(pgpaud) efektivitas metode bercerita dengan buku cerita bergambar dalam meningkatkan penguasaan...
TRANSCRIPT
BAB II
METODE BERCERITA UNTUK ANAK TK MENGGUNAKAN
MEDIA BUKU CERITA BERGAMBAR
A. Perkembangan Bahasa Anak
Perkembangan bahasa adalah kemampuan anak mendengarkan dan
memproduksi bunyi yang didengar untuk kemudian menjadi bahasa yang
dikeluarkan lewat kata-kata. Menurut Musfiroh (2008:7):
Perkembangan bahasa tergantung pada kematangan sel korteks, dukungan lingkungan, dan keterdidikan lingkungan, lebih lanjut Musfiroh mengemukakan bahwa syarat penting dalam perkembangan bahasa adalah pendengaran yang baik untuk menangkap berbagai jenis nada bicara dan kemampuan untuk dapat merasakan nada emosi lawan bicara. Anak harus mengerti proses ini, berusaha meniru dan kemudian baru mencoba mengekspresikan keinginan dan perasaannya.
Perkembangan bahasa ini merupakan proses kemampuan anak-anak dalam
melatih bagaimana ia menangkap informasi dan kemudian melakukan
komunikasi. Perkembangan bahasa anak menurut Musfiroh (2008:7) meliputi :
Fonologis (yakni mengenal dan memproduksi suara), perkembangan kosakata, perkembangan semantik atau makna kata, perkembangan sintaksis atau penyusunan kalimat, dan perkembangan pragmatik atau penggunaan bahasa untuk keperluan komunikasi (sesuai dengan norma konvensi). Pada anak TK atau pra-sekolah, perkembangan fonologis belum sempurna, namun hampir semua yang dikatakannya dapat dimengerti.
1. Pemerolehan Bahasa
Perkembangan bahasa anak tidak terlepas dari bagaimana anak
memperoleh bahasa dari lingkungannya. Pakar bahasa Noam Chomsky dalam
Masitoh (2002:37) menyebutkan ada beberapa ciri yang menunjukkan anak
melakukan pemerolehan bahasa yaitu: (a) belajar secara informal, (b) tidak
13
14
dilaksanakan di sekolah, (c) dilakukan tanpa sadar, (d) dilakukan anak dalam
konteks bahasa yang bemakna. Dari pengertian di atas dapat diketahui bahwa
anak memperoleh bahasa dari lingkungan yang tanpa disadarinya memberikan
pemahaman berbahasa sehingga dapat menggunakan bahasa tersebut untuk
berkomunikasi. Pemerolehan bahasa (Language Acquistion) menurut Kiparsky
(1968:194) dalam Tarigan (1984:62) adalah:
Suatu proses yang dipergunakan oleh anak-anak untuk menyesuaikan hipotesis yang makin bertambah rumit, ataupun teori-teori yang masih terpendam atau tersembunyi yang mungkin sekali terjadi dengan ucapan-ucapan orang tuanya, sampai dia memilih berdasarkan suatu ukuran atau takaran penilaian, tata bahasa yang paling baik serta paling sederhana dari bahasa tersebut. Suhartono (2005:82-85) membagi tingkatan pemerolehan bahasa menjadi
enam tingkatan. Keenam tingkatan pemerolehan bahasa tersebut, yaitu:
a. Tingkat Membabel (0,0 – 1,0)
Istilah ini berasal dari bahasa Inggris babbling. Pada prinsipnya fase ini
terbagi dalam dua bagian, yaitu: (a) cooing atau mendekut, dan (b) babbling atau
membabel. Masa mendekut berlangsung dari umur 0,0 sampai 0,6 tahun. Pada
tingkat ini semua anak membunyikan bahasa yang sama seluruh dunia. Namun,
pada akhirnya karena anak tidak mendengar bunyi-bunyi bahasa selain dari
bahasa ibunya, maka ia pun akan membunyikan bahasa ibunya saja. Masa
babbling berlangsung dari umur 6,0 sampai 1,0 tahun. Pada tahun ini anak sudah
mulai mengarah untuk mengucapkan pola suku kata yang berbentuk konsonan
vokal.
15
b. Masa Holofrasa (1,0 – 2,0)
Masa holofrasa yang berlangsung antara umur 1,0 sampai 2,0 tahun ini
adalah masa anak-anak mengucapakan satu kata dengan maksud sebenarnya
menyampaikan sebuah kalimat. Tampubolon menyebut fase ini dengan istilah
ujaran satu kata. Masa ini ditandai dengan perbendaharaan kata anak sampai
dengan kurang lebih 50 kosa kata (Masitoh,2002:36) contoh ketika anak
mengatakan (cucu) yang berarti susu, dengan maksud anak tersebut ingin
mengatakan “saya ingin susu”.
c. Masa Ucapan Dua Kata (2,0 -2,6)
Pada masa ini anak biasanya sudah mulai mengucapkan dua buah kata,
dan ditandai dengan perbendaharaan kata anak sampai dengan rentang 50 -100
kosa kata (Masitoh 2002:36) contoh ketika anak dapat mengatakan “mama susu”
yang berarti “mama saya mau susu”
d. Masa Permulaan Tata Bahasa (2,6 – 3,0)
Masa permulaan tata bahasa dimulai kira-kira usia 2,6 sampai 3 tahun.
Pada masa ini anak mulai menggunakan bentuk-bentuk bahasa yang lebih rumit,
seperti, seperti adanya penggunaan afiksi. Kalimat-kalimat yang digunakan pada
umunya adalah kalimat yang hanya berisi kata inti dan tidak terdapat kata tugas.
Pada masa ini kalimat (kalimat telegram) karena yang diucapkannya mirip dengan
telegram.
16
e. Masa Menjelang Tata Bahasa Dewasa (3,0 – 4,0)
Pada umumnya anak sudah mampu menghasilkan kalimat-kaliamt yang
rumit. Dalam pengertian anak telah menggunakan imbuhan (afiks) secara lengkap
dan juga mempunyai subjek, predikat, dan objek bahkan keterangan.
f. Masa Kecakapan Penuh (4,0 – 5,0)
Pada masa kecakapan penuh umumnya anak sudah mencapai umur 4 – 5
tahun. Anak yang normal telah mempunyai kemampuan untuk memahami dan
mengekspresikan apa yang disampaikan orang lain kepadanya dengan baik.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan para ahli dapat diketahui dari
tingkatan pemerolehan bahasa di atas bahwa anak usia 4 – 5 tahun merupakan
masa kecakapan penuh dimana anak dapat memahami bahasa yang disampaikan
orang lain kepadanya dan dapat mengekspresikan kembali apa yang di
dapatkannya. Pada masa ini anak terlihat mulai mengadakan komunikasi dengan
lingkungan disekitarnya, seperti dengan teman-teman dan guru disekolah.
2. Tahapan Perkembangan Bahasa
Perkembangan bahasa anak, berkembang secara bertahap, tahap demi
tahap itu terus menunjukkan perkembangan bahasa yang lebih baik sehingga anak
dapat berkomunikasi dengan lingkungannya, perkembangan bahasa akan terus
meningkat hingga anak menjadi dewasa kelak.
Piaget (Disarikan dari Cairris & Cairns ; 1976 : 193 - 6; dalam
Tarigan ; 1980 : 312 – 20) membagi tahapan perkembangan bahasa sebagai
berikut :
17
0.0 – 0.5 Tahap Meraban (Pralinguistik) Pertama 0.5 -1.0 Tahap Meraban (Pralinguistik) kedua: kata-kata nonsense 1.0 – 2.0 Tahap Lingusitik I : Holofrastik : Kalimat satu kata 2.0 – 3.0 Tahap Linguistik II : Kalimat / Ucapan Dua Kata 3.0 – 4.0 Tahap Lingustik III : Pengembangan Tata Bahasa 4.0 – 5.0 Tahap Linguistik IV : Tata Bahasa Menjelang Dewasa
5.0 - Tahap Linguistik V : Kompetensi
Mencermati pernyataan ahli di atas dapat disimpulkan bahwa
perkembangan bahasa anak usia TK berada pada tahapan linguistik II dan III,
anak-anak sedang mengalami proses perkembangan bahasa yang lebih baik dari
usia sebelumnya, dengan kata lain memiliki perkembangan yang pesat dimana
anak usia TK dapat mengenal kemudian memproduksi bahasa tersebut.
3. Kedudukan kosakata dalam perkembangan bahasa
Perkembangan bahasa anak adalah kemampuan anak untuk mendengar
dan memproduksi bunyi yang didengar untuk kemudian menjadi bahasa yang
dikeluarkan lewat kata-kata. Anak dapat melakukan komunikasi dengan
lingkungannya karena ada kata-kata yang didengar untuk kemudian dikeluarkan
kembali menjadi sebuah kalimat yang tersusun dari beberapa kosakata, sehingga
kemampuan untuk menguasai kosakata adalah salah satu syarat agar dapat
melakukan komunikasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Tarigan (1989:2)
”Kualitas keterampilan berbahasa seseorang bergantung pada kualitas dan
kuantitas kosakata yang dimilikinya, Semakin kaya kosakata yang kita miliki
maka semakin besar pula kemungkinan kita terampil berbahasa.”
Pengertian kosakata itu sendiri menurut kamus besar bahasa Indonesia
(1991:597), adalah perbendaharaan kata. Sedangkan menurut Kridalaksana
18
(1983:98) kosakata adalah : (a) komponen bahasa yang memuat semua informasi
tentang makna dan pemakaian kata dalam bahasa. (2) Kekayaan yang dimiliki
oleh seorang pembicara atau penulis. (3) Kata yang dipakai dalam satu bidang
ilmu pengetahuan. (4) Daftar kata yang seperti kamus tetapi dengan penjelasan
yang singkat dan praktis.
Lebih rinci Dale dalam Tarigan (1985: 3) mengemukakan bahwa (a)
Kuantitas dan kualitas penguasaan kosakata seseorang merupakan indeks pribadi
yang terbaik bagi perkembangan mentalnya. (2) Perkembangan kosakata
merupakan perkembangan konseptual. (3) Sistematis pengembangan kosakata
dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, kemampuan dan status sosial. (4) Faktor
geografis mempengaruhi perkembangan kosakata. (5) Penelaahan kosakata yang
efektif hendaknya beranjak dari kata-kata yang sudah diketahui menuju kata-kata
yang belum atau tidak diketahui.
Dari penjelasan di atas maka peneliti simpulkan bahwa kedudukan
kosakata dalam perkembangan bahasa merupakan komponen penting, agar
komunikasi yang terjalin dapat terlaksana dengan baik karena adanya saling
memahami yaitu lewat kosakata yang dimunculkan.
4. Jenis-jenis Kosakata
a) Kosakata Dasar
Kosakata dasar menurut Tarigan (1983:9-10) adalah kata-kata yang tidak
mudah berubah atau sedikit sekali kemungkinannya dipungut dari bahasa lain,
yang termasuk ke dalam kosakata dasar ini terdiri dari:
19
1) istilah kekerabatan ; misalnya: ayah, ibu, anak, adik, kakak, nenek, kakek,
paman, bibi, menantu, mertua.
2) nama-nama bagian tubuh ; misalnya: kepala, rambut, mata, telinga,
hidung, mulut, bibir, gigi, lidah, pipi, leher, dagu, bahu, tangan, jari, dada,
perut, pinggang, paha, kaki, betis, telapak, punggung, darah, napas.
3) kata ganti (diri, penunjuk) ; misalnya: saya, kamu, dia, kami, kita, mereka,
ini, itu, sini, situ, sana.
4) kata bilangan pokok misalnya : satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan, sembilan, sepuluh, dua puluh, sebelas, dua belas, seratus, dua
ratus, seribu, dua ribu, sejuta, dua juta.
5) kata kerja pokok ; misalnya: makan, minum, tidur, bangun, berbicara,
melihat, mendengar, menggigit, berjalan, bekerja, mengambil, menangkap,
lari.
6) kata keadaan pokok ; misalnya: suka, duka, senang, susah, lapar, kenyang,
haus, sakit, sehat, bersih, kotor, jauh, dekat, cepat, lambat, besar, kecil,
banyak, sedikit, terang, gelap, siang, malam, rajin, malas, kaya, miskin,
tua, muda, hidup, mati.
7) benda-benda universal ; misalnya: tanah, air, api, udara, langit, bulan,
bintang, matahari, binatang, tumbuh-tumbuhan.
b) Kosakata Pasif dan Aktif
Kosakata digunakan sebagai alat komunikasi, dimana dengan kosakata
yang dimunculkan orang menjadi saling memahami, hal ini berlaku bagi kosakata
yang hanya untuk difahami maupun kosakata yang sering digunakan untuk
20
berkomunikasi. Nurgiyantoro (2001:216) membagi kosakata menjadi kosakata
pasif dan kosakata aktif yaitu: ”kosakata pasif adalah kosakata untuk penguasaan
reseptif, kosakata yang hanya dipahami dan tidak untuk dipergunakan. Kosakata
aktif adalah kosakata untuk penguasaan produktif, kosakata yang dipergunakan
untuk menghasilkan bahasa dalam kegiatan berkomunikasi”.
Dari pernyaataan di atas dapat disimpulkan bahwa kosakata yang sering
kita pergunakan sebagai bahasa sehari-hari untuk berkomunikasi termasuk ke
dalam kosakata aktif.
c) Kosakata Umum dan Khusus
Selain kosakata yang disebutkan di atas, adapula kosakata yang digunakan
untuk hal-hal yang bersifat khusus atau hanya orang –orang tertentu yang dapat
memahami kosakata ini, biasanya kosakata khusus ini muncul di bidang ilmu
pengetahuan sehingga hanya orang-orang yang mempelajarinya yang dapat
memahami. Menurut Nurgiyantoro (2001:216:217) ”Kosakata umum dan
kosakata khusus adalah kosakata yang ada dalam suatu bahasa yang bukan
merupakan istilah-istilah teknis atau kosakata khusus yang dijumpai dalam
berbagai bidang keilmuan”. Lebih lanjut Nurgiyantoro menyebutkan bahwa
terdapat istilah-istilah teknis tertentu dalam suatu disiplin ilmu, kadang-kadang
tidak mudah dibedakan antara kosakata umum dengan istilah teknis tertentu, atau
istilah teknis yang satu dengan yang lain. Namun banyak dijumpai istilah khusus
yang telah menjadi popular, telah berubah menjadi milik umum. Sebaliknya,
21
banyak dijumpai kosakata umum yang telah mengalami perubahan makna
tertentu berubah menjadi istilah teknis.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kata dasar adalah kata
yang berdiri sendiri dan tidak dapat berubah, kosakata pasif adalah kosakata yang
hanya dipahami dan tidak untuk dipergunakan, kosakata aktif adalah kosakata
yang dipergunakan dalam kegiatan berkomunikasi. Sedangkan kosakata umum
dan khusus adalah kosakata dibidang keilmuan.
Menurut Dale [et all] (1971 : 8) dalam Tarigan (1985:3) bahwa ada dua
cara anak-anak mempelajari kosakata, yaitu :
Pertama, mereka mendengar kata-kata tersebut dari: (1) orang tua. (2) anak-anak yang lebih tua. (3) teman sepermainan. (4) televisi dan radio. (5) tempat bermain. (6) toko, pusat perbelanjaan.
Kedua, mereka mengalaminya sendiri : (1) mereka mengatakan benda-benda.(2) mereka memakannya. (3) mereka merabanya. (4) mereka menciumnya. (5) mereka meminumnya. Kosakata mereka itu hanya dibatasi oleh pengalaman-pengalaman mereka dan oleh model-model yang tersedia.
Kesimpulan peneliti dari teori di atas adalah kosakata dibutuhkan sebagai
modal seseorang untuk berkomunikasi. Penguasaan kosakata didapatkan dari
orang tua dalam hal ini guru, lingkungan atau teman-teman. Cara anak
mendapatkan kosakata yang dibutuhkan adalah dengan pengalaman.
5. Cara anak menguasai makna kata
Kosakata diucapkan sebagai suatu bahasa komunikasi sehari-hari, apabila
pengguna kosakata itu telah memahami dibagian mana kosakata tersebut
dipergunakan, misal anak mengucapkan ”mau makan” ketika menyatakan
keinginannya untuk makan, hal ini berarti anak dapat memaknai kata tersebut.
Golinkoff dkk, (1994) dalam Gieason dan Ratner, (1998) dalam Soenjono (2005)
22
Mengemukakan ”bahwa anak tidak menguasi makna kata secara sembarangan.
Ada strategi tertentu”, yaitu :
a) Strategi Referensi
Anak memakai strategi ini dengan menganggap bahwa kata pastilah
merujuk pada benda, perbuatan, proses atau atribut. Dengan strategi ini anak yang
baru mendengar suatu kata baru akan menempelkan makna kata itu pada salah
satu dari referensi yang dikuasainya. Bila kata itu bulan, dia akan melekatkan
makna kata itu pada benda yang dirujuk dengan nama itu. Bila kata baru itu
ngumpet, dia akan memaknakan kata itu dengan perbuatan penyembunyian diri,
dan seterusnya.
b) Strategi Cakupan Objek
Pada strategi ini kata yang merujuk pada suatu objek merujuk pada objek
itu secara keseluruhan,tidak hanya sebagian dari objek itu saja, jadi kalau anak
diperkenalkan kepada objek seperti sepeda maka keseluruhan dari sepeda itu yang
akhirnya dikuasainya, bukan hanya ban dan sadelnya saja. Pada awal pemerolehan
bisa terjadi bahwa anak hanya mengambil salah satu fiturnya saja, tetapi akhirnya
terbentuk pengertian bahwa yang dinamakan sepeda adalah keseluruhan dari
objek itu.
c) Strategi Perluasan
Strategi ini mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada objek
aslinya saja, tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama itu.
Misalnya, anak diperkenalkan dengan objek yang bernama kucing yang kebetulan
23
bulunya hitam, dia akan tahu bahwa kucing lain yang bulunya putih juga
dinamakan kucing.
d) Strategi Cakupan Kategorial
Strategi ini menyatakan bahwa kata dapat diperluas pemakaiannya untuk
objek-objek yang termasuk dalam kategori dasar yang sama. Setelah
diperkenalkan dengan perkutut sebagai burung, dan kemudian dia melihat beo
maka dia akan tahu bahwa beo juga termasuk dalam kategori dasar yang sama
dengan perkutut, yakni burung. Dia akan merujuk beo sebagai burung pula.
e) Strategi ”Nama-Nama Kategori Tak Bermakna”
Anak yang mendengar kata, setelah dicari dalam leksikonmental dia
ternyata kata ini tidak ada rujukannya, maka kata ini akan dianggap kata baru dan
maknanya ditempelkan pada objek, perbuatan, atau atribut yang dirujuk oleh kata
itu. Jadi, waktu anak mendengar, misalnya kata kancing dia akan mencari dalam
leksikon mental dia apa rujukan dari kata itu. Setelah ternyata rujukan itu belum
ada, maka anak akan menganggap kata itu kata baru dan menempelkan maknanya
pada benda kancing itu. Strategi inilah yang membuat anak cepat sekali dalam
menambah kosakatanya sejak umur 1- 8.
f) Strategi Konvensionalitas
Anak berasumsi bahwa pembicara memakai kata-kata yang tidak terlalu
umum, tetapi juga tidak terlalu khusus. Kemungkinannya adalah sangat kecil
untuk orang dewasa memperkenalkan kata binatang atau makhluk untuk merujuk
seekor perkutut. Juga kecil kemungkinannya untuk dia memakai kata perkutut
24
Bangkok. Yang umum terjadi adalah bahwa dia akan memakai kata burung pada
anak untuk merujuk pada perkutut itu.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa strategi di butuhkan dalam
membantu anak memaknai kata-kata yang ia dapatkan, lingkungan sekitar dan
kemampuan guru atau orang tua dapat memaksimalkan anak memaknai kata.
6. Faktor yang mempengaruhi penggunaan kata
Seperti uraian di atas bahwa kata dapat digunakan sebagai alat komunikasi
apabila pengguna kata telah memahami makna dari kata tersebut, faktor-faktor
yang mempengaruhi penggunaan kata telah dijelaskan oleh Soenjono (2005)
yaitu: pada dasarnya penggunaan kata dipengaruhi oleh berbagai faktor.
a. Faktor pertama adalah frekuensi kata : makin sering suatu kata dipakai makin
cepatlah kita dapat memanggilnya pada saat memerlukannya, kata-kata
seperti mengharapkan atau menutup memiliki frekuensi yang lebih tinggi
daripada menalarkan atau menalarkan orang bahkan ada yang tidak mengerti
makna kedua kata terakhir ini.
b. Faktor kedua adalah ketergambaran suatu kata yang dapat dengan mudah
digambarkan atau dibayangkan akan lebih mudah dimengerti dan diingat.
Kata-kata kongkrit, misalnya, lebih mudah diingat daripada kata-kata abstrak.
c. Faktor ketiga adalah keterkaitan semantik : kata tertentu membawa
keterkaitan makna yang lebih dekat kepada kata tertentu yang lain dan bukan
kepada kata tertentu yang lainnya lagi. Kalau kita diberi kata besar, maka
tidak mustahil kita dapat dengan cepat menggunakan kata kecil. Begitu pula
kalau diberi kata burung, kita mungkin saja akan mengasosiasikannya dengan
25
beo atau perkutut. Kata beo akan lebih cepat memunculkan kata burung
daripada binatang karena jarak semantik antara burung dengan beo lebih
dekat daripada beo dengan binatang.
Dari teori di atas maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan kata
dipengaruhi oleh frekuensi kata, makin sering kata digunakan semakin mudah
kata difahami, dari gambaran kata yang ditampilkan secara kongkrit, dan dari
keterkaitan makna kata.
7. Penguasaan Kosakata
Kemampuan anak dalam menyampaikan ide atau gagasan yang ada dalam
pikirannya, merupakan hasil dari proses ia menangkap banyak kosakata sekaligus
dengan makna kata tersebut, hal tersebut dapat dikatakan sebagai penguasaan
kosakata yang ia miliki. Kemampuan penguasaan kosakata menurut Tarigan
(1986:54) dibagi kedalam dua kelompok, yaitu : (1) Penguasaan kosakata reseptif
atau proses decoding, artinya proses memahami apa-apa yang dituturkan oleh
orang lain.Reseptif diartikan sebagi penguasaan yang bersifat pasif, pemahaman
hanya dalam proses pemikiran. (2) Penguasaan produktif atau decoding. Yaitu
proses mengkomunikasikan ide pikiran, perasaan melalui bentuk kebahasaan.
Dengan kata lain pemahaman terhadap kosakata dengan cara mampu menerapkan
kosakata yang bersangkutan dalam suatu konteks kalimat, dengan demikian akan
jelas makna yang dikandung oleh kosakata tersebut. Hal serupa dikemukakan oleh
Nurgiyantoro (1985:210) ”Penguasaan kosakata dapat dibedakan ke dalam
penguasaan yang bersifat reseptif dan produktif, kemampuan untuk memahami
26
dan mempergunakan kosakata. Nurgiyantoro (2001:213) Kemampuan memahami
kosakata terlihat dalam kegiatan membaca dan menyimak, sedangkan kemampuan
mempergunakan kosakata tampak dalam kegiatan menulis dan berbicara.
8. Kedudukan Kosakata Dalam Cerita Anak
Sebuah cerita yang dibutuhkan dalam metode bercerita harus
mempertimbangkan perkembangan bahasa anak, dalam hal ini kemampuan
perolehan bahasa anak disesuaikan dengan cerita dan kosakata yang akan
didapatkan. Seperti menurut Musfiroh (2008:43-45) hal penting yang harus
diperhatikan dalam cerita anak yaitu :
a. Kosa-kata sesuai tahap perkembangan bahasa anak.
1) Cerita untuk anak usia 4 tahun berisi kata-kata mudah yang didasarkan
pada kira-kira 1500 kata yang diperoleh anak. Untuk anak usia 5 tahun
didasarkan pada sekitar 3000 kata, dan untuk anak usia 6 tahun didasarkan
pada sekitar 6000 kata yang terakuisisi anak. Hal ini didasarkan pada
penetian beberapa ahli (Hurlock, 1997)
2) Berisi beberapa konsep numerik dasar, beberapa ajektiva (kata sifat),
adverb (sangat, belum, sudah, mau, tidak), pro-noun atau kata rujukan
orang (aku, kamu, dia), dan preposisi (di, ke, dari), konjungsi atau kata
sambung (tetapi, namun, atau). Meskipun demikian, mereka belum
memahami kata-kata yang memiliki tingkat kesulitan tinggi.
3) Walaupun imajinasi anak TK berkembang baik, mereka belum dapat
memahami makna konotatif dan kata bersayap. Oleh karena itu, kosa kata
yang digunakan dalam cerita tidak bermakna ganda atau taksa, dan tidak
27
bermakna konotatif.
4) Kata-kata tertentu kadang diulang-ulang, terutama kata-kata yang
dianggap penting dan perlu diidentifikasi anak secara lebih cermat
(Rainers & Isbell, 2002).
5) Berisi kata-kata yang meskipun berbentuk sederhana tetapi tepat, mudah
dicerna dan diingat anak. Imajinasi anak akan terlayani oleh kata-kata
yang menyajikan gambaran dan citraan daripada yang memberikan
penilaian. Bandingkan kata-kata di bawah ini.
Bawang putih menangis. Ia takut ibu tirinya akan memukulnya lagi.
dibanding
Bawang putih takut pada ibu tirinya yang kejam itu.
b. Struktur kalimat sesuai tingkat perolehan anak.
1) Cerita untuk anak yang berumur 4 tahun berisi kira-kira 4 kata dalam satu
kalimat, anak 5 tahun 5 kata, dan anak 6 tahun 6 kata. Hal ini didasarkan
pada teori Piaget tentang perkembangan struktur kalimat anak.
2) Kalimat yang panjang biasanya dipecah menjadi beberapa kalimat. Berisi
juga kalimat minor, seperti ”Hai, Cil! Sini!” Kalimat yang pendek
semacam itu dirasa lebih bernas dan lebih mudah dicerna anak.
3) Kadang-kadang berisi kalimat negatif, ”Kancil tidak melihat siput”.
Struktur kalimat negatif telah sesuai dengan hasil penelitian para ahli
tentang pemerolehan struktur negatif anak usia pra sekolah (Cox, 1999;
Dardjowidjojo, 2000).
4) Berisi lebih banyak kalimat aktif daripada kalimat pasif. Hal ini sesuai
28
dengan hasil penelitian para ahli psikolinguistik bahwa kalimat aktif lebih
mudah diingat daripada kalimat pasif (Barlett via Scovel, 2000).
"Buaya marah. Kancil telah menipunya" (Kancil dan Buaya)
5) Berisi sedikit kalimat majemuk bertingkat. Kalimat majemuk yang
digunakan umumnya berisi klausa kondisional dengan kata jika dan bila.
(Cox, 1999)
”Jika kamu mau, aku akan membawamu terbang” (Bangau dan Kura-
kura).
6) Berisi kalimat literal dan langsung. Apa yang diucapkan sesuai dengan
yang dimaksudkan. Jarang terdapat implikatur dalam dialog antar tokoh.
”Wah, baik benar nabi Sulaiman itu, Cil!” (Kancil dan Ikat Pinggang
Nabi Sulaiman).
Mencermati apa yang telah dikemukakan oleh Musfiroh di atas dapat peneliti
simpulkan bahwa kosakata yang ada dalam cerita harus disesuaikan dengan
perkembangan anak, yaitu sederhana, kongkrit, ekspresif dan lebih banyak
kosakata aktif dari pada kosakata pasif.
Selain dari memperhatikan perkembangan bahasa anak, teknik dalam
menyampaikan kosakata dalam bercerita pun disebutkan oleh Musfiroh (2008:49)
sebagai berikut: (1) Tetapkan kata-kata yang hendak diperkenalkan kepada anak,
catat kata-kata tersebut. (2) Integrasikan kata-kata tersebut ke dalam cerita. Ulang
kata-kata itu dalam konteks yang tepat hingga anak memperoleh gambaran
makna. (3) Ucapkan kata tersebut dengan lafal yang jelas dan menonjol hingga
anak dapat mengidentifikasikannya sebagai kata yang baru. (4) Cek pemahaman
29
anak terhadap kata tersebut dengan mengajukan pertanyaan kepada mereka,
seperti “Apa yang kecil mungil mbak Intan?sekecil apa itu?”
Dapat disimpulkan bahwa pengenalan kosakata anak dapat diintegrasikan
dalam kegiatan bercerita, dengan syarat fahami terlebih dahulu, kata-kata apa
yang hendak diberikan kemudian terus diucapkan dan didengarkan kepada anak
dengan lafal yang jelas dan baik.
B. Metode bercerita menggunakan media buku cerita bergambar
1. Metode
Dalam kamus besar bahasa Indonesia (1991) metode adalah cara kerja
yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan. Metode berasal dari bahasa Inggris yaitu method yang
artinya melalui, melewati, jalan, atau cara untuk memperoleh sesuatu.
Ihat Hatimah (2003:9) berpendapat bahwa metode pembelajaran adalah
suatu cara yang disusun secara sistematis, logis, terencana, dan aktifan untuk
mencapai tujuan pembelajaran. Sedangkan menurut Nana Sudjana (1998:76)
metode pembelajaran adalah cara yang digunakan instruktur dalam mengadakan
hubungan dengan peserta khusus pada saat berlangsungnya pembelajaran.
Dari beberapa pengertian metode di atas dapat disimpulkan bahwa metode
pembelajaran merupakan cara yang dibuat secara sistematis oleh guru dalam
kegiatan pembelajaran agar tujuan atau hasil yang diharapkan dari siswa dapat
memuaskan
30
2. Bercerita
Bercerita merupakan kegiatan menyampaikan cerita kepada pendengar
dari seorang pencerita baik secara langsung maupun menggunakan media. Cerita
merupakan karya dari seorang pengarang yang dapat dinikmati karyanya oleh
orang lain. Menurut Majid (2001:8) “Cerita adalah salah satu bentuk sastra yang
bisa dibaca atau hanya didengar oleh orang yang tidak bisa membaca.”
Musfiroh (2005:56) Mengemukakan bahwa cerita adalah (1) Tuturan yang
membentang bagaimana terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian dan sebagainya.
(2) Merupakan karangan yang menuturkan perbuatan, pengalaman, penderitaan
orang, kejadian dan sebagainya. Baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan
belaka. (3) Lakon yang diwujudkan atau dipertunjukkan dan digambar hidup
seperti wayang dan sebagainya.
Cerita merupakan bagian dari kehidupan yang selalu diciptakan oleh
manusia, bahkan setiap kehidupan manusia memiliki suatu cerita masing-masing
yang berbeda satu sama lain, dari kehidupanlah cerita dapat dibuat dan dikarang
oleh seseorang sebagai hikmah yang bisa menjadi tauladan atau sebagai hiburan
yang bisa menyenangkan orang lain. Sebuah cerita merupakan sesuatu yang bisa
disenangi oleh orang dewasa dan juga anak-anak, dalam setiap kesempatan anak-
anak ingin diceritakan sebuah cerita, baik cerita buku atau cerita karangan si
pencerita secara mendadak, dari menentukan tokoh dan latar sebuah cerita
dadakan, si pencerita dapat secara bebas mendeskripsikannya sesuai dengan
keinginan, dengan demikian si pencerita telah membuat atau membangun cerita.
31
Mendengarkan atau menyajikan sebuah cerita kepada anak-anak
merupakan pemberian yang berharga tidak saja untuk kesenangan atau hiburan
tetapi juga pengalaman sebagaimana yang telah disebutkan oleh Moeslihatoen
(2004:157) bahwa “Metode bercerita merupakan salah satu pemberian
pengalaman belajar bagi anak dengan membawakan cerita kepada anak secara
lisan”
Dari uraian di atas peneliti simpulkan bahwa metode bercerita merupakan
cara menyampaikan cerita kepada anak yang di dalamnya menceritakan kejadian
atau peristiwa dengan tokoh yang sengaja diadakan untuk membuat cerita tersebut
nyata dan menyenangkan
3. Bercerita dengan buku cerita bergambar
Teknik bercerita dapat dilakukan dengan alat peraga atau pun tanpa alat
peraga. Bercerita menggunakan buku cerita bergambar merupakan salah satu
teknik bercerita dengan alat peraga, menurut Musfiroh (2008:122) “Cerita dapat
dilakukan dengan berbagai alat bantu yang disebut sebagai bercerita dengan alat
peraga. Alat peraga yang paling sederhana adalah buku,kemudian gambar, papan
panel, boneka dan film bisu”
Bercerita dengan alat peraga dikategorikan sebagai reading aloud
(membaca nyaring). Membacakan cerita dalam buku memiliki beberapa kelebihan
sekaligus kelemahan yang harus diatasi guru.
Menurut Wright (1998:13) dalam Musfiroh (2008:123)
Kelebihan membacakan cerita dalam buku adalah (1) Membacakan cerita dalam buku merupakan demonstrasi terbaik bagaimana mencintai buku. (2) Buku merupakan sumber ide terbaik. (3) Ketika menyimak tulisan, anak memiliki kesempatan untuk memprediksi kata dari kelanjutan cerita. (4) Gambar dalam
32
buku membantu pemahaman anak. (5) Keberadaan buku mendorong anak untuk belajar "membacanya" sendiri begitu kegiatan bercerita selesai. Selain memiliki kelebihan, bercerita dengan media buku pun memiliki
kelemahan. Musfiroh (2008:124) berpendapat :
Kegiatan ini dapat menjadi monoton dan membosankan karena guru lupa bahwa ia sedang berhadapan dengan pendengar. Pada pertengahan cerita, ada kemungkinan guru melupakan pendengarnya, dan dalam hal demikian, guru cenderung membaca untuk diri sendiri. Dapat juga terjadi bahwa guru membaca cerita, dengan tempo terlalu cepat. Guru mungkin lupa bahwa buku mempunyai karakteristik keseksamaan (precise), ekonomis (economical), ketakterulangan (unrepetitive). Dari uraian di atas diketahui bahwa ada kelebihan dan kelemahan bercerita
menggunakan buku cerita bergambar, maka untuk menghindari kemungkinan
terjadi kesalahan, bercerita menggunakan buku cerita bergambar harus
menggunakan teknik-teknik sebagai berikut:
Teknik-teknik membaca buku cerita bergambar menurut Wright (1998:21-22)
dalam Musfiroh (2008:124)
1) Bacalah terlebih dahulu buku yang hendak dibacakan di hadapan anak. Yakinkan bahwa guru memahami cerita itu dengan baik dan dapat menghayati unsur dramanya. Yakinkan puisi bahwa guru dapat melafalkan setiap kata dalam buku dengan tepat dan tahu pasti makna tiap-tiap kata tersebut.
2) Jangan terpaku pada buku. Perhatikan juga bagaimana reaksi anak-anak pada saat guru membacakan buku tersebut.
3) Bacakanlah dengan lambat (slowly) dengan kualitas ujaran yang lebih dramatik daripada tuturan biasa.
4) Pada bagian-bagian tertentu, berhentilah sejenak untuk memberikan komentar, atau untuk meminta anak-anak memberikan komentar mereka.
5) Perhatikan semua anak dan berusahalah untuk menjalin kontak mata dengan mereka. Cek apakah mereka masih berminat menyimak cerita atau sudah mulai menunjukkan keresahan.
6) Sering-seringlah berhenti untuk menunjukkan gambar-gambar dalam buku pada anak, dan pastikan bahwa semua anak dapat metihat gambar tersebut.
7) Pastikan bahwa jari selalu dalam posisi siap untuk membuka halaman selanjutnya.
8) Lakukan pembacaan sesuai rentang atensi anak. Jangan bercerita dengan buku lebih dari 10 menit.
33
Selanjutnya menurut Priyono (2001:30) 9) Pegang buku di samping kiri bahu, bersikap tegak turus ke depan. 10) Posisikan tempat duduk di tengah agar bisa dilihat dari berbagai arah. 11) Saat tangan kanan menunjuk gambar, arah perhatian disesuaikan dengan
urutan cerita. 12) Libatkan anak dalam cerita supaya terjalin komunikasi multiarah. 13) Tetaplah bercerita pada saat tangan membuka halaman buku. Sebutkan
identitas buku, seperti judul dan pengarang supaya anak-anak belajar menghargai karya orang lain.
Bercerita dengan alat peraga buku memiliki pengaruh yang positif dalam
memunculkan kemampuan keberaksaraan (emergent literacy) anak dan
mendorong tumbuhnya kesiapan baca (reading readiness) pada anak. Untuk itu,
perlu dilakukan pemilihan buku-buku yang memiliki keterbacaan (readability)
yang sesuai dengan tingkat penguasaan dan kemampuan anak.
Buku cerita (yang dapat difungsikan sebagai alat peraga) yang baik
memenuhi kriteria yang disarankan Trelease (Trelease, 1995 dalam Cox, 1999:
173) dalam Musfiroh (2008:125) yaitu :
‘(1) Memiliki plot singkat-sederhana, yang cepat menarik minat anak. (2)
Memiliki karakter yang jelas. (3) Memiliki dialog yang mudah dicerna. (4)
Singkat, deskriptif. (Trelease, 1995 dalam Cox, 1999: 173)’.
Menurut Musfiroh (2008:125) “Bercerita dengan alat peraga buku dapat
dilakukan jika anak tidak terlalu banyak. Dengan demikian, semua siswa dapat
melihat kepada gambar yang ada dalam buku. Karenanya, buku yang digunakan
seyogyanya memiliki gambar yang relatif besar dan menarik dengan tulisan yang
berukuran cukup besar. Jumlah kalimat diperkirakan sekitar dua hingga empat
kalimat pendek setiap halaman. Kalimat umumnya diletakkan pada bagian bawah
gambar”.
34
Dapat disimpulkan bahwa bercerita menggunakan buku cerita bergambar
harus melewati langkah-langkah yang akan memudahkan guru dalam
membawakan sebuah cerita, selain harus menguasai isi cerita, pencerita juga harus
dapat berimprovisasi dengan cerita yang ia bawakan, selain itu pemilihan terhadap
buku hendaknya diperhatikan karena gambar yang menarik dalam ukuran yang
cukup besar serta huruf yang berukuran besar pula akan sangat mempengaruhi
keberhasilan dalam bercerita menggunakan buku.
4. Karakterisitik Cerita Untuk Anak TK
a. Tema
Sebuah cerita pasti memiliki sebuah tema yang hendak disampaikan oleh
pengarang kepada siapa saja yang mendengar atau membaca cerita tersebut karena
tema merupakan ide awal dari sebuah cerita seperti menurut Sudjiman (1992:50)
’Tema dapat juga diartikan sebagai gagasan, ide, atau pikiran utama yang
mendasari suatu karya sastra’.
Shipley dalam Nurgiyantoro (1991) dalam Musfiroh (2008:33) Tema
dapat diklasifikasikan menurut subjek pembicaraan suatu cerita, yakni:
‘(1) tema fisik yang mengarah pada kegiatan fisik manusia, (2) tema organik yang mengarah pada masalah hubungan seksual 09manusia, (3) tema sosial yang mengarah pada masalah pendidikan, propaganda, (4) tema egoik yang mengarah pada reaksi-reaksi pribadi yang umumnya menentang pengaruh sosial, (5) tema ketuhanan yang menyangkut kondisi dan situasi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan’. Pada umumnya cerita terbagi ke dalam dua kelompok yaitu tema
tradisional dan tema nontradisional. Seperti halnya menurut Musfiroh (2008:34)
“Tema cerita dapat diklasifikasikan menjadi tema tradisional dan tema non
tradisional”. Lebih lanjut Musfiroh (2008:34) mengungkapkan:
35
Untuk konsumsi anak TK, cerita yang disuguhkan sebaiknya memiliki tema tunggal, berupa tema sosial maupun tema ketuhanan. Tema yang sesuai untuk mereka antara lain: tema moral dan kemanusiaan (menolong si lemah, menengok teman, berkata jujur, menghindari riya, berterima kasih, membina persahabatan), tema binatang (kera dan kura-kura, kancil dan harimau). Di samping itu, tema yang disajikan untuk anak TK diseyogyakan bersifat tradisional. Tema tradisional berbicara mengenai pertentangan baik buruk, perseteruan antara kebenaran dan kejahatan. Tema-tema tradisional sangat penting karena memiliki mini pedagogik dan berperan dalam pembentukan pribadi anak untuk mencintai kebenaran dan menentang kejahatan. Umumnya, tema-tema tradisional sangat digemari oleh anak-anak.
Dari pernyataan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa tema
adalah sebuah ide cerita atau gagasan utama dari sebuah cerita. Oleh karenanya
tema yang baik serta dapat diberikan kepada anak TK adalah tema yang
membawa muatan pendidikan dalam artian memberikan pengalaman moral yang
benar.
b. Amanat
Setelah mendapatkan tema selanjutnya guru atau pencerita menentukan
amanat apa yang hendak disampaikan, amanat tidak kalah penting dengan tema,
amanat dapat digunakan sebagai ajang arahan atau bimbingan kepada anak
mengenai baik, buruk, benar dan salah. Sudjiman (1992:57) dalam Musfiroh
(2008:35) mengemukakan ‘Amanat adalah ajaran moral atau pesan yang ingin
disampaikan oleh pengarang dalam karyanya’. Dari kutipan di atas dapat
disimpulkan bahwa amanat merupakan pesan yang hendak disampaikan kepada
pembacanya berupa pandangan tentang nilai-nilai kebenaran. Khususnya cerita
anak amanat adalah pesan moral yang mengajarkan tentang benar dan salah, yang
ditampilkan oleh tokoh berbentuk binatang, hewan atau benda mati sekalipun.
36
Amanat harus ada dalam cerita anak-anak karena merupakan bagian
penting dari cerita tersebut seperti menurut Musfiroh (2008:35) “Amanat untuk
cerita anak-anak harus ada di dalam cerita atau dongeng, baik ditampilkan secara
eksplisit maupun implisit, baik dinyatakan melalui para tokohnya, maupun oleh
penceritanya”.
c. Plot atau Alur Cerita
Sebuah cerita dapat dikatakan baik atau indah apabila pengarang dapat
memposisikan peristiwa kedalam sebuah rangkaian yang tersusun dengan baik,
misal pengarang menentukan dimana letak pembuka cerita, klimaks cerita dan
penutup cerita atau ending cerita, hal tersebut dapat disebut dengan alur cerita atau
plot. Plot menurut Forster (1966:93) dalam Musfiroh (2008:37 ) ‘adalah
peristiwa-peristiwa naratif yang disusun dalam serangkaian waktu. Plot juga dapat
didefinisikan sebagai peristiwa-peristiwa narasi (cerita) yang penekanannya
terletak pada hubungan kausalitas’.
Plot yang ditampilkan dalam cerita anak cenderung sederhana dikarenakan
kemampuan logikal anak TK belum berkembang maksimal, tidak terlalu rumit,
Peristiwa demi peristiwa disusun secara urut atau progresif.
Hubungan sebab-akibat dalam alur cerita anak harus sederhana dan dapat
dicerna dengan logika anak, seperti menangis karena terjatuh, tertipu karena
tamak, kalah tidak dapat berlari cepat, dikutuk karena durhaka, dan sebagainya.
37
d. Tokoh dan Penokohan
Yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam sebuah cerita anak
adalah seorang tokoh yang ada di dalam cerita tersebut. Misal tokoh bobo,
Cinderella, putri salju, si kancil dan lain-lain. Hal ini menyebutkan bahwa tokoh
yang ada dalam cerita berperan penting dalam menyampaikan isi cerita. Musfiroh
(2008:39) mengemukakan tokoh adalah “individu rekaan yang mengalami
berbagai peristiwa dalam cerita. Tokoh pada umumnya berwujud manusia, tetapi
pada cerita anak tokoh itu dapat berwujud binatang atau benda-benda”.
Anak TK memerlukan tokoh cerita yang jelas dan sederhana (flat
character). Tokoh-tokoh sederhana membantu anak-anak dalam mengidentifikasi
tokoh jahat dan tokoh baik. Tokoh sederhana hanya memiliki satu sifat saja, baik
saja atau buruk saja. Tokoh yang demikian memudahkan anak mengidentifikasi
tokoh dan sifat yang dimilikinya. Anak TK masih memiliki perspektif diri atau
egosentrisme, sehingga mereka baru mampu melihat permasalahan dari perspektif
tunggal. Anak mengenal tokoh cerita dari perspektif positif dan negatif, baik dan
buruk, pahlawan dan penjahat, jahat dan baik hati.
Sudut pandang mempengaruhi pengembangan cerita, kebebasan dan
keterbatasan cerita, dan keobjektivitasan hal-hal yang diceritakan. Pemilihan
sudut pandang mempengaruhi penyajian cerita dan mempengaruhi penikmatnya,
dalam hal ini anak-anak.
38
e. Latar
Selain tokoh dalam sebuah cerita disebutkan pula dari mana tokoh itu
berasal, dimana cerita tersebut digambarkan. Hal yang demikian disebut latar.
Latar merupakan sebuah penegasan dari sebuah cerita. Sujiman (1991:44-45)
dalam Musfiroh (2008:41) Latar adalah unsur cerita yang menunjukkan kepada
penikmatnya di mana dan kapan kejadian-kejadian dalam cerita berlangsung.
Hudson membedakan latar menjadi latar sosial dan latar fisik. Latar sosial
mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial, adat
kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari cerita. Adapun yang
dimaksud latar fisik adalah tempat di dalam wujud fisiknya seperti kolam ikan,
gunung, pantai, lubang, sungai, jalan.
Menurut Kenney (1966: 40) dalam Musfiroh (2008:42) ada empat unsur
yang membentuk cerita yakni (1) lokasi geografi yang termasuk di dalamnya
topografi, pemandangan tertentu, bahkan detil-detil inferior sebuah ruangan, (2)
kesibukan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari, (3) waktu terjadinya action
termasuk periode historik, musim sepanjang tahun, dan (4) lingkungan religius,
moral, intelektual, sosial,dan emosional tokoh-tokohnya.
(Nurgiyantoro, (1991) dalam Musfiroh (2008:42) Mengemukakan bahwa
latar juga dapat dibedakan atas latar netral dan tipikal. Latar netral adalah latar
yang tidak memiliki sifat khas tertentu yang menonjol, sesuatu yang
membedakannya dengan latar lain. Sebaliknya, latar netral bersifat umum
terhadap hal sejenis. Jika tempat atau waktu tersebut diganti, hal tersebut tidak
39
akan mempengaruhi plot dan penokohan. Latar netral hanya memberikan
informasi yang bersifat fisik saja
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa latar merupakan bagian
dari cerita anak, latar disesuaikan dengan perkembangan kognisi dan moral anak-
anak. Setting waktu yang tepat adalah yang sesuai dengan tingkat perkembangan
bahasa anak seperti besok dan sekarang.
f. Sarana Kebahasaan
Menyampaikan cerita kepada anak-anak berbeda dengan cerita untuk
orang dewasa, ada beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya bahasa yang
disampaikan dalam cerita anak adalah bahasa yang sederhana, langsung pada
objek tujuan agar apa yang diceritakan dapat dimengerti oleh anak-anak yang
mendengarnya. Menurut Musfiroh (2008:43) “Bahasa yang digunakan harus
disesuaikan dengan tingkat usia, sosial dan pendidikan penikmatnya”.
Bahasa yang digunakan untuk cerita anak memiliki ciri-ciri tersendiri,
lebih lanjut Musfiroh (2008:43) Mengemukakan“cerita untuk anak-anak ditandai
dengan ciri-ciri bentuk kebahasaan seperti pilihan kata, struktur kalimat, dan
bentuk-bentuk bahasa tertentu. Pada dongeng, sebagai bagian dari cerita rakyat,
sarana kebahasaan cenderung tetap pada bagian awal dan akhir, seperti "Pada
suatu hari dan akhirnya, mereka bahagia.".
Dari karakteristik cerita anak di atas dapat diketahui bahwa ada syarat-
syarat tertentu pada tema, amanat, alur, tokoh, latar dan sarana kebahasaan untuk
cerita anak, pencerita maupun pengarang harus memperhatikan dan memilihkan
40
cerita yang terbaik untuk anak-anak agar tujuan, amanat atau pesan dapat
tersampaikan dengan baik.