perlindungan hukum terhadap …lib.unnes.ac.id/20396/1/8111410030-s.pdf · skripsi dengan judul...
TRANSCRIPT
i
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
MUDHARIBPADA AKAD PEMBIAYAAN
MUDHARABAH
(Studi Analisis Terhadap Program Pemutihan di BMT Darussalam
Kabupaten Demak)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Hukum
Pada Universitas Negeri Semarang
Oleh
Fahmi Saifudin
8111410030
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2015
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap MudharibPada
Akad Pembiayaan Mudharabah (Studi Analisis Terhadap Program
Pemutihan di BMT Darussalam Kabupaten Demak)”, yang disusun oleh
Fahmi Saifudin, NIM 8111410030, ini telah disetujui oleh pembimbing untuk
diajukan ke sidang panitia ujian skripsi pada :
Hari : Jum`at
Tanggal : 19 Januari 2015
iii
PENGESAHAN KELULUSAN
Skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap MudharibPada
Akad Pembiayaan Mudharabah (Studi Analisis Terhadap Program
Pemutihan di BMT Darussalam Kabupaten Demak)”, yang disusun oleh
Fahmi Saifudin, NIM 8111410030, ini telah dipertahankan di hadapan Panitia
Penguji Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 24 Februari 2015
Penguji Utama
Ubaidillah Kamal, S.Pd.,M.H NIP. 197505041999031001
Penguji I Penguji II
Nurul Fibrianti, S.H., M.Hum Baidhowi, S.Ag., M.Ag NIP. 198302122008012008 NIP. 197307122008011010
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Perlindungan Hukum
Terhadap Mudharib Pada Akad Pembiayaan Mudharabah (Studi Analisis
Terhadap Program Pemutihan di BMT Darussalam Kabupaten Demak)”, ini
adalah hasil karya (peneliti dan tulisan) sendiri, bukan buatan orang lain, dan tidak
menjiplak karya ilmiah orang lain, baik seluruhnya atau sebagian. Pendapat atau
temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan
kode etik ilmiah.
Semarang, 31 Desember 2014
Fahmi Saifudin
NIM. 8111410030
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Ibnu „Athiyah berkata, “ Musyawarah termasuk salah satu kaidah syariat dan
penetapan hukum-hukum. Barang siapa yang tidak bermusyawarah dengan
ulama, maka wajib diberhentikan (jika dia seorang pemimpin).
“Janganlah mudah merasa puas, janganlah mudah merasa nyaman,” (Fahmi
Saifudin)
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orang tua saya tercinta, Bapak Drs. Maskuryadi
S.H., M.Pd. dan Ibu Dra. Ammie Sulistyowati, M.Pd, yang
selalu memberikan dukungan dan doa untuk anaknya.
2. Kakak tercinta Asyhuri Dachlan, S.T dan Aminudin A, S.T.
3. Adik tercinta Mufti Adi Prakoso.
4. Teman-teman Fakultas Hukum UNNES.
5. Almamaterku Universitas Negeri Semarang.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji bagi Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tetap terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat-sahabat dan
pengikutnya. Berkat rahmat dan hidayah yang diberikan oleh Allah SWT,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, yang berjudul : “Perlindungan
Hukum Terhadap MudharibPada Akad Pembiayaan Mudharabah (Studi Analisis
Terhadap Program Pemutihan di BMT Darussalam Kabupaten Demak)”, Skripsi
ini diajukan UNTUK memenuhi tugas dan syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Strata Satu (S.1) di Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Ucapan terima
kasih sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada semua yang telah memberikan
pengarahan, bimbingan dengan moral dan bantuan apapun yang sangat besar bagi
penulis. Ucapan terima kasih terutama penulis sampaikan kepada :
1. Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum. selaku Rektor Universitas Negeri
Semarang.
2. Drs. Sartono Sahlan, M.H, selaku Dosen wali dan Dekan Fakultas Hukum
Universitas Negeri Semarang.
3. Drs. Suhadi, S.H., M.Si, selaku Pembantu Dekan 1 Bidang Akademik
Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
4. Drs. Herry Subondo, M.Hum, selaku Pembantu Dekan II Bidang
Administrasi Umum Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang.
vii
5. Ubaidillah Kamal, S.Pd., M.H, selaku Pembantu Dekan III Bidang
kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang dan sekaligus
penguji utama yang telah membantu untuk menyempurnakan skripsi ini.
6. Rofi Wahanisa, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Perdata-Dagang Fakultas
Hukum Universitas Negeri Semarang.
7. Baidhowi, S.Ag., M.Ag. selaku Dosen Pembimbing dan sekaligus penguji
kedua yang telah memberikan bimbingan, motivasi, bantuan, kritik dan saran
yang dengan sabar dan sepenuh hati sehingga peneliti dapat menyelesaikan
skripsi ini.
8. Nurul Fibrianti, S.H., M.Hum selaku penguji pertama yang telah membantu
untuk menyepurnakan skripsi ini
9. Dosen dan Staf Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang..
10. Anwar Masdari, S.IP., M.M, selaku Manager di BMT Darussalam yang telah
bersedia membatu beserta memberikan ijin dalam penelitian ini.
11. Seluruh pengurus BMT Darussalam yang telah mendampingi dalam
penelitian ini.
12. Pemerintah Kabupaten Demak yang telah bersedia memberikan izin untuk
melakukan penelitian untuk skripsi di BMT Darussalam Kabupaten Demak.
13. Kedua orang tuaku yang tercinta, Bapak Drs. Maskuryadi S.H., M.Pd. dan
Ibu Dra. Ammie Sulistyowati, M.Pd, yang selalu memberikan dukungan dan
doa untuk anaknya.
viii
14. Kakak Asyhuri Dachlan, S.T dan Aminudin S.T. serta adik Mufti Adi
Prakoso yang selalu memberikan dukungan, doa dan semangat dalam
penyelesaian skripsi ini.
15. (Alm) Eyang Kusnendar dan Eyang Murti yang menjadi pedoman teladan
kehidupan saya.
16. Keluarga besar yang selalu mendukung dan mensuport untuk mencari ilmu
pengetahuan.
17. Semua pihak yang telah membantu dengan sukarela yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
Semoga seluruh bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan yang
berlimpah dari Allah SWT. Akhir kata semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan ilmu pengetahuan, dan wawasan bagi pembaca.
Semarang, 31 Desember 2014
Peneliti
Fahmi Saifudin NIM. 8111410030
ix
ABSTRAK
Saifudin, Fahmi. 2014. Perlindungan Hukum Terhadap MudharibPada Akad
Pembiayaan Mudharabah (Studi Analisis Terhadap Program Pemutihan di BMT
Darussalam Kabupaten Demak).Prodi Ilmu Hukum. Fakultas Hukum Universitas
Negeri Semarang. Dibimbing oleh Baidhowi, S.Ag., M.Ag. 138 Halaman.
Kata Kunci: Perlindungan, Hukum, Mudharabah
Baitul Mal wat Tamwil adalah lembaga keuangan dengan prinsip syariah.
BMT senantiasa memperhatikan kesejahteraan anggotanya. Salah satu
upayanyaadalah pembiayaan mudharabah, BMT Darussalam dalam menjalankan
pembiayaan mudharabahmemiliki program khusus melindungi anggota yang
sedang mengalami musibah atau kerugian yakni dengan menggunakan pemutihan.
Rumusan masalah dari penelitian ini adalah 1) Bagaimana bentuk
perlindungan hukum terhadapmudharib pada akad pembiayaan mudharabah
menurut Undang-Undang, 2) Bagaimana praktek perlindungan hukum dan
pemutihan terhadap mudharib pada akad pembiayaan mudharabah di BMT
Darussalam Kabupaten Demak.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode
pendekatan yuridis sosiologis. Metode pengumpulan data melalui dokumentasi,
pengamatan (observasi) dan wawancara (interview). Adapun falidasi data dengan
metode triangulasi.
Hasil dan pembahasan menjelaskan bahwa secara hukum BMT Darussalam
telah melaksanakan perlindungan terhadap mudharib dalam berakad. Hal ini
dibuktikan dengan kelengkapan BMT sebagai subjek yang berbadan hukum
Kopontren/88/BH/XIV8/PAD/KDK/11-03/1/2008 sesuai dengan pasal 9 UU
Perkoperasian No. 25 Tahun 1992. Sehingga BMT ini tidak ilegal (sudah legal).
Demikian juga BMT Darussalam memiliki Dewan Pengawas Syariah yang
diketuai oleh K. H. Drs. Suali M. S. yang berfungsi untuk menangani produk-
produk yang dilakukan oleh BMT sesuai yang diamanatkan oleh pasal 38 UU
Perkoperasian No. 25 Tahun 1992. Dalam hal ini Dewan Pengawas adalah Dewan
Pengawas Syariah. Sedangkan jika terjadi nasabah mengalami kerugian dan
belum mengembalikan modal sesui rencana, maka BMT berusaha menyelesaikan
secara musyawarah (rapat anggota) sebagaimana amanat pasal 24 UU
Perkoperasian No. 25 Tahun 1992. Hasil musyawarah ada tiga opsi. Opsi pertama
jika mudharib masih ada kemampuan maka akan diberikan pendampingan dan
pencerahan untuk memperbaiki usaha mudharib, penjadwalan ulang (rescdule)
untuk melunasinya. Opsi kedua jika mudharib tidak mampu, dan masih ada usaha,
mudharib diharapkan mengembalian pokok pinjaman tanpa ada nisbah. Opsi ke 3
jika mudharib sudah tidak mempunyai kemampuan maka BMT berupaya untuk
memutihkan dengan alasan bahwa mudharib merupakan kategori mustahiq zakat
yaitu gharim.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN .............................................................. iii
PERNYATAAN ........................................................................................ iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
ABSTRAK ................................................................................................ ix
DAFTAR ISI ............................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah .................................................. 8
1.2.1 Identifikasi Masalah .......................................................................... 8
1.2.2 Pembatasan Masalah ......................................................................... 9
1.3 Perumusan Masalah .............................................................................. 9
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 9
1.4.1 Tujuan Penelitian .............................................................................. 9
1.4.2 Manfaat Penelitian ............................................................................ 10
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi .............................................................. 11
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori .................................................................................... 13
xi
2.1.1 Tentang BMT ................................................................................. 13
A. Makna dan Fungsi BMT ................................................................. 13
B. Sejarah singkat BMT ...................................................................... 14
C. Dasar Hukum BMT ......................................................................... 15
D. Ciri - ciri BMT ................................................................................ 18
E. Tujuan dan Analisa Pembiayaan BMT ........................................... 25
F. Prinsip BMT ................................................................................... 28
G. Sistem Pembiayaan BMT ............................................................... 30
H. Produk Pembiayaan BMT .............................................................. 31
I. Kendala dan Hambatan yang Dihadapi BMT ................................ 47
2.2 Pembiayaan Mudharabah ..................................................................... 49
2.2.1 Makna Pembiayaan Mudharabah ...................................................... 49
2.2.2 Mudharabah dalam Perspektif Fiqih dan Perlindungan .................... 55
A. Syarat Mudharabah ........................................................................ 59
B. Bentuk-bentuk akad Mudharabah .................................................. 62
C. Landasan Hukum Mudharabah ...................................................... 64
D. Manfaaat sistem Mudharabah ........................................................ 66
E. Kualitas Pembiayaan ...................................................................... 73
2.3 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen atau Nasabah ................... 74
2.3.1 Perlindungan Hukum ........................................................................ 74
2.3.2 Konsumen ......................................................................................... 75
2.3.3 Nasabah dan Mudharib ...................................................................... 75
2.3.5 Undang-Undang yang Mengatur ....................................................... 77
xii
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1 Dasar Penelitian dan Metode Pendekatan ............................................ 78
3.2 Lokasi Penelitian dan Fokusnya .......................................................... 78
3.3 Sumber Data ......................................................................................... 80
3.4 Alat dan Teknik Pengumpulan Data .................................................... 81
3.4.1 Wawancara (interview) dan Observasi ............................................. 81
3.4.2 Studi Kepustakaan dan Dokumen ..................................................... 83
3.5 Keabsahan Data .................................................................................... 83
3.6 Metode Analisis Data ............................................................................ 86
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Deskripsi BMT Darussalam ............................................................... 89
4.1.2 Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Mudharib BMT Menurut
Undang-Undang ................................................................................ 105
4.1.3 Praktek Perlindungan Hukum dan Pemutihan Terhadap
Mudharib Pembiayaan Mudharabah di BMT Darussalam ................ 109
4.2 Pembahasan
4.2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Mudharib Pembiayaan Mudharabah
Menurut Undang-Undang di BMT Darussalam ................................ 121
4.2.2 Pratek Perlindungan Hukum dan Pemutihan Terhadap Mudharib
Pembiayaan Mudharabah di BMT Darussalam ................................ 127
BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan .............................................................................................. 132
xiii
5.2 Saran ..................................................................................................... 133
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 138
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran :
1. Surat ijin penelitian di BMT Darussalam Kabupaten Demak
2. Surat keterangan telah penelitian di BMT Darussalam Kabupaten Demak
3. Pedoman wawancara
4. Formulir Pembimbingan Penulisan Skripsi
5. Dokumen-dokumen BMT Darussalam Kabupaten Demak
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sejalan dengan pesatnya kemajuan ekonomi dan bisnis didunia pada
umumnya dan di Indonesia pada khususnya, bisnis perbankan tumbuh
menjadi semakin beraneka ragam jenisnya. Beraneka ragam jasa-jasa dan
semakin canggihnya fasilitas-fasilitas yang diberikan oleh bank. Bank
mempunyai peranan yang penting dalam sistem perekonomian di Indonesia.
Jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat tersebut dapat mendukung
laju pertumbuhan ekonomi dan dapat memperlancar kegiatan perekonomian.
Dengan adanya kemajuan zaman dan adanya pertimbangan dari masyarakat
luas, perbankan kini mengalami perkembangan baik dari produk, inovasi,
sistem, prinsip operasional dan sebagainya.
Perkembangan dan kemajuan zaman khususnya perkembangan
ekonomi di Indonesia ditandai dengan banyaknya lembaga keuangan makro
maupun mikro yang tersebar keberbagai pelosok tanah air, rupanya belum
mencapai kondisi yang ideal jika diamati secara teliti. Hal ini nampak dari
banyaknya lembaga keuangan mikro yang hanya mengejar target pendapatan
masing-masing, sehingga tujuan yang lebih besar sering terabaikan,
khususnya dalam pengembangan ekonomi masyarakat bawah. Padahal,
lembaga keuangan mikro mempunyai posisi strategis dalam pengembangan
ekonomi masyarakat kelas bawah. Dalam kondisi yang demikian inilah Baitul
2
Maal wa Tamwil (BMT) muncul dan mencoba menawarkan solusi bagi
masyarakat kelas bawah (Ahmad Sumiyanto, 2008).
Lembaga keuangan syari‟ah yang dikenal dengan nama Baitul Maal
Wat Tamwil (BMT) ini merupakan cikal bakal lahirnya bank-bank syariah di
Indonesia. Pembiayaan merupakan salah satu aktivitas penting dalam
manajemen BMT yang sering digunakan untuk menunjukkan aktivitas utama
BMT, karena seiring berhubungan langsung dengan rencana memperoleh
pendapatan. Pembiayaan menjadi kegiatan utama lembaga ini, oleh karena
itu memerlukan analisis yang cermat agar bisa menghasilkan keuntungan dan
mendukung kelangsungan usaha lembaga tersebut.
Sebagian besar dana operasi BMT dikelola dalam pembiayaan,
keberhasilan BMT dalam mengelola pembiayaan merupakan keberhasilan
bisnis BMT. Sebaliknya apabila BMT terjerat dalam masalah pembiayaan
maka BMT akan menghadapi masalah besar, seperti resiko tak tertagihnya
hutang atau pembiayaan bermasalah. Bank-bank di Indonesia terbukti pernah
dan sering terjadi kredit bermasalah atau tidak terbayarnya tagihan sebagian
bahkan seluruhnya, salah satu sebabnya yaitu analisis kredit atau pembiayaan
yang tidak cermat.
Begitu juga pada BMT yang harus selalu menggunakan prinsip
kehati-hatian dalam mengelola pengoperasionalan dana dengan tujuan untuk
meminimalkan risiko. Salah satunya yaitu dalam pemberian pembiayaan
kepada calon debitur agar tidak terjadi pembiayaan bermasalah. Kenaikan
pembiayaan bermasalah alias Non Performing Loan (NPL) sangat
3
mempengaruhi kinerja keuangan pada BMT. Dengan demikian perlu adanya
peningkatan pengoperasian dana supaya kinerja keuangan BMT semakin
baik, khususnya dalam pembiayaan pemberian persetujuan pembiayaan.
Meningkatnya pemberian persetujuan pembiayaan baru dikarenakan 2
(dua) alasan yaitu dilihat dari sisi internal dan eksternal BMT. Dari sisi
internal, permodalan BMT masih cukup kuat dan portofolio pembiayaan
meningkat, sedangkan alasan eksternal BMT adalah membaiknya prospek
usaha mudharib. Namun tidak menutup kemungkinan terjadinya pembiayaan
yang bermasalah atau kredit bermasalah atas pembiayaan yang diberikan.
Bahaya yang timbul dari pembiayaan atau kredit bermasalah adalah tidak
terbayarnya kembali pembiayaan atau kredit tersebut, baik sebagian maupun
seluruhnya (Rahman El Junusi, 2005: 3).
Pembiayaan bermasalah atau kredit macet memberikan dampak yang
kurang baik bagi negara, masyarakat, dan bank ataupun BMT. Bahaya atas
pembiayaan bermasalah yakni tidak terbayarnya kembali pembiayaan yang
diberikan, baik sebagian atau seluruhnya. Semakin besar pembiayaan yang
bermasalah dihadapi oleh BMT maka akan menurun tingkat kesehatan BMT
mempengaruhi tingkat likuiditas dan solvabilitas, yang dapat mempengaruhi
kepercayaan para penitip dana. Semakin besar jumlah pembiayaan
bermasalah, maka semakin besar jumlah dana cadangan yang harus
disediakan semakin besar juga tanggungan BMT untuk mengadakan dana
cadangan tersebut, karena kerugian yang ditanggung BMT akan mengurangi
pendapatan dan menyedot modal sendiri. Dampak yang ditimbulkan oleh
4
pembiayaan bermasalah tersebut menguatkan keharusan BMT untuk berusaha
mengupayakan penanggulangan ataupun pencegahan bahaya yang mungkin
timbul akibat pembiayaan bermasalah tersebut.
Sebelum BMT memutuskan untuk menyetujui permintaan atau
penambahan pembiayaan kepada calon debitur maka perlu mengadakan
evaluasi risiko dari para calon debitur. Adapun prinsip yang diterapkan dalam
pemberian kredit adalah prinsip “5-C” yaitu: Character, Capacity, Capital,
Collateral, dan Conditions. Prinsip “5-C” tersebut kadang ditambahkan
dengan “1-C” yaitu Constraint (Muhammad, 2006: 261)
BMT dapat mengabulkan permohonan pembiayaan calon debitur
apabila persyaratan yang ditetapkan BMT dapat terpenuhi. Terhadap
kelengkapan data pendukung permohonan pembiayaan, BMT juga melakukan
penilaian kelengkapan dan kebenaran informasi dari calon debitur dengan
cara petugas BMT melakukan wawancara dan kunjungan (on the spot)
ketempat usaha debitur.
Diharapkan BMT mampu mewujudkan pemerataan kesempatan
berusaha melalui pemberian pembiayaan kepada para pedagang atau
pengusaha kecil di pedesaan melalui dana yang dihimpun dari masyarakat
yang berupa tabungan dan deposito berjangka. Seiring dengan laju
pertumbuhan ekonomi maka debitur pembiayaan BMT semakin diminati
masyarakat. Seiring bertambahnya debitur pembiayaan, maka semakin sering
terjadi transaksi pemberian pembiayaan. Hal ini memungkinkan terjadinya
resiko pembiayaan tak tertagih semakin banyak.Diantara sekian banyak
5
lembaga keuangan syariah di Kabupaten Demak, salah satunya BMT. Dalam
penelitian ini penulis tertarik pada BMT Darussalam, dimana dalam BMT
Darussalam tersebut menawarkan berbagai macam produk pengumpulan dana
dan penyaluran dana serta jasa keuangan lainnya. Salah satu produk yang
ditawarkan adalah pembiayaan Mudharabah.
BMT Darussalam menawarkan dua macam pembiayaan Mudharabah
yaitu pembiayaan Mudharabah muqayyadah dengan jaminan (agunan) dan
pembiayaan Mudharabah muqayyadah tanpa jaminan (agunan). Selama ini
BMT Darussalam lebih dominan melayani mudharib masyarakat menengah
kebawah seperti para pedagang yang berada di pasar tradisional dalam
kawasan kota Demak. BMT Darussalam dalam membina mudharib dan
berjalannya zakat, maka BMT Darussalam mempunyai sistem pemutihan atau
penghapusan beban yaitu tanggungjawab sisa pembayaran mudharib ke BMT
Darussalam. (Sumber: wawancara dengan pengurus BMT Darussalam Kab.
Demak, Pada Tanggal 15 November 2014 Pukul 11.00).
Penulis tertarik dengan sistem yang disebut pemutihan atau
penghapusan beban yaitu tanggungjawab sisa pembayaran mudharib ke BMT
Darussalam. Pembiayaan Mudharabah yang dilakukan bagi masyarakat
menengah ke bawah ini merupakan pembiayaaan Mudharabahmuqayyadah
atau tanpa jaminan.Nisbah (persentase) bagi hasil dan ketentuan-ketentuan
lain ditetapkan sesuai kesepakatan dimuka yang disetujui oleh kedua belah
pihak, tetapi tidak semua pembiayaan yang terjadi berjalan lancar, fakta riil
dilapangan menunjukan bahwa tidak sedikit adanya berbagai macam kendala
6
yang dihadapi dalam pembiayaan Mudharabah bermasalah seperti
pembiayaan bermasalah, kecelakaan kerja, hingga wanprestasi.
Penyelesaian pembiayaan bermasalahdapat dilakukan dengan cara
mencari tahu alasan mengapa pengelola dana tersebut tidak bisa melunasinya.
BMT akan mengalami kesulitan dalam menyelesaikannya karena tidak
adanya barang yang dijadikan jaminan (agunan), meskipun begitu BMT tetap
melakukan usaha untuk menyelesaikannya. Hal ini dengan harapan mudharib
tidak merasa dirugikan oleh pihak BMT semisal dari pihak mudharib belum
mau melunasi atau menjalankan sesuai perjanjian dikarenakan suatu musibah
sehingga BMT tidak boleh menindas mudharib dengan sewenang-wenang.
Oleh karena itu diperlukan adanya payung atau landasan hukum yang
merupakan bagian dan peranan penting sebagai adanya kepastian hukum
dalam perlindungan antara kedua belah pihak. Sebab suatu perjanjian
haruslah saling mengikat dan mampu untuk memenuhi perjanjian yang dinilai
memenuhi cakap hukum sehingga proses ataupun berakhirnya perjanjian
tidak menimbulkan suatu permasalah yang bisa menjadikan perselisihan yang
lebih dari yang ingin diselesikan (Adiwarman A Karim, 2004:195).
Perkembangan dan kemajuan BMT dalam masyarakat tumbuh sangat
pesat, hal tersebut terjadi oleh karena mendirikannya sangat mudah. BMT
sendiri memang ranahnya untuk masyarakat menengah kebawah. Tetapi
dalam perjalanannya banyak kasus yang muncul seperti penggelapan dana
mudharib oleh pengurus. Prosedur perlindungan dana mudharib BMT yang
ada saat ini dibuat oleh masing-masing BMT sehingga setiap BMT memiliki
7
prosedur perlindungan yang berbeda-beda. Perlindungan terhadap dana
mudharib lebih ke tindakan preventif yang dilakukan BMT itu sendiri. Belum
terdapatnya regulasi yang jelas, sehingga saat ini BMT hanya mengupayakan
langkah-langkah preventif dalam perlindungan dana mudharib dengan kata
lain legalitas perlindungan dana mudharib BMT belum ada. BMT yang sudah
tumbuh pesat, ternyata untuk melindungi dana mudharibnya mereka harus
punya SOP sendiri yang bersifat preventif dalam kegiatan saving dan
financing. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap BMT prosedurnya
berbeda-beda (Tan Kamello, 2006: 23).
Adanya fakta yang demikian maka disini pemerintah memiliki otoritas
untuk mengawasi BMT karena termasuk dalam Koperasi. Kendati telah ada
peraturan perundang undangan yang mengatur seperti Undang- Undang
Lembaga Keuangan Mikro dan Lembaga OJK namun sifatnya masih bersifat
umum. “BMT termasuk KJKS jadi pemerintah melalui dinas Koperasi dan
Perindustrian disini mempunyai otoritas untuk mengawasi BMT itu sendiri.
BMT belum diatur secara khusus, di undang-undang lembaga keuangan
mikro sudah ada BMT tapi belum secara keseluruhan diatur” (Samsudin,
2004: 110).
Sementara itu Maqdir Ismail, mengungkapkan dalam bukunya bahwa
“Pengurus BMT pelaku penggelapan atau penipuan tidak bisa dikategorikan
sebagai kejahatan perbankan Karena BMT tidak diatur dalam undang-undang
perbankan. Ismail menambahkan, saat ini legalitas BMT diatur dalam
undang-undang perkoperasian. Bisa menggunakan KUHP untuk menjerat
8
penggelapan dan penipuan itu. Kalau kejahatan perbankan sanksinya bisa
jauh lebih berat seperti yang di atur di undang-undang perbankan”(Maqdir
Ismail, 2009: 27).
Demikianlah yang kemudian menuntut untuk segera direalisasikannya
payung hukum yang mengatur secara khusus tentang operasional BMT yang
kuat agar terciptanya kepastian hukum. Berdasarkan uraian latar belakang
sebelumnya penulis tertarik sekali untuk mengetahui dan mengupas dasar
hukum perjanjian atau kesepakatan antara mudharib dengan BMT
Darussalam di Kabupaten Demak hal inilah yang mendorong peneliti untuk
menulis skripsi dengan judul: PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
MUDHARIB PADA AKAD PEMBIAYAAN MUDHARABAH (Studi
Analisis Terhadap Program Pemutihan di BMT Darussalam Kabupaten
Demak)
1.2 Identifikasi dan Pembatasan Masalah
1.2.aIdentifikasi Masalah
Permasalahan yang akan menjadi pokok perhatian dalam penelitian
ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut :
a. Apa dasar hukum pemberian pembiayaan di BMT Darussalam.
b. Apa faktor yang mempengaruhi pemberian pembiayaan di BMT
Darussalam.
c. Bagaimana perlindungan hukum dan pemutihan terhadap mudharib
jika mengalami kerugian atau pailit di BMT Darussalam.
9
d. Bagaimana kemampuan Dewan Pengawas Syari‟ah ( DPS ) dan
Pengurus BMT Darussalam dalam mengatasi permasalahan yang
terjadi diantara para pihak.
1.2.b Pembatasan Masalah
Sebagai lembaga keuangan yang baru dikenal, BMT menyimpan
berbagai permasalahan terutama masalah – masalah hukum. Antara lain
masalah bentuk usaha, organ / pengurus BMT, tanggung jawab para pihak
dalam perjanjian dan perlindungan bagi mudharib sebagai konsumen.
Namun karena luasnya permasalahan tersebut, maka peneliti hanya
membatasi masalah bagaimana perlindungan hukum mudharib BMT, dan
bagaimana jika mudharib merugi bahkan bangkrut pembiayaan
Mudharabah di BMT Darussalam Kab. Demak.
1.3 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, pokok permasalahan utama dalam tulisan
ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap mudharib BMT
menurut Undang-Undang ?
2. Bagaimana praktek perlindungan hukum dan pemutihan terhadap
mudharib pembiayaan Mudharabah di BMT Darussalam Kabupaten
Demak ?
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
10
a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hukum terhadap mudharib
BMT Darussalam menurut Undang-Undang.
b. Untuk mengetahui praktek pemutihan perlindungan hukum
terhadap mudharib pembiayaan Mudharabah di BMT Darussalam
Kabupaten Demak.
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat memperkaya
khasanah ilmu pengetahuan bagi pengembangan teori ilmu hukum
dan perbendaharaan pustaka masalah ilmu ekonomi Syari‟ah,
khususnya bagi pihak BMT dalam memperhatikan analisis
pembiayaan dalam hal pemberian pembiayaan Mudharabah
kepada calon debitur.
b. Manfaat Praktis
Dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan
pengetahuan Lembaga Keuangan Syari‟ah dan menjadi rujukan
penelitian berikutnya tentang prosedur perlindungan hukum
terhadap mudharib.
Bagi BMT Darussalam, penelitian ini dapat dijadikan sebagai
bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan atau kebijakan
pada saat pemberian pembiayaan dan memberikan pemutihan
kepada mudharib.
11
1.5 Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa bagian yaitu :
1. Bagian Pendahuluan
Bagian pendahuluan memuat Sampul, Lembar Berlogo, Judul,
Pengesahan Kelulusan, Pernyataan, Motto dan Persembahan, , Kata
Pengatar, Sari (abstrak), Daftar Isi, dan Daftar Lampiran.
2. Bagian Isi Skripsi
a. Bab I Pendahuluan
Bab pendahuluan ini terdiri dari sub bab, yang dimulai dengan latar
belakang penelitian, identifikasi dan pembatasan masalah, maksud
dan tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan
skripsi
b. Bab II Tinjauan Pustaka
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai penelaah kepustakaan atau
kerangka teoritik, membicarakan tentang landasan atau konsep-konsep
serta teori-teori yang mengandung pemecahan masalah, yang meliputi
pengertian BMT, perlindungan hukum terhadap mudharib, pengertian
pemberian Mudharabah serta berbagai teori tentang BMT.
c. Bab III Metode Penelitian
Dalam bab ini peneliti akan menjelaskan tentang metode yang akan
digunakan meliputi metode pendekatan penelitian, spesifikasi
penelitian, fokus penelitian, lokasi penelitian, sumber data, metode
12
pengumpulan data, metode pengolahan data, keabsahan data dan
metode analisis data.
d. Bab IV Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pada bab ini terkait dijelaskan mengenai hasil penelitian yang
dilakukan mengenai permasalahan. Dalam bab ini akan diuraikan
deskripsi BMT Darussalam dan dalam berbagai sub, yakni : prosedur
perlindungan hukum terhadap mudharib BMT Darussalam Kabupaten
Demak, dan Pelaksanaan jika terjadi putusnya pemberian pembiayaan
Mudharabah di BMT Darussalam Kabupaten Demak.
e. Bab V Penutup
Bab penutup ini akan berisikan tentang simpulan dan saran, penelitian
akan mencoba menarik sebuah benang merah terhadap permasalahan
yang diangkat.
3. Bagian Akhir Skripsi
Bagian akhir Skripsi terdiri dari Daftar Pustaka dan Lampiran-lampiran
13
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Tentang BMT
A. Makna dan Fungsi BMT
Menurut (Andri Soemitra, 2009:56) BMT adalah kependekan dari
kata Balai Usaha Mandiri Terpadu atau Baitul Maal Wat Tamwil, yaitu
lembaga keungan mikro (LKM) yang beroperasi berdasarkan prinsip-prinsip
syariah.
Sedangkan menurut Muhammad (2004:32), Baitul Maal Wat
Tamwil (BMT) merupakan lembaga keuangan yang usaha pokoknya
memberikan pembiayaan dan jasa-jasa yang tidak menggunakan bunga
tetapi menggunakan sistem bagi hasil yang produknya sendiri berlandaskan
pada Al-Qura‟an dan Hadits Nabi SAW.
Baitul maal wattamwil terdiri dari dua istilah, yaitu baitul maal dan
baitul tamwil. Baitul maal lebih mengarah pada usaha-usaha pengumpulan
dan penyaluran dana non profit, seperti zakat, infaq dan shodaqoh. Baitul
tamwil sebagai usaha pengumpulan dan penyaluran dana komersial. Usaha
tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari baitul maal wattamwil
sebagai lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil dengan
berlandaskan syari‟ah (M. Sholahuddin, 2006: 75).
Dari sini, secara operasional, BMT dapat didefinisikan sebagai
lembaga keuangan syari‟ah yang memadukan fungsi pengelolaan ZIS
14
dan penyadaran umat akan nilai-nilai Islam dengan fungsi bisnis
(ekonomi). Dalam perannya sebagai baitul maal, BMT harus
menjalankan fungsi optimalisasi pengelolaan ZIS dan upaya-upaya
penyadaran kepada masyarakat tentang pentingnya nilai-nilai Islam
dalam semua aspek kehidupan (Ahmad Sumiyanto, 2008: 25).
Secara garis besar BMT memiliki 2 fungsi utama (Heri Sudarsono,
2006: 96):
1. Baitul Maal: lembaga yang mengarah pada usaha-usaha pengumpulan
dan penyaluran dana yang non profit, seperti halnya zakat, infaq, dan
shadaqah.
2. Baitut Tamwil: lembaga yang mengarah pada usaha pengumpulan dan
penyaluran dana komersial.
B. Sejarah Singkat BMT
Pengembangan BMT merupakan hasil prakarsa dari Pusat Inkubasi
Bisnis Usaha Kecil dan Menengah (PINBUK) yang merupakan badan
pekerja yang dibentuk oleh Yayasan Inkubasi Usaha Kecil dan Menengah
(YINBUK). Menurut (A. Djazuli dan Yandi janwari, 2002) yang dikutip
oleh (Andri Soemitra, 2009) PINBUK didirikan memiliki fungsi sebagai
berikut:
a. Mensupervisi dan membina teknis, administrasi, pembukuan, dan financial
BMT-BMT yang terbentuk.
b. Mengembangkan sumber daya manusia dengan melakukan inkubasi bisnis
pengusaha baru dan penyuburan pengusaha yang ada.
15
c. Mengembangkan teknologi maju untuk para nasabah BMT sehingga
meningkat nilai tambahnya.
d. Memberikan penyuluhan dan latihan.
e. Melakukan promosi, pemasaran hasil dan mengembangkan jaringan
perdagangan usaha kecil.
f. Memfasilitasi alat-alat yang tidak mampu dimiliki oleh pengusaha secara
perorangan, seperti faks alat-alat promosi dan alat-alat pendukung lainnya.
Sebagaimana umumnya lembaga keuangan Islami lainnya, BMT
merupakan lembaga mediasi keuangan yang bertujuan meningkatkan
kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya. BMTdalam upaya merealisasikan konsep
tersebut, dikembangkanlah sejumlah usaha bisnis yang dikembangkan
secara swadaya dan professional.
C. Dasar Hukum BMT
Hingga saat ini BMT belum memiliki payung hukum yang jelas
dan spesifik. Pengaturan yang digunakanmengacu pada berbagai peraturan
yang ada, antara lain, KUH Perdata, KUH Dagang, UUNo. 10 tahun 1998
tentang Perbankan, UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi
besertaPeraturan Pelaksananya, SK Menteri Negara Koperasi dan UKM,
dan UU No. 40 Tahun2007 tentang Perseroan Terbatas.
Digunakan pengaturan yang beragam ini menimbulkan masalah
hukum, antara lainadanya ketidakkepastian hukum, berkaitan dengan
bentuk hukum, proses pendirian,pengesahan, pembinaan dan pengawasan
16
BMT. Kebanyakan dasar hukum yang dipergunakan sebagi pijakan
pendirian BMT adalah Koperasi. Lebih detail tentang ketentuan pengaturan
koperasi BMT diatur dengan Keputusan Menteri Koperasi Usaha Kecil dan
Menengah No.91 Tahun 2004 (Kepmen No. 91 /KEP /M.KUKM /IX
/2004). Dengan ketentuan tersebut, maka BMT yang beroperasi secara sah
di wilayah Republik Indonesia adalah BMT yang berbadan hukum koperasi
yang izin operasionalnya dikeluarkan oleh Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Usaha Menengah atau departemen yang sama di masing-
masing wilayah kerjanya. Oleh karena itu BMT yang berbadan hukum
koperasi harus juga tunduk dengan koperasi yaitu Undang-undang Nomor
25 Tahun 1992 tentang perkoperasian.
Sesuai dengan Perma No 02 Tahun 2008 Tentang Kompilasi
Hukum Ekonomi Syari‟ah, dalam pasal 49 Undang-undang No. 3
tahun2006 ini disebutkan bahwa “Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat
pertama antaraorang-orang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b.
waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shodaqoh; dan i.
ekonomi syariah. Pada bagian terakhir disebutkan ekonomi syariah.
Artinya, lebih luas dari hanya sekedar menangani perbankan syariah.
Adapun maksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam”
diperluas pengertiannya termasuk orang atau badan hukum yang dengan
sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai
17
ketentuan pasal ini (Ramdlon Naning,2008:30). Pengertian “ekonomi
syariah” diperluas dan dirinci sebagai perbuatan atau kegiatan usaha yang
dilaksanakan menurut prinsip syariah, meliputi: a. bank syariah; b. asuransi
syariah; c. reasuransi syariah; d. reksadana syariah; e. obligasi syariah dan
surat berharga berjangka menengah syariah; f. sekuritas syariah; g.
pembiayaan syariah; h. pegadaian syariah; i. dana pensiun lembaga
keuangan syariah; j. bisnis syariah; k.lembaga keuangan mikro syariah
(Ramdlon Naning, 2008:30).
KHES lahir untuk memenuhi upaya tersebut. Selain itu, KHES
dilahirkan dalam upaya menyamakan dasar pijakan para hakim dalam
memberikan keputusan hukum dalam ekonomi syariah. Sehingga BMT
sebagai salah satu lembaga yang bergerak dibidang pembiayan syariah
mengacu pada peraturan ini.
Pada dasarnya pemutihan merupakan nama lain dari pembebasan
utang, yang telah diatur dalam pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tepatnya pada pasal 1438 yaitu pembebasan utang adalah perbuatan hukum
dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya
dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat
saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah
mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan
kepada debitur. Pembebasan utang dapat terjadi dengan persetujuan atau
Cuma- Cuma. Maka dari itu pasal 1438 KUHPerdata menekankan bahwa
pembebasan Utang haruslah dibuktikan.
18
Mengenai pembebasan utang haruslah dilakukan semacam
deklarasi dari kreditur kepada debitur yang prinsipnya membebaskan
debitur dari kewajiban-kewajiban membayar utangnya. Sementara untuk
sistem deklarasi yang dimaksud diatur dalam pasal 1439-1441
KUHPerdata. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa pernyataan
kreditur itu dilakukan diluar ketentuan pasal-pasal tersebut, dengan cara
lisan misalnya bisa saja dilakukan. Untuk itulah beban pembuktian
pembebasan utang tersebut menjadi tanggungjawab pihak yang
memprasangkakan kebebasan utang itu.Pernyataan kebebasan yang
dimaksud adalah dengan cara, pengembalian sepucuk tanda piutang,
pembebasan hutang pada salah seorang kawan berhutang, pengambalian
gadai, pembebasan yang berhutang utama, serta pembayaran dari
penanggung. Atau dengan cara lain sesuai dengan Hukum Acara Perdata
dan Undang-undang yang berlaku.
D. Ciri-ciri BMT
Baitul Maal mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Visi dan misinya sosial.
b. Mempunyai fungsi sebagai mediator.
c. Tidak boleh mengambil profit apapun.
d. Pembiayaan operasi diambil 12,5 persen dari total zakat yang diterima,
yang merupakan bagian amil zakat.
e. Penyalurannya dialokasikan pada mereka yang berhak menerima atau
disebut Mustahik.
19
Sedangkan Baitut Tamwil mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Visi dan misinya ekonomi dan profit motif.
b. Dijalankan dengan prinsip ekonomi Islam.
c. Berfungsi sebagai mediator atau financial intermediary antar pihak yang
kelebihan dana dengan pihak yang kekurangan dana.
d. Merupakan wajib zakat. (M. Syafi‟i Antonio, 1999)
Berdasarkan pada surat At Taubah ayat 58-60 tentang orang
yangberhak menerima zakat, yaitu :
"... Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi fakir miskin, para amil,
para muallaf yang dibujuk hatinya, mereka yang diperhamba, orang-orang
yang berutang, yang berjuang di jalan Allah, dan orang kehabisan bekal di
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana."
Jadi berdasarkan firman Allah Swt tersebut, terdapat 8 golongan yang
berhak menerima zakat :
1. Fakir
Fakir yaitu orang dalam kebutuhan, tapi dapat menjaga diri tidak meminta-
minta.
2. Miskin
Miskin adalah orang yang dalam kebutuhan dan suka meminta-minta.
3. Amil zakat Amil zakat merupakan orang yang melaksanakan segala
urusan zakat berupa pengumpulan dan penjagaannya, serta menghitung
keluar masuknya zakat
20
4. Golongan muallafMuallaf dalam berbagai referensi terbagi dalam
beberapa macam golongan, diantaranya :
Golongan yang diharapkan keislamannya atau keislaman kelompok
serta keluarganya
Golongan orang yang dikuatirkan kelakuan jahatnya
Golongan orang yang baru masuk Islam
Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang
mempunyai sahabat-sahabat kafir.Pemimpin dan tokoh kaum Muslimin
yang berpengaruh di kalangan kaumnya, akan tetapi imannya masih
lemah.Kaum Muslimin yang tinggal di benteng-benteng dan daerah
perbatasan musuh.Kaum Muslimin yang membutuhkannya untuk
mengurus zakat orang yang tidak mau mengeluarkan, kecuali dengan
paksaan.Sebagian besar orang biasanya mengartikan muallaf sebagai
orangyang baru masuk islam
5. Memerdekakan budak belian ada beberapa cara untuk memerdekakan
budak, diantaranya yaitu:
a. menolong hamba mukatab, yaitu budak yang memiliki perjanjian
dengan tuannya, misalnya : ia sanggup menghasilkan harta dengan
nilaidan ukuran tertentu, maka dia dibebaskan
b. Seseorang dengan harta zakatnya membeli seorang budak kemudian
membebaskannya.
6. Gharimun
Gharimun adalah orang yang berhutang. Dan kita boleh menyerahkan
21
zakat atas dasar fakirnya bukan karena hutangnya (Menurut Ibnu Humam
dalam al Fath) Sebagaimana diketahui bahawa di antara delapan golongan
asnaf yang berhak menerima zakat ialah Al-Gharimin itu orang yang
berhutang. Tetapi perlulah diketahui bahawa tidak semua orang yang
berhutang itu berhak menerima bantuan zakat bagi menyelesaikan hutang-
hutang yang ditanggung. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab
Muhzatal Mu'min Min Ihya Ulumuddin, Al-Gharimin itu ialah orang yang
dibebani hutang dan dia berhutang karena bertujuan ketaatan atau kerana
sebab yang mubah (harus) seperti perbelanjaan ke atas anak isteri
sedangkan orang yang berhutang itu dalam keadaan fakir dan miskin, dia
tidak lagi sanggup atau berdaya untuk membayar hutangnya itu. Ketika itu
bolehlah dia mengadu nasib kepada penguasa sehingga hutang itu dapat
dibayar dengan zakat. Kiranya ia berhutang dengan tujuan maksiat, maka
tiadalah dia diberikan dari bahagian zakat itu, melainkan jika dia telah
bertaubat dengan sebenar-benar taubat. Kiranya orang yang berhutang itu
seorang yang kaya atau mempunyai harta benda tiadalah boleh ditunaikan
hutangnya itu dari bahagian zakat kecuali jika dia berhutang karena faedah
dan maslahat orang ramai ataupun karena tujuan memadamkan fitnah atau
huru-hara.
Dari itu dapatlah dipahami bahwa orang yang berhutang
disebabkan perbelanjaan yang tidak perlu maka tiadalah dia berhak
menerima zakat. Selain itu juga telah dijelaskan dalam sebuah hadis
berkenaan orang-orang yang berhak meminta wang zakat sebagaimana
22
yang diriwayatkan dari Imam Muslim yang menceritakan bahwa Qabisah
bin Mukariq Al-Hilali pernah menanggung hutang untuk mendamaikan
dua kabilah yang saling bersengketa. Lalu dia datang kepada Rasulullah
Sallallahu Alaihi Wasallam meminta bantuan kepada Baginda untuk
membayar hutangnya itu, Baginda bersetuju dan menyuruhnya menunggu
sehingga ada orang datang menghantar zakat dan akan menyerahkan zakat
itu kepadanya nanti. Kemudian Baginda bersabda bahawa sesungguhnya
meminta-minta itu tidak boleh (tidak halal) kecuali tiga golongan :
Pertama : Orang yang menanggung suatu tanggungan atau beban. Maka
orang itu boleh meminta sehingga dia dapat membayar tanggungannya
atau bebanannya itu (tanggungan karena dia berhutang untuk
mendamaikan dua qabilah yang sedang bertikai itu). Maka apabila hutang
itu telah selesai, maka tidak boleh lagi dia meminta-minta.
Kedua : Orang ditimpa bencana sehingga harta bendanya musnah. Orang
itu boleh meminta-minta sehingga dia memperoleh sumber kehidupan
yang layak bagi dirinya.
Ketiga : Orang yang ditimpa kemiskinan (disaksikan atau diketahui oleh
orang yang dipercayai bahawa dia memang miskin) Orang itu boleh
meminta-minta hingga memperolehi sumber kehidupan yang layak. Selain
tiga golongan tersebut, haram baginya meminta-minta dan haram pula
baginya memakan hasil perbuatan meminta-minta itu.
Sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala telah menetapkan rezeki
yang berbeda-beda di antara hamba-hamba-Nya, ada yang hidup dalam
23
kesenangan dan ada pula yang hidup dalam serba kekurangan. Oleh itu
dengan adanya pemberian zakat dapatlah membantu golongan yang
memerlukan bantuan seperti fakir miskin dan Al-Gharimin yaitu orang
yang berhutang. Maka sebagai orang yang menerima bagihan zakat
hendaklah mensyukuri nikmat tersebut dan hendaklah mengetahui bahwa
Allah Subhanahu Wata'ala mewajibkan pemberian zakat itu hanyalah
untuk mencukupi keperluannya terutama dalam mengerjakan ketaatan.
Uang zakat yang diterima hendaklah dimanfaatkan dan dibelanjakan
dengan bijaksana dan berhemah seperti perbelanjaan harian dan
perbelanjaan sekolah. Jika uang zakat itu digunakannya untuk maksiat,
seolah-olah dia telah mengkufuri nikmat Allah yang diberikan kepadanya,
dengan itu jauhlah dia dari rahmat Allah dan mendapat pula kutukkan dari
Allah Subhanahu Wata'ala.
Selain itu mereka hendaklah bersyukur kepada orang yang
memberikan zakat serta mendoakan baginya kebaikan. Mereka juga
hendaklah memelihara diri dari menerima zakat melainkan dalam kadar
yang harus diterimanya yaitu sekadar keperluannya saja. Begitu juga,
janganlah dia menerima melainkan sesudah dia yakin bahwa dia
mempunyai salah satu sifat dari sifat-sifat asnaf yang berhak menerima
zakat yang telah ditetapkan oleh agama Islam.
7. Mujahidin
Mujahidin merupakan orang yang berjihad di jalan Allah. Didalam Al-
Quran digambarkan sasaran zakat yang ketujuh ini dengan firmanNya: "Di
24
jalan Allah". Sabil berarti jalan. Jadi sabilillah artinya jalan yang
menyampaikan pada ridha Allah, baik akidah maupun perbuatan.
Sabilillah adalah kalimat yang bersifat umum, mencakup segala amal
perbuatan ikhlas, yang digunakan untuk bertakkarub kepada Allah, dengan
melaksanakan segala perbuatan wajib, sunat dan bermacam kebajikan
lainnya.
8. Ibnu sabilIbnu sabil atau musafir
Orang yang melakukan perjalanan dari suatu daerah ke daerah lain.
Menurut pendapat beberapa ulama, ibnu sabil mempunyai hak zakat,
walaupun dia kaya, jika ia terputus bekalnya (kehabisan bekal).
Menurut (Muhammad, 2005) dalam rangka mencapai tujuannya,
BMT berfungsi sebagai:
a. Mengidentifikasi, memobilisasi, mengorganisasi, mendorong, dan
mengembangkan potensi serta kemampuan potensi ekonomi anggota.
b. Meningkatkan kualitas SDM anggota menjadi lebih profesional dan
islami sehingga semakin utuh dan tangguh dalam menghadapi
persaingan global.
c. Menggalang dan memobilisasi potensi masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota.
d. Menjadi perantara keuangan (financial intermediary) antara pemilik dana
dengan dhuafa terutama untuk dana-dana sosial seperti zakat, infaq,
sedekah, hibah dan lain-lain.
25
e. Menjadi perantara keuangan antara pemilik dana, baik sebagai pemodal
maupun sebagai penyimpan dengan pengguna dana untuk usaha
pengembangan produktif.
Sedangkan menurut (Andri Soemitra, 2009), fungsi dari BMT yaitu
sebagai :
a. Mengidenidentifikasi, memobilisasi, mengorganisir, mendorong, dan
mengembangkan potensi serta kemampuan ekonomi anggota, kelompok
usaha anggota muamalat (Pokusma) dan kerjanya.
b. Mempertinggi kualitas SDM anggota dan Pokusma menjadi lebih
professional dan islami sehingga semakin utuh dan tangguh menghadapi
tantangan global.
c. Menggalang dan mengorganisir potensi masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan anggota.
E. Tujuan dan Analisis Pembiayaan BMT
Berkembangnya lembaga perbankan/keuangan tentu menjadi bukti
nyata dari tuntutan kebutuhan masyarakat. Tujuan pembiayaan yang
diberikan BMT kepada pengusaha mikro dan kecil(Muhammad, 2004: 24),
diberikan dalam rangka untuk :
1. Upaya memaksimalkan laba
Artinya: setiap usaha yang dibuka memiliki tujuan tertinggi,
yaitumenghasilkan laba usaha. Setiap pengusaha menginginkan
mampu mencapai laba maksimal. Untuk dapat menghasilkan laba
maksimal maka mereka perlu dukungan dana yang cukup.
26
2. Upaya meminimalkan resiko
Artinya: usaha yang dilakukan agar mampu menghasilkan laba
maksimal,maka pengusaha harus mampu meminimalkan resiko yang
mungkin timbul. Resiko kekurangan modal usaha dapat diperoleh
melalui tindakan pembiayaan.
3. Pendayagunaan sumber ekonomi
Artinya: sumber daya ekonomi dapat dikembangkan dengan
melakukanmixing antara sumber daya alam dengan sumber daya
manusia serta sumber daya modal. Jika sumber daya alam dan sumber
daya manusianya ada, dansumber modal tidak ada. Maka dipastikan
diperlukan pembiayaan. Dengan demikian, pembiayaan pada dasarnya
dapat meningkatkan daya guna sumber-sumber daya ekonomi.
4. Penyaluran kelebihan dana
Artinya: dalam kehidupan masyarakat ini ada pihak yang memiliki
kelebihansementara ada pihak yang kekurangan. Dalam kaitannya
dengan masalahdana, maka mekanisme pembiayaan dapat menjadi
jembatan dalam penyeimbangan dan penyaluran kelebihan (surplus)
kepada pihak yang kekurangan (minus) dana.
Sehubungan dengan aktivitas BMT, maka pembiayaan merupakan
sumberpendapatan bagi BMT. Oleh karena itu, tujuan pembiayaan yang
dilaksanakan BMT adalah untuk memenuhi kepentingan stakeholder
menurut (Muhammad, 2005: 27), yaitu:
27
1. Pemilik
Dari sumber pendapatan di atas, para pemilik mengharapkan akan
memperoleh penghasilan atas dana yang ditanamkan pada BMT
tersebut.
2. Pegawai
Para pegawai mengharapkan dapat memperoleh kesejahteraan dari
BMT yang dikelolanya.
3. Masyarakat
a. Pemilik dana
Sebagaimana pemilik, mereka mengharapkan dari dana yang
diinvestasikan akan diperoleh bagi hasil.
b. Debitur yang bersangkutan
Para debitur, dengan penyediaan dana baginya, mereka terbantu
guna menjalankan usahanya (sektor produktif) atau terbantu untuk
pengadaan barang yang diinginkannya (pembiayaan konsumtif)
c. Masyarakat umumnya atau konsumen
Mereka dapat memperoleh barang-barang yang dibutuhkannya.
4. Pemerintah
Akibat penyediaan pembiayaan, pemerintah terbantu dalam pajak
(berupa pajak penghasilan atas keuntungan yang diperoleh BMT dan
juga perusahaan perusahaan).
28
5. BMT
Bagi BMT yang bersangkutan, hasil dari penyaluran pembiayaan,
diharapkan BMT dapat meneruskan dan mengembangkan usahanya
agar tetap bertahan dan meluas jaringan usahanya, sehingga semakin
banyak masyarakat yang dapat dilayaninya.
Menurut Muhammad (2005) mengatakan bahwa analisis
pembiayaan yang diterapkanoleh para pengelola BMT yaitu:
1. Pendekatan jaminan, artinya BMT dalam memberikan pembiayaan
selalu memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh
peminjam.
2. Pendekatan karakter, artinya BMT mencermati secara sungguh-
sungguhterkait dengan karakter anggota.
3. Pendekatan kemampuan pelunasan, artinya BMT menganalisis
kemampuan anggota untuk melunasi jumlah pembiayaan yang telah
diambil.
4. Pendekatan dengan studi kelayakan, artinya BMT memperhatikan
kelayakan usaha yang dijalankan oleh anggota peminjam.
5. Pendekatan fungsi-fungsi BMT, artinya BMT memperhatikan
fungsinyasebagai lembaga intermediary keuangan, yaitu mengatur
mekanisme danayang dikumpulkan dengan dana yang disalurkan.
F. Prinsip BMT
Menurut Ridwan (2004) dalam melaksanakan usahanya BMT,
berpegang teguh pada prinsip utama sebagai berikut:
29
1. Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan
mengimplementasikannya kepada prinsip-prinsip Syari‟ah dan
mu‟amalah Islam kedalam kehidupan nyata.
2. Keterpaduan, yakni nilai-nilai spiritual dan moral menggerakkan dan
mengarahkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progresif adil dan
berakhlaq mulia.
3. Kekeluargaan, yakni mengutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi.
4. Kebersamaan, yakni kesatuan pola pikir, sikap dan cita-cita antar semua
elemen BMT.
5. Kemandirian, yakni mandiri diatas semua golongan politik, tidak
tergantung pada dana-dana pinjaman tetapi senantiasa proaktif untuk
menggalang dana masyarakat sebanyak-banyaknya.
6. Profesionalisme, yakni semangat kerja yang tinggi, dengan bekal
pengetahuan, dan keterampilan yang senantiasa ditingkatkan yang
dilandasi keimanan. Kerja yang tidak hanya berorientasi pada
kehidupan dunia saja, tetapi juga kenikmatan dan kepuasan rohani dan
akherat.
7. Istiqomah, yakni konsisten, konsekuen, kontinuitas/berkelanjutan tanpa
henti dan tanpa pernah putus asa.
Menurut Rachmat Firdaus dan Maya Arianti (2009) prinsip analisis
pembiayaan BMT didasarkan pada rumus 5C, yaitu :
1. Character artinya sifat atau karakter anggota pengambil pinjaman.
30
2. Capacity artinya kemampuan anggota untuk menjalankan usaha dan
mengembalikan pinjaman yang diambil.
3. Capital artinya besarnya modal yang diperlukan peminjam.
4. Collateral artinya jaminan yang telah dimiliki yang diberikan peminjam
kepada BMT.
5. Condition artinya keadaan usaha atau anggota prospek atau tidak.
G. Sistem Pembiayaan BMT
Menurut Antonio (2001: 53) pembiayaan merupakan salah satu
tugas BMT, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi
kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat
penggunaanya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal yaitu :
a. Pembiayaan Produktif, yaitu pembiayaan yang ditunjukkan untuk
memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan
usaha, baik usaha produksi, perdagangan maupun investasi.
b. Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk
pemenuhan kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produktif dapat dibagi menjadi
dua hal berikut:
a. Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi
kebutuhan.
31
b. Pembiaayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-
barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya
dengan itu.
H. Produk Pembiayaan BMT
Produk penghimpunan (funding) dan penyaluran dana (financing)
yang secara teknis-finansial dapat dikembangkan sebuah lembaga keuangan
Islam termasuk BMT. Hal ini dimungkinkan karena sistem syari‟ah
memberi ruang yang cukup untuk itu (Muhammad Ridwan, 2007: 154).
Pemberian pembiayaan produktif, baik yang diperuntukkan sebagai
modal kerja maupun investasi, masyarakat dapat memilih empat model
pembiayaan BMT. Pola pembiayaan ini merupakan kontrak yang
mendasari berbagai produk layananmasyarakat BMT dalam usahanya.
Secara umum pembiayaan BMT tersebut dapat diklasifikasikan dalam
berbagai kategori umum diantaranya ialah:
1. Produk Penghimpunan Dana
a. Modal
b. Simpanan Pokok
Simpanan pokok simpanan yang harus dibayar saat menjadi
anggota BMT.
c. Simpanan Wajib
Simpanan ini menjadi sumber modal yang mengalir terus setiap
waktu.
32
d. Wadliah
Wadiah merupakan akad penitipan barang atau uang pada BMT.
e. Tabungan
Tabungan Mudharabah (tabungan biasa), Tabungan Pendidikan,
Tabungan Idul Fitri, Tabungan Qurban, Tabungan Walimah
f. Dan lain-lain, produk yang di kembangkan sesuai dengan
lingkungannya.
2. Produk Penyalur Dana
Aktivitas yang tidak kalah pentingnya dalam manajemen
dana atau pembiayaan yang sering juga disebut dengan lending–
financing. Istilah ini dalam keuangan konvensional dikenal dengan
sebutan kredit. Pembiayaan sering digunakan untuk menunjukkan
aktivitas utama BMT, karena berhubungan dengan rencana
memperoleh pendapatan. Berdasarkan Undang-Undang Koperasi No.
17 Tahun 2012 Pasal 1 ayat (14) : “Pinjaman adalah penyediaan
uang oleh Koperasi Simpan Pinjam kepada Anggota sebagi
peminjaman berdasarkan perjanjian, yang mewajibkan untuk
melunasi dalam jangka waktu tertentu dan membayar jasa”.
Sebagai upaya memperoleh pandapatan yang semaksimal
mungkin, aktivitas pembiayaan BMT menganut asas syari‟ah yakni
dapat berupa bagi hasil, keuntungan maupun jasa manajemen. Upaya
ini harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan
likuiditas dapat terjamin dan tidak banyak dana yang menganggur.
33
Adapun jenis produk penyaluran dana BMT yang dikembangkan
adalah sebagai berikut:
1. Prinsip bagi hasil (syirkah)
Syirkah dalam bahasa Arab berarti pencampuran atau interaksi atau
membagi sesuatu antara dua orang atau lebih menurut hukum kebiasaan
yang ada. Prinsip syirkah untuk produk pembiayaan BMT dapat
dioperasikan dengan pola-pola sebagai berikut :
a. Pembiayaan Mudharabah
Mudharabah berasal dari kata dharaba yang berarti memukul atau
berjalan. Sedang yang dimaksud dengan memukul atau berjalan, yaitu
seseorang yang memukulkan tangannya untuk berjalan dimuka bumi dalam
mencari karunia Allah SWT (Muhammad Ridwan, 2007: 96)
Menurut (Ahmad Sumiyanto, 2008: 34) memberikan definisi
mudharabahbahwa “Mudharabah yaitu kerjasama di mana shahibul
maalmemberikan dana 100 % kepada mudharib yang adalah:
- Jumlah modal yang diserahkan kepada anggota selaku pengelola
modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang
dinyatakan nilainya dalam satuan uang.
- Apabila uang diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya
dan disepakati bersama.
- Hasil dari pengelolaan pembiayaan mudharabah dapat
diperhitungkan dengan dua cara yaitu : pertama; hasil usaha dibagi sesuai
dengan persetujuan dalam akad, pada bulan atau waktu yang ditentukan.
34
BMT selaku pemilik modal menanggung seluruh kegiatan kecuali akibat
kelalaian dan penyimpangan pihak pengusaha. Kedua; BMT berhak
melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak
mencampuri urusan pekerjaan anggota. Jika anggota cidera janji dengan
sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda kewajiban,
maka dapat dikenakan sanksi administrasi. Akad mudharabah dapat dilihat
pada gambar berikut.
Keterangan Skema 1 :
Akad Mudharabah
(Sumber : ekahidayatullah77.blogspot.com yang telah di olah penulis pada
tanggal 3 Desember 2014)
Secara umum landasan dasar Syariah al-mudharabah lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat
berikut ini :
….
Anggota Akad
Mudharabah
BMT
Keuntungan X % Nisbah
Tenaga Kerja Modal
Y % Nisbah
Proyek/
Usaha
35
….
Artinya: Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-
orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di jalan
Allah (Al- Muzzammil: 20)
Ayat tersebut terdapat kata yadribun yang asal katanya sama
dengan mudharabah, yakni dharaba yang berarti mencari pekerjaan atau
menjalankan usaha. Mudharobah yakni hubungan kemitraan antara BMT
dengan anggota atau nasabah yang modalnya 100% dari BMT. Atas dasar
proposal yang diajukan nasabah, BMT akan mengevaluasi kelayakan usaha
dan dapat menghitung tingkat nisbah yang dikehendaki. Jika terjadi risiko
usaha, maka BMT akan menanggung seluruh kerugian modal selama
kerugian tersebut disebabkan oleh faktor alam atau musibah di luar
kemampuan manusia untuk menanggulanginya. Namun jika kerugian
terjadi karena kelalaian manajemen atau kecerobohan anggota atau
nasabah, maka mudharib yang akan menanggung pengembalian modalnya
(Muhammad Ridwan, 2007: 170)
Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahib al maal
dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus
bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang
terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul al maal dia
diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan
laba optimal (Adiwarman Karim, 2006)
36
b. Pembiayaan Musyarakah
Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang
bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara
bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik (Adiwarman
Karim, 2006: 106). Komposisi modalnya tidak harus sama. Namun
biasanya porsi modal dapat menjadi acuan dalam menentukan porsi nisbah
bagi hasilnya.
Keuntungan yang terjadi dari transaksi usaha ini dibagi antara para
pihak dengan nisbah yang telah disepakati di awal. Sedangkan, munculnya
kerugian akibat transaksi usaha ini ditanggung sesuai dengan porsi saham
masing-masing pihak dalam komposisi modal yang di tanamkan dalam
usaha tersebut. Perlu diperhatikan dalam transaksi ini adalah adanya objek
akad di mana di situ harus jelas adanya usaha yang di jalankan, komposisi
modal dan keahlian serta kesepakatan menaggung akan munculnya
keuntungan dan kerugiannya (Sumber: Majalah ekonomi bisnis syariah,
2006: 38-39).
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerja sama
dapat berupa dana, barang perdagangan, kewiraswastaan, kepandaian,
kepemilikan, peralatan, kepercayaan/reputasi, atau barang-barang yang
dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum kombinasi masing-masing
pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat
fleksibel (Adiwarman Karim, 2006: 102).
37
Ketentuan umum dalam akad musyarakah adalah sebagai berikut :
- Semua modal disatukan untuk menjadi modal proyek
musyarakah dan dikelola bersama-sama.
- Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam
menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh
pelaksana usaha.
- Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek
musyarakah dengan tidak boleh melakukan tindakan
seperti; menggabungkan dana proyek dengan dana
pribadi, menjalankan proyek dengan pihak lain tanpa
seizin pemilik modal lainnya, memberi pinjaman
kepada pihak lain.
- Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan
atau digantikan oleh pihak lain.
- Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama
bila; menarik diri dari perserikatan, meninggal dunia,
menjadi tidak cakap hukum.
38
Biaya yang timbul dari pelaksanaan proyek jangka waktu proyek
harus diketahui bersama dan proyek yang dijalankan harus disebutkan
dalam akad. Akad musyarakah dapat dilihat pada Gambar berikut:
Keterangan Skema 2 :
Akad Musyarakah
(sumber : Adiwarman Karim, 2006: 102 diolah penulis pada tanggal 5 Desember
2014)
b.1 Jenis-jenis Pembiayaan Musyarakah
Terdapat dua jenis Al Musyarakah yaitu musyarakah kepemilikan
dan musyarakah akad. Menurut (Muhammad Syafi‟i Antonio,2001: 91)
jenis-jenis Al Musyarakah ialah:
1) Musyarakah Pemilikan
Musyarakah pemilikan tercipta karena warisan, wasiat, atau
kondisi lainnya yang mengakibatkan kepemilikan suatu aset oleh dua
orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, pemilikan dua orang atau
Anggota Akad
Musyarakah
BMT
Pembagian Keuntungan
Y % Nisbah
Proyek/
Usaha
Pembagian Kerugian
X % Nisbah
39
lebih berbagi dalam sebuah aset nyata dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan aset tersebut.
2) Musyarakah akad
Tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih
setuju bahwa tiap orang dari mereka memberi modal musyarakah.
Mereka pun sepakat berbagi keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi: al- inan, al-mufadhah, al-
a‟maal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama berbeda pendapat
tentang al-mudharabah termasuk kategori al-musyarakah karena
memenuhi rukun dan syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah.
Pembagian tersebut ialah:
a. Syirkah al-inan
Syirkah al-inan adalah kontrak dua orang atau lebih. Setiap
orang memberi porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi
dalam kerja. Kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian
sebagaimana yang disepakati di antara mereka. Akan tetapi, porsi
masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi
hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan
bersama.
b. Syirkah Mufawadhah
Syirkah Mufawadhahadalah kontrak kerja sama antara dua
orang atau lebih. Setiap pihak memberi suatu porsi dari
keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Setiap pihak
40
membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dengan demikian,
syarat utama dari jenis musyarakah ini adalah kesamaan dana yang
diberikan, kerja, tanggungjawab, dan beban hutang dibagi oleh
masing-masing pihak.
c. Syirkah A‟maal
Syirkah A‟maal adalah kontrak kerja sama antara dua orang
seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berabagi
keuntungan dari pekerjaan itu. Misalnya, kerja sama dua orang
arsitek untuk menggarap sebuah proyek, atau kerja sama dua orang
penjahit untuk menerima order pembuatan seragam sebuah kantor.
Al-Musyarakah abdan atau sanaa‟i.
d. Syirkah Wujuh
Syirkah Wujuhadalah kontrak antara dua orang atau lebih
yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis.
Mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan
menjual barang tersebut secara tunai. Mereka berbagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada pensuplai
yang disediakan oleh pihak mitra. Jenia Al- musyarakah ini tidak
memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada
jaminan tersebut. Karenanya, kontrak ini pun lazim disebut sebagai
musyarakah piutang.
41
b.2 Manfaat Pembiayaan Musyarakah
Al-Musyarakah dapat memberikan manfaat yang sangat berguna
bagi pihak BMT maupun nasabah. (Muhammad Syafi‟i Antonia, 2001: 93)
mengemukakan bahwa terdapat banyak manfaat dari pembiayaan secara
musyarakah ini, diantaranya sebagai berikut:
1) BMT akan menikmati peningkatan dalam jumlah tertentu pada
saat keuntungan nasabah meningkat.
2) BMT tidak berkewajiban membayar dalam jumlah tertentu pada
nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan
pendapat/hasil usaha BMT, sehingga BMT tidak akan pernah
mengalami negatif spread.
3) Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flowlarus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan
nasabah.
4) BMT akan lebih selektif dan berhati-hati (prudent) mencari usaha
yang benar-benar halal, aman dan menguntungkan. Hal ini karena
keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan
dibagikan.
5) Prinsip bagi hasil ini berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana
BMT akan menagih penerima pembiayaan (nisbah) atau jumlah
bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
bahkan sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
42
2. Prinsip Jual Beli
Jual beli secara entimologi berarti menukar harta dengan harta,
sedangkan secara terminologis artinya adalah transaksi penukaran selain
fasilitas dan kenikmatan. Sedangkan prinsip jual beli dapat dikembangkan
menjadi bentuk -bentuk pembiayaan sebagai berikut :
a. Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah salah satu produk penyaluran dana yang cukup
digemari BMT karena karakternya yang profitable, mudah dalam
penerapan, serta dengan risk-factor yang ringan untuk diperhitungkan.
Dalam penerapan, BMT bertindak sebagai pembeli sekaligus penjual
barang halal tertentu yang dibutuhkan nasabah. Besarnya keuntungan
yang diambil oleh BMT atas transaksi murabahah bersifat konstan.
Keadaan ini berlangsung sampai akhir pelunasan utang oleh anggota
kepada BMT.
Biasanya BMT langsung menunjuk nasabah sebagai wakilnya
untuk membeli barang sebagaimana dimaksud kepada pihak ketiga
dengan memanfaatkan fasilitas al-wakalah, yakni akad pemberian
kewenangan/kuasa seseorang kepada pihak lain mengenai apa yang
harus dilakukannya, dan penerima kuasa secara hukum menjadi
pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan
(Adiwarman Karim, 2006: 45 ).
43
Akad pembiayaan Murabahahdapat dilihat pada gambar berikut.
Keterangan Skema 3 :
Akad Murabahah
(sumber : Adiwarman Karim, 2006: 45 yang diolah pada tanggal 4 Desember
2014)
Secara umum murabahah memiliki syarat-syarat :
- BMT memberitahu biaya modal (harga pokok) kepada anggota.
- Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
- Kontrak harus bebas dari riba.
- Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang
sesudah pembelian.
- Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan
pembelian, misalnya pembelian dilakukan secara hutang.
b. Bai‟ as-salam
Definisi Bai‟ as-Salam ialah akad pembelian barang yang mana
barang yang dibeli diserahkan dikemudian hari, sedangkan
pembayarannya dilakukan secara tunai dimuka. Dalam transaksi ini
ada kepastian tentang kualitas, harga dan waktu penyerahan (Ahmad
NASABAH
BMT
AKAD
NASABAH
BMT
Pembayaran
Supplier/
Produsen
44
Sumiyanto, 2008: 156). Selain itu, transaksi juga harus memenuhi
syarat dan rukun jual beli (Muhammad Ridwan, 2007: 180).
Ketentuan umum dalam bai‟ as salam adalah :
- Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas
seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya.
- Apabila hasil produksi diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad,
anggota harus bertanggung jawab.
- Mengingat BMT tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya
sebagai persediaan, maka BMT dimungkinkan melakukan akad salam
dengan pihak ketiga.
Keterangan Skema :
Akad Istishna’
(Sumber: Ahmad Sumiyanto, 2008 diolah oleh penulis pada tanggal 5 Desember)
c. Bai bitsaman ajil (Jual beli cicilan)
Yakni penyediaan barang BMT pihak pembeli (Anggota/Nasabah)
harus membayar dengan cara mengangsur dalam jangka waktu tertentu
sebesar pokok ditambah dengan keuntungan (Profit) yang disepakati.
Dalam menentukan jumlah keuntungananya, BMT dapat berbeda-beda
tergantung pada jangka waktu dan tingkat resiko. Karena bersifat jual
Rekanan
BMT
Beli
Barang
Antar
Barang Jual
Barang
Bayar
Cicilan Bayar
Cicilan BMT
45
beli, maka transaksi ini harus memenuhi persyaratan dan rukun jual
beli (Muhammad Ridwan, 2007: 179).
d. Prinsip sewa
Traksaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Objek
transaksi dalam ijarah adalah jasa. Pada akhir masa sewa, BMT dapat
saja menjual barang yang disewakan kepada anggota. Karena dalam
kaidah Syari‟ah dikenal dengan nama ijarah mutahiyah bit tamlik
(sewa yang diikuti dengan perpindahan kepemilikan). Harga sewa dan
harga jual disepakati pada awal perjanjian.
e. Prinsip Jasa
Pembiayaan ini disebut jasa karena pada prinsipnya dasar akadnya
adalah ta‟awuni atau tolong-menolong. Berbagai pengembangan
dalam akad ini meliputi:
a. Al Wakalah
Wakalah berarti BMT menerima amanah dari investor yang
akanmenanam modalnya kepada anggota, investor menjadi percaya
kepada anggota karena adanya BMT yang akan mewakilinya
dalam penanaman investasi. Atas jasa ini, BMT dapat menerapkan
management fee yang besarnya tergantung kesepakatan para pihak.
b. Kafalah
Kafalah berarti pengalihan tanggung jawab seseorang yang
dijamin kepada orang lain yang menjamin. BMT dapat berperan
sebagai penjamin atas transaksi bisnis yang dijalankan oleh
46
anggotanya. Rekan bisnis anggota dapat semakin yakin atas
kemampuan anggota BMT dalam memenuhi atau membayar
sejumlah dana yang terhutang. Atas jasa ini, BMT dapat
menerapkan management fee sesuai kesepakatan.
c. Hawalah
Hawalah atau hiwalah berarti pengalihan hutang dari orang
yang berhutang kepada si penanggung. Hawalah dapat terjadi
kepada :
- Factoring atau anjak piutang, yaitu anggota yang
mempunyai piutang mengalihkan piutang tersebut kepada BMT
dan BMT membayarnya kepada nasabah, lalu BMT akan menagih
kepada orang yang berhutang.
- Post date check, yaitu BMT bertindak sebagai juru tagih
atas piutang nasabah tanpa harus mengganti terlebih dahulu.
- Bill discounting, secara prinsip transaksi ini sama dengan
hawalah pada umumnya.
d. Rahn
Rahn adalah menahan salah satu harta milik peminjam sebagai
jaminan atas pembiayaan yang diterimanya. Barang yang ditahan
adalah barang-barang yang memiliki nilai ekonomis sesuai dengan
standar yang ditetapkan. Dalam sistem ini orang yang
menggadaikan barangnya tidak akan dikenai bunga tetapi BMT
dapat menetapkan sejumlah fee atau biaya atas pemeliharaan,
47
penyimpanan dan administrasi. Besarnya fee sangat dipengaruhi
oleh banyak faktor diantaranya masa gadai dan jenis barangnya.
C. Pembiayaan Non Profit
Pembiayaan non profit di BMT biasanya berupa pembiayaan
Qardul hasan, yakni pembiayaan yang diberikan kepada nasabah tanpa
pungutan bagi hasil atau keuntungan dalam bentuk apapun. Nasabah hanya
dibebani membayar biaya administrasi dalam jumlah yang wajar sebagai
konsekuensi logis atas biaya-biaya yang otomatis dikeluarkan BMT untuk
administrasi dan dalam rangka penyaluran pembiayaan tersebut.
Baitul Maal merupakan bidang sosial dari kegiatan operasional
BMT. Baitul Maal adalah lembaga keuangan berorientasi sosial keagamaan
yang kegiatan utamanya menampung serta menyalurkan harta masyarakat
berupa zakat, infak dan shadaqah (ZIS) berdasarkan ketentuan yang telah
ditetapkan Al qur‟an dan sunah Rasul-Nya.
I. Kendala dan Hambatan yang dihadapi oleh BMT
Menurut Izza (2002) sebagai lembaga keuangan mikro yang
mempunyai keperpihakan pada masyarakat golongan ekonomi lemah,
banyak tantangan dan permasalahan yang timbul dan dihadapi dalam
perkembangan BMT baik yang bersifat intern maupun ekstern BMT.
Kendala yang bersifat intern antara lain :
1. Misi
Misi sebagai lembaga sosial dan ekonomi menuntut pengelola
BMT untuk teguh dalam membawa prinsip keadilan sesuai Syariat
48
Islam. Pembiayaan dan simpanan yang dilakukan harus dijaga secara
ketat agar halal, sementara di sisi lain BMT juga harus profitable
sehingga bisa mengambangkan ekonomi masyarakat. Sehingga selain
kejujuran dan tekad yang kuat maka profesionalisme pengelola harus
mendapat penekanan.
2. Istiqomah
Istiqomah sebagai lembaga yang baru maka masyarakat belum
begitu mengetahui prinsip bagi hasil yang diterapkan, masyarakat
terutama nasabah penyimpan masih lebih percaya pada BMT
konvensional yang memberikan bunga atau pendapatan atas modal
mereka secara lebih pasti.
3. Likuiditas
Likuiditas dengan modal yang terbatas dan sebagian besar
ditanamkan pada pembiayaan maka likuiditas BMT menjadi sangat
rentan.
Sementara kendala dan hambatan yang berasal dari faktor ekstern
BMT yang muncul antara lain :
1. Masih adanya anggapan dari sebagian masyarakat bahwa sebenarnya
sistem bagi hasil tidak ada bedanya dengan sistem BMT bunga
konvensional. Kedua hal ini mengakibatkan BMT dengan prinsip-
prinsip Syariah termasuk BMT masih belum bisa diterima secara luas
oleh masyarakat di Indonesia.
49
2. Ketidakmampuan nasabah untuk menjalankan kewajiban-kewajiban
kaitannya dengan pembiayaan.
3. Adanya pembiayaan yang bermasalah. Sebab utama pembiayaan yang
bermasalah yaitu :
- Faktor internal yang adalah dalam usaha tersebut, penanganan awal
yang dilakukan oleh BMT adalah ikut membantu dalam
manajemen, karena usah kecil biasanya sangat lemah dalam
manajerial. Kemudian melakukan pengawasan secara rutin sehingga
benar-benar mengetahui akar permasalahan yang ada.
- Faktor eksternal yaitu faktor yang berasal dari luar usaha misalnya
bencana alam, krisis ekonomi secara nasional maupun perubahan
kebijakan pemerintah yang merugikan usaha dan lain-lain.
2.2 Pembiayaan Mudharabah
2.2.1 Makna Pembiayaan Mudharabah
Literatur fikih, terdapat dua istilah yang menunjukan pengertian
mudharabah. Yang pertama istilah mudharabah itu sendiri dan yang kedua
istilah Qiradh. Namun pengertian keduanya adalah sama saja. Istilah
mudharabah adalah bahasa penduduk Irak dan kebanyakan digunakan oleh
mazhabHanafi, Hanbali dan Zaydi dan Qiradh adalah bahasa istilah yang
digunakan penduduk Hijaz dan kebanyakan digunakan oleh mazhab Maliki
dan Syafi‟i (Abdullah Saeed, 2008: 91).
Pengertian Mudharabah Istilah mudharabah berasal dari kata
dharbfii al-ardb - orang yang berpergian diatas bumi (yadhirbuna fii al-
50
ardh) mencari karunia Allah (al-Muzzammil :20). Dimana proses pekerjaan
yang menyebut bahwa mudhaarib berhak atas sebagian keuntungan
usahanya.
Sedangkan pembiayaan mudharabah atau qiradh adalah akad kerja
sama usaha antara belah pihak dimana pihak pertama sebagai pemilik dana
(sahibul mal) yang mana menyediakan modal 100%, sedangkan pihak
lainya sebagai pengelola usaha (mudharib) (Sop Koperasi jasa Syariah, 22:
2007).
Mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti secara harfiah
adalah bepergian atau berjalan. Al-Qur‟an tidak secara langsung menunjuk
istilah mudharabah, melainkan melalui akar kata d-r-b yang diungkapkan
sebanyak lima puluh delapan kali. Dari beberapa kata inilah yang kemudian
mengilhami konsep mudharabah (Abdullah Saeed, 2008: 92).
Sementara dalam hadits, akar kata mudharabah (dharaba) pun
banyak disebutkan, tetapi juga mengidentifikasikan makna yang bermacam-
macam. Misalnya hatta nadribal qoum, sehingga kami memerangi kaum
tersebut. Contoh lain hadist yang berbunyi yaqdhi fil mudharibilla
biqadla‟ain. Kata dharaba dalam hadist tersebut tidak menunjukan arti
mudharabah yang sudah dikenal sekarang. Dengan demikian istilah
mudharabah tidak disebutkan secara eksplisit dalam al-Qur‟an maupun al-
hadits sebagaimana pengertian yang ada sekarang. Namun para ulama
berbeda pendapat mengenai penyebutan yang ada dalam hadits. Hal ini
51
karena ada beberapa perilaku sahabat yang serupa dengan konsep
mudharabah dan nabi membiarkannya.
Istilah mudharabah diambil dari kata dharib, Dinamakan demikian
karena dharib berhak untuk menerima bagian keuntungan atas dukungan
dan kerjanya. Secara rinci mudharabah adalah suatu kontrak kemitraan
(partnership) yang berlandaskan pada prinsip pembagian hasil dengan cara
seseorang memberikan modalnya kepada yang lain untuk melakukan bisnis
dan kedua belah pihak membagi keuntungan atau memikul beban kerugian
berdasarkan isi perjanjian bersama (Afzalur Rahman, 1995: 380).
Menurut Hanafiyah, mudharabah adalah suatu perjanjian untuk
berkongsi di dalam keuntungan dengan modal dari salah satu pihak dan
kerja (usaha) dari pihak lain. Menurut Madzhab Maliki yaitu penyerahan
uang dimuka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan
kepada seorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan
imbalan sebagian dari keuntungannya. Menurut madzaab Syafi‟i
mendefinisikan dengan pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada
pengusaha untuk dijalankan dalam suatu usaha dagang dengan keuntungan
menjadi milik bersama antara keduanya. Sedangkan menurut Madzhab
Hambali yakni penyerahan suatu barang atau sejenisnya dalam jumlah yang
jelas dan tertentu kepada orang yang mengusahakannya dengan
mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya (Muhammad, 2004: 82-
83).
52
Menurut Muhamad, salah satu hal yang mungkin terlupakanan dari
definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli fikih klasik adalah bahwa
kegiatan kerjasama mudharabah merupakan jenis usaha yang tidak secara
otomatis mendatangkan untung/hasil. Oleh karena itu penjelasan mengenai
untung dan rugi perlu di tambahi sebagai bagian yang integral dari sebuah
definisi yang baik.
Hal ini karena dalam mudharabah tidak saja mempertimbangkan
aspek keuntungan dalam usahanya tersebut namun juga mempunyai
konsekuensi untuk mengalami kerugian. Sehingga kerugian modal
ditimpakan kepada penyedia modal sedangkan kerugian tenaga,
keterampilan dan kesempatan mendapat laba ditanggung oleh
pengusaha/pengelola.
Sistem mudhorobah, terdapat beberapa unsur yang harus ada dalam
transaksi tersebut yaitu: (Ahmad Sumiyanto, 2005: 3).
1. Pihak yang berakad: yaitu shahibul mal (investor) dan al-mudhorib
(pengelola).
2. Obyek akad, hal ini terdiri dari ra‟sul mal (capital), al-„amal
(usahabisnis), ar-robh (profit) dan al-waqt (masa).
3. As-Shighoh (Ijab qobul) atau Momerandum of Understanding
(MoU).
4. Nisbah keuntungan.
Menurut Adiwarman Karim, akad mudharabah merupakan “bentuk
kontrak atau akad dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan
53
mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola olehpihak kedua, atau
si pelaksana usaha dengan tujuan mendapatkan keuntungan”(Evita Isretno,
2007: 40).
Berbeda pendapat dengan Y Sri Susilo (2000: 114) Al-Mudharabah
yaitu:
“Akad antara pihak pemilik modal (Shahibul Maal) dengan
pengelola (Mudharib) untuk memperoleh pendapatan atau keuntungan.
Pendapatan atau keuntungan tersebut dibagi berdasarkan nisbah yang telah
disepakati diawal akad”.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembiayaan Mudharabah didanai sepenuhnya oleh penyandang dana
(Shahibul maal) dan pengelola usaha (mudharib) tinggal menjalankan usaha
tanpa penanaman dana sesuai dengan kesepakatan dan keuntungan dibagi
berdasarkan nisbah yang telah disepakati diawal akad.
Keuntungan usaha dari akad mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk
nisbah (presentase). Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian,
kerugian itu ditanggung oleh shahibul mal sepanjang kerugian itu bukan
kelalaian mudharib. Sedangkan mudharib menanggung kerugian atas
upaya, jerih payah dan waktu yang telah dilakukan untuk menjalankan
usaha. Namun jika kerugian itu diakibatkan karena mudharib, maka
kerugian tersebut ditanggung oleh mudharib.
54
Dalam bahasa hukum, mudharabah berarti suatu kontrak kerjasama
dimana salah satu mitra yaitu pemilik berhak mendapatkan bagian
keuntungan karena sebagai pemilik barang, ia disebut rabbil mal, pemilik
barang (ras mal) dan mitra lainnya berhak memperoleh bagian keuntungan
atas pekerjaannya, dan orang ini disebut dharb (pengelola) dari
kedudukannya itu dia memperoleh keuntungannya dari pekerjaannya
sendiri dan usahaanya (Muhammad, 2002: 281).
Karena itu, pihak perBMTan syari‟ah dapat menyalurkan dananya
kepada pihak lain dengan cara hal ini, yaitu akad kerja sama suatu usaha
antara dua belah pihak dimana BMT selagi pihak pertama yang
menyediakan seluruh modal usaha, sedangkan nasabah selaku pengelola.
Usaha dan keuntungan usaha dibagi diantara meraka sesuai yang
dituangkan dalam akad (Ascarya, 2008: 12).
Buku II tentang Akad dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
(KHES) disebutkan bahwa pengertian Mudharabah adalah kerjasama antara
pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk
melakukan usaha tertentu dengan bagi hasil. Bab I Ketentuan Umum Pasal
20 angka (4) KHES Edisi Revisi. Yang menjadi wajhud-dilalah atau
argumen dari surah al-Muzzammil adalah kata yadhribun yang sama
dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan
usaha.
Mengenai asal mula dan validitas historisnya, kata mudharabah
berasal dari dharb fi al-„ard, yang artinya orang-orang yang bepergian di
55
atas bumi (yadribuna fi al-ard) mencari karunia Allah‟ (QS al- Muzzammil
: 20). Karena pekerjaan dan perjalanannya, mudharib menjadi berhak atas
sebagian keuntungan usaha. Dari segi sunah, para fuqaha bersandar pada
preseden dari perjanjian mudharabah yang ditandatangani antara Nabi Saw
dengan Khadijah sebelum pernikahannya, yang hasilnya adalah Nabi Saw
mengadakan perjalanan ke Syiria.
Jadi dalam mudharabah, modal yang diserahkan, disyaratkan harus
diketahui. Dan penyerahan jumlah modal kepada mudharib (pengelola
modal) harus berupa alat tukar, seperti emas, perak dan satuan mata uang
secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang, kecuali bila nilai
tersebut dihitung berdasarkan nilai mata uang ketika terjadi akad
(transaksi), sehingga nilai barang tersebut menjadi modal.
2.2.2 Mudharabah Dalam Perspektif Fiqih dan Perlindungan
Menurut Ibnu Hazm, mudharabah merupakan bagian dari bahasan
fiqih yang tidak mempunyai dasar acuan langsung dalam al-Qur‟an dan al-
hadist karena praktek Mudharabah ini sebenarnya telah dipraktekan sejak
zaman sebelum Islam dan Islam mengakuinya dengan tetap ada dalam
sistem Islam (Afzalur Rahman,1995: 395). Bahkan dalam hukum Italia,
istilah mudhorobah dikenal dengan nama Comenda.
Para ahli hukum Islam sendiri masih berbeda pendapat mengenai
sifat, isi dan persyaratan tentang mudharabah. Namun demikian, terdapat
kesepakatan bulat bahwa kemitraan antara pemberi modal ( mudharib,
56
atasan, atau penabung ) dan pemakain modal (dharib, manajer, pengusaha
atau wakil) adalah halal di dalam Islam.
Ketika harta yang dijadikan modal tersebut di pergunakan oleh
Mudhorib / pengelola, maka harta tersebut sesungguhnya telah berada
dibawah kekuasaan pengelola, sedangkan harta tersebut bukan miliknya,
sehingga harta tersebut berkedudukan sebagai amanat ( titipan). Apabila
harta tersebut rusak bukan karena kelalaian pengelola, ia wajib
menanggungnya (Hendi Suhendi, 2007: 141).
Begitu pula apabila kesepakatan-kesepakatan yang telah disepaati
antara pemilik modal dengan pengelola telah diingkari oleh salah satu
pihak, maka keadaan tersebut menyebabkan kecacatan dalam perjanjian
tersebut sehingga pengelolaan dan penguasaan harta tersebut dianggap
ghasab (Abdurrahman al-Jaziri, 2009: 42).
Akad mudharabah sendiri terdapat ketentuan–ketentuan yang
mendasari aktivitas mudharabah tersebut. Terkait modal, para ulama
mengemukakan bahwa modal tersebut dapat direalisasikan dalam bentuk
sejumlah mata uang yang beredar sehingga para ulama melarang modal
tersebut dalam berupa komoditi karena ketidak stabilan harganya.
Para ulama mazhab yang empat melarang untuk menjadikan modal
tersebut dijadikan hutang bagi pengelola terhadap pemilik modal. Hal ini
karena dapat dipahami bahwa dengan adanya praktek tersebut
dimungkinkan pemilik modal mendapatkan keuntungan dari pinjaman
tersebut sementara hal tersebut termasuk ke dalam riba. Praktek tersebut
57
dapat menjadikan pengusaha tersebut terekploitasi manakala terjadi
kerugian dalam usahanya tersebut sehingga merugikan pihak pengusaha.
(Abdurrahman al-Jaziri, 2009: 78).
Terkait manajemen, mudhorib atau pengusaha mempunyai
kebebasan dalam mengelola usahanya. Dalam hal ini mudhorobah bersifat
mutlak dalam arti pemilik modal tidak mengikat pengelolaan harta untuk
berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu,
pada waktu-waktu tertentu. Sehingga bila terdapat persyaratan-persyaratan
mudhorobah tersebut tidak sah. Hal ini dikemukakan oleh ulama mazhab
Syafi‟i dan Maliki sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad bin
Hambal, mudhorobah yang terdapat persyaratan-persayratan masih tetap
sah untuk dilaksankan (Hendi Suhendi, 2007: 140).
Dilihat dari segi masa berlakunya kontrak, pengikut mazhab Maliki
dan Syafi‟i berpendapat, berlakunya kontrak akan membuat kontrak batal.
Namun pengikut mazhab Hanafi dan Hambali tetap memperkenankan
klausa tersebut. Para ulama lebih banyak berpegang pada pendapat
pertama, hal ini karena batasan waktu yang terdapat pada kontrak
mudhorobah dapat menyebabkan kehilangan kesempatan emas bagi pihak
mudhorib untuk dapat mengembangkan usahanya atau merusak rencana-
rencanaya, sebagai akibat mudhorib tidak dapat merealisasikan tujuan
utama dari kontrak tersebut, yaitu mendapatkan keuntungan (profit) dari
usaha yang dijalankannya (Abdullah Saeed, 2008:96).
58
Akad mudhorobah, pihak pemilik modal tidak dapat menuntut
jaminan dari mudhorib atas usaha yang dijalankannya. Karena dalam
kontrak mudhorobah pemilik modal dan mudhorib sama-sama harus
menaggung resiko. Apabila pemilik modal menuntut adanya persyaratan
tersebut maka menurut Imam Malik dan Imam Syafi‟i kontrak tersebut
tidak sah (Ibnu Rusyd, 2007:179).
Hal yang tidak kalah pentingnya dalam sitem mudhorobah adalah
mengenai bagi hasil ( Profit and Loss Sharing ). Pada dasarnya, kerjasama
dalam mudhorobah ini adalah untuk mendatangkan keuntungan yang
kemudian keuntungan tersebut di bagikan kepada pemilik modal dan
mudhorib sesuai dengan kesepakatan di awal mengenai persentase
keuntungan yang didapat masing-masing.
Pekerjaan, modal dan resiko menentukan sekali dalam menentukan
keuntungan dalam sebuah kontrak mudhorobah. Pembagian keuntungan
dilakukan melalui tingkat perbandingan ratio , bukan ditentukan dalam
jumlah yang pasti. Menentukan jumlah keuntungan secara pasti kepada
pihak yang terlibat dalam kontrak akan menjadikan kontrak tersebut tidak
berlaku (Abdullah Saeed, 2008:98).
Rukun mudharabah adalah ijab dan qobul yang keluar dari orang
yang memiliki keahlian. Tidak disyaratkan adanya lafadz tertentu, tetapi
dapat dengan bentuk apa saja yang menunjukkan makna mudharabah.
Karena yang dimaksudkan dalam akad ini adalah tujuan dan maknanya,
bukan lafadz dan susunan kata. Menurut Sayyid Sabiq (hanafiyyah)
59
tersebut adalah madzhab Hanafi, bahwa rukun mudharabah yang paling
mendasar adalah ijab dan qobul (offer andacceptence).
Adapun rukun dan syarat dalam mudharabah menurut Sayyid
Sabiq (hanafiyyah) :
A. Rukun mudharabah
1) Pihak yang berakad :
a) Pemilik modal (shahibul maal)
b) Pengelola modal (mudharib)
2) Objek yang diakadkan :
a) Modal
b) Kegiatan usaha
c) Keuntungan
3) Sighat/ akad :
a) Serah
b) Terima
A. Syarat Mudharabaah
1) Pihak yang berakad, kedua belah pihak harus mempunyai
kemampuan dan kemauan untuk kerjasama mudharabah.
2) Objek yang diakadkan :
a) Harus dinyatakan dalam jumlah atau nominal yang jelas
b) Jenis pekerjaan yang dibiayai dan jangka waktu kerjasama
pengelolaan dananya
60
c) Nisbah (porsi) pembagian keuntungan telah disepakati bersama
dan tata cara pembayaranya
3) Sighat atau akad :
a) Pihak-pihak yang berakad harus jelas dan disebutkan
b) Materi akad yang berkaitan dengan modal kegiatan usaha dan
telah disepakati bersama saat perjanjian (akad).
c) Resiko yang akan timbul dari proses kerjasama ini harus
diperjelas pada saat ijab qobul (apabila terjadi kerugian usaha
maka akan ditanggung oleh pemilik modal dan pengelola dalam
tidak mendapat keuntungan dari usaha yang telah dilakukan).
d) Untuk memperkecil resiko terjadinya kerugian usaha, pemilik
modal dapat menyertakan persyaratan kepada pengelola dalam
menjalankan usahanya dan harus disepakati secara besama (SOP
Koperasi Jasa Keuangan, 2007).
Sedangkan (Sutan Remi Syahdeini, 2007: 48-52),
mengatakan syarat-syarat utama yang menyangkut perjanjian
Mudharabah bagi perBMTan Islam adalah:
1. BMT menerima dana dari masyarakat atas dasar mudharabah.
Tidak disyaratkan adanya pembatasan-pembatasan bagi BMT
dalam menggunakan dana nasabah, baik yang menyangkut
kegiatan yang dapat dilakukan BMT, jangka waktu, maupun
alokasi kegiatan itu ( Mudharabah mutlaqah ).
61
2. BMT berhak menanamkan dana yang didepositkan oleh
nasabah langsung dalam bentuk investasi dan untuk keperluan
overhead cost dari BMT itu sendiri dan atau menawarkan dana
itu kepada para pengusaha BMT.
3. BMT boleh menggabungkan keuntungan dan kerugian dari
investasi-investasi lain dan berbagai keuntungan bersih dengan
para penyimpan dana berdasarkan perbandingan yang sudah
ditentukan sebelumnya.
4. Berbeda dengan perjanjian mudharabah antara nasabah
penyimpan dana dan BMT yang melakukan mudharabah tidak
terbatas. Dalam hal ini BMT sebagai pemberi dana (shahib al-
mal) mempunyai hak untuk menentukan syarat-syarat atas
penggunaan dana tersebut yang menyangkut jenis dari
kegiatan-kegiatan itu, jangka waktu, lokasi dari proyek, dsb.
5. BMT tidak diperkenankan meminta jaminan apapun dari
nasabah ( mudharib) yang bersangkutan, yang bertujuan untuk
menjamin modal dalam hal terjadi kerugian.
6. Tanggung jawab dari BMT dalam kedudukannya sebagai
shahib al-mal, terbatas hanya sampai pada modal yang
disediakan. Sedangkan tanggung jawab nasabah dalam
kedudukan sebagai mudharib terbatas semata-mata kepada
kerja dan usahanya.
62
7. Nasabah berbagi keuntungan dengan BMT sesuai dengan
perbandingan yang telah disetujui sebelumnya, yaitu sebelum
fasilitas mudharabah itu diberikan oleh BMT.
8. Sampai investor itu menghasilkan keuntungan, BMT
diperbolehkan membayar gaji nasabah yang bersangkutan
(demi menunjang gaji nasabah yang bersangkutan). Gaji
tersebut ditentukan berdasarkan tingkat gaji yang berlaku di
pasar.
B. Bentuk-bentuk Akad Mudharabah
a. Mudharabah Muthlaqah (unrestricted)
Adalah salah satu akad mudharabah, dimana mudharib
diberikan hak yang tidak terbatas untuk investasi oleh shahibulmal.
Dengan kata lain transaksi mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerja
sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas
dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis.
b. Mudharabah Muqayyadah
Adalah salah satu akad mudharabah, dimana mudharib dibatasi
haknya oleh sahibul mal, antara lain dalam hal jenis usaha,waktu dan
tempat usaha (Ascarya, 2008:56).
Berbeda pendapat dengan (Adiwarman A Karim, 2004:
201) bahwa pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak dimana
shahib al-mal menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si
mudharib. Bentuk mudharabah ini disebut mudharabah mutlaqah, atau
63
dalam bahasa Inggrisnya dikenal sebagai Unsertricted Investment
Account (URIA). Namun demikian, apabila dipandang perlu shahib al-
mal boleh menetapkan atau batasan-batasan atau syarat-syarat tertentu
guna menyelamatkan modalnya dari resiko kerugian. Syarat-syarat
atau batasan-batasan ini harus dipenuhi oleh mudharib. Apabila
mudharib melanggarnya, dia harus bertanggungjawab atas kerugian
yang timbul. Jenis mudharabah seperti ini disebut mudharabah
muqayyadah (mudharabah terbatas atau dalam bahasa Inggrisnya
disebut (Restricted Investment Account). Jadi pada dasarnya, terdapat
dua bentuk mudharabah, yakni mutlaqah dan muqayyadah.
Namun demikian dalam praktik perBMTan syari‟ah modern,
kini dikenal dua bentuk mudharabah muqayyadah, yakni yang on
balance sheet dan off balance sheet. Misalnya pertanian, manufaktur,
dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya
hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan,
properti, dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor
bisa saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan,
misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan akad cicilan saja, atau
penyewaan cicilan saja, atau kerja sama usaha saja skema ini disebut
on balance sheet karena dicatat dalam neraca BMT. (Adiwarman A
Karim, 2004:201)
Skema bentuk-bentuk mudharabah di BMT syariah sebagai berikut:
Keterangan Skema :
Muqayyadah (RIA:
Restricted Investment
Account
64
Sumber : BMT Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Adiwarman A Karim,
2004:201)
Akadmudharabah muqayyadah off balance sheet, aliran dana
berasal dari satu nasabah investor kepada nasabah pembiayaan (yang
dalam BMT konvensional disebut debitur). Disini, BMT syari‟ah
bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya di BMT
dilakukan secara off balance sheet saja. Sedangkan bagi hasilnya
hanya melibatkan investor dan pelaku usaha saja. Besaran bagi hasil
tergantung kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah
pembiayaan. BMT hanya memperoleh arrranger fee. Skema ini
disebut off balance sheet karena transaksi ini tidak dicatat dalam
neraca BMT, tetapi hanya dicatat dalam rekening administrasi.
“mudharabah mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara shahibul maal
dengan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh
spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.
C. Landasan Hukum Mudharabah
Dalam Buku II tentang Akad dalam Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah (KHES) disebutkan bahwa pengertian
Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam
Mudharabah On balance sheet
Off balance sheet
Mutlaqah (URIA:
Unrestricted Investment
Account
65
modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu
dengan bagi hasil. Adapun landasan dasar syariah al-mudharabah
antara lain sebagai berikut :
A. Al-Qur‟an
1) Q.S. al-muzammil (73) : 20
Artinya : Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi
mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain
lagi berperang dijalan Allah.....”
2) Q.S. an-Nisa (4) : 29
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
engkau saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu...”
3) Q.S. al-Maidah (5) : 1
Artinya : “hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-
akad itu....”
4) Q.S.al-Baqarah (2) : 283
Artinya : “....akan tetapi jika sebagian kamu memercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu
menunikan amanatnya (hutangnya) dan hendakalah ia
bertaqwa kepada Allah Tuhannya....”
B. Hadits
1) Hadits Riwayat Ad Daraquthni
66
Artinya: “Dari Hakim bin Kaizam r.a : sesungguhnya dia
pernah menyaratkan kepada seseorang apabila dia memberi
uang sebagai modal usaha kepadanya; bahwa kamu tidak
boleh tempatkan harta saya dalam tempat yang basah, tidak
boleh bawa dalam laut dan tidak boleh kamu menyeberangi
sungai. Jika kamu berbuat sesuatu dari yang terlarang itu,
maka kamu menanggung harta saya.”
2) Hadits Riwayat Ibnu Majah
Artinya : “Dari Shuhaib r.a (katanya) : sesungguhnya Nabi
S.A.W bersabda : ada tiga perkara yang ada berkah padanya :
jual beli dengan tempo pembayaran, pemberian modal niaga
kepada seseorang dan pencampuran gandum dengan sya‟ir
(jenis beras) untuk rumah tangga, bukan untuk jual beli.”
C. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI
Berhubungan dengan praktek pembiayaan mudharabah,
yang merupakan salah satu bentuk kegiatan penyaluran dana
lembaga keuangan syari‟ah, termasuk perBMTan syari‟ah, maka
Dewan Syari‟ah Nasional menetapkan fatwa mengenai pembiayaan
mudharabah agar sesuai dengan ketentuan syari‟ah dan sekaligus
dijadikan pedoman bagi lembaga keuangan syari‟ah dan dalam
menjalankan operasionalnya sebagaimana disebutkan dalam fatwa
DSN Nomor 07/DSN-MUI/IV/2010 tentang pembiayaan
mudharabah (qirad).
67
Berhubungan dengan ketentuan umum pembiayaan
mudharabah, Fatwa DSN Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000
menetapkan sebagai berikut :
a. Pembiayaan mudharaabah adalah pembiayaan yang disalurkan
oleh LKS (Lembaga Keuangan Syari‟ah) kepada pihak lain
untuk usaha produktif.
b. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul mal (pemilik
modal) membiayai 100 % kebutuhan suatu proyek (usaha)
sedangkan pengusaha bertindak sebagai mudharib (pengelola
usaha).
c. Jangka waktu usaha, tata cara pengembalian dana, dan
pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak (LKS dan pengusaha).
d. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah
disepakati bersama dan sesuai syari‟ah dan LKS tidak ikut serta
dalam manajeman perusahaan atau proyek, tetapi mempunyai
hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan.
e. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam
bentuk tunai dan bukan piutang.
f. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian
akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib melakukan
kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi aturan.
68
g. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada
jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan
penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib
atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila
mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal
yang disepakati bersama dalam akad.
h. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme
pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan
memperhatikan fatwa DSN.
i. Biaya operasional diperBMTan mudharib.
j. Dalam hal penyandang dana, LKS tidak melakukan kewajiban
atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib
berhak mendapatkan ganti rugi atau biaya yang telah
dikeluarkan.
Selain itu, dalam Fatwa DSN Nomor 07/DSN-
MUI/IV/2000 juga ditetapkan dengan rukun dan syarat
pembiayaan mudharabah tersebut, yaitu :
a. Penyedia dana (shahibul mal) dan pengelola (mudharib) harus
cakap hukum.
b. Persyaratan ijab dan qobul dinyatakan olah para pihak untuk
menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak
(akad). Dengan memperhatikan hal-hal berikut :
69
1) Penawaran dan permintaan harus secara eksplisit
menunjukan tujuan kontrak (akad).
2) Penawaran dan permintaan dilakukan pada saat kontrak.
3) Akad dituangkan secara tertulis, mulai korespondensi, atau
dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
c. Modal ialah sejumlah uang atau aset yang diberikan oleh
penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
2) Modal dapat di bentuk uang atau bentuk barang yang
bernilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset
tersebut harus di nilai pada waktu akad.
3) Modal tidak dapat terbentuk piutang dan harus dibayarkan
kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak,
sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
d. Keuntungan mudharobah adalah jumlah yang didapat sebagai
kelebihan dari modal. Syarat keuntungan ini harus memenuhi :
1) Harus diperuntukkan bagi kedua belah pihak dan tidak
boleh disyaratkan untuk satu pihak.
2) Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus
diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak di sepakati
dan harus dalam bentuk prosentase (nisbah) dari
70
keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
sesuai kesepakatan.
3) Penyedia dana menaggung semua kerugian akibat dari
mudharobah, dan pengelola tidak boleh menanggung
kegiatan apapun kecuali di akibatkan dari kesalahan
disengaja, kelainan, atau pelanggaran kesepakatan.
e. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai
pertimbangan (muqabi) modal yang disesuaikan penyedia dana,
harus memperhatikan hal-hal berikut :
1) Kegiatan usaha adalah hak ekslusif mudharib, tanpa
campur tangan penyedia dana, tetapi dia mempunyai hak
pengawasan.
2) Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan
pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi
tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
3) Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariat islam
dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah
dan harus memenuhi kebiasaan yang berlaku dalam
aktifitas itu.
Fatwa DSN Nomor 07/DSN-MUI/IV/2000 ditetapkan
pula beberapa ketentuan hukum dari pembiayaan mudharabah
tersebut, yaitu :
a. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.
71
b. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu‟allaq) dengan sebuah
kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi.
c. Pada dasarnya dalam mudharabah tidak ada ganti rugi,
karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al
amanah) kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian
atau pelanggaran kesepakatan.
d. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau
jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka
penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase
Syari‟ah setelah tidak tercapainya kesepakatan melalui
musyawarah (Drs. H. M. Ichwan Sam, 2006: 39)
D. Manfaat Sistem Pembiayaan Mudharabah
Bila diperhatikan dengan seksama, manfaat sistem
mudhorobah bagi perBMTan adalah: (M. Syafi‟I Antonio, 2001:
98)
a. BMT akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat
keuntungan usaha nasabah meningkat.
b. BMT tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah
pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapatan /
hasil usaha BMT sehingga BMT tidak akan pernah mengalami
negative spread.
72
c. Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash
flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan
nasabah.
d. BMT akan lebih selektif dan hati-hati ( prudent) mencari usaha
yang benar benar halal, aman dan menguntungkan.
e. Prinsip bagi hasil berbeda dengan bunga tetap dimana BMT
akan menagih penerimaan pembiayaan (nasabah) satu jumlah
bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah,
sekalipun merugi atau terjadi krisis ekonomi.
Untuk membiayai mudhorobah bagi para mudhorib (dan
juga jasa BMT Syari‟ah lainnya), tentu saja BMT harus banyak
menampung dana dari masyarakat banyak. Namun perlu diakui
saat ini tidak semua masyarakat Islam tertarik untuk menyimpan
uangnya di BMT. Menurut Yoki Kuncoro, (Sumber: Republika
Senin 22 September 2008) nasabah di Indonesia masih
mengutamakan alasan keuntungan mendasar (Fungsional) sebagai
alasan untuk membuka rekening. Alasan tersebut adalah
keamanan, kemudahan akses dan banyaknya fasilitas yang
memberikan kemudahan bertransaksi (pangsa regional).
Firman Allah disebutkan:
73
Artinya: “Hai orang-orang beriman, nafkahkanlah (di
jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan
sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu.
Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
nafkahkan dari padanya,….”(QS. Al Baqarah: 267).
Skema pembiayaan mudharabah adalah sebagai berikut:
Keterangan Skema 6 :
Perjanjian bagi hasil
(Sumber : pbsstainmetro.blogspot.com diunduh pada tanggal 4 Desember 2014 )
E. Kualitas Pembiayaan
Pembiayaan merupakan jenis penanaman dana yang sering
menjadi penyebab utama BMT menghadapi masalah besar, yaitu
kemungkinan pihak debitur/pengelola dana (mudharib) lalai dalam
Mudharib
Modal
Pembagian Keuntungan
Shahibul Maal
Proyek/
Usaha
74
mengelola dana pembiayaan. Setiap fasilitas pembiayaan
mempunyai tingkat kemungkinan realisasi pembiayaan kembali
bagi hasil oleh debitur yang berbeda-beda atau tingkat kualitas
yang berbeda-beda. Terutama untuk pembiayaan mudharabah dan
pembiayaan musyarakah, kualitasnya ditetapkan menjadi 3 (tiga)
golongan yaitu, lancar, kurang lancar, dan macet.
2.3 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen / Nasabah
2.3.1 Perlindungan Hukum
Kamus besar Bahasa Indonesia Perlindungan berasal dari kata
lindung yang memiliki arti mengayomi, mencegah, mempertahankan, dan
membentengi. Sedangkan Perlindungan berarti konservasi, pemeliharaan,
penjagaan, asilun, dan bunker. Beberapa unsur kata Perlindungan :
a. Melindungi: menutupi supaya tidak terlihat/tampak, menjaga,
memelihara, merawat, menyelamatkan.
b. Perlindungan; proses, cara, perbuatan tempat berlindung, hal
(perbuatan) memperlindungi (menjadikan atau menyebabkan
berlindung).
c. Pelindung: orang yang melindungi , alat untuk melindungi.
d. Terlindung : tertutup oleh sesuatu hingga tidak kelihatan.
e. Lindungan : yang dilindungi, tempat berlindung, perbuatan.
f. Memperlindungi: menjadikan atau menyebabkan berlindung.
g. Melindungkan: membuat diri terlindungi
75
Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk
pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat
keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental, kepada
korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak
manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan, dan atas
pemeriksaan di sidang pengadilan.
2.3.2 Konsumen
Menurut kamus bahasa Indonesia konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi
kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain
dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut
untukdijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor.
Pengertian Konsumen Menurut UU Perlindungan Konsumen -
Menurut pengertian Pasal 1 angka 2 UU PK, "Konsumen adalah setiap
orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik
bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan kembali."
2.3.3 Nasabah dan Mudharib
A. Definisi nasabah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
adalah orang yang biasa berhubungan dengan atau menjadi pelanggan
bank dalam hal keuangan.
B. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun
2008 tentang Perbankan Syariah, nasabah adalah pihak yang
76
menggunakan jasa bank syariah dan atau Unit Usaha Syariah. Nasabah
penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di Bank
Syariah dan atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk simpanan
berdasarkan akad antara bank syariah atau Unit Usaha Syariah dan
nasabah yang bersangkutan. Nasabah investor adalah nasabah yang
menempatkan dananya di Bank Syariah dan atau Unit Usaha Syariah
dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara Bank Syariah dan atau
Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan. Nasabah penerima
fasilitas adalah nasabah yang memperoleh fasilitas dana atau yang
dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.
Dengan demikian setiap pemakai barang atau jasa yang tersedia di
masyarakat sedangkan nasabah adalah pihak pengguna jasa. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa konsumen dan nasabah pemakai produk atau
jasa layanan. Dengan demikian penulis menarik kesimpulan yang sama
anatara nasabah dan konsumen, selanjutnya nasabah dan konsumen
dianggap sama. Pengertian mudharabah secara definisi adalah suatu
bentuk perniagaan di mana pemilik modal (shahibul maal) menyetorkan
modalnya kepada seorang pengusaha yang sering disebut dengan
(mudharib), untuk diniagakan dengan keuntungan yang akan dibagi
bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan
terdapat kerugian akan ditanggung oleh pemilik modal jika disebabkan
olehnya, dan jika disebabkan oleh pengelola modal maka pengelola
modal yang harus menanggung kerugian tersebut. Pada hakikatnya
pengertian dari mudharabah adalah suatu bentuk kerja sama antara
77
shohibul maal dan mudhorib, dimana dana 100% dari shohibul maal.
Sedangkan mudhorib hanya sebagai pengelola yang keuntungannya
akan dibagi sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati di awal.
Mudharabah adalah salah satu akad kerja sama kemitraan berdasarkan
prinsip berbagi untung dan rugi (profit and loss sharing principle),
dilakukan sekurang-kurangnyaoleh dua pihak, dimana yang pertama
memiliki dan menyediakan modal, disebut shohibul maal, sedang ke
dua memiliki keahlian dan bertanggung jawab atas pengelolaan dana /
menejemen usaha halal tertentu, disebut mudhorib. (Makhalul ilmi
SM.Teori 2002. Hal. 32)
2.3.4 Undang-Undang yang Mengatur
Undang-Undang Perkoprasian
Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoprasian yang telah
dibatalkan Mahkamam Konstitusi pada Tanggal 29 Mei 2014 dan
menyatakan berlakunya kembali Undang-Undang No. 25 Tahun 1992
Tentang Perkoprasian sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) Pemerintah
memberikan bimbinngan, kemudahan dan perlindungan kepada Koperasi.
Uraian pasal-pasal di atas peneliti ingin menyimpulkan bahwa
nasabah dalam perBMTan dalam hal ini BMT merupakan salah satu
konsumen atau anggota Koperasi, implikasi dari itu merupakan bahwa
setiap nasabah/konsumen/anggota koperasi berada jelas berada pada posisi
terlindungi Undang-Undang. Sehingga jika terdapat hal-hal yang
merugikan sebagian atau seluruh dari hak-hak konsumen (mudharib).
78
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Dasar Penelitian dan Metode Pendekatan
Penelitian adalah terjemaahan dari bahasa Inggris “research” yang
berasal dari kata “re” yang mempunyai arti kembali dan “to search” yang
berarti mencari, dengan demikian arti sebenarnya “research” adalah mencari
kembali. Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Kirl dan Miller
sebagaimana dikutip Moleong (2006:4) mendefinisikan “penelitian kualitatif
adalah teradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia baik dalam
kawasannya maupun dalam peristilahannya”.
Sedangkan menurut Bogdan dan Taylor sebagaimana dikutip Moleong
(2006:4) mendefinisikan “metodologi kualitatif adalah prosedur penelitian
yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati”.
Penelitian pada umumnya bertujuan untuk menemukan,
mengembangkan atau menguji kebenaran suatu pengetahuan. Menemukan
berarti memperoleh sesuatu untuk mengisi kekosongan atau kekurangan.
Mengembangkan berarti memperluas dan menggali lebih dalam sesuatu yang
sudah ada. Menguji kebenaran dilakukan jika apa yang sudah ada masih
menjadi diragu-ragukan kebenarannya. Oleh karena itu, setiap tahap dalam
79
penelitian harus didasari pada suatu metode penelitian yang berfungsi sebagai
arah yang tepat untuk mencapai tujuan dari penelitian yang dilakukan.
Cara-cara yang digunakan dalam melakukan penelitian diperlukan
suatu metode tertentu yang harus tepat dan sesuai dengan jenis penelitian yang
dilakukan serta sistematis dan konsisten. Dalam penelitian pelaksanaan
perlindungan hukum terhadap nasabah BMT menurut Undang-Undang, maka
metode pendekatan yang digunakan untuk penelitian ini adalah penelitian
Yuridis Sosiologis, Yuridis Sosiologis adalah penelitian hukum yang
menggunakan data sekunder sebagai data awalnya, yang kemudian dilanjutkan
dengan data primer atau data lapangan, Meneliti efektivitas suatu Undang-
Undang dan Penelitian yang ingin mencari hubungan (korelasi) antara
berbagai gejala atau variabel sebagai alat pengumpul datanya terdiri dari studi
dokumen, pengamatan (observasi), dan wawancara (interview) (Amiruddin,
2012).
3.2 Lokasi Penelitian dan Fokus Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana penelitian dilaksanakan atau
tempat dimana seorang peneliti melakukan suatu penelitian. Penetapan lokasi
penelitian sangat penting dalam rangka mempertanggungjawabkan data yang
diperoleh. Lokasi penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah BMT
Darussalam Kab. Demak.
Menurut Moleong penelitian dapat dilakukan dengan adanya fokus,
pertama, suatu penelitian tidak dimulai dari sesuatu yang vakum atau kosong,
kedua, fokus pada dasarnya adalah masalah pokok yang bersumber dari
80
pengalaman peneliti atau melalui pengetahuan yang diperoleh melalui
kepustakaan ilmiah ataupun kepustakaan lainnya. Ketiga, tujuan penelitian
pada dasarnya adalah memecahkan masalah yang telah dirumuskan. Keempat,
fokus atau masalah yang ditetapkan bersifat persuatif, dapat diubah sesuai
dengan situasi latar penelitian (Moleong, 2006: 97-98).
Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka
yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah:
1. Bagaimana Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Mudharib
Pembiayaan Mudharabah BMT menurut Undang-Undang ?
2. Bagaimana Praktek Pemutihan Terhadap Mudharib Pembiayaan
Mudharabah di BMT Darussalam Kabupaten Demak ?
3.3 Sumber Data
Menurut Arikunto (1998: 107) yang dimaksud sumber data penelitian
adalah subyek darimana data dapat diperoleh, diambil dan dikumpulkan.
Subyek penelitian adalah subyek yang dituju untuk diteliti oleh peneliti
(Arikunto, 1998: 122).
Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini dikategorikan
menjadi 2 (dua) yaitu :
a. Sumber Data Primer
Menurut Soemitro (1990: 52) sumber data primer yaitu data yang
diperoleh secara langsung dari masyarakat. Sedangkan menurut Moleong
(2002: 12) sumber data primer adalah kata-kata dan tindakan dari orang-
orang yang diwawancarai. Data primer ini digunakan sebagai data utama
81
dalam penelitian ini, dalam data ini berasal dari informan, yaitu para
pengurus BMT Darussalam Kabupaten Demak. Responden yang
digunakan adalah satu atau beberapa Pengurus BMT Darussalam
Kabupaten Demak.
b. Sumber data sekunder
Menurut Lofland yang dikutip Moleong (2002: 112) bahwa selain
kata-kata sebagai sumber data utama, data tambahan seperti dokumen dan
lain-lain merupakan data sekunder. Dalam hal ini yang menjadi sumber
data sekunder yaitu jenis data yang diperoleh secara tidak langsung dari
obyek penelitian atau nara sumbernya, data ini diperoleh melalui studi
pustaka terhadap buku-buku literatur yang memuat teori-teori, pendapat
para ahli, peraturan perundang-undangan maupun bahan-bahan pustaka
lainnya yang berkaitan dengan masalah pokok penelitian untuk
mendapatkan landasan teori guna penyusunan skripsi.
3.4 Alat dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini untuk dapat membahas sekaligus memahami masalah
yang ada penulis mengumpulkandata dengan langkah-langkah sebagai berikut:
3.4.1 Wawancara (Interview) dan Observasi
“Wawancara adalah cara untuk memperoleh informasi dengan
bertanya langsung kepada yang diwawancarai” (Soemitro, 1988: 57).
Dalam wawancara ini digunakan metode bebas terpimpin yaitu
kebebasan masih dipertahankan, sehingga dapat dicapai maksimal
dengan alat yang dipergunakan berupa catatan-catatan mengenai
82
pokok-pokok yang akan dipertanyakan. Catatan ini dipakai sebagai
pedoman agar wawancara yang dilakukan terhadap informan yang
dijadikan sampel tetap dapat terkendali dan tidak menyimpang dari
pedoman yang telah ditetapkan. Selain itu masih dimungkinkan adanya
variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan kondisi pada saat
wawancara berlangsung.
Wawancara ini peneliti mempersiapkan pertanyaan terlebih
dahulu. Pertanyaan-pertanyaan yang disiapkan juga disesuaikan
dengan situasi ketika wawancara untuk memperoleh informasi
langsung dari narasumber atau subjek penelitian.
Sedangkan Observasi menurut Sutrisno Hadi yang dikutip oleh
Sugiyono (2011: 203) mengemukakan bahwa “observasi merupakan
suatu proses yang komplek,suatu proses yang tersusun dari berbagai
proses biologi dan psikologis”. Menurut Prof. Heru mengatakan bahwa
“observasi adalah studi yang sengaja dan dilakukan secara sistematis,
terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati dan mencakup
fenomena satu atau sekelompok orang dalam komplek kehidupan
sehari-hari. Dengan demikian hasil dari pengamatan dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Jadi pengertian observasi adalah suatu proses yang komplek
yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah,
pada suatu tujuan dengan mengamati dan mencakup fenomena satu
83
atau sekelompok orang dalam kompleks kehidupan sehari-hari untuk
mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk melanjutkan peneliitan.
3.4.2 Studi Kepustakaan dan Dokumen
Studi kepustakaan ini digunakan untuk mencari landasan teori
berupa pendapat-pendapat dan tulisan para ahli atau penemuan-
penemuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan dan juga
untuk memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal
maupun data melalui naskah resmi.
“Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal
atau variabel berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya” (Arikunto, 2002: 206).
Metode dokumentasi dilakukan dengan cara dimana peneliti
melakukan kegiatan perekaman dan pencatatan terhadap data-data
yang dapat menperkuat apa yang terdapat di lapangan pada saat
wawancara.
3.5 Keabsahan Data
Dalam penelitian ini digunakan teknik triangulasi untuk melakukan
pengujian keabsahan data. “Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan
data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”. (Moleong, 2006:
330). Menurut Denzin sebagaimana dikutip Moleong (2006:330-331)
membedakan empat macam triangulasi yaitu triangulasi sumber, triangulasi
84
metode, triangulasi penyidik, dan triangulasi teori. Keempat triangulasi itu
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Triangulasi dengan sumber
Menurut Patton sebagaimana dikutip Moleong mengatakan
“triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat
yang berbeda dalam penelitian kualitatif”. Hal ini dapat dicapai dengan
jalan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara; (2) membandingkan apa yang dikatakan orang di depan
umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi; (3) membandingkan
apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang
dikatakannya sepanjang waktu; (4) membandingkan keadaan dan
perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pendangan orang
seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan rendah atau tinggi, orang
berada, dan orang pemerintahan; (5) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan (2006: 330-331).
2. Triangulasi dengan metode
Menurut Patton sebagaimana dikutip Moleong (2006: 331),
mengatakan dalam triangulasi ini terdapat dua strategi, yaitu: (1)
pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa
teknik pengumpulan data dan (2) pengecekan derajat kepercayaan
beberapa sumber data dengan metode yang sama.
85
3. Triangulasi dengan penyidik
Menurut Moleong (2006: 331) “triangulasi dengan penyidik ialah
dengan jalan memanfaatkan peneliti atau pengamat lainnya untuk
keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan data”
4. Triangulasi dengan teori
Menutut Lincoln dan Guba segaimana dikutip Moleong (2006:
331) mengatakan “berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat
diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori”. Sedangkan
Patton sebagaimana dikutip Moleong (2006:331) berpendapat lain, yaitu
hal itu dapat dilaksanakan dan hal itu dinamakannya penjelasan banding
(rival explanation).
Menurut Moleong dalam hal ini, jika analisis telah menguraikan
pola, hubungan, dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis,
maka penting sekali untuk mencari tema atau penjelasan pembanding atau
penyaring. Hal itu dapat dilakukan dengan menyertakan usaha pencarian
cara lainnya untuk mengorganisasikan data yang barangkali mengarah
pada upaya penemuan penelitian lainnya. Secara logika dilakukan dengan
jalan memikirkan kemungkinan logis lainnya dan kemudian melihat
apakah kemungkinan-kemungkinan itu dapat ditunjang oleh data (2006:
331-332).
Penelitian ini teknik triangulasi yang digunakan oleh peneliti
adalah menggunakan triangulasi dengan sumber. Triangulasi dengan
sumber berarti “membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan
86
suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda”
(Moleong, 2006: 330). Triangulasi sumber dapat dicapai dengan jalan:
a. Membandingkan data hasil wawancara dengan data hasil pengamatan;
b. Membandingkan apa yang dilakukan orang di depan umum dengan apa
yang dilakukan secara pribadi;
c. Membandingkan apa yang dilakukan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dilakukannya sepanjang waktu;
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seorang dengan berbagai
pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang
berpendidikan menengah atau tinggi, orang pemerintahan;
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang
berkaitan;
Dengan menggunakan triangulasi ini, peneliti dapat meneliti
keabsahan data yang diambil antara sumber data melalui wawancara
dengan informasi dan responden dengan menggunakan catatan kecil
(block note) dan alat rekam yang membantu peneliti dalam
mendokumentasikan hasil wawancara. Setelah ini peneliti mengecek
informasi yang diperoleh dari hasil wawancara dengan dokumen seperti:
buku, putusan, undang-undang, akta perjanjian dan data-data yang tertulis
di BMT Darussalam Kabupaten Demak.
3.6 Metode Analisis Data
Penelitian analisi data mempunyai kedudukan yang sangat penting.
Menurut Patton sebagaimana dikutip Moleong (2006: 280) bahwa “analisi
87
data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam
suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar”.
Sedangkan menurut Moleong (2006: 280) “analisi data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan
uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan hipotesis kerja
seperti yang disarankan oleh data”.
Menurut Miles dan Huberman (2007: 15-19) terdapat tahapan dalam
melakukan analisis terhadap data-data yang didapatkan, yaitu:
1. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah kegiatan mencatat semua data secara
obyektif dan apa adanya sesuai dengan hasil wawancara di lapangan.
2. Reduksi data
Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan, perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan.
3. Penyajian Data
Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang
memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan.
4. Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari
konfigurasi yang utuh. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama
penelitian berlangsung. Dalam penarikan kesimpulan ini didasarkan pada
88
reduksi data yang merupakan jawaban atas masalah yang diangkat dalam
penulisan sebuah penelitian.
Tahap analisis data dalam penelitian ini yakni pertama-tama
peneliti melakukan penelitian di lapangan dengan melakukan wawancara
yang disebut tahap pengumpula data. Oleh karena banyaknya data yang
dikumpulkan, maka diadakan reduksi data, setelah direduksi kemudian
diadakan sajian data. Apabila ketiga tahapan tersebut selesai di lakukan,
maka diambil kesimpulan atau verifikasi.
Untuk mempermudah pemahaman tentang metode analisi tersebut.
Miles dan Huberman menggambarkan siklus data interaktif, dimana setiap
komponen yang ada dalam siklus tersebut saling interaktif
mempergunakan satu sama lain (Miles dan Huberman, 2007:20).
Keterangan Skema 8 :
Gambar: Komponen-komponen Analisis Data: Model Interaktif
Pengumpulan data
Penyajian data Reduksi data
Kesimpulan-kesimpulan
Penarikan atau Verifikasi
133
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
Pada bagian akhir dari penulisan skripsi ini peneliti membuat kesimpulan
dan saran, adapun kesimpulan dan saran tersebut adalah sebagai berikut :
5.1 Simpulan
Dari uraian dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Perlindungan hukum yang dilakukan oleh BMT nampak pada eksistensi
lembaga BMT harus berbadan hukum, BMT dalam badan hukumnya
sesuai dengan Pasal 9 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian. Selain itu BMT dalam menjalankan produknya harus
sesuai dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang
Perkoperasian pada Pasal 38 UU Perkoperasian bahwa tentang Dewan
Pengawasan dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah. Sedangkan dalam
memutuskan penyelesaian masalah dengan menggunakan metode
musyawarah yang telah sesuai pada Pasal 24 UU Perkoperasian, BMT
dalam mengambil keputusan akan dipertimbangkan yang pada awalnya
dengan rapat anggota.
2. Praktek perlindungan hukum oleh BMT Darussalam telah berjalan
dengan baik. Hal ini dapat dilihat bahwa BMT Darussalam dalam
menjalankan apa yang diamanatkan olehPasal 9 Undang-Undang No.25
Tahun 1992, dalam hal ini BMT telah mempunyai Badan Hukum
134
KOPONTREN/88/BH/XIV8/PAD/KDK/11-03/1/2008.Sedangkan pada
Pasal 38 Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian
BMT dalam menjalankan produk BMT Darussalam telah mempunyai
Badan Pengawasan yaitu Dewan Pengawas Syariah yang diketuai oleh
K. H. Drs. Suali M. S. Sedangkan dengan Pasal 24 UU Perkoperasian
dalam menyelesaikan akad jika terdapat sengketa maka BMT
Darussalam bersedia menyelesaikan masalahnya dengan pedoman
musyawarah yang dilakukan dengan Rapat Anggota. Hasil musyawarah
yaitu ada tiga opsi bagi mudharib yang mengalami kerugian/musibah,
yang pertama diberikan pendampingan dan pencerahan, yang kedua
penjadwalan ulang (rescdule), yang ketiga pengembalian pokok
pinjaman, dan terakhir memutihkan atau menghapus pinjaman untuk
mudharib yang dikategorikan sebagai mustahiq untuk mendapatkan
zakat yaitu gharim.
5.2.Saran
1. Untuk BMT
A. Hendaknya setiap transaksi keuangan yang dilakukan di lembaga
keuangan (Koperasi atau BMT) sebaiknya di Notariskan sebagaimana
yang diamanatkan dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
B. Demi rangka mengantisipasi kerugian antara pihak nasabah dan pihak
BMT dalam akad mudharabah yang diakibatkan kejadian yang luar
135
biasa (Force Majeure) hendaknya setiap perjanjian (akad) di
asuransikan atau diperkuat dengan optimalisasi pendampingan.
C. Jika sengketa tidak dapat diselesaikan dengan musyawarah maka
sebaiknya dilaporkan kepada pihak kepolisian.
2. Untuk Anggota atau Mudharib
A. Dalam pelaksanaan akad mudharabah hendaknya nasabah
memperhatikan (mencermati) isi perjanjian (akad).
B. Dalam rangka mengantisipasi kerugian pihak nasabah dalam akad
mudharabah yang diakibatkan kejadian yang luar biasa (Force
Majeure) maka anggota atau nasabah bersedia di asuransikan.
136
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Antonio, Muhammad Syafi‟i. 2001. Bank Syariah :Wacana Ulama dan
Cendikiawan, Jakarta : Central Bank of Indonesia and Tazkia Institute.
Basu Swastha, 1999. Azas-Azas Marketing, Liberty, Yogyakarta.
Ismail, Maqdir. 2009. Bank Indonesia dalam Perdebatan Politik dan Hukum,
Navila.
Junusi, El Rahmad. 2005. ‟‟Pengaruh Religiusitas dan Etika Kerja Islam Terhadap
Kinerja Lembaga Keuangan Syariah” Penelitian, Semarang IAIN
Walisongo.
Karim, Adiwarman A. 2007. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta:
PT. Raja Grafindo.
Kamello, Tan. 2006. Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui
Hubungan antara Bank dan Nasabah, Pidato Guru Besar USU.
Makhalul ilmi SM. Teori dan praktik lembaga mikro keuangan syari‟ah.
Yogyakarta: press Yogyakarta. 2002. Hal. 32
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Muhammad. 2004. Operasional Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press.
Muhammad. 2002. Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: (UPP) AMPYKPN.
Ridwan, Muhammad. 2004. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil
(BMT),Yogyakarta: UII Press.
137
Saeed, Abdullah. 2004. Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga
Bank Kaum Neo-Revivalis, Jakarta: Paramadina.
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metodelogi Penelitian Hukum Dan Jurimetri.
Jakarta : Ghalia Indonesia.
Sudarsono, Heri. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Deskripsi dan
Ilustrasi. Yogyakarta: Ekonisia.
Syafi‟i, Rahmat. 2004. Fiqh Muamalah, cet. II. Bandung: Pustaka Setia.
Sumiyanto, Ahmad. 2008 Menuju Koperasi Modern (Panduan untuk Pemilik,
Pengelola dan Pemerhati Baitul maal wat Tamwii dalam format Koperasi),
Yogyakarta: Debeta.
B. Perundang-undangan dan Peraturan Lainnya
........, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
........, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 yang telah diubah dengan Undang-
undang Nomor 10 Tahun 1998 dan perubahan tahap kedua dengan Undang-
undang Nomor 21 Tahun 2008, Tentang Perbankan Syariah
........, Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah
........, Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004, Tentang Jabatan Notaris
........, Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004, Tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang
........, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 yang telah
diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia 17 Tahun 2012, Tentang
Pengkoperasian
Pasal 1234 KUHPerdata Tentang Wanprestasi
Pasal 1244 dan 1245 KUHPerdata Tentang Kejadian Luar Biasa (Force Majeure)
138
Permenkop Nomor 35.2/PER/M.KUKM/X/2007 Tentang Pedoman Standar
Operasional Managemen Koperasi jasa Keuangan Syariah dan Unit Jasa
Keuangan Syariah Koperasi
Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
FATWA DEWAN SYARI‟AH NASIONAL NO: 07/DSN-MUI/IV/2000, Tentang
PEMBIAYAAN MUDHARABAH (QIRADH)
FATWADEWAN SYARI‟AH NASIONAL NO: 03/DSN-MUI/IV/2000, Tentang
Deposito
C. Makalah dan Jurnal Karya Ilmiyah
Budiharjo, Arief. MESS Jabar . Pengenalan BMT. Makalah disajikan pada…. Dst.
Tanpa halaman
Fauzi, Achmad. 2009. Urgensi Hukum Perikatan Islam Dalam Penyelesaian
Sengketa Ekonomi Syariah. Alumnus UII Yogyakarta
Tim Penyusun Pedoman BMT Jaringan Muamalat CenterIndonesi., 2004
D. Majalah/Internet
http://muhammadis.blogspot.com/2012/03/prinsip-hukum-ekonomi-
islam.html?view=flipcard
http://kbbi.web.id/
http://mirsadakbar.blogspot.com/2013/09/antara-tabungan-wadiah-dan
tabungan.html
http://www.ussisulsel.com/?pilih=news&mod=yes&aksi=lihat&id=91
http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=8441
http://ekonomisyariah.site40.net/2008/10/baitul-maal-wa-tamwil-bmt
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1
SURAT IJIN PENELITIAN
LAMPIRAN 2
SURAT KETERANGAN TELAH PENELITIAN
LAMPIRAN 3
PEDOMAN WAWANCARA
LAMPIRAN 4
FORMULIR PEMBIMBINGAN PENULISAN SKRIPSI
LAMPIRAN 5
DOKUMEN BMT DARUSSALAM