presus Dermatitis Venenata Rifqi

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah B.,Dermatologi Pengetahuan Dasar dan Kasus di Rumah

Sakit,Indonesia: Pusat Penerbitan Universitas Airlangga., 2009, hal 94-96.

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Edisi ke enam.

Fakultas Kedokteran Indonesia. Jakarta. 2010.

James WD., Berger TG., Elston DM., Andrews’ Diseases of The Skin: Clinical

Dermatology,10th ed, Canada: Elsevier Inc., 2006, pg 421-427.

Wolff K., Goldsmith LA., Katz SI., Gilchrest BA., Paller AS., Leffell DJ.,

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 7th ed, USA: McGraw-Hill

Companies., 2008, pg 395-401.