praktik sistem presidensial km uhamka (2010-2011)

Upload: darja-sudarjat

Post on 07-Jul-2015

358 views

Category:

Documents


34 download

TRANSCRIPT

1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses demokratisasi menjadi bangsa demokratis terus berjalan di Indonesia. Momentum reformasi merupakan awal demokratisasi, demokrasi telah menyentuh ruang-ruang kehidupan berbangsa dan bernegara, tak terkecuali organisasi kemahasiswaan dengan membangun pemerintahan pelajar (student government). UHAMKA sebagai sivitas akademika telah memberikan ruang untuk student government secara independen (lepas dan harusnya tidak ada intervensi).1 Hal tersebut merupakan amanah dari Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 155 /U/1998 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan Di Perguruan Tinggi. Secara formal organisasi kemahasiswaan di UHAMKA dipredikatkan dengan nama Keluarga Mahasiswa layaknya sebuah (KM) dengan sistim pemerintahan negara. Secara literatur pengertian

presidensialisme,2

presidensial memiliki enam karakteristik, yakni: 1) Presiden adalah kepala

Adanya SK Rektor No. 383/D.01.02/ tahun 2010 tentang pedoman pokok bidang kemahasiswaan dan peraturan pokok pemberdayaan lembaga kemahasiswaan UHAMKA merupakan pengulangan dari kejadian kebijakan Orde Baru yang otoriter dalam pemberlakuan NKK dan BKK tahun 1977-1978. Hal ini Merupakan wujud intervensi, dimana antara rektorat dan lembaga kemahasiswaan terpisah atau tidak terstuktur artinya tidak ada wewenang dalam membuat aturan main dalam hal pengaturan KM UHAMKA, hal ini akan menciderai bahkan mengkebiri proses demokratisasi di kampus UHAMKA. 2 Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA Edisi Revisi, 2009, Jakarta. hlm. 21. Tertulis dengan kata bentuk bukan sistim hal ini akan bermakna lain dari hakikat presidensialisme tersebut.

1

1

2

pemerintahan (kepala eksekutif) sekaligus kepala negara. 2) Legislatif adalah pembuat kebijakan sedangkan eksekutif pelaksana kebijakan. 3) Adanya pemisahan kekuasaan antara legislatif dan eksekutif dimana keduanya tidak dapat memaksakan kekuasaannya. 4) Presiden memiliki wewenang untuk memilih pembantu-pembantunya (mentri-mentri) yang mengepalai departemen-

departemen dan bertanggung jawab kepada presiden bukan kepada parlemen. 5) Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. 6) Tidak adanya konsentarsi kekuasaan baik eksekutif ataupun legistalif. 3 Menurut Juan J. Linz ada dua permasalahan dalam praktek

presidensialisme. Di satu sisi presidensialisme memiliki persoalan berkenanaan dengan dual democratic legitimacy, masalah ini karena presiden yang memegang peranan eksekutif dan dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan (apapun bentuk pemilihannya) sedangkan legislatif (unikameral ataupun bikameral) yang juga representasi rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan rakyat sama-sama memegang legitimasi demokrasi. Di sisi lain presidensialisme memiliki persolan mengenai rigidity of presidensialisme system yakni baik presiden maupun legislatif dipilih untuk masa waktu yang telah ditentukan dimana presiden memiliki wilayah independen dari badan legislatif maupun sebaliknya.4

3 Douglas V. Verney, Parliamentary Government And Presidential Government, dalam Arend Lijphart (ed), Parliamentary Versus Presidential Government (New York: Oxpord University Press: 1992), hlm. 44-46. 4 Juan J. linz, Presidential or Parliamentary Democracy: Does At It Make Difference?, dalam Juan J. linz dan Arturo Valenzuela (eds), The Failure Of Presiden Democracy; Comparative Perspektif Voleume 1 (Baltimore and London: The Jhon Hopkins Press, 1994) hlm. 6.

3

Persoalan presidensialisme jika ditarik benang merahnya secara singkat pada akhirnya berhubungan pada tarik menariknya kekuasaan,5 antara eksekutif dan legislatif. Menurut Liddle, presiden memainkan peranan utama, ia bertindak bukan hanya sebagai pengambil keputusan utama eksekutif melainkan juga sebagai inovator atau pencipta kebijakan baru untuk menyelesaikan persoalan besar yang dihadapi masyarakat. 6 Organisasi kemahasiswaan di UHAMKA dalam menjalankan roda organisasinya bersandar pada nilai-nila hukum yang termaktub dalam AD/ART. Sesuai dengan anggaran rumah tangga KM UHAMKA, dalam melaksanakan pemerintahannya KM UHAMKA memakai sistim pemerintahan presidensialisme, yakni diwujudkan dalam Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM UHAMKA yang dikepalai oleh Presiden Mahasiswa (PRESMA), akan tetapi nilai-nilai presidensial tidak dijalankan sepenuhnya, hal ini tercermin dari tidak adanya aturan main yang mengatur secara jelas sistim presidensialisme tersebut bahkan isi (content) baik pasal atau pun ayat/poin dari AD/ART tersebut cenderung keliru sebagai contoh disebutkan: BAB III MAJELIS PERWAKILAN MAHASISWA, Pasal 11 Hak-hak: Memberhentikan Presiden Mahasiswa UHAMKA melalui Sidang Istimewa. Seharusnya dalam sistim presidensialisme MPM KM UHAMKA sebagai badan legislatif tidak berhak memberhentikan Presiden, dan dalam sistim5 Definisi kekuasaan menurut Miram Budihardjo adalah kemampuan seseorang atau kelompok mempengaruhi tingkah laku seorang manusia atau kelompok manusia sedemikian rupa sehingga tingkah lakunya sesuai keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu. Lihat Miriam Budihardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995) hlm. 35. 6 R. Wiliam Liddle. Pemilihan Presiden Langsung, Kompas 8, Maret 200, dalam R. William Liddle, Revolusi Dari Luar (Jakarta: Nalar, 2005), hlm. 131.

4

presidensial antara legislatif dan eksekutif tidak dapat saling menjatuhkan, tetapi hanya sebatas mengusulkan yang berhak adalah sidang umum atau sejenisnya. Hal di atas merupakan sepenggal dari isi AD/ART disamping isi yang lain yang memerlukan koreksi lebih lanjut. Di lain hal UHAMKA terdiri dari sivitas akademika yakni berdiri beberapa fakultas yang menghendaki sub-sub student government tersendiri dengan berbagai macam variannya sehingga student government di tingkat universitas harus melakukan tingkatan pemerintahan dengan istilah desentralisasi pemerintahan baik administratif maupun kekuasaan. Bila meninjau AD/ART hal tersebut sudah diatur secara inplisit, akan tetapi menimbulkan kekeliruan yang subtantif karena ketidakjelasan dalam hal isi dari AD/ART, disebutkan dalam Anggaran Dasar Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka (KM UHAMKA), yaitu: BAB III bentuk, Pasal 7: Bentuk KM UHAMKA adalah wahana pemersatu mahasiswa di dalam lingkungan kampus yang diarahkan pada keorganisasian, keilmuan dan peningkatan kecendikiaan; serta pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Dilihat dari bentukannya KM UHAMKA berbentuk kesatuan, dalam ilmu politik dan ketatanegaraan sewajarnya bila mempredikatkan bahwa KM UHAMKA sebagai miniatur sebuah negara. Selain dari pada itu KM UHAMKA terdiri adanya pemisahan wewenang dan kekuasaan antara pemerintahan universitas dan fakultas KM UHAMKA. Akan tetapi AD/ART KM UHAMKA tidak mengatur secara konferhensif bagaimana pola hubungan antara

pemerintahan universitas dan fakultas KM UHAMKA dari fungsi, wewenang dan tugasnya masing-masing di tengah budaya politik (sistim nilai, pengetahuan, dan

5

orientasi) dari para pelaku organisasi di KM UHAMKA. Disebutkan dalam Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA, yakni: BAB IV hak-hak pasal 7: eksekutif di bawahnya. Memberikan instruksi kepada lembaga

Pengaturan tersebut kiranya sangat sederhana, karena tidak disertai pola hubungan yang bersifat timbal balik, sehingga terjadi beberapa kasus diantaranya dalam aksi sumpah pemuda, tidak ada peran serta sepenuhnya dari setiap fakultas bahkan ketidakhadiran dari ketua BEM FKIP (2010-2011) kala itu. Padahal BEM KM UHAMKA sebagai pemegang kekuasaan eksekutif di KM UHAMKA. Memang hal tersebut tidak ada yang harus dipersalahkan bila pembentukan dari pada bentuk KM sesuai konsensus bersama jangan sampai bentuk KM tersebut seperti di atas awan jauh dari keinginan dan realita para pelaku organisasi terebut. Di lain hal itu semua, dalam hal pembentukan komposisi pemerintahan dari BEM universtias juga adanya masalah. Setelah amandemen AD/ART tahun 2009 menghendaki adanya Wakil Presiden. Akan tetapi tidak dijelaskan secara nyata apa tugas dan wewenang secara pasti. Seorang Wakil Presiden apakah mempunyai tugas tersendiri apa hanya sebatas pembantu (assistance) dari tugastugas Presiden. Hal ini akan menjadi masalah apabila pembentukan pemerintahan BEM KM UHAMKA berasal dari koalisi, karena akan adanya pertentangan kepentingan (class interest) dan berakibat ketidakefektifan dari jalannya pemerintahan.

6

Untuk mengatasi persoalan di atas kiranya perlu meninjau ulang aturan main (law of the game) yakni AD/ART dalam mewujudukan sistim presidensialisme yang seutuhnya dalam perkembangan proses demokratisasi di KM UHAMKA.

B. Rumusan Masalah Permasalahan presidensialisme di KM Uhamka dalam penelitian ini berfokus pada aspek dari presidensialisme, yakni: pertama. Hubungan Presiden Mahasiswa sebagai lembaga eksekutif mahasiswa BEM KM UHAMKA dengan MPM KM UHAMKA sebagai lembaga legislatif yang merupakan representasi dari suprastruktur eksekutif dan legislatif, kedua. Hubungan Presiden Mahasiswa BEM KM UHAMKA dengan pemerintahan fakultas KM UHAMKA dalam mewujudkan bentuk ideal dari KM UHAMKA, ketiga. Hubungan Presiden dengan Wakil Presiden Mahasiswa karena dalam AD/ART memposisikan keduanya independen dalam interdepedensi. Secara garis besar penelitian ini akan melihat praktik presidesialisme KM UHAMKA bermasalah, karena konsititusi (AD/ART) yang mengatur lembaga eksekutif dan legislatif (yakni MPM/DPM dan Presiden/ketua BEM fakultas/ketua HIMA) serta otonomi fakultas antara BEM U dan BEM F/HIMA antara MPM dan DPM pasca amandemen AD/ART 2009. Berdasarkan AD/ART tersebut tidak adanya konsistensi dari sistim presidesialisme. Konteks-konteks permasalahan akan diperjelas dalam pembahasan dan analisa AD/ART.

7

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka pertanyaan penelitian yang akan diangkat dalam penelitian ini menyangkut tafsiran AD/ART mengenai hal, sebagai berikut: 1. Bagaimana hubungan Presiden BEM dengan MPM KM UHAMKA

sebagai representasi dari supra struktur eksekutif dan legislatif ? 2. Bagaimana hubungan Presiden BEM dengan pemerintahan fakultas KM UHAMKA? 3. Bagaimana AD/ART mengatur hubungan Presiden dengan Wakil Presiden Mahasiswa KM UHAMKA?

C. Pembatasan Masalah Penulisan ini terbatas pada praktik sistim presidensialisme BEM KM UHAMKA masa Pemerintahan Oki Irawan - Darja Sudarjat (2010-2011) karena penelitian dilakukan masa pemerintahan tersebut. Maka terbatas pada bulan Mei 2011. Sampai penulisan ini dibuat, pemerintahan Oki - Darja belum berakhir sehingga masih banyak kemungkinan perubahan terjadi pada waktu berikutnya.

D. Signifikansi Penelitian Pentingnya penulisan ini berkaitan dengan penjelasan, pertama. Dari permasalahan praktik sistim presidensialisme selepas amandemen AD/ART KM UHAMKA tahun 2009. Pada praktiknya ada banyak kasus yang mencerminkan adanya masalah dari sistim presidensialisme yakni persinggungan antara Presiden Mahasiswa dengan MPM, BEM/HIMA dengan DPM KM UHAMKA. Lembaga

8

BEM

Universitas

atau

kepresidenan

cenderung

diperlemah

melalui

ketidaksinkronan dari AD/ART. Disatu sisi memakai sistim presidensialisme tapi kewenangannya dipersempit dari pada kewenangan MPM KM UHAMKA sebagai lembaga legislatif, di satu sisi memakai bentuk kesatuan akan tetapi kewenangan BEM KM UHAMKA sebagai pemerintah pusat lemah karena adanya

desentralisasi dari otonomi fakultas, kedua. adanya pemahaman yang lebih mendalam mengenai mekanisme Trias Politika, yakni hubungan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif, hubungan pemerintahan mahasiswa tingkat universitas dan fakulktas. Kajian ini penting karena akan membahas peran dan fungsi dari badan-bandan yang berada pada level-level tertentu. Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan dalam ilmu politik, terutama kajian tentang pemerintahan pelajar (government student) di KM UHAMKA.

E. Tujuan Penelitian Tujuan utama dari penelitian ini adalah menjawab dari pertanyaan penelitian dengan melihat posisi dan praktik presidensialisme dalam KM UHAMKA. Beserta penjelasan kasus, guna mendapati faktor-faktor penyebab permasalahan terjadi. Langkah berikutnya kemudian dianalisa bagaimana faktor tersebut menjadi sumber permasalahan yang ada untuk mencari jawaban permasalahan. Tujuan lain dari penelitian ini antara lain, pertama memberikan kontribusi sumbangan pemikiran akan pemecahan masalah akan sistim politik student government yang dihadapi KM UHAMKA. Kedua memberikan andil akademik atas studi lembaga perwakilan politik mahasiswa UHAMKA sebagai

9

wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawanan serta integritas kepribadian untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi

10

BAB III TINJAUAN LITERATUR

A. Konsep Demokrasi dan Presidensialisme Tujuan akhir dari demokrasi adalah representatif, dimana di dalamnya terdapat konsep-konsep mandat dan akuntabilitas, yang akan diwujudkan melalui mekanisme election/pemilihan.7 Hubungan antara demokrasi dan representasi adalah pemerintahan yang demokratis pasti akan representastif-pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat-karena mereka dipilih rakyat (dengan catatan pemilihan dilakukan secara bebas, masyarakat berpartisipasi secara luas, dan memilki kebebasan politik). Hal yang dapat memengaruhi keberlangsungan demokrasi sendiri adalah penyusunan institusi. Menurut Adam Przerowski (1995) sebagi berikut: Democracy is suistainable when its institutional framework promotes normatively desired objecktives, but also when its intutional are adept at handing crises that occur when such objecktives are nit being fulfilled.8 Para ilmuan politik banyak yang menyarankan bermacam bentuk penyusunan institusi yang secara umum harus memenuhi bentuk yang demokratis.9 Pemilihan desain yang berbeda akan menghasilkan demokrasi dan

Bernard Mani, Adam Przerowski, dan Susan C. Stokes, election and representasi, dalam Adam Przerowski, S. Manin, (eds), democracy, accountability, and representation, (Cambridge: Cambridge University Press: 1999), hlm. 29-51. 8 Adam Przerowski, Sustainable Democracy, (New York: Cambridge University Press:1995), hlm. 107. 9 Kathrine Belmont, Scott Mainwaring, dan Andrew Reynold, Introduction: Institutional Design, Conflict Management, and Democeacy, dalam The Architecture Of Democracy Institutional Design, Conflict Management, and Democeacy, ed. Andrew Reynold, (New York: Oxford University Press, 2002), hlm. 3.

7

10

11

durasi rezim yang berbeda pula.10Desain institusi adalah pemilihan aturan dalam membuat keputusan bersama.11 Pilihan secara nyata terlihat dalam pemilihan sistim institusi,

presidensialisme atau parlementerisme.12Presidensialisme dipilih karena dapat memuaskan aspirasi demokratis dengan adanya pemilihan langsung eksekutif dan legislatif, adanya jaminan keamanan dalam melawan tirani dengan

pemisahan/pembagian kekuasaan, kesempatan untuk mengartikulasikan dan menginstitusionalisasikan kekuasaan tertinggi berdasarkan pilihan langsung rakyat, dan memenuhi syarat pemerintahan representatif.13 Carlos Santiago Nino mengasumsikan bahwa dalam presidensialisme memungkinkan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden, jika kekuasaan terkonsentrasi secara ekstrem dapat menciptakan hypertpresident.14Menurut Carlos Nino, presiden dalam

presidensialisme harus dikurangi dengan cara merubah sistem presidensialisme, dan jalannya fokus pada perubahan konstitusi.15 Dalam sistim presidensialisme ataupun parlementerisme, jalannya

pemerintahan bersandar pada prinsip dasar pada konstitusi, prinsip dasar ini menjadi paktor utama dalam membentuk jalannya pemerintahan dengan sistim

Josep M Colomer, Institutional Design, dalam Todd Landmann dan Neil Robinsons (eds) Handbook Of Comparative Politics (Sage, 2008), hlm. 20. 11 Ibid., hlm. 1. 12 Bernard Mani, Adam Przerowski, dan Susan C. Stokes, Election And Representasi, dalam Adam Przerowski, S, Manin, (eds), Democracy, Accountability, And Representation, Op.Cit., ,hlm. 19-20. 13 Pemerinatahan dikatakan representative karena dipilih oleh rakyat. Lihat Kurt Von Mattenheim, Presidential Institutions And Democratic Politics, dalam Kurt Von Mattenheim (ed), Presiden Institutional And Democratic Politics; Comparing Region And National Contexts, (London: Jhon Hopkins University Press, 1997), hlm.1. 14 Arend Lijphart dan Carlos Waisman, Institutional Design and Democratization. hlm. 9. 15 Ibid., hlm. 9.

10

12

tersebut yang akan membedakan hasil keduanya.16Donald Horowits melihat institutionalisasi dalam proses menuju demokrasi, dari sini pentingnya desain konstitusi. Desain konstitusi berpengaruh pada distribusi kekuasaan dan siapa yang mendapat kekuasaan, mengingat institusi politik yang diatur dalam tubuh konstitusi, mengatur ada tidaknya konflik.17

B. Hubungan Eksekutif dan Legislatif Dalam Sistim Presidensialisme Kekuatan presidensialisme menurut Lijphart (1999) didapat dari tiga sumber, yakni: 1) Kekuasan Presiden terdapat dalam konsitusi, di dalamnya terdapat reactive power, presidential veto power, dan pro active power. 2) Kekuatan dan kohesi partai dalam legislatif, dan 3) Perhitungan kekuatan yang didapat dari dukungan pemilih (voters) dalam pemilihan yang dapat diklaim bahwa presiden adalah pejabat publik yang mendapat dukungan dari rakyat secara keseluruhan.18Legislatif juga memiliki kekuatan yang sama, yakni: legislatif secara terorganisir berisikan partai-partai politik yang dipilih oleh rakyat (voters) dalam pemilihan memainkan peranannya sebagai pembuat undang-undang, yang dapat membuat ataupun menentukan kebijakan atas nama rakyat.19 Bahaya dari sistim presidensialisme antara lain dual democratic legitimacy yakni eksekutif dan legislatif dalam sistim presidensialisme memiliki legitimasi

Jose Antonio Cheibub, Fernando Limongi, Democratic Institutions and Regime Survival: Parlimentary and Presidential Democraties Reconsidered, Annual Review or Political Science ( New Heaven dan Sao Paolo: Yale University and Universida De Sao Paolo, 2002), hlm. 2. 17 Donalld Horowitz, Constitutional Design, dalam Andrew Reynold (ed), The Arsitecture of Democracy, Op. Cit., hlm. 35 -36. 18 Alend Lijphart, Pattern Of Democracy; Governments Forms and Perfomance and Thirty-Six Counties, (Newm Heaven and London: Yale University Presss), hlm. 127-128. 19 Juan J. Linz, Presidential or Parlementary of Democracy, Loc.Cit., hlm. 7.

16

13

demokrasi yang sama, ada kemungkinan mayoritas dalam legislatif memiliki perbedaan dalam hal kebijakan dengan presiden, kemudian the perils of

presidentialism, yakni: pertama. Presiden akan sangat kuat mengklaim memiliki legitimasi dalam demokrasi, walaupun hanya berdasarkan hitungan jumlah suara, kedua memungkinkan presiden membangun lembaga kepresidenan dengan proporsional yang lemah dalam waktu yang tetap dan mengalami kekakuan (rigidity). Presidensialisme juga dibagun dengan mekanisme zero sum game20 dan mental winner take all. Permasalahan tersebut berpotensi menimbulkan konflik dimana akan menciptakan kesenjangan tajam anatara pihak pemenang dengan pihak yang kalah, yang pada akhirnya menciptakan kerenggangan dan polarisasi pemerintahan. Dalam sistim presidensialisme akuntabilitas dapat tercapai melalui dua hal yang berkaitan dengan hubungan institusi, yakni check and balanced dari kekuasan institusional, dan ada pemisahan kekuasaan antara dua cabang pemerintahan.21 Penjelasan teori adalah sebagai berikut: pertama, presidensialisme membawa unsur majoritarianism, yakni pemusatan kekuasaan pada mayoritas. Ketika presiden mempresentasikan kekuasaan mayoritas, maka akan terciptalah presiden20

yang

sangat

powerfull.22

Kedua

presidensialisme

dapat

pula

Situasi zero dalam zero sum games adalah situasi dimana terdapat variable-variabel seperti mayoritas dan deadlock dalam situasi tidak ada satu partaipun yang mayoritas mutlak (lebih dari 1/3 jumlah keseluruhan kursi). Lihat Adam Przerowski, Michael El Vares, Jose Antonio Cheibub, Fernando Limongi, Democracy and Development; Op.Cit., hlm. 134. 21 Davids Samuels, Presidents, Assembly, and Accountability, Working Papper (Minneapolis: Departemen of Political Science, University of Minnesota, 2003), hlm. 21-22. 22 Alen Lijphart, Presidentialism and Majoritarian Democracy, Theoretical Observations, dalam Juan J. Linz dan Arturo Valenzuela (eds), The Failure of Presidential Democracy. Op. Cit. hl. 95.

14

menghasilkan pemisahan kekuasaan, ketika legislatif terorganisir secara efektif dengan baik. Kondisi ini akan menciptakan balanced of power.23

C. Bentuk Negara Dalam bebrbagai literatur bahwa bentuk negara telah di klasifikasikan menjadi negara konfederasi, kesatuan, dan federalisme. Konfederasi menurut L. Oppenheim konfederasi terdiri dari beberapa negara yang berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kemerdekaan ekstern dan intern, bersatu atas dasar perjanjian internasional yang diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota konfederasi, tetapi tidak terhadap warga negara-negara anggota itu.24 Dan negara kesatuan menurut C.F. Strong, ialah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif

nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak ada pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistim desentralisasi),25 tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap ditangan pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan kedalam maupun keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat.2623

Ibid., hlm. 102. Miriam Budihardjo, Op.Cit., hlm. 139. 25 Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 26 Miriam Budihardjo, Op.Cit., hlm. 140.24

15

Sementara negara federalisme menurut C.F. Strong, salah satu ciri negara federal ialah menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya bertentangan yaitu kedaulatan negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan negara-negara bagian. Penyelenggaraan kedaulatan keluar diserahkan sepenuhnya kepada pemerintahan federal, sedangkan pemerintahan kedalam dibatasi. Dalam buku Federal Government K.C. Wheare mengatakan bahwa prinsip federal ialah kekuasaan dibagi sedemikian rupa, sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian dalam bidang-bidang tertentu adalah bebas satu sama lain. Jadi pada pokoknya ciri yang terpenting dari negara federal ialah bahwa kekuasaan pemerintah dibagi antara kekuasaan federal dan kekuasaan negara bagian.27

D. Presiden dan Wakil Presiden Dalam Sistim Presidesialisme Permasalah presiden dan wakil presiden kerap kali terjadi dalam sistim presidensialisme. Dalam melihat hal ini argumentasi dari Juan J. Linz (1994) bisa tepat untuk menganalisa. Menurut Linz, problematik antara presiden dan wakil presiden dapat terjadi dalam situasi-situasi: 1) situasi ketika wakil presiden dipilih secara terpisah atau mempresentasikan pilihan politik, koalisi, atau partai berbeda dari presiden, 2) kemudian Presiden dipaksakan sebagai running mate dimana wakil presiden memilki andil menyukseskan presiden dan meningkatkan dukungan suara bagi presiden sebagai kandidat tanpa pemilu, tanpa kesepakatan yang pasti mengenai kewenangan dalam menjalankan kekuasaannya sebagai eksekutif ketika terpilih, 3) kompleksitas permasalahan bertambah parah ketika

27

Ibid., hlm. 141.

16

wakil presiden adalah pemberi sumbangsih dari kesuksesan presiden ketika presiden dalam kondisi inability atau tidak berdaya, 4) masalah ini semua hanya muncul ketika konstitusi tidak mengatur pemisahan antara presiden dan wakil presiden yang memungkinkan presiden dan wakil presiden kandidat dari partai yang berbeda ataupun koalisi yang berbeda.28

E. Krisis Presiden Dalam Sistim Presidensialisme Kondisi dimana presiden didukung oleh koalisi yang mendukungnya menjadi presiden, hubungan eksekutif dan legislatif yang membangkitkan impeachment walapun berjalan secara halus.29 Scott Mainwaring (1990; 1993) mengatakan presiden tidak memiliki jalan yang ditempuh untuk menyelesaikan masalah ketika berada dalam situasi jalan buntu deadlocks situations dengan parlemen. Akhirnya jalan satu-satunya yang dapat ditempuh oleh legislatif dalam melakukan perlawanan terhadap presiden adalah impeachment (prosedur kriminal untuk menghadapi presiden ketika memiliki program tidak sejalan). Dalam kondisi ini presiden menghadapi situasi krisis.30 Impeachment dalam sistim presidensialisme berbeda dengan sistim parlementerisme (dimana ada mosi tidak percaya). Impeachment harus memiliki trigger (pemicu) berupa skandal, kemudian harus dilihat bagaimana gerakan masyarakat, dan dukungan legislatif kepada presiden. Keberhasilan impeachment

Juan J. Linz, Presidential or Parlementary of Democracy, Loc.Cit., hlm. 33 Anibal Perez-Linan, Presidential Crises and Political Accountability in Latin America (1990-1997), Working Papper, (Indiana: Departement of Government and International Studies, University of Notre Dame, 1998 ), hlm. 16. 30 Scott Mainwaring, Presidentialism, Multypartai System, and Democracy: The Difficult Equation, loc. Cit., hlm. 11.29

28

17

juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor tersebut.31 Linan (1980) memperlihatkan hubungan dalam tabel berikut: Table 1: Potensi krisis akibat impeachment32 No Skandal Kebijakan Presiden sukses Desakan rakayat Dukungan legislatif pada Presiden Kuat Lemah Hasil

1 2

Ada Ada (tapi lemah) Ada

Ada Ada

Lemah Lemah

3

Tidak ada

Agak kuat

Kuat

4

ada

Tidak ada

kuat

lemah

Tidak terjadi krisis Parlemen gagal mendesak krisis Presiden bertahan dalam krisis Impeachment, presiden jatuh

Table 1 di atas memperlihatkan bahwa skandal dapat menjadi pemicu krisis dalam impeachment akan tetapi hal ini juga dipengaruhi oleh opini publik. Lebih jauh lagi, opini publik bergantung dari kebijakan dibuat (sukses atau tidak suksesnya). Keimpulannya krisis dalam impeachment terjadi ketika Presiden menghadapi skandal yang dikombinasikan dengan kuatnya desakan publik dan dukungan legislatif yang lemah. Ada tiga skenario yang dapat terjadi berkaitan dengan parlemen dan impeachment. Parlemen menyeruakan skandal yang dilakukan oleh presiden tetapi publik tidak mendukung parlemen, kedua publik bersatu melawan presiden namun eksekutif masih dapat melaukan lobby -lobby

31 Anibal Perez-Linan, Presidential Crises and Political Accountability in Latin America. Loc. Cit., hlm. 17. 32 Ibid.,hlm. 20.

18

untuk meminta dukungan parlemen. Dan skenario yang paling berbahaya adalah ketika presiden menghadapi gerakan rakyat dan parlemen sebagai musuhnya.33 Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat disimpulkan proses menuju impeachment dimulai ada tidaknya pemicu berupa skandal. Jika tidak, krisis tidak akan terjadi. Namun jika ada harus dilihat bagaimana reaksi rakyat terhadap presiden dan dukungan legislatif kepada presiden. Jika tidak ada reaksi dari rakyat dan legislatif mendukungan presiden maka krisis tidak akan terjadi, namun jika tidak ada reaksi dari masyarakat dan legislatif tidak mendukung maka yang tercipta presiden masih diijinkan berkuasa. Akan tetapi jika ada reaksi dari rakyat dan legislatif tidak mendukung presiden maka posisi presiden berbahaya, sebaliknya jika ada reaksi dari rakyat namun legislatif masih mendukung maka presiden masih bisa bertahan dalam krisis.34

33 34

Ibid., hlm. 17. Ibid. hlm. 21.

19

BAB III METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersipat deskriptif karena berusaha untuk menjelaskan seberapa lemah/kuat praktik presidensialisme di KM UHAMKA dengan menganalisa AD/ART. A. Sumber Data Dalam hal sumber data yang dimaksud berupa buku, jurnal, karya tulis ilmiah, dan internet yang berkaitan dengan masalah penelitian. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan studi kepustakaan yang bersumber kepada buku sebagai sumber utama, AD/ART KM UHAMKA, dan situs internet sebagai sumber pendukung. Sebagain besar sumber data tersebut didapat dari perpustakaan FISIP UI, dan Perpustakaan UHAMKA.

19

20

BAB IV ANALISIS

A. AD/ART Mengatur Hubungan Presiden Mahasiswa dengan MPM KM UHAMKA Dalam trias politica menganggap bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan: pertama, kekuasaan legislatif atau kekuasaan membuat undang-undang (rule making function); kedua, kekuasaan eksekutif atau melaksanakan undang-undang (rule application function); ketiga, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjudication function). Doktrin ini untuk pertama kali dikemukakan oleh Jhon Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755). 35 Praktik presidensialisme di KM UHAMKA 2010-2011 telah menghasilkan Presiden Mahasiswa yang lemah jika berhadapan dengan legislatif (MPM KM UHAMKA), dan tidak dapat dilepaskan dari adanya amandemen AD/ART 2009. Semenjak amandemen AD/ART tersebut, secara tidak langsung membuat praktik presidensialisme bermasalah. Amandemen AD/ART 2009 merupakan salah satu faktor penyebab kelemahan praktik presidensialisme pada era pemerintahan BEM KM UHAMKA di bawah kepemimpinan Oki-Darja, sebab seperti yang dikatakan Donald Horowitz, jalannya pemerintahan sistim presidensialisme bersandar pada prinsip dasar konstitusi. Aturan-aturan dasar ini merupakan faktor pembentuk roda sistem pemerintahan dijalankan, yang akan membedakan hasil ( utcomes) o keduanya. Desain konstitusi akan memengaruhi ditribusi kekuasaan, apa dan siapa35

Miriam Budihardjo, Op.Cit., hlm.158.

20

21

yang mendapat kekuasaan, mengingat hubungan institusi politik diatur dalam tubuh konstitusi. Potensi ada dan tidaknya potensi konflik dan bagaimana penyelesaiannya dalam hubungan konstitusional tersebut, amat bergantung bagaimana konstitusi mengatur. Organisasi kemahasiswaan KM UHAMKA telah mendisain peranan konstitusi (AD/ART) dalam mengatur jalannya roda organisasi tersebut. AD/ART akan mengatur bagaimana hubungan lembaga eksekutif (BEM U, BEM F, dan HIMA), legislatif (MPM/DPM), dan yudikatif berjalan dalam sebuah sistem. AD/ART KM UHAMKA juga harus dapat memberikan aturan yang jelas mengenai pola hubungan institusonal diantara trias politica institusi yang dimiliki KM UHAMKA. Amandemen AD/ART 2009 telah memberikan kewenangan kepada MPM KM UHAMKA untuk mendominasi jalannya fungsi legislasi dan kehakiman sehingga melemahkan fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga eksekutif yang ada. Untuk itulah amandemen AD/ART 2009 menghasilkan eleminasi pemusatan ditangan legislatif yakni MPM KM UHAMKA dengan menambahkan kewenangan legislatif untuk dapat mengintervensi kekuasaan eksekutif dan yudikatif. MPM KM UHAMKA memiliki kewenangan yang berpotensi untuk mengintervensi urusan eksekutif dan yudikatif. Praktik presidensialisme memang bercirikan pemusatan jalannya pemerintahan di tangan presiden. Dengan kewenangan MPM KM UHAMKA yang begitu besar bukan tidak mungkin akan

22

menimbulkan presidensialisme.

masalah

dikemudian

hari

berkaitan

dengan

praktik

Sesuai dengan Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA, dalam melaksanakan pemerintahannya KM UHAMKA memakai sistim pemerintahan presidensialisme, yakni diwujudkan dalam Badan Eksekutif Mahasiswa KM

UHAMKA yang dikepalai oleh Presiden Mahasiswa (PRESMA), akan tetapi nilai-nilai presidensial tidak dijalankan sepenuhnya, hal ini tercermin dari tidak adanya aturan main yang mengatur secara jelas sistim presidensialisme tersebut bahkan isi (content) baik pasal atau pun ayat dari AD/ART tersebut cenderung keliru sebagai contoh disebutkan: BAB III MAJELIS PERWAKILAN MAHASISWA, Pasal 11 Hak-hak: Memberhentikan Presiden Mahasiswa Uhamka melalui Sidang Istimewa.36 Seharusnya dalam sistim presidensialisme MPM KM UHAMKA sebagai badan legislatif tidak berhak memberhentikan Presiden Mahasiwa, dan dalam sistim presidensial antara legislatif dan eksekutif tidak dapat saling menjatuhkan, tetapi hanya sebatas mengusulkan yang berhak adalah sidang umum atau sejenisnya. Hal di atas merupakan sepenggal dari isi AD/ART disamping isi yang lain yang memerlukan koreksi lebih lanjut. Jika dilihat banyak hal dalam kewenangan MPM KM UHAMKA yang menjadi terlalu powerfull untuk sistim yang menamai dirinya presidensial. Dalam hal perancangan AD/ART di KM UHAMKA, Presiden Mahasiswa tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan dan membahas rancangan AD/ART. Padahal

Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA Edisi Revisi, 2009, Jakarta, hal. 29.

36

23

menurut Lidjpart (1999) salah satu sumber kekuatan presiden dalam sistim presidensial adalah presidential veto power. Jika hak veto presiden tidak lagi kuat maka berarti ikut juga mematikan power presiden dalam menentukan keputusan berkaitan dengan suartu kebijakan. Hak veto bisa digunakan presiden untuk mengambil sikap (bisa menerima, menolak, dan merumuskan kembali) jika ada suatu kebijakan yang tidak sesuai dengan programnya.37 Pasca amandemen AD/ART 2009 semakin menegaskan praktik sistim presidensialisme dijalankan oleh sistem KM UHAMKA. Pemilihan langsung oleh mahasiswa dan masa jabatan pasti yang tidak dapat dicabut oleh pemungutan suara di (parlemen) MPM KM UHAMKA merupakan bentuk penguatan atas kekuasaan Presiden Mahasiswa sebagai kepala eksekutif yang juga berarti penegasaan pelaksanaan sistim presidensialisme. Hal ini menyatakan bahwa posisi Presiden Mahasiswa tidak mudah diberhentikan. Adapun prosedur pemberhentian presiden tidak diatur baik bersifat politis dan legal (seperti melanggar AD/ART dan peraturan di bawahnya) ataupun kriminal (bila presiden terbukti melakukan penghianatan, korupsi, tindak pidana, dan perbuatan tercela, serta tidak lagi memenuhi syarat menjadi presiden). Selain dari pada itu syarat suara pun tidak diatur dimana usulan pemberhentian presiden mahasiswa oleh MPM KM UHAMKA harus diajukan terlebih dahulu kepada Mahkamah Mahasiswa38 sebagai badan yudikatif untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan pendapat atas usulan MPM KM UHAMKA. Jika Mahkamah

Arend Lijphart, Pattern Of Democracy; Governments Forms and Perfomance and Thirty-Six Counties, (Newm Heaven and London: Yale University Presss). hal. 50. 38 Amandemen AD/ART KM UHAMK 2009 yang mencatumkan lembaga Mahkamah Mahasiswa namun lembaga itu sendiri belum terbentuk sampai tulisan ini diterbitkan.

37

24

mahasiswa (MM KM UHAMKA) memutuskan presiden mahasiswa bersalah kemudian diteruskan kepada putusan MPM KM UHAMKA dengan syarat dihadiri oleh 3/4 anngota MPM KM UHAMKA dan disetujui oleh sekurangkurannya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. Dengan semangat zero sum game sederet kewenangan dan hak-hak yang dimilki MPM KM UHAMKA, kemungkinan memperdulikan MPM KM UHAMKA bertindak secara KM sepihak tanpa

putusan

Mahkamah

Mahasiswa

UHAMKA dalam

menjatuhkan Presiden Mahasiswa BEM KM UHAMKA.

B. Hubungan BEM Dengan Pemerintah Fakultas KM UHAMKA UHAMKA terdiri dari sivitas akademika yakni berdiri beberapa fakultas yang menghendaki sub-sub student government tersendiri dengan berbagai macam variannya sehingga student government di tingkat universitas harus melakukan tingkatan pemerintahan dengan istilah desentralisasi pemerintahan baik

administratif maupun kekuasaan. Bila meninjau AD/ART hal tersebut sudah diatur secara implisit, akan tetapi menimbulkan kekeliruan yang subtantif karena ketidakjelasan dalam hal isi dari AD/ART, disebutkan dalam Anggaran Dasar (AD) Keluarga Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr Hamka (KM UHAMKA), yaitu: BAB III bentuk, Pasal 7: Bentuk KM UHAMKA adalah wahana pemersatu mahasiswa di dalam lingkungan kampus yang diarahkan pada keorganisasian, keilmuan dan peningkatan kecendikiaan; serta pembinaan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.39

Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA Edisi Revisi, 2009, Jakarta, hal. 15

39

25

Dilihat dari wujud, model dan pembentukannya

KM UHAMKA

merupakan miniatur sebuah negara. Dalam teori-teori klasik dituliskan bentuk negara paling tidak mempunyai bentuk dengan berbagai karakteristiknya yakni negara berbentuk konfederasi, federalisme, dan kesatuan. Dan negara kesatuan menurut C.F. Strong, ialah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif

nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintahan pusat dan tidak ada pemerintahan daerah. Pemerintahan pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi (negara kesatuan dengan sistim desentralisasi),40 tetapi pada tahap terakhir kekuasaan tertinggi tetap ditangan pemerintah pusat. Jadi kedaulatannya, baik kedaulatan kedalam maupun keluar, sepenuhnya terletak pada pemerintahan pusat.41 Bila dianalisa teori dari Bentuk negara kesatuan dipraktekan dalam KM UHAMKA, akan tetapi mempunyai banyak kelemahan, baik dalam aturan main yakni AD/ART sampai pada praktiknya, contoh kasus dalam aksi sumpah pemuda, tidak ada peran serta sepenuhnya dari setiap fakultas bahkan ketidakhadiran dari ketua BEM FKIP (2010-2011) kala itu. Padahal BEM U menurut ART KM UHAMKA mempunyai hak intruksi (kekuasaan) penuh sesuai bentuk kesatuan.

Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RepublikIndonesia. Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. 41 Miriam Budihardjo, Op.Cit., hlm. 140.

40

26

Pasal 17 tentang Hak-hak poin lima (5): Memberikan instruksi kepada lembaga eksekutif di bawahnya.42 wajar bila kala itu PRESMA UHAMKA (2010-2011) Oki Irawan berujar BEM U tidak mempunyai masa, contoh lain dalam hal pemakaian lapangan futsal FE dalam acara Uhamka super Legue (USL) harus melewati birokasi BEM fakultas seperti dalam hal administratif, padahal dalam bentuk organisasi KM UHAMKA (negara) kesatuan seharusnya memberikan keleluasaan secara penuh terhadap BEM U karena kekuasaan sepenuhnya berada di BEM Universitas bila menafsirkan dari anggaran dasar bab III pasal 7, contoh terakhir kurangnya partispasi badan-badan lain, baik eksekutif maupun legislatif dalam acara Silatwil bahkan Wakil Presiden mahasiswa yakni Darja Sudarjat harus menarik-narik peserta yang kala itu wakil ketua HIMA Bahasa dan Seni (2010-2011) guna mendengarkan materi yang disampaikan pembicara, sekalipun pembicara tersebut ketua PP Muhammadiyah Prof. Dr. Din Syamsudin. Memang hal tersebut tidak ada yang harus dipersalahkan bila pembentukan dari pada bentuk KM sesuai konsensus bersama jangan sampai bentuk KM tersebut seperti di atas awan jauh dari keinginan dan realita para pelaku organisasi terebut.

C. Hubungan Presiden Mahasiswa Dengan Wakil Presiden Mahasiswa Dumvirate dalam banyak kamus menunjukan arti persekutuan dua orang saling bekerjasama dalam memimpin sebuah sebuah pemerintahan secara bersama-sama. Kita terjemahkan dalam persoalan pemerintahan BEM KM UHAMKA masa Oki-darja, maka duumvirate diartikan sebagai dwitunggalMajelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA Edisi Revisi, 2009, Jakarta, hal. 3342

27

kepemimpinan KM UHAMKA. Oki Irawan sebagai Presiden Mahasiswa dan Darja Sudarjat sebagai wakil Presiden Mahasiswa KM UHAMKA yang memegang kendalai Badan Eksekutif Mahasiswa KM UHAMKA. Dwitunggal ini diraih secara konstitusional atau AD/ARTutisional dan legitimasi besar. Setelah amandemen AD/ART tahun 2009 menghendaki adanya Wakil Presiden Mahasiswa sesuai peran dan fungsinya. Akan tetapi tidak dijelaskan secara nyata apa tugas dan wewenang secara pasti. Seorang Wakil Presiden Mahasiswa apakah mempunyai tugas tersendiri apa hanya sebatas pembantu (assistance) dari tugas-tugas Presiden Mahasiswa. Sebagaimana tertulis di AD/ART: BAB IV BADAN EKSEKUTIF MAHASISWA Pasal 13 Struktur Badan Eksekutif Mahasiswa UHAMKA sekurang kurangnya terdiri dari : 1) Presiden Mahasiswa (PRESMA); 2) Wakil Presiden Mahasiswa (Wapresma); Pasal 14 Presiden Mahasiswa dan Wakil Presiden Mahasiswa dipilih melalui Pemilu raya.43 Bila melihat aturan yang ada di AD/ART di atas tidak jelas mana tugas pokok dan fungsinya (TUPOKSI). Hal ini akan menjadi masalah apabila pembentukan pemerintahan BEM KM UHAMKA berasal dari koalisi, karena akan adanya pertentangan kepentingan (class interest) dan berakibat

ketidakefektifan dari jalannya pemerintahan. Kegelisahan akan hal ini pernah disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Mahasiswa BEM KM UHAMKA periode 2009-2010 yang mengatakan: kurang efektif keberadaan Wakil Presiden Mahasiswa dalam KM UHAMKA.Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA Edisi Revisi, 2009, Jakarta, hal. 30.43

28

Pada masa pemerintahan Oki-Darja, pasangan ini sepakat menjadi satu visi dan misi dalam pasangan calon dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa pada PEMIRA KM UHAMKA tahun 2010, memang banyak kalangan yang menaruh harapan besar atas kesuksesan dwitunggal kepemimpinan OkiDarja. Oleh karena itu setiap pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa harusnya memilki semacam kontrak politik. Dan Seharusnya pula AD/ART menjamin adanya pembagian tugas yang jelas antara Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa BEM KM UHAMKA. Sehingga dalam menjalankan pemerintahan di BEM KM UHAMKA tidak berujung pada ketegangan internal terhadap dwitunggal kepemimpinan eksekutif di KM UHAMKA. Bila menggunakan pisau analisis yang dikatakan oleh Linz (1994) Gejala ini dapat terbaca, ia bahwa problematik presiden dan wakil presiden dapat terjadi dalam situasi-situasi: 1. Ketika wakil presiden dipilih secara terpisah atau mempresentasikan pilihan politik, koalisi, dan partai yang beda dari presiden. 2. Kemudian presiden dan wakil presiden dipaksakan sebagai running mate, dimana wakil presiden punya andil dalam menyukseskan presiden dan meyukseskan presiden dan dukungan suara bagi presiden sebagai kandidiat pasangan peserta pemilu, tanpa kesepakatan yang pasti mengenai kewenangan dalam menjalankan kekuasaannya sebagai eksekutif ketika terpilih. 3. Selanjutnya kompleksitas permasalahan bertambah parah jika wakil presiden pemberi sumbangsih jika presiden dalam keadaan inability atau tidak berdaya.

29

4. Masalah-masalah ini semuanya akan mucul ketika konstitusi mengatur pemisahan pemilihan presiden dan wakil presiden yang memungkinkan presiden dan wakil presiden merupakan kandidat dari koalisi atau partai yang berbeda. Pertama, presiden mahasiswa Oki Irawan dan wakil presiden Darja Sudarjat merupakan pasangan pada PEMIRA KM UHAMKA 2010

diselenggarakan, yang mempersentasikan fakultas (dukungan) yang berbeda. Seperti telah diketahui bahwa Oki Irawan merupakan calon dari Fakultas Ekonomi dan Darja Sudarjat dari Himpunan Mahasiswa IPS FKIP, esensinya adalah baik Presiden maupun Wakil Presiden Mahasiswa sama-sama dipilih langsung oleh mahasiswa sehingga sama-sama legitimate. Kedua, situasi politik kemudian Oki-Darja dipasangkan sebagai paket pasangan calon yang dikandidatkan sebagi peserta pemilihan langsung presiden. Pada saat PEMIRA KM UHAMKA Oki Irawan yang berasal dari dukungan Fakultas Ekonomi dan Darja Sudarjat dari Himpunan mahasiswa andil dalam memperoleh suara dalam mahasiswa. Sejalan dengan Linz (1994) bahwa dalam situasi seperti inilah maka perlu adanya kesepakatan yang pasti dalam menggunakan kekuasaan dan wewenang antara presiden dan wakil presiden jika tidak mau ada masalah dikemudian hari. Dan Wakil Presiden Mahasiswa bukan hanya ban serep saja namun tidak spesifik pembagian kerjanya dalam manajemen pemerintahan. Ketiga, konstitusi AD/ART yang ada memang hanya mengatur Presiden dan Wakil Presiden Mahasiwa sebagai komposisi di BEM KM UHAMKA tetapi

30

tidak mengatur peran dan fungsinya dalam menjalankan pemerintahan di BEM KM UHAMKA. Adanya pasangan Wakil Presiden Mahasiswa dari dukungan yang berbeda ibarat membawa keberuntungan bagi Presiden Mahasiswa disaat waktu-waktu posisinya terjepit namun sisi politik lainnya lagi, posisi wakil presiden akan semakin kuat dan semakin memunculkan benih bahaya politik bagi hubungan Presiden dan Wakil Presiden Mahasiswa BEM KM UHAMKA sendiri. Kondisi ini yang dilihat oleh Eep Saefullah sebagai kohabitasi dalam kepemimpinan eksekutif. Pada akhirnya segala bentuk faktor-faktor pembentuk kekuatan dan kelemahan kedudukan Presiden Mahasiswa menyebabkan imbasnya kepada penyelenggaraan sistim presidensialisme KM UHAMKA itu sendiri. Dalam kondisi tersebut akan dapat terlihat seberapa kuat/lemahnya AD/ART KM UHAMKA dalam mengatur lembaga BEM KM UHAMKA.

31

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Praktik presidensialisme di KM UHAMKA era pemerintahan Oki-Darja telah menghasilkan Presiden yang lemah jika berhadapan dengan legislatif (MPM KM UHAMKA), dan tidak dapat dilepaskan dari adanya amandemen AD/ART 2009. Semenjak amandemen AD/ART tersebut, secara tidak langsung membuat praktik presidensialisme bermasalah. Amandemen AD/ART 2009 merupakan salah satu faktor penyebab kelemahan praktik presidensialisme pada era pemerintahan Oki-Darja. Amandemen AD/ART 2009 telah memberikan

kewenangan kepada MPM KM UHAMKA untuk mendominasi jalannya fungsi legislasi dan kehakiman/yudikatif sehingga melemahkan fungsi-fungsi dari lembaga-lembaga eksekutif yang ada. Teori negara kesatuan dipraktekan dalam KM UHAMKA, dan

dilakukannya desentralisasi pemerintahan di KM UHAMKA baik administratif maupun kekuasaan. akan tetapi mempunyai banyak kelemahan, baik dalam

aturan main yakni AD/ART sampai pada praktiknya Amandemen AD/ART tahun 2009 menghendaki adanya Wakil Presiden Mahasiswa BEM KM UHAMKA sesuai peran dan fungsinya. Akan tetapi tidak dijelaskan secara nyata apa tugas dan wewenang secara pasti. Seorang Wakil Presiden Mahasiwa apakah mempunyai tugas tersendiri apa hanya sebatas pembantu (assistance) dari tugas-tugas Presiden BEM KM UHAMKA. AD/ART

31

32

KM UHAMKA yang ada memang hanya mengatur presiden dan wakil presiden mahasiswa sebagai komposisi di BEM KM UHAMKA tetapi tidak mengatur peran dan fungsinya dalam menjalankan pemerintahan. Pada akhirnya segala bentuk faktor-faktor pembentuk kekuatan dan kelemahan kedudukan presiden mahasiswa menyebabkan im basnya kepada penyelenggaraan sistim presidensialisme KM UHAMKA itu sendiri. Dalam kondisi tersebut akan dapat terlihat seberapa kuat/lemahnya AD/ART KM UHAMKA dalam mengatur KM UHAMKA.

B. Saran Dalam mengelola pemerintahan di KM UHAMKA hendaknya sesuai dengan semangat demokrasi, diharapkan tercipta sebuah kebebasan berpartisipasi, keterwaklilan, dan mandat untuk tercapai KM UHAMKA yang efeketif dan sesuai dengan tujuan berorganisasi dalam dunia kemahasiswaan. Keefektifan sebuah pengelolaan pemerintahan di KM UHAMKA akan sangat dipengaruhi oleh pemilu yang demokratis, check and balances antar struktur/lembaga KM UHAMKA, hubungan pemerintahan KM UHAMKA tingkat universitas dan fakultas, manajemen pemerintahan, dan partisipasi mahasiswa. Keseluruhan faktor-faktor tersebut akan kembali lagi pada akhirnya pada desain sistim di KM UHAMKA itu sendiri yakni AD/ART yang sesuai dengan kondisi dan situasi, baik pada ranah budaya mahasiswa berorganisasi, kampus, dan negara. Hal ini mengartikan diharuskannya perubahan kembali (amandemen) AD/ART dengan perpedoman pada tinjauan yuridis, filosofis, dan sosiologis.

33

DAFTAR PUSTAKA

Budihardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1995) Cheibub, Joe Antonio dan Fernando Limongi, 2002, Democratic Institution And Regime Survival, Parliamentary And Presidential Democracies Reconsiderad, Annual Review Of Political Science, (New Heaven And Sao Paolo: Yale University And Universidade The Sao Paolo). Landmann, Todd dan Neil Robinsons (eds) Handbook Of Comparative Politics (Sage, 2008). Liddle, R. William, Revolusi Dari Luar (Jakarta: Nalar, 2005). Lijphart, Arend, Pattern Of Democracy; Governments Forms and Perfomance and Thirty-Six Counties, (Newm Heaven and London: Yale University Presss). Linz, Juan dan Arturo Valenzuela (eds), The Failure Of Presiden Democracy; Comparative Perspektif Voleume 1 (Baltimore and London: The Jhon Hopkins Press, 1994). Mainwaring, Scott, Presidentialism, Multypartai System, and Democracy: The Difficult Equation. The Architecture Of Democracy Institutional Design, Conflict Management, and Democeacy, ed. Andrew Reynold, (New York: Oxford University Press, 2002) Majelis Perwakilan Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka, Anggaran Dasar Anggaran Rumah Tangga KM UHAMKA Edisi Revisi, 2009, Jakarta. Mattenheim, Kurt Von (ed), Presiden Institutional And Democratic Politics; Comparing Region And National Contexts, (London: Jhon Hopkins University Press, 1997). Perez, Anibal -Linan, Presidential Crises and Political Accountability in Latin America (1990-1997), Working Papper, (Indiana: Departement of Government and International Studies, University of Notre Dame, 1998 ). Przerowski, Adam, S. Manin, (eds), Democracy, Accountability, And Representation, (Cambridge: Cambridge University Press: 1999).

33

34

Przerowski, Adam, Sustainable Democracy, (New York: Cambridge University Press:1995). Reynold, Andrew (ed), 2002, The Arsitecture of Democracy, Institutional Design, Conflict Management, And Democracy, (New York: Oxford University Press) Samuels, Davids, Presidents, Assembly, and Accountability, Working Papper (Minneapolis: Departemen of Political Science, University of Minnesota, 2003). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Verney, Douglas V., Parliamentary Government And Presidential Government, dalam Arend Lijphart (ed), Parliamentary Versus Presidential Government (New York: Oxpord University Press: 1992). Waisman, Carlos, 1996, Institutional Design and new Democratization; Eastern Europe And Latin America, (Colorado Westview Press).