preparasi protein kedelai suksinat aetat sebagai eksipien

20
Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien Salut pada Sediaan Tablet Enterik Ibuprofen Lusi Anggraini, Effionora Anwar, Juheini Amin Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia [email protected] Abstrak Tablet lepas tunda adalah tablet dengan sistem pelepasan tertunda yang dibuat untuk mencegah pelepasan obat di lambung. Untuk membuat tablet lepas tunda diperlukan suatu eksipien yang tidak larut dalam asam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat tablet salut enterik ibuprofen menggunakan eksipien PKSA. Protein kedelai suksinat asetat (PKSA) dimodifikasi melalui reaksi asilasi yaitu suksinilasi dan asetilasi dengan menggunakan suksinat anhidirida 125% b/b dan asetat anhidrida 125% v/b. Protein kedelai suksinat asetat yang diperoleh memiliki derajat asetilasi 75,24 ± 0,2121%, memiliki daya larut 0,007% pada pH 1,2 dan 0,01% pada pH 6,8, serta memiliki daya mengembang maksimum pada pH 1,2 sebesar 167,95% dan pada pH 6,8 sebesar 200%. Protein kedelai suksinat asetat digunakan sebagai penyalut pada tablet inti ibuprofen yang dibuat dengan metode granulasi basah. Formula larutan penyalut yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 formula, yaitu F1 menggunakan PKSA 2%, F2 menggunakan kombinasi PKSA:HPMCP (1:1) dengan konsentrasi 2%, dan F3 menggunakan HPMCP 2% dengan dua kali penyalutan. Hasil uji disolusi tablet salut, menunjukkan F2 memberikan hasil disolusi yang lebih baik dibandingkan F1 karena memberikan hasil disolusi pada pH 1,2 sebesar 1,59% dan pada pH 6,8 sebesar 84,711%, tetapi memiliki waktu hancur yang kurang dari 1 jam pada pH 1,2. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa tablet salut F1 dan F2 belum memenuhi persyaratan sebagai penyalut pada sediaan tablet salut enterik. Preparation of Soybean Protein Succinate Acetate as Coating Excipient for Enteric Tablet Containing Ibuprofen Abstract Delayed release tablet is tablet with delayed release system that designed to prevent drug release in stomach. To make delayed release tablet required an excipient that not soluble in acid. The aim of this research is to make a enteric coated tablet ibuprofen use soy protein acetate succinate (SPAS). Soy protein acetate succinate was modified by succinylation and acetylation using succinic anhydride 125% b/b and acetate anhydride 125% v/b. Soybean protein succinate acetate has degree of succinylation 13.205 ± 0.3465% and degree of acetylation 75,24 ± 0,2121%, has solubility index 0.007% in pH 1,2 and 0.01% in pH 6.8, and has a maximum swelling index 167.95% in pH 1.2 and 200% in pH 6.8. Soy Protein acetate succinate was used as a coating on the core ibuprofen tablets that made by wet granulation method. Coating solution formulas that Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien Salut pada Sediaan Tablet Enterik Ibuprofen

Lusi Anggraini, Effionora Anwar, Juheini Amin

Fakultas Farmasi, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Depok, 16424, Indonesia

[email protected]

Abstrak

Tablet lepas tunda adalah tablet dengan sistem pelepasan tertunda yang dibuat untuk mencegah pelepasan obat di lambung. Untuk membuat tablet lepas tunda diperlukan suatu eksipien yang tidak larut dalam asam. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuat tablet salut enterik ibuprofen menggunakan eksipien PKSA. Protein kedelai suksinat asetat (PKSA) dimodifikasi melalui reaksi asilasi yaitu suksinilasi dan asetilasi dengan menggunakan suksinat anhidirida 125% b/b dan asetat anhidrida 125% v/b. Protein kedelai suksinat asetat yang diperoleh memiliki derajat asetilasi 75,24 ± 0,2121%, memiliki daya larut 0,007% pada pH 1,2 dan 0,01% pada pH 6,8, serta memiliki daya mengembang maksimum pada pH 1,2 sebesar 167,95% dan pada pH 6,8 sebesar 200%. Protein kedelai suksinat asetat digunakan sebagai penyalut pada tablet inti ibuprofen yang dibuat dengan metode granulasi basah. Formula larutan penyalut yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari 3 formula, yaitu F1 menggunakan PKSA 2%, F2 menggunakan kombinasi PKSA:HPMCP (1:1) dengan konsentrasi 2%, dan F3 menggunakan HPMCP 2% dengan dua kali penyalutan. Hasil uji disolusi tablet salut, menunjukkan F2 memberikan hasil disolusi yang lebih baik dibandingkan F1 karena memberikan hasil disolusi pada pH 1,2 sebesar 1,59% dan pada pH 6,8 sebesar 84,711%, tetapi memiliki waktu hancur yang kurang dari 1 jam pada pH 1,2. Berdasarkan hasil ini dapat disimpulkan bahwa tablet salut F1 dan F2 belum memenuhi persyaratan sebagai penyalut pada sediaan tablet salut enterik.

Preparation of Soybean Protein Succinate Acetate as Coating Excipient for Enteric Tablet Containing Ibuprofen

Abstract

Delayed release tablet is tablet with delayed release system that designed to prevent drug release in stomach. To make delayed release tablet required an excipient that not soluble in acid. The aim of this research is to make a enteric coated tablet ibuprofen use soy protein acetate succinate (SPAS). Soy protein acetate succinate was modified by succinylation and acetylation using succinic anhydride 125% b/b and acetate anhydride 125% v/b. Soybean protein succinate acetate has degree of succinylation 13.205 ± 0.3465% and degree of acetylation 75,24 ± 0,2121%, has solubility index 0.007% in pH 1,2 and 0.01% in pH 6.8, and has a maximum swelling index 167.95% in pH 1.2 and 200% in pH 6.8. Soy Protein acetate succinate was used as a coating on the core ibuprofen tablets that made by wet granulation method. Coating solution formulas that

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 2: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

used in this study consist of three formulas, F1 using SPAS 2%, F2 using combination of SPAS:HPMCP (1:1) 2%, and F3 using HPMCP 2% with twice coating process. Dissolution result of enteric coated tablet showing that F2 were better than F1 because F2 dissolved 1,59% in pH 1.2 and 84,711% in pH 6.8, but has disintegration time less than one hour in pH 1,2. Based on this result, enteric coated tablet with F2 was not qualified as a coating for enteric coated tablet.

Keyword : acetylation; soybean protein succinate acetate; succinylation; enteric coated tablet

Pendahuluan

Tablet enterik merupakan tablet dengan sistem pelepasan tertunda yang mengandung

bahan atau polimer yang tidak larut dalam pH rendah (asam), tetapi larut pada pH tinggi (basa)

(Lieberman, Lachman, & Schwartz, 1992). Tablet enterik dibuat untuk melindungi obat dari

degradasi asam lambung dan melindungi lambung dari iritasi yang disebabkan oleh obat. Contoh

obat-obatan yang dapat mengiritasi lambung adalah obat-obat golongan AINS, seperti ibuprofen,

natrium diklofenak, asetosal, dan lain-lain. Tablet enterik juga dibuat untuk untuk menghantarkan

obat pada daerah absorpsi, obat akan diabsorpsi secara optimal di usus halus atau kolon.

Polimer-polimer yang digunakan dalam pembuatan tablet enterik adalah polimer yang

sensitif basa. Polimer enterik yang telah beredar saat ini yaitu selulosa asetat ftalat, eudragit,

hidroksil propil metil selulosa ftalat, polivinil asetat ftalat, dan shellac. Jumlah polimer atau

eksipien yang ada di pasaran dan digunakan sebagai polimer enterik pada saat ini masih terbatas

dan masih impor. Untuk memperkaya jumlah eksipien sediaan enterik, perlu dilakukan

pembuatan dan modifikasi eksipien dari bahan alam yang nantinya bisa digunakan sebagai

polimer dalam pembuatan sediaan enterik.

Satu diantaranya yang berpotensi sebagai eksipien dalam sediaan farmasi adalah protein

kacang kedelai. Pemanfaatan protein kacang kedelai sebagai eksipien khususnya sebagai polimer

salut enterik dapat dilakukan dengan cara memodifikasi protein kacang kedelai. Adanya gugus

fungsional pada rantai samping asam amino protein kacang kedelai dapat dimanfaatkan untuk

dilakukannya modifikasi protein (Hettiarachchy, Sato, Marshall, & Kannan, 2012). Menurut

penelitian yang dilakukan oleh Caillard, Petit, & Subirade (2009), modifikasi protein kedelai

melalui reaksi suksinilasi dapat menurunkan kelarutan protein pada pH 1,2 dan meningkatkan

kelarutannya pada pH di atas 4,5. Suksinilasi juga menurunkan kemampuan mengembang protein

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 3: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

kedelai pada pH 1,2 dan meningkatkan kemampuan mengembangnya pada pH 7,5. Penelitian

yang dilakukan oleh Chatarina (2014), protein kedelai yang dimodifikasi dengan menggunakan

suksinat anhidrida 100% b/b penurunan kemampuan mengembang pada pH 1,2 sebesar 35,38 ±

2,08% dan mengalami peningkatan kemampuan mengembang pada pH 7,5 yaitu sebesar 66,36 ±

2,12%.

Protein kedelai yang tersuksinilasi dan terasetilasi akan digunakan sebagai polimer

penyalut pada sediaan tablet enterik. Model obat yang digunakan adalah obat golongan AINS

turunan asam propionat yaitu ibuprofen. Obat ini digunakan sebagai antiinflamasi, analgesik, dan

antipiretik. Efek samping dari ibuprofen yaitu dapat menyebabkan gangguan gastrointestinal,

nyeri abdominal yang dapat menyebabkan pendarahan pada saluran pencernaan, serta ulkus

peptik, sehingga obat ini cocok untuk dijadikan model obat dalam sediaan tablet enterik untuk

mengurangi efek sampingnya terhadap lambung.

Tinjauan Teoritis

a. Tablet

Tablet adalah sediaan padat yang dibuat dengan mencampurkan bahan eksipien yang

cocok. Komponen suatu tablet terdiri dari zat aktif dan eksipien. Eksipien adalah zat yang

digunakan sebagai bahan tambahan dalam suatu formula sediaan, bersifat inert, dan tidak

mempunyai efek farmakologi (Anwar, 2012). Eksipien utama yang digunakan dalam formulasi

tablet adalah bahan pengisi (filler), pengikat (binder), penghancur (disintegrant), pelincir

(lubricant), antilekat (antiadherents), dan pelicin (glidant) (Lieberman, Lachman, Schwartz,

1989; Anwar, 2012 ).

Metode yang digunakan untuk membuat tablet yaitu granulasi basah, granulasi kering,

dan kempa langsung (Lieberman, Lachman, Schwartz, 1989). Evaluasi terhadap sediaan tablet

dilakukan untuk mengetahui apakah sediaan tablet sudah memenuhi persyaratan tablet secara

umum untuk dipasarkan dan dikonsumsi. Evaluasi yang dilakukan terdiri dari dua macam, yaitu

evaluasi yang dilakukan pada saat proses pembuatan tablet atau in process control (IPC) dan

evaluasi yang dilakukan setelah tablet dicetak atau post process control (PPC).

b. Tablet salut enterik

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 4: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Tablet enterik merupakan tablet yang dibuat dengan tujuan untuk mencegah pelepasan

obat di lambung, namun melepaskan obat di usus. Tablet salut merupakan suatu teknik

farmasetika yang mengaplikasikan polimer film pada tablet yang mengandung zat aktif. Sediaan

tablet salut secara umum dibedakan menjadi tiga yaitu salut gula, film, dan enterik (Ankit, Ajay,

& Kumar, 2012). Tablet salut film adalah tablet yang disalut dengan lapisan tipis dari polimer

pembentuk film (Allen, Popovich, & Ansel, 2011). Bahan-bahan yang digunakan dalam

pembuatan tablet salut film antara lain polimer pembentuk film, plasticizer, pewarna, dan pelarut

(Cole, Aulton, & Hogan, 1995). Metode penyalutan yang sering digunakan dalam penyalutan

tablet adalah pan coating, fluidized-bed coating, compaction coating, dan melt/dry coating.

c. Protein kedelai

Protein adalah makromolekul yang terdiri dari satu atau lebih polipeptida. Setiap

polipetida terdiri dari rantai asam amino yang terhubung oleh ikatan peptida (Walsh, 2002),

seperti ikatan amida antara gugus karboksil dan gugus amin (Koolman & Roehm, 2005). Protein

kedelai telah banyak diproduksi dalam berbagai bentuk, yaitu tepung protein kedelai, konsentrat

protein kedelai, dan isolat protein kedelai (Singh, Kumar, Sabapathy, & Bawa, 2008). Tepung

protein kedelai mengandung 40-54% protein, jumlah kandungan protein ini tergantung pada

kandungan minyak yang terdapat dalam tepung protein kedelai. Konsentrat protein kedelai

memiliki tesktur yang lebih halus dibandingkan dengan tepung protein kedelai. Kandungan

protein yang terdapat dalam konsentrat protein kedelai yaitu 65-72%. Isolat protein kedelai

mengandung protein 90% hingga 92% protein (Boerma & Specht, 2004; Singh, Kumar,

Sabapathy, & Bawa, 2008).

d. Asilasi protein kedelai

Salah satu modifikasi protein secara kimia yang sering dilakukan adalah asilasi. Asilasi

merupakan reaksi yang secara kovalen memasukkan gugus asil seperti asetil dan suksinil ke

dalam gugus amino protein dan beberapa gugus hidroksil, imidazol, dan tiol, menggunakan asam

dikarboksilat anhidrida. Contoh modifikasi melalui asilasi protein adalah suksinilasi dan asetilasi

(Hettiarachchy, Sato, Marshall, & Kannan, 2012). Suksinilasi adalah reaksi kimia yang

menambahkan asam suksinat pada gugus amino protein melalui serangan nukleofilik dan

mengganti muatan postif dari gugus ε-amino lisin dengan gugus karboksil yang bermuatan

negatif. Suksinilasi protein kedelai menurunkan kelarutan protein dan muatan protein pada pH

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 5: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

1,2 dan meningkatkan kelarutan dan potensial zeta protein pada pH di atas 4,5 (Caillard, Petit, &

Subirade, 2009).

[Sumber: El-Adawy, 2000]

Gambar 1. Reaksi suksinilasi protein oleh asam suksinat anhidrida

Asetilasi adalah modifikasi protein dengan mereaksikan asetat anhidrida pada gugus ε-

amino lisin. Asetilasi dari gugus ε-amino lisin menurunkan jumlah muatan positif protein dengan

cara substitusi gugus asetil pada gugus ε-amino (El-Adawy, 2000)

[Sumber: El-Adawy, 2000] Gambar 2. Reaksi asetilasi protein oleh asetat anhidrida

Metode Penelitian

a. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kacang kedelai varietas Grobogan

(Balitro, Indonesia), ibuprofen (Indofarma, Indonesia), anhidrida suksinat (Abblis Chemicals

LLC, USA), asetat anhidrida (Merck, Jerman), asam trinitrobenzen sulfonat (Sigma Aldrich,

USA), asam klorida (Merck, Jerman), natrium dodesil sulfat (Merck, Jerman), natrium hidroksida

(Merck, Jerman), kalium klorida (Merck, Jerman), kalium dihidrogen fosfat (Merck, Jerman),

gliserol (Merck, Jerman), kalium bromida (Merck, Jerman), alkohol teknis (Brataco, Indonesia),

heksan teknis (Brataco, Indonesia), Aquadest (Brataco, Indonesia). Peralatan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah alat pengayak (Retsch, Jerman), pan coating, spray gun,

spektrofotometer UV-1800 (Shimadzu, Jepang), Fourier-Transform Infrared Spectrometer 8400

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 6: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

S (Shimadzu, Jepang), pH meter (Eutech pH 510, Singapura), neraca analitik (Adam AFA – 210

LC, USA), pengaduk magnetik (Ika, Jerman), thermal analyzer DSC-60 (Shimadzu, Jepang),

scanning electrom microscope (Jeol JSM-6390 LA, Jepang), oven (Memmert, Jerman), moisture

balance analyzer (Mettler Toledo, Jerman), alat uji disolusi (Electrolab TDT-08L, India),

flowmeter (Erweka GDT, Jerman), friability tester (Erweka TAR,Jerman), bulk-density tester

(Pharmeq 245-2E, Indonesia), hardness tester (Erweka TBH 28, Jerman)mikrometer sekrup

(Tricle Brand, China), buchner funnel, desikator, termometer, dan alat–alat gelas.

b. Cara Kerja

1. Pembuatan Konsentrat Protein Kedelai

Konsentrat protein kedelai dibuat dengan cara menghaluskan biji kacang kedelai yang telah

dikeringkan sehingga menjadi tepung kedelai yang kemudian dihilangkan minyak dan

oligosakridanya. Kandungan minyak dalam tepung kedelai dihilangkan dengan cara pengadukan

menggunakan heksana, sedangkan penghilangan oligosakarida dilakukakan dengan pengadukan

menggunakan etanol 70%.

2. Penetapan Kadar Kandungan Minyak

Kandungan minyak dalam konsentrat protein kedelai ditentukan dengan menggunakan

metode ekstraksi soxhlet menggunakan pelarut heksana selama 2 jam.

3. Suksinilasi dan Asetilasi Konsentrat Protein Kedelai

Kosentrat protein kedelai didispersikan dalam aquadest 5% b/v selama 2 jam menggunakan

pengaduk magnetik, kemudian ditambahkan NaOH 5 N hingga pH 8,0-8,5. Larutan suksinat

anhidrida diteteskan ke dalam suspensi protein kedelai. Kondisi pada saat reaksi harus dijaga

pada pH 8,0-8,5 dengan penambahan NaOH 5 N. Suksinat anhidrida yang digunakan yaitu

sebanyak 125% b/b protein kedelai. Setelah penambahan larutan suksinat anhidrida selesai,

pengadukan tetap dilanjutkan selama 3-4 jam, kemudian suspensi didiamkan selama 24 jam.

Suspensi diasamkan dengan menggunakan HCl 5 N hingga pH 4,0-4,5 untuk mengendapkan

protein. Endapan protein kemudian dipisahkan dengan bantuan penyaring vakum lalu dicuci

dengan etanol 96%. Endapan yang diperoleh dinetralkan dengan NaOH 5 N hingga pH 6-7.

Setelah itu endapan yang diperoleh kemudian dipisahkan dan dikeringkan pada lempeng kaca.

Endapan yang telah dikeringkan kemudian dihaluskan kembali dan diayak dengan pengayak 60

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 7: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

mesh yang memiliki ukuran lubang pengayak berdiameter ±250 µm (Mirmoghtadaie, Kadivar, &

Shahedi, 2009). Asetilasi dari konsentrat protein kedelai suksinat dilakukan dengan

menggunakan cara yang sama pada saat proses suksinilasi, perbedaannya hanya pada asetilasi

menggunakan pereaksi asetat anhidrida 125% v/b.

4. Karakterisasi Eksipien

a. Derajat substitusi

Pengukuran derajat substitusi dilakukan menggunakan metode asam trinitrobenzen sulfonat

(TNBS). Sebanyak 1 ml larutan TNBS 0,1% ditambahkan ke dalam 20 ml larutan protein

dimodifikasi (0,25% b/v). Larutan kemudian dipanaskan di waterbath dengan suhu 60°C selama

2 jam, kemudian didinginkan pada suhu kamar. Selanjutnya, 1 ml natrium dodesil sulfat 10% dan

0,5 ml HCl 1 M ditambahkan ke dalam larutan protein termodifikasi. Serapan dari larutan

tersebut diukur pada panjang gelombang 335 nm dibandingkan dengan blanko (Caillard, Petit, &

Subirade, 2009). Perhitungan derajat subsitusi :

% Substitusi = 100LysCLysRLysC

×−

Keterangan : LysC = Serapan larutan protein kedelai sebelum dimodifikasi.

LysR = Serapan larutan protein kedelai setelah dimodifikasi.

b. Analisis gugus fungsi

Sebanyak dua mg dari masing-masing sampel yang telah disuksinilasi, dan yang telah

disuksinilasi dan diasetilasi digerus homogen bersama 95 mg KBr yang telah dikeringkan.

Pemeriksaan dilakukan dengan FTIR (Fourier Transform Infrared) pada panjang gelombang 400

sampai 4000 cm-1. Spektrum IR yang diperoleh dari protein yang belum dan telah disuksinilasi,

serta yang telah disuksinilasi dan diasetilasi dibandingkan.

c. Uji daya mengembang

Uji daya mengembang dilakukan dengan cara menimbang eksipien 500 mg kemudian

dimasukkan ke dalam dua gelas ukur, kemudian pada masing-masing gelas ukur ditambahkan

medium HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 10 ml. Volume awal eksipien(V1) sebelum

(2)

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 8: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

ditambah medium dicatat, kemudian perubahan volumenya (V2) diamati setelah penambahan

medium pada menit 0, 15, 30, 45, 60, dan 120.

% Pengembangan = 100V

)V(V

1

12 ×−

d. Uji daya larut

Sampel didispersikan dalam medium HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,8 dengan konsentrasi

2% b/v. Sampel dilarutkan selama 30 menit dengan pengadukan terus menerus. Suspensi sampel

kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 3700 rpm selama 20 menit. Supernatan jernih yang

terbentuk diambil lalu dikeringkan di oven 105°C. Setelah kering, timbang beratnya sampai

didapat berat konstan (Daramola & Osanyinlusi, 2006).

Perbandingan daya larut = !"#$% !!"#$%&'&% !"#$%&!"#$%& !"#$%&'('&

e. Viskositas

Viskositas sampel diukur dengan menggunakan viskometer Brookfield. Larutan protein

dibuat dengan konsentrasi 2% (b/v) dalam larutan NH4OH. Pemilihan konsentrasi ini didasarkan

pada konsentrasi larutan penyalut yang digunakan pada proses penyalutan tablet. Kecepatan

spindle yang digunakan yaitu 5; 10; 20; 50; 100. Hasil pembacaan skala dicatat dan viskositas

dihitung dengan menggunakan faktor koreksi.

5. Formulasi dan Evaluasi Tablet Inti Ibuprofen

Tabel 1.Formulasi tablet inti ibuprofen

Bahan Jumlah (mg) Ibuprofen 200 Laktosa 245

Amilum 5% 20 Primogel 20

Talk 10 Mg stearat 5

Total masa tablet 500

Tablet inti ibuprofen dengan dosis 200 mg per tablet dibuat dengan metode granulasi basah.

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan tablet inti ibuprofen yaitu ibuprofen sebagai

model obat, laktosa sebagai pengisi, amilum sebagai pengikat, primogel sebagai disintegran, talk

sebagai antiadherent dan glidan, serta magnesium stearat sebagai lubrikan.

(3)

(4)

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 9: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

a. Evaluasi tablet inti ibuprofen

Evaluasi massa tablet inti ibuprofen terdiri dari pengujian sifat alir yaitu laju alir, sudut

reposa, indeks kompresibilitas, dan rasio hausner. Evaluasi untuk tablet inti iburpofen terdiri dari

organoleptis, keseragaman bobot, kesergaman ukuran, kekerasan tablet, keregasan tablet, uji

waktu hancur, dan penetapan kadar.

6. Penyalutan Tablet Inti Ibuprofen dengan Konsentrat Protein Kedelai Suksinat Asetat

Tabel 2.Formulasi larutan penyalut

Bahan F1 F2 F3

Konsentrat protein suskinat asetat (gr) 2 1 - HPMCP (gr) - 1 2 Gliserol (gr) 0,6 0,6 0,6

Larutan amonium 0,03% ad 100 100 Aseton ad - - 100

Keterangan: F1 = penyalut dengan protein kedelai suksinat asetat 2% b/v

F2 = penyalut dengan protein kedelai suksinat asetat : HPMCP (1:1) 2% b/v

F3 = penyalut dengan HPMCP 2% b/v

Gliserol yang digunakan yaitu 30% dari total polimer yang digunakan.

Tablet salut enterik dibuat dengan menggunakan metode pan coating dengan spray gun.

Sebelum memulai proses penyalutan, pan coating terlebih dahulu dibersihkan menggunakan

alkohol 95%. Tablet inti ibuprofen dimasukkan ke dalam pan coating dan dipanaskan pada suhu

40 - 50°C selama 5-10 menit. Selama proses penyalutan, udara panas dialirkan ke dalam pan

coating hingga suhu mencapai 50-55°C. Sementara itu, polimer penyalut didispersikan dalam

pelarut NH4OH lalu dihomogenkan menggunakan homogenizer. Gliserol kemudian ditambahkan

ke dalam larutan penyalut dan dicukupkan volumenya hingga 100 ml. Alat spray gun diisi

dengan larutan penyalut. Pan coating kemudian dinyalakan dan diputar dengan kecepatan 5-20

rpm/menit. Larutan penyalut disemprotkan pada tablet inti pada tekanan udara 87,0-116,0 psi.

Tablet inti ibuprofen yang telah disalut kemudian dikeringkan di dalam panci salut selama 20-25

menit (Zaid & Qaddomi, 2012; Rathore, Sharma, Garag, & Sisodiya, 2013).

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 10: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Evaluasi yang dilakukan pada tablet salut enterik meliputi evaluasi organoleptis atau

penampilan umum, keseragaman ukuran, ketebalan salut, kenaikan bobot, keseragaman bobot, uji

waktu hancur, dan uji disolusi salut enterik.

a. Organoleptis atau penampilan umum

Evaluasi penampilan umum tablet meliputi evaluasi terhadap bentuk, warna, bau, dan

permukaan tablet salut enterik.

b. Keseragaman ukuran

Sebanyak 20 tablet salut enterik diambil secara acak, kemudian diukur diameter dan

ketebalan tablet menggunakan jangka sorong. Uji keseragaman ukuran memenuhi persyaratan

jika diameter tablet salut enterik tidak lebih dari 3 kali dan tidak kurang dari 1/3 kali tebal

tablet (Departemen Kesehatan RI, 1995).

c. Keseragaman bobot

Sebanyak 10 tablet dari formula tablet salut enterik ibuprofen diambil, kemudian

ditimbang satu per satu dan dihitung bobot rata-ratanya. Tablet dinyatakan memenuhi

persyaratan keseragaman bobot jika jumlah zat aktif dari masing-masing tablet terletak antara

85-115% dan nilai SDR kurang atau sama dengan 6% (Departemen Kesehatan RI, 1995).

d. Kenaikan bobot

Kenaikan bobot pada tablet salut dinyatakan sebagai perbedaan bobot tablet setelah

disalut (Wta) dan bobot tablet sebelum disalut (Wtb) dibagi dengan bobot tablet sebelum

disalut. Uji kenaikan bobot dilakukan dengan cara menimbang sebanyak 20 tablet salut,

kemudian dihitung bobot rata-rata tablet salut (Rathore, Sharma, Garag, & Sisodiya, 2013).

Kenaikan bobot dihitung dengan rumus:

Kenaikan bobot (%) = !"#!!"#

!"# x 100%

kenaikan bobot yang dipersyaratkan untuk tablet salut selaput adalah 2-5%.

e. Uji waktu hancur

Uji waktu hancur dari tablet salut enterik dilakukan berdasarkan prosedur menurut

Farmakope Indonesia edisi IV. Sebanyak 6 tablet salut enterik dimasukkan ke dalam medium

HCl pH 1,2 selama 1 pada suhu 37ºC±2ºC. Persyaratan uji waktu hancur adalah tidak boleh

(6)

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 11: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

satu pun tablet salut yang hancur, retak, atau melunak. Uji dilanjutkan pada medium dapar

fosfat pH 6,8 selama 45 menit. Setelah 45 menit semua tablet harus hancur sempurna.

(Departemen Kesehatan RI, 1995).

f. Uji pelepasan obat salut enterik

1. Pembuatan kurva kalibrasi

Larutan ibuprofen ditimbang sebanyak 107,1 mg dan dilarutkan di dalam 100 ml larutan

dapar fosfat pH 6,8 sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi sekitar 1071 ppm.

Larutan induk kemudian dipipet 3,0 ml, 5,0 ml, 10,0 ml, 10,0 ml dan 12,0 ml, kemudian di

cukupkan volumenya dalam labu ukur berturut-turut 10,0 ml, 10,0 ml, 25,0 ml, 50,0 ml, dan

50,0 ml sehingga diperoleh konsentrasi 321,3 ppm, 535,5 ppm, 428,4 ppm, 214,2 dan 257,04

ppm. Larutan uji 535,5 ppm kemudian dipipet 3,0 ml dan dicukupukan volumenya dalam

labu ukur 10 ml sehingga diperoleh konsentrasi 160,65 ppm. Setiap konsentrasi larutan uji

diukur serapannya dengan spektrofotometer Uv-Vis pada panjang gelombang maksimum

yaitu 272,4 nm. Data–data yang diperoleh kemudian dibuat persamaan kurva kalibrasi: y = bx

+ a.

2. Uji pelepasan in vitro obat (Departemen Kesehatan RI, 1995)

Uji pelepasan obat dilakukan dengan menggunakan dua medium yakni medium HCl pH

1,2 dan larutan dapar fosfat pH 6,8. Uji pelepasan in vitro dilakukan dengan menggunakan

metode B dengan apparatus 1 yakni disolusi basket dengan kecepatan 150 rpm. Uji pelepasan

obat mula-mula dilakukan pada medium HCl pH 1,2 selama 2 jam. Sampel sebanyak 10 ml

diambil dari dalam media, kemudian larutan yang diambil diganti dengan medium HCl pH

1,2. Uji pelepasan pada medium dapar fosfat pH 6,8 dilakukan dengan cara memindahkan

tablet tersebut ke dalam medium dapar fosfat pH 6,8 sebanyak 900 ml dengan suhu 37o ± 0,5o

C dengan kecepatan pengadukan 150 rpm selama 45 menit. Sampel diambil sebanyak 10 ml

dengan interval waktu 5, 10, 15, 20, 30 dan 45 menit kemudian larutan yang diambil diganti

dengan medium dapar fosfat pH 6,8. Sampel yang diambil dari medium dapar fosfat pH 6,8

dengan interval waktu tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 272,4 nm dengan

Spektrofotometer UV-Vis.

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 12: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Hasil Penelitian dan Pembahasan

a. Pembuatan dan penetapan kadar minyak konsentrat protein kedelai

Konsentrat protein kedelai dibuat dari tepung kedelai yang telah dihilangkan minyaknya,

kandungan oligosakarida dan komponen minor lainnya. Hasil yang diperoleh yaitu kandungan

protein yang terdapat pada konsentrat protein kedelai sebesar 67,91% dan kadar minyak yang

terdapat pada konsentrat protein kedelai sebesar 1,527%. Hasil ini memenuhi persyaratan dimana

kandungan protein yang terdapat pada konsentrat protein kedelai yaitu 65-72% (Boerma &

Specht, 2004).

b. Karakterisasi Eksipien

1. Derajat substitusi dan analisis gugus fungsi

Pengukuran derajat substitusi dilakukan dengan menggunakan metode asam trinitrobenzen

sulfonat (TNBS). Metode ini dipilih karena TNBS dapat bereaksi dengan amin primer di dalam

reaksi nukleofilik menghasilkan trinitrofenil (Grotzky, Manaka, Fornera, Willeke, Walde, 2010).

Prinsip pengujian ini adalah TNBS akan berikatan dengan asam amino lisin yang akan

memberikan serapan pada panjang gelombang 335 nm. Nilai serapan yang diberikan pada PK

akan lebih besar dibandingkan dengan PKS, dan PKSA. Hal ini disebabkan karena jumlah gugus

amin primer bebas yang berikatan dengan TNBS lebih banyak, sedangkan TNBS yang berikatan

dengan asam amino lisin pada PKS dan PKSA lebih sedikit karena sebagian besar lisin telah

tersubsitusi dengan suksinat dan asetat. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh hasil bahwa

PKS yaitu protein kedelai yang disubtitusi dengan suksinat anhidrida memiliki derajat substitusi

sebesar 13,21% ± 0,35, dan PKSA memiliki derajat substitusi sebesar 75,25% ± 0,21. PKS

memiliki derajat substitusi yang rendah disebabkan karena adanya kesalahan pada saat

penambahan suksinat anhidrida sehingga tidak semua asam amino lisin yang dapat tersubstitusi.

Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya derajat substitusi pada PKS yaitu struktur dari

suksinat anhidrida yang lebih besar dibandingkan asetat. PKSA memiliki derajat substitusi yang

lebih tinggi dibandingkan dengan PKSA, karena gugus asetat memiliki rumus struktur yang lebih

kecil dibandingkan dengan suksinat sehingga asetat lebih mudah untuk tersubstitusikan pada

gugus lisin.

Pengukuran derajat substitusi pada PKS dan PKSA seharusnya dilakukan pada panjang

gelombang yang berbeda dengan panjang gelombang pada PK. Pengukuran derajat substitusi

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 13: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

PKS dan PKSA seharusnya dilakukan pada panjang gelombang 340 nm dan 390 nm, akan tetapi

pada penelitian ini hanya dilakukan pada panjang gelombang 335 nm yang merupakan panjang

gelombang maksimum untuk PK sehingga mempengaruhi nilai serapan yang dihasilkan.

Gambar 3. Spektrum inframerah PK, PKS, dan PKSA

Spektrum IR dari protein kedelai (PK) menunjukkan adanya peak pada bilangan gelombang

3375 cm-1 dengan intensitas sedang yang menandakan adanya gugus NH2 dari asam amino lisin.

Pada (PKS) terlihat adanya pergeseran pada bilangan gelombang 3437,5 cm-1, yang menunjukkan

adanya gugus –NH sebagai hasil reaksi suksinat asam amino lisin. Pada protein kedelai suksinat

asetat (PKSA) juga terlihat adanya pergeseran bilangan gelombang pada 3500 cm-1 yang

menandakan semakin banyaknya gugus NH- yang terbentuk maka semakin banyak gugus

suksinat dan asetat yang tersubstitusi. Akan tetapi pada bilangan gelombang ini tidak terlihat

perubahan yang signifikan antara spektrum IR PK, PKS, dan PKSA. Hal ini mungkin disebabkan

karena derajat substitusi suksinat yang kecil pada PKS dan PKSA.

Perbedaan spektrum pada PK, PKS, dan PKSA juga terlihat pada bilangan gelombang 1750

cm-1. Bilangan gelombang ini menunjukkan adanya gugus karbonil yang terdapat pada ikatan

antara asam amino lisin dan suksinat. Munculnya spektrum pada bilangan gelombang 1750 cm-1

pada PK disebabkan karena adanya ikatan peptida dalam protein, sedangkan pada PKS dan

PKSA disebabkan karena telah terjadinya reaksi antara suksinat dan gugus amin yang

menghasilkan karbonil amida. Hal ini menyebabkan spektrum pada PKS dan PKSA lebih tajam

dibandingkan dengan PK karena jumlah gugus karbonil amida pada PKS dan PKSA lebih

banyak.

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 14: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Tabel 3. Karakterisasi Eksipien Kriteria PK PKS PKSA

Derajat substitusi (%) 13,21 ± 0,35 75,25 ± 0,21

Analisis gugus fungsi 3375 (-NH2) 3437,5 (-NH)

1750 (karbonil) 3500 (-NH) 1750(Karbonil)

2. Uji daya mengembang

Gambar 5. Grafik daya mengembang PK (-♦-),PKS (--■--), dan PKSA (-▲-) pada medium dapar HCl pH 1,2dan dapar fosfat

pH 6,8

Uji daya mengembang PK, PKS, dan PKSA dilakukan dalam dua medium yaitu medium HCl

pH 1,2 dan medium dapar fosfat pH 6,8 sebagai simulasi keadaan pH pada lambung dan usus.

PKS memiliki daya mengembang yang lebih kecil dibandingkan PK, dan PKSA pada medium

asam. Penurunan daya mengembang pada PKS disebabkan karena adanya substitusi gugus

suksinat pada gugus amin dari asam amino lisin pada PK. Gugus suksinat akan membentuk

molekul COOH yang bersifat nonpolar pada suasana asam sehingga tidak bisa menarik air ke

dalam rongga-rongga struktur eksipien dan menyebabkan daya mengembangnya rendah. PKSA

memiliki daya mengembang yang lebih besar dibandingkan PKS. Hal ini bertolak belakang

dengan teori, yaitu seharusnya PKSA memiliki daya mengembang yang lebih kecil pada pH 1,2.

Hal ini mungkin disebabkan karena tidak semua gugus lisin tersubstitusi, selain itu pada protein

terdapat asam amino lain yang bersifat hidrofilik sehingga pada PKSA memiliki daya

mengembang yang lebih besar dibandingkan PKS.

Daya mengembang paling besar pada medium basa ditunjukkan oleh PKSA yang mencapai

200%, sedangkan PKS mencapai 166,6% dan PK mencapai 100%. Reaksi suksinilasi dan

asetilasi menghasilkan gugus karboksilat yang bersifat hidrofilik. Gugus karboksilat (-COOH)

pada kondisi basa akan terionisasi menjadi –COO- sehingga akan menarik air. Meskipun daya

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 15: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

mengembang PKSA cukup tinggi pada medium basa, namun hal ini belum terlihat signifikan jika

dibandingkan dengan daya mengembang PKSA pada medium asam.

3. Uji daya larut

Tabel 4.Persentase Daya Larut PK, PKS, dan PKSA

Sampel Daya Larut (g/100 ml)

pH 1,2 pH 6,8 PK 0,005 0,010

PKS 0,006 0,012 PKSA 0,007 0,011

Daya larut suatu protein dipengaruhi oleh komposisi asam amino dan sekuensnya, bobot

molekul, konformasi dan kandungan gugus polar dan non polar di dalam asam amino

(Miedzianka et al., 2012). Penurunan kelarutan protein yang telah disuksinilasi disebabkan

karena adanya substitusi gugus suksinat pada gugus –NH2 dari protein kedelai. Pada suasana

asam, gugus suksinat yang tersubstitusi pada lisin akan berubah menjadi molekul yang tidak

larut. Akan tetapi, berdasarkan hasil uji diperoleh bahwa PKS dan PKSA memiliki daya larut

pada pH 1,2 yang lebih besar dibandingkan dengan PK. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak

semua gugus ε-amino lisin yang tersubstitusi oleh suksinat. Data ini didukung oleh hasil derajat

substitusi suksinat yang hanya 13% sehingga kelarutan PKS dalam asam masih tinggi.

Pada medium dapar fosfat pH 6,8, daya larut PKS lebih besar dibandingkan dengan PK dan

PKSA. Substitusi suksinat pada gugus amino lisin akan menghasilkan gugus karboksilat yang

meningkatkan kelarutan PKS pada pH 6,8 karena pada suasana basa gugus karboksilat akan

terionisasi menjadi –COO-. Semakin banyak substitusi yang dilakukan maka semakin banyak

gugus karboksilat yang terbentuk dan akan meningkatkan daya larut PKSA pada medium basa.

Namun hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa PKSA memiliki daya larut yang lebih kecil

dibandingkan PKS. Hal ini mungkin disebabkan karena proses substitusi asetat tidak berlangsung

dengan baik, selain itu dipengaruhi juga oleh adanya konformasi dan gugus lain dari asam amino

yang terdapat pada protein.

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 16: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

4. Viskositas

Tabel 5.Viskositas PKSA

Sampel Viskositas Maksimal (cps) PKSA 2% 11300

PKSA:HPMCP (1:1) 2% 13900

Uji viskositas PKSA dilakukan dengan menggunakan alat Viscometer Brookfield. PKSA

dilarutkan dalam larutan amonium 0,03% dengan konsentrasi 2%. Pemilihan konsentrasi

pengujian ini didasarkan pada konsentrasi larutan penyalut yang dibuat. Pengukuran

viskositas ini dilakukan untuk mengetahui apakah PKSA bisa digunakan sebagai larutan

penyalut pada pembuatan sediaan tablet enterik ibuprofen. Semakin besar konsentrasi PKSA

yang digunakan maka semakin besar viskositas larutan tersebut dan akan semakin susah

larutan penyalut untuk disemprotkan. Hasil uji viskositas larutan PKSA 2% dalam amomium

yaitu sebesar 11300 cps.

c. Formulasi dan Evaluasi Tablet Inti Ibuprofen

Tablet inti ibuprofen dibuat dengan metode granulasi basah. Metode ini dipilih karena

ibuprofen memiliki sifat laju alir yang buruk sehingga metode kempa langsung dan granulasi

kering tidak bisa digunakan. Tablet inti yang dibuat dengan metode granulasi basah bersifat lebih

kuat terhadap gesekan pada saat proses penyalutan. Tablet inti ibuprofen memiliki bentuk

cembung, berwarna putih, dan permukaan tablet yang licin, sehingga memenuhi persyaratan

tablet inti untuk dijadikan tablet salut. Permukaan tablet yang licin akan mempermudah tablet

berputar dalam pan coating pada saat proses penyalutan. Faktor lain yang harus diperhatikan

adalah kekerasan dan keregasan tablet. Tablet inti harus mempunyai kekerasan yang cukup untuk

menahan gesekan antara tablet selama proses penyalutan. Tablet yang memiliki kekerasan yang

rendah akan mudah hancur pada saat proses penyalutan. Keregasan tablet juga merupakan faktor

penting yang harus diperhatikan, tablet yang regas akan mengalami pengurangan bobot karena

terkikis selama penyalutan dan akan menyebabkan hasil tablet salut tidak bagus. Hasil evaluasi

tablet inti ibuprofen dapat dilihat pada tabel 6.

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 17: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Tabel 6.Data Evaluasi Tablet Inti Ibuprofen

Parameter Hasil Organoleptis

Keseragaman bobot (mg) Bulat bikonveks, putih, permukaan licin dan mengkilat

504,71 ± 2,36 RSD = 0,53%

Diameter (mm) 9,52 ± 0,05 Tebal (mm) 4,72 ± 0,08

Kekerasan (kP) 8,15 ± 0,32 Keregasan (%) 0,0854%

Waktu hancur (menit) 7,67 ± 1,34 Kadar (%) 100,75 ± 2,73

d. Penyalutan dan Evaluasi Tablet Salut Enterik Ibuprofen

Penyalutan tablet inti ibuprofen dilakukan dengan menggunakan 3 formula larutan penyalut

yaitu PKSA 2%, PKSA:HPMCP (1:1) 2%, dan HPMCP 2%. Proses penyalutan tablet inti

dilakukan sebanyak dua kali dan kemudian hasil tablet salut dievaluasi organoleptis,

keseragaman bobot dan ukuran, kenaikan bobot, waktu hancur, serta profil disolusinya.

Organoleptis dari tablet salut enterik F1 berupa tablet salut yang berwarna kuning kecoklatan

dengan permukaan yang tidak mengkilat, dan hasil salut yang tidak homogen. Perubahan warna

pada tablet salut ini disebabkan karena eksipien yang digunakan berwarna kuning kecoklatan.

Tablet yang disalut menggunakan F2 berwarna putih kecoklatan dengan permukaan yang tidak

mengkilat. Hasil penyalutan yang tidak homogen disebabkan oleh faktor tekanan dan

pengeringan pada saat proses penyalutan.

Bobot semua tablet salut F1 berada pada rentang 515-520 mg, sedangkan bobot tablet salut

F2 berada pada rentang 510-518. Perbedaan bobot pada tablet salut F1 dan F2 disebabkan karena

kenaikan bobot pada tablet F1 lebih besar dibandingkan dengan F2. Kenaikan bobot yang

berbeda ini disebabkan karena penyemprotan larutan yang tidak homogen dan kekuatan pada saat

penyemprotan yang tidak sama. Kenaikan bobot tablet setelah disalut dengan PKSA 2% dan

PKSA:HPMCP (1:1) 2% sangat kecil. Kenaikan bobot yang kecil pada kedua formula ini

disebabkan karena viskositas dari larutan penyalut yang kecil. Tablet salut F2 memiliki waktu

hancur yang lebih lama dibandingkan tablet salut F2 pada medium asam, namun formula ini tidak

memenuhi persyaratan waktu hancur tablet enterik karena memiliki waktu hancur kurang dari 1

jam. Hal ini mungkin disebabkan karena PKSA masih memiliki daya larut yang cukup besar

dalam medium pH 1,2. Profil disolusi tablet salut ibuprofen dalam medium asam pada tablet salut

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 18: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

F1 sebesar 3,46±0,94%, tablet salut F2 sebesar 1,80±0,55%, dan tablet salut F3 sebesar 1,58 ±

1,47. Persen kadar zat aktif yang dilepaskan pada medium asam dari tablet salut F3 dan F2 lebih

kecil dibandingkan dengan tablet salut F1. Perbedaan hasil disolusi pada tablet F1 dan tablet salut

F2 dan F3 disebabkan karena pada tablet salut F2 menggunakan penyalut kombinasi PKSA dan

HPMCP dengan perbandingan 1:1, dan pada F3 menggunakan HPMCP. HPMCP merupakan

polimer enterik yang mampu menahan pelepasan zat aktif dalam asam. Pada tablet salut F1, zat

aktif yang dilepaskan lebih banyak karena PKSA masih memiliki kelarutan yang tinggi di asam

yang tinggi. Persentase pelepasan zat aktif tablet F1 di medium dapar fosfat pH 6,8 mencapai

kadar puncak sebesar 83,71±0,55%, pada tablet salut F2 mencapai 84,71±0,781%, dan pada

tablet salut F3 mencapai 98,55 ± 0,89%.

Tabel 7. Evaluasi tablet salut enterik

Parameter F1 F2

Organoleptis kuning kecoklatan, permukaan

tidak mengkilap, hasil salut tidak homogeny

putih kecoklatan, permukaan tidak mengkilat

Bobot (mg) 517,20 ± 1,36 514,23 ± 2,03 Diameter (mm) 9,77 ± 0,11 9,68 ± 0,04

Tebal (mm) 4,99 ± 0,04 4,97 ± 0, 05 Kenaikan bobot (%) 2,21 2,06

Waktu hancur (menit) 28,96 (pH 1,2) 30,375 (pH 1,2) 19,19 (pH 6,8) 23,54 (pH 6,8)

Gambar 7. Profil pelepasan Ibuprofen pada tablet salut enterik F1( -♦- ) F2 (--x--), dan F3 (▲-)

Kesimpulan

Konsentrat protein kedelai telah berhasil dimodifikasi melalui reaksi asilasi yaitu suksinilasi

dan asetilasi menghasilkan eksipien konsentrat protein kedelai suksinat asetat dengan derajat

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 19: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

substitusi suksinilasi 13,205 ± 0.3465% dan derajat subtitusi suksinilasi dan asetilasi

75,24±0,2121%. Eksipien PKSA menunjukkan daya larut pada medium dapar fosfat sebesar

0,0112 g/100 ml dan 0,00740 g/100 ml dalam medium HCl, namun daya larut PKSA pada

medium asam lebih besar dibandingkan PK. Kosentrat protein kedelai suksinat asetat digunakan

sebagai penyalut pada tablet salut ibuprofen dengan dua kali penyalutan. Tablet yang disalut

dengan F2 memiliki hasil disolusi yang lebih baik dibandingkan F1 namun belum memenuhi

persyaratan uji waktu hancur sehingga disimpulkan bahwa eksipien PKSA belum memenuhi

persyaratan sebagai penyalut pada sediaan enterik dengan kondisi dua kali penyalutan.

Saran

Pada penelitian selanjtunya, perlu dilakukan optimasi mengenai proses reaksi dan konsentrasi

pereaksi yang digunakan agar didapatkan eksipien yang memiliki daya larut yang kecil pada

medium asam dan frekuensi penyalutan pada proses penyalutan tablet perlu ditingkatkan.

Daftar Referensi

Anwar, Effionora.(2012). Eksipien dalam Sediaan Farmasi: Karakterisasi dan Aplikasi. Jakarta: Dian Rakyat.

Allen, L. V., Popovich, N. G., & Ansel, H. C. (2011). Ansel's Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery System (9th ed.). Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Ankit, G., Ajay, B., & Kumar, K. M. (2012). Tablet coating techniques: concepts and recent trends. International Research Journal of Pharmacy, 3 (9), 50-58.

Boerma, H. R., & Specht, J. E. (2004). SOYBEANS: Improvement, Production, and Uses (3rd ed.). (R. M. Shibles, J. E. Harper, R. F. Wilson, & R. C. Shoemaker, Eds.) Madison: Wisconsin.

Caillard, R., Petit, A., & Subirade, M. (2009). Design and evaluation of succinylated soy protein tablets as delayed. International Journal of Biological Macromolecules .

Chatarina, Cinthya P. (2014). Preparasi dan karakterisasi protein kedelai tersuksinilasi sebagai matriks pada sediaan lepas lambat. Skripsi. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

Cole, G., Aulton, M., & Hogan, J. (1995). Pharmaceuitical Coating Technology. London: Taylor & Francis Ltd.

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015

Page 20: Preparasi Protein Kedelai Suksinat Aetat sebagai Eksipien

Daramola, B., & Osanyinlusi, S. (2006). Investigation on modification of cassava starch using active components of ginger roots. African Journal of Biotechnology, 5(10), 917-920.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan.

El-Adawy, T. A. (2000). Functional properties and nutritional quality of acetylated and succinylated Mung Bean protein isolate. Food Chemistry (70), 83-91.

Grotzky, Andrea, Manaka, Yuichi, Fornera, Sara, Willeke, Martin, Walde, P. (2010). Quantification of alpha polylysine: a comparison of four UV/Vis spectrophotometric method (pp. 1448–1455). doi:10.1039/C0AY00116C

Hettiarachchy, N. S., Sato, K., Marshall, M. R., & Kannan, A. (2012). Food Protein dan Peptides: Functionality, Interactions, and Commercialization. USA: CRC Press.

Koolman, J., & Roehm, K. H. (2005). Color Atlas of Biochemistry (2nd ed.). New York: Thieme Stuttgart.

Lachman, L., Lieberman, H., & Kanig, J. L. (1986). The Theory and Practice of Industrial Pharmacy (3rd Edition ed.). Philadelphia: Lea dan Febiger.

Lieberman, A., Lachman, L., & Schwartz, J. B. (1992). Pharmaceutical Dosage Forms Tablets (Vol. 2). New York: Marcel Dekker.

Miedzianka, J., Peksa, A., & Aniolowska, M. (2012). Properties of acetylated potato protein preparations. Food Chemistry, 133, 1283-1291.

Mirmoghtadaie, L., Kadivar, M., & Shahedi, M. (2009). Effects of succinylation and deamidation on functional properties of oat protein isolate. Food Chemistry, 114, 127-131.

Rathore, S. B., Sharma, A., Garag, A., & Sisodiya, D. S. (2013). Formulation and evaluation of enteric coated tablet of Ilaprazole. International Current Pharmaceutical Journal, 2 (7), 126-130.

Singh, P., Kumar, R., Sabapathy, S., & Bawa, A. (2008). Functional and edible uses of soy protein products. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 7, 14-28.

Walsh, G. (2002). Protein: Biochemsitry and Biotechnology. England: John Wiley & Sons Ltd.

Zaid, A. N., & Qaddomi, A. (2012). Development and stability evaluation of enteric coated Diclofenac sodium tablets using Sureteric. Pakistan Journal Pharmacy Science, 25 (1), 59-64.

Preparasi protein ..., Lusi Anggraini, FFAR UI, 2015