preeklamsia
DESCRIPTION
RefratTRANSCRIPT
Referat
PREEKLAMPSIA
Oleh
Soraya Ayu Syada, S.Ked
I1A006014
Pembimbing
Dr. H. Sutarinda Z, Sp.OG (K)
BAGIAN/UPF ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGANRSUD ULIN – FK UNLAM
BANJARMASINJanuari 2013
BAB I
PENDAHULUAN
Preeklampsia adalah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema, dan
proteinuria yang timbul karena kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan. Eklampsia adalah timbulnya kejang pada penderita
preeklampsia yang disusul dengan koma. Kejang terjadi bukan karena kelainan
neurologis. Superimposed preeklampsia adalah timbulnya preeklampsia atau
eklampsia pada pasien yang menderita hipertensi kronik.1
Preeklampsia dan eklampsia merupakan suatu penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan. Keadaan ini sangat mempengaruhi kesejahteraan ibu
dan janin. Di Indonesia, preeklampsia dan ekslampsia disamping perdarahan dan
infeksi masih merupakan penyebab utama kematian ibu dan sebab kematian
perinatal yang tinggi. Oleh karena itu diagnosis dini preeklampsia yang
merupakan tingkat pendahuluan eklampsia serta penanganannya perlu segera
dilaksanakan untuk menurunkan angka kematian ibu dan anak. Perlu ditekankan
bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi, edem dan proteinuria
sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita yang bersangkutan
sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul preeklampsia berat dan
eklampsia. Dengan pengetahuan ini jelas bahwa pemeriksaan antenatal yang
teratur dan rutin sangat penting dalam usaha pencegahan preeklampsia berat dan
eklampsia.1
ii
Frekuensi preeclampsia untuk tiap Negara berbeda-beda karena banyak
factor yang mempengaruhinya, diantaranya jumlah primigravida, keadaan social
ekonomi, perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.3
Perlu ditekankan bahwa sindrom preeklampsia ringan dengan hipertensi,
edem dan proteinuria sering tidak diketahui atau tidak diperhatikan oleh wanita
yang bersangkutan sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat dapat timbul
preeklampsia berat dan eklampsia. Dengan pengetahuan ini jelas bahwa
pemeriksaan antenatal yang teratur dan rutin sangat penting dalam usaha
pencegahan preeklampsia berat dan eklampsia.1
Berdasarkan penelitian Alberman, disimpulkan bahwa penyakit ini lebih
sering terjadi pada kehamilan pertama, kehamilan kembar dan kehamilan anggur.
Makintua umur kehamilan makin tinggi frekuensi penyakit.2 Frekuensi
preeklampsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak factor yang
mempengaruhinya, diantaranya jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
perbedaan kriteria dalam penentuan diagnosis dan lain-lain.3
Penatalaksanaan preeklampsia berat dapat ditangani secara aktif dan
konservatif.Aktif berarti kehamilan diakhiri/ terminasi bersama dengan
pengobatan medisinal sedangkan konservatif berarti kehamilan dipertahankan
bersama pengobatan medisinal dengan prinsip tetap melakukan pemantauan janin
dengan USG atau kardiotokografi.3
iii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hipertensi didefinisikan sebagai keadaan dengan tekanan darah diastolik
minimal 90 mmHg atau tekanan sistolik minimal 140 mmHg, atau kenaikan
tekanan diastolik minimal 15 mmHg atau kenaikan tekanan sistolik minimal 30
mmHg, tekanan darah harus diukur minimal 2 kali dengan jarak waktu minimal 6
jam. 4 Jika terjadi kurang dari 20 minggu atau terjadi setelah 48 jam postpartum
dikatakan atipikal eklampsia.1
Preeklampsia adalah keadaan dimana hipertensi disertai proteinuria atau
edema atau keduanya yang terjadi akibat kehamilan pada minggu ke-20 atau
kadang terjadi lebih awal bila terdapat perubahan hidatidiformis yang luas pada
villi korialis (pada kasus molahidatidosa). 4 Dominan terjadi pada primigravida
dan meningkat 7-10 kali pada kehamilan berikutnya. Preeklampsia berat (PEB)
mempunyai kemungkinan diturunkan, sehingga dikatakan ada faktor genetik, oleh
karena itu wanita yang saat dilahirkan ibunya eklampsia akan lebih mungkin
eklamspia dibandingkan yang tidak.2
Eklampsia didiagnosis bila pada wanita dengan diagnosis preeklamsia,
mengalami kejang-kejang yang bukan disebabkan oleh kelainan neurologis lain
seperti epilepsi. 4,28 Ada ahli yang berpendapat perlu stabilisasi tekanan darah dan
keadaan umum terlebih dahulu selama 4-6 jam baru terminasi, namun menurut
Prof. Gulardi langsung dilakukan terminasi.3
iv
Superimposed preeklampsia atau eklampsia adalah keadaan preeklamsia
atau eklampsia yang terjadi pada wanita yang menderita hipertensi vaskular kronis
atau penyakit ginjal4. Dimana hipertensi kronis adalah penyakit hipertensi yang
menetap dengan penyebab apapun dan sudah diderita sebelum kehamilan atau
pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu 28 tanpa adanya mola hidatidosa atau
hipertensi yang menetap setelah 6 minggu post partum. 4
Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang timbul pada
paruh kedua masa kehamilan atau dalam waktu 24 jam post partum, tanpa disertai
tanda-tanda lain preeklamsia atau hipertensi kronis yang mendasarinya dan
sembuh dalam waktu 10 hari setelah persalinan. 4
2.2 Epidemiologi Preeklampsia
Kondisi ini sangat umum dan terjadi pada 5 % dari seluruh kehamilan
di Amerika dan Eropa. Eklampsia merupakan komplikasi yang mengancam
jiwa dan biasanya ditunjukkan dengan adanya kejang grand mal. Istilah
tersebut diambil dari kata yunani untuk kilat (halilintar). Bentuk yang lebih
berat (parah) dari preeklampsia adalah terdapatnya gambaran hemolisis,
elevasi enzim-enzim hati, dan rendahnya trombosit (sindrom HELLP).
Kondisi ini terjadi pada 1 dari 1000 kehamilan. Beberapa faktor predisposisi
yang dapat menyebabkan preeklampsia diantaranya riwayat keluarga,
hipertensi, diabetes, penyakit renal sebelumnya, kehamilan ganda, dan riwayat
obstetrik yang buruk. Para ahli nefrologi seringkali dimintai pendapat untuk
menangani wanita preeklampsia dengan peningkatan tekanan darah yang berat
v
dan penyakit renal. Meskipun demikian, hasil eksperimen atau klinis terbaru
pada kondisi ini merupakan informasi yang penting untuk para nefrologist.2,3,5
Tiap tahun sekitar 10 wanita dan sebanyak 1000 bayi meninggal
karena keadaan misterius yang berhubungan dengan kehamilan yang disebut
preeklamsia. Preeklamsia terjadi dalam 1 diantara 10 kehamilan dan eklamsia
terjadi dalam 1 diantara 50 kehamilan.4
Frekuensi preeklamsia untuk tiap negara berbeda-beda karena banyak
faktor yang mempengaruhinya; jumlah primigravida, keadaan sosial ekonomi,
perbedaan kriteria dalam diagnosis dan lain-lain.3
Angka kejadian preeklamsia-eklamsia di RSUD Ulin Banjarmasin
selama tahun 2004 adalah 66 kasus dari 472 kasus Sectio Cesaria atau sekitar
13,98%.
2.3 Patofisiologi Preeklampsia
Patofisioliogi yang paling diyakini sebagai awal mula dari preeklampsia
adalah terpaparnya villi khorialis untuk pertama kalinya (primigravida), atau
terpapar villi khorialis dalam jumpa yang berlimpah, misalnya pada gemelli atau
mola.4 Pada kehamilan normal, invasi trofoblas ke dalam jaringan desidua
menghasilkan suatu “perubahan fisiologis” pada arteri spiralis, karena suplai
darah yang dibutuhkan pada kehamilan meningkat, maka diameter arteri spiralis
harus membesar, yang menurut hukum Poiseuille’s meningkat 4 sampai 6 kali.
Kemampuan untuk melebarkan diameter arteri spiralis merupakan kebutuhan
utama untuk keberhasilan suatu kehamilan. Hasil akhir dari perubahan fisiologis
vi
tadi adalah arteri spiralis yang sebelumnya tebal berubah menjadi kantung elastis
yang lebar, bertahanan rendah, sehingga memungkinkan suplai darah yang
adekuat untuk oksigenasi dan nutrisi bagi janin.1
Gambar 2.1. Perbedaan endothel pada vaskular normal dan preeklampsia
Pada ibu yang mengalami defisiensi plasentasi akan menyebabkan tidak
terjadinya secara sempurna perubahan fisiologis arteri spiralis tersebut, sehingga
hanya sebagian arteri spiralis segmen desidua yang berubah, sedang arteri apiralis
segmen miometrium masih diselubungi oleh sel-sel otot polos. Selain itu juga
ditemukan adanya hiperplasia tunika media dan trombosis, sehingga diameter
arteri spiralis 40% lebih kecil dibandingkan kehamilan normal sehingga timbul
penyumbatan yang dapat bersifat parsial ataupun total. Hal inilah yang
menimbulkan insufisiensi, hipoksia dan iskemia dan timbul preeklamsia.1,6,27
vii
Gambar 2.2. Spatium intervilli normal dan preeklampsia
Hipotesis yang penting pada patogenesis dari preeklamsia adalah
terdapatnya senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang masuk ke
sirkulasi ibu dan menyebabkan kerusakan endotel. Perubahan fungsi endotel yang
terjadi dianggap sebagai penyebab utama timbulnya gejala preeklamsia:
hipertensi, proteinuria dan aktivasi sistem hemostasis.1,3
Senyawa yang dihasilkan jaringan uteroplasenta yang dapat merusak
endotel itu adalah hasil metabolisme lipid terutama yaitu peroksidase lipid.
Peroksidase lipid ini diproduksi pada saat radikal bebas menyerang asam lemak
tidak jenuh dan kolesterol pada membran sel dan lipoprotein. Peroksidase lipid
merupakan zat toksik yang bisa menyebabkan kerusakan sel baik secara langsung
maupun tidak langsung.1
Keadaan hipoksia yang terjadi dapat meningkatkan jumlah xantin
dehidrogenase yang terkonversi menjadi xantin oksigenase yang akan
mendegradasi purin, xantin dan hipoxantin menjadi asam urat. Dalam proses
degradasi tersebut terbentuk juga superoksida yang merupakan suatu radikal
bebas yang poten.7 Terjadinya reaksi radikal bebas ini ditandai dengan
viii
meningkatnya lipid peroksida pada pasien preeklamsia dibandingkan dengan
dengan kehamilan normal.5
Gambar 2.3. Patofisiologi preeklampsia
Reaksi radikal bebas inilah yang akan menimbulkan disfungi endotel,
yaitu terjadi endoteolisis dan perubahan ultrastrukturnya pada alas plasenta dan
pembuluh darah uterus,1 karena radikal bebas ini bereaksi dengan membran sel
sehingga terbentuk lipid peroksidase dan aldehida yang toksik sehingga dapat
mematikan sel.8
Hipotesis yang lain adalah adanya prekusor neurokinin B (NKB) dari
bovine, yang bekerja melalui reseptor NK3, yang menstimulasi timbulnya
vasokonstriksi dan kontraksi vena mesenterika serta vena portal hati, yang
menyebabkan rusaknya janin dan hati. Dengan demikian menyebabkan
ix
terakumulasinya zat toksik seperti lipid peroksidase, yang makin memperberat
rusaknya endotel.1 Mutasi faktor Leiden V yang disebut-sebut sebagai penyebab
genetik timbulnya preeklamsia, hanya ada pada orang Eropa bukan orang
Indonesia. Pada preeklamsia homocystein meningkat karena tak bisa jadi
methionin, proses ini membutuhkan vitamin B12. 5
Menjadi perhatian kita bahwa ringannya hipertensi tidak selalu
mencerminkan ringannya penyakit. Karena hipertensi yang timbul sebenarnya
merupakan kompensasi tubuh untuk memenuhi suplai darah ke organ-organ.
Memang ada teori yang mendukung bahwa beratnya preeklamsia sebanding
dengan beratnya hipertensi, yaitu teori peningkatan produksi tromboxan A2 dan
menurunnya produksi prostasiklin oleh plasenta dan trombosit sehingga timbul
vasokonstriksi yang berbanding lurus dengan beratnya hipertensi. Menurunnya
produksi prostasiklin juga disebabkan karena meningkatnya konsentrasi
progesteron dalam kehamilan.4 Namun perlu diingat bahwa 20% eklamsia timbul
pada kondisi tekanan darah yang tidak terlalu tinggi, karena ternyata ada etiologi
lain (oksidan-antioksidan) yang telah dijelaskan sebelumnya.5
Hal inilah yang terjadi pada ibu dengan preeklamsia dimana terjadi
ketidakseimbangan produksi tromboxan A2–prostasiklin sehingga terjadi
vasokonstriksi pembuluh darah yang menimbulkan hipertensi dan juga mungkin
terjadi reaksi radikal bebas yang menyebabkan rusaknya endotel-endotel
pembuluh darah. Kerusakan endotel pembuluh darah di ginjal ditandai dengan
lolosnya protein pada filtrasi glomerulus sehingga tekanan onkotik intravaskular
menurun dan adanya hipertensi yangmenyebabkan tekanan hidrostatik
x
intravaskuler meningkat sehingga terjadi ekstravasasi cairan ke ekstravaskuler ke
interstisial, timbullah edema tungkai, dan edema pulmonum. Tidak semua endotel
mengalami kerusakan karena terdapat heterogenitas endotel sehingga tidak semua
endotel mengalami disfungsi. Endotel sendiri berperan untuk mengatur tonus otot
vaskuler, adhesi leukosit dan inflamasi serta memelihara keseimbangan trombosis
dan fibrinolisis.1
Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan
patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan
oleh vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat
mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti
prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi
platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf
pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang.7,8
Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus
dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan
nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap
kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya
cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan
hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark
plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
bahkan kematian janin dalam rahim.7
xi
2.4 Preeklampsia dan Risiko Penyakit Kardiovaskular Setelahnya
Hubungan preeklampsia dan adanya faktor keturunan telah diakui. Anak-
anak yang terlahir dari ibu dengan preeklampsia umumnya memiliki berat badan
lahir rendah, dan risiko penyakit kardiovaskular yang dapat terjadi berikutnya
telah menjadi objek banyak penelitian. Keadaan pada ibu hanya menarik sedikit
minat. Chesley, bapak penelitian preeklampsia modern, berpendapat bahwa
setelah kehamilan berakhir, ibu tidak memiliki risiko yang lebih besar untuk
menimbulkan efek samping post partum dibandingkan wanita tanpa preeklampsia
dari populasi umum. Hal ini mungkin menjadi satu-satunya bukti kekeliruan opini
Chesley. Beberapa penelitian terbaru justru menunjukkan hal yang sebaliknya
sebagai pokok masalah. Smith et al meneliti komplikasi kehamilan dan risiko
kematian ibu akibat iskemik kardiak pada 129.290 persalinan. Mereka
mendapatkan bahwa melahirkan bayi kecil masa kehamilan meningkatkan rasio
risiko penyakit jantung iskemik atau kematian hingga 1,9 kali. Persalinan preterm
dikaitkan dengan risiko sebesar 1,8 kali dibandingkan dengan wanita dengan
persalinan aterm. Kelompok tersebut hanya merupakan tambahan. Wanita dengan
preeklampsia yang melahirkan bayi kecil dan lebih dini, secara umum memiliki
risiko menderita penyakit jantung iskemik atau kematian 7 kali lebih tinggi
dibandingkan wanita yang normal.6
Penelitian kedua cohort ditunjukkan tidak beberapa lama setelahnya.
Irgens et al mempublikasikan hasil dari 626.272 kelahiran hidup di Norway antara
tahun 1967 sampai 1992. Mereka mendapatkan bahwa wanita dengan
preeklampsia memiliki risiko jangka panjang 1,2 kali lebih tinggi untuk semua
xii
penyebab kematian dibandingkan wanita tanpa preeklampsia. Pada wanita dengan
preeklampsia dan persalinan preterm, risikonya menjadi 2,7 kali lebih tinggi.
Risiko kematian karena faktor kardiovaskular meningkat 8 kali lipat pada wanita
preeklampsia dengan bayi berat badan lahir rendah (BBLR). Anehnya,
preeklampsia justru melindungi wanita dari kematian akibat kanker sebesar 3,6
kali. Pernyataan ini didasarkan pada kenyataan bahwa wanita dengan
preeklampsia hanya memiliki risiko kematian 1,2 kali lebih tinggi yang
disebabkan oleh sebab lain. Mungkin diharapkan sang ayah tidak terlibat dalam
persamaan ini. Penelitian cohort ini memberikan bukti yang kuat bahwa risiko
penyakit kardiovaskular meningkat pada wanita dengan preeklampsia
dibandingkan subjek kontrol, khususnya ketika bayi dilahirkan preterm dan
memiliki berat badan lahir rendah, yang mana keduanya umum terjadi pada
wanita dengan preeklampsia. Wilson et al meneliti hubungan antara preeklampsia
dengan risiko stroke dan hipertensi pada kehidupan berikutnya. Mereka memilih
wanita dari penelitian cohort yang melahirkan pada tahun 1951 sampai 1970.
Mereka menemukan bahwa gangguan hipertensi apapun dalam kehamilan akan
meningkatkan risiko hipertensi dan stroke setelahnya. Risiko stroke meningkat
3,59 kali pada wanita yang pernah mengalami preeklampsia.7
Wanita dengan preeklampsia akan mengalami pembengkakan sel-sel
glomerular endotel dan gambaran berbagai timbunan di bawah sel-sel tersebut.
Lebih lanjut, akan terbentuk fibrin dalam sel-sel endotel dan sel-sel mesangial.
Membran basal menjadi lebih tebal. Perubahan-perubahan tersebut sifatnya
reversible; meskipun demikian, perubahan fungsional tidak sepenuhnya akan
xiii
reversible. Bar et al mengamati sekelompok wanita yang mengalami preeklampsia
dan membandingkannya dengan wanita yang menjalani persalinannya secara
normal. Mereka mendapatkan bahwa 2 sampai 4 bulan setelah persalinan, 2
hingga 3 dari wanita dengan preeklampsia akan mengalami mikroalbuminuria.
Ekskresi protein pada saat ini kira-kira 4 kali lebih tinggi dibandingkan wanita
yang tidak preeklampsia. Apakah mikroalbuminuria akan menjadi tak terbatas
masih belum dapat dipastikan. Data yang diperoleh Roest et al menunjukkan
bahwa mikroalbuminuria pada wanita pasca menopause merupakan faktor risiko
kuat penyakit kardiovaskular. Kami memiliki sedikit alasan untuk mempercayai
mikroalbuminuria pada wanita pasca menopause merupakan salah satu faktor
risiko. Mikroalbuminuria merupakan salah satu manifestasi disfungsi endotel.
Fungsi endotel pada wanita dengan preeklampsia akan mengalami kerusakan.
Berdasarkan penelitian lanjutan, kerusakan tersebut akan tetap ada saat setelah
melahirkan. Preeklampsia dikaitkan dengan resistensi insulin dan kenaikan kadar
homosistein. Bukti yang ada menunjukkan bahwa kondisi tersebut akan berlanjut
setelah persalinan dan dalam jangka panjang menjadi salah satu faktor risiko.8
Sattar dan Greer memfokuskan penelitian pada komplikasi kehamilan dan
risiko penyakit kardiovaskular pada ibu yang ditekankan pada skrining serta
pengurangan faktor risiko. Wanita dengan riwayat kehamilan yang merugikan
akan meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular dalam kehidupannya setelah
kehamilan itu. Komplikasi kehamilan dan penyakit jantung koroner memiliki
mekanisme yang umum. Jelasnya, wanita dengan diabetes mellitus gestasional,
faktor risiko preeklampsia, harus diskrining untuk mengetahui kemungkinan
xiv
diabetes pada kehidupannya setelah persalinan. Wanita yang memiliki bayi
dengan berat badan lahir rendah (BBLR) harus diskrining untuk kemungkinan
penyakit kardiovakular pada saat usianya 30 an. Faktor-faktor risiko vaskular ibu,
seperti tekanan darah yang tinggi, resistensi insulin, obesitas, penambahan berat
badan yang berlebihan saat hamil, dan hiperlipidemia, berhubungan dengan
peningkatan faktor terjadinya persalinan preterm dan berat bayi lahir rendah.
Kesimpulannya, anamnesa tentang preeklampsia, bayi berat lahir rendah, atau
atau hal-hal merugikan lainnya dalam suatu kehamilan akan memberikan
informasi yang berharga untuk menilai risiko penyakit kardiovaskular pada
seorang wanita. 9
2.5 Plasentasi Abnormal dan Iskemia Plasenta
Preeklampsia hanya terjadi bila ada plasenta atau mola hidatidosa dan
terjadi postpartum setelah lahirnya plasenta. Patogenesis preeklampsia mungkin
melibatkan invasi sitotrofoblast abnormal dari arteriola spiral, yang menurunkan
hipoperfusi uteroplasenta, suatu ketidakseimbangan antara peningkatan sintesis
tromboxan dan penurunan produksi prostaglandin I2, akan meningkatkan stress
oksidatif, gangguan metabolisme endotelin, atau disfungsi endotel.10
Selama perkembangan plasenta normal, sitotrofoblas akan invasi ke
arteriola spiral ibu dan melengkapi perubahan bentuk arteriola spiral ibu menjadi
pembuluh darah berkapasitas besar dengan resistensi rendah. Invasi sitotrofoblas
endovaskular ini melibatkan perpindahan tidak hanya endotel tapi juga muskulus
tunica media yang paling besar. Selanjutnya, selama differensiasi normal,
trofoblast yang invasive akan mengikat adhesi ekspresi molekul dari sel-sel epitel
xv
(integrin 6/3, /5 dan E-cadherin) terhadap sel-sel endotel (integrin 1/1,
/3, molekul adhesi sel platelet endotel dan endotel vascular-cadherin), suatu
proses yang merupakan pseudovaskulogenesis. Pada preeklampsia, terjadi invasi
dangkal sitotrofoblast plasenta pada arteriola spiral uterus, yang menyebabkan
pengurangan perfusi plasenta dan selanjutnya menjadi insufisiensi plasenta. Baik
penelitian secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa trofoblast yang
diperoleh dari pasien preeklampsia gagal untuk mengalami perubahan adhesi
molekul dan pseudovaskulogenesis. Jalur molekuler yang mengatur
pseudovaskulogenesis akan melibatkan banyak faktor-faktor transkripsi, faktor-
faktor pertumbuhan, dan sitokin. Perhatian akhir-akhir ini difokuskan pada
produksi gen yang berhubungan dengan angiogenesis seperti faktor pertumbuhan
vaskular endotel (VEGF), angiopoietin, dan kelompok protein ephrin serta
peranannya dalam mengatur pseudovaskulogenesis dan proses invasive.
Trofoblast yang invasive mengekspressi VEGF, faktor pertumbuhan plasenta
(PIGF), dan VEGF-C serta reseptornya. Selanjutnya, akan memblok jalur signal
mereka dan menurunkan ekspressi marker pseudovaskulogenesis in vitro.11
Disfungsi endotel secara umum bertanggung jawab terhadap semua aspek
klinis sindrom maternal pada preeklamsia. Identifikasi faktor sirkulasi yang
menjadi mediator disfungsi endotel telah menjadi pokok permasalahan yang
menarik dalam berbagai penelitian besar selama beberapa dekade. Beberapa
kelompok telah melaporkan adanya keterkaitan sitokin / faktor pertumbuhan /
mediator-mediator kimia seperti TNF-, IL-6, IL-1, IL-1, ikatan fas, hasil
oksidasi lipid, neurokinin-B, dan arginin dimetil asimetrik (ADMA) yang
xvi
dilepaskan oleh plasenta dan atau dari organ ibu lainnya pada preeklampsia.
Akhir-akhir ini, pada preeklampsia didapatkan konsentrasi L-arginin yang lebih
rendah dari normal yang disebabkan ekspressi berlebihan arginase II yang dapat
mengalihkan sintase nitrat oksida (NO) endotel plasenta terhadap peroksinitrit.12
2.6 Aspek Terbaru Hormon Relaxin dalam Kehamilan dan Preeklampsia
Relaxin diproduksi oleh corpus luteum ovarium dan bersirkulasi dalam
fase luteal dari siklus menstruasi serta meningkat pada awal kehamilan. Human
Chorionic Gonadotropin (HCG) yang diproduksi oleh plasenta merupakan
stimulus terbesar untuk sekresi relaxin selama kehamilan pada seorang wanita.
Pemberian relaxin yang lama pada tikus betina yang sadar akan meningkatkan
GFR dan aliran plasma renal efektif, dengan demikian menyebabkan perubahan
sirkulasi renal selama kehamilan. Efek vasodilatasi renal ini tidak memerlukan
keberadaan ovarium dan juga dapat diamati selama pemberian relaxin pada tikus
jantan. Pemberian relaxin pada tikus betina yang tidak hamil juga mengurangi
respon vasokonstriksi renal terhadap angiotensin II, sama dengan pengaruhnya
pada tikus yang hamil. Lebih lanjut, pengurangan reaktivitas miogenik dari arteri-
arteri kecil renal dapat diamati setelah pemberian relaxin, dapat disamakan
dengan pembuluh darah terisolasi dari tikus yang hamil midterm. Akhirnya,
relaxin akan menetralisasi antibodi atau pemindahan relaxin sirkulasi oleh
ovariektomi total akan mengakhiri vasodilatasi renal, hiperfiltrasi, dan
mengurangi reaktifitas miogenik dari arteri-arteri kecil renal, sebagaimana halnya
perubahan osmoregulatory pada tikus betina yang hamil midterm. 13
xvii
Jeyabalan et al (gambar 1.) baru-baru ini mengajukan bahwa relaxin
mengatur aktifitas gelatinase selama kehamilan, untuk selanjutnya menambah
vasodilatasi renal, hiperfiltrasi, dan mengurangi reaktifitas miogenik arteri-arteri
kecil renal melalui aktifasi jalur reseptor NO endotelin B (ETB) endotel. Pendapat
bahwa metalloproteinase 2 (MMP-2) memiliki peranan yang sangat penting dalam
jalur gelatinase-relaxin didasarkan atas pengaruhnya pada berbagai observasi.
Pertama, relaxin, reseptor ETB endotel, dan NO memiliki peranan yang penting
sebagai mediator vasodilatasi renal dalam kehamilan. Kedua, relaxin disediakan
untuk mengatur ekspressi MMP setidaknya dalam fibroblast. Ketiga, MMP
vaskular, seperti MMP-2, dapat digunakan memproses ET besar dalam ikatan gly-
leu menjadi ET1-32 dengan aktifasi berikutnya dari reseptor endotelin.14
Dengan menghambat aktifitas gelatinase secara kronis pada tikus objek in
vivo dan dalam arteri-arteri kecil renal in vitro. Jeyabalan et al memperlihatkan
pentingnya peranan gelatinase vaskular dalam mediasi relaxin, perubahan
sirkulasi renal dalam kehamilan. Sebaliknya, jalur tradisional endothelium
converting enzim yang memproses ET besar menjadi ET 1-21 tidak telibat dalam
hal berkurangnya efek hemodinamik phosphoramidon inhibitor endothelium
converting enzim tradisional. Dalam arteri-arteri kecil renal diperoleh dari
pemberian relaxin pada tikus yang tidak hamil atau hamil midterm, aktifitas
MMP-2 vaskular diatur hingga 50% nya. Meskipun demikian, aktifitas gelatinase
tidak hanya bagian dari jalur vasodilatasi ETB-NO endotel tetapi juga tempat
utama regulasi oleh relaxin. Akhirnya, relaxin diberikan pada tikus dengan
defisiensi reseptor ETB. Meskipun arteri-arteri kecil renal yang diperoleh dari
xviii
tikus-tikus ini menunjukkan pengaturan aktifitas MMP-2 vaskular yang
berlebihan, mereka gagal menghilangkan tipe reduksi dari reaktifitas miogenik.
Observasi yang dilakukan dalam konteks hasil yang lain (supra vide)
menunjukkan bahwa gelatinase vaskular merupakan satu rangkaian dengan dan
berasal dari jalur signal ETB-NO endotel dalam vasodilatasi renal sebagai respon
terhadap kehamilan yang dimediasi relaxin.15
Kadar sirkulasi relaxin H2 imunoreaktif dilaporkan sama antara wanita
preeklamsia dengan yang kehamilan normal pada usia perbandingan yang sama.
Bagaimanapun, apakah bioaktifitas relaxin sirkulasi dapat berkurang selama
adanya penyakit ini masih belum dapat dipastikan. Reseptor-reseptor relaxin
LGR7 dan LGR8 hanya baru-baru ini teridentifikasi. Beberapa diketahui
ekspressinya pada pembuluh darah. Dengan mengkiaskan ke sistem reseptor lain,
sebagian kecil reseptor, meningkatkan ekspressi reseptor inaktif, atau reseptor
yang terlarut dapat mengurangi signal relaxin ke vaskular, dengan demikian akan
menyebabkan vasodilatasi renal pada preeklampsia. Karena peningkatan aktifitas
gelatinase vaskular oleh relaxin merupakan tahap akhir jalur vasodilatasi dalam
kehamilan, aktifitas MMP-2 yang tidak seharusnya dapat memberikan kontribusi
dalam penurunan fungsi renal pada preeklampsia. Ekspressi yang berlebihan dari
reseptor ET atau ETA atau ETB pada otot lunak vaskular dari artriola-arteriola
renal dapat mendominasi jalur vasodilatasi yang diinisiasi oleh relaxin. Mutasi
atau polimorfik dari reseptor ETB atau dari sintase NO endotel yang mengurangi
aktifitas dapat menjadi predisposisi preeklampsia pada seorang wanita dengan
xix
mengganggu invasi trofoblast dan dengan mempengaruhi karakter endotel ibu.
Semakin dini proses secara tidak langsung membuka kemungkinan tersebut.16
2.7 Sirkulasi Faktor-Faktor Proangiogenik dan Inhibitornya
Akhir-akhir ini telah ditunjukkan peningkatan ekspressi plasenta dan
sekresi soluble fms-like tirosin kinase 1 (sFlt 1), yang secara alami terjadi
sirkulasi antagonis VEGF pada pasien-pasien dengan preeklampsia. Hal ini sangat
penting ketika pemberian secara eksogen pada tikus, sFlt1 sendiri cukup untuk
menginduksi fenotip seperti preeklampsia. Akhirnya, data menggunakan kondisi
VEGF pada tikus kecil yang telah mati memberikan bukti genetik definitif bahwa
keterlibatan VEGF memberikan signal dalam ginjal mencetuskan preeklampsia
secara klinik, berupa proteinuria dan endoteliosis glomerulus.17
VEGF merupakan suatu mitogen spesifik endothelial yang memegang
peranan penting dalam promosi angiogenesis. Aktifitas VEGF secara primer
dimediasi oleh interaksinya dengan dua reseptor tirosin kinase berafinitas tinggi –
kinase memasuki daerah domain (KDR) dan Flt1 – yang secara selektif
mengekspressi pada permukaan sel endotel vascular. Jalur alternatif Flt1 yang
dihasilkan pada sekresi protein endogen seperti sFlt1, yang kekurangan
sitoplasma dan domain transmembran tetapi menahan domain ikatan (gambar 2.).
Meskipun demikian, sFlt1 dapat melawan sirkulasi VEGF dengan terikat padanya
dan mencegah VEGF berinteraksi dengan reseptor endogennya. sFlt1 juga
mengikat dan melawan PIGF, anggota lain famili VEGF yang secara dominan
dibuat di plasenta.18
xx
Pada penelitian in vitro ditunjukkan bahwa kelebihan produksi sFlt1
plasenta menyebabkan suatu kondisi antiangiogenik dalam serum wanita dengan
preeklamsia yang bisa disembuhkan dengan pemberian VEGF dan PIGF eksogen.
Kelebihan sFlt1 itu sendiri, ketika diberikan pada tikus yang hamil dapat
menyebabkanalbuminuria, hipertensi, dan perubahan patologi endotheliosis
glomerular renal dengan efek berlawanan dari sirkulasi VEGF dan PIGF dan
menyebabkan disfungsi endotel. Sebagai tambahan, kadar sirkulasi PIGF dan
VEGF bebas menurun dalam hubungannya dengan elevasi sFlt1 aliran darah pada
saat munculnya penyakit. Perkembangan terakhir adalah ketika PIGF dan VEGF
bebas diukur selama kehamilan, faktor-faktor pertumbuhan pada wanita dengan
preeklampsia akan menurun sebelum munculnya gejala klinis penyakit tersebut.19
Baru-baru ini, Levine et al menghadirkan bukti yang mensugesti bahwa
sFlt1 merupakan atau mungkin merupakan faktor sirkulasi yang bertanggung
jawab terhadap timbulnya preeklampsia. Mereka melakukan sekelompok
penelitian dengan menggunakan kontrol dalam Kalsium Sebagai Usaha
Pencegahan Preeklampsia, yang melibatkan wanita nulipara yang sehat. Setiap
wanita dengan preeklampsia dipasangkan dengan satu subjek kontrol yang
normotensif. Dari total 120 pasangan wanita tersebut kemudian dipilih secara
acak. Konsentrasi serum faktor angiogenik (total sFlt1, PIGF bebas, dan VEGF
bebas) diukur selama kehamilan. Kadar sFlt1 meningkat pada awal hingga 5
minggu sebelum munculnya preeklampsia. Pada awal munculnya klinis penyakit
tersebut, rata-rata kadar serum pada wanita dengan preeklampsia sekitar 4382
pg/ml, sedangkan pada subjek kontrol sekitar 1643 pg/ml dengan usia kehamilan
xxi
yang sama. Kadar PIGF lebih rendah pada wanita yang kemudian mengalami
preeklampsia dibandingkan subjek kontrol dimulai pada usia kehamilan 13
sampai 16 minggu (rata-rata 90 lawan 142 pg/ml), dengan perbedaan terbesar
terjadi selama minggu-minggu sebelum timbulnya preeklampsia, bersamaan
dengan peningkatan kadar sFlt1. Perubahan kadar sFlt1 dan PIGF bebas lebih
besar terjadi pada wanita yang lebih dini mengalami preeklampsia dan pada
wanita preeklampsia dengan bayi kecil masa kehamilan. Penulis berkesimpulan
bahwa peningkatan kadar sFlt1 dan penurunan kadar PIGF dapat memprediksikan
perkembangan preeklampsia selanjutnya.20
Data-data ini menyokong hipotesis bahwa elevasi sFlt1 dapat
menyebabkan sindrom maternal dan bahwa elevasi sFlt1 bukanlah konsekuensi
dari sindrom maternal. VEGF dikenal sebagai stimulus angiogenesis dan juga
promosi vasodilatasi dengan menstimulasi NO dan formasi prostacyclin,
memberikan signal molekul-molekul yang menurun pada preeklampsia.
Selanjutnya, pesentasi signifikan pasien kanker yang menerima antagonis signal
VEGF mengalami hipertensi dan proteinuria. Meskipun kehilangan alel tunggal
VEGF dari glomerulus dalam tikus modifikasi genetik dihasilkan endoteliosis dan
proteinuria. Hal ini menarik karena defek endothelial dapat diamati meskipun
kadar sirkulasi VEGF tidak dipengaruhi, yang menekankan bahwa signal regulasi
lokal VEGF merupakan kritik terhadap fungsi endothelial. Pengamatan ini
mensugesti bahwa kelebihan produksi sFlt1 mungkin menjadi peran penyebab
dalam patogenesis sindrom maternal dalam preeklampsia dengan menetralisasi
PIGF dan VEGF (gambar 3). Meskipun demikian, terdapat batasan dan beberapa
xxii
pertanyaan yang tidak terjawab mengenai sFlt1. Mekanisme yang tepat dari
produksi sFlt1 yang berlebihan oleh plasenta masih belum diketahui, dan yang
terpenting, peranan sFlt1 pada perkembangan plasenta normal dan pada
pseudovaskulogenesis plasenta masih belum jelas. Tidak ada laporan terjadinya
koagulasi atau abnormalitas fungsi hati atau abnormalitas otak (eklampsia) pada
binatang yang diberikan terapi sFlt1. Mekanisme proteinuria selama masa
defisiensi VEGF masih belum jelas. Faktor sinergi tambahan yang dihasilkan
plasenta sudah dapat dibuktikan memegang peranan penting dalam patogenesis
dari disfungsi endotel secara umum dan preeklampsia. 21
2.8 Faktor-faktor Relaxin yang diperoleh dari Endotel dan Inhibitornya
Faktor-faktor endotel seperti prostaglandin (PG) dan NO telah dianggap
sebagai mediator-mediator vasodilatasi renal pada kehamilan dan hiperfiltrasi.
Akan tetapi, penelitian pada manusia hamil dan binatang percobaan tidak
menunjukkan peranan yang mendorong PG vasodilator pada kehamilan-yang
menginduksi peningkatan GFR dan aliran plasma renal efektif atau dalam
penurunan resistensi vaskular perifer total. Indikasi pertama peranan potensial
untuk NO diperoleh dari evaluasi guanosin 3’5’-cyclic monophosphate (cGMP),
sebuah messenger kedua yang penting dari NO. Konsentrasi plasma, ekskresi
urin, dan produksi metabolic cGMP meningkat pada tikus yang hamil dan hamil
palsu, seperti pada kehamilan manusia. Ekskresi urin nitrat dan nitrit, metabolit
stabil NO, meningkat pada tikus yang hamil dan hamil palsu yang mengkonsumsi
diet rendah nitrit dan nitrat berhubungan dengan peningkatan ekskresi cGMP.
Selanjutnya, metabolit NO meningkat dalam plasma tikus yang hamil, dan
xxiii
hemoglobin NO dalam sel darah merah dapat dideteksi pada tikus yang hamil
tetapi tidak pada yang tidak hamil. Data ini menunjukkan bahwa produksi NO
endogen meningkat pada tikus yang hamil, meskipun asal jaringan peningkatan
metabolit NO dan cGMP masih tidak diketahui.19
Bukti defek spesifik dalam resistensi arteri endotel dari wanita dengan
preeklampsia telah ditunjukkan. Bukti yang mendukung untuk defisiensi NO pada
preeklampsia akhir-akhir ini diperoleh dari pengurangan tekanan perfusi uterus
tikus sampel. Penelitian ini mendapatkan bahwa suplementasi dengan L-arginin
menurunkan tekanan darah sebesar 19 mmHg pada tikus hamil dengan penurunan
tekanan perfusi arteri uterus (yang dirawat dan yang tidak dirawat) dibandingkan
dengan 12 mmHg tikus hamil (yang dirawat dan yang tidak dirawat). Hasilnya
membuktikan bahwa suplementasi L-arginin dapat bermanfaat untuk mengurangi
hipertensi pada pasien preeklampsia.20
Faktor preeklamsia yang menarik yang dapat secara langsung berpengaruh
dengan NO dan menyebabkan disfungsi endotel pada wanita hamil adalah
ADMA. Savvidou et al menguji hipotesis bahwa ADMA, suatu inhibitor sintesis
NO endotel endogen, berpengaruh pada perkembangan preeklampsia. Peranan NO
– atau ketidakberadaannya – telah ditemukan ada enelitian-penelitian sebelumnya
mengenai preeklampsia. Penulis mengukur reperfusi-iskemi lengan bawah sebagai
suatu marker dari disfungsi endotel. Mereka juga mengawasi aliran darah uterus
menggunakan tehnik Doppler. Mereka ingin melihat terjadinya retardasi
pertumbuhan intrauterine dan secara jelas mengukur ADMA dan analog
simetrisnya. Penulis mendapatkan bahwa wanita yang mengalami gangguan
xxiv
perfusi uterus, prevalensi anak-anaknya akan mengalami retardasi pertumbuhan
intrauterine > 30 % dan prevalensi terjadinya preeklampsia. >20%. Wanita
dengan preklampsia memiliki vasodilatasi karena aliran darah lebih lambat
dibandingkan wanita dengan perfusi uterus normal. Pada wanita dengan
preeklampsia, terdapat hubungan yang kuat antara kadar ADMA dan vasodilatasi
karena aliran darah. Secara bersamaan, peneliti menemukan bahwa disfungsi
endotel berkembang sebelum preeklampsia, wanita dengan resistensi aliran darah
uterus tinggi memiliki risiko retardasi pertumbuhan intrauterine dan preeklampsia,
dan ADMA dapat menjadi faktor potensial yang menyebabkan disfungsi endotel
ada wanita-wanita ini.21
2.9 Autoantibodi Sirkulasi
Haller et al mengamati bahwa faktor sirkulasi dalam wanita preeklampsia
menyebabkan sel-sel endotel untuk mengekspressi adhesi molekul-molekul
permukaan dan membuat lapisan sel endotel lebih permeable. Proses berikutnya
melibatkan aktifasi protein kinase C. Wallukat et al kemudian mengidentifikasi
autoantibodi sirkulasi yang dapat mengaktifkan reseptor ATI agiotensin II (Ang
II). Autoantibodi (AT-1AA) tersebut meningkat kira-kira pada saat yang
bersamaan dengan munculnya gejala, yaitu setelah usia kehamilan 20 minggu, dan
akan menurun dalam 6 minggu setelah persalinan. AT-1AA diperoleh dan dikenal
sebagai bagian dari fraksi antibody IgG. Wallukat et al menunjukkan bahwa ATI-
AA berbatas dengan rangkaian 7 asam amino tertentu pada putaran extraseluler
kedua dari AT-1AA. Mereka mendokumentasikan spesifisitas oleh Western
blotting dan penelitian-penelitian co-lokalisasi. Tentu saja, fungsi AT-1AA di
xxv
Western blot setidaknya sama baiknya dengan antibodi-antibodi komersial yang
tersedia saat ini terhadap reseptor AT-1. Dechend et al mengkonfirmasi penemuan
ini dengan mengujinya pada penelitian-penelitian co-imunopresipitasi. Mereka
tidak dapat menemukan bukti untuk signal kalsium atau kontraksi sel otot polos
yang dihasilkan dari autoantibodi tersebut. Meskipun demikian, mereka dapat
menunjukkan bahwa autoantibodi tersebut menginisiasi cascade signal yang
terakumulasi dalam aktifasi faktor transkripsi (NF-B dan activator protein-1) dan
kemudian ekspressi faktor jaringan.22
Secara terpisah, Zia et al meneliti 38 orang pasien hamil, dimana 20 orang
diantaranya dengan preeklampsia berat dan 18 orang sisanya normotensif. IgG
diperoleh dari individu-individu ini, dan keberadaan AT1-AA ditentukan.
Trofoblast manusia yang diawetkan dipilih untuk mempelajari inhibitor 1
aktivator plasminogen dan sekresi setelah perawatan dengan IgG pada wanita
preeklampsia dan yang normotensif. Mereka memberi kesan bahwa autoantibodi
maternal dengan kemampuannya mengaktifasi reseptor-reseptor ATI dapat
menyebabkan dua gambaran preeklampsia : meningkatnya produksi inhibitor 1
aktivator plasminogen dan invasi trofoblast yang dangkal.23
Baru-baru ini Dechend et al menunjukkan bahwa AT-1AA dapat
menyebabkan trofoblast manusia atau sel-sel otot polos untuk memproduksi
reaktif oksigen spesies (ROS) dengan mengaktifkan NADPH oksidase. Sel-sel
otot polos vaskular dari p47 phoxgene-disrupted - / - dan tikus kontrol + / +
difokuskan pada AT1-AA. Dengan cara fluoresensi DCF, baik Ang II maupun
AT1-AA sama-sama memberikan respon yang kuat. Produksi ROS dihambat oleh
xxvi
tiron antioksidan atau oleh sel-sel otot polos vaskular yang kekurangan p47 phox.
Pada sel-sel ini, NADPH oksidase tidak bekerja. Pada penelitian lain,
penyelidikan menggunakan trofoblast manusia dan uji perubahan elektromobilitas
dan menunjukkan bahwa unit NF-B p50 dan p65 diaktifkan oleh Ang II maupun
AT-AA. Trofoblast manusia, seperti yang ditunjukkan 7 marker antisitokeratin,
juga menunjukkan p22 phox.12
AT1-AA juga telah ditemukan pada pasie-pasien dengan hipertensi
maligna dan pada pasien-pasien dengan rejeksi transplantasi renal humoral
(pengamatan tidak dipublikasikan). Tentu saja, mereka bukan fenomena spesifik
preeklampsia. Keberadaan antibodi-antibodi ini menakjubkan. Akan tetapi,
lahannya masih dihambat karena deteksi masih berdasarkan uji biologi (bioassay).
Usaha untuk melakukan ELISA belum sepenuhnya berhasil. Tentunya, penelitian
konfirmasi pada populasi yang besar dari wanita preeklampsia, seperti dengan
sFlt1, masih belum dilakukan.14
Peningkatan reseptor AT1 heterodimers pada preeklampsia sangat
menarik. Telah digambarkan suatu reseptor AT1 reseptor-bradikinin-2
heterodimer dengan peningkatan signal Ang II. Sebuah model tikus transgenik
yang berdasarkan renin manusia dan transgene angiotensinogen telah
dikembangkan. Model ini menggambarkan perkembangan AT1-AA (pengamatan
tidak dipublikasikan). AT1-AA dapat menjadi sebuah fenomena. Meskipun
demikian, terdapat pengertian yang dapat dijadikan pegangan bahwa aktifasi
antibody dapat menyebabkan penyakit. Pendapat bahwa aktifasi antibodi terhadap
reseptor adrenergik 1 dapat menyebabkan kardiomiopathy sangat menyokong.
xxvii
2.10 Manifestasi Klinis pada Penderita Preeklampsia
a. Kardiovaskuler : vasospasme menyeluruh, resistensi pembuluh darah
perifer meningkat, stroke work index ventrikel kiri meningkat, central
venous pressure menurun, pulmonary wedge pressure menurun.
b. Hematologi : volume plasma menurun, viskositas darah meningkat,
hemokonsentrasi, koagulopati.
c. Ginjal : glomerular filtration rate menurun, renal plasma flow menurun,
uric acid clearence menurun
d. Hepar : necrosis periportal, kerusakan hepatoselluler, subcapsular
hematome.
e. SSP : edema serebri dan perdarahan cerebri.
f. Otak : Tekanan darah meningkat, cerebral perfusion pressure meningkat
dari 60-120 mmHg pada kondisis normal menjadi 130-150 mmHg, akan
terjadi kegagalan autoregulasi sehingga pembuluh darah vasodilatasi yang
akhirnya menimbulkan iskemia, terjadi peningkatan permeabilitas pembuluh
darah otak, eksudasi plasma, edema otak, kompresi pembuluh darah otak
sehingga aliran darah otak menurun. Pada CT scan otak didapatkan: edema
cerebral, perdarahan otak (diintraventrikular, bisa diparenkim), infark otak.
2.11 Diagnosis
Preeklamsia jarang timbul sebelum minggu ke-20 kehamilan, dan jika
terjadi biasanya keadaan ini terdapat pada kasus mola hidatidosa atau degenerasi
mola yang jelas .4
xxviii
Meningkatnya tekanan darah (untuk mengurangi kesalahan, pengukuran
dilakukan dengan pasien posisi duduk).27 Diagnosis preeklamsia ditegakkan
berdasarkan peningkatan tekanan darah mencapai lebih besar atau sama dengan
140/90 mmHg; atau adanya peningkatan darah sistolik > 30 mmHg atau diastolik
> 15 mmHg.28 Bila tekanan darah mencapai atau lebih dari 160/110 mmHg, maka
preeklamsia disebut berat.28 Preeklamsia termasuk kriteria berat pula walaupun
tekanan darah belum mencapai 160/110 mmHg, jika ditemukan gejalalain seperti
berikut ini : proteinuria 3 (+) pada test celup, oliguria ( < 400 cc/24 jam), sakit
kepala hebat dan gangguan penglihatan, nyeri epigastrium atau nyeri kuadran
kanan atas abdomen atau ada ikterus, edema paru atau sianosis, trobositopenia,
PJT.28
Protein, proteinuria sebagai indikator prognosis. Sehingga diperlukan
pemeriksaan serial.27 Bahkan Chesley (1985) secara tepat menyimpulkan bahwa
tanpa adanya proteinuria diagnosis preeklamsia meragukan, namun pada tahun
yang sama Chesley juga mengemukakan bahwa 10 % dari kejang eklamsia timbul
sebelum timbulnya proteinuria nyata, sehingga perlu segera diambil tindakan
meskipun naiknya tekanan belum disertai oleh proteinuria.4 Proteinuria
didefinisikan sebagai terdapatnya 300 mg atau lebih protein dalam urin 24 jam
atau 100 mg atau lebih per dL pada sekurang-kurangnya dua sampel urin yang
diambil dengan selang waktu 6 jam .4
Vasospasme, dengan pemeriksaan optalmologi, dapat dipakai untuk
mengevaluasi perkembangan penyakit. Pada preeklamsia berat terjadi peningkatan
ratio vena arteri (normal 4:3) dan vasospasme segmental.27
xxix
Pertambahan berat badan dan edema.27 Banyak ahli yang sepakat bahwa
edema pada tangan dan muka, sangat sering ditemukan pada wanita hamil,
sehingga diagnosis preeklamsia tidak dapat dipastikan dengan adanya edema dan
tidak dapat disingkirkan dengan tidak adanya edema.4
Nyeri epigastrium atau nyeri abdomen pada kwadran kanan atas dianggap
terjadi akibat nekrosis dan edema sel-sel hati yang meregangkan kapsula
Glissoni.4 Nyeri yang khas sering disertai dengan naiknya kadar enzim-enzim hati
di dalam serum dan biasanya memerlukan segera terapi definitif. Kadang rasa
nyeri mendahului ruptura hematoma supkapsuler hepar.4
Trombositopeni merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, yang
mungkin disebabkan oleh hemolisis mikroangiopati yang timbul karena
vasospasme hebat.4
Wanita biasanya tidak mengemukakan keluhan dan jarang memperhatikan
tanda-tanda preeklamsia, atau karena memang minimnya pengetahuan tentang hal
tersebut, maka untuk deteksi dini diperlukan pengamatan yang cermat dengan
masa interval pemeriksaan yang tepat selama ANC, terutama bagi wanita yang
diketahui mempunyai faktor predisposisi preeklamsia, seperti: nulliparitas, adanya
riwayat preeklamsia pada keluarga, janin multiple, diabetes, penyakit vaskuler
kronik, penyakit ginjal, mola hidatidosa dan hidrops fetalis.2,3,4
Edema paru merupakan kondisi yang dapat mengancam jiwa pasien, yaitu
suatu keadaan di mana terjadi peningkatan jumlah cairan interstisial paru dan
alveoli paru yang melebihi kemampuan drainase sistem limfatik, yang disebabkan
karena:
xxx
(1) Peningkatan tekanan hidrostatik intravaskuler
(2) Rendahnya tekanan onkotik intravaskuler akibat hipoalbuminemia,10
(3) Meningkatnya permiabilitas vaskuler karena rusaknya endotel pembuluh
darah paru, yang semuanya terjadi karena proses preeklamsia.1,11
Timbulnya edema pulmonum mengganggu proses oksigenasi di paru
sehingga timbul hipoksemia berat yang ditandai dengan turunnya PO2, sehingga
menimbulkan hipoksia berat.9 Keadaan ini dapat menimbulkan pertumbuhan janin
terhambat hingga kematian janin intra uterin.
Kadar hemoglobin dapat menurun, diperkirakan karena proses hemolisis
masif akibat dari meningkatnya tekanan osmotik dan kerapuhan dinding sel, yang
seharusnya dibuktikan dengan adanya hiperbilirubinemia, atau dari pemeriksaan
apus darah tepi didapatkan adanya morfologi sel darah merah berupa schistocytes
dan burr cells, ditemukannya helmet cells karena eritrosit yang rusak. Sedangkan
trombositopenia merupakan tanda khas preeklamsia yang memburuk, dan
mungkin disebabkan hemolisis mikroangiopati yang timbul karena vasospasme
berat, ada juga yang memperkirakan karena adanya proses imunologi.
Ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang merusak struktur endotel
pembuluh darah juga dapat menerangkan timbulnya sindroma HELLP ini, yaitu
karena terjadi “penimbunan” trombosit pada endotel yang rusak tersebut dan
terjadinya nekrosis sel-sel hepar, khususnya bagian periportal pada bagian perifer
lobulus hepar.4sindroma HELLP meningkatkan resiko timbulnya infeksi,
koagulopati konsumtif, gagal ginjal, sindroma distress pernafasan, infark hepatic
hingga ruptur hepar serta cardiopulmonary failure.17
xxxi
Dikatakan bahwa manifestasi sindroma HELLP bervariasi dari beberapa
jam sampai 7 hari post partum, terbanyak berkembang dalam 48 jam post partum.
Ada pendapat yang menyatakan bahwa turunnya trombosit dan hemoglobin saja
belum dapat dikategorikan sebagai sindroma HELLP, karena tidak ada istilah
sindroma HELLP parsial.21 Ada lagi pendapat yang menyatakan bahwa kalau kita
menunggu sampai semua manifestasi, artinya kita menunggu sampai keadaan
berat.24 Memang ada beberapa klasifikasi sindroma HELLP, antara lain klasifikasi
Missisipi dimana klasifikasi berdasarkan pada jumlah trombosit maternal, yaitu :
1. Kelas I jika jumlah trombosit £ 50.000/ ul, > 50.000
2. Kelas II jika jumlah trombosit £ 100.000/ul, >100.000
3. Kelas III jika jumlah trombosit 600 IU/L dan AST > 70 IU/L
4. Inkomplit apabila hanya terdapat satu atau 2 gejala seperti di atas.
16,25
Karena diagnosis dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat akan
mempengaruhi prognosis.
2.11 Penatalaksanaan
A. Preeklampsia Ringan
1. Rawat jalan
Ibu hamil dengan PER dapat dirawat jalan. Dianjurkan untuk
banyak istirahat ( berbaring/ tidur miring), tetapi tidak mutlak untuk
tirah baring. Tidak diberikan obat-obatan diuretic, antihipertensi dan
sedative. Dilakukan pemeriksaan laboratorium rutin untuk memantau
xxxii
perjalanan penyakit. Pengaturan diet yang mengandung 2 gr natrium
dianggap cukup.
2. Rawat inap
Kriteria:
a. Bila tidak ada perbaikan perawatan selama 2 minggu di rumah
b. Adanya satu atau lebih gejala PEB
3. Perawatan Obstetrik
Jika tekanan darah normotensif, persalinan ditunggu hingga aterm.
B. Preeklampsia Berat
Penatalaksanaan untuk preeklampsia berat dapat dibagi atas 2 hal
yaitu :6
a. Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif
1. Kehamilan <37 minggu
2. Keadaan janin baik
3. Tidak ada impending eklampsia
Pengobatan medisinal
1. Pemberian obat antikejang MgSO4
i. Loading dose diberikan 4 gram MgSO4
secara IVselama 15 menit.
ii. Maintenance dose diberikan infuse 6 gram
dalam larutan RL/ 6 jama atau 4-5 gram
secara IM.
2. Diuretik
Diuretik tidak diberikan secara rutin, kecuali bila
ada edema paru, gagal jantung kongestif ataupun edem
anasarka.
xxxiii
3. Pemberian antihipertensi.
i. Lini pertama diberikan nifedipin dengan
dosis 10-20 mg per oral, diulangi setelah 30
menit, maksimum 120 mg dalam 24 jam.
ii. Lini kedua diberikan sodium nitropusside
dengan dosis o,25 mikrogram
IV/kgBB/menit
b. Perawatan aktif (Sectio caseria)
Indikasi bila terdapat satu atau lebih keadaan ini :
i. Ibu
- Kehamilan > 37 minggu
- Adanya impending eklampsia
- Perawatan konservatif gagal
- 6 jam setelah pengobatan medicinal terjadi kenaikan
tekanan darah
- 24 jam setelah pengobatan medicinal gejala tidak berubah
ii. Janin
- Adanya tanda-tanda gawat janin
- Adanya pertumbuhan janin terhambat dalam rahim
- Laboratorik
- Adanya sindrom HELLP
C. Penatalaksanaan Eklampsia
xxxiv
Perawatan dasar eklampsia yang utama adalah terapi suportif untuk
stabilisasi fungsi vital, yang harus selalu diingat Airway, Breathing,
Circulation (ABC), mengatasi dan mencegah kejang, mengatasi dan
mengobati hipoksemia dan asidemia, mencegah trauma akibat kejang pada
pasien, mengendalikan tekanan darah dan melahirkan janin dengan cara
yang tepat dan waktu yang tepat.
Pengobatan medisinal
1. Pemberian obat antikejang MgSO4
iii. Loading dose diberikan 4 gram MgSO4
secara IVselama 15 menit.
iv. Maintenance dose diberikan infuse 6 gram
dalam larutan RL/ 6 jama atau 4-5 gram
secara IM.
2. Perawatan waktu kejang
-Perawatan di kamar isolasi yang terang
-Fiksasi badan di tempat tidur harus longgar
-Selesai kejang, segeralah berikan oksigen.
3. Perawatan koma
-Menjaga jalan nafas tetap terbuka
-Drainase lendir
-Monitoring kesadaran
4. Perawatan edema paru
-Saran rawat di ICU dengan monitor dan ventilator
xxxv
D. Penatalaksanaan Sindroma HELLP
Penatalaksanaan sindroma HELLP post partum meliputi
pengendalian tekanan darah yang lebih agresif, antikonvulsan, pemberian
kortikosteroid (dexametason 10-10-5-5/12jam) akan mempercepat
penyembuhan sindroma HELLP serta mengurangi resiko terjadinya
komplikasi maternal yang ditandai dengan meningkatnya produksi urin
dan jumlah trombosit, dan menurunnya kadar LDH dan AST.17
Diuresis dapat menurun pada pasien PEB, kemungkinan adanya
proses mikroangiopati yang menyebabkan oklusi pembuluh darah
glomerulus sehingga filtrasi menurun. Maka untuk menegakkan diagnosis
dilakukan pemeriksaan keadaan hemostasis pasien, dan dapat diperoleh
data PT dan APTT serta fibrinogen dalam batas normal, dengan kadar D-
Dimer ≥ 500, yang memberikan kesan adanya pemecahan produk
fibrinogen (FDP) yang berarti ada proses mikroangiopati.21 Dapat
diberikan heparin 3x2500 U. Biasanya diuresis akan membaik dalam
beberapa hari, yang berarti terbukanya oklusi pembuluh darah.
Dalam perawatan dapat terjadi penurunan albumin yang makin
memberat. Harusnya segera dilakukan penggantian albumin yang hilang,
namun untuk pasien yang sedang mengalami fase poliuri, akan sia-sia,
karena albumin yang masuk akan terbuang percuma lewat urin,21 karena
itu sambil menunggu fase poliuri lewat dapat diberikan diet tinggi protein
dan ekstra telur. Untuk menghilangkan kekhawatiran terbuangnya protein
lewat urin tersebut, dilakukan pengecekan proteinuria, jika tidak
xxxvi
didapatkan proteinuria maka disimpulkan bahwa endotel pembuluh darah
ginjal telah membaik, dan diasumsikan bahwa endotel pembuluh di paru
juga membaik.2
2.11.1 Monitoring
Diuresis minimal 30 ml / jam (Mg disekresi lewat urine) , refleks patella
harus tetap positif (merupakan tanda pertama, refleks akan menghilang pada kadar
8-10 mEq/L, dalam hal ini Mg harus distop sampai refleks positif lagi) , respirasi
rate minimal 14 x / menit (pada kadar > 12 mEq / L akan terjadi depresi
pernafasan).27 Jika timbul tanda-tanda toksisitas, maka kadar magnesium darah
harus dievaluasi dan berikan antidotum calsium glukonas 1000 mg dalam 3
menit.27
Magnesium dalam melewati barier plasenta dalam kadar yang sama,
sehingga bayi baru lahir dari ibu yang diterapi dengan magnesium sulfat bisa
mengalami depresi pernafasan dan hiporefleksi , hal ini tidak atau jarang
ditemukan pada pemberian intramuskular.27 Magnesium sulfat bekerja secara
sinergis dengan obat anestesi umum, sehingga dosisnya harus lebih rendah.27
Nitrogliserin, karena nitrat mempunyai efek venodilator yang kuat dan
juga bersifat arteriodilator, maka dapat menurunkan preload (terutama) dan
afterload. Dengan demikian nitrat dapat menurunkan tekanan kapiler paru secara
bermakna, sehingga dapat mengurangi ekstravasasi cairan dan telah terbukti dapat
mengatasi simptom edema paru.10 Nitrat akan membentuk radikal bebas NO yang
reaktif dalam sel otot polos., yaitu dengan mengaktivasi siklik GMP sehingga
xxxvii
terjadi defosforisasi myosin yang pada akhirnya mengakibatkan relaksasi otot
polos pembuluh darah, hal ini dapat ikut menurunkan tekanan darah.13,14 Cara
pemberian nitrogliserin dimulai dari 5 ug/’ boleh dititrasi hingga maksimal 200
ug, demikian juga dengan tatalaksana edema paru yang lain, seperti pemberian
diuretik dengan tujuan untuk mengurangi preload.4.15
Ekstraksi pada PK II; dilakukan karena mengedan akan meningkatkan
tekanan darah. Post partum segera berikan furosemid 80 mg intravena untuk
mencegah back flow agar tidak terjadi edema paru.16 Tindakan segera mengakhiri
persalinan secepat mungkin adalah benar.3
2.11.2 Antioksidan
Banyak antioksidan yang terbukti berkurang pada preeklamsia. Dengan
berkurangnya antioksidan maka resiko kerusakan jaringan akan tinggi. Oleh
karena itu diberikan antioksidan seperti vitamin C yang berfungsi sebagai
antioksidan nonenzimik yang bekerja secara sinergik dengan tocopherol yang ada
pada plasma lipoprotein untuk menangkal radikal hidroksil.18 Dapat juga
diberikan N-acetyl Systein (NAC), karena secara rasional gugus thiol yang ada
pada NAC merupakan prekusor glutation bentuk tereduksi (reduced glutathion)
yang dapat mengatasi defisit glutation.18
NAC sebagai antioksidan bekerja dengan cara memberikan gugus sulfidril
bebas (free thiol) yang berkonjugasi langsung dengan oksidan sehingga oksidasi
menjadi netral.18 NAC juga dapat merangsang sintesis gama
glutamylcysteinglysine (GSH), meningkatkan aktifitas glutahion-S-Otransferase
dan menginduksi detoksifikasi.18 Penggunaan NAC jarang sekali ada efek
xxxviii
samping serius yang dilaporkan, demikian pula penggunaan jangka panjang
sampai 6 bulan bahkan 2 tahun. Bahkan dapat diberikan dalam dosis besar hingga
30 gr/hari dalam 3 kali pemberian.18 Tidak ditemukan efek toksik / efek samping
sekalipun ditemukan dalam kadar tinggi di darah tali pusat baik pada binatang
maupun pada bayi.8
2.11.3 Ventilator
Secara teoritis kelebihan cairan interstisial paru disalurkan melalui
beberapa jalur yang berbeda, antara lain: diresorpsi masuk ke intravaskuler,
diakumulasi di ruang pleura dan disalurkan melalui system limfatik mediastinum.
Pada pasien preeklamsia yang memerlukan ventilator, maka disarankan untuk
memberikan PEEP dengan tujuan untuk mencegah kolapsnya jaringan paru pada
saat ekspirasi, ternyata PEEP juga dapat mengurangi jumlah cairan di interstisial
paru, memang mekanismenya belum diketahui dengan pasti, namun PEEP sebesar
10-20 CmH2O dapat meningkatkan tekanan intrathorak dan meningkatkan
tekanan vena sentral sehingga meningkatkan proses drainase limfatik melewati
duktus thorakis.19
Pasien PEB dalam ventilator dapat mengalami komplikasi lain, yaitu suatu
pneumonia dengan eksaserbasi akut yang dapat disebabkan karena masih adanya
stress oksidatif yang ditandai dengan:
(1) Meningkatnya sekresi mukus terbukti dengan ditemukannya slem
dan ronkhi.
(2) Adanya ronki basah halus yang menandakan masih adanya edema
paru sebagai tanda masih adanya kebocoran plasma di interstisial
xxxix
paru atau belum terevakuasinya seluruh cairan dari jaringan paru-
paru.
(3) Adanya bronkokonstriksi yang ditandai dengan meningkatnya
PCO2 dan menurunnya PO2.
Stres oksidatif yang timbul baik karena proses PEB yang masih berlanjut
ataupun karena adanya infeksi primer di paru, menimbulkan kerusakan jaringan
paru, yang dikatakan bahwa dalam waktu 10 sampai 18 jam akan makin
melemahkan pertahanan paru terhadap infeksi yang ada.20 Oleh karena antibiotik
ceftriaksone tetap diberikan dan rencana pemberian antibiotik selanjutnya sesuai
pemeriksaan kultur resistensi.
Pengukur central venous pressure (CVP), dengan tujuan untuk memantau
kecukupan cairan intravaskuler. Pemantauan invasif seperti ini harus
dipertimbangkan betul-betul untung ruginya, khususnya pada pasien ini dimana
terdapat berbagai faktor dan lebih dari satu mekanisme yang menyebabkan
timbulnya edema paru, bukan hanya karena overload cairan.4 Yang penting adalah
balance cairan negatif dengan input cairan yang tidak berlebihan. Kalaupun CVP
terpasang, harus dilakukan pemantauan agar tekanannya tidak melebihi 5 mmHg
atau 7 CmH2O. Jika CVP lebih dari level tersebut maka harus diberikan diuretik
untuk menurunkannya. Lebih aman membiarkan pasien tersebut “kering”
daripada overload hingga timbul edema paru. Dikatakan bahwa total cairan yang
diberikan seharusnya tidak melebihi 50 ml/jam ditambah output sebelumnya. Jika
pasien mendapat balance positif atau timbul tanda-tanda edema paru maka segera
berikan 40 mg furosemid diikuti dengan pemberian 20 g manitol.11
xl
Edema paru berulang dapat saja terjadi karena memang proses PEB yang
mungkin masih berlanjut, yang dapat diperberat oleh rendahnya tekanan onkotik
intravaskuler karena hipoalbuminemia dan overload cairan dengan balance
positif. Pada saat itu maka segera berikan force diuresis untuk mengurangi
overload dan diberikan antioksidan yaitu N-Acetyl Systein (NAC). Terbukti bahwa
pemberian cairan intravena yang berlebihan yang juga dapat terjadi pada
pemberian albumin berbahaya untuk timbulnya edema paru.4 Hal ini terjadi
karena makin banyaknya cairan yang masuk ke intravaskuler, makin menurunkan
tekanan onkotik, sedang pemberian albumin yang awalnya bertujuan untuk
meningkatkan tekanan onkotik, memang akan meningkatkan tekanan onkotik
pada saat-saat pertama, namun dikhawatirkan pada saat selanjutnya akan terjadi
ekstravasasi albumin karena adanya “kebocoran” endotel sehingga akan menarik
lebih banyak lagi cairan ke ekstravaskuler, yang akan memperberat edema.21
2.11.4 Trombosit
Trombosit ditransfusi jika < 50.000 ingin menjalani sectio caesaria atau <
20.000 ingin partus pervaginam.10 Dapat diberikan morfin 3-4 mg iv (ulang/ 3
jam) pada edema paru. Kuretase post partum secara teoritis dapat dilakukan
dengan pemikiran bahwa lahirnya janin dan plasenta belum cukup menghilangkan
mediator yang menyebabkan preeklamsia. Mediator tersebut masih tersedia dalam
jumlah yang cukup banyak di dalam desidua basalis yang masih dapat
menimbulkan stress oksidatif, yang menyebabkan proses preeklamsia tetap
berlanjut yang dibuktikan dengan:
(1) Adanya eklamsia post partum.
xli
(2) Kembalinya tekanan darah ke tingkat normal yang terjadi lebih cepat
pada pasien yang dilakukan kuretase post partum dibandingkan dengan
yang tidak.
(3) Pasien yang tidak responsif terhadap terapi medika mentosa ternyata
secara klinis terjadi perbaikan setelah dilakukan kuretase post
partum.22,23
Tidak ada ruginya jika selama ANC ibu-ibu hamil diberikan suplemen
kalsium, karena dikatakan bahwa kalsium dapat meningkatkan NO2 yang dapat
mencegah timbulnya preeklamsia, bagaimana farmakodinamiknya belum kami
ketahui. Jika ada riwayat PEB, maka sebelum timbul hipertensi dalam kehamilan
berikutnya boleh diberikan aspilet untuk mencegah timbulnya kekentalan darah.12
2.12. Diagnosis Banding
Diagnosis banding antara preeklampsia dengan hipertensi menahun atau
penyakit ginjal tidak jarang menemui kesukaran. Pada hipertensi menahun adanya
tekanan darah yang meninggi sebelum hamil, pada kehamilan muda atau 6 bulan
post partum akan sangat berguna untuk membuat diagosis. Pemeriksaan
finduskopi juga berguna karena perdarahandan eksudat jarang ditemukan pada
preeklampsia. Kelainan tersebut biasanya menunjukan hipertensi menahun.
Proteinuria pada preeklampsia jarang timbul sebelum triwulan ke-3 sedangkan
pada penyakit ginjal timbul lebih dulu.1
2.13 Komplikasi
Kompilkasi terberat pada preeklampsia adalah kematian ibu dan janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu berupa kemunduran fungsi sejmlah organ
xlii
dan sisitem yang kemungkinan sebagian besar terjadi akibat vasospasme, yaitu
gagal ginjal, sindrom HELLP, eklampsia dan perdarahan otak.8
Sedangkan komplikasi yang dapat terjadi pada janin berhubungan dengan
terjadinya perubahan dalam perfusi darah uteroplasenta akut ataupun kronis yang
bisa menyebabkan pertumbuhan janin intrauterine terhambat dan prematuritas.
2.14 Pencegahan
Pencegahan preeklampsia sepertinya tidak mungkin karena tidak
mungkin karena faktor penyebabnya belum diketahui sampai sekarang. Meskipun
demikian janin dari ibu preeklampsia sebaiknya dikeluarkan saat hipertensi ibu
terkontrol dengan baik, pengaturan aktifitas dan penambahan berat badan dan
antenatal care dan post natal care yang optimal merupakan tindakan yang dapat
mencegah terjadinya preeklampsia.9
Pemeriksaaan antenatal care yang teratur dan teliti dapat menemukan
tanda-tanda preeklampsia dan dalam hal ini harus dilakukan penanganan yang
semestinya. Pemberian aspirin dosis rendah (75 mg) telah dievaluasi secara luas
sebagai obat mencegah preeklampsia. Baru-baru ini antioksidan dosis tinggi,
vitamin C 1000 mg dan vitamin E 400 IU, juga telah sukses digunakan dalam
mengurangi preeklampsia lebih dari 50%. Diet tinggi protein dan rendah lemak,
karbohidrat dan garam serta penambahan berat badan yang tidak berlebihan perlu
dianjurkan.1
2.15 Prognosis
xliii
Pada umumnya baik dengan penatalaksanaan yang tepat. Wanita yang
mengalami preeklampsia selama kehamilannya mempunyai resiko yang tinggi
untuk serangan ulangan pada kehamilan berikutnya. Resiko meninkat 50% pada
wanita yang mengalami preeklampsia pada usia kehamilan muda (sebelum
minggu ke-27).
xliv
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh melalui penulisan makalah tinjauan
kepustakaan ini antara lain :
1. Preeklampsia merupakan salah satu penyebab kematian ibu dan janin.
2. Perlu deteksi dini dalam diagnosis preeklampsia.
3. Saat ini sedang banyak digalakkan penelitian-penelitian mengenai
preeklampsia yang diharapkan akan menjadi titik acuan dalam
pengembangan penatalaksanaan pengobatan preeklampsia sehingaa angka
kejadiannya dapat ditekan.
3.2 Saran
Berbagai penelitian yang mengkaji tentang preeklampsia dari berbagai
tinjauan hendaknya dapat dijadikan sebagai dasar acuan untuk pengembangan
penatalaksanaan preeklampsia di RSUD Ulin Banjarmasin.
.
xlv
DAFTAR PUSTAKA
1. Abalovich M, Gutierrez S, Alcaraz G, Maccallini G, Garcia A, Levalle O. Overt and subclinical hypothyroidism complicating pregnancy. Thyroid. 2002;12:63–8.
2. Alberman E. The epidemiology of repeated abortion. In: Beard RW, Sharp F, editors. Early Pregnancy Loss: Mechanisms and Treatment. London: RCOG Press;1988. p. 9–17.
3. Brenner B, Hoffman R, Blumenfeld Z, Weiner Z, Younis JS. Gestational outcome in thrombophilic women with recurrent pregnancy loss treated by enoxaparin. Thromb Haemost 2000;83:693–7.
4. Brigham SA, Conlon C, Farquharson RG. A longitudinal study of pregnancy outcome following idiopathic recurrent miscarriage. Hum Reprod 1999;14:2868–71.
5. Brocklehurst P, Hannah M, McDonald H. Interventions for treating bacterial vaginosis in pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2000;CD000262.
6. Bussen S, Sutterlin M, Steck T. Endocrine abnormalities during the follicular phase in women with recurrent spontaneous abortion. Hum Reprod 1999;14:18–20.
7. Carp H, Dolitzky M, Tur-Kaspa I, Inbal A. Hereditary thrombophilias are not associated with a decreased live birth rate in women with recurrent miscarriage. Fertil Steril 2002;78:58–62.
8. Carp H, Toder V, Aviram A, Daniely M, Mashiach S, Barkai G. Karyotype of the abortus in recurrent miscarriage. Fertil Steril 2001;75:678–82.
9. Christiansen OB. A fresh look at the causes and treatments of recurrent miscarriage, especially its immunological aspects. Hum Reprod Update 1996;2:271–93.
10. Clifford K, Rai R, Regan L. Future pregnancy outcome in unexplained recurrent first trimester miscarriage. Hum Reprod 1997;12:3 87–9.
11. Clifford K, Rai R, Watson H, Franks S, Regan L. Does suppressing luteinising hormone secretion reduce the miscarriage rate? Results of a randomised controlled trial. BMJ 1996;312:1508–11.
12. Clifford K, Rai R, Watson H, Regan L. An informative protocol for the investigation of recurrent miscarriage: preliminary experience of 500 consecutive cases. Hum Reprod 1994;9:1328–32.
13. Curtis, Michele G.; Overholt, Shelley; Hopkins, Michael P. Glass' Office Gynecology, 6th Edition. 2006. Lippincott: Williams & Wilkins
14. de Braekeleer M, Dao TN. Cytogenetic studies in couples experiencing repeated pregnancy losses. Hum Reprod 1990;5:519–28.
15. de Wolf F, Carreras LO, Moerman P, Vermylen J, Van Assche A, Renaer M. Decidual vasculopathy and extensive placental infarction in a patient with repeated thromboembolic accidents, recurrent fetal loss, and a lupus anticoagulant. Am J Obstet Gynecol 1982;142:829–34.
xlvi
16. Dlugi AM. Hyperprolactinemic recurrent spontaneous pregnancy loss: a true clinical entity or a spurious finding? Fertil Steril 1998;70:253–5.
17. Empson M, Lassere M, Craig JC, Scott JR. Recurrent pregnancy loss with antiphospholipid antibody: a systematic review of therapeutic trials. Obstet Gynecol 2002;99: 135–44.
18. Esplin MS, Branch DW, Silver R, Stagnaro-Green A. Thyroid autoantibodies are not associated with recurrent pregnancy loss. Am J Obstet Gynecol 1998;179:1583–6.
19. Farquharson RG, Quenby S, Greaves M. Antiphospholipid syndrome in pregnancy: a randomized, controlled trial of treatment. Obstet Gynecol. 2002;100:408–13.
20. Grimbizis GF, Camus M, Tarlatzis BC, Bontis JN, Devroey P. Clinical implications of uterine malformations and hysteroscopic treatment results. Hum Reprod Update 2001;7:161–74.
21. Hirahara F, Andoh N, Sawai K, Hirabuki T, Uemura T, Minaguchi H. Hyperprolactinemic recurrent miscarriage and results of randomized bromocriptine treatment trials. Fertil Steril 1998;70:246–52.
22. Homer HA, Li TC, Cooke ID. The septate uterus: a review of management and reproductive outcome. Fertil Steril 2000;73 :1–14.
23. JayapranaY. SC anak mahal karena primipara tua dan abortus berulang. 2007. Diakses pada tanggal 16 Februari 2009 dari http://www.ksuheimi.blogspot.com
24. Jacobsen LJ, DeCherney A. Results of conventional and hysteroscopic surgery. Hum Reprod 1997;12:1376–81.
25. Jurkovic D, Geipel A, Gruboeck K, Jauniaux E, Natucci M, Campbell S. Three-dimensional ultrasound for the assessment of uterine anatomy and detection of congenital anomalies: a comparison with hysterosalpingography and two-dimensional sonography. Ultrasound Obstet Gynecol 1995;5:233–7.
26. Katsuragawa H, Kanzaki H, Inoue T, Hirano T, Mori T, Rote NS. Monoclonal antibody against phosphatidylserine inhibits in vitro human trophoblastic hormone production and invasion. Biol Reprod 1997;56:50–8.
27. Li TC, Spuijbroek MD, Tuckerman E, Anstie B, Loxley M, Laird S. Endocrinological and endometrial factors in recurrent miscarriage. BJOG 2000;107: 1471–9.
xlvii