jurnal maarif institute - civil society dan tantangan gerakan islam transnasional

Upload: taufik-nurrohim

Post on 07-Jul-2015

643 views

Category:

Documents


49 download

TRANSCRIPT

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

ISSN : 1907-8186

Azyumardi Azra Muhammadiyah: Tantangan Islam Transnasional Tafsir Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah Rudi Sukandar Muhammadiyah: Dari TBC Ke Islam Transnasional M. Hilaly Basya Muhammadiyah, Salafi, dan Demokrasi Luthfi Assyaukanie Mewaspadai AIDS Dalam Muhammadiyah Abdul Muti Muhammadiyah: Gerakan Civil Society Yang Mandiri, Tidak Anti Pemerintah Abd Rohim Ghazali Breaktrough Kaderisasi Muhammadiyah Bambang Setiadji Apa Yang Kurang Dari Muhammadiyah?

Jurnal - 07 12Des.indd 1

14/12/2009 15:42:27

Jurnal - 07 12Des.indd 2

14/12/2009 15:42:27

Pengelola

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009 Penanggung Jawab Ahmad Syafii Maarif Jeffrie Geovanie Rizal Sukma Fajar Riza Ul Haq Endang Tirtana Clara Juwono Moeslim Abdurrahman M. Amin Abdullah Haedar Nashir M. Deddy Julianto Luthfi Assyaukanie AhmadNorma Permata Hilman Latief M. Taufik Ar. M. Abdullah Darraz M. Supriadi Harharbenangkomunikasi MAARIF Institute for Culture and Humanity Jl. Muria No. 7, Guntur, Setiabudi, Jakarta 12980 Telp/Fax: +62 21 829 6127 email : [email protected] website : www.maarifinstitute.org Yayasan Ahmad Syafii Maarif BNI MH. Thamrin (Wisma Nusantara) 0114179273

Pemimpin Umum Pemimpin Redaksi Redaktur Ahli

Redaktur Pelaksana Sekretaris Redaksi Sirkulasi Design, Lay Out Alamat Redaksi

Rekening Penyaluran Donasi

Redaksi mengundang para cendikiawan, agamawan, peneliti, dan aktifis untuk mengirimkan tulisan, baik berupa hasil penelitian maupun gagasan, sesuai dengan visi dan misi MAARIF Institute. Tulisan merupakan hasil karya sendiri, belum pernah dipublikasikan, penulisan mengacu standar ilmiah dengan panjang tulisan 600010.000 karakter. Redaksi berhak menyeleksi dan mengedit tulisan tanpa mengurangi atau menghilangkan substansi. Media MAARIF terbit setiap empat bulan.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

314/12/2009 15:42:27

Jurnal - 07 12Des.indd 3

Daftar Isi

Pengantar Redaksi100 Tahun Muhammadiyah, Apa Kabar dan Mau Kemana? ........................................... Fajar Riza Ul Haq 5

Artikel: 100 Tahun Muhammadiyah: Civil Society dan Tantangan Gerakan Islam TransnasionalMuhammadiyah: Tantangan Islam Transnasional ............ Azyumardi Azra Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah ............... Tafsir 69 Muhammadiyah: Dari TBC Ke Islam Transnasional ....... Rudi Sukandar Muhammadiyah, Salafi, dan Demokrasi ........................... M. Hilaly Basya Mewaspadai AIDS Dalam Muhammadiyah ...................... Luthfi Assyaukanie Muhammadiyah: Gerakan Civil Society Yang Mandiri, Tidak Anti Pemerintah ...................................................... Abdul Muti Breaktrough Kaderisasi Muhammadiyah............................. Abd Rohim Ghazali Apa Yang Kurang Dari Muhammadiyah? ......................... Bambang Setiadji Profil MAARIF Institute .................................................... 14 20 45 53 64

69 80 84

88

ax

4Jurnal - 07 12Des.indd 4

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:27

100 Tahun Muhammadiyah, Apa Kabar dan Mau Kemana?Fajar Riza Ul HaqDirektur Eksekutif MAARIF Institute for Culture and Humanity

Api Pembaruan IslamSebagai sebuah pergerakan kultural, Islam menolak pandangan lama yang statis tentang alam semesta, dan memberikan sebuah pandangan yang dinamis, pandangan Muhammad Iqbal (1877-1938) ini merepresentasi universalitas api gerakan pembaruan Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Api pembaruan itu pula yang mendorong Ahmad Dahlan (1868-1923) mendirikan organisasi Muhammadiyah pada tahun 1912. Berdasarkan laporan Rickes, prilaku keberagamaan Ahmad Dahlan identik dengan karakter militan, praksis, toleran, dinamis, dan ber-etos tinggi (Hisyam, 2001:174). Oleh karena itu, Rickes menyebut Dahlan sebagai sosok Muslim Calvinis yang mampu mempertemukan semangat puritanisme Islam dan etos modernisme sehingga pada akhirnya bersenyawa dalam prilaku organisasi Muhammadiyah.

Dahlan dan Iqbal memiliki keyakinan yang sama bahwa Islam adalah sumber kemajuan dan pembebasan umat manusia. Namun konsistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan tersebut akan senantiasi diuji oleh perjalanan sejarahnya dimana kompleksitas tantangan zaman menjadi bagian penting dari penentu arah dan masa depan organisasi ini

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

514/12/2009 15:42:27

Jurnal - 07 12Des.indd 5

Pengantar Redaksi

Sehingga, tidak mengejutkan bila M.C. Ricklefs menyimpulkan bahwa sejarah Islam modernis di Indonesia sesudah tahun 1925 adalah sejarah Muhammadiyah (2005:357). Dalam perkembangannya di periode-periode awal, paling tidak sampai dekade 1940-an, organisasi ini telah memainkan tiga peran penting sebagaimana temuan Alfian (1989), yaitu gerakan pembaruan keagamaan, pelaku perubahan sosial, dan kekuatan politik. Paling tidak, semangat zaman gagasan pembaruan Muhammadiyah telah menginspirasi kelahiran gerakan politik Masyumi pada tahun 1945 dan gerakan intelektual HMI tahun 1947 di Yogyakarta. Dengan mencermati api pembaruan Islam yang dipraktekkan Dahlan dan kemudian menjadi moda gerakan yang didirikannya, Bung Karno dan Ruslan Abdul Gani menjuluki model kehidupan keislaman Muhammadiyah sebagai Islam yang berkemajuan. Pada titik ini, Dahlan dan Iqbal memiliki keyakinan yang sama bahwa Islam adalah sumber kemajuan dan pembebasan umat manusia. Namun konsistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam berkemajuan tersebut akan senantiasi diuji oleh perjalanan sejarahnya dimana kompleksitas tantangan zaman menjadi bagian penting dari penentu arah dan masa depan organisasi ini.

Arus Tantangan Abad Ke-2Berdasarkan perhitungan kalender Hijriah, usia Muhammadiyah akan menginjak ke-100 tahun pada 8 Dzulhijjah 1430 H atau bertepatan 25 Nopember 2009 - Ini berbeda dengan kalender Masehi yang jatuh pada 18 November 2012 nanti. Capaian organisasi Muslim ini telah diakui banyak pihak, diantaranya para peneliti Islam Indonesia. Misalnya, menurut James L. Peacock, di luar dunia Kristen, Muhammadiyah merupakan organisasi sosial keagamaan terbesar di dunia Muslim. Dari sisi usia, organisasi ini lebih tua dibanding gerakan-gerakan keagamaan di kawasan lain yang kini telah menjadi fenomena Islam transnasional; semisal Jamaah Tablighi yang didirikan Muhammad Ilyas di India (1926), Ikhwanul Muslimin yang dibangun Hassan al-Banna di Mesir (1928),

6Jurnal - 07 12Des.indd 6

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:27

Pengantar Redaksi

dan Hizbut Tahrir yang dibidani Taqiuddin al-Nabhani (1953). Dari segi kapasitas institusi dan capaian statistik, sulit untuk mengingkari ketangguhan Muhammadiyah mengarungi dinamika kebangsaan, sejak awal abad ke-20 hingga ke-21. Faktanya, diusianya yang sudah mencapai 1 abad ini kiprah Muhammadiyah tidak berorientasi sebagai gerakan Islam (politik) transnasional yang merupakan ekspresi global dari gerakan-gerakan internasionalisasi diskursus ummah (globalized umma dalam bahasa Olivier Roy). Justru gerakan yang dilahirkan di Yogyakarta ini lebih mengorientasikan diri sebagai gerakan sosial dan kebudayaan yang menopang kekuatan civil society di Indonesia. Dengan begitu, komitmen kebangsaan Muhammadiyah terhadap Indonesia dan Pancasila sangat terang benderang. Muhammadiyah tidak berorientasi pada negara, justru ia bertujuan melakukan pencerahan dan pemberdayaan masyarakat. Namun gelombang Islam transnasional dalam 11 tahun terakhir ini telah memicu kontraksi ideologis bahkan menjurus pada pertarungan politik identitas keagamaan di kalangan internal organisasi Muslim mainstream semacam Muhammadiyah dan NU. Menyeruaknya pertarungan ideologis antar kelompok moderat-konservatif dan moderat-progresif di masing-masing tubuh ormas tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh aksi penetrasi ideologi Islam transnasional sebagaimana ditunjukkan Bubalo dan Fealy (2005) dan Abdurrahman Wahid (ed) (2008). Inilah salah satu tantangan serius dalam proses penguatan civil society dan bangunan keindonesiaan kita. Hal ini mengingat arus Islam transnasional berporos pada doktrin universalisme kepemimpinan politik (imamah/ khilafah), diskursus ummah yang menegasikan bangsa (jamaah), dan negara (daulah). Terlebih dalam pandangan Kirdis (2009), gerakan Islam transnasional merupakan bentuk reaksi penolakan terhadap realitas negara-bangsa yang sekuler sebagaimana terlihat pada Hizbut Tahrir, Turki Islam, Ikhwanul Muslimin, dan Jamaah Tablighi.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

714/12/2009 15:42:27

Jurnal - 07 12Des.indd 7

Pengantar Redaksi

Namun pada saat bersamaan, dari sisi kesegaran gagasan dan ketajaman orientasi gerakannya sebagai pilar civil society, Muhammadiyah kini berada di persimpangan jalan. Peran-peran kepionirannya sebagai lokomotif perubahan sosial bangsa semakin menyusut. Api pembaruan Islamnya sebagaimana dipaparkan di awal terlihat meredup seiring kemunculan gerakan-gerakan lain yang usianya justru masih seumur jagung. Cara pandang sebagian besar warga Muslim modernis ini lebih berorientasi inward looking bahkan sering bersikap reaksioner ketika berhadapan dengan tantangan kemanusiaan kontemporer. Kondisi ini tercermin dari pendapat Amien Abdullah, Ini memang wajar, kalau sudah gemuk cenderung menjadi status quo, sehingga bisa ada rasa yang paling benar adalah Muhammadiyah. Pada saat yang sama secara institusi Muhammadiyah dilanda krisis kepemimpinan, kemandegan regenerasi-kaderisasi di semua lini, dan ketergantungan psikologis yang cukup kuat terhadap institusi negara sebagai dampak negatif pergeseran mental pedagang yang bebas ke kultur abdi negara.

Beberapa Agenda Memperbarui (Kembali) MuhammadiyahBerkaca pada problematika Muhammadiyah kekinian tersebut, salah satu refleksi penting diusianya yang ke-100 tahun ini adalah kemutlakan menyegarkan bahkan memperbesar radius api pembaruan Islam dalam tarikan napas keindonesiaan dan kemanusiaan. Bentuk anti tesis organisasi ini terhadap tantangan penetrasi gerakan Islam transnasional adalah memperkuat orientasi dan kapasitas kekuatan civil society Muhammadiyah, baik pada ranah domestik maupun internasional. Dengan kapasitas dan pengalaman yang dimilikinya, era abad ke-2 Muhammadiyah tidak hanya sebatas fase kesinambungan organisasi namun juga tahap lanjut aktualisasi kebaruan kreativitasnya dalam kancah gerakan sosial dan kebudayaan sebagai produk bacaan kritis kontemporernya. Kalau tidak, penambahan usia ini tidak lebih dari sekedar pergeseran deret hitung dan semakin mendekati kerentaan institusi.

8Jurnal - 07 12Des.indd 8

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:27

Pengantar Redaksi

Dalam konteks inilah terletak urgensi Jurnal Media MAARIF edisi Desember 2009 ini mengangkat Muhammadiyah kini berada di topik 100 Tahun Muhammadiyah: persimpangan jalan. Peran-peran Civil Society, dan Tantangan kepionirannya sebagai lokomotif Gerakan Politik Islam Transnasional. Sebagaimana dicatat Azyumardi perubahah sosial bangsa semakin Azra, keberadaan Muhammadiyah menyusut. Api pembaruan Islamnya merupakan bentuk respon terhadap sebagaimana dipaparkan di awal gagasan-gagasan Islam transnasional terlihat meredup seiring kemunculan yang dikumandangkan Jamaluddin gerakan-gerakan lain yang usianya al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Namun justru masih seumur jagung sehaluan dengan itu, gerakan ini juga mengadaptasi konteks lokal Nusantara sehingga membuatnya tidak hanya mampu bertahan lama namun juga menjadi bagian dari Islam Nusantara. Oleh karenanya bagi Azra, karakter Muhammadiyah sebagai gerakan Islam translokal lebih tepat dan shahih ketimbang bercorak transnasionalisme. Nampaknya pandangan Azra ini mendapat ulasan cukup panjang dari Tafsir dengan menegaskan pentingnya Muhammadiyah melakukan pribumisasi Islam. Gagasan Dakwah Kultural merupakan pintu masuk Muhammadiyah untuk bersikap arif dalam menyikapi keragaman budaya lokal. Ia mencoba memahami dan memposisikan ulang persoalan TBC vis a vis budaya lokal yang selama ini mendominasi wacana gerakan Muhammadiyah. Meskipun organisasi ini didirikan atas dasar semangat pembaruan namun apabila hal demikian dilakukan secara membabi buta maka itu sama buruknya dengan sikap kolot. Dengan begitu, akan lebih jika Muhammadiyah merespon budaya lokal dengan sikap arif tanpa kehilangan misi keislaman yang akan diperjuangkannya.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

914/12/2009 15:42:27

Jurnal - 07 12Des.indd 9

Pengantar Redaksi

Tulisan Rudi Sukandar memberikan alas pergulatan sosiologis dari apa yang dilontarkan kedua penulis di atas pada level warga Muhammadiyah akar rumput dengan menyuguhkan fakta-fakta permasalahan konsolidasi internal organisasi yang didirikan Ahmad Dahlan ini. Ia menyimpulkan setidaknya ada tiga persoalan yang mencuat sehubungan dengan peran Muhammadiyah dalam pembentukan masyarakat sipil dan tantangan bagi warga untuk berperan serta dalam wacana masyarakat sipil dan Islam transnasional: identitas, komunikasi organisasi, dan redefinisi nilai. Sebagai jalan keluarnya, Rudi menawarkan agar organisasi Muhammadiyah mendorong keterbukaan wawasan para anggotanya di akar rumput dan mengubah pola komunikasi organisasi sehingga kerjasama di level vertikal dan horizontal di tubuh Muhammadiyah bersinergi dan terkoordinasi. Pada level dinamika gagasan di kalangan intelektual Muhammadiyah, Hilaly Basya menemukan bahwa adanya kesamaan dimensi doktrin Salafi antara Muhammadiyah dan gerakan Islam transnasional telah menyebabkan warga Muhammadiyah terbelah dalam merespon isu-isu demokrasi, teokrasi, Piagam Jakarta, dan Perda Syariah. Namun Hilaly menggarisbawahi doktrin Salafi di tubuh Muhammadiyah bersifat dinamis karena, dengan menyitir Haedar Nashir, sifat dasar gerakan ini adalah salafi reformis sehingga memungkinkannya mengembangkan Islam sejalan dengan komodernan dan keindonesiaan. Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman, Amin Abdullah, Amien Rais, Din Syamsuddin, dan Haedar Nashir dikategorikan Hilaly sebagai sayap moderat dan progresif. Dalam ukuran tertentu, mereka dapat mendialogkan doktrin salafi dengan ide-ide sekularisme dan demokrasi. Meskipun demikian, Luthfi Assyaukanie melihat Muhammadiyah secara kelembagaan sedang dirundung masalah serius yang justru berseberangan dengan semangat pembaruan gerakan Islam modernis ini. Kata modernis sangat terikat dengan muatan konseptual yang identik dengan perubahan, kemajuan, dan kematangan. Faktanya, proyek pembaruannya tertawan

10Jurnal - 07 12Des.indd 10

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:27

Pengantar Redaksi

oleh penyakit AIDS yang kini menjangkiti organisasi sebesar ini. Yang dimaksud AIDS oleh Luthfi adalah Antagonisme, Intoleransi, Dogmatisme, dan Sarkasme. Penyakit ini jelas terekspresikan setiap Muhammadiyah merespon wacana-wacana pembaruan Islam padahal tidak sedikit para sarjana bahkan pemikir progresif di tubuh organisasi ini. Tidak bisa tidak, organisasi asal Kauman ini harus terus melakukan proyek tajdid-nya dengan membuka diri pada perubahan dan terus menerus memahami ulang doktrin-doktrin keagamaan. Dengan sudut pandang permasalahan Pada saat yang sama secara yang berbeda, Abdul Mu`ti mengangkat institusi Muhammadiyah dilanda problematika posisi dan karakter krisis kepemimpinan, kemandegan Muhammadiyah sebagai gerakan civil society di saat berelasi dengan negara. regenerasi-kaderisasi di semua Dengan menyodorkan kasus tidak lini, dan ketergantungan psikologis adanya representasi kelembagaan yang cukup kuat terhadap institusi Muhammadiyah dalam Kabinet negara sebagai dampak negatif Indonesia Bersatu II, ia menegaskan pergeseran mental pedagang bahwa Muhammadiyah merupakan gerakan yang mandiri dan tidak anti yang bebas ke kultur abdi negara pemerintah. Sejarah kepemimpinan organisasi ini memperlihatkan bahwa Muhammadiyah berorientasi mengembangkan pola-pola kemitraan strategis dengan pihak manapun tanpa harus kehilangan jatidirinya sebagai gerakan civil society yang mandiri. Bahkan menurut Mu`ti, perkembangan Muhammadiyah dipengaruhi oleh kedekatannya dengan pemerintah, terlebih mayoritas anggotanya berprofesi pegawai negeri. Terkait keberadaan sumber daya kader, Abd. Rohim Ghazali menyoroti krisis kaderisasi di kalangan Persyarikatan sehingga mendesak adanya breaktrough proses kaderisasi. Lumbung kaderisasi yang selama ini dijadikan tumpuan mandul, tidak mampu memenuhi apalagi menjawab

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

1114/12/2009 15:42:27

Jurnal - 07 12Des.indd 11

Pengantar Redaksi

kebutuhan regenerasi organisasi. Yang justru berlangsung adalah polapola kaderisasi instan dan karbitan; Muhammadiyah sebatas memetik kader-kader dari luar, tanpa mau berkeringat menyemai dan menanam sendiri. Rohim mengkritik kebiasan buruk para elit Muhammadiyah yang sering silau oleh status doktor seseorang dengan mengesampingkan Fase abad ke-2 Muhammadiyah aspek loyalitas dan pengabdian. Padahal seyogyanya menandai lembaran dengan pola kaderisasi yang sistemik dan berjangka panjang semacam program baru dan, tentu seharusnya, seribu doktor dalam setiap periode akselerasi visi gerakan kepemimpinan persoalan tersebut akan inklusif yang lebih memayungi teratasi; memiliki kader mumpuni, keindonesiaan dan kemanusiaan. berdedikasi, dan loyal. Bagi Bambang Jika banyak pihak cemas dengan Setiadji, disamping krisis kaderisasi, persoalan lain yang tidak kalah seriusnya kondisi Muhammadiyah saat adalah masih miskinnya kepedulian ini ibarat gajah gemuk maka Muhammadiyah terhadap bidang sekarang jadilah induk gajah pengembangan ekonomi, pemupukan yang melahirkan generasikapital, aplikasi teknologi, dan lapangan pekerjaan. Dominasi perbincangan generasi baru berkekuatan gajah keagamaan, sosial-kebudayaan, dan politik dalam denyut kehidupan organisasi ini belum cukup mengangkat peran dari penasehat peran pembantu dalam ungkapan Buya Syafii - menjadi aktor yang berkontribusi. Pembenahan pada bidang ekonomi sendiri harus dibarengi pengembangan laboratorium perguruan tinggi Muhammadiyah yang berbasis kepakaran.

12Jurnal - 07 12Des.indd 12

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Pengantar Redaksi

Hemat kami, sejumlah persoalan yang dikemukakan para penulis pada edisi ini mengirimkan pesan penting kepada warga Muhammadiyah; bila anomali-anomali kelembagaan di atas terus diabaikan bahkan dibiar berurat akar dalam tubuh Muhammadiyah maka itu semua akan berdampak serius bagi masa depannya. Membonsai, dan perlahan menuju kefanaan. Oleh karena itu, fase abad ke-2 Muhammadiyah seyogyanya menandai lembaran baru dan, tentu seharusnya, akselerasi visi gerakan inklusif yang lebih memayungi keindonesiaan dan kemanusiaan. Jika banyak pihak cemas dengan kondisi Muhammadiyah saat ini ibarat gajah gemuk maka sekarang jadilah induk gajah yang melahirkan generasi-generasi baru berkekuatan gajah. Wallahu`alam.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

1314/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 13

Muhammadiyah: Tantangan Islam TransnasionalAzyumardi AzraGurubesar dan Direktur Sekolah Pasca-Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Pada saat yang sama, sebagai realitas sejarah yang melintasi waktu dan tempat, Islam juga sekaligus menjadi realitas lokal. Islam hidup di tengah lingkungan masyarakat atau lokalitas tertentu, dan karena tidak imun dan bebas dari berbagai pengaruh faktor dan kekuatan sejarah tertentu.

Islam jelas merupakan agama transnasional, baik dari segi doktrin teologis maupun legal fiqhiyyah, yang melintasi batas-batas kabilah, suku, bangsa, ras dan seterusnya. Islam adalah agama bagi seluruh umat manusia yang beragam dari berbagai segi. Jika ada distingsi yang ditekankan doktrin Islam di tengah berbagai realitas transnasional tersebut, maka itu adalah ketaqwaan belaka. Tidak ada beda ada individu dan kelompok Muslim dengan lainnya, kecuali hanya ketaqwaannyaketundukan dan kepasrahan sepenuhnya kepada Allah SWT. Pada saat yang sama, sebagai realitas sejarah yang melintasi waktu dan tempat, Islam juga sekaligus menjadi realitas lokal. Islam hidup di tengah lingkungan masyarakat atau lokalitas tertentu, dan karena tidak imun dan bebas dari berbagai pengaruh faktor dan kekuatan sejarah tertentu. Karena itu pada gilirannya doktrin-doktrin Islam yang semula bersifat transnasional tersebut kemudian dalam batas tertentu mengalami proses kontekstualisasi, vernakularisasi, dan bahkan indigenisasi. Melalui proses seperti inilah Islam dalam

14Jurnal - 07 12Des.indd 14

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Azyumardi Azra

perjalanan sejarahnya bukan hanya merupakan agama transnasional, tetapi sekaligus juga menjadi realitas lokal.

Muhammadiyah: TranslokalMuhammadiyah pada awalnya juga berangkat dari kerangka Islam transnasional tersebut. Karena itu, pada tingkat doktrin dan ritual sesungguhnya tidak banyak perbedaan antara Muhammadiyah dengan kaum Muslimin lain di manapun. Dengan demikian, kerangka doktrin dan ritual ini sebagian besarnya tetap menjadi pegangan Muhammadiyah, baik pada level teologis-doktrinal maupun praksis. Meski demikian, Muhammadiyah pada gilirannya pada batas tertentu juga mengakomodasi doktrin dan praktek keagamaan yang semula mungkin tidak kompatibel dengan raison detre ideologisnya. Pada segi lain, kemunculan Muhammadiyah pada 1912 juga merupakan respon terhadap gagasan-gagasan Islam transnasional dari para pemikir dan aktivis semacam Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. Berangkat dari keprihatinan mereka terhadap kenestapaan kaum Muslim di berbagai banyak bagian dunia di bawah ancaman dan cengkeraman kolonialisme Eropa, tokoh-tokoh ini menyeru kaum Muslim untuk bangkit memajukan diri dalam berbagai bidang sejak dari keagamaan, pendidikan, sampai kepada politik. Meski terkait banyak dengan pemikiran, gagasan dan gerakan transnasionalisme seperti itu, Muhammadiyah sejak masa kelahirannya juga merupakan respon kontekstual terhadap realitas lokalsemula di wilayah Yogyakarta di mana Muhammadiyah didirikan seabad lalu, dan selanjutnya terhadap realitas dan gejala sosio-relijius di Nusantara ketika Muhammadiyah ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Tanpa kontektualisasi, sangat boleh jadi Muhammadiyah tidak relevan dengan kebutuhan dan tantangan masyarakat Muslim lokal di berbagai wilayah Nusantara. Sebaliknya, sebab Muhammadiyah kontekstual, ia menjadi relevan

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

1514/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 15

Muhammadiyah: Tantangan Islam Transnasional

bagi banyak masyarakat Muslim Nusantara, sehingga Muhammadiyah tidak hanya mampu bertahan, tetapi bahkan juga berkembang secara fenomenal dari waktu ke waktu. Muhammadiyah, dengan demikian dalam perkembangannya, lebih merupakan realitas trans-lokal Indonesia daripada transnasionalmeski juga terdapat organisasi Muhammadiyah di negara-negara semacam Singapura misalnya, yang keanggotaannya adalah dari lingkungan masyarakat Muslim setempat; bukan Muslim Indonesia. Tetapi di luar itu, Muhammadiyah dalam pengamatan saya tidak memiliki pretensi menjadi sebuah gerakan transnasional; Muhammadiyah tidak memiliki agenda dan program untuk menyebarkan paham dan praksis keagamaannya secara universal, di seluruh kawasan Dunia Muslim. Muhammadiyah sejak dasawarsa-dasawarsa awal sejarahnya telah menghadapi tantangan berbagai gerakan dan organisasi Islam dengan agenda-agenda transnasional. Gerakan dan organisasi transnasional ini, secara tipikal lahir dan berpusat di tempat tertentu di wilayah Dunia Muslim lain, khususnya di Anak Benua India dan Timur Tengah. Dan, secara tipikal pula, gerakan dan organisasi transnasional memiliki agenda dan program untuk membawa kaum Muslimin laintermasuk para anggota Muhammadiyahke dalam pelukan mereka.

Tantangan Gerakan TransnasionalGerakan transnasional pertama yang muncul dan berkembang di Indonesia sejak pertengahan dasawarsa kedua abad 20 adalah Ahmadiyah yang memiliki pandangan doktrinal berbeda dalam kaitan dengan Mirza Ghulam Ahmad, sang pendiri; tentang apakah ia seorang nabi atau mujaddid. Muhammadiyah dan arus utama Muslimin lainnya di Nusantara tentu saja menolak kenabian Mirza Ghulam Ahmad, karena Nabi Muhammad adalah khatm al-anbiya, nabi penutup dari rangkaian para nabi. Ahmadiyah juga memperkenalkan kembali doktrin

16Jurnal - 07 12Des.indd 16

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Azyumardi Azra

kekhalifahan, yang bertujuan menyatukan kaum Muslimin ke dalam sebuah payung tunggal keagamaan. Tetapi khilafah Ahmadiyah lebih bersifat keagamaan daripada politik. Gerakan transnasionalisme Pada segi lain, kemunculan keagamaan lain yang juga menyebar di Muhammadiyah pada 1912 juga Indonesia sejak 1950an adalah Jamaah merupakan respon terhadap gagasanTabligh, yang seperti Ahmadiyah gagasan Islam transnasional dari juga berasal dari Anak Benua India. Berbeda dengan Ahmadiyah yang para pemikir dan aktivis semacam kontroversial, Jamaah Tabligh pada Jamaluddin al-Afghani, Muhammad dasarnya tidak memperkenalkan Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha. teologi dan doktrin yang berbeda Berangkat dari keprihatinan mereka dengan Muhammadiyah dan arus terhadap kenestapaan kaum Muslim utama Muslim Indonesia lainnya. Hal paling distingtif dari Jamaah Tabligh di berbagai banyak bagian dunia di adalah dakwahnya yang agresif bawah ancaman dan cengkeraman ,dari pintu ke pintu, apakah kepada kolonialisme Eropa, tokoh-tokoh ini sesama Muslim maupun non-Muslim. menyeru kaum Muslim untuk bangkit Melalui program khuruj, para anggota yang sekaligus merupakan memajukan diri dalam berbagai bidang dai Jamaah Tabligh mengembara sejak dari keagamaan, pendidikan, dari satu tempat lain di berbagai sampai kepada politik. penjuru dunia untuk menyebarkan Islam. Karena Jamaah Tabligh pada dasarnya bersifat non-politis, gerakan ini dapat secara bebas melakukan dakwahnya di Indonesia dan di tempat-tempat lain di mancanegara. Pengalaman berbeda dialami Hizbut Tahrir, sebuah gerakan transnasional lainnya yang didirikan Syaikh Taqiuddin an-Nabhani di Yerusalem pada 1952, yang mulai masuk sejak masa Presiden Soeharto. Lebih banyak bergerak diam-diam pada zaman Soeharto, HT (Indonesia/HTI) sangat

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

1714/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 17

Muhammadiyah: Tantangan Islam Transnasional

aktif sejak masa reformasi dengan mengusung syariah sebagai solusi dan khilafah sebagai satu-satunya sistem dan kelembagaan politik Islam. HTI yang merupakan gerakan politik politik transnasional juga sangat aktif meresponi isu dan masalah aktual dalam bidang politik, sosial, ekonomi, dan budaya; kunci bagi HTI dalam memecahkan masalahmasalah tersebut tidak lain hanya syariah dan khilafah.

Tantangan terhadap MuhammadiyahApa tantangan pemikiran dan beberapa gerakan transnasionalisme tersebut terhadap Muhammadiyah? Tantangan itu bisa terlihat pada beberapa level. Pertama, kehadiran dan aktivisme gerakan transnasionalisme dalam segi-segi tertentu mencerminkan masih adanya ruang yang belum berhasil diisi Muhammadiyah dan arus utama Muslim lainnya seperti NU dan sebagainya. Di tengah berbagai dakwah dan amal usahanya, Muhammadiyah terlihat masih belum mampu merebut ruang yang potensial untuk menjadi lokusnya. Bahkan, sebaliknya terdapat gejala terseretnya warga Muhammadiyah ke dalam orientasi pemikiran dan gerakan transnasional baik yang non-politis maupun politis. Tentu saja sangat sulit mengukur seberapa besar gejala tersebut. Yang pasti, jika tidak diantisipasi para pimpinan Muhammadiyah, bukan tidak mungkin kian banyak warganya yang terseret ke dalam pemikiran dan gerakan transnasional Islam. Gejala seperti itu bukan tanpa preseden. Minhadjurrahman Djojosoegito, salah satu sekretaris Muhammadiyah pada akhir 1920an, misalnya terbawa ke dalam Ahmadiyah. Dia bahkan mengundang dua tokoh Ahmadiyah Anak Benua India, Mirza Wali Ahmad Baiq dan Maulana Ahmad untuk berpidato pada Muktamar 13 Muhammadiyah dan menyebut Ahmadiyah sebagai organisasi saudara Muhammadiyah. Djojosoegito akhirnya dipecat pimpinan Muhammadiyah; dan ia kemudian mendirikan Gerakan Ahmadiyah Indonesia pada 4 April 1930.

18Jurnal - 07 12Des.indd 18

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Azyumardi Azra

Atau, dari perspektif lain, pemikiran dan gerakan Islam transnasional juga menunjukkan, Muhammadiyah dan kaum arus utama lainnya agaknya terlambat mengantisipasi perubahan dan dinamika yang terjadi di kalangan umat, khususnya dalam kaitan dengan Islam internasional. Keterlambatan itu boleh jadi karena Muhammadiyah lebih banyak terfokus pada kegiatan-kegiatan rutin, atau bahkan juga pada isu-isu politik domestik, sehingga tidak atau kurang mawas terhadap penetrasi pemikiran dan gerakan transnasional ke dalam Muhammadiyah. Meski saya sendiri tidak ingin melebih-lebihkan tantangan pemikiran dan gerakan transnasional terhadap Muhammadiyah, jelas Persyarikatan perlu memberikan perhatian serius pada gejala ini. Sebab, jika penetrasi pemikiran dan gerakan transnasional tersebut kian menguat ke dalam Muhammadiyah, maka dapat menimbulkan gesekan dan friksi lebih besar di dalam Persyarikatan. Dan, pada saat yang sama bakal mengimbas pada citra dan identitas Muhammadiyah dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara sebagai sebuah pemikiran dan gerakan washatiyyah.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

1914/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 19

Simpang Jalan Simpang Jalan MuhammadiyahTafsirSekretaris PW. Muhammadiyah Jawa Tengah dan Penerima MAARIF Award 2008

PendahuluanMemasuki usianya yang ke seratus tahun atau satu abad pada tanggal 8 Dzul Hijjah 1430 H, Muhammadiyah telah tampil dengan segala keberhasilan dan kebesarannya. Tetapi, di balik semua itu persoalan dan tantangan ke depan bukannya semakin ringan tetapi justru semakin berat. Seiring perjalanan waktu, Muhammadiyah telah menjadi mainstream gerakan Islam di Indonesia. Lebih dari itu, ia telah menjadi bagian penting bangsa ini. Tak mungkin melihat Indonesia, tanpa melihat umat Islam dan tak mungkin melihat umat Islam tanpa melihat Muhammadiyah. Eksistensinya tidak hanya ditunjukkan pada kuatnya jaringan struktur organisasi dari pusat hingga ranting di seluruh pelosok tanah air dengan jumlah anggota yang sedemikian banyak, tetapi yang lebih mencengangkan adalah amal usaha sebagai bentuk pengamalan agamanya sedemikian banyak yang mungkin tidak tertandingi oleh organisasi massa apalagi LSM manapun di dunia. Dalam kenyataannya, amal usaha Muhammadiyah (AUM) yang sedemikian banyak itu dalam

Muhammadiyah dalam menghadapi realitas budaya lokal dituntut untuk berupaya membentuk masyarakat yang islami sekaligus membentuk budaya baru yang lebih religius dan berperadaban tinggi. Dakwah kultural Muhammadiyah dalam kaitannya dengan budaya lokal lebih berpusat pada sistem ide, aktivitas dan produk budaya

20Jurnal - 07 12Des.indd 20

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Tafsir

situasi tertentu merupakan bagian dari masalah yang harus dihadapinya. Energi dan pikiran Pimpinan Muhammadiyah tak jarang habis terkuras untuk memikirkan dan menangani AUM yang bersifat teknis. Akibatnya aktivitas pengembangan organisasi dan jamaah yang mestinya lebih substantif dalam membangun kemandirian umat dan bangsa sebagai wujud kekuatan civil society menjadi tersendat. Lebih penting lagi, awal misi pendirianya adalah membangun Islam yang berkemajuan dengan cara kembali kepada al-Quran dan Sunnah. Paham agamanya menampilkan corak Islam yang puritan. Masalahnya adalah purifikasi seolah identik dengan tekstualisasi. Akibatnya segala tradisi yang secara teks tidak terdapat dalam al-Quran dan Sunnah dengan mudahnya dinilai sebagai bermuatan TBC yang harus diberantas. Jika hal ini yang selalu terjadi, sudah hampir pasti upaya pribumisasi Islam menjadi hal tidak mungkin. Muhammadiyah hanya akan berbenturan dengan budaya lokal. Pribumisasi hampir tidak mungkin tanpa mengadopsi budaya lokal. Al-Quran dan Sunnah dalam hal tertentu adalah akomodasi budaya Arab dimana al-Quran dan Sunnah itu muncul. Apa yang dapat kita katakan kini adalah betapa sekarang Muhammadiyah berada dalam banyak persimpangan jalan yang harus dihadapi.

Persimpangan Jalan MuhammadiyahA. Antara Purifikasi dan Pribumisasi

Menarik tesis Geertz yang mengatakan bahwa : ... that neither blind traditionalism nor headlong modernism can in itself bring about a healthy society and a great civilization. There must, he concluded, be an equilibrium between them. (Geertz, 1995 : 88). Keduanya telah membuktikan bahwa tradisionalisme buta maupun modernisme keras kepala tidak dapat dalam dirinya menciptakan masyarakat yang sehat dan peradaban yang agung. Harus ada keseimbangan antara modernisme dan tradisionalisme.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

2114/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 21

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

Tesis ini menarik ketika dibawa pada gerakan organisasi masa Islam yang bernama Muhammadiyah. Sebab selama ini Muhammadiyah dianggap sebagai gerakan Islam puritan dengan mengadakan upaya pemberantasan TBC (Tahayyul, Bidah, dan Churafat) yang banyak merasuki keberagamaan umat Islam. Ketiganya dianggap mengotori kemurnian aqidah karena bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah sebagai landasan pokoknya. Dalam kenyataannya, purifikasi dengan kembali kepada al-Quran dan Hadits banyak mengalami persoalan, berupa benturan budaya lokal dengan nilai-nilai yang terdapat dalam teks al-Quran dan Hadits. AlQuran dan Hadits muncul di tengah kultur lokal Arab yang kadang bias dengan nilai universalitas al-Quran dan Hadits. Muhammadiyah menjadi berada di simpang jalan antara tradisi lokal dan teks al-Quran dan Sunnah, antara purifikasi dan dinamisasi budaya. Muhammadiyah akan mengalami banyak benturan budaya dalam perjalanan gerakan dakwahnya, terlebih lagi jika ingin melakukan pribumisasi Islam di Indonesia. Apalagi sekarang ini Muhammadiyah tidak lagi sebagai fenomena kota seperti selama ini dikesankan orang.1 Di beberapa tempat yang sangat desa pelosok sekalipun seperti kasus beberapa desa di Jawa Tengah telah berdiri ranting Muhammadiyah bahkan menjadi komunitas mayoritas di desa tersebut. Kehidupan desa, salah satunya adalah beragamnya tradisi lokal yang hidup mewarnai kehidupan masyarakatnya yang telah mendarahdaging dijalani dan diyakini secara turun-temurun jauh sebelum Islam atau Muhammadiyah datang di desa tersebut. Sebagai ormas keagamaan, Muhammadiyah dituntut untuk terus berperan dan berkembang di desa yang penuh dengan tradisi lokal itu. Di sinilah terdapat dinamika tersendiri dalam gerakan internal Muhammadiyah dalam merespon budaya lokal di pedesaan.1 Kuntowijoyo dalam Pengantar buku Islam Murni dalam Masyarakat Petani karya Abdul Munir Mulkhan menjelaskan bahwa pandangan yang selama ini mengatakan Muhammadiyah sebagai gejala kota tidak sepenuhnya benar karena dalam kenyataannya Muhammadiyah juga berhadapan dengan persoalan pribumisasi Islam yang sulit dilakukan dengan cara purifikasi, khususnya di pedesaan.

22Jurnal - 07 12Des.indd 22

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Tafsir

Dalam kenyataan sosiologisnya, warga Muhammadiyah tidaklah seragam dalam menyikapi tradisi lokal. Mereka tersegmentasi dalam varianvarian yang beragam. Ada yang menerima dengan penuh toleransi, memodifikasinya dan menolak sepenuhnya. Abdul Munir Mulkhan dalam penelitian disertasinya menyimpulkan adanya empat model varian orang Muhammadiyah, yaitu puritan, toleran, ke-NU-NU-an (neotradisionalis) dan abangan. (Munir, 2000 : 249) Benturan budaya yang sering dialami dalam praktek pengembangan Muhammadiyah telah membawa kesadaran tersendiri di kalangan para tokohnya. Orang Muhammadiyah dalam kenyataannya tidak hidup di ruang hampa atau di sebuah wilayah ekstra teritori yang terisolir dari kelompok lain baik sesama Muslim maupun non-Muslim. Mereka berpikir kembali bagaimana membangun hubungan yang harmonis antara Muhammadiyah dan budaya. Dari sinilah kemudian muncul konsep Dakwah Kultural Muhammadiyah yang telah dirumuskan mulai sejak Sidang Tanwir di Denpasar-Bali pada tahun 2002 dan Makasar tahun 2003. Jika Muhammadiyah diangap sebagai gerakan puritan Islam, bagaimana dia bisa hidup di desa?. Bagaimana model gerakannya dan bagaimana hubungan dengan tradisi lokal setempat yang sering tidak sesuai dengan teks al-Quran dan Sunnah dan bagaimana nasib tradisi lokal jika sebuah desa mayoritas penduduknya adalah warga Muhammadiyah, tergusur atau tetap bertahan. Pasti di sana ada dinamika tersendiri sehingga Muhammadiyah bisa bertahan di tengah komunitas yang sangat kental dengan tradisi lokal. Secara normatif dalam Anggaran Dasarnya disebutkan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah amar maruf nahi munkar, berasas Islam dan bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah. (AD. Ps. 1). Muhammadiyah didirikan dengan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. (AD. Ps. 2).

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

2314/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 23

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

Islam sendiri dipahami sebagai apa yang diturunkan Allah dalam alQuran dan Sunnah yang shahih berupa perintah, larangan dan petunjuk untuk kebaikan hamba-Nya di dunia dan akhiratnya (Himpunan Putusan Tarjih : 276). Melihat corak paham keagamaan di atas nampak sekali Muhammadiyah sebagai sebuah model keagamaan dalam Islam yang puritan atau pemurnian dengan al-Quran dan Sunnah sebagai sandaran pokoknya. Hanya saja menempatkannya pada posisi yang sepenuhnya puritan juga tidak sepenuhnya benar. Sebab, sekalipun Muhammadiyah hanya menyandarkan pada al-Quran dan Sunnah tetapi pemahaman itu dibingkai dalam kerangka modernitas. Al-Quran dan Sunnah dipahami secara kontekstual bukan tekstual. ... it tried to bring back the Faith into a form of purity, that is, as it was taught and practiced by Muhammad and the four Caliph after him (Abu Bakar, Umar, Usman and Ali). it opened up the gate for modern interpretations of the contents of the two books, provided, of course, that such interpretations were suggested by those who were supposed to be very knowledgable on religion (Alfian, 1989 : 5). Terlebih lagi, jika melihat bagaimana sikap terjang KH. A. Dahlan pada awal pendiriannya. Organisasi yang didirikannya lebih banyak bicara tentang kepedulian sosial dan kemajuan umat dibanding mempersoalkan pemurnian atau purifikasi keagamaan. Awalnya, KH. A. Dahlan muda yang ketika itu bernama Muhammad Darwis mengorganisir temantemannya untuk membetulkan arah kiblat tidak semata-mata ke barat tetapi tepat lurus ke arah Kabah. Di luar langkah tersebut, KHA. Dahlan menggerakan anak-anak muda di sekitar Kauman Yogyakarta pada waktu itu untuk bekerja suka rela menjaga kondisi higienis lingkungannya dengan memperbaiki dan membersihkan jalan dan parit. (Deliar Noer, 1996 : 85). Cita-cita awal berdirinya sebagaimana digariskan oleh KH. A. Dahlan sangatlah sederhana, namun mulia dan futuristik, yaitu menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi

24Jurnal - 07 12Des.indd 24

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Tafsir

putera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. (Deliar Noer, 1996 : 86). Tak ada nuansa puritan dalam cita-cita awal berdirinya kecuali ingin memajukan umat Islam. Dahlan muda pun paham bahwa kemajuan dapat meniru siapa saja sebagai metode membangun kemajuan, dari umat beragama lain sekalipun. Itulah sebabnya dia melakukan sebuah peniruan yang kreatif dengan cara mengadopsi metode yang dilakukan oleh Kristen dalam membangun sarana pendidikan dan pelayanan sosial. Dari sinilah kemudian yang mengilhaminya mendirikan PKO (Penolong Kesengsaraan Oemoem) pada tahun 1921 dalam rangka menolong korban bencana alam meletusnya gunung Kelud. Dalam perkembangannya, PKO membangun klinik-klinik kesehatan dan panti-panti asuhan untuk menyantuni anak yatim dan miskin yang sepenuhnya terilhami oleh Kristen. Begitu juga dengan mendirikan sekolah yang sebelumnya umat Islam hanya mengenal pondok pesantren tradisional. KH. A. Dahlan juga mendirikan lembaga kepanduan atas saran seorang guru yang melihat bagaimana sekolah-sekolah Kristen mengadakan latihan kepanduan di lapangan Mangkunegaran Surakarta. (Deliar Noer, 1996 : 90-91). Salah satu faktor mengapa Muhammadiyah cepat berkembang di Indonesia tak lepas dari pribadi Dahlan yang toleran, pengertian dan terbuka kepada siapa saja. Dalam pemahaman keagamaan sekalipun sudah biasa berbeda dan beliau biasa memberi kelapangan pemahaman kepada orang lain mempraktekan amalan agama yang berbeda dengan pendapatnya. (Deliar Noer, 1996 : 93). Wajar jika organisasi kecil-kecil sekitar 1920-an kemudian meleburkan diri dalam Muhammadiyah seperti Sopotrisno menjadi Aisyiyah, Nurul Islam di Pekalongan menjadi Cabang Muhammadiyah di Pekalongan. Demikian juga PKO awalnya adalah organisasi yang berdiri sendiri pada tahun 1918 dan menjadi bagian dari Muhammadiyah pada tahun 1921 (Deliar Noer, 1996 : 90-91).

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

2514/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 25

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

B. Antara Pengembangan Organisasi dan Rutinitas Teknis

Mengacu pada pengalaman ketika berada dalam jajaran PWM Jawa Tengah, rapat harian pimpinan lebih banyak membahas persoalan untuk tidak mengatakan konflik di AUM, daripada membahas bagaimana mengatur strategi pengembangan organisasi dan jamaah. Persoalan yang muncul mulai dari hubungan AUM dengan persyarikatan setempat sampai jabatan di AUM. Sesuatu yang sangat teknis tetapi tak mungkin dibiarkan, sekalipun mengeluarkan banyak waktu dan energi. Semua itu harus diterima sebagai konsekwensi akibat kepemilikan AUM. Jika tidak menginginkan itu semua tentu tidak perlu Muhammadiyah berfastabiq al- khairat dengan mendirikan rumah sakit, sekolah, panti asuhan, baitut tamwil, Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan sebagainya. Tetapi jika hal ini terjadi jauh lebih tidak baik lagi, sebab menjadikan organisasi ini tanpa amal kongkrit. Idealnya memang jika tidak ada konflik akibat AUM. Ketika ternyata konflik tak dapat dihindari, maka adanya konflik masih lebih baik daripada tidak memiliki AUM. Anggaplah kita berkias pada ungkapan perbedaan pendapat adalah rahmat maka konflik sebagai bentuk lain dari beda pendapat dapatlah dikatakan bahwa konflik yang terjadi dalam Muhammadiyah adalah rahmat. Oleh karena itu sudah saatnya pimpinan Muhammadiyah berkemampuan dalam manajemen dan resolusi konflik. Muhammadiyah tidak ingin disebut sebagai organisasi yang hanya bisa berwacana. Inilah barangkali yang membedakannya dengan teman-teman di kelompok lain yang cenderung hanya berkutat pada dataran wacana. Jika kemudian Muhammadiyah pun berwacana, maka berwacana yang solutif bukan spekulatif. Yang tidak boleh terjadi adalah jika konflik yang ada telah menghabiskan energi dan waktu aktivis Muhammadiyah yang kemudian tak peduli lagi pada persoalan umat yang lebih substantif. Jika pada tahun 1920an KH. Dahlan menyantuni kaum dluafa dengan cara mendirikan panti asuhan bagi anak yatim, maka kaum dluafa dalam perspektif kekinian

26Jurnal - 07 12Des.indd 26

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Tafsir

tak lagi hanya sebatas itu. Kaum marginal sebagai bagian dari kaum dluafa seperti anak jalanan, waria, pengamen menanti uluran tangan arif Muhammadiyah.C. Antara Gerakan Ilmu dan Gerakan Amal

Ilmu dan peradaban dua hal yang mungkin bisa dibedakan tetapi tak mungkin dipisahkan. Ilmu dapat datang dari siapapun termasuk yang berbeda agama dengan kita. Sifat terbuka namun jujur terhadap orang lain yang lebih mampu inilah yang ditampilkan oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan ketika mengadopsi metode missionaris Kristen dalam mendirikan lembaga-lembaga pelayanan sosial seperti pendidikan, kesehatan dan penyantunan fakir-miskin. Bahkan gerakan kepanduan Hizbul Wathan dibentuk pada tahun 1918 atas saran seorang guru Muhammadiyah di Solo yang menyaksikan kepanduan Kristen secara rutin melakukan latihan di aloon-aloon Mangkunegaran (Deliar Noer, 1996 : 91). Muhammadiyah dengan sekian banyak kampus yang di dalamya dihuni para intelektual berpeluang besar memenuhi harapan sebagai gerakan ilmu jika peluang ijtihad dan keleluasaan berfikir lebih ditonjolkan daripada kebiasaan mudah memberi vonis bidah secara tidak proporsional. Prinsip maruf dalam QS. Ali Imran 104 mestinya menjadi landasan kearifan Muhammadiyah dalam merespon perkembangan peradaban. Dengan maruf seseorang dituntut memahami tanda-tanda kehidupan tidak sebatas teks tetapi juga konteks. Ayat Allah tentu saja tidak hanya huruf yang membentuk kata dan kalimat dalam dalil, fenomena alam dan sosial juga bagian dari ayat Allah yang harus dipahami oleh Muhammadiyah. Dengan pemberian porsi pada keleluasaan berfikir, ilmu akan lebih mudah berkembang dan muaranya adalah majunya peradaban. Muhammadiyah tidak hanya ekspansif membangun gedung amal usaha, tetapi juga membangun peradaban. Dalam kenyataannya sering terjadi, pimpinan Muhammadiyah dan jajarannya lebih bernafsu dalam membangun amal usaha daripada membangun gerakan ilmu. Jika ada sebuah komunitas dengan syahwat yang demikian menggebu membangun amal usahaMAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

2714/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 27

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

berupa bangunan fisik sebagai pusat pelayanan sosial, maka itu adalah Muhammadiyah. Boleh saja menyebut orang Muhammadiyah malas mengaji apalagi menghadapi kitab kuning dan berdzikir dengan bacaan kalimat thayyibah sekian ratus atau ribu kali. Tetapi lihatlah betapa hebatnya orang Muhammadiyah rapat marathon sampai tengah malam untuk membangun kampus atau rumah sakit.

Meretas Jalan Baru MuhamadiyahA. Aplikasi Dakwah Kultural

Muhammadiyah ingin menampilkan wajah Islam yang murni namun ramah, maju dan moderat sebagaimana digambarkan dalam al-Quran, rahmat bagi sekalian alam. Di samping itu, ia juga ingin bagaimana Islam menjadi tuan rumah di negeri ini dimana Islam benar-benar menyatu dan mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia. Maka satu langkah yang ditempuhnya adalah membangun dakwah yang lebih manusiawi dan mudah diterima masyarakat. Dari sini nampaknya kansep Dakwah Kultural yang telah dirumuskannya menjadi acuan yang tepat dan strategis untuk meretas jalan Muhammadiyah ketika berada di simpang jalan antara purifikasi dan pribumisasi Islam. Tinggal sejauh mana para aktivisnya mampu merespon dan mengaplikasikan konsep tersebut. Dakwah kultural merupakan upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Sebagai makhluk budaya, berarti manusia harus dipahami melalui ide-ide, adatistiadat, kebiasaan, nilai-nilai, norma, sistem aktivitas, simbol dan hal-hal fisik yang memiliki makna tertentu dan hidup subur dalam kehidupan masyarakat. Pemahaman tersebut dibingkai oleh pandangan dan nilai ajaran Islam yang membawa pesan rahmatan lilalamin. Dengan demikian dakwah kultural menekankan pada dinamisasi dakwah selain pada purifikasi (PP. Muhammadiyah, 2005 : 26).

28Jurnal - 07 12Des.indd 28

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Tafsir

Pemahaman manusia sebagai makhluk budaya diperoleh dari kajian sosiologi dan antropologi agama yang menyebutkan bahwa manusia adalah homo religius, homo festivus dan homo symbolicum. Homo religius berarti manusia dalam budaya apapun memiliki kecenderungan untuk mengaitkan segala sesuatu di dunia ini dengan kekuatan gaib. Adanya kepercayaan dinamisme, animisme, politeisme dan monoteisme adalah contoh nyata bahwa manusia adalah makhluk yang percaya kepada Tuhan. Manusia dikatakan sebagai homo festivus karena manusia adalah makhluk yang paling senang mengadakan festival. Sejak zaman purba hingga sekarang ini tak pernah lepas dari kegiatan festival. Sedangkan sebagai makhluk symbolicum, berarti manusia memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan pemikiran, perasaan dan tindakannya dengan menggunakan simbol-simbol seperti bahasa, mitos, tradisi dan kesenian (PP. Muhammadiyah, 2005 : 27-28). Ibadah haji, shalat Jumat, Idul Fitri, Idul Adha dan peringatan hari besar agama yang dilakukan umat Islam adalah ekspresi keagamaan yang bersifat festivus. Semua itu dapat dijadikan sebagai media dakwah Islam. Dakwah Islam dengan menggunakan festival dan ritual keagamaan hanyalah contoh kecil dari dakwah kultural. Dikatakan dakwah kultural karena dakwah yang dilakukan menawarkan kultur baru yang bernilai islami. Sebab teks agama seperti al-Quran dan Sunnah juga menghasilkan kultur berupa seni budaya, seni baca dan tulisan indah (kaligrafi). (PP. Muhammadiyah, 2005 : 28-29). Dakwah kultural memiliki ciri-ciri dinamis, kreatif dan inovatif. Apa yang dilakukan oleh KH. A. Dahlan dengan mendirikan sekolah, rumah sakit dan panti asuhan adalah bentuk dakwah kultural yang penuh kreasi, inovasi dan dinamisasi. Dakwah kultural mencakup dimensi kerisalahan, kerahmatan dan kesejarahan. Secara substansial, dakwah kultural adalah upaya melakukan dinamisasi dan purifikasi. Dinamisasi bermakna sebagai kreasi budaya yang memiliki kecenderungan selalu berkembang dan berubah ke arah yang lebih baik dan islami. Sedangkan purifikasiMAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

2914/12/2009 15:42:28

Jurnal - 07 12Des.indd 29

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

diartikan sebagai usaha pemurnian nilai-nilai dalam budaya dengan mencerminkan nilai-nilai tauhid. Islam membutuhkan kebudayaan dalam rangka menyebarkan misi-misinya baik yang berupa adat, tradisi, seni dan aspek-aspek kebudayaan lainnya. (PP. Muhammadiyah, 2005 : 30-31). Namun harus dibedakan mana Islam sebagai agama tauhid yang bersifat universal, absolut dan abadi ; dan mana Islam yang merupakan budaya yang bersifat partikular, relatif, temporal sebagai bagian dari kreasi manusia dan sekaligus merupakan ekspresi keislaman dalam kenyataan hidup para pemeluknya (PP. Muhammadiyah, 2005 : 31). 1. Dakwah Kultural dalam Konteks Budaya Lokal Terdapat tiga lapisan masyarakat sebagai penopang utama dakwah Islam. Petani dan pedagang kecil yang hidup dalam peralihan dari era pra-industri ke era industri ; kedua, masyarakat urban kota, seperti pegawai negeri, karyawan swasta, guru, dosen, pedagang, buruh, seniman, wartawan dan sebagainya yang hidup di era industri dan ketiga, masyarakat metropolitan dan pasca industrial yang memiliki jaringan internasional luas dan hidup dalam peralihan dari era industri ke era informasi. (PP. Muhammadiyah, 2005 : 33). Dakwah Muhammadiyah dalam konteks budaya lokal berarti di satu pihak adalah bagaimana memberi pemahaman yang lebih empatik dalam mengapresiasi kebudayaan masyarakat yang akan menjadi sasaran dakwah, dan di pihak lain bagaimana mengaktualisasikan ajara Islam secara terus-menerus dan berproses sehingga nilai-nilai Islam mempengaruhi, membingkai dan membentuk kebudayaan yang islami. (PP. Muhammadiyah, 2005 : 34). Aktivitas keagamaan harus dilihat dalam dua konteks, ritual dan budaya. Dengan cara ini maka dapat dilakukan upaya penyampaian pesan-pesan agama dengan pendekatan yang penuh dengan nilai-nilai kearifan (hikmah), persuasif (mauidhah hasanah) dan dialogis (mujadalah billati hiya ahsan). (PP. Muhammadiyah, 2005 : 34)

30Jurnal - 07 12Des.indd 30

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:28

Tafsir

Sebagai proses komunikasi, dakwah kultural dapat menjadikan budaya lokal menjadi wahana dalam mendekati masyarakat sebagai sasaran dakwah sehingga seluruh lapisan dan kelompok masyarakat dapat menerima dakwah dengan penuh kesadaran tanpa harus berbenturan antara Islam dan budaya lokal. Sebab dalam prakteknya tak mungkin dakwah tanpa bersentuhan dengan realitas budaya lokal. Budaya lokal dapat berupa gagasan, pandangan hidup, kepercayaan bahkan keyakinan yang semua itu dapat membentuk kearifan lokal yang dipedomani oleh masyarakat setempat. Kearifan lokal merupakan potensi yang dapat diselaraskan dengan Islam sehingga dapat dimanfaatkan sebagai penguat nilai-nilai Islam, bukan dipertentangkan secara diametral. Budaya lokal juga dapat berupa sistem aktivitas (tata cara, seremoni dan ritus) dan juga yang berupa karya (seni, ilmu, teknologi dan sebagainya). (PP. Muhammadiyah, 2005 : 37) Muhammadiyah dalam menghadapi realitas budaya lokal dituntut untuk berupaya membentuk masyarakat yang islami sekaligus membentuk budaya baru yang lebih religius dan berperadaban tinggi. Dakwah kultural Muhammadiyah dalam kaitannya dengan budaya lokal lebih berpusat pada sistem ide, aktivitas dan produk budaya. Dalam konteks yang lebih khusus, dakwah kultural memiliki hubungan simbiosis dengan seni dan budaya lokal. Keduanya dapat bersinergi dan menciptakan harmoni dengan Islam sehingga membentuk sikap dan perilaku islami yang tidak menimbulkan gejolak atau konflik sosial, tetapi sebaliknya dapat membangun dinamika sosial. Ini artinya Muhammadiyah perlu membuka diri terhadap dinamika budaya lokal di samping budaya global. Muhammadiyah tidak hanya cerdas dalam membaca dan memahami teks agama (baca : al-Quran dan Hadits) tetapi juga cerdas dan arif dalam membaca fenomena sosial dalam fase sejarah dan perkembangan budaya yang juga bagian dari ayat Tuhan.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

3114/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 31

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

2. Dakwah Kultural di Tengah Kultur Pedesaan Muhammadiyah tak lagi sebatas sebagai fenomena kota. Di beberapa desa pelosok dan terpencil di Jawa Tengah telah berdiri ranting dan cabang Muhammadiyah. Lebih dari itu, Muhammadiyah menjadi komunitas mayoritas di beberapa desa yang dapat dikategorikan pelosok tersebut. Fakta menunjukkan terdapat sebuah desa, di kecamatan Kalibening, Kabupaten Banjarnegara, Desa Sadang Kulon, Kecamatan Sadang, Kabupaten Kebumen dan Desa Plompong, Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes adalah sebagian kecil dari beberapa desa pelosok pegunungan di Jawa Tengah yang penduduknya mayoritas adalah Muhammadiyah. Seperti pada umumnya masyarakat pedesaan, pekerjaan anggota Muhammadiyah di desa-desa tersebutpun sebagaian besar adalah petani. Sebagaimana Weber jelaskan, ketergantungan petani kepada alam sangatlah besar. (Weber, 2002 : 117). Kakuatan akal dan fisik sering tidak mampu mengalahkan kekuatan alam. Itulah sebabnya, maka masyarakat petani menjadi komunitas yang paling benyak melakukan upacara selamatan untuk merayu alam agar senantiasa berbaik hati kepada manusia. (Hendropuspito, 1983 : 60). Hasil akhir kerja pertanian seperti bercocok tanam tidak dapat dipastikan secara ekonomi seperti gaji seorang pegawai setiap bulannya. Seorang petani tak mengetahui jika tiba-tiba hama wereng menyerang atau banjir melanda hasil panennya.Upacara jelang tanam dan panen sudah pasti menjadi sangat erat di kalangan para petani. Lebih dari itu, upacara-upacara atau tradisi lokal di pedesaanpun sangat banyak macamnya. Selain upacara jelang tanam dan panen sebagai sumber mata pencaharian, masih banyak tradisi yang lain seperti yang oleh Munir Mulkhan disebut sebagai upacara ritual dalam siklus kehidupan.Upacara yang masuk kategori siklus kehidupan meliputi kelahiran, perkawinan dan kematian. Ketiganya merupakan rantai siklus kehidupan yang sakral. (Munir Mulkhan, 2000 : 278).

32Jurnal - 07 12Des.indd 32

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Tafsir

Jika merujuk pada ideologi Muhammadiyah yang menyandarkan diri kembali kepada al-Quran dan Sunnah, sudah pasti ritual-ritual tersebut tidak terdapat di dalamnya. Di sinilah secara normatif-ideologis organisasi Muhammadiyah mengalami pertentangan menghadapi ritus-ritus tersebut di atas. Namun apakah secara fakta sosiologis warga Muhammadiyah menentang tradisi lokal yang berkembang di desa, karena ternyata mereka dapat tumbuh dan berkembang. Terdapat pengecualian-pengecualian dan perilaku progresif dari sebagian anggota Muhammadiyah di pedesaan yang keluar dari teks ideologi organisasi. Mereka memiliki gaya tersendiri dalam merespon budaya lokal sehingga mereka dapat eksis di desa yang pelosok dan penuh dengan ritual sekalipun. Dakwah kultural adalah bentuk apresiasi dan kesadaran Muhammadiyah menghadapi variasi kultur dan pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah. Orang Muhammadiyah hidup secara inklusif seperti warga bangsa lainnya. Maka warga Muhammadiyah menjadi tidak seragam dalam merespon budaya lokal. Akibatnya warga Muhammadiyah terkelompok dalam empat macam variasi, yaitu Puritan, Toleran, Neo-Tradisionalis dan Abangan. (Munir Mulkhan, 2000 : 249). Ideologi Muhammadiyah yang terbingkai dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, Matan, Keyakinan dan Cita-Cita Hidup (MKCH), Faham Agama, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM) tak menghalangi warganya untuk tampil dalam keragaman. Fakta menunjukkan tak ada wajah tunggal dalam setiap komunitas apapun termasuk Muhammadiyah. Dalam batas tertentu hal tersebut mungkin merupakan kelemahan, tetapi hakekatnya keragaman merupakan dinamika internal organisasi yang perlu dibangun karena beragam bukanlah suatu dosa. Dengan keragaman itulah dinamika Muhammadiyah akan terus terjaga yang karenanya akan lebih mampu memberikan respon terhadap budaya lokal yang memang sangat beragam.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

3314/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 33

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

B. Reformulasi Kembali ke Al-Quran dan Sunnah

Kembali kepada al-Quran dan Sunnah adalah jawaban kaum modernis dalam upaya membangun kembali kejayaan umat. Jargon ini telah memberi harapan besar memasuki abad ke-15 H sebagai abad kebangkitan umat Islam. Tetapi setelah sekitar tiga puluh tahun berjalan, resep tersebut tak begitu manjur dalam menjawab tantangan zaman. Resep tersebut terkesan mengalami jalan buntu, mentok dan kelompok modernis dilanda kekeringan intelektual. Purifikasi sebagai pasangan kembali kepada al-Quran dan Sunnah telah berubah menjadi tekstualisasi yang berkecenderungan kaku dan radikal. Formulasi ini telah membawa kaum modernis, termasuk Muhammadiyah tercerabut dari warisan intelektual Islam klasik sehinga kering secara intelektual mungkin juga spiritual. Mungkin baik untuk menyimak tulisan Alfiyan bagaimana Muhammadiyah memahami rumusan kembali kepada al-Quran dan Sunnah dengan mengatakan it opened up the gate for modern interpretations of contents of the two books, provided, of course, that such interpretations were suggested by those who were supposed to be very knowledgable on religion. This was meant to put the Faith a position so that it could always meet the demands of the ever changing world. (Alfiyan, 1989 : 5-6). Inilah yang membedakan Muhammadiyah dengan gerakan yang bercorak salafi yang menginterpretasikan al-Quran dan Sunnah dengan cara set-back, ke belakang. Muhammadiyah akan membawa pemahaman al-Quran dan Sunnah dalam konteks modernitas dan kemajuan ke depan tanpa tercerabut dari warisan intelektual Islam klasik secara proporsional. Jika dicermati, starting point kelahiran Muhammadiyah oleh KH.Ahmad Dahlan bertolak dari dua premis. Pertama, fenomena sosial empiris yang memperlihatkan betapa tertingalnya umat Islam dalam percaturan modernitas. Kedua, begitu jauhnya umat Islam terlepas dari semangat al-Quran dan keteladanan Rasul Allah Muhammad saw. Dari sinilah KH. Ahmad Dahlan mengambil langkah mencari solusi dalam bentuk pencerahan (enlightenment, tanwir) dan pembebasan (liberasi) umat Islam dari keterbelakangan dan kejumudan.

34Jurnal - 07 12Des.indd 34

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Tafsir

Pencerahan beliau lakukan dalam rangka membebaskan umat dari kejumudan dengan cara kembali kepada al-Quran dan Sunnah, sementara langkah liberasi di lakukan dengan cara mendirikan lembagalembaga pelayanan publik modern seperti sekolah, rumah sakit dan panti asuhan. Lembaga-lembaga seperti ini sebelumnya hanya dimiliki oleh pihak Katolik yang memang terpelajar di bawah bimbingan Belanda yang memang sudah hidup dalam atmosfir modern. Suka atau tidak KH.A. Dahlan meniru orang lain dalam hal ini Katolik dalam merealisasikan ide-idenya. Sebab pelayanan publik seperti ini merupakan human values yang bisa dilakukan oleh agama apapun termasuk Islam. Kasus seperti ini bukan yang pertama di kalangan umat Islam. Kita ingat kegemilangan Abbasiyah sebagai puncak peradaban Islam tercapai tak lepas dari ketekunan umat Islam ketika itu belajar dari Yunani yang non-Islam. Bahkan buku-buku Yunani diangkut ke Arab dipelajari dan diterjemahkan oleh lembaga resmi pemerintah pada waktu itu yang bernama Bait al-Hikmah. Pencerahan dan pembebasan yang dilakukan oleh KHA. Dahlan untuk ukuran waktu itu merupakan langkah pembaruan yang sangat progresif. Beliau terlalu cepat lahir untuk zamannya. Tetapi kini semua itu menjadi hal yang biasa dan tidak lagi sesuatu yang baru. Oleh karena itu jika Muhammadiyah terjebak pada rutinitas pragmatis hanya sibuk mengelola amal usaha, apalagi amal usaha tersebut juga tidak mampu berkompetisi dengan amal usaha sejenis milik orang lain, itu artinya Muhammadiyah telah kehilangan arah pebaharuan dan progresifitasnya. Boleh saja Muhammadiyah berkilah dengan perkembangan amal usaha yang setiap hari secara kuantitatif bertambah sebagai wujud kemajuannya, tetapi sebuah gerakan pembaruan tidak cukup hanya diukur dari jumlah amal usaha yang ada tetapi juga produk-produk pemikiran atau ijtihad yang dihasilkan. Satu hal inilah kini Muhammadiyah tetap saja masih stagnan jika tidak boleh dikatakan jumud, sesuatu yang menjadi sasaran pembaruan Muhammadiyah pada awal kelahirannya.MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

3514/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 35

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

Terdapat beberapa kelemahan mendasar yang kini terjadi di lingkungan Muhammadiyah. Pertama, ketidakjelasan rumusan pembaruan. Sebenarnya paradigma pembaruan Muhamadiyah yang tepat untuk saat ini seperti apa. Sebab rumusan pembaruan yang selama ini digunakan yakni kembali kepada al-Quran dan Sunnah memerlukan penjelasan lebih lanjut. Organisasi Islam seperti Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) dan Persatuan Islam (Persis) juga mengangkut hal yang sama. Jika Muhammadiyah kembali al-Quran dan Sunnah dengan model pemahaman yang dilakukan oleh LDII dan Persis, itu artinya Muhammadiyah telah out of date alias tidak njamani lagi. Memang model seperti itu merupakan salah satu model pembaruan pemahaman Islam tetapi pembaruan yang bersifat set back, mundur ke belakang. Dalam sejarah pembaruan pemikiran Islam corak pemahaman Islam seperti ini sering disebut sebagai aliran Hanbaliyah Baru (Neo Hanbalism). Model Neo Hanbaliyah kurang tepat untuk masa kini karena akan membawa Islam dalam keterjebakan makna teks al-Quran dan Sunnah yang sangat sempit. Walaupun sah-sah saja jika itu sebagai pilihan. Hanya saja, jika model ini dipakai Muhammadiyah dalam melakukan pembaruannya, maka akan mengalami kesulitan dalam perkembangannya mengingat kita akan berhadapan dengan perubahan ruang dan waktu yang memerlukan kontekstualisasi dalam memahami al-Quran dan Sunnah. Sahabat Umar r.a. pun jauh-jauh hari telah berujar; hukumhukum Islam akan berubah seiring perubahan tempat dan wilayah. Atau kita merujuk pada pernyataan kaum modernis al-Islamu shalihun ala kulli zamanin wa makanin ( Islam itu selalu sesuai dengan ruang dan waktu). Tetapi untuk itu semua tidak bisa dilakukan jika Islam hanya dipahami sebatas teks al-Quran dan Sunnah tanpa adanya kontekstualisasi. Oleh karena itu perlu adanya rumusan kembali (reformulasi) terhadap paradigma kembali kepada al-Quran dan Sunnah yang lebih progresif agar Muhammadiyah bisa lebih eksis dalam memainkan peran sebagai gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Terlebih lagi Muhammadiyah memiliki

36Jurnal - 07 12Des.indd 36

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Tafsir

lembaga pelayanan publik yang mau tidak mau harus berhadapan dengan situasi dimana lembaga itu berada, baik secara hukum, tradisi dan tata sosial yang lain. Lembaga-lembaga sosial ini akan sulit berkembang jika hanya terkungkung oleh makna teks al-Quran dan hadits tanpa sentuhan ijtihad kreatif dan progresif.

Jika Muhammadiyah terjebak pada rutinitas pragmatis hanya sibuk mengelola amal usaha, apalagi amal usaha tersebut juga tidak mampu berkompetisi dengan amal usaha sejenis milik orang lain, itu artinya Muhammadiyah telah kehilangan arah

pebaharuan dan progresifitasnya Organisasi semacam Nahdlatul Ulama (NU) yang selama ini dikenal sebagai tradisional dan terikat madzhab justru telah terlebih dahulu merumuskan paradigma pembaruannya. Pembaruan NU dirumuskan dalam sebuah jargon al-muhafadhah ala qadim al-shalih wa al-akhdzu ala jadid al-ashlah (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik). Rumusan ini sangat jelas bagaimana bersikap terhadap tradisi masa lalu, kini dan yang akan datang. Atau memang kini Muhammadiyah bukan gerakan pembaruan lagi. Boleh jadi demikian mengingat dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) tak ditemukan klausul yang menyatakan bahwa Muhamadiyah adalah gerakan pembaruan. Wajar jika produk yang dihasilkan hanyalah bertambahnya amal usaha secara kuantitatif bukan produk-produk ijtihad kreatif dan progresif tentang bagaimana menciptakan social enginereeng sehingga nilai-nilai kemanusiaan tersinari oleh nilai-nilai universal al-Quran dan menampilkan Islam yang berkemajuan. Dalam AD/ART Muhammadiyah hanyalah dikatakan sebagai Gerakan Islam dan Dakwah Amar Maruf Nahi Munkar dan bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah (Ps. 1 ayat 2). Walaupaun sebenarnya makna pembaruan secara implisit melekat dalam kata gerakan. Demikan juga

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

3714/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 37

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

Muhammadiyah berdasarkan as-Sunnah bukan al-hadits, sebab makna sunnah lebih luas dari hadits.C. Ruang Ijtihad dan Vonis Bidah

Paham agama Muhammadiyah didasarkan pada kembali kepada alQuran dan Sunnah, menolak taqlid, bebas madzhab dan membuka pintu ijtihad. Melihat prinsip ini, nampak sekali wajah Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan. Dengan prinsip-prinsip tersebut Muhammadiyah berpeluang besar menjadi organisasi yang akan mampu membawa umat ini ke pintu gerbang kemajuan peradaban. Tetapi, memasuki umurnya yang satu abad ini, peluang tersebut belum juga berhasil diwujudkan. Muhammadiyah telah berhasil membangun amal usaha yang sangat ekspansif, tetapi belum bisa menghasilkan peradaban yang memadai, termasuk menjadi gerbong penggerak lahirnya ijtihad-ijtihad yang progresif. Salah satunya masih terdapatnya ironisme di sana. Prinsip membuka pintu ijtihad yang mestinya memberikan porsi yang semestinya dalam keleluasaan berpikir, dalam kenyataannya sering dimentahkan oleh doktrin bidah yang mematikan. Ruang ijtihad diberikan pada lingkup persoalan yang belum memiliki landasan teks dalam al-Quran dan Sunnah. Sebagian orang Muhammadiyah sering terlalu cepat memberi vonis bidah terhadap peristiwa yang tidak memiliki landasan nash al-Quran dan Sunnah sebelum hal tersebut dilakukan ijtihad. Kata tidak ada tuntunannya dalam al-Quran dan Sunnah menjadi momok bagi orang yang akan memberikan keleluasaan berfikir yang mestinya diberikan oleh ruang ijtihad. Jika sesuatu yang tidak ada tuntunannya begitu cepat divonis sebagai bidah, lalu kapan dan di mana Muhammadiyah melakukan ijtihad. Muhammdiyah membuka pintu ijtihad, tetapi pintu itu kemudian tertutup kembali oleh doktrin bidah yang tidak proporsional. Pada awal berdirinya Ahmad Dahlan muda begitu kreatif dalam berijtihad, khususnya ijtihad sosial. Tetapi dalam perkembangannya proses kreatif

38Jurnal - 07 12Des.indd 38

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Tafsir

yang bernuansa pembahauan (tajdid) menyempit penjadi pemurnian (purifikasi). Celakanya, purifikasi diartikan sebagai skriptualisasi atau tekstualisasi dengan standar teks al-Quran dan hadits sehingga ketika ada fenomena yang secara tekstual dalam kedua sumber hukum tersebut tidak disebutkan dianggap sebagai bidah dan sesat. Padahal kita tahu banyak persoalan dan nilai-nilai sosial seperti kearifan-kearifan lokal yang secara tekstual tidak tercantum dalam al-Quran dan hadits. Akan lebih arif, ketika ada nilai-nlai yang secara tekstual tidak terdapat dalam al-Quran dan Hadits maka di situlah sebenarnya kita diberi ruang untuk dengan sungguh-sungguh menggunakan kemampuan yang kita miliki untuk memutuskan hukum dengan cara melakukan ijtihad. Persoalannya adalah ketika ruang ijtihad itu justru tertutup oleh paradigmanya sendiri yakni ruju ila al-Quran wa al-Hadits (kembali kepada al-Quran dan al-Hadits). Di sinilah lalu Muhammadiyah menjadi sulit bergerak dan berkembang karena memang kehilangan pijakan kreatifitas teologisnya. Muhamadiyah mengalami kekeringan intelektual akibat kehilangan rujukan tradisi intelektual klasik yang sedemikian luas sebagai inspirasi semangat berfikir/berijtihad. Kelemahan ini berimbas terhadap banyak hal, di antaranya Muhammadiyah kesulitan menanamkan tradisi keberagamaannya di tengah masyarakat secara mengakar. Jika para ulama terdahulu berhasil menciptakan tradisi-tradisi yang mampu menciptakan komunitas umat, hal ini belum mampu dilakukan oleh Muhammadiyah. Fenomena ini dapat dilihat bahwa komunitas Muhammadiyah sebagian besar hanya berada di sekitar amal usahanya seperti kampus, sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. Itu pun karena mereka sekolah atau bekerja di amal usaha Muhammadiyah tersebut. Lembaga-lembaga pelayanan publik milik Muhammadiyah nampaknya belum mampu memuhammadiyahkan orang-orang yang ada di dalamnya sekalipun, apalagi masyarakat sekitarnya.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

3914/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 39

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

Imbas lain yang tak kalah pentingnya adalah Muhammadiyah kesulitan bergerak dan berkembang karena mengantarkan elitnya untuk tampil memang kehilangan pijakan kreatifitas dalam pentas politik baik lokal teologisnya. Muhamadiyah mengalami maupun nasional. Bersih, jujur dan cerdas saja nampaknya belum cukup kekeringan intelektual akibat kehilangan untuk mengangkat seseorang tampil rujukan tradisi intelektual klasik yang di arena politik yang juga penting sedemikian luas sebagai inspirasi sebagai sarana dakwah. Logika politik semangat berfikir/berijtihad demokrasi memang bukan persoalan nilai-nilai moral seperti kebaikan dan kejujuran tetapi banyak-banyakan pengikut. Maka celakalah mereka yang tidak memiliki banyak pengikut di samping uang tentunya. Muhammadiyah menjadi sulit Kurangnya sumber daya manusia (SDM) yang berkompeten di bidang pemikiran Islam yang bisa diterima oleh sebagian besar anggota Muhammadiyah merupakan masalah yang tak kalah pentingnya. Bagaimanapun, anggota Muhammadiyah itu segmentatif, beragam termasuk dalam corak keberagamaannya. Jika ada tokoh ingin berijtihad yang terkesan liberal dituduh tidak Muhammadiyah lagi. Ketika ada anak muda Muhammadiyah berwacana dalam pemikiran Islam dianggap telah kebablasan seperti yang dialami oleh teman-teman Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM). Padahal kalau kita tengok pemikiran dan langkah KHA. Dahlan, beliau merupakan salah seorang yang oleh Kurzman digolongkan sebagai tokoh Islam liberal sejajar dengan Syekh Muhammad Abduh, Iqbal, Fazlurrahman dan sebagainya. Namun demikian kita tidak boleh berputus asa. Sejelek apapun Muhammadiyah masih yang terbesar dan mungkin juga terbaik di antara organisasi Islam di Indonesia atau bahkan seluruh dunia. Kemandegan prestasi intelektual Muhammadiyah berpeluang besar untuk diperbaiki jika terus-menerus wacana keislaman senantiasa bergulir dalam kajiankajian Muhammadiyah dari tingkat ranting sampai pusat. Situasi inilah

40Jurnal - 07 12Des.indd 40

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Tafsir

yang sekarang sudah mulai nampak. Kajiaan-kajian keislaman yang ada telah membawa kader-kader Muhammadiyah pada wawasan komparatif yang membuatnya tak lagi sempit dalam memahami Islam. Demikian juga kader-kader Muhammadiyah semakin arif dalam menyikapi kearifan-kearifan lokal yang dalam hal-hal tertentu merupakan bagian dari universalitas Islam.D. Membangun Kemandirian

Kaget dan terkesan tidak percaya diri ketika tiba-tiba kader Muhammadiyah tidak duduk di kabinet langganannya, mendiknas dan menkes. Itulah kesan yang penulis tangkap ketika bertemu dengan babarapa pimpinan Muhammadiyah dan AUM-nya. Sebenarnya secara kuantitatif tak terlalu berbeda dari pemerintahan satu ke yang lain tentang kader Muhammadiyah yang duduk di kabinet. Hanya saja ketika kader tersebut tidak duduk di posisi yang match dengan mainstream AUM, maka terkesan ada kepanikan. Terlebih lagi di Depdiknas dimana kader Muhammadiyah telah melakukan hatrick karena tiga periode berturutturut Depdiknas dijabat oleh kadernya, Yahya Muhaimin, Malik Fajar dan Bambang Sudibyo. Ketidakpercayaan diri seperti tersebut di atas tak perlu terjadi jika Muhammadiyah sebagai kekuatan sosial non pemerintah alias swasta telah memiliki kemandirian. Kemandirian itu belum sepenuhnya dimiliki memang demikianlah faktanya. AUM yang besar seperti Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan beberapa Rumah Sakit PKU Muhammadiyah banyak tergantung pada PNS atau pensiunan aparat pemerintah sebagai pimpinannya. AUM, khususnya PTM masih terlalu mahal untuk menghasilkan doktor, profesor sebagai standar layak seorang pimpinan PTM. Sekali dua kali boleh tergantung pada orang pemerintah sebagai pimpinan AUM, tetapi tidak boleh terus-menerus. Cepat atau lambat

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

4114/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 41

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

AUM dipimpin oleh orang dalam dengan kualitas yang memadai tentunya. Muhammadiyah juga tidak boleh emosional hanya karena orang dalam tanpa melihat kualitas yang ada. Dengan demikian AUM dapat dikelola secara lebih total tanpa terikat pada birokrasi pihak lain. Mengambil orang pemerintah sebagai sebagai pimpinan AUM memang efisien dan kadang juga strategis dari sisi lobi, tetapi jati diri Muhammadiyah sebagai kekuatan sosial atau civil society menjadi kurang sempurna. Sepenuhnya mandiri bagi Muhammadiyah juga hampir tidak mungkin. Paling tidak ketergantungan tersebut tidak terlalu menonjol. Kemandirian juga tidak sebatas bebasnya AUM dari pihak lain. Kesiapan jamaah menyediakan kemampuannya untuk membangun Muhammadiyah di atas kekuatannya sendiri jauh lebih penting untuk digalakkan. Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (Lazis) Muhammadiyah adalah bagian penting dari kemandirian itu. Oleh karena itu mobilisasi dana umat melalui Lazismuh mutlak untuk selalu digerakkan di seluruh jajaran Muhammadiyah.

PenutupMuhammadiyah lahir 30 Dzulhijjah 1330 bertepatan dengan 18 Nopember 1912, yang jika dihitung dengan kalender hijriyah, berarti akan memasuki usianya yang ke 100 tahun atau satu abad. Ada keyakinan yang didasarkan pada sebuah hadits Nabi Muhammad saw. bahwa Allah akan mengutus seorang pemimpin yang akan tampil sebagai mujaddid atau reformer (pembaharu) dalam setiap kurun waktu seratus tahun. Wajar jika dalam usianya yang satu abad tersebut Muhammadiyah perlu memperbaharui diri agar lebih mampu menghadapi perkembangan zaman yang terus melaju, termasuk dalam merespon budaya lokal yang melingkupinya. Kearifan yang terdapat dalam budaya lokal tidak harus dengan membabi buta dikategorikan sebagai TBC yang mesti diberantas begitu saja. Sebab

42Jurnal - 07 12Des.indd 42

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Tafsir

kearifan lokal adalah bagian dari maruf (kebaikan) sebagaimana terdapat dalam al-Quran surat Ali Imran : 104 yang menjadi inspirasi berdirinya Muhammadiyah. Muhammadiyah lahir dengan menyatakan diri sebagai gerakan tajdid atau pembaruan, tetapi, seperti dikatakan oleh Geertz di atas, pembaruan yang membabi buta sama buruknya dengan sikap kolot. Keduanya tidak dapat membangun masyarakat yang sehat dan peradaban yang agung. Akan lebih baik jika Muhammadiyah merespon budaya lokal dengan sikap arif tanpa kehilangan misi keislaman yang akan diperjuangkannya. Konsep Dakwah Kultural Muhammadiyah adalah langkah strategis dalam merespon budaya yang melingkupinya termasuk di dalamnya budaya lokal. Tentu saja bukan hal mudah mengaplikasikan konsep tersebut di tengah-tengah komunitas yang sebagian di antara mereka telah berpaham agama dengan cara puritan. Tetapi perbedaan adalah bagian dari dinamika. Oleh karena itu, konsep ini perlu menjadi kesadaran baru warga Muhammadiyah dalam merespon zaman yang semakin berada dalam suasana yang disebut dengan multikulturalisme. Dengan Konsep Dakwah Kultural, Muhammadiyah akan semakin mudah masuk ke akar rumput di seluruh pelosok tanah air. Sebab kosep ini akan mampu menjadi jembatan kearifan antara Islam dan budaya lokal, antara Muhammadiyah dan masyarakat setempat. Jika Muhammadiyah mampu mengakar di basis masyarakat maka Muhammadiyah juga akan memiliki fundamental sosiologis yang kuat. Dengan fundamental sosiologis yang kuat akan terbangun kemandirian sosial yang kuat pula. Sehingga harapan terbentuknya Muhammadiyah sebagai civil siciety lambat laun akan tercapai. Muktamar 2010 di Yogyakarta menjadi momentum strategis untuk membenahi kekurangan-kekurangan yang ada termasuk kemandegan ijtihad yang belum juga beranjak walaupun telah lama disadari oleh pimpinan Muhammadiyah. Jika kita menerima salah satu haditsMAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

4314/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 43

Simpang JalanSimpang Jalan Muhammadiyah

Rasulullah yang menyatakan bahwa akan muncul pembaharu agama dalam setiap kurun waktu satu abad, itu artinya Muhammadiyah juga sudah saatnya merumuskan kembali paradigma pembaruannya yang barangkali sudah usang.

KepustakaanAbdul Munir Mulkhan, Islam Murni dalam Masyarakat Petani, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000 Alfian, Muhammadiyah : The Political Behavior of a Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism, Gadjah Mada University, Yogyakarta, 1989 Clifford Geertz, After the Fact, Two Countries, Four Decades, One Anthropologist, Harvard University Press, Cambridge, 1995 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, LP3ES, Jakarta, 1996 Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1983 Max Weber, Sosiologi Agama, terj. oleh Muhammad Yamin, Ircisod Yogyakarta, 2002 Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih, Yogyakarta, 1962 , Dakwah Kultural Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, Yogyakarta, 2005

44Jurnal - 07 12Des.indd 44

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Muhammadiyah: Dari TBC Ke Islam Transnasional (Perspektif Akar Rumput)1Rudi SukandarPeneliti MAARIF Institute for Culture and Humanity

Secara umum, di negara-negara Muslim kontemporer terdapat dua kelompok masyarakat sipil, yaitu masyarakat sipil asli berbasis kelompok berpengaruh quasi-tradisional dan quasi-modern serta dan kelompok masyarakat sipil berbasis kelompok sosial intelektual modern dan intelektual berorientasi barat (Kamali, 2001). Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia merupakan contoh bagaimana dinamika interaksi antara kedua kelompok tersebut mewarnai kehidupan demokrasi dan pembangunan masyarakat sipil. Keterlibatan organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama dalam menjaga warna moderat Islam di Indonesia telah memberikan sumbangan yang signifikan dalam proses demokratisasi Indonesia (Freedman, 2009). Namun ketika dihadapkan dengan derasnya pertarungan narasi antara organisasi Islam moderat dan konservatif serta

Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Perbenturan antara ide-ide dasar pendirian Muhammadiyah dengan realitas sosial politik Indonesia semakin penting untuk didiskusikan terutama menyangkut diskursus peran Muhammadiyah di masa depan

1

Saya ucapkan terima kasih kepada warga Muhammadiyah jamaah Masjid Al-Ummah, Banjarmasin, atas partisipasinya dalam diskusi dan kepada Bapak Ahmad Suhanto dan Bapak Muhtar Ahmadi atas masukan dan bantuannya.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

4514/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 45

Muhammadiyah: Dari TBC Ke Islam Transnasional

fundamentalis, organisasi-organisasi Islam terbesar di Indonesia tersebut harus berbenah diri agar dapat bertahan dan terus mempromosikan wacana civil society untuk memperkuat demokrasi Indonesia. Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia kini berada di persimpangan jalan. Perbenturan antara ide-ide dasar pendirian Muhammadiyah dengan realitas sosial politik Indonesia semakin penting untuk didiskusikan terutama menyangkut diskursus peran Muhammadiyah di masa depan. Untuk melihat bagaimana dinamika tersebut menggeliat dalam kehidupan organisasi Muhammadiyah, tulisan ini berusaha memotret hal tersebut dari perspektif akar rumput, para warga Muhammadiyah di daerah. Pengambilan data dilakukan melalu Focus Group Discussion informal di Masjid Al-Ummah, Banjarmasin, 27-28 Nopember 2009. Dari diskusi yang dilakukan, ada tiga hal yang mencuat sehubungan dengan peran Muhammadiyah dalam pembentukan masyarakat sipil dan tantangan bagi warga untuk berperan serta dalam wacana masyarakat sipil dan Islam transnasional: identitas, komunikasi organisasi, dan redefinisi nilai.

IdentitasBanyak pihak secara sadar maupun tidak telah melakukan apa yang disebut Sen (2006) sebagai singularisasi identitas terhadap warga Muhammadiyah, terutama berkaitan dengan isu TBC (Takhayul, Bidah, Churafat). Meskipun TBC bukan merupakan isu utama lagi bagi Muhammadiyah, tetapi pandangan ini mereduksi peran Muhammadiyah dan warganya dalam bidang lain. Beberapa responden menyatakan bahwa isu TBC sudah tidak relevan lagi sekarang karena ada banyak hal dimana warga Muhammadiyah telah melakukan banyak terobosan di bidang sosial, kesehatan, dan pendidikan. Namun demikian di tingkat akar rumput, masalah ini masih menjadi subyek utama narasi pembahasan masalah keagamaan. Ini tidak

46Jurnal - 07 12Des.indd 46

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Rudi Sukandar

bisa dilepaskan dari sejarah Muhammadiyah yang memulai gerakan pembaharuannya dengan mencoba melepaskan masyarakat dari ketiga hal tersebut. Para responden juga melihat bahwa isu ini terus muncul karena banyaknya resistansi di beberapa tempat dimana Muhammadiyah dianggap sebagai the other yang tidak sesuai dengan tradisi keagamaan setempat. Para pemimpin yang lahir dari lingkungan ini terus membawa isu ini meskipun cakupan kepemimpinan mereka sudah berada tingkat yang lebih tinggi. Masalah yang juga mencuat dari diskusi di level bawah adalah identitas politik. Beberapa warga menyatakan Muhammadiyah menjadi kurang memiliki artikulasi di ruang publik dan signifikansi dalam pengambilan keputusan politik karena ambivalensi sikap organisasi dalam mewakili suara umat. Politik malu-malu seperti yang diungkapkan salah seorang responden cukup menyiratkan keprihatinan akan identitas yang diambil Muhammadiyah. Sudah tentu keberhasilan Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan dalam pembangunan sarana dan prasarana kesehatan dan pendidikan merupakan suatu kebanggaan. Namun Muhammadiyah telah terjebak lingkaran trained incapacitysatu konsep yang diperkenalkan oleh Veblen (Tilman, 1997)yang menurut Burke (1935) merupakan suatu keadaan dimana prestasi seseorang (atau organisasi) menjadikannya terpenjara dan tidak mampu keluar dari realitas dan citra yang dia ciptakan. Ini sudah tentu merupakan realitas yang menyedihkan mengingat potensi yang dimiliki Muhammadiyah untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan politik yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Beberapa responden juga menyatakan bahwa dinamika politik di kalangan pemuda Muhammadiyah merupakan cerminan akan hasrat untuk mengadakan perubahan terhadap sikap politik Muhammadiyah. Banyak warga Muhammadiyah menduduki posisi politik strategis dan tetap mengaku sebagai bagian dari organisasi ini, misalnya Walikota Banjarmasin yang menyatakan dirinya sebagai kader Muhammadiyah sejak bayi (Peringatan satu abad Muhammadiyah, 2009). NamunMAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

4714/12/2009 15:42:29

Jurnal - 07 12Des.indd 47

Muhammadiyah: Dari TBC Ke Islam Transnasional

demikian, sikap para pemimpin politik daerah dan nasional yang mengaku kader Muhammadiyah dianggap tidak cukup mewakili aspirasi umat dan menurut para responden, sering kali tunduk pada aturan main politik yang terkadang melanggar nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi Muhammadiyah. Tantangan terbesar dalam menentukan sikap dan identitas politik Muhammadiyah, menurut para responden, adalah berupaya meredefinisikan sikap high politics yang diperkenalkan Amien Rais dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pemuda Muhammadiyah untuk merealisasikan aspirasi politiknya dan membentuk identitas politik yang jelas. Bila hal ini dapat dilakukan, maka pintu terbuka bagi seluruh warga Muhammadiyah untuk berpartisipasi di ruang publik dalam gerakan masyarakat sipil karenamenurut Alexander (1997) disinilah terdapat solidaritas dimana we-ness menjadikan identitas seseorang dihormati sehingga dia dapat memenuhi kewajibannya kepada kelompok dimana dia berada. Pada gilirannya hal ini akan menyumbang terwujudnya dua syarat yang disebutkan Appiah (2008) untuk mencapai identitas warga global yaitu pengetahuan tentang kehidupan para warga lain dan kekuatan untuk mempengaruhi mereka.

Komunikasi OrganisasiSalah satu masalah internal terbesar Muhammadiyah adalah komunikasi organisasi. Terdapat kesenjangan antara narasi di tingkat pusat dan daerah dan perbedaan tajam tentang menyikapi suatu permasalahan. Hal ini sejalan dengan klaim Modaff, DeWine, dan Butler (2008) yang menyatakan bahwa banyak permasalahan organisasi disebabkan oleh kurangnya shared meaning diantara para anggota organisasi tersebut akibat batasan dan kendala bahasa. Ini dapat dilihat saat komunikasi dilakukan oleh pimpinan pusat dan daerah dan diantara pengurus daerah.

48Jurnal - 07 12Des.indd 48

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

14/12/2009 15:42:29

Rudi Sukandar

Menurut para responden, Muhammadiyah sudah seperti gajah bengkak akibatnya ketidaksinkronan dalam komunikasi organisasi dan perencanaan kerap terjadi. Contohnya, masing-masing cabang dan ranting sibuk mengembangkan diri Salah satu masalah internal terbesar sendiri tanpa adanya koordinasi dan sinkronisasi. Menurut para Muhammadiyah adalah komunikasi responden, kelemahan di bidang organisasi. Terdapat kesenjangan komunikasi organisasi ini disebabkan antara narasi di tingkat pusat dan oleh nature Muhammadiyah sebagai satu organisasi sosial sehingga para daerah dan perbedaan tajam tentang pemimpin cabang dan daerah lebih menyikapi suatu permasalahan berkonsentrasi pada wilayah mereka untuk mengurangi terlalu menumpuknya beban dan tanggung jawab. Penyebab lain adalah manajemen informasi yang kurang baik dimana peyebaran informasi secara vertikal dan horizontal tidak dilakukan dengan baik. Menilik problem besar pada komunikasi organisasi, sulit bagi kita untuk mengharapkan para warga mau terlibat dalam pembicaraan mendalam tentang diskursus yang lebih besar seperti isu masyarakat sipil. Hal ini karena terdapat jurang lebar antara diskusi pada tingkat pimpinan dan akar rumput. Para responden setuju bahwa sebelum berbicara tentang gerakan civil society, Muhammadiyah perlu melakukan konsolidasi dan penataan ke dalam dan memperbaiki manajemen organisasi. Perbaikan ini diharapkan akan memperkuat apa yang disebut Bakhtin (1984) sebagai centripetal forces (kekuatan penyatu) yang akan menciptakan dinamika unifikasi dan mengurangi centrifugal forces (kekuatan pembeda) yang akan menciptakan dinamika penolakan.

MAARIF Vol. 4, No. 2 Desember 2009

4914/12/2009 15:42:30

Jurnal - 07 12Des.indd 49

Muhammadiyah: Dari TBC Ke Islam Transnasional

Redefinisi NilaiSatu hal yang menjadi perhatian para responden adalah pesan K. H. Ahmad Dahlan, yaitu hidup hidupilah muhammadiyah, jangan cari hidup di muhammadiyah. Mereka beranggapan bahwa untuk membesarkan Muhammadiyah setiap warganya harus memiliki sikap enterpreneurship karena pengembangan amal usaha ekonomi Muhammadiyah terbentur oleh pesan K. H. Ahmad Dahlan tersebut. Padahal dengan segenap amal usaha yang dimilikinya, Muhammadiyah bisa berperan lebih aktif dalam upaya perbaikan ekonomi umat. Selanjutnya, kegiatan dakwah yang diadakan oleh organisasi harus memperkuat dan diperkuat oleh kekuatan ekonomi. Selama ini dana untuk kegiatan-kegiatan tersebut berasal dari pribadi karena warga enggan menggunakan dana dari amal usaha Muhammadiyah akibat kuatnya pesan tersebut. Untuk mengubah hal tersebut, dua hal yang harus dilakukan, yaitu m