perilaku beragama kalangan pengemis muslim

35
PERILAKU BERAGAMA KALANGAN PENGEMIS MUSLIM DI DUSUN WANTEYAN GRABAG MAGELANG Faishal Hanif Alumni Program Studi Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ABSTRAK Penelitian ini mengeksplorasi tentang masyarakat di Dusun Wanteyan Desa Lebak Grabag Magelang, khususnnya dalam hal kegiatan mengemis. Studi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa mengemis bukan lagi merupakan solusi instan bagi permasalahan perekonomian mereka, melainkan telah menjadi pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Kajian penelitian ini berupaya menjawab dua persoalan utama, yakni faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi sebagian masyarakat dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana pengaruh menjadi pengemis terhadap perilaku beragamanya. Penelitian ini menemukan bahwa orang-orang Dusun Wanteyan menganggap, menjadi pengemis tidak berlawanan dengan hukum dan bukan profesi miskin. Proses internalisasi dan sosialisasi profesi mengemis dikuatkan melalui anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya. Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa kegiatan mengemis berpengaruh terhadap perilaku beragamanya. Hal tersebut terjadi akibat lemahnya pengetahuan keaagaman mereka serta minimnya

Upload: ameersabry

Post on 02-Aug-2015

152 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

PERILAKU BERAGAMA KALANGAN PENGEMIS MUSLIM

DI DUSUN WANTEYAN GRABAG MAGELANG

Faishal Hanif

Alumni Program Studi Sosiologi Agama

Fakultas Ushuluddin

UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

ABSTRAK

Penelitian ini mengeksplorasi tentang masyarakat di Dusun Wanteyan Desa Lebak Grabag

Magelang, khususnnya dalam hal kegiatan mengemis. Studi ini dilandasi oleh kenyataan bahwa

mengemis bukan lagi merupakan solusi instan bagi permasalahan perekonomian mereka,

melainkan telah menjadi pekerjaan tetap untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kajian penelitian ini berupaya menjawab dua persoalan utama, yakni faktor-faktor apa saja yang

melatarbelakangi sebagian masyarakat dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana

pengaruh menjadi pengemis terhadap perilaku beragamanya. Penelitian ini menemukan bahwa

orang-orang Dusun Wanteyan menganggap, menjadi pengemis tidak berlawanan dengan hukum

dan bukan profesi miskin. Proses internalisasi dan sosialisasi profesi mengemis dikuatkan

melalui anggota keluarga dan lingkungan sekitarnya.

Dalam penelitian ini juga terungkap bahwa kegiatan mengemis berpengaruh terhadap perilaku

beragamanya. Hal tersebut terjadi akibat lemahnya pengetahuan keaagaman mereka serta

minimnya kesadaran terhadap penghayatan keaagamaannya, sehingga apa yang mereka lakukan

hanya berdasarkan kemauannya sendiri tanpa melihat norma sosial maupun norma agama yang

mereka yakini. Sebagai catatan akhir, studi ini menyimpulkan bahwa mengemis yang dilakukan

warga dusun wanteyan masih dipertahankan oleh beberapa pihak, yakni keluarga dan

masyarakat.

Pendahuluan

Kemiskinan merupakan salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi problem nasional

pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dari sebagian warga masyarakat desa yang taraf hidupnya

masih rendah. Sejak orde baru hingga terjadinya krisis multi-dimensional pada tahun 1998

Page 2: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

sampai sekarang, banyak dijumpai kasus-kasus kemiskinan yang terjadi di perkotaan maupun di

daerah pedesaan. Daerah pedesaan salah satunya, daerah pedesaan yang diharapkan sebagai

daerah yang produktif dan juga sebagai sentra pertanian dengan hasil bumi yang sangat

melimpah, namun sampai sekarang masalah kemiskinan dan ketimpangan sosial masih terjadi

dan ini merupakan salah satu masalah yang sampai sekarang belum terselesaikan.

Pada umumnya orang memakai istilah kemiskinan atau kemelaratan tidak mengetahui arti yang

sesungguhnya. Bahwa sebenarnya istilah miskin tersebut sangat jelas artinya, yaitu dimana

kebutuhan – kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi, pendapatan yang rendah atau kehidupan

yang berada dibawah garis kemiskinan. Begitu, pula orang yang dianggap miskin juga jelas yaitu

; gelandangan, pengemis, pedagang asongan, buruh harian dan sebagainya (Banawirartama &

Muller, 1993: 124). Dalam perspektif mikro, kompleksitas kemiskinan terkait dengan keadaan

individu yang relatif memiliki keterbatasan untuk keluar dari jerat kemiskinan. Diantaranya,

seperti lamban dalam bekerja keras, tidak memiliki keahlian, keterbatasan finansial dan lain

sebagainya. Sedangkan dalam tatanan makro, kemiskinan yang dipengaruhi oleh struktur sosial

yang ada, itu ditandai dengan adanya keterbatasan peluang dan kesempatan untuk bekerj,

(Bagong Suyanto, 1996:2).

Masalah kemiskinan merupakan sesuatu yang nyata ada dalam kehidupan masyarakat sehari-

hari. Dalam kehidupan bermasyarakat, kemiskinan menjadi suatu problema sosial, karena

persoalan ini mempengaruhi setiap aspek kehidupan manusia dan juga tidak menutup

kemungkinan terjadi tindakan yang bertolak belakang terhadap perilaku keagamaan seseorang,

(Yusuf Qardhawi, 1996 : 13) Sejak dari dulu hingga sekarang umat manusia memiliki sikap yang

berlainan terhadap kemiskinan, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Yusuf Qardhawy dalam

bukunya “ Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan “ bahwa ada beberapa sikap

terhadap kemiskinan diantaranya sikap golongan pemuja kemiskinan, sikap kaum fatalis, sikap

pendukung kemurahan individu, sikap kapitalisme dan sikap sosialisme. Yusuf Qardhawi,1996).

Agama dalam hal ini menjadi mempunyai arti penting bagi kehidupan umat beragama, sebab

agama dapat memberikan bimbingan yaitu pengalaman yang telah ditanamkan sejak kecil,

sehingga dari keyakinan dan pengalaman tersebut akan memudahkan dalam menghadapi

persoalan. Selain itu agama dapat dijadikan penolong dalam kesukaran dan kesusahan, ketika

menghadapi kekecewaan, agama dapat menentramkan jiwa dan batin seseorang. (Zakiah Derajat,

19885: 6). Agama juga berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam membina

Page 3: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

hubungan dengan Tuhan, hubungan dengan manusia dan hubungan dengan alam sekitarnya.

Sedangkan menurut Murtadlo Muthahari, moral dan agama mempunyai hubungan yang sangat

erat, karena agama merupakan dasar tumpuan akhlak dan moral, tidak ada sesuatu selain agama

yang mampu mengarahkan pada tujuan yang agung dan terpuji. (Murtadlo Muthahari, 1984: 15)

Dusun Wanteyan yang terletak di daerah perbukitan dan berada dikaki gunung Merbabu,

tepatnya disebelah utara kota Magelang. Desa ini merupakan salah satu desa dengan lahan

pertanian yang tergolong subur dengan hasil bumi yang melimpah. Dusun Wanteyan yang

dulunya hanya terdapat berberapa rumah dengan bangunan sederhana, sekarang telah banyak

berdiri rumah warga dengan berbagai bentuk. Dari yang sangat sederhana hingga yang berbentuk

modern, bahkan saat ini banyak rumah yang berlantai berkeramik. Tetapi dibalik itu masih

banyak juga rumah warga yang belum memenuhi standar, yaitu hanya dengan bangunan yang

sangat sederhana dan tanpa dilengkapi sanitasi yang baik.

Di tengah – tengah pemukiman warga dusun Wanteyan terdapat sebuah masjid yang berdiri

sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Masjid yang dibangun oleh orang tua atau leluhur desa

tersebut merupakan salah satu tempat untuk ibadah bagi warga setempat. Masjid tersebut

digunakan tidak hanya sebagai tempat beribadah, namun juga digunakan sebagai sentra kegiatan

keagamaan yang lainnya. Berdirinya Masjid ini menunjukkan sebuah identitas bahwa manusia

dalam berhubungan dengan Ilahi ( vertical ) lewat sarana masjid ini. Masjid selain menjadi

tempat ritual komunikasi manusia dengan Tuhannya dan juga berfungsi sebagai hubungan antar

sesama manusia.

Salah satu akibat dari faktor kemiskinan yang menimpa pada masyarakat di dusun Wanteyan,

menyebabkan terjadinya ketimpangan ekonomi maupun sosial. Sehingga akhirnya muncul

tindakan yang tidak sewajarnya atau menyimpang dari norma – norma yang ada. Salah satu

fenomena yang terjadi yaitu dengan munculnya pengemis dari dusun Wanteyan. Mereka mengais

rejeki di kota - kota besar dengan cara meminta - minta.

Fenomena munculnya pengemis disini dapat diindikasikan karena himpitan ekonomi yang

disebabkan sempitnya lapangan pekerjaan, sumber daya alam yang kurang menguntungkan dan

lemahnya sumber daya manusia (SDM). Menjamurnya jumlah pengemis di setiap kota di

Indonesia, sehingga sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan sebuah

persepsi yang kurang menyenangkan, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun dari sisi Agama.

Page 4: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab dua rumusan

masalah sebagai berikut:

1. Faktor–faktor apa saja yang menyebabkan sebagian masyarakat Dusun Wanteyan hidup

menjadi pengemis ?

2. Bagaimana pengaruh profesi menjadi pengemis terhadap perilaku keberagamaannya ?

Tinjauan tentang Kemiskinan

Secara etimologis kata kemiskinan diambil dari akar kata miskin yang berarti tidak berharta,

kekurangan dalam hidup yaitu dengan penghasilan yang rendah. Tim Penyusun Kamus Pusat

Pembinaan dan pengembangan Bahasa, 1991: 587 Istilah kemiskinan biasa digunakan untuk

menunjukkan dimana kebutuhan pokok yang tidak terpenuhi dan pendapatan yang sangat rendah.

Begitu pula orang yang dianggap miskin biasa identik dengan gelandangan, pengemis, buruh

harian, pedagang kaki lima dan lain sebagainya. Namun tidak sesederhana itu dimana

kemiskinan mempunyai banyak segi dan dimensi mulai dari yang bersifat material sampai segi

rohaniah, sehingga sulit untuk menemukan dan menentukan tolak ukur yang tepat mengenai

kemiskinan.

Ajaran Islam mengajarkan masalah hidup didunia ini secara realistik sesuai dengan fitrah

manusia. Manusia hidup didunia ini memerlukan makanan, sandang, dan tempat tinggal yang

wajar, karena ini merupakan keperluan hidup yang paling pokok. Rasulullah telah menegaskan

bahwa manusia memiliki tiga hal, yakni rumah atau kediaman yang layak bagi dirinya dan

keluarganya, makanan yang memenuhi syarat pokok dalam kualitas dan kuantitas, serta air

bersih yang dapat mencegah dahaga dan menyehatkan tubuh dan lingkungannya, (Nabil Subhi

At-Thawil, 1993: 36).

Namun sangat disayangkan apabila disalah satu fihak, bahwa ajaran-ajaran Islam yang telah

memberi motivasi yang kuat dalam perkembangan ekonomi melalui pemeluk–pemeluknya,

sedangkan dilain fihak dengan pemahaman agama yang sempit oleh para penganutnya, justru

menjadikan penghambat kemajuan dengan mengecilkan orientasi kepada nilai-nilai melihat

kedepan dan pengejaran keberhasilan dunia. Akibatnya bisa dilihat banyak umat Islam yang

hidup dalam taraf miskin, menjadi peminta-minta, gelandangan dan label-label kemiskinan yang

lainnya.

Page 5: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Dilihat dari luasnya ruang lingkup dan dimensi kemiskinan, maka tiap-tiap disiplin ilmu

pengetahuan memiliki pandangan yang berbeda tentang kemiskinan. Dilihat dari sudut pandang

ekonomi, kemiskinan dianggap sebagai masalah dengan beberapa alasan, diantaranya yaitu :

kemiskinan merupakan rendahnya permintaan agregat, kemiskinan terkait dengan rasio capital

atau tenaga kerja yang rendah sehingga mengakibatkan produktivitas tenaga kerja yang tidak

maksimal dan kemiskinan menyebabkan pemanfaatan sumberdaya terutama SDM dalam hal ini

tenaga kerja yang tidak produktif.

Sedangkan ditinjau dari sudut sosial, kemiskinan merupakan satu ciri lemahnya potensi suatu

masyarakat untuk berkembang. Disamping itu kemiskinan berhubungan dengan aspirasi yang

sempit dan pendeknya horizon dengan

wawasan kedepan suatu masyarakat. Adapun disiplin politik mengkaji masalah kemiskinan,

ketergantungan dan eksploitasi suatu kelompok masyarakat adalah tidak adil dan bahaya jika

nasib masa depan mereka ditentukan oleh kelompok masyarakat yang lain. Kemiskinan yang

menimpa pada sekelompok masyarakat tertentu, sehingga akan menimbulkan suatu kesenjangan

yang lebih parah daripada kemiskinan itu sendiri, (Felik Sitorus, 1996: 46).

Menurut Ellis G.P.R., bahwa dimensi – dimensi yang terkait dengan kemiskinan ada tiga macam

yaitu :

- Kemiskinan berdimensi Ekonomi atau Material. Dimensi ini menjadi kebutuhan dasar manusia

yang bersifat material. Seperti sandang, papan, pangan, dan kesehatan.

- Kemiskinan berdimensi Sosial Budaya Lapisan yang secara ekonomi miskin akan membentuk

kantong- kantong kebudayaan yang disebut “Budaya Kemiskinan“ demi kelangsungan hidup

mereka.

- Kemiskinan berdimensi Struktural atau Politik Yaitu orang yang mengalami kemiskinan

structural atau poltik, kemiskinan ini terjadi karena orang miskin tersebut tidak memiliki sarana

untuk terlibat proses politik dan tidak memiliki kekuatan politik sehingga menduduki struktur

sosial yang paling bawah, (Amin Rais 1995: 31-32)

Tinjauan tentang Pengemis

Secara bahasa kata pengemis sebenarnya tidak ada kata bakunya. Pengemis merupakan arti dari

seseorang yang mencari uang dengan cara meminta-minta kepada orang lain. Pengemis juga

diidentikkan sebagai golongan miskin yang tidak berharta, kekurangan dalam memenuhi

Page 6: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

kebutuhan hidup. Begitu pula yang dianggap seseorang miskin, yaitu identik dengan dengan

gelandangan pengemis dan lain sebagainya. Namun kemiskinan mempunyai banyak segi dan

dimensi. Mulai yang bersifat material sampai segi rohaniah, sehingga tidak mudah untuk

menemukan tolak ukur yang tepat mengenai kemiskinan dari sosok pengemis tersebut.

Menurut Departemen Sosial R.I, “ Pengemis” adalah orang-orang yang mendapat penghasilan

dari meminta-minta di muka umum dengan berbagai alasan untuk mengharapkan belas kasihan

dari orang. (Dikutip dari website. http.www.depsos.go.id 15 November 2002. diakses 22 Januar

2009). Semantara menurut Muthalib dan Sudjarwo dalam Ali, dkk. diberikan tiga gambaran

umum pengemis dan gelandangan, yaitu (1) sekelompok orang miskin atau dimiskinkan oleh

masyaratnya, (2) orang yang disingkirkan dari kehidupan khalayak ramai, dan (3) orang yang

berpola hidup agar mampu bertahan dalam kemiskinan dan keterasingan.

Dengan mengutip definisi operasional Sensus Penduduk, pengemis hanya mengharapkan belas

kasihan orang lain, dengan cara seperti itu mereka dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari-

hari, dibandingkan dengan seorang gelandangan yang tidak mempunyai tempat tinggal yang

tetap maka kalau pengemis tidak tertutup kemungkinan golongan ini mempunyai tempat tinggal

yang tetap.

Tinjauan tentang Perilaku Beragama

Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.

(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1995: 755). Keberagamaan merupakan suatu padanan

kata atau terjemahan dari bahasa Inggris yaitu “Religiosity, (Jalaluddin Rahmat, 1985: 92).

Dalam menganalisa fungsi-fungsi sosial dari tingkah laku keberagamaan, diperlukan kehati-

hatian dalam membedakan antara yang ingin dicapai oleh anggota-anggota suatu kelompok atau

pemeluk tertentu dan akibat yang tidak dikehendaki dari tingkah laku mereka dalam masyarakat.

(Pius Artanto dan Dahlan Al-Barry, 1994: 472)

Manakala kita mengatakan bahwa seseorang itu beragama maka sebutan tersebut dapat

bermakna banyak. Keyakinan-keyakinan terhadap doktrin-doktrin agama, etika hidup, kehadiran

dalam upacara peribadatan pandangan dan banyak lagi tindakan-tindakan lain. Kondisi-kondisi

semua itu dapat menunjukkan kepada suatu ketaatan dan komitmen terhadap agama. Dengan

Page 7: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

refleksi diatas maka jelaslah aneka ragam makna yang dihubungkan dengan istilah beragama

dapat saja berarti aspek - aspek gejala yang sama walau tak sepenuhnya sinonim, (Elizaabeth K

Nottingham, 1997: 32).

Perilaku keberagamaan adalah proses tingkah laku seseorang yang didasari dengan ajaran-ajaran

agama tertentu yang bersumber langsung atau tidak langsung kepada nash. Dalam penelitian ini

obyek kajian adalah masyarakat yang beragama Islam. Sehingga ajaran-ajaran Islam merupakan

motivator terhadap kehidupan sehari-hari. Dari definisi di atas dapat ditarik kesimpulan kecil

bahwa masyarakat miskin khususnya pengemis di Dusun Wanteyan meyakini ajaran-ajaran

agama Islam sebagai pedoman hidup, namun perilaku-perilaku yang nampak dalam kehidupan

sehari-hari ada persoalan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama.

Seorang ahli sosiologi kontemporer Amerika yang bernama Yinger, mendefinisikan agama

melalui pendekatan fungsional yaitu agama merupakan system kepercayaan dan peribadatan

yang digunakan oleh berbagai bangsa dalam perjuangan mereka untuk mengatasi masalah –

masalah tertinggi manusia. Agama merupakan keenganan untuk menyerah kepada kematian,

menyerah dalam menghadapi frustasi dan untu menumbuhkan rasa permusuhan tehadap

penghancuran ikatan-ikatan kemanusiaan, (Hendro Puspito, 1984: 35). Jadi menurut teori

fungsional agama mengidentifikasikan individu dengan kelompok, menolong individu dalam

ketidakpastian, menghibur ketika kecewa, mengaitkan dengan tujuan-tujuan masyarakat,

memperkuat moral, dan menyediakan unsure-unsur identitas. Agama juga bertindak untuk

menguatkan kesatuan dan stabilitas masyarakat dengan mendukung pengendalian sosial,

menopang nilai-nilai dan tujuan yang mapan, menyediakan saran untuk mengatasi kesalahan dan

keterasingan. Selain itu agama juga dapat melakukan peran risalah dan membuktikan dirinya

sebagai sesuatu yang tidak terpecahkan bahkan pengaruh suversif yang mendalangi masyarakat

tersebut.

Tuntunan perilaku beragama dalam ajaran Islam adalah suatu perilaku yang tidak dapat

dipisahkan dari dimensi transedental dan spiritual, serta dimensi sosial yang berpangkal pada

etika dan moral agama. Tuntunan dan patokan tersebut telah terkandung dalam kitab suci,

tauladan Nabi dan pengikutnya, (Huston Smith, 2001:275) Sebagai seorang muslim menyadari

bahwa Islam mengajar, menuntun manusia ke jalan yang lurus. Selain itu Islam mengajarkan

bahwa kebahagiaan merupakan gabungan antara perilaku moral dan etika dalam kehidupan masa

kini dengan kehidupan kelak diakhirat. Disisi lain ajaran Islam juga menyamakan perilaku moral

Page 8: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

pribadi dalam hubungannya dengan Allah SWT, sehingga praktek agama yang berasal dari

perilaku amoral tidak akan diterima. (Abdul Rahman dan Abdul Kadir Kurdi, 2000: 68-69).

Teori yang berkaitan dengan masalah perilaku masyarakat dusun Wanteyan adalah teori

paradigma perilaku sosial. Menurut B.F Skinner bahwa obyek studi sosiologi yang kongkrit-

realistik adalah perilaku yang nampak serta kemungkinan perulangannya. Paradigma tersebut

pusat perhatiannya pada proses interaksi. Sedangkan paradigma behavioral sociology dan teori

exchange. Pandangan teori behavioral sociology dengan jelas menerangkan tingkah laku yang

terjadi di masa sekarang melalui kemungkinan akibatnya yang terjadi di masa datang.

Menariknya lagi, yaitu ada hubungan historis antara akibat yang terjadi di dalam lingkungan

aktor dengan tingkah laku yang terjadi sekarang. (George Ritzer, 2004: 70-73).

Sedangkan pandangan teori “sosial - exchange” yang dikemukakan oleh James W Vander

Zanden bahwa suatu keputusan atau kekecewaan yang terjadi dalam kehidupan manusia

bersumber pada perilaku pihak lain. Dalam hal ini perilaku dari pihak lain tersebut juga

ditimbulkan oleh dorongan dari perilaku diri sendiri. (Soerjono Soekanto, 1985: 46-49).

Perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari pasti memiliki macam-macam bentuk dan

karakter yang berbeda. Untuk mempermudah memahami permasalahan tersebut ada bentuk-

bentuk karakteristik perilaku sosial yang dapat ditetapkan berbagai cara, antara lain :

1. 1. Perilaku yang berorientasi pada tujuan. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya

harapan-harapan yang rasional atau menentukan suatu tujuan pribadi seseorang. Kenyataan

tersebut dapat dilihat dari ketergantungan manusia terhadap suatu kondisi untuk mencapai target

yang diinginkan.

2. Perilaku yang berorientasi pada nilai, yaitu perilaku yang berusaha untuk mewujudkan hal-hal

yang telah diyakininya tanpa menanggung resiko. Misalnya, masalah-masalah yang berhubungan

dengan kewajiban yang harus dikerjakan demi kehormatan, kepercayaan, keindahan dan lain

sebagainya. Maka perilaku ini dapat dianggap sebagai tingkah laku yang berdasarkan nilai.

3. Perilaku yang bersifat emosional atau afektif. Perilaku ini dapat terbentuk disebabkan adanya

hasil dan konfigurasi perasaan pribadi. Apabila perilaku ini lepas secara rasional dari

ketegangan-ketegangan emosional, maka kemungkinan gejala-gejala itu akan menuju pada

perilaku yang berkaitan dengan nilai dan tujuan. Dasar-dasar perilaku afektif berakar dari

tuntutan sementara terhadap dorongan tertentu, dengan tujuan untuk membalas dendam, bersikap

pasrah dan menyalurkan ketegangan.

Page 9: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

4. Perilaku yang bersifat tradisional. Yaitu suatu reaksi yang memberikan dorongan-dorongan

untuk mengarahkan perilaku secara rutin. Permasalahan obyek tugas-tugas rutin tersebut

mencakup kegiatan manusia setiap hari. Perilaku ini bisa dikaitkan dengan nilai apabila manusia

mengalami kesadaran diri dalam tingkah lakunya.

Masyarakat dalam hal ini pasti suatu saat akan mengalami perubahan. Perubahan tersebut bagi

masyarakat memiliki pengaruh yang terbatas ataupun meluas, lambat atau cepat. Perubahan-

perubahan yang terjadi di masyarakat mencakup nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola

perilaku, organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, interaksi sosial dan lain sebagainya.

Sebab interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya aktivitas sosial.

Gillin dan Gillin dalam bukunya cultural sociology mengemukakan hubungan - hubungan sosial

yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang dengan orang, antar kelompok-

kelompok manusia. Sehingga interaksi sosial inilah yang mempengaruhi dan menimbulkan

perubahan sosial di masyarakat. ( Soerjono Soekanto, 2002).

Kaitannya dengan agama Islam pada dasarnya hal itu merupakan bagian pranata sosial yang

tercermin dalam tindakan serta perbuatan sehari-hari. Tindakan dan perbuatan tersebut sedikit

banyak telah dipengaruhi oleh kondisi sosial pada umatnya. Oleh karena itu agama sebagai

pendorong, penggerak maupun pengontrol perilaku individu sangat dipengaruhi oleh system nilai

yang ada dalam masyarakatnya. Dengan demikian perilaku keagamaan seseorang maupun

individu sangat dipegaruhi oleh lemah ataupun kuatnya nilai agama serta system sosial budaya

dalam masyarakatnya.

Menurut R. Stark dan C.Y Glock keberagamaan adalah ketaatan dan komitmen terhadap agama

yang meliputi beberapa unsur diantarnya yaitu keanggotaan gereja, keyakinan kepada doktrin-

doktrin agama yang dianut, etika hidup kehadiran dalam acara peribadatan dan pandangan-

pandangan serta lain lagi yang menunjukkan ketaatan terhadap agama. Diantara yang mendasari

pengertian keagamaan menyangkut beberapa dimensi, diantaranya sebagai berikut :

1. Dimensi keyakinan agama (ideologis)

Dimensi ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana seseorang yang religius berpegang

teguh teehadap pendirian teologisnya, mengakui kebenarannya atas doktrin tersebut. Salah satu

perkara yang paling penting dalam keberagamaan seseorang adalah keyakinan agama yang

bersifat dogmatis. Di dalam islam keyakinan yang dimaksud adalah rukun iman.

2. Dimensi praktek agama

Page 10: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan oleh orang untuk

menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Indikasi tersebut mengarah kepada

pengalaman ibadah khusus, sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibdahnya,

seperti sholat, puasa, zakat. Praktek-praktek agama ini terdiri atas

a. Ritual; mengacu pada seperangkat ritus: seperti tindakan keagamaan secara formal dan

praktek-praktek suci yang mengharapkan pemeluknya melaksankan ibadah sholat, puasa, zakat

dan haji bagi yang mampu;

b. Ketaatan apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas publik. Semua agama

yang dikenal juga mempunyai tindakan persembahan yang kontemplasi personal yang relative

spontan, informal dan hak pribadi. Pengertian ini diarahkan kepada amal-amal sunnah seperti

sholat sunnah dan membaca Al – Qur’an.

3. Dimensi Pengetahuan Agama

Dimensi ini mengacu kepada harapan bahwa oerang-orang yang beagama paling tidak memilki

minimal ilmu pengetahuan mengenai dasar-dasar ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi, .dimensi ini

menggambarjkan sejauh mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya yaitu sejauh mana

aktifitasnya dalam manambah pengetahuan agamanya. Seperti apakah aktifitas keagamaannya

diantaranya yaitu dengan membaca Al-Qur’an, megikuti pengajian serta dengan membaca buku-

buku yang islami

4. Dimensi penghayatan Agama

Dimensi ini memfokuskan pada penghayatan tentang pengalaman keberagamaan seseorang, baik

dari pengalaman yang diperolehnya lewat lingkungan sekitar maupun dari luar lingkungannya.

Penghayatan keagamaan yang mereka dapatkan kemudian diterapkan pada kehidupan sehari-

hari, apakah pengalaman keagamaannya tersebut dapat mempengaruhi proses peningkatan

penghayatan keagamaannya.

5. Dimensi pengalaman agama (konsekuensial)

Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat dari keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman

dan pengetahuan orang dari hari ke hari. Dimensi ini menjelaskan tentang sejauh mana perilaku

seseorang konsekuen dengan ajaran agama yang dianutnya

Sosialisasi Nilai dalam Keluarga

Page 11: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Banyak ilmuwan sosial menyatakan bahwa keluarga merupakan lembaga yang paling penting

dan pertama dalam mensosialisasikan suatu nilai terhadap kepribadian seseorang. Demikian pula

halnya dengan nilai-nilai tentang kepengemisan di Dusun Wanteyan Desa Lebak Kecamatan

Grabag, Magelang. Pertama, nilai tersebut disosialisasikan melalui kehidupan keluarga. Seperti

dituturkan oleh informan Masdi bukan nama sebenarnya (Wawancara, Tanggal 20 Desember

2008) yang menyatakan bahwa mencari rezeki dengan jalan mengemis bagi sebagian masyarakat

Wanteyan tidak dianggap sebagai sesuatu yang hina. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Painem,

“Bagi kami pekerjaan mengemis bukanlah hina, karena ini juga jalan yang halal. Apalagi kami

sadar bahwa mencari pekerjaan sekarang ini sangat sulit sehingga untuk menghidupi keluarganya

mereka bekerja menjadi pengemis, (Hasil wawancara dengan Ibu Painem pada tanggal 2 januari

2009)

Karena itu pemahaman mengenai cara mencari nafkah dengan jalan mengemis pun sudah

tertanam lama dari satu generasi ke generasi. Para sesepuh atau orang tua mereka memberikan

indoktrinasi bahwa pilihan pekerjaan untuk bertahan hidup yang bisa mereka lakukan adalah

mengemis, maka wajar bila dalam satu keluarga tertanam jiwa atau mental mengemis. Sosialisasi

mengenai hal ini terus berlangsung dan tak pernah ada yang mempersoalkan.

Salah satu fenomena lain yang menarik adalah realitas di Dusun Wanteyan dengan penduduk 50

KK, di mana hampir semua penduduknya bermata pencaharian petani. Akan tetapi di saat krisis

ekonomi melanda ditandai dengan naiknya harga kebutuhan pokok, banyak orang yang tidak

bisa bertahan. Alhasil, mereka yang semula bertani ini pindah profesi sebagai pengemis dan

pengalaman ini kemudian menjadi pekerjaan, karena penghasilannya lebih banyak dari

berdagang. “Dengan mengemis mereka justru mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup

keluarganya, bahkan uang itu masih tersisa untuk kebutuhan yang lainnya,” ujar salah seorang

informan. Dari 50 Kepala Keluarga yang ada di kampung Wanteyan ini, sekarang tinggal 30

persen yang masih menekuni profesi sebagai pedagang, dan selebihnya (70 persen) beralih

profesi sebagai pengemis.

Profesi mengemis bagi masyarakat Wanteyan bukan menjadi pekerjaan sampingan, akan tetapi

sebagian sudah menjadi pekerjaan pokok. Ketika membelanjakan hasil mengemis, selain untuk

makan, dibelikan juga perabotan dan ada juga yang dibelikan hewan ternak yaitu sapi atau

kambing. Ada yang dipelihara sendiri dan ada juga yang dipeliharakan pada orang lain atau

(Gadoh) dengan sistem bagi hasil (paroan) atau langsung dijual untuk dibelikan tanah. Bahkan

Page 12: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

tidak sedikit masyarakat Wanteyan yang mengalokasikan uangnya untuk membiayai anak

sekolah.

Sejak kecil anggota keluarga terlibat dalam mencari dan mengelola uang dengan cara mengemis,

sehingga mengemis telah tertanam dalam diri setiap anggota keluarga, dan pekerjaan mengemis

itu tidak saja halal tetapi juga mulia, bagi sebagian masyarakat berpendapat seperti itu. Dengan

cara tersebut mereka sudah turut memenuhi kebutuhan keluarga, termasuk dalam membangun

rumah, serta menyekolahkan anak. Jadi di dalam keluarga di Desa Lebak khususnya Dusun

Wanteyan sosialisasi nilai mengenai mengemis ini sudah berjalan dari satu generasi ke generasi

berikutnya selama bertahun-tahun.

Saat ini banyak pengemis yang mencari ide bagaimana terus memperbaiki modus dan melakukan

perubahan inovasi di dalam mengemis agar mampu menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.

Namun yang terjadi di kalangan pengemis di dusun wanteyan terjadi yang sebaliknya, karena

dari dulu sampai sekarang mereka masih sama dengan cara konvensional yang modusnya yaitu

dengan door to door di kota maupun ke pasar-pasar.

Dalam konteks pembaharuan model mengemis dikenal apa yang disebut mengemis dengan cara

non-konvesional, yang dikenal sejak tahun 1980-an. Mengemis dengan cara non-konvensional

dilakukan dengan cara menyodorkan surat dan proposal atas nama suatu yayasan atau lembaga

pendidikan untuk diedarkan terutama di kota-kota besar di Indonesia. Namun sampai sejauh ini

dari hasil pengamatan peneliti di lapangan belum ada yang melakukan inovasi seperti itu untuk

menambah penghasilannya.

Sosialisasi Nilai dalam Masyarakat

Lingkungan masyarakat memiliki kontribusi dalam pembentukan kepribadian dan kebudayaan

seseorang. Dalam konteks kemasyarakatan, proses sosialisasi nilai mengemis ini terjadi pada

anggota masyarakat Dusun Wanteyan karena mereka hidup di lingkungan pengemis. Meskipun

lambat namun pasti, kebiasaan mengemis telah menjadi tradisi dan menjadi bagian dari

kehidupan warga di Dusun Wanteyan.

Salah satu bentuk sosialisasi nilai mengemis pada level kemasyarakatan adalah melalui tradisi

hajatan, seperti acara perkawinan, khitanan anak maupun cucu. Berbagai bentuk hajatan ini telah

menuntut mereka untuk mengumpulkan uang dalam rangka menyukseskan acara tersebut. Biaya

acara perkawinan pada tahun 2002 sebesar kurang lebih Rp 10 juta. Kalau ternyata uangnya

Page 13: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

kurang, mereka menjual ternaknya untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga mengemis menjadi

solusi yang dipilih atau mereka menjual tanah dan dan ternaknya. Kondisi tesebut diperparah

oleh perasaan gengsi bila ada tetangga yang mengadakan hajatan, khitanan dan acara besar

lainnya. Dua faktor tersebut, hutang dan gengsi, telah menjadi dan dijadikan beban dalam

kehidupan sosial masyarakat yang sekaligus berfungsi sebagai pemicu pengekalan budaya

mengemis.

Selain dua faktor diatas ada sebagian orang yang menjadikan profesinya sebagai sandaran

hidupnya, karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan untuk bekerja yang layak dan

kondisi ekonominya sangat miskin. Seperti yang dutarakan oleh Ibu Paimin ” suami saya sudah

tidak mampu lagi kerja karena sakit – sakitan, sehingga mau tidak mau saya mencari penghasilan

sebagai pengemis ”

Modus atau Bentuk Mengemis

Praktik mengemis dilakukan pertama kali secara individual, baik dalam hal keberangkatan

maupun penentuan daerah operasi. Keuntungan modelindividual ini adalah kebebasan

menggunakan hasil yang diperoleh. Mereka menjalankan profesinya secara penuh waktu,

berangkat pagi sekitar pukul 5 (lima) pagi atau setelah subuh dan pulang menjelang Maghrib.

Perjalanan ke tempat mengemis ditempuh dengan berjalan kaki bila jaraknya dekat. Namun jika

jaraknya cukup jauh, maka mereka naik angkutan untuk menuju kota tujuan operasi. Seperti

yang diungkapkan salah satu sopir angkutan desa bapak Warto yang membawa mereka pergi ke

luar ”saya mengantarkan mereka dari desa sekitar jam 5 pagi setelah subuh dan itu hanya sampai

pasar Secang. Selanjutnya mereka meneruskan perjalanan ke Temanggung, ambarawa, bahkan

ada yang ke Weleri ” Ketika mereka mau pulang kerumah, namun ternyata kemalaman maka

mereka mencari tempat untuk menginap di tempat-tempat umum seperti masjid, balai desa

bahkan ada pula yang mengontrak rumah yang harganya 3000/malam. Seperti yang diungkapkan

ibu Yami yang pergi sampai weleri ” kalau mau pulang tapi sudah kemalaman maka saya

menginap di rumah warga setempat, namun kalau tidak boleh maka ada rumah warga yang boleh

disewa untuk menginap atau bermalam disana”

Seperti juga yang diutarakan oleh kaur kesra Desa Lebak Bapak Ari, ” sebagian dari mereka

yang keluar / pergi ke kota, apabila kemalaman mereka menginap dirumah warga setempat atau

ke masjid ” Hasil mengemis dapat diklasifikasikan menjadi 2 (dua) kategori; uang dan barang.

Page 14: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Kalau uang, biasanya mereka tidak langsung membelanjakan, tetapi disimpan dahulu sampai

cukup untuk membeli barang atau hewan piaraan seperti ayam, kambing, sapi dan kebutuhan

rumah tangga lainnya. Jika hasilnya berupa barang seperti jagung, padi, bawang sebagian

dimasak dan selebihnya disimpan untuk dijual. Hasil penjualan jagung dikumpulkan dan

dijadikan satu dengan uang hasil mengemis.

Praktek Mengemis

Menurut Ali Humaidi Pengemis terbagi menjadi dua yaitu pengemis konvensional dan non

konvensional. (Humaidi, Ali, Pergeseran Budaya mengemis di masyarakat Pragaan Daya

Sumenep Madura, STAIN Pamekasan Madura). Pengemis konvensional yaitu pengemis yang

bersifat individual atau berangkatnya sendiri – sendiri. Dalam menjalankan profesinya mereka

pergi ke daerah Kabupaten Magelang dan Temanggung, namun ada juga yang merantau ke luar

Kota Magelang seperti Jogja, Kendal, Weleri hingga kota Demak. Ada beberapa alasan mengapa

mereka memilih kota - kota tersebut. Pertama, komunikasi lebih mudah karena mereka masih

sama-sama berbahasa Jawa. Kedua, ada filosofi yang berkembang di kalangan orang Jawa bahwa

ketika mereka saling bertemu meskipun tidak saling kenal, mereka tetap disebut saudara atau

sedulu (Sedulur sama artinya dengan saudara, saudara jauh ataupun saudara dekat). Ketiga,

orang jawa dikota secara umum dianggap relatif merasa iba apabila melihat kondisinya sehingga

tidak enggan untuk mensedekahkan sebagian hartanya. Meski demikian, sasaran mengemis tidak

sebatas orang Jawa, siapapun akan diminta, termasuk orang – orang kota yang non muslim

(Cina).

Dalam mendapatkan penghasilannya ada 2 (dua) bentuk objek pengemisan yaitu uang dan

barang. Di lihat dari sisi waktu, kegiatan bentuk pertama ini mereka lakukan setiap hari

sepanjang tahun. Sedangkan kategori kedua biasanya dilakukan pada saat musim tertentu, seperti

musim panen jagung, panen bawang. Pada musim panen, modus yang dilakukan adalah mereka

berangkat bersama-sama (minimal dua orang) menuju satu desa tertentu lengkap dengan karung.

Mereka bermalam di rumah penduduk atau di balai desa atas ijin penghuni. Soal tempat tidak

pernah mereka persoalkan, yang penting mendapatkan ijin untuk bermalam. Ketika akan

meminta, mereka kadang-kadang ikut membantu memetik hasil panen padi meskipun hanya

sebentar sambil menunggu makan siang.

Page 15: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Kadangkala mereka juga langsung meminta - minta pada saat satu keluarga sedang memetik

hasil panen atau langsung mendatangi rumah - rumah penduduk. Dalam musim panen tersebut,

penghasilan mereka rata-rata sekitar 20 kilogram. Hasil yang diperoleh kemudian pada malam

harinya dikumpulkan di tempat peristirahatan untuk kemudian dibawa pulang atau langsung

dijual. Bagi mereka yang kebutuhan hidup selama mengemis kurang, maka hasil mengemis

langsung dijual, sedangkan bila cukup, maka barang tersebut dibawa pulang dan disimpan untuk

makan sekeluarga, sebagian lagi dipergunakan untuk menanam jagung, bagi yang punya sawah.

Sebagaimana profesi lain, dunia pengemis juga mengenal persaingan. Persaingan terjadi ketika

memperebutkan daerah operasi. Seringkali para pengemis membentuk kelompok yang

ditentukan atas dasar kedekatan rumah, hubungan famili dan teman dekat. Di antara sesama

anggota kelompok kemudian membuat kesepakatan tentang daerah mana yang akan dijadikan

wilayah operasi, pukul berapa berangkat dan bermalam di mana.

Pembentukan kelompok tidak harus dibuat formal, sebab prosesnya pun tidak formal, tidak ada

aturan formal yang terlalu mengikat. Oleh sebab itu, antar anggota kelompok bisa saling bertukar

tempat operasi sesuai dengan kesepakatan. Beberapa informan mengatakan bahwa sejak mereka

mengemis belum pernah terjadi perselisihan apalagi pertengkaran, kecuali persaingan untuk

mendapat hasil yang banyak.

.

Kehidupan Keberagamaan Pengemis.

Secara kongkrit mengetahui pemahaman dan pengamalan seseorang terhadap ajaran agamanya

adalah hal yang sulit. Karena masalah keyakinan seseorang tidak dapat dilihat dengan kasat

mata, namun dapat dilihat dari aktivitas kesehariannya dalam menjalankan ajaran serta

mengamalkan ajarannya. Namun apabila individu hidup lingkungan yang salah maka hal ini

akan berpengaruh terhadap keberagamaan individu tersebut, karena lingkungan mempunyai

pengaruh kuat terhadap terbentuknya karakteristik setiap individu.

Dalam kehidupan kesehariannya para pengemis didesa Lebak khususnya berkaitan dengan

kegiatan keagamaan baik itu berupa ritual individu dalam kehidupan kesehariannya ataupun

kegiatan yang bersifat keagamaan dan dilakukan secara berkelompok. Seperti pengajian yang

dilakukan setiap hari

Page 16: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Jum’at diisi oleh pemuka agama atau biasa disebut dengan kyai dan diikuti oleh bapak-bapak.

Seperti yang diutarakan oleh bapak Tri selaku Sekdes “ Warga desa ini khususnya yang

golongan tua - tua sangat antusias mengikuti pengajian, karena pengajian yang diadakan setiap

jum’at sangat bermanfaat bagi warga, dengan begitu akan menambah ilmu khususnya tentang

ajaran islam “

Menurut Glock dan Stark, pengalaman keagamaan termasuk perasaan-perasaan dan persepsi

terhadap Tuhan. Dengan demikian selain beraneka ragam, bergantung pula pada setiap pribadi

atau individu. Sebab setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi dapat ditanggapi dengan emosi

keagamaan. Selain itu peristiwa yang dialami seseorang bisa juga memberi pengaruh batin

langsung dengan berhubungan dengan Allah SWT tetapi juga bisa ditanggapi biasa layaknya

hukum alam. (Abdul somad “Agama Islam dalam Kehidupan Remaja Banguntapan Bantul “

dalam jurnal penelitian Agama no.6 thn, 1994, (YK : IAIN SUKA 1994: 24)

Dalam hal ini penulis mencoba melihatnya dari lima (5) dimensi keagamaan meliputi: tingkat

keyakinan, pengetahuan agama, praktek agama, pengalaman keagamaan, dan konsekuensi

penghayatan agama di kalangan pengemis di dusun wanteyan.

Perilaku Keberagamaan Pengemis

Keyakinan Keagamaan.

Pada umumnya tidak ada perbedaan yang prinsip mengenai keyakinan agama, karena semua

warga yang berprofesi sebagai pengemis dan tinggal di dusun wanteyan ini menganut agama

Islam. Keyakinan yang dianut bersifat dogmatis, didalam islam keyakinan yang dimaksud yaitu

seperti yang dirumuskan dalam rukun iman yaitu enam prinsip keyakinan. Yaitu : pertama

percaya kepada Allah SWT dan tidak ada sekutu baginya, kedua yakin dan percaya pada kitab-

kitab suci, ketiga yakin dan percaya pada para malaikat, keempat yakin terhadap nabi dan rasul

Allah, kelima percaya kepada ketentuan baik dan buruk itu berasal dari Allah, dan keenam yakin

dan percaya pada hari akhir.

Secara keseluruhan tingkat keyakinan keagamaan pengemis sangat menggembirakan,

dikarenakan para pengemis yang ada didusun wanteyan semuanya memeluk agama islam.

Sebagaimana seperti yang dikatakan oleh bapak kadus “ saya telah mendata seluruh warga dusun

wanteyan yang berprofesi sebagai pengemis, bahwa agama yang mereka peluk adalah islam,

karena sebagian besar warga desa ini adalah warga asli dan sebagian adalah pendatang ”

Page 17: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Seperti yang dikatakan oleh ibu Siyamsih,” saya memang mencari uang dengan cara mengemis

meskipun begitu saya tetap menjalankan ibadah., sejak suami saya tidak ada maka saya sendiri

yang mencari uang untuk kebutuhan hidup. Walaupun pekerjaan saya hina saya tetap islam, saya

juga meyakini rukun iman walaupun saya juga tidak banyak mengetahui tentang ajaran islam

yang sesungguhnya“

Dari hasil wawancara penulis dengan beberapa warga dusun wanteyan yang berprofesi

pengemis, secara keseluruhan juga sangat menggembirakan. Hal ini terbukti dari sebagian besar

pengemis merasa yakin dengan agama islam diantaranya yaitu: seperti yakin terhadap islam dan

ajarannya, dan agama islam sebagai penenang dan menjadikan tentram bagi pemeluknya, mereka

juga meyakini bahwa agama islam adalah agama yang diridloi oleh Allah SWT.

Dengan keyakinan yang dimiliki oleh kalangan pengemis terhadap agama yang dianutnya yaitu

agama islam, setidaknya mereka memiliki keyakinan terhadap Allah SWT yang menciptakan

alam semesta. Hal ini diharapkan menjadi pedoman hidup bagi pengemis untuk menata

kehidupan yang lebih baik.

Pengetahuan Agama

Pada hakekatnya orang-orang yang beragama paling tidak memiliki pengetahuan mengenai

dasar-dasar keyakianan dari kitab suci dan tradisi-tradisi. Dimensi ini menggambarkan sejauh

mana seseorang mengetahui tentang ajaran agamanya. Selain itu juga untuk mengetahui sejauh

mana aktifitas dalam menambah pengetahuan agama, seperti mengikuti pengajian, membaca

buku islami atau juga membaca al-qur’an.

Pemahaman keagamaan pengemis terhadap agama yang dianutnya juga menggembirakan,

mereka mengaku memeluk agama islam, mengakui bahwa Allah SWT sebagai tuhan mereka,

mereka juga mengakui bahwa rukun iman dan rukun islam benar adanya, namun faktor ekonomi

yang menyebabkan mereka terpaksa menjadi pengemis, mereka juga menyadari bahwa hal

tersebut yaitu pekerjaan mengemis bertentangan dengan ajaran islam yang sesungguhnya, karena

haram bagi orang yang mampu namun mendapatkan harta dari meminta-minta, selain itu juga

bertentangan dengan norma agama dan norma sosial.

Pemahaman keagamaan pada umumnya dipahami oleh setiap pemeluk agama apapun itu, namun

terkadang pemahaman keagamaan belum tentu dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Hal

Page 18: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

inilah yang terjadi dikalangan pengemis, mereka mengakui beragama Islam namun tingkah laku

mereka justru bertentangan dengan ajaran islam.

Hal tersebut dikatakan oleh ibu Ari selaku kadus “ Dulu kegiatan pengajian rutin diadakan setiap

minggu sekali dan yang mengikuti juga banyak, namun sekarang yang mengikuti semakin hari

malah semakin berkurang. Tidak tahu kenapa, namun yang pasti meskipun yang mengikuti

sedikit pengajian tetap dilaksanakan dengan baik “

Praktek Keagamaan Pengemis

Dimensi peribadatan atau praktek agama menunjuk pada seberapa tingkat kepatuhan muslim

dalam mengerjakan kegiatan-kegiatan ritual sebagaimana yang diajarkan dan dianjurkan oleh

agama. Dalam islam dimensi peribadatan diantaranya menyangkut ibadah sholat, puasa, zakat,

haji, membaca Qu’an, ibadah kurban dan sebagainya. (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori

Suroso, 2001)

Praktek keagamaan sangat banyak karena meliputi kegiatan manusia didalam kehidupannya,

untuk melaporkan semua kegiatan yang dilakukan kalangan pengemis yang ada di dusun

Wanteyan rasanya tidak mungkin. Oleh sebab itu yang dapat dilaporkan dan diamati hanya ritual

dan ketaatanya. Terutama yang berkaitan dengan perilaku dan prinsip – prinsip dasar dari rukun

islam yang senantiasa dilaksankan oleh kalangan pengemis di dusun Wanteyan, salah satunya

yaitu ibadah sholat. Ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen

terhadap agama yang dianutnya. Indikasinya mengarah kepada pengamalan syari’at islam yaitu

pengamalan ibadak khusus dan sejauh mana rutinitas seseorang dalam menjalankan ibadah itu.

Dengan demikian bearti ia telah melaksanakan perintah Allah dan menegakkan syari’at Islam.

Seperti yang dikemukakan diatas tentang dimensi peribadatan atau dimensi praktek keagamaan,

peneliti melakukan wawancara dengan beberapa orang di kalangan pengemis, adapun pertanyaan

yang disampaikan kepada pengemis adalah, apakah pengemis tersebut melaksanakan salah satu

dimensi keberagamaan yang tertera diatas, namun dari beberapa beberapa dimensi keberagamaan

hanya perintah zakat yang rutin

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa orang di kalangan pengemis, penulis mendapat

gambaran tentang perilaku keberagamaan para pengemis yang bertempat tinggal di desa lebak

dusun wanteyan, tentang pelaksanaan ibadah sholat yang mencakup sholat wajib dan ibadah

Page 19: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

yang lainnya. Seperti yang dikemukakan diatas bahwa keyakinan terhadap agama mempengaruhi

terhadap praktek agama, sebab keyakinan adalah sumber dari praktek yang akan dilaksanakan.

Tingkat pengetahuan agama mereka dalam hal ini adalah kalangan pengemis. Pengetahuan yang

mereka peroleh masih sangat kurang dan hanyalah sebuah keyakinan semata, karena mereka

sendiri seperti belum meyakini bahwa pekerjaan yang mereka jalani bertentangan dengan ajaran

yang mereka anut. Selain itu tingkat pengetahuan keagamaan mereka yang minim sehingga

dalam pelaksanaan ibadah mereka hanya sebagai pelengkap saja.

Dimensi ini mencakup pengamalan atau akhlak yang menunjuk pada seberapa tingkat muslim

berperilaku yang dimotivasi oleh agamanya dan ajarannya, yaitu bagaimana individu berelasi

dengan dunianya terutama dengan manusia yang lain. Dalam keberislaman dimensi ini

mencakup perilaku suka menolong, kerjasama, menegakkan keadilan, berlaku jujur, tidak

menipu, tidak berjudi, mematuhi norma – norma islam berjuang untuk hidup sukses menurut

ukuran islam dan lain sebagainya. (Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Pelajar, 2001)

Menjadi pengemis tentunya bertentangan dengan dimensi keberagamaan yang keempat yaitu

penghayatan agama. Yang salah satu penjelasannya yaitu letak kadar iman dan taqwa seseorang

dapat dilihat dan diukur, yaitu salah satunya dengan melihat aktifitas sehari-harinya dalam

mengamalkan dan menghayati agamanya jadi penghayatan keagamaan di kalangan pengemis

sangat ditentukan oleh keyakinan dan pengetahuan agama tersebut. Disamping faktor lingkungan

keluarga dan faktor dari lingkungan masyarakat sekitar juga sangat mempengaruhinya untuk

terwujudnya kepribadian yang islami. Sekilas dapat diketahui bahwa dikalangan para pengemis

tidak menyadari bahwa segala sesuatunya adalah milik Allah SWT semata, sehingga kita sebagai

manusia biasa sebagai hambanya harus mau dan yakin bahwa Allah SWT akan selalu

membukakan jalan keluar yang terbaik bagi mereka.

Dalam surah Al Baqarah 273 ” Kepada orang-orang fakir yang terikat di jalan Allah; mereka

tidak dapat di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara

diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta

kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, maka

sesungguhnya Allah Maha Mengetahui. (Dikutip dari Al – Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 2:

273). Seseorang yang berputus asa berarti dia tidak meyakini kebesaran Allah SWT sehingga dia

mengambil jalan pintas meskipun itu bertentangan dengan norma-norma islam dan sosial, dia

juga tidak dapat menghayati dan menjalani agamanya dengan sungguh – sungguh.

Page 20: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Demikian halnya yang terjadi dikalangan pengemis yang berdomisili di Desa Lebak Dusun

Wanteyan ini. Mereka mudah berputus asa sehingga mereka beralih ke jalan yang tidak

semestinya, dan mereka menganggap bahwa dalam mendapatkan penghasilan dengan jalan

meminta-minta itu sah-sah saja dan halal menurut mereka, meskipun tindakan tersebut

bertentangan dengan norma agama dan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

Kesimpulan

Setelah melalui pembahasan mengenai faktor-faktor yang menyebabkan sebagian masyarakat

dusun Wanteyan menjadi pengemis dan bagaimana pengaruh profesi pengemis terhadap perilaku

keberagamaannya, disini penulis berpendapat bahwa ada beberapa hal yang dapat penulis

kemukakan sebagai berikut : Pertama, Faktor yang mempengaruhi mereka menjadi pengemis

yaitu sebagian besar dari mereka menjadi pengemis karena tekanan ekonomi, sehingga mau tidak

mau mereka mencari penghasilan lewat jalan meminta-minta. Selain itu faktor tingkat

pendidikan yang rendah juga menjadi salah satu faktor penting yang menghambat terjadinya

perubahan pola pikir pada masyarakat.

Kedua, Secara keseluruhan keberagamaan dikalangan pengemis berada di dusun Wanteyan

masih kurang. Hal ini terlihat dalam keseharian mereka, yang sebagian besar diantara mereka

yang berprofesi menjadi pengemis tidak melaksanakan kewajiban dalam dalam hal ini

menunaikan sholat 5 waktu, hanya sebagian kecil yang tetap melaksanakan kewajiban

menjalankan ibadahnya. Sedangkan dalam dimensi keberagamaan mereka para wanita

khususnya yang berprofesi menjadi pengemis tersebut belum maksimal pelaksanaanya.

Ketiga, berdasarkan dari analisis diatas dapat diketahui bahwa pengemis yang bekerja dengan

cara meminta-minta merupakan salah satu perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai sosial

dan tidak dianjurkan oleh agama, sehingga berdampak pada perilaku beragama masyarakat

dusun wanteyan khususnya dikalangan pengemis.

Daftar Pustaka

Artanto Pius dan M Dahlan Al – Barry, karya Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994

Baha` Uddin, Pengemis sebagai Profesi: studi tentang makna dan etos kerja di kalangan

komunitas pengemis sirkuler di Kota Yogyakarta.

Bina Desa Masalah social yang ada di masyarakat, 1987

Page 21: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Departemen pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1995

Derajat Zakiah, Peranan Agama Dalam Kesehatan Mental, Jakarta : PT Gunung Mulia, 1988

Humaidi Ali, Pergeseran budaya mengemis di masyarakat desa pragaan daya sumenep madura,

STAIN Pamekasan, 2003

Huston Smith, Agama – agama manusia, terj. Safrudin Bahar Jakarta ; YOI, 2001

JB Banawirartama, SJ dan J Muller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu ; Kemiskinan Sebagai

Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta : Kanisius, 1993

Lewis, Oscar. 1988. Kisah Lima Keluarga Telaah Meksiko dalam Kebudayaan Kemiskinan.

Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Lewis, Oscar, Kemiskinan dan strategi Memerangi Kemiskinan, dalan Andi Bayo (Ed), Penerbit

Liberty 1981, Yogyakarta

Marpuji Ali, dkk., Gelandangan di Kertasura, dalam Monografi 3 Lembaga Penelian Universitas

Muhammadiyah. Surakarta (1990).

Muthahari Murtadlo, Perspektif Al – Qur’an Tentang Manusia dan Agama, terj. Djalaluddin

Rahmat, Bandung : Mizan, 1984

Muhtadi Ridwan, Usaha Memahami Kemiskinan Secara Multidimensional ,UIN Malang, 2005

Nabil Subhi At-Thawil, kemiskinan dan keterbelakangan Di Negara – Negara Muslim,

Bandung : Mizan, 1993

Nasikun. Diktat Mata Kuliah. Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan. Magister

Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001

Nottingham Elizaabeth K, Agama dan Masyarakat : suatau pengantar Sosiologi Agama,

terj.Abdul Muis Naharong Jakarta : Rajawali Press, 1997

Puspito Hendro, Sosiologi Agama, Yogyakarta : Kanisius, 1984, dikutip dari Joachim Wach.

Qardhawi Yusuf, Konsepsi Islam Dalam Mengentaskan Kemiskinan, terj.Umar Fanany, B.A,

Surabaya: PT .Bina Ilmu, 1996

Rais Amin, Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia, Yogyakarta : Aditya Media 1995

Rahmat Jalaluddin, Metode Penelitian Agama Bandung : Remaja Karya, 1985

Rahman Abdul dan Abdul Kadir Kurdi, Tatanan Sosial Islam Berdasarkan Al-Qur’an dan

Sunnah Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000

Page 22: Perilaku Beragama Kalangan Pengemis Muslim

Ritzer George, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda terj. Alimandan Jakarta: PT

Raja Grafindo, 2004

Sahdan Gregorius, Menanggulangi Kemiskinan Desa, www.ekonomirakyat.org, Jurnal Ekonomi

Rakyat

Sitorus Felik, Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan , Jakarta : Gresindo, 1996

Soerjono Soekanto, Suatu Pengantar Sosiologi, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002

Soekanto Soerjono, Konsep-konsep Dasar Dalam Sosiologi, dikutip dari Max Webber. Jakarta:

PT Rajawali, 1985

Soekanto Soerjono, Sosiologi : Suatu Pengantar, dikutip dari Gillin dan Gillin, Cultural

Sociology Jakarta : PT. Raja Grafindo Persad, 2002

Soetrisno, Loekman. Kemiskinan, Perempuan dan Pemberdayaan. Yogyakarta: Kanisius. 1997.

Suparlan Parsudi, Antropologi Sosial ,1986

Suyanto Bagong, Perangkap Kemiskinan Problem Dan Strategi Pengentasannya, Yogyakarta :

Aditya Media, 1996

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia Jakarta : Balai Pustaka. 1991

.

Sumber Web.

www.wordpers.com/masalah kemiskinan/makna/go.id, 22 Januari 2009

anak-jalanan-indonesia www..kompasnews.com., 22 Januari 2009

kemiskinan di masyarakat desa.www.suaramerdekanews.com., 22 Februari 2009