pni baru

Upload: azizahans

Post on 03-Mar-2016

13 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Gagasan bahwa pikiran dan jantung memilki hubungan yang erat telah membudaya dan bahkan tertanam dalam bahasa sebagai istilah-istilah seperti sakit hati, patah hati atau jantung berdegup kencang. Dalam beberapa dekade terakhir dilakukan berbagai usaha untuk mengungakap latar belakang psikobiologi dari istilah-istilah tersebut. Hasil penelitian mengungkapkan bahawa terdapat hubungan dua arah antara penyakit kardiovaskuler dengan kesehatan mental, yang secara ringkas dapat dijelaskan dalam dua teori :1. Gangguan mental merupakan faktor risiko independen untuk peyakit kardiovaskular dan kematian. Kekuatan hubungan tersebut sama halnya dengan faktor risiko umum seperti kegiatan fisik yang kurang dan kolesterolemia. 1. Penyakit jantung koroner dapat menyebabkan efek yang buruk bagi kesehatan mental pasien. Sebagai contoh, di populasi umum prevelasi depresi sekitar 3-10%, tetapi pada pasien dengan penyakit jantung koroner insidensinya bisa mencapai 25%. Seringkali orang menderita reaksi emosional yang merugikan setelah manifestasi CVD. Pasien mungkin merasa tertekan karena CVD telah memaksa mereka untuk berhenti melakukan aktivitas yang mereka sukai atau membatasi kehidupan kerja, mereka dapat hidup dalam ketakutan serangan menyakitkan berikutnya atau telah diwujudkan takut mati dalam menghadapi situasi yang mengancam kehidupan. Asosiasi tersebut diilustrasikan oleh sejumlah studi yang menunjukkan bahwa depresi sering muncul sebagai konsekuensi dari penyakit jantung dan / atau pembedahan penyakit jantung. Tapi respon psikopatologis untuk penyakit ini sangat bervariasi dan tergantung pada karakteristik pribadi dan lingkungan psikososial pasien. Sifat dari penyakit kardiovaskular yang mendasari juga merupakan faktor yang penting. Tingkat keparahan diagnosis, kemampuan yang dirasakan untuk mengontrol gejala dan pengaruh diagnosis pada kegiatan kehidupan sehari-hari menentukan apakah masalah kesehatan mental terjadi atau tidak (Dragano dan Wege, 2010).Otak dan sistem kekebalan tubuh adalah dua sistem adaptif utama tubuh. Dua jalur utama yang terlibat dalam interaksi tersebut adalah hipotalamus-hipofisis-adrenal axis (HPA axis) dan sistem saraf simpatik (SAM axis). HPA axis merespon tekanan fisik dan mental untuk mempertahankan homeostasis sebagai salah satu cara untuk mengontrol tingkat kortisol tubuh. Disregulasi HPA axis akan berakibat ke berbagai penyakit akibat stres. Aktivitas HPA axis berhubungan secara intrinsik dengan sitokin.Telah diketahui bahwa sitokin inflamasi mampu merangsang hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan sekresi kortisol. Sebaliknya glukokortikoid akan menghambat sintesis sitokin proinflamasi (Price, 2006).Dalam sebuah studi epidemiologis, semua penyebab morbiditas akan bertambah berat ketika diikuti dengan stresor berat. Teori menyatakan bahwa peristiwa stres memicu respon afektif yang akan menstimulus sistem saraf simpatik dan perubahan endokrin. Hal tersebut berpotensi untuk menggangu fungsi sistem imun. Stres diduga mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh akibat manifestasi emosional dan tingkah laku seperti gelisah, takut, marah ketegangan, kesedihan, serta perubahan fisiologis seperti denyut jantung, tekanan darah, dan berkeringat. Para peneliti juga menyatakan bahwa perubahan-perubahan tersebut memiliki efek positif ketika dalam batas-batas tertentu. Sebaliknya, ketika kondisi tersebut tidak stabil dan berlangsung secara kontinyu akan berakibat negatif pada sistem imunitas (Chrousos,2005).Stres psikologi mengaktivasi SAM aksis yang mengatur denyut jantung dan pelepasan katekolamin serta HPA aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar adrenal. Pada stres psikologi akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel NK (Ho, et al., 2010).Seperti halnya sistem saraf dan endokrin yang menyampaikan infromasi untuk imun melalui neurotransmitter dan hormon, sistem imun menyampaikan informasi kepada sistem saraf dan endokrin melalui sitokin dan kemokin. Sitokin adalah mediator bioaktif larut yang dilepaskan oleh berbagai tipe sel di perifer (seperti monosit dan makrofag) dan otak (seperti mikroglia, astrosit, oligodendroglia, dan neuron) yang beroperasi dalam hubungan yang kompleks dan berkerja secara sinergis atau antagonis. Sitokin umumnya berhubungan dengan inflamasi, aktivasi imunitas, dan diferensiasi atau kematian sel termasuk interleukin (IL), TNF, INF, kemokin dan faktor pertumbuhan (seperti brain-derived neurotrophic factor, BDNF). Berdasarkan profil fungsional dari respon imun, produksi sitokin diatur oleh T-helper 1 (Th1) yang umumnya memediasi respon inflamasi seluler dan T-helper 2 (Th2) yang meningkatkan respon inflamasi humoral. Sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, IL-6, INF-, dan TNF-, meningkatkan respon imun untuk membantu mempercepat eleminasi patogen sedangkan sitokin anti-inflamasi seperti IL-4, IL-10, dan IL-3 berfungsi untuk meredam sistem imun dengan menurunkan fungsi sel dan sintesis sitokin pro-inflamasi (Kronfol dan Remick, 2000). Sitokin inflamasi berhubungan dengan proses terbentuk hingga rupturnya plak aterosklerosis, dimana hal tersebut merupakan patogenesis utama dari penyakit jantung koroner. Selain itu, inflamasi juga memegang peranan penting dalam patogenesis beberapa tipe gagal jantung. Secara keseluruhan, sitokin inflamasi (CRP) pada penyakit arteri koroner dan interleukin-6 (IL-6) pada gagal jantung dapat memprediksi tingkat keparahan dan perkembangan penyakit baik pada individu yang sehat maupun pada pasien dengan penyakit jantung koroner. Ketika terjadi inflamasi, sirkulasi sel-sel imunokompeten mengalami peningkatan. Makrofag dan sel glial (mikroglia dan astrosit) akan memicu sekresi sitokin proinflamasi. Molekul sitokin proinflamasi termasuk IL-1, IL-2, IL-6, IL-12, IFN-Gamma dan TNF-alfa selain meningkatkan sekresi hormon stres juga dapat mempengaruhi pertumbuhan sel otak dan fungsi sel saraf (Covelli, 2005).Sitokin terlibat dalam modulasi aktivitas neuron di area seperti amygdala, hippocampus, hipothalamus, dan korteks cerebri. Signal sitokin perifer dapat mencapai otak lewat jalur humoral, saraf, dan seluler melalui 5 mekanisme : 1) pergerakan sitokin lewat area yang lemah dalam sawar darah otak 2) transpor aktif melalui molekul transpor khusus sitokin pada endotel otak, 3) aktivasi sel endotel dan induksi pelepasan second messenger seperti prostaglandin dan nitrit oksida (NO), 4) transmisi melalui serabut saraf aferen pada nervus vagus, dan 5) masuk dalam parenkim otak melalui aktivasi monosit perifer (Capuron dan Miller, 2011).Stres fisik atau psikologis dan infeksi atau inflamasi di otak maupun perifer dapat memodulasi ekspresi sitokin pada sistem saraf pusat (SSP). Respon imun akut memicu reaksi adaptif, sementara dan terkontrol oleh SSP. Namun ketika respon imun menjadi kronis atau tidak terkendali karena penyakit kronis, stres kronis, atau terapi sitokin, respon inflamasi kronis yang dihasilkan berkontribusi dalam perkembangan perilaku maladaptif dan gejala gangguan neuropsikiatri. Sitokin dapat menyebabkan perubahan perilaku lewat efeknya pada (i) fungsi neurotransmiter : sitokin dapat mengubah metabolisme serotonin, dopamin dan glutamat, (ii) aktivitas neuroendokrin: sitokin dapat mengubah fungsi HPA axis melalui efek stimulan pada ekspresi dan pelepasan CRH, hormon adrenokortikotropik dan kortisol, (iii) neurogenesis: sitokin dapat mempengaruhi neurogenesis melalui aktivasi faktor nuklir kappa-light-chain-enhancer sel B aktif (NF-kB) dan (iv) sirkuit neuron: ganglia basalis dan korteks cingulata anterior bagian subgenual dan dorsal adalah target daerah sitokin. Konsekuensi perilaku efek ini termasuk depresi, kecemasan, kelelahan, psikomotor melambat, anoreksia, gangguan kognitif dan gangguan tidur (Capuron dan Miller, 2011). Sebuah stressor psikologi akut meningkatkan sitokin proinflamasi termasuk sel mononuclear, ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL-6). Peningkatan ekspresi gen IL-1B dihubungkan secara positif dengan denyut jantung dan kepekaan tekanan darah sistol. Sitokin juga mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Sitokin ini dapat merangsang proliferasi dan perpindahan sel otot polos melalui rangsangan factor pertumbuhan lainnya yang memicu lesi koroner. Mann menyarankan bahwa ekspresi jangka pendek dari stress aktivasi sitokin dengan jantung mungkin menjadi sebuah respons adaptif untuk stress, sebaliknya ekspresi jangka pendek dari molekul ini mungkin sesungguhnya maladaptive dengan menghasilkan dekompensasi jantung (Covelli, 2005).Respon yang dihasilkan oleh sitokin sentral dan perifer pada stres telah mendorong peran sitokin lebih lanjut dalam patogenesis gangguan kecemasan. Bukti penelitian eksperimen dan klinis menunjukkan bahwa stres dapat memicu reaksi inflamasi, diindikasian dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi di sirkulasi. Stres yang kronis, dengan memulai perubahan pda HPA aksis dan sistem imun, dapat bertindak sebagai pemicu kecemasan dan depresi (Leonard dan Myint, 2009). Terdapat bukti yang nyata bahwa depresi dan kecemasan meningkatkan produksi sitokin proinflamasi termasuk IL-6. Di samping itu, gejala depresi dapat menyebabkan disregulasi imunitas dan menimbulkan konsekuensi kesehatan. Pasien gangguan kecemasan juga berhubungan dengan perubahan imun. Sebagai contoh, pada pasien dengan gangguan kecemasan menyeluruh, penurunan ekspresi receptor IL-2 oleh limfosit berhubungan dengan pikiran intrusif yang lebih berat dan lamanya sakit karena infeksi saluran napas atas (Kiecolt-Glaser, et al., 2002). Depresi juga berhubungan dengan peningkatan sitokin khususnya CRP, IL-1, dan IL-6 baik pada pasien dengan riwayat penyakit jantung maupun tidak. Dari dua penelitian terdapat bukti bahwa inflamasi berhubungan dengan peningkatan gejala depresi dan depresi mayor berhubungan dengan perkembangan penyakit jantung dan mortalitasnya. Terdapat dua mekanisme hubungan antara inflamasi, depresi, dan penyakit kardiovaskuler. Mekanisme yang pertama adalah kemungkinan terjadinya interaksi neuro-imun. Pada hewan coba yang diinduksi kelelahan, terjadi peningkatan sitokin inflamasi TNF-, dimana terjadi pula peningkatan serotonin ekstraseluler di cortex prefrontal media. Terapi dengan menggunakan agonis reseptor serotonin (5HT-1A) dapat mengurangi efek kelelahan. Oleh karena itu, pada depresi, berkurangnya aktivitas serotonin pada reseptor tersebut kemungkinan berhubungan dengan peningkatan sitokin yang selanjutnya dapat berdampak pada kardiovaskuler. Mekanisme yang kedua adalah peningkatan sitokin seperti TNF- berhubungan dengan peningkatan aktivitas enzim yang mendegradasi triptofan menjadi kynurenine pada pasien CVD (Pop et al, 2011; Roest et al, 2012). Sebuah studi mengenai psikoneuroimunologi membuktikan terdapat korelasi positif antara kecemasan dan inflamasi, dimana pada orang cemas ditemukan kadar IL-6, TNF-, dan CRP lebih tinggi dibandingkan orang yang tidak cemas. Studi dalam populasi klinis menunjukkan bahwa tingkat kecemasan berhubungan dengan kerusakan imunitas seluler. Gangguan cemas yang secara khusus berhubungan dengan itu adalah PTSD, gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif, dan gangguan cemas menyeluruh (ODonovan et al, 2010). Evaluasi penyakit depresi dan GAD pada pasien penyakit jantung koroner stabil menunjukkan hubungan yang signifikan antara CRP dan GAD dan menyiratkan bahwa respon inflamasi yang berbeda dapat terjadi dalam dua kondisi ini. Dua studi terbaru yang dilakukan pada 20 pasien dengan GAD dan 20 kontrol yang sehat menunjukkan disregulasi fungsional sel T pada individu dengan GAD melalui pemeriksaan profil sel T setelah aktivasi kultur in vitro . Profil sitokin dalam GAD mengungkapkan bahwa defisit Th1 dan Th2 dikaitkan dengan fenotipe Th17 dominan, yang ditingkatkan oleh substansi P (. Komposisi kompartemen sel T perifer yang sangat berubah dapat menyebabkan keadaan kekebalan tubuh terganggu, yang mungkin menjelaskan mengapa beberapa pasien cemas menunjukkan kerentanan meningkat terhadap infeksi, inflamasi dan penyakit autoimun (Bankier et al, 2008; Vieira et al, 2010; Barros et al, 2011).Hubungan antara depresi dan hiperaktivitas platelet dapat dimediasi oleh serotonin. Serotonin ditemukan dalam darah dan platelet, yang memainkan peran penting dalam aktivasi platelet. Apabila serotonin berikatan dengan reseptor 5-hydroxytryptamine-2 (5HT-2) di platelet, hal ini menyebabkan pelepasan faktor prokoagulan yang disimpan dalam platelet dan meningkatkan agregasi platelet, memicu pembentukan clot. Dalam arteri koroner normal, pembentukan trombus dan iskemia dicegah melalui rangsangan serotonin pada endotelium untuk melepaskan nitrit oksida, yang mengakibatkan vasodilatasi di area sekitar clot. Adhesi, aktivasi, dan agregrasi platelet merupakan kompenen penting dalam penyakit jantung. Serotonin memainkan peran kunci dalam biologis platelet melalui mengikat dengan reseptor 5-hydroxytryptamine (5-HT) pada platelet. Di arteri dengan atherosklerosis, seperti yang dijelaskan di bagian sebelumnya, serotonin menyebabkan agregasi platelet. Selanjutnya, peningkatan kadar serotonin darah memprediksi CAD dan kejadian jantung iskemik di masa depan pada pasien dengan dugaan CAD. SSRI, yang secara teoritis mengurangi cadangan serotonin di trombosit dengan menghambat penyerapan serotonin oleh trombosit, juga telah terbukti menurunkan agregasi platelet dan aktivitas in vitro dan pada pasien dengan CAD . Secara bersama-sama, temuan ini memberikan kepercayaan secara teori bahwa aktivitas serotonin pada agregrasi trombosit berhubungan dengan infark miokard dan penyakit jantung lain (Schins et al, 2004; Gehi et al, 2010). Disfungsi trombosit juga terjadi pada pasien yang menderita dari depresi berat atau ringan, pasien depresi memiliki kelainan kadar serotonin pada darah dan trombosit, konsentrasi reseptor serotonin pada platelet meningkat, dan tingkat transporter serotonin yang rendah, hal ini menunjukkan bahwa trombosit mereka lebih peka terhadap serotonin dan kurang mampu untuk menghapusnya dari aliran darah. Selain itu terdapat bukti bahwa terjadi hipreaktivitas trombosit pada pasien depresi. Disfungsi trombosit dan serotonin bisa memediasi peningkatan risiko iskemik pada pasien ini. Aktivitas neurohormonal memegang kunci utama pada hubungan antara depresi dan prognosis gagal jantung. Pada pasien gagal jantung kadar katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) yang beredar meningkat, terutama pada pasien dekompensasi jantung dan tingginya kadar norepinefrin berhubungan dengan tingginya mortalitas pada penyakit ini. Peningkatan kadar katekolamin di plasma dan cairan serebrospinal pada pasien depresi sebagai dampaknya dapat meningkatkan peningkatan mortalitas pada gagal jantung (Schins et al, 2004; Gehi et al, 2010).Abnormalitas pada HPA axis juga memainkan peranan penting, dimana kortisol secara independen berhubungan dengan mortalitas pada gagal jantung dan pada depresi terjadi peningkatan kadar kortisol. Seperti hiperkotisolemia, pada depresi kelainan yang berhubungan dengan HPA juga mungkin berdampak ada kondisi medis pasien penyakit jantung lain. Karena abnormalitas ini berhubungan dengan metabolisme, kondisi seperti dislipidemia, obesitas, dan resistensi insulin juga berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas penyakit jantung (Bucceleti et al, 2009; Dao et al, 2010).Selain peningkatan sirkulasi katekolamin dan kortisol, abnormalitas pada sistem saraf otonom juga berpengaruh pada hubungan antara depresi dengan penyakit jantung. Jantung diinervasi oleh sistem saraf simpatis dan parasimpatis, interaksi antara keduanya yang berlawanan membantu jantung membuat perubahan dalam menghadapi stresor. Pasien dengan riwayat jantung iskemik atau gagal jantung biasanya menunjukkan pola peningkatan saraf simpatis dan penurunan saraf parasimpatis, manifestasinya adalah penurunan sensitivitas barorefleks dan variabilitas denyut jantung (heart rate variability,HRV) (Bucceleti et al, 2009; Kemp at al, 2010) . Pada depresi pasien dengan penyakit jantung maupun tidak juga mengalami penurunan variailitas denyut jantung, dengan penyebab yang sama yakni ketidakseimbangan antara saraf simpatis dan parasimpatis. Penurunan HRV tampaknya berhubungan linear dengan keparahan depresi. Selanjutnya pada pasien dengan depresi dan penyakit jantung koroner mengalami penurunan HRV yang lebih besar dibandingkan dengan pasien hanya dengan depresi atau peyakit jantung koroner. Peningkatan disfungsi saraf otonom pada depresi kemungkinan menyebakan perburukan prognosis pada pasien dengan gagal jantung (Glassman et al, 2007; Kemp et al, 2010). Depresi secara konsisten berhubungan dengan rendahnya level BDNF. Diperkirakan signal BDNF memediasi neurogenesis hippocampus yang berhubungan dengan penyembuhan depresi. Selain itu obat antidepresan SSRI juga meingkatkan kadar BDNF dan neurogenesis hipocampus. BDNF juga mempunyai peranan penting dalam beberapa proses fisiologis yang penting bagi kesehatan kardiovaskuler. BDNF diekspresikan oleh sel endotel dimana ia berperan dalam angiogenesis dan pertahanan sel endotel yang meningkat ketika terjadi hipoksia. Ekspresi BDNF diregulasi oleh signal neuron dari jantung setelah terjadi infark miokard menariknya peningkatan ekspresi ini terjadi di otak bukan jantung, dimana hal tersebut berefek pada penurunan kematian sel jantung dan peningkatan fungsi sistolik (Castrn et al, 2010; Hashimoto et al, 2010).