persepsi budaya

12
PERSEPSI BUDAYA 1. Persepsi Persepsi secara falsafah mengandung arti cara memberikan makna (John R. Wienburg dan William W.Wilmot dalam Purwasito, 2003: 172) sedangkan menurut Mulyana (2002: 167), persepsi itu muncul karena setiap penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang lain diukur berdasarkan penyertaan budaya sendiri. Dengan persepsi, peserta komunikasi akan memilih apa-apa yang diterima atau menolaknya. Persepsi yang sama akan memudahkan peserta komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan. Del Vito (1997: 31) menjelaskan bahwa persepsi bermula dari diri sendiri dalam bertemu dengan orang lain, berpengaruh terhadap indera melalui umpan balik yang berharga (kesadaran) yang mengenai perasaan, pemikiran dan prilaku kita sendiri. Daripada perjumpaan tersebut lahir suatu kesadaran tertentu yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Hal ini adalah pengukuhan positif yang membantu diri seseorang merasa biasa saja hidup dalam lingkungan berbagai budaya. Oleh itu, Philip Goodacre dan Jennifer Follers menyebut persepsi sebagai proses mental yang digunakan untuk mengenali rangsangan (dalam Mulyani 2002: 168) Dalam pengertian yang sederhana, persepsi adalah dimana setiap individu memilih mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan (stimuli) yang berasal dari dunia luar. Persepsi adalah proses dimana kita mempertahankan hubungan dengan dunia dilingkungan kita, karena kita biasanya mampu mendengarkan, melihat mencium, menyentuh dan merasa. Kita dapat menyadari apa yang terjadi di luar kita sebenarnya apa yang kita lakukan adalah menciptakan citra dari segi fisik dan objek sosial serta peristiwa yang kita temukan dalam lingkungan. Dengan kata lain, persepsi adalah sebuah proses internal dikarenakan pergantian energi-energi yang berasal dari dalam sekitar menjadi pengalaman yang penuh arti (Singer, 1987 dalam Samovar dan Porter, 2003: 11). Tahap penting dari persepsi menyangkut pemberian arti kita objek sosial dan peristiwa dalam lingkungan. Objek sosial dan kejadian dapat sangat berubah dalam kemampuan untuk memberikan pengertian yang luas menurut individu dan kebudayaan individu. Sifat alami budaya, bagaimanapun memperkenalkan kepada kita pengalaman yang tidak sama. Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga elemen pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-

Upload: wahyudi-rambe

Post on 03-Jan-2016

1.791 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERSEPSI BUDAYA

PERSEPSI BUDAYA

1. Persepsi

Persepsi secara falsafah mengandung arti cara memberikan makna (John R. Wienburg

dan William W.Wilmot dalam Purwasito, 2003: 172) sedangkan menurut Mulyana (2002:

167), persepsi itu muncul karena setiap penilaian dan pemilihan seseorang terhadap orang

lain diukur berdasarkan penyertaan budaya sendiri. Dengan persepsi, peserta komunikasi

akan memilih apa-apa yang diterima atau menolaknya. Persepsi yang sama akan

memudahkan peserta komunikasi mencapai kualitas hasil komunikasi yang diharapkan.

Del Vito (1997: 31) menjelaskan bahwa persepsi bermula dari diri sendiri dalam

bertemu dengan orang lain, berpengaruh terhadap indera melalui umpan balik yang berharga

(kesadaran) yang mengenai perasaan, pemikiran dan prilaku kita sendiri. Daripada

perjumpaan tersebut lahir suatu kesadaran tertentu yaitu bahwa perasaan kita ternyata tidak

jauh berbeda dengan perasaan orang lain. Hal ini adalah pengukuhan positif yang membantu

diri seseorang merasa biasa saja hidup dalam lingkungan berbagai budaya. Oleh itu, Philip

Goodacre dan Jennifer Follers menyebut persepsi sebagai proses mental yang digunakan

untuk mengenali rangsangan (dalam Mulyani 2002: 168)

Dalam pengertian yang sederhana, persepsi adalah dimana setiap individu memilih

mengevaluasi dan mengorganisasikan rangsangan (stimuli) yang berasal dari dunia luar.

Persepsi adalah proses dimana kita mempertahankan hubungan dengan dunia dilingkungan

kita, karena kita biasanya mampu mendengarkan, melihat mencium, menyentuh dan merasa.

Kita dapat menyadari apa yang terjadi di luar kita sebenarnya apa yang kita lakukan adalah

menciptakan citra dari segi fisik dan objek sosial serta peristiwa yang kita temukan dalam

lingkungan.

Dengan kata lain, persepsi adalah sebuah proses internal dikarenakan pergantian

energi-energi yang berasal dari dalam sekitar menjadi pengalaman yang penuh arti (Singer,

1987 dalam Samovar dan Porter, 2003: 11).

Tahap penting dari persepsi menyangkut pemberian arti kita objek sosial dan

peristiwa dalam lingkungan. Objek sosial dan kejadian dapat sangat berubah dalam

kemampuan untuk memberikan pengertian yang luas menurut individu dan kebudayaan

individu. Sifat alami budaya, bagaimanapun memperkenalkan kepada kita pengalaman yang

tidak sama.

Menurut Sarbaiugh (1998) dalam Samover,et,al. (2006: 12-14) bahwa ada tiga elemen

pokok persepsi budaya yang memiliki tiga pengaruh besar dan langsung terhadap individu-

Page 2: PERSEPSI BUDAYA

1

individu peserta komunikasi antarbudaya. Yang pertama adalah pandangan budaya dunia

(kepercayaan, nilai sistem tingkah laku), kedua sistem lambang (verbal dan non verbal) dan

ketiga organisasi sosial (keluarga dan institusi).

1.1. Pandangan Dunia

Untuk memahami dunia, nilai-nilai dan tindakan tindakan orang lain kita harus

memahami kerangka persepsinya. Dalam berkomunikasi antar budaya yang ideal kita

berharap banyak persamaan dalam pengalaman dan persepsi budaya. Tetapi karakter budaya

berkecenderungan memperkenalkan kita kepada pengalaman-pengalaman yang tidak sama

atau berbeda berdasarkan pandangan dunia (word view) yang terbentuk semula. Oleh sebab

itu ia membawa persepsi budaya yang berbeda-beda pada dunia luar budaya sendiri.

Kemudian, cara budaya mengoorganisasikan dirinya dan lingkungannya juga berpengaruh

terhadap anggota budayanya dalam mempersepsi dunia dan cara mereka berkomunikasi.

Menurut kajian-kajian yang telah dilakukan, didapati bahwa keluarga dan sekolah merupakan

dua elemen yang dominan dalam membentuk dan mengubah persepsi budaya individu

(Galvin dan Brommel, 1991; Crippen dan Leah Brew, 2007; saurbaugh, 1988; Mulyana,

2001; Susiyanto, 2006; Pelly, 2003).

Menurut Mulyana dan Rakhmat (2000: 28), pandangan dunia merupakan dasar dari

suatu budaya. Impaknya mempengaruhi kepercayaan/agama, nilai-nilai, prilaku penggunaan

waktu dan banyak aspek budaya lainya. Oleh itu, pandangan budaya membentuk budaya dan

berfungsi untuk membedakan satu budaya dengan budaya yang liannya.

Penington (1985) menyatakan bahwa pandangan dunia merupakan yang tertinggi

walaupun bukan yang pertama dan menjadi keutamaan dalam kajian mengenai budaya karena

hal tersebut mencakup semua komposisi budaya (dalam Satoshi Ishii,et,al. 1999: 302-317).

Sedangkan menurut Parsudi Suparlan (1981), budaya suatu masyarakat biasanya

mengandung potensi daya tenaga yang membentuk corak atau warna sikap mental dan watak

yang khas (budaya) bagi individu-individu kelompok masyarakatnya. Rata-rata sikap mental

daripasa suatu kelompok masyarakatnya memiliki persamaan antara satu individu dengan

individu lainnya. Namun jika berbeda budaya, akan berbeda pula keunikannya dan

pandangan dunia yang terbentuk. Pada giliranya akan membedakan pula sikap mental

individu yang berasal daripada satu kelompok masyarakat dengan masyarakat lainya.

Paige dan Martin (1996) menjelaskan bahwa pandangan dunia merupakan satu lensa

daripada pandangan manusia yang memandang realitas dunia dan tentang kehidupan dunia.

Isu-isu pandangan dunia bersifat abadi dan merupakan landasan paling dasar dari pada satu

Page 3: PERSEPSI BUDAYA

2

budaya. Dengan cara-cara yang tidak terlihat dan tidak nyata, pandangan dunia sangat

mempengaruhi komunikasi antarbudaya. Oleh itu, sebagai anggota dari suatu budaya, setiap

pelaku komunikasi mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada orang yang sepenuhnya

dianggap benar dan ia otomatis menganggap bahwa pihak lainnya memandang dunia

sebagaimana dia memandangnya. Pandangan dunia membentuk budaya dan berfungsi untuk

membedakan satu budaya dengan budaya lainya. Penington (1985) menyatakan bahwa

pandangan dunia merupakan yang tertinggi walaupun bukan yang pertama dan menjadi

prioritas dalam studi mengenai budaya karena hal tersebut mencakupi semua komposisi

budaya.

1.1.1. Agama dan Sistem Kepercayaan

Menurut Khaldun (1962: 26), emosi keagamaan sebagai sumber elementer dalam

kehidupan keagamaan manusia bersumber pada kesadaran kolektif manusia. Fungsi sosial

agama dapat memperkuat struktur sosial dan prinsip-prinsip moral masyarakat agama/ sistem

kepercayaan manusia berperan untuk memperbaiki akhlak manusia. Seperti mana temuan

Emerson (1996) dimana agama memiliki pengaruh yang penting mengenai seseorang. Agama

menjelaskan apa yang seharusnya dan memadukan semuanya dengan alam semesta/

persekitaran.

Peranana agama dalam etnis manapun merupakan unsur utama karena agama

mengandung nilai-nilai universal yagn berisikan pendidikan dan pembinaan dan

pembentukan moral dalam keluarga. Rumah dijadikan aktivitas ritual keagamaan seperti

sholat bagi agama islam, pemujaan leluhur bagi agama konghucu (Tionghoa).

Penemuan Susiyanto (2006: 93), bahwa: interaksi agama dalam kalangan keluarga,

etnis Tionghoa tidak membedakan satu agama dengan agama lainya. Orang tua memberikan

kebebasan beragama kepada anggota keluarga. Agama Kristen Protestan, Katolik dan Budha

menjadi pilihan utama, berikutnya baru agama islam. Sedangkan agama Budha merupakan

wadah gabungan ajaran Konghucu dan bukan suatu peralihan agama, maka mereka

berkecenderungan menyatakan sebagai penganut Budha. Bagi etnis Tionghoa tidak ada

halangan untuk tetap melaksanakan ajaran-ajaran nenek moyangnya karena merupakan adat

istiadat yang tidak mungkin dilepaskan (hal ini serupa denga ajaran Budha). Susiyanto juga

mendapati: bahwa etnis Tionghoa yang beragama Islam, sebahagian besar bukan karena

faktor keluarga melainkan faktor pergaulan dengan etnis pribumi yang beragama islam.

Kenyataan ini menguatkan bahwa kewujudan mereka dapat diterima oleh etnis lain dengan

Page 4: PERSEPSI BUDAYA

3

ditunjukkan adanya persamaan keyakinan. Menurut beliau umumnya etnis Tionghoa yang

menganut agama Islam sangat sukar karena berkaitan perubahan identitas budaya.

1.1.2. Nilai

Nila merupakan norma dimana suatu etnis memberitahukan pada seseorang

anggotanya mana yang baik dan yang tidak boleh. Meskipun memiliki penilaian yang unik

tentang nilai, tetapi nilai-nilai itu tidak bersifat universal karena kecenderungannya berbeda

antara satu budaya dengan budaya lainya, dan nilai-nilai itu dipelajari. Nilai-nilai merupakan

suatu hal yang sangat penting untuk dipegang oleh partisipan-partisipan komunikasi

antarbudaya karena nilai-nilai mengembangkan standar-standar dan memandu membangun

tingkat layak atau tudaknya di dalam masyarakat.

Nilai-nilai budaya adalah aspek penilaian daripada sistem kepercayaan, nilai dan

sikap. Nilai-nilai tersebut pada dasarnya bersifat normatif, yang dapat menjadi rujukan

kepada anggota budaya tentang perkara yang baik, buruk, benar,salah, positif, negatif dan

sebagainya. Nilai-nilai budaya juga menekankan perilaku-perilaku yang penting dan harus

dikesampingkan. Nilai-nilai budaya adalah suatu aturan yang tersusun untuk membuat

pilihan-pilihan dan mengurangkan konflik dalam masyarakat (Mulyana, 2000: 27)

Menurut Lubis (1999: 152-153), nilai merupakan suatu hal yang sangat penting untuk

dipegang oleh peserta-peserta komunikasi antar budaya karena nilai mengembangkan

kepiawaian dan membantu membangunkan tahap kelayakan atau tidaknya didalam

masyarakat. Hal tersebut sebagai mana temuan beliau, bahwa: dalam budaya Tionghoa,

mengenal hubungan segi tiga yaitu hubungan konfusius, keluarga dan kerja. Penanaman

moral pertama sekali harus terjadi dalam keluarga, karena apabila didalam keluarga terjadi

hubungan yang serasi maka masyarakat dunia akan tertib dan damai. Kerja ditunjukkan oleh

ajaran Jen untuk membuat orang rajin berkerja dan mengejar serta menyimpan kekayaan.

Ajaran tentang kerja memberikan pengaruh kepada keluarga, seperti kerja untuk bakti,

kebahagiaan, dan kesetiaan keluarga. Etos kerja pada etnis Tionghoa terletak pada keinginan

untuk bakti kepada keluarga dan memperoleh pahala kelak di akhirat.

Nilai-nilai budaya yang berbeda dan tidak dapat dipahami oleh sekelompok berbagai

budaya dari mana-manapun asalnya akan menyebabkan konflik, yang berakhir dengan

kekerasan, peperangan saudara, perang antar suku bangsa, perilaku anarkhi dan lain-lain.

Seperti contohnya: Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Gerakan Anti Tionghoa, kejadian

Ambon, sampit dan lain-lain. Hal ini bermula pada adanya kecenderungan setiap masyarakat

memandang kelompoknya, daerah, provinsinya bahkan negaranya sebagai yang paling baik,

Page 5: PERSEPSI BUDAYA

4

sebagai yang palig bermoral. Pandangan ini menuntut kesetiaan yang pertama dan melahirkan

kerangka rujukan yang menilai kewujudan kerangka rujukan yang lain. Apabila hal ini

dikesampingkan maka akan menjadi halangan dalam berkomunikasi antar budaya.

Samovar,et,el (2006: 11-12) memandang nilai-nilai budaya yang diyakini secara

berlebihan pada masyarakat sukubangsa akan menyebabkan berkembangnya etnosentrisme

pada kelompok tersebut. Sebagaiman kita ketahui bahwa etnosentrisme adalah

kecenderungan memandang orang lain secara tidak sadar dengan menggunakan ukuran

kelompok kita sendiri dan kebiasaan kita sendiri sebagai kriteria untuk segala penilaian.

Rogers dalam (Mulyana dan Rahkma, 2000: 76-77), mendapati: semakin besar

persamaan kita dengan orang lain/kelompok lain maka semakin dekat kita dengan mereka.

Sebaliknya, semakin besar perbedaan maka semakin jauh kita dengan mereka. Artinya adalah

para peserta dalam tindakan komunikasi harus mampu saling memahami karakter masing-

masing dengan jalan membangun isu komunikasi sebagai person to person contact.

Seterusnya Purwasito (2003: 178-179), mengatakan bahwa “ketidakharmonian dan

disentegrasi biasanya muncul karena adanya perbedaan informasi yang besar, terhalangnya

komunikasi sosial budaya serta sikap-sikap sinis dan persaingan yang didasarkan bukan atas

prestasi tetapi rasa kalah dan tidak percaya diri”. Prasangka menjadi jarak sosial atara

berbagai kelompok dalam masyarakat yang berkecenderungan adaptif, tidak fleksibel,

besikap tertututp dan tidak mau membuka diri disebabkan berbagai alasan yang kurang

rasional.

1.1.3. Perilaku

Perilaku atau sitem tingkah laku adalah perwujudan daripada kepercayaan dan nilai-

nilai yang dipedomani oleh setiap individu. Tingkah laku dibentuk oleh sebuah proses belajar

dari kebudayaan yang membentuk komponen evaluasi dan sebuah intensitas atau komponen

harapan. Lewat ketigak omponen inilah terbentuk realisasi objek yang ada di lingkungan kita.

Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari tingkah laku itu adalah melalui simbol-

simbol verbal seperti bahasa yang digunakan baik lisan maupun tulisan dan melalui simbol

non verbal seperti gerakan tubuh, penampilan, persepsi indrawi. Seterusnya menurut Paige

dan Marrtin (1996) mengatakan bahwa pandangan dunia merupakan salah satu lensa dalam

manusia memandang realita dunia dan tentang kehidupan dunia. Isu-isu pandangan bersifat

abadi dan merupakan landasan paling mendasar bagi suatu budaya. Dengan cara-cara tidak

terlihat an tidak nyata, pandangan dunia sangat mempengaruhi komunikasi antarbudaya.

Page 6: PERSEPSI BUDAYA

5

Oleh karenanya sebagai anggota dari suatu budaya, setiap pelaku komunikasi

mempunyai pandangan dunia yang tertanam pada jiwa yang sepenuhnya dinggap benar dan ia

otomatis menganggap bahwa pihak lainya memandang sebagaiman ia memandang. Menurut

Sarbaugh (1988) perbedaan corak perilaku dan kepercayaan dalam kalangan manusia

selalunya ditentukan secara stereotip berdasarkan masalah yang dipelajari dari pengalaman

sepanjang hidupnya.

Satu yang menarik dari kajian Thung Yu Lan (1999b: 21-35) menunjukkan bahwa “

untuk kasus orang Tionghoa yang telah berganti agama menjadi islam tetap saja stereotip

yang timbul daripada sebahagian orang pribumi indonesia sebagai hanya sebagai strategi

untuk dapat berniaga secara lebih meluas dengan menguntungkan orang Tionghoa dibawah

simbol agama Islam. Apa yang timbul disini yaitu adanya prasangka yang condong negatif

yang berdampak kepada diskriminasi sosial. Sangat disadari bahwa diskriminasi merupakan

faktor yang merusak kerjasama antara manusia maupun komunikasi antara mereka.

1.2. Sistem Lambang

Menurut Ruben (1984: 129-155) perwujudan dari perilaku itu adalah melalui sistem

lambang yang digunakan seperti melalui percakapan, bertulis dan melalui isyarat badan

(bahasa tubuh) penampilan dan lain-lainnya.

Budaya membingkai komunikasi dengan secara langsung mempengaruhi isi dan

susunannya. Penggunaan sistem lambang seperti bahasa lisan sehari-hari misalnya, oleh

Forgas (1988) mencatat sebagai suatu peristiwa komunikasi dimana orang-orang setiap

harinya saling berhubungan dari budaya yang sangat spesifik. Contohnya, dalam

mengucapkan atau memberi salam banyak budaya berbeda dalam peraktiknya. Bahasa

merupakan media utama yang digunakan budaya untuk menyampaikan maksud dan tujuan

melalui interaksi diantara individu. Bahasa berfungsi sebagai suatu mekanisme untuk

berkomunikasi dan sekaligus sebagai pedoman untuk melihat realitas sosial.

Bahasa sebagai peta realitas budaya yang tidak dapat dialihkan secara sempurna

kedalam suatu bahasa lain. Bahkan satu katapun tiada secara tepat dapat dicarikan

padanannaya dalam bahasa lain. Sedikit banyaknya ada nuansa hilang ketika kata

diterjemahkan kedalam kata dalam bahasa lain tersebut.

Kesulitan-kesulitan itu disebabkan oleh beberapa faktor: 1) kata-kata memiliki lebih

dari satu makna, 2) banyak kata terikat budaya dan tidak dapat diterjemahkan secara

langsung, 3) orientasi budaya dapat membuat terjemah langsung menjadi tidak masuk akal

Page 7: PERSEPSI BUDAYA

6

dan, 4) mungkin suatu budaya ridak memiliki latarbelakang yang memungkinkan terjemahan

pengalaman dari budaya lain (dalam Mulyana, 2004: 109-110)

Bahasa mempengaruhi persepsi, menyalurkan dan turut membentuk pikiran. Oleh

karenanya bahasa merupakan suatu sistem yang tidak pasti untuk mengajukan realitas secara

simbol. Hal mana ini diakui oleh Ruben (1975: 171) bahwa komunikasi adalah suatu proses

yang mendasari intersubjektivitas suatu fenomena yang terjadi akibat simbolisasi publik dan

penggunaan serta penyebaran simbol. Melalui komunikasi individu-individu ‘menyetel’

perasaan-perasaan, pikiran-pikiran dan perilaku-perilaku antara satu dengan yang lainya

(dalam Mulyana 2000: 142).

Selanjutnya makna kata sangat bergantung pada berbagai penafsiran individu-individu

yang berkomunikasi. Misalnya kata ‘awak’, dalam bahasa indonesia sebagai kata ganti saya,

sedangkan di Malaysia kata ‘awak’ berarti kamu.

Menurut Gudykunts dan Kim (1984), untuk menjembatani ini semua, pesan harus

jelas dan komunikator harus tahu apa yang ingin dibicarakan agar terjadi penerimaan yang

benar-benar cermat atas kandungan pesan oleh si komunikan. Selain itu, pola-pola berpikir

oleh suatu budaya dituntut sebagaimana individu-individu dalam budaya yang berbeda itu

berkomunikasi. Begitupun beliau mengatakan bahwa kita tidak dapat mengharapkan orang-

orang akan menggunakan pola-pola berpikir yang sama dalam memahami sebuah makna

pesan disebabkan faktor-faktor kerumitan diatas.

Selanjutnya, dalam proses pengembangan hubungan, anggota dari kebudayaan

konteks tinggi (budaya timur seperti Indonesia dan Cina), untuk mengurangi ketidakpastian

mereka menggunakan sedikit makna verbal dan lebih makna nonverbal daripada yang

dilakukan kebudayaan konteks rendah (budaya barat). Bagi kebudayaan konteks tinggi,

mereka memiliki tingkat ketelitian yang relatif tinggi dalam memprediksikan perilaku orang

lain, karena informasi diinternalisasikan oleh tiap-tiap anggota sebagai akibatnya kebudayaan

konteks tinggi orang-orang mengharapkan rekan-rekan mengetahui apa yang mereka

pikirkan.

Bahasa lisan merupakan media utama yang digunakan dalam berkomunikasi

antarbudaya untuk menyampaikan maksud dan objektif melalui interaksi diantara individu.

Bahasa berfungsi sebagai mekanisme untuk berkomunikasi sekaligus berpedoman untuk

melihat realitas sosial. Selanjutnya Gudykunst dan Kim (1984) mengakui bahwa kegagalan

utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian dalam menyampaikan isi secara cermat.

Hal ini ada hubungan positif antara teori pengurangan ketidakpastian dengan komunikasi

efektif. Beliau mengilustrasikan Selanjutnya Gudykunst dan Kim (1984) mengakui bahwa

Page 8: PERSEPSI BUDAYA

7

kegagalan utama dalam berkomunikasi adalah ketidakpastian dalam menyampaikan isi secara

cermat. Hal ini ada hubungan positif antara teori pengurangan ketidakpastian dengan

komunikasi efektif. Beliau mengilustrasikan melalui penurunan ketidakpastian akan

membawa peningkatan pada komunikasi dan interaksi interpersonal. Jika jumlah

ketidakpastian pada awal interaksi tidak dikurangi, kedepanya komunikasi akan sukar dan

hubungan tidak akan berlanjut. Dengan makna lain bahwa komunikasi tidak berjalan secara

efektif.

Proses verbal merupakan media utama untuk pertukaran pikiran dan gagasan, namun

proses nonverbal tidak kalah pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih

pentingnya digunakan dalam berkomunikasi ataupun lebih penting bahkan walupun tidak kita

sadari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 55% komunikasi dilangsungkan

melalui proses tidak verbal, 38% dengan suara (paralinguistik) dan 7% dengan kata-kata

(Albert Mehrabian, 1972 dalam Liliweri, 2003: 181).

Temuan Andersen melihat bahwa sistem lambang nonverbal berlangsungdalam diri

individu sebagai sistem yang spontan dan ditetapkan tanpa pikir panjang sebelumnya. Hal ini

jelas kelihatan melalui penampilan fisik seperti cara berpakaian.sikap suatu budaya akan

mengarah kepada stereotip etnis.

Seterusnya Samovar dan Porter (2003: 16), dalam berkomunikasi ‘jarak’ sebagai

aspek penting dalam sistem lambang nonverbal. Orang Arab dan Latin condong berinteraksi

secara akrab dibandingkan Amerika Utara dan adanya ketidaknyamanan ketika mereka

berbicara terlalu dekat. Orang Amerika Utara lebih suka berbicara dengan duduk berhadap-

hadapan. Berbeda dengan orang Cina lebih menyukai duduk bersebelahan ketika berbicara.

1.3. Organisasi Sosial

Organisasi sosial adalah cara bagaimana suatu kebudayaan dikomunikasikan kepada

anggotanya. Ada dua organisasi sosial yang berperan dalam membentuk individu, yaitu

keluarga dan sekolah (Samovar dan Porter, 1993: 16).

1.3.1. Keluarga

Keluarga merupakan perwujudan dari institusi tidak formal. Peranan keluarga sangat

penting seiring perjalanan dari waktu ke waktu, yang mana budaya luar akan mempengaruhi

anak. Melalui keluarga, individu belajar mengenal kebudayaannya dan menilai kebudayaanya

paling baik dibandingkan kebudayaan etnis lain, dan lain sebagainya. Gavin dan Brommel

Page 9: PERSEPSI BUDAYA

8

(1991), menunjukan beberapa sikap dasar, nilai-nilai dan tingkah laku dimulai dari keluarga,

seperti tanggung jawab, kepatuhan, dominasi, kemampuan bergaul, kesetian dan lain-lain.

Hasil pengamatanya mendapati bahwa “seorang anak yang lahir di India dapat merasakan

semua orang hidup di dalam satu rumah dan belajar akan luasnya sebuah keluarga. Dengan

hidup bersama orang yang lebih tua di dalam satu rumah, anak akan belajar akan nilai sebuah

umur. Anak-anak bertingkah laku dimasyarakat sebagaimana yang dipelajarinya di rumah.

Bennett, Wolin and Mc Avity (1998) dalam kajian mengatakan bahwa di dalam

sebuah keluarga, budaya dapat menggambarkan batasan-batasan, harapan-harapan, aturan-

aturan untuk berinteraksi, pola komunikasi, cara penyelesaian masalah dan lain-lain.

Pengembangan identitas keluarga dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu identitas keluarga

asli dan identitas yang dibentuk sejalan dengan pernikahan dan keturunan. Melalui sebuah

keluarga akan membentuk pandangan dunia seperti mengakui akan adanya tuhan sehingga

patuh dan bertanggung jawab tehadap lingkungannya, memiliki nilai-nilai yang dapat

membedakan yang baik dan buruk, yang boleh dan tidak boleh dan lain-lain.

Dengan demikian, sistem perilaku wujud dari kepercayaan dan nilai yang dipedomani

oleh setiap individu. Perilaku atau sikap dibentuk atas sebuah proses belajar yang dipelajari

daripada pengalaman sepanjang hidupnya melalui keluarga (Galvin dan Brommel, 1991).

Penemuan Tubbs dan Moss (dalam Mulyana, 2001: 218-219) juga menunjukkan

sebuah keluarga dapat bertahan dengan adanya komunikasi yang berkesan dengan perbedaan

budaya yang melatarbelakanginya. Beliau mendapati bahwa “di Amerika Serikat lebih dari

50% pasangan yang menikah berakhir dengan perceraian, di Britain lebih dari 70% pasangan

yang menikah juga berakhir sama. Hal ini disebabkan tidak adanya komunikasi yang

harmonis dalam keluarga”. Beliau menekankan bahwa komunikasi akan berkesan apabila

pemberian makna bersama antara peserta komunikasi yang berusaha memahami orang lain

sebagaimana yang ia lakukan.

Selain itu, hasil penelitian penulis (Lubis, 2011a: 421) menegaskan bahwa interaksi

komunikasi antarbudaya diantara etnis yang berbeda budaya bermula dari persepsi sebuah

keluarga dalam menanamkan pandangan dunia, nilai-nilai dab terwujud dalam perilaku.

Keluarga berperanan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk mengenali budaya

yang dibawa oleh orang tuanya.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut, kita harus mengakui bahwa perjalanan sebuah

keluarga dalam mendidik generasinya dalam sebuah keluarga antarbudaya mempunyai

pengalaman budaya yang tidak sama antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Banyak

Page 10: PERSEPSI BUDAYA

9

faktor yang mempengaruhinya dan dapat menjadi hambatan dalam kelangsungan interaksi

komuniksi antarbudaya baik dalam keluarga tersebut dan di masyarakat secara luas.

Oleh Romano (2001) dalam Crippen dan Lea Brew (2007: 111), memberikan suatu

jalan keluar untuk identitas keluarga yang dibentuk sejalan dengan perkawinan dan

keturunan, yaitu dengan melihat konflik serius antara orang tua dan anak dalam perbedaan

nilai-nilai dan kepercayaan, pendidikan dan disiplin gaya. Beliau mendapati ada tiga cara

penyelesaian yaitu dengan menyesuaikan diri terhadap norma-norma budaya orang tuan

rumah (tempatan), adaptasi dengan gaya daripada orang tua lain dan adanya pembagian

peranan dalam keluarga.

Nilai-nilai budaya sangat dipengaruhi oleh faktor internal (in Group). Dengan melalui

interaksi komunikasi antar budaya secara aktif dan berterusan dapat merubah terhadap

pemahaman nilai-nilai budaya in group (Lubis, 2011: 157-161).

1.3.2. Sekolah

Selain keluarga, peranan lembaga formal seperti sekolah tidak kalah pentingnya.

Melalui lembaga sekolah, seorang individu diperkenalkan dengan sejarah kebudayaan dengan

menceritakan kepada anggota baru apa yang telah terjadi, memberikan fakta-fakta,

menanamkan nilai-nilai dan sikap dari kebiasaan-kebiasaan yang baik yang dapat diterima

dalam kebudayaan yang besar, dan lain sebagainya.

Hasil penelitian Pelly (1986), mendapati bahwa pada lima sekolah pembauran etnis

cina dan pribumi yang ada di kota Medan-Sumatera Utara, seperti sekolah Kalam Kudus,

Sutomo, Methodis, Amir Hamzah, dan Budi Murni, diantara pelajar sekolah menengah

pertama (SMP) dan pelajar sekolah Menengah Atas (SMA) ada terdapat keberhasilan

asimilasi dalam bidang struktural, perkawinan antara suku bangsa/etnis dan

kewarganegaraan. Hal ini ditandai dengan para siswa SMP masih terikat kuat dengan

kelompok primernya (keluarga dan kerabat dekat) sehingga membuat pergaulannya dengan

orang lain (pribumi) masih sangat terbatas. Berbeda dengan pelajar SMA, yang disebabkan

usia dan pengalaman mereka yang sudah mulai meluas maka mereka tidak terlalu terikat pada

keluarga dan kerabat dekat, mereka lebih bebas dalam bergaul dan aktif dalam kelembagaan

sosial seerti osis dan organisasi sosial lainya. Bahkan pandangan mereka tentang perkawinan

antara suku bangsa, pertemanan antara laki-laki dengan perempuan dari etnis yang berbeda

lebih terbuka dan fleksibel.

Selain sekolah, peranan organisasi kemasyarakatan seperti serikat tolong menolong

(STM), kelompok perkumpulan, maupun tempat kita berkerja, individu-individu yang

Page 11: PERSEPSI BUDAYA

10

berbeda budaya mencoba untuk saling belajar dan memahami perbedaan-perbedaan yang

terdapat pada masing-masing budayanya. Oleh Gudykunst dan Kim (1984) menempatkan

bahwa individu pada kebudayaan itu saling bergantung dan harus menyesuaikan diri kedalam

nilai-nilai dan norma-norma kelompok mereka. Pada kebanyakan kebudayaan, sikap yang

pertama adalah segera memelihara hubungan pada pertama adalah dengan segera memelihara

hubungan pada kelompok dan menyokong hubungan sosial kekeluargaan. Tujuannya ke arah

personal yaitu mempertinggi eksistensi diri yang merupakan kepentingan kedua pada

kebudayaan itu.

2. Beberapa Contoh Kajian Persepsi Budaya dari Beberapa Negara

2.1. Persepsi Budaya India tentang Nilai Anak Lelaki

Mengapa orang tua di india lebih suka anak laki-laki? Alasanya banyak: anak laki-laki

meneruskan nama keluarga, mereka mewarisi kekayaan dalam sebagian besar budaya india,

anak lelaki menjadi sumber sokongan penghasilan orang tua dimasa tua, dan di India

tingginya biaya penyediaan mahar berarti bahwa anak perempuan merupakan biaya finansial

yang sangat tinggi sementara imbalannya kecil. Juga di india, adat hindu menetapkan bahwa

anak laki-lakilah yang harus menunaikan hak kremasi. Jika tidak ada anak laki-laki maka

ritual kremasi tidak lengkap. Hal ini hampir bersamaan dengan keadaan di Cina, Korea dan

Jepang, tidak punya anak laki-laki untuk meneruskan nama keluarga berarti aib bagi leluhur.

Di india, selama berabad-abad bayi perempuan teramat sering dicekik tidak lama

setelah lahir. Namun ketika mesin ultrasonik tersedia bagi orang tua untuk mengetahui jenis

kelamin anak didalam kandungannya, aborsi menjadi pengganti pembunuhan bayi yang lebih

efektif ketika bayi yang dikandung adalah anak perempuan.

2.2. Persepsi Budaya Belanda dan Indonesia tentang Nilai Kemasyarakatan

Hofstede mengidentifikasikan masyarakat Belanda sebagai masyarakat dengan nilai

budaya indivisualisme (Samovar, 2010: 238). Nilai budaya individualisme menurut Hofstede

adalah budaya yang lebih menekankan pada hak dan kewajiban pribadi, privasi, menyatakan

pendapat pribadi, kebebasan, inovasi dan ekspresi diri. Hal ini tergambar jelas dari

karakteristik orang belanda yang egaliter dan modern serta beberapa karakteristik khusus

lainya seperti sederhana, bertoleransi. Independen, mandiri dan punya jiwa wirausaha. Hal ini

berbeda dengan masyarakat Indonesia yang lebih menekankan pada komunitas, kolaborasi,

harmoni, dan tradisi bila dilihat dari identifikasi Hofstede.

Page 12: PERSEPSI BUDAYA

11

Sekalipun budaya Belanda dilihat dari budaya individualisme oleh Hofstede, ada

beberapa tingkah laku ataupun karakteristik masyarakat Belanda yang menunjukkan budaya

kolektivisme, seperti misalnya orang Belanda sangat bangga dengan warisan budaya yang

mereka miliki seperti sejarah, seni, dan musiknya, serta keterlibatan mereka dalam berbagai

hubungan internasional. Hal ini sesuai dengan nilai budaya kolektivitas yang diberikan oleh

Hofstede yaitu lebih menekankan pada komunitas, minat, harmoni, tradisi, fasilitas umum

dan mempertahankan harga diri.

Hofstede juga menilai orang Belanda nyaman dengan ketidakpastian. Orang yang

nyaman dengan ketidakpastian ini cenderung bertoleransi terhadap yang tidak biasa, dan

tidak terancam dengan pandangan orang yang berbeda. Mereka menghargai inisiatif, tidak

begitu menyukai hirarki, berani mengambil resiko dan fleksibel.

2.3. Persepsi Keluarga Etnis Tionghoa dan Pribumi di Medan dalam Interaksi

Komunikasi Antarbudaya

Hasil penelitian penulis (Lubis, 2011: 171-176) menegaskan bahwa interaksi

komunikasi antarbudaya di antar etnis yang berbeda budaya bermula dari persepsi sebuah

keluarga dalam menanamkan pandangan (word view), nilai-nilai dan terwujud dalam

perilaku. Keluarga berperanan dalam mengajarkan para anggota keluarga untuk mengenali

budaya yang dibawa oleh orang tuanya. Hasil wawancara mendalam dengan informan laki-

laki Tionghoa yang menikah dengan perempuan pribumi atau sebaliknya antara perempuan

Tionghoa dengan laki-laki pribumi, didapati bahwa perkawinan berbeda budaya berdampak

kepada cara mendidik anak terutama dalam menanamkan nilai-nilai agama islam yang jelas

sangat berbeda dengan ajaran Budha ataupun Konghucu. Oleh karenanya peranan keluarga

dalam arti kerjasama antara suami dan istri sangat diperlukan dalam membentuk pandangan

dunia, kepercayaan, dan nilai-nilai budaya seorang anak.