pkip fix

38
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada umumnya masyarakat Indonesia telah mampu mengkonsumsi makanan yang secara kuantitatif mencukupi, namun dari segi kualitatif masih cukup banyak yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya. Jika kebutuhan gizi minimum ini tidak terpenuhi dalam waktu lama walaupun individunya tidak merasakan lapar maka dapat menyebabkan gejala-gejala terganggunya kesehatan. Kondisi ini yang disebut sebagai kelaparan tersembunyi (hidden hunger), kelaparan gizi atau malnutrisi (JIPG, 2005). Masalah malnutrisi merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang utama pada negara-negara berkembang dan kurang berkembang yang dapat mempengaruhi kondisi bayi, anak balita dan wanita usia produksi (UNICEF, 2000). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2010, masalah gizi merupakan masalah yang mendapatkan perhatian khusus, dari 33 provinsi di Indonesia 18 provinsi masih memiliki prevalensi berat kurang (underweight) di atas angka prevalensi nasional sebesar 17,9%. Prevalensi berat kurang (underweight) di Provinsi Nusa Tenggara Barat cukup tinggi yaitu sebesar 1

Upload: agastiya-aldi

Post on 22-Dec-2015

4 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku

TRANSCRIPT

Page 1: PKIP FIX

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada umumnya masyarakat Indonesia telah mampu mengkonsumsi makanan

yang secara kuantitatif mencukupi, namun dari segi kualitatif masih cukup banyak

yang belum mampu mencukupi kebutuhan gizi minimumnya. Jika kebutuhan gizi

minimum ini tidak terpenuhi dalam waktu lama walaupun individunya tidak

merasakan lapar maka dapat menyebabkan gejala-gejala terganggunya kesehatan.

Kondisi ini yang disebut sebagai kelaparan tersembunyi (hidden hunger), kelaparan

gizi atau malnutrisi (JIPG, 2005). Masalah malnutrisi merupakan salah satu masalah

kesehatan masyarakat yang utama pada negara-negara berkembang dan kurang

berkembang yang dapat mempengaruhi kondisi bayi, anak balita dan wanita usia

produksi (UNICEF, 2000).

Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2010,

masalah gizi merupakan masalah yang mendapatkan perhatian khusus, dari 33

provinsi di Indonesia 18 provinsi masih memiliki prevalensi berat kurang

(underweight) di atas angka prevalensi nasional sebesar 17,9%. Prevalensi berat

kurang (underweight) di Provinsi Nusa Tenggara Barat cukup tinggi yaitu sebesar

30,5%. Sedangkan prevalensi kependekan (stunting) secara nasional Tahun 2010

sebesar 35,6%, sebanyak 15 provinsi memiliki prevalensi kependekan di atas angka

prevalensi nasional. Salah satunya Provinsi Nusa Tenggara Barat yang berada di

posisi ke 3 (tiga) tertinggi, yaitu prevalensi kependekan sebesar 48,2%. Bila

dibandingkan dengan batas “Non public health problem” menurut WHO untuk

masalah kependekan sebesar 20%, maka dari semua provinsi yang ada termasuk

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih dalam kondisi bermasalah terhadap

kesehatan masyarakat, terutama masalah gizi (Depkes RI, 2010).

1

Page 2: PKIP FIX

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaiman tinjauan gizi buruk secara umum?

2. Bagaimana tahapan-tahapan mengenal masalah perilaku pada kasus gizi

buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB)?

1.3 Tujuan dan Manfaat

1. Mengetahui dan memahami tinjauan gizi buruk secara umum.

2. Memahami tahapan-tahapan mengenal masalah perilaku pada kasus gizi

buruk di provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).

2

Page 3: PKIP FIX

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tinjauan Umum Tentang Gizi Buruk

2.1.1 Definisi Gizi Buruk Secara Umum

Gizi buruk merupakan salah satu penyakit akibat gangguan gizi yang penting

bagi Indonesia maupun banyak negara yang sedang berkembang di Asia, Afrika,

Amerika Tengah, dan Amerika Selatan. Gizi buruk adalah suatu istilah teknis yang

umumnya dipakai oleh kalangan gizi, kesehatan dan kedokteran. Atau lebih dikenal

dengan istilah “busung lapar”, meskipun anak yang menderita gizi buruk belum tentu

kelaparan. Sebenarnya gizi buruk dapat disebut kelaparan tidak kentara (“hidden

hunger”), karena mereka hanya kenyang karbohidrat, tetapi “lapar” banyak zat gizi

lainnya. Gizi buruk adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan

gizi. Anak balita dikatakan sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari pertambahan

berat badannya tiap bulan sampai usia 2 tahun. Apabila pertambahan berat badan

sesuai dengan pertambahan umur sesuai standar WHO, maka dapat dikatakan bergizi

baik. Akibat kekurangan gizi dan protein dalam porsi yang bermacam-nacan,

timbullah masalah gizi dengan derajat yang sangat ringan sampai berat. Pada keadaan

yang sangat ringan tidak banyak ditemukan kelainan dan hanya pertumbuhan kurang.

Pada keadaan berat ditemukan dua tipe ialah:

a. Tipe Marasmus adalah bentuk malnutrisi kalori protein yang terutama akibat

kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun

pertama kehidupan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot. Mempunyai

Individu dengan marasmus  mempunyai penampilan yang sangat kurus

dengan tubuh yang kecil dan tidak terlihatnya lemak (Dorland, 1998:649).

Marasmus biasa menyerang siapa saja atau bisa menyerang semua usia.

b. Kwashiorkor adalah suatu keadaan kekurangan gizi (protein) yang merupakan

sindrom klinis yang diakibatkan defisiensi protein berat dan kalori yang tidak

adekuat.  Walaupun sebab utama penyakit ini adalah defisiensi protein, tetapi

3

Page 4: PKIP FIX

karena bahan makanan yang dimakan kurang mengandung nutrisi lainnya

ditambah dengan konsumsi setempat yang berlainan, maka akan terdapat

perbedaan gambaran kwashiorkor di berbagai negara.

2.1.2 Klasifikasi Gizi Buruk

Demi kepentingan praktis di klinik maupun di lapangan klasifikasi MEP

ditetapka dengan patokan perbadingan berat badan terhadap umur anak sebagai

berikut:

1. Berat badan 60-80% standar tanpa edema: gizi kurang

(MEP ringan).

2. Berat badan 60-80% standar dengan edema: kwashiorkor

(MEP berat).

3. Berat badan <60%: marasmus (MEP berat).

4. Berat badan <60%: marasmik kwashiorkor (MEP berat).

Keterangan Gizi Baik(%) Gizi Kurang(%) Gizi Buruk(%)

BB/U 80=100 60-80 <65

TB/U 95-100 89-95 <85

BB/TB 90-100 70-90 <70

LLA//U 85-100 70-85 <70

LLA/TB 85-100 75-85 <75

4

Page 5: PKIP FIX

2.2 Tahapan-tahapan Mengenal Masalah Perilaku

2.2.1 Mengenal Masalah Kesehatan

Mengenal masalah di suatu wilayah, maka diperlukan data dalam garis

besarnya data yang diperlukan antara lain:

a. Data Umum, misalnya keadaan geografis, kepadatan penduduk,

penyebaran penduduk, pertumbuhan penduduk, tingkat pendidikan, status

sosial ekonomi dsb.

b. Data kesehatan, antara lain angka kesakitan, angka kecacatan, angka

kematian, angka kelahiran, keadaan status gizi, dan jenis-jenis penyakit

tertentu.

c. Data perilaku, misalnya tingkat kunjungan ke Puskesmas, pola

komunikasi, pola kepemimpinan, jumlah kader kesehatan, pola makan,

kebiasaan BAB dll.

Data tersebut dapat diperoleh dari Kantor BPS setempat, pusat data kabupaten

(Kabupaten dalam angka), laporan-laporan, observasi-observasi terhadap

kepercayaan, pengetahuan, sikap dan praktek berbagai masyarakat. Upaya

pengumpulan data tersebut, akan diketahui beberapa masalah kesehatan. Misalnya

banyaknya diare, DBD, masalah gizi, sanitasi dll. Contoh masalah kesehatan yang

akan kita bahas dalam makalah ini adalah tentang gizi buruk.

Gizi buruk adalah suatu kondisi di mana seseorang dinyatakan kekurangan

nutrisi, atau dengan ungkapan lain status nutrisinya berada di bawah standar rata-rata.

Nutrisi yang dimaksud bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Di Indonesia,

kasus KEP (Kurang Energi Protein) adalah salah satu masalah gizi utama yang

banyak dijumpai pada balita.

Menurut UNICEF saat ini ada sekitar 40% anak Indonesia di bawah usia lima

tahun menderita gizi buruk. Gizi buruk akut atau busung lapar menurut sensus WHO

menunjukkan 49% dari 10,4 juta kematian yang terjadi pada anak dibawah lima tahun

di negara berkembang. Kasus kekurangan gizi tercatat sebanyak 50% anak-anak di

Asia, 30% anak-anak Afrika, dan 20% anak-anak di Amerika Latin.

5

Page 6: PKIP FIX

Kasus gizi buruk di provinsi NTB umumnya menimpa balita karena masalah

ekonomi atau kurangnya pengetahuan, penyakit penyerta seperti infeksi saluran

pernapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Ekonomi yang lemah memungkinkan

bahwa balita akan sulit mendapatkan asupan gizi yang cukup, karena orang tua sulit

untuk mendapatkannya lantaran kurangnya biaaya. Sedangkan kurangnya

pengetahuan tentang pentingnya gizi bagi balita juga akan membuat masalah gizi

buruk meluas. Faktor alam seperti keadaan geografis juga mempengaruhi terjadinya

gizi buruk. Misalnya masyarakat di NTB yang tinggal di daerah terpencil, dataran

tinggi, wilayah pesisir dengan curah hujan cukup tinggi dan jauh dari keramaian serta

penyebaran penduduk yang meluas akan sulit untuk mengakses berita kesehatan

ataupun sekedar untuk memeriksakan anaknya ke Puskesmas atau Posyandu terkait

dengan gizi yang dibutuhkan oleh sang balita.

Berdasarkan laporan Riskesdas tahun 2010, menyatakan bahwa NTB

merupakan salah satu provinsi yang mempunyai angka wasting (penurunan berat

badan) tertinggi yaitu 17,7%, dimana pravalensi kekurusan pada anak laki-laki lebih

tinggi yaitu 13,2% daripada anak perempuan yaitu 11,2%. Faktor yang menyebabkan

terjadinya kekurusan antara lain asupan energi dan zat gizi termasuk protein, seng,

Fe, dan Vitamin A.

Data Susenas menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang menurun dari 37,5

% (1989) menjadi 24,6 % (2000). Namun kondisi tersebut tidak diikuti dengan

penurunan prevalensi gizi buruk bahkan prevalensi gizi buruk cenderung meningkat.

2.2.2 Mengenal Penyebab Masalah

Masalah gizi yang akan dikembangkan dari segi penyuluhannya sudah

ditentukan, maka haruslah diketahui dengan jelas apakah penyebab masalah gizi

tersebut. Hal ini penting agar dalam penyuluhan nanti agar dapat dikemukakan

dengan jelas penyebab-penyebab tersebut, hingga akan bisa menghilangkan

kepercayaan-kepercayaan yang keliru tentang penyebab masalah gizi buruk tersebut.

6

Page 7: PKIP FIX

2.2.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Gizi Buruk Secara Umum

Menurut UNICEF (1988) telah mengembangkan kerangka konsep makro

sebagai salah satu strategi untuk menanggulangi masalah kurang gizi. Kerangka

tersebut ditunjukkan bahwa masalah gizi buruk dapat disebabkan oleh:

1. Penyebab Langsung

Makanan dan penyakit dapat secara langsung menyebabkan gizi buruk.

Timbulnya gizi buruk tidak hanya  dikarenakan asupan makanan  yang

kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapat cukup banyak makanan

tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi buruk.

Demikian pula dengan anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka

daya tahan tubuhnya akan melemah dan akan mudah terserang penyakit.

2. Penyebab tidak langsung

Ada tiga penyebab tidak langsung yang menyebabkan masalah gizi buruk

yaitu:

1. Ketahanan pangan keluarga yang kurang memadai. Setiap keluarga

diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh

anggota keluarganya dalam jumlah maupun mutu gizinya. 

2. Pola pengasuhan anak kurang memadai. Setiap keluarga dan

masyarakat diharapkan dapat menyediakan waktu, perhatian dan

dukungan terhadap anak agar dapat tumbuh dan berkembang dengan

baik, baik fisik, mental dan sosial.

3. Pelayanan kesehatan dan lingkungan kurang memadai. Sistem

pelayanan kesehatan yang ada diharapkan dapat menjamin

penyediaan  air bersih dan sarana kesehatan dasar (Posyandu) yang

terjangkau oleh setiap keluarga yang membutuhkan (Supariasa, 2002).

7

Page 8: PKIP FIX

Menurut Pudjiadi (2003) juga mengemukakan pendapatnya bahwa, gizi buruk

disebabkan oleh lima faktor utama yaitu:

a. Faktor diet

Menurut konsep klasik, yang mengandung cukup energi tetapi kurang

protein akan menyebabkan anak menjadi kwashiorkor. Sedangkan diet yang

kurang energi walaupun zat-zat esensialnya seimbang akam menyebabkan

anak menderita marasmus.

b. Faktor sosial

Pantangan untuk menggunakan makanan tertentu yang sudah turun-

temurun dapat mempengaruhi terjadinya gizi buruk. Ada kalanya pentangan

tersebut didasarkan pada keagamaan tetapi ada pula yang merupakan tradisi

yang turun-temurun.

b. Faktor kepadatan penduduk

Dalam Word Food Conference di Roma pada tahun 1974 (Pudjiadi

2003) telah dikemukakan bahwa meningkatnya penduduk secara cepat tanpa

adanya bertambahnya bahan makanan setempat yang memadai merupakan

sebab utama krisis pangan.

c. Faktor infeksi

Masalah malnutrisi meskipun ringan tetapi, mempunyai pengaruh

negatif pada daya tahan tubuh terhadap infeksi.

d. Faktor kemiskinan

Gizi buruk merupakan masalah-masalah negara miskin dan merupakan

masalah bagi golongan termiskin dalam masyarakat negara tersebut. Dalam

penelitian WHO tentang malnutrition menunjukkan bahwa kemiskinan

memiliki peranan yang cukup besar. Hal ini lebih banyak terjadi pada negara-

negara berkembang dan terbelakang yang tidak jarang terjadi bahwa petani

miskin harus menjual tanah miliknya untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

8

Page 9: PKIP FIX

Kasus gizi buruk di Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan masalah serius

karena sampai menyebabkan kematian 21 balita pada tahun 2013. Kasus gizi buruk di

NTB memang cenderung lebih tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lain di

Indonesia yang telah menyebabkan kematian. Berdasarkan data Kemenkes, penyebab

meninggalnya 21 balita tersebut ialah penyakit penyerta, seperti infeksi saluran

penapasan, kelainan jantung, dan diare berat. Kasus gizi buruk di NTB juga

disebabkan oleh sebaran jumlah penduduk yang cukup luas sehingga berpengaruh

terhadap akses pelayanan kesehatan. Selain itu daya tahan tubuh masyarakat yang

sangat lemah sehingga tidak memiliki sistem pertahanan yang baik ketika kuman

masuk.

2.2.3 Mengenal Sifat Masalah

a. Besarnya Masalah

Masalah kesehatan masyarakat dianggap serius bila prevalensi gizi

buruk-kurang antara 20,0- 29,0 persen dan dianggap prevalensi sangat tinggi

bila ≥30% (WHO, 2010). Pada tahun 2013, Provinsi NTB memiliki prevalensi

gizi buruk-kurang pada anak balita sebesar 25,7 %, terdiri dari 6,3 % gizi

buruk dan 19,4 % gizi kurang (Riskesdas, 2013). Hal tersebut berarti masalah

gizi buruk-kurang di Provinsi NTB masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat yang termasuk prevalensi tinggi bahkan mendekati prevalensi

sangat tinggi. Dampak gizi buruk tidak hanya menimbulkan hambatan

pertumbuhan fisik dan mental bahkan kematian, gizi buruk juga berdampak

pada keadaan sosial-ekonomi penderita pada masa kehidupan berikutnya. Gizi

buruk dalam lingkup luas akan berakibat pada kelangsungan generasi bangsa

Indonesia. Berat masalah dan dampaknya harus disampaikan kepada sasaran

penyuluh dengan tidak melebih-lebihkan dan menganggap remeh masalah

tersebut sehingga sasaran penyuluh termotivasi untuk mengatasi masalah

tersebut.

9

Page 10: PKIP FIX

b. Luasnya Masalah

Menurut Profil Dinas Kesehatan Provinsi NTB tahun 2013 terdapat

masalah gizi buruk di seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTB. Berdasarkan

klasifikasi WHO tentang masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat,

seluruh kabupaten/kota di Provinsi NTB termasuk dalam klasifikasi kurang

hingga buruk. Perlu peran orang tua dan pengasuh untuk menyelesaikan

masalah gizi buruk pada balita. Selain itu, diperlukan peranan dokter dan

tenaga medis. Peranan tokoh masyarakat juga diperlukan agar penyuluhan

lebih mengena ke masyarakat.

c. Musiman

Secara umum masalah gizi buruk dapat terjadi sepanjang tahun.

Masalah gizi buruk di Provinsi NTB dapat dipengaruhi oleh musim terutama

musim kemarau. Kemarau dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan

yang mengakibatkan masalah gizi buruk. Hal tersebut menunjukan perlunya

dilakukan promosi kesehatan secara intensif terutama sebelum datangnya

musim kemarau.

d. Prioritas masalah

Menurut Rencana Kerja Pembinaan Gizi Masyarakat tahun 2013

dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-

2014, perbaikan status gizi masyarakat merupakan salah satu prioritas dengan

menurunkan prevalensi balita gizi kurang menjadi 15% dan prevalensi balita

pendek menjadi 32% pada tahun 2014. Demi mencapai sasaran tersebut

diatas, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan 2010-2014 telah

menetapkan 2 indikator keluaran pembinaan gizi yang harus dicapai yaitu

persentase balita ditimbang berat badannya dan persentase balita gizi buruk

yang mendapat perawatan. Hal tersebut menjelaskan bahwa pemerintah

memberikan prioritas yang tinggi terhadap masalah gizi buruk. Masalah gizi

10

Page 11: PKIP FIX

buruk bukan menjadi prioritas yang tinggi bagi masyarakat. Masyarakat

memandang kemiskinan sebagai prioritas yang tinggi. Masyarakat

mengganggap kemiskinan membatasi akses akan makanan layak dan bergizi.

Masalah sosial ekonomi dan pola asuh yang tidak memadai juga menjadi

prioritas yang tinggi.

2.2.4 Mengenal Perkembangan Masalah

Perkembangan masalah adalah bagaimana runtutan kejadian sampai

munculnya suatu masalah. Masalah gizi buruk di Provinsi Nusa Tenggara Barat yang

munculnya dapat melalui berbagai macam perkembangan yaitu:

a. Kasus gizi buruk di provinsi NTB cukup memprihatinkan. Berdasarkan data

dinas kesehatan NTB selama 2 tahun terakhir ini terdapat 507 kasus gizi

buruk.

b. Masalah gizi buruk di provinsi NTB disertai juga dengan masalah penyakit

penyertanya seperti TB, infeksi, bahkan komplikasi. Hal tersebut merupakan

pemicu kematian pasien gizi buruk.

c. Anak-anak yang menderita gizi buruk di Provinsi NTB juga terjadi karena

faktor seperti pola asuh orangtua, pengaruh lingkungan dan asupan gizinya

yang kurang memenuhi standart.

d. Anak-anak yang menderita gizi buruk di Provinsi NTB permasalahannya

tidak hanya dari faktor kelaparan semata tetapi faktor penyakit lain yang

mendukungnya seperti diare akut dan juga penyakit jantung kronik.

e. Kurangnya daya tahan tubuh pada anak-anak di Provinsi NTB menyebabkan

mereka tidak memiliki sistem pertahanan yang baik ketika kuman masuk.

f. Kasus gizi buruk di NTB disebabkan sebaran jumlah penduduk yang cukup

luas sehingga berpengaruh terhadap akses pelayanan kesehatan.

g. Faktor ekonomi bukan merupakan faktor yang mengakibatkan terjadinya

gizi buruk belakangan ini yang terjadi di NTB tetapi lebih pada faktor

kelainan orang tua.

11

Page 12: PKIP FIX

h. Mobilitas penduduk yang sangat tinggi dikarenakan adanya pendatang atau

tingginya angka urbanisasi dan banyaknya penduduk musiman (pindah dari

kontrakan yang satu ke yang lainnya atau tidak tinggal menetap).

i. Banyaknya balita non program (tinggal di wilayah ilegal atau atau non

program atau tidak melaporkan status gizi pada dinas kesehatan).

j. Anak kurang sehat dan kebutuhan akan asupan makanan yang kaya akan

protein meningkat, sehingga protein yang terdapat kurang terpenuhi

2.2.5 Mengenal Kebiasaan

Setelah mengenal dan mengetahui perkembangan masalah, maka tahap

selanjutnya yang akan dipelajari adalah mengenal kebiasaan-kebiasaan yang ada di

masyarakat. Melihat kebiasaan yang ada di masyarakat, kita bisa kaitkan hal tersebut

dengan perkembangan masalah. Melihat perkembangan masalah sebelumnya dengan

kebiasaan yang ada di masyarakat, maka bisa ditemukan kebiasaan-kebiasaan yang

sekiranya dapat memicu munculnya suatu masalah. Kebiasaan-kebiasaan itu dapat

diteliti dan ditelaah manakah kebiasaan yang sekiranya dapat memicu munculnya

suatu masalah.

Menurut Kepala Bidang Bina Kesehatan Masyarakat (Kabid Binkesmas)

Dinkes NTB Khaerul Anwar, bahwa sebagian besar kebiasaan masyarakat di provinsi

NTB yang menyebabkan terjadinya kasus gizi buruk yang tinggi adalah pola asuhnya

tidak baik. Terkadang ibu hamil kurang memperhatikan makanan yang

dikonsumsinya, bukan tidak mungkin hal ini dapat membuat janin yang dikandung

kurang mendapatkan asupan gizi. Saat sudah lahir, pola asuh dan perhatian orang tua

yang hanya memberi makanan seadanya kepada sang balita adalah hal yang umum

terjadi pada masyarakat yang termasuk dalam kategori ekonomi rendah. Sehingga,

dari makanan yang seadanya tersebut asupan yang didapatkannya menjadi kurang

atau belum memenuhi standartnya. Misalnya, balita yang seharusnya mendapatkan

nasi dengan lauk pauk yang lengkap dan mengandung tinggi protein hanya

mendapatkan nasi dan lauk seadanya saja. Tentu hal ini akan mengurangi asupan gizi

12

Page 13: PKIP FIX

yang diperoleh balita, padahal protein hewani dan nabati, serta vitamin yang berasal

dari buah-buahan dibutuhkan oleh balita untuk menambah asupan gizinya.

Adanya kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan atau adat istiadat masyarakat

tertentu yang tidak benar dalam pemberian makan akan sangat merugikan anak .

Misalnya kebiasaan memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan

makanan padat terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak

memberikan anak-anak daging, telur, santan dll). Hal ini menghilangkan kesempatan

anak untuk mendapat asupan lemak, protein maupun kalori yang cukup.

Walaupun masalah gizi buruk terjadi akibat beberapa faktor penyebab yang

kompleks namun faktor budaya turut berperan dalam masalah ini. Kepercayaan dan

pengetahuan adalah bagian penting dari kebudayaan. Kebudayaan mengacu kepada

sistem pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam

mengatur pengalaman dan persepsi, menentukan tindakan dan memilih diantara

alternatif yang ada. Kepercayaan masyarakat ini akan melahirkan larangan atau tabu.

Menurut Sarwono (1993:14) masyarakat menerima pernyataan atau pendirian

kepercayaan tentang sesuatu tanpa menunjukan sikap pro atau anti. Kepercayaan itu

diteladani tanpa banyak dipertanyakan. Kepercayaan dan kebiasaan masyarakat

termasuk pengetahuan mereka tentang gizi, harus dipertimbangkan sebagai bagian

dari faktor penyebab yang berpengaruh terhadap masalah gizi buruk pada balita.

Sehubungan dengan hal tersebut, diperlukan kajian lebih mendalam tentang  masalah

pengetahuan, kepercayaan dan kebiasaan masyarakat tentang makanan dalam

kaitannya dengan pantangan atau tabu makanan.

2.2.6 Mengenal Sebab Kebiasaan

Setelah melihat kebiasaan-kebiasaan yang terkait dengan masalah gizi buruk,

maka selanjutnya perlu diketahui mengapa individu, kelompok, atau masyarakat

memiliki kebiasaan tersebut. Untuk itu, penyebab dari kebiasaan itu bisa dilihat dari

tiga sumber yaitu:

13

Page 14: PKIP FIX

1. Pihak provider, yaitu sektor-sektor yang memberi pelayanan. Misalnya

perilaku dan kebiasaan yang menjadi masalah ialah ibu-ibu tidak

menimbangkan dan memantau pertumbuhan anaknya secara teratur ke

Posyandu. Padahal selama ini, Posyandu memberikan fasilitas pemantauan

pertumbuhan terhadap anak dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju

Sehat) sebagai alat pantau pertumbuhan yang sudah cukup baik yang disini

diperlukan kesamaan pemahaman pola tumbuh anak. Setelah diteliti dan

dipelajari dengan seksama, bukan karena ibu-ibu tidak tahu pentingnya

kesehatan bagi pertumbuhan anaknya tetapi karena pelayanan Posyandu

kurang ramah dan kurang memberikan informasi yang jelas tentang adanya

KMS tersebut sehingga membuat para ibu tersebut tidak berantusias pergi ke

Posyandu. Sehingga sebaiknya petugas pelayanan kesehatan perlu diberikan

penyuluhan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan cara

berkomunikasi yang baik dan benar.

2. Masyarakat itu sendiri juga bisa menjadi penyebab. Berdasarkan hal itu, kita

perlu melihat aspek-aspek perilaku yang ada di masyarakat. Bisa dilihat dari

aspek pengetahuan, sikap, dan prakteknya yang diaplikasikan pada kehidupan

sehari-hari. Misalnya karena termasuk dalam kategori yang rendah, kurangnya

pengetahuan ibu hamil mengenai pemberian asupan gizi yang diberikan

kepada anaknya sehingga dalam pertumbuhan anak tersebut belum memenuhi

standart

3. Selain dua hal di atas, kemungkinan penyebab lain juga bisa yaitu adanya

kebiasaan, mitos ataupun kepercayaan (adat-istiadat). Misalnya kebiasaan

memberi minum bayi hanya dengan air putih, memberikan makanan padat

terlalu dini, berpantang pada makanan tertentu (misalnya tidak memberikan

anak-anak daging, telur, santan dll). Pada dinding usus bayi masih terdapat

sedikit enzim sehingga jonjotnya belum sempurna. Hasilnya, makanan padat

yang masuk tidak diolah, hanya memberikan rasa kenyang tetapi tidak

diserap, karena enzim yang bertugas mencerna masih kurang. Kebiasaan ini

14

Page 15: PKIP FIX

juga dapat menghilangkan kesempatan anak untuk mendapat asupan lemak,

protein maupun kalori yang cukup.

2.2.7 Rumuskan Perilaku yang Diharapkan

Setelah mengenal perilaku yang ada dengan latar belakang (penyebab) maka

kita dapat merumuskan perilaku yang diharapkan yakni perilaku yang sehat, dalam

rumusan perilaku yang diharapakan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan

antara lain:

a. Apakah kebiasaan yang diharapkan itu bisa dilaksanakan oleh individu atau

masyarakat, artinya apakah sarana yang diperlukan ada, dan apakah tidak

kompleks?

b. Apakah kebiasaan itu dapat diterima oleh masyarakat, dalam arti tidak

bertentangan dengan norma setempat?

c. Apakah kebiasaan/perilaku yang diharapkan tersebut benar-benar mengurangi

masalah?

Petugas Posyandu diharapkan mengetahui dan menerapkan komunikasi

kesehatan yang tepat kepada masyarakat. Petugas juga diharapkan menerapkan

budaya 5S (Senyum, Salam, Sapa, Sopan, dan Santun). Hal tersebut dilakukan agar

masyarakat berinisiatif untuk datang ke Posyandu.

Salah satu penyebab masalah gizi buruk di NTB adalah orang tua yang

bekerja sebagai TKI. Orang tua yang bekerja sebagai TKI cenderung menitipkan

anaknya kepada kerabat, kakek, atau nenek. Padahal, tingkat pendidikan di suatu

keluarga berbeda-beda. Tingkat pendidikan yang berbeda menghasilkan pengetahuan

tentang gizi yang berbeda. Pengetahuan gizi yang buruk dari seorang pengasuh balita

akan menimbulkan gizi buruk. Maka, orang tua anak sebaiknya menitipkan anaknya

kepada pengasuh yang tepat yaitu seseorang yang memiliki pengetahuan gizi baik

sehingga anaknya terhindar dari gizi buruk.

15

Page 16: PKIP FIX

Masalah gizi buruk juga dipengaruhi oleh mitos, maka dibutuhkan pendekatan

terhadap tokoh masyarakat. Pendekatan terhadap tokoh masyarakat harus dilakukan

secara menerus agar menyamakan persepsi bahwa mitos tersebut tidak sesuai fakta.

Kemudian, tokoh masyarakat dan penyuluh akan menjelaskan fakta tersebut kepada

masyarakat agar pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat berubah

2.2.8 Mengenal Hambatan

Setelah mengenal kebiasaan yang menyebabkan masalah, dan sesudah

merumuskan kebiasaan atau perilaku yang diharapkan akan dapat mengurangi

masalah, maka dalam mengenal perubahan perilaku kita harus mengenal hambatan-

hambatannya. Hambatan merupakan hal-hal yang dapat menghambat tujuan yang

diharapkan. Hambatan-hambatan yang mungkin dilalui dalam perubahan perilaku

yang ada menjadi perilaku yang sehat bersal dari diri sendiri, lingkungan, dan

pelayanan kesehatan. Hambatan yang berasal dari diri sendiri (individu) yakni

kurangnya pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya

Masalah yang dihadapi dalam kasus penangan gizi buruk sebenarnya diawali

dari faktor ekonomi dan sosial yang masih terdapat kesenjangan sosial yang terjadi di

masyarakat dalam mendapatkan kesempatan pelayanan kesehatan yang baik dan juga

bermutu. Masalah kompleks dari penangan gizi buruk yang terjadi di kalangan

masyarakat sebenarnya terjadi dari rendahnya tingkat kesadaran masyarakat terhadap

pentingnya asupan makanan yang bergizi dan memenuhi mutu kesehatan. Hambatan

dalam masalah gizi buruk juga terjadi karena kurang peduli nya pemerintah dalam

mengalami kasus gizi buruk, selama ini fakta yang terjadi di masyarakat pemerintah

masih setengah-setengah dalam menangani masalah ini. Pemerintah lebih dominan

menyelesaikan masalah dengan hanya menanganinya pada tingkat cangkupan

beberapa tempat saja tetapi pemerintah tidak langsung pada kebutuhan-kebutuhan

masyarakat yang terdampak masalah gizi buruk. Berikut ini beberapa faktor

penghambat penanganan gizi buruk:

16

Page 17: PKIP FIX

a. Tingkat kesadaran masyarakat masih rendah akan kesehatan sehingga

masyarakat mempunyai spekulasi bahwa penangan masalah kesehatan

saat ini cenderung menakutkan dan menghawatirkan.

b. Beberapa daerah di Provinsi NTB masih banyak yang terisolir atau

masih berada pada kawasan desa yang terpencil dan jauh dari

jangkauan dalam penanganan masalah kesehatan.

Contoh program dalam hal ini adalah Positive Deviance. Positive Deviance

(PD) atau penyimpangan positif adalah sebuah program baru di dalam dunia

kesehatan, yang bertujuan untuk menangani kasus gizi buruk atau gizi kurang bagi

anak-anak dan balita yang ada di seluruh Indonesia. Penyimpangan positif yang

terjadi karena anak-anak penderita gizi buruk yang berada di satu lingkungan bisa

mencontoh perilaku hidup sehat anak-anak yang tidak menderita gizi buruk.

Berdasarkan hal tersebut pemerintah dinas kesehatan sudah melakukan upaya ini

tetapi masyarakat di NTB masih belum sepenuhnya setuju terhadap program ini,

hanya beberapa masyarakat saja yang sudah paham dan setuju dengan program ini.

Pemerintah dalam program ini menjamin sepenuhnya tentang jaminan kesehatan

masyarakat dan berupaya secara optimal dalam penanganan program ini. Pemerintah

dinas kesehatan NTB berupaya secara penuh dan optimal agar program ini dapat

terlaksana dengan baik. Mereka berupaya mengajak para masyarakat pedesaan NTB

dengan upaya pendekatan secara menyeluruh dengan mengadakan penyuluhan-

penyuluhan secara umum serta memberikan penyuluhan yang bersifat edukatif dan

menarik agar mudah dipahami oleh masyarakat desa. Pemeritah juga memberikan

gambaran-gambran singkat tentang program ini pada tiap-tiap puskesmas desa serta

klinik-klinik pelayanan yang tersedia dan pemerintah dinas kesehatan juga melakukan

penyuluhan sesuai dengan apa yang biasanya dilakukan masyarakat desa dan

kebiasaan itu bisa diubah menjadi lebih baik dan program ini bisa mendapatkan hasil

yang maksimum serta efisiensi dalam peningkatan taraf kesehatan serta dalam

17

Page 18: PKIP FIX

mengurangi kasus gizi buruk yang semakin tinggi di Indonesia khususnya di Provinsi

NTB.

2.2.9 Mengenal Hal-hal yang Mendorong

Selain hambatan-hambatan yang mungkin akan dihadapi, perlu diketahui pula

hal-hal yang mungkin dapat membantu mempermudah terjadinya perubahan perilaku

atau kebiasaan tersebut.

Adanya kasus kematian 21 bayi akibat kekurangan gizi atau bisa dikatakan

dalam kategori gizi buruk, para ibu yang mempunyai anak terutama yang masih balita

akan semakin peduli dan memperhatikan asupan gizi yang dibutuhkan oleh anaknya.

Selain itu, pemerintah juga akan semakin memperhatikan kondisi masyarakata yang

kurang mampu terkait pemenuhan gizi terhadap anak usia balita khusunya

a. Revitalisasi Posyandu

Revitalisasi Posyandu bertujuan untuk meningkatkan fungsi dan kinerja

Posyandu terutama dalam pemantauan pertumbuhan balita yang menderita gizi buruk.

Pokok kegiatan revitalisasi Posyandu meliputi:

1. Pelatihan/orientasi petugas Puskesmas, petugas sektor lain dan kader

yang berasal dari masyarakat.

2. Pelatihan ulang petugas dan kader.

3. Pembinaan dan pendampingan kader.

4. Penyediaan sarana terutama dacin, KMS/Buku KIA, panduan

Posyandu, media KIE, sarana pencatatan.

5. Penyediaan biaya operasional.

6. Penyediaan modal usaha kader melalui Usaha Kecil Menengah

(UKM) dan mendorong partisipasi swasta.

b. Revitalisasi Puskesmas

Revitalisasi Puskesmas bertujuan meningkatkan fungsi dan kinerja Puskesmas

terutama dalam pengelolaan kegiatan gizi di Puskesmas, baik penyelenggaraan upaya

18

Page 19: PKIP FIX

kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat. Pokok kegiatan

revitalisasi Puskesmas meliputi:

1. Pelatihan manajemen program gizi di puskesmas bagi pimpinan

dan petugas puskesmas dan jaringannya.

2. Penyediaan biaya operasional Puskesmas untuk pembinaan

posyandu, pelacakan kasus, kerjasama LS tingkat kecamatan,

dll.

3. Pemenuhan sarana antropometri dan KIE bagi puskesmas dan

jaringannya.

4. Pelatihan tatalaksana gizi buruk bagi petugas rumah sakit dan

puskesmas perawatan.

c. Intervensi Gizi dan Kesehatan

Intervensi gizi dan kesehatan bertujuan memberikan pelayanan langsung

kepada balita. Ada dua bentuk pelayanan gizi dan kesehatan, yaitu pelayanan

perorangan dalam rangka menyembuhkan dan memulihkan anak dari kondisi gizi

buruk, dan pelayanan masyarakat yaitu dalam rangka mencegah timbulnya gizi buruk

di masyarakat. Pokok kegiatan intervensi gizi dan kesehatan adalah sebagai berikut;

1. Perawatan/pengobatan gratis di Rumah Sakit dan Puskesmas

balita gizi buruk dari keluarga miskin dengan menggunakan

kartu JAMKESMAS, BPJS dan sebagainya.

2. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa MP-ASI bagi

anak 6-23 bulan dan PMT pemulihan pada anak 24-59 bulan

kepada balita gizi kurang dari keluarga miskin

3. Pemberian suplementasi gizi (kapsul vitamin A, tablet/sirup Fe)

d. Promosi Keluarga Sadar Gizi

Promosi keluarga sadar gizi bertujuan dipraktikannya norma keluarga sadar

gizi bagi seluruh keluarga di Indonesia, untuk mencegah terjadinya masalah kurang

19

Page 20: PKIP FIX

gizi, khususnya gizi buruk. Kegiatan promosi keluarga sadar gizi dilakukan dengan

memperhatikan aspek-aspek sosial budaya (lokal spesifik). Pokok kegiatan promosi

keluarga sadar gizi meliputi:

1. Menyusun strategi (pedoman) promosi keluarga sadar gizi.

2. Mengembangkan, menyediakan dan menyebarluaskan

materi promosi pada masyarakat, organisasi

kemasyarakatan, institusi pendidikan, tempat kerja, dan

tempat-tempat umum.

3. Melakukan kampanye secara bertahap, tematik

menggunakan media efektif terpilih.

4. Menyelenggarakan diskusi kelompok terarah melalui

dasawisma dengan dukungan petugas.

e. Pemberdayaan Keluarga

Pemberdayaan keluarga bertujuan meningkatkan kemampuan keluarga untuk

mengetahui potensi ekonomi keluarga dan mengembangkannya untuk memenuhi

kebutuhan gizi seluruh anggota keluarga. Keluarga miskin yang anaknya menderita

kekurangan gizi perlu diprioritaskan sebagai sasaran penanggulangan kemiskinan.

Pokok kegiatan pemberdayaan keluarga adalah sebagai berikut;

1. Pemberdayaan di bidang ekonomi

a. Modal usaha, industri kecil

b. Upaya Peningkatan Pendapatan Keluarga (UPPK)

c. Peningkatan Pendapatan Petani Kecil

2. Pemberdayaan di bidang pendidikan

a. Bea siswa

b. Kelompok belajar

c. Pendidikan anak dini usia

3. Pemberdayaan di bidang kesehatan

a. Penyelenggaraan pos gizi/Pos Pemulihan Gizi Berbasis Masyarakat

20

Page 21: PKIP FIX

b. Kader keluarga

c. Penyediaan percontohan sarana air minum dan jamban keluarga.

4. Pemberdayaan di bidang ketahanan pangan

a. Pemanfaatan pekarangan dan lahan tidur

b. Lumbung pangan

c. Padat karya untuk pangan

d. Beras untuk keluarga miskin.

21

Page 22: PKIP FIX

f. Advokasi dan Pendampingan

Ada 2 tujuan dari kegiatan advokasi dan pendampingan yaitu:

1. Meningkatkan komitmen para penentu kebijakan, termasuk

legislatif, tokoh masyarakat, tokoh agama, pemuka adat dan media

massa agar peduli dan bertindak nyata di lingkungannya untuk

memperbaiki status gizi anak.

2. Meningkatkan kemampuan teknis petugas dalam pengelolaan

program Gizi.

g. Revitalisasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

Revitalisasi SKPG bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dan

pemerintah daerah melakukan pemantauan yang terus menerus terhadap situasi

pangan dan keadaan gizi masyarakat setempat, untuk dapat melakukan tindakan

dengan cepat dan tepat untuk mencegah timbulnya bahaya kelaparan dan kurang gizi,

khususnya gizi buruk pada tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Memfungsikan

sistem isyarat dini dan intervensi, serta pencegahan KLB dengan:

1. Memfungsikan sistem pelaporan, diseminasi informasi dan pemanfaatannya.

2. Penyediaan data gizi secara reguler (pemantauan status gizi, untuk semua

kelompok umur, pemantauan konsumsi gizi, analisis data Susenas.

2.2.10 Mengenal Hasil-hasil Sampingan

Selain hal-hal yang menghambat dan mendorong terjadinya perubahan

perilaku, perlu pula dipikirkan dan diketahui hal-hal yang mungkin terjadi sebagai

akibat atau konsekuensi perubahan perilakuyang dianjurkan. Sering kali terjadi,

bahwa dalam terjadinya suatu perubahan perilaku, timbul masalah baru sebagai akibat

dari perubahan tersebut. Misalnya, dengan adanya kematian 21 balita yang sebagian

besar diakibatkan gizi buruk, para orang tua dianjurkan untuk lebih memperhatikan

asupan gizi sang anak. Mereka akan berlomba-lomba memenuhi kebutuhan gizi

anaknya hingga asupan yang diperoleh dalam kategori cukup. Masyarakat yang

tergolong dalam masyrakat ekonomi rendah akan melakukan segala sesuatu agar

22

Page 23: PKIP FIX

kebutuhan tersebut terpenuhi. Mereka bisa saja melakukan hal-hal nekat, seperti

mencuri bahkan merampok. Disini lah peran pemerintah sangat diharapkan, supaya

hal yang demikian tidak akan pernah terjadi

23

Page 24: PKIP FIX

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Fenomena gizi buruk yang menimpa masyarakat di Provinsi Nusa Tenggara

Barat menjadi indikasi bahwa proses pembinaan kesehatan bangsa selama ini belum

berhasil. Disadari sepenuhnya bahwa permasalahan gizi buruk adalah kompleks

sifatnya, dengan demikian perlu adanya kerjasama dalam mencegah dan

menaggulangi gizi buruk. Tahapan-tahapan mengenal masalah perilaku disini

diupayakan untuk mengenal masalah kesehatan gizi buruk yang terjadi, mengenal

penyebab masalah itu terjadi, mengenal sifat masalah yang terjadi, mengenal

perkembangan masalah yang terjadi, mengenal kebiasaan yang memicu terjadinya

masalah tersebut, mengenal sebab dari kebiasaan tersebut, merumuskan perilaku yang

diharapkan meminimalisir masalah tersebut, mengenal hambatannya, mengenal hal-

hal yang mendorong, mengenal hal-hal sampingan.

3.2 Saran

Setelah membaca pembahasan diatas maka kita dapat mengetahui tahapan-

tahapan mengenal masalah. Selain itu kita juga mengetahui bahwa ternyata di

Indonesia masih banyak kasus gizi buruk salah satunya di provinsi Nusa Tenggara

Barat. Penulis menyarankan supaya orang tua lebih memperhatikan asupan gizi yang

diperoleh anaknya (balita), sehingga tidak akan terjadi lagi kasus gizi buruk. Selain

itu pemerintah juga harus memperhatikan dan peduli kepada masyarakat kurang

mampu.

24

Page 25: PKIP FIX

DAFTAR PUSTAKA

Luthviatin Novia, dkk. 2012.”Dasar-Dasar Promosi Kesehatan Dan Ilmu

Perilaku”.Jember: Jember University Press

http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-2389-BAB1.pdf

http://anc4.files.wordpress.com/2009/07/gangguan-kesehatan-gizi-

buruk.docx.

http://gizi.depkes.go.id/21-balita-meninggal-akibat-gizi-buruk-di-ntb

http://etd.ugm.ac.id/index.php?

mod=download&sub=DownloadFile&act=view&typ=html&file=322021

.pdf&ftyp=potongan&tahun=2013&potongan=S2-2013-322021-

chapter1.pdf

25