a. pendahuluan masyarakat madani (civil society) sudah

29
A. PENDAHULUAN Masyarakat madani (civil society) sudah sejak awal tahun 1990an menjadi perbincangan dikalangan para ilmuwan politik di Indonesia. Di tengah situasi pemerintah otoriter yang didukung oleh suatu birokrasi yang intervinsionis, maka pengembangan suatu masyarakat yang mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah dilihat suatu keniscayaan. Di samping kemandirian, konsep masyarakat madani, sebagaimana dijelaskan dalam banyak literatur yang ada, juga mencirikan dirinya dengan pluralisme, di mana berbagai kelompok- kelompok masyarakat yang berbeda bisa bekerja sama dan hidup bersama secara damai. Masyarakat madani juga tunduk pada hukum dan menempatkan anggotanya dalam kedudukan sama di muka hukum. Dengan melihat ciri-ciri masyarakat madani itu maka banyak pihak melihat masyarakat madani bisa menjadi wahana yang potensial untuk mengembangkan masyarakat yang demokratis. Keberhasilan masyarakat madani dalam menumbangkan rezim otoriter di Eropa Timur, ikut memperkuat keinginan menjadikan masyarakat madani sebagai pilihan jalan keluar untuk menuju masyarakat yang demokratis 1 . Meskipun konsep masyarakat madani telah lama dikenal, namun baru pertengahan 1990, ketika pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara sedang maju dengan pesatnya, perbincangan tentang masyarakat madani (civil society) mulai muncul dalam berbagai kalangan masyarakat. Perbincangan ini tumbuh ke permukaan antara lain, karena negara-negara yang sedang mengalami kemajuan ekonomi itu, relatif tidak tercipta peluang yang berarti bagi tumbuhnya peranan publik dalam masyarakat. Dalam praktik kehidupan, cengkeraman kekuasaan negara begitu kuatnya mewarnai dinamika kehidupan 1 Taufik Abdullah, Indra Samago Membangun Masyarakat Madani (progam pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Malang) Yogyakarta hal 10

Upload: dedyu

Post on 15-Jun-2015

2.178 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

A. PENDAHULUAN

Masyarakat madani (civil society) sudah sejak awal tahun 1990an menjadi perbincangan

dikalangan para ilmuwan politik di Indonesia. Di tengah situasi pemerintah otoriter yang didukung

oleh suatu birokrasi yang intervinsionis, maka pengembangan suatu masyarakat yang mandiri dan

bebas dari intervensi pemerintah dilihat suatu keniscayaan. Di samping kemandirian, konsep

masyarakat madani, sebagaimana dijelaskan dalam banyak literatur yang ada, juga mencirikan

dirinya dengan pluralisme, di mana berbagai kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda bisa

bekerja sama dan hidup bersama secara damai.

Masyarakat madani juga tunduk pada hukum dan menempatkan anggotanya dalam

kedudukan sama di muka hukum. Dengan melihat ciri-ciri masyarakat madani itu maka banyak

pihak melihat masyarakat madani bisa menjadi wahana yang potensial untuk mengembangkan

masyarakat yang demokratis. Keberhasilan masyarakat madani dalam menumbangkan rezim

otoriter di Eropa Timur, ikut memperkuat keinginan menjadikan masyarakat madani sebagai pilihan

jalan keluar untuk menuju masyarakat yang demokratis1.

Meskipun konsep masyarakat madani telah lama dikenal, namun baru pertengahan 1990,

ketika pertumbuhan ekonomi negara-negara Asia Tenggara sedang maju dengan pesatnya,

perbincangan tentang masyarakat madani (civil society) mulai muncul dalam berbagai kalangan

masyarakat. Perbincangan ini tumbuh ke permukaan antara lain, karena negara-negara yang sedang

mengalami kemajuan ekonomi itu, relatif tidak tercipta peluang yang berarti bagi tumbuhnya

peranan publik dalam masyarakat. Dalam praktik kehidupan, cengkeraman kekuasaan negara begitu

kuatnya mewarnai dinamika kehidupan publik. Negara dengan kekuasaan yang hampir tidak

terbatas itu mempunyai kekuatan untuk memperlakukan masyarakat menurut kemauannya. Karena

itu, ada semacam keinginan yang kuat di tengah masyarakat, terutama kaum cendekiawan dan

akademis, untuk mewujudkan semacam suatu masyarakat di mana kedudukan negara dan

masyarakat berada dalam status berimbang. Konsep tentang masyarakat seperti yang diiimpikan itu

disebut dengan istilah civil society atau masyarakat madani.

Anwar Ibrahim mengatakan bahwa dalam masyarakat madani itu hadir prinsip-prinsip moral

yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individual dan kestabilan masyarakat. Hadir pula

dorongan, upaya dan inisiatif individu dalam bidang pemikiran, seni, ekonomi, dan teknologi, dan

pelaksanaan pemerintah yang mengikuti undang-undang dan hukum yang berlaku dengan baik.

Selain itu, kemandirian individu, keluarga, lembaga-lembaga sosial lainnya seperti media masa,

betul-betul dihargai tanpa ada pengaruh langsung dari negara atau pemerintah. Masyarakat dapat

mengembangkan sumberdayanya tanpa harus dikontrol oleh negara secara ketat, dan keadilan sosial

1 Taufik Abdullah, Indra Samago Membangun Masyarakat Madani (progam pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Malang) Yogyakarta hal 10

Page 2: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

berjalan sebagaimana semestinya.

Alasan dari pengambilan topik ini tidak lepas dari suatu demokrasi yang menjadi harapan

seluruh bangsa dan masyarakat yang ada di dalamnya. Gagasan perlunya “civil society”, adalah

mengandaikan semua elemen masyarakat memiliki kekuasaan sendiri yang otonom, namun secara

akumulatif bisa meredam terjadinya proleferasi kekuasaana alamiah (natural society) di satu pihak

dan mengimbangi kekuasaan negara yang cenderung menguat di pihak lain.

Dari pendahuluan dan alasan di atas timbul suatu rumusan masalah fundamental yang terkait

dengan topik “MASYARAKAT MADANI”

1. Bagaimana masyarakat madani itu tercipta dan seperti apa karakter masyarakat madani

itu, yang mana telah menjadi cita-cita dari kalangan masyarakat belahan dunia?

2. Lalu sejak kapan awal sejarah konsep masyarakat madani itu sendiri tercipta?

Adapun alasan mengambil alasan mengambil topik “ MASYARAKAT MADANI” karena

topik ini mampu membangun masyarakat yang demokratis serta beradab dalam mengarungi

kehidupan yang terkadang tidak seimbang. Gagasan perlunya masyarakat madani, adalah

mengandaikan semua elemen masyarakat memiliki kekuasaan sendiri yang otonom, namun secara

akumulatif bisa meredam terjadinya proleferasi kekuasaan alamiah (natural society) di satu pihak

dan mengimbangi kekuasaan negara yang cenderung menguat di pihak lain.

Cita-cita membangun masyarakat madani sebenarnya sudah tercetus dalam sejarah yang

sudah berumur ribuan tahun lamanya, oleh karena itu kita sebagai umat muslim wajib menjunjung

tinggi idealogi dalam bersosialisasi baik di bidang politik, hukum, maupun ekonomi dengan begitu

suatu negara akan menjadi sebuah taman surga buat masyarakatnya.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian Masyarakat Madani

Terlebih dahulu kita mengenal istilah masyarakat madani itu sendiri. Istilah masyarakat

madani sebenarnya hanya salah satu di antara beberapa istilah lain yang seringkali digunakan orang

dalam penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, padanan kata civil society. Disamping masyarakat

madani, padanan kata lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga atau masyarakat

kewargaan, masyarakat sipil, masyarakat beradab, atau masyrakat berbudaya.

Istilah civil society yang identik dengan masyarakat berbudaya (civilized society).

Lawannya, adalah “masyarakat liar” (savage society). Pemahaman yang melatari ini sekedar

mudahnya, agar orang menarik perbandingan di mana kata yang pertama merujuk pada masyarakat

yang saling menghargai nilai-nilai-sosial-kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan politik),

sedangkan kata yang kedua jika dapat diberikan penjelasan menurut pemikiran Thomas Hobbes,

bermakna identik dengan gambaran masyarakat tahap” keadaan alami” (state of nature) yang tanpa

hukum sebelum lahirnya negara di mana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya (homo

Page 3: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

homini lupus). Eksistensi civil society sebagai sebuah abstraksi sosial diperhadapkan secara

kontradiktif dengan masyarakat alami ( natural society)2.

Mendekati pengertian masyarakat madani, terjemahan lain yang juga sering digunakan

adalah masyarakat madani. Dibanding istilah lainnya ini yang paling populer dan banyak

digandrungi di Indonesia. Tak pelak bahwa kata “madani” merujuk pada Madinah, sebuah kota

yang sebelumnya bernama Yastrib di wilayah Arab, di mana masyarakat Islam di bawah

kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di masa lalu pernah membangun peradaban tinggi. Menurut

Nurcholish Madjid, kata “madinah” berasal dari bahasa Arab “madaniyah”, yang berarti peradaban.

Karena itu, masyarakat madani berasosiasi ”masyarakat peradaban”.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab, menjunjung tinggi nilai-nilai

kemanusiaan, yang maju dalam penguasaan ilmu pengetahuan, dan teknologi. Allah SWT

memberikan gambaran dari masyarakat madani dengan firman-Nya dalam Q.S. Saba’ ayat 15:

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu

dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (kepada mereka dikatakan): “Makanlah

olehmu dari rezki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu)

adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan yang Maha Pengampun”.

Masyarakat madani, konsep ini merupakan penerjemahan istilah dari konsep civil society

yang pertama kali digulirkan oleh Dato Seri Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada simposium

Nasional dalam rangka forum ilmiah pada acara festival istiqlal, 26 September 1995 di Jakarta.

Konsep yang diajukan oleh Anwar Ibrahim ini hendak menunjukkan bahwa masyarakat yang ideal

adalah kelompok masyarakat yang memiliki peradaban maju. Lebih jelas Anwar Ibrahim

menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani adalah sistem sosial yang subur

yang diasaskan kepada prinsip moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan

dengan kestabilan masyarakat.

Menurut Quraish Shibab, masyarakat Muslim awal disebut umat terbaik karena sifat-sifat

yang menghiasi diri mereka, yaitu tidak bosan-bosan menyeru kepada hal-hal yang dianggap baik

oleh masyarakat selama sejalan dengan nilai-nilai Allah (al-ma’ruf) dan mencegah kemunkaran.

Selanjutnya Shihab menjelaskan, kaum Muslim awal menjadi “khairu ummah” karena mereka

menjalankan amar ma’ruf sejalan dengan tuntunan Allah dan rasul-Nya.

Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada

peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini. Seperti,

pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang

kesatuan yang ditunjuk oleh Al Quran. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang

direstui Ilahi adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang tercermin

2 Adi Suryadi Culla Masyarakat Madani pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi (PT Raja Grafindo Persada) Jakarta hal 3

Page 4: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

dalam Al Quran. Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan

hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama

umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan

tidak meremehkan kelompok lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan

agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara

kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak

meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar

kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu

diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja. Konsep

masyarakat madani adalah sebuah gagasan yang menggambarkan masyarakat beradab yang

mengacu pada nila-inilai kebajikan dengan mengembangkan dan menerapkan prinsip-prinsip

interaksi sosial yang kondusif bagi peneiptaan tatanan demokratis dalam kehidupan bermasyarakat

dan bernegara.

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil

society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan

dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai masyarakat

madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi Muhammad.

Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan pembentukan civil

society dalam masyarakat muslim modern.

Makna Civil Society “Masyarakat sipil” adalah terjemahan dari civil society. Konsep civil

society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan masyarakat. Cicero adalah orang Barat yang

pertama kali menggunakan kata “societies civilis” dalam filsafat politiknya. Konsep civil society

pertama kali dipahami sebagai negara (state). Secara historis, istilah civil society berakar dari

pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke, dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu

bangunan masyarakat sipil yang mampu mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan

ortodoksi gereja3.

Antara Masyarakat Madani dan Civil Society sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,

masyarakat madani adalah istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi

“Islami”. Menilik dari subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat

Madinah yang dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern

akan ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan

buah modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaisans; gerakan masyarakat

sekuler yang meminggirkan Tuhan. Sehingga civil society mempunyai moral-transendental yang

rapuh karena meninggalkan Tuhan. Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam buaian dan

3 Google, Madani dan Kesejahteraan Umat 15-01-2010 jam 15.00

Page 5: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

asuhan petunjuk Tuhan. Dari alasan ini Maarif mendefinisikan masyarakat madani sebagai sebuah

masyarakat yang terbuka, egalitar, dan toleran atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental

yang bersumber dari wahyu Allah.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan

masyarakat Madani sebagai padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara

historis kita lebih mudah secara langsung me-refer kepada “masyarakat”nya

Ibnu Khaldun. Deskripsi masyarakatnya justru banyak mengandung muatan-

muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya.

Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani.

Masyarakat Madani merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang

diatur oleh hukum agama, sedangkan masyarakat sipil merujuk kepada

komponen di luar negara. Syed Farid Alatas seorang sosiolog sepakat dengan

Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya),

menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham

masyarakat Sipil. Istilah Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan

sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar kata dyn. Kenyataan bahwa

nama kota Yathrib berubah menjadi Medinah bermakna di sanalah din berlaku.

Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki

hubungan sama sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi

Muhammad SAW menghadapi kondisi jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di

Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar ummatnya leluasa

menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Masyarakat madani merupakan konsep yang berwayuh wajah: memiliki banyak arti atau

sering diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari

kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut

Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the sphere

of voluntary activity which takes place outside of government and the market.”

Konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan untuk

meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural merupakan

produk dari proses demokratisasi di negeri ini yang sedang berlangsung terus menerus yang

kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak individual. Perlu kita

pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun 1990-an, akan tetapi

sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat sipil oleh beberapa

pakar Sosiologi.

2. Sejarah Awal Konsep Masyarakat Madani

Seperti diketahui bahwa sejarah konsep masyarakat madani adalah bersumber dari tradisi pemikiran

barat, di mana konsep ini pertama kali lahir dapat dilacak akarnya sejak zaman Yunani kuno. Cohen

Page 6: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

dan Arato mengungkapkan bahwa versi awal konsep ini sebenarnya dari Aristoteles, ketika sang

filosofi Yunani ini mengungkap istilah politike koinonia, dalam bahasa Latin sociates civilis, yang

berarti masyarakat politik/komunitas politik (political society/community), yang merujuk pada

polis, dan dipahami sebagai tujuan atau kodrat manusia sebagai makhluk politik atau zoom

politikon4.

Istilah politike koinonia dari Aristoteles itu digunakan untuk menggambarkan sebuah

masyarakat politik dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum.

Hukum sendiri dianggap sebagai etos, yaitu seperangkat norma dan nilai yang disepakati tidak

hanya berkaitan prosedur politik tetapi juga sebagai substansi dasar kebijakan (virtue) dari berbagai

bentuk interaksi di antara warga komunitas.

Melalui konsep Aristoteles tersebut, belum ada perbuatan antara apa yang dikenal di dalam

pemikiran politik modern sebagai state dan society. Meskipun Aristoteles juga menyadari adanya

dualitas polis-oiskos, tetapi oikos yang merujuk pada keluarga atau rumah tangga (bousebold) itu

hanya dianggap sebagai background atau kategori residual dan polis. Semenatara koinonia yang

tegak di atas oikos tidak hanya mencakup keluarga, tapi juga bentuk-bentuk asosiasi secara umum

seperti pengelempokan kekerabatan, pekerjaan, status, jabatan, yang dapat dianggap sebagai

representasi sistem sosial atau sistem politik keseluruhan. Oikos tidak dianggap sebagai bagian

sistem resmi atau lembaga polis, tetapi hanya merupakan wadah komunitas dan interaksi

masyarakat yang secara teoritis melalui pemimpin masing-masing dalam berhubungan dengan

polis. Demikian pula hubungan ekonomi yang berlangsung di arena iokus pun hanya dianggap

pelengkap, bukan sebagai kunci utama perkemabangan polis maupun oikos sendiri.

Meskipun demikian, Cohen dan Arato melihat bahwa dari gambaran konsep politike

koinonia itu, pemikir Yunani klasik tersebut sebenarnya sudah menunjukkan adanya dua entitas

yang berbeda, yaitu(1) “community of societies” yang bersifat homogen dalam arti kesatuan

kolektif yang terorganisasi sebagai warga negara (polis) dengan tujuan tunggal sebagai derivasi dari

oikos di satu pihak, dan (2) “society” di lain pihak yang meliputi bentuk-bentuk interaksi yang

besifat pluralistik berupa kelompok atau asosiasi tidak resmi lainnya.

Dalam perkembangannya, konsep Aristotelian itu mempengaruhi tradisi pemikira Romawi

kuno, meskipun tidak mengalami pembaharuan penting, tetapi sempat dikembangkan secara kuat

terutama oleh Cicero yang melalui pemikirannya pertama kali memunculkan istilah societas civilis.

Berlanjut ke abad pertengahan konsep tersebut dikembangkan antara lain oleh Thomas Aquinas, di

mana Aquinas terutama memahaminya dalam makna yang merujuk pada konsep negara-kota (city-

state). Berikutnya, konsep ini terus berkembang dan dipadukan dengan masalah kekuasaan

(sovereign) untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan betuk korporasi lainnya, sebagai kesatuan

4 Jean L. Cohen and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Massachusets: MIT Press, 1992) hal 1

Page 7: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

yang terorganisasi, dan di antaranya melahirkan konsep Aquinas yang terkenal mengenai societas

civilis res republica.

Selanjutnya melalui pemikiran Otto Brunner, konsep ini digambarkan sebagai sesuatu yang

merujuk pada dualisme, bukan antara state dan society, tetapi antara raja di satu pihak dan rakyat

atau bangsa di lain pihak di mana yang terakhir identik dengan wilayah privat. Sebagiamana

disinyalir oleh Marx ratusan tahun kemudian, dalam sejarah perkemabangan foedalisme apa yang

disebut wilayah privat itu bermakna “tanah” atau “tuan tanah”. Demikianlah, konsep ini kemudian

digunakan pada tahap berikutnya setelah lahirnya pemikiran awal mengenai negara modern

(commonwealth) yang diidentikkan sebagai masyarakat madani atau civil society, dimulai dari

Thomas Hobbes (1588-1679). dalam karyanya Leviatban (1651), lebih kurang Hobbes memahami

civil/political society sebagai ide normatif mengenai kebebasan dan persamaan warga negara sebagi

kesatuan politik. Tetapi, bukan masyarakat yang menciptakan negara, tetapi melalui kontrak sosial

kehadiran masyarakat disatukan dibawah kesatuan negara5.

Ide serupa berlanjut ke John Locke dengan suatu perbedaan mendasar di mana oleh Locke

mulai dibuat perbedaan antara pemerintah (geverment) dan masyarakat (society), meskipun kedua

hal tersebut masih tetap dipersepsikan sebagai wujud (body) politik negara yang lahir dari kontrak

sosial. Dekat dari konsep ini juga adalah pemikiran Montesquieu memandang masyarakat dan

pemerintah sebagai dua entitas yang berbeda, dengan mengacu pada adanya dua bentuk hukum (1)

civil law yang mengatur hubungan antara memerintah dengan yang diperintah dan (2)

public/political law yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat. Pada titik ini, melalui

Locke dan Montesquieu, konsep masyarakat madani mulai menjadi bagian diskursus pemikiran

politik modern. Di samping negara, eksistensi masyarakat sebagai entitas tersendiri pun mulai

dipandang sebagai locus penting, lewat pemikir Amerika, Thomas Paine (1737-1809) dalam

karyanya Common sense (akal sehat), yang terbit pada tahun 1776, masyarakat yang dianggap

sebagai kumpulan individu dianggap memiliki hak-hak alami yang tidak dapat dicabut siapapun

termasuk oleh negara, sementara negara sendiri dianggap ada karena legitimasi masyarakat.

Meskipun demikian, apa yang diistilahkan sebagai masyarakat politik (political society) dan

emasyarakat madani (civil society) masih cenderung diindentikkan dengan negara (state) an sich.

Tetapi, oleh pemikir-pemikir pencerahan Scotlandia seperti Ferguson, Hume dan Adam Smith,

suatu perkembangan penting perlu dicatat sebab dari pemikiran mereka konsep masyarakat madani

yang diidentikkan dengan masyarakat beradab (civilized society) tidak lagi berasosiasi sebagai

body politik (political society) melainkan organisasi material (economic society), yang

mengingatkan kembali pada pemikiran Aristoteles di mana ekonomi dianggap faktor ekskluisiner

dan politike koinonia.

5 Ibid Adi Suryadi Culla, hal 48

Page 8: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

Sedangkan di Jerman melalui Kant, Fichte, dan Hegel, konsep ini mulai mendapatkan

pemaknaan yang lebih jelas sebagai suatu kesatuan yang terpisah dari negara. Kant memandang

masyarakat madani sebagai tujuan (telos) umat manusia yang hidup berdasarkan hukum, dan

menolak menyatukannya sebagai bagian dari negara kekuasaan lembaga absolut. Juga Fichte sudah

melihat terpisah hubungan antara negara dan masyarakat di satu pihak, dan hubungan antara

individu berdasarkan universalitas di lain pihak. Tetapi, berbeda dengan Kant dan Fichte, melalui

pemikiran Hegel secara tegas mulai dirumuskan konsep masyarakat madani dan negara tidak hanya

sebagai dua entitas berlawanan. Hegel dengan jelas melihat negara (masyarakat politik) dan

masyarakat madani sebagai dua entitas berbeda, tetapi dia memadukan kedua entitas tersebut dalam

sebuah formulasi pemikiran politik baru (sintesa), di mana masyarakat madani diintegrasikan ke

dalam negara sebagai domain yang harus menyesuaikan perilakunya dengan kepentingan negara.

Dari pemikiran Hegel itulah, konsep masyarakat madani modern mencapai

perkembangannya yang sangat penting, dan dari Hegel ini pula konsep masyarakat madani terutama

banyak mengambil inspirasi bagi pemikirannya yang muncul kemudian hingga abad ini.

Colen dan Arato mengemukakan bahwa melalui Hegel berbagai pemikiran yang pernah lahir

sebelumnya, memperoleh sintesa baru. Pertama, eksistensi masyarakat madani dan masyarakat

politik secara jelas sudah dirumuskan sebagai entitas yang berbeda-namun yang terakhir oleh Hegel

diletakkan pada posisi superior. Kedua, dalam konsep Hegel mengenai sejarah mencakup pula

keluarga sebagai salah satu entitas yang disebutkan sebagai awal sejarah, lalu masyarakat madani

sebagai tahap kedua, dan negara sebagai momentum sejarah yang terakhir. Ketiga, apa yang disebut

sebagai masyarakat madani bagi Hegel merupakan entitas yang merujuk pada masyarakat ekonomi

(economic society), yaitu bourgeouis geselschaft, semenatara negara dipandang sebagai masyarakat

politik (political society)6.

Dengan menggunakan sumber Hegel, konsep masyarakat madani diangkat kembali oleh

Marx dalam pengertian yang sama sebagai bourgeouis geselschaft atau masyarakat borjuasi, yang

berarti sebagai domain ekonomi. Tetapi berbeda dengan Hegel, oleh Marx, eksistensi negara dan

masyarakat politik (political society) kehilangan makna positifnya karena Marx melihat kedudukan

dan peran negara tidak lebih hanya sebagai alat kepentingan bourgeouis geselschaft.

Akhirnya melalui Gramsci, konsep ini mencapai perkembangannya kembali yang cukup

penting. Berbeda dengan Marx dan Hegel, Gramsci melihat masyarakat madani tidak dalam domain

ekonomi namun dalam domain politik dan kultural. Hal ini dapat dijelaskan dalam kaitannya

dengan konsep kunci Gramsci yang lain, yakni tentang hegemoni negara untuk mendominasi dan

mempengaruhi kesadaran masyarakat.

Demikianlah, konsep Gramsci ini kemudian berkembang khususnya di kalangan pemikir sosialis

6 Jean L. Cohen and Andrew Arato, civil society and plitical society (Massachusets: MIT Press, 1992) hal 3

Page 9: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

generasi berikutnya terutama di Italia seperti Louis Althuser, Perry Anderson, dan Norberto Babio,

dan bahkan berpengaruh secara umum sebagai salah satu teori kritis yang memberi inspirasi

gerakan demokrasi tidak terkecuali di Barat.

3. Perwujudan Masyarakat Madani

Nur Cholish Madjid menjelaskan, bahwa istilah masyarakat madani sebenarnya merujuk pada

masyarakat Islam yang pernah dibangun Nabi di negeri Madinah. Perkataan Madani, menurutnya,

dalam bahasa Arab dapat dipahami dari dua sudut pengertian: pertama, secara konvensioanal kata

Madinah dapat bermakna sebagai “kota”, dan kedua, secara kebahasaan dapat berarti “peradaban”,

meskipun di luar kata “madaniyah” tersebut, apa yang disebut peradaban juga berpadan dengan

kata”tamaddan” dan “badlarab”7.

Sebelumnya, apa yang dikenal sebagai kota Madinah itu adalah daerah bernama Yastrib. Nabi-lah

yang kemudian mengubah namanya menjadi Madinah, setelah hijrah ke kota itu. Perubahan nama

dari Yastrib menjadi Madinah, menurut Madjid, pada hakekatnya adalah sebuah pernyataan niat

atau proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berberadaban di kota itu. Dasar-

dasar masyarakat madani inilah, yang tertuang dalam sebuah dokumen “Piagam Madinah” yang

didalamnya menyangkut antara lain wawasan kebebasan, terutama dibidang agama dan ekonomi,

tanggung jawab sosial dan politik, serta pertahanan, secara bersama.

Di kota Madina-lah, Nabi membangun masyarakat berperadaban berlandaskan ajaran Islam,

masyarakat yang bertaqwa kepada Ketuhanan Yang Maha Esa. Semangat ketaqwaan yang dalam

dimensi vertikal untuk menjamin hidup manusia, agar tidak jatuh hina dan nista, bersemangat

rabbaniyah (Al-Imran:79) dan ribbiyah (Al-Imran:146), menurut hablum-minallah, menguatkan

tali hubungan dengan Allah. Sehingga, padanya terpancar pula semangat perikemanusiaan dalam

dimensi horizontal, hablum-mia al-nas, yang memancarkan hubungan antar-manusia yang penuh

budi luhur.

Madjid mengungkapkan beberapa ciri mendasar dari masyarakat madani yang dibangun nabi,

antara lain:

1. Egalitarisme

2. Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuaan, keturunan, ras, dan

sebagainya).

3. Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif.

4. Penegakan hukum dan keadilan

5. toleransi dan pluralisme.

7 Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban (Jakarta: LSAF-PPM, 1996), hlm. 51

Page 10: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

6. Musyawarah

Mengutip Robert N. Bellah, seorang sosiolog agama terkemuka, Madjid mengemukakan

bahwa masyarakat madani yang dibangun Nabi itu merupakan masyarakat yang untuk zaman dan

tempatnya sangat modern, sehingga setelah Nabi wafat tidak bertahan lama. Padahal, Timur Tengah

dan umat manusia saat itu belum siap dengan prasana sosial yang diperlukan untuk menopang suatu

tatanan sosial yang modern yang dirintis Nabi. Masyarakat madani warisan Nabi itu, hanya mampu

bertahan hingga masa Khulafaur Rhasidin, sesudah itu dikukuhkan dengan sistem yang disemangati

kesukuan, yakni tribalisme Arab pra-Islam, dan selanjutnya dikukuhkan dengan sistem geneologis

atau dinasti.

Dalam mewujudkan masyarakat madani, menurut Madjid, dibutuhkan manusia-manusia

yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat Ketuhanan, dengan konsekuensi

tindakan kebaikan kepada sesama manusia. Untuk itu, Nabi telah memberikan keteladanan dalam

mewujudkan ciri-ciri masyarakat madani seperti disinggung di atas. Dalam rangka penegakan

hukum dan keadilan misalnya, Nabi tidak membedakan antara orang atas dan orang bawah. Nabi

menegaskan bahwa hancurnya bangsa-bangsa di masa lalu adalah jika orang atas melakukan

kejahatan dibiarkan, tetapi kalau orang bawah melakukan pastti dihukum. Karena itu, Nabi juga

misalnya menegaskan contoh, bahkan seandainya Fatimah, putri kesayangannya pun melakukan

kejahatan, maka akan dihukumnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Masyarakat madani membutuhkan adanya pribadi-pribadi yang tulus yang mengikatkan jiwa

pada kebaikan bersama. Tetapi, meskipun demikian, komitmen pribadi saja sebenarnya tidak cukup.

Mengingat iktikad baik bukan perkara yang mudah diawasi dari luar diri, sangat subyektif. Maka,

harus diiringi dengan tindakan nyata yang mewujud dalam bentuk amal sholeh. Tindakan ini harus

diterapkan dalam kehidupan kemasyarakatan, dalam tatana kehidupan sosial adalah konsekuensi

lanhsung iktikad baik yang diwujudkan dalam tindakan kebaiakan. Dalam mewujudkan

pengawasan itulah, menurut Madjid, dibutuhkan keterbukaan dalam masyarakat. Mengingat setiap

manusia sebagai makhluk yang lemah mungkin saja mengalami kekeliruan dan kekhilafan (Al-

Nisa:28), maka dengan keterbukaan itu, setiap orang mempunyai potensi untuk menyatakan

pendapat dan untuk didengar, sementara dari pihak yang mendengar ada kesediaan untuk

mendengar dengan rendah hati untuk merasa tidak selalu benar, bersedia mendengar pendapat

orang lain untuk diikuti mana yang terbaik.

Demikianlah, kata Madjid, masyarakat madani antara lain dilihat merupakan masyarakat

demokratis yang terbangun dengan menegakkan musyawarah. Musyawarah pada hakekatnya adalah

interpretasi positif berbagai individu dalam masyarakat yang saling memberi hak untuk menyatakan

pendapat, dan mengakui adanya kewajiban mendengar pendapat itu. Dalam bahasa lain,

musyawarah adalah hubungan interaktif untuk saling mengingatkan tentang kebaikan dan

kebenaran serta ketabahan dalam mencari penyelesaian bersama, dalam suasana persamaan hak dan

kewajiban warga masyarakat. Dalam proses musyawarah itu muncul hubungan sosial yanh luhur

Page 11: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

dilandasi toleransi dan pluralisme. Toleransi dan pluralisme ini tak lain adalah wujud civility, yaitu

sikap kejiwaan pribadi dan sosial yang bersedia melihat diri sendiri tidak selalu benar, meskipun

sesuatu yang tidak selalu benar atas suatu masalah, mungkin berbeda antara pribadi dan kelompok.

Pluralisme dan toleransi ini tak lain pula merupakan wujud dari “ikatan keadaban” (bond of

civility), dalam arti masing-masing pribadi dan kelompok dalam lingkungan yang lebih luas,

memandang yang lain dengan penghargaan, betapapu perbedaa ada, tanpa saling memaksakan

kehendak, pendapat, atau pandangan sendiri.

Pemikiran Noercholish Madjid di sini tampaknya berpijak pada argumentasi normatif. Apa

yang oleh Madjid hendak dikemukakan adalah penegasan mengenai pentingnya nilai-nilai

kemanusiaan yang berlandaskan agama sebagai syarat mutlak yang infebent dengan kehadiran dan

pertumbuhan masyarakat madani. Sebagai entitas sosial, masyarakat madani merupakan kumpulan

manusia yang secara individual mengejawantahkan perilakunya berdasarkan moralitas keagamaan,

baik dalam proses interaksi antar individu maupun secara kolektif.

Berdasarkan urgensi moralitas agama itulah, Madjid tampaknya melihat demokrasi bukanlah

syarat yang mencukupi untuk membangun masyarakat madani. Jika masyarakat madani dipahami

sebagai syarat demokrasi, maka terbentuknya institusi-institusi sosial yang otonom pada gilirannya

akan hanya akan menjadi malapetaka berupa konflik-konflik sosial dam politik yang berbahaya,

apabila setiap individu di dalamnya tidak bersedia saling menunjukkan saling toleransi, termasuk

dalam hubungan antar agama, suku, dan asosiasi-asosiasi masyarakat lainnya. Di sinilah eksistensi

masyarakat madani, karena itu, perilakunya harus mencerminkan keberadaban (civility). Setiap

individu dan kelomok dituntut saling menghargai perbedaan, tanpa merusak integrasi kehidupan

bernegara.

4. Karakteristik Masyarakat Madani

Cukup menarik bahwa penghargaan pada eksistensi individu dalam masyarakat madani

sudah digambarkan secara simbolik pada berbagai ajaran budaya bangsa. Ajaran falsafah

Minangkabau misalnya, menyebutkan bahwa “yang pandai tempat bertanya, yang bodoh untuk

disuruh-suruh, yang tuli untuk pelepas meriam, yang buta untuk penghembus (dedak) lesung, yang

lumpuh untuk menjaga rumah”. Secara simbolis falsafah adat ini memberikan petunjuk akan

perlunya memberikan penghargaan dan tempat-tempat yang wajar kepada setiap individu dalam

kehidupan sosial. Jika diteliti lebih jauh tentu hal senada dengan itu dapat pula ditemukan pada

budaya-budaya suku lainnya di Indonesia.

Sebagai sebuah gagasan tentang sistem kehidupan masyarakat madani, tentu tidak mudah

untuk dicapai. Dibutuhkan beberapa persyaratan agar gagasan tentang masyarakat madani itu dapat

diimplementasikan dengan baik. Persyaratan itu dapat disebutkan sebagai berikut:

1. Pemahaman yang sama (one standart)

Pada tingkat awal sangat perlu adanya pemahaman bersama di kalangan masyarakat, tentang

Page 12: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

apa dan bagaimana karakteristik dari masyarakat yang disebut masyarakat madani itu. Paling tidak

secara konsepsional prinsip-prinsip dasar masyarakat madani itu harus dipahami secara bersama,

sehingga relatif tidak ada lagi yang tidak memahami apa yang digariskan dalam prinsip-prinsip

dasar masyarakat madani tersebut. Masyarakat harus memahami lebih dahulu bagaimana

mekanisme sistem yang terdapat dalam masyarakat madani itu dalam dinamika kehidupan

masyarakat. Dengan pemahaman seperti itu relatif akan menjadi lebih muda bagi masyarakat untuk

melangkahkan kaki selanjutnya untuk menuju persyaratan berikutnya. Karena itu sosialisasi tentang

sistem masyarakat itu perlu dilaksanakan dengan memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada.

2. Keyakinan (confidence) dan saling percaya (social trust)

Menumbuhkan keyakinan di kalangan masyarakat bahwa masyarakat madani adalah

masyarakat pilihan yang terbaik dalam mewujudkan suatu sistem sosial yang dicita-citakan, perlu

dikondisikan. Hanya dengan keyakinan itu proses untuk menuju masyarakat madani dapat

dilakukan. Seiring dengan itu harus pula ditumbuhkembangkan rasa percaya di kalangan

masyrakat. Memang akan sulit sekali bagi terwujudnya cita-cita bersama jika saling percaya di

antara komponen terdapat dalam masyarakat tidak terbentuk dengan baik. Rasa saling percaya

anatara lain, dapat ditumbuhkan dengan meningkatkan rasa keadilan dan kejujuran dalam berbagai

dimensi kehidupan.

3. Satu hati dan saling tergantung

Dengan terbentuknya saling percaya di kalangan masyarakat, pada tahap berikutnya

diperlukan juga kondisi satu hati dalam menentukan arah kehidupan. Sebagai refleksi dari satu hati

akan tergambar dari semakin menguatnya rasa saling tergantung (interdependency) antara individu

dan kelompok dalam masyarakat. Dengan keadaan seperti itu, tingkat saling membutuhkan antar

berbagai segmen masyarakat akan menjadi bagian terpenting dari moral kehidupan masyarakat.

4. Kesamaan pandangan tentang tujuan dan missi

Jika kondisi satu hati dalam masyarakat sudah menunjukkan benih-benih yang

menggembirakan, kesamaan pandangan baik mengenai tujuan dan misi menjadi lebih muda untuk

diwujudkan. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehdupan masyarakat tentu tidak dapat

dinafikan begitu saja, tetapi perbedaan itu bukan untuk diarahkan menjadi suatu yang bersifat

uniformity atau sameness, tetapi dalam wujud unity atau onenees

Jika keempat persyaratan di atas telah dapat dipenuhi, maka akan relatif lebih muda untuk

merumuskan berbagai kebijakan dan strategi untuk mewujudkan masyarakat madani itu. Kunci

utama dari keberhasilan untuk mewujudkan masyarakat yang dicita-citakan itu secara kultural

memang terletak pada persyaratan-persyaratan yang telah disebutkan di atas.

Ada beberapa karakteristik masyarakat madani, diantaranya:

Page 13: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

1. Terintegrasinya individu-individu dan kelompok-kelompok ekslusif kedalam

masyarakat melalui kontrak sosial dan aliansi sosial.

2. Menyebarnya kekuasaan sehingga kepentingan-kepentingan yang mendominasi dalam

masyarakat dapat dikurangi oleh kekuatan-kekuatan alternatif.

3. Dilengkapinya program-program pembangunan yang didominasi oleh negara dengan

program-program pembangunan yang berbasis masyarakat.

4. Terjembataninya kepentingan-kepentingan individu dan negara karena keanggotaan

organisasi-organisasi volunter mampu memberikan masukan-masukan terhadap

keputusan-keputusan pemerintah.

5. Tumbuhkembangnya kreatifitas yang pada mulanya terhambat oleh rejim-rejim

totaliter.

6. Meluasnya kesetiaan (loyalty) dan kepercayaan (trust) sehingga individu-individu

mengakui keterkaitannya dengan orang lain dan tidak mementingkan diri sendiri.

7. Adanya pembebasan masyarakat melalui kegiatan lembaga-lembaga sosial dengan

berbagai ragam perspektif.

8. Bertuhan, artinya bahwa masyarakat tersebut adalah masyarakat yang beragama, yang

mengakui adanya Tuhan dan menempatkan hukum Tuhan sebagai landasan yang

mengatur kehidupan sosial.

9. Damai, artinya masing-masing elemen masyarakat, baik secara individu maupun

secara kelompok menghormati pihak lain secara adil.

10. Tolong menolong tanpa mencampuri urusan internal individu lain yang dapat

mengurangi kebebasannya.

11. Toleran, artinya tidak mencampuri urusan pribadi pihak lain yang telah diberikan oleh

Allah sebagai kebebasan manusia dan tidak merasa terganggu oleh aktivitas pihak

lain yang berbeda tersebut.

12. Keseimbangan antara hak dan kewajiban sosial.

13. Berperadaban tinggi, artinya bahwa masyarakat tersebut memiliki kecintaan terhadap

ilmu pengetahuan dan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan untuk umat

manusia.

14. Berakhlak mulia.

Dari beberapa ciri tersebut, kiranya dapat dikatakan bahwa masyarakat madani adalah

Page 14: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari akan hak-hak dan kewajibannya

dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan kepentingan-kepentingannya; dimana

pemerintahannya memberikan peluang yang seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk

mewujudkan program-program pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani

bukanlah masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted. Masyarakat madani

adalah onsep yang cair yang dibentuk dari poses sejarah yang panjang dan perjuangan yang terus

menerus. Bila kita kaji, masyarakat di negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai

masyarakat madani, maka ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat

madani, yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis) yang dipilih dan berkuasa

secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil yang sanggup menjunjung nilai-nilai

civil security; civil responsibility dan civil resilience).

Apabila diurai, dua kriteria tersebut menjadi tujuh prasyarat masyarakat madani sebagai

berikut:

1. Terpenuhinya kebutuhan dasar individu, keluarga, dan kelompok dalam masyarakat.

2. Berkembangnya modal manusia (human capital) dan modal sosial (socail capital) yang

kondusif bagi terbentuknya kemampuan melaksanakan tugas-tugas kehidupan dan

terjalinya kepercayaan dan relasi sosial antar kelompok.

3. Tidak adanya diskriminasi dalam berbagai bidang pembangunan; dengan kata lain

terbukanya akses terhadap berbagai pelayanan sosial.

4. Adanya hak, kemampuan dan kesempatan bagi masyarakat dan lembaga-lembaga

swadayauntuk terlibat dalam berbagai forum dimana isu-isu kepentingan bersama

dan kebijakan publik dapat dikembangkan.

5. Adanya kohesifitas antar kelompok dalam masyarakat serta tumbuhnya sikap saling

menghargai perbedaan antar budaya dan kepercayaan.

6. Terselenggaranya sistem pemerintahan yang memungkinkan lembaga-lembaga

ekonomi, hukum, dan sosial berjalan secara produktif dan berkeadilan sosial.

7. Adanya jaminan, kepastian dan kepercayaan antara jaringan-jaringan kemasyarakatan

yang memungkinkan terjalinnya hubungan dan komunikasi antar mereka secara

teratur, terbuka dan terpercaya.

Tanpa prasyarat tesebut maka masyarakat madani hanya akan berhenti pada jargon.

Masyarakat madani akan terjerumus pada masyarakat “sipilisme” yang sempit yang tidak ubahnya

dengan faham militerisme yang anti demokrasi dan sering melanggar hak azasi manusia. Dengan

kata lain, ada beberapa rambu-rambu yang perlu diwaspadai dalam proses mewujudkan masyarakat

madani.

Page 15: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

Rambu-rambu tersebut dapat menjadi jebakan yang menggiring masyarakat menjadi sebuah

entitas yang bertolak belakang dengan semangat negara-bangsa8:

1. Sentralisme versus lokalisme. Masyarakat pada mulanya ingin mengganti prototipe

pemerintahan yang sentralisme dengan desentralisme. Namun yang terjadi

kemudian malah terjebak ke dalam faham lokalisme yang mengagungkan mitos-

mitos kedaerahan tanpa memperhatikan prinsip nasionalisme, meritokrasi dan

keadilan sosial.

2. Pluralisme versus rasisme. Pluralisme menunjuk pada saling penghormatan antara

berbagai kelompok dalam masyarakat dan penghormatan kaum mayoritas

terhadap minoritas dan sebaliknya, yang memungkinkan mereka mengekspresikan

kebudayaan mereka tanpa prasangka dan permusuhan. Ketimbang berupaya untuk

mengeliminasi karakter etnis, pluralisme budaya berjuang untuk memelihara

integritas budaya. Pluralisme menghindari penyeragaman. Karena, seperti kata

Kleden, “…penyeragaman adalah kekerasan terhadap perbedaan, pemerkosaan

terhadap bakat dan terhadap potensi manusia.”

Sebaliknya, rasisme merupakan sebuah ideologi yang membenarkan dominasi satu

kelompok ras tertentu terhadap kelompok lainnya. Rasisme sering diberi

legitimasi oleh suatu klaim bahwa suatu ras minoritas secara genetik dan budaya

lebih inferior dari ras yang dominan. Diskriminasi ras memiliki tiga tingkatan:

individual, organisasional, dan struktural. Pada tingkat individu, diskriminasi ras

berwujud sikap dan perilaku prasangka. Pada tingkat organisasi, diskriminasi ras

terlihat manakala kebijakan, aturan dan perundang-undangan hanya

menguntungkan kelompok tertentu saja. Secara struktural, diskriminasi ras dapat

dilacak manakala satu lembaga sosial memberikan pembatasan-pembatasan dan

larangan-larangan terhadap lembaga lainnya.

1Elitisme dan communalisme. Elitisme merujuk pada pemujaan yang berlebihan

terhadap strata atau kelas sosial berdasarkan kekayaan, kekuasaan dan prestise.

Seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kelas sosial tinggi kemudian

dianggap berhak menentukan potensi-potensi orang lain dalam menjangkau

sumber-sumber atau mencapai kesempatan-kesempatan yang ada dalam

masyarakat.

5. Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani (Indonesia)

Secara ideal, hukum diharapkan mampu berfungsi sebagai pengendali perilaku manusia dan

mengarahkannya pada berbagai kreasi dan aksi yang positif. Idealis itu telah mengendap sejak

manusia meniti zaman primitif. Pada masa kini, hukum berfungsi untuk: (1) memelihara kedamaian

8 Google, Madani dan Kesejahteraan Umat 15-01-2010 jam 15.00

Page 16: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

masyarakat, (2) menekan tindak kejahatan dan kekerasan, (3) menjaga kekayaan, dan (4)

mensosialisasikan ukuran-ukuran moral dalam berbagai bentuk hubungan manusia atas dasar

persaudaraan dan persahabatan. Sayang, idealis itu lebih bersering berbenturan dengan realitas

kehidupan yang sebaliknya. Sejarah Nabi Adam a.s telah menunjukkan bukti, betapa manusia tidak

selalu tunduk pada hukum. Putera pertamanya, Qabil, bukan saja tidak mematuhi hukum atau auran

yang telah ditetapkan nabi pertama itu. Ia bahkan tega membunuh adik kandungnya sendiri , Habil.

Sejarah peradaban modern juga tidak terhindar dari serangkaian tindakan kriminal yang

seolah tidak terputus, bahkan berkesinambungan dan berkelanjutan. Kejahatan rupanya memang

diakdirkan sebagai kawan karib kebajikan yang termuat dalam perjalanan manusia. Ibarat dua sisi

mata uang, keduanya berjalan seiring, berpacu dan berlomba saling mengalahkan. Kejahatan dan

kebajikan adalah realitas sejarah yang terpola dalam pradigma dialetik. Karena itu, rumusan filsafat

manusia terbelah menjadi dua ragam. Sekelompok filsuf memandang manusia sebagai makhluk

baik, namun ada juga sekelompok filsuf yang memandang manusia dari sisi negatif. Filsuf

rasionalis mewakili kelompok pertama dan Thomas Hobbes dianggap sebagai ahli filsafat yang

menganggap manusia ibarat serigala yang saling mencakar.

Perbincangan tentang hukum dan perubahan sosial bermuara pada masalah jarak antara

perilaku sosial aktual dan perilaku yang dituntut oleh dan sejalan dengan norma hukum. Kelsen,

dalam Law and Social Change, mengatakan, adanya ketegangan antara perilaku aktual dan perilaku

yang sejalan dengan hukum maupun perilaku yang dikehendaki hukum dan perilaku yang dituntut

oleh dan sejalan dengan moral merupakan karakteristik hukum yang terdapat di semua masyarakat.

Ketegangan tertentu itu kemudian melahirkan jarak antara hukum dan perubahan sosial, terutama

jika hukum dinilai tidak mampu menjawab berbagai kebutuhan yang muncul akibat dari perubahan-

perubahan sosial penting atau manakala perilaku sosial dan rasa obligasi mendapatkan norma-

norma hukum yang secara signifikan berbeda dengan perilaku yang dikehendaki hukum. Dengan

kata lain, jika tertentu antara perilaku aktual dan perilaku yang dikehendaki hukum ditemukan

dalam suatu masyarakat, konsep jarak antara hukum dan perubahan sosial itu terjadi dalam berbagai

situasi dinamis, setelah perubahan sosial lain dalam hukum terjadi dan tak ada perubahan paralel

dan proses penyesuaian dalam hukum atau masyarakat secara beruntun.

Dari sudut teori, suatu produk hukum yang ideal dan baik adalah jika memnuhi unsur (a)

filosofis yakni mencerminkan pandangan hidup masyarakat, (b) sosiologis, yakni sesuai dengan

konteks sosial budaya dan (c) yuridis, yakni memilih uatan nilai-nilai asasi hukum seperti yang

terdapat dalam asas keadilan, kesetaraa (equality). Friedman mengedepankan unsur lain yakni

refleksi kemanusiaan sebagai individu dalam komunitas masyarakat dan sebagai insan politik.

Perumusan hukum melalui pembentukan undang-undang (skala publik, berlaku umum) maupun

melalui yurisprudensi (skala privat putusan hakim) haruslah memperhatikan fungsi dan tujuan

hukum. Pada dasarnya fungsi hukum adalah memberikan proteksi terhadap individu dan

masyarakat dalam berbagai aspek kepentingannya. Untuk menjalankan fungsi ini, Algra

mengemukakan bahwa hukum harus mampu mendristibusikan hak dan kewajiban diantara anggota

Page 17: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

masyarakat. Fungsi lain dari hukum adalah sebagai patokan normatif bagi penyelesaian konflik.

Pembukaan UUD 1945 sebagai dokumen historis filosofis, memuat arah perjalanan bangsa

yang pada alenia keempat terdapat kata-kata kunci mengenai tujuan negara, yakni melindungi

segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia untuk memajukan kesejahteraan

umum, mencerdaskan kehidupan bangsa di atas nilai-nilai kemerekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial. Dalam kerangka demikian secara teologis, tujuan hukum adalah mewujudkan

keadilan sosial. Maka untuk merealisir tujuan hukum, reformasi hukum merupakan kebutuhan

mendasar. Reformasi bukan sekedar mengganti sebagian atau keseluruhan prodk hukum yang

dianggap konservatif dan anti demokrasi, namun yang terpenting ialah perumusan kembali

(redefinisi, tajdid) dimensi filosofi hukum dasar kita. Pada tahap kemudian diikuti dengan tahapan

mengintervantarisir seluruh produk hukum publik yang tidak senafas dengan perumusan tadi.

Jika melihat melihat praktik pembentukan hukum publik selama era orba, sebagaimana

sebagian kecil digambarkan diatas, nampak sekali dominasi pengaruh elit politik dalam proses

pembentukannya. Hukum yang bermuatan nilai keadilan yang bersifat abstrak yang menuntut

perumusan operasional oleh ahli hukum yang memiliki tingkat penguasaan yang mendalam, sudah

sejak dahulu kala di awal orba seharusnya dapat dirumuskan ke dalam berbagai produk

prerundangan yang antara lain berfungsi mendistribusikan hak dan kewajiban. Namun, karena tidak

dilakukan akibat pengaruh kekuasaan yang sentralistik, akhirnya justru sebaliknya yang terjadi.

Reformasi hukum perlu dibaca sebagai upaya strategis, konseptual dan komprehensip,

untuk men-tajdid pengertian-pengertian dasar mengenai hukum, dari aspek asas-asas (aspek

filsafati), fungsi dan tujuannya. Konseptualisasi aspek-aspek ini, perlu diletakkan dalam kerangka

konsep masyarakat madani. Elemen-elemen fundamental pranata hukum positif yang perlu segera

direformai mencakup:

pertama: Penyempurnaan rumusan Pembukaan UUD1945, dengan penambahan/penegasan

mengenai HAM di dalamnya. Kedua: Perubahan terhadap bagian batang tubuh UUD1945 yang

dianggap tidak demokratis dan usang, dengan mengintegrasikan secara eksplisit ruh demokrasi,

kemerekaan berserikat, keadilan sosial, pembatasan kekuasaan presiden, hak otonomi proposional

pemerintah daerah, hak otonomi dan kemandirian ormas dan orsospol, kekuasaan kehakiman yang

bebas, mandiri dan terlepas dari unsur maupun pengaruh eksekutif, serta kedudukan dan peran

ABRI sebagai abdi rakyat yang perlu dihindarkan dari penyalahgunaan perannya oleh eksekutif.

Ketiga: Perlu segera penyusunan RUU yang bermuatan semangat demokrasi ekonomi, untuk

mencegah bangkitnya neo-partrimonialism dan menutup pintu praktik kartel-kartel kekuatan

ekonomi oleh elit politik, elit bisnis, dan elit militer melalui praktek korupsi, kolusi dan nepotisme.

6. Membangun Masyarakat Madani Melalui Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

(Indonesia).

Pengembangan masyarakat madani (civil society) menjadi perhatian tidak saja di kalangan

Page 18: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

cendekiawan tetapi pemerintah dan masyarakat (terdidik) yang lebih luas, yang semakin menyadari

pentingnya masyarakat madani dalam rangka mewujudkan sistem politik dan ekonomi yang lebih

demokratis. Semangat reformasi menjadi pendorong utama pada saat ini bagi upaya pengembangan

masyarakat madani di Indonesia. Dilihat dari aspek ekonomi, penciptaan dan pengembangan

masyarakat madani berarti menciptakan dan mengembangkan sistem perekonomian yang

memberikan kesempatan yang sama kepada pelaku ekonomi. Namun, pada saat terjadi ketimpangan

baik dalam pendapatan, penguasaan asset, maupun kesempatan berusaha, campur tangan

(intervensi) pemerintah sangat penting untuk menciptakan sistem yang fair sehingga tercipta

pemerataan dan keadilan di dalam masyarakat.

Sistem ekonomi yang diwarisi rezim orde baru adalah sistem ekonomi yang dicirikan oleh

ketimpangan penguasaan asset yang tinggi, ketimpangan pendapatan, dan kesempatan usaha yang

hanya menguntungkan kelompok pengusaha yang dekat dengan penguasa. Tentu saja dalam usaha

menciptakan masyarakat madani, sistem ekonomi yang demikian harus diubah untuk memberikan

kesempatan keterlibatan masyarakat yang lebih luas. Secara struktural, munculnya barier to entry

bagi kalangan masyarakat luas untuk ikut berkecimpung dalam bidang usaha yang selama Orde

Baru dimonopoli elit tertentu.

Kesempatan yang lebih luas bagi unit-unit usaha berskala kecil, menengah dan koperasi

dalam kegiatan usaha, dan peningkatan kesejahteraan bagi rumah tangga miskin menjadi keharusan

dalam usaha menciptakan masyarakat madani. Dalam pengertian ini maka ekonomi kerakyatan

memegang peranan utama, karena dengan begitu maka pemerataan yang lebih luas demokrasi

ekonomi dapat berkembang dengan baik. Tentu saja usaha mengembangkan ekonomi kerakyatan

pada saat ini tidak terlepas dari usaha kita keluar dari krisis ekonomi, dan di masa yang akan datant

berkaitan erat dengan upaya melakukan penyembuhan ekonomi (ekonomic recovery) dan

transformasi ekonomi9.

Pengembangan ekonomi kerakyatan dalam rangka membangun masyarakat madani

membutuhkan kerangka campuran antara campur tangan pemerintah untuk membangun basis

ekonomi rakyat dan diimplementasikan di dalam sistem persaingan pasar yang memberikan

kesempatan unit-unit usaha bersaing dengan fair dan effisien. Demokratisasi politik sebagai pilar

lain dari masyarakat madani juga membuka peluang bagi demokratisasi ekonomi. Tantangannya

adalah bagaimana mentransformasi konstituensi dan mandat politik mendukung upaya-upaya

mengembangkan ekonomi rakyat. Dengan sistem politik yang lebih demokratis, maka lembaga

perwakilan rakyat dapat mengeluarkan UU persaingan sehat dan perlindungan usaha kecil yang

dilaksanakan secara praktis. Selain itu lembaga perwakilan juga dapat mendesak pemerintah untuk

mendukung perkembangan unit-unit ekonomi rakyat.

Usaha mengembangkan masyarakat madani mengahadapi tantangan kuat terutama dari

pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh ketimpangan penguasaan asset dan sistem politik

9 Ibid Taufik Abdullah hal 228

Page 19: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

yang otoriter. Hambatan juga datang dari bagian masyarakat sendiri yang beranggapan bahwa

pengembangan masyarakat madani dikhawatirkan memberikan kesempatan terlalu besar kepada

umat Islam sebagai mayoritas mendominasi politik dan mungkin selanjutnya perekonomian.

Tantangan ini harus kita hadapi baik secara persuasif dengan semakin giat memberikan argumentasi

kuat dan rasional pentingnya masyarakat madani yang tidak hanya menguntungkan bagian

masyarakat tertentu, tetapi juga seluruh bangsa Indonesia. Kesempatan untuk mengembangkan

masyarakat madani sekarang terbuka luas. Tinggal bagaimana kita mengembangkan konsepsi yang

jelas dan tepat dengan keadaan dan menerapkannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari.

C. PENUTUP

Membangun masyarakat madani memerlukan perubahan-perubahan yang mendasar pada

pemerintah dan birokrasinya. Masyarakat madani akan bisa dikembangkan dengan baik kalau kita

bisa mengubah format pemerintah dan birokrasi menjadi kondusif bagi munculya institusi-institusi

yang mandiri dan bebas dari intervensi pemerintah. Untuk itu redefinisi peran pemerintah perlu

dilakukan. Pemerintah yang besar dan didukung oleh birokrasi dan intervensionis cenderung

mempersempit ruang publik yang diperlukan bagi berkembangnya institusi-institusi itu.

Keterlibatan pemerintah dalam kehidupan politik dan ekonomi masyarakat perlu dikurangi sampai

pada suatu titik di mana keterlibatannya itu memang diperlukan oleh masy dan bisa memperbaiki

efisiensi dan efektivitas masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya.

Masyarakat madani juga menuntut pamerintah sedapat mungkin bersifat all-inclusive, yang

mengakomodasikan keragaman yang ada dalam masyarakat dan mampu menfasilitasi kelompok

yang berbeda itu untuk berperan serta secara optimal dalam kegiatan ekonomi dan politik. Untuk

itu praktik-praktik kebijakan yang selama ini tidak sensitif terhadap problema dan kendala yang

dihadapi kelompok minoritas dan terbelakang perlu dihindari. Dalam kasusu tertentu pemerintah

perlu lebih proaktif dalam mendorong partsisipasi mereka sehingga konflik antar kelompok dan

etnis bisa dihindari.

Akhirnya, masyarakat madani juga memerlukan reorientasi dan demokratisasi dalam

kehidupan pemerintah dan birokrasi publik. Demokratisasi ini bisa dilakukana melalui pelibatan

warga negara secara langsung dalam kegiatan pemerintah dan pelayanan publik, melalui

pembentukan governance bodies, refrendum, dan mekanisme lainnya yang memungkinkan mereka

secara langsung terlibat dalam pengambilan keputusan. Ia bisa juga dilakukan melalui redistribusi

kekuasaan kepada satuaan dan institusi lainnya sehingga check and balance bisa diwujudkan. Kalau

semua ini dapat dilakukan maka kita bisa berharap masyarakat madani bisa tumbuh dan

berkembang di Indonesia.

Page 20: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Taufik, Indra Samago Membangun Masyarakat Madani (progam pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Malang) Yogyakarta

Adi Suryadi Culla Masyarakat Madani pemikiran, teori, dan relevansinya dengan cita-cita reformasi (PT Raja Grafindo Persada) Jakarta

Arfani, Riza Noer. Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: CV. Rajawali, 1997) Budiman, Arief. State and Civil Society in Indonesia (Australia: Monash University, 1990) Google, Madani dan Kesejahteraan Umat 15-01-2010 jam 15.00 Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil-Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung:

Mizan, 1995 ) Hikam, Muhammad A.S. Demokrasi dan Civil Society (Jakarta : LP3ES, 1997) Huwaydi, Fahmi. Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani (Bandung: Tiara Wacana,

1993) Jean L. Cohen and Andrew Arato, Civil Society and Political Theory (Massachusets: MIT

Press, 1992) Mas'oed, Mokhtar. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru (Jakarta: LP3S, 1989) Moh. Machfud MD. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 1993) Moertopo, Ali. Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun (Jakarta: CSIS, 1972) Nurcholish Madjid, Menuju Masyarakat Madani dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban

(Jakarta: LSAF-PPM, 1996) Rahardjo, M Dawam. Agama dan Masyarakat Madani (Jakarta: LSAF Kerjasama dan

Kompas dan Paramadina, 1996) Sudarsono, Juwono. Pembangunan Politik dan Perubahan politik (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia,1991) Thaha, Abdul Aziz. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insani

Press, 1996) Tobroni dan Syamsul Arifin. Islam Pluralisme Budaya dan Politik (Yogyakarta SI Press,

1994)

Page 21: A. PENDAHULUAN Masyarakat Madani (Civil Society) Sudah