piopneumothoraks bab 2
DESCRIPTION
piopTRANSCRIPT
2.2 Pneumothorax
2.2.1 Definisi
Pyopneumothorax (juga dikenal sebagai hydropneumothorax terinfeksi atau
hydropneumothorax empyema). Hidropneumotoraks adalah suatu keadaan dimana terdapat
udara dan cairan di dalam rongga pleura yang mengakibatkan kolapsnya jaringan paru.
Cairan ini bisa juga disertai dengan nanah (empiema) dan hal ini di namakan dengan
piopneumotoraks. Sedangkan pneumotoraks itu adalah suatu keadaan terdapatnya udara
atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena. (3,7)
2.2.2. Etiologi
Piopneumotoraks diakibatkan oleh infeksi, yang mana infeksinya ini berasal dari
mikroorganisme yang membentuk gas atau dari robekan septik jaringan paru atau esofagus
ke arah rongga pleura. Kebanyakan adalah dari robekan abses subpleura dan sering
membuat fistula bronkopleura. Seperti hydropneumothorax empyema ini juga merupakan
faktor resiko seperti thoracentesis, trauma toraks, fistula bronkopleural, fistula
oesophagopleural. Jenis kuman yang sering terdapat pada empiema adalah Stafilokokus
aureus, Klebsiela, mikobakterium tuberkulosis, bakteri anaerob, jamur dan lain-lain (1,9)
Tabel 1. Bakteri Penyebab Empyema
2.2.3 Klasifikasi
A. Berdasarkan penyebabnya, dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu (4):
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu setiap pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe
ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-
tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan
didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya
fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma,
dan infeksi paru ()
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma
penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada
maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat
komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena
kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada
parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan
udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk
tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era
antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.
B. Berdasarkan jenis fistulanya, dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4):
1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada
dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di
dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah
menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi
tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura,
meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi
gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan
bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada
dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar.
Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan
ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan
pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum
dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah
sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama
makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil.
Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta
percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang
terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar (4).
Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat
menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.
C. Berdasarkan luas kolaps jaringan paru, dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (5):
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kcil
paru (< 50% volume paru).
2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (>
50% volume paru).
Derajat kolaps paru pada pneumothorak totalis dapat dinyatakan dalam persen
dengan rumus sebagai berikut:
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana masing-
masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus (2).
Misalnya : Diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter kubus
rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka rasio diameter kubus
adalah :
83 512______ = ________ = ± 50 % 103 1000
2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal, ditambah
dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal, ditambah dengan
jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal, kemudian dibagi tiga, dan
dikalikan sepuluh.
% luas pneumotoraks
A + B + C (cm) = __________________ x 10
3
3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan luas
hemitoraks.
2.2.4 Patofisiologi
Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang
diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis, dan
sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh
karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan
intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya
dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada dua faktor sebagai
penyebabnya, yaitu (7):
1) Faktor infeksi atau radang paru.
Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada
dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah.
2) Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan.
Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi
pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah
pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah
fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat
berfungsi sebagai ventil
2.2.5 Diagnosis
1. Gejala Klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah:
a) Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal,
pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
(L) hemitorak – (L) kolaps paru
(AxB) - (axb)_______________ x 100 % AxB
b) Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada
sisi yang sakit, terasa berat, seperti ditusuk, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan. Pada penderita pneumotoraks ventil, rasa nyeri dan sesak
nafas ini makin lama makin hebat, penderita gelisah, sianosis, akhirnya dapat
mengalami syok karena gangguan aliran darah akibat penekanan udara pada
pembuluh darah dimediastinum.
c) Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
d) Denyut jantung meningkat.
e) Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yangkurang.
f) Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya
pada jenis pneumotoraks spontan primer.(6)
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (12):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiperekspansidinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekananintrapleura
tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi Foto Thoraks
Foto Thoraks untuk mendiagnosis pneumotoraks pada foto thoraks dapat
ditegakkan dengan melihat tanda-tanda sebagai berikut (8):
- Adanya gambaran hiperlusen avaskular pada hemitoraks yang mengalami
pneumotoraks. Hiperlusen avaskular menunjukkan paruyang mengalami
pneumothoraks dengan paru yang kolaps memberikan gambaran radiopak.
Bagian paru yang kolaps danyang mengalami pneumotoraks dipisahkan oleh
batas paru kolaps berupa garis radioopak tipis yang berasal dari pleura
visceralis,yang biasa dikenal sebagai pleural white line
Gambar 1. Tanda panah menunjukkan pneumothorax line
Gambar 2. Foto Rö pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkandengan anak panah
merupakan bagian paru yang kolaps
- Untuk mendeteksi pneumotoraks pada foto dada posisi supine orang dewasa maka
tanda yang dicari adalah adanya deep sulcus sign. Normalnya, sudut kostofrenikus
berbentuk lancip dan rongga pleura menembus lebih jauh ke bawah hingga daerah
lateral dari hepar danlien. Jika terdapat udara pada rongga pleura, maka sudut
kostofrenikusmenjadi lebih dalam daripada biasanya. Oleh karena itu, seorang klinisi
harus lebih berhati-hati saat menemukan sudut kostofrenikus yang lebih dalam dari
pada biasanya atau jika menemukan sudut kosto frenikus menjadi semakin dalam dan
lancip pada foto dada seri.Jika hal ini terjadi maka pasien sebaiknya difoto ulang
dengan posisi tegak. Selain deep sulcus sign, terdapat tanda lain pneumotoraks berupa
tepi jantung yang terlihat lebih tajam. Keadaan ini biasanyaterjadi pada posisi supine di
mana udara berkumpul di daerah anterior tubuh utamanya daerah medial.
Gambar 4. Deep sulcus sign (kiri) dan tension pneumotoraks kiri disertaideviasi mediastinum
kanan dan deep sulcus sign (kanan).
- Jika pneumotoraks luas maka akan menekan jaringan paru ke arahhilus atau paru
menjadi kolaps di daerah hilus dan mendorongmediastinum ke arah kontralateral. Jika
pneumotoraks semakinmemberat, akan mendorong jantung yang dapat menyebabkan
gagalsirkulasi. Jika keadaan ini terlambat ditangani akan menyebabkankematian pada
penderita pneumotoraks tersebut. Selain itu, sela igamenjadi lebih lebar.
Gambar 5. Pneumotoraks kanan (kiri) dan tension pneumotoraks (kanan)
Besarnya kolaps paru bergantung pada banyaknya udara yangdapat masuk ke
dalam rongga pleura. Pada pasien dengan adhesif pleura(menempelnya pleura parietalis
dan pleura viseralis) akibat adanya reaksiinflamasi sebelumnya maka kolaps paru komplit
tidak dapat terjadi. Hal yang sama juga terjadi pada pasien dengan penyakit paru difus di
mana paru menjadi kaku sehingga tidak memungkinkan kolaps paru komplit.Pada kedua
pasien ini perlu diwaspadai terjadinya loculated pneumothorax atau encysted
pneumothorax. Keadaan ini terjadi karena udara tidak dapat bergerak bebas akibat adanya
adhesif pleura. Tanda terjadinya loculated pneumothorax adalah adanya daerah hiperlusen
di daerah tepi paru yang berbentuk seperti cangkang telur.
Gambar 6. Loculated Pneumotoraks
Foto dada pada pasien pneumotoraks sebaiknya diambil dalam posisi tegak sebab
sulitnya mengidentifikasi pneumotoraks dalam posisisupinasi. Selain itu, foto dada juga
diambil dalam keadaan ekspirasi penuh.
Gambar 7. Pneumotoraks kanan yang berukuran kecil dalam keadaan inspirasi(kiri)
dan dalam keadaan ekspirasi (kanan)
Ekspirasi penuh menyebabkan volume paru berkurang dan relatif menjadi lebih
padat sementara udara dalam rongga pleura tetap konstansehingga lebih mudah untuk
mendeteksi adanya pneumotoraks utamanyayang berukuran lebih kecil. Perlu diingat,
pneumotoraks yang terdeteksi pada keadaan ekspirasi penuh akan terlihat lebih besar
daripada ukuran sebenarnya.
Pneumotoraks yang berukuran sangat kecil dapat dideteksi denganfoto lateral
dekubitus. Pada posisi ini, udara yang mengambil tempattertinggi pada hemitoraks (di
daerah dinding lateral) akan lebih mudahterlihat dibandingkan pada posisi tegak.
Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan ini:
Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung mulai dari
basis sampai ke apeks.
Emfisema Subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam di bawahkulit
Bila ada cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan
sebagai garis datar di atas diafragma; yang biasaditemui pada kasus
Hidropneumotoraks
Gambar 8. Hidropneumothoraks
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer
dan sekunder.
2.2.6 Tatalaksana
Prinsip penanggulangan piopneumothoraks adalah (6.7,10) :
a. Pengosongan rongga pleura
Prinsip ini seperti yang dilakukan pada abses dengan tujuan mencegah efek
toksik dengan cara membersihkan rongga pleura dari nanah dan jaringan-
jaringan yang mati. Pengosongan pleura dilakukan dengan cara:
1. Closed drainage = tube thoracostomy = water sealed drainage (WSD)
dengani ndikasi antara lain nanah sangat kental dan sukar diaspirasi, nanah
terus terbentuk setelah 2 minggu, terjadinya piopneumothoraks.
2. Open drainage: karena drainase ini menggunakan kateter thoraks yang
besar, maka diperlukan pemotongan tulang iga. Drainase terbuka ini
dikerjakan pada empyema menahun karena pengobatan yang diberikan
terlambat, pengobatan tidak adekuat atau mungkin sebab lain seperti
drainase yang kurang bersih.
b. Pemberian antibiotik yang sesuai
Antibiotik harus segera diberikan begitu diagnosis ditegakkan dan dosis harus
adekuat. Pemilihan antibiotik didasarkan pada hasil pengecatan gram dari
hapusan nanah. Pengobatan selanjutnya bergantung dari hasil kultur dan uji
kepekaan.Obat-obatan yang biasanya digunakan antara lain :
1. Ampicillin 500 mg dan Sulbactam 500 mg2.
2. Amoxcilin 250-500 mg dan Clavulanat 125 mg3.
3. Piperacillin 2- 4 gram dan Tazobactam 250-500 mg4.
4. Vankomisin (vankokin,vancoled,lyphocin) dapat secara intra vena,
dengan dosis 1 gramdalam 200 ml NaCl 0,9% per 12 jam.
5. Eritromicin oral 2 – 4 kali per hari 250-500 mg.
c. Penutupan rongga pleura
Pada empyema menahun, seringkali rongga empyema tidak menutup karena
penebalan dan kekakuan pleura. Bila hal ini terjadi, maka dilakukan
pembedahan,yaitu :
1. Dekortikasi
Tindakan ini termasuk operasi besar yaitu : mengelupas jaringan pleura
yang menebal. Indikasi dekortikasi ialah drainase tidak berjalan baik,
karena kantung-kantung yang berisi nanah, sukar dicapai oleh drain,
empyema totalis yangmengalami organisasi pada pleura visceralis.
2. Torakoplasti
Tindakan ini dilakukan apabila empyema tidak dapat sembuh karena
adanya fistelbronkopleura atau tidak mungkin dilakukan dekortikasi.
Pada kasus ini pembedahan dilakukan dengan memotong iga
subperiosteal dengan tujuan untuk memperluas ruang gerak paru.
d. Pengobatan kausal
Pengobatan kausal ditujukan pada penyakit-penyakit yang menyebabkan
terjadinya empyema. Dapat diberikan pengobatan spesifik, untuk amebiasis,
tuberculosis, dan sebagainya
Penanggulangan empyema tergantung dari fase empyema :
a. Fase I (fase eksudat)
Dilakukan drainase tertutup (WSD) dan dengan WSD dapat dicapai
tujuan diagnostik terapi dan prevensi, diharapkan dengan pengeluaran
cairan tersebut dapat dicapaipengembangan paru yang sempurna.
b. Fase II (fase fibropurulen)
Pada fase ini penanggulangan harus lebih agresif lagi yaitu dilakukan
drainase terbuka (reseksi iga open window). Dengan cara ini nanah yang
ada dapat dikeluarkan danperawatan luka dapat dipertahankan. Drainase
terbuka juga bertujuan untuk menunggukeadaan pasien lebih baik dan
proses infeksi lebih tenang sehingga intervensi bedah yanglebih besar
dapat dilakukan.
c. Fase III (fase organisasi)
Dilakukan intervensi bedah berupa dekortikasi agar paru bebas
mengembang ataudilakukan obliterasi rongga pleura dengan cara dinding
dada dikolapskan (torakoplasti)dengan mengangkat iga-iga sesuai
dengan besarnya rongga empyema.
Sedangkan penatalaksanaan pada pneumothoraks adalah untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk
kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai
berikut:
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah
menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut
akandi resorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan
fototoraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari. Tindakan
initerutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka.
2. Tindakan dekompresi
Indikasi dilakukan dekompresi yaitu:
- Sesak berat
- Nyeri dada
- Pneumothorax >15-25% dari hemithoraks
- Penggunaan ventilator
- Pneumothorax yang terdapat lesi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks
yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuanuntuk
mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan
antararongga pleura dengan udara luar dengan cara:
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura,dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura
akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set.
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga
pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal
saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air.Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembungudara yang keluar
dari ujung infus set yang berada di dalam botol.
2) Jarum abbocath.
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri darigabungan
jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang
tetap di dinding toraks sampai menembus kerongga pleura, jarum
dicabut dan kanula tetap ditinggal.Kanula ini kemudian
dihubungkan dengan pipa plastik infusset. Pipa infuse ini
selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem
penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar
dari ujung infuse set yang berada di dalam botol
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan kerongga
pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem
penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukanmelalui celah yang
telah dibuat dengan bantuan insisi kulit disela iga ke-4 pada linea
mid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat
pula melalui sela iga ke-2 di garis mid Klavikula. Setelah troakar
masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura
dan kemudian troakar dicabut,sehingga hanya kateter toraks yang
masih tertinggal dirongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks
yang ada didada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa
plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di
botolsebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air
supayagelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut.
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila
tekananintrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan
denganmemberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O,
dengantujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru
telahmengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba
terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24
jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif
maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada
saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal.
3. Torakoskopi
Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks
dengan alat bantu torakoskop.
4. Torakotomi
5. Tindakan Bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari
lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit.
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan
atau terdapat fistel dari paru yang rusak.
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel
6. Pengobatan Tambahan
a. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukanterhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru
diberi OAT,terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi
antibiotik dan bronkodilator.
b. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat
7. Rehabilitasi
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau
bersinterlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif,
berilahlaksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan
batuk,sesak napas
2.2.7 Komplikasi
1. Infeksi sekunder sehingga dapat menimbulkan pleuritis, empiema ,
hidropneumotoraks.
2. Gangguan hemodinamika.
Pada pneumotoraks yang hebat, seluruh mediastinum dan jantung dapat tergeser
ke arah yang sehat dan mengakibatkan penurunan kardiak "output", sehingga
dengan demikian dapat menimbulkan syok kardiogenik.
3. Emfisema dapat berupa emfisema kutis atau emfisema mediastinalis (11,12)
2.2.8 Diagnosis Banding
1. Emfisema pulmonum
2. Kavitas raksasa
3. Kista paru
4. Infarkjantung
5. Infark paru
6. Pleuritis
7. Abses paru dengan kavitas
2.2.9 Prognosis
Pasien dengan pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami
kekambuhan, setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan
tubethoracostomy. Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang
dilakukan torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannyacukup baik,
umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraksspontan sekunder tergantung
penyakit paru yang mendasarinya, misalkan pada pasien PSS dengan PPOK harus lebih
berhati-hati karena sangat berbahaya. (3.8)
DAFTAR PUSTAKA
1. Alsagaff H, Mukti A. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University
Press.edisi 2. Surabaya: 2002.
2. Bartlett JG: Anaerobic bacterial infections of the lung. Chest 1987 Juni; 91(6):901-96.
Wiedemann HP, Rice TW: Lung abscess and empyema, 19987.
3. Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic. Updated: 2010
May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551
4. Buku ajar ilmu penyakit dalam FKUI , Jakarta, Juli 20068.
5. Fishman: Pulmonary Disease and Disorders fourth edition Volume two, United
States. 2008, 2141-609. www.nlm.nih.gov/empyema/000123.html10.
6. Goetz MB, Finegold SM. 2000. Pyogenic bacterial pneumonia, lung abses,
danempyema. In: Textbook of respiratory medicine. Editor: Murray JF, Nadel JA. 3rd
Ed. Philadelphi; WB Sauders. 1031-1032.
7. Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta :
EGC; 1997. p. 598.
8. Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta : Pustaka Cendekia
Press; 2007. p. 56
9. Nadel, Murray: Text Book of Respiratory Medicine third edition volume
one,Philadelphia. 2000 , 985-1041.2.
10. Palgunadimargono, Benjamin dkk : Pedoman Diagnosa dan Terapi BAG/ SMFIlmu
Penyakit Paru, Edisi 3, Surabaya, 2005.3.
11. Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax (Collapsed Lung).
Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm
12. Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus, Simadibrata.
Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006. p. 1063.
13. W. Keinth C. Morgan dan Anthonio Aseaton: Occupation Lung Disease:Saunders
Company, Philadelphia. 1995.11.