perkembangan civil society dan dampaknya terhadap

25
145 Bab Tujuh Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote Perkembangan civil society di Indonesia sudah dimulai pada saat munculnya Boedi Oetomo 120 (1908) oleh pencetusnya dr. Soetomo, pada saat kaum priyayi Jawa membentuk asosiasi sosial. Kemudian civil society menemukan jaman kejayaannya pada saat sesudah merdeka yang dikenal dengan jaman Demokrasi Parlamenter. Sayang bahwa kejayaan itu mengalami kemunduran dengan munculnya demokrasi terpimpin di bawah Soekarno. Pada jaman itu Soekarno menggunakan cara mobilisasi massa untuk menggalang legitimasi dan memberi cap kontra revolusioner bagi para pengkritiknya. (Hikam, 1996). Di bawah Orde Baru (sampai awal tahun 1990-an) civil society juga tidak berkembang. Adanya pendekatan keamanan (security approach), munculnya sejumlah peraturan dan undang-undang dan tindakan yang bersifat represif menyebabkan civil society tidak berkembang. Beberapa peraturan dan perundangan yang keluar sejak 1970, yang mampu memperkuat posisi negara (terutama Golongan Karya) dan sekaligus juga memperlemah posisi politik masyarakat. 121 120 Titik tolak kebangkitan nasional di Indonesia memang masih menjadi perdebatan. Apakah kebangkitan nasional Indonesia dimulai pada masa berdirinya Boedi Oeteomo? Jika ya, bukankah Budi Oetomo itu masih pergerakan yang bersifat etnonasionalisme kejawaaan? Bahkan, Daniel Dhakidae (2008) menyatakan bahwa dalam seluruh ode (madah puji-pujian) untuk Boedi Oetomo yang selalu disinggung ialah suatu gerakan dan organisasi yang menjadi cahaya yang menyinari “moeder Java”, dan “het volk van Java”, untuk “Ibu Jawa dan bangsa Jawa”, dan mengapa titik tolak kebangkitan nasional itu tidak bermula dari Sumpah Pemuda 1928? Perdebatan titik tolak kebangkitan nasional itu tidak dibahas dalam disertasi ini. 121 Diantaranya adalah dengan diterbitkannya: (1) Inpres Nomor 6 Tahun 1970 tentang Monoloyalitas bagi Pegawai Negeri kepada Golkar; (2) Keputusan MPR Tahun 1971 tentang Konsep Massa Mengambang yang membatasi kegiatan partai politik hanya sampai di aras kabupaten; (3) UU Nomor 3 Tahun 1973 tentang Fusi Partai yang hanya memperbolehkan adanya tiga partai politik, yaitu: PPP, Golkar dan PDI; (4) UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang meletakan birokrasi pemerintahan yang berada pada aras terbawah dibawah kontrol Departemen Dalam

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

16 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

145

Bab Tujuh

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

Perkembangan civil society di Indonesia sudah dimulai pada saat munculnya Boedi Oetomo120 (1908) oleh pencetusnya dr. Soetomo, pada saat kaum priyayi Jawa membentuk asosiasi sosial. Kemudian civil society menemukan jaman kejayaannya pada saat sesudah merdeka yang dikenal dengan jaman Demokrasi Parlamenter. Sayang bahwa kejayaan itu mengalami kemunduran dengan munculnya demokrasi terpimpin di bawah Soekarno. Pada jaman itu Soekarno menggunakan cara mobilisasi massa untuk menggalang legitimasi dan memberi cap kontra revolusioner bagi para pengkritiknya. (Hikam, 1996).

Di bawah Orde Baru (sampai awal tahun 1990-an) civil society juga tidak berkembang. Adanya pendekatan keamanan (security approach), munculnya sejumlah peraturan dan undang-undang dan tindakan yang bersifat represif menyebabkan civil society tidak berkembang. Beberapa peraturan dan perundangan yang keluar sejak 1970, yang mampu memperkuat posisi negara (terutama Golongan Karya) dan sekaligus juga memperlemah posisi politik masyarakat.121

120 Titik tolak kebangkitan nasional di Indonesia memang masih menjadi perdebatan. Apakah kebangkitan nasional Indonesia dimulai pada masa berdirinya Boedi Oeteomo? Jika ya, bukankah Budi Oetomo itu masih pergerakan yang bersifat etnonasionalisme kejawaaan? Bahkan, Daniel Dhakidae (2008) menyatakan bahwa dalam seluruh ode (madah puji-pujian) untuk Boedi Oetomo yang selalu disinggung ialah suatu gerakan dan organisasi yang menjadi cahaya yang menyinari “moeder Java”, dan “het volk van Java”, untuk “Ibu Jawa dan bangsa Jawa”, dan mengapa titik tolak kebangkitan nasional itu tidak bermula dari Sumpah Pemuda 1928? Perdebatan titik tolak kebangkitan nasional itu tidak dibahas dalam disertasi ini. 121 Diantaranya adalah dengan diterbitkannya: (1) Inpres Nomor 6 Tahun 1970 tentang Monoloyalitas bagi Pegawai Negeri kepada Golkar; (2) Keputusan MPR Tahun 1971 tentang Konsep Massa Mengambang yang membatasi kegiatan partai politik hanya sampai di aras kabupaten; (3) UU Nomor 3 Tahun 1973 tentang Fusi Partai yang hanya memperbolehkan adanya tiga partai politik, yaitu: PPP, Golkar dan PDI; (4) UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang meletakan birokrasi pemerintahan yang berada pada aras terbawah dibawah kontrol Departemen Dalam

Page 2: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

146

Pada dekade awal tahun 1990-an sebenarnya sudah merupakan Periode Reformasi (munculnya Civil Society) yang dimulai dengan gerakan resistensi di pedesaan (Suwondo, 1997), unjuk rasa oleh kelompok tertindas yang sangat nyata dengan munculnya protes masalah tanah, penggusuran, dan gerakan buruh di hampir seluruh kota besar Jawa dan Sumatera (Medan). Gerakan reformasi tersebut mencapai puncaknya pada saat diturunkannya kekuasaan Soeharto oleh adanya tekanan kelompok mahasiswa dan kaum reformis. Namun memasuki akhir dekade 1990-an (terutama sesudah tahun 1999) Indonesia menghadapi tantangan perkembangan jaman yang mempunyai karakteristik tidak adanya kepatuhan hukum (disorder), kekacauan (chaos), kekerasan (violence), pelanggaran hak-hak asasi manusia, over exploited sumber daya alam yang mengabaikan pelestarian lingkungan, merebaknya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), dan runtuhnya kewibawaan serta kekuatan negara (weak state).

Munculnya civil society di Rote sesungguhnya telah dimulai sejak berdirinya Nusak (Kerajaan) di Rote pada Tahun 1500-an.122 Perkembangan civil society ini mulai dari gambaran, sifat, pola, keberhasilan atau kegagalan civil society hanya bisa dikemukakan dalam konteks kejadian-kejadian pembangunan seperti pembangunan infrastruktur (sarana dan prasarana fisik), pembangunan sumber daya manusia dan pemanfaatan sumber daya alam.

Beberapa perkembangan civil society dan dinamikanya di Rote dapat dilihat pada Tabel 7.1 berikut ini:

Negeri sepenuhnya; (5) Instruksi Mendagri Nomor 2 Tahun 1981 yang memasukan LMD (semula merupakan organisasi partisipasi masyarakat) ke dalam kontrol Depdagri; dan (6) UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Azas Tunggal Pancasila yang memberi wewenang penuh bagi Depdagri untuk mengontrol semua organisasi massa. 122 Selama penelitian ini dilakukan penulis belum menemukan literatur yang mampu menjelaskan kapan pertama kali Nusak hadir di Rote Ndao. Tahun 1500-an merupakan perkiraan penulis karena hampir semua literatur tentang Rote membahas tentang perkembangan Nusak pada Tahun 1522 ke atas di mana untuk pertama kalinya Pulau Rote ditulis dengan nama Rote (sebelumnya bernama Pulau Roti). Lihat Fox (1996). Lihat: (Fox, 1996; Messakh, 2006; dan Soh, 2008)

Page 3: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

147

Tabel 7.1. Perkembangan Civil Society dan Dinamikanya di Rote Antara Tahun 1522-2011

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN 1 Februari

1522

Untuk pertama kalinya Pulau Rote ditulis dengan nama Rote (Sisa awak kapal Magelhan singgah di Pulau Rote). (Fox, 1996:25-27)

Portugis

2 1575 Portugis berperang melawan Nusak Ndao

Portugis Perlawanan

3 1576 Portugis berperang melawan Nusak Bilba

Portugis Perlawanan

4 1621 Misi dominikan pertama di Pulau Rote dan Pulau Sabu

Belanda Gerakan Misionaris

5 1653 Nusak Landu, Oepao, Ringgou & Bilba bersumpah setia kepada Ter Horst seorang pejabat kompeni di Kupang

Belanda

6 1654 Ekspedisi Ter Horst ke Pulau Rote untuk memperkuat sekutu Belanda (Nusak Landu, Oepao, Ringgou & Bilba)

Belanda

7 1656 Belanda mulai mencatat tentang keberadaan Nusak.

Belanda

8 1656-1658 Dengka, Loleh, Baa & Bau Dale diduduki paksa oleh Belanda

Belanda

9 3.10.1658 Dengka, Loleh, Baa & Bau Dale menyerang Nusak tetangga untuk membayar denda kepada kompeni

Belanda Konflik

10 1660 Dengka Loleh, Baa, & Bau Dale kembali diserang oleh Belanda

Belanda Konflik

11 19.10.1661 Loleh diserang oleh Belanda, 500 orang Lole mati

Belanda Perlawanan

12 1662 Perjanjian Paravicini, Nusak Dengka, Termanu,

Belanda

Page 4: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

148

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN Korbaffo, & Bilba diakui keberadaannya oleh Belanda

13 1676 Belanda menyerang Nusak Dengka dan Loleh

Belanda Perlawanan

14 1679 Belanda pertama kali mengirimkan orang Rote untuk belajar bahasa Melayu

Belanda Gerakan pendidikan

15 1690-1691 Pergolakan wilayah-wilayah tertentu untuk meminta pemerintahan sendiri

Belanda Perlawanan

16 1753 Belanda berperang melawan Nusak Landu, Ringgou, Oepao, & Bilba.

Belanda Perlawanan

17 1755 Sekolah pertama di Rote berdiri sendiri

Belanda Gerakan Pendidikan

18 1756 Pengakuan eksistensi Nusak Diu & Bokai. Juga pertama kali dibuat sekolah dengan sistem Rote.

Belanda Gerakan Pendidikan

19 1760 Nusak Landu, Ringgou, Oesapo, Baa, Lelain (Ossipokah), Thie, Loleh dan Oenale diakui oleh Belanda

Belanda

20 1772 Lelenuk memisahkan diri dari Bokai & Talae memisahkan diri dari Keka

Belanda Pemekaran Nusak

21 1775 Sekolah pertama dalam bahasa Melayu didirikan di Pulau Rote & pertama di NTT

Belanda Gerakan Pendidikan

22 Akhir Abad 18

Pengakuan terhadap Nusak Diu

Belanda

23 1818-1819 Rakyat Hoi Ledo dibuang ke Babau (Kupang) karena ingin memisahkan diri dari Termanu

Belanda Konflik

24 1874 Manek Thie, FoE Mbura, dibunuh di wilayah Nusak Termanu. Dikarenakan

Belanda Konflik

Page 5: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

149

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN persaingan Nusak Termanu untuk memperoleh pengaruh terhadap Belanda. Raja Termanu kemudian diberhentikan dari jabatannya kemudian digantikan oleh adiknya.

25 1879 Pulau Rote dijadikan satu Onder Afdeling

Belanda Otonomi Daerah

26 1908 Penetapan batas Thie dan Dengka di Danau Tua

Belanda

27 1909 Penyatuan beberapa Nusak Belanda Otonomi Daerah 28 1911 Sengketa Thie & Dengka

dengan persoalan Danau Tua kembali mencuat. Beberapa Manek di buang ke luar pulau Rote karena menentang kebijakan Belanda pada 1909

Belanda Konflik

29 1925 Pencabutan batas Nusak antara Nusak Thie dan Nusak Dengka oleh Manek Thie, ia dibuang ke Alor.

Belanda Konflik

30 1928 Rote dibentuk menjadi sebuah zelfbestuur (otonomi)

Belanda Otonomi Daerah

31 1932 Gejolak di Bo’a (Nusak Delha) menentang penagihan pajak oleh Belanda

Belanda Perlawanan

32 1945 Sengketa antara Thie & Dengka dengan persoalan batas Nusak

Orde Lama Konflik

33 1950 Pembentukan Dewan Pemerintah Daerah Sementara Swapraja Rote Ndao

Orde Lama Otonomi Daerah

34 1956 Perang antara Busalangga (Dengka) & Oebatu (Thie)

Orde Lama Konflik

35 1957 Perkara kompleks Orde Lama Konflik

Page 6: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

150

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN persawahan Fin Dale atara Manek Bokai dengan Manek Termanu

36 1957 Pemecatan Manek Baa (I.D. Panie)

Orde Lama

37 14.5.1960 Kerusuhan di Bo’a dengan motif masyarakat Bo’a menolak membayar pajak

Orde Lama Perlawanan

38 1960 Sengketa Nusak Thie & Dengka dengan persoalan batas Nusak

Orde Lama Konflik

39 1962 Pemerintahan Nusak dibubarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia, beberapa Nusak digabung ke dalam sebuah kecamatan, bahkan ada yang hanya menjadi satu desa, seperti Desa Holoama aslinya adalah wilayah Nusak Lelain.

Orde Lama Otonomi Daerah

40 1974 Kasus pembutungan dua buah anggota klan Amalo karena memperebutkan tanah persawahan dengan klan SinlaEloe

Orde Baru Konflik

41 1981 Kerusuhan Thie & Dengka dengan pemicu pencurian hewan

Orde Baru Konflik

42 1985 Kerusuhan Thie & Dengka dengan pemicu pemukulan/ penganiayaan

Orde Baru Kekerasan

43 1993 Kerusuhan Thie & Dengka dengan pemicu pencurian hewan

Orde Baru Konflik

44 1996 Kerusuhan Thie & Dengka dengan pemicu pencurian hewan

Orde Baru Konflik

45 1.2.1998 Anthoneta Lalai (50), warga Dusun Danggaoen, Desa

Reformasi Kekerasan

Page 7: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

151

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN Dolasik ditemukan tewas di rumahnya akibat dibunuh dengan benda tajam.

46 2.2.1998 Daniel Pandie (65), warga RT 02 RW 1 Dusun Boheama, Desa Meowain. Daniel ditembak dengan senapan tumbuk saat sedang berdiri dalam rumahnya. Tiga peluru bersarang dan menembus tubuhnya dan ia tewas di tempat.

Reformasi Kekerasan

47 15.2.1998 Jusuf Fora, guru agama SD Oebafok, Desa Oebafok ditemukan telah menjadi mayat di Danau Koli, Dusun Koli, Desa Busalangga.

Reformasi Kekerasan

48 20.2.1998 Naomi Henukh (63), warga Dusun Meowain, Desa Meowain. Ia dibunuh saat sedang menuju ke Sumalain untuk membeli pupuk (sekitar 60 meter dari rumahnya). Korban tewas dengan tubuh terkoyak akibat dicincang pelaku. Leher korban putus, usus perut terburai keluar dan tangan serta jari putus ditebas dengan benda tajam.

Reformasi Kekerasan

49 14.3.1998 Henderina Bai Boru (60), warga Dusun Oehandi Selatan, Desa Oehandi ditembak orang tak dikenal di dalam rumahnya sekitar pukul 19.10 Wita. Korban ditembak saat sedang menghitung uang.

Reformasi Kekerasan

50 4.5.1998 Origenes Foeh (45) Warga Dusun II Desa Oebafo tewas dibunuh saat sedang duduk

Reformasi Kekerasan

Page 8: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

152

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN makan di rumahnya. Korban dibantai sampai lehernya putus. Otak dan usus perut terburai akibat ditebas parang.

51 Agustus 1998

Julius Manafe, warga RT 10, Dusun Nasedana, Desa Oebau. Ia dibunuh di tempat penyadapan lontar di Tolandik sekitar 3 km dari rumah korban. Kemudian Welem Langgar (55) warga Dusun Denita Selatan, Desa Dolasi tewas dibunuh. Sakarias Tandu (70), warga Desa Meowain, juga tewas dibunuh di padang di Nggeluk, antara wilayah Rote Barat Daya dan Rote Barat Laut karena perang tanding antara warga Ti’i dan Dengka.

Reformasi Kekerasan

52 1999 Kerusuhan di Desa Kuli (Loleh) Vs Dusun Sencama Desa Oelasin (Kecamatan Rote Barat Daya)

Reformasi Konflik

53 1999 26 September 1999 Pecah kerusuhan antara warga Desa Meoain (Thie) dan Desa Modosinal (Dengka). Hingga tangal 29 September 1999 terjadi perang antar ribuan warga Dengka Versus Thie

Reformasi Konflik

54 2000 Kerusuhan warga Desa Sanggoen, Desa Mokdale, Desa Oelunggu dengan Desa Tuanatuk melawan Desa Oebatu

Reformasi Konflik

55 2001 Kerusuhan antara Desa Oebatu dan Dusun Sonusah,

Reformasi Konflik

Page 9: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

153

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN antara Desa Oebatu dan Dusun Tekeme serta Desa Oebatu dengan Nusak Dengka

56 19.7.2002 Kerusuhan di Desa Oeseli, Kecamatan Rote Barat Daya yang melibatkan Kepala Desa, Ketua BPD dan kelompok yang bertikai. Ibrahim Mooy dan M. Mooy warga Desa Oeseli meninggal dunia.

Reformasi Konflik

57 25.7. 2002 Perkelahian antara warga Desa Lidor dan Ombook, dua desa di Kecamatan Rote Barat Laut berjumlah 200-an orang dan 1 orang meninggal terkena tembakan peluru aparat kepolisian yang datang membubarkan perkelahian.

Reformasi Konflik

58 November 2002

Perang tanding antara warga Thie & Dengka di Busalangga

Reformasi Konflik

59 2003 Perseteruan tingkat elit politik pada suksesi Pilkada untuk pertama kalinya bagi Kabupaten Rote Ndao secara terbentuk Tahun 2002.

Reformasi Konflik elit politik

60 2003 Gerakan Revitalisasi Budaya Rote Ndao mulai digalakan oleh John B. Ndolu dan mendapat dukungan dari WVI ADP Rote Ndao

Reformasi Gerakan revitalisasi budaya

61 2007 Sebagian besar anak-anak di Pulau Rote menderita Gizi Buruk dan Busung Lapar

Reformasi Bencana

62 Oktober 2008

Aksi demonstrasi pasca pelaksanaan Pilkada Rote Ndao yang dipimpin oleh J.

Reformasi Perlawanan

Page 10: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

154

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN Danny Zacharias, S.H.,M.A (Juru Bicara Aliansi Masyarakat Rote Ndao).

63 18.10.2008 Pembakaran Kantor Camat Rote Barat Laut oleh massa yang tidak puas dengan hasil perhitungan suara Pilkada Rote Ndao di Kecamatan Rote Barat Laut.

Reformasi Kekerasan

64 25.11.2008 Sejumlah anggota DPRD Rote Ndao meminta Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao (Christian Nehemia Dillak – Bernard E. Pelle) di pecat karena dianggap gagal memimpin Kabupaten Rote Ndao.Kemudian Bupati dan Wakil Bupati Rote Ndao mengatakan bahwa DPRD Rote Ndao Tidak Paham Aturan.

Reformasi Konflik elit politik

65 11.5.2010 Pemukulan terhadap Romo Apolonarius Ladjar, Pr oleh Pratu M.F. anggota TNI AL dari Satuan Marinir di Nemberala.

Reformasi Kekerasan

66 7.6.2011 Forum Komunikasi (Forkom) Tokoh Adat peduli budaya Rote Ndao dikukuhkan Bupati Rote Ndao dengan Ketua Jhon B. Ndolu (Maneleo dari Leo Kunak, Nusak Baa)

Reformasi Gerakan peduli budaya

67 14.12.2011 Kekerasan terhadap Dance Henuk, Jurnalis Rote Ndao News, rumahnya dibakar oleh oknum tak dikenal dan sang putera yang baru berusia satu bulan meninggal dunia beberapa jam setelah kejadian.

Reformasi Kekerasan

Page 11: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

155

NO TAHUN URAIAN ERA KETERANGAN 68 15.12.2011 Intimidasi dan ancaman

akan dibunuh terhadap Endang Sidin Wartawati Erende Pos oleh Oknum Anggota Satpol PP Rote Ndao berinisial JT karena memberitakan PNS menang tender proyek. (JT kemudian membuat Hak Jawab bahwa yang diberitakan oleh Endang Sidin adalah tidak benar)

Reformasi Kekerasan

69 15.12.2011 Aksi Protes Masyarakat Nemberala atas tanah di Nemberala yang dikuasai oleh Turis Asing

Reformasi Perlawanan

Sumber: Data olahan dari beberapa hasil wawancara; hasil observasi, Laporan Kejadian Khusus Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao bulan September 1999; (Fox, 1996); Messakh (2006); Laporan Penelitian WVI dan PSKTI UKSW (2008); Soh (2008), Pos Kupang (1998, 2002, 2008), Timor Express (2010), Kompas (2006, 2011), Media Indonesia (2011).

Selain kasus perlawanan masyarakat Bo’a dengan motif menolak membayar pajak.123 Tabel 7.1. juga memperlihatkan beberapa peristiwa penting sepanjang sejarah Rote, yang sebagian besar diisi oleh cerita perang antar Nusak, perang antar kampung, maupun konflik dengan pemerintah pada jamannya. Dari 69 item kejadian di atas terdapat 17.04% (12 kejadian) yang berhubungan dengan kekerasan; 14.05% (10 kejadian) yang berhubungan dengan perlawanan masyarakat (Nusak) terhadap negara; 8.7% (6 kejadian) berhubungan erat dengan otonomi daerah (termasuk pemekaran Nusak); 33,33% (23 kejadian) berkaitan erat dengan konflik antar etnis; Sebuah pengulangan konflik bahkan hingga mencapai abad ke 21. Begitu pula konflik di antara penduduk pulau Rote memang sampai pada tahap tertentu akan membawa perubahan pada suatu masyarakat sehingga

123 Lihat urutan kejadian nomor 31 dan 37 pada tabel 7.1.

Page 12: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

156

konflik justru dipandang masih diperlukan oleh masyarakat.124Seperti konflik yang selalu terjadi antara penduduk dapat dilihat sebagai gejala dinamika masyarakat karena selalu ditemui dimasyarakat manapun. Namun jika telah sampai pada tahapan di mana terjadi korban jiwa dan serta kerusakan harta benda tertentu perlu diperhatikan lebih khusus.

Perkembangan civil society pada tingkat lokal di Indonesia memang bukan fenomena baru. Jauh sebelum reformasi politik tahun 1998 berkobar, di banyak daerah telah terjadi protes kaum tani atas penggusuran tanah atau demonstrasi buruh yang menuntut perbaikan hidup mereka (Poeponegoro, et al 1993). Kasus Kedungombo, Nipah, Cimacam, Nitneo, Lembata, Fatumnasi, Waingapu, Martoba, Jenggawah, Sidoardjo, Timika, dan lain-lain merupakan rangkaian bukti meluasnya protes sosial atas penggusuran tanah, eksploitasi, dan kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Bahkan di Rote telah berlangsung sejak Tahun 1500-an di mana berawal dari terbentuknya sistem kemasyarakatan seperti Nusak (Kerajaan) dan Leo (Suku) sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Messakh (2006) bahwa pendaratan penduduk awal di Rote secara bergelombang dan terpisah-pisah, hingga terbentuk sistem kemasyarakatan seperti Leo dan Nusak terjadi kontestasi perebutan di daerah-daerah subur dan padang penggembalaan.

Penentuan Penjabat Bupati Rote Ndao

Penentuan Penjabat Bupati Rote Ndao tidak lepas dari persoalan konflik. Pada saat itu terdengar betul dua orang kandidat yang muncul, yaitu Drs. Melkianus Adoe125 dan Christian Nehemia Dillak, S.H.126 Bupati Kupang Drs. I.A. Medah127 hanya mengajukan

124 Haryanto (1991) 125 Anggota DPRD NTT kemudian menjadi Ketua DPRD NTT dari Partai Golkar dan Mantan Ketua Panitia Pembentukan Kabupaten Rote Ndao. Kini Drs. Melkianus Adoe aktif di Partai Demokrat NTT setelah berhenti sebagai Ketua DPRD NTT 126 Asisten II Sekretaris Daerah Kabupaten Kupang. Keluarga dekat Drs. I.A. Medah ini pensiun dengan jabatan terakhir Bupati Rote Ndao periode 2003-2008. 127 Jabatan sekarang Ketua DPRD NTT dari Partai Golkar

Page 13: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

157

satu nama sebagai calon Penjabat Bupati Rote Ndao yaitu atas nama Christian Nehemia Dillak, S.H yang kemudian disetujui oleh Menteri Dalam Negeri.

Jauh sebelum Rote Ndao menjadi kabupaten, wilayah ini dipimpin oleh Benyamin Messakh, B.A128 sebagai Pembantu Bupati Kupang Wilayah Rote Ndao dan jabatan ini dilikuidasi pada tanggal 6 Januari 2001 (berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999), yang bersangkutan kemudian ditarik kembali ke Sekretariat Daerah Kabupaten Kupang sebagai Staf. Ia kemudian pindah ke Kantor Gubernur NTT yang kemudian diangkat sebagai Staf Ahli Gubernur NTT dan akhirnya pensiun pada Tahun 2002 dengan pangkat penghagaan IV/C. Sedangkan Drs. Melkianus Adoe tidak bisa diakomodir karena persyaratan untuk menduduki posisi Penjabat Bupati adalah PNS Aktif. Dengan penunjukan Christian Nehemia Dillak, S.H sebagai Penjabat Bupati Rote Ndao berarti elit pemekaran Kabupaten Rote Ndao yang diwakili oleh Drs. Melkianus Adoe dan Benyamin Messakh, B.A telah tersingkir bersama dengan rantaian gerbong mereka (Messakh, 2006).

Sementara proses administrasi berjalan menuju pelantikan Penjabat Bupati Rote Ndao, muncul kasus “kapal bekas”129 yang melibatkan Bupati Kupang (Drs. I.A. Medah) dan Penjabat Bupati Rote Ndao (Christian Nehemia Dillak, S.H) sebagai saksi. Kasus ini walaupun di follow up oleh Perkumpulan Pengembangan Inisiatif dan Advokasi Rakyat (PIAR) namun dapat juga dilihat sebagai upaya para elit pemekaran menggagalkan pelantikan Christian Nehemia Dillak, S.H sebagai Penjabat Bupati Rote Ndao. Christian Nehemia Dillak, S.H

128 Orang yang pertama kali mengumpulkan tanda tangan pengusulan/permintaan 300 orang tokoh Rote agar Rote menjadi kabupaten definitif dan terpisah dari induknya Kabupaten Kupang. 129 Kasus pengadaan “kapal bekas” ini selain melibatkan Bupati Kupang Penjabat Bupati Rote Ndao, juga melibatkan Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kupang (Ir. Nikodemus Leka). (Suara Karya, 14 Januari 2005). Disebutkan bahwa negara mengalami kerugian sebesar 239 juta rupiah dari nilai proyek sebesar 800 juta rupiah. Sampai dengan disertasi ini disusun, kasus “kapal bekas” tidak ada yang sampai di Pengadilan untuk disidangkan.

Page 14: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

158

akhirnya dilantik sebagai Penjabat Bupati Rote Ndao pada bulan April Tahun 2002 sampai dengan tanggal 5 Desember 2003.130

Gambaran penentuan penjabat bupati yang telah diuraikan di atas menunjukkan suatu pola kepemimpinan ditingkat lokal dan penentuan penjabat bupati yang belum berpihak pada kepentingan masyarakat karena sangat dekat dengan kepentingan politik para elit birokrat baik pada aras kabupaten maupun provinsi.

Lamak-Anan Versus Henak-Anan: Konflik Laten dalam Birokrasi Kabupaten Rote Ndao

Pada saat Rote menjadi sebuah Kabupaten, sebenarnya rakyat tidak lagi terlibat langsung dalam berbagai dinamika memperdebatkan kekuasaan di tingkat Negara. Namun elit cenderung memanfaatkan massa guna mengingkatkan dukungan legitimasi bagi mereka. Para elit partai politik atau kandidat yang ingin bersaing memperebutkan posisi Bupati selalu mendekati para elit adat. Saat di mana Manek sudah tidak lagi mempunyai “gigi”, Maneleo sebagai kepala marga adalah sasaran pendekatan para elit.

Namun kedudukannya kelak hanyalah sebagai kendaraan bagi akses dukungan warga, sebab kesetiaan warga bagi maneleo masih kuat. Jika telah masuk pada level birokrasi misalnya menjadi hal yang berbeda, karena telah terjadi upaya politisasi yang kuat dilingkunan Pemerintah Daerah Kabupaten Rote Ndao. Maksudnya adalah untuk merubah output birokrasi menjadi dukungan politik bagi kandidat.

Ke dalam incumbent berupaya menempatkan “anggota tim sukses” pada beberapa posisi kunci, terutama eselon II. Pada eselon III dan IV juga tetap dipakai pola menempatkan anggota “tim sukses” namun dengan cara yang lebih elegan. Persentasenya dibuat lebih kecil

130 http://www.rotendaokab.go.id/modules.php?name=Profil&op=mantan_bupati diunduh pada tanggal 22 Agustus 2009

Page 15: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

159

dari motif penempatan karena profesionalitas pegawai, namun “tim sukses” selalu ditempatkan pada posisi-posisi kunci.

Walaupun nyata-nyata telah melakukan hal ini, namun incumbent tetap saja memperhatikan pentingnya legitimasi. Ia memanfaatkan issu pemisahan penduduk Rote berdasarkan penduduk bagian Barat dan penduduk bagian Timur. Pada tahun 1656 Ter Horst, membagi wilayah-wilayah Rote menjadi 10 buah yang memihak terhadap Portugis dan 12 buah yang memihak pada Belanda. Belakangan Arnol de Flaming menegaskan bahwa pembagian itu agak salah arah karena pembagian itu lebih berdasarkan kecenderungan pembangian masyarakat setempat. Masyarakat setempat juga membagi Rote menjadi bagian lamak-anan dan henak-anan atau dikatakan pula “matahari terbit” dan “matahari terbenam”. Belakangan pembagian ini dikenal dengan “Rote (bagian) Timur dan Rote (bagian) Barat.”

Isu ini terus digulirkan pasca kemenangan Chritian Nehemia Dillak, S.H dan Bernard E. Pelle, S.IP dari lamak-anan yang menang atas pasangan Drs. Melkianus Adoe-Drs. Fritz Oscar Fanggidae, M.Si yang sama-sama berasal dari henak-anan. Dan tidak saja pada periode pertama (2003-2008), pada periode kedua (2008-2013) pun isu-isu ini masih tetap digulirkan di jaman Bupati sekarang Drs. Leonard Haning, M.M dari Rote Barat yang berpasangan dengan Drs. Marthen Luther Saek yang juga dari Rote Barat (Paket LENTERA). Pasangan ini berhasil mengalahkan pasangan incumbent Christian Nehemia Dillak, S.H-Zacharias Manafe pada Pilkada Rote Ndao Tahun 2008 (Paket NAZAR).131 Salah satu contoh adalah satu per satu pejabat birokrat yang terindikasi sebagai pendukung paket NAZAR mulai “digusur” dan digantikan dengan “orang dekat” paket LENTERA.

Padahal isu henak-anan dan lamak-anan ini hanyalah semacam kamuflase untuk mendapatkan jabatan dalam struktur pemerintahan di Rote Ndao. Sedikit sekali yang bekerja dan mendapatkan jabatan karena profesionalitas, itupun hanya pada level menengah ke bawah. 131 Ulasan tentang Pilkada Rote Ndao Tahun 2008 telah penulis bahas pada Bab 6 dalam disertasi ini

Page 16: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

160

Kondisi empirik Rote dengan begitu banyak fragmentasi sistem pemerintahan asli yang telah menjadi semacam wilayah geopolitik, kemungkinan akan membawa kabupaten ini ke dalam konflik internal birokrasi dan politik yang berkepanjangan sehingga lambat laun akan menyebabkan krisis keserasian sosial antar elit birokrasi dan praktik berdasarkan sentimen geografis.

Dari uraian di atas dapat ditarik suatu benang merah bahwa elemen-elemen yang saling terkait secara fungsional, yang menyusun sistem politik para aras kabupaten sudah tersedia. Beberapa elemen yang dapat menjadi saluran tuntutan, dukungan dan aspirasi masyarakat adalah DPRD, partai politik dan pemerintah para semua aras (RT/RW, Desa/Kelurahan, Kecamatan dan Kabupaten). Walaupun begitu dua elemen utama yang seharusnya berfungsi dengan baik yaitu DPRD dan partai politik nampaknya belum berfungsi sebagaimana mestinya. Belum adanya pengalaman dan tidak adanya kejelasan pola kerja dari lembaga-lembaga tersebut merupakan faktor yang menjadi penyebab tidak berfungsinya kedua lembaga tersebut. Sementara itu adanya persaingan antara oknum di DPRD, Partai Politik dan Pemerintahan yang kadang-kadang menjurus ke wacana dan tindakan yang bersifat destructive juga menjadi penyumbat jalannya aspirasi rakyat, dan sekaligus mengancurkan sistem politik yang ada. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan segera dan sungguh-sungguh maka kemungkinan tindakan yang bersaifat resisten dari rakyat akan terus berlanjut.

Dampak Civil Society Terhadap Pembangunan di Rote

Pemahaman terhadap pembangunan menghasilkan ide kemajuan, berkonotasi ke depan atau ke tingkat yang lebih tinggi. Pembangunan harus dipahami sebagai suatu proses yang berdimensi jamak yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam aspek sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya. Pembangunan juga telah didefinisikan sebagai pertumbuhan plus perubahan, yang merupakan

Page 17: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

161

kombinasi berbagai proses sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya, untuk mencapai kehidupan yang lebih baik (United Nations, 1972). Pembangunan haruslah menempatkan rakyat sebagai pusat perhatian dan proses pembangunan harus menguntungkan semua pihak.

Belakangan ini diskusi mengenai civil society semakin marak. Di banyak negara, civil society dianggap sebagai aktor sentral dalam proses demokratisasi sebagaimana digambarkan oleh Huntington (1991) dipahami sebagai diagnosis bagi berbagai macam “penyakit” demokrasi akibat pembusukan partai politik, kriris kepercayaan terhadap parlemen, kecenderungan para politisi untuk berperilaku curang, hilangnya ideologi organisasi sosial politik, dan sebagainya. civil society seolah-olah mendapat tempat yang sakral dalam analisis politik. Maka tidak mengherankan jika para ahli ilmu sosiologi maupun ilmu politik menempatkan civil society sebagai aktor utama yang berperan dalam memprovokasi kejatuhan rejim-rejim otoriter dan dalam mempromosikan demokrasi di dalam masyarakat.

Dalam konteks Rote saat ini, lembaga Maneleo (cerminan dari Nusak) yang diformalkan oleh pemerintah Kabupaten Rote Ndao sesungguhnya adalah oganisasi yang paling efektif dengan kebutuhan praktis masyarakat yang konkrit yang berkaitan dengan persoalan kesehatan, kependidikan, ketenagakerjaan dan penyediaan pelayanan publik dasar tetapi yang dapat memanfaatkan isu-isu tersebut sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan strategis masyarakat.

Seperti diuraikan pada bab-bab empiris di atas. Rote merupakan wilayah yang penuh dengan perlawanan, konflik, keresahan, kekerasan, dan balas dendam. Keadaan semacam ini secara umum juga terjadi pada beberapa wilayah lainnya di NTT, tidak hanya di Rote namun dengan intensitas yang berbeda. Pengaruh dari tindakan-tindakan di atas menyebabkan munculnya sejumlah perubahan dalam hubungan sosial-ekonomi, sosial-politik maupun sosial-budaya antar masyarakat. Dengan demikian rakyat harus di

Page 18: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

162

pandang sebagai salah satu elemen penting dalam sistem pemerintahan di Rote maupun pada aras yang lebih tinggi.

Kemunduran Pembangunan Demokrasi

Demokrasi daerah dalam implementasinya telah menghadirkan beberapa persoalan yang merupakan pekerjaan rumah bagi kalangan masyarakat sipil, baik persoalan yang muncul dari masyarakat maupun pemerintahan daerah. Tahap awal yang memperlihatkan persoalan konsolidasi demokrasi daerah adalah kasus pemilihan kepada daerah secara langsung (pilkada) seperti yang telah penulis kemukakan pada Bab 6 di mana peristiwa pembakaran Kantor Kecamatan Rote Barat Laut dan sejumlah aksi unjuk rasa oleh masyarakat yang tidak puas dengan hasil Pilkada di Rote pada Tahun 2008.

Pada sisi yang lain arah konsolidasi demokrasi daerah (desentralisasi) juga menghadirkan persoalan mendasar yaitu diperlukannya pemerintahan lokal yang baik (local good government). Pemerintahan lokal pada periode desentralisasi ini mempunyai wewenang yang sangat besar dalam pengelolaan daerah. Bahkan melahirkan konstelasi persaingan atar elite-elite politik lokal, antara eksektif maupun legislatif, antara bupati dan gubernur dalam membagi wilayah kekuasaan. Pada saat bersamaan, pemerintahan daerah dengan sistem baru berhadapan dengan kenyataan bahwa terdapat berbagai persoalan baik pada dimensi regulasi, organisasi dan sumberdaya manusia.

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) Tingkat Provinsi NTT yang dilakukan oleh BPS NTT pada Tahun 2009 menunjukkan bahwa aspek kebebasan sipil memberikan kontribusi tertinggi (Indeks 95,55) disusul dengan aspek lembaga-lembaga demokrasi (Indeks 73,63) dan yang terendah adalah aspek hak-hak politik (Indeks 51,46). Rendahnya nilai indeks aspek hak-hak politik dipengaruhi oleh rendahnya nilai variabel hak memilih dan dipilih (Indeks 50,26) serta partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan (Indeks 52,65). Pada aras

Page 19: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

163

Kabupaten Rote Ndao, pelaksanaan kampanye menjelang Pilkada pun berisikan materi kampanye yang kebanyakan tidak berbasis pada data atau berdasarkan hasil riset dan lebih diberatkan kepada kampanye yang isinya saling menjatuhkan dan menghujat antar pasangan calon seperti yang telah penulis kemukakan pada Bab 6.

Kenyataan di atas harus dihadapai oleh seluruh elemen civil society bahwa membentuk pemerintahan yang baik (local good government) sangat penting agar proses politik dan pemerintahan menghasilkan kemungkinan positif bagi rakyat daerah. Daerah juga membutuhkan dana-dana untuk kas keuangan daerah sehingga ada kencenderungan melakukan eksplotasi sumber alam dan peningkatan pajak usaha maupun retribusi pada awal otonomi daerah dilaksanakan. Kebijakan ini semakin memperluas persoalan, eksplotiasi alam menyebabkan konflik dan peningkatan pajak usaha akan menyebabkan proses ekonomi menjadi lamban karena para pengusaha tingkat menengah dan bawah sulit berkembang.

Demokrasi di Rote sesungguhnya adalah suatu tugas baru bagi elemen-elemen civil society yang belum sepenuhnya disadari. Secara mendasar civil society harus mampu melakukan gerakan-gerakan sosial yang mampu mensukseskan proses demokrasi di tingkat lokal. Demokrasi yang dipartisi pada level daerah sesungguhnya memberi ruang yang semakin luas terhadap masyarakat sipil untuk mendorong konsolidasi demokrasi. Isu-isu penting berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, partisipasi politik dan pembentukan pemerintahan lokal yang baik harus digarap dengan komitmen dan konsentrasi. Walaupun masing-masing elemen mempunyai isu dan kepentingan yang berbeda, paling tidak sebagaimana disebutkan Diamond (2003) bahwa gerakan elemen-elemen sipil akan mengarah pada pengakan hukum (law enforcement), pengawasan kinerja dan perilaku pemerintah, dan melindungi masyarakat melalui pemberdayaan dan advokasi.

Page 20: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

164

Angin Perubahan dalam Dunia Pendidikan

Pada Tahun 1775 atau 170 Tahun sebelum Indonesia merdeka, sekolah pertama dalam bahasa Melayu sudah didirikan di NTT, khususnya di Rote. Dengan cepat dalam beberapa tahun kemudian, Rote mempunyai 15 sekolah serupa132. Dan tentunya dalam konteks ini nama Prof.Dr. James J. Fox, Antropolog dari Australian National University tidak bisa dilepaskan. Dialah yang berjasa besar mengungkapkan fakta sejarah panjang pendidikan di NTT itu. Sejarah pendidikan di NTT tergolong tua dibandingkan dengan sejarah pendidikan di wilayah lain di Indonesia. Jauh sebelum bahasa Melayu dijadikan cikal bakal bahasa Indonesia, masyarakat Rote (NTT) sudah menggunakannya sebagai bahasa pengantar disekolah-sekolah setempat, sampai dengan Tahun 1950-an banyak guru dikirim ke Jawa.133 Namun, kondisi pendidikan di NTT dalam dua tahun terakhir (Tahun 2010 dan 2011) yang anjlok merupakan ironi besar bagi NTT di alam kemerdekaan.134 Perkembangan tingkat pendidikan di Rote sejak terbentuk menjadi kabupaten pada Tahun 2002 sampai dengan Tahun 2009 dapat dilihat pada Tabel 7.2 yang menunjukkan perkembangan yang cukup baik terutama untuk penduduk yang menamatkan pendidikannya pada jenjang Sarjana dari tahun ke tahun semakin meningkat persentasinya. Begitu juga untuk jenjang SMA dan Diploma. Sementara penduduk yang tidak berijazah maupun yang tamat SD persentasinya dari tahun ke tahun semakin menurun walaupun masih menempati angka 30% ke atas.

132 Kompas, 4 Juli 2006 133 Kompas, 4 Juli 2006 134 Hasil Ujian Nasional Tahun 2010 dan Tahun 2011 Provinsi NTT menempati urutan ke-33 dari 33 provinsi di Indonesia. Lihat: http://www.timorexpress.com/ index.php?act=news&nid=39362 dan http://ndao.smak-frateran-ndao.sch.id/home/34-berita/113-un-smasmk-2011-ntt-raih-posisi-terakhir.html

Page 21: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

165

Tabel 7.2. Perkembangan Persentase Penduduk > 10 Tahun Menurut Pendidikan Tertinggi Tahun 2002-2009

No Tingkat Pendidikan

Persentase (%)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 1 Tidak Berijazah 44,93 44,57 44,57 39,90 35,60 35,59 33,89 42,35

2 Tamat SD 38,47 36,39 36,39 38.33 39,07 38,11 39,75 32,28

3 Tamat SMP 8,93 9.56 9.56 13,28 13,75 10,79 13,17 10,77

4 Tamat SMU 4,46 5,99 5,99 5,00 8.79 8,67 9,47 11,57 5 Tamat SMK 2,12 2,40 2,40 2,18 0,66 0,9 1,37 0,91 6 Tamat Diploma I/II 0,61 0,41 0,41 0,81 0,52 0,7 0,60 0,41 7 Tamat Diploma III 0,20 0,26 0,26 0,30 0,35 0,24 0,73 0,50 8 Tamat Sarjana 0,28 0,42 0,42 0,26 1,27 1,00 1,02 1,21

Sumber: BPS Rote Ndao

Pada Tahun 2001 atau setahun sebelum Rote menjadi kabupaten, telah berdiri sebuah perguruan tinggi swasta yaitu Universitas Nusa Lontar yang dikelola oleh Yayasan Nusa Lontar. Kehadiran satu-satunya perguruan tinggi di Rote ini menunjukkan bahwa Rote menjadi pusat perhatian dari pihak swasta untuk pengembangan pendidikan tinggi di Rote. Tu'u Pendidikan yang dikembangkan oleh John Ndolu juga mengalami kemajuan sebagaimana yang telah penulis bahas pada Bab 5.

Harus diakui bahwa perkembangan pendidikan di Rote pada masa lalu, perkembangan pendidikan saat sekarang di mana jumlah lembaga pendidikan, tenaga pendidik dan tingkat pendidikan masyarakat Rote memberi jalan yang lebih mudah bagi masyarakat Rote dalam menghadapi dan melihat arah perubahan sosial dan pembangunan.

Dampak Pada Kegiatan Keagamaan

Dalam website resmi Pemerintah Kabupaten Rote Ndao disebutkan bahwa Foe Mbura (Raja ke-V dari Nusak Thie)135 adalah

135 Setelah dibaptis menjadi Kristen oleh Tuan Diderik Durven, Pendeta Belanda. Nama Foe Mbura berganti menjadi Benjamin Messakh).

Page 22: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

166

Guru dan pembawa berita Injil yang pertama di Rote pada Abad 18 atau pada Tahun 1732 yang ditandai dengan berdirinya Sekolah Injil/Sekolah Alkitab pertama di Rote (NTT), secara bertahap dan seiring dengan perkembangan zaman dan waktu berpindahlah sekolah Alkitab dari Fiulain ke Negeri Timor Tengah Selatan (Soe) pada awal abad ke 19 dan sesudah itu berpindah lagi ke Tarus Kabupaten Kupang dan di akhir abad 19 menjadi Akademi Theologia Kupang, kemudian menjadi Sekolah Tinggi Theologia Kupang yang merupakan cikal bakal dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang yang berdiri pada Tahun 1985 hingga saat ini.136

Dari catatan di atas maka sudah jelas bahwa agama Kristen Protestan adalah agama pertama yang ada di Rote kemudian di susul oleh agama Kristen Katholik dan agama Islam yang dipeluk oleh para migran dari Sulawesi dan Jawa yang kebanyakan berprofesi sebagai pedagang dan nelayan. Perkembangan pemeluk Agama di Rote dari Tahun 2002-2009 dapat dilihat pada Tabel 7.3. berikut ini:

Tabel 7.3. Perkembangan Pemeluk Agama di Rote Tahun 2002-2009

Agama Jumlah Pemeluk (Tahun)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

K. Protestan 96,664 96.788 96.788 99.881 101.476 105.370 105.370 105.370

K. Katholik 1491 2353 2353 1935 1838 2234 2128 2128

Islam 3222 3936 3936 4396 4279 5842 5842 5842

Hindu 62 35 35 59 30 64 64 64

Budha 0 1 1 1 0 0 0 0

Lainnya 432 0 0 0 0 0 0 0

Sumber: BPS Rote Ndao Tabel 7.3. di atas menunjukkan bahwa + 95% warga Rote adalah pemeluk agama Kristen Protestan, disusul pemeluk agama Kristen Katholik (+ 1,5%), Hindu/Budha (+ 0,5%) dan pemeluk agama Islam (+ 3%) yang pertama kali datang ke Rote pada Tahun 1920-an

136 http://www.rotendaokab.go.id/modules.php?name=Artikel&op=detail_artikel&id=23

Page 23: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

167

tepatnya di Ba'a, perkembangan agama Islam di Rote ditandai dengan pembangunan Masjid An Nur Ba'a berarsitektur atap bersusun tiga yang sangat mirip dengan Masjid yang ada di Kota Makassar yang merupakan daerah asal para migran beragama Islam ini yang mayoritas bekerja sebagai pedagang dan nelayan. Mereka kemudian menyebar ke seluruh wilayah Rote dan yang paling menonjol sebagai perkampungan para migran ini adalah di Papela (Rote Timur), Oelaba (Rote Barat Laut) selain di Ba'a. Sampai dengan Tahun 2009 tercapat 14 Gereja Kristen Katholik, 431 Gereja Kristen Protestan, 18 Masjid dan 1 Pura. (BPS Rote Ndao, 2010).

Kehadiran agama-agama modern terutama agama Kristen Protestan dan peran para Guru Injil dan Pendeta telah memberi jalan yang lebih mudah bagi perkembangan mental dan spiritual masyarakat Rote untuk menjadi lebih rasional dalam menghadapi dan melihat arah perubahan sosial dan dinamikanya. Namun, demikian bukan berarti masyarakat Rote mencabut diri dari akan kebudayaannya, karena terbukti mereka masih tetap menjaga dan meneruskan nilai-nilai budaya yang ada tanpa harus mencampur adukannya dengan agama yang kini mereka anut.

Dampak Terhadap Pariwisata

Berbicara tentang pariwisata di Rote maka tidak bisa terlepas dari Kawasan Wisata Nemberala yang meliputi Desa Nemberala, Desa Sedeoen, Desa Oenggaut dan Desa Bo'a yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur NTT Nomor 95 Tahun 1996 sebagai salah satu obyek wisata andalan di Kabupaten Kupang (saat itu Rote masih menjadi bagian dari Kabupaten Kupang sebelum dimekarkan menjadi kabupaten baru pada Tahun 2002).

Manafe (2003) dalam penelitiannya di Nemberala melaporkan bahwa kegiatan wisata pertama kali terjadi di Rote yaitu di Nemberala pada Tahun 1972 yang diawali dengan datangnya seorang turis asing berkebangsaan Australia bernama Tuan Allen yang tertarik dengan

Page 24: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Relasi Negara dan Masyarakat di Rote

168

panjangnya pantai Nemberala dan gulungan ombak yang berlapis dan berlawanan arah yang sangat cocok untuk olahraga selancar (surfing). Diduga setelah kembali ke negaranya, ia membuat tulisan tentang potensi Nemberala untuk dijadikan tempat tourism, sehingga pada Tahun 1987 datanglah rombongan kedua dengan jumlah banyak, dan mulai saat itu setiap tahun Nemberala dikunjungi oleh wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara.137

Perkembangan pariwisata di Nemberala kini terancam dari sisi penguasaan aset milik masyarakat lokal yang sudah dijual lepas pada turis asing tanpa melibatkan pemerintah desa sebagaimana dituturkan oleh Yusuf Mboro, Kepala Desa Nemberala:

Pengontrakan/pembelian tanah di Desa Nemberala berlangsung mulai tahun 2000 setelah ada kunjungan wisatawan asal Australia pada tahun 1997. ”Tahun 2007, semua tanah di Pantai Nemberala sudah habis dikontrak atau dijual lepas. Saat saya jadi kepala desa tahun 2008, tidak ada lagi tanah kosong di sini. Saat itu, beberapa pengusaha dari Jakarta mencari tanah, semua sudah dikuasai turis asing, Pembelian/kontrak tanah itu biasanya terjadi antara pemilik tanah dan turis asing, tidak melibatkan camat atau aparat desa setempat. Setelah terjadi kesepakatan harga, kedua pihak datang ke Kupang untuk proses administrasi di kantor notaris dan pejabat pembuat akta tanah (PPAT).

Mereka hanya memiliki surat bukti dari kantor itu. Para turis asing belum memiliki sertifikat tanah yang dikeluarkan badan pertanahan setempat, kecuali beberapa turis yang telah menikah dengan penduduk lokal. Proses jual-beli tanah itu tidak berdampak sama sekali bagi retribusi Desa Nemberala dan sekitarnya. Pembeli dan penjual beralasan, semua proses administrasi ditangani langsung oleh notaris dan PPAT di Kupang. ”Jika ada kasus terkait tanah itu, saya

137 Selain kawasan wisata Nemberala, ada juga beberapa lokasi yang sesungguh bisa dikembangkan menjadi lokasi pariwisata adanalan seperti di kawasan Mulut Seribu di Nusak Landu (Landu Leko), Tangga 300 di Mando'o (Lobalain), Batu Termanu dan pantainya di Nusak Termanu (Rote Tengah) serta Wisata Arkeologi pada beberapa gua yang ditemukan di Rote. Lihat: http://www.rotendaokab.go.id/modules.php? name=Artikel&op=detail_artikel&id=11

Page 25: Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap

Perkembangan Civil Society dan Dampaknya Terhadap Pembangunan di Rote

169

tidak akan bertanggung jawab. Meski di wilayah hukum saya, saya tidak pernah dilibatkan,” ungkap Mboro.138

Fenomena yang terjadi di Kawasan Wisata Nemberala sebagaimana dituturkan oleh Kepala Desa Nemberala di atas, jika tidak ditindaklanjuti dan diantisipasi oleh pemerintah Kabupaten Rote Ndao dengan menertibkan penjualan tanah, maka dengan cepat atau lambat Kawasan Wisata Nemberala akan dikuasai oleh para migran dan penduduk lokal akan menjadi tamu di negerinya sendiri seperti fenomena yang terjadi di Pantai Kuta-Bali maupun di Kawasan Wisata Bunaken-Manado139

138 http://travel.kompas.com/read/2011/12/30/11251329/Turis.Asing.Kuasai.Tanah. Rote.Ndao 139 Lihat: Wowor (2011)