perlindungan hukum indikasi geografis

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS

DR. ERLINA B, S.H., M.H. | MELISA SAFITRI, S.H., M.H.INTAN NURINA SEFTINIARA, S.H., M.H.

EDITOR :

Dr. ZAINAB OMPU JAINAH, S.H., M.H.

Hak cipta pada penulisHak penerbitan pada penerbit

Tidak boleh diproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapunTanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit

Kutipan Pasal 72 :Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012)

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1. 000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 5. 000.000.000,00 (lima miliar rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual ke-pada umum suatu Ciptaan atau hasil barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)


DR. ERLINA B, S.H., M.H. | MELISA SAFITRI, S.H., M.H.INTAN NURINA SEFTINIARA, S.H., M.H.

EDITOR :

Dr. ZAINAB OMPU JAINAH, S.H., M.H.

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


Penulis:DR. ERLINA B,S.H.,M.H.

MELISA SAFITRI,S.H.,M.H.INTAN NURINA SEFTINIARA,S.H.,M.H

Editor:Dr. ZAINAB OMPU JAINAH, S.H.,M.H.

Desain Cover & LayoutPusakaMedia Design

X + 148 hal : 15,5 x 23 cmCetakan, Maret 2020

ISBN: 978-623-7560-43-2

PenerbitPUSAKA MEDIAAnggota IKAPI

No. 008/LPU/2020

AlamatJl. Endro Suratmin, Pandawa Raya. No. 100

Korpri Jaya Sukarame Bandarlampung082282148711

email : [email protected] : www.pusakamedia.com

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagianatau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat-Nya para penulis dapat menyelesaikan buku Perlindungan Hukum Indikasi Geografis. Secara garis besar buku ini membahas tentang dasar-dasar perlindungan indikasi geografis sampai pada penegakan hukumnya.

Sistem hak kekayaan intelektual melekat bagi pemilik barang dengan unsur estafet atau berkesinambungan. Artinya investor atau pemilik barang harus mematenkan barangnya pada hak paten dalam hak kekayaan intelektual, yaitu dengan membuka dan mengungkapkan invensinya. Indikasi geografis merupakan konsep yang relatif baru, namun dekat dengan konsep indikasi sumber dan appellation of origin. Indikasi geografis merupakan salah satu cara yang dapat digunakan secara strategis untuk memajukan industri regional atau nasional. Karena pada indikasi geografis terdapat keistimewaan khusus dari suatu daerah.

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini, tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, penulis ucapkan terima kasih kepada orang-orang yang terlibat dalam penyelesaian buku ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan Karunia-Nya kepada semuanya.

Akhirnya dengan penuh harapan, semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih. Bandar Lampung, Desember 2019 Tim Penulis

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFISvi

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR BAGAN ........................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Pengertian Indikasi Geografis ............................................ 9 C. Perbandingan Pengertian Indikasi Geografis ................. 13

II. DASAR PERLINDUNGAN HAKI ................................................. 17

A. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan .............................................................................. 17

B. Sejarah Perundang-Undangan HAKI di Indonesia ........ 23 C. Hukum HAKI di Indonesia................................................... 28 D. Perkembangan HAKI ............................................................ 38 E. Pengaturan HAKI dalam TRIPs .......................................... 41 F. Bentuk Perlindungan HAKI ................................................. 44

III. BATAS-BATAS HAK EKSKLUSIF INDIKASI GEOGRAFIS . 50

A. Batas-Batas Hak Eksklusif Indikasi Geografis ................ 50 B. Perlindungan Produk Unggulan Daerah .......................... 54

IV. PELANGGARAN PENGGUNAAN INDIKASI GEOGRAFIS .. 58

A. Pelanggaran dan Penegakan Hukum HAKI ..................... 58 B. Persaingan Tidak Sehat pada HAKI .................................. 61 C. Pelanggaran Indikasi Geografis ......................................... 67

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................... v DAFTAR ISI .................................................................................................... vi DAFTAR TABEL ............................................................................................ viii DAFTAR BAGAN ........................................................................................... ix

I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1 A. Latar Belakang ....................................................................... 1 B. Pengertian Indikasi Geografis ............................................ 9 C. Perbandingan Pengertian Indikasi Geografis ................. 13

II. DASAR PERLINDUNGAN HAKI ................................................. 17

A. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan .............................................................................. 17

B. Sejarah Perundang-Undangan HAKI di Indonesia ........ 23 C. Hukum HAKI di Indonesia................................................... 28 D. Perkembangan HAKI ............................................................ 38 E. Pengaturan HAKI dalam TRIPs .......................................... 41 F. Bentuk Perlindungan HAKI ................................................. 44

III. BATAS-BATAS HAK EKSKLUSIF INDIKASI GEOGRAFIS . 50

A. Batas-Batas Hak Eksklusif Indikasi Geografis ................ 50 B. Perlindungan Produk Unggulan Daerah .......................... 54

IV. PELANGGARAN PENGGUNAAN INDIKASI GEOGRAFIS .. 58

A. Pelanggaran dan Penegakan Hukum HAKI ..................... 58 B. Persaingan Tidak Sehat pada HAKI .................................. 61 C. Pelanggaran Indikasi Geografis ......................................... 67

V. PENEGAKAN HUKUM INDIKASI GEGORAFIS DI

INDONESIA ....................................................................................... 77 A. Perlindungan Indikasi Geografis di Indonesia ................ 77 B. Perkembangan Indikasi Geografis dan Pengaturannya

di Beberapa Negara .............................................................. 82 C. Dampak HAKI bagi Indonesia ............................................. 88 D. Penegakan Hukum Indikasi Geografis di Indonesia ...... 93 E. Putusan Pengadilan Perkara Indikasi Geografis ............ 128

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 140 TENTANG PENULIS ................................................................................... 145

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFISviii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bentuk Bentuk Perlindungan HAKI ..................................... 44 Tabel 2. Subyek Cakupan dan Bidang Utama Perlindungan HAKI 47

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS ix

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Bentuk Bentuk Perlindungan HAKI ..................................... 44 Tabel 2. Subyek Cakupan dan Bidang Utama Perlindungan HAKI 47

DAFTAR BAGAN

Bagan 1. Prosedur Peradilan Pidana di Indonesia .......................... 118 Bagan 2. Prosedur Peradilan Perdata di Indonesia ........................ 118

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFISx

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Merek .................................................................................. 69 Gambar 2. Tanda .................................................................................. 70 Gambar 3. Indikasi Geografis ............................................................. 71 Gambar 4. Konflik Merek dan Indikasi Geografis ........................... 71 Gambar 5. Konflik Indikasi Geografis .............................................. 72

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS 1

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Merek .................................................................................. 69 Gambar 2. Tanda .................................................................................. 70 Gambar 3. Indikasi Geografis ............................................................. 71 Gambar 4. Konflik Merek dan Indikasi Geografis ........................... 71 Gambar 5. Konflik Indikasi Geografis .............................................. 72

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan modern saat ini tidak terlepas dari suatu sistem hukum, salah satunya adalah sistem hukum hak kekayaan intelektual. Hak Kekayaan intelektual memberikan warna lain pada aspek-aspek kehidupan modern, seperti masalah lingkungan hidup dan persaingan usaha. Hak kekayaan intelektual sudah bukanlah hal yang baru lagi bagi sebagian negara, apalagi di negara berkembang.

Permasalahan pada hak kekayaan intelektual merupakan sebuah permasalahan yang sampai saat ini terus berkembang, karena hak kekayaan intelektual terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Hak kekayaan intelektual mulai berkembang dari masalah yang cukup sederhana seperti menyangkut tuntutan supaya dapat dikuasainya dan dipergunakannya untuk tujan tertentu, apa saja yang sudah ditemukan, diciptakan dengan kemampuan intelektualnya dan juga tenaga, siapa yang berhak menjadi pemilik suatu karya bila bahan bakunya berasal dari pihak lainnya, dan lain sebagainya.

Ternyata, permasalahan tidak hanya sampai disitu saja, permasalahan tentang hak kekayaan intelektual semakin majemuk dan kompleks sejak terjadinya revolusi industri di Inggris maupun revolusi politik di Prancis.

Revolusi industri Inggris dan juga revolusi politik di Prancis membuat dorongan yang kuat atas pada perkembangan asas, doktrin dan juga objek perlindungan hak kekayaan intelektual. Selain itu

PERLINDUNGAN HUKUM INDIKASI GEOGRAFIS2

juga, pada akhir abad ke-19 (sembilan belas) lahir konvensi hak milik perindustrian dan juga konvensi hak cipta. Konvensi-konvensi ini lahir karena adanya kebutuhan pentingnya hak kekayaan intelektual secara internasional yang juga merupakan realisasi terhadap perlunya suatu peraturan yang bersifat global di bidang hak kekayaan intelektual.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberi pengaruh yang sangat signifikan pada hak kekayaan intelektual. Hal tersebut dapat kita lihat, bahwa pengaruh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi asas dan doktrin pada hak kekayaan intelektual. Seperti contohnya pada perkembangan teknologi mikroelektronika terhadap pembuatan microchip yang pada akhirnya berkembang pula objek yang harus dilindungi, maka lahirlah hak topografi. Begitu juga dengan perkembangan bioteknologi, hasil rekayasa bioteknologi menjadikan adanya perlindungan terhadap varietas tanaman, sehingga lahir konvensi yang mengaturnya.

Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, beberapa negara mencapai kesepakatan tentang konsep hak kekayaan intelektual yang diwujudlan dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) dengan semua perjanjian internasional yang menjadi lampirannya, termasuk didalamnya adalah hak kekayaan intelektual.1

Berdasarkan kesamaan latar belakang perekonomian negara- negara hancur akibat Perang Dunia II, maka diadakanlah satu konferensi di Bretton Woods, Connecticut, Amerika Serikat tahun 1947 yang menghasilkan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang pada akhirnya bermuara di World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) untuk penanganan masalah keuangan serta moneter internasional, dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau yang biasanya dikenal dengan World Bank (Bank Dunia) untuk masalah pendanaan.2

1 Achmad Zen Umar Purba.2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Cet. I. Bandung.

Alumni. Hlm.1 2 John H. Jackson, et.al. 1995. Legal Problems of International Economic Relation. St.Paul,

Minn. West Publishing Co. Page.278-283, 290, 314.


juga, pada akhir abad ke-19 (sembilan belas) lahir konvensi hak milik perindustrian dan juga konvensi hak cipta. Konvensi-konvensi ini lahir karena adanya kebutuhan pentingnya hak kekayaan intelektual secara internasional yang juga merupakan realisasi terhadap perlunya suatu peraturan yang bersifat global di bidang hak kekayaan intelektual.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga memberi pengaruh yang sangat signifikan pada hak kekayaan intelektual. Hal tersebut dapat kita lihat, bahwa pengaruh berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi sangat mempengaruhi asas dan doktrin pada hak kekayaan intelektual. Seperti contohnya pada perkembangan teknologi mikroelektronika terhadap pembuatan microchip yang pada akhirnya berkembang pula objek yang harus dilindungi, maka lahirlah hak topografi. Begitu juga dengan perkembangan bioteknologi, hasil rekayasa bioteknologi menjadikan adanya perlindungan terhadap varietas tanaman, sehingga lahir konvensi yang mengaturnya.

Akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, beberapa negara mencapai kesepakatan tentang konsep hak kekayaan intelektual yang diwujudlan dalam Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO Agreement) dengan semua perjanjian internasional yang menjadi lampirannya, termasuk didalamnya adalah hak kekayaan intelektual.1

Berdasarkan kesamaan latar belakang perekonomian negara- negara hancur akibat Perang Dunia II, maka diadakanlah satu konferensi di Bretton Woods, Connecticut, Amerika Serikat tahun 1947 yang menghasilkan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang pada akhirnya bermuara di World Trade Organization (WTO), International Monetary Fund (IMF) untuk penanganan masalah keuangan serta moneter internasional, dan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) atau yang biasanya dikenal dengan World Bank (Bank Dunia) untuk masalah pendanaan.2

1 Achmad Zen Umar Purba.2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Cet. I. Bandung.

Alumni. Hlm.1 2 John H. Jackson, et.al. 1995. Legal Problems of International Economic Relation. St.Paul,

Minn. West Publishing Co. Page.278-283, 290, 314.

Perdagangan internasional mempunyai persoalan inti yaitu

bagaimana upaya agar terjadinya kelancaran dalam arus perdagangan dan penghapusan hambatan tarif maupun non tarif dapat dihilangkan dari praktik proteksionisme. Ternyata, GATT tidak dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut, dikarenakan GATT hanyalah sebuah perjanjian dan bukan wadah organisasi internasional, sehingga perlunya penyempurnaan dalam GATT.

GATT telah melakukan 8 (delapan) kali putaran negosiasi menuju kerja sama perdagangan internasional, yang dapat dilihat dibawah ini :

1. Putaran pertama di Geneva, Switzerland tahun 1947. Dihadiri oleh 23 negara, menghasilkan dampak US$ 10.0 billion terhadap volume perdagangan;

2. Putaran kedua di Annecy, France tahun 1948. Dihadiri oleh 33 negara, tidak ada dampak terhadap volume perdagangan;

3. Putaran ketiga di Torquay, England tahun 1950. Dihadiri oleh 34 negara, masih sama pada putaran kedua tidak ada dampak terhadap volume perdagangan;

4. Putaran keempat di Geneva, Switzerland tahun 1956. Dihadiri oleh 22 negara dan berdampak US$ 2.5 billion terhadap volume perdagangan;

5. Putaran kelima di Dillon Round tahun 1961. Dihadiri oleh 45 negara dan berdampak US$ 4.9 billion terhadap volume perdagangan;

6. Putaran keenam di Kennedy tahun 1967. Dihadiri oleh 48 negara dan berdampak US$ 40 billion terhadap volume perdagangan;

7. Putaran ketujuh di Tokyo tahun 1979. Dihadiri oleh 99 negara dan berdampak US$ 155 billion terhadap volume perdagangan;

8. Putaran kedelapan di Uruguay. John H. Jackson, menyatakan bahwa lima putaran pertama

yang ditekankan selalu pada pengurangan tarif. Sedangkan pada putaran ke-6 (enam) dan ke-7 (tujuh) mulai dibahas masalah non


tarif, meskipun persoalan tentang tarif masih cukup besar.3 Sedangkan, putaran ke-8 (delapan) menyepakati tentang

pengaruh hak kekayaan intelektual yang mempunyai pengaruh besar terhadap perdagangan internasional.4 Padahal, pada permulaan putaran kedelapan ini atau uruguay round masalah hak kekayaan intelektual hanyalah sebuah footnote dari serangkaian agenda yang padat dan bahkan tidak mempunyai kepastian apakah hak kekayaan intelektual ini akan mendapatkan hasilnya di akhir putaran. Ternyata, kesepakatan pada uruguay roundtermasuk hak kekayaan intelektual dituangkan dalam perjanjian multilateral WTO Agreement.5

Selesainya pembahasan Uruguay Round, negara-negara anggota menandatangani Final Act. Final Act adalah sebuah dokumen yang merupakan catatan selama proses persidangan berlangsung, Final Act merupakan catatan yang cukup ditandatangani tanpa perlu di ratifikasi.6 Final Act yang ditandatangani oleh anggota Uruguay Round adalah Embodying the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation pada tahun 1994 di Marrakesh, Maroko.

Penandatangan Final Act anggota Uruguay Round ini juga artinya anggota juga sepakat untuk menandatangani Aggrement Establishing The World Trade Organizations (WTO Agreement) beserta lampiran-lampirannya (Annex yang terdiri dari Annex 1A, 1B, dan 1C, Annex 2, Annex 3, dan Annex 4). Hak kekayaan intelektual diatur dalam Annex 1C dengan judul Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). TRIPs mulai berlaku sejak tahun 1995.

Masa peralihan diberlakukan pada negara-negara berkembang yang wajib memberlakukan TRIPs paling lambat 4 tahun setelah itu atau awal tahun 2000. Sedangkan untuk negara- negara terbelakang

3 Ibid. page 314 4 Marco C.E. J. Bronckers. 2000. A Cross Section of WTO Law. London: Cameron May.

International Law & Policy. Page 185 5 Jackson I. Op.Cit. page 278-289,290,314 6 .G. Starke. 1984. Introduction to International Law. Ninth Edition. London. Butterworths.

Page 420.


tarif, meskipun persoalan tentang tarif masih cukup besar.3 Sedangkan, putaran ke-8 (delapan) menyepakati tentang

pengaruh hak kekayaan intelektual yang mempunyai pengaruh besar terhadap perdagangan internasional.4 Padahal, pada permulaan putaran kedelapan ini atau uruguay round masalah hak kekayaan intelektual hanyalah sebuah footnote dari serangkaian agenda yang padat dan bahkan tidak mempunyai kepastian apakah hak kekayaan intelektual ini akan mendapatkan hasilnya di akhir putaran. Ternyata, kesepakatan pada uruguay roundtermasuk hak kekayaan intelektual dituangkan dalam perjanjian multilateral WTO Agreement.5

Selesainya pembahasan Uruguay Round, negara-negara anggota menandatangani Final Act. Final Act adalah sebuah dokumen yang merupakan catatan selama proses persidangan berlangsung, Final Act merupakan catatan yang cukup ditandatangani tanpa perlu di ratifikasi.6 Final Act yang ditandatangani oleh anggota Uruguay Round adalah Embodying the Results of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiation pada tahun 1994 di Marrakesh, Maroko.

Penandatangan Final Act anggota Uruguay Round ini juga artinya anggota juga sepakat untuk menandatangani Aggrement Establishing The World Trade Organizations (WTO Agreement) beserta lampiran-lampirannya (Annex yang terdiri dari Annex 1A, 1B, dan 1C, Annex 2, Annex 3, dan Annex 4). Hak kekayaan intelektual diatur dalam Annex 1C dengan judul Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs Agreement). TRIPs mulai berlaku sejak tahun 1995.

Masa peralihan diberlakukan pada negara-negara berkembang yang wajib memberlakukan TRIPs paling lambat 4 tahun setelah itu atau awal tahun 2000. Sedangkan untuk negara- negara terbelakang

3 Ibid. page 314 4 Marco C.E. J. Bronckers. 2000. A Cross Section of WTO Law. London: Cameron May.

International Law & Policy. Page 185 5 Jackson I. Op.Cit. page 278-289,290,314 6 .G. Starke. 1984. Introduction to International Law. Ninth Edition. London. Butterworths.

Page 420.

pemberlakuan TRIPs paling lambat tahun 2006.7 Sebelum terbentuknya WTO, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendirikan World Intellectual Property Organization (WIPO) yang membawahi masalah hak kekayaan intelektual. WIPO merupakan salah satu badan khusus PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum No.3346 (XXIX) tanggal 17 Desember 1976. Setelah terbentuknya WTO, WIPO dan WTO bekerja sama dalam perjanjian Agreement Between the WIPO and the WTO pada tahun 1995. TRIPs sendiri menuangkan dasar hubungan antara WIPO dan WTO pada pembukaan TRIPs, yang menyatakan : “ Desiring to establish a mutually supportive relationship between the WTO and the World Intellectual Property Organization (reffered to in this Agreement as WIPO) as well as other relevant international organizations”

Menurut Keith E. Maskus, hubungan antara perdagangan internasional dan hak kekayaan intelektual telah jelas. Keith menyimpulkan :8

“ I claim that IPRs can play an important and positive role in economic advancement, with the role becoming larger as economies grow richer. Even among poor economies, however, IPRs can be an important condition for business development, so long as they are well structured and accompanied by appropriate collateral policies. This is the essential challenge as economies adpot stronger IPRs under the new global system” Berdasarkan ratifikasti WTO Agreement pada Undang-Undang

Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), Indonesia sebagai salah satu negara berkembang ikut menjadi anggota dan secara sah ikut dalam TRIPs.

Setelah tergabung dalam TRIPs, Indonesia mulai dengan merevisi tiga undang-undang bidang hak kekayaan intelektual dengan mengikuti ratifikasi WTOAgreement. Indonesia memulai dengan mengundangkan beberapa undang-undang di bidang hak

7 Achmad Zen Umar Purba. Op.Cit. hlm. 4. 8 Keith E. Maskus. 2000. Intellectual Property Rights in The Global Economy. Washington

DC. Institue for International Economics Page 170


kekayaan intelektual, seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, serta Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Hal yang perlu diketahui dan ditekankan dalam hal hak kekayaan intelektual adalah Indonesia sudah cukup lama melaksanakan hak kekayaan intelektual, hal tersebut dapat dilihat dengan adanya Auteurswet 1912, Staatsblad Tahun 1912 Nomor 600 yang merupakan Undang-Undang Hak Cipta sejak zaman hindia belanda.

Salah satu prinsip dalam hak kekayaan intelektual adalah prinsip berkesinambungan. Prinsip ini meletakkan hubungan antara masyarakat dan hak kekayaan intelektual adalah hubungan yang berkesinambungan karena selalu mempertemukan pemegang hak kekayaan intelektual dengan masyarakat sebagai pengguna barang.

Sistem hak kekayaan intelektual melekat bagi pemilik barang dengan unsur estafet atau berkesinambungan. Artinya disini adalah investor atau pemilik barang harus mematenkan barangnya pada hak paten dalam hak kekayaan intelektual, yaitu dengan membuka dan mengungkapkan invensinya. Hal tersebut dimaksudkan agar publik mengetahui isi invensi yang dilindungi dan merangsang orang lain untuk mengembangkan invensi tersebut agar ada paten yang baru lagi. Hal tersebut akan terjadi terus menerus dan semakin berkembang sesuai dengan kehendak pasar. Menurut Keith E. Maskus :

“these rights provide incentives to acquire property, improve it with productivity- enchancing investmentsm and maintain it for purpose of building asset value”9

Menurut Pembukaan TRIPs paragraf 4, bahwa hak kekayaan intelektuan merupakan private rights, keberadaannya dalam perimbangan dengan kepentingan umum. Kepentingan publik merupakan salah satu unsur yang objektif.

9 Keith E. Maskus. Op.Cit. Page 157


kekayaan intelektual, seperti Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman, Undang-Undang nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri, serta Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu.

Hal yang perlu diketahui dan ditekankan dalam hal hak kekayaan intelektual adalah Indonesia sudah cukup lama melaksanakan hak kekayaan intelektual, hal tersebut dapat dilihat dengan adanya Auteurswet 1912, Staatsblad Tahun 1912 Nomor 600 yang merupakan Undang-Undang Hak Cipta sejak zaman hindia belanda.

Salah satu prinsip dalam hak kekayaan intelektual adalah prinsip berkesinambungan. Prinsip ini meletakkan hubungan antara masyarakat dan hak kekayaan intelektual adalah hubungan yang berkesinambungan karena selalu mempertemukan pemegang hak kekayaan intelektual dengan masyarakat sebagai pengguna barang.

Sistem hak kekayaan intelektual melekat bagi pemilik barang dengan unsur estafet atau berkesinambungan. Artinya disini adalah investor atau pemilik barang harus mematenkan barangnya pada hak paten dalam hak kekayaan intelektual, yaitu dengan membuka dan mengungkapkan invensinya. Hal tersebut dimaksudkan agar publik mengetahui isi invensi yang dilindungi dan merangsang orang lain untuk mengembangkan invensi tersebut agar ada paten yang baru lagi. Hal tersebut akan terjadi terus menerus dan semakin berkembang sesuai dengan kehendak pasar. Menurut Keith E. Maskus :

“these rights provide incentives to acquire property, improve it with productivity- enchancing investmentsm and maintain it for purpose of building asset value”9

Menurut Pembukaan TRIPs paragraf 4, bahwa hak kekayaan intelektuan merupakan private rights, keberadaannya dalam perimbangan dengan kepentingan umum. Kepentingan publik merupakan salah satu unsur yang objektif.

9 Keith E. Maskus. Op.Cit. Page 157

Seperti yang tercantum dalam TRIPs Artikel 7, yaitu: “the protection and enforcement of intellectual property rights, should contribute to the mutual advantge of producers and users of technological knowledge and in a manner conducive to social and economic welfare, and to a balance of rights and obligations”.

TRIPs merupakan lampiran WTOAgreement yang mengikat Indonesia dengan adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994. Jika melihat dari hukum internasional, maka persetujuan internasional yang telah diratifikasi merupakan hukum nasional bagi negara itu sendiri.

Vienna Convention on Law of Treaties 1980 memperkenalkan pacta sund servanda yang berbunyi : every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”

Louis Henkin menyatakan “it is probably the case that almost all nations observe almost all principles of international law and almost all of their obligation almost all of the time”.10

Sedangkan Arthur Dunkel saat menjabat sebagai Director General WTO menyatakan :

“ I am still convinced that it is in the national interest of every trading nation to abide by the rules, which were accepted as valid for good times and bad, and to frame their internal policies accordingly”.

Saat ini, TRIPs sudah diterima oleh negara-negara secara efektif, karena merupakan salah satu instrumen hukum yang berlaku secara internasional dan keberlakuannnya cukup signifikan karena merupakan bagian dari WTO.

Berdasarkan TRIPs Artikel 27, 3(b) kalimat kedua, TRIPs mengandung 7 hak kekayaan intelektual, yaitu hak cipta dan hak terkait, hak paten, hak merek, indikasi geografis, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan juga rahasia dagang. Selain itu ada yang menjadi tambahan dalam TRIPs yaitu perlindungan varietas tanaman.

Pada hakekatnya, hak kekayaan intelektual merupakan sebuah

10 Louis Henkin. 1979. How Nation Behave, Foreign Policy 47. 2nd edition. Cambrige.

Cambrige University Press. Page. 276


konsep yang lazim dan wajar-wajar saja.11 Terdapat pelajaran yang sangat penting dalam hak kekayaan intelektual, yaitu penghargaan bagi semua orang yang dapat berkarya bagi kepentingan orang banyak.

Permasalahan bagi negara berkembang dalam hak kekayaan intelektual adalah tidak samanya dasar start antara negara maju dengan negara berkembang. Amerika Serikat sebagai negara maju telah berkali-kali meminta pada negara berkembang untuk dapat mengefektifkan pengaturan hak kekayaan intelektual dan menjadikan keadaannya sebagai konsensi timbal balik dalam perbuatan perjanjian ekonomi.12

Sedangkan di lain pihak, negara berkembang tidak mau diajak bekerja sama dalam menyetujui pemberian perlindungan lebih besar apabila, Amerika Serikat dan negara-negara maju eropa lainnya tidak menyediakan atau membuka pasarannya untuk tekstik dan hasil pertaniannya.13

Negara berkembang memang mengalami dilema, dengan adanya hak kekayaan intelektual, negara berkembang ingin berusaha agar jurang pemisah antara negara berkembang dengan negara maju semakin tipis, tetapi di lain pihak, negara berkembang juga butuh partisipasi dari negara maju, karena bagaimanapun juga negara berkembang memiliki sumber daya alam yang kata tetapi tetap butuh negara maju dalam hal bantuan modal, teknologi dan manajemen.

Dari hal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa perdagangan internasional tidak hanya mengurusi soal perdagangan saja, tetapi juga banyaknya tekanan yang dilakukan meskipun bukan hanya dibidang perdagangan. Sebagai contohnya adalah pada hak kekayaan intelektual, merek dagang, paten, hak cipta, hak-hak kemanusiaan, kebebasan perdagangan, hingga ke indikasi geografis dimana tempat barang tersebut diproduksi.14

11 A. Zen Purba. 2002. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal Hukum dan

Pembangunan. No. 1 Tahun XXXII, Januari-Maret. Hlm.25 12 W.R. Cornish. 1989. Intellectual Property. Edisi Ke-2. London. Sweet & maxwell. Hlm.255 13 Peter Groves. 1991. Copyright and Design Law. Cetakan Pertama. London. Graham &

Trotman. Hlm.212. 14 Prof. Sudargo Gautama. 1992. Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan


konsep yang lazim dan wajar-wajar saja.11 Terdapat pelajaran yang sangat penting dalam hak kekayaan intelektual, yaitu penghargaan bagi semua orang yang dapat berkarya bagi kepentingan orang banyak.

Permasalahan bagi negara berkembang dalam hak kekayaan intelektual adalah tidak samanya dasar start antara negara maju dengan negara berkembang. Amerika Serikat sebagai negara maju telah berkali-kali meminta pada negara berkembang untuk dapat mengefektifkan pengaturan hak kekayaan intelektual dan menjadikan keadaannya sebagai konsensi timbal balik dalam perbuatan perjanjian ekonomi.12

Sedangkan di lain pihak, negara berkembang tidak mau diajak bekerja sama dalam menyetujui pemberian perlindungan lebih besar apabila, Amerika Serikat dan negara-negara maju eropa lainnya tidak menyediakan atau membuka pasarannya untuk tekstik dan hasil pertaniannya.13

Negara berkembang memang mengalami dilema, dengan adanya hak kekayaan intelektual, negara berkembang ingin berusaha agar jurang pemisah antara negara berkembang dengan negara maju semakin tipis, tetapi di lain pihak, negara berkembang juga butuh partisipasi dari negara maju, karena bagaimanapun juga negara berkembang memiliki sumber daya alam yang kata tetapi tetap butuh negara maju dalam hal bantuan modal, teknologi dan manajemen.

Dari hal tersebut diatas, dapat kita lihat bahwa perdagangan internasional tidak hanya mengurusi soal perdagangan saja, tetapi juga banyaknya tekanan yang dilakukan meskipun bukan hanya dibidang perdagangan. Sebagai contohnya adalah pada hak kekayaan intelektual, merek dagang, paten, hak cipta, hak-hak kemanusiaan, kebebasan perdagangan, hingga ke indikasi geografis dimana tempat barang tersebut diproduksi.14

11 A. Zen Purba. 2002. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal Hukum dan

Pembangunan. No. 1 Tahun XXXII, Januari-Maret. Hlm.25 12 W.R. Cornish. 1989. Intellectual Property. Edisi Ke-2. London. Sweet & maxwell. Hlm.255 13 Peter Groves. 1991. Copyright and Design Law. Cetakan Pertama. London. Graham &

Trotman. Hlm.212. 14 Prof. Sudargo Gautama. 1992. Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata Internasional dan

B. Pengertian Indikasi Geografis Pada dasarnya, tidak ada satu pun definisi tentang HAKI atau

Intellectual Property Rights yang diterima secara umum/universal. Meskipun demikian, haki tetap dipakai sebagai pedoman dalam melakukan pembahasan sekanjutnya.

HAKI menurut W.R. Cornish adalah traditionally the term intellectual property was used to refer to the rights conferred by the grant of a copying in literary, artistic, and musical works. In more recent times, however it has been used to refer to a wide rande of disparate rights, including a number of more often known as industrial property, such as patent and trademarks.

Menurut David Brainbridge intellectual property law is that area of law which concern legal rights assorted with creative effort or commercial reputation and goodwill.

Indikasi geografis (geographycal indications) merupakan salah satu bidang pada hak kekayaan intelektual. Menurut TRIPs Artikel 22 bagian I, Indikasi geografis memberikan perlindungan produk yang kualitas, reputasi atau ciri khas lainnya yang dipengaruhi pada kondisi geografis suatu daerah.

TRIPs memberikan dua kewenangan pada negara-negara anggota untuk mencegah pihak lain melanggar hak, berdasarkan pada indikasi geografis. Berdasarkan TRIPs Art 22, bagian II, kewenangan-kewenangan tersebut adalah :

1. Penggunaan cara penunjukan barang yang merujuk atau menjanjikan bahwa barang tersebut berasal dari daerah geografis, selain dari tempat asal yang sebenarnya sehingga menyesatkan publik mengenai asal geografis dari barang tersebut;

2. Setiap penggunaan yang menunjukkan adanya perbuatan persaingan curang menurut Pasal 10 bis Paris Convention tahun 1967.

Hak Milik Intelektual. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hlm. 21


Rujukan pada Art.10 bis Paris Convention tahun 1967 menunjukan bahwa indikasi geografis berkaitan erat pada upaya pencegahan kecurangan persaingan yang sama seperti pada bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Menurut Frederick Abbott, terdapat dua fungsi pada isu indikasi geografis, yaitu :

1. Fungsi promosi produk yang mempunyai karakter tertentu sehingga dapat memberi manfaat ke wilayah tempat produk itu berasal dibuat (manufactured) atau produk tersebut dipasarkan. Dengan demikian, indikasi geografis

2. melindungi produsen di wilayah asal produk terhadap penggunaan yang tidak sah (unauthorized) dari goodwill yang diciptakan seperti kualitas produk tersebut kepada para pesaing.

3. Fungsi sumber informasi penting bagi para konsumen pasar dalam hal kaitannya dengan asal, kualitas dan juga reputasi produk. Sehingga para konsumen dapat membedakan keaslian barang tersebut.15

Dalam hal indikasi geografis, TRIPs memiliki pengecualian

dalam pengaturan, seperti yang tercantum dalam TRIPs Art.24.6, yaitu customary in common language as the common name for suchs goods or service in the territory of that member.

Indikasi geografis merupakan konsep yang relatif baru, namun dekat dengan konsep indikasi sumber dan appellation of origin. Indikasi sumber merupakan setiap ekspresi ataupun setiap tanda yang digunakan untuk menunjukkan sumber produk atau jasa tersebut berasal atau tumbuh dari suatu negara, daerah atau tempat khusus lainnya. Sedangkan appellation of origin adalah nama geografis dari suatu negara, daerah, atau tempat khusus yang menunjukkan bahwa ada suatu produk yang berasal dari tempat tersebut yang mempunyai karakter khusus secara eksklusif atau esensial yang berkaitan dengan lingkungan geografis, termasuk yang

15 Frederick Abbot,et al, 1999. The International Intellectual Property System : Commentary

and Materials. Part Two. The Hague. Kluwer Law International. Page. 185-186


Rujukan pada Art.10 bis Paris Convention tahun 1967 menunjukan bahwa indikasi geografis berkaitan erat pada upaya pencegahan kecurangan persaingan yang sama seperti pada bidang hak kekayaan intelektual lainnya. Menurut Frederick Abbott, terdapat dua fungsi pada isu indikasi geografis, yaitu :

1. Fungsi promosi produk yang mempunyai karakter tertentu sehingga dapat memberi manfaat ke wilayah tempat produk itu berasal dibuat (manufactured) atau produk tersebut dipasarkan. Dengan demikian, indikasi geografis

2. melindungi produsen di wilayah asal produk terhadap penggunaan yang tidak sah (unauthorized) dari goodwill yang diciptakan seperti kualitas produk tersebut kepada para pesaing.

3. Fungsi sumber informasi penting bagi para konsumen pasar dalam hal kaitannya dengan asal, kualitas dan juga reputasi produk. Sehingga para konsumen dapat membedakan keaslian barang tersebut.15

Dalam hal indikasi geografis, TRIPs memiliki pengecualian

dalam pengaturan, seperti yang tercantum dalam TRIPs Art.24.6, yaitu customary in common language as the common name for suchs goods or service in the territory of that member.

Indikasi geografis merupakan konsep yang relatif baru, namun dekat dengan konsep indikasi sumber dan appellation of origin. Indikasi sumber merupakan setiap ekspresi ataupun setiap tanda yang digunakan untuk menunjukkan sumber produk atau jasa tersebut berasal atau tumbuh dari suatu negara, daerah atau tempat khusus lainnya. Sedangkan appellation of origin adalah nama geografis dari suatu negara, daerah, atau tempat khusus yang menunjukkan bahwa ada suatu produk yang berasal dari tempat tersebut yang mempunyai karakter khusus secara eksklusif atau esensial yang berkaitan dengan lingkungan geografis, termasuk yang

15 Frederick Abbot,et al, 1999. The International Intellectual Property System : Commentary

and Materials. Part Two. The Hague. Kluwer Law International. Page. 185-186

ada didalamnya seperti faktor-faktor alam atau manusia atau kedua-duanya. Appellation of origin mengandung hubungan kualitas antara produk dengan daerah produksinya. Meskipun begitu, menurut WIPO indikasi sumber dapat diartikan hanya sebagai untuk menunjukkan asal barang tersebut. Sedangkan indikasi geografis cakupannya lebih luas.16

Pada hakikatnya, indikasi geografis sama seperti hak kekayaan intelektual lainnya, untuk menyampaikan suatu pesan dari produk tersebut. Pada indikasi geografis, para calon pembeli dapat mengetahui dari mana produk itu berasal, karena setiap produk yang dihasilkan akan menunjukkan tempat tertentu dengan memperlihatkan ciri khas dan karakteristik khusus yang hanya dapat kita temukan di tempat tertentu.

Indikasi geografis merupakan salah satu cara yang dapat digunakan secara strategis untuk memajukan industri regional atau nasional. Karena pada indikasi geografis terdapat keistimewaan khusus dari suatu daerah. Para pelanggan dapat melihat keistimewaan suatu daerah apabila terdapat kelompok suatu daerah yang anggotanya memiliki hak eksklusif untuk menggunakan suatu indikasi geografis tertentu.

Indikasi geografis juga dapat meningkatkan pemasaran suatu produk yang dinamis. Hal tersebut dikarenakan indikasi geografis dimiliki secara bersamaan pada suatu daerah tersebut. Masyarakat di daerah tersebut, dapat memanfaatkannya dengan menjadikan indikasi geografis sebagai alat yang sangat bagus bagi daerahnya dan juga bagi pembangunan ekonomi berbasis komunitas dan kearifan lokal.

Indikasi geografis adalah tanda yang menunjukkan daerah suatu barang, karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Menurut Pasal 22 TRIPs “geographycal indications are, ... indications which identify a good as originating in the terriroty of a member, or a region or locality in that terrotory, where a given

16 World Intellectual Property Organization. 1998. Intellectual Property Reading Material. Geneva. WIPO. Page. 116


quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributavle to its geographical origin”.

Indonesia merupakan pengikut TRIPs yang merunutkan aturan internasional ini ke dalam Undang-Undang Nasional Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 56 menjelaskan bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk alam, manusia atau kombinasi antara kedua faktor tersebut, yang pada akhirnya memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis memberikan tanda perlindungan berupa identitas yang menunjukkan tempat barang tersebut berasal. Tempat tersebut akan menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Selain itu juga indikasi geografis tidak hanya dipengaruhi faktor alam saja, tetapi juga ada faktor campur tangan manusia yang bisa menghasilkan kekhasan suatu produk.

Sebagai contoh faktor alam sebagai ciri indikasi geografis adalah produk kopi. Indonesia dikenal dengan adanya Kopi Toraja yang kualitas dan karakteristik kopi dari daerah tanah toraja sangat kuat, sehingga kopi toraja pun dikenal ke seluruh penjuru dunia. Berbeda dengan faktor manusia, contohnya adalah kerajinan batik jawa. Batik dihasilkan oleh para pengrajin batik yang pada akhirnya mendapatkan kekhasan sendiri tentang produk tersebut.

Pemegang hak Indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk menggunakan indikasi geografis yang sama, pelanggaran terhadap peraturan ini menyebabkan hak indikasi geografis dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain. Meskipun begitu, kepemilikan hak indikasi geografis tidak bisa bersifat induvidualistik. Indikasi geografis bersifat komunalistik, dimiliki secara bersama oleh masyarakat daerah tertentu. Tetapi, proses pendaftaran indikasi geografis dapat diwakili oleh lembaga yang diberikan kewenangan untuk hal tersebut. Pendaftarannya juga ditempat yang sama yaitu Kementerian Hukum dan HAM.

Indonesia sebagai peserta TRIPs yang aktif dalam pergaulan dagang internasional, harus menyesuaikan diri dengan konsep indikasi geografis. Meskipun peraturan indikasi geografis sudah


quality, reputation or other characteristic of the good is essentially attributavle to its geographical origin”.

Indonesia merupakan pengikut TRIPs yang merunutkan aturan internasional ini ke dalam Undang-Undang Nasional Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 56 menjelaskan bahwa indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk alam, manusia atau kombinasi antara kedua faktor tersebut, yang pada akhirnya memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis memberikan tanda perlindungan berupa identitas yang menunjukkan tempat barang tersebut berasal. Tempat tersebut akan menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Selain itu juga indikasi geografis tidak hanya dipengaruhi faktor alam saja, tetapi juga ada faktor campur tangan manusia yang bisa menghasilkan kekhasan suatu produk.

Sebagai contoh faktor alam sebagai ciri indikasi geografis adalah produk kopi. Indonesia dikenal dengan adanya Kopi Toraja yang kualitas dan karakteristik kopi dari daerah tanah toraja sangat kuat, sehingga kopi toraja pun dikenal ke seluruh penjuru dunia. Berbeda dengan faktor manusia, contohnya adalah kerajinan batik jawa. Batik dihasilkan oleh para pengrajin batik yang pada akhirnya mendapatkan kekhasan sendiri tentang produk tersebut.

Pemegang hak Indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk menggunakan indikasi geografis yang sama, pelanggaran terhadap peraturan ini menyebabkan hak indikasi geografis dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain. Meskipun begitu, kepemilikan hak indikasi geografis tidak bisa bersifat induvidualistik. Indikasi geografis bersifat komunalistik, dimiliki secara bersama oleh masyarakat daerah tertentu. Tetapi, proses pendaftaran indikasi geografis dapat diwakili oleh lembaga yang diberikan kewenangan untuk hal tersebut. Pendaftarannya juga ditempat yang sama yaitu Kementerian Hukum dan HAM.

Indonesia sebagai peserta TRIPs yang aktif dalam pergaulan dagang internasional, harus menyesuaikan diri dengan konsep indikasi geografis. Meskipun peraturan indikasi geografis sudah

tersimpul dalam undang-undang merek, namun pada pelaksanaan masih ada kendalanya.

Masalah yang dihadapi Indonesia menurut Emawati Junus saat ini adalah belum adanya produser atau asosiasi indikasi geografis yang terkelola secara profesional. Padahal, asosiasi ini mampu mengidentifikasi potensi indikasi geografis suatu daerah yang pada akhirnya dapat mewakili daerah itu untuk mendaftarkan indikasi geografisnya ke Direktorat Jenderal HAKI. C. Perbandingan Pengertian Indikasi Geografis

Indikasi geografis daoat dihubungkan dengan istilah dan pengertian yang bervariasi. Pengaturan yang terdapat dalam Konvensi Paris dan Perjanjian madrid 1891, serta definisi yang dipakai dalam perjanjian Lisabon 1958 tentang Apelasi Asal atau Appellations of Origin, dapat dipandang sebagai dasar dari pengertian Indikasi Geografis yang terdapat di dalam Perjanjian TRIPs 1994.17

Definisi indikasi geografis versi TRIPs tampak memperjelas objek berindikasi asal yang terdapat dalam Konvensi Paris dan Perjanjian Madrid 1891. Definisi TRIPs ini, meskipun tidak menyebut term Indikasi Asal secara eksplisit, mengandung pengertian yang dapat juga mencakup arti substantif dari Indikasi Asal tersebut.

Sementara itu, batasan versi Perjanjian Lisabon 1958, yang dapat dipandang memiliki makna terketat tampat lebih banyak menjiwai Perjanjian TRIPs dalam Pasal 23 tentang perlindungan tambahan bagi minuman anggur dan minuman beralkohol lainnya.

Perbandingan yang dapat dikemukakan antara pengertian Apelasi Asal dan Indikasi Geografis antara lain :18

1. Jika suatu Apelasi Asal harus berwujud nama tempat suatu negara, daerah atau lokalitas, misalnya Tequila, Porto, atau Jerez. Indikasi geografis dapat berwujud nama geografis atau tanda-tanda lain selama tanda

17 The Issuie Advocay Subcommittee of the External Affairs Committee of International

Trademark Association Lisabon Agreement for the Protection of Appellations of Origin Violation of The TRIPs Agreement New York June 2000. Pg. 1

18 Sergio Escudero. International Protection of Geographical Indications and Developing Countries. Trade-Related Agenda. Development and Equity Working paper South Centre July 2001. Hlm.5


tersebut bisa mengidentifikasikan secara jelas tempat asal produk tersebut. Karenanya Menara Eiffel bukan Apelasi Asal, tetapi bisa dipertimbangkan sebagai Indikasi Geografis di Paris.

2. Apelasi Asal harus juga merupakan tanda pembeda suatu produk, sedangkan Indikasi Geografis menandakan asal tempat suatu barang. Artinya, Apelasi Asal harus sama persis dengan nama produk. Sementara itu, indikasi geografis memiliki arti yang lebih luas dari sekedar nama tempat, sehingga dapat juga melindungi simbol.

3. Apelasi Asal hanya berkaitan dengan kualitas dan karakter suatu produk, sedangkan Indikasi Geografis juga menunjuk kepada reputasi produk terkait. Arti dari tanda atas asal yang berbeda atau the Designationsof Origin versi Uni Eropa hampir sama dengan Apelasi Asal. Perbedaannya hanya terletak pada pemakainya. Istilah ini juga memiliki makna yang sempit karena secara spesifik menunjuk kepada lingkungan geografis sebagai faktor utama tetapi kuat karena tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga melindungi produsen.

Arti indikasi asal atau the source of origin dalam Undang- Undang Merek tampak sejalan dengan pengertian Merek bersertifikat di Amerika Serikat. Sayangnya, kekuatan perlindungannya jika belum diregistrasi sebagai indikasi Geografis, belum jelas. Meskipun demikian, dikaitkan dengan istilah yang telah lazim dipakai dalam Konvensi Paris dan Perjanjian Madrid 1891, akan lebih baik jika penerjemahanIndikasi Asal sebagai the Source of Origin diganti menjadi The Indications of Source, sehingga memudahkan harmonisasi pengertian, termasuk jika kelak Indonesia hendak meratifikasi Perjanjian Madrid 1891.

Indikasi geografis adalah salah satu rezim Hak atas Kekayaan Intelektual dan merupakan indikasi yang harus menunjukkan hubungan erat antara produk dengan tempat asalnya. Hubungan erat tersebut berasal dari pengaruh faktor alam yang mempengaruhi reputasi produk tersebut. Faktor alam ini dominan, tetapi sebagai suatu hak yang berkaitan dengan intelektualitas, tentulah memerlukan faktor intervensi manusia juga.


tersebut bisa mengidentifikasikan secara jelas tempat asal produk tersebut. Karenanya Menara Eiffel bukan Apelasi Asal, tetapi bisa dipertimbangkan sebagai Indikasi Geografis di Paris.

2. Apelasi Asal harus juga merupakan tanda pembeda suatu produk, sedangkan Indikasi Geografis menandakan asal tempat suatu barang. Artinya, Apelasi Asal harus sama persis dengan nama produk. Sementara itu, indikasi geografis memiliki arti yang lebih luas dari sekedar nama tempat, sehingga dapat juga melindungi simbol.

3. Apelasi Asal hanya berkaitan dengan kualitas dan karakter suatu produk, sedangkan Indikasi Geografis juga menunjuk kepada reputasi produk terkait. Arti dari tanda atas asal yang berbeda atau the Designationsof Origin versi Uni Eropa hampir sama dengan Apelasi Asal. Perbedaannya hanya terletak pada pemakainya. Istilah ini juga memiliki makna yang sempit karena secara spesifik menunjuk kepada lingkungan geografis sebagai faktor utama tetapi kuat karena tidak hanya melindungi konsumen, tetapi juga melindungi produsen.

Arti indikasi asal atau the source of origin dalam Undang- Undang Merek tampak sejalan dengan pengertian Merek bersertifikat di Amerika Serikat. Sayangnya, kekuatan perlindungannya jika belum diregistrasi sebagai indikasi Geografis, belum jelas. Meskipun demikian, dikaitkan dengan istilah yang telah lazim dipakai dalam Konvensi Paris dan Perjanjian Madrid 1891, akan lebih baik jika penerjemahanIndikasi Asal sebagai the Source of Origin diganti menjadi The Indications of Source, sehingga memudahkan harmonisasi pengertian, termasuk jika kelak Indonesia hendak meratifikasi Perjanjian Madrid 1891.

Indikasi geografis adalah salah satu rezim Hak atas Kekayaan Intelektual dan merupakan indikasi yang harus menunjukkan hubungan erat antara produk dengan tempat asalnya. Hubungan erat tersebut berasal dari pengaruh faktor alam yang mempengaruhi reputasi produk tersebut. Faktor alam ini dominan, tetapi sebagai suatu hak yang berkaitan dengan intelektualitas, tentulah memerlukan faktor intervensi manusia juga.

Negara-negara pengguna istilah Appellations of Origin dan Designations of Origins, mempunyai intervensi bahwa manusia amat tergantung pada faktor alam, khususnya tanah. Hal ini menjadikan perlindungan indikasi geografis merupakan perlindungan yang populer bagi industri hasil pertanian dan perkebunan.

Akan tetapi, menurut pengertian TRIPs yang juga menjiwai pengaturan di Indonesia, faktor manusia tampaknya bisa lebih dominan, sehingga produk-produk yang dapat dilindungi dapat lebih bervariasi dari sekadar hasil pertanian dan perkebunan, sepanjang produk itu masih berkaitan atau dipengaruhi oleh daerah asalnya. Bahkan, ikon atau simbol yang sudah memiliki reputasi sebagai ciri dari suatu daerah tetapi murni karya manusiapun dapat dilindungi oleh Indikasi geografis.

Rezim Indikasi Geografis adalah perlindungan terkuatnya memungkinkan suatu produk untuk mendapatkan perlindungan secara terus menerus. Pada tingkatan yang terendah, seperti tampak pada negara-negara yang memakai istilah Indications of Source atau Certification Marks, perlindungan diberikan bagi konsumen agar mereka dari rezim ini ternyata juga bisa berpihak kepada kelompok produsennya. Proteksi konsumen dan juga kelompok produsen ini tampak di negara-negara pengguna istilah Appellations of Origin dan Designations of Origins.

Pasal 22 dan Pasal 23 TRIPs bermaksud mengakomodasi variasi pengertian dan implementasi perlindungan Indikasi Geografis. Melalui salah satu prinsip TRIPs bahwa ketentuannya adalah perlindungan minimal yang harus dipenuhi oleh setiap anggota (the minimum standard protection principle), TRIPs membuka kesempatan negara- negara pesertanya, termasuk Indonesia, untuk memilih melindungi Indikasi Geografis menurut standar TRIPs saja atau lebih.

Perangkat hukum Indonesia saat ini dalam rezim HAKI, Indikasi Geografis bisa dibilang masih sangat muda. Hal tersebut dikarenakan, kualitas pengaturan hukum dan hasil- hasilnya. Secara positif, kemudaan ini justru dapat menjadi kesempatan yang baik bagi Indonesia untuk membangun struktur perlindungan Indikasi Geografis berdasarkan pengertian atau kombinasi pengertian


Indikasi Geografis yang paling menguntungkan bagi bangsa dan negara, sejauh itu tidak lebih rendah kualitasnya dari proteksi yang terdapat di dalam TRIPs.


Indikasi Geografis yang paling menguntungkan bagi bangsa dan negara, sejauh itu tidak lebih rendah kualitasnya dari proteksi yang terdapat di dalam TRIPs.

II DASAR PERLINDUNGAN HAKI

A. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Asas-asas pembentukan perundang-undangan yang baik

adalah asas hukum yang memberikan pedoman dan bimbingan bagi penuangan isi peraturan, ke dalam bentuk dan susunan yang sesuai, tepat dalam penggunaan metodenya, serta mengikuti proses dan prosedur pembentukan yang telah ditentukan.19

Berkaitan dengan asas-asas yang dijadikan pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, Van Der Vlies, membagi ke dalam dua asas, yakni asas-asas formal dan asas-asas materiil yang keduanya terdiri dari asas tujuan yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas dapat dilaksanakan, asas dapat dikenali, asas konsensus, asas terminologi dan sistematika yang benar, asas perlakuan yang sama dalam hukum, asas kepastian hukum, asas pelaksanaan hukum sesuai dengan keadaan individual.20

Sedangkan A. Hamid S. Attamini berpendapat, bahwa asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang patut khususnya dalam ranah keindonesiaan, terdiri atas : Cita hukum indonesia, Asas Negara Berdasar Hukum dan Asas Pemerintahan berdasarkan sistem Konstitusi dan asas lainnya.21

Dalam pembentukan perundang-undangan yang baik atau beginselen van behoorlojke wetgeving juga harus berlandaskan pula

19 A. Hamid Attamani. 1993. Hukum tentang Peraturan Perundang- Undangan dan Peraturan Kebijakan (Hukum Tata Pengaturan). Jakarta. Fakultas Hukum UI. Hlm.313

20 Yuliandri. 2010. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang Baik. Jakarta. Raja Grafindo. Hlm. 24

21 Maria Farida Indriati.1998. Ilmu Perundang-Undangan (dasar- Dasar dan Pembentukannya). Yogyakarta. Kanisius. Hlm.196-197


pada asas hukum umum, yang terdiri atas asas hukum umum negara berdasar atas hukum (rechtstaat), asas hukum pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, asas hukum negara berdasarkan kedaulatan rakyat.22

Dalam membetuk suatu peraturan atau undang-undang harus berdasarkan teori-teori dan landasan pembentukan undang- undang, yaitu sebagai berikut : 1. Teori Perundang-Undangan

Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasarkan hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum. Menurut Peter Badura, dalam pengerian teknis ketatanegaraan indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden, dalam rangka pentelenggaraan pemerintahan negara, sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 amandemen 1) Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling atau peraturan perundang-undangan.23 Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah pembentukan norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti yang luas. Peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.24 Bersifat dan berlaku secara umum, maksudnya adalah tidak mengidentifikasikan individu tertentu, sehingga ebrlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur- unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingkah laku tersebut. Pada kenyataannya juga peraturan perundang-undangan seperti undang-undang yang berlaku untuk kelompok orang-orang

22 Bagir Manan. 1994. Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan

Nasional. Padang. Fakultas Hukum Universitas Andalas. 23 A. Hamid S. Attamini. Op.Cit. hlm. 200 24 Bagir Manan. Op.Cit. hlm. 24


pada asas hukum umum, yang terdiri atas asas hukum umum negara berdasar atas hukum (rechtstaat), asas hukum pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, asas hukum negara berdasarkan kedaulatan rakyat.22

Dalam membetuk suatu peraturan atau undang-undang harus berdasarkan teori-teori dan landasan pembentukan undang- undang, yaitu sebagai berikut : 1. Teori Perundang-Undangan

Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan pemerintahan, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasarkan hukum, yang menghendaki dapat diperkirakannya akibat suatu aturan hukum, dan adanya kepastian dalam hukum. Menurut Peter Badura, dalam pengerian teknis ketatanegaraan indonesia, undang-undang ialah produk yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan Rakyat dengan Presiden, dalam rangka pentelenggaraan pemerintahan negara, sesuai dengan Pasal 5 Ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945 amandemen 1) Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke regeling atau peraturan perundang-undangan.23 Pembentukan peraturan perundang-undangan pada hakikatnya adalah pembentukan norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat umum dalam arti yang luas. Peraturan perundang-undangan adalah keputusan tertulis negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang bersifat dan mengikat secara umum.24 Bersifat dan berlaku secara umum, maksudnya adalah tidak mengidentifikasikan individu tertentu, sehingga ebrlaku bagi setiap subjek hukum yang memenuhi unsur- unsur yang terkandung dalam ketentuan mengenai pola tingkah laku tersebut. Pada kenyataannya juga peraturan perundang-undangan seperti undang-undang yang berlaku untuk kelompok orang-orang

22 Bagir Manan. 1994. Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan

Nasional. Padang. Fakultas Hukum Universitas Andalas. 23 A. Hamid S. Attamini. Op.Cit. hlm. 200 24 Bagir Manan. Op.Cit. hlm. 24

tertentu, daerah, dan waktu tertentu. Dengan demikian, mengikat secara umum pada saat itu sekedar menunjukkan tidak menentukan secara konkret (nyata) identitas individu atau objeknya.25 Menurut S.J. Fockema Andrea dalam bukunya Rechtsgeleerd handwoordenboek, perundang-undangan atau legislation/ wetgeving/gezetgebung mempunyai dua pengertian yang berbeda, yaitu perundang-undangan merupakan proses pembentukan/proses membentuk peraturan-peraturan negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, perundang-undangan adalah segala peraturan-peraturan negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan-peraturan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.26

2. Teori Pembentukan Undang-Undang

Sehubungan dengan jamaknya problematik dalam proses pembentukan undang-undang, para Sarjana Belanda (Dutch Scholars) kemudian mengembangkan pemikiran tentang pembentukan undang-undang yang efektif, agar tujuan pembentukan undang-undang dapat tercapai. Beberapa teori tentang pembentukan undang-undang (theories of lawmaking) diantaranya ialah yang dikemukakan oleh Jan Michiel Otto dan kawan-kawan.27 Pemikiran Otto, dkk mencoba mengarahkan teori pembentukan undang-undang kepada the socio legal concept of real legal certainty.28 Yang didalamnya terdiri atas lima elemen pencapaian kepastian hukum yang nyata, yaitu :29

a) A lawmaker has laid down clear, accesible and realistic rules

b) The administration follows these rules and induces citizens to do the same

c) The majority of people accept these rules, in principle, as just

25 Ibid. 26 Maria farida Indrati. Op.Cit. hlm. 168 27 Jan Michiel Otto, Suzanne Stoter, Julia Arnscheidt and Wim Oosterveld. Vol.4/2004.

Legislative Theory to Improve Law and Develpoment Projects. Jurnal Regel Mat. Hlm. 4 28 bid. hlm.2 29 Ibid.


d) Serious conflicts are regulary brought before independent and impartial judges who decide cases in accordane with those rules

e) These decisions are actually complied with defining objectives of law and development projects in these terms could help imporving their effectiveness.

Selanjutnya, permasalahan pembuatan undang-undang di negara berkembang, yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :30 a) a first set of problems has to do with the roles and legitimacy

of lawmakers and of the lawmaking process as such. b) The second set of problems relates to the effectiveness of

legislation in society.

Kedua jenis masalah tentang pembuatan undang-u8ndang tersebut, dibahas secara gamblang dengan menyatakan bahwa members of legislatures often lack knowledge for and interest on their key task, lawmaking.31 Pandangan ini setidaknya dapat dipakai sebagai perbandingand alam mengukur kualitas pembentukan undang-undang di Indonesia. Berkaitan dengan legislative theories, bahasan teori ini masuk kedalam tiga kategori, yaitu :

a) Theories on the lawmaking process it self;

b) Theories on the social effects of law that are enacted;

c) Theories on internationally driven law reform.

Teori tentang pembentukan undang-undang atau legislative theories memungkinkan untuk mengenali faktor-faktor relevan yang mempengaruhi kualitas hukum (the legal quality) dan substansi mengenai undang- undang (the content of law). Teori-teori tersebut meliputi :32

30 Ibid. hlm.3 31 ibid 32 Ibid


d) Serious conflicts are regulary brought before independent and impartial judges who decide cases in accordane with those rules

e) These decisions are actually complied with defining objectives of law and development projects in these terms could help imporving their effectiveness.

Selanjutnya, permasalahan pembuatan undang-undang di negara berkembang, yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :30 a) a first set of problems has to do with the roles and legitimacy

of lawmakers and of the lawmaking process as such. b) The second set of problems relates to the effectiveness of

legislation in society.

Kedua jenis masalah tentang pembuatan undang-u8ndang tersebut, dibahas secara gamblang dengan menyatakan bahwa members of legislatures often lack knowledge for and interest on their key task, lawmaking.31 Pandangan ini setidaknya dapat dipakai sebagai perbandingand alam mengukur kualitas pembentukan undang-undang di Indonesia. Berkaitan dengan legislative theories, bahasan teori ini masuk kedalam tiga kategori, yaitu :

a) Theories on the lawmaking process it self;

b) Theories on the social effects of law that are enacted;

c) Theories on internationally driven law reform.

Teori tentang pembentukan undang-undang atau legislative theories memungkinkan untuk mengenali faktor-faktor relevan yang mempengaruhi kualitas hukum (the legal quality) dan substansi mengenai undang- undang (the content of law). Teori-teori tersebut meliputi :32

30 Ibid. hlm.3 31 ibid 32 Ibid

a) The synoptic policy-phases theory

b) The agenda-building theory

c) The elite ideology theory

d) The bureau-politics theory or organisational politics theory;

e) The four rationalities theory.

Diantara kelima macam teori pembentukan undang-undang tersebut, teori the agenda building theory sesuai dengan situasi kondisi pembentukan hukum di Indonesia, yang mengandung persamaan unsur-unsur dengan proses pembentukan undang-undang di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dicermati, bahwa banyaknya perangkat Rancangan Undang-Undang, diantaranya terdapat RUU yang terkesan tidak memiliki relevansi dan terjadi tumpang tindih pengaturan satu dengan lainnya, tanpa adanya agenda yang jelas, dan sinergitas satu sama lain.

3. Landasan Pembentukan Undang-Undang

Menurut Bagir Mana, agar pembentukan undang-undang menghasilkan suatu undang-undang yang tangguh dan berkualitas, dapat digunakan tiga landasan dalam menyusun undang-undang, yaitu landasan yuridis, landasan sosiologis, dan landasan filosofis.33 Pentingnya ketiga unsur landasan pembentukan undang-undang tersebut, agar undang-undang yang dibentuk, memiliki kaidah sah secara hukum (legal validity) dan mampu berlaku efektif karena dapat atau akan diterima masyarakat secara wajar, serta berlaku untuk waktu yang panjang. Menurut Jimly Asshiddiqie, berkaitan dengan landasan pembentukan undang-undang, dengan melihat sisi teknis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan undang- undang haruslah tergambar dalam konsiderans suatu undang-undang.

33 Bagir Manan. Op.Cit. hlm.13-20


Dalam konsiderans suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang itu sendiri, yaitu :34

a. Landasan filosofis. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan.

b. Landasan sosiologis Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang- undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.

c. Landasan politis Bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung ddalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.

d. Landasan yuridis Dalam perumusan setiap undang-undang landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat”.

e. Landasan administratif Dasar ini bersifat fakultatif atau sesuai kebutuhan dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini.Dalam teknis pembentukan undang-undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsiderans “memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.

Jika kelima landasan tersebut terpenuhi dalam setiap proses substansi pembentukan perundang-undangan, kiranya keseluruhan undang-undang yang dihasilkan, menjadi undang- undang yang berkualitas dan berkelanjutan.

34 Jimly Asshiddiqie.2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid I). Jakarta. Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Hlm.170-174 dan 240


Dalam konsiderans suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang baik, yang menjadi landasan keberlakuan bagi undang-undang itu sendiri, yaitu :34

a. Landasan filosofis. Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan oleh suatu masyarakat ke arah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat bernegara hendak diarahkan.

b. Landasan sosiologis Setiap norma hukum yang dituangkan dalam undang- undang haruslah mencerminkan tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri akan norma hukum yang sesuai dengan realitas kesadaran hukum masyarakat.

c. Landasan politis Bahwa dalam konsideran harus pula tergambar adanya sistem rujukan konstitusional menurut cita-cita dan norma dasar yang terkandung ddalam UUD 1945 sebagai sumber kebijakan pokok atau sumber politik hukum yang melandasi pembentukan undang-undang yang bersangkutan.

d. Landasan yuridis Dalam perumusan setiap undang-undang landasan yuridis ini haruslah ditempatkan pada bagian konsideran “mengingat”.

e. Landasan administratif Dasar ini bersifat fakultatif atau sesuai kebutuhan dalam pengertian tidak semua undang-undang mencantumkan landasan ini.Dalam teknis pembentukan undang-undang, biasanya landasan dimasukkan dalam konsiderans “memperhatikan”. Landasan ini berisi pencantuman rujukan dalam hal adanya perintah untuk mengatur secara administratif.

Jika kelima landasan tersebut terpenuhi dalam setiap proses substansi pembentukan perundang-undangan, kiranya keseluruhan undang-undang yang dihasilkan, menjadi undang- undang yang berkualitas dan berkelanjutan.

34 Jimly Asshiddiqie.2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid I). Jakarta. Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI. Hlm.170-174 dan 240

B. Sejarah Perundang-Undangan HAKI di Indonesia

1. Haki Pada Masa Penjajahan Belanda Hak kekayaan intelektual pada dasarnya bukanlah hal yang

baru ada di Indonesia. Indonesia sudah mempunyai undang- undang hak kekayaan intelektual sejak zaman hindia belanda. Undang-undang tersebut sebenarnya adalah milik pemerintahan Hindia Belanda yang akhirnya diberlakukan juga di Indonesia, karena pada saat itu berdasarkan prinsip konkordansi Indonesia adalah negara jajahan belanda.

Bidang hak kekayaan intelektual saat itu mendapatkan pengakuan pada bidang hak cipta, hak merek dagang dan industri dan juga hak paten. Perundang-undangan yang ada adalah : a) Auterswet 1912, yaitu Undang-Undang Hak Pengarang Tahun

1912, Undang-Undang Hak Cipta S.1912-600 b) Reglement Industriele Eigendom Kolonien 1912, yaitu peraturan

hak milik industri kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-214 c) Octrooiwet 1910, yaitu Undang-Undang Paten 1910; S.1910-33, yis

S.1911-33, S.1922-54 Belanda mengundangkan Undang-Undang Hak Cipta untuk

pertama kalinya pada tahun 1803, kemudian diperbaharui pada tahun 1817 dan diperbaharui lagi sesuai dengan konvensi Bern 1886 menjadi Auterurwet 1912. Indonesia yang saat itu menjadi negara jajahan Belanda, akhirnya terikat dengan konvensi Bern, seperti yang diumumkan dalam S.1914-797. Peraturan hak milik industrial kolonial 1912 merupakan undang-undang merek yang paling tua di Indonesia, yang ditetapkan oleh pemerintahan Kerajaan Belanda berlaku sejak 1 Maret 1913 terhadap wilayah-wilayah jajahannya di Indonesia, Suriname, dan Curacao. Undang-Undang paten 1910 mulai berlaku sejak tanggal 1 Juli 1912.

Ruang lingkup berlakunya undang-undang HKI pada zaman hindia belanda dapat dilihat pada Pasal 131 Indische Staatsregeling, yaitu :35

a. Hukum perdata dan hukum dagang (termasuk didalamnya hukum pidana maupun hukum acara perdata dan hukum acara

35 Adrian Sutedi. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta. Sinar Grafika. Hlm.2


pidana) harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu dikodifikasikan.

b. Untuk golongan bangsa eropa, dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda dengan asas konkordansi.

c. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan lain sebagainya), jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka.

d. Orang indonesia asli dan orang timur asing selama tidak ada aturan yang mengatur maka akan tunduk pada peraturan bersama dengan bangsa eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum dan juga secara perbuatan.

e. Sebelum hukum untuk bangsa indonesia ditulis dalam Undang-Undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat.

Golongan penduduk hindia belanda menurut Pasal 163 IS, yaitu:36 a. Golongan eropa

Golongan eropa adalah mereka yang termasuk orang golongan belanda, orang eropa lainnya, orang jepang, orang yang berasal dari tempat lain yang negaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda dan anak sah atau diakui menurut undang-undang dan anak golongan eropa lainnya dan anak golongan jepang yang lahir di hindia belanda.

36 Ibid. hlm3


pidana) harus diletakkan dalam kitab undang-undang yaitu dikodifikasikan.

b. Untuk golongan bangsa eropa, dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda dengan asas konkordansi.

c. Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab, dan lain sebagainya), jika ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya, dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa eropa dinyatakan berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka.

d. Orang indonesia asli dan orang timur asing selama tidak ada aturan yang mengatur maka akan tunduk pada peraturan bersama dengan bangsa eropa, diperbolehkan menundukkan diri (onderwepen) pada hukum yang berlaku untuk bangsa eropa. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum dan juga secara perbuatan.

e. Sebelum hukum untuk bangsa indonesia ditulis dalam Undang-Undang, bagi mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat.

Golongan penduduk hindia belanda menurut Pasal 163 IS, yaitu:36 a. Golongan eropa

Golongan eropa adalah mereka yang termasuk orang golongan belanda, orang eropa lainnya, orang jepang, orang yang berasal dari tempat lain yang negaranya tunduk pada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan asas yang sama seperti hukum benda dan anak sah atau diakui menurut undang-undang dan anak golongan eropa lainnya dan anak golongan jepang yang lahir di hindia belanda.

36 Ibid. hlm3

b. Golongan bumiputera Golongan bumiputera adalah semua orang yang termasuk rakyat indonesia asli, yang tidak beralih masuk golongan lain, yang telah membaurkan dirinya dengan golongan lain, dan yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia Asli.

c. Golongan timur asing Golongan timur asing adalah semua orang yang bukan golongan eropa dan golongan bumiputera.

Pasal 131 jo. 136 is menyatakan bahwa kodifikasi hukum perdata

(bulgerlijke wetboek) hanya berlaku bagi golongan eropa dan mereka yang dipermasalahkan. Golongan bumiputera dan timur asing berlaku hukum adat masing-masing. Sejak tahun 1855 hukum perdata eropa berlaku terhadap golongan Timur Asing, selain hukum keluarga dan hukum waris.

Artinya, peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indoensia bersifat pluralistik sesuai dengan golongan penduduknya, sehingga adanya peraturan perundang-undangan eropa yang dinyatakan sebagai peraturan bagi orang-orang bumiputera, ada pula yang menyarakan bahwa secara khusus dibuat untuk orang-orang Indonesia Asli (bumiputera).

Peraturan perundang-undangan Eropa di bidang Hak Kekayaan Intelektual yang diatur dalam Reglement Industriele Eigoendom Kolonien 1912 yaitu peraturan hak milik industrial Kolonial 1912; S.1912-545 jo. S.1913-214, Auterswet 1912 yaitu, Undang-Undang Jak Pengarang 1912, Undang-Undang hak Cipta, S.1912-600 dan Octrooiwet 1910 yaitu Undang-Undang paten 1910; S.1910-33, yis S.1911-33, S.1922-54, merupakan peraturan perundang-undangan yang dinyatakan berlaku tidak hanya untuk golongan Eropa, melainkan juga berlaku untuk golongan bukan eropa.

Hal tersebut menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual merupakan peraturan perundang- undangan yang berlaku bagi semua golongan penduduk Indonesia.


2. HAKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar

1945 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia.

Tahun 1961, setelah Indonesia merdeka, barulah Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek (1961), Undang-Undang Hak Cipta (1982), dan Undang-Undang Paten (1989).

Undang-Undang Merek diundangkan pada 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku sejak 11 November 1961 yang dikenal dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 maka Reglement Industriele Eigenom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial 1912; S.1912-545 jo. 1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Tahun 1992 terjadi pembaharuan hukum merek di Indonesia dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1961. Tahun 1997 terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1992, yaitu dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Terakhir, tahun 2001, Undang-Undang nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

Pasca kemerdekaan, Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia ada pada tahun 1982, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang nomor 6 tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 diubah dan disempurnakan dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987.


2. HAKI Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia Berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar

1945 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1945, maka ketentuan peraturan perundang-undangan Hak Kekayaan Intelektual zaman penjajahan Belanda, demi hukum diteruskan keberlakuannya, sampai dengan dicabut dan diganti dengan undang-undang baru hasil produk legislasi Indonesia.

Tahun 1961, setelah Indonesia merdeka, barulah Indonesia mempunyai peraturan perundang-undangan hak kekayaan intelektual dalam hukum positif pertama kalinya dengan diundangkannya Undang-Undang Merek (1961), Undang-Undang Hak Cipta (1982), dan Undang-Undang Paten (1989).

Undang-Undang Merek diundangkan pada 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku sejak 11 November 1961 yang dikenal dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961. Dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1961 maka Reglement Industriele Eigenom Kolonien 1912 (Peraturan Hak Milik Industrial 1912; S.1912-545 jo. 1913-214) tersebut dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.

Tahun 1992 terjadi pembaharuan hukum merek di Indonesia dengan diundangkannya dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 yang mencabut dan menggantikan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 1961. Tahun 1997 terjadi lagi penyempurnaan terhadap Undang- Undang Nomor 19 Tahun 1992, yaitu dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997. Terakhir, tahun 2001, Undang-Undang nomor 19 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001.

Pasca kemerdekaan, Undang-Undang Hak Cipta pertama Indonesia ada pada tahun 1982, dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang nomor 6 tahun 1982. Kemudian pada tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 tahun 1982 diubah dan disempurnakan dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987.

Selanjutnya pada tahun 1997, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987. Terakhir, tahun 2001, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 jis. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tersebut diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002.

Undang-Undang Paten Indonesia pertama ada tahun 1989 dengan diundangkan dan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989. Setelah itu, tahun 1997, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 tersebut diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1997. Undang-Undang Nomor 1997 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1989 diubah dan disempurnakan serta diganti dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.

Yang terbaru adalah Undang-Undang Paten saat ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten. Hal ini terjadi dinilai karena banyaknya substansi yang perlu ditambahkan maupun diperbaiki pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001.

Dengan demikian, sejak tahun 1961 sampai dengan tahun 1999, bidang hak kekayaan intelektual yang telah mendapat perlindungan dan pengaturan dalam tata hukum Indonesia ada 3 (tiga) bidang, yaitu merek, hak cipta dan paten.

Selain hak tersebut, terdapat lagi 4 (empat) bidang hak kekayaan intelektual lainnya seperti varietas tanaman, rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu dan indikasi geografis dengan diterbitkan dan diundangkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Varietas Tanaman, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 tentang Desain Industri, serta indikasi geografis yang diatur pada Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang pengaturan Indikasi Geografis.

Yang terbaru adalah Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang mencabut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek.


C. Hukum HAKI di Indonesia Dalam melakukan analisis ekonomi terhadap reformasi hukum

bidang HAKI, penulis menganalisisnya berdasarkan latar belakang dari reformasi hukum bidang HAKI tersebut dan substansi mendasar yang diatur dari reformasi hukum bidang HAKI.

Reformasi hukum bidang HAKI di Indonesia terutama disebabkan adanya kewajiban internasional negara Indonesia yang berkaitan dengan Konvensi Pembentukan WTO (World Trade Organization). Konvensi tersebut mewajibkan seluruh negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut, khususnya Annex 1b Konvensi tersebutm yaitu Perjanjian TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)

Konvensi tersebut telah memberikan batas waktu bagi negara- negara anggotanya untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya di bidang HAKI dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs, yaitu 1 (satu) tahun bagi negara maju dan 4 (empat) tahun bagi negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang yang paling lambat dalam penyesuaian hukum nasional bidang HAKI.

Tekanan dari pihak luar lainnya turut melatarbelakangi terjadinya reformasi hukum bidang HAKI. Menurut laporan Special 301, United States Trade Representative (USTR) 1999, Indonesia saat itu merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang masuk dalam Priority Watch List versi USTR untuk kasus pelanggaran HAKI. Lembaga perwakilan ini bertugas menelaah catatan-catatan pelanggaran HAKI dari negara mitra dagang AS.

Tahun 2000, Indonesia sudah mengajukan RUU tentang Desain Industri, rahasia Dagang dan Desain Tata letak Sirkuit Terpadu serta mengajukan RUU revisi terhadap undang-undang Paten dan merek sehingga indonesia sudah masuk lagi dalam kategori watch list. Tetapi, peringkat tersebut tidak bertahan lama, tahun 2001-2002, Indonesia kembali masuk dalam Priority Watch List, hal ini disebabkan HAKI yang dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat masih dirasakan lemah.


C. Hukum HAKI di Indonesia Dalam melakukan analisis ekonomi terhadap reformasi hukum

bidang HAKI, penulis menganalisisnya berdasarkan latar belakang dari reformasi hukum bidang HAKI tersebut dan substansi mendasar yang diatur dari reformasi hukum bidang HAKI.

Reformasi hukum bidang HAKI di Indonesia terutama disebabkan adanya kewajiban internasional negara Indonesia yang berkaitan dengan Konvensi Pembentukan WTO (World Trade Organization). Konvensi tersebut mewajibkan seluruh negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut, khususnya Annex 1b Konvensi tersebutm yaitu Perjanjian TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights)

Konvensi tersebut telah memberikan batas waktu bagi negara- negara anggotanya untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya di bidang HAKI dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs, yaitu 1 (satu) tahun bagi negara maju dan 4 (empat) tahun bagi negara berkembang. Indonesia sebagai negara berkembang yang paling lambat dalam penyesuaian hukum nasional bidang HAKI.

Tekanan dari pihak luar lainnya turut melatarbelakangi terjadinya reformasi hukum bidang HAKI. Menurut laporan Special 301, United States Trade Representative (USTR) 1999, Indonesia saat itu merupakan satu-satunya negara di ASEAN yang masuk dalam Priority Watch List versi USTR untuk kasus pelanggaran HAKI. Lembaga perwakilan ini bertugas menelaah catatan-catatan pelanggaran HAKI dari negara mitra dagang AS.

Tahun 2000, Indonesia sudah mengajukan RUU tentang Desain Industri, rahasia Dagang dan Desain Tata letak Sirkuit Terpadu serta mengajukan RUU revisi terhadap undang-undang Paten dan merek sehingga indonesia sudah masuk lagi dalam kategori watch list. Tetapi, peringkat tersebut tidak bertahan lama, tahun 2001-2002, Indonesia kembali masuk dalam Priority Watch List, hal ini disebabkan HAKI yang dimiliki oleh perusahaan Amerika Serikat masih dirasakan lemah.

Peneliti Third world Network, Carlos Corrica, mengatakan bahwa perjanjian yang berkaitan dengan masalah HAKI sebetulnya tidak hanya untuk mengurangi pembajakan, tetapijuga merupakan suatu kebijakan yang melakukan proteksi atas teknologi dan memperkuat pembagian kerja internasional baru. Tujuannya adalah agar negara industri maju menjadi penghasil temuan dan negara berkembang menjadi pasar dari produk dan jasa yang dihasilkan.

Sebagai contoh, pada tahun 1998 merupakan tahun buruk bagi Amerika Serikat, perusahaan Rice Tec dari AS mengajukan hal milik intelektual atas padi asal India yang selama bertahun-tahun menjadi milik bersama, rumah mode Yves St. Laurent mengklaim paten atas ilang-ilang, sejenis bunga dari Filiphina.

Dengan adanya peraturan dari WTO, semakin banyak perusahaan transnasional yang mengklaim hak atas kekayaan intelektual dan paten atas tumbuhan, bibit tanaman dan produk lainnya yang lahir dari Dunia Ketiga serta tidak pernah dianggap sebagai milik siapapun. Sejak pemberlakuan WTO, pemerintah Indonesia menderita kerugian sekitar $1,9M, sayangnya Indonesia tidak merinci perhitungan kerugiannya.

Hak atas kekayaan intelektual mencakup dua konsep besarm yaitu Hak Cipta (copyright) dan hak paten yang diatur secara terpisah. Istilah intelektual dalam HAKI mempunyai arti bahwa hak cipta melindungi kecerdasan, pikiran dan ungkapan atau renungan manusia yang menjelma dalam bentuk buku, lagu ataupun film. Sementara itu, hak paten mencakup temuan dan teknologi, kerja yang dikerahkan untuk membuat barang baru, mulai dari traktor, obat-obatan sampai pada alat pembuka kaleng yang menggunakan listrik. Asumsinya adalah hak cipta selalu berkenaan dengan uang, karena untuk merancang, membuat, memperbanyak dan memasarkan sebuah karya cipta diperlukan uang. Para pemegang hak cipta tentu mengharapkan uang yang ditanamnya akan kembali.

Meskipun begitu, Ronald Bettig mengatakan HAKI baru mulai dibicarakan sejak ditemukannya mesin cetak dan merebaknya kapitalisme dalam dunia tulis menulis. Sebelumnya, pengetahuan atau cerita menjadi milik umum dan orang tidak tahu siapa yang pertama mengungkapkannya. Artinya, konsep hak cipta melekat


dengan kekuasaan modal dan dalam konteks penerbitan misalnya, menjadi jelas bahwa yang lebih berkepentingan akan hak itu adalah penerbit yang mengertuk keuntungan ketimbang pengarang yang mencipta.

Terdapat dua cara pandang terhadap HAKI dan keterlibatan Indonesia dalam perdagangan global. Indonesia memandang bahwa HAKI merupakan bagian dari perjanjian internasional yang diikuti Indonesia, sehingga harus ada penyesuaian tanpa peduli adanya ketimpangan posisi dan kesempatan. Anggapannya adalah dengan memperbanyak jumlah hak cipta dan paten maka akan ada perlindungan lingkungan alam dan sosial budaya yang penuh dengan potensi HAKI, seperti keragaman spesies tanaman dan hewan, maupun warisan benda tradisi. Lebih jauh lagi HAKI dipercaya dapat menyatukan hukum Indonesia dengan aturan internasional, hal tersebut ditandai oleh kembalinya Indonesia dalam Konvensi Bern 1997 sebagai upaya menyesuaikan diri dengan standar hukum internasional.

Meskipun begitu, Indonesia menganggap dengan adanya perjanjian internasional mengenai HAKI yang disebut dengan TRIPs dan merupakan bagian dari WTO menegaskan ketimpangan antarnegara di dunia dan membuat negara industri maju mendapatkan keuntungan lebih dulu. Sementara penduduk negara berkembang harus membayar mahal untuk menggunakan software atau menonton VCD yang diproduksi oleh negara maju.

Perusahaan transnasional yang mempunyai modal yang besar akan dengan mudah mencaplok pengetahuan tradisional di negara berkembang dan menjadikannya milik. Hal ini sungguh tragis jika kita dapat melihat komunitas petani yang merawat padi sekarang harus membayar jika mau menggunakan bibit itu karena hak kekayaan intelektualnya dibeli oleh perusahaan besar.

Rezim HAKI internasional menciptakan jurang antara negara maju dengan negara berkembang. Pandangan ini menolak kerangka legal formal karena dianggap banyak masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh rumusan hukum, rezim HAKI mencerminkan tarik ulur kekuasaan yang menempatkan negara berkembang dalam posisi tidak menguntungkan. Hal ini tampak jelas dalam hubungan dagang


dengan kekuasaan modal dan dalam konteks penerbitan misalnya, menjadi jelas bahwa yang lebih berkepentingan akan hak itu adalah penerbit yang mengertuk keuntungan ketimbang pengarang yang mencipta.

Terdapat dua cara pandang terhadap HAKI dan keterlibatan Indonesia dalam perdagangan global. Indonesia memandang bahwa HAKI merupakan bagian dari perjanjian internasional yang diikuti Indonesia, sehingga harus ada penyesuaian tanpa peduli adanya ketimpangan posisi dan kesempatan. Anggapannya adalah dengan memperbanyak jumlah hak cipta dan paten maka akan ada perlindungan lingkungan alam dan sosial budaya yang penuh dengan potensi HAKI, seperti keragaman spesies tanaman dan hewan, maupun warisan benda tradisi. Lebih jauh lagi HAKI dipercaya dapat menyatukan hukum Indonesia dengan aturan internasional, hal tersebut ditandai oleh kembalinya Indonesia dalam Konvensi Bern 1997 sebagai upaya menyesuaikan diri dengan standar hukum internasional.

Meskipun begitu, Indonesia menganggap dengan adanya perjanjian internasional mengenai HAKI yang disebut dengan TRIPs dan merupakan bagian dari WTO menegaskan ketimpangan antarnegara di dunia dan membuat negara industri maju mendapatkan keuntungan lebih dulu. Sementara penduduk negara berkembang harus membayar mahal untuk menggunakan software atau menonton VCD yang diproduksi oleh negara maju.

Perusahaan transnasional yang mempunyai modal yang besar akan dengan mudah mencaplok pengetahuan tradisional di negara berkembang dan menjadikannya milik. Hal ini sungguh tragis jika kita dapat melihat komunitas petani yang merawat padi sekarang harus membayar jika mau menggunakan bibit itu karena hak kekayaan intelektualnya dibeli oleh perusahaan besar.

Rezim HAKI internasional menciptakan jurang antara negara maju dengan negara berkembang. Pandangan ini menolak kerangka legal formal karena dianggap banyak masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh rumusan hukum, rezim HAKI mencerminkan tarik ulur kekuasaan yang menempatkan negara berkembang dalam posisi tidak menguntungkan. Hal ini tampak jelas dalam hubungan dagang

Indonesia dan AS. Pemerintah AS memandang seberapa taat Indonesia terhadap aturan main yang mereka tetapkan, sementara Indonesia tidak punya kekuatan dan kemauan apapun untuk berbuat hal yang sama.

Omnibus Trade and Competitive Act 1998, khususnya seksi 301, pemerintah AS dapat memberlakukan sanksi kepada negara yang dianggap tidak melakukan perdagangan secara fair, sebagaimana diatur dalam GATT yaitu kesepakatan umum mengenai pajak dan tarif yang mendahului WTO, Indonesia termasuk dalam negara yang perlu diawasi karena belum konsisten melindungi produk HAKI, yang artinya belum menjadi partner Amerika yang fair.

Posisi Indonesia dalam masalah HAKI ditentukan kepentingan luar dari pada kepentingan sendiri. Dalam negeri, HAKI hanya melindungi penerbutan buku dari pembajak buku yang memang menjadi masalah serius beberapa tahun belakangan. Tetapi, selebihnya seluruh wacana dan aturan main ditentukan dan dibuat hanya menguntungkan orang lain.

Penetapan status Indonesia dalam kerangka USTR membuat Indonesia seperti narapidana yang dinilai perilakunya untuk mendapatkan pengurangan masa taganan atau sebaliknya ditempatkan dalam blok isolasi.

Penetapan hukum HAKI yang berisikan rumusan pasal-pasal dan kerangkanya berasal dari luar. Semua produk hukum yang berkait dengan hak cipta, paten, dan merek bbeberapa tahun terakhir diperbaiki atas desakan dan sekaligs konsultasi dari pemerintah AS yang bersekutu dengan perusahaan transnasional di bidang HAKI dan berbagai skema perdagangan internasional.

Pemerintah AS sangat berkepentingan karena sejak tahun 1990an industri berbasis HAKI menjadi pemasok devisa terbesar, menggantikan peran industri mobil, penerbangan bahkan juga minyak. Tahun 1997, industri berbasis hak cipta menyumbang $66,85 Milyar, melampaui industri elektronik yang menyumbang $54,29 atau perusahaan pesawat terbang dengan angka $48,64.

Ekspansi industri HAKI berawal dari program neoliberal di masa kepresidenan Ronald reagan yang dikenal dengan Reaganomics. Peluang dunia usaha dibuka lebar dan ekspansi perusahaan


multinasional berlangsung ke seluruh penjuru dunia. Pada saat yang bersamaan, subsidi sosial di bidang kesehatan dan pendidikan bagi warha dibuntungi karena harus memberi suplai modal kepada dunia usaha.

Merosotnya perekonomian AS dimulai pada pertengahan tahun 1980-an. Menurunnya, pendapatan dari industri tradisional seperti pesawat terbang dan peralatan elektronik membuat pengusaha melirik bidang-bidang baru yang punya potensi menggalang pendapatan bagi AS. Salah satunya sektor yang terpenting adalah industri berbasis hak cipta, khususnya dalam industri film, rekaman musik dan video, surat kabar, majalah, buku, jurnal ilmiah, dan lain sebagainya. Sebelum melemparkan produk ke seluruh belahan dunia, mereka memerlukan perlindungan agar konsumen di mana pun akan membayar hak cipta dan sekaligus melindunginya dari pembajakan.

Dengan adanya HAKI ini, AS mengalami peningkatan ekonomi luar biasa. Meskipun begitu melalui Koalisi Internasional Anti Pembajakan, AS mengklaim bahwa lima hingga delapan persen produk dan jasanya di dunia ini telah dibajak dan mengakibatkan kerugian sekitar $200Milyar pertahun.

Tahun 1995, menurut New York Times dalam bidang musik rekaman saja pembajakan mengakibatkan kerugian $2,5 Milyar. Hal serupa juga dialami oleh perusahaan software komputer, farmasi, video tape, dan peralatan elektronik lainnya.

Lebih jauh lagi, AS mengkalim bahwa pembajakan berakibat pada ketenagakerjaan di AS. Tahun 1993, sekitar 750ribu orang kehilangan pekerjaan akibat pembajakan yang dilakukan negara lain. Studi yang dilakukan industri otomotif mengatakan bahwa tahun 1991 sebenarnya industri ini bisa tetap memperkerjakan sekitar 210ribu buruhnya jika AS tidak mengalami kerugian $12 Milyar akibat pembajakan. Para pengamat yang kritis mengatakan penilaian itu berlebihan dan sekarang digunakan oleh industrialis AS untuk membenarkan tindak pemecatan massal yang mereka lakukan selama bertahun-tahun. Pemimpin perusahaan besar seperti CBS, Du Pont, General Electric, Hewlett Packard, IBM dan Pfizer mulai menggalang aliansi dengan perusahaan Jepang dan beberapa negara Eropa untuk mengangkat masalah HAKI ini di berbagai forum


multinasional berlangsung ke seluruh penjuru dunia. Pada saat yang bersamaan, subsidi sosial di bidang kesehatan dan pendidikan bagi warha dibuntungi karena harus memberi suplai modal kepada dunia usaha.

Merosotnya perekonomian AS dimulai pada pertengahan tahun 1980-an. Menurunnya, pendapatan dari industri tradisional seperti pesawat terbang dan peralatan elektronik membuat pengusaha melirik bidang-bidang baru yang punya potensi menggalang pendapatan bagi AS. Salah satunya sektor yang terpenting adalah industri berbasis hak cipta, khususnya dalam industri film, rekaman musik dan video, surat kabar, majalah, buku, jurnal ilmiah, dan lain sebagainya. Sebelum melemparkan produk ke seluruh belahan dunia, mereka memerlukan perlindungan agar konsumen di mana pun akan membayar hak cipta dan sekaligus melindunginya dari pembajakan.

Dengan adanya HAKI ini, AS mengalami peningkatan ekonomi luar biasa. Meskipun begitu melalui Koalisi Internasional Anti Pembajakan, AS mengklaim bahwa lima hingga delapan persen produk dan jasanya di dunia ini telah dibajak dan mengakibatkan kerugian sekitar $200Milyar pertahun.

Tahun 1995, menurut New York Times dalam bidang musik rekaman saja pembajakan mengakibatkan kerugian $2,5 Milyar. Hal serupa juga dialami oleh perusahaan software komputer, farmasi, video tape, dan peralatan elektronik lainnya.

Lebih jauh lagi, AS mengkalim bahwa pembajakan berakibat pada ketenagakerjaan di AS. Tahun 1993, sekitar 750ribu orang kehilangan pekerjaan akibat pembajakan yang dilakukan negara lain. Studi yang dilakukan industri otomotif mengatakan bahwa tahun 1991 sebenarnya industri ini bisa tetap memperkerjakan sekitar 210ribu buruhnya jika AS tidak mengalami kerugian $12 Milyar akibat pembajakan. Para pengamat yang kritis mengatakan penilaian itu berlebihan dan sekarang digunakan oleh industrialis AS untuk membenarkan tindak pemecatan massal yang mereka lakukan selama bertahun-tahun. Pemimpin perusahaan besar seperti CBS, Du Pont, General Electric, Hewlett Packard, IBM dan Pfizer mulai menggalang aliansi dengan perusahaan Jepang dan beberapa negara Eropa untuk mengangkat masalah HAKI ini di berbagai forum

perdagangan internasional. Dalam perundungan GATT 1995, perusahan-perusahaan

tersebut maju bersamaan menghadapi wakil oemerintah dan unsur lainnya dengan membawa pernyataan urusan hak kekayaan intelektual terlalu penting untuk hanya diurusi oleh pemerintah. Artinya, perusahaan multinasional harus mendapat suara lebih besar agar dapat mendesak pemerintah masing-masing untuk mengangkat masalah HAKI ke meja perundingan.

Berkat lobi, tekanan, dan bermacam langjah lain, gabungan perusahaan transnasional dan pemerintah AS akhirnya berhasil membuat HAKI menjadi agenda tetap dalam GATT maupun WTO. Sebuah pencapaian penting tentu saja karena dengan begitu perusahaan transnasional atau negara maju yang dirugikan oleh pembajakan atau praktik perdagangan tidak fair lainnya dapat mengajukan para pelaku kejahatan ke sidang WTO. Memang tidak ada hukuman pidana seperti penjara apalagi hukuman mati, tapi sanksi ekonomi, embargo dan blokade yang akan diterapkan kepada para pelanggar telah terbukti ampuh membunuh jutaan orang di muka bumi.

Beberapa negara berkembang menolak masuknya HAKI dalam perundingan GATT dan WTO karena menganggap forum lain dalam PBB sudah cukup untuk menanganinya. Mereka sadar bahwa sekali saja aturan yang tidak menguntungkan itu mengikat semua negara di dunia maka ketimpangan akan semakin langgeng.

Kaun industralis kuat melobi dan menunjukkan bahwa selesainya perang dunia menjadikan AS sebagai super power yang bukan hanya pandai menggunakan senjata api, tetapi juga senjata dagang untuk mempertahankan kepentingannya.

Ekonomi neoliberal dan kepentingan industrialis AS adalah pendorong utama pemberlakuan aturan mengenai HAKI. Indonesia sebagai negara berkembang yang tidak punyai bargaining position akibat ulah elitnya sendiri, hanya mengekor pada apa yang diputuskan dari luar, dengan sesekali memberi gincu agar terkesan memetik keuntungan di dalamnya.

Proses kekuasaan rezim HAKI masih terus berlanjut, tetapi hasilnya terhadap penduduk dunia mulai terlihat. Sebagai contoh,


dapat kita bayangkan jika harga buku melonjak setara dengan harga di AS, pembuat tempe yang akan dikejar penegak hukum HAKI yang menyatakan bahwa mereka mencuri kekayaan intelektual yang dibeli oleh perusahaan transnasional. Selain itu, tanaman obat, bibit padi, dan berbagai jenis ternak yang setiap saat bisa dibuatkan patennya serta membuat penduduk yang selama ini menikmatinya sebagai milik umum nantinya harus membayar mahal agar dapat menggunakannya.

Dalam situasi terpuruk seperti saat ini, rezim HAKI akan membuat Indonesia semakin terbelakang. Tikus birokrasi menggerogotu perekonomian dan tidak pernah punya cara untuk keluar dari krisi ekonomi global, yang pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Adanya tekanan dari pihak luar, membuat Indonesia menjadi semakin tidak mampu untuk melindungi HAKI yang nantinya akan menghambat masuknya investasi ke Indonesia di masa datang, apabila hal ini terjadi maka reputasi Indonesia di kancah internasional akan benar-benar terancam.

Hal tersebut menjadi salah satu alasan Indonesia merevisi Undang-Undang perlindungan HAKI dan memastikan undang- undang tersebut dilaksanakan secara efektif. Ketidakmampuan Indonesia mematuhi kesepakatan TRIPs akan berakibat pada pengenaan sanksi-sanksi perdagangan WTO bagi Indonesia.

Hal tersebut diatas menjadikan reformasi hukum Indonesia di bidang HAKI, pendekatan analis ekonomi atas hukum telah digunakan, karena terjadinya reformasi hukum bidang HAKI tersebut tidak terlepas dari adanya tekanan dari pihak luar terutama Amerika Serikat yang mengancam adanya pengenaan sanksi perdagangan apabila tidak segera merevisi peraturan hukum bidang HAKI. Tidak adanya kepastian hukum bidang HAKI juga dirasakan dapat menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia, karena itulah Pemerintah Indonesia melakukan reformasi hukum bidang HAKI.

Selain adanya reformasi bidang hukum HAKI, didasari juga oleh pemikiran dan kesadaran bahwa perlindungan HAKI diharapkan menjadi pendorong bagi anggota masyarakat untuk terus berupaya keras menghasilkan karya intelektual lainnya yang pada akhirnya


dapat kita bayangkan jika harga buku melonjak setara dengan harga di AS, pembuat tempe yang akan dikejar penegak hukum HAKI yang menyatakan bahwa mereka mencuri kekayaan intelektual yang dibeli oleh perusahaan transnasional. Selain itu, tanaman obat, bibit padi, dan berbagai jenis ternak yang setiap saat bisa dibuatkan patennya serta membuat penduduk yang selama ini menikmatinya sebagai milik umum nantinya harus membayar mahal agar dapat menggunakannya.

Dalam situasi terpuruk seperti saat ini, rezim HAKI akan membuat Indonesia semakin terbelakang. Tikus birokrasi menggerogotu perekonomian dan tidak pernah punya cara untuk keluar dari krisi ekonomi global, yang pada akhirnya masyarakatlah yang menjadi korban.

Adanya tekanan dari pihak luar, membuat Indonesia menjadi semakin tidak mampu untuk melindungi HAKI yang nantinya akan menghambat masuknya investasi ke Indonesia di masa datang, apabila hal ini terjadi maka reputasi Indonesia di kancah internasional akan benar-benar terancam.

Hal tersebut menjadi salah satu alasan Indonesia merevisi Undang-Undang perlindungan HAKI dan memastikan undang- undang tersebut dilaksanakan secara efektif. Ketidakmampuan Indonesia mematuhi kesepakatan TRIPs akan berakibat pada pengenaan sanksi-sanksi perdagangan WTO bagi Indonesia.

Hal tersebut diatas menjadikan reformasi hukum Indonesia di bidang HAKI, pendekatan analis ekonomi atas hukum telah digunakan, karena terjadinya reformasi hukum bidang HAKI tersebut tidak terlepas dari adanya tekanan dari pihak luar terutama Amerika Serikat yang mengancam adanya pengenaan sanksi perdagangan apabila tidak segera merevisi peraturan hukum bidang HAKI. Tidak adanya kepastian hukum bidang HAKI juga dirasakan dapat menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia, karena itulah Pemerintah Indonesia melakukan reformasi hukum bidang HAKI.

Selain adanya reformasi bidang hukum HAKI, didasari juga oleh pemikiran dan kesadaran bahwa perlindungan HAKI diharapkan menjadi pendorong bagi anggota masyarakat untuk terus berupaya keras menghasilkan karya intelektual lainnya yang pada akhirnya

bertujuan untuk menggerakkan roda perekonomian serta memberikan pemasukan berupa pajak kepada negara.

Substanis pengaturan undang-undang HAKI yang baru dipengaruhi oleh arus globalisasi di segala bidang kehidupan masyarakat, baik di bidang sosial, ekonomi, maupun budaya semakin mendorong laju perkembangan perekonomian masyarakat. Disamping itu juga, semakin meningkatnya perkembangan teknologi informasi dan sarana transportasi, telah menjadikan kegaitan di sektor perdagangan baik barang maupun jasa mengalami perkembangan yang sangat pesat.

Kecenderungan akan meningkatnya arus perdagangan barang dan jasa akan terus berlangsung secara terus menerus sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional yang semakin meningkat. Dengan memperhatikan kenyataan dan kecenderungan seperti itu, menjadi hal yang dapat dipahami jika ada tuntutan kebutuhan suatu pengaturan yang lebih memadai dalam rangka terciptanya suatu kepastian dan perlindungan hukum yang kuat. Apalagi beberapa negara semakin mengandalkan kegiatan ekonomi dan perdagangannya pada produk yang dihasilkan atas dasar kemampuan intelektualitas manusia.

Mengingat akan kenyataan tersebut, merek sebagai salah satu karya intelektual manusia yang erat hubungannya dengan kegiatan ekonomi dan perdagangan memegang peranan yang sangat penting.

Kegiatan perdagangan barang dan jasa melintasi batas wilayah negara. Oleh karena itu, mekanisme pendaftaran merek internasional menjadi salah satu sistem yang seharusnya dapat dimanfaatkan guna melindungi merek nasional di dunia internasional.

Sistem pendaftaran merek internasional berdasarkan protokol madrid menjadi sarana yang sangat membantu para pelaku usaha nasional untuk mendaftarkan merek mereka di luar negeri dengan mudah dan biaya terjangkau.

Selain itu juga, keikutsertaan indonesia meratifikasi konvensi tentang Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Worl Trade Organization) yang mencakup pula persetujuan tentang aspek-aspek dagang dair Hak Kekayaan Intelektual atau TRIPs sebagaimana telah


disahkan dengan Undang-Undang nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) menuntut indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian internasional tersebut.

Pengembangan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan oleh Indonesia debfab meratifikasi 5 (lima) Konvensi Internasional melalui Keputusan Presiden RI tanggal 7 Mei 1997, yaitu :

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for The Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation Under PCT.

3. Keputusab Presiden Indonesia Nomor 17 tahun 1997 tentang Pengesahan Trade Marks Law Treaty.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1997 tentang Pengesahan Bern Convention for the Protection of Literaly and Artistic Work.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan World Intellectual Property Organization (WIPO) Copyright Treaty. Perjanjian internasional tersebut menjadikan adanya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan Undang-Undang Merek yang berlaku dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut.

Salah satu perkembangan di bidang Merek adalah munculnya perlindungan terhadap tipe merek baru atau yang disebut sebagai Merek Nontradisional. Lingkup merek dalam undang- undang ini adalah merek suara, merek tiga dimensi, merek hologram.

Beberapa penyempurnaan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Pemohon Merek. Untuk lebih memudahkan bagi pemohon dalam melakukan pendaftaran Merek perlu dilakukan beberapa revisi atau perubahan berupa penyederhanaan proses dan prosedur pendaftaran merek.


disahkan dengan Undang-Undang nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) menuntut indonesia untuk mematuhi dan melaksanakan isi dari perjanjian internasional tersebut.

Pengembangan dan penyempurnaan tersebut dilaksanakan oleh Indonesia debfab meratifikasi 5 (lima) Konvensi Internasional melalui Keputusan Presiden RI tanggal 7 Mei 1997, yaitu :

1. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1997 tentang Pengesahan Paris Convention for The Protection of Industrial Property and Convention Establishing the World Intellectual Property Organization.

2. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 tahun 1997 tentang Pengesahan Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation Under PCT.

3. Keputusab Presiden Indonesia Nomor 17 tahun 1997 tentang Pengesahan Trade Marks Law Treaty.

4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 tahun 1997 tentang Pengesahan Bern Convention for the Protection of Literaly and Artistic Work.

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan World Intellectual Property Organization (WIPO) Copyright Treaty. Perjanjian internasional tersebut menjadikan adanya kewajiban bagi Indonesia untuk menyesuaikan Undang-Undang Merek yang berlaku dengan ketentuan dalam perjanjian internasional yang telah diratifikasi tersebut.

Salah satu perkembangan di bidang Merek adalah munculnya perlindungan terhadap tipe merek baru atau yang disebut sebagai Merek Nontradisional. Lingkup merek dalam undang- undang ini adalah merek suara, merek tiga dimensi, merek hologram.

Beberapa penyempurnaan untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat Pemohon Merek. Untuk lebih memudahkan bagi pemohon dalam melakukan pendaftaran Merek perlu dilakukan beberapa revisi atau perubahan berupa penyederhanaan proses dan prosedur pendaftaran merek.

Adanya pengaturan tentang persyaratan minimum permohonan akan memberikan kemudahan dalam pengajuan permohonan dengan cukup mengisi formulir permohonan, melampirkan label atau contoh merek yang dimohonkan pendaftaran dan membayar biaya permohonan. Dengan memenuhi kelengkapan persyaratan minimum permohonan tersebut, suatu Permohonan Merek akan diberikan tanggal penerimaan atau filling date.

Perubahan terhadap alur proses pendaftaran merek dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk lebih mempercepat penyelesaian proses pendaftaran merek. Dilaksanakannya pengumuman terhadap Permohonan sebelum dilakukannya pemeriksaan substantif dimaksudkan agar pelaksanaan pemeriksaan substantif dapat dilakukan sekaligus jika ada keberatan dan/atau sanggahan sehingga tidak memerlukan pemeriksaan kembali.

Berkenaan dengan permohonan perpanjangan pendaftaran merek, pemilik merek diberi kesempatan tambahan untuk dapat melakukan perpanjangan pendaftaran mereknya sampai 6 (enam) bulan setelah eberakhirnya jangka waktu pendaftaran merek. Ketentuan ini dimaksudkan agar pemilik Merek terdaftar tidak dengan mudah kehilangan Hak atas Mereknya sebagai akibat adanya keterlambatan dalam mengajukan perpanjangan pendaftaran merek.

Selain itu juga, untuk lebih memberikan perlindungan hukum terhadap pemilik Merek terdaftar dari adanya pelanggaran Merek yang dilakukan oleh pihak lain, sanksi pidana terhadap pelanggaran merek tersebut diperberat khususnya yang mengancam kesehatan manusia, lingkungan hidup dan dapat mengakibatkan kematian. Mengingat masalah Merek terkait erat dengan faktor ekonomi, dalam undang-undang ini sanksi pidana denda diperberat.

Salah satu hal yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah tentang Indikasi Geografis, mengingat Indikasi Geografis merupakan potensi nasional yang dpaat menjadi komoditas unggulan, baik dalam perdagangan domestik maupun internasional. Oleh karena itu, undang-undang merek dan indikasi geografis.


D. Perkembangan HAKI Hak atas kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala

hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Hak kekayaan intelektual merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.

Hak itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hak Dasar (asasi) dan Hak Amanat Aturan/Perundangan. Hak Dasar (asasi) adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat, sebagai contoh hak untuk hidup, hak untuk mendapat keadilan dan lain sebagainya. Sedangkan, Hak Amanat Aturan/Perundangan adalah hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Diberbagai negara termasuk Amerika dan Indonesia, HAKI merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HAKI yang diberikan kepada individu dan kelompok.

Terlihat bahwa HAKI merupakan hak pemberian dari umum (publik) yang dijamin oleh undang-undang. HAKI merupakanhak asasi, sehingga kriteria pemberian HAKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik.

Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).

Undang-undang mengenai HAKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalag paten tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka.

Hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an dna kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1963). Amerika serikat baru mempunyai undang-undang


D. Perkembangan HAKI Hak atas kekayaan intelektual merupakan kekayaan atas segala

hasil produksi kecerdasan daya pikir seperti teknologi, pengetahuan, seni, sastra, gubahan lagu, karya tulis, karikatur, dan seterusnya. Hak kekayaan intelektual merupakan hak-hak (wewenang/kekuasaan) untuk berbuat sesuatu atas kekayaan intelektual tersebut, yang diatur oleh norma-norma atau hukum-hukum yang berlaku.

Hak itu dapat dibagi menjadi dua, yaitu Hak Dasar (asasi) dan Hak Amanat Aturan/Perundangan. Hak Dasar (asasi) adalah hak mutlak yang tidak dapat diganggu gugat, sebagai contoh hak untuk hidup, hak untuk mendapat keadilan dan lain sebagainya. Sedangkan, Hak Amanat Aturan/Perundangan adalah hak karena diberikan/diatur oleh masyarakat melalui peraturan/perundangan. Diberbagai negara termasuk Amerika dan Indonesia, HAKI merupakan Hak Amanat Aturan, sehingga masyarakatlah yang menentukan, seberapa besar HAKI yang diberikan kepada individu dan kelompok.

Terlihat bahwa HAKI merupakan hak pemberian dari umum (publik) yang dijamin oleh undang-undang. HAKI merupakanhak asasi, sehingga kriteria pemberian HAKI merupakan hal yang dapat diperdebatkan oleh publik.

Tumbuhnya konsepsi kekayaan atas karya-karya intelektual pada akhirnya juga menimbulkan kebutuhan untuk melindungi atau mempertahankan kekayaan. Pada gilirannya, kebutuhan ini melahirkan konsepsi perlindungan hukum atas kekayaan tadi, termasuk pengakuan sebagai hak milik perorangan yang sifatnya tidak berwujud (intangible).

Undang-undang mengenai HAKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalag paten tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka.

Hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di zaman TUDOR tahun 1500-an dna kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris, yaitu Statute of Monopolies (1963). Amerika serikat baru mempunyai undang-undang

paten 1971. Upaya harmonisasi dalam bidang HAKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang, dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah Hak Cipta (copyright).

Kekuatan nasional suatu negara tergantung pada kemajuan dan kemauan menghasilkan hak atas kekayaan intelektual. Hal ini telah dibuktikan oleh negara-negara maju sebelum Perang Dunia II. Jerman dan Jepang sebelum Perang Dunia II telah mempersiapkan diri menjadi kuat dengan mengandalkan strategi utama, yaitu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II terutama Amerika Serikat, Rusia dan Negara Eropa lainnya. Meskipun Jepang mengalami kekalahan pada Perang Dunia II hingga mengalami kehancuran ledakan Bom di Horoshima dan Nagasaki, Jepang terus mengembangkan teknologinya. Berdasarkan pengalaman sejarah, negara-negara tersebut menyadari pentingnya hak atas kekayaan intelektual sebagai sumber kekuatan politik berbasis ekonomi.37

Dalam kurun waktu yang begitu singkat, Jepang telah banyak menghasilkan berbagai penemuan baru sebagai basis pertumbuhan dan pengembangan industri dan perdagangan yang menguasai pasar global, sehingga Jepang dapat bangkit sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia.

Untuk mewujudkan hubungan perdagangan internasional, negara-negara yang memenangkan perang telah berusaha untuk membentuk International Trade Organization (ITO). Tetapi, pembentukan ITO mengalami kegagalan karena Amerika Serikat tidak mendukungnya. Sebagai gantinya, dibentuk The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT).38

Perjanjian ini ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1947 oleh 8 (delapan) negara, yaitu Australia, Belgia, Kanada, Perancis,

37 Abdul Kadir Muhamad. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak atas Kekayaan Intelektual.

Cetakan I. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hlm.15 38 H.S. Kartadjoemena. 2000. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian

Sengketa: Sistem Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Hlm. 19-20


Luxemburg, Belanda, Inggris (United Kingdom) dan Amerika Serikat. Kegagalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat, khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.39

GATT adalah bagian dari organisasi Perserikatan Bangsa- Bangsa yang bertujuan untuk melindungi keseimbangan kepentingan antar negara-negara anggota PBB dalam hubungan perdagangan internasional. Pada saat itu GATT berfungsi sebagai alat stabilitasi nasional mengenai tarif bea masuk dan sebagai forum konsultasi perdagangan internasional.40

Dalam perkembangannya, negara anggota GATT mengadakan perundingan Putaran Uruguay di jenewa dengan menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal 15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan putaran uruguay yang dimulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del Este.

Final Act Uruguay Round secara resmi ditandatangani di Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentuk World Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT, perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa, serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual.

Dengan adanya substansi perjanjian TRIPs dalam GATT maka Indonesia harus konsekuen terhadap hasil perjanjian perdagangan internasional GATT dengan melakukan berbagai kebijakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual.

Selain itu, penerapan perlindungan terhadap pemilik Hak atas Kekayaan Intelektual harus benar-benar memberikan jaminan atas tindakan pembajakan, pencurian, pembocoran, pengungkapan, dan tindakan curang lainnya.

Intellectual Capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat tinggi dalam arus perputaran modal dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global dalam

39 Bussines News.Edisi Juni 2000. World Trade Organization. Hlm.7 40 Sudargo Gautama. 1994. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional

TRIPs, GATT, Putaran Uruguay. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hlm.20


Luxemburg, Belanda, Inggris (United Kingdom) dan Amerika Serikat. Kegagalan pelaksanaan GATT pada tahun 1948 lebih banyak disebabkan oleh penolakan Kongres Amerika Serikat, khususnya yang berhubungan dengan masalah proteksionisme.39

GATT adalah bagian dari organisasi Perserikatan Bangsa- Bangsa yang bertujuan untuk melindungi keseimbangan kepentingan antar negara-negara anggota PBB dalam hubungan perdagangan internasional. Pada saat itu GATT berfungsi sebagai alat stabilitasi nasional mengenai tarif bea masuk dan sebagai forum konsultasi perdagangan internasional.40

Dalam perkembangannya, negara anggota GATT mengadakan perundingan Putaran Uruguay di jenewa dengan menerima kesepakatan naskah Final Act Uruguay Round pada tanggal 15 Desember 1993, sebagai hasil konkret perundingan putaran uruguay yang dimulai pada tahun 1986 dengan Deklarasi Punta Del Este.

Final Act Uruguay Round secara resmi ditandatangani di Marakesh, Maroko oleh 125 negara, termasuk di dalamnya Indonesia. Perundingan tersebut menghasilkan perjanjian untuk membentuk World Trade Organization, yang merupakan lembaga penerus GATT, perjanjian perdagangan barang, perjanjian perdagangan jasa-jasa, serta perjanjian Hak atas Kekayaan Intelektual.

Dengan adanya substansi perjanjian TRIPs dalam GATT maka Indonesia harus konsekuen terhadap hasil perjanjian perdagangan internasional GATT dengan melakukan berbagai kebijakan hukum di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual.

Selain itu, penerapan perlindungan terhadap pemilik Hak atas Kekayaan Intelektual harus benar-benar memberikan jaminan atas tindakan pembajakan, pencurian, pembocoran, pengungkapan, dan tindakan curang lainnya.

Intellectual Capital dapat bergerak dan bersirkulasi dengan tingkat kekerapan sangat tinggi dalam arus perputaran modal dunia, khususnya di negara-negara maju. Ketika kemajuan teknologi begitu pesat dan pasar terus bertransformasi dalam tataran global dalam

39 Bussines News.Edisi Juni 2000. World Trade Organization. Hlm.7 40 Sudargo Gautama. 1994. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional

TRIPs, GATT, Putaran Uruguay. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hlm.20

bentuk transnational, diperlukan perangkat hukum untuk meningkatkan dan melindungi kepentingan investasi industri, budaya, dan pasar.

Tahun 1980-an negara-negara yang tergabung dalam GATT/WTO bersepakat tentang aturan main IPR atau HAKI. Lebih-lebih dalam tahun 2002, Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya yang menjadi anggota AFTA, dituntut untuk mempersiapkan perangkat-perangkat aturannya, antara lain tentang masalah peraturan HAKI dan implementasinya.

E. Pengaturan HAKI dalam TRIPs Lahirnya persetujuan TRIPs dalam Putaran Uruguay (GATT)

pada dasarnya merupakan dampak dari kondisi perdagangan dan ekonomi internasional yang dirasa semakin meluas, yang tidak lagi mengenal batas-batas negara.

Negara yang pertama kali mengemukakan lahirnya TRIPs adalah Amerika, sebagai antisipasi yang menilai bahwa WIPO (World Intellectual Property Organization) yang bernaung di bawah PBB, tidak mampu melindungi HAKI mereka di pasar internasional, yang mengakibatkan neraca perdagangan mereka menjadi negatif.

Argumentasi Amerika mengenai kelemahan WIPO adalah sebagai berikut :

1. WIPO merupakan suatu organisasi yang anggotanya terbatas (tidak banyak), sehingga ketentuan- ketentuannya tidak dapat diberlakukan terhadap non anggota;

2. WIPO tidak memiliki mekanisme untuk menyelesaikan dan menghukum setiap pelanggaran HAKI. Di samping itu, WIPO dianggap juga tidak mampu mengadaptasi perubahan struktur perdagangan internasionala dan perubahan tingkat invasi teknologi. Sejak tahun 1982 , Amerika berusaha memasukkan permasalahan HAKI ke forum perdagangan GATT. Pemasukan HAKI ini pada mulanya ditentang oleh negara-negara berkembang dengan alasan bahwa pembicaraan HAKI dalam GATT tidaklah tepat (kompeten). GATT merupakan forum perdagangan multilateral, sedangkan HAKI tidak ada kaitannya


dengan perdagangan. Namun, akhirnya mereka bisa menerimanya setelah dengan argumenyasi bahwa kemajuan perdagangan internasional suatu negara bergantung pada kemajuan atau keunggulan teknologi, termasuk perlindungan HAKI- nya.

Dengan masuknya HAKI, GATT yang semula hanya mengatur 12 permasalahan, kini telah ada 15 permasalahan, 3 diantaranya merupakan kelompok New Issues, yaitu TRIPs (Masalah HAKI), TRIMs (masalah investasi), dan Trade is Service (Masalah perdagangan yang berkaitan dengan sektor jasa).

Tujuan dari TRIPs ini sendiri adalah untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, penyebaran teknologi, serta diperolehnya manfaat bersama antara pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban (Pasal 7 TRIPs).

Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan hambatan dalam perdagangan internasional, dengan mengingat kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap hak milik intelektual, serta untuk menjamin agar tindakan dan prosedur untuk menegakkan hak milik intelektual tidak kemudian menjadi penghalang bagi perdagangan yang sah.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai kepentingan spesifik untuk berperan serta secara aktif dalam perundingan Putaran Uruguay, untuk mengakomodasi TRIPs dalam perangkat hukum nasional di bidang HAKI. Kepentingan spesifik tersebut adalah :

1. Pembangunan nasional secara menyeluruh merupakan tujuan utama Pemerintah Indonesia.

2. Di bidang ekonomi, tujuan pembangunan hanya dapat tercapai bila Indonesia dapat mencapai dan mempertahankan laju pertumbuhan yang cukup tinggi dengan tingkat inflasi yang terkendali.

3. Dalam upaya untuk mencapai laju pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, sektor luar negeri telah memegang peranan


dengan perdagangan. Namun, akhirnya mereka bisa menerimanya setelah dengan argumenyasi bahwa kemajuan perdagangan internasional suatu negara bergantung pada kemajuan atau keunggulan teknologi, termasuk perlindungan HAKI- nya.

Dengan masuknya HAKI, GATT yang semula hanya mengatur 12 permasalahan, kini telah ada 15 permasalahan, 3 diantaranya merupakan kelompok New Issues, yaitu TRIPs (Masalah HAKI), TRIMs (masalah investasi), dan Trade is Service (Masalah perdagangan yang berkaitan dengan sektor jasa).

Tujuan dari TRIPs ini sendiri adalah untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, penyebaran teknologi, serta diperolehnya manfaat bersama antara pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban (Pasal 7 TRIPs).

Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan hambatan dalam perdagangan internasional, dengan mengingat kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap hak milik intelektual, serta untuk menjamin agar tindakan dan prosedur untuk menegakkan hak milik intelektual tidak kemudian menjadi penghalang bagi perdagangan yang sah.

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang mempunyai kepentingan spesifik untuk berperan serta secara aktif dalam perundingan Putaran Uruguay, untuk mengakomodasi TRIPs dalam perangkat hukum nasional di bidang HAKI. Kepentingan spesifik tersebut adalah :

1. Pembangunan nasional secara menyeluruh merupakan tujuan utama Pemerintah Indonesia.

2. Di bidang ekonomi, tujuan pembangunan hanya dapat tercapai bila Indonesia dapat mencapai dan mempertahankan laju pertumbuhan yang cukup tinggi dengan tingkat inflasi yang terkendali.

3. Dalam upaya untuk mencapai laju pertumbuhan yang cukup tinggi tersebut, sektor luar negeri telah memegang peranan

penting. Hal ini akan tetap berlaku pada tahun- tahun mendatang karena pasar dalam negeri dengan tingkat pendapatan nasional perkapita yang relatif masih terlalu rendah, tidak dapat menjadi motor pendorong laju pertumbuhan nasional yang cukup tinggi.

4. Berbeda pada tahun 1970-an, ketika penghasilan dari sektor migas menjadi andalan dari program pembangunan, sejak tahun 1980-an Indonesia memusatkan perhatian terutama pada sektor nonmigas.

5. Agar sektor nonmigas dapat terus berkembang dengan pesat maka pemerintah telah mengambil serangkaian langkah deregulasi dan debirokrasi untuk meningkatkan efisiensi dalam bidang perekonomian. Program tersebut akan terus dilakukan karena kepentingan nasional menunjukkan bahwa langkah-langkah tersebut merupakan suatu hal yang strategis dan sangat tepat untuk mencapai tujuan pembangunan jangka panjang yang telah ditentukan oleh pihak Indonesia sendiri.

6. Di luar negeri, upaya pengamanan ekspor non migas tergantung pada keterbukaan pasar. Untuk mencapai tujuan tersebut, Indonesia bersama negara anggota lainnya berupaya untuk menjaga agar keterbukaan sistem perdagangan internasional yang hingga sekarang masih dapat dipertahankan melalui GATT dapat terjamin. Bertolak dari kepentingan diatas, Indonesia sesuai dengan

tingkat kemampuan di bidang HAKI berupaya membuat standar pengaturan dalam pelaksanaan atau penegakan hukum di bidang HAKI agar mampu mengakomodasi isu TRIPs, melalui tindakan berikut :

1. Penyesuaian Perangkat Hukum Nasional di Bidang HAKI

2. Tindak Lanjut ketentuan TRIPs dalam peraturan perundang-undangan Nasional di Bidang HAKI

3. Konsekuensi Persetujuan TRIPs bagi Indonesia


F. Bentuk Perlindungan HAKI Hak kekayaan intelektual adalah hak yang berkenaan dengan

kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Kemampuan tersebut dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Secara umum HKI terdiri dari dua hal, yaitu hak kekayaan industri dan hak cipta. Hak kekayaan industri terdiir dari paten/paten sederhana, rahasia dagang, merek, desain industri, indikasi geografis dan kompetisi terselubung.

Bentuk-bentuk perlindungan HKI dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Bentuk-Bentuk Perlindungan HAKI

Jenis Perlindungan

Penjelasan

Paten Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakannya. Paten Sederhana Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada

inventor atas hasil invensinya berupa produkatau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, kontruksi atau komponennya.

Rahasia Dagang Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik Rahasia Dagang.

Perlindungan Varietas Tanaman

Perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemula tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman

Desain Industri Kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna yang berbentuk tiga dimensi yang mengandung nilai estetika dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai


F. Bentuk Perlindungan HAKI Hak kekayaan intelektual adalah hak yang berkenaan dengan

kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Kemampuan tersebut dapat berupa karya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Secara umum HKI terdiri dari dua hal, yaitu hak kekayaan industri dan hak cipta. Hak kekayaan industri terdiir dari paten/paten sederhana, rahasia dagang, merek, desain industri, indikasi geografis dan kompetisi terselubung.

Bentuk-bentuk perlindungan HKI dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 1. Bentuk-Bentuk Perlindungan HAKI

Jenis Perlindungan

Penjelasan

Paten Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi, yang selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain

untuk melaksanakannya. Paten Sederhana Hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada

inventor atas hasil invensinya berupa produkatau alat yang baru dan mempunyai nilai kegunaan praktis disebabkan oleh bentuk, konfigurasi, kontruksi atau komponennya.

Rahasia Dagang Informasi yang tidak diketahui oleh umum di bidang teknologi dan/atau bisnis, mempunyai nilai ekonomi karena berguna dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiannya oleh pemilik Rahasia Dagang.


Perlindungan khusus yang diberikan negara terhadap varietas tanaman yang dihasilkan oleh pemula tanaman melalui kegiatan pemuliaan tanaman

Desain Industri Kreasi tentang bentuk, konfigurasi atau komposisi garis atau warna atau garis dan warna yang berbentuk tiga dimensi yang mengandung nilai estetika dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai

untuk menghasilkan suatu produk barang atau komoditi industri secara berulang-ulang dan masal dalam bentuk tiga dimensi.

Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Sirkuit Terpadu adalah produk dalam bentuk jadi atau setengah jadi, yang didalamnya terdapat komponen dan sekurang-kurangnya satu dari komponen tersebut adalah komponen aktif, yang sebagian atau seluruhnya saling berkaitan serta dibentuk secara terpadu didalam bahan semikonduktor yang dimaksudkan untuk menghasilkan fungsi elektronik.

Desain Tata Letak adalah karya intelektual berupa rancangan peletakan tiga dimensi dari berbagai komponen, sekurang-kurangnya satu dari komponen tersebut adalah komponen aktif, yang sebagian atau semua interkoneksi dalam sirkuit terpadu dan peletakan tiga dimensi tersebut dimaksudkan untuk persiapan pembuatan sirkuit terpadu.

Merek Tanda yang berupa gambar, nama, kata, huruf- huruf, angka-angka, susunan warna, atau kombinasi unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Indikasi Geografis dan Indikasi Asal

Tanda atau ekspresi yang menunjukkan daerah asal suatu barang yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau faktor kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan (tercakup dalam Undang-Undang Merek)

Kompetisi Terselubung

Setiap tindakan yang bertentangan dengan praktek-praktek dagang yang jujur (honest trade practices)

Hak Cipta Hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak Untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku


Di dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, lembaga yang diberi kewenangan untuk itu, atau kelompok konsumen barang tersebut.

Tercakup sebagai barang yang memiliki indikasi geografis adalah hasil alam atau kekayaan alam, hasil pertanian dan kerajinan tangan atau hasil industri. Sedangkan, indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang memenuhi ketentuan sebagai indikasi geografis, tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.

Hal-hal yang berkaitan dengan indikasi geografis dan indikasi asal adalah sangat penting untuk dicermati terutama bagi daerah-daerah yang memiliki potensi produk khas daerah. Sebagai contoh beras cianjur dan ubu cilembu yang sudah terkenal. Beras cianjur dan ubi cilembu memiliki rasa dan aroma yang khas, berbeda dengan beras dan ubi dari daerah lain.

Rasa dan aroma tersebut disebabkan oleh faktor kondisi geografis dan sumber daya manusia dari daerah Cianjur dan Cilembu. Bila beras dan ubi tersebut ditanam di daerah lain, maka rasa dan aromanya akan berubah, tidak seenak dan seharum kalau ditanam di daerah asal. Karena itulah, beras cianjur dan ubi cilembu memenuhi persyaratan untuk didaftarkan mereknya sebagai indikasi geografis.

Pendaftaran dapat dilakukan secara kolektif, misalnya oleh Pemda setempat atau asosiasi petani setempat sehingga mereknya menjadi merek kolektif. Selama ini terdapat salah persepsi tentang sistem perlindungan untuk ubi cilembu yang sering dibahas di media massa.

Ada hal yang perlu diluruskan bahwa ubi cilembu tidak dapat dipatenkan karena beberapa hal, yaitu :


Di dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis, indikasi geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis mendapat perlindungan setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang yang bersangkutan, lembaga yang diberi kewenangan untuk itu, atau kelompok konsumen barang tersebut.

Tercakup sebagai barang yang memiliki indikasi geografis adalah hasil alam atau kekayaan alam, hasil pertanian dan kerajinan tangan atau hasil industri. Sedangkan, indikasi asal dilindungi sebagai suatu tanda yang memenuhi ketentuan sebagai indikasi geografis, tetapi tidak didaftarkan atau semata-mata menunjukkan asal suatu barang atau jasa.

Hal-hal yang berkaitan dengan indikasi geografis dan indikasi asal adalah sangat penting untuk dicermati terutama bagi daerah-daerah yang memiliki potensi produk khas daerah. Sebagai contoh beras cianjur dan ubu cilembu yang sudah terkenal. Beras cianjur dan ubi cilembu memiliki rasa dan aroma yang khas, berbeda dengan beras dan ubi dari daerah lain.

Rasa dan aroma tersebut disebabkan oleh faktor kondisi geografis dan sumber daya manusia dari daerah Cianjur dan Cilembu. Bila beras dan ubi tersebut ditanam di daerah lain, maka rasa dan aromanya akan berubah, tidak seenak dan seharum kalau ditanam di daerah asal. Karena itulah, beras cianjur dan ubi cilembu memenuhi persyaratan untuk didaftarkan mereknya sebagai indikasi geografis.

Pendaftaran dapat dilakukan secara kolektif, misalnya oleh Pemda setempat atau asosiasi petani setempat sehingga mereknya menjadi merek kolektif. Selama ini terdapat salah persepsi tentang sistem perlindungan untuk ubi cilembu yang sering dibahas di media massa.

Ada hal yang perlu diluruskan bahwa ubi cilembu tidak dapat dipatenkan karena beberapa hal, yaitu :

1. Varietas tanaman di Indonesia dilindungi bukan denganUU Paten melainkan dengan UU PVT

2. Ubi Cilembu sudah bukan sesuatu hal yang baru sehingga tidak dapat memenuhi persyaratan kebaruan untuk dipatenkan maupun didaftarkan melalui PVT.

3. Ubi Cilembu merupakan produk yang menunjukkan indikasi geografis sehingga lebih cocok dilindungi dengan Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis.

Meskipun begitu, ubi Cilembu sebagai suatu aset kekayaan intelektual dapat terus dikembangkan untuk menghasilkan invensi-invensi baru yang dapat bermuara ke rezim perlindungan paten atau rahasia dagang atau rezim perlindungan PVT misalnya dihasilkan kultivar baru dari ubi cilembu.

Subjek cakupan dan bidang utama bentuk perlindungan HAKI akan dijelaskan pada tabel dibawah ini : Tabel 2. Subyek Cakupan dan Bidang Utama Bentuk Perlindungan HKI Jenis HKI Subyek Cakupan Bidang Utama Paten Invensi di bidang

teknologi yang memenuhi syarat kebaruan, langkah inventif dan dapat diterapkan dalam industri

a. Kimia

b. Pangan

c. Obat

d. Plastik

e. Mesin

f. Turbin

g. Elektronika

h. Peralatan indsutri dan ilmiah

Paten Sederhana

Peralatan Industri mekanik

Rahasia Dagang Informasi teknologi/bisnis rahasia

Seluruh industri


Varietas tanaman yang memenuhi syarat baru, unik, seragam, stabil (BUSS) dan diberi nama

a. Industri pertanian

b. Makanan


Desain Industri Desain ornamental (hiasan) a. Garmen

b. Mobil

c. Elektronika Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Desain tata letak asli Industri mikro elektronika

Merek Tanda atau simbol untuk identifikasi produk dan jasa

Seluruh Industri


Barang dan jasa yang berasal dari daerah tertentu

a. Produk makanan (contoh : beras cianjur, ubi cilembu, brem bali) Produk minuman

Hak Cipta Hasil karya asli di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra

a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua karya tulis lainnya.

b. Ceramah kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sesuai dengan itu

c. Alat peraga untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks

e. Drama,drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantonim

f. Seni rupa dalam


Desain Industri Desain ornamental (hiasan) a. Garmen

b. Mobil

c. Elektronika Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Desain tata letak asli Industri mikro elektronika

Merek Tanda atau simbol untuk identifikasi produk dan jasa

Seluruh Industri


Barang dan jasa yang berasal dari daerah tertentu

a. Produk makanan (contoh : beras cianjur, ubi cilembu, brem bali) Produk minuman

Hak Cipta Hasil karya asli di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra

a. Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (layout) karya tulis yang diterbitkan, dan semua karya tulis lainnya.

b. Ceramah kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sesuai dengan itu

c. Alat peraga untuk pendidikan dan ilmu pengetahuan

d. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks

e. Drama,drama musikal, tari, koreografi, pewayangan dan pantonim

f. Seni rupa dalam

segala bentuk seperti lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase dan seni terapan

g. Arsitektur

h. Peta

i. Seni batik

j. Sinematografi

k. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihan wujudan


III BATAS-BATAS HAK EKSKLUSIF

INDIKASI GEOGRAFIS

A. Batas-Batas Hak Eksklusif Indikasi Geografis Indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal

suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis secara internasional disepakati dalam agreement on trade related aspect of intellectual property rights (TRIPs). Pasal 22 TRIPs, menyebutkan bahwa geographical indications are, ... , indication which identify a good as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is e faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu dan tempat atau daerah itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Seperti misalnya merek kopi “toraja” yang menunjukkan kualitas dan karakteristik daerah tanah toraja sebagai penghasil kopi yang harmonis rasa asam dan pahitnya.

Namun begitu, karakteristik suatu produk Indikasi Geografis tidak melulu dipengaruhi faktor alam. Faktor campur manusia pun bisa menentukan kekhasan suatu produk. Misalnya kerajinan batik jawa.

Seperti halnya pemegang hak atas merek, pemegang hak atas indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk menggunakan


III BATAS-BATAS HAK EKSKLUSIF

INDIKASI GEOGRAFIS

A. Batas-Batas Hak Eksklusif Indikasi Geografis Indikasi geografis, yaitu tanda yang menunjukkan daerah asal

suatu barang karena faktor lingkungan geografis, termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Indikasi geografis secara internasional disepakati dalam agreement on trade related aspect of intellectual property rights (TRIPs). Pasal 22 TRIPs, menyebutkan bahwa geographical indications are, ... , indication which identify a good as originating in the territory of a member, or a region or locality in that territory, where a given quality, reputation or other characteristic of the good is e faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Tanda yang dilindungi sebagai indikasi geografis adalah suatu identitas yang menunjukkan suatu barang berasal dari tempat atau daerah tertentu dan tempat atau daerah itu menunjukkan kualitas dan karakteristik suatu produk. Seperti misalnya merek kopi “toraja” yang menunjukkan kualitas dan karakteristik daerah tanah toraja sebagai penghasil kopi yang harmonis rasa asam dan pahitnya.

Namun begitu, karakteristik suatu produk Indikasi Geografis tidak melulu dipengaruhi faktor alam. Faktor campur manusia pun bisa menentukan kekhasan suatu produk. Misalnya kerajinan batik jawa.

Seperti halnya pemegang hak atas merek, pemegang hak atas indikasi geografis dapat melarang pihak lain untuk menggunakan

indikasi geografis yang sama. Pelanggaran terhadap aturan ini menyebabkan pemegang Hak Indikasi Geografis dapat menuntut ganti rugi kepada pihak lain.

Berbeda dengan Hak Merek yang dapat dimiliki secara perorangan, kepemilikan Indikasi Geografis tidak bersifat individualistik semata. Indikasi Geografis lebih komunalistik, dimiliki secara bersama oleh masyarakat daerah tertentu. Namun untuk proses pendaftarannya, ssentially attributable to its geographical origin.

Pengikut TRIPs, indonesia merunutkan lagi aturan internasional ini ke dalam undang-undang nasional nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek. Pasal 56 dijelaskan tentang Indikasi Geografis, bahwa Indikasi Geografis dilindungi sebagai suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk diwakili oleh lembaga yang diberikan kewenangan untuk itu. Pendaftaran tersebut diajukan kepada Direktorat Jenderal Hak atas Kekayaan Intelektual Departemen Kehakiman dan HAM.

Sebagai peserta TRIPs dan aktif dalam pergaulan dagang internasional, Indonesia mau tidak mau perlu menyesuaikan diri dengan konsep Indikasi Geografis ini. Meski pengaturan soal Indikasi Geografis sudah tersimpul dalam Undang-Undang Merek, namun dalam pelaksanaannya masih terdapat kendala-kendala.

Menurut Emawati Junus, kendala-kendala yang dihadapi Indonesia saat ini, seperti misalnya belum adanya produser atau asosiasi semacam ini yang diharapkan dapat mengidentifikasi potensi Indikasi Geografis suatu daerah kemudian mewakili daerah itu untuk mendaftarkan Indikasi Geografisnya ke Direktorat Jenderal HAKI. Hal itu dikemukakannya dalam seminar Geographical Indications : A Land of Opportunities yang berlangsung 6-7 Desember di Sahid Jaya Hotel, hasil kerja sama antara Direktorat Jenderal HAKI dengan EC-ASEAN Cooperation on Intellectual Property Rights (ECAP) II.

Emawati Junus juga membeberkan beberapa kendala lain. Menurutnya, banyak produk indikasi geografis di daerah yang belum memberi manfaat optimal kepada petani. Ketiadaan manfaat optimal


ini membuat petani enggan memikirkan soal- soal Indikasi Geografis yang rumit. Hal ini didukung oleh kondisi masyarakat yang belum paham tentang pentingnya perlindungan indikasi geografis.

Kendala-kendala tersebut kemudian berujung pada didaftarkannya indikasi toraja oleh perusahaan Key Coffe Inc., perusahaan dari Jepang. Key Coffe mendaftarkan indikasi ini dengan merek Toarco Toraja lengkap dengan rumah adat masyarakat Tana Toraja sebagai latar merek.

Kopi Toraja sebenarnya hanya salah satu contoh digondolnya kekayaan nasional kita oleh luar negeri. Kalau mau berhitung lebih cermat, potensi tersebut mungkin ada segunung jumlahnya. Misalnya saja beras ciajur, ubi cilembum kopi mandailing, tembakau deli, buah merah dari Papua atau kopi kintamani dari Bali.

Dalam rangka bergaul dengan dunia dagang internasional, kondisi ini bisalah disebut sebagai ketertinggalan. Ketertinggalan yang perlu dibereskan. Tantono Subagyo dari Intellectual Property Society dalam seminar yang sama menyebut hal ini sebagai challenges. Tantangan itu misalnya soal peraturan hukumnya, penyadaran Indikasi Geografis kepada pemerintah daerah, dan produser asosiasi serta mengidentifikasi produk-produk Indikasi Geografis. Tantono juga melihat bahwa membuat dan menjaga standar Indikasi Geografis suatu derah juga sebagai bentuk tantangan itu.

Dari segi peraturan hukum, khususnya Hak atas Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis belum mendapat perhatian sebesar Paten, Hak Cipta atau Desain Industri. Ketentuan Indikasi Geografis masih nebeng dalam Undang-Undang Merek yang hanya terdiri dari beberapa pasal. Draf Peraturan Pemerintah tentang tata cara pendaftaran Indikasi Geografis belum juga disahkan.

Belajar dari kisah-kisah melindungi Indikasi Geografis, dalam seminar itu Perancis, Portugal dan Thailand membagi- bagi pengalamannya mengelola Indikasi Geografisnya masing-masing.

Perancis adalah satu-satunya produsen Champagne di dunia. Champagne sendiri sebenarnya adalah nama wilayah di Perancis sebelah Timur Laut. Pemerintah Perancis mengembangkan daerah ini sebagai lahan anggur dan pengolahan Champagne yang


ini membuat petani enggan memikirkan soal- soal Indikasi Geografis yang rumit. Hal ini didukung oleh kondisi masyarakat yang belum paham tentang pentingnya perlindungan indikasi geografis.

Kendala-kendala tersebut kemudian berujung pada didaftarkannya indikasi toraja oleh perusahaan Key Coffe Inc., perusahaan dari Jepang. Key Coffe mendaftarkan indikasi ini dengan merek Toarco Toraja lengkap dengan rumah adat masyarakat Tana Toraja sebagai latar merek.

Kopi Toraja sebenarnya hanya salah satu contoh digondolnya kekayaan nasional kita oleh luar negeri. Kalau mau berhitung lebih cermat, potensi tersebut mungkin ada segunung jumlahnya. Misalnya saja beras ciajur, ubi cilembum kopi mandailing, tembakau deli, buah merah dari Papua atau kopi kintamani dari Bali.

Dalam rangka bergaul dengan dunia dagang internasional, kondisi ini bisalah disebut sebagai ketertinggalan. Ketertinggalan yang perlu dibereskan. Tantono Subagyo dari Intellectual Property Society dalam seminar yang sama menyebut hal ini sebagai challenges. Tantangan itu misalnya soal peraturan hukumnya, penyadaran Indikasi Geografis kepada pemerintah daerah, dan produser asosiasi serta mengidentifikasi produk-produk Indikasi Geografis. Tantono juga melihat bahwa membuat dan menjaga standar Indikasi Geografis suatu derah juga sebagai bentuk tantangan itu.

Dari segi peraturan hukum, khususnya Hak atas Kekayaan Intelektual, Indikasi Geografis belum mendapat perhatian sebesar Paten, Hak Cipta atau Desain Industri. Ketentuan Indikasi Geografis masih nebeng dalam Undang-Undang Merek yang hanya terdiri dari beberapa pasal. Draf Peraturan Pemerintah tentang tata cara pendaftaran Indikasi Geografis belum juga disahkan.

Belajar dari kisah-kisah melindungi Indikasi Geografis, dalam seminar itu Perancis, Portugal dan Thailand membagi- bagi pengalamannya mengelola Indikasi Geografisnya masing-masing.

Perancis adalah satu-satunya produsen Champagne di dunia. Champagne sendiri sebenarnya adalah nama wilayah di Perancis sebelah Timur Laut. Pemerintah Perancis mengembangkan daerah ini sebagai lahan anggur dan pengolahan Champagne yang

terkenalnya sekeliing dunia. Valerie Keller, perwakilan dari INAO (Institut National des Appellations d’Origine) Perancis, membeberkan bagaiman pengelolaan anggur di Perancis sebagai Geograpghical Indications. INAO adalah agen publik di Perancis di bawah supervisi Menteri Pertanian. Tugas badan ini untuk mendefinisikan area geografis dari suatu produk Indikasi Geografis, spesifikasi produk, membuat sistem kontrol, dan berkontribusi terhadap perlindungan Indikasi Geografis.

Setiap pemohon Indikasi Geografis, yang merupakan perkumpulan dari para produser, bersama INAO membuat working session. Kemudian mendatangi pemerintah untuk mendaftarkannya di Komisi Eropa. Hal menarik dari sistem ini adalah adanya komite nasional dalam INAO sebagai badan pembuat keputusan. Badan ini terdiri dari perwakilan produser-produser Indikasi Geografis, qualified personalities, dan perwakilan administrasi. Sehingga indikasi geografis bisa dinilai secara objektif berdasarkan standar-standar yang ditentukan.

Pengelolaan Indikasi Geografis di Thailand mirip dengan Indonesia, langsung di bawah Departemen Pemerintahan. Bedanya, di Indonesia pendaftaran Indikasi Geografis diajukan ke Departemen Kehakiman, sedang Thailand langsung ke Departemen Kekayaan Intelektual. Ini bisa jadi indikasi, bahwa isu Hak atas Kekayaan Intelektual bagi Indonesia barulah sebatas isu hukum, belum intensif menjaring disiplin lain yang memerlukan fokus tersendiri.

Dalam seminar, Indikasi Geografis di Sahid Jaya Hotel, Pajchima Tanasanti, Direktur kantor merek Departemen HAKI Thailand, memperkenalkan Jasmine Rice, telur asin Chaiya dan Praewa Thai Silk sebagai produk-produk Indikasi Geografis Thailand. Dalam presentasinya Mrs. Pajchima mengemukakan, di Thailand barang-barang yang tergolong Indikasi Geografis digolongkan dalam tiga kategori, yaitu produk pertanian, kerajinan tangan dan produk industri.

Produk-produk tersebut hanya dapat didaftarkan oleh agen pemerintahan yang memiliki tanggung jawab di wilayah asal produk. Produser atau pedagang yang berdomisili di wilayah asal produk juga dapat mendaftarkannya, termasuk konsumen pengguna Indikasi Geografis.


B. Perlindungan Produk Unggulan Daerah Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Otonomi Daerah membuat setiap daerah harus meningkatkan pendapatan daerah baik dari sektor pajak maupun non pajak.

Untuk tujuan itu, setiap daerah perlu untuk segera mengembangkan produk-produk unggulan dan menggali semua potensi daerah yang ada seoptimal mungkin.

Hal ini pun bila tidak dilakukan dengan benar akan sulit tercapai mengingat kegiatan ekspor ke mancanegara di mana daerah akan dituntut untuk memenuhi isu-isu global yang ada saat ini, salah satunya adalah Hak Kekayaan Intelektual.

Salah satu isu global tentang HKI adalah kaitannya dengan pengembangan dan perlindungan atas produk-produk unggulan daerah dalam kerangka untuk meningkatkan PAD melalui pengelolaan HKI yang baik. 1. Daerah Sebagai Sumber Kekayaan Intelektual

Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara administratif terdiri dari 17.504 Pulau, 34 Propinsi dengan populasi hampri 270.054.853 (dua ratus tujuh puluh juta lima puluh empat ribu delapan ratus lima puluh tiga) jiwa.

Indonesia merupakan negara terkaya akan keanekaragaman hayati baik yang berada di daratan maupun lautan. Dengan demikian, masing-masing daerah mempunyai modal kekuatan yang berbeda-beda ditinjau dari segi kekayaan sumber daya alam (SDA) , sumber daya manusia (SDM) maupun industri yang memanfaatkannya.

Modal kekuatan yang bervariasi tersebut menyebabkan setiap daerah mempunyai sektor andalan masing-masing dalam menghasilkan produk unggulan. Secara garis besar sektor- sektor andalan meliputi :

a) Pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan)

b) Pertambangan dan penggalian;

c) Industri pengolahan


B. Perlindungan Produk Unggulan Daerah Penerapan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Otonomi Daerah membuat setiap daerah harus meningkatkan pendapatan daerah baik dari sektor pajak maupun non pajak.

Untuk tujuan itu, setiap daerah perlu untuk segera mengembangkan produk-produk unggulan dan menggali semua potensi daerah yang ada seoptimal mungkin.

Hal ini pun bila tidak dilakukan dengan benar akan sulit tercapai mengingat kegiatan ekspor ke mancanegara di mana daerah akan dituntut untuk memenuhi isu-isu global yang ada saat ini, salah satunya adalah Hak Kekayaan Intelektual.

Salah satu isu global tentang HKI adalah kaitannya dengan pengembangan dan perlindungan atas produk-produk unggulan daerah dalam kerangka untuk meningkatkan PAD melalui pengelolaan HKI yang baik. 1. Daerah Sebagai Sumber Kekayaan Intelektual

Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara administratif terdiri dari 17.504 Pulau, 34 Propinsi dengan populasi hampri 270.054.853 (dua ratus tujuh puluh juta lima puluh empat ribu delapan ratus lima puluh tiga) jiwa.

Indonesia merupakan negara terkaya akan keanekaragaman hayati baik yang berada di daratan maupun lautan. Dengan demikian, masing-masing daerah mempunyai modal kekuatan yang berbeda-beda ditinjau dari segi kekayaan sumber daya alam (SDA) , sumber daya manusia (SDM) maupun industri yang memanfaatkannya.

Modal kekuatan yang bervariasi tersebut menyebabkan setiap daerah mempunyai sektor andalan masing-masing dalam menghasilkan produk unggulan. Secara garis besar sektor- sektor andalan meliputi :

a) Pertanian (tanaman pangan, perkebunan, peternakan, kehutanan, perikanan)

b) Pertambangan dan penggalian;

c) Industri pengolahan

Selain itu, berdasarkan kombinasi kekayaan SDA dan SDM-nya, masing-masing daerah mempunyai kekayaan intelektual yang disebut pengetahuan tradisional yang merupakan pengetahuan milik komunitas lokal masing-maisng daerah yang sangat bermanfaat bagi masyarakat tersebut baik secara ekonomi, kesehatan maupun kultural.

Pengetahuan tradisional merupakan sumber inspirasi penting dalam pengembangan inovasi modern, karena itu keberadaannya perlu mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara layak dalam tatanan hukum baik secara lokalm regional maupun internasional.

Pengembangan inovasi baru berdasarkan pengetahuan tradisional merupakan hak yang sangat penting dilakukan oleh komunitas lokal pemiliknya sendiri nilai tambah yang diperoleh sepenuhnya dapat dinikmati oleh mereka.

Strategi yang dapat ditempuh untuk melindungi kekayaan intelektual milik daerah adalah sebagai berikut :

a) Mendaftarkan setiap inovasi milik daerah ke kantor HKI Pendaftaran setiap inoveasi mempunyai tujuan :

1) Memenuhi tuntutan globalisasi, terutama untuk produk-produk yang berorientasi ekspor

2) Memberikan kepastian hukum kepada calon investor

3) Memotivasi individu/kelompok untuk menghasilkan inovasi baru

4) Membantu pemerintah pusat dalam meningkatkan jumlah pasien

Dalam mengimplementasikan strategi tersebut di atas, beberapa kendala mungkin akan dihadapi oleh daerah, terutama yang berkaitan dengan :

1) Biaya yang relatif mahal (pendaftaran DN dan LN, pemeliharaan, konsultasn HKI) Kebutuhan SDM handal dalam memahami HKI

2) Tempat pendaftaran yang jauh


Kendala-kendala di atas perlu mendapatkan solusinya secara tepat, misalnya dengan melakukan pendaftaran secara selektif (hanya mendaftarkan invensi-invensi yang benar-benar prospektif), membangun komitmen dari semua pemangku kepentingan (stakeholders), pemberdayaan Sentra HKI/Klinik HKI/UPKI dalam manajemen HKI, dan melakukan pendaftaran di daerah melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.

b) Mendokumentasikan setiap pengetahuan tradisional yang dimiliki daerah, dengan tujuan :

1) Mengklaim jenis-jenis pengetahuan tradisional milik daerah;

2) Menangkal pendaftaran pengetahuan tradisional oleh pihak asing;

3) Menyebarkan kemanfaatan pengetahuan tradisional kepada masyarakat luas.

Dalam mengimplementasikan strategi tersebut di atas, beberapa kendala mungkin juga akan dihadapi oleh daerah, terutama yang berkaitan dengan :

1) Siapa yang bertanggungjawab

2) Siapa yang akan membiayai

3) Akses database oleh Kantor HKI

4) Akses data milik Kantor HKI oleh masyarakat di daerah

5) Kebutuhan SDM yang handal dalam memahami HKI.

Kendala-kendala seperti di atas perlu mendapatkan solusinya secara tepar dan cepat misalnya dengan membangun komitmen dari semua pemangku kepentingan (stakeholders), melakukan digitalisasi data dan akses lewat internet dan pemberdayaan sentra HKI/Klinik HKI/UPKI dalam manajemen HKI.


Kendala-kendala di atas perlu mendapatkan solusinya secara tepat, misalnya dengan melakukan pendaftaran secara selektif (hanya mendaftarkan invensi-invensi yang benar-benar prospektif), membangun komitmen dari semua pemangku kepentingan (stakeholders), pemberdayaan Sentra HKI/Klinik HKI/UPKI dalam manajemen HKI, dan melakukan pendaftaran di daerah melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM.

b) Mendokumentasikan setiap pengetahuan tradisional yang dimiliki daerah, dengan tujuan :

1) Mengklaim jenis-jenis pengetahuan tradisional milik daerah;

2) Menangkal pendaftaran pengetahuan tradisional oleh pihak asing;

3) Menyebarkan kemanfaatan pengetahuan tradisional kepada masyarakat luas.

Dalam mengimplementasikan strategi tersebut di atas, beberapa kendala mungkin juga akan dihadapi oleh daerah, terutama yang berkaitan dengan :

1) Siapa yang bertanggungjawab

2) Siapa yang akan membiayai

3) Akses database oleh Kantor HKI

4) Akses data milik Kantor HKI oleh masyarakat di daerah

5) Kebutuhan SDM yang handal dalam memahami HKI.

Kendala-kendala seperti di atas perlu mendapatkan solusinya secara tepar dan cepat misalnya dengan membangun komitmen dari semua pemangku kepentingan (stakeholders), melakukan digitalisasi data dan akses lewat internet dan pemberdayaan sentra HKI/Klinik HKI/UPKI dalam manajemen HKI.

2. Pengembangan Potensi Daerah Melalui Pengelolaan Kekayaan Intelektual Pengelolaan kekayaan intelektual yang baik merupakan keharusan dan kunci sukses dalam mengembangkan dan melindungi produk unggulan daerah dengan tujuan akhir meningkatkan PAD. Untuk itu setiap daerah harus segera merealisasikannya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah yang sudah dimulai pelaksanaannya. Konsep yang harus diacu setidaknya memuat langkah-langkah sebagai berikut :

a) Identifikasi seluruh potensi daerah yang ada

b) Menerapkan skala prioritas dalam pengembangan produk unggulan

c) Menyediakan iklim usaha yang kondusif

1) Dukungan kebijakan-kebijakan yang strategis dan realistis

2) Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai

3) Jaminan keamanan dan kepastian hukum

Langkah awal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan konsep tersebut adalah sebagai berikut :

a) Komitmen dukungan dari seluruh unsur stakeholders

b) Pendirian UPKI di setiap daerah atau meminta bantuan sentra HKI/Klinik HKI/UPKI yang telah ada untuk pengelolaannya.


IV PELANGGARAN INDIKASI GEOGRAFIS

A. Pelanggaran dan Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual Setiap hak kekayaan intelektual diatur oleh hukum. Hukum

disini adalah semua ketentuan peraturan perundang-udnangan dan konvensi internasional yang mengatur Hak Kekayaan Intelektual. Untuk Indonesia kini, perundang-undangan mengenai Hak Kekayaan Intelektual sudah cukup baik.

Setiap undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini yang berhubungan dengan kekayaan intelektual mengatur tentang bentuk-bentuk pelanggaran (infringement) yang merugikan pemilik atau pemegang hak dan sanksi hukumnya. Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual antara lain adalah : 1. Pengambilan, pengutipan, perekaman, perbanyakan, dan

pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang Hak Cipta, atau yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan undang-undang atau perjanjian. Penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan Merek Terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain tanpa hak, atau peniruan atau pemalsuan Merek orang lain dan dipakai pada barang atau jasa yang diperdagangkan.

2. Penggunaan Paten orang lain tanpa izin pemilik/pemegang hak, atau melanggar hak pemegang paten. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang aparat


IV PELANGGARAN INDIKASI GEOGRAFIS

A. Pelanggaran dan Penegakan Hukum Kekayaan Intelektual Setiap hak kekayaan intelektual diatur oleh hukum. Hukum

disini adalah semua ketentuan peraturan perundang-udnangan dan konvensi internasional yang mengatur Hak Kekayaan Intelektual. Untuk Indonesia kini, perundang-undangan mengenai Hak Kekayaan Intelektual sudah cukup baik.

Setiap undang-undang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini yang berhubungan dengan kekayaan intelektual mengatur tentang bentuk-bentuk pelanggaran (infringement) yang merugikan pemilik atau pemegang hak dan sanksi hukumnya. Bentuk-bentuk pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual antara lain adalah : 1. Pengambilan, pengutipan, perekaman, perbanyakan, dan

pengumuman sebagian atau seluruh ciptaan orang lain dengan cara apapun tanpa izin pencipta/pemegang Hak Cipta, atau yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan undang-undang atau perjanjian. Penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya atau pada pokoknya dengan Merek Terdaftar milik orang lain atau badan hukum lain tanpa hak, atau peniruan atau pemalsuan Merek orang lain dan dipakai pada barang atau jasa yang diperdagangkan.

2. Penggunaan Paten orang lain tanpa izin pemilik/pemegang hak, atau melanggar hak pemegang paten. Undang-undang tersebut juga mengatur tentang aparat

penyidik, proses dan koordinasi penyidikan serta penuntutan dalam rangka penegakan hukum (law enforcement) atas pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Penegakan hukum itu meliputi pemulihan hak secara perdata, secara pidana dan secara administratif.

Pargulutan Lubis menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk tidak mematuhi hukum di Bidang Hak Kekayaan Intelektual antara lain adalah sebagai berikut :41 1. Pelanggaran hak kekayaan intelektual umumnya dilakukan

untuk mengambil jalan pintas guna mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pelanggaran tersebut

2. Masyarakat pelanggar menganggap hukum yang dijatuhkan oleh pengadilan selama ini terlalu ringan bahkan tidak ada tingdakan preventif maupun represif yang dilakukan oleh penegak hukum.

3. Ada sebagian masyarakat yang masih bangga apabila hasil karyanya ditiru oleh orang lain, namun kebiasaan tersebut sudah mulai hilang berkat adanya peningkatan kesadaran hukum masyarakat.

4. Dengan melakukan pelanggaran, pajak atas produk hasil pelanggaran tersebut tidak perlu dibayar kepada pemerintah.

5. Masyarakat tidak memperhatikan apakah barang yang dibeli tersebut asli atau palsu, yang penting bagi mereka harganya murah dan terjangkau. Setiap negara mempunyai sistem perlindungan kekayaan intelektual. Sistem tersebut diatur dalam Undang-Undang Nasional yang diadopsi dari konvensi-konvensi internasional yang berkaitan dengan HAKI.

Pada saat ini, persetujuan TRIPs telah mewajibkan negara anggotanya untuk mengambil langkah hukum atau penegakan atas pelanggaran HAKI. Meskipun begitu, sejumlah kerugian sebagai akibat dari masalah pemalsuan dan pembajakan yang dianggap sebagai salah satu jenis pelanggaran HKI telah menunjukkan peningkatan yang sangat berarti di dunia.

41 Abdulkadir Muhammad. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hlm. 219


Setelah berakhirnya perang dunia pertama, obat-obatan tiruan

mulai beredar di Jerman, Inggris dan negara-negara lainnya di Eropa. Banyak pasien yang meninggal disebabkan oleh obat-obatan tersebut. Pelanggaran berat dan menyolok seperti itu memberikan inspirasi terbentuknya koalisi perusahaan obat besar pada tahun 1872.

Koalisi tersebut membentuk asosiasi yang terdiri dari orang-orang Prancis untuk melakukan upaya pencegahan beredarnya barang tiruan yang berbahaya dan tidak sah. Asosiasi ini merupakan cikal bakal (pendahulu) dari Union des Fabrican (UDF) yang ada saat ini. Perusahaan tersebut pertama kali mendapat izin dari pemerintah Prancis tahun1878. Tugasnya adalah menyediakan jasa-jasa pendukung dalam mengatasi masalah pemalsuan obat-obatan.

UDF untuk sementara waktu dijadikan sebagai tempat pendaftaran merek di Prancis sebelum kantor HKI Prancis (INPI) didirikan tahun 1901. Masalah pemalsuan dan pembajakan telah menjadi masalah serius bagi industri dan ekonomi di seluruh dunia sejak tahun 1970-an dan hal ini terus meningkat di tahun-tahun mendatang.

Ada beberapa penyebab mengapa pelanggaran HAKI terhadap bisnis barang-barang tiruan dan barang bajakan meningkat, diantaranya adalah : 1. Keuntungan lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan

jumlah investasi dan biaya yang diperlukan untuk aktivitas pemalsuan. Misalnya para pemalsu tidak harus menanggung besarnya biaya riset, iklan, tuntutan pendaftaran HKI atau untuk mendapatkan lisensi, dan untuk mendapatkan hak cipta. Selain itu pemalsu tidak perlu menanggung biaya pemakaian mesin-mesin yang berkualitas tinggi misalnya untuk memproduksi barang dan tidak perlu membayar pajak dan biaya asuransi.

2. Para pemalsu dapat membayar denda yang dibebankan oleh pengadilan atau pemerintah.

3. Kemajuan teknologi mendorong barang-barang tiruan dan bajakan yang berkualitas tinggi dapat dengan mudah diproduksi oleh para pemalsu.


Setelah berakhirnya perang dunia pertama, obat-obatan tiruan

mulai beredar di Jerman, Inggris dan negara-negara lainnya di Eropa. Banyak pasien yang meninggal disebabkan oleh obat-obatan tersebut. Pelanggaran berat dan menyolok seperti itu memberikan inspirasi terbentuknya koalisi perusahaan obat besar pada tahun 1872.

Koalisi tersebut membentuk asosiasi yang terdiri dari orang-orang Prancis untuk melakukan upaya pencegahan beredarnya barang tiruan yang berbahaya dan tidak sah. Asosiasi ini merupakan cikal bakal (pendahulu) dari Union des Fabrican (UDF) yang ada saat ini. Perusahaan tersebut pertama kali mendapat izin dari pemerintah Prancis tahun1878. Tugasnya adalah menyediakan jasa-jasa pendukung dalam mengatasi masalah pemalsuan obat-obatan.

UDF untuk sementara waktu dijadikan sebagai tempat pendaftaran merek di Prancis sebelum kantor HKI Prancis (INPI) didirikan tahun 1901. Masalah pemalsuan dan pembajakan telah menjadi masalah serius bagi industri dan ekonomi di seluruh dunia sejak tahun 1970-an dan hal ini terus meningkat di tahun-tahun mendatang.

Ada beberapa penyebab mengapa pelanggaran HAKI terhadap bisnis barang-barang tiruan dan barang bajakan meningkat, diantaranya adalah : 1. Keuntungan lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan

jumlah investasi dan biaya yang diperlukan untuk aktivitas pemalsuan. Misalnya para pemalsu tidak harus menanggung besarnya biaya riset, iklan, tuntutan pendaftaran HKI atau untuk mendapatkan lisensi, dan untuk mendapatkan hak cipta. Selain itu pemalsu tidak perlu menanggung biaya pemakaian mesin-mesin yang berkualitas tinggi misalnya untuk memproduksi barang dan tidak perlu membayar pajak dan biaya asuransi.

2. Para pemalsu dapat membayar denda yang dibebankan oleh pengadilan atau pemerintah.

3. Kemajuan teknologi mendorong barang-barang tiruan dan bajakan yang berkualitas tinggi dapat dengan mudah diproduksi oleh para pemalsu.

4. Sindikat atau kelompok kejahatan menjadi pendukung finansial dan distribusi barang-barang tiruan.

5. Kurang memadainya undang-undang HAKI dan kurang efektifnya tindakan penegakan hukum di sebuah negara dimana barang-barang tiruan dan bajakan tersebut beredar.

B. Persaingan Tidak Sehat pada HAKI 1. Konflik Antara HAKI dan Hukum Persaingan

Intellectual property rights memiliki ciri khas, yakni bernilai komersial, merupakan hak pribadi yang dapat dilisensikan dan merupakan hak monopoli guna mencegah orang lain menggunakannya secara tanpa izin. Monopoli yang melekat pada HaKI akan menimbulkan problem tertentu jika batas hak disalahgunakan.

Hukum antimonopli ataupun hukum persaingan pada hakikatnya adalah sejumlah aturan hukum mengenai monopoli perdagangan atau praktik perdagangan yang menghambat atau mencegah terjadinya persaingan pasar. Hukum ini berasumsi bahwa alokasi sumber daya yang paling efisien dan jujur di dalam pasar akan dapat diperoleh hanya melalui persaingan yang nyata.

Segala praktik yang tidak jujur, penipuan dan antikompetisi dilarang oleh hukum. Hukum persaingan di Indonesia berupaya mencegah monopoli dan praktik komersial yang menghambat dan mencegah persaingan pasar. Ini ditujukan semata-mata guna melindungi konsumen dan masyarakar dari pengeksploitasian kepentingan dan lembaga perdagangan yang besar. Tiga kategori penting dalam undang-undang ini adalah perjanjian yang dilarang, penyalahgunaan posisi dominan, dan kombinasi atau kartelisasi.

Pasal 50 (b) Undang-Undang tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat menyatakan, bahwa perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan HaKI, misalnya lisensi paten, hak cipta, desain industri, rangkaian sirluit terpadu, rahasia dagang dam perjanjian yang berhubungan dengan franchise dikecualikan dari ketentuan Undang-Undang persaingan ini.

Dari ketentuan ini, sepertinya risiko monopoli atau anti persaingan dinomorduakan oleh pertimbangan manfaat ekonomis


yang mungkin dapat disumbangkan oleh HaKI dalam pembangunan. Sebenarnya memang Undang-Undang Persaingan tidak berlaku terhadap semua perjanjian mengenai HaKI, namun pengaruh dari perjanjian lisensi bisa saja bersifat anti kompetitif sehingga memaksa Undang-Undang persaingan membatasinya.

Sifat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh pelaksanaan perjanjian lisensi HaKI antara lain penciptaan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar atau persengkokolan.

Menurut Endang Purwaningsih, harus dapat dibuktikan apakah pelaksanaan lisensi melampaui batas monopolinya, baru kemudian dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran atau bukan terhadap hukum persaingan. Demikian juga pengaruh yang dimaksud, harus bersifat substansial serta relevan dalam pasar atau tidak, karena memang pada dasarnya HaKI adalah hak eksklusif dengan monopoli terbatas.42

Pasal 47 Undang-Undang Persaingan Indonesia memberikan sanksi yang dapat dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sanksi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Surat pernyataan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan

Undang-Undang Antimonopoli adalah batal 2. Suatu perintah bahwa pelaku usaha menghentikan kegiatan

yang menimbulkan monopoli atau merupakan persaingan usaha tidak sehat.

3. Suatu perintah bahwa pelaku usaha menghentikan penyalahgunaan posisi dominan

4. Pembatalan penggabungan dan pengambil alihan saham yang bertentangan dengan undang-undang

5. Pengenaan denda 6. Pembayaran ganti rugi

Artikel 40 TRIPs menyatakan members agree that some licensing practices or conditions pertaining to intellectual property rights which restrain competition may have adverse effects on trade and may impede the transfer and disseminationof technology.

42 Endang Purwaningsih. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights. Bogor. Ghalia Indonesia. Hlm. 23


yang mungkin dapat disumbangkan oleh HaKI dalam pembangunan. Sebenarnya memang Undang-Undang Persaingan tidak berlaku terhadap semua perjanjian mengenai HaKI, namun pengaruh dari perjanjian lisensi bisa saja bersifat anti kompetitif sehingga memaksa Undang-Undang persaingan membatasinya.

Sifat atau pengaruh yang ditimbulkan oleh pelaksanaan perjanjian lisensi HaKI antara lain penciptaan monopoli, monopsoni, penguasaan pasar atau persengkokolan.

Menurut Endang Purwaningsih, harus dapat dibuktikan apakah pelaksanaan lisensi melampaui batas monopolinya, baru kemudian dapat dikualifikasi sebagai pelanggaran atau bukan terhadap hukum persaingan. Demikian juga pengaruh yang dimaksud, harus bersifat substansial serta relevan dalam pasar atau tidak, karena memang pada dasarnya HaKI adalah hak eksklusif dengan monopoli terbatas.42

Pasal 47 Undang-Undang Persaingan Indonesia memberikan sanksi yang dapat dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Sanksi tersebut adalah sebagai berikut : 1. Surat pernyataan bahwa perjanjian yang bertentangan dengan

Undang-Undang Antimonopoli adalah batal 2. Suatu perintah bahwa pelaku usaha menghentikan kegiatan

yang menimbulkan monopoli atau merupakan persaingan usaha tidak sehat.

3. Suatu perintah bahwa pelaku usaha menghentikan penyalahgunaan posisi dominan

4. Pembatalan penggabungan dan pengambil alihan saham yang bertentangan dengan undang-undang

5. Pengenaan denda 6. Pembayaran ganti rugi

Artikel 40 TRIPs menyatakan members agree that some licensing practices or conditions pertaining to intellectual property rights which restrain competition may have adverse effects on trade and may impede the transfer and disseminationof technology.

42 Endang Purwaningsih. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights. Bogor. Ghalia Indonesia. Hlm. 23

Para anggota sepakat bahwa beberapa praktik lisensi ataupun syarat mengenai HaKI yang menghambat persaingan dapat mempengaruhi perdagangan dan dapat menghambat pengalihan dan penyebaran teknologi. TRIPs mengizinkan penguasaan atas HaKI yang mempengaruhi pasar yang relevan, tetapi TRIPs tidak mensyaratkan anggotanya untuk membuat Undang-Undang Persaingan.

2. Kegiatan Yang Dilarang a) Monopoli

Monopoli adalah penguasaan atas produksi dan/atau pemasaran barang usaha. Terdapat pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang menimbulkan dikuasainya produksi dan/atau pemasaran atas barang sehingga menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan merugikan kepentingan umum. Pelaku usaha dapat diduga melakukan monopoli apabila barang atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya, mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat memasuki

pangsa pasar satu jenis barang atau jasa. Larangan praktek monopoli yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 ini sesuai dengan standar internasional. Ini merupakan informasi besar pertama yang dipelopori oleh DPR RI yang memberikaan wibawa khusus kepada undang-undang tersebut. Isi undang-undang tersebut antara lain adalah sebagai berikut : 1) Melarang perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli atau persaingan tidak sehat 2) Mengizinkan sampai pada tingkat tertentu penetapan harga

konsumen, perjanjian eksklusif serta perjanjian lisensi dan know how.

3) Melarang penggabungan atau peleburan badan usaha, yang menyebabkan terjadinya posisi dominan di pasar atau persaingan usaha tidak sehat.

4) Melarang tindakan merugikan konsumen, pemasok atau penerima barang dengan cara menyalahgunakan posisi


dominan di pasar. 5) Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan

diskriminasi, baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau penolakan melakukan hubungan usaha. Pasal 50 (b) menetukan “yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi Paten, Merek Dagang, Hak Cipta, Desain Industri, Rangkaian Elektronik Terpadu, dan Rahasia Dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise)

Ini berarti pada bidang Hak Kekayaan Intelektual tidak berlaku larangan praktek monopoli. Hak Kekayaan Intelektual boleh melakukan praktek monopoli dalam penggunaan haknya. Undang-undang bidang Hak Kekayaan Intelektual mengatur bahwa pemilik Hak Kekayaan Intelektual mempunyai hak eksklusif yaitu hak menggunakan secara bebas kekayaan intelektualnya, baik melalui usaha sendiri maupun dengan memberikan lisensi kepada pihak lain untuk ikut memetik manfaat ekonomi atas kekayaan intelektualnya itu. Ini dapat menimbulkan konsekuensi bahwa hanya pihak tertentu saja yang dapat menggunakan kekayaan intelektual dan ini tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli. Hak kekayaan intelektual adalah hak pribadi seseorang pencipta atau penemu, yang diberikan oleh negara, yang patut dihargai dan dilindungi hukum agar dapat didorong terus pengembangannya, dan menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan industri. Apabila larangan monopoli diberlakukan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, maka dikhawatirkan tidak ada kebebaan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan haknya sendiri. Akibatnya, dapat menghambat timbulnya ciptaan atau penemuan baru, yang berarti mengambat tumbuh dan berkembangnya industri. Lebih penting lagi untuk disadari bahwa hak kekayaan intelektual bersumber dari ilmu pengetahuan dan teklnologi. Kemampuan mengembangkan ilmu


dominan di pasar. 5) Melarang menghalangi pesaing dengan tindakan-tindakan

diskriminasi, baik melalui harga, syarat-syarat perdagangan atau penolakan melakukan hubungan usaha. Pasal 50 (b) menetukan “yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi Paten, Merek Dagang, Hak Cipta, Desain Industri, Rangkaian Elektronik Terpadu, dan Rahasia Dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise)

Ini berarti pada bidang Hak Kekayaan Intelektual tidak berlaku larangan praktek monopoli. Hak Kekayaan Intelektual boleh melakukan praktek monopoli dalam penggunaan haknya. Undang-undang bidang Hak Kekayaan Intelektual mengatur bahwa pemilik Hak Kekayaan Intelektual mempunyai hak eksklusif yaitu hak menggunakan secara bebas kekayaan intelektualnya, baik melalui usaha sendiri maupun dengan memberikan lisensi kepada pihak lain untuk ikut memetik manfaat ekonomi atas kekayaan intelektualnya itu. Ini dapat menimbulkan konsekuensi bahwa hanya pihak tertentu saja yang dapat menggunakan kekayaan intelektual dan ini tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli. Hak kekayaan intelektual adalah hak pribadi seseorang pencipta atau penemu, yang diberikan oleh negara, yang patut dihargai dan dilindungi hukum agar dapat didorong terus pengembangannya, dan menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan industri. Apabila larangan monopoli diberlakukan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, maka dikhawatirkan tidak ada kebebaan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan haknya sendiri. Akibatnya, dapat menghambat timbulnya ciptaan atau penemuan baru, yang berarti mengambat tumbuh dan berkembangnya industri. Lebih penting lagi untuk disadari bahwa hak kekayaan intelektual bersumber dari ilmu pengetahuan dan teklnologi. Kemampuan mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi merupakan atribut atau simbol negara maju (developed countries). Pasal 50 (b) menetukan “yang dikecualikan dari ketentuan undang-undang ini adalah perjanjian yang berkaitan dengan Hak Kekayaan Intelektual seperti lisensi Paten, Merek Dagang, Hak Cipta, Desain Industri, Rangkaian Elektronik Terpadu, dan Rahasia Dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba (franchise), ini berarti pada bidang Hak Kekayaan Intelektual tidak berlaku larangan praktek monopoli. Hak Kekayaan Intelektual boleh melakukan praktek monopoli dalam penggunaan haknya. Undang-undang bidang Hak Kekayaan Intelektual mengatur bahwa pemilik Hak Kekayaan Intelektual mempunyai hak eksklusif yaitu hak menggunakan secara bebas kekayaan intelektualnya, baik melalui usaha sendiri maupun dengan memberikan lisensi kepada pihak lain untuk ikut memetik manfaat ekonomi atas kekayaan intelektualnya itu. Ini dapat menimbulkan konsekuensi bahwa hanya pihak tertentu saja yang dapat menggunakan kekayaan intelektual dan ini tidak dilarang oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli. Hak kekayaan intelektual adalah hak pribadi seseorang pencipta atau penemu, yang diberikan oleh negara, yang patut dihargai dan dilindungi hukum agar dapat didorong terus pengembangannya, dan menjadi dasar pertumbuhan dan perkembangan industri. Apabila larangan monopoli diberlakukan terhadap Hak Kekayaan Intelektual, maka dikhawatirkan tidak ada kebebaan bagi pemiliknya untuk memanfaatkan haknya sendiri. Akibatnya, dapat menghambat timbulnya ciptaan atau penemuan baru, yang berarti mengambat tumbuh dan berkembangnya industri. Lebih penting lagi untuk disadari bahwa hak kekayaan intelektual bersumber dari ilmu pengetahuan dan teklnologi. Kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan atribut atau simbol negara maju (developed countries)


b) Monopsoni Menurut Pasal 18 Undang-Undang Persaingan Indonesia, pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku patut diduga melakukan monopsoni apabila menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal dengan menguasai lebih

c) Kontrol Pasar Pelaku usaha dilarang melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud mengurangi atau menyingkirkan pesaing di pasar yang sama. Demikian juga pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar, seperti sebagai berikut : 1) Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu

untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan

2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan hubungan usaha dengan pesaing lainnya.

3) Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan.

4) Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

d) Kartelisasi

Bentuk kerja sama ini sering disebut persengkokolan, yakni pelaku usaha bekerja sama dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk melakukan penguasaan pasar yang bersangkutan. Pasal 24 Undang-Undang Persaingan Indonesia melarang tindakan ini karena cenderung menghambat produksi dan pemasaran barang atau jasa, bahkan mungkin menurunkan kualitas maupun ketepatan waktu.


b) Monopsoni Menurut Pasal 18 Undang-Undang Persaingan Indonesia, pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Pelaku patut diduga melakukan monopsoni apabila menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal dengan menguasai lebih

c) Kontrol Pasar Pelaku usaha dilarang melakukan jual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud mengurangi atau menyingkirkan pesaing di pasar yang sama. Demikian juga pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan pasar, seperti sebagai berikut : 1) Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu

untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan

2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan hubungan usaha dengan pesaing lainnya.

3) Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan.

4) Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

d) Kartelisasi

Bentuk kerja sama ini sering disebut persengkokolan, yakni pelaku usaha bekerja sama dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk melakukan penguasaan pasar yang bersangkutan. Pasal 24 Undang-Undang Persaingan Indonesia melarang tindakan ini karena cenderung menghambat produksi dan pemasaran barang atau jasa, bahkan mungkin menurunkan kualitas maupun ketepatan waktu.

C. Pelanggaran Indikasi Geografis Indonesia merupakan negara berkembang, dimana potensi alam Indonesia sangat besar dan membutuhkan teknologi maju untuk dapat mengolahnya. Ada beberapa alasan mengapa indonesia harus mengembangan potensi alam jika dilihat dari segi kekayaan intelektual, khususnya dibidang indikasi geografis, yaitu : 1. Meningkatkan integritas negara di mata dunia internasional.

Indonesia merupakan salah satu negara yang turut menandatangi perjanjian TRIPs.

2. Membangun kemandirian pengaturan Indikasi geografis meskipun harus tetap bersumber pada TRIPs

3. Indikasi Geografis sesuai dengan ciri kehidupan kolektif dan komunalistik masyarakat Indonesia.

4. Indikasi keterkaitan antara produk dan kondisi geografis sejalan dengan ketergantungan dan keterikatan emosional masyarakat adat dan tanah asalnya.

5. Perlindungan dalam jangka waktu yang terus menerus dapat mempertahankan keberadaan asset bangsa/pengembangnya

6. Mampu meningkatkan derajat ekonomi dan taraf hidup bangsa Indikasi Geografis di Indonesia diatur oleh Undang-Undang

Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dengan didukung pada Peratutan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2007 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 115 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4763 tentang Indikasi Goegrafis.

Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan. Lingkup Indikasi Geografis diantaranya adalah : 1. Merupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu

lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh indikasi geografis;

2. Berupa hasil pertanian, produk olahan, hasil kerajinan tangan atau barang lainnya;

3. Dilindungi sebagai Indikasi-geografis apabila telah terdaftar


dalam Daftar Umum Indikasi-geografis di Direktorat Jenderal. 4. Indikasi-geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik

umum. Hanya dapat dipergunakan pada barang yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Buku Persyaratan.

Yang dimaksud dengan “tanda tertentu lainnya” adalah tanda yang berupa kata, gambar, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut.Contoh :“Kata “Minang” mengindikasikan daerah Sumatera Barat, Gambar rumah adat Toraja, mengindikasikan daerah Toraja di Sulawesi Selatan.

Ada beberapa hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis, yaitu : 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; 2. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai ciri, sifat,

kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang dan/atau kegunaannya;

3. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman sejenis;

4. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis;

5. Telah menjadi generik. 6. Apabila suatu Indikasi-geografis digunakan sebagai nama

varietas tanaman tertentu, nama Indikasi-geografis tersebut hanya dapat digunakan untuk verietas tanaman yang bersangkutan saja. Contoh: Nama/kata ”Cianjur” telah dikenal sebagai nama salah satu varietas tanaman padi. Oleh karenanya, kata ”Cianjur” tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai Indikasi- geografis bagi varietas tanaman padi lainnya sekalipun pembudidayaannya dilakukan di daerah Cianjur.

7. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan timbulnya kemungkinan yang menyesatkan. Walaupun demikian, kata ”Cianjur” dapat digunakan sebagai Indikasi-geografis bagi varietas tanaman lain ataupun barang lainnya, misalnya: salak, markisa, tauco, dan sebagainya.


dalam Daftar Umum Indikasi-geografis di Direktorat Jenderal. 4. Indikasi-geografis terdaftar tidak dapat berubah menjadi milik

umum. Hanya dapat dipergunakan pada barang yang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Buku Persyaratan.

Yang dimaksud dengan “tanda tertentu lainnya” adalah tanda yang berupa kata, gambar, atau kombinasi dari unsur- unsur tersebut.Contoh :“Kata “Minang” mengindikasikan daerah Sumatera Barat, Gambar rumah adat Toraja, mengindikasikan daerah Toraja di Sulawesi Selatan.

Ada beberapa hal yang tidak dapat didaftarkan sebagai Indikasi Geografis, yaitu : 1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; 2. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai ciri, sifat,

kualitas, asal sumber, proses pembuatan barang dan/atau kegunaannya;

3. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman sejenis;

4. Merupakan nama geografis setempat yang telah digunakan sebagai nama varietas tanaman, dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis;

5. Telah menjadi generik. 6. Apabila suatu Indikasi-geografis digunakan sebagai nama

varietas tanaman tertentu, nama Indikasi-geografis tersebut hanya dapat digunakan untuk verietas tanaman yang bersangkutan saja. Contoh: Nama/kata ”Cianjur” telah dikenal sebagai nama salah satu varietas tanaman padi. Oleh karenanya, kata ”Cianjur” tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai Indikasi- geografis bagi varietas tanaman padi lainnya sekalipun pembudidayaannya dilakukan di daerah Cianjur.

7. Hal ini dimaksudkan untuk menghindarkan timbulnya kemungkinan yang menyesatkan. Walaupun demikian, kata ”Cianjur” dapat digunakan sebagai Indikasi-geografis bagi varietas tanaman lain ataupun barang lainnya, misalnya: salak, markisa, tauco, dan sebagainya.

8. Indikasi yang bersifat generik adalah indikasi tentang suatu barang yang telah menjadi milik umum karena sering digunakan dalam bahasa sehari-hari, dan karenanya tidak dilindungi.

9. Contoh: tahu, tempe, batik, jeruk bali, pisang ambon, dan sebagainya. Indikasi-geografis dilindungi selama karakteristik khas dan kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas Indikasi-geografis tersebut masih ada.

Yang dimaksud dengan ”Pemakaian Indikasi-geografis secara

tanpa hak” mencakup antara lain penyalahgunaan, peniruan, dan pencitraan negatif terhadap Indikasi-geografis tertentu, seperti: penggunaan kata “ala”, bentuknya sama dengan, serupa, dibuat dengan cara yang sama, sama sifatnya, mirip, seperti, atau transliterasi, atau yang sejenis/sepadan dengan kata-kata tersebut.

Potensi Konflik Hukum Antara Merek dan Indikasi Geografis : Merek adalah tanda yang berupa gambar , Nama, Kata, Huruf-huruf, Angka–angka, Susunan Warna atau Kombinasi dari unsur tersebut yang memiliki daya pembeda digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa.

Gambar 1. Merek

Ada beberapa alasan mengapa Merek dilindungi, yaitu : 1. Merek merupakan salah satu bagian dari bidang HKI; 2. Tidak lepas dari dari kegiatan ekonomi; 3. Salah satu faktor utama masuknya investasi asing;


4. Gairahnya perkembangan dunia usaha. 5. Merupakan Hak yang diberikan negara yang bersifat individu Selain itu Fungsi Merek adalah :

1. Sebagai nama / identitas usaha;

2. Menunjukan identitas bagi barang atau jasa yang diproduksi;

3. Citra dari kualitas barang atau jasa yang dihasilkan;

Kekuatan sentral dalam pemasaran. Definisi IG Berdasar Ketentuan Pasal 56 UU No 15 Tahun 2001 Tentang MerekIndikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan

Tanda sebagaimana dimaksudmerupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis.

Gambar 2. Tanda


4. Gairahnya perkembangan dunia usaha. 5. Merupakan Hak yang diberikan negara yang bersifat individu Selain itu Fungsi Merek adalah :

1. Sebagai nama / identitas usaha;

2. Menunjukan identitas bagi barang atau jasa yang diproduksi;

3. Citra dari kualitas barang atau jasa yang dihasilkan;

Kekuatan sentral dalam pemasaran. Definisi IG Berdasar Ketentuan Pasal 56 UU No 15 Tahun 2001 Tentang MerekIndikasi-geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan

Tanda sebagaimana dimaksudmerupakan nama tempat atau daerah maupun tanda tertentu lainnya yang menunjukkan asal tempat dihasilkannya barang yang dilindungi oleh Indikasi-geografis.

Gambar 2. Tanda

Gambar 3.Contoh Indikasi Geografis

Perlindungan Hukum Indikasi Geografis di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu anggota TRIPs Agreement, mengakui Indikasi Geografis sebagai bagian dari IPR. Konflik Merek dan Indikasi Geografis,yaitu : 1. Kopi Toraja Di Amerika Serikat dan Jepang

Merek Toarco Toraja Nomor Pendaftaran 75884722 milik Key Coffe, Inc Corporation Japan, menggunakan gambar rumah Toraja Merek SULOTCO KALOSI TORAJA COFFEE Nomor Pendaftaran 74547036, milik IFES Inc. Corporation California Merek SULOTCO KALOSI TORAJA COFFEE dengan gambar rumah Toraja Nomor Pendaftaran 74547000, milik IFES Inc. Corporation California

Gambar 4. Konflik Merek dan Indikasi Geografis


2. Aceh Heads A New Conflict Over A Name Of A Coffee a conflict between trademark & Gigayo High Mountain Coffee, telah didaftar oleh European BV di Eropa dan melakukan pelarangan terhadap pesaingnya Eksportir Indonesia asal Aceh yaitu CV. Arvis Sanada .untuk tidak menggunakan kata Gayo pada kemasannya oleh karena Gayo adalah bagian dari merek dagangnya.

Gambar 5. Konflik Indikasi Geografis

Konflik Merek dan Indikasi Geografis yaitu Dalam UU No. 20 Tahun 2016, tercantum dalam :

1. Pasal 21

(1) Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis


2. Aceh Heads A New Conflict Over A Name Of A Coffee a conflict between trademark & Gigayo High Mountain Coffee, telah didaftar oleh European BV di Eropa dan melakukan pelarangan terhadap pesaingnya Eksportir Indonesia asal Aceh yaitu CV. Arvis Sanada .untuk tidak menggunakan kata Gayo pada kemasannya oleh karena Gayo adalah bagian dari merek dagangnya.

Gambar 5. Konflik Indikasi Geografis

Konflik Merek dan Indikasi Geografis yaitu Dalam UU No. 20 Tahun 2016, tercantum dalam :

1. Pasal 21

(1) Permohonan ditolak jika merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan:

a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis

b. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;

c. Merek terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis yang memenuhi persyaratan tertentu; atau

d. Indikasi geografis

2. Pasal 53

(1). Indikasi Geografis dilindungi setelah Indikasi Geografis didaftar oleh Menteri

(2). Untuk memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri

(3). Pemohon sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) merupakan :

a. Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa :

1. Sumber daya alam;

2. Barang kerajinan tangan; atau

3. Hasil industri

b. Pemerintah Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota

(4). Ketentuan mengenai pengumuman, keberatan, sanggahan, dan penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis bagi Permohonan Pendaftaran Indikasi Geografis

3. Pasal 54 Permohonan yang diajukan oleh Pemohon yang bertempat tinggal atau berkedudukan tetap di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib diajukan melalui Kuasanya di Indonesia

4. Permohonan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) hanya dapat didaftar apabila Indikasi Geografis tersebut telah memperoleh pengakuan dari pemerintah negaranya dan/atau terdaftar


sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asalnya

5. Pasal 56 (1). Permohonan indikasi geografis tidak dapat didaftar jika :

a. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum;

b. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai reputasi, kualitas, karakteristik, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; dan

c. Merupakan nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis, kecuali ada penambahan padanan kata yang menunjukkan faktor indikasi geografis yang sejenis.

(2). Permohonan indikasi geografis ditolak jika :

a. Dokumen deskripsi indikasi geografis tidak dapat dibuktikan kebenarannya; dan/atau

b. Memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah terdaftar

6. Pasal 57 (1). Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56

Ayat (2) dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding Merek

(2). Ketentuan mengenai banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 berlaku secara mutatis mutandis bagi permintaan banding sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis diatur pada bab XVIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu :


sesuai dengan ketentuan yang berlaku di negara asalnya

5. Pasal 56 (1). Permohonan indikasi geografis tidak dapat didaftar jika :

a. Bertentangan dengan ideologi negara, peraturan perundang-undangan, moralitas, agama, kesusilaan, dan ketertiban umum;

b. Menyesatkan atau memperdaya masyarakat mengenai reputasi, kualitas, karakteristik, asal sumber, proses pembuatan barang, dan/atau kegunaannya; dan

c. Merupakan nama yang telah digunakan sebagai varietas tanaman dan digunakan bagi varietas tanaman yang sejenis, kecuali ada penambahan padanan kata yang menunjukkan faktor indikasi geografis yang sejenis.

(2). Permohonan indikasi geografis ditolak jika :

a. Dokumen deskripsi indikasi geografis tidak dapat dibuktikan kebenarannya; dan/atau

b. Memiliki persamaan pada keseluruhannya dengan indikasi geografis yang sudah terdaftar

6. Pasal 57 (1). Terhadap penolakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56

Ayat (2) dapat dimintakan banding kepada Komisi Banding Merek

(2). Ketentuan mengenai banding sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 sampai dengan Pasal 32 berlaku secara mutatis mutandis bagi permintaan banding sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)

Ketentuan pidana dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis diatur pada bab XVIII tentang Ketentuan Pidana, yaitu :

1. Pasal 100 (1). Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek

yang sama pada keseluruhannya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah)

(2). Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan Merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah)

(3). Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2), yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup dan atau kematian manusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000.000,00 (Lima Milyar Rupiah)

2. Pasal 101

(1). Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada keseluruhan dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah)

(2). Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan tanda yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan Indikasi Geografis milik pihak lain untuk barang dan/atau produk yang sama atau sejenis dengan barang dan/atau produk yang terdaftar, dipidana dengan pidana penjara


paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah)

3. Pasal 102 Setiap orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua Ratus Juta Rupiah)

4. Pasal 103 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan


paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (Dua Milyar Rupiah)

3. Pasal 102 Setiap orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua Ratus Juta Rupiah)

4. Pasal 103 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 sampai dengan Pasal 102 merupakan delik aduan

V PENEGAKAN HUKUM INDIKASI

GEOGRAFIS DI INDONESIA

A. Perlindungan Indikasi Geografis Perlindungan terhadap indikasi geografis secara umum telah

diatur dalam Pasal 22, Pasal 23 dan Pasal 24 TRIPs Agreement. Sebelumnya juga telah diatur dalam ketentuan Pasal 10 Konvensi Paris yang berisi penegasan larangan untuk memperdagangkan barang yang menggunakan Indikasi Geografis sebagai objek Hak atas Kekayaan intelektual yang tidak sesuai dengan asal dari daerah atau wilayah geografis tersebut.

Untuk itu sebagai negara yang ikut meratifikasi Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau WIPO, melalui Undang-Undang nomor 7 tahun 1994, yang mana di dalam pembentukan WIPO tersebut juga menyetujui dibentuknya TRIPs maka sebagai konsekuensinya Indonesia diwajibkan untuk menyesuaikan peraturan Hak atas Kekayaan Intelektualnya dengan persetujuan TRIPs. Salah satu di antaranya yaitu masalah perlindungan Indikasi Geografis.

Disamping sebagai konsekuensi atas keterikatan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional di atas, juga karena faktor kesadaran akan banyaknya potensi alam dengan nilaiekonomis dan reputasi tinggi yang dimiliki Indonesia, yang memerlukan perlindungan hukum maka untuk itu dipandang perlu urgensinya suatu pembentukan peraturan perlindungan Indikasi Geografis yang dapat memberikan jaminan kepastian hukum baik dalam skala nasional maupun internasional.

Konvensional Internasional yang mengatur mengenai Indikasi Geografis di antaranya, Pasal 1 Ayat (1) Perjanjian Madrid 1891, yang memberikan gambaran tentang perluasan lingkup perlindungan


geografis, yaitu dengan memberikan perlindungan atas pemalsuan atau penggunaan barang/produk yang bukan berasal dari wilayah geografis yang sebenarnya.

Perjanjian Lisabon (1958) mengatur perlindungan dan pendaftaran Penamaan Tempat Asal suatu produk pada dasarnya diakui dan dilindungi di negara asal, namun wajib pula didaftarkan di WIPO.

Secara umum, pengaturan mengenai Indikasi Geografis sudah di atus dalam Undang-Undang Merek, yaitu dalam Bab VIIIPasal 53 mengenai definisi indikasi geografis sebagai suatu identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat tertentu yang menunjukkan kualitas, reputasi, dan karakteristik termasuk faktor alam dan manusianya serta tata cara pendaftarannya secara umum.

Akan tetapi, sebenarnya telah terjadi pemahaman yang keliru mengenai konsep dasar dari apa yang dimaksud dengan Indikasi Geografis. Karena indikasi geograsfis diatur dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis maka rata-rata masyarakat menganggap bahwa Indikasi Geografis adalah bagian dari Merek yang memiliki sifat perlindungan dan karakteristik yang sama dengan perlindungan yang diberikan atas suatu Merek Dagang.

Perbedaan pokok dari Merek dan Indikasi Geografis yaitu merek hanyalah merupakan suatu tanda yang dilekatkan pada suatu barang yang berfungsi sebagai daya pembeda dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Tanda ini tidak berkaitan dengan kualitas barang atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan, Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah, atau wilayah tertentu, di mana katakteristik dari daerah tersebut yaitu faktor alam maupun manusianya mempengaruhi kualitas dan reputasi barang yang dihasilkan dari daerah tersebut.

Menurut Pasal 1 angkat 2 merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan


geografis, yaitu dengan memberikan perlindungan atas pemalsuan atau penggunaan barang/produk yang bukan berasal dari wilayah geografis yang sebenarnya.

Perjanjian Lisabon (1958) mengatur perlindungan dan pendaftaran Penamaan Tempat Asal suatu produk pada dasarnya diakui dan dilindungi di negara asal, namun wajib pula didaftarkan di WIPO.

Secara umum, pengaturan mengenai Indikasi Geografis sudah di atus dalam Undang-Undang Merek, yaitu dalam Bab VIIIPasal 53 mengenai definisi indikasi geografis sebagai suatu identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat tertentu yang menunjukkan kualitas, reputasi, dan karakteristik termasuk faktor alam dan manusianya serta tata cara pendaftarannya secara umum.

Akan tetapi, sebenarnya telah terjadi pemahaman yang keliru mengenai konsep dasar dari apa yang dimaksud dengan Indikasi Geografis. Karena indikasi geograsfis diatur dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis maka rata-rata masyarakat menganggap bahwa Indikasi Geografis adalah bagian dari Merek yang memiliki sifat perlindungan dan karakteristik yang sama dengan perlindungan yang diberikan atas suatu Merek Dagang.

Perbedaan pokok dari Merek dan Indikasi Geografis yaitu merek hanyalah merupakan suatu tanda yang dilekatkan pada suatu barang yang berfungsi sebagai daya pembeda dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa. Tanda ini tidak berkaitan dengan kualitas barang atau jasa yang diperdagangkan. Sedangkan, Indikasi Geografis adalah suatu indikasi atau identitas dari suatu barang yang berasal dari suatu tempat, daerah, atau wilayah tertentu, di mana katakteristik dari daerah tersebut yaitu faktor alam maupun manusianya mempengaruhi kualitas dan reputasi barang yang dihasilkan dari daerah tersebut.

Menurut Pasal 1 angkat 2 merek dagang adalah merek yang digunakan pada barang yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk membedakan dengan barang sejenis lainnya. Sedangkan merek jasa adalah merek yang digunakan pada jasa yang diperdagangkan oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan

hukum untuk membedakan dengan jasa sejenis lainnya. Adapun Pasal 53 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis menyatakan : (1) Indikasi geografis dilindungi setelah indikasi geografis didaftar

oleh Menteri; (2) Untuk memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Pemohon Indikasi Geografis harus mengajukan Permohonan kepada Menteri.

(3) Pemohon sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) merupakan :

a) Lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu yang mengusahakan suatu barang dan/atau produk berupa :

1) Sumber daya alam;

2) Barang kerajinan tangan; atau

3) Hasil industri.

b) Pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota. (4) Ketentuan mengenai pengumuman, keberatan, sanggahan dan

penarikan kembali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sampai dengan Pasal 19 berlaku secara mutatis mutandis bagi Permohonan pendaftaran Indikasi Geografis.

Dalam penjelasan pasal ini dijelaskan pada Ayat (3) yang dimaksud dengan lembaga yang mewakili masyarakat di kawasan geografis tertentu antara lain asosiasi produsen, koperasi, dan masyarakat perlindungan indikasi geografis (MPIG).

Ayat (3) Angka 1 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumber daya alam adalah segala sesuatu yang berdasar dari alam yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupmanusia yang mencakup tidak hanya komponen biotik seperti hewan, tumbuhan, dan mikroorganisme tetapi juga komponen abiotik seperti minyak bumi, gas alam, berbagai jenis logam, air dan tanah.

Sedangkan dalam Angka 3 dijelaskan yang dimaksud dengan hasil industri adalah hasil dari olahan manusia berupa barang mentah menjadi barang jadi antara lain Tenun Gringsing, Tenun Sikka.

Merek dapat dimiliki secara perorangan atau perusahaan, adapun indikasi geografis dapat dimiliki secara terbuka oleh suatu


lembaga mewakili masyarakat atau kelompok konsumen tertentu. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis

menyatakan hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Kaitannya dengan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis mengenai jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan Merek Terdaftar, merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal Penerimaan dan pada Ayat (2) dilanjutkan jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis tidak mengatur mengenai jangka waktu perlindungan atas Indikasi Geografis dengan pasti, seperti yang tercantum dalam Pasal 61 yaitu : (1) Indikasi geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas

dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan Indikasi Geografis pada suatu barang.

(2) Indikasi geografis dapat dihapus jika :

a. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau

b. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (1) huruf a.

Hal tersebut membuat perbedaan baru antara keduanya yaitu untuk merek jangka wkatu perlindungannya 10 (sepuluh) tahun dengan masa perpanjangan 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan untuk indikasi geografis tidak mempunyai batas waktu perlindungan, karena tergantung pada faktor alam dan manusianya penghasil barang yang bersangkutan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, pemahaman yang keliru lainnya adalah telah timbul kesalahpahaman mengenai batasan perlindungan Indikasi geografis yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Merek, di mana dijelaskan bahwa perlindungan atas Indikasi geografis itumeliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan


lembaga mewakili masyarakat atau kelompok konsumen tertentu. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis

menyatakan hak atas merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.

Kaitannya dengan Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis mengenai jangka Waktu Perlindungan dan Perpanjangan Merek Terdaftar, merek terdaftar mendapat perlindungan hukum untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun sejak tanggal Penerimaan dan pada Ayat (2) dilanjutkan jangka waktu perlindungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.

Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis tidak mengatur mengenai jangka waktu perlindungan atas Indikasi Geografis dengan pasti, seperti yang tercantum dalam Pasal 61 yaitu : (1) Indikasi geografis dilindungi selama terjaganya reputasi, kualitas

dan karakteristik yang menjadi dasar diberikannya perlindungan Indikasi Geografis pada suatu barang.

(2) Indikasi geografis dapat dihapus jika :

a. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan/atau

b. Melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Ayat (1) huruf a.

Hal tersebut membuat perbedaan baru antara keduanya yaitu untuk merek jangka wkatu perlindungannya 10 (sepuluh) tahun dengan masa perpanjangan 10 (sepuluh) tahun. Sedangkan untuk indikasi geografis tidak mempunyai batas waktu perlindungan, karena tergantung pada faktor alam dan manusianya penghasil barang yang bersangkutan.

Selain perbedaan-perbedaan tersebut, pemahaman yang keliru lainnya adalah telah timbul kesalahpahaman mengenai batasan perlindungan Indikasi geografis yang disebutkan dalam Penjelasan Pasal 56 Ayat (1) Undang-Undang Merek, di mana dijelaskan bahwa perlindungan atas Indikasi geografis itumeliputi barang-barang yang dihasilkan oleh alam, barang hasil pertanian, hasil kerajinan tangan

atau hasil industri tertentu lainnya. Dilihat dari segi proses produksinya, suatu kerajinan tangan

tidaklah dipengaruhi oleh faktor alam. Sebagaimana pemahaman WIPO khususnya dalam TRIPs Pasal 22 Ayat (1), bahwa Indikasi Geografis adalah indikasi yang mengidentifikasikan suatu barang yang berasal dari suatu daerah di mana suatu kualitas, reputasi atau sifat dasar lain atas suatu barang adalah unsur inti yang merupakan sifat dari asal geografisnya.

Kerajinan tangan sama sekali tidak diklasifikasikan dalam lingkup perlindungan indikasi geografis, tetapi masuk dalam perlindungan traditional knowledge yang dalam pengaturan hak atas kekayaan intelektual kita diatur dalam Undang- Undang Hak Cipta. Sebagai contoh, seni kerajinan tangan batik tulis dan tenun ikat, karena proses pembuatannya yang tanpa melalui mesin industri maka jumlah volume produksinya juga terbatas.

Adapun kerajinan tangan yang diproduksi secara massal untuk kepentingan komoditas industri diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Desain Industri. Contohnya, industri kain batik, proses pembuatannya melalui mesin cetak sehingga dapat dijadikan komoditas industri karena diproduksi secara massal.

Dari pertentangan ketentuan diatas dapat disimpulkan, jika dikaji lebih mendalam sebenarnya Indikasi Geografis kurang tepat dimasukkan dalam Merek atau bukan termasuk merek. Guna mengjindari pemahaman-pemahaman yang keliru mengenai Indikasi Geografis dan Merek sebagaimana sudah diterangkan di atas maka saat ini undang-undang merek ditambahkan kata- kata indikasi geografis sehingga undang-undang tersebut menjadi undang-undang merek dan indikasi geografis.

Hal tersebut dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya peniruan merek yang mengandung nama suatu daerah asalnya khususnya di Indonesia yang dimiliki oleh pihak-pihak yang tidak ada hubungannya dengan daerah asal tersebut dan dapat memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi potensi produk-produk nasional.

Sebagai contoh, kasus peniruan indikasi geografis yang merugikan Indonesia adalah nama Kopi Toraja lengkap disertai


dengan gambar rumah toraja yang ternyata telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek. Karena di saat itu belum diatur secara khusus mengenai Indikasi Geografis di Indonesia, maka simbol daerah Toraja tidak dapat diklaim sebagai produk geografis di Indonesia. Akibatnya kepemilikan merek Toarco Toraja masih dimiliki oleh pihak Key Coffe, Inc Corporation Japan. Sampai saat ini, pihak Key Coffe Inc Corporation Japan merasa berhak atas nama ini, karena selama ini pihaknyalah yang telah mengembangkan kopi toraja ini sehingga dikenal di dunia perdagangan kopi internasional.

Peraturan tentang indikasi geografis telah berlangsung lama. Namun baru sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis barulah dapat dilaksanakan sistem pendaftaran Indikasi geografis sebagai perlindungan jaminan kepastian hukum dengan segera sebagai perwujudan perlindungan atas produk domestik yang memiliki nilai ekonomi dan reputasi yang tinggi.

Negara Indonesia adalah negara agraris yang berpotensi menghasilkan produk-produk Indikasi Geografis bereputasi tinggi maka jaminan akan kepastian hukum atas produk Indikasi Geografis dipandang sangat mendesak. Untuk itu perlu segera dibuat suatu peraturan pemerintah yang khusus mengatur masalah Indikasi Geografis, sehingga diharapkan produk Indikasi Geografis Indonesia akan mendapat jaminan kepastian hukum di dalam maupun luar negeri. B. Perkembangan Indikasi Geografis dan Pengaturannya di

beberapa negara 1. Konvensi Paris

Pengertian yang berkaitan dengan Indikasi geografis dapat ditemukan dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau Konvensi Paris yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1883 dan telah mengalami beberapa kali revisi hingga perubahan terakhir pada tahun 1979.

Dalam konvensi internasional tentang perlindungan Hak Kekayaan Industrial ini, terdapat beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan penanganan atas indikasi yang salah atau false


dengan gambar rumah toraja yang ternyata telah digunakan di luar negeri dan didaftarkan sebagai merek. Karena di saat itu belum diatur secara khusus mengenai Indikasi Geografis di Indonesia, maka simbol daerah Toraja tidak dapat diklaim sebagai produk geografis di Indonesia. Akibatnya kepemilikan merek Toarco Toraja masih dimiliki oleh pihak Key Coffe, Inc Corporation Japan. Sampai saat ini, pihak Key Coffe Inc Corporation Japan merasa berhak atas nama ini, karena selama ini pihaknyalah yang telah mengembangkan kopi toraja ini sehingga dikenal di dunia perdagangan kopi internasional.

Peraturan tentang indikasi geografis telah berlangsung lama. Namun baru sejak di undangkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis barulah dapat dilaksanakan sistem pendaftaran Indikasi geografis sebagai perlindungan jaminan kepastian hukum dengan segera sebagai perwujudan perlindungan atas produk domestik yang memiliki nilai ekonomi dan reputasi yang tinggi.

Negara Indonesia adalah negara agraris yang berpotensi menghasilkan produk-produk Indikasi Geografis bereputasi tinggi maka jaminan akan kepastian hukum atas produk Indikasi Geografis dipandang sangat mendesak. Untuk itu perlu segera dibuat suatu peraturan pemerintah yang khusus mengatur masalah Indikasi Geografis, sehingga diharapkan produk Indikasi Geografis Indonesia akan mendapat jaminan kepastian hukum di dalam maupun luar negeri. B. Perkembangan Indikasi Geografis dan Pengaturannya di

beberapa negara 1. Konvensi Paris

Pengertian yang berkaitan dengan Indikasi geografis dapat ditemukan dalam Paris Convention for the Protection of Industrial Property atau Konvensi Paris yang pertama kali ditandatangani pada tahun 1883 dan telah mengalami beberapa kali revisi hingga perubahan terakhir pada tahun 1979.

Dalam konvensi internasional tentang perlindungan Hak Kekayaan Industrial ini, terdapat beberapa prinsip dasar yang berkaitan dengan penanganan atas indikasi yang salah atau false

indications, termasuk indikasi tempat yang salah atau false indication to the source.

Meskipun Indikasi Geografis tidak ditentukan sebagai rezim yang spesifik, Pasal 9 Konvensi Paris secara umum menentukan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan cara penanganan barang-barang impor yang mengandung Merek Dagang maupun nama dagang yang melawan hukum, termasuk barang- barang yang menggunakan tanda asal tempat yang tidak tepat. Menurut ketentuan inim barang-barang tersebut harus dijadikan objek penyitaan.

Alasan keabsahan penyitaan ini terdapat dalam Pasal 10 bis Konvensi Pasal ini mengharuskan terselenggaranya kompetisi yang adil dan dilarangnya segala bentuk kreasi yang akan menimbulkan kebingungan publik, dalam arti yang seluas- luasnya, termasuk Indiasi Asal. Dalam kaitan ini, Pasal 10 ter Konvensi Paris menetapkan hak untuk menuntut atau melakukan tindakan hukum sesuai dengan hukum domestik di negara terkait.

2. Perjanjian Madrid Perjanjian Madrid 1891 tentang Represi terhadap Indikasi Asal

barang yang salah atau menyesatkan atau The Madrid Agreement for the Repression of false or Deceptive Indications of Source on Goods of 1891, tidak menggunakan istilah indikasi geografis, tetapi indikasi asal atau Indications of Source dari produk barang. Perjanjian Madrid 1891 juga tidak menyatakan definisi indikasi asal secara eksplisit.

Meskipun demikian, dengan adanya keharusan untuk menyita setiap barang yang memakai Indikasi Asal yang salah atau menyesatkan, bisa ditafsirkan bahwa setiap Indikasi Asal harus secara jelas merepresentasikan tempat asal dari barang terkait.

Dalam konteks ini, definisi Indikasi Asal yang bersifat eksplisit sendiri dapat ditemukan dalam permohonan komentar atas berbagai wacana yang dikemukakan dalam Proses Nama Domain Internet WIPO kedua. Dalam permohonan ini, indikasi asal didefinisikan sebagai sebuah tanda dari negara atau tempat yang merupakan asal dari suatu barang.


3. Perjanjian Lisabon Perjanjian Lisabon 1958 tentang perlindungan Apelasi Asal dan

Registrasi Internasionalnya atau The 1958 Lisabon Agreement for the Protection of Appellations of Origin and Their International Registration/Lisabon Agreement memperkenalkan term yang mirip dengan Indikasi Geografis, yakni Apelasi Asal atau Appellation of Origin. Apelasi asal ini dapat diterjemahkan sebagai nama formal asal.

Pasal 2 Ayat (1) perjanjian ini, Apelasi Asal atau Appellations of Origin didefinisikan sebagai nama geografis dari suatu negara, daerah, atau lokalitas yang menandakan bahwa suatu produk berasal darinya dan memberikan kualitas dan karakter yang secara eksklusif dan esensial disebabkan oleh lingkungan geografisnya, termasuk faktor-faktor alam dan faktor manusia.

Definisi ini memberikan perlindungan khusus, tidak hanya terhadap penggunaan suatu nama tempat secara tanpa hak, tetapi juga terhadap segala macam, jenis, pembuatan, dan imitasi yang merupakan turunan produk dari daerah lain.

Berdasarkan tafsir yuridis yang lazim dipakai dalam Apelasi Asal, aspek paling kuat untuk menentukan dapat tidaknya suatu tempat menjadi Apelasi Asal biasanya adalah faktor lingkungan alamnya.

Faktor ini dapat berupa karakter tanah, cuaca, atau kombinasi yang unik dari keduanya, yang membuat suatu produk yang tumbuh atau dihasilkan dari padanya memiliki ketinggian kualitas yang khusus dibandingkan dengan produk-produk dalam klasifikasi yang sama tetapi dikembangkan di lingkungan alam yang berbeda.

Faktor manusia yang mempengaruhi dan menguatkan karakter khusus tersebut juga diperhitungkan, tetapi harus dikaitkan dengan faktor lingkungan alam sebagai faktor dominan. Karenanya, definisi Apelasi Asal ini amat spesifik.

Hak yang menarik untuk dicatat adalah bahwa Perjanjian Lisabon 1958 memberikan ke-17 negara anggotanya perlindungan produk Apelasi Asal secara terus menerus.

Dalam Pasal 6 Perjanjian Lisabon, dinyatakan bahwa di dalam negara-negara anggota penandatangan perjanjian inim setiap barang


3. Perjanjian Lisabon Perjanjian Lisabon 1958 tentang perlindungan Apelasi Asal dan

Registrasi Internasionalnya atau The 1958 Lisabon Agreement for the Protection of Appellations of Origin and Their International Registration/Lisabon Agreement memperkenalkan term yang mirip dengan Indikasi Geografis, yakni Apelasi Asal atau Appellation of Origin. Apelasi asal ini dapat diterjemahkan sebagai nama formal asal.

Pasal 2 Ayat (1) perjanjian ini, Apelasi Asal atau Appellations of Origin didefinisikan sebagai nama geografis dari suatu negara, daerah, atau lokalitas yang menandakan bahwa suatu produk berasal darinya dan memberikan kualitas dan karakter yang secara eksklusif dan esensial disebabkan oleh lingkungan geografisnya, termasuk faktor-faktor alam dan faktor manusia.

Definisi ini memberikan perlindungan khusus, tidak hanya terhadap penggunaan suatu nama tempat secara tanpa hak, tetapi juga terhadap segala macam, jenis, pembuatan, dan imitasi yang merupakan turunan produk dari daerah lain.

Berdasarkan tafsir yuridis yang lazim dipakai dalam Apelasi Asal, aspek paling kuat untuk menentukan dapat tidaknya suatu tempat menjadi Apelasi Asal biasanya adalah faktor lingkungan alamnya.

Faktor ini dapat berupa karakter tanah, cuaca, atau kombinasi yang unik dari keduanya, yang membuat suatu produk yang tumbuh atau dihasilkan dari padanya memiliki ketinggian kualitas yang khusus dibandingkan dengan produk-produk dalam klasifikasi yang sama tetapi dikembangkan di lingkungan alam yang berbeda.

Faktor manusia yang mempengaruhi dan menguatkan karakter khusus tersebut juga diperhitungkan, tetapi harus dikaitkan dengan faktor lingkungan alam sebagai faktor dominan. Karenanya, definisi Apelasi Asal ini amat spesifik.

Hak yang menarik untuk dicatat adalah bahwa Perjanjian Lisabon 1958 memberikan ke-17 negara anggotanya perlindungan produk Apelasi Asal secara terus menerus.

Dalam Pasal 6 Perjanjian Lisabon, dinyatakan bahwa di dalam negara-negara anggota penandatangan perjanjian inim setiap barang

yang diproteksi menurut perjanjian ini tidak akan menjadi generik meskipun ia telah menjadi amat terkenal sehingga konsumen mulai menggeneralisasi barang-barang yang mirip sebagai barang tersebut.

4. Peraturan Perundang-Undangan Uni Eropa Di kalangan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa,

untuk melindungi produk-produk pertanian dan makanan yang berasal dari daerah tertentu, The Council Regulation (EEC) Nomor 2018/92 of14 July 1992 memakai istilah indikasi geografis atau geographical indication dan tanda atas asal yang berbeda atau The Designations of Origin.43

Disamping itu, istilah-istilah khusus lain yang dipakai dan mengarah kepada pengertian asal geografis suatu barang adalah indikasi geografis tidak langsung (Indirecr Geographycal Indications dan Denominasi Tradisional (Traditional Denominations) yang dapat diartikan sebaggai satuan ukur tradisional.44

Tanda atas asal yang berbeda atau designations of origins, objek perlindungan dari peraturan-peraturan ini adalah minuman anggur, minuman beralkohol lainnya (spirit), dan produk pertanian lainnya. Sedangkan peraturan lainnya tidak ada pembedaan atas asal yang berbeda dan designation of origin adalah nama dari sebuah daerah, tempat khusus, atau negara yang menunjuk kepada produk yang berasal dari daerah, tempat khusus, atau negara tersebut, yang kualitas dan karakter-karakter lainnya secara esensial atau ekssklusif disebabkan oleh lingkungan geografis tertentu.45

Dalam peraturan ini, tidak ada pembedaan atas tingkat- tingkat perlindungan, sehingga minuman anggur dan minuman beralkohol lainnya tidak diprodteksi lebih kuar daripada produk-produk pertanian lain. Akan tetapi, kekuatan proteksi bagi anggur, minuman beralkohol maupun produk- produk pertanian lainnya tersebut tergolong tinggi karena perlindungan tidak saja diberikan kepada

43 http://europa,eu.int diakses pada Hari Sabtu,Tanggal 12 September 2019, Pukul 19.00 WIB 44 Standing Committee in the Law of Trademarks, Indutrial Designs, and Geographical Indications. Hlm 6

45 Op.Cit


konsumen, tetapi juga produsen. Minuman anggur di proteksi melalui Regulation No.2392.89 of

24th July, 1989. Minuman beralkohol lainnya (spirit) dilindungi oleh Regulation No.1576/89. Adapun untuk produk pertanian lain, baik yang berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan Tanda dari Asal yang berbeda atau Designation of Origin, tersedia perlindungan dari Regulation No.2081/92 of 14th July, 1992.

Fungsi dari tanda atas asal yang berbeda atau designation of origin ini sendiri adalah untuk menerangkan bahwa suatu produk pertanian atau makanan berasal dari suatu daerah, yang kualitas atau karakteristiknya secara esensial atau eksklusif disebabkan oleh lingkungan geografis yang khusus, lengkap dengan faktor alam dan manusianya.46 5. Amerika Serikat

Beberapa ahli Indikasi Geografis dari Eropa sering berpendapat bahwa di Amerika Serikat, perlindungan Indikasi Geografis tidak berkembang. Meskipun demikian, di Amerika Serikat terdapat beberapa peraturan berkaitan dengan perlindungan Indikasi Geografis yang tidak diregistrasi. Jenis indikasi Geografis yang tidak di registrasi ini lazim dikenal sebagai Merek Bersertifikat berdasarkan Sistem Hukum Anglo Saxon atau a Common Law Certification Mark Based on Common Law System.47

Lord Simmons LC menyebutkan indikasi geografis yang tidak di registrasi ini sebagai asal geografis atau geographical origin yang merupakan tanda geografis yang tidak diregistrasi (unregistered geographical sign).48

Simmons juga mengemukakan dua faktor yang menyebabkan suatu tanda geografis tida diregistrasi. Pertama, karena suatu merek cenderung kehilangan karakters adaptasinya yang inheren sebagai daya pembeda jika Merek itu terdiri dari Asal Geografis.49 Kedua,

46 Ibid. 47 United States Paten and Trademark Office 2001. http://www.upsto.gov diakes pada hari

Jum’at Tanggal 25 Oktober 2019, Pukul 14.00 WIB 48 Lionel Bently Op.Cit. 49 Deborah Jackson. Introduction to Trademark Law, Passing Off, Trade Practices and Anti

Competitive Practices, Course Outline and Reading Guide. www.austlii.edu.au/cgi-bin


konsumen, tetapi juga produsen. Minuman anggur di proteksi melalui Regulation No.2392.89 of

24th July, 1989. Minuman beralkohol lainnya (spirit) dilindungi oleh Regulation No.1576/89. Adapun untuk produk pertanian lain, baik yang berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan Tanda dari Asal yang berbeda atau Designation of Origin, tersedia perlindungan dari Regulation No.2081/92 of 14th July, 1992.

Fungsi dari tanda atas asal yang berbeda atau designation of origin ini sendiri adalah untuk menerangkan bahwa suatu produk pertanian atau makanan berasal dari suatu daerah, yang kualitas atau karakteristiknya secara esensial atau eksklusif disebabkan oleh lingkungan geografis yang khusus, lengkap dengan faktor alam dan manusianya.46 5. Amerika Serikat

Beberapa ahli Indikasi Geografis dari Eropa sering berpendapat bahwa di Amerika Serikat, perlindungan Indikasi Geografis tidak berkembang. Meskipun demikian, di Amerika Serikat terdapat beberapa peraturan berkaitan dengan perlindungan Indikasi Geografis yang tidak diregistrasi. Jenis indikasi Geografis yang tidak di registrasi ini lazim dikenal sebagai Merek Bersertifikat berdasarkan Sistem Hukum Anglo Saxon atau a Common Law Certification Mark Based on Common Law System.47

Lord Simmons LC menyebutkan indikasi geografis yang tidak di registrasi ini sebagai asal geografis atau geographical origin yang merupakan tanda geografis yang tidak diregistrasi (unregistered geographical sign).48

Simmons juga mengemukakan dua faktor yang menyebabkan suatu tanda geografis tida diregistrasi. Pertama, karena suatu merek cenderung kehilangan karakters adaptasinya yang inheren sebagai daya pembeda jika Merek itu terdiri dari Asal Geografis.49 Kedua,

46 Ibid. 47 United States Paten and Trademark Office 2001. http://www.upsto.gov diakes pada hari

Jum’at Tanggal 25 Oktober 2019, Pukul 14.00 WIB 48 Lionel Bently Op.Cit. 49 Deborah Jackson. Introduction to Trademark Law, Passing Off, Trade Practices and Anti

Competitive Practices, Course Outline and Reading Guide. www.austlii.edu.au/cgi-bin

semakin besar wilayah yang berkaitan dengan asal suatu barang, semakin sulit juga registrasi didapat. Hal ini disebabkan produser yang potensial mengklaim haknya atas nama geografis wilayah tersebut akan lebih banyak dan bervariasi pula.50 Karenanya, prosedur perlindungan yang mungkin dilakukan adalah sertifikat dan bukan registrasi.

6. Perjanjian TRIPs Hukum internasional terpenting yang mengatur Indikasi

geografis adalah the Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including the Trade in Counterfeit Goods (TRIPs). Perjanjian internasional ini merupakan hasil dari Putaran Perjanjian Umum Internasional mengenai perdagangan dan tarif di uruguay pada tahun 1994.

Sebagai salah satu rezim dari keberlakuan TRIPs, Indikasi Geografis diatur berdasarkan tujuan utama TRIPs untuk mempromosikan perlindungan yang efektif dan memadai bagi Hak atas Kekayaan Intelektual tidak akan menjadi salah satu aspek nontarif yang menghalangi perdagangan barang dan jasa secara internasional.51

Sesuai dengan Pasal 22 Ayat (1) TRIPs, Indikasi Geografis adalah indikasi yang menandakan bahwa suatu barang berasal dari suatu teritori di dalam negara anggota atau daerah/lokalitas dalam teritori tersebut, sehingga kualitas, reputasi dan karakter lain dari barang tersebut ditentukan secara esensial oleh tempat asalnya. Artinya dalam konteks Indikasi Geografis, harus ada aspek-aspek khusus yang dapat berwujud unsur-unsur alam, lingkungan lain, atau benda-benda tertentu yang bersifat unik.52

aspek-aspek ini harus berpengaruh secara nyata terhadap kualitas barang tersebut53 dan menentukan reputasi dagang dari

50 Op.Cit. 51 Commonwealth of Australia Ministers of Trade’s Speeches Media Release MVT72002 52 Philip Griffith WIPO Australia Forum Secretariat Regional Workshop in IP Legislation for

the Pacific Island Forum Countries 4-5 December 2001, hlm. 1 53 http://www.wipo.org/about-ip/en/about_geographical_ind.html diakses pada Haro Jum’at tanggal 25 Oktober 2019, Pukul 15.00 WIB


barang tersebut.54 Sejauh ini, indikasi geografis umumnya dikenal sebagai rezim yang banyak memproteksi produk-produk pertanian.55

Misalnya minyak Zaitun Tuscany yang diproduksi di daerah tertentu bernama Basmati di India. Jadi, indikasi geografis mengemuka dari hubungan kuat antara produk dengan karakter tanah penghasil produk tersebut. Meskipun demikian, menurut TRIPs, aspek-aspek yang mempengaruhi karakter dari suatu barang dapat juga berasal dari lingkungan alam yang bukan tanah.

Beberapa negara yang memiliki produk-produk indikasi geografis yang kaya telah meninterprestasi arti dari lingkungan alam yang berpengaruh tersebut, misalnya Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati 1992 (Convention on Biodiversity). Dalam CBD, lingkungan alam dipandang sebagai suatu kesatuan alamiah. Karenanya, yang disebut sebagai lingkungan alam juga dapat berarti penduduk asli dari tempat asal suatu barang.

Pasal 22 Ayat (2a) TRIPs, dapat ditafsirkan bahwa tujuan utama dari perlindungan Indikasi Geografis adalah untuk melindungi konsumen dari kesesatan atau kebingungan. Tujuan ini serupa dengan tujuan utama dari Merek. Perbedaannya adalah, indikasi geografis selalu berkaitan dengan daerah asal barang. Kekhususannya, dalam Pasal 23 TRIPs yang menyediakan perlindungan tambahan atau additional protections untuk minuman anggur dan minuman beralkohol lainnya (spirit), perlindungan tidak saja diberikan kepada konsumen, tetapi juga kepada produsen. Inilah salah satu keunggulan perlindungan rezim Indikasi Geografis daripada Merek. C. Dampak HAKI bagi Indonesia

Negosiasi pada putaran Uruguay (GATT) akhirnya memutuskan Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia di Geneva pada tanggal 25 Desember 1993. Perjanjian terpisah mengenai perlindungan kekayaan intelektual, yaitu TRIPs juga diputuskan.

Persetujuan diatur dalam Part II, yaitu Standard Concerning the Available, Scope and Use of Intellectual Property Rights, yang

54 Ibid 55 Ibid


barang tersebut.54 Sejauh ini, indikasi geografis umumnya dikenal sebagai rezim yang banyak memproteksi produk-produk pertanian.55

Misalnya minyak Zaitun Tuscany yang diproduksi di daerah tertentu bernama Basmati di India. Jadi, indikasi geografis mengemuka dari hubungan kuat antara produk dengan karakter tanah penghasil produk tersebut. Meskipun demikian, menurut TRIPs, aspek-aspek yang mempengaruhi karakter dari suatu barang dapat juga berasal dari lingkungan alam yang bukan tanah.

Beberapa negara yang memiliki produk-produk indikasi geografis yang kaya telah meninterprestasi arti dari lingkungan alam yang berpengaruh tersebut, misalnya Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati 1992 (Convention on Biodiversity). Dalam CBD, lingkungan alam dipandang sebagai suatu kesatuan alamiah. Karenanya, yang disebut sebagai lingkungan alam juga dapat berarti penduduk asli dari tempat asal suatu barang.

Pasal 22 Ayat (2a) TRIPs, dapat ditafsirkan bahwa tujuan utama dari perlindungan Indikasi Geografis adalah untuk melindungi konsumen dari kesesatan atau kebingungan. Tujuan ini serupa dengan tujuan utama dari Merek. Perbedaannya adalah, indikasi geografis selalu berkaitan dengan daerah asal barang. Kekhususannya, dalam Pasal 23 TRIPs yang menyediakan perlindungan tambahan atau additional protections untuk minuman anggur dan minuman beralkohol lainnya (spirit), perlindungan tidak saja diberikan kepada konsumen, tetapi juga kepada produsen. Inilah salah satu keunggulan perlindungan rezim Indikasi Geografis daripada Merek. C. Dampak HAKI bagi Indonesia

Negosiasi pada putaran Uruguay (GATT) akhirnya memutuskan Perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia di Geneva pada tanggal 25 Desember 1993. Perjanjian terpisah mengenai perlindungan kekayaan intelektual, yaitu TRIPs juga diputuskan.

Persetujuan diatur dalam Part II, yaitu Standard Concerning the Available, Scope and Use of Intellectual Property Rights, yang

54 Ibid 55 Ibid

tercantum dari Section I, Article 9 s.d Section 8 Article 40. Hal-hal tersebut meliputi :56 1. Hak cipta dan hak-hak yang berkaitan dengan Hak cipta (Copy

Rights and Related Rights) 2. Merek dagang (trademarks) 3. Indikasi geografis (Geographical Indication) 4. Desain Industri (Industrial Design) 5. Patents; 6. Layout Designs (Topographies ) of Integrated Circuits; 7. Protection of Undiscloses Information 8. Control of Anti Competitive Practices in Contractual Licenses.

Menurut Ahmad M. Ramli, TRIPs sebagai suatu kesepakatan internasional memiliki relevansi dengan konvensi-konvensi dan perjanjian internasional lainnya di bidang HAKI. Dalam beberapa segi TRIPs merupakan kaidah penunjuk untuk berlakunya ketentuan-ketentuan perjanjian di bidang HAKI.

Anggota harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 s.d Pasal 12 dan Pasal 19 Konvensi Paris 1976 serta tidak satu pun ketentuan TRIPs yang memungkinkan negara-negara anggota terbebas dari kewajiban-kewajiban yang timbul atas dasar ketentuan Konvensi Paris, Konvensi Bern, Konvensi Roma dan perjanjian HAKI tentang Rangkaian Elektronik Terpadu.57

Untuk itulah pemerintah Indonesia, dalam kaitannya dengan rahasia dagang sebagai konsekuensi dari keanggotaan WTO dan konsekuensi dari perjanjian TRIPs, telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang.

Namun demikian, dalam pelaksanaannya sejauh mungkin mengupayakan pencegahan penerapan ketentuan TRIPs yang dapat merugikan kepentingan Indonesia.

Setelah Indonesia menyetujui dan menandatangani Perjanjian Putaran Uruguay, dari 110 negara anggota di Marrakesh pada tangga 15 April 1994 maka sebagai konsekuensinya pemerintah telah

56 Yayasan klinik HaK. 2001. Kumpulan Perundang-Undangan di Bidang HaKI. Cetakan Ke-1.

Bandung. Citra Aditya Bakti. Hl. vii 57 Ahmad Ramli. 13 April 2001. Perlindungan Rahasia Dagang. Jurnal Hukum Bisnis.

Volume 13. Hlm. 21


meratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), yang mencakup Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs (Aspek-Aspek HAKI yang terkait dengan perdagangan) sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pada Bagian IV Huruf C angka 11. Hal ini merupakan hasil formal perundingan Uruguay around, yang perjanjiannya berisi perjanjian di dibidang jasa dan perjanjian di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual.58

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, pada bagian IV huruf C angka 11 disebutkan bahwa trade related aspects of intellectual property rights, including trade in counterfeit goods/TRIPs yang mempunyai makna bahwa Aspek- Aspek HAKI yang terkait dengan perdagangan, termasuk perdagangan barang palsu.

Dengan tetap memperhatikan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). Perundingan tersebut mempunyai tujuan, yaitu : 1. Meningkatkan perlindungan terhadap hak atas kekayaan

intelektual dari produk-produk yang diperdagangkan; 2. Menjamin prosedur pelaksanaan hak atas kekayaan intelektual

yang tidak menghambat kegiatan perdagangan; 3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan

perlidnungan terhadap hak atas kekayaan intelektual; 4. Mengembang prinsip, aturan, dan mekanisme kerja sama

internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas Hak atas Kekayaan Intelektual.

Dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang didalamnya mencakup pula Agreement on Trade Related

58 H.S. Kartadjoemena. 2000. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Sistem Kelembagaan Prosedur Implementasi dan Kepentingan Negara Berkembang. Cetakan I. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Hlm.19-20


meratifikasi ke dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), yang mencakup Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs (Aspek-Aspek HAKI yang terkait dengan perdagangan) sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan pada Bagian IV Huruf C angka 11. Hal ini merupakan hasil formal perundingan Uruguay around, yang perjanjiannya berisi perjanjian di dibidang jasa dan perjanjian di bidang Hak atas Kekayaan Intelektual.58

Dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994, pada bagian IV huruf C angka 11 disebutkan bahwa trade related aspects of intellectual property rights, including trade in counterfeit goods/TRIPs yang mempunyai makna bahwa Aspek- Aspek HAKI yang terkait dengan perdagangan, termasuk perdagangan barang palsu.

Dengan tetap memperhatikan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh World Intellectual Property Organization (WIPO). Perundingan tersebut mempunyai tujuan, yaitu : 1. Meningkatkan perlindungan terhadap hak atas kekayaan

intelektual dari produk-produk yang diperdagangkan; 2. Menjamin prosedur pelaksanaan hak atas kekayaan intelektual

yang tidak menghambat kegiatan perdagangan; 3. Merumuskan aturan serta disiplin mengenai pelaksanaan

perlidnungan terhadap hak atas kekayaan intelektual; 4. Mengembang prinsip, aturan, dan mekanisme kerja sama

internasional untuk menangani perdagangan barang-barang hasil pemalsuan atau pembajakan atas Hak atas Kekayaan Intelektual.

Dalam kaitannya dengan globalisasi perdagangan, Indonesia telah meratifikasi Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang didalamnya mencakup pula Agreement on Trade Related

58 H.S. Kartadjoemena. 2000. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian

Sengketa Sistem Kelembagaan Prosedur Implementasi dan Kepentingan Negara Berkembang. Cetakan I. Jakarta. Universitas Indonesia Press. Hlm.19-20

Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) sebagaimana telah diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994.

Ratifikasi atas persetujuan-persetujuan tersebut mendukung ratifikasi Paris Convention for the Protection of Industrial Property (Konvensi Paris) dengan Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 1997 dan keikutsertaan Indonesia dalam The Hague Agreement (London Act) Concerning the International Deposit of Industrial Designs.

Selain mewujudkan komitmen terhadap persetujuan TRIPs, pengaturan Desain Industri dimaksudkan untuk memberikan landasan bagi perlindungan yang efektif terhadap berbagai bentuk penjiplakan, pembajakan, atau peniruan atas Desain Industri yang telah dikenal luas. Adapun prinsip pengaturannya adalah pengakuan kepemilikan atas karya intelektual yang memberikan kesan estetis dan dapat diproduksi secara berulang-ulang, serta dapat menghasilkan suatu barang dalam bentuk dua atau tiga dimensi.

Pencipta sebagai subjek hak cipta adalah seseorang atau beberapa orang yang karena inspirasinya menghasilkan suatu ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Penelu sebagai subjek paten adalag seseorang yang secara sendri atau beberapa orang secara bersama-sama melaksanakan kegiatan pemecahan masalah tertentu di bidang teknologi berupa proses atau hasil produksi.

Pendesain adalah seseorang atau beberapa orang yang menghasilkan desain industri, dalam suatu kreasi tentang bentuk, konfigurasi, atau komposisi baik komposis garis dan/atau warna atau gabungan daripadanya yang berbentuk tiga dimensi atau dua dimensi yang memberikan kesan estetis dan dapat diwujudkan dalam pola tiga dimensi atau dua dimensi serta dapat dipakai untuk menghasilkan suatu produk, barang atau komoditi industri dan kerajinan tangan.

Sedangkan indikasi geografis menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dan kedua faktor


tersebut memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Barang-barang tiruan sangat berpengaruh bahkan berbehaya bagi perekonomian nasional dan/atau ekonomi global. Munculnya barang tiruan tersebut juga berbahaya bagi pemilik HAKI dan juga konsumennya secara umum. Pengaruh barang tiruan adalah sebagai berikut : 1. Kerugian besar terhadap ekonomi global dengan beredarnya

barang-barang tiruan dan bajakan. Setiap tahun sekitar 3%-7% dari jumlah total barang yang beredar di pasaran adalah merupakan barang tiruan. Total kerugian terhadap ekonomi global diperkirakan sebesar US$70-80juta/tahun. Sementara pajak terhadap barang tiruan tersebut tidak dibayar kepada negara dimana barang-barang tiruan tersebut diproduksi, diekspor atau diimpor dan/atau diedarkan melalui pasar gelap. Dengan kata lain pemerintah kehilangan pemasukan dari pajak. Untuk mencegah peredaran barang tiruan dan bajakan, para penegak hukum seperti polisi, jaksa, pengadilan, bea cukai dan badan-badan pemerintahan yang berkaitan perlu mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan, kemudian sejumlah biaya yang diperlukan untuk itu ditanggung oleh pemerintah. Dengan kata lain, pajak yang dibayarkan oleh warga negara yang beritikad baik akan digunakan untuk mengatasi masalah pemalsuan. Hal ini dianggap sebagai salah satu pengeluaran yang tidak dapat diterima dan tidak dapat bermanfaat bagi ekonomi nasional.

2. Dampak terhadap pemilik HAKI Para pemilik HAKI harus menanggung beban yang berat atas biaya untuk melarang produksi, peredaran, ekspor dan impor barang-barang tiruan. Pemilik HAKI atau produsen barang-barang asli yang diberi wewenang sebenarnya dirugikan oleh menurunnya permintaan pasar dan juga hilangnya reputasi dan keuntungan sampingan (goodwill)

3. Dampak terhadap Konsumen Bagi konsumen, barang-barang yang dibeli kualitasnya lebih rendah dari yang diharapkan. Selain itu konsumen yang


tersebut memberikan reputasi, kualitas dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Barang-barang tiruan sangat berpengaruh bahkan berbehaya bagi perekonomian nasional dan/atau ekonomi global. Munculnya barang tiruan tersebut juga berbahaya bagi pemilik HAKI dan juga konsumennya secara umum. Pengaruh barang tiruan adalah sebagai berikut : 1. Kerugian besar terhadap ekonomi global dengan beredarnya

barang-barang tiruan dan bajakan. Setiap tahun sekitar 3%-7% dari jumlah total barang yang beredar di pasaran adalah merupakan barang tiruan. Total kerugian terhadap ekonomi global diperkirakan sebesar US$70-80juta/tahun. Sementara pajak terhadap barang tiruan tersebut tidak dibayar kepada negara dimana barang-barang tiruan tersebut diproduksi, diekspor atau diimpor dan/atau diedarkan melalui pasar gelap. Dengan kata lain pemerintah kehilangan pemasukan dari pajak. Untuk mencegah peredaran barang tiruan dan bajakan, para penegak hukum seperti polisi, jaksa, pengadilan, bea cukai dan badan-badan pemerintahan yang berkaitan perlu mengambil tindakan-tindakan yang dibutuhkan, kemudian sejumlah biaya yang diperlukan untuk itu ditanggung oleh pemerintah. Dengan kata lain, pajak yang dibayarkan oleh warga negara yang beritikad baik akan digunakan untuk mengatasi masalah pemalsuan. Hal ini dianggap sebagai salah satu pengeluaran yang tidak dapat diterima dan tidak dapat bermanfaat bagi ekonomi nasional.

2. Dampak terhadap pemilik HAKI Para pemilik HAKI harus menanggung beban yang berat atas biaya untuk melarang produksi, peredaran, ekspor dan impor barang-barang tiruan. Pemilik HAKI atau produsen barang-barang asli yang diberi wewenang sebenarnya dirugikan oleh menurunnya permintaan pasar dan juga hilangnya reputasi dan keuntungan sampingan (goodwill)

3. Dampak terhadap Konsumen Bagi konsumen, barang-barang yang dibeli kualitasnya lebih rendah dari yang diharapkan. Selain itu konsumen yang

membeli obat-obatan palsu yang rusak atau onderdil mobil tidak mendapat ganti kerugian jika berakibat tragis.

4. Dampak terhadap Masyarakat Keuntungan tidak sah yang dipeoleh para pemalsu bisa mengalir ke tempat pencucian uang oleh kelompok- kelompok kejahatan.

D. Penegakan Hukum Indikasi Geografis di Indonesia 1. Penegakan Hukum HAKI di Indonesia

Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis memuat aturan sesuai dengan standar TRIPs. Indikasi geografis melindungi tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Suatu indikasi geografis dapat dilindungi setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang memproduksi barang bersangkutan, lembaga yang diberi kewenangan untuk itu, dan/atau kelompok konsumen barang tersebut. Ketentuan mengenai pengumuman dan permohonan banding berlaku juga pada indikasi geografis. Suatu indikasi geografis terdaftar mendapat perlindungan hukum yang berlangsung selama ciri dan/atau kualitas yang menjadi dasar bagi diberikannya perlindungan atas indikasi geografis tersebut masih ada. a. Ketentuan Penegakan Hukum HAKI di Indonesia

Prosedur penegakan hukum diperlukan untuk melindungi hak kekayaan intelektual, selain untuk meningkatkan kreativitas para pencipta, pendesain atau inventor. Prosedur penegakan hukum juga diatur dalam TRIPs.

Perjanjian TRIPs menetapkan bahwa para anggota harus menjamin prosedur penegakan hukum yang dapat diterapkan dalam hukum mereka. Prosedur mengenai penegakan hukum hak kekayaan intelektual haruslah jujur dan adil atau tidak boleh terjadi penundaan, serta para pihak yang berperkara mempunyai


kesempatan untuk meninjau kembali melalui lembaga yudisial. Ada beberapa prosedur penegakan hukum, diantaranya adalah prosedur perdata dan administratif, tindakan sementara, dan tindakan khusus di perbatasan, yang akan dijelaskan secara rinci dibawah ini :

1) Prosedur Perdata dan Administratif

Para anggota yang tergabung dalam TRIPs harus menyediakan prosedur peradilan perdata bagi sengketa HAKI dalam rangka penegakan hukumnya, dengan berlandaskan pada prosedur yang wajar dan adil. Pengadilan berwenang memerintahkan kepada tergugat agar menyediakan bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat yang dikuasai tergugat. Dalam hal dimana suatu pihak yang berperkara secara sukarela dan tanpa alasan yang tepat menolak akses kepada, atau secara sengaja menghalangi suatu prosedur sehubungan dengan tindakan penegakan hukum, negara anggota dapat memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menjatuhkan putusan awal dan akhir berdasarkan informasi yang diajukan pada mereka. Sebelum adanya putusan terhadap sengketa HAKI, Pengadilan berwenang memberikan putusan sela, yaitu memerintahkan penghentian peredaran barang-barang hasil pelanggaran HAKI kepada suatu pihak untuk mencegah baranf-barang tersebut masuk ke wilayah hukum negara anggota, setelah dilepas oleh pihak bea cukai. Pengadilan berwenang untuk memerintahkan kepada pelanggar agar membayar ganti rugi sebagai kompensasi kerugian yang diderita oleh pemegang hak. Perjanjian TRIPs juga menetapkan bahwa pengadilan berwenang memerintahkan pelanggar untuk membayar biaya- biaya pemegang hak dan dalam kasus yang memungkinkan, para anggota dapat memberikan kewenangan pada badan peradilan untuk memerintahkan penggantian keuntungan dan/atau pembayaran atas kerugian-kerugian bahkan dimana pelanggar tidak mengetahui atau dengan alasan yang layak untuk mengetahui, terkait dalam suatu tindakan pelanggaran.


kesempatan untuk meninjau kembali melalui lembaga yudisial. Ada beberapa prosedur penegakan hukum, diantaranya adalah prosedur perdata dan administratif, tindakan sementara, dan tindakan khusus di perbatasan, yang akan dijelaskan secara rinci dibawah ini :

1) Prosedur Perdata dan Administratif

Para anggota yang tergabung dalam TRIPs harus menyediakan prosedur peradilan perdata bagi sengketa HAKI dalam rangka penegakan hukumnya, dengan berlandaskan pada prosedur yang wajar dan adil. Pengadilan berwenang memerintahkan kepada tergugat agar menyediakan bukti-bukti yang diajukan oleh penggugat yang dikuasai tergugat. Dalam hal dimana suatu pihak yang berperkara secara sukarela dan tanpa alasan yang tepat menolak akses kepada, atau secara sengaja menghalangi suatu prosedur sehubungan dengan tindakan penegakan hukum, negara anggota dapat memberikan kewenangan kepada pengadilan untuk menjatuhkan putusan awal dan akhir berdasarkan informasi yang diajukan pada mereka. Sebelum adanya putusan terhadap sengketa HAKI, Pengadilan berwenang memberikan putusan sela, yaitu memerintahkan penghentian peredaran barang-barang hasil pelanggaran HAKI kepada suatu pihak untuk mencegah baranf-barang tersebut masuk ke wilayah hukum negara anggota, setelah dilepas oleh pihak bea cukai. Pengadilan berwenang untuk memerintahkan kepada pelanggar agar membayar ganti rugi sebagai kompensasi kerugian yang diderita oleh pemegang hak. Perjanjian TRIPs juga menetapkan bahwa pengadilan berwenang memerintahkan pelanggar untuk membayar biaya- biaya pemegang hak dan dalam kasus yang memungkinkan, para anggota dapat memberikan kewenangan pada badan peradilan untuk memerintahkan penggantian keuntungan dan/atau pembayaran atas kerugian-kerugian bahkan dimana pelanggar tidak mengetahui atau dengan alasan yang layak untuk mengetahui, terkait dalam suatu tindakan pelanggaran.

Di samping ketentuan mengenai putusan sela dan ganti rugi, Perjanjian TRIPs juga menetapkan bahwa dalam rangka menciptakan suatu pencegahan yang efektif atas pelanggaran, badan peradilan mempunyai kewenangan untuk memerintahkan agar barang-barang pelanggaran dapat dibuang ke luar jalur perdagangan atau dimusnahkan dan materi-materi dan peralatan utama yang digunakan untuk menghasilkan barang-barang pelanggaran dapat dibuang ke luar jalur perdagangan. Negara anggota dapat menentukan bahwa badan peradilan berwenang untuk memerintahkan pelanggar agar memberitahukan kepada pemegang hak atas identitas pihak ketiga yang terlibat dalam produksi dan distribusi atas barang-barang atau jasa-jasa yang melanggar dan jalur distribusinya. Badan peradilan mempunyai kewenangan untuk memerintahkan suatu pihak yang telah menyalahgunakan prosedur penegakan hukum untuk menyediakan kompensasi yang layak terhadap kerugian yang diderita oleh pihak yang tidak bersalah. Perjanjian TRIPs juga menetapkan pengecualian terhadap tanggung jawab lembaga publik dan pejabat yang terlibat dalam perlindungan atau penegakan hukum hak kekayaan intelektual apabila tindakan mereka didasarkan niat baik dalam rangka penyelenggaraan administrasi hukum. Dalam hal suatu upaya perdata dapat ditetapkan berdasar prosedur administrative atas suatu pokok perkara, prosedur tersebut harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Bab ini.

2) Tindakan Sementara

Dalam rangka mencegak terjadinya pelanggaran HAKI, pengadilan berwenang memerintahkan tindakan sementara yang cepat dan efektif untuk mencegah masuknya barang- barang pelanggaran ke dalam wilayah hukum negara anggota, termasuk barang impor yang dilepas oleh pihak bea cukai dan melindungi bukti-bukti terkait dengan dugaan atas pelanggaran HAKI.


Badan peradilan juga mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan sementara sekiranta akan terjadi pemegang hak atas kekayaan intelektual mengalami kerugian yang tida dapat diperbaiki atau terdapat dugaan bahwa barang-barang hasil pelanggaran sebagai barang bukti akan dimusnahkan.

3) Tindakan Khusus di Perbatasan

Negara anggota diwajibkan untuk memberikan suatu ketentuan agar pemegang hak dapat mengajukan permohonan tertulis kepada pihak yang berwenang (lembaga administratif maupun badan peradilan) untuk menunda barang-barang hasil pelanggaran dilempar ke arus perdagangan/pasar oleh lembaga bea cukai.

Perjanjian TRIPs juga menyerahkan kebijaksanaan masing- masing anggota, yaitu : a. Untuk dapat memungkinkan permohonan tersebut dibuat

sehubungan dengan barang yang tersangkut dengan pelanggaran lain atas hak kekayaan intelektual

b. Untuk menyediakan prosedur yang sesuai mengenai penundaan oleh lembaga pabean atas pembebasan barang-barang yang melanggar yang dipersiapkan untuk ekspor dari wilayahnya.

Setiap pemegang hak yang mengajukan permohonan tertulis, diwajibkan menyediakan bukti yang cukup untuk meyakinkan lembaga yang berwenang bahwa terdapat prima facie suatu pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan memberikan keterangan yang cukup rinci atas barang- barang tersebut agar mudah dikenal pihak bea dan cukai.

Perjanjian TRIPs memuat ketentuan mengenai penyediaan jaminan atau sejenisnya bagi pemohon/pemegang hak guna melindungi tergugat dari pihak yang berwenang atau mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh tergugat.

Pengimpor dan pemohon wajib diberitahu tentang adanya penangguhan atas penahanan barang-barang. Jangka waktu penangguhan dalam TRIPs adalah apabila dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja sejak pemohon diberitahu adanya penangguhan,


Badan peradilan juga mempunyai kewenangan untuk mengambil tindakan sementara sekiranta akan terjadi pemegang hak atas kekayaan intelektual mengalami kerugian yang tida dapat diperbaiki atau terdapat dugaan bahwa barang-barang hasil pelanggaran sebagai barang bukti akan dimusnahkan.

3) Tindakan Khusus di Perbatasan

Negara anggota diwajibkan untuk memberikan suatu ketentuan agar pemegang hak dapat mengajukan permohonan tertulis kepada pihak yang berwenang (lembaga administratif maupun badan peradilan) untuk menunda barang-barang hasil pelanggaran dilempar ke arus perdagangan/pasar oleh lembaga bea cukai.

Perjanjian TRIPs juga menyerahkan kebijaksanaan masing- masing anggota, yaitu : a. Untuk dapat memungkinkan permohonan tersebut dibuat

sehubungan dengan barang yang tersangkut dengan pelanggaran lain atas hak kekayaan intelektual

b. Untuk menyediakan prosedur yang sesuai mengenai penundaan oleh lembaga pabean atas pembebasan barang-barang yang melanggar yang dipersiapkan untuk ekspor dari wilayahnya.

Setiap pemegang hak yang mengajukan permohonan tertulis, diwajibkan menyediakan bukti yang cukup untuk meyakinkan lembaga yang berwenang bahwa terdapat prima facie suatu pelanggaran atas hak kekayaan intelektual dan memberikan keterangan yang cukup rinci atas barang- barang tersebut agar mudah dikenal pihak bea dan cukai.

Perjanjian TRIPs memuat ketentuan mengenai penyediaan jaminan atau sejenisnya bagi pemohon/pemegang hak guna melindungi tergugat dari pihak yang berwenang atau mencegah penyalahgunaan yang dilakukan oleh tergugat.

Pengimpor dan pemohon wajib diberitahu tentang adanya penangguhan atas penahanan barang-barang. Jangka waktu penangguhan dalam TRIPs adalah apabila dalam jangka waktu paling lama 10 hari kerja sejak pemohon diberitahu adanya penangguhan,

pihak bea cukai tidak mendapat pemberitahuan mengenai proses beracara atau pihak yang berwenang telah memperpanjang masa penangguhan, maka barabf-barang tersebut wajib dilepaskan sepanjang semua persyaratan ekspor impor terpenuhi.

Pihak berwenang berhak memerintahkan pemohon untuk membayar kerugian kepada importir dan pemilik barang akibat penahanan yang keliru atau akibat penangguhan pelepasan barang.

Negara anggota diwajibkan untuk menetapkan kepada pihak berwenang agar dapat memberikan kesempatan kepada pemegang hak untuk memeriksa barang yang berada dalam penahanan pihak bea cukai untuk memperkuat gugatannya, dengan tanpa mengurangi perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan. Pihak yang berwenang juga berhak memberikan kesempatan yang sama untuk memeriksa barang- barang yang bersangkutan kepada importir.

Perjanjian TRIPs memuat ketentuan mengenai tindakan ex officio oleh lembaga yang berwenang atas inisiatif mereka sendiri untuk menahan barang-barang pelanggaran hak kekayaan intelektual.

Tindakan ex officio tersebut seperti meminta informasi setiap saat kepada pemegang hak dan pemberitahuan adanya penangguhan penahanan barang kepada pemegang hak atau importir, dikarenakan adanya permintaan banding dari mereka. Persyaratan penangguhan penahaman barang berlaku mutatis mutandis.

Tanpa mengurangi hak penggugat dan tergugat, pihak yang berwenang berhak untuk memerintahkan pemusnahan atau penghancuran barang-barang hasil pelanggaran sesuai prinsip-prinsip yang ada dan sehubungan dengan barang bermerek yang dipalsukan pihak yang berwenang tersebut tidak boleh membiarkan ekspor ulang atas barang-barang pelanggaran.

Perjanjian TRIPs menyerahkan pada kebijaksanaan masing- masing negara anggota untuk menerapkan ketentuan terhadap sejumlah kecil barang yang tidak bersifat komersial yang merupakan barang bawaan pribadi atau yang dikirim dalam paket kecil.


Perjanjian TRIPs menetapkan kepada negara anggota untuk menyediakan prosedur dan sanksi pidana penjara dan/atau denda kepada pelaku pelanggaran HKI yang dilakukan secara sengaja dan untuk tujuan komersial (seperti misalnya pemalsuan merek dan pembajakan hak cipta). Dalam perkara tertentu, dapat dilakukan upaya penyitaan dan/atau pemusnahan barang-barang hasil kejahatan.

b. Aspek-Aspek Hukum Penegakan HAKI di Indonesia Upaya penegakan hukum sesuai perjanjian TRIPs terdapat

beberapa langkah-langkah dalam penegakan hukum HKI di Indonesia, yaitu penyelesaian sengketa HAKI, Penetapan Sementara, Kerugian, Ketentuan Pidana, Upaya hukum lainnya, dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan batas negara, yang akan dijelaskan dibawah ini : 1) Penyelesaian Sengketa HAKI

Untuk menyesuaikan dengan perjanjian TRIPs, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan HKI di Indonesia telah diamandemen secara khusus yang menghasilkan beberapa perubahan mendasar dalam hukum acara di Indonesia. Beberapa ciri khusus yang membedakan dengan hukum secara umum, adalah : a) Semua kasus perdata HKI berada di bawah kewenangan

Pengadilan Niaga kecuali Rahasia Dagang; b) Masa pemberian putusan baik pengadilan tingkat pertama

maupun pengadilan tingkat yang lebih tinggi dibatasi oleh waktu tertentu;

c) Putusan hakim tingkat pertama tidak dapat diajukan banding, melainkan langsung ke kasasi Mahkamah Agung dengan maksud untuk menghindari penundaan waktu dari pihak yang kalah;

d) Kemungkinan dilaksanakan penetapan sementara berupa suatu perintah pengadilan yang diajukan sebelum kasus tersebut yang diajukan ke Pengadilan Niaga, khususnya


Perjanjian TRIPs menetapkan kepada negara anggota untuk menyediakan prosedur dan sanksi pidana penjara dan/atau denda kepada pelaku pelanggaran HKI yang dilakukan secara sengaja dan untuk tujuan komersial (seperti misalnya pemalsuan merek dan pembajakan hak cipta). Dalam perkara tertentu, dapat dilakukan upaya penyitaan dan/atau pemusnahan barang-barang hasil kejahatan.

b. Aspek-Aspek Hukum Penegakan HAKI di Indonesia Upaya penegakan hukum sesuai perjanjian TRIPs terdapat

beberapa langkah-langkah dalam penegakan hukum HKI di Indonesia, yaitu penyelesaian sengketa HAKI, Penetapan Sementara, Kerugian, Ketentuan Pidana, Upaya hukum lainnya, dan ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan batas negara, yang akan dijelaskan dibawah ini : 1) Penyelesaian Sengketa HAKI

Untuk menyesuaikan dengan perjanjian TRIPs, beberapa ketentuan dalam peraturan perundang-undangan HKI di Indonesia telah diamandemen secara khusus yang menghasilkan beberapa perubahan mendasar dalam hukum acara di Indonesia. Beberapa ciri khusus yang membedakan dengan hukum secara umum, adalah : a) Semua kasus perdata HKI berada di bawah kewenangan

Pengadilan Niaga kecuali Rahasia Dagang; b) Masa pemberian putusan baik pengadilan tingkat pertama

maupun pengadilan tingkat yang lebih tinggi dibatasi oleh waktu tertentu;

c) Putusan hakim tingkat pertama tidak dapat diajukan banding, melainkan langsung ke kasasi Mahkamah Agung dengan maksud untuk menghindari penundaan waktu dari pihak yang kalah;

d) Kemungkinan dilaksanakan penetapan sementara berupa suatu perintah pengadilan yang diajukan sebelum kasus tersebut yang diajukan ke Pengadilan Niaga, khususnya

untuk mengumpulkan barang bukti dan mencegah barang-barang hasil pelanggaran masuk dipasaran;

e) Bentuk dan pelanggaran HKI secara spesifik disebut dalam undang-undang HKI.

Dalam Undang-Undang Merek dan Indikasi Geografis disebutkan bahwa gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Niaga dalam wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. Jika tergugat di luar wilayah Indonesia maka gugatan diajukan ke Pengadilan Niaga pusat di Jakarta. Sistem prosedur yang digunakan dalam gugatan pembatalan merek dan indikasi geografis serupa dengan gugatan kepailitan. Misalnya jangka waktu untuk menyelesaikan kasus di Pengadilan Niaga lebih cepat daripada di Pengadilan Negeri dalam kasus yang sama.

2) Penetapan Sementara

Penetapan sementara atau injunction sesuai dengan Pasal 50 TRIPs memberikan ketentuan mengenai penetapan sementara yang dilakukan oleh Pengadilan sebelum kasus HKI diajukan ke Pengadilan Niaga. Jika Pengadilan Niaga telah mengeluarkan putusan sementara, hakim yang memeriksa harus memutuskan apakah akan mengubah atau membatalkan atau menguatkan putusan tersebut dalam waktu paling lama 30 hari sejak dikeluarkannya putusan penetapan sementara tersebut.

3) Kerugian Sehubungan dengan ketentuan mengenai gugatan ganti rugi dalam perjanjian TRIPs, berbagai peraturan di bidang HKI juga telah mengadopsi ketentuan tersebut. Mengenai penggantian kerugian bagi tergugat sesuai Pasal 48 perjanjian TRIPs, undang-undang hak cipta, merek dan indikasi geografis, dan desain industri memberik hak untuk mengajukan ganti kerugian yang ditimbulkan dari penetapan sementara.


4) Ketentuan Pidana Seluruh undang-undang di bidang HKI telah mengatur ketentuan pidana sesuai Pasal 61 perjanjian TRIPs. Sanksi pidana pada undang-undang merek dan indikasi geografis dikenakan kepada pelanggar adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (Satu Milyah Rupiah)

5) Upaya hukum lainnya

Hukum acara pidana memberikan hak kepada pengadilan untuk memerintahkan barang-barang yang diduga hasil pelanggaran pihak lain untuk dienyahkan atau dimusnahkan. Penyidik atas izin dari Pengadilan berhak melakukan penyitaan barang-barang hasil pelanggaran HKI. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

6) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan batas negara Ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan batas negara, yaitu penangguhan oleh lembaga bea cukai, pemeriksaan dari pemilik atau pemegang hak, dan pengawasan dan pembatasan. (a) Penangguhan oleh lembaga bea cukai

Sesuai dengan Perjanjian TRIPs dalam Bab III bagian ke-4, sebuah bab khusus telah ditambahkan dalam Undang-Undang Kepabeanan yaitu mengenai penangguhan impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual.

(b) Pasal 54 Undang-Undang Kepabeanan Mengandung ketentuan tentang penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran yang dilindungi di Indoensia. Penangguhan ini dilakukan oleh lembaga bea cukai atau


4) Ketentuan Pidana Seluruh undang-undang di bidang HKI telah mengatur ketentuan pidana sesuai Pasal 61 perjanjian TRIPs. Sanksi pidana pada undang-undang merek dan indikasi geografis dikenakan kepada pelanggar adalah pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (Satu Milyah Rupiah)

5) Upaya hukum lainnya

Hukum acara pidana memberikan hak kepada pengadilan untuk memerintahkan barang-barang yang diduga hasil pelanggaran pihak lain untuk dienyahkan atau dimusnahkan. Penyidik atas izin dari Pengadilan berhak melakukan penyitaan barang-barang hasil pelanggaran HKI. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

6) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan batas negara Ada beberapa ketentuan yang berkaitan dengan batas negara, yaitu penangguhan oleh lembaga bea cukai, pemeriksaan dari pemilik atau pemegang hak, dan pengawasan dan pembatasan. (a) Penangguhan oleh lembaga bea cukai

Sesuai dengan Perjanjian TRIPs dalam Bab III bagian ke-4, sebuah bab khusus telah ditambahkan dalam Undang-Undang Kepabeanan yaitu mengenai penangguhan impor atau ekspor barang hasil pelanggaran hak atas kekayaan intelektual.

(b) Pasal 54 Undang-Undang Kepabeanan Mengandung ketentuan tentang penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean yang berdasarkan bukti yang cukup, diduga merupakan hasil pelanggaran yang dilindungi di Indoensia. Penangguhan ini dilakukan oleh lembaga bea cukai atau

perintah tertulis dari Pengadilan Niaga. Pemeriksaan dari pemilik atau pemegang hak Pemilik atau pemegang hak atas merek atau hak cipta berhak untuk memeriksa barang impor atau ekspor yang diminta penangguhan pengeluaran atas izin Pengadilan Niaga. Pemberian izin pemeriksaan tersebut diberikan setelah mendengarkan dan mempertimbangkan kepentingan pemilik barang impor atau ekspor yang dimintakan penangguhan pengeluarannya.

(c) Pengawasan dan pembatasan Dalam rangka pengawasan dan pembatasan barang impor dan ekspor yang dilakukan oleh lembaga bea cukai wajib diberitahukan kepada Menteri Keuangan. Selanjutnya terhadap semua barang yang dilarang atau dibatasi yang tidak memenuhi syarat untuk di impor atau di ekspor, jika telah diberitahukan dengan pemberitahuan pabean, atas permintana importir atau eksportir, dibatalkan ekspornya, diekspor kembali, atau dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat bea dan cukai, kecuali terhadap barang dimaksud ditetapkan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c. Prosedur Penegakan Hukum HAKI di Indonesia Pemantauan pasaradalah suatu tindakan penting dalam

mendeteksi pelanggaran di bidang HKI. Pemantauan dibutuhkan untuk mengambil langkah yang sesuai dengan penegakan hukum HKI. Selain itu juga, pemantauan dilakukan oleh pemilik HKI, untuk mengurangi jumlah tindak pidana di bidang HKI.

Prosedur penegakan hukum di bidang HKI dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu prosedur pidana dan prosedur perdata. Prosedur pidana dilakukan oleh penyidik, penuntut, hakim pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan mahkamah agung. Dalam prosedur pidana dikenal adanya banding dan kasasi, delik biasa dan delik aduan. Prosedur perdata diajukan ke Pengadilan Niaga dan upaya hukum lainnya ke Mahkamah Agung. Selain penyelesaian tersebut,


sengketa HKI juga dapat dilakukan dengn Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. 1) Prosedur Pidana

Dalam menyelesaikan perkara pidana di Bidang HKI diperlukan beberapa prosedur sesuai dengan KUHAP. Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku pelanggaran HKI adalah untuk memberikan penjeraan terhadap pelaku tindak pidana HKI, yang bisa secara spesifik terhadap si pelaku dan juga secara umum untuk anggota komunitas. a) Penyelidikan

Sebelum melakukan penyidikan, Penyidik Polri dapat melakukan penyelidikan, dalam rangka : (1) Menemukan informasi dan barang bukti untuk menentukan

adanya suatu tindakan yang dilaporkan sebagai tindak pidana;

(2) Melengkapi informasi dan barang bukti yang diperlukan sebelum melakukan tindakan lebih lanjut.

(3) Menyiapkan langkah-langkah pemeriksaan/penyidikan. Penyelidikan juga dilakukan untuk membuktikan keabsahan kepemilikan HKI dari pelapor atau pemegang hak yang menjadi korban serta untuk membuktikan keberadaan dari pelanggaran HKI dari pelapor/korban oleh tersangka. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undnag-undang untuk melakukan penyidikan. Seorang PPNS, dituntut memiliki keahlian hukum, pemahaman terhadap HKI serta mempunyai kemampuan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan KUHAP.

b) Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana


sengketa HKI juga dapat dilakukan dengn Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa. 1) Prosedur Pidana

Dalam menyelesaikan perkara pidana di Bidang HKI diperlukan beberapa prosedur sesuai dengan KUHAP. Sanksi pidana yang diberikan kepada pelaku pelanggaran HKI adalah untuk memberikan penjeraan terhadap pelaku tindak pidana HKI, yang bisa secara spesifik terhadap si pelaku dan juga secara umum untuk anggota komunitas. a) Penyelidikan

Sebelum melakukan penyidikan, Penyidik Polri dapat melakukan penyelidikan, dalam rangka : (1) Menemukan informasi dan barang bukti untuk menentukan

adanya suatu tindakan yang dilaporkan sebagai tindak pidana;

(2) Melengkapi informasi dan barang bukti yang diperlukan sebelum melakukan tindakan lebih lanjut.

(3) Menyiapkan langkah-langkah pemeriksaan/penyidikan. Penyelidikan juga dilakukan untuk membuktikan keabsahan kepemilikan HKI dari pelapor atau pemegang hak yang menjadi korban serta untuk membuktikan keberadaan dari pelanggaran HKI dari pelapor/korban oleh tersangka. Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undnag-undang untuk melakukan penyidikan. Seorang PPNS, dituntut memiliki keahlian hukum, pemahaman terhadap HKI serta mempunyai kemampuan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan KUHAP.

b) Penyidikan Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang tentang Hukum Acara Pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana

yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Dalam rangka penyidikan perkara pidana di bidang HKI, penyidik mempunyai kewenangan untuk :

(1). Melakukan pemeriksaan atas kebenaran pengaduan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana HKI;

(2). Melakukan pemeriksaan terhadap pihak atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang HKI;

(3). Meminta keterangan dan bahan bukti dari pihak atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang HKI;

(4). Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, pencatatan dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang HKI;

(5). Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat barang bukti pembukuan, pencatatan dan dokumen lain di bidang HKI;

(6). Melakukan penyitaan bersama-sama dengan pihak Kepolisian terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang HKI;

(7). Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikian tindak pidana di bidang HKI.

Kasus pidana di bidang HKI pada umumnya mengadopsi prinsip pendaftaran/konstitutif dan delik aduan, pada dasarnya pelapor atau pihak yang mengadu adalah pemilik atau pemegang hak atau kuasanya. Dalam tahap penyelidikan bahkan meskipun laporan/pengaduan telahditerima, penyidik harus meminta dan melaksanakan suatu pemeriksaan atas keabsahan dari kepemilikan HKI yang dilaporkan, termasuk diantaranya : (1). Tanda bukti/sertifikat HKI yang terdaftar pada DJHKI

sesuai dengan produk yang dilaporkan; (2). Bukti pemberitahuan impor barang untuk dipakai/PIUD,

promosi, iklan dan surat tagihan/invoice; (3). Berbagai izin terkait dengan kegiatan industri dan


perdagangan, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dari instansi yang berwenang.

(4). Izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk produk kesehatan;

(5). Surat pengalihan hak HKI dari DJHKI; (6). Contoh-contoh produk baik yang asli maupun palsu. Tindakan yang dapat diambil dalam menangani perkara pidana di bidang HKI terhadap seseorang atau barang yang dberkaitan dengan suatu tindak pidana, Penyidik dapat melakukan upaya paksa berdasarkan hukum yang berlaku. Langkah-langkah tersebut adalah : (1). Pemeriksaan

Penyidik berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dan didengar keterangannya dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari/waktu seseorang itu harus memenuhi panggilan tersebut.

(2). Penangkapan Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penangkapan dilakukan dengan surat perintah yang diberikan kepada tersangka dan keluarganya.

(3). Penahanan Dilakukan terhadap seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti- bukti yang mencukupi, sedang melaksanakan atau berusaha untuk melaksanakan atau memberikan bantuan dalam suatu tindak pidana. Penahanan dapat dilakukan oleh penyidik,


perdagangan, seperti Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dari instansi yang berwenang.

(4). Izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk produk kesehatan;

(5). Surat pengalihan hak HKI dari DJHKI; (6). Contoh-contoh produk baik yang asli maupun palsu. Tindakan yang dapat diambil dalam menangani perkara pidana di bidang HKI terhadap seseorang atau barang yang dberkaitan dengan suatu tindak pidana, Penyidik dapat melakukan upaya paksa berdasarkan hukum yang berlaku. Langkah-langkah tersebut adalah : (1). Pemeriksaan

Penyidik berwenang memanggil tersangka dan saksi yang dianggap perlu untuk diperiksa dan didengar keterangannya dengan surat panggilan yang sah dengan memperhatikan tenggang waktu yang wajar antara diterimanya panggilan dan hari/waktu seseorang itu harus memenuhi panggilan tersebut.

(2). Penangkapan Suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Penangkapan dilakukan dengan surat perintah yang diberikan kepada tersangka dan keluarganya.

(3). Penahanan Dilakukan terhadap seseorang yang dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa berdasarkan bukti- bukti yang mencukupi, sedang melaksanakan atau berusaha untuk melaksanakan atau memberikan bantuan dalam suatu tindak pidana. Penahanan dapat dilakukan oleh penyidik,

penuntut umum dan juga hakim. Suatu penangkapan dapat dilakukan apabila tersangka melalukan tindak pidana dengan ancaman hukuman 5 (lima) tahun penjara atau lebih dan melakukan suatu tindak pidana melawan pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (4) KUHAP. Jenis penahanan terdiri dari penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah, penahanan kota.

(4). Penggeledahan Penggeledahan merupakan salah satu upaya paksa yang dilakukan oleh Penyidik. Penggeledahan meliputi rumah dan fisik. Penggeledahan rumah maksudnya adalah tindakan seorang Penyidik untuk memasuki suatu rumah atau bagian lainnya untuk memeriksa dan/atau untuk melakukan penyitaan dan/atau untuk melakukan suatu penangkapan berdasarkan tata cara yang diatur dalam KUHAP.

(5). Penyitaan Penyitaan merupakan serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.

c) Penuntutan

Prosedur penuntutan dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku, setelah pemeriksaan tersangka dilakukan, penyidik akan memanggil saksi ahli dari DJHKI, Pemilik HKI, tersangka dan saksi-saksi terkait lainnya untuk melengkapi Berita Acara Pemeriksaan terhadap kasus/sengketa HKI. Selanjutnya BAP tersebut diserahkan kepada penuntut umum untuk dilakukan penuntutan. Penuntut umum melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Sedangkan


penuntut umum yaitu jaksa diberi kewenangan oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

d) Putusan

Putusan perkara pidana di Bidang HKI dilakukan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Pengadilan Negeri menerima berkas perkara tindak pidana bidang HKI dari Jaksa/Penuntut Umum untuk segera memeriksa, mengadili dan memutus. Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Perkara HKI yang diputus oleh Pengadilan Negeri dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Upaya hukum selanjutnya melalui Mahkamah Agung. Disebutkan dalam Pasal 88 KUHAP bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.

2) Prosedur Perdata Berbeda dengan penyelesaian perkara di bidang HKI,

penyelesaian kasus perdata dilakukan melalui Pengadilan Niaga dan upaya hukumnya melalui kasasi ke Mahkamah Agung. Artinya, dalam sengketa perdata tidak dikenal banding.

Dalam undang-undang HKI, penyelesaian sengketa perdata telah ditentukan jangka waktunya. Persyaratan tersebut sangat berbeda dngan ketentuan dalam HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dimana jangka waktu penyelesaian suatu kasus secara khusus tidak terbatas.

Dengan demikian ketentuan penyelesaian perkara perdata dalam Undang-Undang HKI merupakan Lex Specialis dari ketentuan HIR. Adapun jangka waktu yang ditentukan dalam menyelesaikan


penuntut umum yaitu jaksa diberi kewenangan oleh KUHAP untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

d) Putusan

Putusan perkara pidana di Bidang HKI dilakukan oleh pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan mahkamah agung. Pengadilan Negeri menerima berkas perkara tindak pidana bidang HKI dari Jaksa/Penuntut Umum untuk segera memeriksa, mengadili dan memutus. Pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan pengadilan negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan. Perkara HKI yang diputus oleh Pengadilan Negeri dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi. Upaya hukum selanjutnya melalui Mahkamah Agung. Disebutkan dalam Pasal 88 KUHAP bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili semua perkara pidana yang dimintakan kasasi.

2) Prosedur Perdata Berbeda dengan penyelesaian perkara di bidang HKI,

penyelesaian kasus perdata dilakukan melalui Pengadilan Niaga dan upaya hukumnya melalui kasasi ke Mahkamah Agung. Artinya, dalam sengketa perdata tidak dikenal banding.

Dalam undang-undang HKI, penyelesaian sengketa perdata telah ditentukan jangka waktunya. Persyaratan tersebut sangat berbeda dngan ketentuan dalam HIR (Herziene Indonesisch Reglement) dimana jangka waktu penyelesaian suatu kasus secara khusus tidak terbatas.

Dengan demikian ketentuan penyelesaian perkara perdata dalam Undang-Undang HKI merupakan Lex Specialis dari ketentuan HIR. Adapun jangka waktu yang ditentukan dalam menyelesaikan

kasus perdata di bidang HKI adalah sebagai berikut : a) Tingkat Pengadilan Niaga

Penyelesaian sengketa perdata pada tingkat pengadilan terbagi atas:

(1). Putusan gugatan atas pelanggaran hak cipta, pembatalan desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, pembatalan merek wajib diucapkan dalam tenggang waktu 90 hari terhitung sejak gugatan didaftarkan. Tenggang waktu tersebut dapat diperpanjang paling lama 30 har atas persetujuan Mahkamah Agung.

(2). Putusan gugatan atas pelanggaran paten wajib diucapkan dalam tenggang waktu 180 hari terhitung sejak gugatan didaftarkan

b) Tingkat Kasasi Mahkamah Agung Penyelesaian sengketa perdata pada tingkat kasasi mahkamah agung terbagi atas :

(1). Putusan gugatan atas pelanggaran hak cipta, pembatalan desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, merek wajib diucapkan untuk paling lama 90 hari setelah permohonan kasasi diterima.

(2). Putusan gugatan atas pelanggaran paten wajib diucapkan untuk paling lama 180 hari setelah permohonan kasasi diterima.

Adapun prosedur menyampaikan gugatan sebagaimana diatur dalam undang-undang HKI adalah sebagai berikut : a) Gugatan pelanggaran/pembatalan HKI (kecuali rahasia dagang)

ditujukan kepada Ketua Pengadilan Niaga dan didaftarkan kepada Panitera

b) Panitera akan menyampaikan gugatan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak didaftarkan kepada Panitera

c) Panitera akan menyampaikan gugatan tersebut kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak didaftarkan.


d) Sidang pemeriksaan atas gugatan dimulai dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.

e) Permohonan kasasi diajukan untuk jangka waktu paling lama 14 hari sejak tanggal putusan diucapkan.

f) Sidang pemeriksaan atas berkas perkara kasasi dimulai dalam jangka waktu paling lama 60 hari setelah berkas perkara kasasi diterima oleh MA.

Dalam sistem HKI, gugatan perdata merupakan upaya yang dilakukan oleh pemilik HKI untuk mendapatkan suatu nilai ekonomi atas kerugian yang diderita akibat adanya pelanggaran HKI. Oleh sebab itu gugatan yang diajukan biasanya berupa tuntutan ganti rugi baik materiil maupun immateriil.

Selain itu, gugatan dapat berupa penghentian terhadap pelanggaran HKI. Upaya ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar atas pelanggaran yang dilakukan olehg tergugat. Dalam KUHAP ganti rugi merupakan hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 3) Prosedur Arbitrase

Di dalam undang-undang di bidang HKI, para pihak dapat menyelesaikan perkara HKI melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sdangkan akternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Kesepakatan para pihak dalam menyelesaikan para pihak dalam menyelesaikan sengketa HKI merupakan syarat mutlak adanya arbitrase. Mekanisme yang dilakukan yaitu pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimile,


d) Sidang pemeriksaan atas gugatan dimulai dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari setelah gugatan didaftarkan.

e) Permohonan kasasi diajukan untuk jangka waktu paling lama 14 hari sejak tanggal putusan diucapkan.

f) Sidang pemeriksaan atas berkas perkara kasasi dimulai dalam jangka waktu paling lama 60 hari setelah berkas perkara kasasi diterima oleh MA.

Dalam sistem HKI, gugatan perdata merupakan upaya yang dilakukan oleh pemilik HKI untuk mendapatkan suatu nilai ekonomi atas kerugian yang diderita akibat adanya pelanggaran HKI. Oleh sebab itu gugatan yang diajukan biasanya berupa tuntutan ganti rugi baik materiil maupun immateriil.

Selain itu, gugatan dapat berupa penghentian terhadap pelanggaran HKI. Upaya ini dimaksudkan agar tidak terjadi kerugian yang lebih besar atas pelanggaran yang dilakukan olehg tergugat. Dalam KUHAP ganti rugi merupakan hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 3) Prosedur Arbitrase

Di dalam undang-undang di bidang HKI, para pihak dapat menyelesaikan perkara HKI melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Sdangkan akternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.

Kesepakatan para pihak dalam menyelesaikan para pihak dalam menyelesaikan sengketa HKI merupakan syarat mutlak adanya arbitrase. Mekanisme yang dilakukan yaitu pemohon harus memberitahukan dengan surat tercatat, telegram, teleks, faksimile,

email atau dengan buku ekspedisi kepada termohon bahwa syarat arbitrase yang diadakan oleh pemohon atau termohon berlaku.

Surat pemberitahuan untuk mengadakan arbitrase memuat kejelasan mengenai : a) Nama dan alamat para pihak b) Penunjukan kepada klausula atau perjanjian arbitrase yang

berlaku c) Perjanjian atau masalah yang menjadi sengketa d) Dasar tuntutan dan jumlah yang dituntut apabila ada e) Cara penyelesaian yang dikehendak f) Perjanjian yang diadakan oleh para pihak tentang jumlah arbiter

atau apabila tidak pernah diadakan perjanjiansemacam itu, permohon dapat mengajukajn usul tentang jumlah arbiter yang dikehendaki dalam jumlah ganjil

Setelah sengketa HKI terjadi dan para pihak memilih arbitrase untuk menyelesaikan sengketa tersebu, persetujuan mengenai arbitrase harus dibuat dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangi oleh para pihak. Apabila para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis, perjanjian tertulis tersebut baru dibuat dalam bentuk akta notaris.

Akibat hukum perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke pengadilan. Oleh sebab itu, pengadilan wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam undang-undang ini.

Perjanjian tertulis mengenai arbitrase yang tidak memuat materi tersebut di bawah ini dianggap batal demi hukum. adapun materi yang harus dimuat dalam perjanjian arbitrase sesuai Pasal 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 adalah sebagai berikut : a) Adanya masalah b) Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak c) Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbiter

tempat arbiter atau majelis arbiter akan mengambil keputusan d) Nama lengkap sekretaris


e) Jangka waktu penyelesaian sengketa f) Pernyataan kesediaan dari arbiter g) Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk

menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Selain melalui arbitrase, para pihak juga dapat menyelesaikan sengketa HKI melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan atas etikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan.

Alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Upaya penyelesaian sengketa dapat menggunakan mediator apabila kedua pihak belum dapat menyelesaiakan sengketa HKI.

Apabila para pihak tersebut dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan bantuan mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

Setelah menunjuk mediator, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus dapat dimulai. Mediator harus dapat menyelesaikan sengketa HKI yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan oleh para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.


e) Jangka waktu penyelesaian sengketa f) Pernyataan kesediaan dari arbiter g) Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk

menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase.

Selain melalui arbitrase, para pihak juga dapat menyelesaikan sengketa HKI melalui alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan atas etikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di pengadilan.

Alternatif penyelesaian sengketa diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu perjanjian tertulis. Upaya penyelesaian sengketa dapat menggunakan mediator apabila kedua pihak belum dapat menyelesaiakan sengketa HKI.

Apabila para pihak tersebut dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan bantuan mediator tidak berhasil mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak, maka para pihak dapat menghubungi sebuah lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc.

Setelah menunjuk mediator, dalam waktu paling lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus dapat dimulai. Mediator harus dapat menyelesaikan sengketa HKI yang dituangkan dalam bentuk kesepakatan tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari.

Sesuai dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, bahwa kesepakatan tertulis tersebut bersifat final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan itikad baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan tersebut wajib dilaksanakan oleh para pihak dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan.

d. Para Pihak yang Berwenang Indikasi geografis melindungi tanda yang menunjukkan daerah

asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan kualitas tertentu pada barang yang dihasilkan.

Suatu indikasi geografis dapat dilindungi setelah terdaftar atas dasar permohonan yang diajukan oleh : 1) Lembaga yang mewakili masyarakat di daerah yang

memproduksi barang yang bersangkutan; 2) Lembaga yang diberi kewenangan untuk itu; atau 3) Kelompok konsumen barang tersebut. Ketentuan mengenai

pengumuman dan permohonan banding atas merek berlaku juga untuk indikasi geografis.

Pihak-pihak yang berwenang dalam penegakan hukum di bidang Hak Kekayaan Intelektual adalah : 1) Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual

Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI) mempunyai tugas merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan standarisasi teknis di bidang hak kekayaan intelektual. Dalam menjalankan tugasnya, DJHKI mempunyai fungsi :

a) Perumusan kebijakan di bidang HKI.

b) Pelaksanaan kebijakan di bidang HKI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

c) Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan peraturan di bidang HKI.

d) Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi.

e) Pelaksanaan urusan administrasi di lingkungan DJHKI

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, DJHKI mencanangkan visi dan misi. Visi DJHKI adalah terciptanya sistem HKI yang efektif dan kompetitif secara internasional dalam menopang pembangunan nasional. Sedangkan misi DJHKI adalah :

a) Mengelola sistem HKI dengan cara memberikan


perlindungan, penghargaan dan pengakuan atas kreativitas;

b) Mempromosikan teknologi, investasi yang berbasis ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi;

c) Merangsang pertumbuhan karya dan budaya yang inovatif dan inventif.

Saat ini terdapat 5 (lima) kebijakan yang dilaksanakan oleh DJHKI dalam mengelola sistem hak kekayaan intelektual, yaitu:

a) Sistem pelayanan dan teknologi informasi DJHKI melakukan pelayanan sistem HKI yang terpercaya (reliable), efektif dan efisien bagi masyarakat, termasuk melalui pendayagunaan sistem otomasi.

b) Administrasi. Sebagai instansi pemerintah, DJHKI mempunyai kewenangan memberikan perlindungan di bidang HKI, berupa pemberian sertifikat kepada pemohon yang telah mengajukan permohonan dengan syarat dan prosedur yang mencakup segala kegiatan yang telah diatur dalam undang-undang. Mengingat wilayah Republik Indonesia sangat luas dalam rangka mempermudah masyarakat mengajukan permohonan perlindungan di bidang HKI, saat ini masyarakat dapat mengajukannya melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di masing- masing Provinsi. Adapun penelusuran, pemeriksaan baik formalitas maupun substantif tetap dilakukan di DJHKI. Kerja Sama dan Sosialisasi. Dalam rangka mengembangkan sistem HKI di Indonesia disadari perlunya kerja sama dengan berbagai pihak baik dari dalam negeri maupun luar negeri, kerja sama tersebut dapat berupa kerja sama luar negeri dengan kantor HKI lain seperti dengan JPO/JICA, EPO, IP Australia ataupun dengan WIPO sebagai organisasi HKI dunia. Sedangkan dalam kerja sama dalam negeri misalnya dengan Kementerian Riset dan Teknologi/BPPT, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian khususnya dalam penyelenggaraan pelatihan dan sebagainya. Kebijakan yang dilakukan oleh DJHKI adalah melakukan sosialisasi HKI


perlindungan, penghargaan dan pengakuan atas kreativitas;

b) Mempromosikan teknologi, investasi yang berbasis ilmu pengetahuan dan pertumbuhan ekonomi;

c) Merangsang pertumbuhan karya dan budaya yang inovatif dan inventif.

Saat ini terdapat 5 (lima) kebijakan yang dilaksanakan oleh DJHKI dalam mengelola sistem hak kekayaan intelektual, yaitu:

a) Sistem pelayanan dan teknologi informasi DJHKI melakukan pelayanan sistem HKI yang terpercaya (reliable), efektif dan efisien bagi masyarakat, termasuk melalui pendayagunaan sistem otomasi.

b) Administrasi. Sebagai instansi pemerintah, DJHKI mempunyai kewenangan memberikan perlindungan di bidang HKI, berupa pemberian sertifikat kepada pemohon yang telah mengajukan permohonan dengan syarat dan prosedur yang mencakup segala kegiatan yang telah diatur dalam undang-undang. Mengingat wilayah Republik Indonesia sangat luas dalam rangka mempermudah masyarakat mengajukan permohonan perlindungan di bidang HKI, saat ini masyarakat dapat mengajukannya melalui Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di masing- masing Provinsi. Adapun penelusuran, pemeriksaan baik formalitas maupun substantif tetap dilakukan di DJHKI. Kerja Sama dan Sosialisasi. Dalam rangka mengembangkan sistem HKI di Indonesia disadari perlunya kerja sama dengan berbagai pihak baik dari dalam negeri maupun luar negeri, kerja sama tersebut dapat berupa kerja sama luar negeri dengan kantor HKI lain seperti dengan JPO/JICA, EPO, IP Australia ataupun dengan WIPO sebagai organisasi HKI dunia. Sedangkan dalam kerja sama dalam negeri misalnya dengan Kementerian Riset dan Teknologi/BPPT, Kementerian Koperasi dan UKM, Departemen Perindustrian khususnya dalam penyelenggaraan pelatihan dan sebagainya. Kebijakan yang dilakukan oleh DJHKI adalah melakukan sosialisasi HKI

bagi masyarakat yang terdiri dari para pelaku usaha, aparat pemerintah, peneliti maupun kalangan akademis serta instansi terkait. Tujuan sosialisasi ini adalah untuk memberikan kesadaran akan arti pentingnya sistem HKI.

c) Legislasi. DJHKI berperan dalam perancangan berbaga peraturan perundang-undangan di bidang HKI khususnya dalam menyesuaikan dengan perjanjian TRIPs. Walaupun berbagai undang-undang baru di bidang HKI telah disahkan, namun masih perlu ditindaklanjuti dengan aturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah.

d) Penegakan Hukum. penegakan hukum di bidang HKI merupakan unsur yang sangat penting dalam perlindungan sistem HKI. Hal ini dilakukan dengan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan instansi

e) Penegakan Hukum. penegakan hukum di bidang HKI merupakan unsur yang sangat penting dalam perlindungan sistem HKI. Hal ini dilakukan dengan melakukan koordinasi dan kerja sama dengan instansi terkait. Dalam bidang penegakan hukum ini, DJHKI memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang mempunyai kewenangan melaksanakan penyelidikan, penyidikan serta pemberkasan atas kasus-kasus pidana di bidang HKI.

2) Direktorat Jenderal Bea Cukai

Dasar hukum keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Kepabeanan dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Tugas pokok DJBC adalah melaksanakan sebagian tugas pokok Departemen Keuangan di bidang kepabeanan dan cukai, berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan mengamankan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan Pemungutan Bea Masuk dan Cukai serta pungutan negara


lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, DJBC mempunyai fungsi sebagai berikut : a) Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang kepabeanan dan

cukai, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku;

b) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pengamanan teknis operasional kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

c) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pengamanan teknis operasional di bidang pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan lainnya yang pemungutannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d) Perencanaan, pembinaan dan bimbingan di bidang pemberian pelayanan, perijinan, kemudahan, ketatalaksanaan dan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai serta penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.

DJBC sebagai penjaga gerbang negara (the guardian at the gate) iku bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan, baik bagi para pemilik hak (right owner) maupun melindungi hak-hak negara dalam bentuk pelarian pajak (tax evasion) serta sebagai penegak hukum di perbatasan (border enforcement) pada saat barang yang dilindungi hak kekayaan intelektual melintasi perbatasan negara.


lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, DJBC mempunyai fungsi sebagai berikut : a) Perumusan kebijaksanaan teknis di bidang kepabeanan dan

cukai, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan Peraturan Perundang- Undangan yang berlaku;

b) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pengamanan teknis operasional kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan pengawasan atas lalu lintas barang yang masuk atau keluar daerah pabean, sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Menteri dan berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

c) Perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, evaluasi dan pengamanan teknis operasional di bidang pemungutan bea masuk dan cukai serta pungutan lainnya yang pemungutannya dibebankan kepada Direktorat Jenderal berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

d) Perencanaan, pembinaan dan bimbingan di bidang pemberian pelayanan, perijinan, kemudahan, ketatalaksanaan dan pengawasan di bidang kepabeanan dan cukai berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

e) Pencegahan pelanggaran peraturan perundang-undangan kepabeanan dan cukai dan penindakan di bidang kepabeanan dan cukai serta penyidikan tindak pidana kepabeanan dan cukai sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku.

DJBC sebagai penjaga gerbang negara (the guardian at the gate) iku bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan, baik bagi para pemilik hak (right owner) maupun melindungi hak-hak negara dalam bentuk pelarian pajak (tax evasion) serta sebagai penegak hukum di perbatasan (border enforcement) pada saat barang yang dilindungi hak kekayaan intelektual melintasi perbatasan negara.

Dalam rangka melaksanakan TRIPs khususnya Part II Section 4 tentang Special Requirement Related to Border Measures, DJBC mencegah peredaran barang-barang yang melanggar HKI yaitu dengan melakukan tindakan penangguhan sementara waktu pengeluaran barang impor atau ekspor dari kawasan pabean. Tindakan penangguhan dapat dilaksanakan berdasarkan Surat Perintah Pengadilan (Sistem Peradilan) atau berdasar wewenang (ex-officio).

3) Kepolisian Republik Indonesia

Dasar hukum adanya Polri adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kewenangan Polri adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan Hukum Acara Pidana dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, disebutkan bahwa tugas pokok Polri adalah : a) Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

Menegakkan hukum b) Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan

kepada masyarakat Penanganan kasus-kasus HKI berdasarkan struktur Polri adalah sebagai berikut : a) Tingkat MABES POLRI. Terdapat Subdit Kejahatan Industri

dan Dagang yang berada dalam Direktorat Ekonomi dan Khusus. Unit ini terdiri dari 20 Orang Polisi dengan spesialisasi dalam perlindungan HKI

b) Tingkat POLDA. Khususnya POLDA Metro Jaya (Jakarta), HKI berada di bawah wewenang Satuan Reserse Ekonomi Direktorat Reserse, sedangkan di Polda lainnya HKI berada di bawah wewenang Reserse Ekonomi Direktorat Reserse.

c) Tingkat POLWIL. HKI berada di bawah wewenang Bagian Reserse.

d) Tingkat Polisi Metro. HKI berada di bawah wewenang Unit Reserse Kriminal.


Untuk melengkapi penyidik pada Kepolisian Republik Indonesia sejumlah Pegawai Negeri di Departemen dimana lingkup kerja dan tanggung jawabnya mencakup bidang HKI diberi wewenang khusus sebagai penyidik guna melaksanakan penyidikan kejahatan di bidang HKI. Kepolisian di masing-masing Provinsi juga menunjuk pegawai-pegawainya untuk menyidik kasus-kasus yang terjadi khususnya di provinsi tertentu, Di bidang HKI, peran POLRI adalah penegakan hukum dengan melaksanakan fungsi represif (menekan) terhadap tindak pidana HKI yaitu melakukan fungsi penyidikan. Dalam hal ini Polri berperan sebagai penyidik sesuai Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

4) Kejaksaan

Kejaksaan memiliki dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan dan Tugas Pokok Kejaksaan dibagi menjadi 3 bidang, yaitu bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha, dan bidang ketertiban dan ketentraman umum.

a) Bidang Pidana 1) Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

keputusan lepas bersyarat; 4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.

b) Bidang Perdata Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

c) Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum (1). Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat; (2). Mengamankan kebijakan penegakan hukum;


Untuk melengkapi penyidik pada Kepolisian Republik Indonesia sejumlah Pegawai Negeri di Departemen dimana lingkup kerja dan tanggung jawabnya mencakup bidang HKI diberi wewenang khusus sebagai penyidik guna melaksanakan penyidikan kejahatan di bidang HKI. Kepolisian di masing-masing Provinsi juga menunjuk pegawai-pegawainya untuk menyidik kasus-kasus yang terjadi khususnya di provinsi tertentu, Di bidang HKI, peran POLRI adalah penegakan hukum dengan melaksanakan fungsi represif (menekan) terhadap tindak pidana HKI yaitu melakukan fungsi penyidikan. Dalam hal ini Polri berperan sebagai penyidik sesuai Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

4) Kejaksaan

Kejaksaan memiliki dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kewenangan dan Tugas Pokok Kejaksaan dibagi menjadi 3 bidang, yaitu bidang pidana, bidang perdata dan tata usaha, dan bidang ketertiban dan ketentraman umum.

a) Bidang Pidana 1) Melakukan penuntutan dalam perkara pidana; 2) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan; 3) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan

keputusan lepas bersyarat; 4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat

melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya di koordinasikan dengan penyidik.

b) Bidang Perdata Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak di dalam maupun di luar pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

c) Bidang Ketertiban dan Ketentraman Umum (1). Meningkatkan kesadaran hukum masyarakat; (2). Mengamankan kebijakan penegakan hukum;

(3). Mengamankan peredaran barang cetakan; (4). Mengawasi aliran kepercayaan yang dapat

membahayakan masyarakat dan negara; (5). Mencegah penyalahgunaan dan/atau penodaan agama; (6). Meneliti dan mengembangkan hukum serta statistik

kriminal. HKI dikategorikan sebagai perkara penting. Oleh karena itu, dalam menangani perkara HKI, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana umum telah mengeluarkan Surat Nomor B- 483/E/1994 tanggal 1 Agustus 1994 tentang Penerapan dan Penegakan Peraturan Perundang-Undangan yang berkaitan dengan HKI. Disamping itu, terdapat Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B-190/E/5/1995 tanggal 3 Mei 1995 tentang Pola Penanganan dan Penyelesaian Perkara HKI. Surat Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Nomor B- 211/E/Ejp/04/2002 Tanggal 2 April 2002 tentang Penanganan Kasus HKI. Kebijakan Kejaksaan Agung terkait dengan bidang HKI juga telah mengadopsi materi HKI ke dalam kurikulum pelatihan dan pendidikan.

5) Pengadilan Dasar hukum pengadilan yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, dan Undang- Undang Nomor 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Tugas Pokok Badan Peradilan adalah memeriksa, mengadili, dan memutus setiap perkara yang diajukan kepadanya. Dalam melaksanakan tugas hakim tunduk pada Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana. Disamping itu hakim juga terikat pada hukum acara yang secara khusus diatur menyimpang dari kedua sumber hukum tersebut. Misalnya penyelesaian perkara HKI. Perkara HKI berada di bawah kompetentsi Peradilan Umum Mahkamah Agung. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 yang merupakan ratifikasi Perjanjian TRIPs yang kemudian diikuti oleh pembentukan undang-undang baru di bidang HKI, perkara HKI yang menyangkut perdata berada


dalam kompetensi Pengadilan Niaga. Adapun perkara HKI yang menyangkut pidana berada dalam kompetentsi Pengadilan Negeri. Secara administratif, perkara perdata bidang HKI ditangani oleh Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata. Sedangkan, perkara pidana bidang HKI ditangani oleh Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana. Mekanisme penanganan perkara HKI meliputi perkara pidana dan perkara perdata. Penanganan perkara pidana bidang HKI sampai saat ini tidak diklasifikasikan sebagai perkara HKI melainkan sebagai perkara pemalsuan atau penipuan. Akibatnya statistik khusus perkara pidana bidang HKI tidak terdeteksi dan terdokumentasi secara khusus. Sedangkan perkara perdata bidang HKI diklasisfikasikan, sehingga mudah dicatat sebagaimana perkara perdata lainnya seperti kepailitan, waris, jual beli dan lain sebagainya. Bagan 1. Prosedur Peradilan Pidana di Indonesia

Bagan 2. Prosedur Peradilan Perdata di Indonesia

Pengadilan Negeri

•±347 PN

Pengadilan Tinggi

•± 30 PT

Mahkamah Agung •1 MA

Pengadilan Niaga • ± 5 PN



dalam kompetensi Pengadilan Niaga. Adapun perkara HKI yang menyangkut pidana berada dalam kompetentsi Pengadilan Negeri. Secara administratif, perkara perdata bidang HKI ditangani oleh Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata. Sedangkan, perkara pidana bidang HKI ditangani oleh Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Pidana. Mekanisme penanganan perkara HKI meliputi perkara pidana dan perkara perdata. Penanganan perkara pidana bidang HKI sampai saat ini tidak diklasifikasikan sebagai perkara HKI melainkan sebagai perkara pemalsuan atau penipuan. Akibatnya statistik khusus perkara pidana bidang HKI tidak terdeteksi dan terdokumentasi secara khusus. Sedangkan perkara perdata bidang HKI diklasisfikasikan, sehingga mudah dicatat sebagaimana perkara perdata lainnya seperti kepailitan, waris, jual beli dan lain sebagainya. Bagan 1. Prosedur Peradilan Pidana di Indonesia

Bagan 2. Prosedur Peradilan Perdata di Indonesia

Pengadilan Negeri

•±347 PN

Pengadilan Tinggi

•± 30 PT


Pengadilan Niaga • ± 5 PN


Hal-hal penting lainnya di bidang legsilasi adalah penentuan waktu pemrosesan/pemutusan kasus-kasus HKI di Pengadilan Niaga dan di Mahkamah Agung, disamping itu adanya tindakan-tindakan mengenai ketentuan (provisional measures) oleh pengadilan untuk sesegera mungkin menghentikan penyebaran barang pelanggaran HKI atau penggunaan yang tidak sah eksplorasi produk-produk HKI. Dalam perjanjian TRIPs langkah-langkah ini dikenal dengan putusan sela (injuctive relief).

2. Penegakan Hukum Indikasi Geografis di Indonesia a) Teori Kebijakan Penegakan Indikasi Geografis

Fungsi utama hukum adalah melayani manusia sehingga terwujud suatu kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat, fungsi utama hukum ini sangat terkait dengan kebijakan publik. Sebab kebijakan publik merupakan tongkat yang menghubungkan legitimasi etis dengan filsafat politik, dalam arti bahwa jangan sampai sebuah kebijakan negara hanya mendapatkan pasokan dari segi-segi yang amat pragmatis.59

Menurut Robert Eyestone bahwa kebijakan publik merupakan suatu hubungan unit pemerintah dengan lingkungannya, sementara Thomas R Dye mengatakan bahwa kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan.60

Pandangan David Easton bahwa kebijakan publik merupakan produksi negara sebagai pemegang kekuasaan politik, yang mana dalam kehidupan politik sebagai ujung tombak kebijakan adalah suatu sistem perilaku yang berbaur dalam suatu lingkungan pada pengaruh-pengaruh yang diungkap oleh sistem politik itu sendiri dan pada gilirannya bereaksi, yang berarti di luar dan di balik sistem politik terdapat sistem-sistem lain atau lingkungan baik fisik, biologis, sosial, psikologis dan lain sebagainya.61

59 Ahmad Erani Yustika. 2003. Negara Vs kaum Miskin. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Hlm.3 60 Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Yogyakarta. Media Presindo.

Hlm.17 61 Ronald H. Chilcote. 2003. Teori Perbandingan Politik; Penelusuran Paradigma,

terjemahan Haris Munandar dan Dudy Priatna. Rajawali Press. Jakarta. hlm. 198.


David easton mendefinisikan sistem politik sebagai sistem interaksi di dalam tiap masyarakat di mana terdapat alokasi yang mengikat atau mengandung otoritas yang dibuat dan diimplementasikan bagi masyarakat.62

Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang paling menyeluruh, di mana masyarakat menggabungkan seluruh sistem sosial lain dan sebagai akibatnya merujuk pada supra sistem dominan dan berpartisipasi di dalamnya. Sistem politik signifikan dengan kekuasaan, yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan politik kewenangan dalam suatu masyarakat, yang bersandar pada kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain, mengontrol cara-cara yang dibuat pihak lain, dan melaksanakan keputusan-keputusan yang menentukan kebijakan.

Secara sederhana Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan. Ini mengandung konotasi bahwa kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat dan kebijakan publik dipandang sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, domain studi kebijakan publik dapat dilihat dari ruang lingkup aktivitas yang dijalankan pemerintah, area kegiatan tersebut dapat dikatakan terbatas pada masalah pertanahan, hubungan luar negeri dan masalah mempertahankan hukum dan ketertiban.63

Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah, kebijakan merupakan hasil gabungan dari kegiatan penerimaan input, interpretasi input dan menterjemahkannya ke dalam output yang berupa keputusan.64

Dengan demikian, kebijakan terdiri dari jaringan keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Konsep-konsep kekuasaan pengambilan keputusan, kewenangan, dan kebijakan adalah esensial dalam gagasan kehidupan politik sebagaimanaalokasi nilai-nilai kewenangan dalam masyarakat menurut James Robinson

62 S.P Varma. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Press. Jakarta. hlm. 275 63 Amir Santoso. 1989. Analisis kebijaka Publik: Suatu Pengantar. Gramedia.

Jakarta. hlm.12 64 Herebert Kelman (Ed). 1965. Decision Making In International Politics . Reinheart &

Winston. New York Holt. Hlm. 165


David easton mendefinisikan sistem politik sebagai sistem interaksi di dalam tiap masyarakat di mana terdapat alokasi yang mengikat atau mengandung otoritas yang dibuat dan diimplementasikan bagi masyarakat.62

Masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang paling menyeluruh, di mana masyarakat menggabungkan seluruh sistem sosial lain dan sebagai akibatnya merujuk pada supra sistem dominan dan berpartisipasi di dalamnya. Sistem politik signifikan dengan kekuasaan, yang berhubungan dengan pembentukan dan pelaksanaan politik kewenangan dalam suatu masyarakat, yang bersandar pada kemampuan untuk mempengaruhi tindakan orang lain, mengontrol cara-cara yang dibuat pihak lain, dan melaksanakan keputusan-keputusan yang menentukan kebijakan.

Secara sederhana Easton menyebutkan kebijakan pemerintah sebagai kekuasaan mengalokasi nilai-nilai untuk masyarakat secara keseluruhan. Ini mengandung konotasi bahwa kewenangan pemerintah yang meliputi keseluruhan kehidupan masyarakat dan kebijakan publik dipandang sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, domain studi kebijakan publik dapat dilihat dari ruang lingkup aktivitas yang dijalankan pemerintah, area kegiatan tersebut dapat dikatakan terbatas pada masalah pertanahan, hubungan luar negeri dan masalah mempertahankan hukum dan ketertiban.63

Tidak ada suatu organisasi lain yang wewenangnya dapat mencakup seluruh masyarakat kecuali pemerintah, kebijakan merupakan hasil gabungan dari kegiatan penerimaan input, interpretasi input dan menterjemahkannya ke dalam output yang berupa keputusan.64

Dengan demikian, kebijakan terdiri dari jaringan keputusan dan tindakan yang mengalokasikan nilai-nilai. Konsep-konsep kekuasaan pengambilan keputusan, kewenangan, dan kebijakan adalah esensial dalam gagasan kehidupan politik sebagaimanaalokasi nilai-nilai kewenangan dalam masyarakat menurut James Robinson

62 S.P Varma. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Press. Jakarta. hlm. 275 63 Amir Santoso. 1989. Analisis kebijaka Publik: Suatu Pengantar. Gramedia.

Jakarta. hlm.12 64 Herebert Kelman (Ed). 1965. Decision Making In International Politics . Reinheart &

Winston. New York Holt. Hlm. 165

dan Richard C. Synder.65 Dalam pembuatan kebijakan publik tentunya sistem politik

dianggap sebagai sistem yang terbuka maupun yang adaptif terhadap peluang terjadinya sifat-sifat perubahan dan transaksi yang terjadi antara suatu sistem politik dan lingkungannya. Suatu sistem politik menerima pengaruh- pengaruh, kejadian-kejadian ataupun gangguan yang datang dari sistem lain di mana sistem politik berbaur yang kemudian membentuk kondisi-kondisi yang mengharuskan anggota-anggotanya bertindak. Sehingga suatu sistem politik diharuskan mempunyai kemampuan untuk merespon masukan-masukan atau transaksi secara kreatif dan konstruktif, serta menyesuaikan diri terhadap keadaan di mana sistem harus berfungsi.66

Ciri adaptif sistem politik yang memproduksi kebijakan menurut Easton berbeda dari sekedar bereaksi secara pasif terhadap pengaruh lingkungan, melainkan sistem politik mengakumulasi sejumlah unsur mekanisme yang digunakan untuk bekerja sama dengan lingkungan mereka, mengatur perilakunya sendiri, mengubah struktur internalnya dan berjalan membentuk kembali tujuan fundamentalnya.67

Ada dua fokus dalam teori analisa sistem yaitu pada suatu proses kehidupan politik di mana ada terdapat pengolahan dan pengubahan berbagai pengaruh yang mengalir dari lingkungan menuju sistem politik dan cara sistem tersebut merespon pengaruh yang masuk. Sistem politik menerima tuntutan dan dukungan dari sistem sosial dan politik atau mengatasi tuntutan dengan adanya bantuan dan dukungan yang diterima ataupun suatu tuntutan dan dukungan yang dimanipulasikan.68

Tuntutan dan dukungan yang diterima sistem politik dari lingkungan menjadi masukan dalam suatu proses konversi dan kemudian menjadi bentuk keluaran, dalam hal ini diikuti dengan proses mekanisme umpan balik. Melalui mekanisme tersbeut akibat

65 Ibid. hlm 199 66 S.P. Varma. Op.Cit. hlm. 276 67 Ibid 68 Ibid. hlm. 277


dan konsekuensi dikembalikan kepada sistem sebagai input untuk diolah atau dikonversi, sehingga dihasilkan keluaran kembali.69

Keluaran dapat berbentuk keputusan, peraturan atau kebijakan yang diimplementasikan di mana dengan sistem politik nilai-nilai dialokasikan dalam masyarakat secara otoritatif (dengan menggunakan kekuasaan). Masukan terdiri dari tuntutan dan dukungan yang diterima sistem dan masyarakat.

Menurut Easton, tuntutan atau permintaan adalah cerminana opini atas suatu hal tertentu yang menghendaki suatu alokasi otoritas dari pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan atau tidak melakukannya.70

Pembentukan kebijakan sebagai keluaran dapat dideskripsikan melalui model kotak hitan Eastonian yang menyediakan model sistem politik yang sangat mempengaruhi cara studi kebijakan pada tahuun 1960-an dalam mengkonseptualisasikan hubungan antara pembuatan kebijakan, output kebijakan dan lingkungannya yang lebih luas.

Karakteristik utama Model Eastonian adalah model ini melihat proses kebijakan dari segi masukan yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran masukan, permintaan di dalam sistem politik dan konversinya menjadi keluaran.71

Teori kebijakan david Easton ini, digunakan untuk melakukan analisis terhadap desain dalam membangun kebijakan perlindungan hukum terhadap kopi Lampung sebagai produk yang berindikasi geografis berbasis keadilan kultural, yang diarahkan pada kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) dalam arti bahwa mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi juga sesuai dengan aspirasi-

69 M. Amien Rais, Harwanto Dahlan, dan Tulus Warsito. 1995 Hubungan

Internasional. Yogyakarta. Fisip UMY. Hlm.370 70 Ibid. hlm 279 71 Wayne Person. 2006. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Alih

bahasa oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. hlm. 25


dan konsekuensi dikembalikan kepada sistem sebagai input untuk diolah atau dikonversi, sehingga dihasilkan keluaran kembali.69

Keluaran dapat berbentuk keputusan, peraturan atau kebijakan yang diimplementasikan di mana dengan sistem politik nilai-nilai dialokasikan dalam masyarakat secara otoritatif (dengan menggunakan kekuasaan). Masukan terdiri dari tuntutan dan dukungan yang diterima sistem dan masyarakat.

Menurut Easton, tuntutan atau permintaan adalah cerminana opini atas suatu hal tertentu yang menghendaki suatu alokasi otoritas dari pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk melakukan atau tidak melakukannya.70

Pembentukan kebijakan sebagai keluaran dapat dideskripsikan melalui model kotak hitan Eastonian yang menyediakan model sistem politik yang sangat mempengaruhi cara studi kebijakan pada tahuun 1960-an dalam mengkonseptualisasikan hubungan antara pembuatan kebijakan, output kebijakan dan lingkungannya yang lebih luas.

Karakteristik utama Model Eastonian adalah model ini melihat proses kebijakan dari segi masukan yang diterima, dalam bentuk aliran dari lingkungan, dimediasi melalui saluran masukan, permintaan di dalam sistem politik dan konversinya menjadi keluaran.71

Teori kebijakan david Easton ini, digunakan untuk melakukan analisis terhadap desain dalam membangun kebijakan perlindungan hukum terhadap kopi Lampung sebagai produk yang berindikasi geografis berbasis keadilan kultural, yang diarahkan pada kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) dalam arti bahwa mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu seperangkat peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan bersama, tetapi juga sesuai dengan aspirasi-

69 M. Amien Rais, Harwanto Dahlan, dan Tulus Warsito. 1995 Hubungan

Internasional. Yogyakarta. Fisip UMY. Hlm.370 70 Ibid. hlm 279 71 Wayne Person. 2006. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Alih

bahasa oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta. hlm. 25

aspirasi warga masyarakat pada umumnya.72 b) Upaya Meningkatkan Penegakan Hukum Indikasi Geografis Hukum yang berlaku mengandung seperangkat sistem dan subsistem yang holistik dalma kehidupan masyarakat, hukum yang menjadi panutan masyarakat merupakan cita-cita sosial yang tidak pernah berhenti dikejar sampai akhir hayat manusia, cita-cita sosial tersebut sebagai berikut : 1) Mengharapkan keamanan dan ketentraman hidup tanpa batas

waktu; 2) Mengharapkan kemaslahatan hidup bagi diri sendiri dan orang

lain; 3) Mengharapkan tegaknya keadilan. Seseorang yang bersalah

harus mendapat hukuman yang setimpal dan yang tidak bersalah mendapatkan perlindungan hukum yang baik dan benar

4) Persamaan hak dan kewajiban dalam hukum. hukum tidak pilih kasih

5) Saling mengontrol di dalam kehidupan masyarakat sehingga tegaknya hukum dapat diwujudkan oleh masyarakat sendiri. Kebebasan berekspresi, berpendapat, bertindak dengan tidak melebihi batas-batas hukum dan norma sosial.

6) Regenerasi sosial yang positif yang bertanggungjawab terhadap masa depan kehidupan sosial dan kehidupan berbangsa dan bernegara.73

Dalam perspektif sosiologi hukum, cita-cita sosial yang

mendasar yang dikehendaki dalam berlakunya norma sosial dan hukum adalah terwujudnya keamanan dan kedamaian sosial, terasanya keadilan dalam penegakan hukum dan terbebasnya manusia dari penganiayaan terhadap hukum. Keadilan sebagai cita-cita sosial dan tujuan hukum, tetapi dalam implementasinya ide tentang keadilan tidak pernah objektif, keadilan selalu bersifat

72 Erlina B. 2014. Kebijakan Pemerintah Dalam Produk Berindikasi Geografis. Bandar

Lampung. Aura Printing & Publishing. Hlm. 39-40. 73 Beni Achmad Saebani. 2007. Sosiologi Hukum. Bandung. Pustaka Setia. Hlm. 162-163


subjektif tidak terkecuali dalam hukum.74 Dalam perkembangannya, kajian tentang hukum dan

masyarakat (law and society) mengubah labelnya menjadi kajian sosial tentang hukum atau socio legal studies. Tamanaha menyatakan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya dengan mengatakan bahwa label atau julukan socio legal studies juga ditujukan kepada law and society studies. Belakangan istilah yang lebih disukai adalah socio legal studies.75

Brian Z Tamanaha mengatakan bahwa hukum dan masyarakat

memiliki bingkai yang disebut The Law Society Framework yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tertentu ditunjukan dengan dua komponen, komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan social order, sedangkan kedua terdiri dari tiga elemen yaitu custom/consent, morality/reason, positive law.76

Pemikiran Brian Z. Tamanah bahwa hukum itu merupakan

pencerminan belaka dari masyarakatnya, yaitu gagasan- gagasan, tradisi, nilai-nilai dan tujuan yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks teori cermin (mirror thesis) ini, transplantasi dan transformasi hukum dari masyarkat lain hampir tidak dimungkinkan.

Vinogradoff mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya

hukum timbul dari pertimbangan memberi dan menerima dalam suatu hubungan sosial yang masuk akal/beralasan (give and take consideration in a reasonable social intercourse).77

74 Ibid. hlm. 168 75 Brian Z. Tamanaha. 1997. Realistic Socio Legal Theory Pragmatism and a Social Theory of

Law. New York. Oxford University Press. Hlm. 1 76 Brian Z. Tamanaha. 2006. A General Jurisprudence of law and Society. New York. Oxford

University Press. Hlm. 1-2 77 Ronny Hanitijo Soemitro. 1989. Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah

Hukum. Semarang. Agung Press. 1989. Hlm. 130


subjektif tidak terkecuali dalam hukum.74 Dalam perkembangannya, kajian tentang hukum dan

masyarakat (law and society) mengubah labelnya menjadi kajian sosial tentang hukum atau socio legal studies. Tamanaha menyatakan bahwa berdasarkan hasil pengamatannya dengan mengatakan bahwa label atau julukan socio legal studies juga ditujukan kepada law and society studies. Belakangan istilah yang lebih disukai adalah socio legal studies.75

Brian Z Tamanaha mengatakan bahwa hukum dan masyarakat

memiliki bingkai yang disebut The Law Society Framework yang memiliki karakteristik hubungan tertentu. Hubungan tertentu ditunjukan dengan dua komponen, komponen pertama terdiri dari dua tema pokok yaitu ide yang menyatakan bahwa hukum adalah cermin masyarakat dan ide bahwa fungsi hukum adalah untuk mempertahankan social order, sedangkan kedua terdiri dari tiga elemen yaitu custom/consent, morality/reason, positive law.76

Pemikiran Brian Z. Tamanah bahwa hukum itu merupakan

pencerminan belaka dari masyarakatnya, yaitu gagasan- gagasan, tradisi, nilai-nilai dan tujuan yang ada dalam masyarakat tersebut. Dalam konteks teori cermin (mirror thesis) ini, transplantasi dan transformasi hukum dari masyarkat lain hampir tidak dimungkinkan.

Vinogradoff mempunyai pendapat yang berbeda, menurutnya

hukum timbul dari pertimbangan memberi dan menerima dalam suatu hubungan sosial yang masuk akal/beralasan (give and take consideration in a reasonable social intercourse).77

74 Ibid. hlm. 168 75 Brian Z. Tamanaha. 1997. Realistic Socio Legal Theory Pragmatism and a Social Theory of

Law. New York. Oxford University Press. Hlm. 1 76 Brian Z. Tamanaha. 2006. A General Jurisprudence of law and Society. New York. Oxford

University Press. Hlm. 1-2 77 Ronny Hanitijo Soemitro. 1989. Perspektif Sosial dalam Pemahaman Masalah-Masalah

Hukum. Semarang. Agung Press. 1989. Hlm. 130

Eugen Erhlich sebagai pelopor sociological jurisprudence, menurutnya hukum positif akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup di masyarakat. Dalam pandangan Soerjono Soekanto bahwa kebaikan analisa Erlich adalah terletak pada usahanya dalam hal mengarahkan perhatian para ahli hukum ke wilayah lingkup sistem sosial sehingga ditemukan suatu kekuatan yang mengendalikan hukum, namun yang menjadi persoalan bahwa tidak ada suatu ukuran yang digunakan dalam melihat bahwa kaidah hukum tersebut benar-benar merupakan hukum yang senyatanya hidup (the living law) dan juga apakah benar-benar dianggap memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat.

Sementara Roscoe Pound mengemukakan bahwa hukum itu harus dipandang sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi dalam rangka memenuhi kebutuhan sosial, serta tugas ilmu hukum untuk mengembangkan suatu kerangka kebutuhan-kebutuhan sosial dapat terpenuhi secara maksimal.

Dalam konteks ini, Pound menjelaskan bahwa terdapat perbedaan antara law in action dan law in the book. Ajaran Pound terkenal dengan teorinya bahwa hukum adalah alat untuk memperbaharui masyarakat yaitu law is tool of social enginering. Aliran ini berangkat dari pemikiran Pound tentang timbal balik antara hukum dan masyarakat.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep- konsep menjadi kenyataan, proses perwujudan ide tersebut merupakan hakikat dari penegakan hukum.78

Dalam perspektif sosiologis bahwa terdapat dua unsur penting dalam penegakan hukum yaitu unsur manusia dan unsur lingkungannya. Apabila penegakan hukum hanya dilihat dari keharusan-keharusan yang tercantum dalma ketentuan hukum, tanpa melibatkan unsur manusia dan lingkungan sosialnya, maka yang terlihat adalah gambaran-gambaran streotipe kosong. Penegak hukum harus memperhatikan aspek sosiologis, sebab jika tidak

78 Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan Sosiologis. Yogyakarta. Genta Publishing. Hlm. 12


penegak hukum cenderung menjalankan fungsinya menurut tafsirnya sendiri yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, secara kepribadian, asal-usil sosial, tingkat pendidikan, kepentingan ekonomi, keyakinan politik dan pandangan hidupnya.79

Pandangan Friedman bahwa hukum sebagai suatu tingkah laku itu sendiri dari sistem, substansi dan budaya yang saling berkaitan, maka penegakan hukum tidak di arahkan pada penyempurnaan materi hukum dan aparatur hukum saja tetapi juga berhubungan dengan pembangunan budaya hukum di seluruh lapisan masyarakat. Intinya bahwa tujuan hukum tidak hanya kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan dan keadilan yang muaranya menciptakan keadaan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Logika Friedman bahwa dalam penegakan hukum juga harus memperhatikan aspek sosiologis dari hukum itu sendiri.

Senada dengan pandangan tersebut, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa hukum dalam bekerja, hukum juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi : 1) Faktor hukumnya itu sendiri (undang-undang); 2) Faktor penegakan hukum yakni pihak-pihak yang membentuk

dan menerapkan hukum; 3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku dan diterapkan; 5) Faktor kebudayaan, bahwa sebagai hasil karya cipta dan rasa

yang di dasarkan pada karsa di dalam pergaulan hidup.80

Kelima faktor tersebut saling terkait dan merupakan tolok ukur efektifitas penegakan hukum yang demokratis, sehingga inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah yang terkonsep dan mengejewantahkan untuk menciptakan dan memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

79 Ibid. hlm 14 80 Soerjono Soekanto. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta.

Raja Grafindo Persada. Hlm. 8


penegak hukum cenderung menjalankan fungsinya menurut tafsirnya sendiri yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, secara kepribadian, asal-usil sosial, tingkat pendidikan, kepentingan ekonomi, keyakinan politik dan pandangan hidupnya.79

Pandangan Friedman bahwa hukum sebagai suatu tingkah laku itu sendiri dari sistem, substansi dan budaya yang saling berkaitan, maka penegakan hukum tidak di arahkan pada penyempurnaan materi hukum dan aparatur hukum saja tetapi juga berhubungan dengan pembangunan budaya hukum di seluruh lapisan masyarakat. Intinya bahwa tujuan hukum tidak hanya kepastian hukum, tetapi juga kemanfaatan dan keadilan yang muaranya menciptakan keadaan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur. Logika Friedman bahwa dalam penegakan hukum juga harus memperhatikan aspek sosiologis dari hukum itu sendiri.

Senada dengan pandangan tersebut, Soerjono Soekanto menyatakan bahwa hukum dalam bekerja, hukum juga sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi : 1) Faktor hukumnya itu sendiri (undang-undang); 2) Faktor penegakan hukum yakni pihak-pihak yang membentuk

dan menerapkan hukum; 3) Faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4) Faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku dan diterapkan; 5) Faktor kebudayaan, bahwa sebagai hasil karya cipta dan rasa

yang di dasarkan pada karsa di dalam pergaulan hidup.80

Kelima faktor tersebut saling terkait dan merupakan tolok ukur efektifitas penegakan hukum yang demokratis, sehingga inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan penyerasian hubungan nilai-nilai yang dijabarkan dalam kaidah-kaidah yang terkonsep dan mengejewantahkan untuk menciptakan dan memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

79 Ibid. hlm 14 80 Soerjono Soekanto. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta.

Raja Grafindo Persada. Hlm. 8

Pandangan Muladi bahwa dalam bekerjanya hukum, maka hukum dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu : 1) Adanya strategi penegakkan hukum yang tepat dan dirumuskan

secara komprehensif dan integral’ 2) Adanya kehendak politik untuk melaksanakan strategi itu;

Adanya pressure dalam bentuk pengawasan masyarakat.81 Jika hal ini dikaitkan dengan perlindungan hukum indikasi

geografis kopi Lampung, maka faktor-faktor tersebut benar adanya, misalnya bahwa produksi kopi lampung pasang surut diakibatkan belum adanya perlindungan hukum yang maksimal.82

81 Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusi, dan Reformasi Penegakan Hukum.

Jakarta. The Habibie Centre. Hlm. 27 82 Erlina. Op.Cit. hlm. 46


3. Putusan Pengadilan Perkara Indikasi Geografis

P U T U S A N Nomor : 118/B/2017/PT.TUN.JKT.

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara dalam tingkat banding, bersidang di gedung Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Jalan Cikini Raya Nomor 117, Jakarta Pusat, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara : --------------------------------------------------- TEGUH HANDOJO, Kewarganegaraan Indonesia, Tempat tinggal di

Jalan. Ledoksari Selatan, Nomor 19, Rt. 02, Rw. 07. Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Pekerjaan Wiraswasta, dalam hal ini memberikan kuasa, kepada : ------------------------------------------------- 1. MOHAMAD IVAN SYAFRUDIN, S.H. ; ------------------ 2. CHARLES HUTAHAEAN, S.H. ; ------------------------ Keduanya Warga Negara Indonesia, Pekerjaan : Advokat danKonsultan Hukum memilih domisili hukum pada Kantor Napitupulu, Syafrudin & Partners, yang beralamat di Gedung Trisula Perwari Lantai V, Jalan Menteng Raya No. 35, Jakarta Pusat, 10340, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 7 September 2016; ----------------------------------------- Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT/PEMBANDING ;


3. Putusan Pengadilan Perkara Indikasi Geografis

P U T U S A N Nomor : 118/B/2017/PT.TUN.JKT.

DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta yang memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara dalam tingkat banding, bersidang di gedung Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, Jalan Cikini Raya Nomor 117, Jakarta Pusat, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut dalam perkara antara : --------------------------------------------------- TEGUH HANDOJO, Kewarganegaraan Indonesia, Tempat tinggal di

Jalan. Ledoksari Selatan, Nomor 19, Rt. 02, Rw. 07. Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Solo, Jawa Tengah, Pekerjaan Wiraswasta, dalam hal ini memberikan kuasa, kepada : ------------------------------------------------- 1. MOHAMAD IVAN SYAFRUDIN, S.H. ; ------------------ 2. CHARLES HUTAHAEAN, S.H. ; ------------------------ Keduanya Warga Negara Indonesia, Pekerjaan : Advokat danKonsultan Hukum memilih domisili hukum pada Kantor Napitupulu, Syafrudin & Partners, yang beralamat di Gedung Trisula Perwari Lantai V, Jalan Menteng Raya No. 35, Jakarta Pusat, 10340, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 7 September 2016; ----------------------------------------- Selanjutnya disebut sebagai PENGGUGAT/PEMBANDING ;

M E L A W A N : 1. DIREKTUR MEREK DAN INDIKASI GEOGRAFIS,

DIREKTORAT JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL, KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, bertempat kedudukan di Jalan H.R. Rasuna Said, Kav. 8-9, Jakarta Selatan, 12190, dalam hal ini memberikan kuasa, kepada : ------------------------------ 1. ADI SUPANTO, S.H., M.H. ; ---------------------------

Kasubdit. Pel. Hukum dan Fasilitas KBM. Dit Merek dan Indikasi Geografis ; -----------------------------------

2. NOVA SUSANTI, S.H. ; ------------------------------- Kepala Seksi Pertimbangan hukum dan Litigasi, Subdit. Pel. Hukum dan Fasilitasi KBM, Dit. Merek dan Indikasi Geografis ; -------------------------------------------

3. ARIESTRADA, S.H. ; ---------------------------------- Fungsional Umum Pada Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi Subdit. Pel. Hukum dan Fasilitasi KBM, Dit Merek dan Indikasi Geografis ; ------------------------

4. LILY EVELINA SITORUS, S.H., M.Si. ; ----------------- Fungsional Umum Pada Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi, Subdit. Pel. Hukum dan Fasilitasi KBM, Dit Merek dan Indikasi Geografis ; ------------------------

5. AUGUSTIWAN MUHAMMAD, S.H. ; ------------------ Fungsional Umum Pada Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi, Subdit. Pel. Hukum dan Fasilitasi KBM, Dit Merek dan Indikasi Geografis ; ------------------------

6. RADEN NANDIKA K. ANGGRAINI, S.H., M.H. ; --------- Fungsional Umum Pada Seksi Pertimbangan Hukum dan Litigasi, Subdit. Pel. Hukum dan Fasilitasi KBM, Dit Merek dan Indikasi Geografis; --------------------------------

Kesemuanya Warga Negara Indonesia, Pegawai Negeri Sipil pada Direktorat Merek dan Indikasi Geografis, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertindak untuk atas nama serta sah


mewakili Direktur Merek dan Indikasi Geografis, berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 11 Oktober 2016; Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT/TERBANDING ; ---

2. ANDRI SANTOSO, Warga Negara Indonesia, Pekerjaan : Swasta, beralamat di Jalan Surya No. 82, Rt. 007, Rw. 002, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jeberes, Surakarta, pemilik Sertifikat Merek LA CAMPUSS, Nomor Pendaftaran IDM 000507803, tanggal daftar 9 Agustus 2016, untuk jenis barang kelas 16, atas nama ANDRI SANTOSO dan Sertifikat Merek AL CAMPUSS, Nomor Pendaftaran IDM 000507830, tanggal daftar 9 Agustus 2016, untuk jenis barang kelas 16, atas nama ANDRI SANTOSO, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya bernama : -------------------- UUS MULYAHARJA, S.H., S.E., M.H., M.Kn, CLA. ; -------------- Keduanya Warga Negara Indonesia, pekerjaan Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “ HALIM WIBISONO & ASSOCIATES “, beralamat di Jalan Pembangunan I Nomor : 27 A, Petojo Utara, Jakarta Pusat, 10130, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 30 Maret 2017; -------------------------------------- Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT II INTERVENSI /TERBANDING; ----------------------------------------- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tersebut telah

membaca : ------------------------------------------------------ 1. Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta

Nomor 118/B/2017/PT.TUN.JKT. tanggal 8 Mei 2017 tentang Penunjukan Susunan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus sengketa di tingkat banding ; ------------------------

2. Penunjukan Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 118/B/2017/PT.TUN-JKT. tentang Penunjukan Panitera Pengganti;

3. Salinan resmi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017; ------


mewakili Direktur Merek dan Indikasi Geografis, berdasarkan Surat Kuasa Khusus, tertanggal 11 Oktober 2016; Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT/TERBANDING ; ---

2. ANDRI SANTOSO, Warga Negara Indonesia, Pekerjaan : Swasta, beralamat di Jalan Surya No. 82, Rt. 007, Rw. 002, Kelurahan Jagalan, Kecamatan Jeberes, Surakarta, pemilik Sertifikat Merek LA CAMPUSS, Nomor Pendaftaran IDM 000507803, tanggal daftar 9 Agustus 2016, untuk jenis barang kelas 16, atas nama ANDRI SANTOSO dan Sertifikat Merek AL CAMPUSS, Nomor Pendaftaran IDM 000507830, tanggal daftar 9 Agustus 2016, untuk jenis barang kelas 16, atas nama ANDRI SANTOSO, dalam hal ini diwakili oleh Kuasa Hukumnya bernama : -------------------- UUS MULYAHARJA, S.H., S.E., M.H., M.Kn, CLA. ; -------------- Keduanya Warga Negara Indonesia, pekerjaan Advokat dan Konsultan Hukum pada Kantor Hukum “ HALIM WIBISONO & ASSOCIATES “, beralamat di Jalan Pembangunan I Nomor : 27 A, Petojo Utara, Jakarta Pusat, 10130, berdasarkan Surat Kuasa Khusus tertanggal 30 Maret 2017; -------------------------------------- Selanjutnya disebut sebagai TERGUGAT II INTERVENSI /TERBANDING; ----------------------------------------- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tersebut telah

membaca : ------------------------------------------------------ 1. Penetapan Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta

Nomor 118/B/2017/PT.TUN.JKT. tanggal 8 Mei 2017 tentang Penunjukan Susunan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus sengketa di tingkat banding ; ------------------------

2. Penunjukan Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 118/B/2017/PT.TUN-JKT. tentang Penunjukan Panitera Pengganti;

3. Salinan resmi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017; ------

4. Berkas perkara Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT yang dimohonkan banding dan surat-surat lain yang berhubungan dengan sengketa ini ; -----------------------------------------

TENTANG DUDUK SENGKETA

Memperhatikan dan menerima keadaan-keadaan mengenai duduk sengketa seperti tertera dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017, yang amarnya berbunyi sebagai berikut : --------------------------

M E N G A D I L I : Dalam Eksepsi : ------------------------------------------------- 1. Menerima eksepsi Tergugat, Tergugat II intervensi - 1 dan

Tergugat II intervensi - 2 ; ------------------------------------ Dalam Pokok Perkara : ------------------------------------------ 1. Menyatakan Gugatan Penggugat tidak diterima ; --------------- 2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar

Rp.396.000,- ( tiga ratus sembilan puluh enam ribu rupiah ) ; --- Bahwa putusan tersebut diucapkan dalam sidang yang

terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 16 Pebruari 2017 dengan dihadiri oleh KuasaHukum Penggugat/Pembanding dan Kuasa Tergugat/Terbanding, Kuasa Hukum Tergugat II Intervensi/Terbanding,; -----------------------------------------

Bahwa terhadap putusan tersebut Penggugat/Pembanding melalui kuasanya mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta melalui Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagaimana dalam Akta Permohonan Banding Nomor 222/G/2016 /PTUN-JKT tanggal 17 Pebruari 2017 dan permohonan banding tersebut telah diberitahukan kepada pihak lawan dengan Surat Pemberitahuan Pernyataan Banding Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 22 Pebruari 2017; -----------------

Bahwa Penggugat/Pembanding mengajukan memori banding pada tanggal 24 Maret 2017 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 24 Maret 2017 dan telah diberitahukan dan disampaikan kepada pihak lawan dengan Surat Pemberitahuan dan Penyerahan Memori Banding


Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 24 Maret 2017, yang pada pokoknya menyatakan keberatan akan pertimbangan dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016 /PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017 dengan alasan selengkapnya dalam memori bandingnya antara lain sebagai berikut : ------------------ 1. Bahwa pertimbangan hukum majelis hakim pengadilan tingkat

pertama telah salah menerapkan hukum dalam dasar pertimbangannya dan telah mengabaikan fakta-fakta dalam persidangan; -------------------------------------

2. Dalam Eksespi, yaitu eksepsi gugatan Penggugat/Pembanding kabur, Penggugat sangat keberatan dengan pertimbangan eksepsi gugatan Pengguga/Pembanding kabur karena dengan adanya keputusan tersebut dikeluarkan dari obyek-obyek perkara oleh terbanding tersebut yang sangat merugikan Pembanding karena merek Pembanding sebagaipemegang lisesnsi, yaitu merek-merek cCampus, Daftar Nomor IDM 000382075, TAF dan KAMPUS BOOK, Daftar dan Nomor IDM 000296307, KAMPUS BOOK dan LUKISAN, Daftar Nomor IDM 000272627 dapat merusak pasaran produk Pembanding; --------

dan memohon putusan sebagai berikut : -------------------------- PRIMAIR : ------------------------------------------------------- 1. Menerima permohonan banding dari Pembanding; ------------- 2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat

Pertama Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT Tanggal 16 Pebruari 2017 dan dengan mengadili sendiri sebagai berikut : ---

MENGADILI SENDIRI : ------------------------------------------- Dalam Kompensi : ----------------------------------------------- Subsider : ------------------------------------------------------- Apabila Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain mohon putusan seadiladilnya (ex aequo et bono); ---------------------------------

Bahwa terhadap memori banding dari Penggugat/Pembanding, Tergugat/Terbanding mengajukan kontra memori banding tanggal 17 April 2017 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 17 April 2017 dan telah diberitahukan dan disampaikan kepada pihak lawan dengan Surat Pemberitahuan dan Penyerahan kontra memori Banding


Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 24 Maret 2017, yang pada pokoknya menyatakan keberatan akan pertimbangan dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016 /PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017 dengan alasan selengkapnya dalam memori bandingnya antara lain sebagai berikut : ------------------ 1. Bahwa pertimbangan hukum majelis hakim pengadilan tingkat

pertama telah salah menerapkan hukum dalam dasar pertimbangannya dan telah mengabaikan fakta-fakta dalam persidangan; -------------------------------------

2. Dalam Eksespi, yaitu eksepsi gugatan Penggugat/Pembanding kabur, Penggugat sangat keberatan dengan pertimbangan eksepsi gugatan Pengguga/Pembanding kabur karena dengan adanya keputusan tersebut dikeluarkan dari obyek-obyek perkara oleh terbanding tersebut yang sangat merugikan Pembanding karena merek Pembanding sebagaipemegang lisesnsi, yaitu merek-merek cCampus, Daftar Nomor IDM 000382075, TAF dan KAMPUS BOOK, Daftar dan Nomor IDM 000296307, KAMPUS BOOK dan LUKISAN, Daftar Nomor IDM 000272627 dapat merusak pasaran produk Pembanding; --------

dan memohon putusan sebagai berikut : -------------------------- PRIMAIR : ------------------------------------------------------- 1. Menerima permohonan banding dari Pembanding; ------------- 2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Tingkat

Pertama Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT Tanggal 16 Pebruari 2017 dan dengan mengadili sendiri sebagai berikut : ---

MENGADILI SENDIRI : ------------------------------------------- Dalam Kompensi : ----------------------------------------------- Subsider : ------------------------------------------------------- Apabila Majelis Hakim yang mulia berpendapat lain mohon putusan seadiladilnya (ex aequo et bono); ---------------------------------

Bahwa terhadap memori banding dari Penggugat/Pembanding, Tergugat/Terbanding mengajukan kontra memori banding tanggal 17 April 2017 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 17 April 2017 dan telah diberitahukan dan disampaikan kepada pihak lawan dengan Surat Pemberitahuan dan Penyerahan kontra memori Banding

Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 18 April 2017, yang pada pokoknya menyatakan menolak dengan tegas semua dalil keberatan dari Penggugat/Pembanding dalam memori bandingnya, dengan alasan antara lain sebagai berikut : -------------------------------- 1. Bahwa pertimbangan hukum dari judex facty sudah tepat dan

benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 15Tahun 2001 tentang Merek, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah agung, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dan peraturan lainya yang terkait dengan sengketa ini; ----------------

2. Bahwa Obyek sengketa tersebut terbit sebagai rangkaian dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dan surat-surat yang merupakan obyek sengketa tersebut merupakan satu kesatuan dengan permohonan pendaftaran merek pihak lain yang telah terdaftar di dalam Daftar Umum Merek, jadi secara hukum sangatlah jelas bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tidak berwenang mengadili sengketa, sehingga gugatan Penggugat/Pembanding layak untuk ditolak; ------

Dan memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta untuk memberikan amar putusan sebagai berikut : -- Dalam Eksepsi : ------------------------------------------------- 1. Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang mengadili

sengketa; --------------------------------------------------- 2. Gugatan Penggugat kabur; ----------------------------------- 3. Menyatakan gugatan Penggugat tidak dapat diterima; --------- Dalam Pokok Perkara : ------------------------------------------- Menolak gugatan Penggugat seluruhnya; --------------------------

Bahwa terhadap memori banding dari Penggugat/Pembanding, Kuasa Hukum Tergugat II Intervensi/Terbanding, mengajukan kontra memori banding tertanggal 10 April 2017 yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 10 April 2017 dan telah


diberitahukandan disampaikan kepada pihak lawan dengan Surat Pemberitahuan danPenyerahan kontra memori Banding Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 10 April 2017, yang pada pokoknya menyatakan menolak dengan tegas semua dalil keberatan dari Penggugat/Pembanding dalam memori bandingnya, dengan alasan antara lain sebagai berikut : ------------------------------------ 1. Bahwa menurut hemat Terbanding II Intervensi 1,

pertimbanganpertimbangan hukum Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta aquo yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 222/G/2017/PTUN.JKT tanggal 16 Februari 2017, telah tepat, benar, adil dalam mempertimbangkan dan/atau menerapkan dan menafsirkan hukumnya.Oleh karena itu maka incasu Terbanding II Intervensi 1 merasa perlu untuk menanggapi, menyangkal dan menolak dalil-dalil dan argumentasi hukum yang disampaikan oleh Pembanding (semula Penggugat) Teguh Handojo sebagaimana tertuang dalam Memori Banding tertanggal 24 Maret 2017 atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 222/G/2017/PTUN.JKT tanggal 16 Februari 2017; ----------------------

2. Bahwa alasan-alasan banding Pembanding yang tertuang dalam Memori Banding pada halaman 4 s/d 16 (Dalam Eksepsi) tidak fokus kepada ada atau tidaknya kesalahan pertimbangan-pertimbangan hukum Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara aquo, sehingga berakibat gugatan dinyatakan tidak dapat diterima; ---

3. Bahwa alasan-alasan banding Pembanding yang tertuang dalam Memori Banding pada halaman 4 s/d 16 (Dalam Eksepsi) juga tidak “MENGUTIP” pertimbangan-pertimbangan Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang mana saja yang dianggap salah dalam menerapkan hukum dan salah dalam menafsirkan hukum; ---

Dan memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta untuk memberikan amar putusan sebagai berikut : --


diberitahukandan disampaikan kepada pihak lawan dengan Surat Pemberitahuan danPenyerahan kontra memori Banding Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 10 April 2017, yang pada pokoknya menyatakan menolak dengan tegas semua dalil keberatan dari Penggugat/Pembanding dalam memori bandingnya, dengan alasan antara lain sebagai berikut : ------------------------------------ 1. Bahwa menurut hemat Terbanding II Intervensi 1,

pertimbanganpertimbangan hukum Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta aquo yang tertuang dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 222/G/2017/PTUN.JKT tanggal 16 Februari 2017, telah tepat, benar, adil dalam mempertimbangkan dan/atau menerapkan dan menafsirkan hukumnya.Oleh karena itu maka incasu Terbanding II Intervensi 1 merasa perlu untuk menanggapi, menyangkal dan menolak dalil-dalil dan argumentasi hukum yang disampaikan oleh Pembanding (semula Penggugat) Teguh Handojo sebagaimana tertuang dalam Memori Banding tertanggal 24 Maret 2017 atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 222/G/2017/PTUN.JKT tanggal 16 Februari 2017; ----------------------

2. Bahwa alasan-alasan banding Pembanding yang tertuang dalam Memori Banding pada halaman 4 s/d 16 (Dalam Eksepsi) tidak fokus kepada ada atau tidaknya kesalahan pertimbangan-pertimbangan hukum Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam memeriksa dan mengadili perkara aquo, sehingga berakibat gugatan dinyatakan tidak dapat diterima; ---

3. Bahwa alasan-alasan banding Pembanding yang tertuang dalam Memori Banding pada halaman 4 s/d 16 (Dalam Eksepsi) juga tidak “MENGUTIP” pertimbangan-pertimbangan Judex Factie Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang mana saja yang dianggap salah dalam menerapkan hukum dan salah dalam menafsirkan hukum; ---

Dan memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta untuk memberikan amar putusan sebagai berikut : --

M E N G A D I L I 1. Menolak permohonan banding dari Pembanding semula

Penggugat (Teguh Handoyo); ; ---------------------; ---------- 2. Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017; ------ 3. Menghukum Pembanding semula Penggugat untuk membayar

biaya perkara menurut hukum; ------------------------------- Atau Ex Aequo Et Bono; --------------------------------------

Bahwa sebelum berkas banding perkara a quo di kirim ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, kepada para pihak yang bersengketa telah diberi kesempatan untuk melihat berkas perkara (inzage), masing masing diberitahu dengan Surat Pemberitahuan Untuk Melihat Berkas Perkara Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 15 Maret 2017; -------------------

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM

Menimbang, bahwa putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT yang dimohonkan banding, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari Kamis tanggal 16 Pebruari 2017 dengan dihadiri oleh oleh Kuasa Penggugat/Pembanding, Kuasa Hukum Tergugat/Terbanding, dan Kuasa Hukum Tergugat II Intervensi/Terbanding; - ---------------

Menimbang, bahwa terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta tersebut Penggugat/Pembanding mengajukan permohonan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada tanggal 17 Pebruari 2017 melalui Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta sebagai-mana termuat dalam Akta Permohonan Banding Nomor 222/G/2016/PTUNJKT tertanggal 17 Pebruari 2017; --

Menimbang, bahwa apabila dihitung tenggang waktu permohonan banding yang diajukan Penggugat/Pembanding sesuai akta permohonan banding tanggal 17 Pebruari 2017 terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017, maka pengajuan banding tersebut masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana ditentukan dalam Pasal 123 Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karenanya secara formal permohonan banding dari Penggugat/Pembanding dapat diterima; -----

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding mempelajari dengan seksama putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT, tanggal 16 Pebruari 2017, beserta berkas perkara yang diajukan banding, maupun memori banding dan kontra memori banding, maka Majelis Hakim Pengadilan tingkat banding mempertimbangkan sebagai berikut : ----------------------

Menimbang, bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini adalah : ---------------------------------------------- 1. Surat Tergugat Nomor HKI.4.HI.06.01.PO.D002011028425,

tanggal 5 Agustus 2016, perihal Pemberitahuan Penilaian Keberatan ( P-1 = T-14); ---------------------------------------

2. Surat Tergugat Nomor HKI.4.06.01.PO.D002011028427 tanggal 5 Agustus 2016, perihal Pemberitahuan Penilaian Keberatan ( P-2 = T-13); -------------------------------------------------------

3. Surat Tergugat Nomor HKI.4.HI.06.01.PO.D002011006977, tanggal 5 Agustus 2016 perihal Pemberitahuan Penilaian Keberatan ( P-3 = T-15); --------------------------------------

Menimbang, bahwa pada pokoknya isi dari ke tiga obyek sengketa tersebut adalah bahwa keberatan Penggugat/Pembanding terhadap permohonan pendaftaran merek LA CAMPUSS, AL CAMPUSS dan BMB CAMPUSS tidak diterima oleh Tergugat/Terbanding; -----------

Menimbang, bahwa apabila diperhatikan dari dalil gugatan Penggugat/Pembanding, jawaban Tergugat/Terbanding dan jawaban Tergugat II Intervensi/Terbanding maupun alat-alat bukti yang diajukan para pihak, dapat disimpulkan bahwa masalah dalam perkara ini adalah sengketa merk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merk; -------------

Menimbang, bahwa selanjutnya di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merk disebutkan bahwa mengingat merk bagian dari kegiatan perekonomian/dunia usaha,


Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, oleh karenanya secara formal permohonan banding dari Penggugat/Pembanding dapat diterima; -----

Menimbang, bahwa setelah Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Banding mempelajari dengan seksama putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT, tanggal 16 Pebruari 2017, beserta berkas perkara yang diajukan banding, maupun memori banding dan kontra memori banding, maka Majelis Hakim Pengadilan tingkat banding mempertimbangkan sebagai berikut : ----------------------

Menimbang, bahwa yang menjadi obyek sengketa dalam perkara ini adalah : ---------------------------------------------- 1. Surat Tergugat Nomor HKI.4.HI.06.01.PO.D002011028425,

tanggal 5 Agustus 2016, perihal Pemberitahuan Penilaian Keberatan ( P-1 = T-14); ---------------------------------------

2. Surat Tergugat Nomor HKI.4.06.01.PO.D002011028427 tanggal 5 Agustus 2016, perihal Pemberitahuan Penilaian Keberatan ( P-2 = T-13); -------------------------------------------------------

3. Surat Tergugat Nomor HKI.4.HI.06.01.PO.D002011006977, tanggal 5 Agustus 2016 perihal Pemberitahuan Penilaian Keberatan ( P-3 = T-15); --------------------------------------

Menimbang, bahwa pada pokoknya isi dari ke tiga obyek sengketa tersebut adalah bahwa keberatan Penggugat/Pembanding terhadap permohonan pendaftaran merek LA CAMPUSS, AL CAMPUSS dan BMB CAMPUSS tidak diterima oleh Tergugat/Terbanding; -----------

Menimbang, bahwa apabila diperhatikan dari dalil gugatan Penggugat/Pembanding, jawaban Tergugat/Terbanding dan jawaban Tergugat II Intervensi/Terbanding maupun alat-alat bukti yang diajukan para pihak, dapat disimpulkan bahwa masalah dalam perkara ini adalah sengketa merk sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merk; -------------

Menimbang, bahwa selanjutnya di dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merk disebutkan bahwa mengingat merk bagian dari kegiatan perekonomian/dunia usaha,

maka penyelesaian sengketa merk memerlukan badan peradilan khusus, yaitu Pengadilan Niaga sehingga di harapkan sengketa merk dapat diselesaikan dalam waktu yang relatif cepat; -----------------

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka Pengadilan Tata Usaha Negara tidak berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa dalam perkara ini, dengan demikian putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017 yang dimohonkan banding harus dikuatkan; -

Menimbang, bahwa oleh karena Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017yang dimohonkan banding dikuatkan, sesuai dengan Pasal 110 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka kepada pihak yang kalah dalam perkara ini yaitu Penggugat /Pembanding dihukum untuk membayar semua biaya perkara yang timbul pada kedua tingkat peradilan, yang untuk tingkat banding besarnya ditetapkan dalam amar putusan ini; --

Mengingat akan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, serta ketentuan-ketentuan lain yang berkenaan dan bersangkutan dengan perkara ini; -----------------------------------------------------

M E N G A D I L I :

- Menerima permohonan banding dari Penggugat/Pembanding; - - Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta

Nomor 222/G/2016/PTUN-JKT tanggal 16 Pebruari 2017 yang dimohonkan banding; ----------------------------------------

- Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah); -------------------------------------------

Demikianlah perkara ini diputus dalam rapat musyawarah Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta pada


hari Selasa, tanggal 25 Juli 2017 oleh kami DR. ISTIWIBOWO, S.H.,MH, Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Ketua Majelis, RIYANTO, S.H. dan KETUT RASMEN SUTA, S.H. masing masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan didampingi para Hakim Anggota serta dibantu oleh TRI ASIH WAHYUDIATI, S.H.,MKn sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, tanpa dihadiri oleh para pihak yang bersengketa maupun kuasa hukumnya. --------------------------

HAKIM ANGGOTA I KETUA MAJELIS,

ttd ttd

RIYANTO, S.H. DR. ISTIWIBOWO, S.H.,MH

HAKIM ANGGOTA II

Ttd

KETUT RASMEN SUTA, S.H.

PANITERA PENGGANTI

Ttd

TRI ASIH WAHYUDIATI, S.H.,MKn


hari Selasa, tanggal 25 Juli 2017 oleh kami DR. ISTIWIBOWO, S.H.,MH, Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta sebagai Ketua Majelis, RIYANTO, S.H. dan KETUT RASMEN SUTA, S.H. masing masing sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum pada hari dan tanggal itu juga oleh Ketua Majelis tersebut dengan didampingi para Hakim Anggota serta dibantu oleh TRI ASIH WAHYUDIATI, S.H.,MKn sebagai Panitera Pengganti pada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta, tanpa dihadiri oleh para pihak yang bersengketa maupun kuasa hukumnya. --------------------------

HAKIM ANGGOTA I KETUA MAJELIS,

ttd ttd

RIYANTO, S.H. DR. ISTIWIBOWO, S.H.,MH

HAKIM ANGGOTA II

Ttd

KETUT RASMEN SUTA, S.H.

PANITERA PENGGANTI

Ttd

TRI ASIH WAHYUDIATI, S.H.,MKn

Perincian Biaya Perkara : 1. Surat Pemberitahuan ..................................... : Rp 30.000.- 2. ATK .................................................................... : Rp 42.000.- 3. Redaksi .............................................................. : Rp 5.000.- 4. Materai .............................................................. : Rp 6.000.- 5. Biaya proses banding ..................................... : Rp 164.000,- Jumlah ........................................................................ : Rp 250.000.- Terbilang : dua ratus lima puluh ribu rupiah


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU A. Hamid Attamani. 1993. Hukum tentang Peraturan Perundang-

Undangan dan Peraturan Kebijakan(Hukum Tata Pengaturan). Jakarta. Fakultas Hukum UI.

Abdul Kadir Muhamad. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak atas Kekayaan Intelektual. Cetakan I. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Achmad Zen Umar Purba.2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Cet. I. Bandung. Alumni.

Adrian Sutedi. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta.Sinar Grafika.

Ahmad Erani Yustika. 2003. Negara Vs kaum Miskin. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Amir Santoso. 1989. Analisis Kebijakan Publik : Suatu Pengantar. Gramedia. Jakarta.

Bagir Manan. 1994. Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan Nasional. Padang. Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Beni Achmad Saebani. 2007. Sosiologi Hukum. Bandung. Pustaka Setia.

Brian Z. Tamanaha. 1997. Realistic Socio Legal Theory Pragmatism and a Social Theory of Law. New York. Oxford University Press.

------------. 2006. A General Jurisprudence of law and Society. New York. Oxford University Press.

Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Yogyakarta. Media Presindo.

Endang Purwaningsih. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights. Bogor. Ghalia Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA A. BUKU A. Hamid Attamani. 1993. Hukum tentang Peraturan Perundang-

Undangan dan Peraturan Kebijakan(Hukum Tata Pengaturan). Jakarta. Fakultas Hukum UI.

Abdul Kadir Muhamad. 2001. Kajian Hukum Ekonomi Hak atas Kekayaan Intelektual. Cetakan I. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Achmad Zen Umar Purba.2005. Hak Kekayaan Intelektual Pasca TRIPs. Cet. I. Bandung. Alumni.

Adrian Sutedi. 2009. Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jakarta.Sinar Grafika.

Ahmad Erani Yustika. 2003. Negara Vs kaum Miskin. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Amir Santoso. 1989. Analisis Kebijakan Publik : Suatu Pengantar. Gramedia. Jakarta.

Bagir Manan. 1994. Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-Undangan Nasional. Padang. Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Beni Achmad Saebani. 2007. Sosiologi Hukum. Bandung. Pustaka Setia.

Brian Z. Tamanaha. 1997. Realistic Socio Legal Theory Pragmatism and a Social Theory of Law. New York. Oxford University Press.

------------. 2006. A General Jurisprudence of law and Society. New York. Oxford University Press.

Budi Winarno. 2008. Kebijakan Publik : Teori dan Proses. Yogyakarta. Media Presindo.

Endang Purwaningsih. 2005. Perkembangan Hukum Intellectual Property Rights. Bogor. Ghalia Indonesia.

Erlina B. 2014. Kebijakan Pemerintah Dalam Produk Berindikasi Geografis. Bandar Lampung. Aura Printing & Publishing.

Frederick Abbot,et al, 1999. The International Intellectual Property System : Commentary and Materials. Part Two. The Hague. Kluwer Law International.

H.S. Kartadjoemena. 2000. Substansi Perjanjian GATT/WTO dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa: Sistem Kelembagaan, Prosedur Implementasi, dan Kepentingan Negara Berkembang. Jakarta. Universitas Indonesia Press.

Herebert Kelman (Ed). 1965. Decision Making In International Politics . Reinheart & Winston. New York Holt.

J.G. Starke. 1984. Introduction to International Law. Ninth Edition. London. Butterworths.

Jimly Asshiddiqie.2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jilid I). Jakarta. Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.

John H. Jackson, et.al. 1995. Legal Problems of International Economic Relation. St.Paul, Minn. West Publishing Co.

Keith E. Maskus. 2000. Intellectual Property Rights in The Global Economy. Washington DC. Institue for International Economics.

Louis Henkin. 1979. How Nation Behave, Foreign Policy 47. 2nd edition. Cambrige. Cambrige University Press. Page.

M. Amien Rais, Harwanto Dahlan, dan Tulus Warsito. 1995. Hubungan Internasional. Yogyakarta. Fisip UMY.

Marco C.E. J. Bronckers. 2000. A Cross Section of WTO Law. London: Cameron May. International Law & Policy.

Maria Farida Indriati.1998. Ilmu Perundang-Undangan (dasar- Dasar dan Pembentukannya). Yogyakarta. Kanisius.

Muladi. 2002. Demokratisasi, Hak Asasi Manusi, dan Reformasi Penegakan Hukum. Jakarta. The Habibie Centre.

Peter Groves. 1991. Copyright and Design Law. Cetakan Pertama. London. Graham & Trotman.

Ronald H. Chilcote. 2003. Teori Perbandingan Politik; Penelusuran Paradigma, terjemahan Haris Munandar dan Dudy Priatna.


Rajawali Press. Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro. 1989. Perspektif Sosial dalam Pemahaman

Masalah-Masalah Hukum. Semarang. Agung Press. 1989. Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan

Sosiologis. Yogyakarta. Genta Publishing. S.P Varma. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Press. Jakarta.

Soerjono Soekanto. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Sudargo Gautama. 1992. Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata

Internasional dan Hak Milik Intelektual. Bandung. Citra Aditya Bakti.

-------------. 1994. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional TRIPs, GATT, Putaran Uruguay. Bandung. Citra Aditya Bakti.

W.R. Cornish. 1989. Intellectual Property. Edisi Ke-2. London. Sweet & maxwell.

Wayne Person. 2006. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Alih bahasa oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta.

Yayasan klinik HaKI. 2001. Kumpulan Perundang-Undangan di Bidang HaKI. Cetakan Ke-1. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Yuliandri. 2010. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang Baik. Jakarta. Raja Grafindo.

B. JURNAL A. Zen Purba. 2002. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal

Hukum dan Pembangunan. No. 1 Tahun XXXII, Januari- Maret. Ahmad Ramli. 13 April 2001. Perlindungan Rahasia Dagang. Jurnal

Hukum Bisnis. Volume 13. Hlm. 21 Commonwealth of Australia Ministers of Trade’s Speeches Media

Release MVT72002 Jan Michiel Otto, Suzanne Stoter, Julia Arnscheidt and Wim

Oosterveld. Vol.4/2004. Legislative Theory to Improve Law and Develpoment Projects. Jurnal Regel Mat.

Philip Griffith WIPO Australia Forum Secretariat Regional Workshop


Rajawali Press. Jakarta. Ronny Hanitijo Soemitro. 1989. Perspektif Sosial dalam Pemahaman

Masalah-Masalah Hukum. Semarang. Agung Press. 1989. Satjipto Rahardjo. 2009. Penegakan Hukum : Suatu Tinjauan

Sosiologis. Yogyakarta. Genta Publishing. S.P Varma. 1990. Teori Politik Modern. Rajawali Press. Jakarta.

Soerjono Soekanto. 2008. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta. Raja Grafindo Persada. Sudargo Gautama. 1992. Perdagangan, Perjanjian, Hukum Perdata

Internasional dan Hak Milik Intelektual. Bandung. Citra Aditya Bakti.

-------------. 1994. Hak Milik Intelektual Indonesia dan Perjanjian Internasional TRIPs, GATT, Putaran Uruguay. Bandung. Citra Aditya Bakti.

W.R. Cornish. 1989. Intellectual Property. Edisi Ke-2. London. Sweet & maxwell.

Wayne Person. 2006. Public Policy : Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan. Alih bahasa oleh Tri Wibowo Budi Santoso. Jakarta.

Yayasan klinik HaKI. 2001. Kumpulan Perundang-Undangan di Bidang HaKI. Cetakan Ke-1. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Yuliandri. 2010. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan yang Baik. Jakarta. Raja Grafindo.

B. JURNAL A. Zen Purba. 2002. Peta Mutakhir Hak Kekayaan Intelektual. Jurnal

Hukum dan Pembangunan. No. 1 Tahun XXXII, Januari- Maret. Ahmad Ramli. 13 April 2001. Perlindungan Rahasia Dagang. Jurnal

Hukum Bisnis. Volume 13. Hlm. 21 Commonwealth of Australia Ministers of Trade’s Speeches Media

Release MVT72002 Jan Michiel Otto, Suzanne Stoter, Julia Arnscheidt and Wim

Oosterveld. Vol.4/2004. Legislative Theory to Improve Law and Develpoment Projects. Jurnal Regel Mat.

Philip Griffith WIPO Australia Forum Secretariat Regional Workshop

in IP Legislation for the Pacific Island Forum Countries 4-5 December 2001

Sergio Escudero. International Protection of Geographical Indications and Developing Countries. Trade-Related Agenda. Development and Equity Working paper South Centre July 2001.

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Standing Committee in the Law of Trademarks, Indutrial Designs,

and Geographical Indications. The Issuie Advocay Subcommittee of the External Affairs

Committee of International Trademark Association Lisabon Agreement for the Protection of Appellations of Origin Violation of The TRIPs Agreement New York June 2000.

The Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisan Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis

World Intellectual Property Organization. 1998. Intellectual Property Reading Material. Geneva. WIPO.

D. LAIN-LAIN Bussines News.Edisi Juni 2000. World Trade Organization.

http://europa,eu.int diakses pada Hari Sabtu,Tanggal 12 September 2019, Pukul 19.00 WIB United States Paten and Trademark Office 2001.

http://www.upsto.gov diakes pada hari Jum’at Tanggal 25


Oktober 2019, Pukul 14.00 WIB Deborah Jackson. Introduction to Trademark Law, Passing Off, Trade

Practices and Anti Competitive Practices, Course Outline and Reading Guide. www.austlii.edu.au/cgi-bin

http://www.wipo.org/about-ip/en/about_geographical_ind.html diakses pada Haro Jum’at tanggal 25 Oktober 2019, Pukul 15.00 WIB


Oktober 2019, Pukul 14.00 WIB Deborah Jackson. Introduction to Trademark Law, Passing Off, Trade

Practices and Anti Competitive Practices, Course Outline and Reading Guide. www.austlii.edu.au/cgi-bin

http://www.wipo.org/about-ip/en/about_geographical_ind.html diakses pada Haro Jum’at tanggal 25 Oktober 2019, Pukul 15.00 WIB

TENTANG PENULIS

Nama : Dr. Erlina B. SH. MH. NIP / NIDN : 195909091987032003 / 0009095901 Tempat,Tanggal Lahir : Tanjung Karang, 09 September 1959 E-Mail : [email protected] Pekerjaan : Dosen Tetap Fakultas Hukum

Universitas Bandar Lampung Pangkat : IV/b Jabatan Fungsional : Lektor Kepala Alamat Kantor : JL.Z.A Pagar Alam No.29, Labuhan Ratu,

Bandar Lampung

- Riwayat Pendidikan : Strata 1 Ilmu Hukum Universitas Jambi Tahun 1986

- Strata 2 Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung Tahun 2002

- Strata 3 Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Tahun 2015

- Riwayat Pekerjaan : PNS Universitas Jambi Tahun 1987 – 1991

- Dosen PNSD di Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Tahun 1991 – sekarang


- Pembantu Bidang Akademi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Tahun 1999 – 2003 • Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Bandar

Lampung (UBL) Tahun 2015 – 2016 • Dekan Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung

(UBL) Tahun 2016 – sekarang


- Pembantu Bidang Akademi Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL) Tahun 1999 – 2003 • Kepala Program Studi Fakultas Hukum Universitas Bandar

Lampung (UBL) Tahun 2015 – 2016 • Dekan Fakultas Hukum Universitas Bandar Lampung

(UBL) Tahun 2016 – sekarang

Nama : Melisa Safitri, SH. MH. NIP / NIDN : 0213059101 Tempat,Tanggal Lahir : Kotabumi /13 Mei 1991 E-Mail : [email protected] Pekerjaan : Dosen Tetap Fakultas Hukum

Universitas Bandar Lampung Pangkat : III/b Jabatan Fungsional : Asisten Ahli Alamat Kantor : JL.Z.A Pagar Alam No.29, Labuhan Ratu,

Bandar Lampung

- Riwayat Pendidikan : Strata 1Ilmu Hukum Universitas Lampung Tahun 2012

- Strata 2 Pascasarjana Magister Hukum Universitas Indonesia Tahun 2014

- Riwayat Pekerjaan : Dosen tetap Universitas Bandar Lampung

- Kepala Sentra Kekayaan Intelektual Universitas Bandar Lampung

- Majelis Pengawas Notaris Wilayah Hukum Lampung Selatan

- Advokat pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Bandar Lampung (BKBH UBL) since 2018

- Pengurus Pusat Bantuan Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (PBH PERADI) Bandar Lampung

- Advokat pada Pusat Bantuan Hukum PERADI Bandar Lampung


Nama : INTAN NURINA SEFTINIARA,S.H.,M.H. NIP/NIDN : 0213098804 Tempat,Tanggal Lahir : Bandar Lampung, 13 September 1988 E-Mail : [email protected] Pekerjaan : Dosen Fakultas Hukum Universitas

Bandar Lampung Alamat Kantor : JL. Z.A Pagar Alam No.29, Labuhan Ratu,

Bandar Lampung

- Riwayat Pendidikan : Strata 1 Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Lampung Tahun 2011

- Strata 2 Pascasarjana Magister Hukum Universitas Lampung 2013

- Riwayat Pekerjaan : Dosen Universitas Bandar Lampung (UBL) Tahun 2015 – sekarang

- Advokat pada Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas Bandar Lampung (BKBH UBL)

- Advokat pada Pusat Bantuan Hukum PERADI Bandar Lampung

perlindungan hukum indikasi geografis

Documents