pneumokoniosis.docx
DESCRIPTION
pneumoTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Kemajuan sektor industri di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun,
peningkatan ini sejalan dengan peningkatan taraf ekonomi negara. Dengan
majunya industri maka terbukalah lapangan kerja buat masyarakat, daerah di
sekitar perindustrian juga berkembang dalam bidang sarana transportasi,
komunikasi, perdagangan dan bidang lainnya. Semua hal ini akan meningkatkan
taraf ekonomi dan sosial masyarakat. Di lain pihak, kemajuan ekonomi
merangsang timbulnya industri baru yang mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas. Meskipun perkembangan industri yang pesat dapat meningkatkan taraf
hidup, tetapi berbagai dampak negatif juga bisa terjadi pada masyarakat. Salah
satu dampak negatif adalah terhadap paru para pekerja dan masyarakat di sekitar
daerah perindustrian. Hal ini disebabkan pencemaran udara akibat proses
pengolahan atau hasil industri tersebut. Berbagai zat dapat mencemani udara
seperti debu batubara, semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, dan lain-
lain. Tergantung dari jenis paparan yang terhisap, berbagai penyakit paru dapat
timbul pada para pekerja (Yunus, 1997).
Menurut International Labor Organization (ILO) setiap tahun terjadi 1,1
juta kematian yang disebabkan oleh penyakit atau yang disebabkan oleh
pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya
adalah kematian karena penyakit akibat kerja dimana diperkirakan terjadi 160 juta
penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya. Dari data ILO tahun
1999, penyebab utama kematian yang berhubungan dengan pekerjaan adalah
kanker 34% dan pneumokoniosis berada pada peringkat kedua yaitu 21%
(Yulaekah, 2007).
2. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan ini adalah untuk membahas penyakit pneumokoniosis
yang mencakup pengertian, diagnosis, penanganan dan pencegahan penyakit
tersebut
1
PEMBAHASAN
1. Definisi
Pneumokoniosis adalah akumulasi debu dalam jaringan paru dan reaksi
jaringan paru terhadap adanya akumulasi debu tersebut. Bila pengerasan alveoli
telah mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan
kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan berkurangnya suplai
O2 ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian tubuh lainnya (Yulaekah, 2007).
Penyakit pneumokoniosis banyak jenisnya, tergantung dari jenis partikel
(debu) yang masuk atau terhisap ke dalam paru-paru. Macam-macam penyakit
pneumokoniosis berdasarkan jenis partikel (debu) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Macam jenis pneumokoniosis berdasarkan partikel penyebabnya.
Sumber : Michael E. Hanley,MD, Carolyn H. Welsh,MD. 2003. McGraw-Hill Section IX.
Occupational & Environmental Lung Diseases
a. Asbestosis
Penyakit ini terjadi akibat inhalasi debu asbes, menimbulkan
penumokoniosis yang ditandai oleh fibrosis paru. Paparan dapat terjadi di daerah
industri dan tambang, juga bisa timbul pada daerah sekitar pabrik atau tambang
yang udaranya terpolusi oleh debu asbes. Pekerja yang dapat terkena asbestosis
2
adalah yang bekerja di tambang, penggilingan, transportasi, pedagang, pekerja
kapal dan pekerja penghancur asbes (Yunus, 1997).
b. Silikosis
Penyakit silikosis adalah penyakit yang disebabkan oleh pencemaran debu
silica bebas (SiO2) yang terhisap kemudian mengendap menyebabkan peradangan
dan pembentukan jaringan parut pada paru-paru. Paparan terjadi di daerah besi
dan baja, keramik, beton, timah putih, dan pasir (WHO, 1986).
c. Pneumokoniosis Penambang Batubara
Penyakit pneumokoniosis pada penambang batu bara atau coal workers
pneumoconiosis (CWP) adalah penyakit yang terjadi akibat penumpukan debu
batubara di paru dan menimbulkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut.
Penyakit ini terjadi bila paparan cukup lama, biasanya setelah pekerja terpapar
lebih daii 10 tahun (Yunus, 1997).
d. Beriliosis
Penyakit ini diperoleh terutama pada pemurnian berilium. Secara klinis,
menyerupai sarkoidosis kronik (fibrosis difus tidak teratur). Pemberian kortikosteroid
disebutkan masih berfungsi untuk menangani penyakit tersebut (Seaton, 1999).
2. Epidemiologi
Dalam studi epidemiologi pneumokoniosis, radiografi dari pekerja yang
terpajan harus selalu dibandingkan dengan standar film dari International Labour
Organization (ILO), dan dinilai dari kategori 0 (normal) hingga kategori 3. Di
Inggris, pneumokoniosis pekerja batu bara tradisional di diagnosis kurang dari
100 orang /tahun, yang sebagian besar individu adalah mantan penambang dengan
usia lebih dari 50 tahun. Risiko pneumokoniosis pada penambang batubara
tradisional dan fibrosis masif progresif (PMF) adalah berkaitan dengan debu
batubara pada tambang yang terpapar. Sekitar 5% dari penambang terpapar debu
sebanyak 8 mg/m3 seluruh masa kerja mereka mengalami pneumokoniosis
3
kategori 2 pekerja batu bara tradisional. Risiko lebih tinggi terjadi pada mereka
yang terpapar batubara jenis sangat mudah terbakar (misalnya antrasit), dan lebih
rendah peringkat batubara uap. Jika debu mengandung lebih dari sekitar 10%
kuarsa, akan cenderung terjadi. Pria dengan PMF (Fibrosis Masif Progresif) dan
yang pekerja batu bara pneumokoniosis tradisional yang relatif dini meningkatkan
risiko kematian dini. Namun, pneumokoniosis pekerja batu bara tradisional tidak
terkait dengan peningkatan risiko kanker paru-paru atau TB. Pekerja batu bara
pneumokoniosis tradisional tidak menyebabkan bronkitis kronis atau obstruksi
saluran napas, tapi ada hubungan yang terpisah antara paparan debu batubara dan
pengembangan sindrom ini, dan banyak pasien memiliki keduanya. Merokok
memiliki efek adiktif dengan obstruksi sehubungan dengan saluran udara. Risiko
centri-asinar emfisema meningkat dengan meningkatkan paparan debu batubara
terespirasi.
Menurut survey yang dilakukan oleh Health and Safety Executive, di Inggris,
pada tahun 2010 terdapat sekitar 345 kasus pneumokoniosis baru dan 60 kasus
silikosis. Kematian dari pneumokoniosis pekerja batubara telah berkurang selama
10 tahun terakhir dengan 131 pada tahun 2009. Ada 18 kematian akibat silikosis
pada tahun 2009, sedikit lebih dari pada 5 tahun sebelumnya. Untuk lebih lengkap
perhatikan gambar 1 berikut.
4
Gambar 1. Pneumokoniosis dan Silikosis di Great Britain, 1992-2010
Sedangkan pada negara berkembang seperti di Cina, pneumokonios ini
telah lama menjadi penyakit akibat kerja yang paling serius dan belum dapat
dicegah. Kasus baru diperkirakan 7500-10000 setiap tahun, mewakili lebih dari
70% dari jumlah kasus yang dilaporkan penyakit akibat kerja akhir tahun. Kasus
yang tercatat di Cina antara tahun 1949 dan 2001 mencapai 569.129. Sebagian
besar kasus terjadi di industri pertambangan, khususnya di tambang batubara
(Liang et al, 2012)
3. Patogenesis
Pneumokoniosis merupakan hasil dari interaksi antara partikel debu dan
mekanisme pertahanan paru-paru. Hanya partikel dengan ukuran kecil yang dapat
mencapai asinus paru (terminal bronkus dan alveolus) yang kemungkinan akan
menyebabkan bahaya, hal tersebut akan bahaya untuk makrofag yang
menyebabkan endapan partikel di paru-paru, yang tergantung pada ukuran, bentuk
dan kepadatan. Partikel sferis dengan diameter sekitar 0,5-10 mm umumnya
paling mungkin disimpan di asinus paru-paru, partikel yang lebih besar akan
menyerang di saluran napas. Penghancuran mereka tergantung pada integritas dari
sistem limfatik paru dan mekanisme mukosiliar.
Di dalam asinus, makrofag menelan partikel dalam upaya untuk eliminasi.
Partikel inert (misalnya asap, besi oksida) dapat dihilangkan sampai pada
kapasitas tertentu dengan cara dieliminasi oleh mukosiliaris atau dibawa ke
kelenjar getah bening dan hilus intrapulmonal. Partikel yang lebih beracun
(misalnya kuarsa-kristal, silikon dioksida) merangsang makrofag untuk
melepaskan faktor inflamasi yang dapat menyebabkan peradangan dan
fibrogenesis. Sel-sel inflamasi lainnya kemudian menuju asinus, sehingga
menyebabkan proliferasi fibroblas. Kuarsa bersifat toksik bagi sel-sel karena
dapat merusak dan mengoksidasi lipid membran lisosomal, dan akhirnya
membunuh makrofag. Mineral lainnya (misalnya batubara) yang bersifat kurang
toksik secara langsung, namun demikian secara tidak langsung juga dapat
5
menyebabkan fibrosis. Distribusi fibrosis mencerminkan lokasi debu. Batubara
dan kuarsa menyebabkan fibrosis tipe nodular sepanjang jalur debu dari acinus ke
node hilus (Seaton, 1999)
4. Diagnosis
Penyakit paru akibat debu industri mempunyai gejala dan tanda yang mirip
dengan penyakit paru lain yang tidak disebabkan oleh debu di lingkungan kerja.
Untuk menegakan diagnosis perlu dilakukan anamnesis yang teliti meliputi
riwayat pekerjaan, dan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan, karena
penyakit biasanya baru timbul setelah paparan yang cukup lama. Anamnesis
mengenai riwayat pekerjaan yang akurat dan rinci sangat diperlukan. Berbagai
faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan lingkungan perlu diketahui secara
rinci. Karena menunjang penegakan diagnosa penyakit paru yang mungkin
diakibatkan oleh pekerjaan/ lingkungan pekerjaan (Yunus, 1997).
Langkah pada anamnesis sebagai berikut:
1. Riwayat penyakit sekarang:
a. Gejala-gejala yang berhubungan dengan pekerjaan.
b. Pekerjaan lain yang terkena gejala serupa.
c. Paparan saat ini terhadap debu, gas bahan kimia - dan biologi yang
berbahaya.
d. Laporan terdahulu tentang kecelakaan kerja.
2. Riwayat pekerjaan
a. Catatan tentang semua pekerjaan terdahulu, hari kerja yang khusus
b. Proses pertukaran pekerjaan.
3. Tempat kerja
a. Ventilasi, higiene industri dan kesehatan, pemeriksaan pekerja,
pengukuran proteksi.
b. Keamanan cahaya
4. Riwayat penyakit dahulu
a. Paparan terhadap kebisingan, getaran, radiasi
6
b. Paparan terhadap zat-zat kimia.
5. Riwayat lingkungan
a. Rumah dan lokasi tempat kerja sekarang dan sebelumnya.
b. Pekerjaan lain yang bermakna
c. Sampah/limbah yang berbahaya
d. Polusi udara
e. Hobi: mencat, memahat, mematri, pekerjaan yang berhubungan dengan
kayu.
f. Alat pemanas rumah
g. Zat-zat pembersih dan tempat kerja
h. Paparan peptisida
i. Alat pemadam kebakaran di rumah atau ditempat kerja.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis dan
menilai kerusakan paru akibat debu adalah pemeriksaan radiologis dan
pemeriksaan faal paru dengan spirometri. Pemeriksaan foto toraks sangat berguna
untuk melihat kelainan yang ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis.
Pembacaan foto toraks pneumokoniosis perlu dibandingkan dengan foto standar
untuk menentukan klasifikasi kelainan. Kualitas foto harus baik atau dapat
diterima untuk dapat menginterpretasikan kelainan paru lewat foto Rontgen.
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa digunakan untuk keperluan penegakan
diagnosis adalah CT Scan, Broncho Alveolar Lavage (BAL) dan Biopsi (Yunus,
1997).
a. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto toraks sangat berguna untuk melihat kelainan yang
ditimbulkan oleh debu pada pneumokoniosis. Klasifikasi standar menurut ILO
dipakai untuk menilai kelainan yang timbul.
7
Perselubungan Halus (Small Opacities)
Perselubungan ini digolongkan menurut bentuk, ukuran, banyak dan luasnya.
Menurut bentuk dibedakan atas perselubungan halus bentuk lingkar dan bentuk
ireguler. Perselubungan lingkar dibagi berdasarkan diameternya, yaitu: p =
diameter sampai 1,5 mm, q = diameter antara 1,5-3 mm dan r = diameter antara
3-10 mm. Bentuk ireguler dibagi berdasarkan lebarnya, yaitu: s = lebar sampai 1,5
mm, t = lebar antara 1,5-3 mm dan u = lebar antara 3-10 mm.
Untuk pelaporan bentuk dan ukuran kelainan digunakan dua huruf. Huruf
pertama menunjukkan kelainan yang lebih dominan, contoh p/s. ini berarti
perselubungan lingkar ukuran p lebih banyak, tetapi juga ada perselubungan
ireguler ukuran s tetapi jumlahnya sedikit. Kerapatan (profusion) kelainan
didasarkan pada konsentrasi atau jumlah perselubungan halus persatuan area.
Dibagi atas 4 kategori, yaitu:
Kategori 0= Tidak ada perselubungan atau kerapatan kurang dari 1.
Kategori 1 = Ada perselubungan tetapi sedikit.
Kategori 2= Perselubungan banyak, tetapi corakan paru masih tampak.
Kategori 3= Perselubungan sangat banyak sehingga corakan paru sebagian
atau seluruhnya menjadi kabur.
Foto toraks pada pneumokoniosis mempunyai 12 kategori, yaitu:
0/-, 0/0, 0/1, 1/0, 1/1, 1/2, 2/1, 2/2, 2/3, 3/2, 3/3, 3/+.
Angka pertama menunjukkan kerapatan yang lebih dominan daripada
angka dibelakangnya. Kerapatan adalah petunjuk penting .untuk menentukan
beratnya penyakit. Luasnya distribusi perselubungan didasarkan atas area yang
terkena. Lapangan paru dibagi atas 6 area, masing-masing belahan paru
mempunyai 3 area yaitu lobus atas, lobus tengah dan lobus bawah.
Perselubungan Kasar (Large Opacities)
Perselubungan kasar dibagi atas 3 kategori yaitu:
8
Kategori A = Satu perselubungan dengan diameter antara 1-5 cm, atau
beberapa perselubungan dengan dimater masing-masing lebih dari 1 cm,
tapi bila diameter semuanya di jumlahkan tidak melebihi 5 cm.
Kategori B = Satu atau beberapa perselubungan yang lebih besar atau
lebih banyak dari A dengan luas perselubungan tidak melebihi luas
lapangan paru kanan atas.
Kategori C = Satu atau beberapa perselubungan yang jumlah luasnya
melebihi luas lapangan paru kanan atas atau sepertiga lapangan paru kanan
(Yunus, 1997).
b. Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru yang sederhana, cukup sensitif dan bersifat
reprodusibel serta digunakan secara luas adalah pemeriksaan Kapasitas Vital Paru
(KVP) dan Volume Ekspirasi Paksa (VEP) pada detik pertama. Selain berguna
untuk menunjang diagnosis juga perlu untuk melihat laju penyakit, efektivitas
pengobatan dan menilai prognosis. Pemeriksaan sebelum seseorang bekerja dan
pemeriksaan berkala setelah bekerja dapat mengidentifikasi penyakit dan
perkembangannya, pada pekerja yang sebelumnya tidak memiliki gejala.
Pemeriksaan faal paru lain yang lebih sensitif untuk mendeteksi kelainan di
saluran napas kecil adalah pemeriksaan Flow Volume Curve dan Volume of
Isoflow.
Tabel 2. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru
9
Sumber : American Thoracic Society, Medical Section of The Asian Lung
Association Am. Rev Respir.
Pengukuran kapasitas difusi paru sangat sensitif untuk mendeteksi
kelainan di interstisial, tetapi pemeriksaan ini rumit dan memerlukan peralatan
yang lebih canggih, dan tidak dianjurkan digunakan secara rutin. Pekerja yang
pada pemeriksaan awal tidak menunjukkan kelainan, kemudian menderita
kelainan setelah bekerja dan penyakitnya terus berlanjut, dianjurkan untuk
menukar pekerjaannya. Ini bisa berarti beralih pekerjaan, atau pindah pada
bagian/divisi yang lain di dalam komunitas para pekerja.
6. Penatalaksanaan dan Pencegahan
Dalam penatalaksanaan dan pencegahan pada pekerja yang terindikasi penyakit paru
akibat kerja, Djojodibroto (1999) dalam bukunya membagi menjadi:
a. Penilaian cacat
Penilaian cacat sangat penting untuk membuat diagnosis yang tepat serta
memberi nasihat kepada penderita terhadap prospek pekerjaannya, untuk
menentukan kecacatan paru akibat kerja diperlukan 5 langkah yang harus
dilakukan. penilaian cacat sangat penting untuk membuat diagnosis yang tepat
meliputi:
1. Diagnosis
2. Hubungan diagnosis dengan pekerjaan
3. Derajat kelainan / gangguan fungsi
4. Penilaian kebutuhan kerja
5. Penilaian kecacatan
b. Obat-obatan
Ada banyak jenis penyakit paru akibat kerja, obat memegang peran yang
sangat sedikit dan terapi pada umumnya terdiri dari anjuran untuk menghindari
pajanan lebih lanjut terhadap bahan yang berbahaya. Obat yang diberikan
biasanya bersifat simtomatis.
10
c. Menghindari pajanan
Beberapa cara yang dapat dilakakan antara lain: a). mengganti (subtitusi)
bahan yang berbahaya dengan bahan yang kurang atau tidak berbahaya, b).
membatasi bahan pajanan, c). ventilasi keluar dan d). memakai APD (Alat
Pelindung Diri). Penatalaksanaan penyakit paru akibat kerja termasuk mengganti
pekerjaan yang menyebabkan penyakit atau pembatasan menyangkut apa yang
boleh atau yang tidak boleh dilakuakan.
7. Prognosis
Prognosis ditetapkan berdasarkan pengetahuan tentang riwayat perjalanan
penyakitnya serta hasil- hasil pemeriksaan yang lain, dibekali dengan informasi
tersebut, dokter dapat membuat rencana pengobatan untuk penghentian peburukan
penyakitnya serta mengurangi keluhan. Salah satu progam yang penting adalah
rehabilitasi, merupakan proses untuk membantu induvidu yang mengalamai
kecacatan dalam mempertahankan tingkat maksimal dari setiap fungsinya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Debu industri di tempat kerja dapat menimbulkan kelainan dan penyakit
paru. Berbagai faktor berperan pada mekanisme timbulnya penyakit, diantaranya
adalah jenis, konsentrasi, sifat kimia debu, lama paparan dan faktor individu
pekerja. Timbulnya pneumokoniosis terjadi karena paparan debu batubara yang
lama, biasanya pekerja yang telah berkerja selama >10 tahun, oleh karena itu
berbagai tindakan pencegahan perlu dilakukan untuk mencegah timbulnya
penyakit ataupun mengurangi laju penyakit akibat kerja. Dalam penanganan
proses preventif, pengetahuan tentang zat-zat yang dapat menimbulkan kelainan
pada paru di industri juga harus ditangani. Kadar debu pada tempat kerja
diturunkan serendah mungkin dengan memperbaiki teknik pengolahan bahan,
misalnya pemakaian air untuk mengurangi debu yang berterbangan. Bila kadar
debu tetap tinggi, pekerja diharuskan memakai alat pelindung diri (APD) yang
11
telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan selama proses kerja berlangsung.
Pemeriksaan faal paru dan radiologis sebelum dan setelah seseorang menjadi
pekerja harus dilakukan secara berkala untuk mendeteksi secara dini kelainan-
kelainan yang timbul. Bila pekerja telah menderita penyakit akibat debu,
berpindah ke tempat yang tidak ada paparan debu merupakan pilihan yang tepat
untuk mengurangi perjalan penyakit semakin parah. Pekerja yang merokok
hendaknya mengurangi konsumsi rokok sedikit-demi sedikit, terutama bila
bekerja di tempat-tempat yang beresiko terjadi penyakit industri dan kanker paru,
karena konsumsi rokok dapat meningkatkan resiko timbulnya penyakit.
Pengobatan penyakit paru akibat debu industri hanya bersifat simtomatis
(mengurangi gejala) dan suportif, sehingga usaha pencegahan merupakan langkah
penatalaksanaan yang penting.
12
DAFTAR PUSTAKA
American Thoracic Society. 1995. Standard for The Diagnosis And Care Of Patient With Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) and Asthma. Am. Rev. Respir Dis: 225 - 43.
Becker CE. 1985. Principles of Occupational Medicine. In: Wyngaarden JB, Smith LH (eds). Cecil Textbook of Medicine, Philadelphia, WB Saunders Co; 2277-9
Djojodibroto, R D. 1999. Kesehatan kerja di Perusahaan. Gramedia. Jakarta
Health and Safety Executive, 2011.http://www.hse.gov.uk/statistics/causdis/ pneumoconiosis/pneumoconiosis-and-silicosis.pdf
Michael E. Hanley,MD, Carolyn H. Welsh,MD. Denver,Colorado. September 2003. McGraw-Hill Section IX. Occupational & Environmental Lung Diseases > Chapter 31.Pneumoconiosis.
Seathon, A. 1999. Systemic and Parenchymal Lung Diseases. The Medicine Publishing Company
World Health Organization. 1986. Early Detection of Occupational Diseases. Singapore, World Health Organization; 272
Liang Y X, O Wong, H Fu, et al. 2012. The economic burden of pneumoconiosis in China. doi: 10.1136/oem.60.6.383 2003 60: 383-384 Occup Environ Med
Yunus, F. 1997. Dampak Debu Industri pada Paru Pekerja dan Pengendaliaannya. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bagian Pulmonologi FKUI/ Unit Paru RSUP Persahabatan Jakarta. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.pdf/14DampakDebuIndustripadaParuPekerja115.html
Yulaekah, S. 2007. PAPARAN DEBU TERHIRUP DAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA INDUSTRI BATU KAPUR. Universitas Diponegoro. Semarang.
13