pohon hayat

38
Pohon hayat Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu. Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian. Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek. *** Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai. Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya. ”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek. Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku. ”Nek,” aku menjawil lengan nenek. ”Ya?” ”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?” ”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.” ”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?” ”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”

Upload: muenk-muengan

Post on 27-Nov-2015

83 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

dthstgjsrtjsaetjet

TRANSCRIPT

Page 1: Pohon Hayat

Pohon hayat

Sebelum daun milik nenek gugur, nenek pernah bercerita perihal sebuah pohon yang tumbuh di tengah alun-alun kota. Kata nenek, pohon itu telah ada sejak ratusan atau mungkin ribuan tahun lalu.

Tak ada yang tahu persis, kapan dan bagaimana pohon itu tumbuh. Sewaktu nenek kecil, pohon itu sudah menjulang meneduhi alun-alun kota, serupa payung raksasa. Menilik kokohnya, tampaknya akarnya telah menancap jauh ke kedalaman bumi. Batangnya pun tampak seperti lengan lelaki yang kuat dan penuh urat. Dahan dan ranting berjabar serupa jari-jemari yang lentik. Dedaunnya lebar serupa wajah-wajah yang tengah tersenyum dalam keabadian.

Kata nenek, kehidupan setiap penduduk di kota ini tersemat di tiap daun yang bertengger di cabang, ranting, dan tangkai pohon itu. Setiap kali ada satu daun yang gugur, artinya seseorang di kota ini telah lepas dari kehidupan. Satu daun artinya satu kehidupan, begitu kisah nenek.

***Suatu ketika, aku pernah mendesak nenek untuk mengantarku ke alun-alun kota, untuk melihat langsung pohon itu. Tentu saja tanpa sepengetahuan ibu. Karena, kalau ibu tahu pasti ibu tak akan mengizinkan. Diam-diam kami pun berangkat, pelan-pelan aku menuntun nenek yang jalannya sudah tidak tegap lagi. Jarak antara rumah dan alun-alun kota sebenarnya tidak terlalu jauh. Kami cukup naik angkutan umum satu kali, tak sampai setengah jam kami sudah sampai.

Begitu sampai di alun-alun kota, nenek langsung mengajakku ke pusat alun-alun, tempat di mana pohon itu berada. Kami berteduh di bawahnya, nenek duduk dengan napasnya yang terdengar ngik-ngik. Kepala nenek menengadah ke atas. Aku pun menirukannya.

”Banyak sekali misteri dan kehidupan di atas sana,” gumam nenek.

Lelah menengadahkan kepala, aku pun menunduk. Tampak daun-daun kering berserakan di mana-mana, sebagian terinjak-injak oleh kakiku.

”Nek,” aku menjawil lengan nenek.

”Ya?”

”Apakah daun-daun kering yang berserakan di bawah ini adalah jasad orang-orang yang sudah mati?”

”Ya, daun-daun itu adalah jasad tilas mereka dari pohon kehidupan.”

”Berarti jasad tilas ayah ada di antara daun-daun kering itu?”

”Mungkin. Tapi nenek kira, kini, jasad ayahmu sudah menyatu kembali dengan tanah.”

”Nek.”

”Ya?”

”Mengapa daun-daun kering itu tidak dibersihkan atau dibakar saja.”

”Tak perlu, lambat laun mereka juga akan kembali ke muasalnya, tanah, melebur menjadi tanah. Dari tanah kembali ke tanah.”

Page 2: Pohon Hayat

Kepalaku kembali menengadah, ”Kalau daun-daun kemuning yang ada di atas sana itu siapa?”

”Mereka adalah orang-orang tua yang masih hidup di kota ini, mereka-mereka yang sudah lama bertengger di atas pohon kehidupan.”

”Apakah mereka akan segera gugur.”

”Tentu saja, Nak. Gugur adalah takdir mereka.”

”Apa Nenek ada di antara salah satu daun kemuning yang ada di atas sana, yang siap gugur itu?”

”Nenek tak tahu. Itu rahasia yang di atas, tak seorang pun berhak tahu.”

Aku terus menengadahkan kepala, mencari-cari di mana letak daun milik nenek, milikku, dan juga milik ibu.

”Nek.”

”Ya?”

”Tunas-tunas daun yang tersemat di pucuk pohon itu, pasti adalah bayi-bayi yang baru lahir di kota ini, ya, kan?”

”Ya. Benar, memang kenapa?”

”Berarti, sekarang, aku berada di antara daun-daun muda yang bertengger di atas sana?”

”Ya. Tentu saja.”

”Artinya, masa gugurku masih sangat lama, ya, Nek?”

Nenek mengernyitkan dahi, ”Siapa bilang? Setiap lembar daun kehidupan yang ada di atas sana adalah rahasia. Tak ada seorang pun yang tahu. Gugur adalah hak semua daun, dari yang kemuning, yang masih segar dan hijau, bahkan yang masih tunas pun bisa saja patah dan gugur.”

Aku terdiam. Mencerna kata-kata nenek.

***

Sepulang dari alun-alun kota, nenek mengeluhkan kaki tuanya yang keram. Beberapa hari berikutnya nenek terbaring sakit. Ibu menyebut penyakit nenek dengan ’penyakit orang tua’. Musabab itulah ibu tidak memarahiku ketika kukatakan bahwa sebenarnya akulah yang menyebabkan nenek sakit. Kian hari penyakit nenek kian parah. Tubuh nenek mati separuh. Tak bisa digerakkan. Nenek berak dan buang air kecil pun di tempat. Dengan sabar ibu mengurusinya. Barangkali memang itu kewajiban seorang anak. Ketika ibu masih bayi, pasti nenek juga melakukan hal yang sama.

Kian hari tubuh nenek kian kering. Bahkan ia sudah tidak sanggup lagi bicara. Saat itu aku benar-benar takut. Takut ditinggalkan nenek. Takut kehilangan nenek. Tiba-tiba aku teringat pohon itu. Daun-daun kemuning itu. Tanpa izin ibu, aku beringsut pergi menuju alun-alun kota. Aku berdiri di bawah pohon itu dengan kepala tengadah. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu sebuah daun gugur dari sana. Tapi tidak, detik itu aku tak ingin ada satu daun pun

Page 3: Pohon Hayat

gugur dari sana. Tapi seperti kata nenek, daun-daun di atas sana adalah rahasia. Tak seorang pun berhak tahu atas rahasia itu.

Berjam-jam aku berdiri di bawah pohon itu. Tak tampak satu daun pun yang gugur. Nenek hanya sakit tua biasa. Ia akan segera sembuh, bisikku dalam hati. Ketika aku beranjak pergi meninggalkan pohon itu, tiba-tiba angin berhembus. Sekilas hembus. Beberapa daun dari pohon itu melayang-layang di udara dan akhirnya rebah di tanah. Aku terdiam menyaksikannya, lalu pergi dengan rahasia yang masih mengepul kepala.

Sampai di rumah, tiba-tiba ibu memelukku dengan isakan lirih, ”Nenekmu sudah pergi.”

Bujur tubuh nenek mengingatkanku pada daun kemuning yang rebah di tanah, di alun-alun kota beberapa saat lalu.

***

Seiring usia, masa kecilku hilang dilalap masa. Sebagai remaja yang bebas, aku pun merantau dari kota ke kota. Satu hal yang kemudian kusadari, setiap kota yang kusinggahi selalu memiliki pohon besar yang tumbuh menjulang di alun-alunnya. Hal itu mengingatkanku pada cerita nenek tentang pohon kehidupan di alun-alun kotaku. Namun, geliat zaman menyulap cerita itu menjadi cerita picisan yang sulit untuk dipercaya.

Setiap manusia pasti akan pergi ke muasalnya. Tak ada hubungannya dengan pohon dan daun-daun. Tapi entahlah, hati kecilku selalu mengatakan bahwa cerita nenek itu benar adanya. Aku jadi bertanya-tanya, apakah setiap pohon yang ada di alun-alun kota adalah pohon kehidupan yang menyimpan rahasia kehidupan setiap penduduknya? Entahlah, kukira itu juga sebuah rahasia.

***

Meski hidup dalam rantauan, aku selalu pulang ke kota ibu, kota lahirku, paling tidak setahun sekali. Setiap lebaran fitri. Dan benar, setiap tahun, alun-alun kotaku selalu mengalami perubahan. Taman, bangku-bangku, air mancur, bahkan kini di sisi-sisi jalan sudah ditanami ruko-ruko berderet. Mulai dari pengamen, pengemis, topeng monyet, penjual tahu petis keliling, bahkan tante-tante menor, semua tumplek blek di alun-alun kota. Satu-satunya hal yang tidak berubah adalah pohon itu. Pohon itu masih tampak kokoh dari waktu ke waktu. Setiap aku melihat pohon itu, rol film dalam kepalaku kembali berputar, menayangkan bocah kecil dan neneknya yang tengah asyik berbincang tentang kehidupan di bawahnya.

Tahun berlalu-lalang seperti manusia-manusia yang datang dan pergi di alun-alun kota. Kian tahun, pohon itu kian rimbun, penduduk kota kian merebak. Namun entahlah, daun-daun yang bertengger di pohon itu tampak kusam dan menghitam, warna hijau seperti pudar perlahan. Barangkali kian waktu kian banyak serangga dan hama yang hinggap di sana. Membuat sarang, mencari makan, membuang kotoran dan beranak pinak di sana. Aku jadi bertanya-tanya, apakah itu artinya, para manusia yang hidup di kota ini juga terserang hama? Entahlah.

***

Aku tak pernah menyalahkan waktu, tapi memang banyak sekali hal berubah oleh waktu. Kudengar dari ibu, kini, kota kelahiranku telah jauh berubah. Kian waktu, pepohonan kian habis. Sawah-sawah mulai ditumbuhi rumah-rumah. Tempat ibadah kian melompong. Muda-mudi lebih suka keluyuran ke mal dan bioskop-bioskop. Gadis-gadis kini tak sungkan lagi mengenakan pakaian setengah jadi. Para bujang pun lebih suka bergerombol di pinggir-pinggir jalan ditemani botol, kartu, dan gitar. Gadis hamil di luar nikah menjadi kabar biasa.

Page 4: Pohon Hayat

Merentet kemudian, banyak ditemukan bayi-bayi dibuang di jalan. Sengketa dan pembunuhan merajalela.

Barangkali orang-orang di kotaku memang sudah terserang hama. Seperti daun-daun di pohon kehidupan yang kian kusam di alun-alun kota. Berkali-kali ibu menggumamkan syukur, aku menjadi seorang perantau yang merekam berbagai pohon kehidupan, tanpa melupakan kenangan.

Di zaman yang sudah berubah ini, ruang tak pernah menjadi penghalang. Meski ruang kami berjauhan, setidaknya, setiap seminggu sekali, aku dan ibu saling bertukar kabar, bersilang doa.

”Kian waktu, dunia kian renta, Nak, seperti juga ibumu. Dari itu, pandai-pandailah engkau menempatkan diri,” begitu nasihat ibu yang terakhir yang sempat kurekam. ”Kian waktu, daun-daun itu pun akan luruh satu per satu dan habis. Suatu saat nanti, akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana.

”Kita hanya manusia yang naif dan rapuh, yang tak tahu apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah berjaga-jaga jika sewaktu-waktu nanti pohon kehidupan melepaskan kita dari tangkainya,” Ibu membisikkan nasihat-nasihat itu dengan suara serak. Tiba-tiba aku teringat kerutan yang berombak di dahinya, juga rambutnya yang mulai pecah memutih.

Terbayang dalam kepalaku bahwa kini, mungkin, daun ibu telah menguning dan siap luruh. Tiba-tiba aku ingin pulang, kembali terlelap dalam pangkuan ibu yang hangat. Namun, sebelum langkahku sampai di tanah lahir, telah kudengar kabar bahwa bencana besar telah melanda kotaku. Merebahkan seluruh kota setara dengan tanah. Ada yang mengatakan, bencana yang menimpa kota itu adalah sebuah cobaan. Ada pula yang mengartikan bencana itu sebagai peringatan. Namun, juga tidak sedikit yang mengemukakan bahwa bencana itu merupakan azab. Entahlah.

Ketika aku kembali ke kota itu, yang kutemui hanya kota yang mati. Dengan sisa-sisa kenangan, aku merelakan ibu, merelakan kotaku, merelakan tilas masa kecilku. Bersama air mata, semua kularung ke udara.

Aku merangkak mendatangi alun-alun kota yang telah porak poranda. Dari kejauhan, pohon itu masih tampak menjulang meski compang-camping. Di bawah pohon itu, tubuhku gemetar memandangi satu-satunya daun yang masih bertengger di sana.

”Suatu saat nanti akan tiba masanya, pohon itu akan tumbang tercabut dari akarnya. Semua sudah tercatat dan tersimpan rapi dalam perkamen rahasia yang tergulung di atas sana,” kata-kata ibu kembali mengiang di telinga.

Page 5: Pohon Hayat

Bersiap kecewa bersedih tanpa kata-kata

Aku menunggu setengah jam sampai toko bunga itu buka. Tapi satu jam kemudian aku belum berhasil memilih. Tak ada yang mantap. Penjaga toko itu sampai bosan menyapa dan memujikan dagangannya.

Ketika hampir aku putuskan untuk mencari ke tempat lain, suara seorang perempuan menyapa.

”Mencari bunga untuk apa Pak?”

Aku menoleh dan menemukan seorang gadis cantik usianya di bawah 25 tahun. Atau mungkin kurang dari itu.”Bunga untuk ulang tahun.”

”Yang harganya sekitar berapa Pak?”

”Harga tak jadi soal.”

”Bagaimana kalau ini?”

Ia memberi isyarat supaya aku mengikuti.

”Itu?”

Ia menunjuk ke sebuah rangkain bunga tulip dan mawar berwarna pastel. Bunga yang sudah beberapa kali aku lewati dan sama sekali tak menarik perhatianku.

”Itu saya sendiri yang merangkainya.”

Mendadak bunga yang semula tak aku lihat sebelah mata itu berubah. Tolol kalau aku tidak menyambarnya. Langsung aku mengangguk.

”Ya, ini yang aku cari.’

Dia mengangguk senang.

”Mau diantar atau dibawa sendiri?”

”Bawa sendiri saja. Tapi berapa duit?”

Ia kelihatan bimbang.

Page 6: Pohon Hayat

”Berapa duit.”

”Maaf sebenarnya ini tak dijual. Tapi kalau Bapak mau nanti saya bikinkan lagi.”

”Tidak, aku mau ini.”

”Bagaimana kalau itu?”

Ia menunjuk ke bunga lain.

”Tidak. Ini!”

”Tapi itu tak dijual.”

”Kenapa?”

”Karena dibuat bukan untuk dijual.”

Aku ketawa.

”Sudah, katakan saja berapa duit? Satu juta?” kataku bercanda.

”Dua.”

”Dua apa?”

”Dua juta.”

Aku melongo. Mana mungkin ada bunga berharga dua juta. Dan bunga itu jadi semakin indah. Aku mulai penasaran.

”Jadi, benar-benar tidak dijual?”

”Tidak.”

Aku pandangi dia. Dan dia tersenyum seperti menang. Lalu menunjuk lagi bunga yang lain.

”Bagaimana kalau itu?”

Aku sama sekali tak menoleh. Aku keluarkan dompetku, lalu memeriksa isinya. Kukeluarkan semua. Hanya 900 ratus ribu. Jauh dari harga. Tapi aku taruh di atas meja berikut uang receh logam.

Dia tercengang.

”Bapak mau beli?”

”Ya. Tapi aku hanya punya 900 ribu. Itu juga berarti aku harus jalan kaki pulang. Aku tidak mengerti bunga. Tapi aku menghargai perasaanmu yang merangkainya. Aku merasakan kelembutannya, tapi juga ketegasan dan kegairahan dalam karyamu itu. Aku mau beli bunga kamu yang tak dijual ini.”

Dia berpikir. Setelah itu menyerah.

”Ya, sudah, Bapak ambil saja. Bapak perlu duit berapa untuk pulang?”

Page 7: Pohon Hayat

Aku terpesona tak percaya.

”Bapak perlu berapa duit untuk ongkos pulang?”

”Duapuluh ribu cukup.”

”Rumah Bapak di mana?”

”Cirendeu.”

”Cirendeu kan jauh?”

”Memang, tapi dilewati angkot.”

”Bapak mau naik angkot bawa bunga yang aku rangkai?”

”Habis, naik apa lagi?”

”Tapi angkot?”

”Apa salahnya. Bunga yang sebagus itu tidak akan berubah meskipun naik gerobak.”

”Bukan begitu.”

”O, kamu tersinggung bunga kamu dibawa angkot? Kalau begitu aku jalan kaki saja.”

”Bapak mau jalan kaki bawa bunga?”

”Ya, hitung-hitung olahraga.”

Dia menatap tajam.

”Bapak bisa ditabrak motor. Bapak ambil saja uang Bapak 150 untuk ongkos taksi.”

Aku tercengang.

”Kurang?”

“Tidak. Itu bukan hanya cukup untuk naik Blue Bird, tapi juga cukup untuk makan double BB di BK PIM.”

Dia tersenyum. Cantik sekali.

”Silakan. Bapak perlu kartu ucapan selamat di bunga?”

”Tidak.”

Dia berpikir.

”Jadi, bukan untuk diberikan kepada seseorang? Bunga ini saya rangkai untuk diberikan pada seseorang.”

”Memang. Untuk diberikan pada seseorang.”

”Yang dicintai mestinya.”

Page 8: Pohon Hayat

”Ya. Jelas!”

”Sebaiknya, Bapak tambahkan ucapannya. Bunga ini saya rangkai untuk diantar dengan ucapan. Diambil dari puisi siapa begitu yang terkenal. Misalnya Kahlil Gibran.”

Aku terpesona lalu mengangguk.

”Setuju. Tapi tolong dicarikan puisinya dan sekaligus dituliskan.”

Ia cepat ke belakang mejanya mengambil kartu.

”Sebaiknya Bapak saja yang menulis.”

”Tidak. Kamu.”

Ia tersenyum lagi mungkin merasa lucu. Lalu menyodorkan sebuah buku kumpulan sajak. Aku menolak.

”Kamu saja yang memilih.”

”Tapi, saya tidak tahu yang mana untuk siapa dulu.”

”Pokoknya yang bagus. Yang positip.”

”Cinta, persahabatan, atau sayang?”

”Semuanya.”

Ia tertawa. Lalu menulis. Tampaknya ia sudah hapal di luar kepala isi buku itu. Ketika ia menunjukkan tulisannya, aku terhenyak. Itu bukan sajak Gibran, tapi kalimat yang ditarik dari sajak Di Beranda Itu Angin Tak Berembus Lagi karya Goenawan Mohamad:”Bersiap kecewa, bersedih tanpa kata-kata.”

Aku terharu. Pantas Nelson Mandela mengaku mendapat inspirasi untuk bertahan selama 26 tahun di penjara Robben karena puisi.

”Bagus?”

Aku tiba-tiba tak sanggup menahan haru. Air mataku menetes dengan sangat memalukan. Cepat-cepat kuhapus.

”Saya juga sering menangis membacanya, Pak.”

”Ya?”

”Ya. Tapi sebaiknya Bapak tandatangani sekarang, nanti lupa.”

Aku menggeleng. Aku kembalikan kartu itu kepadanya.

”Kamu saja yang tanda tangan.”

”Kenapa saya?”

”Kan kamu yang tadi menulis.”

”Tapi itu untuk Bapak.”

Page 9: Pohon Hayat

”Ya memang.”

Ia bingung.

”Kamu tidak mau menandatangani apa yang sudah kamu tulis?”

”Tapi, saya menulis itu untuk Bapak.”

”Makanya!”

Ia kembali bingung.

”Kamu tak mau mengucapkan selamat ulang tahun buat aku?”

Dia bengong.

”Aku memang tak pantas diberi ucapan selamat.”

”Jadi, bunga ini untuk Bapak?”

”Ya.”

”Bapak membelinya untuk Bapak sendiri?”

”Ya. Apa salahnya?”

”Bapak yang ulang tahun?”

”Ya.”

Dia menatapku tak percaya.

”Kenapa?”

”Mestinya mereka yang yang mengirimkan bunga untuk Bapak.”

”Mereka siapa?”

”Ya, keluarga Bapak. Teman-teman Bapak. Anak Bapak, istri Bapak, atau pacar Bapak…”

”Mereka terlalu sibuk.”

”Mengucapkan selamat tidak pernah mengganggu kesibukan.”

”Tapi itu kenyataannya. Jadi aku beli bunga untuk diriku sendiri dan ucapkan selamat untuk diriku sendiri karena kau juga tidak mau!”

Aku ambil uangku dan letakkan lebih dekat ke jangkauannya. Lalu aku ambil bunga itu.

”Terima kasih. Baru sekali ini aku ketemu bunga yang harganya 900 ribu.”

Aku tersenyum untuk meyakinkan dia bahwa aku tak marah. Percakapan kami tadi terlalu indah. Bunga itu hanya bonusnya. Aku sudah mendapat hadiah ulang tahun yang lain dari yang lain.

Tapi sebelum aku keluar pintu toko, dia menyusul.

Page 10: Pohon Hayat

”Ini uang Bapak,” katanya memasukkan uang ke kantung bajuku sambil meraih bunga dari tanganku, ”Bapak simpan saja.”

”Kenapa? Kan sudah aku beli?”

Aku raih bunga itu lagi, tapi dia mengelak.

”Tidak perlu dibeli. Ini hadiah dariku untuk Bapak. Dan aku mau ngantar Bapak pulang. Tunjukkan saja jalannya. Itu mobilku.”

Dia menunjuk ke sebuah Ferrari merah yang seperti nyengir di depan toko.

”Aku pemilik toko ini.”

Aku terkejut. Sejak itulah hidupku berubah.

Jakarta, 30 Juni 2011

Ikan Kaleng

Sam tiga hari di Jayapura; dia guru ikatan dinas dari Jawa. Dan tak mengira, saat pembukaan penerimaan siswa baru buat SD Batu Tua 1 yang terletak sejurus aspal hitam dengan taksi (sebenarnya minibus), ada yang menggelikan sekaligus, mungkin, menyadarkannya diam-diam. Ia tersenyum mengingat ini.

Ketika seorang lelaki bertubuh besar, dengan tubuh legam dan rambut bergelung seperti ujung-ujung pakis lembut teratur menenteng dua anak lelakinya, sambil bertanya, “Ko pu ilmu buat ajar torang (kami) pu anak pandai melaut? Torang trada pu waktu. Ini anak lagi semua nakal. Sa pusing”

Sam memahami penggal dua penggal. Dia, seperti yang diajarkan saat micro teaching, mulai mengulai senyum lalu berkata, “Bapak yang baik, kurikulum untuk pendidikan dasar itu keterampilan dasar, matematika, bahasa indonesia, olahraga dan beberapa kerajinan..”“Ah, omong ko sama dengan dong (dia) di bukit atas! Ayo pulang!”

Kaget. Sam tersentak, belum lagi dia selesai. Dan ini tak pernah diajarkan di pengajaran mikro. Juga di buku diktum bab penerimaan siswa baru. Dia pucat; diraihnya segelas air putih.

Pendaftaran pertama memantik rasa sabar dan sesuatu yang asing dalam dirinya. Ia bersabar menunggu detik berikutnya dari lepas pukul sembilan. Ia mengelap lagi wajahnya. Di meja pendaftaran samping, kosong, Tati belum datang. Cuma ada Markus, Waenuri dan Tirto—teman sekelasnya yang sedang betugas masing-masing di ruang lain; mulai dari siap berkas, mencatat kebutuhan anggaran dan menyiapkan papan tulis. Bismillah, ia mengharap, tepat ketika sebarisan orang-orang legam bertelanjang kaki menjejaki halaman yang setengah becek bertanah merah, dilatari sisa-sisa alat berat dan bekas pengadukan material bangunan itu.

Dan syukurlah, meski dengan penjelasan yang tak kalah berat; setidaknya, tak ada yang seperti orang pertama. Begitu seterusnya sampai Tati tiba membantu. Tapi ia masih penasaran , siapa sebenarnya orang itu. Ia mencoba mencari tahu, hasilnya, ternyata lelaki pertama tadi adalah kepala suku Lat, berada di sekitar pantai sebelah kanan, menembus seratusan rengkuh dayung untuk sampai di kampungnya yang ada di laut. Kira-kira begitu kata orang -orang yang juga ada berasal dari sana.

Page 11: Pohon Hayat

“Trada perlu risau, dong itu memang keras kepala,” kata di penjelas itu sambil bisik bisik takut ada yang melaporkan omongannya.

/2/

Hari tadi tercatat dua puluh satu siswa terdaftar jadi angkatan baru sekaligus kelas baru buat sekolah itu. Usia mereka beragam. Hari berjalan, minggu silih berganti dan bulan menumpang tindih. Tepat memasuki bulan Agustus, keganjilan itu muncul kembali. Meski sebelumnya pernah terjadi, tapi kali ini semakin sering.

Dua anak itu sering muncul di halaman. Mereka nampak memandangi sesuatu yang mungkin aneh baginya. Teman-teman yang lain menghadapi sebuah tiang dengan bendera dua warna. Berbaris lalu menyanyi-nyanyi. Dari sini Sam merasa iba. Ia dekati. Dan tahu betul mereka itu yang tempo hari dibawa oleh kepala suku Lat.

“Kenapa kalian, ingin seperti mereka?”

“He-eh…” yang satu mengangguk. Ia menatap teman-temannya yang menyanyi-nyayi bersama itu dari sana terbalas, dua tiga melambai ke mereka yang ada di dekat jalan depan sekolah itu.

“Apa ko ini Do! Trada boleh!! Bapa ade bisa marah”

Mereka kemudian menjauh, menurun di bukit-bukit kecil bercadas, berkelok, samar dan hilang bersama suara angin dan pemandangan hijau hutan juga beberapa rumah penduduk dan sekali dua waktu minibus berlalu dengan muatan penuh.

Sam memutuskan sore nanti ia akan mengunjungi rumah anak-anak itu dan memberikan semacam penjelasan.

Dengan dibantu salah seorang wali murid, sampailah dia di rumah lelaki itu. Sam kemudian menyampaikan maksud dan sejumlah penjelasan terutama perihal anak mereka yang sering datang ke sekolah.

“Ko trada perlu ajari torang. Torang dah pu sekolah sendiri. Lihat mari! Justru murid ko yang mari”

Sam, dengan setengah tak percaya mengikuti lelaki itu. Turun dari rumah besar, lalu menuju perahu di antara barisan rumah-rumah, aroma laut menebar, hidungnya disesaki asin dan matanya dipenuhi tatapan aneh dari penduduk sekitar. Dia menuju sebuah rumah yang sama di atas laut dan di sana nampak sudah dua anak lelaki yang menyambanginya siang tadi. Dan, beberapa muridnya yang ia kira sakit, ternyata mereka ada di sana.

Di tempat ini terlihat: barusan dayang-dayung tergantung, tombak bermata tajam, sebuah perahu di tengah ruangan, jala, pisau, sebuah titik-titik dengan cangkang karang yang kemudian Sam tau itu rasi bintang di langit. Lelaki Lat menjelaskan lagi dengan bahasa alihkode semi kacau, bahwa disinilah seklah yang ia dirikan. Sekolah yang diberinama Lat: Sesuai nama suku.

Sebenarnya lelaki tadi tidaklah bodoh terlalu. Ayahnya dulu pernah menyekolahkannya ke “sekolah pemerintah” meski hanya dikelas satu—demikian mereka menyebutnya, namun suatu hal mengganjal.

Ketika kakaknya yang sudah kelas enam di SD Jayapura 2 tak bisa apa-apa ketika harus nenemani kakak mereka yang lebih tua pergi melaut menggantikan ayahnya yang sakit keras. Dia, kakaknya yang SD tersebut, hanya bisa omong dan menyanyi-nyayi, lalu pamer

Page 12: Pohon Hayat

angka-angka tak jelas dalam kertas, tapi tak becus membaca rasi bintang, arah angin, membelah ombak, mengarah tombak, apa lagi mencecap asin air dan jernih gelombang untuk menerka di mana ikan-ikan berkumpul. Dari situ ia benci sekolah—ia benci menghabiskan waktu dengan menyayi dan menggambar tidak jelas. Dan, pelak, ketika ada pembukaan sekolah baru ia selalu mencari sekolah yang mengajarkan anaknya melaut, membelah ombak, mendayung, membaca rasi bintang, menombak ikan paus dan seterusnya. Dan itu tak pernah ada, atau mungkin tak akan pernah ada!

Sam terdiam. Ia paku bagi kelana: semua diktum terkulum gelombang di kaki pancang: berpias-pias.

Dan juga sorenya, sam melihat bahwa cahaya senja senantiasa keemasan sebelum muram menjadi gelap, lelaki itu mengajar dua anaknya dan tiga dari muridnya yang belakangan absen. Dia mengajari cara memegang dayung, menggerakkannya kanan kiri di atas perahu di tengah kelas itu. Dan, tak sekalipun lelaki itu membentak atau bahkan memukul bila salah. Dia selalu berkata,

“Ko pasti bisa! Ko dilahir atas laut, makan ikan laut, garam laut, ko anak laut! Laut ibu torang. Kitorang cintai dayungi dan ciumi angin asin ini. Laut tempat ko makan, laut tempat ko besar nanti, ko paham sa pu nasehat? Ini tujuan ko sekolah di Lat, ko belajar hidup bukan cuma omong kosong menggambar. Ko dititipi laut bapa kitorang”

/3/

Peristiwa dua tahun silam terngiang makin dalam, di meja kelas ketika kini dia mengadapi pesan pendek berisi keluh dari sejumlah kawan di Jogja yang belum juga mendapat kerja. Dia menarik nafas. Untung dia dapat ikatan dinas; meski jauh seperti ini, terpisah dari keluarga.

Dia sedang mengabsen, saat tiba-tiba lelaki kepala suku Lat itu datang mengetuk pintu kelas. Dia izin sebentar pada murid- muridnya yang kini tinggal setengah—sisanya “sekolah” di Lat: memilih belajar membelah ombak dengan benar, membaca rasi bintang dengan sket cangkang dan seterusnya.

“Maaf ada yang bisa sayang bantu Pak?” Sam bertanya, dalam hati ia mengira lelaki itu, yang kini membawa kedua anaknya beserta anak lain, ingin menyekolahkan di tahun ajaran baru yang sebentar lagi tiba.

“Ko orang Jawa, bisa ajar torang buat ini?” Sam mundur sedikit. Ia kaget. Lelaki itu menunjukan ikan kalengan bermerek sarden.

Usut punya usut, setelah bercakap kemudian, sekolah Lat mengalami masalah. Murid-muridnya bertambah banyak, orang-orang Batu Tua lebih memilih menyekolahkan anaknya di sana, yang dalam waktu tak lebih dari setahun dapat membantu menangkap ikan. Yang mengajar juga dari orang mereka sendiri yang berpengalaman. Nah dari sana penghasilan menangkap ikan naik deras. Ketika kepala suku Lat itu pergi ke Jayapura untuk memasarkan ikan, ia melihat ikan kaleng yang ternyata harga sebuahnya setara dengan harga satu kilogram ikan mentah. Dia terkejut. Padahal, menurut si kepala suku Lat itu satu kaleng hanya berisi dua tiga potong. Dari ini dia ingin menemui sekolah yang bisa mengajarkan “murid”-nya membuat ikan kaleng.

Dan sekali lagi Sam menggeleng. Ia menjelaskan kembali tentang standar pengajaran di sekolah, kurikulum, evaluasi, ijasah, menghitung, menghafal nama menteri, Pancasila, Undang-Undang Dasar…

Page 13: Pohon Hayat

“Ah baiklah. Ko tau tempat buat ini?” kepala suku menegas. Matanya resah. Anak-anak di belakangnya tengah membaur bersama anak-anak dalam kelas. Sam membaca pabrik produksinya yang ternyata itu ada di Banyuwangi Jawa Timur.

“Sa mau ke sana! Ko kasih tau..”

Sam terbengong. Dan ia akan makin kaget, jika tahu bahwa lima hari mendatang akan ada rombongan kecil dengan perahu berlayar sedang, berbekal peta yang ia berikan sewaktu bertanya beduyun megarungi Samudra Hindia menuju Jawa Timur buat belajar cara mengalengkan ikan agar tidak rugi dalam menangkap demikian banyak ikan, agar anak-anak kelak sejahtera, agar listrik penuh, televisi seperti kota, mobil, motor… Tidak ada yang ragu; mereka anak-anak sekolah Lat; yang, membaca angin, gemintang dan asin air laut dan jejak-jejak ikan diantara buih dan gelombang. Jiah! Khiaaak!

Perempuan yang tergila-gila pada idenya

Inilah saatnya aku menyesal telah menikahi perempuan yang tergila-gila pada idenya. Tidak cukupkah ia menjadi perempuan biasa saja, seperti aku suaminya yang merasa cukup hidup sebagai orang biasa. Seharusnya aku tahu perempuan ini akan memilih cara kematian yang indah untuk dirinya sendiri.

Adrenalinku berpacu cepat. Jantungku berdetak dengan irama tak beraturan. Istriku berbaring dengan tubuh kisutnya di ranjang dan aku telah menua sepuluh tahun dalam waktu sebulan. Uban bermunculan di rambutku seperti jamur di musim hujan. Mereka tumbuh dengan kecepatan yang tidak dapat kuramalkan lagi. Mungkin warna putih itu segera akan menjajah kepalaku. Aku sungguh tidak peduli.

Saat ini, aku sudah terlampau marah. Panasnya mendidihkan semua cairan di tubuhku. Aku sangat marah. Aku marah kepada perawat yang begitu bego menerjemahkan perintah dokter, marah pada dokter yang begitu bego mengartikan gejala-gejala penyakit pada tubuh istriku, marah pada rumah sakit yang begitu lambat mengerjakan perintah-perintah dokter, aku marah pada istriku sendiri mengapa tidak merasakan dengan benar gejala di tubuhnya

Page 14: Pohon Hayat

samapai semuanya terlalu terlambat. Aku ingin marah pada teman-teman istriku, teman-temanku sendiri dan sanak saudara yang terasa menambah perih hatiku dengan obrolan mereka, dan pada saatnya mereka akan melemparkan aku sendiri pada kesedihan yang tanpa ujung.Kepada siapa lagi aku harus marah? Mungkin aku terlalu marah pada diriku sendiri yang tidak pernah dengan benar memperhatikan istriku sendiri. Membiarkannya bekerja tak mengenal waktu dan membiarkannya menilai sendiri kesehatannya tanpa pernah berusaha menyelidiki sendiri. Bukankah aku sangat tahu bahwa istriku adalah pembohong terbesar dalam kesehatannya. Dalam hidupnya hanya ada kerja, kerja dan kerja, kesehatan adalah masalah paling buntut yang dipikirkannya. Mungkin lagi-lagi aku harus marah pada diriku sendiri kenapa menikahi perempuan yang demikian. Oh… Aku kehilangan kata-kata. Tiba-tiba aku merasa begitu lelah.

Pernahkah kau menunggui orang yang kau cintai mengerang menahan sakit dan kau merasa kau akan gila bila terus berada di sana. Bagimu udara terasa pengap dan nafasmu sesak. Hatimu hancur detik demi detik melihat keadaanya semakin memburuk. Setiap detik kehancuran menumbuhkan uban di rambut dan satu kerut mendalam di wajahmu.

Kadangkala aku ingin pergi meninggalkan istriku begitu saja. Pergi sejauh-jauhnya dan melupakan tubuh istriku yang kelihatan semakin buruk. Apa yang bisa diharapkan dari tubuh kurus tinggal belulang dan jiwa yang tidak lagi sadar pada dunia sekitarnya? Ingin rasanya kunikmati duniaku sendiri yang lebih cerah dan berwarna-warni. Namun gerakan kecil tubuhnya dan lirih erangannya selalu memanggil-manggilku untuk kembali. Tubuh ringkih itu masih menyimpan ketenangan dan kedamaian yang membuatku selalu ingin memeluknya. Kata orang, begitu kau berani mencitai, kau akan dibuat menderita olehnya. Cinta akan membuatmu merasakan luka terperih di hatimu dan ketakutan yang mengazab jiwamu. Cintaku padanya membuat aku harus siap untuk hancur berkeping-keping menjadi debu menunggu saat-saat terakhirnya.

Walaupun harus kuakui, belakangan ini kekuatan hatiku seolah-olah menuju babak akhir. Aku selalu gemetar ketakutan ketika langkah-langkah dokter mendekat ke ruangan. Kata-kata mereka selalu membuat aku jeruh dan nyaliku menciut. Seandainya aku dapat menyihir mereka menghilang dari pandanganku, agar mereka tidak pernah datang kembali. Oh, bukannya aku sangat mengharapkan mereka menyembuhkan istriku?

Tahukah engkau, betapa aku membenci bangunan yang bernama rumah sakit ini. Bau kain cat, bau infus, bau lantai dan bau udara di rumah sakit ini membuat nafasku terasa melukai paru-paruku. Jika keluar dari tempat ini, aku akan merawat diriku dan berjanji untuk tidak akan pernah lagi kembali ke sini.

Andai saja aku masih bisa berharap akan ke lari dari rumah sakit ini bersama istriku yang sehat dan segar bugar, dengan pipi tembamnya dan wajah berkilau. Aku memang harus memupuk harapan itu agar aku sanggup bertahan disini. Karena tempat ini telah membuat jiwaku mati. tak sanggup lagi mengindra rasa. Pertama kalinya dalam hidupku aku sungguh-sungguh ingin meledak. Meledak membuat jasadku bisa melenting ke tempat sejauh-jauhnya, sehingga semua rasa berhamburan dan musnah.

Oh tidak khayalanku sudah mulai kacau balau. Sungguhkah aku masih waras? Sesungguhnya aku ingin mengistirahatkan jiwaku barang sejenak dan melupakan segala hal tentang istriku sesaat. Rasanya aku ingin mengintip bayanganmu di cermin. Sudah seperti apa rupaku saat ini? Aku selalu menyisir rambutku dalam hitungan detik, tanpa pernah memperhatikan apa rambutku sudah rapi atau tidak. Seperti apa rupaku sekarang ini? Mungkin aku sudah tampak sebagai tikus dekil yang baru keluar dari got yang kotor. Setidaknya aku pasti sangat mirip dengan burung yang basah kuyup sehabis hujan deras yang mengguyur bumi. Aku gemetar kedinginan dan sayap-sayapku tidak sangguh lagi

Page 15: Pohon Hayat

mengepakkan sayap ke tempat yang teduh. Ah tidak, ini bukan saatnya melihat wajahku sendiri.

Aku mengarahkan pandanganku kepada tubuh istriku yang sedang tertidur. Mukanya sepucat kain kafan. Batok kepalanya meyisakan sejumput rambut yang sangat jarang. Tubuhnya begitu tipis seolah tak seorang pun terbaring di sana. Apakah yang masih tersisa di tubuhnya? Aku tertidur lelah di sisi pembaringannya.

***

Kabar terakhir yang kudengar dari dokter adalah kabar mengenai istriku yang menuju babak akhir. Penyakit kanker paru-paru yang menggrogoti tubuhnya sudah sampai pada stadium akhir. Tak ada jenis pengobatan yang sanggup untuk memperpanjang umurnya lebih lama lagi. Oh istriku yang penuh dengan energi. Yang membangkitkan seluruh hidupnya untuk menulis dan membela kau tertindas. Apakah segala nyala yang pernah memancar dari tubuhnya akan padam begitu saja? Apakah kata-kata tanya yang bersemangat akan lenyap begitu saja?

Aku masih tidak dapat percaya pada tubuhnya yang lincah seperti kijang tersimpan penyakit yang begitu ganas. Seharusnya aku tahu sejak awal, perempuan yang kunikahi ini adalah perempuan yang akan memilih akhir yang tragis buat dirinya sendiri. Bukankah begitu yang selalu kudengar terntang orang-orang besar? Mereka akan memilih cara mati yang akan membuat mereka diingat dengan perasaan haru. Akan tetapi tidak dengan aku, laki-laki yang menjadi suaminya. Aku akan tetap mengenang kepergianmu kekasih dalam rasa sakit yang jauh merajam hatiku. Karena jauh di dalam hatiku aku masih ingin meneruskan hidup denganmu hingga di ujung waktu.

Andai aku memilih perempuan yang lebih lunak menjadi istriku, mungkin kejadiannya akan berbeda. Barangkali ia akan lebih peka pada penyakit yang menyeruak di tubuhnya. Barangkali ia akan segera memeriksakan diri ke dokter ketika ia merasa ada yang ganjil dengan dirinya. Dan segalanya diketahui lebih awal, obat masih sanggup menyembuhkan penyakirnya dan kami masih bisa merajut kebahagiaan bersama. Kami akan menggapai cita-cita kami bersama. Istriku akan tersenyum cermelang pada keberhasilannya mewujudkan cita-citanya. Aku akan tersenyum bangga untuknya. Mungkin setelah itu kamu akan memutuskan untuk menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama-sama, menyesap setiap bulis kebahagiaan yang mentes dalam kehidupan kami. Karena kadang-kadang waktu melesat seperti kilat dan meninggalkanmu jauh ke belakang.

Kami akan menghabiskan waktu dengan minum kopi tengah malam dan mengobrol sampai subuh. Kami saling memeluk dan memberi ciuman mesra. Lalu kami akan berpelukan lama sekalli seolah tak ada yang dapat memisahkan kami. Gelagak-gelagak tangis tiba-tiba tak sanggup untuk kutahankan lagi. Aku menangis dengan suara yang terasa terpantul pantul ke seluruh ruang. Aku tidak tahu apakah aku sudah mempermalukan diriku sendiri. Aku tidak tahan lagi. Aku tidak sanggup lagi menunggu saatnya tiba. Karena setiap kali aku mengingat saat itu akan tiba, nyaliku menjadi kerdil, aku gemetar ketakutan membayangkan lorong kesedihan yang menungguku di sana. Aku merasakan rasa sakit yang tak terperikan dari sebuah bolong hitam besar hatiku. Masih sanggupkah aku menunggu saat itu tiba?

Rasanya aku tidak akan pernah sanggup. Terutama karena aku merasa istriku belum pantas untuk mati. Terlalu banyak hal hebat yang bisa dikerjakannya seandainya ia tidak mati. Aku bahkan masih bisa merasakan gelora semangatnya yang membara sekalipun ia terbaring tanpa daya. Mengapa ia harus padam di saat ia begitu ingin berpendar seperti kembang api. Apa ini yang sungguh bernama takdir?

Page 16: Pohon Hayat

Istriku memang mempunyai musuh. Ialah orang-orang yang terus menerus mendapat kritik pedas darinya. Kalaupun ada yang bersorak bahagia sekarang mungkin merekalah orangnya. Mereka dengan penuh dendam bisa saja mengatakan istriku terkena karma. Oh aneh, bukankan merekalah yang harus menerima karma karena istriku orang baik. Seharusnya istrikulah yang bersorak karena satu persatu orang yang dikritiknya akan menuai balasan.

Tangisku berubah menjadi sedu sedan yang masih terdengar keras. Istriku terlelap dalam tidurnya akibat obat-obatan yang mengguyur saraf-sarafnya. Ia tidak akan mendengar suara tangisku, karena bila ia melihatku seperti ini ia akan tertawa terbahak-bahak. Pada saat menahan rasa sakit yang sanggup mengoyak jantungku pun, tak setetes pun air mata meleleh ke pipinya. Istriku adalah perempuan yang tangguh, namun tidak aku suaminya. Entahlah, tangis ini membuat segalanya terasa lebih mudah bagiku. Ada kepedihan yang hanyut bersama dengan tetes-tetes air yang mengguyur daguku.

Sungguhkah ini cara kematian yang diinginkan oleh perempuan yang begitu tergila-gila pada idenya? Barangkali ia ingin mati sebagai martir dari ide-ide yang belum sempat disampaikannya. Barangkali kematiannya pun ia harapkan menjadi sumbu yang mengobarkan api perjuangannya. Tetesan air mataku mengering tepat ketika aku siap melepasnya pergi atau merangkulnya kembali kedalam kehidupan. Aku tahu perempuan ini adalah perempuan yang begitu bahagia mencumbui cita-citanya. Demi cintaku padanya aku rela ia memilih.

Page 17: Pohon Hayat

Air matamu, air mata ku, air mata kita

Ketika kamu bercerita tentang apa yang dilakukan lelaki tua itu terhadapmu, kita menangis bersama dalam sebuah kamar bermandikan cahaya. Hujan di luar telah mengembunkan kaca jendela sehingga membuatku ingin menggoreskan namaku dan namamu di permukaannya. Cahaya lampu kendaraan bergerak buram di bawah sana. Dari gerak cahaya yang lamban dan kadang berhenti, aku tahu kemacetan sedang terjadi. Hujan selalu menimbulkan kemacetan, tetapi air mata kita telah melegakan rongga dada. Dadaku dan dadamu. Dada kita tak jauh beda.

Lelaki itu kamu panggil Ayah John karena perbedaan usia membuatmu lebih sesuai menjadi anaknya. Dia adalah atasanmu di sebuah perusahaan farmasi. Dia memperlakukanmu seperti anak, meskipun sudah memiliki empat anak perempuan di rumahnya. Dia memanjakanmu dengan semua kelebihan yang dimilikinya. Menyewakan sebuah rumah buatmu dengan seorang pembantu dan seorang sopir, tapi dia selalu menjemputmu dari rumah ke kantor dan mengantarmu dari kantor ke rumah. Sopir hanya bekerja kalau Ayah John sedang ada tugas keluar daerah, sehingga dengan waktu yang demikian panjang, sopir menyambi kerja sebagai tukang ojek.

Kalau ada tanggal merah terutama di akhir pekan, dia mengajakmu berlibur ke Bali, Yogya, Lombok dan beberapa daerah lainnya di dalam negeri. Keluar, kalian hanya mengunjungi Singapura, Malaysia dan Thailand karena waktu yang sempit. Namun Ayah berjanji akan membawamu ke sebuah negara di Eropa nanti. “Aku harus menabung untuk itu. Yakinlah apa pun akan kulakukan untuk membuatmu bahagia,” kata Ayah John kepadamu dan aku mendengarkannya dari bibirmu.Kamu pun bahagia, setidaknya sampai saat itu. Ayah John memberikan semua yang tidak kamu dapatkan di rumah. Sebagai balasannya kamu memberikan semua yang kamu miliki termasuk kehormatanmu. “Ayah John akan menjadi suamiku. Aku tak peduli jadi istri kedua, itu hanya masalah angka. Aku ingin memiliki anak dari Ayah John.”

Di luar rumah dia memperlakukan kamu seperti anaknya sendiri. Di dalam rumah ia memperlakukan kamu seperti istrinya sendiri. Akhirnya kamu hamil sebelum Ayah John sempat menikahimu. Untuk menenangkanmu dia hanya berjanji segera menikahimu setelah kesibukannya di kantor selesai. Kamu yakin itu benar adanya sampai kemudian kamu menemukan beberapa tablet kecil obat peluruh kandungan dalam mobilnya. Ketika kamu tanyakan, Ayah John berdalih mobilnya dipakai teman dan obat itu milik temannya. Kamu tidak percaya dan kalian bertengkar hebat. Saat itulah Ayah John memukul perutmu. Pukulan untuk pertama kali tapi dilakukan beberapa kali. DIa tak berhenti menangis histeris. Semakin kencang tangisanmu, semakin keras pukulannya.

“Aku tidak tahu apakah itu pukulan seorang ayah terhadap anaknya atau pukulan suami terhadap istrinya. Tapi aku tidak percaya Ayah John melakukan itu.”

Ketika memeriksakan diri ke dokter kandungan, kamu baru menyadari kandunganmu sudah hancur. Ternyata kamu sudah meminum banyak obat peluruh kandungan yang dilarutkan Ayah John dalam minuman kamu, jauh sebelum kamu menemukan sisa obat itu dalam mobilnya. Dokter mengatakan kamu harus dikuret dan dia bertanya apakah kamu sudah menikah.

Kamu mengangguk di tengah kegalauan yang melanda.

“Saya akan memberi rekomendasi untuk dikuret,” kata dokter itu.

Page 18: Pohon Hayat

Kamu pulang bukan saja dengan kandungan yang hancur, tetapi juga hati yang lebur. Pupus sudah impianmu untuk memiliki anak dari Ayah John. Isi rahimmu dikosongkan sekosong hatimu. Lalu Ayah John pun pergi darimu tanpa pernah mengatakan apa pun. Rumah kontrakan tidak dibayar lagi, pembantu pulang kampung dan supir sepenuhnya bekerja sebagai tukang ojek karena mobil ditarik Ayah John. Bahkan kemudian kamu pun dikeluarkan dari tempatmu berkerja dengan alasan yang tidak kamu pahami dan tanpa pesangon. Ayah John tidak pernah menjawab panggilan teleponmu. Pesan-pesanmu tak pernah ditanggapinya. Semua kemanisan hidup bersama Ayah John berubah menjadi pahit, lebih pahit dari obat yang diam-diam dilarutkan Ayah John dalam minumanmu.

Dalam keputusasaan itu, kamu kembali ingat masih memiliki keluarga. Kamu kembali kepada keluarga hanya untuk membuat hatimu semakin hancur. Bapak dan ibu menerimamu kembali tetapi tidak mau turut campur dalam persoalanmu karena sudah mengingatkan jauh-jauh hari. Mereka bahkan tidak pernah mau mendengarkan penderitaanmu akibat perlakuan Ayah John karena menganggapmu sudah cukup dewasa menanggungnya sendiri.

Itu kata-kata yang pernah kamu ucapkan ketika kamu pergi dari rumah untuk hidup bersama Ayah John. “Ayah John bukan saja telah membunuh bayiku, tetapi juga membunuh jiwaku.”

Kamu mengucapkan itu dengan air mata yang mengalir di pipi sambil menatap air hujan mengalir di permukaan kaca. Aku memelukmu dari belakang dan mencium pipimu penuh perasaan. Air mata kita menyatu seperti tubuh kita. Ketika pernyatuan itu terjadi, bahkan diriku dan dirimu tak bisa membedakan mana air mataku dan mana air matamu. Keduanya mengalir di pipiku dan di pipimu menjadi air mata kita.

***

Ketika kamu bercerita tentang apa yang kamu lakukan terhadap lelaki itu, aku menangis sendiri di dalam kamar yang minim cahaya. Tidak ada hujan di luar sana, tidak ada kemacetan dan tidak ada kamu di sini. Hanya ada aku, hati yang patah dan air mata.

Dua tahun kalian menjalin hubungan, jauh lebih lama dibandingkan denganku yang baru dua bulan. Dua tahun bukanlah perjalanan cinta terlama yang pernah kamu lewati. Masa tujuh tahun penuh cinta, tapi dua tahun itulah yang paling berkesan sepanjang hidupmu.

Di kamar sama, kita memulai percakapan soal masa lalumu, masa laluku serta masa depan kita. Kamu tidak bisa datang malam ini karena “ingin mengujungi saudara yang sakit”. Aku menelpon sabelum kamu berangkat. Kita berecerita tentang aroma dan lagu, dua hal yang bisa membangkitkan memori ke masa lalu. Aroma dan lagu mengundang kenangan, kita bersepakat soal itu.

Aku pun menyemprotkan aroma lemon yang lembut ke seluruh tubuh agar bisa mengingatkanmu sampai di dalam tidur. Aku ingat aroma tubuhmu saat kita menangis bersama dan kuyakin itulah kenikmatan terbesar dalam hidupku. Kejadian itu lebih kuat terpatri bahkan bila dibandingkan dengan desahan kita di kamar mandi.

Setelah mengucapkan janji untuk tetap mencintaiku, suaramu lenyap dari telinga tetapi tetap melekat di hatiku. Aku tidak pernah menyangka itulah kata cinta terakhir yang kudengar darimu. Malam itu aku membawa kerinduanku ke keramaian, berharap lelah datang dan pulang dengan kantuk yang mengundangmu lebih cepat dalam impianku.

Sampai hari berganti dan kamu tak hadir dalam mimpiku, kabar darimu belum juga datang. Aku harus menghubungimu karena didorong rasa rindu yang tak tertahankan. Panggilan

Page 19: Pohon Hayat

pertama sampai panggilan yang tidak dapat kuingat tak juga mendapat tanggapan dari kamu. Aku mengirim pesan dan tidak mendapatkan jawaban. Haruskah kudatangi rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi?

Kamu pernah mengundangku ke rumah dan memperkenalkanku kepada orang tuamu dan ketiga adik lelakimu. Kamu anak perempuan satu-satunya dan sebagai anak sulung orangtuamu mengharapkan kamu bisa menjadi contoh yang baik bagi adik-adik. Kamu diharapkan menjadi tulang punggung keluarga bukan tumpuan tulang selangka Ayah John. Itulah kedatanganku yang pertama sekaligus yang terakhir. Kamu melarangku datang lagi karena kedua orang tuamu tidak merestui hubungan kita. “Bagaimana mereka bisa tahu hubungan kita? Kamu menceritakannya? Bukankan kita sudah sepakat akan merahasiakan sampai mereka dan dunia tahu dengan sendirinya?”

“Aku masih ingat dengan kesepakatan itu. Tapi aku tak ingin mereka tahu lebih cepat.”

“Mereka takkan tahu kalau kamu tidak menceritakannya. Keluargamu mengira kita hanya sahabat. Dunia juga mengira kita sepasang sahabat.”

“Aku bisa membohongi perasaanku dengan kata-kata, tapi tidak dengan mataku.”

Aku menyukai kekhawatiranmu itu dan percaya memang karena itulah kamu melarangku ke rumah lagi. Kalau sekarang aku nekat ke rumahmu untuk mengetahui apa yang terjadi, apakah kamu akan marah?

Panggilan kamu datang ketika aku berada dalam kebimbangan. Aku menyambut suaramu dengan gembira, tetapi kemudian kamu membawa kabar duka. Ayah John kena stroke. Ketika aku mendengar itu pertama kali aku malah menduga itulah kabar gembira sesungguhnya. Kemudian kamu mengatakan dengan jujur selama ini kamu berada di rumah sakit untuk merawat Ayah John.

“Mengapa harus kamu? Bukankah sudah ada keluarganya?”

“Ayah John yang mengharapkan aku datang. Kami merawatnya bersama.”

“Kami?

“Aku, istri Ayah John, dan ke empat anaknya.”

Aku masih belum dapat memahami. Bahkan setelah kamu menjelaskan panjang lebar kalian (kamu, Ayah John, istrinya dan anak-anaknya) sudah berdamai dan sepakat melangsungkan pernikahanmu dengan Ayah John. Itu janji yang akan dipenuhi setelah Ayah John benar benar sembuh.

“Ayah John pernah mengucapkan janji yang sama dulu. Tapi dia mengingkarinya…”

“Beda, sekarang janji di depan keluarganya sendiri dan semuanya menerima. Kami sekarang seperti sebuah keluarga.”

Kamu percaya dengan janji dan perubahan yang cepat sehingga suaramu terdengar sangat bahagia ketika mengucapkan itu. Kamu tidak peduli dengan hariku yang terluka sehingga dengan enteng mengatakan hal itu seperti mengabarkan sebuah berita ada film bagus yang main malam ini.

“Kenapa?” aku mulai tidak mampu mengendalikan emosi setelah sekian lama terdiam, “mengapa kamu lakukan ini kepadaku?

Page 20: Pohon Hayat

“Maaf, sayang. Aku tahu ini membuatmu sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Aku menginginkan seorang anak dari rahimku sendiri.”

Kita pernah sepakat mengadopsi bebrapa anak saat kita hidup bersama. Masihkan kamu ingat dengan semua itu?

Suaramu lalu lenyap dari telingaku dan luka hatiku semakin menganga. Aku tidak percaya kamu melakukan semua ini kepadaku, apa pun alasannya. Kamu membunuh jiwaku dengan membuka kembali cinta lama yang ingin kamu kubur di dasar hatimu paling dalam. Jiwaku baru saja mati tetapi jiwamu baru hidup kembali.

Malam mulai beranjak tua tapi aku masih duduk di tepian ranjang sambil terus menangis. Aku ingin kamu berada di sini dan kita menangis bersama sampai air mata kita menyatu seperti dulu.

Sematku patah di cungking

Setelah menempuh perjalanan lebih 24 jam dari Perancis-Hongkong-Singapore-Jakarta, Surabaya- Banyuwangi, badan terasa patah-patah. Bis patas AC yang aku naiki dari Surabaya rupanya hanya sampai di Jember. Perjalanan ke Banyuwangi hanya bisa menggunakan bis ekonomi yang penuh aroma minyak angin.

Setelah tiga puluh tahun aku meninggalkan Cungking, baru kali ini aku kembali lagi. Ya, ini bukan mimpi. Aku benar-benar pulang kampung. Sesekali terdengar percakapan dalam boso osing yang hanya dimengerti oleh kami orang osing.Setelah enam setengah tahun mengarungi beberapa samudra sebagai awak kapal, akhirnya aku terdampar di kota pelabuhan Marseille, Perancis Selatan. Di bar aku kenal Manuela, gadis keturunan Spanyol yang ngefanorang Indonesia. Usaha Manuela berbahasa Indonesia kami apresiasi. Manuela memaksa saya untuk bercakap dalam bahasa Indonesia, ia tak melayani percakapanku dalam bahasa Inggris. Ennuyeux¹ komentarnya.Tak puas sampai di situ, ia pun memaksa saya tinggal di apartemen kecilnya agar ia lebih intensif belajar bahasa, alasannya. Bahkan ia mencarikan pekerjaan sebagai sopir di perusahaan catering agar aku tak melaut lagi. Jadilah aku kumpul kebo dengan Manuela hingga lahir dua orang gadis yang kini sudah remaja.Aku sengaja pulang hendak menemui gadisku, yang dulu dengan sengaja meninggalkan aku. Walaupun untuk itu aku harus berbohong kepada Manuela atas rencana kepulanganku ini. ”Kamu tidak bermaksud menemui pacarmu di Cungking kan?” tanyanya menyelidik. Aku tak peduli seperti apa gadisku sekarang. Hidup makmur bersama juragan gabah yang menikahinya dulu? Ataukah sudah menjanda ditinggal mati suaminya? Aku berharap ia sudah janda. Aku mau pamer.

Ketika mendengar kabar gadisku dilamar orang dan diterima, dadaku terasa sesak, dan perut terasa mual sekali. Aku mengutuk keputusannya. Dan aku bersumpah tak ingin menjumpainya walaupun hanya dalam angan. Tapi jujur dalam hati kecilku aku tetap merindukannya, aku berharap ia kembali, aku terima ia sejanda apa pun. Tidak! Najis! Aku tidak sehina itu, egoku segera menolak. Aku akan dapatkan gadis yang lebih cantik dari dia, sumpahku. Tapi kenapa bayangannya menggelayutiku ke mana pun aku pergi? Dekapan itu terasa lembut menenteramkan hatiku di saat aku gelisah. Aku sering mendekapnya walau hanya dalam bayang. Kubayangkan ia mendekap erat tubuhku dan menyandarkan kepalanya di dadaku penuh pasrah. Bayang-bayang itu sangat aku nikmati, sampai akhirnya aku tersadar, aku dan dia berjarak ribuan kilometer. Dan aku kembali menyumpah. Najis! Patah hati anak dusun pada gadis penyanyi gandrung.

Page 21: Pohon Hayat

Perasaan galau sudah terasa sejak bis memasuki kawasan Kalibiru setelah melalui hutan Merawan yang eksotis. Seharusnya aku yang menjadi bapak anak-anaknya, kalau saja aku mau membuang gengsiku. Penyesalan itu yang selalu mengusik hatiku. Entah berapa ratus kali aku menggumam seperti itu walaupun kini sudah ada Margareta dan Aleece, hasil kumpul keboku bersama Manuela.

Kerap aku menyalahkan diri sendiri. Kata orang, sebelum ada janur melengkung aku masih punya kesempatan. Baru saja gadisku dilamar orang, aku sudah menggelepar. Tak ada sedikit pun keberanianku ketika itu untuk mendekati dia dan menyatakan cinta gombalku padanya. Padahal ada empat puluh hari masa pingit, waktu yang lebih dari cukup untuk sekadar menggombal mengobral cinta. Ke mana aku saat itu? O ya, aku ingat, aku pergi ke Kang Suri dukun pelet Macan Pote dusun terpencil jauh di selatan Cungking. Dengan sebungkus rokok Gangsar dan uang seribu rupiah, setara dengan lima belas liter beras kala itu, aku diberi seruas kecil patahan batang koro yang sudah kering. Semasa kanak-kanak, batang koro yang sudah kering acap digunakan untuk latihan merokok. Namun kini untuk kepentingan lain.

Setiap pagi menjelang subuh, aku diwajibkan meniup batang koro ke arah rumah gadisku seraya mengucap kata-kata bujukan dalam hati agar ia membatalkan pernikahannya dan memilih aku sebagai pendampingnya. Syarat itu memberatkan, aku hanya melakukan beberapa kali karena aku lebih sering bangun kesiangan.

Aku mengira setelah sematku diambilnya, usai sudah perburuanku. ”Pucuk semate hun kuthung telu,” (ujung lidinya saya patahkan tiga ruas) bisikku yang ditanggapinya dengan tertawa cekikikan. Hanya dia yang aku beri tahu, gadis yang lain tidak. Tapi pesanan seperti itu bisa datang dari banyak pemuda. Semakin menarik sang gadis semakin banyak pemuda yang menitip pesan sematnya. Tapi aku berharap dia hanya mencabut sematku.Betapa bungahnya hati ini ketika tengah malam seusai acara malam pesat maulid nabi, semat yang aku sisipkan di dinding gedek bersama semat pemuda lainnya sudah tercabuti. Tinggal beberapa biting yang masih tersisa, entah punya siapa. Aku yakin sematku telah diambilnya. Itu artinya ia telah memilihku sebagai bakal calonnya.

Pacaran kala itu sifatnya rahasia, tidak lazim jalan berdua. Bahkan tak saling kenal pun dapat dinikahkan. Aku tak ingin jadi bulan-bulanan kawan sebaya yang mengumumkan hubungan saya dengan gadisku dengan menuliskannya di sembarang tembok entah pakai arang atau daun jati. Tulisan itu kerap membuat hubungan remaja yang sedang memadu kasih kandas di tengah jalan lantaran malu diketahui banyak orang. Rupanya perkiraanku salah, tak lama setelah acara maulid nabi, ia dilamar juragan penebas gabah dan dinikahinya.

Gumpalan harapan itu masih mengganjal dalam hatiku, dan abadi hingga kini. Gumpalan imajiner itu seharusnya sudah memudar terurai waktu. Namun perasaan penyesalan dan terkalahkan membuat hati penasaran. Dan gumpalan itu semakin mengganjal, mengeras dan membatu di sudut ruang yang kian tak terjangkau. Gadis mungil hitam manis bersuara merdu, bermata bola pingpong yang kerlingannya senantiasa menggoda hatiku itu adalah cintaku.

***

Suasana Cungking tak banyak berubah setelah aku tinggalkan puluhan tahun. Aku masih merasa akrab dengan lingkungannya. Namun ada sedikit pergeseran budaya, anak mudanya lebih bangga berbahasa Indonesia gaya jakartaan. Boso osing menjadi asing di negerinya sendiri. Padahal Manuela di Paris semangat belajar boso osing setelah aku ceritakan keunikannya. Langue Osing seulement compris par les gens Osing,² promosiku suatu ketika kepada Manuela yang membuat ia semakin penasaran. Tak jarang Manuela ikut

Page 22: Pohon Hayat

menyanyikan laguUlan Andung-andung ketika aku menyanyikannya. Exotiques, katanya. Aku merasa geli karena cengkoknya jauh api dari panggang. Ia berjanji suatu saat akan berkunjung ke Cungking, bukan ke Bali.Aku sengaja datang pada bulan maulud, karena pada bulan ini banyak kawinan dan aku berharap gadisku naik pentas dan menyanyi seperti dulu. Benar saja, gadisku mengenakan kebaya putih berenda dan bawahan batik warna hijau, siap menyanyi. Entah apa judul lagu yang dinyanyikannya, sebagian liriknya aku dengar ”Ulan katon adoh panggone. Riko adoh kari parek rasane, eman. Hun enteni riko saenteke ulan. Gawanen isun munggah nang ulan, eman.” (Bulan kelihatan tapi jauh, kamu jauh tapi terasa dekat sayang, aku menunggumu hingga habis bulan, bawa aku naik ke bulan sayang). Aku ge-er, berharap lirik lagu itu untukku.Gadisku terperanjat saat melihat aku menyelinap menemuinya. Tanpa berucap ia menghampiri dan menarik lenganku pergi menjauh. Kawan sebelahnya cuma melirik sekilas dan masa bodo. Pelayanan seperti itu sudah biasa terutama untuk si penyawer.Mata bola pingpongnya menusuk tajam ke mataku seraya berkacak pinggang ia memaki ”Ke mana saja kau pecundang?” katanya ketus. Hampir saja aku jatuh tak siap menyambut makiannya. ”Puluhan tahun aku menunggu, empat kali aku menjanda karena menunggumu. Dasar pecundang!” makinya setengah menjerit. Aku tak hendak membela diri, mendengar suaranya saja aku sudah senang walaupun itu makian. Ini cinta ataukah birahi? L’amour sans désir est impossibilité.³ Terdengar desahan napasnya yang memburu. Aku biarkan dia melepaskan umpatannya. Akhirnya kudengar ia terisak. Ingin rasanya aku menggapainya.Sembari terisak ia merogoh-rogoh tas hitamnya yang sejak tadi dikempitnya. ”Ini sematmu. Tak ada lagi gunanya bagiku. Aku berjanji akan mengembalikannya sendiri kepadamu. Supaya kamu tahu betapa lama aku menunggumu.” Ia mematah-matahkan sematku sebelum mengembalikan kepadaku. Ketika kutanya kenapa dipatahkan? Untuk melampiaskan kekesalannya padaku umpatnya sambil menahan isak.

”Lagu yang kau nyanyikan tadi untukku?” tanyaku berharap. ”Iya,” jawabnya dengan tatapan kosong.

”Tapi itu yang terakhir, aku takkan menyanyikannya lagi,” imbuhnya memelas. Tak tega aku mendengar sumpahnya. Ingin rasanya aku memeluk dan mendekap erat tubuhnya, mengelus, menepuk-nepuk punggungnya sembari meminta maaf, seperti yang sering aku lakukan dalam bayang.

Di atas pentas, remaja putri menyanyikan lagunya Rosa yang sedang ngetop ”Ku Menunggu”, seolah mewakili perasaan gadisku selama ini yang setia puluhan tahun menungguku. Perdants!4 Batinku mendamprat diriku sendiri. (Bekasi, Maret 2011).1)membosankan

2)bahasa Osing hanya bisa dimengerti oleh orang Osing

3)cinta tanpa gairah itu tak mungkin

4)pecundang!

Page 23: Pohon Hayat

PAYUNG

Dian menjulurkan lehernya keluar jendela. Hatinya senang melihat awan hitam bergulung di langit Jakarta sore itu. Terdengar gemuruh guntur berkepanjangan di kejauhan, mirip suara bergulirnya ban raksasa di jalan beton yang bergelombang dan berlubang.

Sambil berjongkok dan mengintip kolong lemari, ia menarik keluar sebuah payung besar warna-warni kebanggaannya. Besarnya hampir seperti payung yang setia bertengger di atas gerobak penjual buah dingin di ujung gang. Payung ini benda terbaru dan terbagus yang ia miliki saat ini. Warna kainnya masih cemerlang, berbeda warna di setiap lengkungannya. Gagangnya terbungkus kayu yang dipernis warna coklat muda.

Payung itu ditemukan Bapak seminggu yang lalu di bak sampah milik sebuah rumah besar di kompleks perumahan tempat Bapak biasa memulung sampah. Waktu ditemukan, tiga bilah rangkanya terlepas sehingga payung menjadi bengkok jika dikembangkan. Padahal, hanya jahitannya saja yang putus, sedangkan rangkanya masih bagus dan berkilap. Dengan bantuan Bang Ayub, tetangga sebelah rumah, sebentar saja payung selesai dijahit. Ongkosnya gratis, begitu kata Bang Ayub.Kebetulan ada Mak yang menjaga Diyon di rumah. Sebentar lagi Bapak pulang. Sambil menenteng sandal jepit kuningnya, Dian berjalan mengendap-endap melangkahi tubuh Mak dan Diyon yang sedang tidur pulas, melintang di atas kasur tipis di tengah rumah. Pintu rumahnya berderit pelan saat ditutup.

Page 24: Pohon Hayat

Sejak payung itu jadi miliknya, hujan membawa gairah baru dalam hidup Dian. Hujan berarti kerja. Kerja berarti rezeki. Seperti Bapak, ia juga ingin membawa pulang sejumlah uang ke rumah. Hari ini payungnya akan beraksi untuk kedua kalinya. Pengalaman pertamanya sebagai pengojek payung seminggu yang lalu menghasilkan tiga belas ribu rupiah dalam waktu dua jam, di tengah guyuran hujan yang tak seberapa deras. Harusnya bisa mencapai paling sedikit enam belas ribu rupiah jika Markun tak mendadak muncul dan merebut paksa tiga calon pelanggannya.

Hari ini pasti lebih banyak, pikirnya. Sekarang adalah waktunya para karyawan—yang bekerja di gedung-gedung tinggi itu—pulang kerja. Mereka yang tak mendapat tumpangan kendaraan akan membutuhkan payungnya untuk menuju halte bus atau pangkalan taksi.

Dian berharap, hujan sedikit lama hari ini. Semoga tak bertemu Markun di hari yang baik ini. Juga tak bentrok dengan Jaka, Bono, dan Ipung, yang rajin bekerja di musim hujan.

Mereka tak seperti Markun yang suka merebut pelanggan. Tapi, Bono gesit luar biasa, karena jam terbangnya lebih banyak dari yang lain. Dia pengojek payung senior di musim hujan. Jika hari sedang cerah, Bono sering menongkrong di gang dengan kacamata hitam kebanggaannya. Biasanya, rambut Bono berkilap seperti habis mandi dan disisir kaku dengan gel hingga membentuk kerucut di ubun-ubun kepala. Dalam hati, Dian berencana membeli gel rambut semacam itu suatu hari nanti jika ia punya uang.

Sambil menyusuri gang, Dian menimbang-nimbang, akan digunakan untuk apa uangnya nanti. Uang hasil ojek payung yang lalu dipinjam Mak untuk membeli beras. Tak apalah, musim hujan belum berakhir, pikirnya. Yang pasti, kali ini ia ingin membelikan Diyon biskuit yang diputar-dijilat-dicelupin itu. Satu bungkus saja, untuk dicelupkan dalam segelas air putih. Tak perlu beli susu karena Diyon sudah cukup menyusu pada Mak waktu kecil. Tapi, boleh juga. Jika rezekinya baik, Dian ingin membeli sekotak susu rasa stroberi. Dian meneguk ludah waktu membayangkan dirinya memutar, menjilat, dan mencelupkan biskuit itu ke dalam segelas susu berwarna semu merah muda.

Dian sudah berencana akan menabung sebagian uangnya untuk membeli payung tambahan. Ia sudah menyurvei harga payung di beberapa toko di pasar. Ada yang berharga dua puluh ribu rupiah, tapi terlihat kecil dan rapuh. Yang kelihatan cukup besar dan lebih kekar kira-kira berharga tiga puluh ribu rupiah. Ia tak mau membeli yang rapuh, supaya tahan lama.

Payung tambahan pertama itu akan disewakannya pada Satrio saat hujan. Bagi hasil seperempatnya untuk pemilik payung. Jika Satrio dapat sepuluh ribu, Dian berhak atas setoran dua ribu lima ratus. Kemudian ia akan menabung terus hingga payung tambahannya ada lima buah. Payung besarnya akan tetap ia gunakan sendiri. Selain Satrio, masih ada Upit, Karyono, Agus, dan Cakri. Mereka pasti juga mau jadi pengojek payung. Yang penting mereka jujur, tidak nakal seperti Markun. Jika hujan, mereka berpencar mencari pelanggan. Payung-payung Dian akan beredar di beberapa halte, rumah sakit, dan ruko-ruko, melalui kelima temannya itu. Kemudian setoran pada pemilik payung akan menambah jumlah tabungannya.

Dian tak dapat menahan senyum saat membayangkan teman-temannya menyetor hasil ojek payung. Tapi, bagaimana jika mereka berlima membohonginya? Atau istilahnya, korupsi? Mungkin saja, Cakri yang genit itu ingin segera membeli gel rambut seperti punya Bono dan tidak melaporkan uang hasil ojek payung dengan jujur. Senyum Dian menghilang. Dahinya berkerut. Lalu…, aha! Ia berseru dalam hati. Sebelum menjadi mitranya, ia akan meminta kelima temannya bersumpah di atas Al Quran, seperti pada pelantikan para pejabat yang dilihatnya di televisi Bang Ayub. Sebaiknya, ia juga meminjam peci hitam Bapak supaya sumpah itu terasa resmi.

Page 25: Pohon Hayat

Jika rezeki ojek payung baik, Dian ingin membeli jas-jas hujan kecil yang dijual di warung. Jas hujan warna-warni yang plastiknya tipis itu berharga paling sedikit sepuluh ribu rupiah. Ia pikir, sebaiknya, anak buahnya itu jangan sampai jatuh sakit karena diguyur hujan. Jas hujan bertopi itu akan melindungi teman-temannya. Seragam warnanya, semua berwarna biru. Maka mereka akan menjadi Pasukan Biru, penyelamat dalam musim hujan. Tidak bisa gratis, pikirnya. Ia akan menyewakan jas hujannya sebesar seribu rupiah untuk satu kali pakai, saat mereka menyewa payung-payungnya.

Tapi, bagaimana jika Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri lupa pada sumpahnya? Dahinya kembali berkerut. Matanya menatap jalanan. Kakinya iseng menendang-nendang kerikil di depan langkahnya. Sesaat kemudian, sebuah ide menyergap lamunannya. Baiklah, pikirnya, supaya mereka tak lupa, ia akan membeli spidol antiair. Akan ditulisnya di bagian dalam payung. Tuhan ada di mana-mana.

Jujur saja, sebenarnya Dian tak terlalu paham pada kalimat itu. Ia hanya meniru apa yang pernah dikatakan Pak Ustad padanya. Dengan malu-malu, setelah belajar mengaji, ia pernah bertanya, ”Di mana Allah itu, Bapak Ustad?” Pak Ustad mengelus kepala Dian, menatap lekat bola matanya, sambil menjawab, ”Allah atau Tuhan ada di mana-mana, Nak. Di mana-mana…,” Saat itu Dian manggut-manggut. Tapi, sejujurnya, dia tetap tak mengerti. Pak Ustad tidak bilang bahwa Tuhan mengawasi mereka dari atas. Di mana-mana, harusnya berarti di semua tempat, bahkan yang gelap dan tersembunyi. Pikirnya, Tuhan yang Maha Agung itu pasti sangatlah penyayang jika Dia juga ada di sini, di tengah-tengah bau sampah yang menguar tertiup embusan angin dari sungai di belakang rumah.

Jika Tuhan mau berada di sini, apalagi di rumah megah yang dilihatnya di televisi semalam. Tapi, herannya, pemilik rumah megah itu memilih minggat dari rumah dan sedang dicari polisi karena korupsi. Begitulah kata si penyiar berita. Tuhan pasti tahu di mana orang itu, tapi Dia tak bilang. Karena Tuhan tak bilang-bilang apa yang diketahui-Nya, mungkin saja Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri juga tak takut pada Tuhan. Tapi, Dian berencana tetap membeli spidol tahan air itu. Seandainya Satrio, Upit, Karyono, Agus, dan Cakri tidak korupsi, tetap saja mereka juga bisa berhenti jadi anak buahnya dan menyewakan payung milik mereka sendiri nantinya.

Biarlah, pikir Dian. Terlalu jauh untuk dipikirkan. Payung tambahannya saja belum dibeli. Wajahnya kembali gembira karena membayangkan lembaran-lembaran rupiah di kantong celananya.

Memikirkan lembaran-lembaran uang membuat khayalan Dian buntu. Ia tak dapat membayangkan, berapa uang yang bisa ia tabung dengan modal enam buah payung. Bahkan, ia tak pernah membayangkan punya uang banyak. Yang dia tahu, uang adalah penyambung hidup keluarganya sehari-hari. Jika mampu, mungkin ia ingin lebih sering membeli biskuit dan susu, juga sepasang sandal baru untuk Mak. Mungkin juga, suatu hari dia bisa membeli sepasang sepatu bola. Tapi, ia tak yakin karena tak tahu harganya.

Lamunannya terhenti saat tiba di ujung gang. Dian menganggukkan kepalanya pada Bang Joni, penjual buah dingin.

”Hei, Kojek!” Bang Joni memanggilnya dengan suara serak dan melambaikan tangannya pada Dian. Ia memang sering memanggil anak-anak dengan sembarangan. Dian berhenti di depan Bang Joni.

”Jual aja payung kau itu. Buat ganti payung gerobakku ini.”

”Enggak dijual, Bang.”

Page 26: Pohon Hayat

”Kubayar dua puluh ribu rupiah.”

”Enggak mau, Bang.”

”Berapa?”

”Enggak dijual, Bang.”

Bang Joni mendengus.

”Payung itu terlalu besar buat kau. Lebih besar payung itu daripada badan kau yang macam ikan asin itu, Jek.”

”Biarin, Bang.”Dian mengeratkan pegangan pada payungnya dan berbelok ke jalanan di sisi tanah kosong berpagar beton rendah. Masih didengarnya Bang Joni memaki-maki dirinya.

Dari kejauhan dilihatnya Satrio. Anak itu makin kurus saja. Ia pasti lebih mirip ikan asin, seperti yang dikatakan Bang Joni, pikir Dian.

”Mau ke mana, Yan?”

”Biasa,” Dian menggerakkan sedikit payung yang dipeluknya.

”Payungmu masih satu?”

”Satu. Nanti kalau ada satu lagi, kamu ikut, Yo.”

Satrio mengangguk sambil mengelap ingusnya dengan pinggiran baju. Lama ia menatap punggung Dian yang menjauh ke arah jalan raya.

Mobil-mobil masih bergerak lancar, tetapi sebentar lagi pasti akan semakin padat karena mendekati jam tutup kantor-kantor. Banyak yang akan membutuhkan ojek payungnya. Seribu rupiah diterimanya untuk satu kali menyewakan. Kadang-kadang ada yang berbaik hati memberi dua ribu rupiah untuk jarak yang dekat.

Dian melihat Markun di kejauhan. Lebih baik pura-pura tak melihat dan melewati jalan lain. Tapi sudah terlambat. Markun berjalan ke arahnya. Dian heran, Markun tak membawa payung di hari semendung ini.

”Hai, Jelek! Pinjam payungnya!” Pantas Markun tak membawa payung. Jantung Dian berdegup lebih kencang. Tak sadar, ia mengeratkan pegangan pada payungnya.

”Jangan, Mar.”

”Sebenar aja, Sompret!”

Markun melotot galak pada Dian. Sengaja dadanya dibusungkan, menggertak. Dian memeluk payung besarnya erat-erat. Bola matanya melirik ke kiri dan ke kanan.

Markun mencibir. ”Enggak ada yang nolongin lu. Mau lari, ha?!”Markun mendesak Dian mundur sampai merapat ke tembok beton.

”Pinjam. Jangan pelit. Nanti malam gua balikin.””Enggak boleh. Gua belum kerja hari ini.””Sama donk, Nyet. Bukan lu aja yang butuh duit!”

Page 27: Pohon Hayat

Bau nafas Markun terbawa hembusan angin. Busuk, sebusuk perbuatannya. Dian melengos, menghindari bau yang menyerang hidungnya.

”Memangnya lu enggak punya payung?””Ngapain lu tanya-tanya?!” bentak Markun sambil menyentuh payung. ”Sini payung lu!””Jangaaa…an!”

”Sini!”

”Enggak!”

Markun mencoba merenggut payung itu. Tenaganya yang besar menyeret tubuh Dian yang tetap memeluk payung. Markun melepas sebelah tangannya pada batang payung dan melayangkannya pada pipi Dian. Plak! Plak!

”Rasain lu!””Aaaa….!”

Buk! Markun mendorong Dian sekuat tenaga ke tembok. Payung terlepas dari tangan Dian. Punggung Dian membentur tembok. Sakit. Matanya mendadak panas oleh desakan air mata yang siap-siap tercurah. Sandal jepitnya putus.

Markun tak membuang waktu. Sebentar lagi hujan turun. Dengan gesit ia berlari. Tujuannya adalah halte bus di dekat jembatan. Di sana rezeki musim hujan menunggu. Lembaran-lembaran seribu rupiah akan berpindah tangan. Siapa cepat, siapa dapat. Siapa yang rajin, siapa yang kuat, akan menuai lembaran rupiah terbanyak.

Dian membuang sandal jepitnya. Telapak kakinya perih, mungkin tergesek kerikil saat tadi Markun mendorongnya kuat-kuat dan menginjak sandalnya. Gagal pekerjaan hari ini. Ia tak memercayai Markun akan mengembalikan payungnya nanti. Seandainya dikembalikan, payungnya mungkin sobek atau patah, tak akan selamat dari kejahilan Markun.

Mendadak Dian teringat Diyon. Biskuit dan susu. Satrio dan teman-teman. Payung-payung tambahan. Pasukan Biru. Hatinya sakit.

”Bangsaaat….at!” Lidahnya yang tadi kelu tiba-tiba lantang memaki.

Mendengar teriakan itu, Markun menengok dan mengacungkan tinjunya. Lalu, ia melanjutkan larinya.

Kilat menyambar-nyambar. Guntur menggelegar di langit yang makin menghitam. Seorang gadis di tepi jalan menjerit sambil menutup telinganya. Terkejut oleh suara guntur, sekaligus karena Dian yang berlari seperti kesetanan dan hampir menabraknya.

Markun pun berlari dengan lincah, meliuk-liukkan pinggangnya untuk menghindari tabrakan dengan manusia lain yang berjalan bergegas karena khawatir hujan segera turun. Cepat sekali larinya. Entah, karena dia mendadak takut pada Dian yang mengamuk seperti kesurupan karena memburu waktu, atau karena dia tak mau membuat keributan di pinggir jalan yang mulai padat. Markun pernah diciduk Satpol PP saat tawuran.

Ciiiitttt…..!!! Sebuah mobil pikap hitam mendadak mengerem, nyaris menghantam tubuh Markun di belokan pagar beton yang membatasi bantar kali dengan jalan raya. Markun berhenti mendadak dan hampir jatuh karena sandal jepitnya yang tiba-tiba putus. Ia melepas sandalnya dan terus berlari.

Page 28: Pohon Hayat

”Mampus lu!” Si pengemudi berteriak membentak Markun. Markun tak peduli. Ia terus berlari.Keterkejutan menahan langkah Dian. Ia membiarkan pikap itu lewat memutar di hadapannya. Mendadak tubuhnya terasa lemas. Sebagian kemarahannya berganti kesedihan. Tetesan air hujan pertama jatuh di kening Dian, diikuti tetesan lain yang semakin banyak. Air tumpah ruah dari langit, menyamarkan air mata yang juga mengucur deras. Pandangan Dian menjadi kabur. Semangatnya mendadak runtuh. Markun menghilang.

Tak ada gunanya berteduh. Dian menyeberangi jalan raya yang semakin padat. Tak ada Markun di jembatan, berarti ia mengojek payung di tempat lain. Di jembatan terlihat Bono, dengan rambut yang tertutup bandana kuning yang sudah basah, sedang sibuk menawarkan payungnya.

Terduduk di median yang lengang. Dian membenamkan wajah di antara kedua lututnya, menghindari tetes hujan yang membuat pipinya pedih. Matanya telah kering oleh air mata. Hanya air hujan yang terus menderas.

Dian menutup mata dan telinganya. Lamat-lamat suara klakson kendaraan terdengar berganti-ganti, seolah berasal dari tempat yang jauh. Dian merasa dirinya mandi di bawah pancuran air bergagang putih. Di sekelilingnya, dinding dan lantai keramik yang juga serba putih, seperti dalam iklan sabun mandi yang sering ia lihat di televisi. Hatinya kemudian mendingin dalam tubuh yang menggigil.

Di hadapannya, mobil-mobil bergerak tersendat.

Tangerang, 30 Maret 2010

Kunang-kunang di langit Jakarta

Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George.

Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan.

Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. ”Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.””Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu.

Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia

Page 29: Pohon Hayat

berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang.

Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James….

Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya.”Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…”Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan.

***

”Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?”

Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat.

”Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….”Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. ”Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, ”Dan kita bercinta di bawahnya….”

Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini.

Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. ”Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya.

Page 30: Pohon Hayat

Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang.

”Lihat,” Peter menepuk pundaknya. ”Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….”

Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya.

”Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. ”Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….”

Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita.”Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….”

Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang- orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya.

”Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….”

”Mereka begitu beringas!”

”Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.”

”Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….”

”Lihatlah… lihatlah….”

Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu.

”Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….”

”Jane!!”

Ia dengar teriakan cemas.

Page 31: Pohon Hayat

”Jane!!”

Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, ”Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya.

Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan.

***

Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat.

Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. ”Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. ”Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?”

Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan.

Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini.

”Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….”

Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan.

Page 32: Pohon Hayat

***

Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini.

Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah.

Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini.

Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, ”Keindahan memang sering membuat kita sedih….”

Jane tersenyum. ”Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?”

Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.

Jakarta, 2010-2011