perubahan penggunaan lahan dan …digilib.unhas.ac.id/uploaded_files/temporary/digital...tahun 2007...
TRANSCRIPT
PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN KESESUAIAN TATA RUANG PADA LAHAN SAWAH
DI KABUPATEN GORONTALO
CHANGES IN LAND USE AND SUITABILITY OF SPATIAL PLANNING ON PADDY FIELD
IN GORONTALO REGENCY
1Moh. Ekafitrawan, 2Muh. Hatta Djamil, 3Daniel Huseng
1 Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin
(email : [email protected]) 2Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
(email : [email protected]) 3Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin
(email : [email protected])
Alamat Korespondensi :
Moh. Ekafitrawan
Prodi Perencanaan dan Pengembangan Wilayah
Sekolah Pascasarjana Universitas Hasanuddin
Makassar 90245
HP : 085214270002
Email : [email protected]
Abstrak
Lahan pertanian menjadi faktor produksi pertanian yang utama dan unik, karena sulit digantikan dalam sebuah
proses usaha pertanian. Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan kajian spasial terhadap perubahan
penggunaan lahan khususnya lahan sawah dan kesesuaian pemanfaatan ruangnya dengan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Dalam penelitian ini dilakukan analisis perubahan penggunaan lahan dengan membandingan
data tutupan lahan secara multitemporal (time series), serta analisis kesesuaian pemanfaatan ruang dengan membandingkan data tutupan lahan aktual dengan arahan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam
dokumen RTRW. Kedua analisis ini dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) peta menggunakan alat
bantu software pengolah data spasial GIS (Geographic Information Systems). Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017), peningkatan jumlah luasan terjadi pada kelas
tutupan/penggunan lahan kebun/perkebunan (1,4%), lahan terbangun (41,37%), tegalan/ladang (1,97%), dan
danau/tubuh air (11,14%). Sementara lahan hutan, sawah, dan semak belukar luasannya menjadi berkurang
masing-masing sebesar 0,12%, 5,09%, dan 6,68%. Hasil overlay peta penggunaan lahan aktual dengan peta pola
ruang RTRW Kabupaten Gorontalo menunjukkan bahwa sebagian besar (65,67%) penggunaan lahan di
Kabupaten Gorontalo masih sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang ditetapkan dalam RTRW. Sedangkan
34,13% penggunaan lahan lainnya teridentifikasi belum sesuai (30,57%) dan tidak sesuai (3,55%) dengan
RTRW. Penggunaan lahan yang belum sesuai masih dimungkinkan untuk berubah menyesuaikan RTRW di
waktu yang akan datang. Terkait dengan lahan sawah, matriks kesesuaian antara penggunaan lahan dengan RTRW menunjukkan 86,18% lahan sawah di Kabupaten Gorontalo sudah sesuai dengan RTRW (berada pada
peruntukan kawasan pertanian lahan basah), sedangkan 13,82% sisanya tidak sesuai dengan RTRW. Terdapat
pula potensi lahan sawah baru dengan luas total 6.293 hektar.
Kata Kunci : penggunaan lahan, rencana tata ruang, lahan sawah
Abstract
Agricultural land is the main and unique factor of agricultural production, because it is difficult to replace in an
agricultural business process. This research is intended to conduct a spatial study of changes in land use,
especially paddy fields and the suitability of spatial use with the regional spatial plan (RTRW). In this study an
analysis of land use change was carried out by comparing multitemporal land cover data (time series), and the suitability analysis of spatial use by comparing actual land cover data with the direction of spatial use specified
in the RTRW document. Both of these analyzes were carried out by overlaying maps using GIS (Geographic
Information Systems) spatial data processing software. The results showed that within 10 years (2007-2017), an
increase in total area occurred in the plantation (1.4%), built land (41.37%), dry land/fields (1.97%) ), and
lake/body of water land use class (11.14%). While the area of forest, paddy fields, and shrubs is reduced by
0.12%, 5.09% and 6.68% respectively. The results of overlaying actual land use maps with spatial pattern maps
on Gorontalo Regency RTRW show that most (65.67%) land use in Gorontalo Regency is still in accordance
with the direction of spatial use which has been specified in the RTRW. Whereas 34.13% of other land uses were
identified as not yet suitable (30.57%) and not suitable (3.55%) with the RTRW. Land use that is not yet suitable
is still possible to change to adjust the spatial Plan in the future. Regarding paddy fields, the land use suitability
matrix with the RTRW shows that 86.18% of the paddy fields in Gorontalo Regency are in accordance with the
RTRW (located in the allotment of wetland agriculture areas), while the remaining 13.82% are not in accordance with the RTRW. There is also the potential for new paddy fields with a total area of 6,293 hectares.
Keywords : land use, spatial planning, paddy fields
PENDAHULUAN
Sektor pertanian mempunyai peran strategis dalam pembangunan ekonomi nasional.
Salah satu modal utama pada sektor pertanian adalah ketersediaan lahan. Lahan pertanian
menjadi faktor produksi pertanian yang utama dan unik, karena sulit digantikan dalam sebuah
proses usaha pertanian. Secara filosofis, lahan memiliki peran dan fungsi sentral bagi
masyarakat Indonesia yang bercorak agraris. Hal ini disebabkan karena lahan disamping
memiliki nilai ekonomis, juga memiliki nilai sosial, bahkan religius (Panudju, 2012).
Lahan pertanian belakangan ini menghadapi menghadapi permasalahan alih fungsi
lahan dan degradasi lahan yang kian massif. Hukum pasar ekonomi klasik memicu adanya
pergeseran aktivitas pada lahan dari aktivitas yang menghasilkan keuntungan (landrent)
rendah menuju aktivitas-aktivitas dengan landrent yang lebih tinggi (Pramudita, 2015). Posisi
pertanian dalam menghasilkan rente lahan cenderung kalah dengan sektor lain seperti industri,
perumahan, perdagangan, dan jasa. Dari konsep tersebut maka derajat kualitas lahan dapat
dibedakan menurut kualitasnya yang dicerminkan oleh tingkatan nilai lebih (surplus) yang
dikenal dengan sebutan rent (Rustiadi dkk, 2009)
Alih fungsi lahan pertanian terutama lahan sawah tidak hanya berdampak pada
penurunan kapasitas produksi pangan, namun juga mengakibatkan semakin sempitnya luas
garapan usaha tani, yang berimplikasi pada menurunnya kesejahteraan petani (Panudju,
2012). Mempertahankan eksistensi lahan pertanian juga dimaksudkan sebagai salah satu
upaya menjaga stabilitas kualitas lingkungan (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah,
pemelihara pasokan air tanah, dan pemelihara keanekaragaman hayati), serta pemelihara nilai
sosial budaya dan daya tarik perdesaan (rural amenity) (Nazam dkk, 2011).
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian melakukan
penelitian laju konversi penggunaan lahan sawah di 9 provinsi sentra produksi padi dalam
rentang waktu tahun 2000-2015. Hasilnya menunjukkan bahwa secara nasional indeks
konversi lahan sawah adalah 0,0119 yang berpotensi mengakibatkan terjadinya alih fungi
lahan sawah sebesar 96.512 hektar setiap tahunnya. Apabila lahan sawah dibiarkan terus
menerus terkonversi dengan rata-rata laju konversi tersebut, maka secara agregat akan terjadi
penurunan luas lahan sawah dengan sangat signifikan dari 8,1 juta hektar pada tahun 2013
menjadi hanya sekitar 5,1 juta hektar pada tahun 2045 (Mulyani dkk, 2016). Kecenderungan
tersebut dapat mengancam ketahanan pangan Indonesia.
Kabupaten Gorontalo merupakan sentra produksi padi di provinsi Gorontalo.
Produksi beras Kabupaten Gorontalo yang mencapai 70.173 ton/tahun berkontribusi terhadap
52,21 % dari total produksi beras se-Provinsi Gorontalo. Namun demikian, data statistik luas
lahan sawah di Kabupaten Gorontalo dalam kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir menunjukkan
grafik yang bergerak fluktuatif, dimana pada beberapa tahun tertentu terjadi penurunan luasan
lahan sawah. Alih fungsi lahan tentu akan berimplikasi pada ketersediaan lahan sawah dan
kemandirian pangan di masa mendatang.
Kebijakan pemanfaatan ruang dan pengembangan wilayah menurut UU. No. 26
Tahun 2007 didasarkan pada dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Kota. Pemerintah Daerah Kabupaten Gorontalo telah menetapkan Peraturan Daerah No.4
Tahun 2013 tentang RTRW Kabupaten Gorontalo 2012-2032. Tuntutan kebutuhan terhadap
lahan di daerah ini terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk,
pertumbuhan ekonomi, dan kegiatan pembangunan dalam rangka pengembangan wilayah. Hal
ini berpotensi mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya lahan menjadi tidak terkendali.
Dengan dalih untuk kepentingan pengembangan wilayah dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat, seringkali kegiatan pemanfaatan ruang oleh pemerintah daerah atau masyarakat
justru bertentangan (tidak sesuai) dengan rencana tata ruang. Oleh karena itu, penelitian ini
akan melakukan kajian spasial terhadap perubahan penggunaan lahan khususnya lahan sawah
dalam kurun waktu 2007-2017 dan kesesuaian pemanfaatan ruangnya dengan RTRW
Kabupaten Gorontalo 2012-2032.
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Ruang Lingkup Penelitian
Lokasi penelitian adalah wilayah administrasi Kabupaten Gorontalo Provinsi
Gorontalo. Kabupaten Gorontalo memiliki luas wilayah ± 2.125,47 Km² yang secara
administrasi terdiri dari 19 kecamatan, 191 Desa, 14 Kelurahan, 66 lingkungan, dan 742
Dusun; dengan jumlah penduduk ±374.923 jiwa dan tingkat pertumbuhan penduduk sebesar
0,64 persen (BPS Kabupaten Gorontalo, 2018).
Ruang lingkup materi yang akan dikaji dalam penelitian ini akan menitikberatkan
pada pengkajian penggunaan lahan sawah yang memproduksi padi (beras). Penelitian ini
secara umum akan melakukan kajian spasial terhadap kondisi aktual lahan sawah, yang
difokuskan pada perubahan penggunaan lahan sawah dalam kurun waktu 2007-2017; serta
kesesuaiannya dengan rencana tata ruang wilayah Kabupaten Gorontalo.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : (1)
Wawancara (interview) dengan aparatur pemerintah daerah selaku pemangku kebijakan untuk
memperoleh gambaran umum mengenai kebijakan penataan ruang khususnya terkait
dengan lahan pertanian pangan; (2) Pengumpulan data sekunder pada instansi-instansi
terkait berupa data-data yang berkaitan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
penataan ruang seperti peraturan pemerintah, peraturan menteri, RTRW, RPJMD; kemudian
data-data keruangan (spasial) seperti peta administrasi, peta penggunaan lahan, peta arahan
pemanfaatan ruang (rencana pola ruang), peta kesesuaian lahan; serta data-data statistik, yaitu
data kependudukan, data produktivitas lahan, dan tingkat konsumsi pangan.
Metode Analisis Data
Merujuk kepada tujuan penelitian, pengolahan dan analisis data dalam penelitian ini
secara garis besar meliputi 2 (dua) hal, yakni : analisis perubahan penggunaan lahan dan
analisis kesesuaian pemanfaatan ruang. Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan untuk
mengetahui seberapa besar perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada suatu wilayah
dalam kurun waktu tertentu (Murdaningsih, 2017). Analisis terhadap perubahan penggunaan
lahan dilakukan dengan membandingkan kondisi tutupan lahan secara multitemporal (time
series). Data tutupan atau penggunaan lahan yang dibandingkan terpaut rentang waktu 10
tahun yakni penggunaan lahan tahun 2007 dan tahun 2017.
Analisis kesesuaian pemanfaatan ruang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
tingkat kesesuaian (suitability) antara penggunaan lahan saat ini (aktual) dibandingkan dengan
arahan pemanfaatan ruang (rencana pola ruang) berdasarkan dokumen Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Ketentuan pemanfaatan dapat berupa ketentuan kegiatan dan peruntukan
ruang yang terdapat dalam rencana rinci, atau ketentuan umum peraturan zonasi yang terdapat
pada RTRW Kabupaten/Kota (Lubis dkk, 2013). Kedua proses analisis ini baik analisis
perubahan penggunaan lahan maupun analisis kesesuaian pemanfaatan ruang dilakukan
dengan teknik tumpang susun (overlay) peta-peta menggunakan alat bantu software pengolah
data spasial GIS (Geographic Information System).
HASIL PENELITIAN
Perubahan penggunaan lahan
Analisis spasial melalui teknik overlay peta yang dilakukan terhadap peta peggunaan
lahan dua periode waktu yakni tahun 2007 dan 2017 (Tabel 1) menunjukkan bahwa di
Kabupaten Gorontalo dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017), kelas penggunaan lahan
kebun/perkebunan, lahan terbangun, tegalan/ladang, dan danau/tubuh air mengalami
penambahan luas, sedangkan kelas penggunaan lahan hutan, sawah, dan semak belukar
luasnya menjadi berkurang. Kelas penggunaan lahan yang mengalami perubahan luas paling
signifikan adalah lahan terbangun, dimana luas lahan terbangun di Kabupaten Gorontalo pada
tahun 2007 adalah 3.639,96 hektar meningkat 41,37% menjadi 5.145,97 hektar di tahun 2017.
Penggunaan lahan Tegalan/ladang dan danau/tubuh air juga mengalami penambahan luas,
masing-masing bertambah 491 hektar (1,97%) dan 327 hektar (11,14%). Lahan hutan yang
merupakan kelas penggunaan lahan paling dominan, dimana luasannya mencapai 36,7% dari
luas keseluruhan wilayah Kabupaten Gorontalo, cenderung tidak mengalami perubahan luas
yang berarti. Lahan sawah yang menopang ketersediaan pangan masyarakat Kabupaten
Gorontalo juga mengalami penurunan dari luas 14.706 hektar di tahun 2007, terkonversi
menjadi penggunaan lain sebesar 748 hektar (5,09%), sehingga pada tahun 2017 luasan sawah
turun menjadi 13.957 hektar. Demikian halnya dengan semak belukar yang juga mengalami
alih fungsi lahan sebesar ± 2262 hektar (6,68%), sehingga luasannya berkurang dari 33.868
hektar menjadi 31.607 hektar dalam kurun waktu 10 tahun.
Tabel 2 yang berupa matriks perubahan penggunaan lahan, secara lebih detail
menunjukkan pola perubahan penggunaan lahan yang terjadi di Kabupaten Gorontalo
sepanjang tahun 2007 hingga tahun 2017. Pada matriks tersebut terlihat perubahan
penggunaan lahan dari hutan menjadi tegalan/ladang (444 hektar), semak belukar (64,4
hektar), kebun (10,4 hektar), dan lahan terbangun (4,05 hektar). Lahan kebun/perkebunan
berubah menjadi lahan terbangun dan sawah masing-masing seluas 1096 hektar dan 211
hektar. Sedangkan lahan sawah juga terkonversi menjadi penggunaan lain seperti hutan, lahan
terbangun, tegalan/ladang, danau/tubuh air dengan total luas lahan yang terkonversi yakni
sebesar ± 1.320 hektar. Luas perubahan tutupan lahan dari semak belukar menjadi lahan
kebun/perkebunan merupakan yang terbesar dibandingkan perubahan penggunaan lahan
lainnya. Perubahan luas yang terjadi mencapai ±1890 hektar. Sementara tegalan/ladang
beralih fungsi menjadi kebun/perkebunan sebesar 322 hektar, menjadi pertanian lahan basah
(sawah) sebesar 105 hektar, serta berubah menjadi lahan terbangun sebesar 65 hektar. Adapun
tutupan lahan berupa danau/tubuah air luasannya relatif bertambah karena adanya konversi
dari penggunaan lain yakni dari lahan sawah (284 hektar) dan semak belukar (53 hektar).
Namun sebaliknya terdapat ±11,4 hektar dari bagian areal danau Limboto yang berubah
menjadi hutan (mangrove).
Kesesuaian Pemanfaatan Ruang
Hasil overlay peta penggunaan lahan aktual dengan peta pola ruang RTRW
Kabupaten Gorontalo (Tabel 3) menunjukkan bahwa sebagian besar (65,67%) penggunaan
lahan di Kabupaten Gorontalo masih sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang
ditetapkan di dalam RTRW. Kelas penggunaan lahan yang memiliki tingkat kesesuaian
tertinggi berturut-turut adalah danau/tubuh air (100%), hutan (91,18%), lahan terbangun
(73,12%), dan sawah (86,18%). Sedangkan dua kelas penggunaan lainnya yaitu semak
belukar dan tegalan/ladang, kesesuaiannya terhadap RTRW relatif kecil yakni hanya berkisar
antara 13-17%.
Total luas penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan RTRW teridentifikasi seluas ±
7.646 hektar atau sekitar 3,55% dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Gorontalo.
Ketidaksesuaian ini sebagian besar berupa lahan terbangun yang berada bukan pada
peruntukan kawasan terbangun, yakni antara lain berada pada peruntukan kawasan lindung
(144 hektar), kawasan perkebunan (561 hektar), kawasan pertanian lahan basah (266 hektar),
dan kawasan pertanian lahan kering (405 hektar). Selain lahan terbangun, ketidaksesuaian
pemanfaatan ruang juga terjadi pada penggunan lahan lain berupa kebun/perkebunan seluas
3.507 hektar, tegalan/ladang seluas 2.411, dan sawah seluas 350 hektar yang kesemuanya
berada pada peruntukan kawasan lindung.
Sementara penggunaan lahan yang dianggap belum sesuai dan dapat berubah
menyesuaikan RTRW di waktu yang akan datang, total luasannya mencapai ± 65.791 hektar
atau sekitar 30,57% dari luas keseluruhan wilayah Kabupaten Gorontalo. Kelas penggunaan
lahan yang dianggap belum sesuai dan berpeluang untuk berubah menyesuaikan RTRW
antara lain adalah penggunaan lahan berupa semak belukar dengan total luas 27.361 hektar
(86,57%) dan tegalan/ladang dengan total luas 18.590 hektar (73,12%). Lahan semak belukar
yang disebutkan belum sesuai RTRW, sebagaian besar adalah semak belukar yang berada di
peruntukan kawasan perkebunan (11.255 hektar), peruntukan kawasan pertanian lahan kering
(8.407 hektar), serta peruntukan kawasan hutan produksi (7.082 hektar). Sedangkan lahan
tegalan/ladang yang belum sesuai RTRW adalah lahan tegalan/ladang yang berada pada
peruntukan kawasan hutan produksi (10.275 hektar), peruntukan kawasan perkebunan (7.269
hektar), serta pada peruntukan kawasan pertanian lahan basah (840 hektar). Secara spasial,
kesesuaian penggunaan lahan aktual dengan RTRW disajikan dalam Gambar 1.
PEMBAHASAN
Penelitian ini menunjukkan bahwa bahwa berbagai kelas penggunaan lahan di
Kabupaten Gorontalo dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017) mengalami perubahan luas
dalam jumlah yang beragam, dan sebagian besar pola penggunaan lahan di Kabupaten
Gorontalo masih sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang ditetapkan di dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW).
Lahan terbangun merupakan kelas penggunaan lahan yang mengalami perubahan
luas yang cukup signifikan. Dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun luasannya meningkat
41,37%. Hal ini merupakan konsekuensi dari fungsi kabupaten Gorontalo yang menjadi
penyangga (buffer) bagi Kota Gorontalo sebagai ibukota provinsi. Oleh karena wilayah kota
Gorontalo secara administratif terbatas, maka proses pemenuhan kebutuhan lahan beralih ke
daerah pinggiran kota. Akibatnya timbul kecenderungan pergeseran fungsi-fungsi kekotaan ke
daerah pinggiran kota. Daerah pinggiran kota tersebut akan mengalami proses transformasi
spasial berupa proses densifikasi permukiman dan transformasi sosial ekonomi sebagai
dampak lebih lanjut dari proses transformasi spasial. Proses densifikasi permukiman yang
terjadi di daerah pinggiran kota merupakan realisasi dari meningkatnya kebutuhan akan ruang
di daerah perkotaan. Peningkatan kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan tersebut
mendorong terjadinya perkembangan daerah pinggiran kota (urban fringe) dan perkembangan
daerah secara acak (urban sprawl) (Winarno, 2007)
Proses ekspansi kota ke wilayah pinggiran akan berakibat pada perubahan fisik
seperti perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial
ekonomi (Subroto, dkk, 1997). Beberapa kecamatan di wilayah Kabupaten Gorontalo seperti
Kecamatan Telaga, Telaga Biru, Telaga Jaya, Tilango, dan Limboto yang wilayahnya
berbatasan langsung dengan Kota Gorontalo mengalami peningkatan kebutuhan akan lahan
khususnya berkaitan dengan fasilitas permukiman, pendidikan, perkantoran, perdagangan &
jasa. Pada wilayah ini, terjadi konversi lahan dari lahan pertanian (sawah, kebun, dan
tegalan/ladang) menjadi lahan non pertanian seperti permukiman, perkantoran, dan lahan
terbangun lainnya. Hal ini jugalah yang menjelaskan mengapa peningkatan luas lahan
terbangun cukup signifikan jumlahnya.
Selain lahan terbangun, penggunaan lahan lainnya yang juga mengalami perubahan
luas yang cukup besar adalah semak belukar. Berbeda dengan lahan terbangun, yang
luasannya menunjukkan trend peningkatan, luasan semak belukar pada tahun 2017 jumlahnya
turun dibandingkan tahun 2007. Karakteristik fisik dari penggunaan lahan semak belukar
yang relatif fleksibel dan mudah berubah mengakibatkan jenis tutupan lahan ini mudah
terkonversi menjadi penggunaan lahan lainnya. Perubahan tutupan lahan semak belukar yang
paling dominan adalah konversi lahan semak belukar menjadi menjadi lahan
kebun/perkebunan. Hal ini terjadi seiring dengan masuknya investasi usaha perkebunan
kelapa sawit di daerah ini. Berdasarkan data Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Provinsi Gorontalo setidaknya terdapat 3 (tiga) perusahaan kelapa sawit skala besar yang
sudah mulai beroperasi di wilayah Kabupaten Gorontlao, yakni PT. Heksa Jaya Abadi, PT.
Tri Palma Nusantara, dan PT. Agro Palma Katulistiwa, dimana masing-masing perusahaan
mengantongi ijin lokasi ± 20.000 hektar. (Olilingo, 2014). Selain terkonversi menjadi lahan
kebun/perkebunan, lahan semak belukar juga beralih fungsi menjadi pertanian lahan basah
(sawah). Laporan tahunan Dinas Pertanian Kabupaten Gorontalo periode tahun 2012-2013
menyebutkan bahwa terdapat kegiatan perluasan areal sawah (pencetakan sawah) dengan
menggunakan dana APBD pada sejumlah lokasi di Kabupaten Gorontalo seperti di
Kecamatan Asparaga, Tolangohula, Boliyohuto, dan Mootilango.
Areal lahan sawah di Kabupaten Gorontalo berdasarkan analisis perubahan luas
penggunaan lahan tahun 2007 dan 2017 menunjukkan trend menurun. Luas area lahan sawah
tahun 2017 turun 5,09 % dari luas sawah tahun 2007. Dalam rentang waktu 2007-2017, lahan
sawah beralih fungsi menjadi hutan, lahan terbangun, tegalan/ladang, dan danau/tubuh air.
Hutan yang dimaksud adalah hutan mangrove. Sejumlah lahan sawah yang berada disekitar
danau Limboto akibat dari meluapnya air danau, beralih fungsi menjadi mangrove/rawa dan
bahkan menjadi danau/tubuh air. Hal ini terjadi disebabkan oleh proses sedimentasi yang terus
menerus di dasar danau dan membuat kedalaman danau menjadi dangkal, dan apabila
intensitas hujan tinggi maka air danau dapat meluap (banjir) dan menggenangi daerah
persawahan sekitarnya sehingga lahan sawah tersebut tidak dapat lagi digunakan sebagaimana
fungsinya.
Dalam matriks kesesuaian antara penggunaan lahan dengan arahan pemanfaatan
ruang RTRW, diketahui bahwa terdapat sejumlah lahan (luasannya ± 6.293 hektar) yang
dalam RTRW dialokasikan sebagai kawasan pertanian lahan basah atau sawah namun secara
aktual di lapangan ternyata lahan-lahan tersebut dimanfaatkan untuk penggunaan lainnya
seperti kebun/perkebunan, tegalan/ladang, semak belukar, dan lahan terbangun. Lahan-lahan
seperti ini secara spasial, memiliki peluang (berpotensi) untuk beralih fungsi berubah menjadi
lahan sawah baru, menyesuaikan arahan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam
RTRW.
Data kesesuaian lahan sawah dan potensi lahan sawah baru menunjukkan bahwa
lahan sawah yang secara spasial sudah sesuai dengan arahan pemafaatan ruang dalam RTRW
mencapai 86,18% (12.028 hektar) yang sebagian besar berada di Kecamatan Tolangohula
(2.326 hektar) dan Mootilango (1.654 hektar). Hal ini disebabkan karena kedua kecamatan
tersebut juga mendapatkan alokasi ruang peruntukan kawasan pertanian lahan basah paling
besar dalam RTRW, masing-masing mendapat alokasi ruang 3.857 hektar dan 2.975 hektar.
Sementara untuk lahan sawah yang belum/tidak sesuai dengan RTRW, sebagian besar
lokasinya berada di Kecamatan Tolangohula (316 hektar), Asparaga (248 hektar), dan
Mootilango (128 hektar).
Adapun potensi lahan sawah baru yang teridentifikasi dengan luas total 6.293 hektar
tersebar di hampir seluruh wilayah Kabupaten Gorontalo. Kecamatan Mootilango memiliki
potensi terbesar dengan luasan mencapai 2.142 hektar. Kondisi geografis Kecamatan
Mootilango yang relatif datar dan ditunjang dengan ketersediaan fasilitas pengairan (irigasi)
yang memadai membuat wilayah ini sangat potensial dikembangkan untuk kegiatan pertanian
lahan basah (sawah). Sedangkan beberapa kecamatan lainnya, seperti Kecamatan
Bongomeme, Biluhu, dan Batudaa Pantai tidak direkomendasikan untuk pengembangan
tanaman pangan khususnya padi (beras), selain karena adanya hambatan geografis dan
fasilitas irigasi, wilayah ini juga tidak ditunjang oleh kebijakan penataan ruang (RTRW).
KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam kurun waktu 10 tahun (2007-2017) areal lahan sawah di Kabupaten Gorontalo
mengalami penurunan jumlah luasan ± 5,09%. Penurunan luasan tersebut sebagian besar
disebabkan oleh konversi lahan sawah menjadi lahan terbangun sebagai konsekuensi dari
peningkatan kebutuhan akan ruang di daerah perkotaan yang mendorong terjadinya
perkembangan daerah pinggiran kota (urban fringe) dan perkembangan daerah secara acak
(urban sprawl). Analisis kesesuaian pemanfaatan ruang menunjukkan bahwa terdapat ± 1.926
hektar lahan sawah yang berpotensi terkonversi atau beralih fungsi karena lokasinya tidak
sesuai dengan arahan pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam RTRW. Pengendalian
pemanfaatan ruang melalui konsistensi pelaksanaan RTRW, peningkatan hasil produksi
dengan pemanfaatan teknologi pertanian, serta pembukaan lahan sawah baru merupakan
upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, untuk tetap menjaga
agar ketersediaan lahan sawah senantiasa dapat menopang pemenuhan kebutuhan pangan
penduduk Kabupaten Gorontalo.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo. (2018). Kabupaten Gorontalo dalam Angka
2018, Gorontalo : Badan Pusat Statistik Kabupaten Gorontalo
Lubis, S., Andri S., & Hani'ah. (2013). Kesesuaian Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
dengan penggunaan lahan Kecamatan Gayamsari dan Kecamatan Semarang Timur.
Jurnal Geodesi Universitas Diponegoro, 2:13-22
Mulyani, A., Dwi K., Dedi N., & Agus F. (2016). Analisis konversi lahan sawah :
Penggunaan data spasial resolusi tinggi memperlihatkan laju konversi yang
mengkhawatirkan. Jurnal Tanah Dan Iklim, 40(2), 121–133.
Murdaningsih. (2017). Analisis Spasial Perubahan Penggunaan Lahan Pertanian Untuk
Mendukung Kemandirian Pangan Di Kabupaten Indramayu (Tesis). Bogor :
Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor
Nazam, M., Sabiham S., Pramudya B., Widiatmaka, & I Wayan R. (2011). Penetapan Luas
Lahan Optimum Usaha Tani Padi Sawah Mendukung Kemandirian Pangan
Berkelanjutan Di Nusa Tenggara Barat. Jurnal Agro Ekonomi, 29(2), 113–145.
Olilingo, F. Z. (2014). Analisis potensi dan pemanfaatan lahan APL dan HGU dalam
pengembangan investasi di Provinsi Gorontalo. Laporan Akhir Penelitian Mandiri.
Universitas Negeri Gorontalo.
Panudju, T. I. (2012). Mempertahankan Tanah Agraris. Buletin Tata Ruang, (Maret-April)
:11-16
Pramudita, D. (2015). Insentif Dalam Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Di Kabupaten Kuningan.(Tesis). Pascasarjana Insistut Pertanian Bogor.
Rustiadi, E., Sunsusn S., & Dyah R.P. (2009). Perencanaan Dan Pengembangan Wilayah.
Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Subroto, Yoyok W., Bakti S., & Setiadi. (1997). Proses Transformasi Spasial dan Sosio-
Kultural Desa-Desa di Daerah Pinggiran Kota (Urban Fringe) di Indonesia (Studi
Kasus Yogyakarta). Laporan Penelitian Pengkajian dan Penelitian Ilmu Pengetahuan
Dasar Tahun Anggaran 1996/1997. Yogyakarta : PPLH UGM.
Winarno, A. (2007). Studi Tentang Urban Sprawl Kota Semarang Terhadap Kualitas
Tegangan Listrik. Studi Kasus Kelurahan Meteseh Kecamatan Tembalang (Tesis).
Bogor : Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor.
Tabel 1. Penggunaan/Penutupan Lahan di Kabupaten Gorontalo tahun 2007 dan 2017.
Kelas
Penggunaan/
Penutupan
Lahan
Luas
(Ha)
Prosentase
(%)
Perubahan
Penggunaan
Lahan Ket
2007 2017 2007 2017 Ha %
Hutan 79154,31 79055,89 36,78 36,74 -98 -0,12 Berkurang
Kebun/
Perkebunan 55947,44 56731,69 26,00 26,36 784 1,40 Bertambah
Lahan Terbangun
3639,96 5145,97 1,69 2,39 1506 41,37 Bertambah
Sawah 14706,19 13957,97 6,83 6,49 -748 -5,09 Berkurang
Semak Belukar 33868,65 31607,07 15,74 14,69 -2262 -6,68 Berkurang
Tegalan/Ladang 24933,37 25424,54 11,59 11,82 491 1,97 Bertambah
Danau/
Tubuh Air 2934,00 3260,80 1,36 1,52 327 11,14 Bertambah
Tabel 2. Matriks Perubahan Penggunaan/Penutupan Lahan tahun 2007 dan tahun
2017 di Kabupaten Gorontalo
Penggunaan/
Penutupan
Lahan Tahun
2007
Penggunaan/Penutupan Lahan Tahun 2017
Hutan Kebun
Campuran
Lahan
Terbangun Sawah
Semak
Belukar
Tegalan/
Ladang
Danau/
Tubuh
Air
Jumlah
Hutan 78629,32 10,41 4,05 1,74 64,44 444,35
79154,31
Kebun
Campuran 54509,16 1096,53 211,54 9,77 120,25
55947,24
Lahan
Terbangun 3639,96
3639,96
Sawah 415,17
263,79 13383,27
358,98 284,98 14706,19
Semak Belukar
1890,06 76,23 256,17 31529,73 63,24 53,22 33868,65
Tegalan/Ladang
322,06 65,41 105,04 3,12 24437,73
24933,37
Danau/
Tubuh Air 11,4
2922,6 2.934
Jumlah 79055,89 56731,69 5145,97 13957,77 31607,07 25424,54 3260,80 215183,72
Tabel 3 Hasil Evaluasi Tingkat Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan RTRW di
Kabupaten Gorontalo
Penggunaan/
Penutupan Lahan
Sesuai Belum Sesuai Tidak Sesuai Jumlah
Ha % Ha % Ha %
Hutan 72085,18 91,18 6970,69 8,82 0 0,00 79055,88
Kebun Campuran 41939,42 73,93 11284,91 19,89 3507,36 6,18 56731,69
Lahan Terbangun 3762,93 73,12 5,32 0,10 1377,71 26,77 5145,97
Sawah 12028,84 86,18 1578,57 11,31 350,56 2,51 13957,97
Semak Belukar 4245,47 13,43 27361,59 86,57 0 0,00 31607,07
Tegalan/Ladang 4423,44 17,40 18590,10 73,12 2411,01 9,48 25424,54
Danau/Tubuh Air 3260,80 100,00 0,00 0,00 0 0,00 3260,80
Jumlah 141746,08 65,87 65791,20 30,57 7646,64 3,55 215183,92
Tabel 4 Kesesuaian Lahan Sawah dan Potensi Lahan Sawah Baru di Kabupaten
Gorontalo
No Kecamatan
Potensi Lahan
Sawah
berdasarkan
Alokasi Ruang
dalam RTRW
(Ha)
Lahan Sawah Aktual
(Eksisting) Potensi
Lahan
Sawah
Baru
(Ha)
Sesuai
RTRW
(Ha)
Tidak
Sesuai
RTRW
(Ha)
1 KEC. TELAGA 422,37 362,82 54,45 40,11
2 KEC. TELAGA BIRU 436,55 349,12 113,03 24,08
3 KEC. TELAGA JAYA 270,76 145,65 26,32 58,05
4 KEC. TILANGO 152,50 0,00 0,00 121,00
5 KEC. LIMBOTO 1565,98 1227,81 221,25 290,01
6 KEC. LIMBOTO BARAT 1362,97 1310,83 121,79 48,04
7 KEC. TIBAWA 708,75 638,14 230,34 58,89
8 KEC. PULUBALA 963,52 108,30 49,32 849,05
9 KEC. BONGOMEME 1,66 1,66 0,86 0,00
10 KEC. BATUDAA 122,54 37,82 5,94 81,99
11 KEC. TABONGO 1712,55 1195,31 142,98 492,45
12 KEC. BATUDAA PANTAI 0,00 0,00 0,00 0,00
13 KEC. BILUHU 0,00 0,00 0,00 0,00
14 KEC. DUNGALIYO 700,58 636,63 60,24 54,13
15 KEC. BOLIYOHUTO 2096,74 1414,54 202,47 658,76
16 KEC. MOOTILANGO 3857,83 1654,65 128,89 2142,18
17 KEC. TOLANGOHULA 2975,92 2326,23 316,47 774,81
18 KEC. ASPARAGA 861,64 600,66 248,45 244,98
19 KEC. BILATO 376,70 18,65 6,32 355,23
Jumlah 18589,55 12028,84 1929,13 6293,76
Gambar 1 Peta Kesesuaian Penggunaan Lahan dengan RTRW