simbol-simbol komunikasi kelompok pengemis (studi .../simbol... · (studi deskriptif kualitatif...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i
SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI KELOMPOK PENGEMIS
(Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-Simbol Komunikasi Verbal-
Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis
Di Pasar Klewer Surakarta Tahun 2011)
SKRIPSI
Oleh :
DINA SUCI ROHMATUL AWWAL
D1209027
Diajukan
Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
Sarjana Strata Satu (S1) Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
MOTTO
Jangan mabuk karena sukses,
Dan jangan terpuruk karena gagal
-Aristoteles-
Bila tekad seseorang kuat dan teguh,
Tuhan akan bergabung dalam usahanya
-Aeschylus-
DUIT!
Kunci penting yang berarti :
Do’a, Usaha, Istiqomah, Tawakal
-Shofa Al farisi-
Tidak ada alasan untuk menunda pekerjaan
Lakukan Sekarang!
-Penulis-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Kedua orang tuaku tercinta:
Setiyadi (alm) dan Ratna Hidayati
Semoga Allah SWT selalu menyayangi kalian
seperti kalian menyayangiku sepanjang masa
Adik-adikku :
Muhammad Rozi Syafi’i, Muhammad Zaki Aditama,
Robiatul Azizah, dan Muhammad Hikam Maulana,
Aku Sayang kalian
Shofa Al Farisi Latief
Semoga dan Selalu
Ammiin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji hanya milik Allah SWT rabb semesta alam,
sholawat beserta salam kepada Nabi dan Rasul Muhammad SAW atas kelancaran
yang hamba peroleh dan nikmat yang selalu diberikan tanpa alpa hingga dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Penulisan skripsi dengan judul SIMBOL-SIMBOL KOMUNIKASI
KELOMPOK PENGEMIS ( Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Simbol-
Simbol Komunikasi Verbal-Nonverbal Oleh Kelompok Pengemis Di Pasar
Klewer Surakarta Tahun 2011) ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Jurusan Ilmu
Komunikasi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Penulis menyadari sepenuhnya keberhasilan penulis tidak
terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini
penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada:
1. Sri Hastjarjo, S.Sos, Ph.D dan Drs. Hamid Arifin, M.Si. selaku dosen
pembimbing yang telah meluangkan waktunya dengan penuh kesabaran
memberikan bimbingan, serta kemudahan yang diberikan dalam penulisan
skripsi ini. Semoga Allah membalas dengan kelimpahan berkah dan
dipermudah segala urusan.
2. Drs. Surisno Satrijo Utomo, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis selama menempuh masa studi.
3. Prof. Drs. Pawito. Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret.
4. Semua narasumber (pengemis Pasar Klewer) yang telah bersedia untuk
berbagi dan menceritakan tentang dirinya dan kehidupannya untuk
kelengkapan data skripsi.
5. Bapak dan Ibu Dosen semua, terimakasih untuk ilmu yang diberikan selama
kuliah, semoga bermanfaat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
6. Semua staf pengajaran, administrasi dan sebagainya, terimakasih untuk segala
bantuan pelayanannya selama ini.
7. Ibu Ratna Hidayati, selaku ibu dari penulis terimakasih untuk setiap do’a,
harapan, nasehat, bimbingan dan kesabarannya selama ini.
8. Bapak Setiyadi (alm), selaku bapak dari penulis, semoga Allah SWT
memberi tempat yang terindah untukmu, terimakasih untuk pengorbanan
selama hidupmu padaku hingga akhir hayatmu, dan bapak selalu ada dalam
hatiku selamanya.
9. Ozik, Zaki, Azizah, Hikam, aku bangga punya adik seperti kalian,
terimakasih untuk kesabaran kalian dengan ke-usilan dan ke-
bawelanku.heheh..
10. Shofa Al farisi Latief, terimakasih untuk segalanya, suka dukanya,
pengalamannya, motivasinya, nasehatnya yang tak henti-henti agar aku “tidak
mudah menyerah”, semoga Allah menjawab do’a kita. Amin.
11. Situk Marituk, terimakasih untuk ide dan buku-buku yang sangat mendukung
dan membantu skripsi ini, juga semua pihak yang terlibat dalam pembuatan
skripsi, terimakasih banyak.
12. Semua teman senasib dan seperjuangan jurusan ilmu komunikasi non-reguler
angkatan 2009 kelas A, terimakasih untuk kebersamaan dan kekompakannya
selama ini.
Surakarta, Oktober 2011
Penulis,
Dina Suci RA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL..................................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN................................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. iii
MOTTO ................................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................... v
KATA PENGANTAR ..... ....................................................................... vi
DAFTAR ISI ........................................................................................... viii
DAFTAR TABEL.................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. xiii
DAFTAR LAMPIRAN ………………………………………………... xiv
ABSTRAK ……………………………………………………………. xv
ABSTRACK …………………………………………………………... xvi
BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1
1. Latar Belakang Masalah .................................................... 1
2. Rumusan Masalah .............................................................. 4
3. Tujuan Penelitian ................................................................ 5
4. Manfaat Penelitian ……………………………………… 5
5. Telaah Pustaka ................................................................... 5
A. Komunikasi ................................................................ 6
B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal ........................... 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
1. Simbol Verbal ………………………………….. 11
2 . Simbol Nonverbal ……………………………… 12
A. Klasifikasi Pesan Nonverbal ……………...... 12
1. Perilaku Tubuh ………………………....... 13
a. Penampilan …………………………… 13
b. Pakaian atau Busana ………………….. 13
c. Ekspresi Wajah ……………………….. 13
d. Kontak Mata …………………………. 14
e. Sentuhan ……………………………... 15
f. Parabahasa ……………………………. 16
g. Gerakan Badan (Kinesics) …………… 17
2. Ruang Lingkup…………………………. 18
a. Tampat atau Ruang ……………........... 18
b. Waktu ………………………………... 19
c. Diam …………………………………. 19
B. Fungsi Komunikasi Nonverbal …………….. 19
C. Kerangka Teori …………………………………… 20
1. Dramaturgis Erving Goffman …………………. 20
a. Presentasi Diri Goffman …………………….. 21
b. Panggung Depan dan Panggung Belakang ….. 24
c. Pengelolaan Kesan ……………………………. 27
d. Penggunaan Tim ……………………………… 28
6. Kerangka Berpikir ………………………………………. 30
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
7. Batasan Konsep ………………………………………… 31
A. Komunikasi ………………………………………… 31
B. Simbol Verbal dan Nonverbal ……………………… 32
C. Pengemis …………………………………………… 38
8. Metodologi Penelitian ………………………………… 38
A. Jenis penelitian …………………………………….. 38
B. Lokasi Penelitian …………………………………… 38
C. Sumber Data ……………………………………….. 39
D. Teknik Pengumpulan Data ………………………….. 40
E. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel …………... 42
F. Teknik Analisis Data ………………………………… 45
BAB II DESKRIPSI LOKASI …………………………………… 49
A. Pasar Klewer Surakarta ………………………………. 49
B. Sejarah Berdirinya Pasar Klewer …………………….. 50
C. Visi dan Misi Pasar Klewer ………………………….. 52
D. Denah dan Kondisi Fisik Pasar Klewer ……………… 53
E. Struktur Organisasi …………………………………… 53
F. Perkembangan Pasar Klewer ………………………. 53
G. Pengemis di Pasar Klewer …………………………. 59
BAB III SAJIAN DAN ANALISIS DATA …………………….. 62
A. Identitas Informan ………………………………….. 62
B. Pengelolaan Kesan Pengemis ……………………… 64
1. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Verbal …….. 65
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
2. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Nonverbal … 73
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……………………….. 93
A. Kesimpulan ………………………………………… 93
B. Saran ……………………………………………….. 94
DAFTAR PUSTAKA
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Daftar Nama Pengemis …………………………………… 61
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Pikir ………………………………….... 30
Gambar 2. Analisis Data Interaktif Milles dan Huberman …….... 48
Gambar 3. Struktur Organisasi Pasar Klewer …………………… 53
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Ijin Penelitian
Lampiran 2. Interview Guaide dan Transkip Wawancara
Lampiran 3. Foto-foto Pengemis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Penelitian ini dilatar belakangi oleh menjamurnya jumlah pengemis di
setiap kota termasuk Surakarta. Seperti yang peneliti temukan jumlah
pengemis beberapa di antaranya, mangkal di selatan RS Panti Waluyo, dan di
perempatan Jalan RM Said, Manahan, Surakarta. Di persimpangan Jalan RM
Said, sebelah utara stadion Manahan, sejumlah pengemis mengharap iba dari
pengendara yang berhenti saat lampu merah menyala. Kondisi yang nyaris
sama, juga terjadi di persimpangan kawasan RS Panti Waluyo, di mana
pengemis berpakaian kumal menengadahkan tangan pada pengendara yang
berhenti.
Sosok pengemis dengan berbagai macam atributnya telah melahirkan
sebuah persepsi kurang menyenangkan baik dari sisi sosial, maupun ekonomi.
Fenomena mengemis merupakan masalah sosial dari nilai dan norma-norma
yang berlaku. Mereka adalah orang sehat dengan kondisi tubuh tidak kurang
apapun. Pengemis adalah suatu gejala sosial yang terwujud di perkotaan dan
telah menjadi suatu masalah sosial karena beberapa alasan, pertama, di satu
pihak menyangkut kepentingan orang banyak (warga kota) yang merasa
wilayah tempat hidup dan kegiatan mereka sehari-hari telah di kotori oleh
pihak pengemis dan dianggap dapat menimbulkan ketidaknyamanan harta
benda, menurut harian Kompas Kepala Dinas Sosial Tenaga Kerja dan
Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kota Surakarta, Singgih Yudoko,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
mengatakan, permasalahan pengemis, (gepeng) merupakan permasalahan
yang cukup kompleks, dan memerlukan peranan dari banyak pihak.
Menurutnya, Satpol PP sudah berupaya melakukan razia dengan
menempatkan beberapa personelnya di beberapa titik. Saat ada petugas, para
gelandangan dan pengemis tidak ada yang datang. Tetapi, ketika petugas
pergi mereka bermunculan.”Kita juga menempatkan petugas di beberapa
titik,” katanya.
Perkembangan kota di segala bidang tampaknya tidak hanya
memberikan nuansa positif bagi kehidupan masyarakat. Namun juga
melahirkan persaingan hidup, sehingga muncul fenomena kehidupan yang
berujung pada kemiskinan. Mengemis sebenarnya tidak diinginkan oleh para
pengemis sendiri. Karena para pengemis tidak tau lagi apa yang harus mereka
lakukan, mencari pekerjaan apa, seperti apa, tidak mudah untuk mereka yang
rata-rata tidak mengenyam pendidikan cukup. Menjadi pengemis adalah jalan
satu-satunya bagi mereka untuk mempertahankan hidup di kota dengan
berbagai banyak tuntutan hidup yang mau tidak mau harus mereka hadapi.
Hanya dengan bermodal muka memelas, dan menengadahkan tangan, mereka
bisa mendapatkan uang, yang penting halal. Mungkin ini hanya pendapat
peneliti saja bahwa mereka yang mengemis itu telah menjadikan itu sebagai
pekerjaan yang mudah bagi mereka karena sulitnya mencari pekerjaan di
zaman sekarang.
Alasan pengambilan judul ini, karena peneliti melihat dari sisi lain dari
diri pengemis adalah mereka telah melakukan kegiatan komunikasi dengan
cara verbal maupun nonverbal dan mungkin tanpa mereka sadari. Secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
verbal, yaitu dengan cara berbicara dengan menggunakan lisan dan bahasa
mereka. Secara nonverbal pengemis bisa berkomunikasi dengan
menyampaikan pesan lewat pakaian, ekspresi wajah, gerakan tubuh, nada
suara dengan berbagai macam intonasinya, tatapan mata, dan lain sebagainya.
Pengemis mempunyai cara komunikasi yang unik dimana proses
komunikasinya bisa terjadi bukan hanya melalui komunikasi verbal tetapi
mereka juga bisa berkomunikasi berdasarkan simbol-simbol komunikasi
nonverbal. Karena, menurut peneliti hal ini lebih menarik untuk dibahas,
sebab jika setiap melihat pengemis berhadapan dengan calon dermawannya,
sikap dan ekspresi mereka berbeda. Pengemis mengatur bagaimana supaya
dirinya terlihat benar-benar sangat membutuhkan belas kasihan dari orang
lain. Mereka (pengemis) berupaya menampilkan dirinya dengan mengatur
setting, appearance, dan mannernya. Semuanya dilakukan untuk mengelola
kesan bahwa dirinya layak di sebut pengemis. Pada umumnya, pengemis
selalu berpakaian compang-camping, lusuh, kumal, serta memasang muka
memelas meminta belas kasihan, suara lirih, bergetar-getar, dilakukan
pengemis untuk memberi kesan bahwa dia sedang dalam kesusahan dan
karenanya layak untuk diberi sedekah. Akan tetapi, peneliti pernah melihat
dan menyaksikan ketika pengemis sudah tidak berhadapan lagi dengan target
sasaran atau para dermawan mereka berinteraksi dengan teman sesama
pengemis tampak biasa saja dan berubah seketika yang tadinya bermuka
memelas menjadi tidak memelas lagi, yang tadinya suaranya lirih menjadi
lantang penuh canda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
Di Surakarta, tepatnya di Pasar Klewer, peneliti mendapati sekelompok
pengemis yang melakukan aksinya di tempat tersebut. Mereka ada yang
berkeliling di sekitar pasar, ada yang hanya duduk di tempat terus menerus
selama menjalankan aksinya dan tidak berpindah tempat, ada pula yang
berkeliling, setelah itu berganti dengan duduk di tempat yang nyaman
menurut mereka. Selain itu, pengemis ada yang menjalankan aksinya di
depan Masjid Agung, yang terletak didekat Pasar Klewer. Peneliti mengambil
lokasi di Pasar Klewer, karena menurut peneliti, pengemis yang menjalankan
aksinya di Pasar Klewer, mudah untuk diteliti dan bisa di wawancarai untuk
memperoleh data yang peneliti butuhkan, juga lokasi yang mudah untuk di
jangkau.
Dengan demikian, dengan adanya simbol-simbol komunikasi yang unik
pada diri kelompok pengemis tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian tentang bagaimana simbol-simbol komunikasi tersebut digunakan
oleh kelompok pengemis di Pasar Klewer, dengan mengangkat topik “
Simbol-Simbol Komunikasi Dan Pencitraan Kelompok Pengemis Di Pasar
Klewer Tahun 2011”.
2. Rumusan Masalah
Bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi verbal-nonverbal
dalam pengelolaan kesan pengemis di Pasar Klewer tahun 2011?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
3. Tujuan Penelitian
Untuk menggambarkan atau mendeskripsikan serta menganalisis
bagaimana penggunaan simbol-simbol komunikasi kelompok pengemis di
Pasar Klewer tahun 2011.
4. Manfaat Penelitian
a. Dapat menjadi acuan penelitian selanjutnya, serta mengaplikasikan teori
ke dalam sebuah permasalahan yang di angkat dalam penelitian. Dan
diharapkan hasil penelitian ini dapat memperkaya dan menambah
rangkaian deskripsi dan analisa tentang komunikasi dalam kaitannya
dengan citra kelompok terpinggirkan.
b. Dapat memperoleh akurasi ketepatan yang mendalam, kaitannya dengan
kemampuan akademis peneliti dengan maksud untuk menerapkan teori
dan konsep yang peneliti peroleh selama kuliah.
c. Dapat mengetahui bagaimana pengemis menggunakan simbol-simbol
komunikasi baik secara verbal maupun nonverbal.
5. Telaah Pustaka
Banyak studi tentang pola komunikasi namun masih sedikit yang
membahas tentang pola komunikasi pengemis khususnya tentang bagaimana
mereka (pengemis) mengelola kesan melalui simbol verbal dan nonverbal
untuk memperlihatkan citra diri mereka sebagai pengemis. Karena itu definisi
untuk mengemukakan suatu pandangan untuk menjelaskan tentang pola
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
komunikasi serta ruang lingkup komunikasi yang merupakan suatu proses
informasi yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang.
A. Komunikasi
Komunikasi mempunyai peranan yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari. Komunikasi merupakan medium penting bagi
pembentukan atau pengembangan pribadi untuk kontak sosial. Melalui
komunikasi seseorang tumbuh dan belajar, menemukan pribadi kita dan
orang lain, kita bergaul, bersahabat, bermusuhan, mencintai atau
mengasihi orang lain, membenci orang lain dan sebagainya.
Berdasarkan berbagai arti kata communicare yang menjadi asal
kata komunikasi, maka secara harfiah komunikasi berarti pemberitahuan,
pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan (Hardjana,
2003:10).
Komunikasi sendiri berasal dari gagasan yang ada pada seseorang.
Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirim melalui media tertentu
kepada orang lain sebagai penerima. Dari proses terjadinya komunikasi
itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat dirumuskan sebagai “
kegiatan seseorang dimana seseorang menyampaikan pesan melalui
media tertentu kepada orang lain dan sesudah menerima pesan serta
memahami sejauh kemampuannya, penerima pesan menyampaikan
tanggapan melalui media tertentu pula kepada orang yang menyampaikan
pesan itu kepadanya “ (Hardjana, 2003:11).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa tidak akan bisa lepas
dari proses komunikasi, baik verbal maupun nonverbal, disadari maupun
tidak disadari. Dalam proses komunikasi tersebut, masing-masing
individu, masing-masing tempat ataupun komunitas tidaklah sama.
Komunikasi adalah kegiatan pengoperan lambang yang mengandung
makna atau arti. Arti ini perlu dipahami bersama oleh pihak-pihak yang
terlibat dalam suatu kegiatan komunikasi (Susanto,1985 : 1).
Johnson (1981) sebagaimana dikutip oleh Supratiknya (1995:30)
mengatakan, bahwa pengertian komunikasi secara luas adalah setiap
bentuk tingkah laku sesorang baik verbal maupun non verbal yang di
tanggapi oleh orang lain, komunikasi mencakup pengertian yang lebih
luas dari sekadar wawancara, setiap bentuk tingkah laku yang
mengungkapkan peran tertentu, sehingga juga merupakan sebentuk
komunikasi. Secara sempit, komunikasi juga diartikan sebagai pesan
yang dikirimkam seseorang kepada satu atau lebih penerima dengan
dengan maksud secara sadar untuk mempengaruhi tingkah laku si
penerima, dalam setiap bentuk komunikasi setidaknya dua orang saling
mengirimkan lambang-lambang yang memiliki makna tertentu.
Lambang-lambang tersebut bisa bersifat verbal berupa kata-kata atau
bersifat nonverbal berupa ekspresi atau ungkapan tertentu dan gerak
tubuh.
Dalam pengertian lain, Riswandi (2009:5) berpendapat bahwa
komunikasi komunikasi adalah suatu proses. Artinya bahwa komunikasi
merupakan serangkaian tindakan atau peristiwa yang terjadi secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
barurutan (ada tahapan atau sekuensi) serta berkaitan satu sama lainnya
dalam kurun waktu tertentu. Sebagai suatu proses, komunikasi tidak
statis, melainkan dinamis dalam arti akan selalu mengalami perubahan
dan berlangsung terus menerus. Proses komunikasi melibatkan banyak
faktor atau komponen. Faktor-faktor atau unsur yang dimaksud antara
lain meliputi komunikator, komunikan, pesan, saluran atau media.
Selain itu, komunikasi juga bisa didefinisikan sebagai tindakan
yang dilakukan dengan menggunakan lambang-lambang. Lambang yang
paling umum digunakan dalam komunikasi antar manusia adalah bahasa
verbal dalam bentuk kata-kata, kalimat, angka-angka, atau tanda-tanda
lainnya. Bahasa verbal yang digunakan untuk keperluan membujuk atau
meminta tolong, tentunya akan berbeda dengan bahasa verbal yang
digunakan untuk tujuan memerintah atau memaksa. Selain verbal, juga
ada lambang-lambang yang bersifat nonverbal yang dapat digunakan
dalam komunikasi seperti gesture (gerakan tangan, kaki, atau bagian
tubuh lainnya), warna, sikap duduk, berdiri, dan bentuk lambang lainnya
(Riswandi, 2009:6).
Definisi lain diungkapkan oleh Colin Cherry sebagaimana dikutip
oleh Jalaluddin (1990 :11) ”komunikasi merupakan pembentukan satuan
sosial yang terdiri dari individu-individu melalui penggunaan bahasa dan
tanda. Memiliki kebersamaan dalam peraturan-peraturan untuk barbagai
aktivitas pencapaian tujuan”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Wiryanto (2005:19) juga mendefinisikan komunikasi sebagai suatu
proses, suatu bentuk kegiatan yang berkelanjutan tidak mempunyai titik
awal dan titik. Hal ini juga menunjukan bahwa komunikasi bersifat
dinamis dan transaksional, dimana kemudian akan terjadi perubahan
dalam setiap diri peserta komunikasi tersebut. Karena dalam proses
komunikasi, para peserta komunikasi saling mempengaruhi, seberapa
kecil pun pengaruh itu, baik lewat komunikasi verbal, maupun lewat
komunikasi nonverbal (Mulyana, 2004:19). Pengaruh-pengaruh tersebut
akan menimbulkan pengetahuan dan perilaku yang baru.
Pemolaan (patterning) terjadi pada semua tingkat komunikasi :
masyarakat, kelompok, dan individu. Pada tingkat masyarakat
komunikasi biasanya berpola dalam bentuk fungsi kategori
ujaran(categories of talk), dan sikap konsepsi tentang bahasa dan
penutur. Komunikasi juga berpola menurut pesan tertentu dan kelompok
tertentu dalam suatu masyarakat, tingkat pendidikan, wilayah geografis,
dan ciri-ciri organisasi sosial yang lain. Kemudian komunikasi juga
berpola pada tingkat individual, pada tingkat ekspresi dan interprestasi
kepribadian. Komunikasi yang terjadi pada tingkat kelompok juga
melibatkan komunikasi antar pribadi. Karena itu kebanyakan teori
komunikasi antar pribadi berlaku juga bagi komunikasi kelompok
(Ibrahim, 1994:12-13).
Pola adalah sebuah sistem maupun cara kerja sesuatu yang
memiliki bentuk dan struktur tetap pada tingkat masyarakat. Komunikasi
biasanya berpola dalam bentuk-bentuk, fungsi, kategori, ujaran dan sikap
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
konsepsi tentang bahasa. Komunikasi berpola menurut pesan tertentu dan
kelompok tertentu dalam suatu masyarakat, tingkat pendidikan, wilayah
geografis dan ciri-ciri organisasi lainnya. Pada tingkat individual,
komunikasi berpola pada tingkat ekspresi, dan interprestasi kepribadian
dalam bentuk fungsi, bahasa yang ditunjukan (Ibrahim, 1994:15).
B. Komunikasi Verbal dan Nonverbal
Simbol atau lambang adalah salah satu kategori tanda. Salah satu
kebutuhan pokok manusia, seperti yang telah di sampaikan oleh Susanne
K. Langer adalah kebutuhan simbolisasi atau penggunaan lambang.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjuk
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan kelompok orang lain. Lambang
meliputi kata-kata (pesan verbal), perilaku non-verbal dan objek yang
maknanya disepakati bersama (Mulyana, 2000:83).
Sifat-sifat lambang atau simbol adalah :
a. Sembarangan, Manasuka, dan Sewenang-wenang.
Apa saja bisa dijadikan lambang, tergantung pada kesepakatan
bersama. Kata-kata, isyarat anggota tubuh, tempat tinggal,
jabatan, hewan, peristiwa, gedung, bunyi, waktu, dan sebagainya
bisa dijadikan lambang.
b. Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna, akan tetapi
manusialah yang member makna. Makna sebenarnya dari
lambang ada dalam kepala kita, bukan terletak pada lambang itu
sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
c. Bervariasi
Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dari
suatu tempat ke tempat lain, atau dari suatu konteks ke konteks
lain (Riswandi, 2009:26).
1. Simbol Verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara
yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal disengaja,
yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan
dengan orang lain secara lisan (Mulyana, 2001).
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.
Konsekuensinya kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak
mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau
konsep yang diwakili kata-kata itu. Bahasa verbal juga dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan di
pahami suatu komunitas (Mulyana, 2000:238).
Bahasa adalah seperangkat kata yang di susun secara
berstruktur sehingga menjadi suatu kalimat yang mengandung
makna. Menurut Larry L. Barker sebagaimana dikutip oleh
Riswandi (2009:60), bahasa memiliki 3 fungsi, yaitu :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
a. Penamaan (naming/labeling)
Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha
mengidentifikasi objek, tindakan, atau orang dengan menyebut
namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
b. Fungsi Interaksi
Fungsi interaksi menekankan pada berbagai gagasan dan
emosi yang dapat menghubungkan antara orang dengan orang
lainnya, atau kelompok orang dengan kelompok orang lainnya.
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain.
c. Fungsi Transmisi Informasi
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang
lain. Melalui bahasa,kita menerima informasi setiap hari dari
orang lain, baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Simbol Nonverbal
Istilah nonverbal biasanya digunakan untuk melukiskan semua
peristiwa komunikasi diluar kata-kata terucap dan tertulis. Pada saat
yang sama kita harus menyadari bahwa banyak peristiwa dan
perilaku nonverbal ini ditafsirkan melalui simbol-simbol nonverbal.
A. Klasifikasi Pesan Nonverbal
Banyak klasifikasi membagi pesan nonverbal ke dalam
dua kategori komprehensif (Samovar, dkk, 2010:299):
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
1. Perilaku Tubuh
a. Penampilan
Komponen penting dari penampilan adalah
persepsi mengenai hal yang menarik dan cantik. Ruben
menuliskan bahwa penampilan seseorang dapat
menunjukan “kepandaian, gender, usia, pendekatan,
kemampuan, ekonomi, kelas, selera, nilai, dan latar
belakang budaya”.
b. Pakain/Busana
Pakaian di samping berfungsi sebagai pelindung,
juga merupakan suatu bentuk komunikasi. Di Amerika
Serikat, seperti yang dinyatakan oleh Adler dan
Rodman,”pakaian dapat digunakan untuk menampilkan
status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar
moral, kemampuan atletik/ketertarikan, system
kepercayaan (politik, filosofi, agama), dan tingkat
kepuasan.
c. Ekspresi Wajah
Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah
wajah “yang sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak
lahir. Kedua, wajah yang kita manipulasi bila kita mau,
misalnya tersenyum, berkedip, cemberut, dan lain
sebagainya. Ketiga, kita memiliki wajah yang berubah
oleh sekeliling kita dan pesan yang kita terima. Ferraro
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
lebih lanjut menekankan pentingnya ekspresi wajah
dengan menyatakan bahwa wajah merupakan pusat dari
proses komunikasi, sehingga manusia kadang berbicara
“wajah ke wajah”.
d. Kontak Mata
Pengaruh kontak mata dalam komunikasi juga
dapat dilihat dalam karya dan musik mengenai mata
yang ada selama ratusan tahun. Emerson menuliskan,
”Mata mencerminkan jiwa”.
Alasan lain dari pentingnya mata dalam proses
komunikasi adalah bahwa pesan yang kita kirimkan
dengan mata kita tak terbatas jumlahnya. Kita telah
mendengar beberapa kata berikut untuk menjelaskan
mata orang: kontak mata langsung, dalam banyak
budaya merupakan hal tabu dan menghina. Kontak
mata yang lama, dianggap kasar, mengancam, tidak
menghargai, dan bahkan tanda menantang. Di Amerika
utara, tatapan mata yang lama merupakan kode
nonverbal yang digunakan oleh subkultur gay. Tatapan
mata menyolok, untuk menyatakan rasa marah. Tatapan
mata berbinar-binar, untuk menyatakan ketulusan,
kebahagiaan, kebanggaan. Kedipan, sangat umum di
Spanyol dan Prancis untuk menyatakan konspirasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
Gerakan mata mengedipkan berkali-kali, digunakan
perempuan untuk membujuk.
e. Sentuhan
Disentuh dan menyentuh juga merupakan sarana
komunikasi. “Sentuhan merupakan perasaan yang
paling tua, paling primitif dan mendarah daging.
Sentuhan merupakan perasaan pertama yang kita alami
ketika masih dalam kandungan dan yang terakhir kita
hilangkan sebelum kematian. Dengan demikian, arti
suatu sentuhan dan alasan kita menyentuh orang lain,
memberikan pengetahuan mengenai komunikasi yang
kita lakukan.
Menurut bentuknya, sentuhan badan dibagi atas 4
macam (Riswandi , 2009:75-76) :
1. Kinesthetic
Ialah isyarat yang ditunjukan dengan
bergandengan tangan satu sama lain, sebagai simbol
keakraban atau kemesraan.
2. Sosiofugal
Ialah isyarat yang ditunjukan dengan jabat
tangan atau saling merangkul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
3. Thermal
Ialah isyarat yang ditunjukan dengan sentuhan
badan yang terlalu emosional sebagai tanda
persahabatan yang begitu intim. Misalnya menepuk
punggung karena sudah lama tak bertemu.
4. Paralanguage
Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan
atau irama suara sebagai penerima pesan dapat
memahami sesuatu di balik apa yang diucapkan.
Misalnya kata “ datang-datanglah ke rumah” bisa
diartikan betul-betul mengundang kehadiran kita
atau sekedar basa-basi.
f. Parabahasa
Parabahasa atau vokalika (vocalics) mengacu
pada aspek-aspek suara selain ucapan yang dapat
dipahami, misalnya :
1. Kualitas Vokal, meliputi : volume, intonasi (cepat-
lambat), dialek, nada suara ( tinggi-rendah), tempo,
gema.
2. Karakteristik Vokal, misalnya : tertawa,
menangis, merintih, merengek, menguap, suitan,
erangan, desahan, gumaman, gerutuan, suara
terputus-putus, suara gemetar, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
3. Pembeda Vokal, seperti : “uh-huh,”uh”,”ooh”,
“mmmh”, “huuuu..”
Meskipun aspek-aspek parabahasa ini berkaitan
dengan komunikasi verbal, aspek-aspek tersebut harus
dianggap sebagai dari komunikasi nonverbal yang
menunjukan kepada kita bagaimana perasaan
pembicara. Mengenai pesannya, apakah ia percaya diri,
gugup, sedih, senang, menggerutu, atau menunjukan
aspek-aspek emosional lainnya.
g. Gerakan Badan (Kinesics)
Menurut Cangara sebagaimana dikutip oleh
Riswandi (2009:73-74), Gerakan-gerakan badan
(Kinesics) bisa dibedakan atas 5 jenis, yaitu:
1. Emblem
Ialah isyarat yang punya arti langsung pada
simbol yang dibuat oleh gerakan tubuh. Misalnya
mengangkat jari V yang artinya victory atau
menang.
2. Illustrators
Ialah isyarat yang di buat dengan gerakan-
gerakan badan untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya
tinggi rendahnya objek yang dibicarakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
3. Affect displays
Ialah syarat yang terjadi karena adanya
dorongan emosional sehingga berpengaruh pada
ekspresi muka. Misalnya tertawa, menangis,
senyum, mencibir, sinis,sinis, dan sebagainya.
4. Regulators
Ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada
daerah kepala. Misalnya mengangguk tanda setuju
atau menggeleng tanda menolak.
5. Adaptory
Ialah gerakan-gerakan badab yang dilakukan
sebagai tanda kejengkelan. Misalnya menggerutu,
mengepalkan tinju ke atas meja.
2. Ruang Lingkup
a. Tempat/Ruang
Edward T. hall dalam Riswandi (2009:77),
mengemukakan istilah proxemics sebagai studi yang
mengkaji persepsi manusia atas ruang (pribadi dan
sosial), yaitu cara manusia menggunakan ruang dalam
berkomunikasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
b. Waktu
Banyak orang menyadari bahwa waktu adalah
gambaran pemikiran. Refleksi diri akan menyatakan
apa yang dikomunikasikan waktu mengenai kehidupan
profesional dan kehidupan pribadi kita.
c. Diam
Peribahasa Afrika menyatakan, “Dalam diam kita
dapat berkata-kata”. Samovar, dkk berpendapat bahwa
sikap diam dapat mengirimkan petunjuk nonverbal
mengenai situasi komunikasi di mana kita
berpartisipasi.
B. Fungsi Komunikasi Nonverbal
Dalam buku Riswandi (2009:70), menjelaskan dalam
hubungannya dengan perilaku verbal, perilaku nonverbal
mempunyai fungsi-fungsi sebagai berikut :
1. Perilaku nonverbal dapat mengulangi/repetisi perilaku
verbal. Misalnya kita sering menggunakan kepala ketika
kita mengatakan ‘ya’ atau menggelengkan kepala ketika
mengatakan ‘tidak’.
2. Memperteguh, menekan, atau melengkapi perilaku verbal.
Misalnya dengan melambaikan tangan seraya
mengucapkan’selamat jalan’, ‘sampai jumpa’, atau ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
berpidato kita melakukan ‘gerakan tangan’, atau ‘nada suara
tinggi’ atau ‘nada suara merendah’.
3. Perilaku nonverbal dapat menggantikan/substitusi perilaku
verbal. Misalnya menggoyangkan tangan dengan telapak
tanganmenghadap ke depan (sebagai pengganti kata
“tidak”).
4. Perilaku nonverbal dapat meregulasi perilaku verbal.
Misalnya anda sebagai pembaca mengenakan jaket atau
membereskan buku-buku, atau melihat anda ketika waktu
kuliah sudah berakhir, sehingga dosen segera menutup
kuliah.
C. Kerangka Teori
1. Dramaturgis Erving Goffman
Perspektif dramaturgis dari Erving Goffman, sebenarnya
merupakan salah satu model pendekatan interaksi simbolik selain
teori penjulukan dan etnometodologi (Mulyana, 2007 : 37). Goffman
begitu terilhami oleh teori interaksi simbolik dari Mead. Mead
melihat pikiran (mind) dan dirinya (self) menjadi bagian dari
perilaku manusia yaitu bagian interaksinya dengan orang lain.
Bahkan menurut Mead : “sebelum seseorang bertindak, ia
membayangkan dirinya dalam posisi orang lain dengan harapan-
harapan orang lain dan mencoba memahami apa yang diharapkan
orang itu”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
Intinya, hanya dengan menyerasikan diri dengan harapan-
harapan orang lain, maka interaksi menjadi mungkin. Karena itulah
lewat pendekatannya terhadap interaksi sosial, Goffman sering
dianggap sebagai salah satu penafsir ‘teori diri’ dari Mead dengan
menekankan sifat simbolik dari manusia. Goffman menganggap
individu (bukan struktur yang lebih besar) sebagai satuan analisis.
Untuk menjelaskan tindakan manusia, Goffman memakai analogi
drama dan teater. Hal itulah yang menjadikannya sebagai seorang
dramaturgis.
Goffman tidak memusatkan perhatiannya pada struktur sosial.
Ia lebih tertarik pada interaksi tatap muka atau kehadiran bersama
(co-presence). Menurut Goffman : Biasanya terdapat suatu arena
kegiatan yang terdiri dari serangkaian kegiatan individu-individu
yang saling mempengaruhi tindakan mereka satu sama lain ketika
masing-masing berhadapan secara fisik. Para aktor adalah mereka
yang melakukan tindakan-tindakan atau penampilan rutin.
Pendekatan dramaturgis Goffman khususnya berintikan
pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan sesamanya, ia
ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada orang lain
terhadapnya.
a. Presentasi Diri Goffman
Diri dari Mead diinterpretasikan dan dikembangkan oleh
Goffman dalam bukunya yang paling berpengaruh, The
Presentation of Self in Every Day Life (1959). Jika Mead
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
menganggap diri pada dasarnya bersifat sosial, lebih-lebih lagi
Goffman. Bagi Goffman, individu tidak sekadar mengambil peran
orang lain, melainkan bergantung pada orang lain untuk
melengkapkan citra diri tersebut.
Presentasi diri, seperti yang ditunjukkan Goffman,
bertujuan memproduksi definisi situasi dan identitas sosial bagi
para aktor dan definisi situasi tersebut mempengaruhi ragam
interaksi yang layak dan tidak layak bagi para aktor dalam situasi
yang ada.
Konsep diri Goffman sangat dipengaruhi oleh pemikiran
Mead, khususnya dalam diskusi mengenai ketegangan antara diri
spontan, “I” dan “me”, diri yang dibatasi oleh kehidupan sosial.
Ketegangan itu tercermin dalam pemikiran Goffman tentang apa
yang disebutnya “ ketidaksesuaian antara diri manusiawi kita dan
diri kita sebagai hasil proses sosialisasi”. Ketegangan ini
disebabkan perbedaan antara apa yang ingin kita lakukan secara
spontan dan apa yang diharapkan orang lain untuk kita lakukan
(Ritzer, 2007 : 297).
Menurut Goffman, diri bukan milik aktor tetapi lebih
sebagai hasil interaksi dramatis antara aktor dan audien. Diri
adalah pengaruh dramatis yang muncul dari suasana yang
ditampilkan. Karena diri adalah hasil interaksi dramatis, maka
mudah terganggu selama penampilannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Konsep cermin diri Cooley (dalam Ritzer, 2007 : 295) dapat
dirinci menjadi tiga komponen. Pertama, kita membayangkan
bagaimana penampilan di mata orang lain. Kedua, kita
membayangkan apa yang seharusnya mereka nilai berkenaan
dengan penampilan kita. Ketiga, kita membayangkan semacam
perasaan diri tertentu seperti rasa harga diri atau rasa malu,
sebagai akibat dari bayangan kita mengenail penilaian oleh orang
lain. Konsep cermin diri ini berkaitan dengan presentasi diri dari
Goffman.
Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang
berinteraksi, mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang
akan diterima orang lain. Ia menyebut upaya itu sebagai
“pengelolaan kesan” (impression management), yakni teknik-
teknik yang digunakan aktor untuk memupuk kesan-kesan
tertentu dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.
Menurut Goffman, kebanyakan atribut, milik atau aktivitas
manusia digunakan untuk presentasi diri ini, termasuk busana
yang kita pakai, tempat kita tinggal, rumah yang kita huni, cara
kita melengkapinya (furniture dan perabotan rumah), cara kita
berjalan dan berbicara, pekerjaan yang kita lakukan dan cara kita
menghabiskan waktu luang kita. Segala sesuatu yang terbuka
mengenai diri kita sendiri dapat digunakan untuk memberitahu
orang lain siapa kita. Pendeknya, kita mengelola informasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
kita berikan kepada orang lain. Goffman menyebut aktivitas
untuk mempengaruhi orang lain itu sebagai pertunjukan.
b. Panggung Depan dan Panggung Belakang
Presentasi diri Goffman dalam interaksi sosial mereka
dimainkan ibarat pertunjukan teater di atas panggung.
Menggunakan metafor teater, Goffman (dalam Mulyana, 2007
:38) membagi kehidupan sosial ke dalam dua wilayah yaitu :
Pertama, Wilayah Depan (front region), yaitu tempat atau
peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan
peran formal atau bergaya layaknya aktor yang berperan. Wilayah
ini disebut juga ’panggung depan’ (front stage) yang ditonton
khalayak.
Kedua, Wilayah Belakang (back region), yaitu tempat
untuk mempersiapkan perannya di wilayah depan, disebut juga
’panggung belakang’ (back stage) atau kamar rias tempat pemain
sandiwara bersantai mempersiapkan diri atau berlatih untuk
memainkan perannya di panggung depan.
Goffman membagi panggung depan menjadi dua bagian :
front pribadi (personal front), dan setting. Setting yakni situasi
fisik yang harus ada ketika aktor harus melakukan pertunjukan.
Sebagai contoh, seorang dokter bedah umumnya memerlukan
kamar operasi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
Front pribadi terdiri dari alat-alat yang dapat dianggap
khalayak sebagai perlengkapan yang dibawa aktor ke dalam
setting. Dokter bedah misalnya, diharapkan memakai jubah putih.
Goffman kemudian membagi front personal ini menjadi
penampilan dan gaya. Penampilan meliputi berbagai jenis barang
yang mengenalkan kepada kita status sosial aktor. Sedangkan
gaya mengenalkan pada penonton, peran macam apa yang
diharapkan aktor untuk dimainkan dalam situasi tertentu (contoh
menggunakan gaya fisik, sikap. Tingkah laku kasar dan yang
lembut menunjukkan jenis pertunjukan yang sangat berbeda.
Umumnya kita mengharapkan penampilan dan gaya saling
bersesuaian (Ritzer, 2004 : 299).
Sedangkan panggung belakang biasanya berbatasan dengan
panggung depan, tetapi bersembunyi dari pandangan khalayak. Ini
dimaksudkan untuk melindungi rahasia pertunjukan, dan oleh
karena itu, khalayak biasanya tidak diizinkan memasuki
panggung belakang, kecuali dalam keadaan darurat. Suatu
pertunjukan akan sulit dilakukan bila aktor membiarkan khalayak
berada di panggung belakang.
Goffman berpendapat bahwa karena umumnya orang-orang
berusaha menyajikan diri mereka yang diidealisasikan dalam
pertunjukan mereka di panggung depan, mereka merasa bahwa
mereka harus menyembunyikan hal-hal tertentu dalam
pertunjukan mereka. Pertama, aktor mungkin ingin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
menyembunyikan kesenangan-kesenangan tersembunyi, seperti
meminum minuman keras, yang dilakukan sebelum pertunjukan
atau kehidupan masa lalu sebagai pecandu alkohol. Kedua, aktor
mungkin ingin menyembunyikan kesalahan yang dibuat saat
persiapan pertunjukan, juga langkah-langkah yang diambil untuk
memperbaiki kesalahan tersebut. Ketiga, aktor mungkin merasa
perlu menunjukan hanya produk akhir dan menyembunyikan
proses memproduksinya. Keempat, aktor mungkin perlu
menyembunyikan “kerja kotor” yang dilakukan untuk membuat
produk akhir itu dari khalayak. Kelima, dalam melakukan
pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar
lain. Akhirnya, aktor mungkin perlu menyembunyikan hinaan,
pelecehan, atau perundingan, yang dibuat sehingga pertunjukan
dapat berlangsung. Umumnya aktor berkepentingan
menyembunyikan semua fakta itu dari khalayak.
Aspek dramaturgi lain di front stage adalah aktor sering
mencoba menyampaikan kesan bahwa mereka lebih akrab dengan
audien ketimbang dalam keadaan yang sebenarnya. Contoh, aktor
mungkin mencoba menimbulkan kesan bahwa pertunjukan di
mana mereka terlibat di saat itu adalah satu-satunya pertunjukan
mereka. Untuk melakukan ini, aktor harus yakin bahwa audien
mereka dipisahkan sedemikian rupa sehingga kepalsuan
pertunjukan tidak ditemukan (Ritzer, 2004 : 300).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
c. Pengelolaan Kesan (Impression Management)
Goffman menutup bahasan Prensentation of Self in Every
Day dengan pemikiran tambahan mengenai seni mengelola kesan.
Pada umumnya, pengelolaan kesan mengarah pada kehati-hatian
terhadap serentetan tindakan yang tak diharapkan, seperti gerak
isyarat yang tak diharapkan, gangguan yang tak menguntungkan
dan kesalahan bicara atau bertindak maupun tindakan yang
diharapkan seperti membuat adegan.
Goffman tertarik pada berbagai metode yang menjelaskan
masalah seperti itu. Pertama, ada sekumpulan metode yang
melibatkan tindakan yang bertujuan menciptakan loyalitas
dramaturgis, misalnya dengan memupuk kesetiakawanan dalam
kelompok. Kedua, Goffman menunjukkan berbagai bentuk
disiplin dramaturgis, seperti menjaga kesadaran untuk
menghindari kekeliruan (Ritzer, 2007 : 302).
Penonton juga perlu menjadi bahan pertimbangan oleh aktor
atau tim aktor dalam mengelola kesan yang berhasil. Penonton
sering bertindak membantu pertunjukan melalui muslihat seperti
memberikan perhatian besar terhadap pertunjukan,
menghindarkan ledakan emosional, tidak menghiraukan
kekeliruan, dan memberikan perhatian khusus terhadap aktor
pendatang baru.
Goffman mengakui bahwa orang tidak selamanya ingin
menunjukan peran formalnya dalam panggung depannya. Orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
mungkin memainkan suatu peran, meskipun ia enggan akan peran
tersebut, atau menunjukkan keengganannya untuk memainkannya
padahal ia senang dengan peran tersebut. Salah satu pemikiran
Goffman adalah bahwa jarak peran adalah fungsi status sosial
seseorang. Orang yang berstatus sosial tinggi lebih sering
menunjukkan jarak sosial karena alasan yang berbeda pada posisi
status lebih rendah.
Dalam jarak peran (role distance), Goffman memusatkan
perhatian pada derajat pelaksanaan peran tertentu oleh individu
(aktor). Menurut pandangannya, karena banyaknya peran, maka
hanya sedikit individu yang benar-benar terlibat sepenuhnya
dalam peran-peran tertentu. Role distance menerangkan derajat
pemisahan antara individu dengan peran-peran yang diharapkan
dimainkannya.
d. Penggunaan Tim
Penggunaan tim atau pembentukan tim harus ada dalam
proses dramaturgi. Tanpa sebuah tim, maka suatu fenome na
sosial tidak bisa diteropong oleh teori dramaturgi Goffman. Fokus
perhatian Goffman sebenarnya bukan hanya individu, tetapi juga
kelompok atau tim. Selain membawakan peran dan karakter
secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan
orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga, tempat kerja,
partai politik, atau organisasi lainnya yang mereka wakili. Semua
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
nggota itu adalah apa yang Goffman sebut sebagai ”tim
pertunjukan”(performance team) yang mendramatisasikan suatu
aktivitas. Kerjasama tim sering dilakukan oleh para anggota
dalam menciptakan dan menjaga penampilan dalam wilayah
depan (Mulyana, 2008 :122).
Para anggota tim sering melakukan latihan (rehearsel)
terlebih dahulu, tanpa kehadiran khalayak, agar dalam
pertunjukan yang sebenarnya semua kesan yang baik dan
berwibawa terpelihara. Mereka harus mempersiapkan
perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya
pertunjukan, memilih pemain inti yang layak (siapa melakukan
apa), dan melakukan pertunjukan secermat dan seefisien
mungkin, dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai.
Setiap anggota saling mendukung dan bila perlu memberi arahan
lewat isyarat nonverbal, seperti isyarat tangan atau isyarat mata,
agar pertunjukan berjalan mulus.
Goffman menekankan bahwa pertunjukan yang dibawakan
suatu tim sangat bergantung kesetiaan setiap anggotanya. Setiap
anggota tim memegang rahasia tersembunyi bagi khalayak yang
memungkinkan kewibawaan tim tetap terjaga. Seperangkat tehnik
harus diciptakan dan diterapkan untuk menjaga kewibawaan dan
kekompakan pertunjukan kelompok, membatasi kontak antara
anggota kelompok dengan khayalak, dan melakukan pertunjukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
agar khalayak secara periodik, agar khalayak tidak banyak tahu
tentang tim pertunjukan.
6. Kerangka Berpikir
Gambar 1. Kerangka Pikir
Skema diatas menjelaskan mengenai pengemis sebagai pelaku
komunikasi, atau bisa disebut sebagai komunikator, apa yang dibayangkan
dan dipikirkan pengemis untuk mengelola kesan bagi orang lain, awalnya
terjadi pada diri sendiri. Pengemis dapat menyadari dirinya sendiri,
mengevaluasi dirinya sendiri. Proses selanjutnya, terjadinya proses
komunikasi verbal dan nonverbal yang dilakukan oleh pengemis atau bisa
disebut sebagai pengiriman pesan dari komunikator (pengemis) kepada
komunikannya, yaitu calon dermawan. Dari proses komunikasi tersebut,
terjadilah apa yang dinamakan management impressions atau pengelolaan
kesan ketika akan berhadapan dengan calon dermawan (komunikator). Dalam
Pengemis
Komunikasi Verbal : Bahasa, Intonasi, Nada Suara,
Komunikasi Nonverbal : Isyarat dan gerakan tubuh,, Penampilan, Ekspresi wajah,
Pengelolaan Kesan
Presentasi diri
Mendapat Sedekah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
pengelolaan kesan tersebut, pengemis berupaya sedemikian rupa untuk
mengolah pesan yang akan disampaikan agar pesan tersbut dapat
tersampaikan dengan baik. Proses selanjutnya adalah mempresentasikan diri
atau self presentation kepada calon dermawannya. Dari situlah pesan tersebut
tersampaikan dan menimbulkan efek timbal balik dalam bahasan disini yaitu
“mendapatkan sedekah” atau sebaliknya jika pesan yang dikemas dan
dipresentasikan tidak sampai pada sasaran maka tidak akan mendapat efek
tersebut atau “tidak mendapat sedekah”.
7. Batasan Konsep
A. Komunikasi
Berdasarkan berbagai arti kata communicare yang menjadi asal
kata komunikasi, maka secara harfiah komunikasi berarti pemberitahuan,
pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran atau hubungan (Hardjana,
2003:10). Komunikasi sendiri berasal dari gagasan yang ada pada
seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirim melalui
media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Dari proses
terjadinya komunikasi itu, secara teknis pelaksanaan, komunikasi dapat
dirumuskan sebagai “ kegiatan seseorang dimana seseorang
menyampaikan pesan melalui media tertentu kepada orang lain dan
sesudah menerima pesan serta memahami sejauh kemampuannya,
penerima pesan menyampaikan tanggapan melalui media tertentu pula
kepada orang yang menyampaikan pesan itu kepadanya “ (Hardjana,
2003:11).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
B. Simbol Verbal dan Nonverbal
1. Simbol Verbal
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara
yang kita sadari termasuk kedalam kategori pesan verbal disengaja,
yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar untuk berhubungan
dengan orang lain secara lisan (Mulyana, 2001).
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran,
dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang
merepresentasikan berbagai aspek realitas individual kita.
Konsekuensinya kata-kata adalah abstraksi realitas kita yang tidak
mampu menimbulkan reaksi yang merupakan totalitas objek atau
konsep yang diwakili kata-kata itu. Bahasa verbal juga dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan di
pahami suatu komunitas (Mulyana, 2000:238).
Bahasa verbal dapat diungkapkan dalam beberapa macam :
a. Ungkapan hiperbola, yaitu suatu gaya bahasa yang mengandung
pernyataan yang berlebihan.
b. Ungkapan redudensi, yaitu suatu gaya bahasa yang diucapkan
secara berulang.
c. Ungkapan litotes, yaitu semacam gaya bahasa yang dipakai
untuk menyatakan sesuatu dengan tujuan merendahkan diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
d. Ungkapan metafora, yaitu semacam analogi yang menimbulkan
dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat.
2. Simbol Nonverbal
a. Perilaku Tubuh
1. Penampilan
Komponen penting dari penampilan adalah persepsi
mengenai hal yang menarik dan cantik. Ruben menuliskan
bahwa penampilan seseorang dapat menunjukan
“kepandaian, gender, usia, pendekatan, kemampuan,
ekonomi, kelas, selera, nilai, dan latar belakang budaya”.
2. Pakaian/Busana
Pakaian di samping berfungsi sebagai pelindung, juga
merupakan suatu bentuk komunikasi. Di Amerika Serikat,
seperti yang dinyatakan oleh Adler dan Rodman,”pakaian
dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi,
pendidikan, status sosial, standar moral, kemampuan
atletik/ketertarikan, system kepercayaan (politik, filosofi,
agama), dan tingkat kepuasan.
3. Ekspresi Wajah
Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah
wajah “yang sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak lahir.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Kedua, wajah yang kita manipulasi bila kita mau, misalnya
tersenyum, berkedip, cemberut, dan lain sebagainya. Ketiga,
kita memiliki wajah yang berubah oleh sekeliling kita dan
pesan yang kita terima. Ferraro lebih lanjut menekankan
pentingnya ekspresi wajah dengan menyatakan bahwa
wajah merupakan pusat dari proses komunikasi, sehingga
manusia kadang berbicara “wajah ke wajah”.
4. Kontak Mata
Pengaruh kontak mata dalam komunikasi juga dapat
dilihat dalam karya dan music mengenai mata yang ada
selama ratusan tahun. Emerson menuliskan,”Mata
mencerminkan jiwa”.
Alasan lain dari pentingnya mata dalam proses
komunikasi adalah bahwa pesan yang kita kirimkan dengan
mata kita tak terbatas jumlahnya. Kita telah mendengar
beberapa kata berikut untuk menjelaskan mata orang:
kontak mata langsung, dalam banyak budaya merupakan
hal tabu dan menghina. Kontak mata yang lama, dianggap
kasar, mengancam, tidak menghargai, dan bahkan tanda
menantang. Di Amerika utara, tatapan mata yang lama
merupakan kode nonverbal yang digunakan oleh subkultur
gay. Tatapan mata menyolok, untuk menyatakan rasa
marah. Tatapan mata berbinar-binar, untuk menyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
ketulusan, kebahagiaan, kebanggaan. Kedipan, sangat
umum di Spanyol dan Prancis untuk menyatakan
konspirasi. Gerakan mata mengedipkan berkali-kali,
digunakan perempuan untuk membujuk.
5. Sentuhan
Disentuh dan menyentuh juga merupakan sarana
komunikasi. “Sentuhan merupakan perasaan yang paling
tua, paling primitif dan mendarah daging. Sentuhan
merupakan perasaan pertama yang kita alami ketika masih
dalam kandungan dan yang terakhir kita hilangkan sebelum
kematian. Dengan demikian, arti suatu sentuhan dan alasan
kita menyentuh orang lain, memberikan pengetahuan
mengenai komunikasi yang kita lakukan.
Menurut bentuknya, sentuhan badan dibagi atas 3
macam (Riswandi , 2009:75-76) :
1. Kinesthetic
Ialah isyarat yang ditunjukan dengan bergandengan
tangan satu sama lain, sebagai simbol keakrabanatau
kemesraan.
2. Sosiofugal
Ialah isyarat yang ditunjukan dengan jabat tangan atau
saling merangkul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3. Thermal
Ialah isyarat yang ditunjukan dengan sentuhan badan
yang terlalu emosional sebagai tanda persahabatan yang
begitu intim. Misalnya menepuk punggung karena sudah
lama tak bertemu.
4. Paralanguag
Ialah isyarat yang ditimbulkan dari tekanan atau irama
suara sebagai penerima pesan dapat memahami sesuatu
di balik apa yang diucapkan.
6. Parabahasa
Apa yang sedang kita bicarakan adalah merupakan
bagian kecil dari apa yang disebut dengan parabahasa.
Pertama, kualitas vocal (volume, nada suara, tempo, gema);
kedua, karakteristik vokal (tertawa, menangis, merintih,
merengek, menguap); dan ketiga, pembeda vokal (“uh-
huh,”uh”,”ooh”, “mmmh”)
7. Gerakan Badan atau Tubuh
Menurut Cangara sebagaimana dikutip oleh Riswandi
(2009:73-74), Gerakan-gerakan badan (Kinesics) bisa
dibedakan atas 5 jenis, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
a. Emblem
Ialah isyarat yang punya arti langsung pada simbol
yang dibuat oleh gerakan tubuh. Misalnya mengangkat
jari V yang artinya victory atau menang.
b. Illustrators
Ialah isyarat yang di buat dengan gerakan-gerakan
badan untuk menjelaskan sesuatu. Misalnya tinggi
rendahnya objek yang dibicarakan.
c. Affect displays
Ialah syarat yang terjadi karena adanya dorongan
emosional sehingga berpengaruh pada ekspresi muka.
Misalnya tertawa, menangis, senyum, mencibir,
sinis,sinis, dan sebagainya.
d. Regulators
Ialah gerakan-gerakan tubuh yang terjadi pada daerah
kepala. Misalnya mengangguk tanda setuju atau
menggeleng tanda menolak
e. Adaptory
Ialah gerakan-gerakan badab yang dilakukan sebagai
tanda kejengkelan. Misalnya menggerutu, mengepalkan
tinju ke atas meja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
C. Pengemis
Seseorang yang mencari penghasilan dengan cara meminta-minta.
Biasanya mereka melakukan pekerjaannya itu dengan alasan sulitnya
mencari pekerjaan di zaman sekarang karena sempitnya lapangan
pekerjaan.
8. Metodologi Penelitian
A. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian deskriptif
dan jenis penelitian kualitatif. Krik dan Miller mendefinisikan bahwa
penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial
yang secara fundamental bergantungan dengan orang-orang tersebut
dalam bahasanya dan dalam peristilahannya (Moleong, 2005:13).
Oleh karena itu, strategi penelitian ini terarah pada penelitian
kualitatif yang bersifat deskriptif. Bogdan dan Taylor mengatakan
metode kualitatif sebagai prosedur-prosedur penelitian yang digunakan
untuk menghasilkan data deskriptif yang ditulis atau yang di ucapkan
orang dan perilaku-perilaku dapat diamati. Studi deskriptif kualitatif
adalah suatu gejala-gejala sosial atau berusaha mendeskripsikan
fenomena sosial tertentu secara terperinci (Pawito, 2007:84).
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah wilayah atau daerah dimana data
dikumpulkan. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil daerah di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
wilayah Pasar Klewer Surakarta. Adapun pengambilan daerah penelitian
ini didasarkan atas pertimbangan :
a. Lokasi penelitian yang letaknya di Pasar Klewer Surakarta,
merupakan salah satu tempat perdagangan pakaian dan sejenisnya di
kota Surakarta, yang terdapat banyak pengemis yang menjalankan
‘pekerjaannya’di sekitar daerah tersebut.
b. Lokasi tersebut, walaupun sedikit jauh untuk peneliti tempuh,tetapi
terjangkau dan akses jalannya mudah.
C. Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data
kualitatif yang bukan merupakan angka-angka nominal melainkan berupa
kalimat-kalimat bermakna derkriptif dan dilengkapi dengan penjelasan-
penjelasan. Menurut Lofland dan Lofland, sumber data utama dalam
penelitian kualitatif ialah kata-kata dan tindakan, selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain (Moleong, 2005 :157).
Berdasarkan asal perolehannya, data kualitatif dapat dibagi menjadi :
1. Data Primer
Data Primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
informan, melalui wawancara dan pengamatan. Dalam penelitian ini
diambil informan yaitu pengemis yang mampu memberikan
informasi, bersedia di wawancarai,dan yang tidak menutup diri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
2. Data Sekunder
Data Sekunder, adalah data yang dikumpulkan untuk
mendukung dan melengkapi data primer berkenaan dengan masalah
penelitian. Data ini diperoleh melalui pemanfaatan sumber data yang
telah tersedia seperti dokumen dan arsip-arsip yang dimiliki.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan teknik :
1. Wawancara Mendalam (In-depth Interview)
Menurut Moleong (2005 : 186), wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan
terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas
pertanyaan itu.
Untuk memperoleh data, peneliti menggunakan teknik
wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah teknik
pengumpulan data dimana peneliti mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tentang segala sesuatau kepada informan untuk
memperoleh informasi yang di harapkan. Wawancara dalam metode
ini tidak mengunakan struktur yang ketat namun menggiring
pertanyaan yang makin memusat sehingga informasi yang di
kumpulkan cukup memadai. Wawancara mendalam disebutkan oleh
Mulyana bahwa wawancara mendalam ini sama atau serupa dengan
wawancara tak berstruktur, wawancara intensif, wawancara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
kualitatif, wawancara terbuka, dan wawancara etnografis (Mulyana,
2004:80).
2. Observasi
Dalam konteks ilmu komunikasi, penelitian dengan
pengamatan atau observasi biasanya dilakukan untuk melacak secara
sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait dengan
persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Di sini
kata ‘langsung’ memiliki pengertian bahwa peneliti hadir dan
mengamati kejadian-kejadian di lokasi. Kemudian kata’sistematis’
menunjuk pada karakter (Pawito, 2007:111).
Dalam penelitian ini, peneliti memilih untuk melakukan
observasi tidak terlibat (nonparticipant observation). Artinya,
peneliti tidak ikut terlibat langsung dalam sebuah komunitas tertentu
melainkan hanya mengambil data yang hanya diperlukan (Pawito,
2007:114).
3. Dokumentasi
Dokumentasi tertulis atau arsip merupakan sumber data yang
sering memiliki posisi penting dalam penelitian kualitatif, teruma
bila sasaran dan kajian mengarah pada latar belakang atau berbagai
peristiwa yang terjadi di masa lampau yang sangat berkaitan dengan
kondisi atau peristiwa masa kini yang sedang diteliti (Sutopo,
2002:69).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
E. Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
1. Sampel
Sampel adalah wujud kongkrit yang terjadi pada suatu populasi
atau individu yang merupakan sebagian dari keseluruhan yang
menjadi bagian dari suatu penelitian (Arikunto, 2002:112).
Sampel yang diambil dalam penelitian ini bukan sesuatu yang
mutlak, artinya sampel yang diambil disini menyesuaikan dengan
kebutuhan di lapangan. Dalam penelitian kualitatif, sampel bukan
mewakili populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif. Tetapi
informan mewakili informasi. Dan sampel juga berfungsi untuk
menggali beragam informasi serta menemukan sejauh mungkin
sebagai informasi penting. Dalam memilih sampel yang lebih utama
adalah bagaimana menentukan sampel sevariatif mungkin, dan
berikutnya dan dipilih untuk memperluas dan menambah informasi
yang telah diperoleh terlebih dahulu sehingga dapat dipertentangkan.
Dengan demikian dapat mengisi kesenjangan informasi.
2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan
metode snowball sampling. Artinya cara pengambilan sampel ini
mengaplikasi jumlah sampel yang semakin membesar seiring dengan
perjalanan waktu pengamatan. Peneliti berangkat dari seorang
informan untuk mengawali. Kepada informan ini peneliti
menanyakan siapa lagi berikutnya atau siapa saja orang yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
selayaknya diwawancarai, kemudian peneliti beralih menemui
informan berikutnya sesuai disarankan oleh informan pertama, dan
begini seterusnya hingga peneliti yakin merasa yakin bahwa data
yang dibutuhkan sudah didapatkan secara memadai. Cara ini dapat
membawa bias, yakni hanya orang (atau tokoh-tokoh) yang memiliki
kedekatan hubungan saja yang direkomendasi oleh informan.
Kemungkinan informan menyarankan peneliti untuk menemui tokoh
yang berlawanan pendapat atau memiliki hubungan kurang harmonis
dengannya sangat kecil. Untuk mengatasi hal ini, Lindlof
menyarankan agar agar peneliti meminta kepada informan yang
tergolong awal didatangi untuk menyebutkan beberapa nama yang
disarankan untuk di datangi. Dengan daftar nama ini, peneliti
kemudian membandingkan daftar satu dengan yang lainnya sehingga
dapat mengetahui nama-nama informan berikutnya yang lebih
banyak disarankan untuk ditemui (Pawito, 2007:92).
Adapun kriteria informan yang peneliti ambil adalah :
1. Pengemis yang mengemis tetap di Pasar Klewer
2. Pengemis yang tergolong dewasa usia minimal 17 tahun
3. Pengemis yang bisa memberikan informasi dengan jelas
3. Validitas Data
Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain. Di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Denzin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
sebagaimana dikutip dalam Moleong (2005 : 330), membedakan
empat macam triangulasi sebagai tehnik pemeriksaan yaitu :
a. Triangulasi Sumber
b. Triangulasi Peneliti
c. Triangulasi Penyidik
d. Triangulasi Teori
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan triangulasi sumber
yaitu membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu
informasi yang diperoleh pada waktu dan alat yang berbeda.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara :
1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil
wawancara.
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum
dengan apa yang dikatakan secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi
penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan
berbagai pendapat orang lain dengan latar belakang berbeda
seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau
tinggi, orang berada, pemerintahan, dan lain sebagainya.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen
yang berkaitan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
F. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses yang merinci usaha secara formal untuk
menemukan tema dan merumuskan hipotesis kerja (ide) seperti yang
disarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan pada
tema dan hipotesis kerja itu (Bogdan dan Taylor dalam Moleong, 2005
:280). Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis
data kualitatif. Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen
(dalam Moleong, 2005 : 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan
bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mencari, dan
menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari,
dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Menurut Miles dan Huberman dalam Sutopo (2002:91), ada tiga
komponen pokok dalam tahap analisis data, yaitu :
a. Reduksi Data (Data Reduction)
Komponen pertama dalam analisis yang merupakan proses
seleksi, pemfokusan, penyederhanaan, dan abstraksi data kasar dari
fieldnote. Reduksi data berlangsung sejak peneliti mengambil
keputusan tentang kerangka kerja konsetual, melakukan pemilihan
kasus, penyusunan pertanyaan penelitian, dan juga waktu
menentukan cara pengumpulan data yang akan digunakan. Dengan
kata lain reduksi data adalah bagian dari proses analisis yang
mempertegas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal
yang tidak penting, dan mengatur data sedemikian rupa sehingga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Reduksi data merupakan
proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstrakan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-
catatan lapangan. Langkah-langkah yang dilakukan adalah
menajamkan analisis, menggolongkan atau pengkategorisasian ke
dalam tiap permasalahan melalui uraian singkat, mengarahkan,
membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data sehingga
kesimpulan- kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.
Adapun data yang direduksi antara lain seluruh data mengenai
permasalahan penelitian dan kemudian dilakukan penggolongan ke
dalam beberapa bagian. Kemudian dari masing-masing bagian
tersebut dikelompokkan lagi berdasarkan sistematisasinya. Adapun
perolehan data mengenai hal-hal yang tidak relevan dengan
penelitian, sebaiknya tidak dimasukkan dalam penyajian hasil,
namun tetap disimpan untuk masa yang akan datang jika diperlukan.
Dengan demikian, data yang direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih spesisifk dan mempermudah peneliti
melakukan pengumpulan data selanjutnya serta mencari data
tambahan jika diperlukan. Semakin lama peneliti berada di lapangan,
jumlah data akan semakin banyak, semakin kompleks dan rumit.
Untuk itulah diperlukan reduksi data sehingga data tidak betumpuk
dan mempersulit analisis selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
b. Penyajian Data (Data Display)
Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah
penyajian (display) data. Penyajian data merupakan analisis
merancang deretan dan kolom sebuah matriks untuk data kualitatif
dan menentukan jenis serta bentuk data yang dimasukkan ke dalam
kotak-kotak matriks (Miles, 1992:17-18). Penyajian data diarahkan
agar data hasil reduksi terorganisasikan, tersusun dalam pola
hubungan, sehingga makin mudah dipahami. Penyajian data dapat
dilakukan dalam bentuk uraian naratif, bagan, hubungan antar
kategori, diagram alur (flow chart), dan lain sejenisnya. Penyajian
data dalam bentuk- bentuk tersebut akan memudahkan peneliti
memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja penelitian
selanjutnya.
Pada langkah ini, peneliti berusaha menyusun data yang
relevan sehingga menjadi informasi yang dapat disimpulkan dan
memiliki makna tertentu. Prosesnya dapat dilakukan dengan cara
menampilkan dan membuat hubungan antar fenomena untuk
memaknai apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang perlu
ditindaklanjuti untuk mencapai tujuan penelitian. Penampilan atau
display data yang baik dan jelas alur pikirnya merupakan hal yang
sangat diharapakan oleh setiap peneliti. Display data yang baik
merupakan satu langkah penting menuju tercapainya analisis
kualitatif yang valid dan handal. Penyajian data merupakan suatu
rakitan organisasi informasi atau deskripsi dalam bentuk narasi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
memungkinkan kesimpulan penelitian dapat dilakukan. Penyajian
data merupakan komponen analisis kedua yang penting sehingga
kegiatan perencanaan kolom dalam bentuk matriks bagi data
kualitatif dalam bentuknya yang khusus sudah membawa peneliti
memasuki daerah analisis penelitian. Kedalaman dan kemantapan
hasil analisis sangat ditentukan oleh kelengkapan sajian datanya.
c. Penarik Kesimpulan (Conclution Drawing and Verifying)
Kesimpulan yang diambil akan ditangani secara longgar dan
tetap terbuka sehingga kesimpulan yang semula belum jelas
kemudian akan meningkat menjadi lebih rinci.dan kokoh (Glaser dan
Strauss dalam Moleong, 1992 : 19). Kesimpulan – kesimpulan ini
nantinya diverifikasi selama penelitian berlangsung untuk menguji
kebenarannya, kekokohannya, kecocokannya, yang merupakan
validitasnya.
Miles dan Huberman menggambarkan keterkaitan komponen-
komponen analisis data pada gambar berikut :
Gambar 2. Analisis Data Interaktif Milles dan Huberman
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Kesimpulan
Reduksi Data
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
BAB II
DESKRIPSI LOKASI
A. Pasar Klewer Surakarta
Secara geografis, Surakarta berada pada 110o 45’15’’-110o 45’35’’
Bujur Timur dan 7o 36’ 00’’-7o 56’ 00’’ Lintang Selatan, dengan ketinggian
92 meter di atas permukaan air laut, merupakan daerah dataran rendah. Kota
Surakarta juga mempunyai akses sarana transportasi darat maupun
transportasi udara yang mudah dijangkau, sehingga Surakarta tumbuh dan
berkembang sebagai kota strategis yang sarat dengan berbagai asset potensi
perdagangan. Adanya pasar-pasar yang cukup ternama di Surakarta
membuktikan hal ini, apalagi keberadaan pasar merupakan salah satu asset
andalan yang memberi kontribusi bagi PAD (Pendapatan Asli Daerah) kota
Surakarta.
Beberapa Pasar tradisional yang terbesar di wilayah Surakarta, cukup
memiliki peran sebagai pusat perdagangan yang legendaris, seperti Pasar
Klewer, yang merupakan salah satu pasar sandang terbesar di Indonesia dan
menjadi asset terhandal yang cukup memiliki jaringan bisnis terluas sebagai
penyangga ekonomi kota Surakarta. Posisi Pasar Klewer sendiri menghadap
ke utara, yang berada di daerah jalur pusat kota, dan tidak jauh dari pusat
pemerintahan baik pada masa kerajaan maupun pada masa sekarang.
Bangunan Pasar Klewer menempati tanah seluas 13.456 m2, yang
menempel pada tembok Keraton Kasunanan Surakarta, di antara sudut
sebelah barat dan utara keraton, berseberangan dengan Masjid Agung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Surakarta, tepatnya melekat dengan pintu gerbang atau gapura keraton
sebelah barat. Gapura ini merupakan akses penting ke wilayah pusat
pemerintahan keraton Surakarta, dan sekarang gapura tersebut lebih dikenal
dengan nama gapura Klewer. Secara administratif teritorial (kewilayahannya)
Pasar Klewer masuk dalam wilayah kalurahan Gajahan, Kecamatan Pasar
Kliwon.
Kecamatan Pasar Kliwon terletak diantara 110o-111o Bujur Timur, 7,6o-
8o Lintang Selatan, sedangkan batas wilayahnya sebagai berikut :
Utara : Kecamatan Banjarsari dan kecamatan Jebres
Selatan : Kecamatan Serengan dan Kabupaten Sukoharjo
Barat : Kecamatan Serengan dan Kecamatan Banjarsari
Timur : Kabupaten Sukoharjo
Secara administratif, pengelolaan Pasar Klewer berada pada wilayah IV
(empat) dibawah Dinas Pengelolaan Pasar (DPP) kota Surakarta. Beberapa
pasar yang masuk dalam wilayah ini adalah, Pasar Gading, Pasar
Hardjodaksimo, Pasar Besi Semanggi, dan Pasar Kliwon. Keberadaan Pasar
Klewer, berdekatan pula dengan bangunan bersejarah seperti Sitihinggil
Keraton, Alun-alun, Masjid Agung Kauman dan bangunan sepanjang
Coyudan (Setjoyudan).
B. Sejarah Berdirinya Pasar Plewer
Pasar Klewer dirintis sejak jaman penjajahan Jepang, dimana kehidupan
warga Surakarta banyak mengalami kesulitan. Keadaan serba sulit ini karena
harga-harga berbagai kebutuhan masyarakat termasuk sandang relatif mahal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Kehidupan yang serba sulit ini menjadikan sejumlah orang berinisiatif untuk
berjualan pakaian dan kain. saat itu lokasinya terletak disebelah timur Pasar
Legi atau kawasan kantor Air Minum dan Pasar Burung. Sejumlah orang ini
menjajakan pakaian dan kain dengan cara menggantungkannya dipundak, dan
berjalan hilir mudik dilingkungan tersebut, yang tentu saja barang
dagangannya menjuntai kebawah tidak beraturan atau istilah orang jawa
“kleweran”. Komunitas tersebut belum ada nama, maka disebutlah dengan
Pasar Klewer. Pada tahun 1970, pertama kali Pasar Klewer disebut Pasar
Slompretan, karena daerah tersebut bernama Kampung Slompretan. Pada saat
itu, kondisi pasar tidak memenuhi persyaratan ekonomis dan kesehatan, maka
dilakukan perkembangan fisik, sarana, dan prasarana pasar.Pada tahun 1971,
Pasar Slompretan dibangun dan para pedagang dipindahkan sementara di
alun-alun utara Keraton Surakarta. Pemerintah kemudian merenovasi pasar
hingga mencapai bentuk seperti yang sekarang ini, dengan pelaksana PT.
Sahid yang bermitra dengan Bank Bumi Daya dan pada tanggal 8 juni 1971
pasar tersebut telah selesai dibangun dan diresmikan oleh Presiden RI ,
Soeharto. Pada tahun 1971 ini, juga terjadi pergantian nama dari Pasar
Slompretan menjadi Pasar Klewer. Pergantian nama ini terjadi karena
banyaknya pedagang yang berjualan kain yang diletakkan (bahasa jawa :
disampirke) di pundak dan kain tersebut berkibar (bahasa jawa: nglewer-
nglewer) akhirnya disebut dengan Pasar Klewer. Pasar Klewer di bangun di
atas tanah seluas 10.000 m, dengan bangunan sebanyak kurang lebih 642
kios, 134 los, dan 310 pedagang kaki lima (PKL).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan ekonomi, keberadaan
Pasar Klewer semakin dikenal sebagai pusat tekstil di Jawa Tengah. Hal ini
mengakibatkan orang dari berbagai penjuru daerah, tidak hanya dari Pulau
Jawa tetapi juga dari Sumatra, Lombok, Kalimantan, dan sebagainya
berdatangan ke Surakarta untuk mencari barang dagangan. Melihat keadaan
Pasar Klewer yang berkembang sangat pesat, akibatnya memancing animo
pedagang untuk berjualan dilingkungan Pasar Klewer, sehingga
keberadaannya sangat mengganggu kelancaran arus lalu lintas dan
menganggu pedagang yang mempunyai Surat Ijin Penempatan (SIP). Untuk
mengatasi hal tersebut oleh Pemerintah Kota Surakarta waktu itu, R. Hartomo
pada tahun 1985 membangun Pasar Klewer Timur yang letaknya berhimpitan
dengan Pasar Klewer lama, dan peresmiannya dilakukan oleh Gubernur Jawa
Tengah, H.M Ismail pada 17 Desember 1986.
C. Visi dan Misi Pasar Klewer
1. Visi
Terwujudnya citra pasar yang bersih, tertib dan aman bertumpu pada
perekonomian Kota.
2. Misi
a. Meningkatkan kesempatan bekerja dan berusaha
b. Meningkatkan ketertiban dan keamanan pasar
c. Meningkatkan pelayanan kepada pedagang
d. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
D. Denah dan Kondisi Fisik Pasar Klewer
Denah Pasar Klewer terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian induk
untuk lantai atas, bagian induk lantai bawah, dan bagian timur, dengan
perincian sebagai berikut :
Luas tanah : 14.000 meter persegi
Jumlah Kios : 2.210 kios
Dengan pengkodean huruf kapital tunggal untuk
kios lantai bawah sedangkan huruf dobel kapital
untuk kios lantai atas.
Jumlah Pedagang : 1.804 pedagang
Kios yang memiliki SHP dan kurang lebih 650
pedagang pelataran (pedagang di dalam kios
maupun pedagang di pelataran)
E. Struktur Organisasi
Srtuktur Organisasi Dinas Pengelolaan Pasar (termasuk Pasar Klewer)
diatur dalam Peraturan daerah nomor 1 tahun 1987. Adapun susunan
organisasi tersebut, sebagai berikut :
Gambar 3. Struktur Organisasi Pasar Klewer
Kepala Pasar
Staf Administrasi
Pemungut Retribusi
Bagian Keamanan
Teknisi Listrik
Pembersih Pasar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Keterangan :
1. Kepala Pasar
Sebagai pelaksana teknis di lapangan yang bertugas memimpin
segala kegiatan pengelolaan pasar, dalam rangka menjalankan kebijakan-
kebijakan pemerintahan kota melalui Dinas Pengelolaan Pasar (DPPKS).
2. Bagian Administrasi
Membantu kelancaran pelaksanaan administrasi pasar, khususnya
penerimaan retribusi dan penyetoran hasil pungutan retribusi tersebut pada
pemerintah melalui kas daerah.
3. Pemungut Retribusi
Bertugas menjalankan kegiatan pemungutan retribusi pasar kepada
pedagang yang selanjutnya disetorkan ke kas daerah yang selanjutnya
menjadi sumber (Pendapatan Asli daerah) PAD Kota Surakarta.
4. Bagian Keamanan
Membantu kepala pasar dalam rangka mewujudkan pasar yang
tertib, aman, dan nyaman dari gangguan Kantibmas.
5. Teknisi Listrik
Membantu kepala pasar dalam pemonitoran instalasi listrik,
mengadakan perbaikan-perbaikan dan pelaporan-pelaporan agar selalu
terjaga dari bahaya kebakaran.
6. Pembersih Pasar
Membantu kepala pasar dalam rangka mewujudkan pasar yang
berseri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
Daftar nama staf Dinas Pengelolaan Pasar Kota Surakarta (untuk Pasar
Klewer), sebagai berikut :
1. Totok Supriyanto 10. Sunyono
2. Agus Putradi 11. Dwi Adi Prihutomo
3. Sunarto 12. Darmawan Yulianto
4. Nur atika 13. Sugiyanto
5. Andri Hendrawan 14. Agus Siswoyo
6. Pardi Istanto 15. Muh. Syaebani
7. Sigit Purnomo 16. Martha Ariwibowo
8. Sudirna 17. Fajar Susilo
9. Sarno
F. Perkembangan Pasar Klewer
Pasar Klewer merupakan pusat sandang, baik berupa bahan tekstil dan
produk tekstil dengan ciri khas unggulan kain batik. Pasar ini tidak hanya
menjadi kegiatan usaha masyarakat kota Surakarta, tetapi telah menjadi pusat
kegiatan usaha berskala nasional. Keberadaannya cukup terkenal sampai
mancanegara, sehingga tidak salah jika Pasar Klewer mendapat julukan
sebagai Pasar Proyek Tekstil Nasional. Selain itu, Pasar Klewer merupakan
mata rantai perdagangan tekstil dan produk tekstil yang memiliki jaringan
kegiatan dengan pusat-pusat perdagangan kain atau tekstil. Berbagai wilayah
jaringan perdagangan itu tersebar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Bali,
dan kawasan lain di luar Pulau Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Pembangunan pertama kali Pasar Klewer, dikerjakan oleh kontraktor
utama Sukamdani S. Gitosardjono, melalui perusahaan patungan ( Joint
Venture), Antara New Sahid Builders milik Sukamdani dan perusahaan
Negara Pembangunan Perumahan (PNPP) yang merupakan badan usaha milik
Negara. Peletakan batu pertama sebagai dimulainya pembangunan dilakukan
pada 8 Juni 1970, kemudian purna bangun Pasar Klewer diresmikan pertama
kali pada tanggal 9 Juni 1971 oleh Presiden Soeharto yang pada saat itu,
bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke 50 tahun. Pembangunan Pasar
Klewer tersebut, membutuhkan waktu kurang lebih 11 bulan. Pertama kali
Pasar Klewer dibangun terdiri dari sejumlah 1.370 kios sebagai lahan
berdagang dan sekarang, telah berkembang menjadi 2.114 kios di Pasar
Klewer.
Awal mula perkembangan sejarah Pasar Klewer, dimulai ketika masa
pendudukan penjajahan Jepang di Indonesia. Keterpurukan akibat panjajahan
berakibat hancurnya kondisi perekonomian bangsa. Masyarakat berada pada
kondisi kekurangan, karena harga segala kebutuhan menjadi mahal, demikian
pula akan kebutuhan sandang dan pangan sangat sulit di dapat. Akibat kondisi
ekonomi buruk, maka sejumlah penduduk secara serabutan berjualan kain
maupun pakaian jadi. Dimana saat itu, lokasi berjualannya masih di Stabelan,
sebelah timur Pasar Legi ( Banjarsari).
Asal kata “Klewer” sebagai nama Pasar berasal dari perilaku unik
pedagang sandang di dalamnya. Klewer secara etimologi berasal dari bahasa
jawa “ Kleweran” yaitu tergantung menjuntai karena memang awal cara
menjajakan (menawarkan) dagangannya, para pedagang sandang ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
menggantungkan dagangan di bahunya. Gantungan sandang tersebut dibuat
menjuntai kedepan, sehingga berjuntaian dari beberapa dagangannya yang di
gantungkan dalam ucapan kalimat bahasa jawa di sebut “pating klewer”,
kemudian kalau menawarkan, ujung juntaian (kleweran) tersebut di kibaskan
untuk menunjukkan dagangan pada pembeli yang lewat dan begitulah hilir
mudik pedagang ketika menawarkan dagangan kepada calon pembeli.
Juntaian dagangan terlihat terlihat “kleweran”, kata tersebut kemudian
terabadikan menjadi penanda jaman menjadi Pasar Klewer hingga jaman
sesudahnya.
Demikianlah perjalanan dan perkembangan Pasar Klewer mengukuhkan
diri sebagai pasar yang legendaris dan cukup berpengaruh bagi pertumbuhan
ekonomi perdagangan. Pasar Klewer tumbuh menjadi salah satu icon Pusat
Tekstil Nasional dengan omset penjualan mencapai milyaran rupiah setiap
hari. Pasar Klewer telah berkembang dari komoditas tekstil tradisional
sebagai unggulan, dan kini sudah menambah pada tren kebutuhan sandang
maupun tekstil yang mengacu pada jamannya. Pasar Klewer menawarkan
berbagai kebutuhan tekstil yang sangat lengkap dengan harga yang murah
dibanding dengan pasar tekstil lain. Pasar Klewer sempat mengukuhkan diri
sebagai pasar sandang di Asia Tenggara, khususnya tradisional.
Laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan ekonomi berubah pesat,
Pasar klewer menjadi daya tarik ekonomi masyarakat untuk mencari
penghidupan di dalamnya. Kapasitas pasar sangat terbatas secara fisik, hingga
kegiatan semakin padat dan terkesan overload. Bangunan fisik seakan tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
menampung lagi kegiatan di dalamnya dan persoalan berkembang semakin
komplek karena mengalami polarisasi problem yang sulit terkendali.
Beberapa tahun terakhir ini kondisi dan situasi Pasar Klewer sangat
memprihatinkan baik di dalam pasar maupun di luar pasar. Setiap sudut pasar
akan terlihat pemandangan yang terkesan sumpek, dan awut-awutan.
Persoalan keamanan, kemacetan, meupun penyakit masyarakat lain mulai
melingkupi dan menjadi problem keberadaan pasar, sehingga pasar terkesan
kumuh, rawan macet dan kehilangan daya tarik penggunanya, karena kurang
didukung oleh kenyamanan dan keamanan dalam berbelanja.
Klewer telah menjadi economic space yang handal dan cukup
diperhitungkan. Sehingga memiliki nilai ekonomi yang menjadi magnit
pengusaha untuk berusaha dan berinvestasi di sana. Peluang ini dimanfaatkan
oleh pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kota
Surakarta. Sebagai upaya mengurangi problem keberadaan Pasar Klewer,
untuk menciptakan kondisi dan situasi lebih nyaman dengan berubahnya
jaman yang semakin modern, pemerintah kota Surakarta menggulirkan
rencana renovasi Pasar Klewer dengan menggandeng investor.
Keberadaan Pasar Klewer dan persoalannya bukan lagi sekedar
persoalan pasar sebagai ruang ekonomi. Pasar Klewer sudah menjadi wilayah
sosial dan budaya kota Surakarta. Upaya renovasi total oleh pemerintah
dipahami belum memiliki kajian komperhenship oleh beberapa kalangan,
bahkan mendapat reaksi penolakan cukup keras dari pedagang Pasar Klewer,
sehingga sosialisasi yang dilakukan pemerintah tidak berjalan efektif, karena
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
memiliki beberapa kekurangan implementatif hingga apa yang ada sekarang,
Pasar Klewer masih bertahan sebagaimana kondisinya.
G. Pengemis di Pasar Klewer
Pengemis di Pasar Klewer, tidak tergabung dalam suatu organisasi
tertentu, atau tidak terikat dengan suatu kelompok tertentu. Mereka mengemis
secara individu, dan hasilnya pun untuk dirinya sendiri. Akan tetapi, mereka
(para pengemis) tersebut saling mengenal satu sama lain, dan ketika tidak
sedang malakukan aksinya mereka berkumpul, istirahat, saling bercanda,
bercerita, bertukar pengalaman. Dari situ peneliti melihat bahwa dari segi
pendapatan, bisa dikatakan pengemis di Pasar Klewer mencari penghasilan
sendiri-sendiri, dengan kata lain tidak diberikan pada ketua kelompok
pengemis atau sejenisnya. Apa yang mereka dapat, seberapa besar yang
mereka dapat, itulah hasil pendapatan yang mereka dapat. Tetapi, di sisi lain,
mereka tidak jarang berkumpul bersama, bergerombol, ketika sedang tidak
mengemis, atau bisa di sebut jam istirahat mereka. Pada saat istirahat itulah
mereka gunakan untuk berkumpul bersama dengan sesamanya. Maka dari
itulah diantara mereka saling mengenal satu sama lain. Selain itu, jika
pengemis sedang beristirahat dan berkumpul dengan sesamanya, mereka tidak
akan meminta sedekah pada orang yang lewat ketika itu. Mereka meminta
sedekah pada calon dermawannya ketika mereka memulai kembali
berkeliling.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Pengemis di Pasar Klewer, ada yang mengemis tetap, dan ada yang
tidak tetap, atau berdasarkan hari yang mereka tentukan sendiri. Misalnya
pada hari Jum’at, pengemis yang datang melebihi hari biasanya. Pada hari
biasa, peneliti mendapat informasi dari bagian kemanan pasar, serta dari
pengurus Masjid Agung Surakarta yang setiap harinya berada di Pasar
Klewer dan mengetahui keadaan sekitar pasar, bahwa pada hari biasa terdapat
sekitar 10 hingga 20 pengemis tetap yang selalu mengemis tetap di Pasar
Klewer. Pada hari Jum’at, pengemis yang datang bisa mencapai 50 orang
bahkan lebih. Para pengemis di Pasar Klewer ada yang berasal dari dalam
kota Surakarta, dan ada pula yang berasal dai luar kota Surakarta, seperti
Klaten, Boyolali, Sragen, Kartosuro, dan Wonosegoro. Mengenai usia
pengemis, rata-rata mereka berusia 50 tahun ke atas, yang kebanyakan
didominasi oleh pengemis wanita. Dari jumlah pengemis tetap tersebut,
biasanya dari mereka datang ke lokasi pada pagi hari, atau saat pasar buka,
dan mereka pulang pada sore hari, saat pasar tutup. Pengemis tidak tetap,
biasanya hanya mengemis sampai siang saja, dan sisa waktunya digunakan
untuk mengemis di tempat lain. Pengemis yang dari pagi hingga sore menetap
di pasar, mereka memulai aksinya di pagi hari, berkeliling, dan siangnya
mereka gunakan untuk istirahat, setelah itu mereka kembali berkeliling
kembali untuk mengemis. Dari hasil pengamatan peneliti, juga berdasarkan
keterangan dari bagian keamanan Masjid Agung, bahwa pengemis tetap,
jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan pengemis yang tidak tetap.
Paneliti mendapatkan 15 orang pengemis tetap, dengan menanyakan nama
beserta asal mereka, dan dari 15 pengemis tetap tersebut peneliti mengambil 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
orang yang menurut peneliti masuk pada kriteria informan, juga dapat
memberikan informasi yang jelas untuk memperkuat data. Adapun daftar
nama pengemis yang peneliti dapat dari masing-masing pengemis :
No. NAMA ASAL
1. Kasiman Boyolali
2. Ngatiyem Kauman
3. Sunarni Sragen
4. Sulasmi Nusukan
5. Slamet Klaten
6. Juminah Kaliwingko
7. Isah Dawung
8. Kusmiyati Wonosegoro
9. Sugiman Boyolali
10. Parinah Kartosuro
11. Waluyo Kauman
12. Sugeng Ledoksari
13. Lastri Sragen
14. Wartinah Ledoksari
15. Sajinem Jebres
Tabel 1. Daftar Nama Pengemis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
BAB III
SAJIAN DAN ANALISIS DATA
A. Identitas Informan
Dalam penelitian ini, tidak hanya mengambil informan dari pengemis
saja akan tetapi calon dermawan. Dari semua pengemis yang di data, hanya 4
orang pengemis yang bisa mewakili semua pengemis yang ada di Pasar
Klewer. Dibawah ini adalah identitas informan yang terdiri dari 4 orang
pengemis dan 3 orang yang bukan pengemis.
1. Informan Pengemis
a. Nama Informan : Slamet
Usia : 56 tahun
Asal : Klaten
Alamat Rumah/Tinggal : Kauman
Status : Duda (Cerai)
Jumlah Anak : 5
b. Nama Informan : Sulasmi
Usia : 51 tahun
Asal : Minapade, Nusukan, Surakarta
Alamat Rumah/Tinggal : Minapade, Nusukan, Surakarta
Status : Janda (Cerai mati)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
c. Nama Informan : Isah
Usia : 70 tahun
Asal : Tanjung Anom, Pasar Dawung, Surakarta
Alamat Rumah/Tinggal : Tanjung Anom, Pasar Dawung, Surakarta
Status : Janda (Cerai mati)
Jumlah anak : 3
Cucu : 5
d. Nama Informan : Juminah
Usia : 69 tahun
Asal : Kaliwingka
Alamat Rumah/Tinggal : Kaliwingko
Status : Janda (cerai mati)
Jumlah Anak : 1
2. Informan Bukan Pengemis
a. Nama Informan : Supriyadi
Usia : 48 tahun
Asal : Joyotakan
Alamat Rumah/Tinggal : Joyotakan
Pekerjaan : Pedagang Pakaian di Pasar Klewer
b. Nama Informan : Nur Hayati
Usia : 43 tahun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
Asal : Madiun
Alamat Rumah/Tinggal : Mojosongo
Pekerjaan : Swasta
Status : Pengunjung Pasar Klewer
c. Nama Informan : Warsono
Usia : 40 tahun
Asal : Boyolali
Alamat Rumah/Tinggal : Jayengan
Pekerjaan : Keamanan Pasar Klewer
B. Pengelolaan Kesan Pengemis
Apabila pengemis diberi sejumlah identitas, maka pengemis merupakan
subjek yang melakukan suatu tindakan sosial, pengemis adalah aktor
kehidupan, pengemis memiliki hidup yang penuh dengan makna simbolik,
dan pengemis memerankan sebuah panggung drama kehidupan . Fenomena
pengemis yang ada di Pasar Klewer, memang tidak jauh berbeda dengan
pengemis yang ada di tempat-tempat lain, berciri yang khas, yakni berpakaian
kusam, lusuh, compang-camping, serta dengan raut wajah yang jelas dibuat-
buat supaya menimbulkan kesan yang pantas untuk dikasihani dan diberi
sedekah. Di sisi lain, terlihat bagaimana ketika pengemis di Pasar Klewer
berhadapan dengan calon dermawannya, dan meminta sedekah sangat
berbeda dengan sebelum berhadapan, maka dari itu kejadian ini dianggap
unik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
Sebagai tindakan sosial, perilaku pengemis secara subjektif memiliki
karakteristik yang unik seperti apa yang digambarkan sendiri oleh pengemis,
mereka mempunyai harapan sekaligus mereka memiliki cara, pandangan dan
bentuk sendiri dalam mengkontruksi realitas mereka, seperti apa yang mereka
inginkan. Pada sisi lain, interaksi diantara pengemis dan orang lain yang
bukan pengemis, dibangun oleh sistem simbol atau lambang dengan makna
tersendiri. Secara intersubjektif pengemis memilih lambang yang dapat
digunakan untuk dapat berinteraksi di dalam sistem sosial mereka.
Komunikasi yang dilakukan oleh pengemis di Pasar Klewer dibagi
menjadi ke dalam dua pembahasan, yaitu bagaimana pengemis mengelola
kesan secara verbal dan mengelola kesan secara nonverbal. Pengelolaan
kesan menjadi topik penting dalam komunikasi yang dilakukan oleh
pengemis, karena pada dasarnya pengelolaan komunikasi tiada lain adalah
pengelolaan pesan melalui kesan (makna) yang disepakati bersama.
Pengelolaan kesan didasarkan pada upaya yang secara sengaja dilakukan
pengemis agar perilakunya diberi makna oleh orang lain seperti apa yang
mereka inginkan.
1. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Verbal
Goffman mengasumsikan bahwa ketika seseorang berinteraksi
dengan orang lain, dia ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan
diterima orang lain. Upaya tersebut sebagai pengelolaan kesan, yaitu
teknik yang digunakan pengemis untuk memupuk kesan tertentu dalam
situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan wawancara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
dengan pengemis dan pengamatan atas perilaku mereka dengan sesama
pengemis dan (calon) dermawan, maka komunikasi verbal menjadi
penting juga dalam pengelolaan kesan yang mereka lakukan. Simbol
verbal yang dikelola pengemis dalam melakukan aktivitasnya, dapat
dibagi ke dalam dua peristiwa :
a. Peristiwa Komunikasi Dengan Sesama Pengemis Dan Anggota
Komunitas Lainnya
a.1. Bahasa Verbal Yang Digunakan
Semua pengemis yang diteliti, menyatakan bahwa
mereka tidak memiliki bahasa khusus ketika berkomunikasi
dengan sesamanya, namun demikian, apabila diamati ketika
mereka berbicara lebih dominan menggunakan bahasa daerah,
seperti diungkapkan oleh Slamet, ketika diwawancara :
“Nggih ngagem Jawa no mbak…wong bendinane ngageme Jawa…” (Ya pakai Jawa mbak, orang setiap harinya memakai Jawa) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Mereka pada umumnya mengakui memakai bahasa
daerah sendiri, yaitu bahasa Jawa, karena dengan
menggunakan bahasa daerah, tampaknya mereka lebih dapat
mengekspresikan secara utuh apa yang mereka rasakan dan
pikirkan. Penggunaan bahasa daerah asal (Bahasa Jawa)
menjadi lebih dominan ketika bersama komunitas mereka.
Berbeda dengan Sulasmi yang mempunyai alasan berbeda.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
“Ngagem Jawa ngaten, biasa mawon, kula niku mboten saget kok mbak ngagem bahasa napa-napa, sagete nggih naming Jawa, sekolah mawon mboten rampung naming SD, kula niku mboten mudheng napa-napa mbak,”(memakai bahasa Jawa begitu, biasa saja, saya tidak bisa mbak memakai bahasa apa-apa, bisanya ya hanya Jawa, sekolah saja tidak selesai hanya sampai SD, saya itu tidak tau apa-apa mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Sulasmi mengakui tidak tahu menahu tentang bahasa
selain bahasa Jawa, karena SD pun dia tidak lulus, jadi, ketika
mengemis dia menggunakan bahasa Jawa yang halus, tetapi
ketika berkomunikasi dengan teman sesamanya, dia
menggunakan bahasa Jawa yang biasa. Terlihat rata-rata
pengemis di Pasar Klewer menggunakan bahasa Jawa karena
tidak ada yang berasal dari luar daerah Jawa, hanya berasal
dari luar kota yang masih masuk kawasan Jawa Tengah.
Pendapat berikutnya adalah Isah, yang tidak berbeda jauh
dengan Sulasmi.
“Nggih ngagem Jawa dhen, kula mboten saget yen mboten ngagem Jawa…” (Ya memakai bahasa Jawa den, saya tidak bisa kalau tidak memakai bahasa Jawa) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Dari jawaban Isah tersebut, bahwa Isah tidak bisa
menggunakan bahasa lain selain bahasa Jawa. Hal yang sama
juga tidak berbeda dengan informan lain, Juminah, dirinya juga
tidak bisa memakai bahasa lain selain bahasa Jawa.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
Dari ketiga informan tersebut, dapat dikatakan bahwa
sebagian besar dari mereka (pengemis) menggunakan bahasa
Jawa ketika sedang bersama diantara sesama pengemis atau
komunitasnya, dengan alasan mereka tidak bisa atau tidak
lancar menggunakan bahasa lain selain bahasa Jawa. Seperti
menurut Larry L. Barker sebagaimana dikutip oleh Riswandi
(2009:60), bahwa bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu, fungsi
penamaan; fungsi interaksi; dan fungsi transmisi informasi.
Melihat dari ketiga fungsi tersebut, bersangkutan dengan cara
pengemis menggunakan bahasa. Misalnya saja, fungsi
interaksi, yaitu menekankan pada berbagai gagasan dan emosi
yang dapat menghubungkan antara orang dengan orang
lainnya, atau antara pengemis dengan sesamanya, misalnya
saja ketika mereka bercerita, bercanda. Mereka melakukan
fungsi bahasa, yaitu fungsi interaksi, dimana pengemis
menyampaikan berupa gagasan dan emosinya, dan
menghubungkannya dengan teman sesamanya, dengan bahasa
yang mereka pahami. Menurut mereka, mereka lebih merasa
nyaman dan leluasa saat menuangkan ide, gagasan, pendapat,
atau gurauan, karena dapat mudah memahami dan dipahami
dengan persamaan bahasa yang mereka pakai saat
berkomunikasi.
Fungsi berikutnya, adalah fungsi transmisi informasi,
dimana informasi dapat disampaikan kepada orang lain, secara
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
langsung, maupun tidak langsung. Pengemis menyampaikan
informasi melalui bahasa yang mereka pahami kepada teman
sesamanya, karena dengan bahasa yang mereka pahami
tersebut, lebih mudah untuk menyampaikan informasi terutama
saat berada pada komunitasnya.
b. Peristiwa Komunikasi Dengan Calon Dermawannya
Dalam peristiwa kedua ini, pengemis melakukan komunikasi
verbal dengan calon dermawannya. Peristiwa komunikasi antara
pengemis dengan calon dermawannya dibagi ke dalam dua sesi. Sesi
pertama, ketika mereka pertama kali menemui calon dermawan
untuk mendapatkan sedekah, sedangkan sesi kedua setelah selesai
bertemu dengan calon dermawannya (terlepas memberi atau
menolak untuk memberi sedekah).
b.1 Pilihan Kata Yang Digunakan
Pengemis mempunyai pilihan kata masing-masing untuk
menarik simpati calon dermawannya, dengan bahasa atau
menggunakan pilihan kata-kata pembuka yang sopan, halus,
dan lirih. Seperti yang diungkapkan oleh Isah :
“Naming ngaten, kula paringi dhen, kalih ngagem mangkok niki..” (Hanya begini, saya dikasih den, menggunakan mangkok ini) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Pendapat lain juga diungkapkan oleh Sulasmi, dengan
pilihan kata yang sedikit berbeda dengan Isah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
“Kula Lenggahan mawon, ngatungke adah, kalih matur nyuwun Bu..nyuwun Pak..sedekahe Bu..sedekahe Pak..ngaten mawon..” (Saya duduk saja, memberikan wadah, minta Bu..minta Pak..sedekahnya Bu..sedekahnya Pak..begitu saja) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Selain itu, Juminah mempunyai pilihan kata sendiri yang
diucapkan ketika sedang meminta sedekah, seperti berikut :
“Nggih ngaten, mature kulanuwun bu..assalamualaikum, mugi diparingi sehat, lancar, berkah, kula yen nyuwun ngaten kula dongani dik..” (Ya begini, bu, assalamualaikum, semoga diberi sehat, lancar, berkah, saya kalau minta begini saya doakan dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Begitu pula dengan Slamet, yang juga mempunyai
pilihan kata dan bahasa yang sehari-hari digunakannya,
sebagai berikut :
“Matur paringi bu..paringi pak…mangke sing maringi pun nyemplungi arta ten ember niki..” (Dikasih bu, dikasih pak, nanti yang memberi uang sudah memasukan uangnya di ember ini) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Pada sesi pertama ini, pengemis mengelola kata-kata
pembuka yang dipakai saat berhadapan dengan calon
dermawannya, dengan harapan mereka mendapat respon dan
akhirnya mendapat sedekah. Dari cara pengemis meminta pada
calon dermawannya tersebut, adakalanya mendapat reaksi dari
calon dermawan, dan bahkan tidak mendapat reaksi sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
sekali dari calon dermawannya. Pada saat meminta, pengemis
sebisa mungkin menata kata-kata, bahasa verbal yang
digunakan secara sopan dan halus, jika mendapat respon,
mereka akan sangat senang, dan sebaliknya jika mereka tidak
mendapatkan respon, mereka ada yang kecewa, atau mungkin
menerima dengan lapang dada.
Setelah sesi pertama tersebut selesai, masuklah pada sesi
kedua, yaitu ketika pengemis sudah mendapatkan sedekah dan
ketika tidak mendapatkan sedekah. Seperti yang diungkapkan
oleh juminah :
“ Nggih matursuwun ngaten, kalih kula dongani, muga berkah, tambah rejekine, ngaten, kula niku diparingi pun alhamdulillah banget dik..”( Ya terimakasih begitu, sambil saya doakan, semoga berkah, tambah rejekinya , saya kalau diberi sudah Alhamdulillah sekali dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Pendapat lain diungkapkan oleh Sulasmi, seperti berikut
“Nggih matursuwun ngaten, sok nggih matur sembah suwun bu, pak..”(Ya terimakasih begitu, kadang terimakasih sekali bu, pak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Berbeda dengan pengemis yang tidak mendapat respon
dari calon dermawan, seperti yang diungkapkan oleh Slamet :
“Nggih mendel mawon, mboten napa-napa, biasa mawon, wong kula niku mboten ate mekso napa melih nesu mbak, sak paringane ngaten yen kula..”(Ya diam saja, tidak apa-apa, biasa saja orang saya itu tidak pernah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
memaksa apalagi marah mbak, sedikasihnya saja kalau saya) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Berbeda dengan Slamet, Isah mempunyai pendapat
sendiri ketika tidak mendapatkan sedekah dari calon
dermawan, sebagai berikut :
“Kula mendel mawon, mboten nesu..gelo niku nggih mesti enten dhen, tur nggih pripun kula nggih trima mawon..diparingi pun alhhamdulillah...” (Saya diam saja, tidak marah..kecewa itu pasti ada Den, tapi ya bagaimana saya ya terima saja di kasih sudah alhamdulillah..) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Dari keterangan diatas, secara verbal, pengemis
mengekspresikannya melalui permintaan langsung (begging),
atau secara tidak langsung melalui ucapan salam (greeting).
b.1 Bahasa verbal yang digunakan
Mengacu pada fungsi bahasa seperti yang diungkapkan
oleh Larry L. Barker, penggunaan bahasa verbal (berupa
ucapan) yang digunakan sebagian besar adalah bahasa daerah
(Jawa), baik ketika berhadapan dengan calon dermawan, atau
dengan teman sesama pengemis, tergantung penempatannya.
Seperti yang dikatakan oleh Supriyadi sebagai berikut :
“Setahu saya ya bahasa krama mbak, Jawa krama, alus begitu, jarang saya itu dengar pengemis disini pakai bahasa Indonesia, ya kebanyakan Jawa mbak kalau minta-minta disini”.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
(Wawancara dilakukan dengan Supriyadi, di Pasar Klewer, pada tanggal 20 Juli 2011)
Menurut Supriyadi, ketika sedang berhadapan
dengannya, umumnya mereka menggunakan bahasa Jawa yang
halus, agar terlihat menghormati, dan menggunakan bahasa
Jawa yang biasa ketika berada pada komunitasnya. Rata-rata
diantara mereka cenderung menggunakan permintaan langsung
(begging) untuk meminta sedekah kepada calon dermawannya,
dan tidak banyak yang menggunakan permintaan tidak
langsung seperti ucapan salam (greeting), walaupun ada.
Pendapat yang sama diungkapkan oleh Nur hayati, yaitu
pengunjung pasar, walaupun sedikit tetapi mempunyai alasan
lain dari calon dermawan sebelumnya.
“Bahasanya ya bahasa Jawa mbak setahu saya, jadinya nanti lucu kalau pakai bahasa Indonesia, kalau kata saya sih begitu mbak”. (Wawancara dilakukan dengan Nur Hayati, di Pasar Klewer, pada tanggal 20 Juli 2011)
Menurut Nur Hayati, pengemis menggunakan bahasa
Jawa pada umumnya, karena berada di Jawa, berhadapan
dengan orang Jawa, Nur berpendapat lucu jika nanti pengemis
menggunakan bahasa Indonesia.
2. Pengelolaan Kesan Melalui Simbol Nonverbal
Upaya pengelolaan kesan melalui simbol nonverbal yang dilakukan
pengemis di Pasar Klewer lebih dominan daripada upaya secara verbal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
Terdapat beberapa simbol nonverbal yang ditemukan dalam konteks
komunikasi pengemis dengan sesama mereka dengan calon
dermawannya. Terdapat beberapa simbol nonverbal yang dikelola
pengemis di Pasar Klewer dalam memberi kesan kepada calon
dermawannya, yaitu pada perilaku tubuh yang meliputi :
a. Isyarat dan gerakan tubuh
b. Penampilan
c. Ekspresi wajah
d. Parabahasa
Keempat kelompok simbol nonverbal tersebut dapat diamati dari
setting-nya baik untuk front stage (panggung depan) maupun back stage-
nya (panggung belakang), seperti apa yang di katakan oleh Goffman,
bahwa dalam interaksi sosial mereka dimainkan ibarat pertunjukan teater
di atas panggung.
a. Isyarat dan Gerakan Tubuh
Bahasa Isyarat paling banyak digunakan pengemis dalam
mengelola kesan untuk sebuah permintaan sedekah, sebagai
pelengkap bahasa verbal yang mereka pakai. Hal yang umum
dipakai adalah dengan ‘menengadahkan tangan’, selain itu alat
pendukung lain dengan menggunakan alat, seperti gelas plastik,
mangkok, rantang, atau ember kecil. Slamet misalnya menjelaskan,
lebih baik menggunakan ember kecil dengan diikatkan pada kursi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
rodanya, supaya orang lain bisa langsung memasukkannya ke dalam
ember kecil tersebut, tanpa harus menengadahkan tangannya.
“ Nggih pripun nggih mbak...yen tangan lak mesti saben enten sing liwat niku kudu ngatungke mbak, tapi yen ngagem adhah ngaten kaya ember ngaten tiyang lak pun ngertos piyambak, ajeng nyemplungi napa mboten ngaten, pun ngertos yen kula niki ngemis, lak ngaten tha mbak..”(Ya bagaimana mbak...kalau tangan itu pasti setiap ada yang lewat harus menengadah mbak, tapi kalau pakai wadah begini seperti ember ini orang nanti sudah tau sendiri, akan memberi sedekah atau tidak, sudah tahu kalau saya ini mengemis, kan begitu mbak) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Pendapat lain diungkapkan oleh Sulasmi, yang tidak jauh
berbeda dengan Slamet :
“ Lha nggih ngaten...wong yen ngge adhah kan kajenge penak mawon mbak..” (Ya begini... kalau pakai wadah supaya enak saja mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Selain itu, Isah mempunyai jawaban sendiri mengenai cara
meminta sedekah pada calon dermawannya:
“ Lha nggih ngaten, yen nyuwun kula ngagem tangan ngaten, terus kula cemplungke piyambak ten mriki..”(Ya begini, kalau meminta saya memakai tangan begini, terus saya masukkan sendiri ke sini) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Berbeda dengan Juminah, yang malu jika menggunakan alat-
alat pelengkap untuk mengemis, dia menjelaskan bahwa dia lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
senang jika memakai tangan atau menengadahkan tangannya, karena
bisa lebih menghargai orang lain atau calon dermawannya.
“Alaah…ngaten mawon dik…kula malah isin yen ngagem gelas napa adah-adah ngaten, yen ngagem tangan lak ketok ngajeni uwong,, sing sae yen nyuwun niku, sopan, nyembah nyuwun, tur nggih sing alus mature dik...” (Alaah…begini saja dik, saya malu kalau memakai gelas atau wadah-wadah begitu, kalau memakai tangan itu terlihat menghargai orang, kalau meminta itu yang baik, sopan, tapi ya yang halus bicaranya dik) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
Pengemis di Pasar Klewer berbeda-beda dalam menampilkan
dirinya, yaitu dengan cara mereka sendiri, tetapi intinya sama dengan
maksud untuk mengambil simpati para calon dermawannya, dengan
menampilkan ‘panggung depannya’ sedemikian rupa, sebagus
mungkin. Isyarat dalam mengemis ini, menurut dramaturgi Goffman
merupakan manner (gaya). Gaya ini adalah bagian dari personal
front. Jadi, pengemis sudah mempersiapkan dirinya untuk
memerankan diri sebagai seorang pengemis melalui isyarat
menengadahkan tangan atau menyodorkan sebuah wadah. Hal itu
terjadi di ‘panggung depan’ yang tidak pernah mereka lakukan
di’panggung belakang’, kepada sesama pengemis atau
komunitasnya. Goffman membagi kehidupan sosial ke dalam dua
wilayah, yang pertama wilayah depan (front region), yaitu tempat
atau peristiwa sosial yang memungkinkan individu menampilkan
peran formal atau bargaya layaknya aktor yang berperan. Wilayah
ini, disebut juga ‘panggung depan’, yang kedua adalah wilayah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
belakang (back region), yaitu tempat untuk mempersiapkan
perannya di wilayah depan. Goffman membagi panggung depan
tersebut menjadi dua bagian : front pribadi (personal front) dan
setting. Setting yakni situasi fisik yang harus ada ketika aktor harus
melakukan pertunjukan . Sebagai contoh, dokter memerlukan kamar
operasi, dalam bahasan ini adalah pengemis yang memerlukan
tempat dimana mereka akan melakukan aksinya, seperti Pasar
Klewer, adalah tempat pengemis tersebut untuk menampilkan
dirinya di depan calon dermawannya. Front pribadi yaitu terdiri dari
alat-alat yang dianggap khalayak sebagai perlengkapan aktor ke
dalam setting, yang dimaksudkan disini adalah perlengkapan
pengemis, atau alat-alat yang digunakan oleh pengemis sebagai
pelengkap setting mereka yang berupa gelas plastik, ember kecil,
tongkat, kursi roda, dan lain sebagainya.
Mengenai isyarat dan gerakan yang dilakukan oleh pengemis,
sebagaimana yang dikatakan oleh Cangara, bahwa gerakan tubuh
(kinesics) terdiri dari emblem, illustrator, affect displays, regulators,
dan adaptory, yang mana kelima macam gerakan tubuh tersebut,
merupakan gerakan yang sering dilakukan oleh pengemis ketika
berada di ‘panggung depan’, mungkin secara sadar atau tidak sadar
pengemis melakukan gerakan-gerakan tubuh tersebut ketika diamati.
Gerakan yang khas dan umum yang terlihat selama pengemis di teliti
adalah gerakan secara pelan-pelan, lamban, menganggukkan kepala
seraya mengucapkan terimakasih, menunduk, dan sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
b. Penampilan
Goffman menyebutkan appearance atau penampilan bagian
daripada personal front. Seperti juga bahasa nonverbal lainnya,
bahasa penampilan dibagi menjadi dua, yaitu :
b.1. Penampilan Karena Bukan Direncanakan
Penampilan ini maksudnya adalah penampilan yang
tidak dibuat-buat oleh pengemis, bersifat permanen. Misalnya :
cacat dari lahir, kecelakaan yang fatal, dan sebagainya. Selama
penelitian, ditemukan beberapa pengemis di Pasar Klewer
berpenampilan karena bukan direncanakan, ketika ditanyakan
langsung kepada salah satu informan, Slamet, dia bercerita
bahwa dia mengemis menggunakan kursi roda karena
kecelakaan fatal yang mengakibatkan kakinya tidak bisa untuk
berjalan, maka dari itu setiap mengemis, Slamet hanya duduk
terus-menerus di kursi rodanya.
“Riyin pernah dhawah, tabrakan, patah tulang, pun mboten saget kerja napa-napa, dadose nggih namek ngaten, ngemis..” (dulu pernah jatuh, kecelakaan, patah tulang, sudah tidak bisa bekerja apa-apa..jadinya ya hanya seperti ini, mengemis..) (Wawancara dilakukan dengan Slamet, di Pasar Klewer, pada tanggal 17 Juli 2011)
Slamet semakin terbuka dengan tentang apa yang
dialaminya dan bagaimana kehidupannya setelah menjadi
pengemis. Memang benar dia tidak bisa berjalan, maksudnya
kalaupun bisa berdiri atau berjalan, dia hanya mengandalkan
apa yang ada di dekatnya untuk berpegangan agar tidak jatuh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
dan untuk membantunya berdiri. Slamet mengatakan jika
ingin turun dari kursi roda itu ketika akan tidur saja. Selama
penelitian, Slamet memang cenderung lebih tenang di banding
teman sesamanya yang lain, dari segi pakaian yang dikenakan
ketika mengemis, dia mengakui bahwa tidak mengganti
pakaiannya, karena tidak memiliki pakaian yang khusus
digunakan untuk mengemis, yang dipakai untuk mengemis
adalah pakaian harian yang dia miliki. Begitu pula dengan
informan lain, Juminah, tidak beda jauh dengan Slamet.
Juminah mengakui tidak memiliki pakaian khusus untuk
mengemis, yang dipakai saat mengemis adalah pakaian yang
sehari-harinya dia pakai. Juminah juga menceritakan kepada
peneliti tentang dirinya, keluarganya, dan keadaannya yang
tidak memiliki mata yang sempurna, atau bisa disebut dengan
katarak. Memang, dari segi penampilan saat berada di
panggung depan, atau di depan calon dermawan, Juminah
berpenampilan apa adanya, dan tidak ada yang dia buat-buat.
“Mboten gadhah kula, yen ngemis nggih ngaten mawon, asal sing resik mawon, mboten klumbrak-klumbruk, kula malah mboten seneng ngateniku dik, pun biasa mawon ngaten, sak gadhahe…wong gadhahe kula niku ngaten dik elek-elek ngaten, nggih napa bedhane kalih salin napa mboten..” (Saya tidak punya, kalau mengemis ya seperti ini saja, asal yang bersih saja, tidak semrawut, saya malah tidak suka seperti itu dik, sudah biasa saja, sepunyanya, orang punyanya saya itu begini dik jelek-jelek begini, ya apa bedanya sama ganti atau tidak) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Dari cerita Juminah, terlihat Juminah lebih sering
mengelola kesan dengan lebih memperlihatkan bahasa
verbalnya di banding dengan nonverbalnya, karena secara
penampilan pun, Juminah terlihat apa adanya, bahkan tidak
terlihat kumal. Menurut Juminah, kalau sedang mengemis
tidak suka dengan gaya yang “klumbrak-klumbruk”, karena
tidak enak jika dilihat orang lain, atau calon dermawannya,
dari situlah dia berpendapat jika orang lain sudah tidak enak
melihat dirinya, maka orang lain akan enggan pula memberi
sedekah padanya.
b.2. Penampilan Karena Direncanakan
Penampilan karena direncanakan ini maksudnya adalah
penampilan yang cenderung dibuat-buat oleh pengemis ketika
berada di depan calon dermawannya, atau ketika mereka
sedang menampilkan dirinya layaknya seorang pengemis.
Misalnya : pura-pura pincang, memakai pakaian lusuh dan
kumal, jalan tertatih-tatih, diverban, dan sebagainya. Seperti
informan lain, Sulasmi, ketika peneliti berbincang cukup
banyak dengannya, lama-lama Sulasmi bisa membuka dirinya
dan menceritakan tentang dirinya, baginya mengemis itu
adalah sebuah pekerjaan yang harus memiliki ‘pakaian’ khusus
untuk melakukan pekerjaan itu yaitu mengemis. Sulasmi
mengatakan, tidak layak disebut pengemis atau tidak pantas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
disebut pengemis apabila pakaian yang dikenakan itu tidak
selayaknya seperti pengemis yaitu terlihat kumal dan lusuh.
“Nggih, gadhah yen ra kalih nggih tiga, klambi ngge ngemis piyambak, klambi ngge arisan piyambak, klambi ngge jagong piyambak, nggih sok ganti sok mboten ngaten…”(Ya, punya kalau tidak dua ya tiga, baju untuk ngemis sendiri, baju untuk arisan sendiri, baju untuk kondangan sendiri, ya kadang ganti, kadang tidak, begitu…) (Wawancara dilakuka dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Sulasmi mengakui bahwa dia mengganti pakaiannya
ketika masih dirumah atau sebelum berangkat ke Pasar
Klewer, dengan alasan dia tidak enak kalau nanti terlihat orang
atau diketahui oleh orang lain selain sesamanya.
“Nggih ten ndalem ngaten mbak, sederenge mriki niku kula pun gantos ngagem klambi elek-elekan ngge ngemis ngaten, yen gantos ten mriki niku gantos ten pundi mbak, mengke yen ketok uwong lak kula mboten penak tha mbak..”(Ya di rumah begitu mbak, sebelum kesini saya sudah mengganti memakai baju yang jelek buat ngemis begitu, kalau ganti disini itu ganti dimana mbak, nanti kalau kelihatan orang kan saya jadi tidak enak kan mbak) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Memang, secara fisik, Sulasmi tidak ada kekurangan
apapun, dia seperti orang biasa pada umumnya, badannya pun
terlihat sehat. Sulasmi juga bercerita ketika berangkat menuju
Pasar Klewer, dia menggunakan angkutan umum, karena
rumahnya lumayan jauh dengan Pasar Klewer. Tidak jauh beda
dengan Isah, yang juga mengganti pakaiannya ketika akan
mengemis. Isah pun membagi ceritanya, bahwa ketika
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
berangkat mengemis, Isah diantar oleh cucunya dengan
menggunakan becak, lalu ketika akan pulang ke rumahnya,
Isah kembali di jemput oleh cucunya.
“Wonten, naming gadhah kalih, yen ajeng mangkat mriki (ngemis) kula gantos riyin, mangke yen pun ten ndalem nggih gantos melih..” ( Ada, hanya punya dua, kalau mau berangkat ngemis saya ganti dulu, nanti kalau sudah di rumah ganti lagi) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Isah berpendapat, kalau mengemis itu memakai pakaian
yang bagus, nanti orang lain yang melihat akan berpendapat
bahwa dia tidak layak mengemis karena terlihat seperti orang
yang mampu, dan tidak terlihat seperti orang yang kekurangan.
Isah mengatakan juga, niatnya adalah untuk meminta sedekah,
jadi bagaimanapun harus berpenampilan layaknya orang yang
akan meminta sedekah agar mendapat belas kasihan dari calon
dermawannya.
Mengenai penampilan, dengan melihat kembali teori
dramaturgi milik Erving Goffman, bahwa penampilan adalah
bagian dari ‘atribut’ atau pelengkap bahkan syarat utama aktor
dalam memainkan drama ketika berada di depan khalayak,
begitu pula dengan pengemis. Pengemis berpenampilan
bagaikan seorang aktor yang akan memainkan drama.
Penampilan tersebut sebagai pelengkap setting saat pengemis
berada di ‘panggung depan’ atau ketika berhadapan dengan
calon dermawannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Konsep cermin diri Cooley, sebagaimana dikutip oleh
Ritzer (2007:295), dapat dirinci menjadi tiga komponen.
Pertama, kita membayangkan bagaimana penampilan di mata
orang lain. Kedua, kita membayangkan apa yang seharusnya
mereka nilai berkenaan dengan penampilan kita. Ketiga, kita
membayangkan semacam perasaan diri tertentu seperti rasa
harga diri atau rasa malu, sebagai akibat dari bayangan kita
mengenai penilaian oleh orang lain. Konsep cermin diri ini
berkaitan dengan presentasi diri dari Goffman. Seperti konsep
dari Cooley tersebut sebelumnya, dalam bahasan ini, pengemis
mengelola kesan dalam berpenampilan dan mempresentasikan
dirinya ketika berada di ‘panggung depan’, dengan tujuan
orang lain dapat menangkap dan memaknai penampilan
mereka sebagai pengemis, begitu pula pengemis mengharap
orang lain seharusnya berpendapat apa terhadapnya. Seperti
Sulasmi dan Isah, kedua informan ini, harus berganti pakaian
dahulu sebelum melakukan aksinya, mengemis. Tindakan
Sulasmi dan Isah tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka
telah mempersiapkan dirinya sebelum menampilkan dirinya di
‘panggung depan’, dengan mengganti pakaiannya. Keduanya
mempunyai pakaian khusus untuk mengemis dan berbeda
dengan pakaian yang dipakai sehari-hari atau ketika berada di
‘panggung belakang’.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Konsep diri Cooley sangat tepat untuk menjelaskan apa
yang dilakukan Sulasmi dan Isah. Sulasmi cenderung tidak
enak hati, malu, terhadap orang lain apabila melihat dirinya
berganti pakaian saat akan mengemis. Sulasmi mengakui
memiliki pakaian khusus yang digunakan untuk mengemis,
dan dirinya berpendapat bahwa ketika akan mengemis harus
berpakaian yang selayaknya untuk mengemis, dengan tujuan
supaya orang lain menangkap bahwa dirinya adalah seorang
pengemis dan ini masuk pada konsep diri Cooley yang
pertama. Sulasmi dalam berpenampilan sebagai pengemis
bukan pakaian yang dipakai sehari-hari ketika sedang tidak
mengemis, karena sulasmi berpikir bahwa orang lain akan
mengatakan dirinya tidak layak menjadi pengemis jika pakaian
yang dipakai terlihat bagus, seperti konsep diri Cooley yang
ketiga.
Sedikit berbeda dengan Isah, yang berganti pakaian
dirumah karena ada yang membantunya mempersiapkan
segalanya sebelum mengemis. Selain itu, Isah berpendapat
sama dengan Sulasmi mengenai penampilan saat mengemis.
Intinya, keduanya ingin memperlihatkan melalui
penampilannya, agar terlihat seperti pengemis dan layak untuk
diberi sedekah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
c. Ekspresi Wajah
Ada tiga macam tentang wajah. Pertama, adalah wajah “yang
sebenarnya”, wajah yang dibawa sejak lahir. Kedua, wajah yang kita
manipulasi bila kita mau, misalnya tersenyum, berkedip, cemberut,
dan lain sebagainya. Ketiga, kita memiliki wajah yang berubah oleh
sekeliling kita dan pesan yang kita terima. Ferraro lebih lanjut
menekankan pentingnya ekspresi wajah dengan menyatakan bahwa
wajah merupakan pusat dari proses komunikasi, sehingga manusia
kadang berbicara “wajah ke wajah”.
Wajah adalah alat yang sangat penting dalam menyampaikan
makna. Mengamati wajah pengemis, dalam memerankan perannya
untuk dapat mengungkapkan emosi didalamnya sangatlah tidak
mudah. Peneliti membatasi pengamatan, yaitu hanya melihat apa
yang tampak pada diri pengemis dengan ekspresi wajahnya ketika
melakukan aktivitas mengemis. Selama penelitian, dengan
mengamati tingkah-laku pengemis dengan raut wajah, atau ekspresi
wajah yang penuh dengan kesedihan. Rata-rata dari apa yang
terlihat, pada awalnya, sebelum pengemis bertemu dengan calon
dermawannya, ekspresi wajah pengemis yang ditampilkan sangat
biasa, tidak ada raut yang sedih apalagi ketika sedang berkumpul
dengan teman sesamanya, terlihat jauh beda. Perbedaan ekspresi
wajah tersebut sangat cepat terjadi, dan sepertinya mereka mudah
membuat kesan ekspresi wajah mereka, dengan cara mereka, sesuka
mereka. Salah satu informan, Juminah ketika berkeliling meminta-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
minta kepada pedagang dan penjual di Pasar Klewer, terlihat cara
berjalan Juminah yang cenderung melamban, dengan menunduk, dan
membuat raut mukanya sedih, seperti meminta pertolongan agar
diberi sedikit sedekahnya. Setelah itu, Juminah kembali berjalan ke
tempat berikutnya, dan begitu pula seterusnya. Juminah mengaku
malu ketika mengemis diikuti oleh orang lain. Ketika mengikuti
Juminah berjalan ke tempat berikutnya, Juminah kembali bercerita
dengan ekspresi wajah yang berbeda ketika dia meminta kepada
penjual dan pedagang pasar. Dia bercerita dengan raut wajah yang
ceria, kadang di selingi tertawa kecil. Tetapi memang pada dasarnya
Juminah mengakui bahwa dirinya tidak suka mengeluh, ataupun
menggerutu.
Cerita lain, ketika sedang duduk-duduk di samping salah satu
informan, Slamet, dengan mengamati selama penelitian, Slamet
memang cenderung pendiam dan tidak banyak bicara jika tidak ada
yang mengajaknya bicara, akan tetapi pembawaan diri Slamet ramah
kepada orang yang mengajaknya bicara. Terlihat perbedaan ekspresi
wajah Slamet ketika sedang bercerita dengan selain calon dermawan,
dan ketika di depan calon dermawan atau ketika ada orang lewat di
depan Slamet. Ekspresi yang tadi didapati terlihat biasa saja, bahkan
diselingi tertawa, dan ketika ada orang lain lewat di depannya,
seolah orang lain yang mengajaknya bicara diacuhkan oleh Slamet
dan ekpresi wajahnya menjadi memelas. Begitu mengherankan saat
melihat Slamet yang begitu drastis akan perubahan ekspresi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
wajahnya ketika berhadapan dengan selain calon dermawan. Setelah
selesai memainkan ‘panggung depan’nya, Slamet kembali
berbincang kembali, dan begitu seterusnya.
Selain itu, informan lain, yaitu Isah. Dari segi fisik, Isah sudah
masuk kategori tua bahkan usia lanjut. Walaupun begitu, Isah tetap
bisa diteliti dan mudah memberikan informasi dengan jujur dan apa
adanya. Ketika melihat Isah saat berhadapan dengan calon
dermawan, Isah cenderung banyak diam, dan hanya bicara sedikit
ketika akan meminta sedekah. Melihat Isah saat meminta, dia
mengerutkan kening, dengan mengucapkan kata-kata verbalnya yang
didukung oleh ekspresi wajahnya yang memelas. Jika ditanya,
mengapa demikian, Isah cenderung tidak bisa mengungkapkannya
dengan kata-kata, hanya mengatakan, “biasa mawon, nggeh
ngateniki” tetapi Isah tidak menyadari apa yang sedang
dilakukannya itu mengandung makna simbolik, yaitu perubahan
ekspresi wajah ketika berhadapan dengan calon dermawannya, dan
ketika berada diantara teman sesamanya, juga terhadap. Bukan
hanya Isah saja yang demikian, bahkan informan lain mengatakan
sama dengan apa yang Isah katakan.
Melihat kembali teori dari Goffman, ekspresi wajah adalah
salah satu pendukung dari bahasa verbal seseorang untuk mengelola
kesan dan mempresentasikannya di depan orang lain. Seperti pemain
drama ketika harus berakting dengan memainkan wajah yang
mengandung makna tersendiri. Misalnya saja ekspresi wajah yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
sinis, melotot, menandakan bahwa aktor tersebut berperan menjadi
antagonis yang berperilaku jahat, dan apabila ekspresinya kuyu,
sedih, menandakan aktor tersebut memerankan tokoh yang tertindas
yang perlu dikasihani. Seperti halnya pengemis, dalam bahasan ini
adalah sebagai pelaku komunikasi yang mengelola kesannya
meliputi isyarat dan gerakan tubuh, penampilan, juga ekspresi wajah,
yang mana sebelum mempresentasikan dirinya didepan calon
dermawan (panggung depan), sudah dipersiapakan dan dikelola
sedemikian rupa ketika masih berada di ‘panggung belakang’, agar
bisa menampilkan dirinya dengan sebaik mungkin, dan mendapat
respon dari calon dermawan.
d. Parabahasa
Dalam parabahasa, jika dilihat cenderung dan identik dengan
komunikasi secara verbal, karena menggunakan kata-kata, nada
suara, juga intonasi. Akan tetapi , aspek-aspek tersebut harus
dianggap sebagai dari komunikasi nonverbal, yang menunjukan
kepada kita bagaimana perasaan pembicara. Mengenai pesannya,
apakah ia percaya diri, gugup, sedih, senang, menggerutu, atau
menunjukan aspek-aspek emosional lainnya, dengan mengambil
salah satu dari bentuk parabahasa tersebut yang sesuai dengan apa
yang peneliti lihat ketika pengemis menggunakannya, yaitu dari segi
kualitas vokal, salah satunya adalah nada suara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
d.1. Nada Suara
Nada suara, umumnya di pakai pengemis menyertai
ucapan verbal ketika bertemu dengan calon dermawannya.
Misalnya ketika mereka mengucapkan “assalamualaikum”,
“paringi dhen”, dan sejenisnya suara mereka memelas, suara
mereka biasanya menjadi lemah lembut, dan lirih. Pada
penampilan panggung depan, ketika berhadapan dengan
calon dermawan, hampir semua pengemis menunjukan nada
suara yang lemah lembut, halus, dengan intonasi rendah dan
panjang. Tetapi ketika di panggung belakang, atau sedang
bersama dan berkumpul dengan teman sesama pengemis
lainnya, nada memelas, halus tersebut menghilang.
“Yen kula niku biasane nyuwun sing alus mbak yen nyuwun niku, kajenge uwong niku nggih maringi, lha cobi yen nyuwune kula mboten apik-apik, alus, uwong lak wegah tha mbak yen ajeng maringi, ngaten mawon..paringi sithik, radi kathah, kula tompo..”(kalau saya itu biasanya meminta yang halus mbak kalau meminta itu, agar orang mau sedekah, coba kalau mintanya tidak baik-baik, tidak halus, orang kan pasti tidak mau kalau ingin sedekah, begitu saja..diberi sedikit, agak banyak, saya terima..) (Wawancara dilakukan dengan Sulasmi, di Pasar Klewer, pada tanggal 18 Juli 2011)
Dari wawancara tersebut Sulasmi menganggap bahwa
meminta secara halus itu akan menimbulkan simpati bagi
calon dermawannya, dan apabila tidak secara halus, maka
calon dermawannya pun tidak akan memberi sedekah
padanya. Begitu pula dengan Isah, sedikit berbeda ceritanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
“ Biasa ngaten, mboten pripun-pripun, kula niki pun sepuh, suarane nggih sok cetho, sok mboten, serak ngaten lhe dhen..dadose nggih sok meneng kalih ngatung ngaten, mengkeh tiyang niku pun dha maringi, sing pun kenal kalih kula niku pun bendinten maringi ngaten, lawong pun ngertos, pun kenal..”(biasa begini, tidak dibuat-buat, saya itu sudah tua, suaranya ya kadang jelas, kadang tidak, serak begitu dhen..jadinya ya kadang diam sambil menengadah begitu, nanti orang itu sudah memberi, yang sudah kenal dengan saya itu sudah setiap hari memberi begitu, orang sudah tau, sudah kenal..) (Wawancara dilakukan dengan Isah, di Pasar Klewer, pada tanggal 22 Juli 2011)
Isah mengakui bahwa dia sudah tua dan suaranya
kadang-kadang terasa serak, dan kadang tidak jelas, jadi
suaranya terdengar lirih, pelan, dan cenderung bergetar-getar,
tatapi ketika suaranya normal dan tidak sedang serak, Isah
mengatakan bahwa jika meminta pada calon dermawannya
dengan cara yang halus. Juminah tidak jauh berbeda dengan
Sulasmi dan isah, hanya perbedaanya adalah Juminah
cenderung banyak bercerita dan periang daripada teman-
teman sesamanya.
“Nggih ngaten, mature kulonuwun Bu..assalamualaikum, mugi diparingi sehat, lancar, berkah, kulo yen nyuwun ngaten kula dongani dik,nggih kaya ngaten mawon, mboten saget bahasanan dik, ngathung ngagem tangan ngaten nggean..” (Ya begini, Bu..assalamualaikum, semoga diberi sehat, lancar, berkah, saya kalau meminta begini saya doakan dik, ya seperti ini saja, tidak bisa berbahasa dik, meminta pakai tangan begini saja) (Wawancara dilakukan dengan Juminah, di Pasar Klewer, pada tanggal 10 Agustus 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Dari cara berbicara Juminah dapat terlihat ketika dia
mengucapkan salam, mendoakan, sambil menengadahkan
tangannya, karena, ucapan verbal tersebut dapat terkemas
baik apabila diiringi juga dengan perilaku nonverbalnya yaitu
dengan menengadahkan tangannya. Juminah mengatakan,
bahwa ketika akan meminta sedekah pada calon dermawan,
hendaknya dengan ucapan yang halus, perilaku yang sopan,
dan menunduk. Menurutnya, jika bersikap seperti itu, dapat
menghargai orang lain dan orang lain pun senang melihatnya,
dan kemudian bisa memberi sedekah padanya.
Tidak banyak yang dikemukakan dalam parabahasa,
hanya saja yang cenderung sering dibahas adalah nada suara.
Nada suara berperan sebagai pendukung yang lain dari
bahasa verbal yang digunakan pengemis. Nada suara akan
lebih kuat lagi apabila didukung pula oleh intonasinya. Di
balik nada suara, terkandung makna tersendiri, misalnya saja
nada suara yang keras dan membentak, umumnya
menandakan bahwa orang sedang marah, atau menyuruh,
Nada suara yang lirih, pelan, dan halus, umumnya
menandakan bahwa orang sedang memohon sesuatu, merayu,
dan lain sebagainya. Dari segi verbal maupun nonverbalnya,
sebenarnya keduanya saling mendukung satu sama lain dalam
kaitannya mempresentasikan diri seseorang kepada orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
lain, dan dikelola sedemikian rupa untuk ditampilkan di
‘panggung depan’.
Selama penelitian berlangsung, didapatkan data hasil
wawancara dengan pengemis di Pasar Klewer, bahwa rata-
rata dari mereka mengakui, nada suara yang mereka pakai
saat berhadapan dengan calon dermawannya adalah dengan
halus, lirih dan sopan. Membandingkan antara apa yang
terlihat selama penelitian berlangsung dengan data yang
didapat dari hasil wawancara, terdapat kesamaan antara
keduanya. Melihat pengemis ketika berhadapan dengan calon
dermawannya dan mendengar kata-kata yang mereka
ucapkan dengan halus dan lirih, berbeda ketika pengemis
sedang bersama dengan komunitasnya, cara berbicaranya
cenderung biasa saja, tidak menunjukan dan tidak terdengar
nada suara yang halus dan lirih. Kembali pada teori Goffman,
mengenai panggung depan dan panggung belakang,
pengelolaan kesan, serta presentasi diri, nada suara adalah
salah satu pelengkap dari beberapa macam cara pengemis
dalam mempresentasikan diri kepada calon dermawannya,
yang mana semuanya saling melengkapi satu sama lain dan
akhirnya terbentuk sebuah pengelolaan kesan yang akan
dinilai dan dimaknai oleh orang lain ( calon dermawan).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian ini maka dihasilkan beberapa kesimpulan yaitu :
1. Pengemis mempunyai cara untuk mengelola kesan yang akan
disampaikan pada calon dermawan, yaitu dengan menggunakan simbol
verbal yang berupa kata-kata, pilihan kata yang digunakan, dan bahasa
yang digunakan. Simbol nonverbal, diungkapkan dengan perilaku tubuh
yang meliputi : penampilan, pakaian/busana, ekspresi wajah, dan
parabahasa.
2. Pengelolaan kesan melalui simbol verbal, dibagi dalam 2 peristiwa, yaitu
peristiwa komunikasi dengan sesama pengemis dan anggota komunitas
lainnya dan peristiwa komunikasi dengan calon dermawannya.
3. Peristiwa komunikasi dengan calon dermawannya terbagi dalam 2 sesi,
sesi pertama adalah ketika pengemis pertama kali bertemu dengan calon
dermawannya untuk mendapatkan sedekah, dan sesi kedua adalah setelah
pengemis selesai bertemu dengan calon dermawannya (terlepas member
atau menolak untuk memberi sedekah).
4. Penelitian ini menggunakan teori dramaturgi milik Erving Goffman, yang
membahas bagaimana manusia itu menampilkan dirinya di depan orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
lain dengan mengelola kesan sedemikian rupa, sehingga orang lain dapat
menilai, seperti halnya dalam pembahasan ini, pengemis sebagai aktor
kehidupan, dimana mereka dapat memposisikan diri mereka ketika
berada di ‘panggung depan’ saat berhadapan dengan calon dermawan ,
dan di ‘panggung belakang’ saat berada diantara sesamanya dan
komunitasnya, serta dapat men-setting bagaimana akan menampilkan,
mempresentasikan dirinya, layaknya seorang aktor yang akan tampil di
atas panggung memainkan drama.
5. Dalam teori dramaturgi Goffman mengelompokkan menjadi 4 bagian,
yaitu presentasi diri Goffman, panggung depan dan panggung belakang,
pengelolaan kesan (impression management), dan penggunaan tim.
Keempat bagian tersebut, saling melengkapi satu sama lain sehingga
dapat menghasilkan kesan yang diharapkan dari penilaian orang lain.
6. Komunikasi dengan menggunakan simbol nonverbal lebih dominan
digunakan oleh para pengemis di Pasar Klewer daripada simbol verbal.
B. Saran
1. Komunikasi yang digunakan oleh pengemis selama penelitian, cenderung
menggunakan bahasa nonverbalnya daripada bahasa verbal dimana
pengemis melakukan dramatisasi dalam berkomunikasi dengan calon
dermawan, maka dari itu, hendaknya bisa lebih mewaspadai jangan
terlalu percaya dengan dramatisasi yang mereka lakukan dan jangan
sering memberi sedekah ketika bertemu dengan pengemis, karena hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
tersebut dapat menjadikan pengemis semakin malas dalam bekerja, dan
akan terus mengandalkan orang lain.
2. Dalam penelitian ini, belum dapat membahas secara mendalam terkait
dengan bahasan tentang nada suara secara detail, maka dari itu untuk
penelitian berikutnya, agar dapat melengkapi kekurangan dalam
penelitian ini, dan bisa lebih detail lagi dalam pembahasannya.
3. Untuk penelitian berikutnya, jika ingin melakukan penelitian yang sama,
tidak harus pengemis yang bisa dijadikan sebagai subjek penelitian,
karena masih banyak subjek penelitian yang menarik untuk diteliti
terutama yang menyangkut kelompok pinggiran, misalnya : anak jalanan,
pengamen, waria, homoseksual, lesbi, dan lain sebagainya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsini. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta, 2002. Effendi, O. Uchjana. Dinamika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya,
1989. . Ilmu ,Teori, Dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2002. Hardjana, Agus. M. Komunikasi Intrapersonal dan Interpersonal. Yogyakarta :
Kanisius, 2003. Ibrahim, Abdul Syukur. Panduan Penelitian Etnografi Komunikasi. Surabaya:
Usaha Nasional, 1994. Jefkins, Frank. Yadin, Daniel. Public Relation. Jakarta: Erlangga, 2002. Keraf, Gorys. Diksi Dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia, 2000. Larry A. Samovar. Richard E. Porter. Edwin R. McDaniel. Komunikasi Lintas
Budaya. Jakarta: Salemba Humanika, 2010. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya., 2005. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin, Rakhmad. Komunikasi Antar Budaya. Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya, 1990. . Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001. . Metode Penelitian Kualitatif; Paradigma Baru Ilmu
Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT. Rosdakarya. 2008. Mulyana, Deddy dan Solatun. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : PT.
Remaja Rosdakarya, 2007. Pawito. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta : PT. LKis Pelangi Aksara,
2007. Rakhmat, Jalaluddin. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya, 1990. Riswandi. Ilmu Komunikasi. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2009. Ritzer, George. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Kencana, 2007.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ruslan, Rosady. Manajemen Humas dan Manajemen Komunikasi Persepsi dan
Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.1999. Saefullah, Ujang. Kapita Selekta Komunikasi; Pendekatan Budaya Dan Agama.
Bandung: Simbiosa Media Rekatama, 2007. Soeprapto, Riyadi. Interaksionisme Simbolik ; Perspektif Sosiologi Modern.
Malang: Averroes press, 2002. Supratiknya. Tinjauan Psikologis; Komunikasi Antar Pribadi. Yogyakarta :
Kanisius, 1995. Susanto. Astrid S. Komunikasi Sosial di Indonesia. Bandung : Bina Cipta, 1985. Sutopo, H.B. Metodologi Penelitian Kualitatif, Dasar Teori dan Penerapannya
dalam Penelitian. Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002. Wiryanto. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia
Grasindo, 2005. Zeitlin, Irving. Terjemahan Anshori dan Juanda. Memahami Kembali Sosiologi,
Kritik Terhadap Sosiologi Kontemporer. Yogyakarta: Gadjah Mada university Press, 1995.
Jurnal: Roessing, Thomas. The Effects Of Verbal And Nonverbal Elements In Persuasive
Communication. Journal Of Communication : 2011, vol.1, hal. 3. Brook, Donald. On Non-Verbal Representation. Journal Of Communication :
1997, Vol. 2, hal. 4