pesantren dan radikalisme kajian khusus pondok...
TRANSCRIPT
PESANTREN DAN RADIKALISME
Kajian Khusus Pondok Pesantren Al-Hamid, Jakarta
Timur dalam Rangka Mencegah Paham Radikalisme
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Dimas Ramdan Nanto
NIM: 11151120000002
Program Studi Ilmu Politik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
1441 H/2019 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAK
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang ada di Indonesia.
Pesantren sebagai sarana pendidikan tentunya memiliki dampak yang signifikan
terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Pesantren dicap sebagai tempat
teroris dan berkembangnya bibit-bibit radikalisme. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana langkah pesantren Al-Hamid dalam mencegah paham
radikalisme.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan wawancara
dan literasi penelitian sebelumnya. Penelitian ini dilakukan di Pesantren Al-Hamid
Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Agustus 2019 – September 2019. Hasil penelitian ini
meliputi: Pesantren Al-Hamid menolak paham radikal karena dinilai tidak sesuai
dengan tradisi pesantren. Hal ini dilihat dari pengajaran dan tradisi pesantren yang
tidak mengajarkan paham tersebut serta menilai radikalisme adalah sesuatu yang
salah. Pesantren Al-Hamid menolak radikalisme dengan melakukan berbagai langkah
dan tindakan. Terdapat 4 (empat) langkah yang dilakukan pesantren Al-Hamid dalam
mencegah paham radikalisme, yaitu: memaknai jihad melalui kajian, memahami
pancasila sebagai ideologi berbangsa, melihat demokrasi dan pluralisme sebagai
wadah kebersamaan, selektif terhadap rekrutmen tenaga pengajar dan bekerja sama
dengan kementerian agama dalam merumuskan kurikulum.
Kata Kunci: Pesantren Al-Hamid, Radikalisme.
vi
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur saya haturkan kepada tuhan kita Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga berkah dan nikmat yang diberikan oleh-Nya bisa
dimaksimalkan untuk kehidupan. Akal yang diberikan kepada manusia digunakan
untuk meningkatkan kualitas kehidupan seseorang guna mencapai pengetahuan yang
diwajibkan bagi mereka yang beriman. Sholawat serta salam tidak lupa di haturkan
kepada nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin dan sekaligus pembawa
kebahagiaan bagi umat Islam dan teladan manusia di muka bumi.
Dinamika kehidupan sangat beragam, banyak tantangan yang dihadapi guna
mencapai suatu tujuan peneliti. Dalam penyelesaian penelitian ini, tentu peneliti tidak
sendiri, banyak pihak yang membantu dalam proses penelitian ini, mulai dari awal
hingga di akhir. Berikut adalah beberapa pihak yang berjasa:
1. Prof. Dr. Amany Lubis M.A, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Ali Munhanif, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP).
3. Dr. Shobahussurur, selaku dosen pembimbing yang dengan baik dan sabar
meluangkan waktu, tenaga, pikiran, dan masukan dalam setiap membimbing
penulis sampai bisa menyelesaikan skripsi ini.
4. Dr. Iding Rosyidin, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Politik yang telah
membantu dan memudahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
5. Suryani, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Politik yang selalu
memberikan pengalaman kompetitif di setiap kelas.
vii
6. Para dosen tercinta selama penulis menuntut ilmu di FISIP UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu. Terima
kasih telah memberikan ilmu yang sangat progresif dan bermanfaat.
7. Bapak, Ibu, dan Adik saya Diah Rahma Oktavianti sebagai support system
yang mendukung baik dalam proses dan semangat dan berbagi keluh kesah
peneliti sehingga bisa menyelesaikan penelitian ini.
8. Kiai Lukman Hakim, Ust Ibnu Mubarok, Ust Fahmi Abdul Aziz, Ust Nu‘man,
para pimpinan dan pengajar Pesantren Al-Hamid kelurahan Cilangkap,
kecamatan Cipayung, Jakarta Timur, yang berkenan menjadi objek penelitian
serta memudahkan peneliti dalam mencari data.
9. Daffa, Adel, Lila, Inas, Helma, Reza Hafiz, Acay, Dayat, Faiz, Andy, Adnan,
Siti Arfiah, Nabila sebagai teman-teman yang sedari dulu bersama dalam
suatu kumpulan yang disebut ―redbull tandingan‖.
10. Audy, Sultan, Redi, Desi, Cherlinda, Naswah, dan semua teman-teman yang
tergabung dalam Ilmu Politik A 2015.
11. Eva Anispa sebagai penyemangat dalam penyelesaian penelitian ini, sekaligus
menjadi tutor motivasi saya.
12. Teman-teman Binamuda 02 sebagai wadah saya mengembangkan pola pikir
dan penyemangat dari dekat kepada peneliti.
viii
13. Kanda-Yunda HMI KOMFISIP Alaskafinier yang telah menjadi kawan
pendobrak kebiasaan-kebiasaan lama, tempat berproses selama kuliah dan
adik-adik.
Penulis berharap Semoga Allah SWT memberikan yang terbaik atas segala
dukungan dan doa yang disampaikan. Rasa hormat dan terima kasih bagi seluruh
pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan skripsi ini yang tidak bisa penulis
sebutkan satu- persatu. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat baik dalam segi akademik
maupun praktis.
Ciputat, 28 Oktober 2019
Dimas Ramdan Nanto
ix
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ..................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .................................................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................................. iv
ABSTRAK .......................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xi
BAB I ................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
A. Pernyataan Masalah ............................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................................................. 9
C. Tujuan dan manfaat penelitian ............................................................................. 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 10
E. Kerangka Teoritis ................................................................................................. 15
F. Metode Penelitian .................................................................................................. 18
G. Sistematika Penulisan ........................................................................................... 21
BAB II ............................................................................................................................... 23
KERANGKA TEORETIS DAN KONSEPTUAL ........................................................ 23
A. Pengertian Pesantren ............................................................................................ 23
B. Elemen-elemen Pesantren .................................................................................... 25
C. Pola-pola Pesantren .............................................................................................. 28
D. Bentuk-bentuk Pesantren ..................................................................................... 31
E. Teori Radikalisme ................................................................................................. 33
x
BAB III ............................................................................................................................. 42
PONDOK PESANTREN AL-HAMID DAN SEKILAS MENGENAI
RADIKALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN ........................................................... 42
A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Hamid ............................................. 42
B. Jumlah Santri di Pesantren Al-Hamid ................................................................ 44
C. Kitab-Kitab rujukan Pesantren Al-Hamid ......................................................... 44
D. Pengajaran Sorogan dan Bandongan .................................................................. 44
E. Jenjang Pendidikan di Pesantren Al-Hamid ...................................................... 47
F. Radikalisme dalam lembaga Pendidikan ............................................................ 54
BAB IV .............................................................................................................................. 59
PERAN DAN LANGKAH-LANGKAH PONDOK PESANTREN AL-HAMID
JAKARTA TIMUR DALAM MENCEGAH PAHAM RADIKALISME ....................... 59
A. Perspektif Pesantren Al-Hamid mengenai Radikalisme ................................... 60
B. Langkah-langkah Pesantren Al-Hamid dalam Mencegah Radikalisme .......... 62
1. Memaknai Jihad melalui Kajian khusus ..................................................................... 62
2. Menolak Negara Islam, dan Memahami Pancasila sebagai Ideologi Berbangsa ........ 67
3. Menyikapi Demokrasi dan Pluralisme sebagai Wadah Kebersamaan ........................ 72
4. Selektif terhadap Penerimaan Tenaga Pengajar dan bekerja sama dengan Pemerintah
dalam Merumuskan Kurikulum ...................................................................................... 79
BAB V ............................................................................................................................... 85
PENUTUP ........................................................................................................................ 85
A. Kesimpulan ................................................................................................................. 85
B. Saran ............................................................................................................................ 86
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 88
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I.A Nama pesantren beserta lokasinya yang terindikasi radikal ............................. 2
Tabel II.A Tahapan seseorang menjadi radikal............................................................... 25
Tabel II.C Pola pesantren secara bangunan fisik ............................................................ 39
Tabel II. F Jumlah santri di Pesantren Al-Hamid 2018-2019 ......................................... 45
Tabel III. C Kitab-kitab rujukan pesantren ..................................................................... 45
Tabel III.E.1 Visi dan Misi TK Islam ............................................................................. 49
Tabel III.E.2 Aktivitas Kurikulum TK Islam .................................................................. 49
Tabel III.E.3 Visi dan Misi Madrasah Ibtidaiyah ........................................................... 50
Tabel III.E.4 Aktivitas Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah ................................................ 51
Tabel III.E.5 Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah ........................................................ 52
Tabel III.E.6 Aktivitas Kurikulum Madrasah Tsanawiyah ............................................. 52
Tabel III.E.7 Visi dan Misi Madrasah Aliyah ................................................................. 54
Tabel III.E.8 Aktivitas Kurikulum Madrasah Aliyah ..................................................... 55
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Studi ini mengambil tema mengenai peran pesantren dalam mencegah paham
radikalisme. Penelitian ini berfokus kepada strategi pesantren Al-Hamid dalam
mencegah berkembangnya paham radikalisme di kalangan santri serta warga
pesantren. Metode yang digunakan adalah penelitian kualitatif melalui observasi dan
wawancara.
Pesantren dalam pandangan masyarakat dikenal sebagai lembaga pendidikan
yang bersifat tradisional yang bertujuan untuk memahami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Pada awal abad
ke-21, masyarakat mengubah pandangannya terhadap pesantren. Pesantren lebih
berfokus kepada pemikiran, ideologi, dan kelompok sosial serta gerakan-gerakan
yang sangat masif, yang seolah-olah membalikkan kesan pesantren yang memiliki
watak halus, akomodatif, dan adaptif terhadap kebudayaan lokal.1
Pesantren sebagai lembaga pendidikan rentan terjerat oleh paham radikalisme.
Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Waseso pada saat itu, menyebutkan
bahwa terdapat beberapa rumah singgah, tempat beribadah, pondok pesantren, yang
terindikasi dengan paham radikalisme. BIN masih memantau lokasi-lokasi yang
1 Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme (Jakarta: CV. Prasasti,
2007), hal.v.
2
terindikasi paham radikalisme tersebut namun mereka belum bisa menjelaskan secara
detail mengenai pesantren yang terpapar radikalisme.2
Tabel I.A menunjukan nama pesantren beserta lokasinya yang terindikasi
radikal
Sumber data diambil dari media online CNNindonesia.com
Tabel di atas menunjukkan beberapa data yang dikemukakan oleh BIN
mengenai pesantren yang terindikasi terpapar paham radikalisme, dan sisanya
terdapat di wilayah Aceh, Solo dan Serang.
Oleh karena gerakan-gerakan radikal yang berbasis agama, sebenarnya
pesantren sebagai lembaga pendidikan lebih fokus dalam pengajaran paham
keagamaan yang memiliki andil dalam mencegah gerakan radikal di masyarakat.
Pesantren memiliki kontribusi besar untuk memberikan pandangan, sikap serta
alternatif untuk mencegah berkembangnya gerakan radikal yang berbasis agama.
Pada kasus terorisme, pesantren dapat mengajarkan pemahaman tentang hablum
2 Kompas.com, dari https://nasional.kompas.com ―BIN: Ada Tempat Ibadah, Pesantren, dan
Rumah Singgah Terpapar Radikalisme‖ diakses pada 4 November 2018.
NAMA PESANTREN LOKASI PESANTREN
Pondok Pesantren Al-Muaddib Cilacap
Pondok Pesantren Al-Ikhlas Lamongan
Pondok Pesantren Nurul Bayan Lombok Utara
Pondok Pesantren Al-Ansar Ambon
Pondok Pesantren Wahdah Islamiyah Makassar
Pondok Pesantren Darul Aman Makassar
Pondok Pesantren Islam Amanah Poso
Pondok Pesantren Missi Islam Pusat Jakarta Utara
Pondok Pesantren Al-Muttaqin Cirebon
Pondok Pesantren Nurul Salam Ciamis
3
minallah, hablum minannas dan hablum minal ‘alam sebagai upaya antisipasi dari
pesantren kepada para santri, pengajar, dan masyarakat di sekitarnya.3
Perkembangan paham radikalisme di Indonesia sudah ada sejak pasca
kemerdekaan sampai reformasi. Kartosuwirjo dengan Darul Islam (DI)
mengatasnamakan gerakan politik atas dasar agama dan semua justifikasinya. Lalu
Komandan Jihad (KOMJI) pada tahun 1976 melakukan aksi dengan meledakkan
tempat ibadah dan peristiwa bom bali yang dikepalai oleh Nurdin M Top.4
Gerakan-gerakan radikalisme ini sering dikaitkan dengan sebuah lembaga
pendidikan yaitu pesantren. Pesantren yang dulunya merupakan lembaga pendidikan
yang turut memperjuangkan kemerdekaan, sekarang dianggap sebagai organisasi
yang radikal. Hal ini dipicu oleh aktor radikal yang pernah mengenyam pendidikan di
lembaga ini sehingga pesantren sering disudutkan, pesantren dianggap sebagai tempat
pendidikan bagi calon-calon teroris.5
Hal ini juga tidak terlepas dari peran media yang provokatif dalam
menyebarkan berita sehingga banyak masyarakat menilai bahwa pesantren
merupakan lembaga radikalis. Para media dalam menyajikan konten (terutama yang
berkaitan dengan radikalisme dan terorisme), lebih merujuk kepada ―siapa yang
melakukan apa‖ dan bukan ―mengapa dia melakukan apa‖. Konten provokatif
seakan-akan dibuat guna kepentingan rating dan tidak memperhatikan dampaknya
3 Abdul Halim, ―Pendidikan Pesantren dalam Menghadapi Tantangan Radikalisme‖ Jurnal
Agama, Vol. 8 Nomor (1 Maret 2017), hal.165. 4 M. Zaki Mubarak, Geneologi Islam Radikal di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2008), hal.23.
5 Nuhrison M. Nuh (ed.), Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010), hal.3. 6 Mohammad Kosim, ―Pesantren dan Wacana Radikalisme‖, Jurnal Karsa, Vol. (1 April
4
terhadap lembaga pesantren. Sebagian besar masyarakat lebih percaya kepada media
daripada akal sehatnya sendiri.
Tuduhan yang menyatakan pesantren sebagai berkembangnya paham radikal
datang dari negara. Negara menegaskan hal tersebut dengan mengawasi keberadaan
pesantren di tengah masyarakat. Hal ini mengacu pada pernyataan melalui Wakil
Presiden Republik Indonesia (RI) Muhammad Jusuf Kalla (JK) pada masa
pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang akan mengawasi
secara ketat kegiatan pesantren yang ada di Indonesia. Menurutnya, aksi terorisme
seperti bom bali tidak menutup kemungkinan bahwa pelakunya adalah alumni dari
pesantren yang ada di Indonesia.6
Isu yang berkembang mengenai hubungan pesantren dengan paham
radikalisme, merujuk pada dua kemungkinan. Pertama, pesantren-pesantren yang
terindikasi paham radikal mengambil kurikulum dari luar tanpa adanya proses
pengkajian yang benar dan dari negara yang menjadi sarang terorisme. Kedua, konsep
pengkajian ayat suci yang lebih mengandalkan pemikiran abstrak tanpa didukung
oleh bantuan guru dan kajian secara akademis, memiliki potensi kesalahpahaman
pada ayat tertentu. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa pemikir Timur Tengah
seperti Sayyid Qutb, Hasan Al-Banna dan yang lainnya.7
Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tentu memiliki peran sebagai
agen perubahan sosial karena pesantren berhubungan langsung dengan masyarakat.
6 Mohammad Kosim, ―Pesantren dan Wacana Radikalisme‖, Jurnal Karsa, Vol. (1 April
2006), hal.843. 7 Nuhrison M. Nuh, (ed.), Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya Damai, hal.3.
5
Pada beberapa waktu lalu, tanggal 12 Oktober 2002 terjadi peristiwa pemboman di
Bali yang menewaskan sekitar 204 orang. Pesantren yang memiliki tradisi
konvensional menjadi sorotan karena dinilai menyimpang dari tradisi keilmuan dan
pengembangan masyarakat. POLRI berhasil menyingkap pelaku aksi teror tersebut
yakni Imam Samudra, Abdul Rauf, Andri Octavia, Ali Gufron, Amrozi, Ali Imron
dan Utomo Pamungkas.8
Pemahaman agama dalam kasus terorisme diduga sangat berhubungan dengan
pengalaman para pelakunya ketika mempelajari Islam. Pesantren sebagai wadah
keilmuan Islam menjadi sorotan dari sebagian besar masyarakat setelah pelaku aksi
teror seperti yang terjadi di Bali pada tahun 2002 diketahui pernah belajar di
pesantren. Di daerah Jawa Timur setidaknya terdapat dua pesantren yang menjadi
sorotan, yaitu Pesantren Al-Islam dan Pesantren Muhammadiyah Karangasem. Kedua
pesantren ini letaknya di daerah Lamongan, Jawa Timur. Sorotan terhadap Pesantren
Muhammadiyah Karangasem karena disebabkan terdapat pelaku teror yang pernah
menimba ilmu di sana, yang bernama Ali Imron dan Ali Gufron.9
Pesantren lain yang juga mendapat sorotan adalah pesantren Al-Mukmin,
Ngruki, Solo yang didirikan oleh Sungkar, Abu Bakar Ba‘asyir, Abdullah Baraja,
Yoyo Rosywadi, Abdul Qohar H. Daeng Matase, dan Hasab Basri. Nama di awal,
Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba‘asyir dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah (JI)
dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang dibentuk 7 Agustus 2000 yang
8 Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hal.6.
9 Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hal.7.
6
berurusan dengan kasus terorisme. Abu Bakar Ba‘asyir dalam beberapa waktu lalu
sempat ada wacana untuk dibebaskan namun tidak jadi karena pembebasan bersyarat
yang diajukan tidak bisa dipenuhi yaitu setia pada Pancasila dan lebih memilih setia
terhadap Islam.10
Pada masa pemerintahan Orde Baru, Presiden Soeharto menjadikan pancasila
sebagai satu-satunya asas way of life, yaitu suatu doktrin yang sulit dimengerti dan
diterima, tidak hanya oleh penduduk Pesantren Al-Mukmin Ngruki tetapi juga oleh
sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pesantren Al-Mukmin Ngruki merupakan
satu-satunya pesantren yang berani bersuara menentang doktrin tersebut. Doktrin asas
tunggal pancasila dibuat oleh pemerintah dengan alasan untuk menekan penyebaran
ideologi-ideologi yang menyimpang. Oleh karenanya kecurigaan itu terjadi dan
muncul isu yang beredar di luar lingkungan pondok pesantren Al-Mukmin Ngruki,
yang menyatakan bahwa pesantren ini bersifat anti pemerintah, radikal, dan
sebagainya.11
Faktanya tidak semua hal itu benar, semua latar belakang yang seolah-olah
mendiskreditkan pesantren sebagai lembaga pendidikan tidak semuanya benar.
Terdapat pesantren yang secara terang-terangan menolak paham radikalisme. Aksi
terorisme yang mengatasnamakan lembaga pendidikan Islam tersebut hanya menjadi
dalih dari para teroris yang salah dalam mengamalkan ajaran Islam.
10
Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hal.8. 11
Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hal.12.
7
Azyumardi Azra pernah mengatakan bahwasanya pesantren itu bukan
merupakan wadah teroris. Beliau mengatakan hal tersebut setelah peristiwa 9/11
September sehingga pesantren mendapatkan banyak sorotan dan dinilai menjadi cikal
bakal maraknya kelompok teroris. Isu mengenai alumni dari Timur Tengah (Timteng)
menjadi alasan penyebab pesantren dituduh seperti demikian. Dugaan tersebut tidak
benar karena alumni Timteng sudah ada sejak abad ke-19 mereka datang dari kota
Makkah, Madinah, dan Kairo. Tidak ada satupun yang radikalis, bila memang ada,
pesantren tersebut menganut paham literal yang berujung pada pola pikir yang
radikal.12
Pesantren Ngruki yang dipimpin oleh Abu Bakar Ba‘asyir (orang yang keras
dan terlibat dalam peristiwa pemboman), karena terdapat faktor lain yaitu faktor yang
dimiliki oleh Abu Bakar Ba‘asyir dan koleganya selain dari faktor lingkungan
pesantren. Pesantren Ngruki dalam kesehariannya tidak mengajarkan untuk berbuat
kekerasan bahkan dalam kurikulum pesantren pun tidak ada penanaman kebencian
terhadap orang kafir dan perintah untuk melakukan jihad melalui kekerasan. Faktor
yang memicu seseorang menjadi radikalis tidak hanya karena menjadi alumni dari
pesantren, melainkan beberapa faktor lain yang terjadi ketika dia lulus dari
pesantren.13
Pesantren berperan dalam memperjuangkan bangsa ini. Pesantren muncul
sebagai suatu ajaran dan konsep alternatif dari macetnya norma sosial yang
12
Badrus Soleh, Budaya Damai Komunitas Pesantren, (Jakarta: LP3ES Indonesia, 2007)
hal.151. 13
Badrus Soleh, Budaya Damai Komunitas Pesantren. hal.152.
8
mengakibatkan moral serta sikap masyarakat menjadi semakin terdegradasi.
Pesantren berfungsi untuk menyebarkan dan menanamkan nilai-nilai Islam sebagai
lemaga pencetak penerus bangsa yang berkarakter religius untuk kemajuan bangsa itu
sendiri. Dengan demikian, anggapan mengenai pesantren sebagai pencetak lembaga
teroris serta penyebar paham radikalisme dan terorisme (seperti sebuah anggapan
yang berkembang pada saat ini) sebenarnya merupakan tindakan yang gegabah dan
berlawanan dengan nilai-nilai dan tradisi sebenarnya yang berkembang di pesantren.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti ingin mengetahui peran pesantren
dalam mencegah paham radikalisme di kalangan santri dan warga pesantren. Studi
penelitian ini diambil di Pondok Pesantren Al-Hamid Kelurahan Cilangkap,
Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Pertama, dilihat dari keberagaman suku dan
budaya di Jakarta yang menjadi tempat berbagai suku bercampur di sini. Kedua,
ajaran dari pesantren yang menekankan nilai toleransi dan keberagaman di kalangan
santri.14
Ketiga, pesantren Al-Hamid didirikan oleh K.H. Ahmad Dzazuli Ustman
yang merupakan lulusan dari pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Pesantren
Tebuireng didirikan oleh K.H. Hasyim Asy‘ari sekaligus pendiri organisasi besar
Nahdlatul Ulama (NU) dalam aktivitas keagamaanya mengajarkan nilai-nilai Islam
yang moderat dan gencar memerangi radikalisme. Secara historis, ajaran moderat
mengenai pemahaman Islam tumbuh di lingkungan pesantren Al-Hamid.
14
Youtube.com, dari https://www.youtube.com ―Liputan Metro TV di Pesantren Al-hamid
Cilangkap‖ diakses pada 15 oktober 2019.
9
Dalam kurikulumnya, pesantren Al-Hamid mengambil konsep penggabungan
antara konsep tradisional (Arab pengon dan kitab kuning) dan modern (kurikulum
nasional). Tujuannya adalah untuk memadukan nilai-nilai tradisional (salafi) yang
sudah turun-temurun dan dapat dipelajari sesuai dengan perkembangan zaman.
Tujuan lainnya juga bisa sebagai antitesis dari pemahaman radikal dan
fundamentalisme agama dengan memadukannya dengan konsep modernitas, dari
skriptual menjadi kajian yang lebih akademis. Maka dari itu peneliti memutuskan
untuk membuat penelitian yang berjudul ―Strategi Pondok Pesantren Al-Hamid
Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung Jakarta Timur dalam Mencegah Paham
Radikalisme‖.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti merumuskan pertanyaan masalah
sebagai berikut guna menelaah peran pesantren Al-Hamid dalam mencegah
radikalisme:
1. Bagaimana langkah-langkah pesantren Al-Hamid dalam mencegah paham
radikalisme?
C. Tujuan dan manfaat penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melihat hasil dari
penelitian mengenai peran pesantren Al-Hamid dalam mencegah paham radikalisme.
Hasil penelitian ini bisa dikembangkan dan dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
terlibat, khususnya dalam upaya mencegah paham radikalisme di pesantren:
10
1. Untuk menggambarkan langkah-langkah pesantren Al-Hamid dalam
mencegah masuknya radikalisme. Manfaat yang bisa didapatkan dalam
penelitian ini:
1. Manfaat Akademis
Dapat menambah informasi mengenai ruang lingkup pesantren dalam
mencegah radikalisme dan mengetahui tradisi pesantren dalam
mengembangkan kurikulum dan ajarannya.
2. Manfaat bagi Pemerintah dan Masyarakat
Dapat meninjau bagaimana proses radikalisme yang menyasar lembaga-
lembaga pendidikan serta sebagai pendeskripsian bahwa lembaga
pendidikan tidak semuanya terindikasi radikal, justru ada yang moderat.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian ini mengacu kepada beberapa literatur yang penulis jadikan sebagai
bahan rujukan dan tinjauan pustaka yang bertujuan untuk menemukan sisi menarik
atau bahkan sisi lain dan kegunaan dari penelitian ini. Beberapa tinjauan pustaka
tersebut di antaranya:
Pertama, karya Thohir, Fauzi dan Jamil.15
Penelitian ini berlatar di kota
Surakarta. Surakarta menjadi pemasok teroris terbanyak di Jawa Barat. Penelitian ini
berfokus mengungkapkan radikalisme dan kontra radikalisme sebagai fenomena
sosial. Pertimbangan utama memilih Surakarta adalah wacana dan praktis tentang
15
Thohir, Fauzi dan Jamil ―Dialektika Radikalisme dan Anti- Radikalisme di Pesantren‖
Jurnal Agama, Volume 23, Nomor 1, (Mei 2015), hal.28-29.
11
gerakan radikalisme Islam sangat kuat ditujukan pada wilayah ini. Beberapa
organisasi kemasyarakatan ada juga yang berpaham radikal dan secara terang-
terangan menyebarluaskan paham radikalnya di tengah masyarakat.
Masalah utama yang menjadi perhatian peneliti yaitu pada kehidupan dan
tradisi pesantren dalam proses mencegah paham radikalisme. Penelitian ini ingin
melihat bagaimana manajemen pesantren dalam mengelola rumah tangganya dalam
mengelola kurikulum, budaya, dan nilai-nilai yang menolak paham radikalisme. Hasil
temuan dalam penelitian ini adalah warga pesantren secara tegas menolak bahkan
mendukung upaya perlawanan terhadap paham, radikalisme dan menjadi antitesis
dari isu yang beredar di masyarakat mengenai pesantren.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penjelasan deskriptif
dan mengambil studi kasus. Aspek utama yang dijadikan objek penelitian adalah
elemen pesantren seperti Kiai, Ustaz, santri, dan pimpinan pesantren. Penelitian ini
diambil di pondok pesantren modern Islam As-salaam dan pondok pesantren Al-
Muayyad di Surakarta. Selanjutnya, pesantren merepresentasi modernitas dan
tradisionalisme dengan tujuan mengembangkan daya pikir santri menggunakan teknik
―pembandingan‖ agar tidak terjebak dalam pemahaman konservatif. Teknik
pengumpulan datanya dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, dan
dokumentasi, dengan teknik analisis data bersifat interaktif.
12
Kedua, karya Ahmad Asrori.16
Penelitian ini membahas mengenai sejarah dan
proses terbentuknya peristiwa akar radikalisme muncul di Indonesia berkembang
menjadi berbagai macam cabang. Penelitian ini menemukan tiga faktor yang
membuat radikalisme muncul yaitu perkembangan di tingkat global, penyebaran
paham wahabisme, dan kemiskinan. Pengaruh pertama, dalam tatanan global
masyarakat dunia, terutama di negara-negara Timur Tengah yang sedang bergejolak
sehingga ingin menyebarluaskan pemahamannya ke penjuru dunia. Kedua, aliran
wahabisme yang secara sah bahkan dianjurkan mengkafirkan serta memusuhi orang
yang dianggap kafir jika tidak sesuai dengan mereka, dan terakhir kemiskinan.
Kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang yang tertutup aksesnya dan bisa secara
mudah dipengaruhi langsung dengan iming-iming ganjaran materi dan kehidupan
yang lebih baik di akhirat.
Latar belakang penelitian ini adalah bagaimana proses masuknya Islam
sebagai agama yang damai, kemudian membentuk berbagai macam cabang aliran dan
terjebak dalam kefanatikan hingga bertindak radikal serta melakukan aksi terorisme.
Kemunculan paham radikalisme di Indonesia mengalami peningkatan sejak peristiwa
bom Bali I di tahun 2002, hingga kemarin di tahun 2018 peristiwa beberapa gereja di
Surabaya dibom oleh oknum yang mengatasnamakan Islam. Dalam penelitian ini
dikemukakan bagaimana seharusnya peran pemerintah yang seharusnya secara aktif
mengawasi gerak-gerik warga yang mengarah ke jalur radikal. Pengawasan terhadap
16
Ahmad Asrori ―Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas ―Kalam:
Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2, (Desember 2015), hal.254-257.
13
media sebagai jalur penyebar informasi juga harus diperketat guna menghindari
masuknya paham radikal yang tersirat dari media. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan melakukan observasi. Proses pengumpulan datanya
dilakukan dengan dokumentasi dan membaca literatur sebelumnya.
Ketiga, karya Zaini Tamin AR.17
Penelitian ini menjelaskan tentang pesantren
dan politik dalam ranah kepemimpinan. Kiai sebagai pemimpin pesantren dapat
menjadi nakhoda yang menentukan arah perkembangan pesantren. Kiai sebagai
kepala pemerintahan dalam lingkup pesantren, memiliki andil yang besar dalam
membentuk kebudayaan pesantren. Hal ini dilandasi oleh hubungan yang teramat
dekat antara Kiai sebagai patron dengan santri serta pengharapan berkah dari santri.
Dalam penelitian ini direfleksikan dalam pribadi K.H. Hasyim Ashari yang tak hanya
di pesantren, bahkan ajaran beliau meluas ke berbagai pelosok komunitas keagamaan
Islam sebagai panutan dan model percontohan. Dalam karyanya, beliau menegaskan
bahwa ilmu kepemimpinan itu penting guna membentuk suatu peradaban yang
progresif juga evolusioner serta mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan mencari sumber data melalui
dokumentasi buku-buku karya K.H Hasyim Ashari.
17
Zaini Tamin R ―Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dalam pandangan K.H
Hasyim Asy‘ari)‖ Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 3 Nomor 2 (November 2015), hal.324-
345.
14
Keempat, karya Masrur Ridwan.18
Penelitian ini menjelaskan peran pesantren
dalam memerangi paham radikal yang mengatasnamakan jihad. Jihad hanya dimaknai
sebatas perang melawan orang kafir tanpa memperdulikan batas-batas kemanusiaan.
Pencegahan paham radikal melalui pendidikan agama Islam yang ada di pesantren
untuk meningkatkan keimanan, pemahaman, penghayatan dan pengalaman santri
tentang agama Islam untuk menciptakan akhlak yang baik dan bertakwa kepada Allah
SWT.
Penelitian ini berfokus pada bentuk usaha dengan menyangkal paham
radikalisme melalui jihad. Bentuk-bentuk jihad itu sendiri dari jihad duniawi
meliputi; harta benda, jihad dengan ilmu pengetahuan, jihad melawan hawa nafsu,
dan jihad dengan jalan dakwah. Konsep jihad tersebut disampaikan melalui ceramah
secara umum, kegiatan diskusi dengan para pengurus, serta melalui kegiatan
pembelajaran. Proses pembelajaran juga dipadukan dengan pemahaman modern
dengan rasionalitas guna mencegah santri mengarah pada tindakan radikal. Penelitian
ini menggunakan metode kualitatif dan objeknya adalah pesantren Al-Luqmaniyyah,
Yogyakarta. Proses pengumpulan data dilakukan dengan dokumentasi, wawancara,
dan pengamatan. Analisis data dilakukan dengan memberikan makna pada data yang
sudah dikumpulkan dan menjadi data mentah, lalu ditarik kesimpulan atas analisis
tersebut.
18
Masrur Ridwan, ―Upaya Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta dalam menanamkan
konsep jihad untuk menyangkal potensi terorisme‖ (Skripsi Program Studi Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan, Yogyakarta, 2016), hal.125.
15
Kelima karya Mukodi.19
Penelitian ini mengamati cara pondok pesantren
Tremas yang aktif memerangi radikalisme dengan program deradikalisasi agamanya.
Proses masuknya paham radikalisme di berbagai pesantren di nusantara yang
membuat citra pesantren menjadi tercemar membuat pondok pesantren Tremas
berbenah dan melakukan counter dengan wacana deradikalisasi. Dalam penelitian ini
ditemukan cara pondok pesantren Tremas melakukan upaya deradikalisasi melalui
pembangunan budaya serta nilai-nilai pesantren yang menolak secara tegas paham
radikalisme baik dalam perihal sosial, politik, dan ekonomi.
Dengan menggunakan pendekatan kualitatif, dan metode fenomenologi,
proses pengumpulan datanya dilakukan dengan observasi dan wawancara kepada
pimpinan pondok pesantren yaitu Tremas K.H. Fuad Habib serta menelusuri beberapa
literatur dan sejarah pondok pesantren Tremas dalam upayanya menyangkal paham
radikalisme.
E. Kerangka Teoritis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori radikalisme dan toleransi
politik. Teori ini cocok untuk menjelaskan permasalahan karena dianggap sesuai dan
dapat menjawab penelitian ini.
1. Teori Radikalisme
Istilah radikalisme berarti suatu ideologi yang menggerakkan seseorang dalam
melakukan suatu aksinya. Radikalisme adalah suatu gerakan konservatif dan
19
Mukodi, ―Peran Pesantren dan Upaya Deradikalisasi Agama‖ Jurnal Pendidikan Islam
Volume 23, Nomor 1, (Mei 2015), hal.90-95.
16
fundamentalis. Gerakan ini menginginkan perubahan yang pasti dan tanpa
mengindahkan proses diplomasi. Islam sebagai budaya yang damai dan bertolak
belakang dengan paham radikalisme yang ―keras‖ maka tidak mungkin Islam
melatarbelakangi orang-orang radikal. Islam dalam proses penyebaran agamanya pun
tidak dianjurkan melalui jalur kekerasan apalagi memaksa. Gerakan radikal yang
selama ini terjadi adalah bentuk kekecewaan terhadap urusan-urusan publik yang
disebabkan karena tidak terakomodirnya kepentingan suatu pihak.20
Radikalisme merupakan paham yang menghendaki adanya perubahan secara
mendasar hingga ke akar-akarnya. Penganut paham ini menganggap bahwa tindakan
yang mereka lakukan adalah sebuah pembenaran. Hal ini dipicu dari pemahaman
sempit dalam beragama, serta kondisi sosial dalam masyarakat yang penuh dengan
kesenjangan, ketidakadilan, dan penindasan.21
Radikalisme merupakan sebuah gerakan alternatif di mana dalam kehidupan
sosio-politik yang sudah tidak bersahabat. Paham ini mulai berkembang dalam
pemikiran manusia karena kurangnya fondasi tentang pemahaman suatu ajaran
tertentu. Tindakan radikal biasanya dilakukan oleh orang-orang yang terasingkan dan
merasakan ketidakadilan. Protes yang mereka lakukan tidak melalui jalur-jalur
konstitusional melainkan jalur cepat seperti kekerasan.
20
Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Radikalisme Agama di Jabodetabek & Jawa
Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, 2010), hal.19. 21
Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hal.
117.
17
Radikalisme secara bahasa berbeda dengan terorisme. Gerakan radikalisme
yang mengarah pada terorisme salah satunya disebabkan melalui dogma agama yang
dipahami secara tekstual masuk kedalam pemikiran dan menjadi ideologi bagi
terorisme. Ada beberapa contoh surat yang apabila hanya diartikan secara tekstual
akan berakhir dalam gerakan radikal. Di sini penulis hanya mengambil satu surat
yaitu perintah untuk memerangi orang-orang yang tidak beriman:
―Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian, mereka yang tidak mengharamkan apa yang telah
diharamkan Allah dan rasul-Nya, dan mereka yang tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah) yang telah diberikan kitab,
hingga mereka membayar jizyah (pajak) dengan patuh, sedang mereka
dalam keadaan tunduk.‖22
Dari kutipan ayat di atas apabila dilandaskan terhadap pemahaman tekstual,
akan cenderung berakhir pada pola pikir dan gerakan radikal yang mengarah kepada
terorisme. Mengapa demikian, karena seakan-akan agama membenarkan kepada
seluruh umat untuk memerangi orang yang dianggap kafir, tanpa interpretasi lanjut
dan melihat moralitas dari sisi kemanusiaan.23
Akar radikalisme dapat dilihat salah satunya melalui pemahaman tekstual dan
normatif dari pembacanya. Namun, Lewis berpendapat bahwa sumber doktrinal
harus dipahami bukan hanya dari pesan normatif, tetapi juga konteks sejarahnya.
Penekanan pada konteks sejarah yang khusus sangat meyakinkan masyarakat karena
22
(Q.S. at-Taubah: 29). 23 M. Saekan Muchith, ―Radikalisme dalam Dunia Pendidikan‖ Jurnal Pendidikan STAIN
Vol. 10, No. 1, (Februari 2016), hal.171-172.
18
banyak juga sumber doktrinal lain yang menganjurkan toleransi terhadap umat non-
Muslim misalnya seperti:24
―Sesungguhnya orang-orang Mukmin (kaum Muslim), orang-
orang yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi‘in, siapa saja
di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak pula
bersedih hati‖ (QS. Al- Baqarah [2]: 62)
Penggalan ayat ini dan beberapa ayat lain menunjukkan bahwa Islam bersifat
Inklusif terhadap kaum Yahudi dan Nasrani, dan Ayat-ayat tersebut dapat menjadi
sumber doktrinal dalam toleransi beragama. Toleransi dan intoleransi umat Islam
bersifat historis. Namun demikian, bila sejarah telah menciptakan memori bersama
tentang perasaan yang terancam dan memori tersebut diperkuat kembali oleh
berbagai pengalaman pahit, intoleransi keagamaan kemungkinan akan tetap ada.
Kemudian muncul persepsi bahwa sebuah agama pada dasarnya tidak toleran, yang
dapat menyebabkan konflik antar-agama, seperti Huntington yang percaya bahwa
agama Islam dan Kristen adalah agama yang tidak toleran.25
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini meliputi:
1. Jenis Penelitian
24
Saiful Mujani, ―Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru” (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007), hal.159. 25
Saiful Mujani, ―Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca-Orde Baru”, hal.161.
19
Jenis penelitian menggunakan metode Kualitatif.26
Dalam penelitian ini, ruang
lingkup yang dikaji adalah kehidupan masyarakat pesantren terutama dalam
menyangkal paham radikalisme. Objek penelitian ini adalah pesantren Al-Hamid
Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Teknik pengambilan data dari penelitian ini menggunakan wawancara
terhadap narasumber dan observasi. Untuk data sekunder, dijelaskan secara deskriptif
dengan mencari literatur dari buku, jurnal, tesis, skripsi, dan media Internet yang
sesuai dengan tema dalam mempermudah untuk membedah dan mengupas penelitian
tersebut.27
Untuk data primer, didapat dari wawancara dengan elemen-elemen
pesantren (Kiai, ustaz, pimpinan pesantren, santri) dalam data mentah, kemudian
dianalisis menjadi data yang sudah diolah.
2. Teknik Pengumpulan Data
A. Wawancara
Wawancara adalah proses tatap muka dengan responden dan jawaban
responden tersebut akan menjadi data mentah. Pewawancara akan bertanya mengenai
topik yang ditentukan kepada narasumber. 28
Wawancara yang dilakukan peneliti
dalam skripsi ini adalah sesi tanya jawab terhadap elemen-elemen pesantren (Kiai,
Ustaz, Santri, Pimpinan Pesantren) Al-Hamid. Pertanyaan berfokus mengenai
26
David Marsh dan Gerry Stoker, Teori dan Metode dalam Ilmu Politik, (Bandung: Nusa
Media, Cet II 2011), hal.240. 27
Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2009), hal.90. 28
Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik., hal.104.
20
langkah dan kiat dari pesantren dalam mencegah paham radikalisme dan toleransi
politik.
B. Dokumentasi
Proses pengumpulan data yang dilakukan penulis dengan mempelajari dan
memilih yang sesuai dengan tema dari sumber literatur seperti buku, jurnal, internet
dan skripsi, dan sebagainya yang berkaitan dengan objek yang sedang diteliti.
3. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
deskriptif. Teknik ini digunakan untuk mengamati permasalahan secara sistematis
dan akurat mengenai fakta dan sifat objek tertentu. Penelitian deskriptif menyajikan s
gambaran yang terperinci tentang keadaan khusus, setting sosial, atau hubungan.29
Data yang didapat dari berbagai sumber dihubungkan dengan tema penelitian dan
menjelaskan dari tiap-tiap data perbedaannya. Setelah data dideskripsi, peneliti akan
menganalisis dengan tema yang dipakai.
Hasil wawancara dan observasi yang sebelumnya didapatkan masih berupa
data mentah, jadi harus melalui pengujian serta pengeditan. Dalam penelitian
kualitatif, data tetap berupa deskriptif dalam bentuk teks, tidak memakai angka
maupun statistik dalam penjelasannya dan sebagai wadah dalam menganalisa data.
Data mentah dari penelitian ini adalah hasil wawancara dengan elemen pesanten
(Kiai, Ustaz, Santri dan Pimpinan Pesantren) lalu dianalisis menggunakan teori dan
29
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT Refika Aditama, 2010), hal.27.
21
hasilnya akan terlihat bagaimana peran pesantren Al-Hamid dalam mencegah paham
radikalisme.
G. Sistematika Penulisan
Dalam rangka penguraian masalah, peneliti mengkategorikan masalah
tersebut menjadi lima bagian, yakni:
Bab I, dalam bab ini dimulai dari pendahuluan yang di dalamnya memaparkan
pernyataan masalah yang diteliti, pertanyaan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, teknik pengumpulan data dengan
menggunakan wawancara dan observasi, serta teknik analisis menggunakan data
deskriptif. Penelitian ini menjelaskan teori dengan judul peran pesantren dalam
mencegah radikalisme. Ruang lingkup penelitian berfokus pada salah satu pesantren
di Jakarta yaitu Pesantren Al-Hamid Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung,
Jakarta Timur.
Bab II, dalam bab ini menjelaskan kerangka teori yang dipakai dalam
penelitian ini. Teori ini digunakan untuk melihat permasalahan agar dapat dianalisis
dan dijadikan bahan penelitian. Teori yang dipakai dalam menjelaskan permasalahan
adalah radikalisme dan toleransi politik.
Bab III, dalam bab ini menjelaskan mengenai profil dari objek penelitian.
Dalam penelitian ini objeknya adalah pesantren Al-Hamid. Di dalamnya terdapat
elemen-elemen pesantren, tradisi pesantren, budaya politik pesantren, hal-hal yang
22
terkait dengan masalah pencegahan paham Radikal masuk ke Pesantren Al-Hamid
Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Bab IV, dalam bab ini penulis menganalisis mengenai permasalahan
penelitian. Peneliti memasukan semua data mulai dari faktor-faktor serta pertanyaan
masalah yang kemudian dianalisis dan mendapat jawaban berupa strategi pesantren
Al-Hamid dalam mencegah paham radikalisme.
Bab V dalam bab ini, adalah sebagai akhir dari penelitian, isinya berupa
kesimpulan dari penelitian dan hasil dari penelitian yang sudah dilakukan mengenai
strategi pesantren Al-Hamid dalam mencegah radikalisme. Dalam bab ini juga
terdapat saran dan masukan dari penulis untuk rujukan penelitian.
23
BAB II
KERANGKA TEORETIS DAN KONSEPTUAL
Berdasarkan pemaparan pada Bab I, terdapat pertanyaan penelitian yang
menjadi rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana langkah pesantren Al-
Hamid dalam mencegah paham radikalisme. Penulis menggunakan teori radikalisme
untuk menjadi pembedah dalam menganalisis dan mendapatkan kesimpulan dari
penelitian ini. Teori radikalisme ideal karena dapat melihat penyebab seseorang
menjadi radikal yang berujung pada tindakan terorisme.
Sebelum masuk kedalam teori radikalisme, penulis terlebih dahulu
menjabarkan mengenai pengertian pesantren, karena objek dalam penelitian ini
adalah lingkungan pesantren.
A. Pengertian Pesantren
kata pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan an yang berarti
tempat tinggal santri. Soegarda Poerbakawatja menjelaskan asal katanya santri, yaitu
orang yang belajar agama Islam, sehingga disimpulkan pesantren adalah tempat
berkumpul orang untuk belajar agama Islam. Manfred Ziemek menyebut bahwa asal
etimologi pesantren adalah pesantren yang berarti ―tempat santri‖. Santri atau murid
mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (Kiai) dan oleh para guru (ulama atau
Ustaz). Kurikulum yang dianut meliputi bidang tentang pengetahuan Islam.30
30
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
indonesia, (Jakarta, Kencana: 2009), hal.61.
24
Imam Zarkasyi, secara definitif mengartikan pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dengan sistem asrama atau pondok, di mana kyai sebagai figur
pusatnya, masjid sebagai pusat kegiatan keagamaan, dan pengajaran agama Islam
dibawah bimbingan kyai dan ustaz yang diikuti santri sebagai kegiatan utamanya.31
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia dimana kajian
dan kurikulumnya difokuskan dalam pendalaman ilmu agama Islam. Dalam
kegiatannya, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang bukan sekedar tempat
menginap santri. Keberadaan pesantren sebagai suatu tatanan sistem mempunyai
unsur yang saling berkaitan. Pesantren sebagai sebuah lembaga memiliki banyak
sumber daya pendidikan guna mencapai tujuan, baik bersifat individu maupun
kelembagaan. Dalam mencapai tujuannya, berlaku ketentuan yang mengatur
hubungan unsur yang satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, pesantren di
samping menjadi satuan pendidikan yang mengkaji ilmu agama, juga menjadi
organisasi pembelajaran yang membutuhkan pengelolaan sumber daya pendidikan
termasuk sumber daya belajar.32
31
Amir Hamzah Wirosukarto,et.al., KH. Imam Zarkasyi dari Gontor Merintis Pesantren
Modern, (Ponorogo: Gontor Press, 1996), hal.5. 32
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 45.
25
B. Elemen-elemen Pesantren
Dalam menjalankan kegiatan pesantren, terdapat beberapa stekholder yang
disebut sebagai elemen-elemen pesantren yakni: pondok, masjid, pengajian kitab-
kitab Islam klasik, santri, dan Kiai.33
1. Pondok
Istilah pondok berasal dari bahasa Arab Funduq yang berarti hotel, tempat
bermalam. Istilah pondok diartikan juga sebagai asrama. Dapat diartikan
bahwa pondok berarti tempat tinggal. Sebuah pesantren mesti memiliki
asrama tempat tinggal santri dan Kiai. Dari tempat tersebut, akan terjalin
komunikasi diantara Kiai dan santri. Dalam kehidupan dipondok, santri
belajar untuk mentaati segala peraturan yang sudah ditetapkan dan
dilaksanakan oleh para santri. Ada waktu belajar, shalat, makan, tidur,
mengaji, bahkan ada yang menjaga malam (ronda). Ada beberapa alasan
mengapa pondok menjadi penting, yaitu: Pertama, latar belakang santri yang
berasal dari berbagai daerah menuntut ilmu kepada Kiai yang termashyur
keahliannya. Kedua, pesantren-pesantren terletak di desa-desa di mana tidak
tersedia rumah untuk menampung para santri yang berdatangan dari luar
daerah. Ketiga, ada sikap timbal balik antara hubungan Kiai dan santri yang
dimana santri menjadikan Kiai sebagai orang tuanya sendiri.
33
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
indonesia, hal.62-65.
26
2. Masjid
Masjid secara harfiah adalah tempat sujud karena ditempat ini orang muslim
setidak-tidaknya lima kali dalam sehari melaksanakan shalat. Fungsi masjid
bukan hanya sekedar untuk shalat, bisa untuk sarana pendidikan, kegiatan
masyarakat dan lain-lain. Suatu pesantren mutlak memiliki masjid, sebab di
situlah akan dilangsungkannya proses pendidikan dalam bentuk komunikasi
mengajar belajar santri dan Kiai.
3. Pengajian Kitab-kitab Islam
Kitab-kitab Islam biasa disebut dengan sebutan ―kitab kuning‖. Kitab-kitab
ini ditulis oleh ulama-ulama Islam pada zaman pertengahan. Kecakapan
santri dilihat dari bagaimana dia bisa memahami dan menjelaskan isi dari
kitab-kitab tersebut. Untuk memahami kitab-kitab klasik, seorang santri
dituntut harus menguasai ilmu-ilmu bantu seperti nahu, syaraf, balaghah,
ma‘ani, bayan, dan sebagainya. Kitab-kitab klasik yang diajarkan di
pesantren terbagi menjadi delapan kelompok: Nahu/saraf, fikih, ushul fikih,
hadis, tafsir, tasawuf dan etika, serta cabangnya meliputi tarikh dan
balaghah.
4. Santri
Pengertian santri adalah siswa yang belajar di pesantren, santripun dibagi jadi
dua kelompok yaitu santri mukim dan santri kalong. Pertama, santri mukim
adalah mereka yang berdatangan dari tempat yang jauh yang tidak
memungkinkan untuk tinggal di rumahnya, maka dia mondok di pesantren.
27
Kedua, santri kalong adalah siswa-siswi yang rumahnya dekat dengan
lingkungan pesantren sehingga dapat pulang kerumahnya dan tidak harus
menginap di pondok. Pada pesantren tradisional, lamanya santri bermukim
ditentukan dari kitab yang dibaca, bukan dari tahun dan kelas. Kitab-kitab
memiliki strata dalam membacanya seperti bersifat dasar hingga kitab-kitab
besar, semakin tinggi kitab-kitab tersebut semakin sulit juga untuk dipahami
isinya.
5. Kiai
Kiai adalah tokoh utama dalam satu pesantren, kehidupan rumah tangga
pesantren ditentukan oleh kebijaksanaan Kiai dalam memimpin suatu pondok
pesantren. Menurut Nurhayati Djamas mengatakan bahwa ―kyai adalah
sebutan untuk tokoh ulama atau tokoh yang memimpin pondok pesantren‖.34
Sebutan kyai sangat populer digunakan di kalangan komunitas santri. Kyai
merupakan elemen sentral dalam kehidupan pesantren, tidak saja karena kyai
yang menjadi penyangga utama kelangsungan sistem pendidikan di
pesantren, tetapi juga karena sosok kyai merupakan cerminan dari nilai yang
hidup di lingkungan komunitas santri. Kedudukan dan pengaruh kyai terletak
pada keutamaan yang dimiliki pribadi kyai, yaitu penguasaan dan kedalaman
ilmu agama, kesalehan yang tercermin dalam sikap dan perilakunya sehari-
hari yang sekaligus mencerminkan nilai-nilai yang hidup dan menjadi ciri
34
Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca kemerdekaan (Jakarta:
PT RajaGrafinda Persada, 2008), hal.55.
28
dari pesantren seperti ikhlas, tawadhu`, dan orientasi kepada kehidupan
ukhrowi untuk mencapai riyadhah. Dalam perkembangannya, gelar Kiai juga
bisa disematkan kepada ulama yang sangat disegani oleh masyarakat tanpa
harus mempunyai pesantren.
C. Pola-pola Pesantren
Pesantren-pesantren di berbagai daerah, dapat dipolakan secara garis besar
kepada dua pola. Pertama secara bangunan fisik, kedua berdasarkan kurikulum.
Berdasarkan bangunan fisik, dapat dilihat dalam tabel berikut:35
Tabel III.C berikut menujukan pola pesantren secara bangunan fisik
POLA 1 Keterangan
Masjid, rumah Kiai.
Pesantren ini bersifat sederhana, dimana
Kiai menggunakan masjid atau
rumahnya sendiri untuk kegiatan belajar
mengajar. Dalam hal ini, santri hanya
datang dari daerah sekitar namun
mereka sudah belajar ilmu agama secara
berkelanjutan. Metode pengajaran:
Wetonan dan Sorongan.
POLA II Keterangan
Masjid, Rumah Kiai, Pondok.
Dalam pola ini pesantren memiliki
pondok atau asrama yang disediakan
bagi para santri yang datang dari daerah.
Metode pengajaran: Wetonan dan
Sorongan.
POLA III Keterangan
Masjid, Rumah Kiai, Pondok,
Madrasah.
Pesantren ini memakai sistem klasikal,
di mana santri yang mondok dapat
pendidikan di madrasah. Ada kalanya
35
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
indonesia, hal.65-67.
29
murid madrasah itu datang dari daerah
sekitar pesantren itu sendiri. Di samping
pengajaran klasikal, wetonan juga
dilakukan oleh Kiai
POLA IV Keterangan
Masjid, Rumah Kiai, Pondok,
Madrasah, Tempat Keterampilan.
Dalam pola ini di samping ada
madrasah sebagai sekolah formal,
pesantren ini memiliki tempat-tempat
keterampilan seperti: peternakan,
pertanian, kerajinan rakyat, toko
koperasi, dan sebagainya.
POLA V Keterangan
Masjid, Rumah Kiai, Pondok,
Madrasah, Tempat Keterampilan,
Universitas, Gedung Pertemuan,
Sarana Olahraga, Sekolah Umum.
Pola ini menujukan pesantren yang
sudah berkembang dan digolongkan
dalam pesantren mandiri. Pesantren
seperti ini memiliki perpustakaan, dapur
umum, ruang makan, kantor
administrasi, toko, rumah penginapan
tamu, dan sebagainya.
Sedangkan pembagian pola pesantren berdasarkan kurikulumnya dapat
dipolakan menjadi 5 pola yakni:
Pola I, materi pelajaran yang dikemukakan di pesantren ini adalah mata
pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Metode penyampaiannya
wetonan dan sorogan, tidak memakai sistem klasikal. Santri dinilai dan diukur
berdasarkan kitab yang mereka baca. Mata pelajaran umum tidak diajarkan dan tidak
mementingkan ijazah sebagai alat pencari kerja. Hal terpenting di sini adalah
pemahaman terhadap kitab-kitab klasik untuk memperdalam ilmu agama Islam.
Pola II, pola ini hampir sama dengan Pola I, hanya perbedaannya terletak
pada proses belajar mengajarnya, di sini diajarkan secara klasikal dan non-klasikal.
Di sini juga diajarkan keterampilan dan pendidikan berorganisasi. Pada tingkat
30
tertentu diberikan pengajaran mengenai pengetahuan umum. Santri dibagi jenjang
pendidikan mulai dari tingkat ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah. Metode: wetonan,
sorogan, hafalan dan musyawarah.
Pola III, pada pola ini materi pelajaran telah dilengkapi dengan mata
pelajaran umum, dan ditambah pula dengan memberikan aneka macam pendidikan
lainnya, seperti keterampilan, kepramukaan, olahraga, kesenian, dan pendidikan
berorganisasi. Beberapa diantaranya sudah melakukan pengembangan di dalam
masyarakat.
Pola IV, pola ini menitikberatkan pelajaran keterampilan di samping
pelajaran agama. Keterampilan ditujukan untuk bekal kehidupan bagi seorang santri
setelah tamat dari pesantren ini. Keterampilan yang diajarkan berupa peternakan,
pertanian, dan pertukangan.
Pola V, pada pola ini materi yang diajarkan di pesantren adalah sebagai
berikut: pengajaran kitab-kitab klasik, madrasah, keterampilan umum, sekolah umum
(madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah, madrasah aliyah) dengan memadukan
kurikulum nasional, dan perguruan tinggi.
31
D. Bentuk-bentuk Pesantren
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan tradisional dalam
perkembangannya dikelompokkan menjadi beberapa bentuk. Dalam
penyelenggaraan sistem pengajaran dan pembinaannya dewasa ini pesantren
digolongkan kepada tiga bentuk:36
1. Pondok Pesantren Tradisional
Pondok pesantren tradisional adalah lembaga pendidikan dan pengajaran
Islam yang pada umumnya pendidikan dan pengajaran tersebut diberikan
dengan cara non klasikal (sorogan) dimana seorang Kiai mengajar santri
berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa arab oleh ulama besar sejak
abad pertengahan sedangkan santri biasanya tinggal di dalam pondok atau
asrama dalam pesantren. Pesantren model ini masih memegang teguh
penyampaian dengan pola tradisional dalam mengajarkan nilai-nilai
islam, ilmu yang di pelajari-pun sama di seluruh pesantren model ini
yakni kitab yang dikaji dan perbedaannya pada Kiai di setiap pesantren.
2. Pondok Pesantren Tradisional Modern
Pesantren model ini adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama
Islam yang menggabungkan sistem klasikal yang mengarah kepada sistem
atau pola modern dari segi pengajaran dan penyampaiannya. Ciri model
ini adalah peran seorang Kiai tidak mutlak lagi, akan tetapi ada
36
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
indonesia, hal.68.
32
pembagian tugas yang jelas. Sistem pengajarannya di samping
menggunakan cara tradisional (sorogan, bandongan, wetonan) juga
memakai sistem modern (pembagian kelas) dengan melihat tingkat
kemampuan santri. Pesantren ini juga mengadakan pendidikan formal
guna memberikan keseimbangan antara tuntutan duniawi dan ukhrawi.
3. Pondok Pesantren Modern
Pesantren modern adalah pesantren yang menggunakan sistem baru dari
segi pengajarannya. Dalam keseharianya, di sini tidak ada lagi dominasi
Kiai dalam penyampaian materi, melainkan diskusi dan dialog antara
santri dan pembimbing. Penekanan selain dalam ilmu agama, diajarkan
bagaimana di masa depan, santri akan berbaur dan bisa melebur oleh
masyarakat. Pembagian tugas juga lebih ditekankan dengan membentuk
organisasi pelajar yang mengatur segala aktivitas mereka diatur dengan
cara demokrasi, gotong royong, dan dalam suasana ukhuwah yang dalam
kontrol bimbingan pengawas dan pembinanya.
33
E. Teori Radikalisme
1. Pengertian Radikalisme
Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar. Maksudnya
yakni berpikir secara mendalam terhadap sesuatu sampai ke akar-akarnya. Radikal
adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial
atau politik yang besar atau secara ekstrem. Radikalisme merupakan suatu paham
yang menghendaki adanya perubahan dan pergantian terhadap suatu sistem
masyarakat sampai ke akarnya. Radikalisme menginginkan adanya perubahan secara
total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. Kaum radikal
menganggap bahwa rencana-rencana yang digunakan adalah rencana yang paling
ideal. Terkait dengan radikalisme ini, seringkali beralaskan pemahaman sempit
agama yang berujung pada aksi terror bom tumbuh bersama sistem. Sikap ekstrem ini
berkembang biak di tengah- tengah panggung yang mempertontonkan kemiskinan,
kesenjangan sosial, atau ketidakadilan.37
Pengertian radikalisme masih menjadi perdebatan mengenai maknanya yang
berhubungan dengan tindakan terorisme. Istilah radikalisme baru-baru ini di
canangkan oleh presiden Joko Widodo (Jokowi) agar diganti namanya menjadi
manipulator agama. Dikutip dari pernyataannya Jokowi sempat melontarkan wacana
37
Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014),
hal.117.
34
menggunakan istilah lain untuk mengganti kata radikalisme: "Enggak tahu. Apakah
ada istilah lain yang bisa kita gunakan, misalnya manipulator agama.‖38
Paham radikal tidak tiba-tiba diyakini oleh seseorang, ada beberapa tahap dan
alur yang menyebabkan seseorang terjerumus dalam paham radikal. Tahapan
seseorang menjadi radikal, dikutip dari New York Police Departement, menjelaskan
secara rinci proses seseorang menjadi pelaku radikal.39
Tahapan itu terdiri dari:
Tabel II.A menunjukan tahap-tahap seseorang menjadi radikal
1. Pra-radikalisasi; tahap pertama ini dimulai saat seseorang menjalani
kehidupan sehari-harinya dengan baik sebelum terpapar radikalisme.
2. Identifikasi diri; tahap ini dimulai ketika seseorang mulai mengenal dan
mengidentifikasi dirinya dengan ideologi radikal. Seseorang mulai mengubah
keyakinannya dan mulai mengasosiasikan diri dengan orang-orang lain yang
memiliki ideologi yang secara perlahan sama. Salah satu contohnya adalah
usaha pencarian terhadap identitas agama.
3. Indoktinasi; tahap ini dilihat dari cara seseorang meyakini dan mempercayai
ideologi yang dianut. Pada fase ini, seseorang dapat menganggap benar
38
Tempo.com dari, https://nasional.tempo.com ―Jokowi usul ganti istilah radikalisme jadi
manipulator-agama‖ Diakses pada tanggal 4 November, 2019. 39
Agus SB, DARURAT TERORISME Kebijakan Pencegahan, Perlndungan dan
Deradikalisasi, hal.156-157.
Pra-
radikalisas
i
Identifikasi
diri
Doktrinasi Jihadisasi
35
ideologi yang dianutnya tanpa mencari kebenaran dan keabsahan dari
pemahaman tersebut.
4. Jihadisasi; tahap yang terakhir ketika seseorang mulai melakukan tindakan
atas apa yang ia yakini. Tindakan dari individu pada tahap ini dapat
melakukan berbagai tindak kekerasan yang dimotivasi oleh inisiatif individu
maupun organisasi yang dianut, dan bentuk tindakannya adalah interpretasi
agama yang sempit, vandalisme, kekerasan komunal, dan residivisme.
Radikalisme juga terbagi menjadi dua bentuk, yaitu dalam bentuk pemikiran
dan tindakan. Radikalisme dalam bentuk pemikiran berfungsi sebagai ide yang
abstrak dan didiskusikan serta mendukung cara apapun (seperti kekerasan) dalam
mencapai tujuannya. Radikalisme dalam bentuk tindakan biasanya sudah masuk
dalam jaringan teroris dan melakukan aksi kekerasan dan anarkis dalam rangka
mencapai tujuannya baik di bidang keagamaan, sosial, politik, dan ekonomi. Pada
tahap ini, radikalisme mulai bersinggungan dan memiliki unsur-unsur teror sehingga
calon pelaku dapat berkembang dan berproses menjadi terorisme.40
Secara sederhana radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh
empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap tidak
toleran dan tidak mau menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap
fanatik, yaitu selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah. Ketiga,
sikap eksklusif, yaitu membedakan diri dari kebiasaan orang kebanyakan. Keempat,
40
Agus SB, DARURAT TERORISME Kebijakan Pencegahan, Perlndungan dan
Deradikalisasi, hal.155
36
sikap revolusioner, yaitu cenderung menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuan.41
2. Radikalisme dalam Perspektif Barat
Dalam paragraf awal, pembahasan diatas kata radikal berasal dari bahasa latin
yang berarti akar. Hal ini menegaskan bahwa kata radikal memang diproduksi oleh
barat. Tahap-tahap seseorang menjadi radikal pada paragraf diatas merupakan hasil
dari barat. Terminologi radikalisme dalam agama, apabila dihubungkan dengan istilah
dalam bahasa Arab, sampai saat ini belum ditemukan dalam kamus bahasa Arab.
Istilah ini adalah murni produk Barat yang sering dihubungkan dengan
fundamentalisme dalam Islam.
Dalam tradisi Barat istilah fundamentalisme dalam Islam sering ditukar
dengan istilah lain seperti: ―ekstrimisme Islam‖ sebagaimana dilakukan oleh Gilles
Kepel atau ―Islam Radikal‖ menurut Emmanuel Sivan, dan ada juga istilah
―integrisme, ―revivalisme‖, atau ―Islamisme‖ Istilah-istilah tersebut digunakan untuk
menunjukkan gejala ―kebangkitan Islam‖ yang diikuti dengan militansi dan fanatisme
yang terkadang sangat ekstrem.42
Fundamentalisme dalam Islam menandakan bahwa
sebagai umat muslim terhadap ajaran kitab suci Al-Quran agar tidak tersesat dalam
menjalani kehidupan. Terminologi ini digeser menjadi ideologi yang ekstrem dan
menghalalkan kekerasan dalam mencapai tujuan bagi oknum tertentu.
41
Agil asshofie, Radikalisme Gerakan Islam, http://agil
asshofie.blogspot.com/2011/10/radikalisme-gerakan-politik.html, diakses pada 13 September 2019. 42
Junaidi Abdullah, ―Radikalisme Agama: Dekonstruksi Ayat Kekerasan dalam al-Qur‘an‖,
dalam Jurnal Kalam, Vol. 8, No. 2, Desember 2014, hal.3.
37
Peristiwa-peristiwa terorisme seperti Gerakan perlawanan rakyat Palestina,
Revolusi Islam Iran, Partai FIS Al- Jazair, perilaku anti-AS yang dipertunjukkan
Mu‘ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan Islam di Mindanao Selatan,
gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS, meluasnya solidaritas Muslim
Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas, dan sebagainya adalah fenomena
yang dijadikan media Barat dalam mengampanyekan label radikalisme Islam.43
Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah menjadi fenomena yang perlu
dicurigai. Terlebih-lebih pasca-hancurnya gedung WTC New York 11 September
2001 yang menurutnya dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan
Taliban), semakin menjadikan terminologi radikalisme Islam lebih meluas yang
berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat dan
Amerika Serikat, terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena orang-
orang Eropa Barat dan Amerika Serikat berhasil melibatkan diri dan mewarnai media
sehingga mampu membentuk opini publik.44
Ketergesa-gesaan dalam generalisasi menyebabkan Barat tidak mampu
memandang fenomena historis umat Islam secara objektif. Hal ini tidak berarti
pembenaran terhadap praktik radikalisme yang dilakukan umat beragama, karena
yang demikian bertentangan dengan pesan-pesan moral yang terkandung dalam
agama dan moralitas mana pun. Akan tetapi apa yang perlu dilihat adalah bahwa
43
Asghar Ali Engineer, Islam and Doctrines of Peace and Non-Violence dalam Jurnal
Internasional ―Ihya ‗Ulumuddin‖ IAIN Walisongo, Vol. 3, (Semarang: Walisongo Press, 2001),
hal.121. 44
Emna Laisa, ― Islam dan Radikalisme‖ Islamuna: Jurnal Studi Islam 1 (2014), hal.2.
38
Islam sebagai agama sangat menjunjung tinggi perdamaian. Hal ini bukan saja ada
dalam teks wahyu dan sunnah tetapi termanifestasi dalam sejarah Islam awal. Islam
secara normatif dan historis (era Nabi) sama sekali tidak pernah mengajarkan praktik
radikalisme sebagaimana terminologi Barat. Islam tidak memiliki keterkaitan dengan
gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam yang menunjuk kepada ajaran
radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis kenabian.
3. Radikalisme dalam Perspektif Islam
Dalam Al-Quran dan Hadis, memang tidak ada perintah dalam berjihad
menggunakan jalur kekerasan. Islam adalah agama yang mengedepankan sikap
perdamaian dan kasih sayang. Pada paragraf diatas, disebutkan bahwa terminologi
radikalisme dibuat oleh barat, namun ada jejak historis dimana radikalisme muncul
dikalangan umat Islam.
Sejarah perilaku kekerasan dalam Islam, umumnya terjadi berkaitan dengan
persoalan politik, yang kemudian berdampak kepada agama sebagai simbol. Hal ini
adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Pembunuhan terhadap khalifah
menandai awal radikalisme Islam. Namun, gerakan radikalisme yang sistematis dan
terorganisir baru dimulai setelah terjadinya Perang Shiffin di masa kekuasaan Ali bin
Abi Thalib. Hal ini ditandai dengan munculnya sebuah gerakan teologis radikal yang
disebut dengan ―Khawarij‖.
Khawarij berpedoman kepada kelompok atau aliran kalam yang berasal dari
pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian keluar dari barisannya, karena
ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang menerima arbitrase (tahkim)
39
ataupun perjanjian damai dengan kelompok pemberontak Mu‘awiyah bin Abi Sufyan
mengenai persengketaan kekuasaan (khilafah). Menurut kelompok Khawarij,
keputusan yang diambil Ali adalah sikap yang salah dan hanya menguntungkan
kelompok pemberontak. Situasi inilah yang melatarbelakangi sebagian barisan tentara
Ali keluar meninggalkan barisannya. Radikalisme Khawarij sebagai pemberontak
telah terbukti dalam sejarah. Tidak hanya di masa Ali, Khawarij meneruskan
perlawananya terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman Dinasti Bani Umayyah
maupun Abbasiyah. Oleh karena itu, mereka memilih Imam sendiri dan membentuk
pemerintahan kaum Khawarij.45
Selain Khawarij, ada juga Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Organisasi ini
bersifat radikal dalam hal ide politiknya, namun menekankan cara-cara damai untuk
mencapai tujuannya. Radikalismenya tergambar dari perjuangan HTI yang
menginginkan perubahan politik fundamental melalui penghancuran total Negara-
bangsa sekarang ini, dan menggantinya dengan Negara Islam baru di bawah satu
komando khilafah.46
Islam tidak pernah membenarkan praktik dalam penggunaan kekerasan untuk
menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham politik. Namun memang tidak
bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya terdapat kelompok-kelompok Islam
tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau
45
Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran Prof. Dr. H<arun Nasution
(Bandung: Mizan, 1996), hal.124. 46
Karagiannis dan Clark Mc Cauley, ―Hizbut Tahrir al-Islami: Evaluating the Threat Posed
by a Radical Islamic Group that Remannis Non Violence‖ dalam Terrorism and Political Violence, No.
58 (2006), hal.318.
40
mempertahankan paham keagamaan secara kaku yang dalam bahasa peradaban global
sering disebut sebagai kaum radikalisme Islam.
Ad-dinul Islam yang di bawa oleh Nabi Muhammad adalah agama yang
mengajarkan perdamaian dan keselamatan kehidupan dunia dan Akhirat. Secara
literal, Islam berarti pasrah kepada Tuhan dan kedamaian. Kedamaian dalam Islam
mengacu pada kondisi batin yang ada pada individu orang yang mengamalkan Islam
disebut Muslim, yakni seseorang yang berusaha memahami dan menjalankan
kehendak Tuhan Allah. Namun perjalanan hidup seseorang tidak lepas dengan
permasalahan yang dihadapi. Hal ini berpengaruh terhadap pemahaman dan
pengamalan agama. Yang terkadang menarik dan mendorong pada ujung ekstrimisme
karena menyangkut keyakinan dan nilai-nilai yang ada di dalamnya.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, faktor utama munculnya radikalisme dalam
beragama adalah kurangnya pemahaman yang benar dan mendalam atas esensi ajaran
agama Islam itu sendiri dan pemahaman literalistik atas teks-teks agama.47
Seseorang
yang sedang bingung mengenai kehidupan, rentan disusupi oleh pemahaman tekstual
yang berujung pada pemahaman radikal.
Pemahaman radikal yang berujung pada tindakan terorisme merupakan sikap
seseorang muslim yang tidak mendalami dasar keagamaan. Al-Quran telah
memanifestasikan ajarannya melalui rukun Iman dan rukun Islam. Seseorang yang
telah menjadi radikal dan melakukan kekerasan dalam mewujudkan tujuannya benar-
benar sudah keluar dari dasar keagamaan yaitu rukun Islam dan rukun Iman.
47
John L. Esposito, Unholy War: Teror atas Nama Islam (Yogyakarta: Ikon, 2003), hal.30.
41
Islam tidak mengajarkan paham radikalisme. Islam adalah agama yang
mengajarkan untuk berbuat baik kepada orang lain (nilai-nilai humanis) yang ke-
semua hal tersebut berkaitan dengan konsep keimanan. Dengan kata lain, pelaksanaan
silaturahmi atau berbuat baik kepada sesama manusia merupakan implementasi
konkret dari rasa kecintaan manusia kepada Allah swt. Inilah yang dimaksud bahwa
di dalam Islam di samping memiliki konsep tentang habl min Allah tetapi juga
memiliki konsep tentang habl min al-Naas. radikalisme yang terjadi di kalangan
kaum muslim, terjadi akibat ajaran agama belum dihayati, dipedomani dan
diaktualkan sebagaimana mestinya. Jika ajaran agama telah diyakini serta dijalankan
secara konsisten, maka sudah barang tentu tindakan radikalisme tidak akan pernah
terjadi.
42
BAB III
PONDOK PESANTREN AL-HAMID DAN SEKILAS MENGENAI
RADIKALISME DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Dalam bab ini, menjelaskan mengenai profil dari objek penelitian. Dalam
penelitian ini objeknya adalah pesantren Al-Hamid terkait dengan masalah
pencegahan paham radikal masuk ke Pesantren Al-Hamid. Dijelaskan dalam bab ini
mengenai sejarah berdirinya pesantren, jumlah santri, kitab-kitab rujukan, pengajaran
sorogan dan bandongan, jenjang pendidikan di pesantren Al-Hamid.
A. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al-Hamid
Pesantren Al-Hamid didirikan atas keinginan seorang ulama kharismatik
yang bernama K.H Ahmad Dzazuli Utsman yang akrab dipanggil ―Gus Miek‖ untuk
memiliki pesantren di Jakarta. H. Hamid adalah seorang pengusaha yang mendengar
keinginan dari Gus Miek segera merealisasikan keinginan orang yang dikaguminya
tersebut atas restu Gus Miek maka dibangunlah pesantren Al-Hamid.48
H. Hamid mendirikan sebuah yayasan yang waktu itu diberi nama ―Yayasan
Mantab Sejahtera‖, yang berkat keuletan dan kegigihan beliau Yayasan Mantab
Sejahtera mampu membebaskan dua lokasi tanah dan mendirikan beberapa bangunan
pokok. Lokasi pertama terletak di Cilangkap dengan luas ± 85.000 M² yang
kemudian menjadi lokasi Pesantren Al Hamid Putra dan yang kedua terletak di
Pondok Ranggon dengan luas tanah ± 45.000 M² yang kemudian menjadi lokasi
48
―Sejarah berdirinya Pesantren Al-Hamid‖ https://alhamid.id/pesantren/ diakses pada 11
September 2019.
43
Pesantren Al Hamid Putri. Adapun gedung yang berhasil dibangun adalah gedung
asrama putra, gedung asrama putri, gedung madrasah aliyah dan tsanawiyah, gedung
madrasah ibtidaiyah terpadu, gedung TK, gedung untuk koperasi dan klinik, kantin
dan musholla serta fasilitas olahraga seperti lapangan basket, futsal, volley dan
kolam renang dll.49
Di samping mempersiapkan bangunan fisik, H. Hamid juga mempersiapkan
Sumber Daya Manusia dengan mengirimkan putra-putrinya ke beberapa Pondok
Pesantren ternama seperti Pondok Pesantren Tebuireng (Jombang), Pondok
Pesantren Yanbu‘ul Qur‘an Kudus, Pondok Pesantren Takhfidzul Qur‘an Malang
dan mematangkannya di Pondok Pesantren Al Falah Ploso Kec. Mojo Kab. Kediri
sampai putra pertama beliau diangkat menjadi menantu di Pondok Pesantren Al-
Falah tersebut. Kemudian dalam pengelolaan dan perkembangannya pondok
Pesantren Al-Hamid menginduk dan mendapat pengawasan langsung dari para
Pengasuh di Pondok Pesantren Al-Falah Kediri tersebut. Setelah putra dan putri
beliau pulang dari menimba ilmu di pesantren-pesantren tersebut, akhirnya pada
tahun 2002 dibukalah penerimaan santri dan siswa untuk mengikuti kegiatan
pendidikan dari mulai tingkat TK, MI, MTs dan MA AL-Hamid.50
49
―Sejarah berdirinya Pesantren Al-Hamid‖ https://alhamid.id/pesantren/ diakses pada 11
September 2019. 50
―Sejarah berdirinya Pesantren Al-Hamid‖ https://alhamid.id/pesantren/ diakses pada 11
September 2019.
44
B. Jumlah Santri di Pesantren Al-Hamid
Tabel III. F jumlah santri di Pesantren Al-Hamid 2018-2019
Tahun Pelajaran Jenis Kelamin Jumlah
2018/2019
Laki-Laki Perempuan
1200 728 472
C. Kitab-Kitab rujukan Pesantren Al-Hamid
Tabel III. G kitab-kitab rujukan pesantren No Kategori Kitab Judul Kitab
1 KITAB MU'AMALAH /
TASAWUF
NASHOIHUL IBAD
BIDAYATUL HIDAYAH
TANKIHUL QOUL
USHFURIYYAH
2 KITAB HADIST ARBAIN NAWAWI
BULUGHUL MAROM
MUKHTARUL AHADIST
3 KITAB FIQIH MABADI FIQIH JUZ 1 & 2
SAFINATUS SHOLAH
SAFINATUN NAJA
SULAM TAUFIQ
FATHUL QORIB
HUJJAH AHLUS SUNAH WAL
JAMAAH
4 KITAB AKHLAQ AKHLAQUL BANIN (Santri
Putra)
AKHLAQUL BANAT (Santri
Putri)
TAISIRUL KHOLAQ
AYYUHAL WALAD
WASHOYA
TA'LIM MUTA'ALLIM
5 KITAB TAFSIR TAFSIR JALALAIN
D. Pengajaran Sorogan dan Bandongan
Pondok pesantren pada umumnya memiliki metode sorogan dan bandongan
dalam pengajaran kurikulum. Pesantren Al-Hamid memakai salah satu metode
tersebut dalam pengajaran bagi santri. Metode sorogan adalah cara dimana seorang
45
santri berhadapan dengan Kiai satu-persatu dan santri membacakan kitab yang akan
dipelajarinya. Kiai membacakan dan menerjemahkannya kalimat demi kalimat;
kemudian menerangkan maksudnya. Santri menyimak bacaan kyai dan
mengulanginya sampai memahaminya. Istilah sorogan berasal dari kata sorog (jawa)
yang berarti menyodorkan kitab ke depan kyai atau asistennya.51
Metode ini
bertujuan bagi para Kiai mengetahui secara signifikan kemampuan individu santri
dan bagi santri menjadikan metode ini sebagai pendekatan yang lebih kepada para
pengasuh karena melakukan kegiatan face to face.
Sedangkan bandongan menurut Zamakhsyari Dhofier, merupakan metode
utama dalam sistem pengajaran di pesantren. Dalam sistem ini, sekelompok murid
(antara 5 sampai dengan 500 murid) mendengarkan seorang guru yang membaca,
menerjemahkan, menerangkan dan sering mengulas buku-buku Islam dalam bahasa
Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan membuat catatan-catatan
baik arti maupun keterangan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit untuk
dipahami. Kelompok kelas dari sistem bandongan ini disebut halaqah yang secara
bahasa diartikan lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah
bimbingan seorang guru.52
Metode sorogan dan bandongan menjadi inti dari pengajaran di pesantren-
pesantren pada umumnya. Pengajaran tidak hanya sebatas pada kedua metode
51
Abuddin Nata, Azyumardi Azra, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-
Lembaga Pendidikan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Grasindo. 2001) hal.108. 52
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya
Mengenai Masa Depan Indonesia, Jakarta: LP3ES, cet. 9, hal.54.
46
tersebut, namun terdapat penambahan kurikulum nasional untuk menjadi
penyeimbang. Pesantren Al-Hamid menerapkan sistem berbeda dari metode
bandongan pada umumnya, dalam metode bandongan, terdapat kekurangannya yaitu
terjadi proses pengajaran yang satu arah sehingga guru lebih aktif dari santri.53
Pesantren Al-Hamid merubah dan mencari solusi dengan membuat dialog antar guru
dan santri sehingga tercipta dialog dan santri tidak monoton dalam menerima ajaran,
namun terjadi interaksi dan komunikasi sehingga meningkatkan kualitas dari
pengajaran.
Selain peningkatan kualitas mengajar, proses dialog antara guru dan santri
dinilai penting agar santri terbuka dalam pemikirannya dan tidak terjebak pada
koridor berfikir yang sempit. Hal in dimaksudkan untuk mencegah santri berfikir
radikal dari sistem amali yang dimana dogma harus diterima dan diserap tanpa boleh
dipertanyakan, sebagaimana disebutkan oleh Ust Fahmi Abdul Aziz:
―…Pengembangan kebebasan berfikir dinilai penting untuk
membentuk santri yang moderat, keterbatasan ilmu dan informasi bagi
masing-masing santri beragam. Hal ini menentukan bagaimana
mereka memaknai ayat-ayat dalam kitab suci terutama, banyak
sekarang ini yang menggunakan ayat-ayat jihad yang harus dikaji
mendalam dan tidak terjebak dalam gerakan yang radikal. Jadi yang
harus dibentuk adalah mindset dari para santri sebelum melangkah
lebih jauh.
Dari hasil diatas, peneliti melihat proses dialog menjadi penting bagi
pengembangan berfikir santri di pesantren Al-Hamid karena untuk melihat potensi
53
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Pres,
2002, hal.156.
47
santri dalam memaknai sesuatu. Selain itu, hal ini juga merupakan strategi dalam
mengurangi pemahaman fundamentalis yang dapat berpotensi kearah radikalisme.
Sebagaimana teori sebelumnya, bahwa kaum fundamentalis menolak
mempertanyakan ayat-ayat suci dan cenderung tertutup dengan pembahasan seputar
pengkritisan terhadap teks.
E. Jenjang Pendidikan di Pesantren Al-Hamid
Pondok pesantren Al-Hamid memiliki sarana pendidikan formal mulai dari
TK Islam, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, dan Madrasah Aliyah.
E1. TK Islam
Taman bermain dan TK Islam Al Hamid adalah lembaga pendidikan pra-
sekolah yang mengutamakan nilai-nilai islami dalam keseharian dan mencetak
lulusan menjadi anak yang santun, mandiri, aktif, kreatif menuju tingkat siap
belajar di Sekolah Dasar.
Tabel III.E.1 menunjukan Visi dan Misi TK Islam
Visi Misi
Unggul
dalam
IMTAQ
dan
IPTEK
Mengembangkan seluruh aspek yang dibutuhkan dan menjadikan anak
yang beriman & bertaqwa kepada Allah SWT. dengan ciri-ciri:
1. Dapat melaksanakan sholat dengan benar
2. Memiliki Akhlaqul Karimah
3. Dapat berfikir logis, kritis, kreatif & inovatif
4. Menanamkan sikap percaya diri dan displin sejak dini
Tabel III.E.2 menunjukan Aktifitas Kurikulum TK Islam
Program
Unggulan
Sarana & Prasarana Ekstrakurikuler Prestasi
Jurnal Pagi Gedung Sekolah
milik sendiri
Melukis Juara 1 Lomba
Kolase tingkat
48
Gugus
Yanbu‘a Halaman bermain
luas
Menari Juara 1 Mewarnai
tingkat Nasional
Praktek Ibadah Guru yang
berdedikasi dan
berpengalaman lebih
dari 10 tahun
Futsal Juara 1 Melengkapi
Gambar tingkat
Kota Jakarta Timur
Outbound Ruang kelas ber-AC Juara 2 Mewarnai
Becombion
Kunjungan
Edukatif
Perpusatakaan Juara 2 Menyanyi
Bersama se-
Kecamatan
Cipayung
Home Visit Sarana Ibadah Juara 2 Mewarnai
Buku Cerita tingkat
Kota Jakarta Timur
One Day in My
School
Kolam Renang Juara 2 Tari Kreasi
Islam se-Kecamatan
Cipayung
Open House Playground Juara Harapan
Hafalan Do‘a Harian
tingkat Walikota
Moving Class /
Metode BCCT
Juara 2 Lomba
Manasik Haji
tingkat Walikota
Akhirussannah
dan Pentas Seni
Juara 2 Lari Estafet
se-Kecamatan
Cipayung
Juara 3 Lompat
Sampai se-
Jabodetabek
Juara 3 Lomba
Senam se-
Kecamatan
Cipayung
Juara 3 Lomba
Kerja Kelompok se-
Kecamatan
Cipayung
Juara 3 Lomba
Futsal se-Jakarta
Timur dan Bekasi
49
E.2 Madrasah Ibtidaiyah
Lembaga pendidikan yang telah mempunyai sejarah panjang mengawali
reputasi- nya sendiri dengan lengkap menciptakan tradisi. Tradisi tersebut
meliputi kepercayaan sumber daya yang berkesinambungan dan sistem yang telah
teruji.
Tabel III.E.3 menunjukan Visi dan Misi Madrasah Ibtidaiyah
Visi Misi
Terwujudnya Madrasah
yang mampu bersaing
secara sehat dalam dunia
Global dengan
mengoptimalkan potensi
peserta didik dan
keluhuran budi pekerti.
1. Membentuk generasi yang berilmu amaliah dan
amal ilmiah dengan mengedepankan akhlakul
karimah
2. Mengaplikasikan nilai-nilai agama pada setiap
aspek kehidupan
3. Menjadikan lingkungan Madrasah sebagai sumber
belajar
4. Membangun citra madrasah sebagai mitra
masyarakat yang baik
5. Menumbuhkan generasi muslim yang mampu
berfikir positif, kreatif & kritis dengan
mengembangkan multi intelegensi
6. Menghasilkan lulusan yang mampu bersaing di
kancah global
Tabel III.E.4 menunjukan Aktifitas Kurikulum Madrasah Ibtidaiyah
Sarana &
Prasarana Ekstrakurikuler Prestasi
Ruang kelas
ber-AC
Multimedia
Marawis
Peringkat Nilai UN Tertinggi ke-1 DKI 2011
Juara 3 Futsal Se-Jabodetabek
Perpustakaan Qosidah Peringkat Nilai UN Tertinggi ke-2 DKI 2012
UKS dan
Klinik Futsal Peringkat Nilai UN Tertinggi ke-1 DKI 2014
Masjid Paskibra Juara 2 Adzan Tingkat Jabodetabek 2015
Lapangan Pramuka Juara 2 Hafalan Juz Amma Tingkat KKMI
50
Olahraga 2015
Laboraturium
Komputer Pencaksilat
Juara 5 Olimpiade Sains Matematika DKI 2015
Ajang Kreatifitas Siswa MI se-Cipayung
Laboratorium
IPA
Puisi dan
Pidato Juara 1 hafalan surat kategori A
Laboratorium
Bahasa
Bermain
Peran/Drama Juara 2 hafalan surat kategori A & B
Kantin Seni
Islam/menari Juara 3 lomba adzan
Antar Jemput
Siswa Melukis
Juara 3 hafalan surat kategori B Semarak
Mardhotillah
Aula Kaligrafi Juara 2 & Harapan 1 tahfidz Quran
Qiro‘ah Harapan 2 adzan & marawis
Bahasa Arab Karate Championship 2016
Sains Club 2 Medali Emas + 1 Medali Perunggu
Kejuaraan Karate Provinsi Jawa Barat 2017
Karate Medali Perunggu PERSADA 2016\Juara 1
Lomba Kebersihan
Komputer Juara 2 Lomba Ketangkasan Baris Berbaris
Harapan 3 Lomba Sandi Kotak dan Sandi A=N
EXPO Anak Soleh 2015 & 2016
Juara 2 Futsal Se-Jabodetabek 2015
Juara 2 Futsal Se-Jabodetabek 2016
Juara 3 Futsal Se-Jabodetabek 2017
E.3 Madrasah Tsanawiyah
Jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah menengah pertama SMP
dalam kurikulum nasional dipadukan dengan pendalaman ilmu agama yang
51
nantinya menjadi bekal bagi santri dalam menghadapi jenjang pendidikan yang
lebih tinggi agar terjadi keseimbangan antara ilmu agama dan dunia.
Tabel III.E.5 menunjukan Visi dan Misi Madrasah Tsanawiyah
Visi Misi
Membentuk generasi yang
mengedepankan Imtaq dan Iptek dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
1. Menanamkan Aqidah Islam
dalam diri siswa untuk
menumbuhkan akhlakul
karimah yang sesuai dengan
ajaran Rosulullah ibadah
dengan baik
2. Mencetak Siswa/Siswi yang
menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi sehingga mampu
bersaing di era globalisasi
Tabel III.E.6 menunjukan Aktifitas Kurikulum Madrasah Tsanawiyah
Sarana & Prasarana Ekstrakurikuler Prestasi
Laboratorium
Komputer
KIR Juara Umum PBB se-Jakarta Timur
Internet Marawis Juara Umum Paskibra Piala Walikota
Jakarta Timur
Laboratorium IPA B. Arab Juara Umum Paskibra is the best
Laboratorium
Bahasa
B. Inggris Juara 1 Cerdas Cermat se-
JABODETABEK
Perpustakaan Pencak Silat Juara 1 Puisi Tingkat MTs di SMA
YASFI
Lapangan Olahraga Futsal Juara 1 Kibar bendera se-
JABODETABEK
Masjid Seni Musik Juara 1 Variasi PBB se-JABODETABEK
Asrama Putra/Putri Tari Juara 1 Puitisasi se-DKI Jakarta
52
Aula Basket Juara 2 Marawis se-JABODETABEK
Kantin Paskibra Juara 2 Pidato se-JABODETABEK
UKS Pramuka Juara 2 Kaligrafi Loketa SMP MTs se-
JABODETABEK
Koperasi Pidato Juara 2 Cerdas Cermat POSEMA
Qiro‘ah Juara 1 Kelas Komite Pemula 1 – 45 kg
Putri MABES CUP
Kaligrafi Juara 3 Olimpiade Sains PORSEMA
Taekwondo Juara 2 Gebyar Pramuka penggalang
Tingkat Provinsi
E.4 Madrasah Aliyah
Mewujudkan kualitas anak didik yang mampu bersaing di kancah global
maupun internasional dengan kurikulum modern saat ini. Pengajaran dibantu
dengan berbagai penggabungan pengetahuan guna menciptakan siswa yang ingin
melanjutkan atau bekerja melainkan agar siswa mampu berdakwah mengenai
peranannya sebagai anak bangsa.
Tabel III.E.7 menunjukan Visi dan Misi Madrasah Aliyah
Visi Misi
Membina insan yang beriman, bertaqwa
kepada Allah SWT, kreatif, mandiri dan
ber- orientasi masa depan dengan
mengedepankan akhlakul karimah.
Adapun visi madrasah dirumuskan
sebagai berikut:
Untuk mewujudkan visi diatas perlu
diwujudkan atau diciptakan beberapa
layanan agar dapat memenuhi tuntutan
yang dituangkan dalam visi tersebut
dengan keempat indikatornya. Adapun
misi madrasah dirumuskan sebagai
berikut:
53
1. Unggul dalam bidang akademik
dan non Akademik
1. Menyiapkan lulusan yang
beriman, berakhlakul karimah
dan bertaqwa kepada Allah
SWT
2. Unggul dalam perolehan nilai UN 2. Mencetak lulusan yang bermutu
dan berorientasi pada masa
depan.
3. Unggul dalam komunikasi
berbahasa Inggris / Arab
3. Memberikan pelayan minat,
bakat dan potensi setiap siswa
4. Unggul dalam kedisiplinan 4. Menciptakan budaya sekolah
yang penuh dengan keakraban
dan kekeluargaan yang islami
5. Unggul dalam pengamalan
kehidupan beragama
5. Menyiapkan lulusan yang
beriman, berakhlakul karimah
dan bertaqwa kepada Allah
SWT
6. Unggul dalam kegiatan
keagamaan
6. Mencetak lulusan yang bermutu
dan berorientasi pada masa
depan.
7. Handal dalam kegiatan belajar
mengajar
8. Handal dalam kreasi dan apresiasi
Budaya
Tabel III.E.8 menunjukan Aktifitas Kurikulum Madrasah Aliyah
Sarana dan prasarana Ekstrakulikuler Prestasi
Ruang kelas ber-AC plus
Infocus
Marawis juara Umum Sigma 39 Jakarta
Lab Komputer Bahasa Arab Juara Umum SAFANA 39 Jakarta
Lab IPA Bahasa Inggris Juara 1 Lomba MTQ DKI se-
Jabodetabek
Perpustakaan Pencak Silat Juara 1 Lomba Adzan se-Jabodetabek
Kantin Seni Islam Juara 1 Design Kartu Ucapan se-
Jabodetabek
Aula Futsal Juara 1 MTQ Putri SAFANA 39
Armada AJS Basket Juara 1 Kaligrafi SAFANA 39
54
Lapangan Olahraga Volley Juara Lomba Cerdas Cermat se-
Jabodetabek
Koperasi Graphic
Design
Juara 1 Lomba MTQ Tingkat Putri se-
DKI
Asrama Putera-Puteri Drama Juara 1 Tenis Meja Putri se-DKI
Masjid Pramuka Juara 2 Lomba Puisi se-Jabodetabek
UKS Paskibra Juara 2 Marawis se-Jabodetabek
Lab Bahasa Pidato Juara 2 Karate Mabes AL
Lab IPS Juara 3 Plenering Tingkat DKI
Studio Musik Juara 3 Resensi Buku Tingkat SLTA
se-DKI
Ruang Multimedia Peringkat 1 Hasil Ujian Nasional
Bidang
Hot Spot Studi Bahasa Inggris se-DKI
F. Radikalisme dalam lembaga Pendidikan
Radikalisme tidak hanya terjadi dalam kalangan masyarakat umum, tetapi
menyerang bidang pendidikan. Radikalisme dalam bidang pendidikan tidak dapat
terhindar dari bentuk-bentuk kekerasan yang menyebabkan tujuan pendidikan gagal
dicapai. Radikalisme dapat muncul dari berbagai elemen pendidikan. Secara umum
bentuk radikalisme dalam pendidikan muncul akibat hubungan antara guru dan
muridnya. Hal ini terjadi karena kurangnya komunikasi dan pemahaman yang
diberikan guru kepada anak didiknya.54
Kemunculan wacana pesantren mengajarkan paham radikalisme diperkuat
oleh pernyataan wakil presiden Jusuf Kalla yang berkeinginan untuk mengambil sidik
jari para santri pondok pesantren secara nasional. Pada sisi lain, wacana yang
berkembang sejak runtuhnya gedung WTC diAmerika tanggal 11 September 2002,
54
M. Saekan Muciht, Pembelajaran Kontekstual (Semarang: Media Group, 2008), hal.76.
55
kemudian disusul adanya serangkaian teror dengan ledakan bom di Indonesia, seperti
di Bali I dan II, Hotel JW Marriot, di depan Kedutaan Besar Australia, kemudian
diikuti juga dengan pengejaran dan penangkapan para ―pelaku teroris” yang sebagian
dari mereka adalah dari alumni pesantren. Fakta itu memberikan kesan dan dugaan
sebagian orang bahwa dunia pesantren kini telah melahirkan radikalisme kelompok
Islam. Bahkan beberapa pesantren, seperti al-Mukmin Ngruki, Hidayatullah,
Tenggulun dan juga Ma‘had al-Zaitun Indramayu sebagaimana telah tersiar dalam
berbagai media beberapa waktu yang lalu dicurigai sebagai persemaian kelompok
Islam radikal. Kecurigaan tersebut didasarkan adanya berita-berita atau dugaan bahwa
pesantren tersebut telah mengembangkan sistem pendidikan yang khas, memiliki
hidden curriculum dengan ideologi keagamaan yang radikal. Di samping itu bahwa
sebagian dari pesantren tersebut telah melahirkan para alumni yang diduga dan diadili
terlibat dalam gerakan teror bom.
Pesantren sebagai wadah pendidikan di masyarakat kerap menjadi wacana
bagi perkembangan radikalisme bahkan pesantren mendapat dua pandangan yang
berbeda dari sisi agama dan pendidikan. Salah satunya pemahaman yang sesuai dengan
ajaran Kiai/Ustaz (patron klien) yang diartikan sebagai sebuah hal yang harus
dipahami secara mutlak tanpa dicari celahnya. Pesantren Ngruki di Surakarta yang
pernah dipimpin oleh Abu Bakar Ba‘asyir adalah pesantren yang menolak dengan
tegas dan cenderung selektif dari pengaruh-pengaruh luar. Dalam proses
pendidikannya, mereka membatasi pengaruh dari organisasi dan pemerintahan. Ajaran
56
literal yang dianut di pesantren ialah ukhuwah Islamiyah, yang artinya (persaudaraan
sesama umat Islam).55
Namun yang terjadi, pesantren Ngruki tidak mengajarkan paham radikalisme.
Pembantu Direktur I Ustaz Yahya Abdurrahman ketika ditanya mengenai kurikulum
pesantren yang mengajarkan materi jihad atau radikalisme agama, beliau membantah
hal tersebut. Kurikulum kami selalu diperiksa oleh Kementerian Agama, dan selama
ini dianggap tidak masalah. Ketika ditanya alasan tentang beberapa mantan santri yang
terlibat kasus terorisme, Ustaz Yahya mengatakan kemungkinan pengaruh dari luar
pesantren. "Itu terjadi ketika mereka di luar, setelah lulus, ya mungkin anak muda
mudah terpengaruh. jika mereka berpikir soal itu di sini bisa kita luruskan, tetapi itu
terjadi setelah bertahun- tahun mereka keluar‖.56
Lembaga pendidikan Islam seperti pesantren tidak mengajarkan paham
radikalisme. Terkait pelaku teror yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren,
bukan berarti pesantren menjadi kambing hitam, ada faktor lain diluar itu. Namun, ada
beberapa faktor dalam melihat arah karakteristik pengajaran pesantren yang apabila
tidak dijaga, dapat menyebabkan tumbuhnya paham radikalisme. radikalisme Islam
dari lingkungan pesantren tidak dapat dipukul rata (arbitrer), terutama karena dunia
pesantren sangatlah heterogen.
55
Badrus Soleh, BUDAYA DAMAI komunitas pesantren (Jakarta: LP3ES Indonesia, 2007),
hal.147. 56
Ahmad Muson B. ―TRADISI PESANTREN DAN RADIKALISME AGAMA, Tesis IAIN
Surakarta, 2018, hlm.75.
57
Pertama, latar belakang pengetahuan agama dan paham keagamaan para
pimpinan pesantren antar pesantren satu dengan yang lain berbeda-beda. Dalam realita,
kompetensi, keahlian, paham keagamaan dan orientasi amalan kyai satu dengan yang
lain berbeda-beda. Sebagian kyai cenderung pada pengembangan gerakan pendidikan,
pengembangan, kehidupan agama sejenis tasawuf, sufisme, akhlak atau tarekat yang
menjauh dari kehidupan material, sebagian kyai cenderung pada gerakan pendidikan,
dan pengembangan kehidupan agama yang bersifat sosial dan budaya, yang dekat
dengan kehidupan material. Selain itu juga terdapat sebagian kyai yang cenderung pada
gerakan pendidikan dan pengembangan kehidupan spiritual, dengan orientasi
pemurnian dan proteksi bidang akidah. Kecenderungan yang terakhir ini dekat dengan
gerakan pemikiran Salafiyah yang memiliki kemungkinan tinggi untuk berkembang
menjadi gerakan radikalisme kelompok Islam.
Kedua, sistem pendidikan, termasuk kualitas tenaga pengajar, bahan ajar, dan
literatur pesantren antar satu dengan yang lain berbeda-beda. Dalam kaitan ini, tenaga
pengajar (ustâdz) memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap santri. Hal ini karena
dalam tradisi pesantren penghormatan terhadap guru termasuk bagian yang sangat
penting. Pada sisi lain, guru di pesantren juga dapat dipandang sebagai lektur hidup,
sumber bacaan dan tempat bertanya yang harus diikuti. Belajar di pesantren adalah
belajar dengan guru secara bertahap, bukan dari kitab secara mandiri. Dalam konteks
ini, guru memiliki wewenang memberikan syarh, tafsir atau pemaknaan terhadap kitab-
kitab bahan ajar di pesantren. Belajar tanpa guru di dunia pesantren tidak
58
direkomendasikan. Bahkan ada kalanya, kitab-kitab bahan ajar tertentu tidak
diperkenankan untuk dibaca sebelum menguasai kitab-kitab bahan ajar tertentu. Karena
itu fungsi lektur dalam pengertian bahan bacaan kitab-kitab bahan ajar atau buku-buku
pelajaran dalam pesantren memiliki pengaruh kuat terhadap santri melalui guru.
Ketiga, lingkungan sosial pesantren, termasuk jaringan sosial dan politik
unsur pesantren (pimpinan, ustadz dan santri) berbeda-beda. Sebagian pesantren
mungkin memiliki jaringan yang sangat luas, bersifat nasional dan bahkan
internasional dan sebagian pesantren lain memiliki jaringan yang terbatas pada tingkat
lokal. Sebagian pesantren mungkin memiliki jaringan sosial dengan para pimpinan
birokrasi atau organisasi gerakan politik kebangsaan sebagian pesantren lain mungkin
memiliki jaringan gerakan keagamaan yang bersifat internasional. Pesantren-pesantren
yang memiliki jaringan dengan gerakan-gerakan perjuangan dan radikalisme kelompok
Islam internasional tentu memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk melahirkan
fundamentalisme.
Keempat, pengalaman perjuangan kehidupan sosial dan politik pimpinan
pesantren. Setiap pimpinan pesantren memiliki pengalaman kehidupan sosial, budaya
dan politik yang berbeda-beda. Sebagian mereka memiliki pengalaman yang mungkin
menyenangkan dan sebagian yang lain memiliki pengalaman pahit, yang menantang.
Pengalaman masa lalu tersebut akan mempengaruhi orientasi dan visi pimpinan
pesantren menjadi pendukung dan penyokong gerakan Islam radikalis.
59
BAB IV
PERAN DAN LANGKAH-LANGKAH PONDOK PESANTREN AL-HAMID
JAKARTA TIMUR DALAM MENCEGAH PAHAM RADIKALISME
Dalam bab ini penulis menjelaskan dan menghubungkan teori yang penulis
jelaskan pada bab dua yaitu radikalisme dengan hasil penelitian lapangan yang
penulis temukan. Penelitian ini membahas mengenai strategi pesantren Al-Hamid
dalam mencegah masuknya paham radikal di lingkungan pesantren. Data dalam
penelitian ini, diambil melalui proses wawancara kepada elemen-elemen pesantren
(Kiai, pemimpin pesantren, Ustaz, santri). Selain wawancara, di sini peneliti
menggunakan penelitian-penelitian terdahulu untuk menambahkan argumen agar
lebih kuat.
Dalam pembahasannya, peneliti menggunakan isu-isu yang terkait dengan
radikalisme dan dihadapkan dengan dimensi toleransi politik. Toleransi politik dalam
hal ini adalah bagaimana unsur-unsurnya seperti pandangan pesantren terhadap jihad,
pancasila, demokrasi, dan pluralisme melebur ke dalam lingkungan pesantren Al-
Hamid. Hasil dari penelitian ini akan didapat bagaimana langkah-langkah pesantren
Al-Hamid dalam mencegah paham radikalisme.
60
A. Perspektif Pesantren Al-Hamid mengenai Radikalisme
Radikalisme adalah suatu ideologi yang bertujuan mengubah suatu keadaan
secara cepat dengan kemauannya sendiri. penelitian ini memfokuskan bagaimana
isu-isu mengenai radikalisme dipakai sebagai penjelas dalam melihat isi dari
penelitian ini. Pesantren Al-Hamid membuat beberapa langkah dalam mencegah dan
menyangkal paham radikalisme masuk dengan melihat seberapa besar potensi paham
radikalisme itu masuk dengan melihat perkembangan di lingkungan dan keadaan
Negara Indonesia.
Radikalisme dalam dunia pesantren bukanlah hal yang sering terjadi. Alur
pendirian pesantren dan elemen-elemen pesantren menentukan bagaimana pesantren
ke depannya dapat berkiblat pada suatu aliran tertentu. Kurikulum serta kitab rujukan
pesantren juga tidak terlepas dari pengaruhnya terhadap arah pesantren dalam
menjalani kesehariannya.
Radikalisme memiliki pemahaman yang berbeda dengan prinsip pesantren.
Pesantren Al-Hamid memiliki prinsip Al-Muhafadzah wa al-Akhdzu. Prinsip ini
hampir dipegang oleh seluruh pesantren yang latar belakangnya adalah Nahdlatul
Ulama (NU). Al-Muhafadzah adalah usaha mempertahankan tradisi masa lalunya
yang masih dianggap relevan, sedangkan Al-Akhdzu adalah usaha membuka ruang-
ruang pembahaharuan dalam tubuh NU ketika bersinggungan dengan berbagai hal
apapun yang datang di tengah tangah perjalanannya. Sehingga dengan itu, NU
dikenal dengan kalangan yang tawashut (moderat), tasamuh (toleran), tawazun
(berimbang) dan taadul (berkeadilan): perwujudan sikap al-muhafadazh dan al-
61
akhdzu yang manafikan dua hal sekaligus: jumud dan liberal. Seperti diceriatakan
oleh Ust Nu‘man:
―… di dalam tradisi NU, terdapat prinsip Al-Muhafadzah wa al-
Akhdzu, di mana prinsip ini pada zaman Imam Syafi‘i. prinsip ini biasa
digunakan untuk memecah suatu masalah yang bersinggungan dan
berpotensi menjadi konflik. Imam Ghazali sebagai salah satu pembaharu
Islam memakai paradigma ini. Beliau kerap kali mengeluarkan fatwah-
fatwah yang sepintas di antara satu kitab dengan kitab selainnya—yang
sama-sama karya beliau—kerap kali terjadi pergeseran. Dalam konteks
paradigm al-Muhafadzah dan al-Akhdzu dapat dilihat pada sikapnya al-
Ghazali ketika mengompromikan fikih dan kalam dengan ilmu manthiq.
Al-Ghazali dalam berfikih tetap mempertahankan (muhafadzah)
madzhab Sayafi‘iyah, namun pola objektifitas memandang suatu
persoalan mengambil (akhdzu) logika berfikir dari Yunani. Itu artinya al-
Ghazali talah mengamalkan paradigma al-muhafadah dan al-akhdzu.
Sehingga dari itu al-Ghazali berhasil melakukan pembahaharuan dalam
dunia Islam.57
Radikalisme dalam hubungannya dengan prinsip Al-Muhafadzah wa al-
Akhdzu dapat dilihat bagaimana pesantren dalam memaknai kalimat dan arti jihad.
Pesantren Al-Hamid menilai jihad akan lebih efektif dengan memerangi kebodohan,
kemiskinan dan ketertinggalan daripada mengangkat senjata dan mendirikan negara
Islam. Tetapi masih ada yang masih merujuk pandangan konservatif, misalnya, pada
saat mereka mendukung perlunya dakwah didukung dengan kekuatan senjata.
Pandangan seperti ini di samping akan memberikan citra negatif juga akan mudah
57
Hasil Wawancara dengan Ust Nu‘man pada hari Rabu, 12 Juni 2019, pukul 14.30 WIB di
Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
62
dijadikan pintu masuk bagi kelompok radikal untuk memprovokasi kekerasan atas
nama agama.58
B. Langkah-langkah Pesantren Al-Hamid dalam Mencegah Radikalisme
Pesantren Al-Hamid melihat bagaimana mencegah radikalisme lewat
beberapa cara. Fokus pesantren Al-Hamid menyikapi isu-isu radikalisme baik dari
luar maupun dalam lingkungan pesantren. Pesantren Al-Hamid memasukan
pandangan, sikap dan tindakan terhadap pencegahan paham radikalisme.
1. Memaknai Jihad melalui Kajian khusus
Jihad dewasa ini sering disalahartikan oleh beberapa orang mengenai makna
jihad yang sesungguhnya. Pesantren Al-Hamid memandang jihad mengenai
perbedaan al-jihad dengan al-Qathl, dua istilah yang digunakan dengan Al-Quran.
Dalam kutipannya oleh Kiai Lukman Hakim:
‗… al-Qathl adalah situasi membunuh atau dibunuh. Al-Qathl
adalah pengertian sempit dan sebagian saja dari pengertian al-jihad yang
berarti sangat luas dan tidak sebatas al-Qathl. Tujuan dari al-jihad adalah
memuliakan kalimat Allah SWT atau I’la’u kalimatullah dimana
harusnya ini adalah agama Allah, sehingga agama Allah itu benar-benar
bermartabat. Dalam Islam hanya ada jihad fi sabilillah yang berarti
dijalan Allah bukan yang lain.59
58
Nurrohman, ―PESANTREN SEBAGAI PENANGKAL RADIKALISME DAN
TERORISME, Studi Terhadap Pandangan Pimpinan Pesantren di Bandung tenta Jihad, Kekerasan
dan Kekuasaan., serta Cara Menyangkal Munculnya Radikalisme dan Terorisme, Jurnal Penelitian
Pendidikan Islam, hal:143. 59
Hasil Wawancara dengan Kiai Lukman Hakim pada hari Rabu, 12 Juni 2019, pukul 15.30
WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
63
Pandangan Kiai Lukman Hakim terhadap jihad ingin menegaskan bahwa
jihad bukanlah sebuah kata negatif yang dapat merugikan orang banyak. Jihad
dalam praktiknya harus dilihat dan diresapi sebagai cara untuk memuliakan Islam
dan bukan sebaliknya. Jihad yang dapat dilaksanakan adalah yang berdasarkan Al-
Quran dan Hadis sehingga makna jihad akan tersampaikan. Peneliti berpendapat
makna jihad bisa berkonotasi positif dan negatif tergantung bagaimana seseorang
menyikapi fenomena jihad yang sering diputar faktanya untuk kepentingan
seseorang maupun kelompok. Apakah jihad dimaknai hanya berupa fenomena,
ataukah lebih jauh dari itu seperti mencari dan menggali lebih dalam makna jihad
yang sesungguhnya.
Tujuan jihad bukan hanya mengangkat senjata. Menegakkan agama Islam
agar orang-orang muslim sadar dan sadar bahwa islam itu agama yang diridhai
Allah SWT disebut sebagai seorang mujahid. Pengamalan dalam kehidupan
sehari-hari yang membuat ajaran Islam bisa terkenal. Bagaimana umat Islam bisa
mengamalkan Islam kalau tidak mengenal Islam. Untuk itu, seharusnya Islam itu
diperindah oleh perilaku umat muslim sendiri sehingga dinilai oleh pihak luar
sebagai agama yang benar, agama yang cantik.60
Pesantren Al-Hamid menyikapi isu-isu mengenai jihad dengan membela
kebenaran dari makna jihad dan di sisi lain, mengecam keras tindak kekerasan
atas nama jihad. Oknum yang mengatasnamakan jihad atas kekerasan tidak bisa
dibenarkan. Kiai Lukman Hakim menambahkan:
60
Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hlm 164.
64
―… tindak kekerasan yang mengatasnamakan jihad merupakan
hal yang keliru dan diluar koridor keislaman. Allah SWT menyatakan
dalam Al-Quran ―Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang
memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.” Yang menandakan bahwa kita dalam melihat fenomena jihad
tidak boleh asal dan harus mengikuti aturan. Jihad zaman nabi dan
sekarang tidak boleh disamakan. Perang memang berkecamuk saat
zaman nabi dimana agama Islam sedang disebarkan, namun sekarang
Islam sudah tersebar dan bangsa ini tidak dalam kondisi berperang. Maka
dari itu kita wajib menjaga keutuhan dan kedamaian, bukan melakukan
kekerasan atas nama agama yang berpotensi menjadi konflik dan
menjauh dari makna jihad itu sendiri.‖61
Sikap pesantren Al-Hamid mengenai kekerasan yang diutarakan oleh Kiai
Lukman Hakim dengan mengecam aksi kekerasan atas nama jihad karena tidak
sesuai dengan makna jihad itu sendiri dan cenderung merugikan orang lain. Orang
yang melakukan jihad pun belum tentu lebih mulia ketimbang orang yang menjadi
korban dan dirugikan di mata Allah SWT. Peneliti melihat konsep jihad selain
menolak kekerasan, dalam praktiknya harus dilihat waktu dan konteks dalam
melakukan jihad. Perbedaan kondisi saat zaman nabi dan sekarang tentu memiliki
perbedaan yang signifikan dan tentu berdampak terhadap praktiknya. Jihad
digunakan untuk memuliakan kalimatullah sedangkan jihad yang menggunakan
kekerasan hanya merusak dan menodai agama Islam.
61
Hasil Wawancara dengan Kiai Lukman Hakim pada hari Rabu, 12 Juni 2019, pukul 16.00
WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
65
Jihad memiliki sifat defensif. Artinya jihad adalah suatu pertahanan apabila
Islam diserang dan terancam oleh pihak luar, maka kita harus mempertahankan
agama Islam dengan berjihad.62
Allah SWT bersabda:
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga)
ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari
memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-
orang yang zalim.63
Dalam ayat tersebut menegaskan apabila musuh sudah tidak menyerang,
maka kita tidak boleh terus-menerus memerangi mereka sehingga semakin jelas
bahwa jihad dalam hal ini diposisikan sebagai upaya pertahanan. Dalam berjihad
pun ada aturannya dan semua tertuang dalam Al-Quran. Namun terlepas dari hal
ini, ada saja orang yang masih mengartikan jihad karena perang semata. Hal ini
dapat dijawab karena dua hal:
Pertama, orang-orang yang menyamakan jihad dengan berperang itu adalah
orang-orang yang mempunyai ruh jihad yang sangat tinggi namun mempunyai
pemahaman yang kurang mengenai hakikat dari jihad itu sendiri. jihad semestinya
dimaknai sebagai sesuatu yang lebih mendasar. Contoh, orang yang melakukan
bom bunuh diri atas nama jihad, tidak bisa disebut dengan mati syahid, karena
62
Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hlm 165. 63
(QS. Al-Baqarah: 193)
66
tidak didasari atas pemahaman agama yang utuh. Orang yang menjadi pelaku
justru berdosa karena menghilangkan nyawa orang banyak dan si pelaku belum
tentu lebih mulia dimata Allah daripada orang yang menjadi objek pemboman
tersebut. Kedua, kemungkinan orang-orang tersebut sudah terkontaminasi oleh
kepentingan politik. Ada kesan bahwa Islam ini begini dan begitu supaya dapat
disamakan tujuannya dengan si penghasut (demagogi politik).64
Pesantren Al-Hamid memiliki cara agar jihad tidak disalahartikan oleh para
santri sehingga dapat memicu potensi radikalisme yang mengarah kepada
tindakan terorisme. Pertama, melalui cara persuasif. Santri diajarkan oleh Kiai
dan Ustaz mengenai jihad dengan ―jihad terhadap diri sendiri‖. Jihad ini
dimaksudkan agar santri tidak terjebak dalam pusaran kebencian dan melakukan
aksi kekerasan. Penanaman pemahaman mengenai ―merubah diri sendiri sebelum
merubah keadaan‖ diajarkan oleh para Kiai dan Ustaz sebagai tindakan yang lebih
bermartabat.
Bentuk-bentuk dalam jihad ini adalah berjihad melawan hawa nafsu, jihad
melawan kebodohan, jihad dalam menuntut ilmu, jihad dalam menafkahi
keluarga, dll. Hal ini dimaksudkan agar santri lebih memahami konsep jihad
dengan mengajarkan ilmu-ilmu dasar dalam berjihad sehingga nantinya kata jihad
dimaknai dan diamalkan dengan benar dan terhindar dari kekerasan atas nama
jihad. Kedua Pesantren Al-Hamid melakukan kajian terhadap makna jihad secara
akademik dengan melihat isu-isu radikalisme kontemporer. Hal ini dimaksudkan
64
Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hlm 165.
67
untuk meluruskan bahwa apa yang dilakukan diluar sana mengenai jihad yang
berbau kekerasan adalah oknum tertentu yang tidak merepresentasikan agama
Islam.
Kajian mengenai jihad bertujuan untuk menambah pengetahuan santri akan
interpretasi mengenai ayat-ayat suci yang berhubungan dengan jihad dan perang.
Dasar pengetahuan tiap santri beragam, maka dari itu ruang diskusi dibutuhkan
untuk mengetahui pemahaman santri mengenai jihad serta mencegah santri
memahami jihad yang menghalalkan kekerasan. Ketiga, pesantren Al-Hamid
menerapkan konsepsi jihad dalam ekstrakulikuler ―pencak silat‖. Makna jihad
dalam ekstrakulikuler ini bertujuan sebagai upaya ―pertahanan diri‖ dari musuh
yang ingin menyakiti maupun mengancam kehidupan para santri. Santri dibekali
keahlian khusus untuk tujuan dalam berdakwah mengenai agama Islam, sekaligus
perlindungan terhadap dirinya sendiri.
2. Menolak Negara Islam, dan Memahami Pancasila sebagai Ideologi
Berbangsa
Isu mengenai pancasila menjadi penting untuk dibahas karena berkaitan
dengan lembaga pendidikan seperti pesantren. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam berperan dalam menentukan karakter santri untuk membentuk
sebuah ideologi dalam bernegara. Pesantren Al-Hamid memandang isu penegakan
negara Islam sebagai sebuah upaya untuk menggulingkan pemerintah dan
memecah belah bangsa. Ust Fahmi Abdul Aziz menyatakan:
68
―… orang yang mendengungkan negara Islam (khilafah) adalah
orang yang tidak belajar sejarah bangsa ini. Memang mayoritas perumus
dan pemimpin bangsa ini saat itu adalah orang muslim, tapi perjuangan
merebut kemerdekaan ini atas doa dan perjuangan seluruh bangsa yang
suku, agama, dan rasnya beragam. Ini hanya akal-akalan untuk
menggulingkan pemerintahan dan jika terjadi, prosesnya pun pasti akan
sangat rumit dan penuh penolakan.‖65
Pesantren Al-Hamid menilai negara Islam hanyalah argumentasi yang
dilakukan sebagian orang yang tidak mengerti sejarah berdirinya bangsa
Indonesia. Negara Islam hanya akan membawa konflik antar umat beragama
karena akan mementingkan kepentingan Islam dan mengacuhkan yang lain.
Pesantren Al-Hamid dalam perspektif politik, melihat negara Islam adalah
argumen yang dibawa oleh lawan politik untuk menggulingkan/mendelegitimasi
pemerintahan yang sah.
Peneliti menilai negara Islam sebagai sebuah kebingungan dimana terdapat
beberapa hal. Pertama, bagaimana konsep negara Islam yang sebenarnya. Nabi
muhammad SAW dalam hal pergantian pemimpin tidak menganjurkan dan tidak
mewariskan bagaimana tahapan dan teknis pelaksanaan pergantian pemimpin
menurut Islam. Kedua, penerapan syariat Islam yang menggantikan undang-
undang yang dimana akan bertentangan dengan umat non-Muslim. Ketiga, negara
yang menerapkan konsep negara Islam sampai sekarang (UEA, Brunei
Darussalam, Qatar, dll) dalam sistem perekonomian dan urusan kenegaraan
lainnya, sudah sangat sekuler. Hal ini disebabkan karena pemahaman negara
65
Hasil Wawancara dengan Ust Fahmi Abdul Aziz pada hari Jumat, 14 Juni 2019, pukul
13.00 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
69
Islam hanya produk pemikiran manusia yang sifatnya profan-sekuler, dan bukan
sakral-religius.
Pesantren Al-Hamid mengambil sikap dengan menolak konsep negara Islam
dan mendukung pancasila sebagai ideologi bangsa. Indonesia adalah negara yang
menganut ideologi pancasila dan sudah final sebagai pedoman hidup
berkebangsaan. Pancasila sudah mengakomodasi seluruh kepentingan agama-
agama di indonesia yang tertuang dalam sila ke-1 yaitu ‗ketuhanan yang maha
esa‘. Para pengajar dan santri berbeda-beda saat ditanya mengenai negara Islam
dan Syariat Islam, terdapat diskusi sebelum mereka mau mengutarakan
pendapatnya. Namun Kiai Lukman Hakim menyimpulkan:
―… saya dalam ceramah selalu menegaskan, isi adalah yang
terpenting ketimbang simbol. Makna dari suatu peristiwa harus dipahami
secara bijak. Konsep negara dan syariat Islam memang baik, namun
dalam penerapannya yang sulit, syariat Islam memungkinkan karena bisa
dilakukan dalam diri pribadi seorang muslim, namun negara Islam adalah
hal yang mustahil, karena akan bertabrakan dengan UUD 1945 dan
Pancasila sehingga dapat merusak keutuhan kebangsaan dan akan
berdampak luas ketimbang mementingkan embel-embel identitas.66
Pendapat Kiai Lukman Hakim menegaskan konsep negara Islam dan syariat
Islam menurutnya harus dipahami secara substansi ketimbang melihat bendera
yang berkibar. Islam adalah agama rahmatan lil alamin yang merupakan rahmat
bagi seluruh alam. Maka perlu dipertanyakan apakah gerakan-gerakan keagamaan
66
Hasil Wawancara dengan Kiai Lukman Hakim pada hari Rabu, 12 Juni 2019, pukul 16.00
WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
70
yang membawa nama Islam itu membawa rahmat atau malah sebaliknya, malah
menebarkan bencana dan merusak nilai Islam itu sendiri.
Negara dan Syariat Islam dapat merusak tatanan dan moral berkebangsaan.
Bahkan pancasila yang dibentuk saat masa-masa kemerdekaan, menumbangkan
banyak kebudayaan-kebudayaan lama serta otoritas tradisional yang harus
menyerahkan semuanya kepada negara. Ibaratkan botol anggur lama yang diganti
dengan botol kemasan baru, apakah isi dari anggur lama itu harus dibuang?
Jawabannya tidak karena inti dari ideologi itu adalah bagaimana mengakomodasi
kepentingan-kepentingan menjadi adil.67
Ust Fahmi Abdul Aziz menyatakan:
―… pancasila itu Islami. Bisa kita lihat dari sila yang pertama
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Disini mencerminkan bagaimana
pancasila melihat posisi umat Islam dan memberikan ruang bagi
terbentuknya prinsip Islam. Sila-sila selanjutnya pun sama, tidak ada
yang bertentangan. Namun dari segi pelaksanaannya itu yang belum
islami, antara lain kita sebagai orang islam yang harus mencerminkan
dan mengamalkannya.68
Pernyataan sikap Ust Fahmi Abdul Aziz menilai bahwa pancasila itu religius
dan merepresentasikan nilai-nilai keislaman. Pancasila dalam setiap butirnya
menegaskan bahwa nilai-nilai Islam ada dan terkandung di dalamnya. Pancasila
dinilai tepat dan tidak perlu diubah karena sudah mengakomodir berbagai
kepentingan termasuk Islam.
67
Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dak Aktualitas Pancasila, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka, 2015). Hal.353. 68
Hasil Wawancara dengan Ust Fahmi Abdul Aziz pada hari Jumat, 14 Juni 2019, pukul
14.00 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
71
Ada beberapa alasan penolakan terhadap negara Islam dan syariat Islam di
Indonesia. Pertama, jika diterapkan sebagai sistem apalagi falsafah bernegara,
tentu akan menimbulkan resistensi bagi warga negara yang bukan menganut
agama Islam. Bila itu terjadi, konsep negara Islam dan syariat Islam hanya
menjadi boomerang dan akan memicu konflik. Kedua, dalam sejarah perjuangan
bangsa ini, bukan hanya orang Islam yang ikut mempertaruhkan nyawa, namun
banyak dari kalangan non-Muslim yang ikut memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia dan maka itu tercetus semboyan Bhineka Tunggal Ika ‗berbeda-beda
namun tetap satu jua‘. Maka dari itu kemerdekaan Indonesia bukan hanya milik
orang Islam saja, sehingga konsep negara Islam menjadi tidak tepat untuk
diterapkan.69
Ketiga, bangsa Indonesia seharusnya lebih berkonsentrasi pada persoalan-
persoalan yang lebih mendesak, khususnya masalah pendidikan. Perdebatan
mengenai negara Islam dan syariat Islam adalah perdebatan yang tidak produktif.
Konsentrasi sekarang adalah bagaimana memikirkan masa depan generasi bangsa
melalui media pendidikan. Sistem pendidikan kita masih memiliki banyak
kelemahan, gaji guru yang tidak sesuai, kurikulum yang sering berubah, dan
masalah-masalah pendidikan lain yang tidak pernah selesai. Peran lembaga
pendidikan seperti pesantren mengisi kelemahan dari sistem pendidikan di
Indonesia dengan meningkatkan kualitas santri yang mampu bersaing di kancah
nasional maupun internasional.
69
Abd. Muin, dkk. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme, hlm 194.
72
Pesantren Al-Hamid memiliki beberapa cara untuk mencegah isu Negara dan
Syariat Islam dipahami oleh santri berkembang menjadi hal yang tidak baik dan
berpotensi menjadi radikal. Pertama, melaksanakan penghormatan dalam setiap
hari-hari besar kebangsaan seperti hari kemerdekaan dengan melakukan upacara
bendera dan mengadakan refleksi kebangsaan ―tasyakuran” sebagai rasa syukur
dan doa atas nikmat yang Allah berikan kepada bangsa sekaligus memupuk nilai
nasionalisme. Kedua, mendukung program pemerintah dalam upaya memperkuat
pemahaman kebangsaan seperti berpartisipasi dalam seminar-seminar kebangsaan
salah satunya adalah ―sosialisasi empat pilar MPR RI‖ yang diikuti oleh santri dan
pengajar pesantren Al-Hamid. Ketiga, berperan dalam menjaga stabilitas politik
melalui pengakuan dan penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal dalam
organisasi sebagaimana diwakili, setidaknya oleh pondok pesantren dibawah
afiliasi, Nahdhatul Ulama. Pondok pesantren Al-Hamid mengikuti keputusan
Muktamar NU ke-27 di Pondok Pesantren Salafiyah Syassiyyah Sukorejo
Situbondo, 8-12 Desember 1984, Nahdhatul Ulama telah menyatakan
persetujuannya untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal bahkan sebelum
Undang-undang tentang organisasi massa diumumkan pemerintah.
3. Menyikapi Demokrasi dan Pluralisme sebagai Wadah Kebersamaan
Pandangan pesantren Al-Hamid terhadap demokrasi memiliki makna
tersendiri. Demokrasi memang bukan berasal dari Islam tetapi adalah sistem yang
berasal dari Barat. Namun, bukan berarti semata-mata bukan berasal dari Islam
73
tidak bisa dipakai, pesantren Al-Hamid menghargai bahwa demokrasi adalah
suatu instrumen yang efektif karena melibatkan musyawarah, seperti dikatakan
oleh Ust Ibnu Mubarok:
―… bukan yang berasal dari luar Islam kita tolak, apalagi ini
sudah menjadi sistem pemerintahan di Indonesia. Selama isi tidak
bertentangan dengan syariat, kita boleh mengambil. Dahulu sistem ini
pernah dipakai oleh sahabat nabi pada masa Khulafau Rasyidin dimana
pemimpin dipilih berdasarkan musyawarah. Demokrasi memberikan
ruang partisipasi untuk publik dan sejalan dengan konsep Syuro. Namun
tetap diingat ada hal yang bisa di musyawarahkan dan yang memang
sudah menjadi ketentuan.70
Pesantren Al-Hamid memandang bahwa sistem demokrasi tidak bertentangan
dengan nilai-nilai Islam. Ust Ibnu Mubarok melihat tidak ada hal yang menjadi
urgensi bahwa demokrasi itu bertentangan dengan syariat, bahkan sistemnya
hampir mirip dengan Syuro dimana itu dipakai pada masa Khulafau Rasyidin
dalam menentukan pemimpin. Demokrasi juga mengedepankan proses
musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan, tidak semena-mena dalam
bertindak.
Demokrasi memang memiliki instrumen yang mirip dengan Syura. Namun
para pengajar di pesantren Al-Hamid lebih mengutamakan substansi ketimbang
membahas mengenai asal terciptanya sistem tersebut selagi masih sejalan dan
cocok dengan budaya masyarakat Indonesia dan tidak melanggar syariat, maka
70
Hasil Wawancara dengan Ust Ibnu Mubarok pada hari Jumat, 16 Agustus 2019, pukul
13.30 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur
74
tidak ada alasan untuk menolak. Meskipun ada beberapa hal yang tidak boleh di
musyawarahkan seperti kewajiban sholat bagi kaum Muslim.
Peneliti melihat perkembangan demokrasi dewasa ini meski disikapi bijak
oleh lembaga pendidikan khususnya pesantren. Budaya kebebasan memang
menjadi setiap hak namun, jangan sampai menjadi kebablasan. Pesantren sebagai
lembaga pendidikan Islam dinilai menjadi penyaring akan perkembangan
kehidupan demokrasi untuk para santri agar tidak terjebak dalam ideologi
menyimpang seperti radikalisme.
Pesantren Al-Hamid menyikapi demokrasi dengan tetap mendukung dan
memberikan partisipasinya terhadap bangsa. Unsur terpenting dalam demokrasi
adalah partisipasi politik. Sejauh mana keterlibatan masyarakat dalam
memberikan aspirasi untuk proses perkembangan demokrasi di negaranya. Saiful
Mujani memiliki hipotesis bahwa; ―semakin Islami seorang Muslim, cenderung
partisipasinya kecil dalam politik, kecuali jika objek dari partisipasinya bersifat
keislaman”. Studi diatas terbukti tidak benar, dilihat dari temuan empiris, Islam
mendorong para penganutnya untuk aktif dalam politik demokratis. Unsur-unsur
ibadah dan modal sosial Islam memiliki pengaruh terhadap tingkatan partisipasi
politik, karena unsur-unsur tersebut turut mengaitkan kaum Muslim kepada
permasalahan publik.71
71
Saiful Mujani, Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi dan Partisipasi Politik di
Indonesia Pasca Orde baru. Hal.322.
75
Pesantren Al-Hamid turut serta memberikan partisipasinya baik masalah
politik dan keagamaan karena mereka sadar pentingnya partisipasi dan aspirasi
yang akan menentukan arah bangsa ke depannya. Partisipasi politik tidak harus
secara langsung terlibat kedalam parlemen, cukup dengan membenahi di sekitar
kita itu sudah membantu pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat, seperti
dikatakan oleh Ust Fahmi Abdul Aziz:
―… pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki andil bagi
pembentukan kemajuan bangsa ini, yaitu melalui jalur pendidikan.
Bagaimana kita mempersembahkan anak bangsa yang berkualitas
serta religius untuk memimpin bangsa ini. Partisipasi aktif di
lingkungan pesantren kami jalankan selaku warga negara Indonesia,
apabila pemilu kami memilih dan dianjurkan oleh pak kyai. Apabila
pak kyai diminta untuk mengisi seminar bertema persatuan, beliau
selalu siap jika jadwalnya tidak berbenturan. Kami menekankan pula
kepada anak santri untuk memberikan partisipasinya baik secara aktif
maupun pasif. Jadi tidak ada alasan untuk menolak partisipasi.‖72
Dalam upaya penegakan demokrasi, pesantren Al-Hamid menilai akan sulit
apabila kita terjun dalam politik praktis. Pesantren sebagai lembaga pendidikan
lebih memilih untuk memajukan bangsa dengan melihat lingkungan sekitar
dengan berpartisipasi melalui berdakwah.
Isu pluralisme juga tidak kalah penting. Pesantren Al-Hamid memandang
bahwa pluralisme adalah ketentuan Allah SWT untuk menghias kehidupan.
Pluralisme dikaitkan dengan perihal suku, agama, ras dan adat istiadat (SARA)
yang dimana hal itu adalah bagian sensitif dalam kemajemukan dan berpotensi
menjadi konflik apabila tidak dirawat. Pluralisme dalam bahasa sederhananya
72
Hasil Wawancara dengan Ust Fahmi Abdul Aziz pada hari Jumat, 16 Agustus 2019, pukul
15.30 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
76
adalah semua yang bersifat horizontal adalah sama dan keberagaman adalah
sesuatu yang menjadi realitas dalam kehidupan. Namun pandangan mengenai
agama tidak bisa disamakan, setiap agama pasti memiliki pembenaran atas
agamanya. Namun terdapat penjelasan lain yang dimana dijelaskan oleh Kiai
Lukman Hakim:
―… keberagaman agama adalah sunatullah, kami mengakui bahwa
terdapat banyak agama. Dalam perihal pluralisme, saya memahami
begitu pula dengan santri terdapat dua hal, pluralisme dan pluralitas.
Pluralisme mengajarkan untuk bersikap sama dengan penyamaan
agama, sedangkan pluralitas adalah realita keberagaman yang tak
terbantahkan, jadi yang bermasalah adalah kata -isme dan -itas,
dimana kami memilih lebih kepada pluralitas, bahwa keberagaman
agama adalah hal yang mutlak.‖73
Kiai Lukman Hakim membagi pengertian dalam pluralisme. Seperti
pernyataan diatas bahwa kata -isme dan -itas dalam kata induk (plural) beda
penerapannya. Pluralisme adalah bagaimana kita memposisikan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, agar tidak menjadi konflik. Sedangkan pluralitas adalah
kehidupan beragama secara privat dan harus kita yakini bahwa Islam adalah
agama yang paling benar.
Peneliti melihat bahwa ada pembagian fungsi untuk memisahkan dan
menyikapi bagaimana dalam memandang pluralisme. Hal ini dimaksudkan agar
sentimen pluralisme tidak tergabung menjadi satu karena dapat merusak nilai-nilai
positif dari makna keberagaman itu sendiri. Pluralisme bertujuan baik untuk
73
Hasil Wawancara dengan Kiai Lukman Hakim pada hari Rabu, 21 Agustus 2019, pukul
13.30 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
77
masyarakat ditengah keberagaman karena dapat meminimalisir kemungkinan
konflik yang akan terjadi.
Pesantren Al-Hamid menyikapi pluralisme dengan toleransi. Toleransi
diperlukan, namun tetap harus dalam koridor yang benar dan tidak melenceng.
Dalam kaitannya dengan pluralisme, toleransi digunakan untuk meredam potensi
konflik yang menyadarkan bahwa keberadaan agama adalah sunatullah, sehingga
tidak perlu di ganggu, Kiai Lukman Hakim menambahkan:
―… keberagaman agama sudah ada sejak dahulu, bahkan sejak zaman
nabi muhammad. Allah dalam salah satu perintahnya juga
mengajarkan kepada kita untuk tidak mencampuri urusan agama lain,
dikatakan; ―untukmu agamamu dan untukku agamaku”, toleransi
adalah jalan keluarnya, kita memberikan ruang kepada yang lain
untuk mengimani agamanya masing-masing. Allah SWT juga
menganjurkan kita untuk beriman kepada kitab-kitab sebelumnya, jadi
tidak ada alasan kita berseteru dan jika kita menjalani dan memahami
agama kita, persatuan akan tercipta.‖74
Kiai Lukman Hakim menilai bahwa toleransi adalah penengah dari konflik
yang selama ini terjadi. Kemajemukan beragama menjadi positif apabila di artikan
secara bilateral antar agama lain guna menciptakan hubungan yang harmonis.
Keberagaman agama memang sudah ditakdirkan, dan kita tidak bisa mengelak,
untuk itu berikan ruang kepada mereka untuk mengimani apa yang mereka yakini,
dan kita hanya perlu mengimani dan meyakini apa yang agama perintah. Toleransi
juga mengajarkan satu hal dalam keterkaitannya mengenai pluralisme, yaitu
dialog antaragama. Dialog antaragama menjadi topik yang sering diperbincangkan
74
Hasil Wawancara dengan Kiai Lukman Hakim pada hari Rabu, 21 Agustus 2019, pukul
14.00 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
78
untuk merawat keutuhan dalam beragama. Selain untuk merawat keutuhan
beragama, hal ini juga bisa berdampak positif bagi pembangunan suatu negara.
Membangun hubungan yang harmonis bagi kaum non-Muslim berdampak positif
salah satunya dari sisi ekonomi.
Pesantren Al-Hamid memiliki beberapa hal yang bisa dijadikan dasar
pencegahan paham radikal yang berkaitan dengan demokrasi dan pluralisme.
Pertama, mengadakan forum dialog tahunan antar umat beragama. Pembahasan
forum lebih kepada memperkuat keutuhan bangsa di tengah kemajemukan dan
tantangan perkembangan zaman. Kedua, mengedepankan sikap toleransi kepada
para santri dalam menyikapi perbedaan dengan membangun kesadaran santri
melalui pengajian dan ceramah untuk tidak mendiskreditkan agama lain pada saat
berdakwah. Ketiga, pesantren Al-Hamid menjaga nilai-nilai moderat dalam Islam
yang di fasilitasi oleh kementerian agama dengan mengumpulkan Ustaz dan Kiai
dari seluruh pesantren se-Indonesia yang bertujuan untuk melihat potensi SDM
santri dan mengintegrasikan kurikulum di pondok pesantren.
Keempat, mengikuti program kementerian agama lainnya yang dapat
menyangkal potensi radikalisme seperti;
1. Pembinaan agama bagi siswa di sekolah-sekolah melalui guru pendidikan
agama untuk mencegah masuknya paham radikalisme.
2. Menjalin hubungan koordinatif dengan Lembaga/Ormas keagamaan
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu dalam upaya
79
mencegah paham radikalisme, bermitra dengan Tokoh Agama, Tokoh
Masyarakat dan FKUB dalam Mewujudkan Tri Kerukunan Agama.
3. Melakukan penanggulangan paham Radikalisme dengan edukasi
masyarakat, penyuluhan, bimbingan masyarakat di sekolah, keluarga,
pesantren, majelis taklim, serta sejumlah program seperti dialog,
workshop, dan diklat.
4. Selektif terhadap Penerimaan Tenaga Pengajar dan bekerja sama dengan
Pemerintah dalam Merumuskan Kurikulum
Kurikulum dan pengajar dalam pesantren dinilai sebagai penyumbang dalam
mencetak kualitas santri maupun lingkungan pesantren yang religius. Pesantren
Al-Hamid termasuk dalam pesantren salafi-modern. Kurikulum tradisional (salaf)
dipadukan dengan kurikulum nasional yang bertujuan menambah wawasan lebih
kepada para santri dan agar siap dalam menghadapi tantangan perkembangan
zaman. Pesantren Al-Hamid memandang paham radikalisme berasal dari
kurikulum yang diajarkan. Hal ini ditegaskan dan diubah pemahamannya dalam
keseharian di pesantren Al-Hamid yang dijelaskan oleh Ust. Ibnu Mubarok selaku
pimpinan pesantren yaitu:
―… pesantren Al-Hamid memiliki corak pesantren semi
modern dimana ajaran klasik dipadukan dengan sekolah formal dan
pemahaman agama mengenai ayat-ayat tidak bisa dipahami secara
tekstual dan seolah-olah benar. Kita harus paham sebab-musabab
80
turunnya wahyu tersebut dan melihat situasi sekarang, apakah bisa
dilakukan dan untuk tidak terburu-buru dalam bertindak.‖75
Ust Ibnu Mubarok dalam pendapatnya ingin memperkaya pemahaman para
santri. Keseimbangan antara ajaran agama dan kurikulum nasional dinilai bisa
meredam potensi radikalisme karena adanya proses dialektis antara ajaran agama
dan nasional. Selain itu, penggabungan ini dinilai bisa menjelaskan fenomena
dalam ayat suci, dan kondisi yang terjadi sekarang ini mengenai peristiwa sosial,
politik, ekonomi dan keagamaan sehingga memperluas pemahaman santri karena
melihat dari sudut pandang keagamaan.
Peneliti menilai penggabungan kurikulum dinilai tepat dan bermanfaat luas.
Ayat suci yang bersifat dogmatis dan amali harus dipahami secara mendalam oleh
para santri dengan berbekal pengetahuan akademik. Proses dialektis akan tercipta
ditambah pesantren Al-hamid memfasilitasi dalam sebuah kajian akademik
mengenai pemahaman jihad. Diharapkan nanti tercipta suatu kondisi dimana
agama tidak mendominasi, tetapi mengisi di setiap celah kehidupan para santri.
Para pengajar dan santri di pesantren Al-Hamid juga sepakat bahwasanya
paham radikal tidak benar, karena mereka diajarkan untuk toleransi terhadap suatu
perbedaan dan melalui dialog sebelum mengambil keputusan. Pengajar dan santri
di sini memiliki hubungan yang dekat karena setiap berapa santri, mereka
memiliki pengasuh untuk mendiskusikan pelajaran, kehidupan sehari-hari dan
75
Hasil Wawancara dengan Ust Ibnu Mubarok pada hari Jumat, 7 Juni 2019, pukul 14.30
WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
81
bahkan tidak jarang membicarakan urusan pribadi, semua seperti hubungan
keluarga.
Pengajar dalam pesantren Al-Hamid juga dituntut aktif untuk mengetahui
permasalahan yang dialami anak didiknya. Hal ini diharuskan karena selain untuk
membuat ikatan personal, juga mencegah paham-paham radikal masuk. Bisa
dibilang langkah pasti dari pesantren Al-Hamid untuk mencegah paham
radikalisme. Toleransi menjadi senjata utama dalam menyangkal hal ini,
sebagaimana disebutkan oleh salah satu santri yang bernama Ilham:
―… kita dalam berinteraksi biasanya tidak perlu memandang
apa latar belakangnya, kami diajari apabila ingin menolong orang
jangan lihat siapa dia, tapi bantulah dia. Gus dur juga pernah bilang
―jika kau berbuat baik, orang tidak akan bertanya apa agamamu‖ itu
yang selalu ditanamkan di sini sehingga terdapat keharmonisan yang
tercipta di kalangan santri, bahkan kemarin saat idul adha, kami turut
membagikan daging kepada masyarakat sekitar tanpa melihat latar
belakangnya beragama maupun bersuku apa‖76
Para pengajar dituntut untuk menjadi orangtua santri selama santri
mengenyam pendidikan di pesantren Al-hamid. Para santri diajarkan bagaimana
melakukan kebajikan tanpa melihat siapapun mereka. Nilai toleransi yang
diajarkan kepada santri diharapkan berdampak besar bagi mereka kedepannya
karena mereka akan menjadi penerus serta orang yang akan mengarahkan bangsa
ini ke jalan yang lebih baik. Namun para santri tetap diawasi dalam melakukan
setiap kegiatannya agar tidak menyimpang dari apa yang diajarkan.
76
Hasil Wawancara dengan santri bernama Ilham pada hari Jumat, 13 Agustus 2019, pukul
13.30 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
82
Pesantren Al-Hamid selektif dalam rekrutmen tenaga pengajar, hal ini
bertujuan agar tidak ada paham radikalisme yang masuk melalui pengajar.
seleksi lebi diutamakan kepada Guru/ ustadz yang mengajar di sekolah formal,
sementara para ustadz yang mengajar di dalam pondok direkrut dari santri senior,
alumni maupun ustadz lulusan dari lembaga pendidikan lain. Ust Ibnu Mubarok
dalam pernyataannya:
―… Latar belakang keagamaan dan pendidikan seorang
guru/ustadz menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam rangka
untuk melindungi pemahaman santri dari radikalisme. Jika ditemukan
terdapat seorang ustadz/ guru berpaham radikal/ wahabi/ salafi/
aktifitas diluar pesantren adalah bagian dari PKS, FPI, HTI, MMI dan
sebagainya, maka pihak pesantren dengan tegas akan mengeluarkan
ustadz tersebut dengan alasan berpotensi mempengaruhi para santri.‖77
Kebijakan selektif terhadap tenaga pengajar dinilai efektif untuk memfilter
paham-paham yang masuk kedalam pesantren Al-Hamid. Kiai dan pimpinan
pesantren jadi lebih mudah mengawasi aktifitas pesantren karena sudah
menambahkan upaya pencegahan yang ditularkan juga kepada tenaga pengajar
untuk menolak paham radikalisme.
Pesantren Al-Hamid membuat beberapa cara untuk mencegah pemahaman
radikalisme masuk kedalam dunia pesantren melalui kurikulum dan pengajar di
pesantren Al-hamid. Pertama, memadukan pengajaran tradisional dan kurikulum
nasional. Kedua, memasukan program penguatan pendidikan karakter (PPPK)
yang diadakan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud)
77
Hasil Wawancara dengan Ust Ibnu Mobarok pada hari Jumat, 1 November 2019, pukul
15.30 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
83
dalam kurikulum nasional untuk mencegah degradasi moralitas, etika dan budi
pekerti dikalangan para santri. PPPK ini bisa untuk pencegahan terhadap
pemahaman radikal karena memupuk tinggi rasa kemanusiaan seperti etika dan
moralitas yang berlawanan dengan paham radikal.
Ketiga, mengembangkan ekonomi kreatif dalam lingkungan pesantren
seperti: budidaya tanaman hidroponik untuk tingkat Madrasah Aliyah,
meningkatkan keterampilan lewat ekstrakulikuler desain grafis, kemampuan
bahasa inggris dan arab, mengembangkan ekonomi syariah dengan bekerja sama
melalui bank-bank syariah, dijelaskan oleh Kiai Lukman hakim:
―… pengembangan ekonomi kreatif penting dikembangkan
untuk menjadi modal para santri di masa depan. Pesantren Al-Hamid
mengharapkan santri dapat mandiri karena selain mendalami ilmu
akherat, memperjuangkan kehidupan dunia juga penting, agar terjadi
keseimbangan dalam hidup.‖78
Pesantren Al-Hamid tidak hanya memfokuskan pada kehidupan agama saja,
melainkan kehidupan duniawi. Pesantren Al-Hamid menilai persaingan dalam
dunia luar sudah sangat ketat, maka dari itu diperlukan keahlian lebih dalam
menghadapi tantangan zaman. Peneliti melihat penambahan keterampilan ini
dapat mengurangi santri maupun pengajar dalam terjebak pusaran radikalisme.
Hal ini dilihat dari semakin jauh seseorang memiliki pendidikan maka akan
meningkat derajat baik status sosial maupun ekonomi. Faktor ekonomi yang
78
Hasil Wawancara dengan Kiai Lukman Hakim pada hari Jumat, 25 Oktober 2019, pukul
14.30 WIB di Pondok Pesantren Al-Hamid, kelurahan Cilangkap, kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
84
menjadi salah satu saluran terorisme bisa berkurang karena peningkatan ekonomi
yang dilakukan pesantren Al-hamid kepada santri.
85
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dianalisis mengenai Kajian Khusus Pondok Pesantren
Al-Hamid Jakarta Timur dalam Mencegah Paham Radikalisme, maka dapat
menjawab pertanyaan penelitian bahwa radikalisme tidak dipengaruhi secara mutlak
berasal dari pesantren. Banyak faktor dalam proses seseorang menjadi radikal, tidak
memungkiri proses setelah keluar dari pesantren menjadi alasannya karena banyak
hal yang terjadi. Pesantren dalam tradisinya tidak pernah mengajarkan untuk menjadi
teroris atau mengembangkan paham radikalisme.
Pesantren Al-Hamid dalam melihat permasalahan radikalisme lebih
menekankan kepada tindakan berupa pencegahan. Pesantren Al-Hamid melawan
paham radikalisme dengan; memaknai jihad melalui kajian khusus, menolak negara
Islam dan mendukung pancasila sebagai ideologi bangsa, menyikapi demokrasi dan
pluralitas sebagai wadah kebersamaan, dan selektif terhadap tenaga pengajar serta
kurikulum.
Radikalisme adalah musuh bersama, tidak ada satu agama-pun yang
membenarkan aksi kekerasan atas nama agama. Dialog antara pemeluk agama,
dalam hal ini untuk menjaga hubungan yang harmonis karena pada dasarnya kita
memang diciptakan berbeda dan harus bisa bersama. Hubungan baik dengan agama
lain juga bermanfaat sebagai benteng pertahanan apabila ada yang ingin mengadu-
86
domba antara agama-agama, nilai-nilai kebersamaan sudah dibangun dan akan sukar
untuk membuat keretakan dan dapat menghindari konflik. Untuk itu nilai toleransi
menjadi hal terpenting sebagai jembatan penghubung antar umat beragama.
Pondok pesantren yang selama ini di asumsikan sebagai pabrik teroris pun
terbantahkan karena apa yang radikalisme yakini dan pesantren yakini sangat jauh
berbeda, selebihnya hanya isu dan rumor yang beredar. Pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam dinilai bisa sebagai alternatif kemajuan pendidikan karena selain
ilmu, akhlak juga tidak kalah penting karena para teroris pada umumnya dalam
keilmuan dan pemahaman agama mereka kuat, namun akhlak mereka buta dan
arogan.
B. Saran
Berdasarkan dari hasil kesimpulan diatas, peneliti melihat kekurangan yang
dapat diperbaiki melalui penelitian-penelitian selanjutnya agar berkelanjutan dan
menjadi literatur akademis. Peneliti memiliki saran-saran untuk dapat digunakan bagi
penelitian selanjutnya, yaitu:
B.1 Akademis
1. Dapat mengetahui bagaimana proses seseorang menjadi radikal,
faktor-faktor mengapa seseorang menjadi radikal, dan mencegah
paham radikal dari sudut pandang pesantren.
2. Hasil analisis dari penelitian ini masih belum sempurna, apabila ingin
melanjutkan penelitian ini, difokuskan pendalaman kepada perbanyak
87
perbandingan dari yang memiliki potensi radikal dan moderat guna
menambah sisi kuantitatif dari data.
3. penelitian ini hanya berfokus kepada strategi pesantren terhadap
pencegahan paham radikalisme
4. perkaya analisis menggunakan teori-teori baru untuk mendapatkan
hasil yang maksimal.
B.2 Pemerintah
1. Pesantren adalah lembaga pendidikan yang menjadi alternatif untuk
pengembangan pendidikan Indonesia, pemerintah harus hadir guna
mendukung kemajuan pesantren.
2. Pesantren bukan lembaga pendidikan radikal, untuk itu pemerintah
perlu membuka sudut pandang baru dan lebih memperhatikan
mengenai lembaga pendidikan ini sebagai suatu alternatif.
88
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdullah Masykuri, Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keragaman
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001.
Abdurrahim, Muddathir dalam The Human Rights Tradition in Islam. London:
Praeger, Westport, Connecticut, 2005.
Almond, Gabriel D. dalam Basri seta. Pengantar Ilmu Politik. Yogyakarta: Indie
Book Corner, 2007.
Bonar Tigor Naipospos dan Ismail Hasani. Radikalisme Agama di Jabodetabek &
Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010.
Dkk, Abd. Muin. Pendidikan Pesantren dan Potensi radikalisme. Jakarta: CV.
Prasasti, 2007.
Harrison, Lisa. Metodologi Penelitian Politik. Jakarta: Kencana, 2009.
Hasani, Ismail dan Bonar Tigor Naipospos. Radikalisme Agama di Jabodetabek
& Jawa Barat: Implikasinya terhadap Jaminan Kebebasan
Beragama/Berkeyakinan. Jakarta: Pustaka Masyarakat Setara, 2010.
Hasyim, Umar. Toleransi dan Kemerdekaan Beragama dalam Islam Sebagai
Dasar menuju Dialoq dan Kerukunan Antar Umat Beragama. Surabaya:
Bina Ilmu, 1979.
Jahroni, dan Jamhari Makruf. Memahami terorisme: Sejarah, Konsep, dan
Model. Tangerang Selatan: Pusat Penkajian Islam dan Masyarakat PPIM,
2016.
L.Smith, Christoper Daniel (editor). Lebih Tajam dari Pedang-Refleksi Agama-
agama Tentang Paradoks Kekerasan. Yogyakarta: Kansius, 2005.
89
Marsh, David dan Gerry Stoker. Teori dan Metode Dalam Ilmu Politik Bandung.
Nusa Media, Cet II 2011.
Mubarak, M. Zaki. Geneologi Islam Radikal di Indonesia. Jakarta: LP3ES, 2008
Mujani, Saiful. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007.
Nuh, Nuhrison M. (ed.). Peranan Pesantren dalam Mengembangkan Budaya
Damai. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010.
Osborn, Kevin. Tolerance. New York, 1993.
Qodir, Zuly. Radikalisme Agama di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2014.
SB, Agus. DARURAT TERORISME Kebijakan Pencegahan, Perlndungan dan
Deradikalisasi, Jakarta: Daulat Press, 2014.
Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosial Bandung. PT Refika Aditama, 2010.
Soleh, Badrus. Budaya Damai Komunitas Pesantren. Jakarta: LP3ES Indonesia,
2007.
Warson Munawir, Ahmad. Kamus Arab Indonesia al-Munawir. Yogyakarta:
Balai Pustaka Progresif, t.th.
Kitab Suci
Al-Qur‘an dan terjemahannya. 2008. Departemen Agama RI. Bandung:
Diponegoro.
(Q.S. At-Taubah: 29).
(QS. Al-Baqarah: 193).
90
Karya Ilmiah
Ridwan, Masrur. ―Upaya Pesantren Al-Luqmaniyyah Yogyakarta dalam
menanamkan konsep jihad untuk menyangkal potensi terorisme‖ (Skripsi
Program Studi Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Yogyakarta, 2016).
Ahmad Muson B. ―TRADISI PESANTREN DAN RADIKALISME AGAMA‖
(Tesis IAIN Surakarta, 2018).
Jurnal Online
Asrori, Ahmad. ―Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas‖
Kalam: Jurnal studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume 9, Nomor 2,
(Desember 2015): hal.254-257.
Halim, Abdul. ―Pendidikan Pesantren dalam menghadapi tantangan
Radikalisme‖ Jurnal Pendidikan, Vol. 8 Nomor 1 Maret (2017): hal 165.
Kosim, Mohammad. ―Pesantren dan Wacana Radikalisme‖, Jurnal Karsa, Vol.
IX No. 1 April (2006): h. 843.
Mukodi. ―Peran Pesantren Dan Upaya Deradikalisasi Agama‖ Jurnal
Pendidikan Islam, Volume 23, Nomor 1, (Mei 2015): hal.90-95.
R, Zaini Tamin. ―Pesantren dan Politik (Sinergi Pendidikan Pesantren dalam
pandangan K.H Hasyim Asy‘ari)‖ Jurnal Pendidikan Agama Islam,
Volume 3 Nomor 2 November (2015): hal. 324-345.
Saekan Muchith, M. ―Radikalisme di Dunia Pendidikan‖ Jurnal Pendidikan
STAIN Vol. 10, No. 1, Februari (2016): hal.171-172.
Thohir, Fauzi dan Jamil. ―Dialektika Radikalisme dan Anti-Radikalisme
Pesantren‖ Jurnal Agama, Volume 23, Nomor 1, Mei (2015): h.28-29.
Artikel Internet
CNNindonesia.com, dari https://www.CNNindonesia.com diakses pada 4 November
2018.
Kompas.com, https://nasional.kompas.com diakses pada tanggal 4 November
2018
Youtube.com, dari https://www.youtube.com diakses pada 15 Oktober 2019.