potensi geopark gunung batu dan curug cibengang kabupaten ... filesebagai jaringan geopark global...
TRANSCRIPT
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Potensi Geopark Gunung Batu dan Curug Cibengang
Kabupaten Jonggol, Jawa Barat Dewandio Yogaswara, M. Luthfi Audryan D , dan Paulus Johannes
Universitas Trisakti, Jln Kyai Tapa, Grogol, Jakarta Barat, 11440, DKI Jakarta
Email :[email protected]
Abstrak Indonesia merupakan negara yang terkenal akan keberagaman budaya dan keindahan alamnya. Hal
tersebut didukung dengan usulan pemerintah yang akan mengajukan 170 destinasi geodiversity baru
sebagai jaringan geopark global oleh Badan Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB
(UNESCO). Di Indonesia, banyak daerah yang minim intensitas eksposnya oleh wisatawan dalam
maupun luar negeri sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk memaksimalkan nilai jual objek
wisata, meliputi Gunung Batu dan Curug Cibengang, Kecamatan Sukamakmur Kabupaten Jonggol
Jawa Barat.
Metode yang digunakan adalah metode primer dan penginderaan jarak jauh. Berdasarkan fisiografi
Pulau Jawa oleh Van Bemmelen, daerah ini termasuk zona gunung api kuarter, dilihat dari batuan
beku yang mendominasi gunung tersebut. Batuan ini memiliki bentuk yang unik dan terdapat
kristal-kristal indah pada batuan. Kekerasan dari batuan beku cocok digunakan untuk olahraga
panjat tebing. Gunung Batu dengan ketinggian 875 mdpl sudah memiliki fasilitas pendakian yang
dibuat oleh warga sekitar dan pencinta alam, meski fasilitas tersebut masih kurang memadai. Objek
wisata kedua ialah Curug Cibengang, curug tersebut memiliki keindahan alam yang menakjubkan.
Curug ini hanya dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan
rumah tangga. Minimnya fasilitas yang menunjang lokasi tersebut menjadi alasan kami untuk
melakukan kajian terhadap Gunung Batu dan Curug Cibengang. Nyatanya, kedua tempat tersebut
memiliki potensi sebagai kawasan geopark nasional. Dengan terwujudnya pembenahan yang
dibutuhkan, memudahkan wisatawan dalam menikmati keindahan alam serta mempelajari ilmu
kebumian secara aman dan nyaman, pembenahan yang dilakukan dapat pula meningkatkan jumlah
wisatawan. Meningkatnya jumlah wisatawan dapat berimplikasi pada perekonomian warga sekitar
dan menjadi ikon baru di Jawa Barat.
Kata Kunci : Curug Cibengang, Geowisata, Gunung Batu, Jonggol, Jawa Barat.
Pendahuluan
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang
memiliki daya tarik geologis yang khas di
berbagai wilayah yang membentang dari
Sabang sampai Merauke. Beragam kekayaan
alam dapat ditemui di Indonesia, Sehingga
Indonesia berpotensi memiliki banyak objek
geowisata. Geowisata merupakan salah satu
bentuk perjalanan wisata minat khusus yang
didasari oleh ketertarikan/rasa ingin tahu pada
keragaman fenomena kebumian
(geodiversity). Geowisata sebagai salah satu
bentuk perjalanan wisata minat khusus yang
dapat dibangkitkan melalui apresiasi terhadap
obyek kebumian dan tata lingkungannya.
Geowisata juga dapat dijadikan jembatan
dalam rangka sosialisasi ilmu pengetahuan
alam, pendidikan lingkungan dan pelestarian
alam dan pada akhirnya diharapkan akan
terwujud pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan berbasis kearifan lokal. Namun,
kegiatan geowisata di Indonesia memang baru
dikenal pada tahun 1980-an sejak maraknya
para turis beransel (back-pack tourists).
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Sehingga harus dilakukan pengembangan
geowisata untuk meningkatkan daya tarik
wisatawan domestik maupun wisatawan
mancanegara. Salah satu daerah di Indonesia
yang berpotensi menjadi objek geowisata
berada tidak jauh dari Ibu Kota yaitu di
Kabupaten Jonggol. Selama ini kegiatan
pariwisata di Kabupaten Jonggol secara
signifikan dicirikan oleh Gunung Batu dan
Curug Cibengang. Kedua tempat tersebut
berada di wilayah Gunung Api Kuarter.
Namun, keberadaan objek geowisata tersebut
sampai saat ini hanya diketahui oleh warga
sekitar atau para geologis yang tertarik
dengan indahnya pemandangan, keunikan
bentang alam dan batuan di samping
pekerjaan utamanya mencatat proses-proses
geologis. Sayangnya, masyarakat awam luput
dengan adanya objek geowisata Gunung Batu
dan Curug Cibenang. Padahal, dalam kegiatan
geowisata tidak perlu menjadi seorang
geologis untuk mengapresiasi obyek
kebumian dan tata lingkungan. Inti dari
kegiatan geowisata sendiri adalah pemahaman
terhadap proses-proses geologis yang dikemas
dalam suatu kegiatan wisata.
Permasalahan akan rendahnya
pengetahuan masyarakat akan objek
geowisata Gunung Batu dan Curug
Cibengang berdampak pada rendahnya
jumlah pengunjung di Gunung Batu yaitu
hanya berkisar 20 – 30 orang di hari biasa dan
200 orang di akhir pekan. Tidak dapat
dihindari hal tersebut juga dikarenakan
infrastruktur yang kurang memadai di daerah
tersebut sehingga tidak sembarang wisatawan
dapat menikmati keindahan alam di Gunung
Batu. Kesulitan dalam transportasi serta
minimnya petunjuk arah menuju Gunung
Batu dan Curug Cibengang merupakan
kekurangan yang dimiliki obyek wisata ini.
Keamanan dalam mendaki gunung serta jalan
menuju curug dinilai masih kurang aman.
Oleh sebab itu, dengan terwujudnya
pembenahan yang dibutuhkan, memudahkan
wisatawan dalam menikmati keindahan alam
serta mempelajari ilmu kebumian secara aman
dan nyaman.
Tujuan
Untuk memperkenalkan potensi objek
geowisata gunung batu dan curug cibengang
kepada wisatawan baik domestik dan
mancanegara serta mendorong pemerintah
daerah untuk membenahi seluruh fasilitas
penunjang objek geowisata ini. Dengan
pembenahan yang dilakukan pemerintah
daerah, akan berimplikasi kepada
perekonomian masyarakat sekitar
Kerangka Pekerjaan
Permasalahan
Permasalahan yang akan diangkat
dalam penelitian ini merujuk pada aspek
kepariwisataan pada dua objek wisata yaitu
Gunung Batu dan Curug Cibengang. Kedua
objek wisata tersebut terletak berdekatan di
kabupaten Jonggol. Gunung Batu dan Curug
Cibengang memiliki potensi wisata dan
budaya yang mampu menarik wisatawan
dalam negeri maupun luar negeri. Namun,
potensi kedua objek wisata tersebut belum
diperdayakan secara optimal oleh masyarakat.
Hal tersebut dikarenakan fasilitas yang tidak
memadai bagi wisatawan untuk berekreasi di
kedua objek wisata tersebut. Kendala utama
terdapat pada keamanan objek wisata untuk
dikunjungi oleh wisatawan dan akses yang
sulit menuju dua objek wisata tersebut.
Ditambah dengan kurangnya kesadaran
pengunjung dalam menjaga fasilitas dan objek
wisata yang ada di Gunung Batu dan Curug
Cibengang. Hal tersebut berdampak pada
rendahnya jumlah pengunjung di objek wisata
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Gunung Batu dan Curug Cibengang. Untuk
itu penelitian ini bertujuan untuk mengaji
lebih lanjut agar potensi pada Gunung Batu
dan Curug Cibengang dapat dimanfaatkan
secara optimal menggunakan wawasan
pembangunan berkelanjutan.
Rumusan Masalah
1.Bagaimana cara mengoptimalkan kedua
objek wisata Gunung Batu dan Curug
Cibengang yang diakulturasi dengan budaya
masyarakat setempat yaitu “selametan bumi”?
2.Apa saja fasilitas yang dibutuhkan untuk
menunjang sarana dan prasarana yang
terdapat di Gunung Batu dan Curug
Cibengang?
3.Apa keuntungan akan didapat dari
permberdayaan objek wisata Gunung Batu
dan Curug Cibengang terhadap warga sekitar?
4.Apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk
menjaga objek wisata Gunung Batu dan
Curug Cibengang?
Hipotesis
Pemberdayaan yang maksimal pada
objek wisata Gunung Batu dan Curug
Cibengang dapat dilakukan dengan
memberikan kemudahan askses wisata dan
keamanan di objek wisata. Hal tersebut akan
berdampak pada naiknya jumlah pengunjung
dan perekonomian masyarakat disekitar objek
wisata Gunung Batu dan Curug Cibengang.
Metodologi
Penelitian berdasarkan metode primer
dan Penginderaan Jarak Jauh yaitu dengan
melakukan kajian langsung ke lapangan
dibantu dengan citra satelit. Dengan
melakukan kajian langsung ke lapangan
membantu mengetahui kondisi lokasi
penelitian secara nyata yang sebelumnya di
amati melalui citra satelit. Beberapa aspek
yang di amati adalah akses ,keamanan,nilai
pendidikan Berdasarkan parameter Knapik et
al, 2007
Tabel 1.1 Parameter geosite menurut knapik et al,
2007 Criterion Traits Point
Accessibility
Site clearly visible, located
directly on the touristic trail
or nature’s path
5
Site clearly visible, located
on the road or path
4
Site barely visible, located
more than 250 m away
from the path or road
3
Site difficult to access for
tourist (ex. significantly
overgrown or difficult to
access)
2
Site unavailable for tourists 1
State of
preservation
Well preserved site with no
visible signs of degradation
5
Site in slight violation of its
structure
4
Partially destroyed 3
Site heavily modified by
human
2
Site destroyed - loss
character of geosites
1
Scientific worth
Very high: one site in the
region, unique in a wider
scale
10
High: very important for
regional studies
8
Average: significant for
regional research
6
Low: common site with
average values
4
Very low: no particular
distinctive features
2
Education
significance
Very high: number of
represented issues: 5 and
more
10
High: number of
represented issues: 4
8
Average: number of
represented issues: 3
6
Low: number of
represented issues: 2
4
Very low: number of
represented issues: 1
2
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Parameter ini berdasarkan 4 aspek
yang dinilai, aspek pertama yaitu accessibility
(akses). Apakah lokasi dari geowisata terkait
mudah di akses atau tidak. Aspek kedua
adalah keutuhan dari objek geologi yang ada.
Apakah masih tersajikan dengan baik atau
tidak. Aspek yang ketiga dan keempat adalah
nilai ilmu pengetahuan dan pendidikan. Dari
hasil akumulasi poin yang didapat akan
menunjukan nilai potensi geowisata secara
kuantitatif. Sebenarnya banyak sistem
penilaian yang ada, namun sistem penilaian
dari Knapik et al, 2007 di rasa paling objektif.
Selain itu dalam penelitian ini ditentukan
koordinatnya menggunakan GPS untuk
mengetahui lokasi geowisata secara akurat.
Gambar 1.1 dan 1.2 Pencarian Koordinat Menggunakan GPS
Dari koordinat yang didapat akan di
proyeksikan ke peta dengan bantuan peta citra
satelit Google earth.
Gambar 1.3 Citra Satelit melalui Google Earth
Diskusi
Berdasarkan teori yang dicetuskan van
Bemmelen (1949) mengenai morfologi dan
tektonik Jawa Barat, daerah penelitian
merupakan bagian dari Zona Bogor, terletak
di sebelah selatan pantai utara, membentang
dari Rangkasbitung sampai ke Bumiayu. Zona
ini disusun oleh batuan yang berumur Neogen
yang terlipat kuat. Zona ini telah mengalami
tektonik yang kuat sehingga terlipatkan dan
membentuk antiklinorium yang cembung ke
utara dan cukup rumit. Selain itu muncul
tubuh-tubuh intrusi yang umumnya berelief
lebih terjal.
Gambar 2.1 Gambar Peta Geologi Dareah Kabupaten Jonggol
2014
Berdasarkan Gambar 1 yang menunjukan peta
geologi milik Yonathan Chandra tahun 2014,
daerah penelitian termasuk zona vulkanik
yang memiliki satuan litologi andesit. Hal ini
dibuktikan dengan sampel yang di dapat
peneliti yaitu batu andesit. Batu Andesit
berasal dari Magma yang biasanya meletus
dari stratovolcanoes pada lahar tebal yang
mengalir, beberapa diantaranya dapat
menyebar luas hingga beberapa kilometer dari
pusat letusan. Magma Andesit dapat juga
menghasilkan letusan seperti bahan peledak
yang kuat yang kemudian membentuk arus
pyroclastic dan surges dan suatu kolom
letusan yang sangat besar. Di dalam andesite
terdapat sekitar 52 dan 63 persen kandungan
silika (Sio2). Mineral-mineral penyusun
Andesite yang utama terdiri dari plagioklas
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
feldspar dan juga terdapat mineral pyroxene
(clinopyroxene dan orthopyroxene) dan
hornblende dalam jumlah yang kecil.
Sehingga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
batu belah untuk Bahan konstruksi (bangunan
dan jalan), bangunan perumahan, alas jalan
dan lain-lain.
Gambar 2.2 Metode Sistem Penginderaan Jarak Jauh pada
Gunung Batu
Selain metode primer, penulis juga
menggunakan metode sistem penginderaan
jarak jauh. Penginderaan jauh merupakan
suatu pengambilan atau pengukuran data atau
informasi mengenai sifat dari sebuah
fenomena, objek, atau benda dengan
menggunakan sebuah perekam tanpa
berhubungan langsung dengan objek yang
akan dikaji. Pendapat lain mengenai metode
sistem Penginderaan Jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang
suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui
analisis data yang diperoleh dengan suatu alat
tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah,
atau fenomena yang dikaji (Lillesand &
Kiefer, 1994). Pemakaian penginderaan jauh
itu antara lain untuk memperoleh informasi
yang tepat. Dalam penginderaan jauh dapat
memasukkan data atau hasil observasi yang
disebut citra. Citra dapat diartikan sebagai
gambaran yang tampak dari suatu objek yang
sedang diamati, sebagai hasil liputan atau
rekaman suatu alat pemantau.
Citra satelit digunakan oleh penulis
untuk membantu melihat realitas kondisi
medan jalan yang dilalui serta melihat jalur-
jalur alternatif menuju lokasi pengamatan.
Penginderaan jauh dibutuhkan juga untuk
melihat kenampakan alam disekitar lokasi
pengamatan. Penggunaan Penginderaan jauh
pada Gunung Batu juga memberikan
informasi bahwa Gunung Batu memiliki
jurang disisi kanan-kiri sepanjang
punggungan gunung yang merupakan jalur
menuju puncak.
Gambar 2.3 menunjukan adanya jurang yang
curam. Kekurangan dari penginderaan jarak
jauh yaitu gambar dari citra satelit tidak
mengalami pembaharuan setiap hari dan
mungkin berbeda dari pengamatan langsung,
tetapi penginderaan jauh tetap diperlukan
untuk menganalisa keadaan di Gunung Batu.
Berdasarkan penginderaan jarak jauh
jarak antara kedua objek wisata yaitu Gunung
Batu dan Curug Cibengang pada Curug
Cibengang tidak terlalu jauh. Pada perjalanan
antara kedua objek wisata tersebut dapat
dilihat pematang sawah, sungai kecil, serta
rumah-rumah penduduk. Melalui foto citra
satelit, terdapat jurang yang cukup tinggi pada
jalur menuju Curug Cibengang. Hal tersebut
masih berbahaya bila dilewati oleh
Gambar 2.3 Citra Satelit Gunung Batu dan Jalur Mendaki dilihat
Melalui Google Earth
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
wisatawan. Sama halnya dengan jalur
pendakian di Gunung Batu, jalur menuju
Curug Cibengang masih membutuhkan
fasilitas keselamatan bagi pengunjung.
Gambar 2.4 Citra Satelit Perjalanan Antara Gunung Batu dan
Curug Cibengang
Akses menuju objek wisata
merupakan masalah yang utama dijumpai dan
termasuk permasalahan dalam penelitian ini.
Dikarenakan kurangnya transportasi yang ada
di daerah Jonggol, serta minimnya
transportasi yang langsung menuju Gunung
Batu dan Curug Cibengang.
Gambar 2.5 dan 2.6 Akses Menuju Gunung Batu dan Curug
Cibengang
Transportasi yang tersedia hanya sebatas
melewati jalan utama sehingga untuk menuju
jalur pendakian Gunung Batu harus menyewa
angkutan umum dikarenakan tidak ada
angkutan umum yang menuju Gunung Batu
langsung.
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Gambar 2.7 Angkutan warga yang biasa disewa sebagai
Transportasi menuju Gunung Batu
Selain masalah akses menuju objek
wisata, keamanan objek wisata di Gunung
Batu dan Curug Cibengang juga menjadi
konsentrasi permasalahan yang diangkat.
Seperti penjabaran sebelumnya, jalur
pendakian yang terjal dan terdapat jurang di
sisi kanan dan kiri menjadi konsentrasi
penulis terhadap masalah terkain infrastruktur
di objek wisata. Sehingga, perlu adanya
pembangunan sarana seperti pagar pembatas
dan tambahan tali tambang disekitar area
tersebut. Selain keamanan yang kurang layak
terdapat juga tindakan wisatawan yang
merusak lingkungan objek wisata. Tindakan
tersebut dapat dikatakan sebagai tindakan
yang tidak bertanggung jawab yaitu
mencorat-coret menggunakan spidol dan cat
semprot pada batuan di Gunung Batu.
Penambahan papan pengumuman/peringatan
agar menjaga dan tidak mencoret2 lingkungan
bisa mengurangi serta menjaga lingkungan
dan objek geologi yang ada di Gunung Batu
dan Curug Cibengang.
Gambar 2.8 dan 2.9 Visualisasi Penambahan Sarana di
Gunung Batu (atas) dan Curug Cibengang (bawah)
Gambar 2.10 Visualisasi Penambahan Sarana di Gunung
Batu
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
Gambar 2.11 Bukti pencoretan lingkungan objek wisata
Peneliti juga menemukan potensi yang
dapat mendukung kedua objek wisata tersebut
dijadikan sebagai geopark. Disekitar Gunung
Batu dan Curug, terdapat sebuah budaya khas
unik yang masih mendarah daging pada
masyarakat yaitu “selametan bumi”. Budaya
tersebut ditujukan untuk yang menunjukan
rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang
Maha Esa atas panen raya yang terjadi setiap
tanggal 17 Agustus. Para wisatawan yang
berkunjung pada tanggal 17 Agustus dapat
mengikuti rangkaian acara “selamatan bumi”
tersebut selagi menikmati keindahan alam di
objek geowisata Gunung Batu dan Curug
Cibengang.
Gambar 2.12 Budaya Selametan Bumi
Selain itu, berdasarkan parameter
Knapik et al, 2007 secara akses Gunung Batu
berjarak 250 meter atau lebih dari jalan raya (
Point 3) karena harus melalui jalan yang
belum beraspal. Dari segi keutuhan objek
geologi, lokasi penelitian Gunung Batu
termasuk kategori partially destroyed ( Point
3) karena pengaruh erosi yang menyebabkan
objek tidak terlalu tampak jelas . Untuk
manfaat keilmuan sains, lokasi terkait
termasuk kategori rata- rata (dengan point 6)
karena hanya diperuntukkan penelitian secara
regional. Sedangkan nilai pendidikan
termasuk rendah karena keragaman objek
yang tidak bervariasi.(point 2).
Berbeda dengan Curug Cibengang,
dinilai berdasarkan parameter Knapik bahwa
akses menunju Curug Cibengang termasuk
unavalaible for tourist karena akses ke curug
cibengang sangat sulit dan hanya dikunjungi
oleh warga sekitar (point 1). Dari segi
keutuhan objek geologi, lokasi Curug
Cibengang termasuk dalam kategori Site
destroyed karena tingkat degradasi yang
tinggi menyebabkan hancurnya objek
walaupun begitu masih menyisakan sedikit
objek geologi (point 3). Untuk manfaat
keilmuan sains, curug ini termasuk kategori
common site with average values karena lebih
fokus untuk kepentingan view yang disajikan
tanpa mengabaikan nilai sains (poin 4).
Sedangkan nilai sains dari curug cibengang
adalah rendah, karena kurangnya variasi objek
geologi ( poin 2 ). Nilai yang didapat
berdasarkan pengukuran parameter Knapik,
maka akumulasi poin gunung batu adalah 14
dan untuk curug cibengang adalah 10.
Penilaian ini menandakan perlunya
pengembangan lebih lanjut agar potensi yang
ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini bahwa
Gunung Batu dan Curug Cibengang memiliki
potensi sebagai salah satu geopark di
Indonesia. Namun, minimnya fasilitas serta
sulitnya akses untuk mencapai objek wisata
Gunung Batu dan Curug Cibengang menjadi
Seminar Nasional Ke – III
Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran
“Peran Geologi dalam Pengembangan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Kebencanaan”
masalah utama pada penelitian ini.
Transportasi yang sulit menuju objek wisata
serta aspek keamanan yang kurang
diperhatikan menjadi salah satu faktor
masalah pada kedua objek wisata.
Ada pun saran yang dapat diberikan
penulis selaku peneliti yaitu kerjasama antara
pemerintah dan pengelola objek wisata agar
dapat memberikan akses transportasi yang
lebih mudah bagi pengunjung. Selain itu, jalur
pendakian dan jalur menuju curug juga harus
mendapat perhatian dengan menambahkan
fasilitas keamanan seperti pagar karena pada
kanan dan kiri jalur terdapat jurang yang
curam. Perilaku pengunjung juga terkadang
tidak terduga salah satunya mencorat-coret
objek batuan yang ada pada kedua objek
wisata. Oleh karena itu, penegasan berupa
peraturan dan sanksi tertulis guna menjaga
kelestarian objek geologi yang ada.
Dengan upaya-upaya tersebut,
diharapkan meminimalisir masalah yang ada
di Gunung Batu dan Curug Cibengang dapat
teratasi. Sehingga, hal tersebut akan
mendorong jumlah pengunjung yang datang
setiap bulannya ke objek wisata Gunung Batu
dan Curug Cibengang. Penulis juga
mengharapkan dari naiknya jumlah
pengunjung dapat mengubah perekonomian
warga sekitar menjadi lebik baik.
Pustaka
Brahmantyo, Budi. (2009). Menggali Akar
Geowisata oleh Dr. Ir. Budi
Brahmantyo. Diakses dari:
http://www.fitb.itb.ac.id/berita/Kampu
s/080000/15/10/2009/830/Menggali-
Akar-Geowisata-oleh-Dr.Ir.-Budi-
Brahmantyo/ Diakses pada 26 Maret
2016 pukul 10:44
Prasetyadi, C. (2008). Exploring Jogja
Geoheritage: The Lifetime of An
Ancient Volcanic Arc in Java.
Yogyakarta: Geology Department
Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta
Simanjuntak, Wilson Chani dkk. (2012).
Memadu Harmoni dan Budaya
Nusantara. Diakses dari:
https://www.scribd.com/doc/7723337
5/GEOWISATA Diakses pada 21
Maret 2016 pukul 14:23
Tripod. (2014). Batuan Beku Intermediet
Vulkanik. Diakses dari: http://petrolab-
upn.tripod.com/Andesit.html. Diakses
pada 2 Maret 2016 pukul 13:28
Zakaria, Zufialdi. (2008). Identifikasi
Kebencanaan Geologi Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat. Bandung: FTG
Universitas Padjajaran
Knapik, R., Sobczyk, A., Aleksandrowski, P.,
2007. Karkonoski National Park –
proposed geodiversity conservation
area in the European
Chandra Yonathan (2014). Struktur Kekar
dan Sesar Berdasarkan Detail Struktur
Analisis Daerah Desa Sukaharja,
Kecamatan Cariu, Kabupaten Bogor,
Provinsi Jawa Barat, Teknik Geologi,
Universitas Trisakti
.