anomali sistem presidensial indonesia (evaluasi praktek

28
JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 59 32 Pendahuluan Hiruk pikuk politik menjelang 2009 semakin eskalatif, diyakini medio 2008 adalah pertarungan sesungguhnya untuk menjaring kuasa pada pemilu 2009. Paket RUU Politik satu persatu telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah, diawali dengan UU No. 22 Tahun 2007 mengenai Penyelenggara Pemilu, kemudian UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD. Saat ini tinggal menyisakan 2 RUU yang sedang dibahas di DPR yaitu; RUU Pilpres dan RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD. Perhitungan dan pertimbangan kandidat-kandidat beserta kekuatan politik pendukungnya jauh-jauh hari sudah didengungkan, antara lain Gus-Dur, Sutiyoso, Wiranto, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Megawati Soekarno Putri, Jusuf Kalla, SBY, Yusril Ihza Mahendra dll., secara jelas maupun samar-samar telah menyatakan untuk terlibat dalam kontestasi menuju RI 1 di 2009. RUU Pilpres yang sekarang sudah mulai dibahas di DPR disadari maupun tidak akan menjadi pertarungan sesungguhnya, sayangnya perdebatan-perdebatan yang muncul di Parlemen mengenai isi RUU Keywords: Anomali, Sistem Presidensial, Parlementarian Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek Politik Parlementarian) Oleh: Sexio Yuni Noor Sidqi Advocat Pada BT Partnership Jakarta e-mail:kiky [email protected] Abstract The combination on presidential system and multi-political parties, in its practice cannot lead to the formation of a strong government, but rather this lead to the anomaly presidential system and being trapped in the parliamentary system.

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5932

Pendahuluan

Hiruk pikuk politik menjelang 2009 semakin eskalatif, diyakini medio

2008 adalah pertarungan sesungguhnya untuk menjaring kuasa pada

pemilu 2009. Paket RUU Politik satu persatu telah disahkan oleh DPR

dan Pemerintah, diawali dengan UU No. 22 Tahun 2007 mengenai

Penyelenggara Pemilu, kemudian UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai

Politik, UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Saat ini tinggal menyisakan 2 RUU yang sedang dibahas di DPR yaitu;

RUU Pilpres dan RUU Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD.

Perhitungan dan pertimbangan kandidat-kandidat beserta kekuatan

politik pendukungnya jauh-jauh hari sudah didengungkan, antara lain

Gus-Dur, Sutiyoso, Wiranto, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Megawati

Soekarno Putri, Jusuf Kalla, SBY, Yusril Ihza Mahendra dll., secara jelas

maupun samar-samar telah menyatakan untuk terlibat dalam kontestasi

menuju RI 1 di 2009.

RUU Pilpres yang sekarang sudah mulai dibahas di DPR disadari

maupun tidak akan menjadi pertarungan sesungguhnya, sayangnya

perdebatan-perdebatan yang muncul di Parlemen mengenai isi RUU

Keywords: Anomali, Sistem Presidensial, Parlementarian

Anomali Sistem Presidensial Indonesia(Evaluasi Praktek Politik Parlementarian)

Oleh: Sexio Yuni Noor SidqiAdvocat Pada BT Partnership Jakarta

e-mail:kiky [email protected]

Abstract

The combination on presidential system and multi-political parties, in its practice

cannot lead to the formation of a strong government, but rather this lead to the

anomaly presidential system and being trapped in the parliamentary system.

Page 2: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 33

Pilpres tidak pernah menyentuh substansi pokok permasalahan.

Perdebatan masih berkisar di seputar syarat dukungan, syarat pencalonan

meliputi pendidikan minimal, kesehatan menyangkut jasmani dan rohani,

serta usia, tanpa pernah memperdebatkan mekanisme apa yang bisa

mengukur visi-misi atau platform yang akan diusung para calon, batasan

dan sumber dana kampanye yang boleh dipergunakan, aturan bagi in-

cumbent yang akan maju kembali, pengaturan penggunaan fasilitas negara

dan aturan koalisi dalam mengusung calon. Hal tersebut di atas makin

menunjukkan kedangkalan politik yang dipegang para elit, yang

menunjukkan politic is flat seperti yang disampaikan Arifin Panigoro (Fried-

man pernah menyatakan The World Is Flat), para elit politik lebih

mementingkan “demokrasi-prosedural” daripada “demokrasi-subtansial”.

Pasca otoritarianisme Orde Baru, harapan mendudukkan relasi

kekuasaan secara ideal melalui Amandemen UUD 1945 menjadi muara

harapan, namun semangat untuk memperbaiki sistem yang ada dengan

satu persatu melucuti kekuasaan eksekutif menjadi rancu ketika kita masih

sepakat pada bentuk sistem Presidensiil, tetapi perubahan yang terjadi

justeru mengarah kepada “quasi-Presidensiil”, yang semakin memperkuat

positioning parlemen. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah kita sekarang.

Pertanyaan yang bisa dimunculkan, langkah apa yang seharusnya

dilakukan agar anomali sistem presidensiil dan praktek parlementarian

dengan sistem multi partai dapat diminimalisir agar tidak menambah

kekacauan ketatanegaraan Indonesia pasca amandemen UUD 1945.

Perbandingan Sistem Presidensiil dan Parlementer

Sejauh ini bisa dikatakan, adanya berbagai macam variasi teori

demokrasi telah melahirkan berbagai macam tipe demokrasi. Mazhab

Scumpeterian, sering dijadikan rujukan utama dalam menganalisa tipe-

tipe demokrasi yang ada, dari tipe demokrasi yang ada, tak jarang

melahirkan konsepsi baru, yang merupakan hasil modifikasi dari tipe asal.

Pembagian yang paling umum dalam melihat tipe demokrasi adalah

dipakainya parameter mekanisme penyampaian aspirasi oleh warga

masyarakat. Adanya parameter ini pada akhirnya membagi tipe demokrasi

menjadi dua yaitu; 1) Demokrasi Langsung; dan 2) Demokrasi Perwakilan.

Demokrasi perwakilan ini terbagi lagi menjadi tiga tipe demokrasi yaitu;

(a) Demokrasi Parlementer; (b) Demokrasi Presidensil; (c) Demokrasi

Campuran.

Page 3: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5934

Mattew Sughart dan John Carey menjabarkan demokrasi campuran

ke dalam tipologi yang lebih detail, yaitu; Presidensial Murni (Amerika

Serikat); Presidensial Parlementer (Rusia); Perdana Menteri-Presidensial

(Polandia); Parlementer-Presidensial (Austria); Parlementer Murni

(Inggris).1

Menurut A Rahman Tolleng, dari segi bentuk dasarnya pilihan itu

hanya dua, akan tetapi kemudian berkembang menjadi empat:2

1. presidensialisme yang didasarkan pada doktrin separation of powersatau lebih tepat menyebutnya separation of institutions.

2. parlementarisme yang didasarkan pada doktrin fusion of powers(peleburan kekuasaan) yang secara umum di atas disebut “supremasilegislatif”.

3. semi presidensialisme yang menerapkan eksekutif ganda berupaseorang presiden yang dipilih langsung dan seorang perdana menteriyang bertanggung jawab pada parlemen.

4. bentuk ini masih belum banyak dikenal, disebut consensus democracydengan Swiss sebagai model. Kekhususan model ini, semua atausebagian besar partai utama ikut kekuasaan dewan eksekutif dalam

suatu koalisi yang luas. Dewan ini dipilih untuk masa jabatan tertentu.

Ciri utama sistem presidensiil adalah presiden (top executive) dipilih

untuk suatu periode tertentu dan dilakukan melalui pemilihan langsung.

Bentuk pemerintahan ini memungkinkan stabilitas eksekutif. Jika eksekutif

dipilih secara langsung maka ia memiliki basis pemilih sendiri sehingga

tidak tergantung pada badan legislatif.3 Dengan demikian presiden tidak

mudah digulingkan oleh parlemen yang mungkin saja menguasai

mayoritas parlemen. Namun demikian pemisahan secara tegas kekuasaan

presiden (eksekutif) dengan kekuasaan legislatif sering menghalangi

pelaksanaan program pemerintah. Khususnya jika parlemen tidak setuju

dengan program pemerintah. Jika parlemen dikuasai oleh oposisi maka

besar kemungkinan pemerintah akan menjadi pemerintah minoritas.

Situasi dimana partai menguasai hak eksekutif maupun legislatif juga

mungkin terjadi. Dalam keadaan seperti ini jelas bahwa eksekutif sangat

1 Matthew Soberg Sughart dan John M Carey, “President and Asembly: Constitu-tional Design and Electoral Dynamics”, Cambridge Unversity Press, 1992

2 A. Rahman Tolleng ,”What Next Hubungan Eksekutif-Legislatif ?”,# posted dariwww. Fordem.org : 15.05.05, 22.45 Wib.

3 William R Thomson dan Monte Palmer,”The Comparative analysis of Poli-tics”, 1978.

4 G. Bingham Powell, Jr., Contemporary Democracies, dalam jurnal Dephan“Indikator Sistem Politik Demokratis” 2002.

Page 4: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 35

dominan, dominasi eksekutif bukan tanpa bahaya. Karena eksekutif

dominan jika terancam kelangsungan pemerintahannya dapat mengubah

sistem demokrasi munjadi non demokrasi seperti di Philipina.4

Menurut Arend Lipjhart ciri utama dari sistem presidensiil adalah

pemisahan cabang-cabang eksekutif dan legislatif, dengan kekuasaan

eksekutif berada di luar lembaga legislatif. Ini sangat berbeda dengan sistem

parlementer yang dicirikan oleh lembaga legislatif sebagai ajang utama

penyusunan undang-undang dan (melalui keputusan mayoritas) kekuatan

eksekutif. Definisi paling sederhana mengenai perbedaan kedua sistem

itu adalah tingkat independensi relatif eksekutif. Pada sistem presidensiil,

eksekutif relatif independen dari legislatif. Pada sistem parlementer,

terdapat kesalingtergantungan dan kesalingterkaitan dalam kapasitas-

kapasitas legislatif dan eksekutif.5

Untuk memudahkan pemahaman, mari kita lihat beberapa aspek yang

membedakan kedua sistem pemerintahan itu. Aspek-aspek tersebut adalah

hubungan kelembagaan, pola rekrutmen, serta pola pengawasan dan

pertanggungjawaban.

5 Lihat, Arend Lipjhart, ed,”Parliamentarism versus Presidential Government”(Oxford: Oxford University-Press,1992, dalam Tommy Legowo Makalah”Menyempurnakan Sistem Presidensiil”.

Page 5: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5936

Tabel 1

Perbedaan Sistem Presidensiil dan Parlementer

Aspek

H u b u n g a nkelembagaan

Polarekrutmen

Presidensiil

- Terdapat pemisahankekuasaan eksekutif danlegislatif. Namun tak adapemisahan antara jabatankepala negara dan kepalapemerintahan.

- Eksekutif dipegang olehpresiden sebagai kepalapemerintahan yang sekaligusadalah kepala negara.Kekuasaan legislatif berada diParleman. Eksekutif danlegislatif memiliki kekuasaanterpisah yang seimbang.

- Sebutan bagi kepalapemerintahan yang sekaliguskepala negara adalahPresiden. Karenanya sistemini disebut presidensiil.

- Tak ada tumpang-tindih per-sonal antara lembaga eksekutifdan legislatif.

- Anggota legislatif dipilihlangsung lewat pemilihanumum.

- Pimpinan eksekutif (yaknipresiden dan wakil presiden)dipilih langsung melaluipemilihan umum.

- Jajaran eksekutif lini kedua(yakni para menteri) diangkatoleh presiden.

Parlementer

- Terdapat pemisahan antarakepala negara dan kepalapemerintahan. Namun takada pemisahan antarakekusaan eksekutif danlegislatif.

- Baik eksekutif maupunlegislatif berada diparlemen. Jajaran eksekutifadalah anggota parlemen.Karenanya sistem inidisebut parlementer.

- Kepala pemerintahanadalah pimpinan kekuatanmayoritas di parlemen.Kepala negara hanyamemiliki kekuasaansimbolik di luar eksekutifdan legislatif.

- S e b u t a n k e p a l apemerintahan: perdanamenteri atau prime minister.Sebutan kepala negara:presiden, raja, ratu,gubernur jenderal, dll.

- Terdapat tumpang-tindihpersonal antara eksekutifdan legislatif.

- Anggota legislatif dipilihlangsung lewat pemilihanumum.

- Partai dengan kursimayoritas di parlemenmembentuk pemerintahan.Pimpinan partai inimenjadi perdana menteri.

- Anggota parlemen daripartai mayoritas itumenjadi menteri.

Sistem

Page 6: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 37

Di antara kedua sistem yang sangat berbeda itu, tentu selalu ada

sistem gabungan yang mengambil sebagian mekanisme presidensialisme

dan sebagian mekanisme parlementarianisme. Jerman adalah contoh

negara yang menerapkan semi-parlementarianisme, dimana pimpinan

eksekutif dipilih dari kekuatan mayoritas di parlemen-disebut Kanselir

(jadi seperti sistem parlementer), namun ia menyusun kabinet sendiri

dengan anggota yang tidak harus dari dalam parlemen. Ia bertanggung-

jawab kepada parlemen, namun tidak bisa begitu saja diberhentikan oleh

parlemen. Pimpinan eksekutif ini memegang kekuasaan pemerintahan yang

terpisah dari kekuasaan kepala negara yang berada di tangan presiden.

Sistem gabungan lain dapat ditemui di Perancis, dimana presiden dan

anggota parlemen dipilih secara terpisah (jadi menerapkan mekanisme

presidensiil). Namun presiden hanya menduduki jabatan kepala negara.

Dialah yang kemudian akan mengangkat perdana menteri selaku kepala

Polapengawasandan

pertanggung-

jawaban

- Terdapat mekanisme checks-and-balances antara eksekutifdan legislatif.

- Legislatif menyusunperundangan, namunmemerlukan pelaksanaan oleheksekutif.

- Eksekutif bisa memvetokebijakan legislatif, ataumenolak untuk melaksanakanperundangan, namunlegislatif memiliki hak utkmengimpeach eksekutif.

- Presiden sebagai pimpinaneksekutif memiliki hak untukmengangkat pejabat negara,namun memerlukanpersetujuan legislatif.

- Legislatif tak bisamemberhentikan presiden,dan presiden tak bisamembubarkan legislatif.

- Terdapat mekanismepemerintah-oposisi dalamlegislatif.

- Partai kekuatan kedua diparlemen membentukoposisi. Pimpinan partai inimenjadi ketua oposisi,anggota-anggota partailainnya menjadi anggotakabinet bayangan sehinggadisebut pula sebagaimenteri-menteri bayangan.

- Kebijakan pemerintahdiperdebatkan di parlemendengan pihak oposisisesuai dengan lingkupmasing-masing (misal:perdana menteri denganpimpinan oposisi, menterikeuangan dengan menterikeuangan bayangan).

- Legislatif dapatm e m b u b a r k a npemerintahan dengan mositidak percaya, danmendesakkan pemilu untukmemilih anggota parlemenbaru.

Page 7: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5938

pemerintahan, serta mengangkat para menteri anggota kabinet. Parlemen

tidak bisa memberhentikan presiden, namun bisa membubarkan kabinet

dan memberhentikan perdana menteri. Sementara itu presiden bisa

membubarkan dewan perwakilan rakyat, namun tidak bisa membubarkan

senat.6

Tinjauan Historis Pengalaman Parlementer

Seringkali negara “baru” memulai kehidupan politiknya sebagai

negara merdeka dengan suatu sistem yang mirip dengan sistem negara

“induknya”, yaitu bekas penjajahnya, terutama kalau proses pemerdekaan

itu berdamai. Peniruan seperti itu lebih mudah diterima di negara induk,

sedangkan elit terpelajar di negara baru merasa bahwa dia menjalani ujian

terakhir dari proses pendidikan politik di zaman penjajahan. Rumusan

lain: birokrasi kolonial sudah lama “menghukum” elit bumiputera bahwa

dia tidak sanggup memerintah negaranya secara ideal, yaitu sesuai dengan

sistem yang berlaku di metropole: dengan menerima dan berusaha

melaksanakan sistem itu pasca-kemerdekaan, elit baru membuktikan

bahwa kaum kolonial itu salah.

Di Indonesia prosesnya lebih rumit. Cetak-biru (blue print) pertama

untuk negara Indonesia merdeka disusun waktu Jepang belum kalah,

sehingga UUD 1945 justru lebih bereaksi negatif terhadap sistem

parlementer Belanda dari pada meniru. Yang ditekankan adalah dominasi

eksekutif; partai, kalau ada, diharapkan partai tunggal; pemilu tidak

disebut, begitu juga dengan hak-hak individu (Muatan dalam Konstitusi).7

Hal ini bisa dilihat dari hasil formulasi BPUPKI-PPKI dalam merumuskan

UUD 1945 yang isinya sangat dominan kekuasaan eksekutifnya, walaupun

pro-kontra di PPKI juga terjadi dalam pilihan sistem pemerintahan, apakah

akan menggunakan sistem presidensiil atau sistem parlementer. Ada yang

berpandangan sistem parlementer lebih tepat untuk negara yang baru

merdeka, karena sistem parlementer lebih dinamis dalam mengakomodir

perkembangan politik yang ada.

6 Abdul Gaffar Karim, “Kabinet Bayangan ,7/09/2007.7 Lance Castles, “Pengalaman Demokrasi Liberal di Indonesia”, (1950-1959)

dalam Seminar “Pendidikan Demokrasi dan Dialog Sipil-Militer”, Tanggal 11 Juni1998 dalam Sexio Yuni Noor Sidqi, Partai Politik dan Transisi Demokrasi di Indone-sia (Studi Perkembangan Partai Politik dari Era Orde Baru-Reformasi), Skripsi,Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2005, hlm. 101.

Page 8: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 39

Perkembangan setelah itu memperlihatkan pergeseran arus besar

kekuasaan, tanpa mengubah UUD 1945 sistem pemerintahan negara kita

dalam waktu 3 bulan berubah menjadi sistem parlementer, yaitu ketika

Kelompok Sjahrir berhasil mendorong perubahan dan perluasan fungsi

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dengan dibentuknya Badan

Pekerja (BP-KNIP) yang akan berfungsi seperti Parlemen, bahkan Sjahrir

berhasil meyakinkan Pemerintah (Soekarno-Hatta) untuk “share” dalam

bidang pemerintahan dengan memberikan kewenangan pemerintahan

kepada KNIP yang akan membentuk kabinet (kabinet mulai dipimpin

Sjahrir pada November 1945), sekali lagi ini menunjukkan bahwa

pendukung sistem Parlementer jeli dalam memanfaatkan momentum

ditengah kondisi negara yang belum stabil.8

Perubahan di atas diformulasikan oleh Pemerintah yang

mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang

perubahan peran BPKNIP yang ditandatangani oleh Wakil Presiden

Moh.Hatta (adanya maklumat pemerintah semakin memperkuat sistem

parlementer, meskipun kenyataannya belum pernah dilaksanakan Pemilu,

baru direncanakan pada tahun 1946). Dalam maklumat itu antara lain

disebutkan; berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Pusat

kepada Pemerintah supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-

luasnya untuk mendirikan partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-

partai itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan

kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat. Pemerintah

menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu lalu

(Maklumat Pemerintah No X tanggal 16 Oktober 1945 tentang

pembentukan partai-partai politik) :

a. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena dengan

adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala

aliran politik yang ada dalam masyarakat.

b. Pemerintah berharap supaya partai-partai telah tersusun, sebelum

dilangsungkan pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan Rakyat

pada bulan Januari 1946.9

8 J.D. Legge, “Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan KelompokSjahrir”, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993, hlm. 179-182.

9 Dhaniel Dhakidae, dalam “Partai-partai Politik Indonesia : Ideologi, Strategidan Program”, Tim Litbang Kompas-Ed. Pemilu, Cet.1.-Jakarta : Kompas, 1999, Bab 1hlm. 8.

Page 9: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5940

Sesudah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah No X tersebut, secara

resmi berdirilah beberapa partai politik yang secara kronologis dapat

disebutkan sebagai berikut; (1) Masyumi, Berdiri pada 7 November 1945,

dengan ketua Dr.Soekiman Wirjosandjojo; (2) PKI, & November 1945, ketua

Mr. Moh Jusuf; (3) PBI, 8 November 1945, ketua Njono; (4) Partai Rakyat

Jelata, 8 November 1945, ketua Sutan Dewanis; (5) Parkindo, 10 november

1945, Ketua Dr. Probowinoto; (6) PSI, 10 November 1945 Ketua Mr. Amir

Sjarifuddin; (7) PRS, 20 November 1945, ketua Sutan Sjahrir; (8) Partai

Katholik, 8 Desember 1945, Ketua I.J Kasimo; (9) Permai 17 Desember 1945,

ketua J.B. Assa; (10) PNI, 29 Januari 1946, sebagai gabungan dari PRI,

Gerindo dan Serikat Rakyat Indonesia dengan ketua Sidik Djojosoekarto.10

Berdirinya partai-partai politik tersebut menunjukkan dukungan yang

kuat akan sistem parlementer (karena sistem multipartai mafhum

diterapkan di negara yang menganut sistem parlementer), sekaligus

“mengubur” keinginan Soekarno untuk membentuk partai tunggal-partai

negara (Staaats Partij). Keinginan Soekarno tersebut terilhami dari

pengalaman Jepang dalam memobilisasi politik, serta kekhawatiran konflik

antara partai akan menimbulkan perpecahan yang tidak terelakkan, dalam

suatu republik yang baru dan masih rapuh, hal itu merupakan ancaman

bagi persatuan nasional.

Setelah Republik sempat menghadapi Agresi Militer Belanda I dan II,

serta menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS-secara singkat) dengan

diberlakukanya Konstitusi RIS 1949, Indonesia menjadi Negara Kesatuan

lagi pada tahun 1950. Momentum pemberlakuan UUDS 1950 yang

didalamnya secara jelas dalam Pasal 51 ayat 2 menyatakan “Sesuai dengan

anjuran pembentuk Kabinet itu, Presiden mengangkat seorang dari

padanya menjadi Perdana Menteri dan mengangkat Menteri-menteri yang

lain”, maupun dalam Penjelasan UUDS 1950 3 (f) “Dewan Menteri harus

bersifat Kabinet Parlementair”, teks di atas semakin memperkuat sistem

Parlementer, dan Indonesia mulai mengarungi era demokrasi liberal .

Demokrasi liberal yang diwarnai dengan jatuh bangunnya kabinet

kalau dirangkum, adalah sebagai berikut: Kabinet Sjahrir (14 November

1945-12 Maret 1946, 12 Maret-2 Oktober 1946, 2 Oktober 1946-17 Juni 1947);

Kabinet Amir Syarifuddin (3 Juli-11 November 1947, 11 November 1947-

10 F.S.Swantoro, dalam Bantarto Bandoro, J.Kristiadi, Mari Pangestu dan OnnyS.Prijono (penyunting),”Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia”, Ctk.Pertama, CSIS, Jakarta, 1995, hlm. 163.

Page 10: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 41

29 Januari 1948); Kabinet Hatta (29 Januari 1948-4 Agustus 1949);

dilanjutkan dengan sistem demokrasi liberal (1950-1959) Kabinet Natsir (6

september 1950 – 27 April1951), Kabinet Soekiman (27 April 1951 – 3 April

1952), Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 30 April 1953), Kabinet Ali Wongso

(30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955), Kabinet Burhanudin Harahap (12 Agustus

1955 – Maret 1956), Kabinet Ali Sastroamidjojo (24 maret 1956 - 14 maret

1957) dan Zaken Kabinet, Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 10 Juni 1959.11

Pada masa itu, banyak yang menyebut era demokrasi Parlementer,

adalah masa keemasan kehidupan partai politik di Indonesia, yang mana

partai dapat memfungsikan dirinya sebagai bagian dari kekuatan politik

yang harus bertarung memperebutkan kekuasaan, Pemilu 1955 yang

dilaksanakan untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan

Konstituante (15 Desember 1955) berjalan sangat demokratis dengan

melahirkan 4 kekuatan politik utama yaitu; 1. PNI (23,3%), 2. Masyumi

(20,9%), 3. PNU (18,4%), dan 4. PKI (15,4%), kemudian dibentuklah

Kabinet Koalisi pertama dari hasil Pemilu 1955 yang dipimpin oleh Ali

Sastroamidjojo (24 maret 1956 - 14 maret 1957).

Konstituante yang bertugas untuk merumuskan Konstitusi pun mulai

bersidang, terjadi perdebatan panjang didalamnya mengenai Dasar

Negara -yang mengingatkan kita pada perdebatan dalam perumusan

awal di BPUPKI tentang dasar negara dalam UUD 1945. Sayangnya

semangat demokrasi subtantif menjadi sirna dengan dikeluarkannya Dekrit

Presiden 5 Juli 1959, sebuah keputusan presiden untuk membubarkan

Konstituante dan pernyataan kembali ke UUD 1945 (yang sampai

sekarang masih meninggalkan tanda ?). Presiden Soekarno berpandangan

kondisi bangsa yang carut marut dengan jatuh bangunnya kabinet,

banyaknya pemberontakan-pemberontakan di daerah, serta mulai

munculnya ketidakpuasan masyarakat akan kinerja partai politik,

merupakan akibat dari penerapan demokrasi liberal-yang ditopang partai

politik yang fragmentaris.

Dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, era Demokrasi

Terpimpin dengan Soekarno menjadi sentral pun tersaji di medio 1959-

1966, yang meminjam istilah Ismail Sunny sebagai kekuasaan negara

11 Ign Ismanto, J.Kristiadi, Indra.J.Piliang…(et al) ; Penyunting T.A Legowo,Y.Subagyo, Sutomo…(et. al),”Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004; Dokumentasi,Analisis dan Kritik” ctk pertama Jakarta :Kedeputian dinamika Masyarakat MenristekRI,2005 Kerjasama dengan Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS.

Page 11: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5942

bukan lagi mengacu kepada democracy by law, tetapi democracy by decree.

Personalisasi kekuasaan dengan menebar benih anti partai seolah menjadi

“resep” pengganti Demokrasi Parlementer, hal tersebut memuluskan

langkah Soekarno untuk mewujudkan imajinasi politiknya di waktu muda

yakni mengawinkan tiga ideologi sekaligus (nasionalis,Islam,dan komunis-

NASAKOM) dalam kendali otoritarianisme kepemimpinannya.

Otoriterianisme pemerintahan Presiden Soekarno makin jelas ketika

pada 4 Juni 1960 ia membubarkan DPR hasil Pemilu 1955, setelah

sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah.

Presiden Soekarno secara sepihak dengan senjata Dekrit 5 Juli 1959

membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS)

yang semua anggotanya diangkat presiden. Pengangkatan keanggotaan

MPR dan DPR, dalam arti tanpa pemilihan, memang tidak bertentangan

dengan UUD 1945. Karena UUD 1945 tidak memuat klausul tentang tata

cara memilih anggota DPR dan MPR. Tetapi, konsekuensi pengangkatan

itu adalah terkooptasi-nya kedua lembaga itu di bawah presiden. Padahal

menurut UUD 1945, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi,

sedangkan DPR neben atau sejajar dengan presiden.12

Di sini menunjukkan bahwa UUD 1945 yang menempatkan kekuasaan

eksekutif sangat absolut telah disalahgunakan bahkan Presiden Soekarno

diangkat sebagai Presiden seumur hidup pada 1963 oleh MPRS yang dipilih

dirinya sendiri. Masa demokrasi terpimpin menjadi wahana bagaimana tiga

kekuatan politik (Soekarno, TNI-AD, PKI) “berkolaborasi dan saling tarik-

menarik kepentingan”, dengan menegasikan kekuatan politik yang lain

(parpol-selain PKI) hingga mencapai klimak (titik kulminasi) dengan

terjadinya pemberontakan G-30-S/PKI yang kemudian tidak saja mengakhiri

kiprah politik Soekarno dan PKI, tetapi juga menjadi awal dari adanya

pergantian kepemimpinan di level yang paling atas. Era demokrasi terpimpin

pun berakhir seiring dorongan pembaruan dan perbaikan serta harapan baru

dari masyarakat atas berbagai permasalahan akut yang menimpa bangsa.

Problem Konstitusi dan Praktek Politik Parlementarian

Naiknya Soeharto dalam tampuk kepemimpinan setelah Soekarno turun,

menandai dimulainya sebuah orde yang disebut dengan Orde Baru - untuk

12 M. Rusli Karim,”Perjalanan Partai Politik Di Indonesia; Sebuah Potret PasangSurut”, Ctk 3, Jakarta; Rajawali Press, hlm. 143.

Page 12: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 43

membedakan dengan Orde Demokrasi Terpimpin yang sering disebut Orde

Lama - dengan janji akan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara

murni dan konsekuen. Orde baru mulai menancapkan kekuasaannya, praktek

politik orde baru yang menempatkan kekuatan eksekutif (eksekutif heavy)

mendominasi pilar yang lain telah menimbulkan efek traumatis, dengan

mendogmakan Pancasila & UUD 1945 Presiden tidak bisa dikontrol oleh

parlemen. Kekuasaan yang melekat secara personal telah menjelma menjadi

kekuatan tiran yang efektif dan ditakuti, ditopang oleh mesin ABG (ABRI,

Birokrasi dan Golkar) menjadikan Soeharto bisa bertahta selama 32 tahun.

Jargon developmentalisme dan pertumbuhan ekonomi yang dicetuskan oleh

Soeharto telah menyandera demokrasi, dengan menyebut yang berbeda dan

kritis adalah subversif dan komunis serta memenjarakannya sebagai tapol/

napol, angin perubahan dengan adanya krisis ekonomi tahun 1997 telah

merubah semuanya, Soeharto-sosok yang teguh berkuasa pun tumbang di

hadapan perjuangan mahasiswa pada 21 Mei 1998.

Jatuhnya Presiden Soeharto merupakan puncak dari perjuangan

Reformasi 1998 yang menginginkan perubahan atas status quo yang telah

berkuasa selama 32 tahun. Reformasi yang melahirkan 6 visi yang harus

diperjuangkan, salah satunya adalah amandemen UUD 1945. Rezim

Habibie yang “singkat” menyambut hal itu dengan mempercepat proses

Pemilu, Pemilu direncanakan 1 tahun kemudian (1999), dengan

dibentuknya tim 7 yang bertanggung jawab membuat paket UU Politik

dari Pemerintah, maupun kemudian tim 11 (tim persiapan pembentukan

KPU) yang menyeleksi partai politik peserta Pemilu 1999. Setelah Pemilu,

MPR dibawah kendali Amien Rais mengusung Amandemen UUD 1945.

Amandemen dilaksanakan dalam 4 jilid (dikenal perubahan pertama-

keempat, 1999-2002), pasca turunnya Soeharto sebagai Presiden. Isu

utama perubahan dalam UUD 1945 adalah bagaimana membatasi

kekuasaan eksekutif, mekanisme checks and balances harus dikembalikan

dengan menempatkan Parlemen sebagai kontrol pemerintah, adanya

pembatasan masa jabatan Presiden dengan maksimal dua periode

menjabat, serta dipilihnya mekanisme pemilihan presiden secara langsung.

Sayangnya desain perubahan UUD 1945 ini tidak disertai grand design

yang utuh, karena perubahan yang dilaksanakan kemudian justru

meninggalkan bom waktu dalam perjalanan ketatanegaraan ke depan,

salah satunya yaitu relasi Pemerintah dan Parlemen yang tidak seimbang

ditengah sistem Presidensiil yang tetap dipilih.

Page 13: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5944

Diintrodusirnya Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menetapkan “Presiden

dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”

dalam perubahan UUD 1945, merupakan pilihan yang strategis dan signifikan

sekaligus koreksi atas praktek ketatanegaraan masa lalu, yang menempatkan

MPR sebagai perwakilan seluruh rakyat Indoensia, yang dengan kekuasaan

yang diberikan UUD 1945 berhak memilih dan melantik Presiden.

Secara teoretis ada dua sistem besar dalam pemilihan presiden secara

langsung. Sistem pertama biasa disebut dengan first past the post, ketika

presiden terpilih ditentukan berdasarkan perolehan jumlah suara terbanyak.

Sistem ini dipakai oleh sejumlah negara seperti Meksiko, Kenya, Filipina, Korea

Selatan, Taiwan, dan Zimbabwe. Dalam negara yang menganut sistem

multipartai sering kali seorang presiden terpilih hanya menang tipis, sehingga

bisa dianalogikan dengan pacuan kuda sehingga seekor kuda bisa menang

jika hidungnya menyentuh garis finis terlebih dulu (Robert A. Dahl, 2003).13

Kasus seperti ini terjadi dua kali di Filipina, pertama pada 1992 ketika

Fidel V. Ramos mengalahkan Miriam Santiago dengan margin kurang

dari 1 persen dan 12 tahun kemudian Presiden Gloria Macapagal Arroyo

mengalahkan Fernando Poe Jr. dengan perbedaan suara sekitar 2 persen.

Sistem kedua dikenal dengan sistem pemilihan presiden dua putaran

(two round system/Run Off). Apabila dalam pemilihan putaran pertama

tidak ada pemenang mayoritas, diadakan pemilihan putaran kedua,

biasanya antara dua calon dengan perolehan suara terbanyak. Sistem

seperti ini dianut oleh negara seperti Prancis dan sebagian besar negara-

negara di Amerika Latin. Suara mayoritas yang dibutuhkan untuk menang

biasanya bervariasi di masing-masing negara. Semisal di Kosta Rika, untuk

menang dalam putaran pertama seorang calon presiden cukup

memperoleh 40 persen suara, sedangkan Argentina mematok angka 45

persen sebagai suara mayoritas.

Perubahan Ketiga UUD 1945 telah menentukan bahwa Indonesia

menganut sistem pemilihan presiden dua putaran. Pasal 6A Ayat (3) UUD

1945 mempersyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wapres yang

mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu,

dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari

setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wapres.

13 Hendri Kuok, “Bom Waktu Sistem Pemilihan Presiden Dua Putaran”, Kompas,Jumat, 17 September 2004, bandingkan dengan Smita Notosusanto, Usulan PemilihanPresidenLangsung,www.cetro.or.id, 6 mei 2005.

Page 14: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 45

Dalam hal tidak ada pasangan capres dan wapres terpilih, dua

pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua

dalam pemilu, dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang

memperoleh suara terbanyak dilantik sebagai presiden dan wapres. Hal

itu tertuang dalam Pasal 6A Ayat (4) UUD 1945.

Para wakil rakyat di MPR mungkin berpikiran bahwa sistem dua

putaran bisa mengeliminasi keresahan sosial di masyarakat

pascapemilihan presiden secara langsung. Apabila sistem first past the post

yang dipakai, potensi konflik sosial akan cukup besar karena pendukung

calon presiden yang kalah akan merasa tidak puas dengan kekalahan

yang tipis atau pihak yang kalah akan mempertanyakan legitimasi

presiden terpilih yang tidak mengantongi suara mayoritas.

Niat baik dari para legislator kita untuk meminimalisasi konflik sosial

tidak berarti membawa hasil yang baik, karena sistem dua putaran dengan

kombinasi sistem multipartai juga mengandung sejumlah kelemahan.

Sistem pemilihan presiden dua putaran cenderung menghasilkan sebuah

pemerintahan yang minoritas dan skenario deadlock dalam hubungan

antara pemerintah dan parlemen.

Besar kemungkinan seorang presiden terpilih berasal dari partai yang

minoritas di parlemen dan ketika parlemen dikuasai oleh kekuatan politik

yang berbeda, akan timbul ketidakharmonisan antara parlemen dan

pemerintah. Sebagai contoh dalam Pemilu 1990 di Peru, Alberto Fujimori

memperoleh 56 persen suara dalam pemilihan presiden putaran kedua,

tetapi partainya hanya menguasai 19 persen kursi di Majelis Rendah.

Setelah selama dua tahun terus-menerus parlemen menentang program

Reformasi Ekonomi Pemerintah, Presiden Fujimori dengan dukungan dari

militer mengambil tindakan membubarkan parlemen.

Di sisi lain, sistem dua putaran cenderung melahirkan sebuah koalisi

dadakan yang tidak bersifat permanen. Bukti nyata bisa kita lihat di Brasil

dalam pemilihan presiden 1994. Dalam pemilihan putaran pertama, calon

presiden Fernando Cardozo dari PSDB (Brazilian Social Democratic Party)

tiba-tiba mendapat sokongan dari PPR (The Progressive Renewal Party)

dan PMDB (Party of the Brazilian Democratic Movement)—kedua partai

tersebut memutuskan mengabaikan kandidat mereka sendiri setelah

melihat Cardozo berada di atas angin.14

14 Hendri Kuok, Op.Cit.

Page 15: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5946

Setelah Cardozo terpilih sebagai presiden, PPR yang mendapat jatah

satu menteri di kabinet Cardozo ternyata tidak mendukung pemerintah

di parlemen. Sementara itu, PMDB yang mendapat jatah dua menteri

juga tidak bisa memaksimalkan suara mayoritas mereka di parlemen untuk

mendukung pemerintah karena PMDB mengalami krisis internal partai.

Dua pengalaman di atas tergambar ketika pasangan Susilo Bambang

Yudhoyono-Jusuf Kalla memenangi pemilihan presiden putaran kedua

dengan mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi,

modal SBY-Kalla yang didukung Koalisi Partai Demokrat, Partai Bulan

Bintang, PKPI, PKS (bergabung pada putaran kedua) sering disebut dengan

koalisi Kerakyatan berhadapan dengan Koalisi Kebangsaan yang mensupport

Mega-Hasyim, yang terdiri dari PDIP, Golkar, PPP, PDS. Sudah terlihat

secara kasat mata terjadi ketimpangan dalam basis dukungan dari parlemen

(governing support), apalagi statement dari koalisi kebangsaan yang

menyatakan akan bersikap oposisi di Parlemen-bisa dibayangkan kekuatan

minoritas pendukung SBY-Kalla dihadapkan pada tembok kokoh di Parlemen,

niscaya kemungkinan efektifitas kebijakan pemerintah akan terhambat di

Parlemen. Publik yang berharap akan tersajinya sebuah pertarungan politik

yang konstruktif antara Pemerintah dan Parlemen setelah sekian lama

disajikan parodi parlemen di era Orde Baru, menjadi sirna ketika banyak

anggota koalisi Kebangsaan lompat pagar, hal ini tercermin dalam

pertarungan perebutan Pimpinan DPR dan MPR, Koalisi Kebangsaan dengan

paket; H.R Agung Laksono (Golkar), Soetardjo Soeryogoeritno (PDIP),

Muhaimin Iskandar (PKB) dan Zaenal Maarif (PBR), berhadapan dengan

paket Koalisi Kerakyatan; Endin AJ Soefihara (PPP), E.E.Mangindaan

(P.Demokrat), Ahmad Farhan Hamid (PAN), Ali Masykur Musa (PKB),

maupun perebutan kursi MPR yang pada waktu itu paket Koalisi Kebangsaan

adalah; Ir Sutjipto (PDIP), Theo L Sambuaga (Golkar), Sarwono

Kusumaatmaja (DPD), Irman Gusman (DPD), dan Paket Koalisi Kerakyatan;

Hidayat Nurwahid (PKS), AM Fatwa (PAN), Moeryati Sudibyo (DPD), Aksa

Mahmud (DPD), dengan hasil pimpinan DPR dimenangkan oleh Koalisi

Kebangsaan dan Pimpinan MPR dimenangkan oleh Koalisi Kerakyatan.

Spektrum politik pun makin bergeser menjelang Munas Partai Golkar

di Bali pada akhir tahun 2004, ketika SBY memberi ijin kepada Jusuf Kalla

untuk turun gelanggang dan maju dalam pertarungan merebutkan posisi

Ketua Umum Golkar, hal ini diharapkan dapat merubah sikap Golkar di

parlemen. Kemenangan Kalla yang pada waktu itu didukung semua

elemen dan tokoh senior Golkar(oleh Kubu Akbar merasa dikeroyok dari

Page 16: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 47

8 penjuru mata angin) membuat posisi Golkar berbalik arah-dengan

menyatakan keluar dari koalisi kebangsaan dan mendukung penuh duet

SBY-Kalla, sejak saat itu harapan akan adanya perubahan warna di

parlemen yang kritis menjadi sia-sia.

Duet SBY-Kalla yang mendapatkan 69.266.350 juta suara atau setara

dengan 60, 62 % pada putaran kedua15 dalam praktiknya ternyata tidak

percaya diri dalam menahkodai republik, terbukti format Koalisi diperluas

dengan menyertakan PPP, PAN, PKB dan Golkar dalam pembagian

portofolio kabinet (hampir separuh anggota kabinet adalah wakil parpol

atau punya afiliasi dengan parpol) dengan hanya menyisakan PDI-P sebagai

kekuatan oposisi. Harapan memperluas koalisi di satu sisi adalah positif

sebagai bekal back up di parlemen dalam mengawal kebijakan pemerintah,

namun dasar pembentukan koalisi yang dibangun hanya berdasarkan

pragmatisme politik tanpa mengedepankan platform maupun kesaman visi

adalah absurd. Absurditas di sini tergambar jelas ketika orientasi partai

politik di Indonesia masih haus akan kekuasaan, harapan memperkuat

sistem presidensiil yang efektif pun hanya jadi savana di padang politik,

terbukti meskipun Pemerintah bisa dikatakan menguasai suara parlemen

namun dalam praktiknya sering kali “diganggu” oleh parlemen.

Hal tersebut di atas menjadi rancu ketika kita sepakat pada bentuk

sistem pemerintahan Presidensiil, akhirnya yang tersaji adalah pemerintah

tidak dapat efektif melaksanakan mandatnya-karena sibuk dengan olah

DPR, alih-alih tercipta hubungan checks and balances, relasi yang terjadi

adalah DPR menjelma menjadi lembaga super yang seolah-olah kapanpun

siap menerkam dan menggergaji kebijakan Pemerintah.

Kasus mutakhir terjadinya pro-kontra di parlemen mengenai rencana

kenaikan harga BBM yang diterapkan oleh pemerintah pada 24 Mei 2008.

Dalam pidato pembukaan paripurna Ketua DPR Agung Laksono yang

notabene menjabat Wakil Ketua Umum Partai Golkar (salah satu partai

penyokong pemerintah) menolak kebijakan kenaikan harga BBM, padahal

DPR melalui alat kelengkapannya telah menyetujui perubahan APBNP

2008 yang diajukan pemerintah. Logikanya ketika DPR telah

menyetujuinya, maka tidak ada persoalan dalam kebijakan kenaikan harga

BBM, meskipun DPR tetap harus mengkritisi dan menawarkan alternatif

lain yang bisa ditempuh selain kebijakan non-populis menaikkan harga

BBM, misalnya menggenjot sektor pajak progresif, negosiasi hutang,

15 Ign Ismanto, J.Kristiadi, Indra.J.Piliang (et al); Loc.cit.

Page 17: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5948

maupun penghematan belanja rutin dinas. Seperti diketahui, BBM adalah

salah satu penggerak utama dalam mata rantai ekonomi, sekali naik dia

akan membawa efek domino ke sektor yang lain, apalagi masih dipakainya

“resep-BLT” yang rawan penyimpangan dan tidak mendidik masyarakat.

Hal di atas membuktikan terjadinya kerancuan dalam sistem presidensiil

yang kita terapkan, sekaligus fragmentasi antar “pendukung pemerintah”.

Kalau niat awal menolak kenaikan harga BBM adalah untuk membela

kepentingan rakyat-maka patut kita dukung secara masif, sayangnya ini

ditengarai hanya menjadi komoditas politik sesaat (etalase bagi parpol)

menjelang Pemilu 2009. Begitupun yang terjadi dengan partai politik yang

lain, PAN, PKB dan PKS, ketiga partai ini juga sering kali mengambil

kebijakan berbeda di Parlemen (bahkan untuk kenaikan BBM, PKB

mengusulkan hak angket yang bisa mengarah pada “Pemakzulan

Presiden”), dengan sering mengganjal kebijakan pemerintah, mulai dengan

menggunakan hak-hak DPR (terutama interpelasi dan angket), meminjam

istilah Arbi Sanit - Partai Politik pendukung Pemerintah telah melakukan

pengkhianatan.16 Di sini mereka menggunakan “Politik dua muka” yaitu

kritis di parlemen namun akur di kabinet. Hal tersebut dilakukan hanya

untuk kepentingan pencitraan partai kepada konstituen, seolah-olah

mereka kritis-namun sejatinya adalah manipulatif karena hanya untuk

bargaining politik dengan pemerintah (lihat penyelesaian secara adat

melalui lobi Darmawangsa). Mengapa demikian? Memiliki wakil di

Kabinet adalah sebuah keuntungan sekaligus investasi politik, karena dua

sumber resources ada di sana-yaitu Sumber Daya Manusia dan Dana,

sehingga partai politik akan sekuat tenaga mempertahankan wakilnya

disana, tidak peduli apakah memakai ukuran etis maupun tidak, semua

itu demi satu tujuan untuk menambah “bahan bakar” menghadapi pemilu

2009. Semua ini bermula dari kekaburan format koalisi jangka pendek

yang dibangun, meminjam istilah Denny Indrayana, yang terjadi sekarang

awalnya karena Multikohobitasi antara SBY dan Kalla dengan basis

dukungan Demokrat dan Golkar17yang 'jomplang'.

Menjadi penting di sini kita mendudukkan lagi sistem presidensial yang

kuat sesuai dengan UUD 1945, dan hal ini juga terkait dengan sistem

kepartaian yang ada. Pasca amandemen UUD 1945 tersaji sebuah pergeseran

pendulum kekuasaan, setelah sebelumnya antara 1966 sampai 1998, berlaku

16 Kompas, 12 Mei 2008, hlm. 3.17 Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial”, Kompas Senin, 17 Maret 2008.

Page 18: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 49

sistem pemerintahan untuk negara integralistik dengan konsentrasi

kekuasaan amat besar pada Presiden (too strong presidency), kemudian

posisi MPR sebagai pemegang kedaulatan negara tertinggi dan sebagai

perwujudan dari rakyat dihapus dan badan legislatif ditetapkan menjadi

badan bikameral dengan keuasaan yang lebih besar (strong legislative).18

Hal ini merupakan akibat dari pengalaman praktek politik masa lalu yang

menyimpang, sehingga menimbulkan traumatis akan kekuasaan eksekutif

yang telampau besar. Pengalaman era Orde Lama maupun Orde Baru

telah menggambarkan bagaimana tafsir atas keuasaan eksekutif (dalam

UUD 1945) yang luas menjadi racun dan ancaman bagi demokrasi.

Bahwa Presiden tidak dapat membubarkan DPR dan DPR tidak dapat

menjatuhkan Presiden adalah esensi dasar dari Sistem Presidensiil

(Parlemen hanya dapat menuntut pemberhentian Presiden jika Presiden

terbukti melakukan pelanggaran hukum-itupun dibatasi konstitusi).19

Diintrodusirnya hak-hak DPR dalam Pasal 20A UUD 1945 yaitu Hak

Interpelasi, Hak Angket, Hak Menyatakan pendapat (sebelumnya di

tingkat UU), dan hak anggota DPR meliputi; hak mengajukan pertanyaan,

mengajukan usul dan pendapat serta hak imunitas maupun pertimbangan

yang harus dimintakan pemerintah kepada DPR menyangkut

pengangkatan Duta Besar, Penerimaan Duta Besar, Panglima TNI, Kepala

Polri, Gubernur BI dan Deputi Gubernur,20 menjadikan posisi bargaining

parlemen semakin kuat di depan pemerintah (belum lagi rencana

penguatan DPR dalam revisi RUU Susduk yang sedang dibahas).

Sayangnya pemahaman akan esensi sistem presidensiil tereduksi oleh

semangat parlementarian dari parlemen-hingga kemudian terbentuk

sebuah sistem presidensil yang tidak tegas, meminjam istilah Rocky Gerung

telah terjadi “Konvensi Politik Parlementarian”.21

Efektivitas fungsi pemerintahan menghendaki lembaga kepresidenan

didukung oleh bekerjanya suatu sistem perwakilan yang efektif. Hubungan

antara lembaga kepresidenan dan sistem perwakilan yang berimbang akan

18 Sofian Efendi, “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan”, dalam dikusiterbatas dengan Tema:”Nasionalisme, Pancasila dan Globalisasi”, yang diselenggarakanoleh Nusantara Institute,Tanggal: 11 Maret 2008.

19 Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, ctk pertamaJakarta, 2005, Kontitusi Press, hlm. 227-228.

20 UUD 1945 Pasal 20A.21 Rocky Gerung,”Bersama Kita Bisa-Berpisah Sudah Biasa”, Kompas 5 April

2008.

Page 19: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5950

meletakkan fondasi check and balances yang efektif22 Secara umum dapat

dikatakan bahwa penguatan sistem pemerintahan presidensial membutuhkan

penguatan lembaga kepresidenan, penguatan lembaga perwakilan, serta

perimbangan hubungan kelembagaan antara presiden dan legislatif, hal

tersebut untuk terciptanya sistem pemerintahan presidensial yang efektif.23

Sistem multipartai dan sistem presidensial merupakan dua sistem yang

sulit digabungkan.24 Hal ini setidaknya telah dibuktikan pada 31 negara

yang masuk kategori demokrasi yang stabil-Syamsuddin Haris dari LIPI

pernah menyampaikan bahwa gabungan sistem Presidensial dan sistem

multipartai adalah “kawin paksa”, tamsil terdekat adalah Filipina yang

mempraktekkan Sistem Presidensial dan Multipartai-yang bisa kita lihat

dan ukur tingkat efektifitas dan stabilitas politiknya25 (Filipina adalah salah

satu negara yang paling sering mengalami Kudeta).

Setidaknya ada tiga alasan mengapa kombinasi ini menimbulkan

permasalahan. Pertama, tidak adanya pemenang Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden yang mayoritas mutlak dalam legislatif ditambah dengan pembagian

kekuasaan menimbulkan deadlock antara eksekutif dan legislatif. Kedua, tidak

adanya suatu sistem pemilihan lembaga kepresidenan yang sesuai dengan

paparan yang di atas. Ketiga, perlu dikaji peran dan fungsi berbagai elemen

penunjang lembaga kepresidenan serta pembentukan struktur kelembagaan

penunjang berdasarkan fungsi tersebut.26

Persoalan gabungan partai politik pendukung Presiden dan Wakil

Presiden terpilih sebagaimana telah diarahkan oleh Undang-Undang Dasar

1945, secara teoretik mestinya dilanjutkan dengan formalisasi koalisi antara

partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini pun sekarang mengemuka

seperti usulan partai Golkar melalui koalisi permanen,27 penting didorong

agar pencalonan presiden dilakukan sebelum pemilu legislatif. Dengan

demikian, partai-partai dirangsang berkoalisi karena platform perjuangan,

22 Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy:The DifficultCombination,”Comparative Political Studies, 26 (1993), hlm. 198-222.

23 Carlos Pereira and Bernardo Mueller, “The Cost of Governing: StrategicBehavior of the President and Legislators in Brazil’s Budgetary Process,” Compara-tive Political Studies, Vol. 37, No. 7, September 2004, hlm. 781-815.

24. R.William Liddle and Saiful Mujani, “A New Multiparty Presidential Democracy”,Asian Survey. Vol XLVI, No 1, January/February 2006 Press, Agustus 2006.

25 M. Hernowo, “Langkah Hegemoni Parpol Besar”, Kompas, Jumat, 14 Maret 2008.26 Matthew Soberg Shugart and John Carey, “Presidents and Assemblies”, Cambridge:

Cambridge University Press, 1992.27 Partai Golkar Rintis Koalisi Permanen, hlm. 2, Kompas, Jumat 4 April 2008.

Page 20: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 51

bukan karena kepentingan kekuasaan. Formalisme koalisi tersebut yang

memiliki kader yang duduk dalam kabinet Presiden dan Wakil presiden

terpilih.28 Koalisi ini diharapkan akan mencegah polarisasi dan fragmentasi

berlebihan antara berbagai kekuatan yang ada. Koalisi yang demikian

memberikan dukungan riil bagi penyelenggaraan pemerintahan secara lebih

efektif dalam masa jabatan Presiden dan Wakil presiden. Bagi munculnya

sebuah koalisi yang berarti maka faktor kepemimpinan dalam partai dan

kedisiplinan partai menjadi kunci29 Karenanya adalah sesuatu yang

mendesak untuk memperhatikan keterkaitan dan kalau perlu keberlanjutan

koalisi antar partai sebelum dan setelah pemilihan presiden.30

Isu krusial yang perlu diselesaikan adalah tentang pelaksanaan Pilpres

itu sendiri, selama ini berkembang 3 skenario mengenai hal itu yaitu (1)

mendahulukan Pemilu Presiden daripada Pemilu Legislatif; (2) Pemilu

Presiden dan Pemilu Legislatif dilaksanakan secara serentak; (3) Pemilu

Legislatif lebih dahulu dilaksanakan daripada Pemilu Presiden dengan syarat

perolehan suara atau kursi di Pemilu Legislatif dijadikan acuan. Semua

varian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan, ketika pilihan kita untuk

memperkuat sistem layak kiranya pilihan pertama atau kedua kita ajukan.

Mengapa? Kesatuan antara partai pemenang pemilu presiden dan partai

pemenang pemilu legislatif lebih bisa dipastikan bila pelaksanaan pemilu

presiden didahulukan dari pemilu legislatif. pilihan ini akan memberi

dampak “gerbong kereta” (bandwagon effect) pada pemilih.31

Karena perilaku pemilih di Indonesia (preferensi pemilih) masih

terpengaruh pada figur/tokoh bukan terikat pada partai politik

(pengalaman Pilpres 2004 menunjukkan hal tersebut), sesuatu yang tidak

terjadi di negara yang demokrasinya mapan, di Amerika Serikat misalnya

masyarakatnya sudah terbagi jelas menjadi dua kutub yaitu Kubu Demokrat

dan Kubu Republik, yang diperebutkan kedua kubu tersebut adalah suara

masyarakat yang belum menentukan pilihannya (independent vooters).32

28 Jose Antonio Cheibub, “Minority Governments, Deadlock Situations, and theSurvival of Presidential Democracies” Comparative Political Studies 35(3) (April 2003)384-412, Sage Publications.

29 Joe Foweraker, “Institutional Design, Party Systems, Governability: Differentiatingthe Presidential Regimes of Latin America”, British Annal of Political Science 28 (4)(Oct. 1998) 656-674, Cambridge University Press, 1998.

30 Ibid31 M. Qodari, “(Tak) Berharap pada UU Pemilu”, Kompas, Senin, 3 Maret 2008.32.Bambang Cipto, “Politik & Pemerintahan Amerika”, ctk pertama, Yogyakarta,

2003, Lingkaran, hlm. 37.

Page 21: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5952

Mengapa terjadi demikian-karena di AS sistem sudah terlembaga, artinya

terlepas siapapun figur Capres dari Partai Republik atau Partai Demokrat

sudah barang tentu kaum loyalis Republik maupun Demokrat akan memilih

kandidat Presiden dari partainya (meskipun dalam perkembangan hal ini

tidak terlalu mengikat, karena faktor pendidikan dan peningkatan kesadaran

politik). Kita lihat proses Konvensi untuk Pilpres 2008, dimana Republik

sudah menentukan calon yang akan maju pada pilpres di bulan November,

yaitu John McCain, sedangkan Demokrat masih berkutat dengan

pertarungan Barrack Obama dan Hillary Clinton. Opsi kedua dengan

melaksanakan Pilpres bersamaan dengan Pemilu Legislatif, konstitusi tidak

mengatur soal pelaksanaan pemilu presiden dan pemilu legislatif. Karena

keduanya merupakan rezim pemilu, gabungan pelaksanaan keduanya akan

lebih baik. Jika pemilu bisa digabungkan, akan terjadi korelasi antara

preferensi pilihan rakyat terhadap partai politik dan presiden. Implikasi

positifnya akan terjadi hubungan konstruktif antara parlemen dan

pemerintah sebagai konsekuensi pemerintahan presidensial.33 Akan tetapi

justru opsi ketiga yang telah dipilih dan dilaksanakan pada Pemilu 2004,

opsi ini sedikit banyak mereduksi sistem presidensiil itu sendiri, bahkan

mengaitkan antara hasil pemilihan anggota DPR dan persyaratan Capres-

Wapres adalah pengingkaran terhadap UUD 1945 (inkonstitutional), dalam

Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 hanya membatasi antara partai politik peserta

Pemilu dan Partai politik bukan peserta Pemilu.34 Meskipun banyak

kalangan beranggapan untuk 2009 kita tetap dengan mekanisme Pilpres

2004, opsi mendahulukan Pilpres daripada Pemilu Legislatif maupun opsi

melaksanakan Pilpres dan Pemilu legislatif secara serentak baru bisa kita

laksanakan dalam Pemilu 2014 (tak kurang dari Akbar Tandjung

menyuarakan hal tersebut).

Beberapa literatur menunjukkan adanya hubungan yang relatif

konsisten antara sistem kepartaian dalam kaitannya dengan Pemilu Presiden

dan Wakil Presiden dan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang

bersifat terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi

sistem presidensial murni.35 Praktek di Indonesia menunjukkan hal itu,

bagaimana sulitnya menjaga kesolidan dan keharmonisan Koalisi terutama

33 Kompas, “Pemilu Diusulkan Dibarengkan” Rabu, 12 Maret 2008.34 Saldi Isra, “Dinamika Ketatanegaraan Masa Transisi 2002-2005”, Padang,

Andalas University Press, Agustus 2006, hlm. 90.35 Scott Mainwaring, Op.Cit.

Page 22: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 53

dalam relasi antara Pemerintah dan Parlemen, SBY mengalami hal itu-

meskipun ada faktor determinan lain menyangkut sikap politik SBY yang

terlalu hati-hati, dan akomodatif serta hambatan psikologis politik melihat

daya tawar JK (wakilnya) yang lebih besar.

Tawaran yang diberikan untuk memperkuat presidensial adalah dengan

menyederhanakan jumlah partai. Wacana tentang penyederhanaan atau

pengurangan jumlah partai politik di DPR sebenarnya sudah lama muncul.

Ide itu pernah disampaikan tim dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

atau LIPI untuk revisi paket undang-undang politik. tim dari LIPI antara lain

mengusulkan adanya syarat calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu

2009, minimal diusung 25 persen suara di DPR36 bahkan Golkar mengusulkan

angka 30 % Suara DPR. Dengan peraturan itu diharapkan muncul dua koalisi

partai yang sifatnya permanen di parlemen, yaitu yang mendukung dan

beroposisi kepada pemerintah.

Keadaan ini diharapkan dapat membuat pemerintahan bekerja lebih

efektif karena mendapat dukungan yang kuat dan pasti dari sebagian

anggota parlemen. Memang tawaran tersebut akan melahirkan pro dan

kontra, di tengah positioning partai politik yang semakin ditinggalkan khalayak

akibat ulah dari elitnya (masyarakat banyak yang tidak mengetahui kinerja

partai, tetapi mereka masih percaya pada instrumen partai? Fungsi dasar

sebagai agregator dan artikulasi kepentingan masyarakat, kelemahan

administrasi organisasi juga menjadi kelemahan mendasar bagi partai politik)

banyak hasil survei dari lembaga riset politik mendukung hal tersebut. Apakah

bijaksana pintu untuk Capres hanya dibuka untuk partai-partai besar,

seharusnya pintu diperluas-atau setidaknya syarat pencalonan dalam rentang

15-20% (seperti dalam UU Pilpres 23 Tahun 2003)37 masih dipertahankan

karena akan memunculkan varian pilihan bagi pemilih untuk kandidat

Capres-Cawapres yang layak untuk dipilih.

Untuk dapat menghasilkan tipe sistem kepartaian sederhana, maka perlu

pengkondisian dalam proses pemilu. Untuk dapat mengikuti pemilu

berikutnya biasanya diberikan syarat minimal suara atau electoral threshold-

maka pemberlakuan Electoral Treshold sebesar 3 % dan Parlementary Treshold

sebesar 2,5 % untuk Pemilu 2009 dalam UU No. 10 Tentang Pemilu Legislatif38

36 Kompas,”Langkah Hegemoni Parpol Besar”, Jumat, 14 Maret 2008.37 UU Pilpres 23 Tahun 2003(bandingkan dengan RUU Pilpres yang sedang

dibahas di DPR).38 UU No. 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Page 23: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5954

patut didukung, asalkan hal tersebut dipraktekkan secara konsisten.

Sayangnya penerapan pemberlakuan ET dan PT hanya pada tingkat DPR-

tidak untuk DPRD Propinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Artinya, meski

tidak punya kursi di parlemen pusat, partai-partai “kecil” tetap punya kursi

di parlemen daerah. Kursi di daerah ini meminjam istilah Muhammad Qodari

akan menjadi “ventilator” yang memperpanjang usia 'partai-partai gurem’,

sehingga tujuan penyederhanaan partai politik akan sia-sia.39

Di Indonesia ET yang seharusnya imperatif40 bagi Parpol oleh

Pemerintah disimpangi dengan terus membuka kran terbentuknya Parpol

baru, hal ini ditambah dengan sikap parpol yang menyiasati aturan

tersebut (banyak Parpol yang sekedar ganti “nama” dengan masih

mengkaitkan dengan identitas parpol lama, Partai Bulan Bintang yang

tidak memenuhi ET ganti nama menjadi Partai Bintang Bulan, meskipun

akhirnya tertolong dengan aturan peralihan pasal 316 UU No. 10 Tahun

2008 tentang Pemilu). Seharusnya jika konsisten penerapan ET akan

mengkonsolidasikan Parpol yang ada, Parpol-parpol yang tidak menembus

ET dilarang mengikuti pemilu dan diarahkan untuk bergabung (baik dengan

yang memenuhi ET maupun yang sama-sama tidak memenuhi ET), meskipun

usul tersebut ekstrem bagi kalangan Parpol dan melahirkan pro-kontra,

namun regulasi ini diyakini akan menuju ke upaya penyederhanaan partai.

Pengalaman Pemilu 1999 dan 2004 menunjukkan hal tersebut, dari

48 Partai sebagai peserta pada Pemilu 1999 menjadi 24 pada Pemilu 2004,

kita bisa tarik benang merah diantara sekian parpol yang survive dan

memiliki captive market tertentu hanya beberapa parpol saja. Ramlan

Surbakti, guru besar FISIP Unair (mantan anggota KPU) dalam sebuah

forum diskusi yang digagas Forum Rektor Indonesia simpul Jatim,

menyimpulkan bahwa penggabungan parpol mutlak diperlukan melihat

derajat kelembagaan parpol di Indonesia masih rendah. Hal itu dilihat

dari empat hal, yakni kompetisi antarparpol, bentuk kompetisi antarpartai,

jarak ideologi antarpartai, dan mengakarnya partai pada masyarakat.41

Kalau tidak kita terapkan penyederhanaan partai-sampai kapan kita

akan “terjebak” dalam arus multipartai yang ekstrem seperti sekarang?

Dalih Indonesia masih dalam era transisi demokrasi sering dijadikan

alasan klasik oleh kalangan parpol (tesis Huntington, sebuah negara untuk

39 M. Qodari, Op.Cit.40 Saldi Isra,”Menimbang Kembali Electoral Treshold” hlm. 60.41 Kompas, 18/12/07

Page 24: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 55

lepas dari era transisi membutuhkan 2 X pemilu yang demokratis),

meskipun sebenarnya ada dalih lain yang oleh alasan tersebut-parpol

diyakini masih menjadi kendaraan efektif untuk meneguk kekuasaan-

apalagi parpol di Indonesia masih mendapatkan asupan susu dari

Pemerintah melalui bantuan dana-yang menjadikan parpol tidak pernah

mandiri, maka tak heran kaum “borjuasi” ramai-ramai terjun ke

gelanggang politik-baik dengan membuat partai ataupun menguasai partai

yang sudah ada. Hal ini jika tidak dikelola secara baik akan mengancam

demokrasi itu sendiri, diharapkan di kemudian hari para “pemilik modal”

dapat memfokuskan dirinya dalam upaya pemberdayaan masyarakat dan

perbaikan kualitas kehidupan bangsa melalui cara-cara yang lebih efektif

dan down to earth di luar partai politik.42

Belum lama Jusuf Kalla sering menuduh demokrasi tidak efektif dan

inefisien. Biaya demokrasi terlalu mahal. Pemilu legislatif harus bersamaan

dengan pemilu eksekutif. Kalau bisa, pemilihan kepala daerah digelar

serentak. Demokrasi bukan tujuan, melainkan alat mencapai tujuan. Ironis

ketika demokrasi dihitung dengan neraca laba rugi. Demokrasi tidak lagi

dilihat sebagai sebuah proses tapi alat, bahkan doktrin Kalla meminjam

istilah Indra J Piliang43 telah banyak diikuti dan diamini kalangan sipil,

misalnya PBNU mengusulkan Pilkada dikembalikan pada pilihan di

DPRD-dengan alasan melihat banyaknya konflik pilkada, belum lagi

Lemhanas mengusulkan agar Gubernur ditunjuk saja oleh Pemerintah

pusat. Ongkos demokrasi memang mahal tapi dengan dangkal

menyalahkan demokrasi sebagai penyebab dari kekarutan adalah tidak

bijaksana terlebih dengan menarik kembali esensi dari demokrasi-yaitu

adanya kontrak sosial langsung antara rakyat dan penerima mandat. Kita

sudah terlalu lelah dan penat akan praktek penyimpangan di era

Demokrasi Terpimpinnya-Soekarno maupun Demokrasi Pancasilanya-

Soeharto, saatnya kita menerapkan demokrasi secara subtantif-demokrasi.

Menurut Sir Winston Churchill adalah sistem terburuk-tapi sampai

sekarang tidak ada sistem yang lebih baik dari demokrasi.

Noda lain yang kasat mata adalah adanya aturan peralihan dalam

pasal 316 UU No. 10 Tentang Pemilu yang menyatakan semua parpol

yang memiliki kursi di parlemen-dapat mengikuti pemilu 2009. Hal ini

tentu sangat merugikan 8 partai politik peserta Pemilu 2004 yang tidak

42 Firman Noor,” Penyederhanaan Partai”, 1 Maret 2008.43 Indra Jaya Piliang, “Kalau Bukan Demokrasi, Apa?”, TEMPO, 26 Desember 2007.

Page 25: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5956

memiliki kursi di DPR, hal ini mengulangi pengalaman pemilu 1999 dan

2004 yang mensyaratkan electorald treshold 2 % dan 3 % tapi dalam praktek

tidak diterapkan secara tegas. Munculnya pasal ini ditenggarai adalah

sebagai “trade off” antar kekuatan parlemen, pasal ini ditukar dengan

kebijakan perubahan dapil dan kursi serta penarikan sisa suara ke propinsi

yang didukung partai-partai besar di parlemen yang dipastikan akan

mengaburkan akuntabilitas suara dan kursi yang diperoleh.

Penutup

Problem sistem presidensiil dan praktek parlementarian dengan

kekarutan multi partai majemuk ekstrem yang ada dapat diselesaikan

dengan berbagai langkah; Pertama, ketika sistem presidensiil telah menjadi

amanat konstitusi maka segala konvensi praktek parlementarian harus

dihentikan, hubungan Pemerintah dan Parlemen dikembalikan dalam

kerangka checks and balances, jika solusi untuk mendudukkan relasi fungsi

kelembagaan adalah melalui amandemen-maka amandemen ke 5 patut

untuk didorong keinginan DPD dan Presiden untuk mengamandemen

UUD 1945 memperlihatkan hal tersebut, namun momentum pasca Pemilu

2009 lebih tepat, agar amandemen jauh dari kepentingan jangka pendek.

Hal lain yang perlu dilakukan adalah merubah sikap-perilaku partai

politik yang sudah terjangkit virus parlementarian, pembentukan kabinet

bayangan (shadow cabinet) di Parlemen oleh politikus muda adalah salah

satu contohnya, kabinet bayangan mafhum di sistem parlementer dan

biasa dijadikan instrumen partai oposisi di parlemen sebagai penyusunan

kebijakan partai.

Kedua, dengan dipilihnya sistem Presidensiil maka penyederhanaan

partai mutlak diperlukan, tidak mungkin sistem presidensiil ditopang

dengan multi partai yang ultra majemuk, praktek di negara yang

demokrasinya stabil tidak mengawinkan sitem multipartai dan presidensiil,

maka penerapan ET da PT sebesar 3% dan 2,5 % dalam UU Pemilu patut

didukung dan diterapkan secara konsisten, tidak mungkin kita satu sisi

menginginkan penyederhanaan partai-tapi di sisi yang lain kran untuk

berdirinya partai politik baru terus kita buka, untuk konteks Indonesia

format multi partai sederhana yang tepat untuk diterapkan;

Ketiga, format koalisi yang ada selama ini perlu diubah, untuk

memperkuat sistem presidensiil-koalisi harus permanen dan dibentuk

sebelum pemilu legislatif (perlu dimasukkan dalam RUU Pilpres), karena

Page 26: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 57

hal ini akan mengikat dan mendisiplinkan partai peserta koalisi, koalisi

dibangun berdasarkan platform perjuangan dan visi bersama, koalisi tidak

dibentuk untuk mengakomodasi semua representasi politik, tapi yang

dibutuhkan adalah koalisi yang smurf dan lincah dalam mengeksekusi

kebijakan, dan hal ini tentu membutuhkan dukungan pemerintahan (gov-

erning support) di parlemen, hal tersebut juga bisa disupport ketika UU

Kementerian Negara segera dibahas dan disahkan-karena hal ini akan

menjadi kerangka penyusunan kabinet, sehingga presiden tidak terus

dirongrong kepentingan representasi parpol-tapi mengisi kabinet dengan

orang yang capable-bermoral;

Ke depan, diharapkan Republik ini mempunyai Presiden yang tidak

“terlalu banyak” pertimbangan dan kalkulasi dalam merumuskan

kebijakan politiknya, khususnya mempertimbangkan sekutu politiknya,

sementara dirinya merupakan produk legalitas mandat rakyat secara

langsung, ketika itu terjadi bukan sistem yang dipersalahkan-tapi mungkin

kita telah salah memberikan mandat (ke Presiden), meminjam kata-kata

Marsilam Simanjuntak: “Pekerjaan Pemerintah (baca: Presiden) itu adalah

membuat keputusan dan menjalankannya dengan konsekuen”[.]

Daftar Pustaka

Arend Lipjhart, ed,”Parliamentarism versus Presidential Government” (Oxford:

Oxford University-Press,1992.

Bambang Cipto, “Politik & Pemerintahan Amerika”, ctk pertama, Lingkaran,

Yogyakarta,2003.

Bantarto Bandoro, J.Kristiadi, Mari Pangestu dan Onny S.Prijono

(penyunting),”Refleksi Setengah Abad Kemerdekaan Indonesia”, Ctk.

Pertama, CSIS, Jakarta, 1995.

Ign Ismanto, J.Kristiadi, Indra J.Piliang (et al) ; Penyunting T.A Legowo,

Y.Subagyo, Sutomo (et al), “Pemilihan Presiden Secara Langsung 2004;

Dokumentasi, Analisis dan Kritik” ctk pertama Jakarta :Kedeputian

Dinamika Masyarakat Menristek RI, 2005 Kerjasama dengan

Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS.

J.D. Legge, “Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan

Kelompok Sjahrir”, hal 179-182, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Matthew Soberg Sughart dan John M Carey,”President and Asembly:

Constitutional Design and Electoral Dynamics”, Cambridge

Unversity Press, 1992.

Page 27: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

JURNAL HUKUM NO. 1 VOL. 15 JANUARI 2008: 32 - 5958

Jimly Asshiddiqie, “Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia”, ctk. pertama

Jakarta, 2005, Kontitusi Press.

Joe Foweraker, “Institutional Design, Party Systems, Governability: Differentiating

the Presidential Regimes of Latin America”, British Annal of Political Science

28 (4) (Oct. 1998), Cambridge University Press, 1998.

Jose Antonio Cheibub, “Minority Governments, Deadlock Situations, and the

Survival of Presidential Democracies” Comparative Political Studies 35(3)

(April 2003), Sage Publications.

M. Rusli Karim,”Perjalanan Partai Politik Di Indonesia; Sebuah Potret Pasang

Surut”,Ctk 3, Jakarta;Rajawali Press.

Matthew Soberg Shugart and John Carey,”Presidents and Assemblies”,

Cambridge: Cambridge University Press, 1992.

Saldi Isra, “Dinamika Ketatanegaraan Masa Transisi 2002-2005”, Padang,

Andalas University Press, Agustus 2006.

Scott Mainwaring,”Presidentialism, Multipartism, and Democracy:The Difficult

Combination”,Comparative Political Studies, 26 (1993).

Tim Litbang Kompas-Ed. Pemilu, “Partai-partai Politik Indonesia : Ideologi,

Strategi dan Program”, cet.1.-Jakarta : Kompas, 1999.

William R Thomson dan Monte Palmer,”The Comparative analysis of Politics”,

1978.

Abdul Gaffar Karim, “Kabinet Bayangan” , 7/09/2007.

Carlos Pereira and Bernardo Mueller, “The Cost of Governing: Strategic

Behavior of the President andLegislators in Brazil’s Budgetary Process,”

Comparative Political Studies, Vol. 37, No. 7, September 2004, 781-815.

G. Bingham Powell, Jr., Contemporary Democracies, dalam jurnal Dephan

“Indikator Sistem Politik Demokratis” 2002.

R. William Liddle and Saiful Mujani, “A New Multiparty Presidential

Democracy”, Asian Survey. Vol XLVI, No 1, January/February 2006

Press, Agustus 2006 dalam Skripsi Sexio Yuni Noor Sidqi “Partai

Politik dan Transisi Demokrasi di Indonesia (Studi Perkembangan Partai

Politik dari era Orde Baru-Reformasi)”,2005, FH-UII)

Lance Castles, “Pengalaman Demokrasi Liberal di Indonesia”, (1950-1959)

dalam Seminar “Pendidikan Demokrasi dan Dialog Sipil-Militer”,

Tanggal 11 Juni 1998

Prof Dr Sofian Efendi, “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan”, dalam

dikusi terbatas dengan Tema:”Nasionalisme, Pancasila dan Globalisasi”,

yang diselenggarakan oleh Nusantara Institute, Tanggal: 11 Mar 2008.

UUD 1945 (Hasil Amandemen 1999-2002)

Page 28: Anomali Sistem Presidensial Indonesia (Evaluasi Praktek

Sexio Yuni NS. Anomali Sistem... 59

UUDS 1950

UU Pilpres 23 Tahun 2003

UU No. 10 Tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD.

Kompas, 17 September 2004

Kompas, 18 Desember 2007.

Kompas, 1 Maret 2008.

Kompas, 3 Maret 2008.

Kompas, 12 Maret 2008.

Kompas, 14 Maret 2008.

Kompas, 17 Maret 2008.

Kompas, 4 April 2008.

Kompas 5 April 2008.

Kompas, 12 Mei 2008.

TEMPO, 26 Desember 2007.

A Rahman Tolleng ,”What Next Hubungan Eksekutif-Legislatif ?”,# posted

dari www. Fordem.org :15.05.05, 22.45 Wib.

Sexio Yuni Noor Sidqi “Partai Politik dan Transisi Demokrasi di Indonesia

(Studi PerkembanganPartai Politik dari era Orde Baru-Reformasi)”,

Skripsi, 2005, FH-UII).