perencanaan pembelajaran berbasis pendidikan karakter

60
 1 TEKNOLOGI PEMBELAJARAN PERENCANAAN PEMBELAJARAN BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER  Disusun Oleh : Dedi Kurniawan (K2513014 ) Faqih Bahrudin (K2513022 ) Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mat a kuliah Tekno logi pembelajaran yang diampu oleh Bapak Dr. H. Roemintoyo S.T., M.Pd. PENDIDIKAN TEKNIK MESIN JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK KEJURUAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2014

Upload: faqih-bahrudin

Post on 09-Oct-2015

239 views

Category:

Documents


16 download

DESCRIPTION

bagaimana merencanakan pembelajaran

TRANSCRIPT

  • 1

    TEKNOLOGI PEMBELAJARAN

    PERENCANAAN PEMBELAJARAN

    BERBASIS PENDIDIKAN KARAKTER

    Disusun Oleh :

    Dedi Kurniawan (K2513014)

    Faqih Bahrudin (K2513022)

    Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Teknologi pembelajaran

    yang diampu oleh Bapak Dr. H. Roemintoyo S.T., M.Pd.

    PENDIDIKAN TEKNIK MESIN

    JURUSAN PENDIDIKAN TEKNIK KEJURUAN

    FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2014

  • 2

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Pasca reformasi 1998 bangsa Indonesia menunjukkan indikasi terjadinya

    krisis karakter yang cukup memprihatikan. Demoralisasi mulai merambah ke

    dunia pendidikan yang belum memberi ruang untuk berperilaku jujur karena

    proses pembelajaran cenderung mengajarkan pendidikan moral dan budi pekerti

    sebatas pengetahuan yang tertulis dalam teks dan kurang mempersiapkan siswa

    untuk menyikapi dan menghadapi kehidupan yang kontradiktif. Fenomena

    maraknya praktik korupsi bisa juga berawal dari kelemahan dunia pendidikan

    dalam menjalankan fungsinya sebagai institusi yang turut bertanggung jawab

    membenahi moralitas anak bangsa, ditemukannya beberapa bukti seperti

    tingginya angka kebocoran di institusi pendidikan, pengkatrolan nilai oleh guru,

    plagiatisme naskah-naskah skripsi dan tesis, menjamurnya budaya nyontek para

    siswa, korupsi waktu mengajar, dan sebagainya telah menunjukkan betapa telah

    terjadi reduksi moralitas dan nurani sebagian dari kalangan pendidik dan peserta

    didik, di sisi lain, praktik pendidikan Indonesia yang cenderung terfokus pada

    pengembangan aspek kognitif dan sedikit mengabaikan aspek soft skils sebagai

    unsur utama pendidikan karakter, membuat nilai-nilai positif pendidikan belum

    optimal dicapai.

    Budaya korupsi yang menghancurkan moralitas bangsa Indonesia memang

    masih terus terjadi. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mengurangi bahkan

    menghancurkan praktik yang merugikan kehidupan bangsa ini. Pembentukan

    Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak

    Pidana Korupsi Presiden (Inpres No.5/2004 tentang Percepatan Pemberantasan

    Korupsi) merupakan sebagian jawaban dalam upaya memberantas budaya

    koruptif. Upaya penanggulangan dan pemberantasannya senyatanya telah

    dilakukan dengan cara yang lebih canggih, bahkan para penegak hukum, terutama

    KPK telah menggunakan semua kekuatan yang dimilikinya. Namun, praktik ini

    masih terus berlangsung dengan modus yang lebih canggih.

  • 3

    Korupsi merupakan salah satu bentuk krisis karakter yang sangat dampaknya

    buruk bagi bangsa Indonesia. Korupsi menjadi penghambat utama kemajuan

    ekonomi, dan pada akhirnya korupsi menjadi sumber dari berkembangnya

    kemiskinan di Indonesia. Posisi Indonesia dalam kancah pergaulan internasional,

    sebagai salah satu negara yang terkorup di dunia telah menyebabkan bangsa ini

    kehilangan martabat di tengah-tengah pergaulan bangsa lain. Korupsi terjadi

    karena orang-orang kehilangan beberapa karakter baik, terutama sekali kejujuran,

    pengendalian diri (self regulation), dan tanggung jawab sosial.

    Fenomena sosial yang terjadi pada akhir-akhir ini, budaya korupsi sudah

    merambah di lingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan BUMN. Kasus kasus

    Bank Century, kasus suap pada anggota DPR, Markus (makelar kasus) ala

    Gayus Tambunan, korupsi perpajakan lainnya, mafia pengadilan, dan lain-lain

    adalah fenomena korupsi yang sering kita dengar dan tonton di mass madia.

    Kasus tersebut mengambarkan bahwa aktivitas kelembagaan, semakin lama

    semakin terjebak kepada budaya koruptif bahkan mengacu budaya yang pragmatis

    materialistik, padahal budaya kelembagaan haruslah jauh dari kepentingan

    pragmatis materialistik dan harus mengacu pada nilai-nilai pendidikan

    spiritualitas, sebagaimana yang mereka cita-citakan. Budaya kelembagaan

    mestinya mampu membangun sikap dan sifat-sifat seperti jujur, tegas, hati-hati,

    percaya diri, penuh pertimbangan, berani, sopan, bersemangat, lembut, dan halus,

    sikap ramah, moderat dan bijaksana, rendah hati, adil, mengamalkan kebaikan,

    menabur kasih sayang, hidup sederhana, taat dan patuh, sabar menjaga

    kedamaian, dapat mempercayai dan dipercaya.

    Memudarnya karakter anak bangsa juga ditunjukkan oleh meningkatnya

    aksi-aksi yang berdampak pada rusaknya diri bangsa kita sendiri, seperti tawuran,

    vandalism, saling caci-maki, perkelahiran antarsporter, pembunuhan,

    pemerkosaan, penipuan, dan sejenisnya, ketika bangsa-bangsa lain bekerja keras

    mengerahkan potensi masyarakatnya untuk meningkatkan daya saing negaranya,

    sebagian dari anak bangsa justru terjebak pada perilaku yang tidak produktif dan

    merugikan masyarakat sendiri. Penyelesaian perbedaan pendapat dengan meng-

    gunakan kekerasan dan mengarah pada konflik horizontal bahkan SARA,

  • 4

    sebagaimana yang sering dipertontonkan media massa, menunjukkan semakin

    memudarnya nilai-nilai kemanusiaan dan kesatuan dalam negara yang berbhineka

    tunggal ika.

    Kalangan anak muda, yang notabene generasi penerus bangsa juga muncul

    perilaku-perilaku menyimpang dan menyedihkan. Maraknya geng motor, seks

    bebas, keterlibatan dalam narkoba, tawuran, perilaku santai, ugal-ugalan di jalan

    dan sebagainya merupakan beberapa kasus yang mewarnai kehidupan mereka dan

    tak layak untuk diteladani.

    Krisis karakter memang menjadi masalah kita bersama. krisis karakter

    merupakan sikap mental yang memandang bahwa kemajuan bisa diperoleh secara

    mudah, tanpa kerja keras, dan bisa dicapai dengan menadahkan tangan ataupun

    dengan menuntut ke kiri dan ke kanan. Kebiasaan menimpakan kesalahan kepada

    orang lain juga merupakan salah satu karakter yang menghambat kemajuan

    bangsa ini. Banyaknya orang menyatakan bahwa sulitnya Indonesia mencapai

    kemajuan sesudah kemerdekaan adalah akibat ulah penjajah Belanda merupakan

    salah satu contoh betapa kita cara pandang menyalahkan orang lain masih saja

    terpelihara dalam kehidupan bangsa ini. Penyebab rusaknya ekonomi Indonesia

    sering mengambinghitamkan konspirasi Amerika Serikat, IMF, World Bank,

    aaupun akibat dominasi golongan minoritas, dalam konteks ini, kita memang

    terlalu mudah menyalahkan orang/bangsa lain, tanpa kita menginstropeksi diri.

    Krisis karakter sudah waktunya diatasi secara struktural oleh bangsa

    Indonesia, karena itu penanganan krisis karakter haruslah dimulai dari

    pemahaman akan penyebab krisis di Indonesia sehingga solusi terhadap masalah

    krisis karakter didasarkan pada sumber masalah. Peran lembaga pendidikan juga

    diharapkan lebih proaktif, kreatif dan inovatif dalam merancang proses

    pembelajaran yang benar-benar mampu memberikan kontribusi bagi

    pembangunan pendidikan karakter. Dalam hal inilah proses pendidikan karakter

    perlu dirancang dalam perspektif holistik dan kontekstual sehingga mampu

    membangun pemikiran yang dialogis-kritis dalam membentuk manusia yang

    berkarakter, dalam semua level masyarakat yakni keluarga, sekolah, masyarakat

    dan negara.

  • 5

    Mengurai persoalan krisis karakter bukanlah pekerjaan yang mudah karena

    penyebab krisis Indonesia sudah bersifat struktural dalam dinamika kehidupan

    masyarakat. Bahkan, dalam dimensi sosiologis, krisis karakter sudah terjadi pada

    unsur-unsur masyarakat yang telah berkembang secara sistemik sehingga efek

    sosialnya mulai dirasakan oleh masyarakat itu sendiri.

    Penyebab sebenarnya yang menjadi pemicu krisis karakter yang terus

    bekelanjutan hingga kini tersebut di atas adalah sikap terlena oleh sumber daya

    alam yang melimpah. Setiap pikiran orang Indonesia sejak puluhan tahun

    ditanamkan pandangan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya raya. Sumber

    daya alamnya melimpah, hal ini dijadikan salah satu unsur kebanggaan bangsa

    kita. Memang memiliki sumber daya alam melimpah perlu disyukuri, namun

    dipihak lain, hal itu juga bisa membawa permasalahan tersendiri.

    Dijelaskan dalam analisis ESQ adanya tujuh krisis moral yang terjadi di

    tengah-tengah masyarakat Indonesia antara lain adalah krisis kejujuran, krisis

    tanggung jawab, tidak berpikir jauh ke depan, krisis disiplin, krisis kebersamaan,

    krisis keadilan. Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa penyebab

    krisis karakter bersifat multidimensional, sehingga solusi terhadap masalah krisis

    karakter harus diatasi secara struktural.(Ginanjar : 2002)

    Pendekatan struktural memberikan efek perubahan pada dimensi struktur dan

    proses sosial dalam masyarakat, sehingga pembentukan karakter lebih dinamis.

    Hal ini bisa terjadi karena dimensi struktur terkait dengan pranata dan peran yang

    ada dalam masyarakat, sedangkan dimensi proses menekankan pada interaksi

    sosial yang terjadi antarperan dalam kehidupan masyarakat. Lebih khusus lagi,

    peran pendidikan sangat diharapkan menjadi kekuatan yang mampu memberikan

    kontribusi bagi pembangunan karakter di Indonesia.

    Pendidikan dalam era globalisasi harus menjadi the power in building

    character karena pendidikan memberi bekal kepada peserta didik untuk memilah

    mana yang baik dan mana yang kurang/tidak baik berdasarkan

    pertimbangan-pertimbangan yang logis dan kritis. Pendidikan juga bisa menjadi

    penopang bagi perubahan masyarakat. Pendidikan yang dimaksud adalah

    pendidikan karakter dengan mengembangkan energi pembelajaran secara optimal.

  • 6

    B. Tujuan Penulisan

    Tujuan penulisan makalah ini adalah sbb :

    1. Memaparkan teori-teori Perencanaan pembelajaran berbasis pendidikan

    karakter menurut para ahli.

    2. Memaparkan konsep pendidikan karakter

    3. Memaparkan pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

    4. Memaparkan encana pembelajaran berbasis pendidikan karakter.

    C. Manfaat Penulisan

    1. Mengetahui teori-teori Perencanaan pembelajaran berbasis pendidikan

    karakter menurut para ahli.

    2. Mengetahui konsep pendidikan karakter

    3. Mengetahui pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

    4. Mengetahui rencana pembelajaran berbasis pendidikan karakter.

  • 7

    BAB 2

    KAJIAN TEORI

    A. Pengertian Perencanaan

    Perencanaan adalah menyusun langkah-langkah yang akan dilaksanakan

    untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Perencanaan tersebut dapat disusun

    berdasarkan kebutuhan dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan keinginan

    pembuat perencanaan. Namun yang lebih utama adalah perencanaan yang dibuat

    harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat sasaran.

    Perencanaan adalah menentukan apa yang akan dilakukan. Perencanaan

    mengandung rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan penjelasan-penjelasan

    dari tujuan, penentuan kebijakan, penentuan program, penentuan metode-metode

    dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan berdasarkan jadwal sehari-hari.

    Perencanaan mencakup rangkaian kegiatan untuk menentukan tujuan umum

    (goal) dan tujuan khusus (objektivitas) suatu organisasi atau lembaga

    penyelenggaraan pendidikan, berdasarkan dukungan informasi yang lengkap.

    Setelah tujuan ditetapkan perencanaan berkaitan dengan penyusunan pola,

    rangakaian, dan proses kegiatan yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan

    tersebut. Kesimpulannya, efektifitas perencanaan berkaitan dengan penyusunan

    rangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan, dapat diukur dengan terpenuhinya

    faktor kerjasama perumusan perencanaan, program kerja madrasah, dan upaya

    implementasi program kerja dalam mencapai tujuan.

    B. Pengertian pembelajaran

    Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh para guru dalam

    membimbing, membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki

    pengalaman belajar. Pengajaran adalah suatu cara bagaimana mempersiapkan

  • 8

    pengalaman belajar bagi peserta didik. (Jones at. Al dalam Mulyani Sumantri,

    1988:95).

    C. Pengertian Pendidikan

    Secara etimologi kata pendidikan berasal dari kata "didik" yang

    mendapat awalan "pe" dan akhiran "an" , maka menjadi kata pendidikan. Dari

    Bahasa Yunani, pendidikan berasal dari kata pedagogi yaitu kata paid yang

    artinya anak dan agogos yang artinya membimbing, sehingga pedagogi dapat

    diartikan sebagai ilmu dan seni membimbing anak.

    UU No. 20 Tahun 2003, tentang sistem pendidikan nasional, pendidikan

    adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses

    pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

    untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

    kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

    bangsa dan Negara.

    Menurut epistimologi para ahli mengemukakan berbagai arti tentang

    pendidikan Prof. Zahara Idris, M.A. misalnya, mengatakan bahwa Pendidikan

    ialah serangkaian kegiatan komunikasi yang bertujuan, antara manusia dewasa

    dengan si anak didik secara tatap muka atau dengan menggunakan media dalam

    rangka memberikan bantuan terhadap perkembangan anak seutuhnya.

    Ahmad D. Marimba berpendapat bahwa Pendidikan adalah bimbingan atau

    pimpinan secara sadar oleh pendidik terdapat perkembangan jasmani dan rohani

    terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.

    Pendidikan merupakan suatu proses yang kontinyu, yang merupakan

    pengulangan yang perlahan tetapi pasti dan terus-menerus sehingga sampai pada

    bentuk yang diinginkan.

    Kesimpulannya bahwa pendidikan adalah usaha sadar terencana untuk

  • 9

    mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran atau pelatihan agar peserta

    didik secara aktif dapat mengembangkan potensi dirinya supaya memiliki

    kekuatan spiritual keagamaan, emosional, pengendalian diri, kepribadian,

    kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya dan

    masyarakat.

    Konsep yang lebih jelas dituangkan adalah pendidikan yang dirumuskan

    dalam UU RI No 2 th 1989. Bab 1, pasal 1. butir 1 : Pendidikan ialah usaha sadar

    untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran

    dan atau latihan bagi peranan masa yang akan datang.

    Istilah pendidikan dalam perkembangannya berarti bimbingan atau

    pertolongan yang diberikan secara sengaja terhadap anak didik oleh orang dewasa

    agar anak didik menjadi dewasa, dalam perkembangan selanjutnya, pendidikan

    berarti usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk

    mempengaruhi seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau

    mencapai tingkat hidup dan penghidupan yang lebih tinggi dalam arti mental,

    dengan demikian pendidikan berarti, segala usaha orang dewasa dalam pergaulan

    dengan anak-anak untuk memimpin perkembanagan jasmani dan rohaninya

    kearah kedewasaan.

    D. Pengertian Perencanaan Pendidikan

    Perencanaan Pendidikan adalah suatu proses mempersiapkan seperangkat

    keputusan untuk kegiatan-kegiatan di masa depan yang di arahkan untuk mencapai

    tujuan-tujuan dengan cara-cara optimal untuk pembangunan ekonomi dan social

    secara menyeluruh dari suatu Negara.

    Perencanaan adalah suatu cara yang memuaskan untuk membuat kegiatan

    dapat berjalan dengan baik, disertai dengan berbagai langkah yang antisipatif guna

    memperkecil kesenjangan yang terjadi sehingga kegiatan tersebut mencapai

  • 10

    tujuan yang telah ditetapkan, sedangkan yang dimaksud pembelajaran memiliki

    hakikat perencanaan atau perancangan (desain) sebagai upaya untuk

    membelajarkan siswa. Itulah sebabnya dalam belajar, siswa tidak hanya

    berinteraksi dengan guru sebagai salah satu sumber belajar, tetapi mungkin

    berinteraksi dengan keseluruhan sumber belajar yang dipakai untuk mencapai

    tujuan pembelajaran yang diinginkan. Pembelajaran memusatkan perhatian pada

    bagaimana membelajarkan siswa, dan bukan pada apa yangdipelajari siswa.

    Adapun perhatian terhadap apa yang dipelajari siswa merupakan bidang

    kajian dari kurikulum, yakni mengenai apa isi pembelajaran yang harus dipelajari

    siswa agar dapat tercapainya tujuan. Pembelajaran lebih menekankan pada

    bagaimana cara agar tercapai tujuan tersebut. Kaitan ini hal-hal yang tidak bisa

    dilupakan untuk mencapai tujuan adalah bagaimana cara menata interaksi antara

    sumber-sumber belajar yang ada agar dapat berfungsi secara optimal.

    Mengacu konteks pengajaran, perencanaan dapat diartikan sebagai proses

    penyusunan materi pelajaran, penggunaan media, pendekatan dan metode

    pembelajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan

    pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.

    Secara terminologi, perencanaan pembelajaran terdiri atas dua kata, yakni

    kata perencanaan dan kata pembelajaran. Pertama, perencanaan berasal dari kata

    rencana yaitu pengambilan keputusan tentang apa yang harus dilakukan untuk

    mencapai tujuan. Setiap perencanaan minimal harus memiliki empat unsur

    sebagai berikut :

    1. Adanya tujuan yang harus dicapai.

    2. Adanya strategi untuk mencapai tujuan.

    3. Sumber daya yang dapat mendukung.

    4. Implementasi setiap keputusan.

    Tujuan merupakan arah yang harus dicapai. Tujuan perlu dirumuskan dalam

  • 11

    bentuk sasaran yang jelas dan terukur agar perencanaan dapat disusun dan

    ditentukan dengan baik. Dengan adanya sasaran yang jelas maka ada target yang

    harus dicapai. Target itulah yang selanjutnya menjadi fokus dalam menentukan

    langkah-langkah selanjutnya.

    Strategi berkaitan dengan penetapan keputusan yang harus dilakukan oleh

    seorang perencana, misalnya keputusan tentang waktu pelaksanaan dan jumlah

    waktu yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Penetapan sumber daya diperlukan

    untuk mencapai tujuan yang meliputi penetapan sarana dan prasarana yang

    diperlukan, anggaran biaya dan sumber lainnya. Implementasi adalah pelaksanaan

    dari strategi dan penetapan sumber daya. Implementasi merupakan unsur penting

    dalam proses perencanaan karena dapat digunakan untuk menilai efektivitas suatu

    perencanaan.

    Kedua, pembelajaran dapat diartikan sebagai proses kerjasama antara guru

    dan siswa dalam memanfaatkan segala potensi dan sumber daya yang ada baik

    yang bersumber dari dalam diri siswa itu sendiri seperti minat, bakat dan

    kemampuan dasar yang dimiliki termasuk gaya belajar maupun potensi yang ada

    di luar diri siswa seperti lingkungan sebagai upaya untuk mencapai tujuan belajar

    tertentu.

    Berdasarkan dua makna tentang konsep perencanaan dan konsep

    pembelajaran, maka dapat disimpulkan bahwa perencanaan pembelajaran adalah

    proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan

    tujuan pembelajaran tertentu, yakni perubahan perilaku serta rangkaian kegiatan

    yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan

    memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Hasil akhir dari proses

    pengambilan keputusan tersebut adalah tersusunnya dokumen yang berisi tentang

    hal-hal di atas, sehingga selanjutnya dokumen tersebut dapat dijadikan sebagai

    acuan dan pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran

  • 12

    Definisi perencanaan pendidikan apabila disimpulkan dari beberapa pendapat

    tersebut, adalah suatu proses intelektual yang berkesinambungan dalam

    menganalisis, merumuskan, dan menimbang serta memutuskan dengan keputusan

    yang diambil harus mempunyai konsistensi (taat azas) internal yang berhubungan

    secara sistematis dengan keputusan-keputusan lain, baik dalam bidang-bidang itu

    sendiri maupun dalam bidang-bidang lain dalam pembangunan, dan tidak ada batas

    waktu untuk satu jenis kegiatan, serta tidak harus selalu satu kegiatan mendahului

    dan didahului oleh kegiatan lain.

    Secara konsepsional, bahwa perencanaan pendidikan itu sangat ditentukan

    oleh cara, sifat, dan proses pengambilan keputusan, sehingga nampaknya dalam hal

    ini terdapat banyak komponen yang ikut memproses di dalamnya. Adapun

    komponen-komponen yang ikut serta dalam proses ini adalah :

    1. Tujuan pembangunan nasional bangsa yang akan mengambil keputusan

    dalam rangka kebijaksanaan nasional dalam rangka kebijaksanaan nasional

    dalam bidang pendidikan.

    2. Masalah strategi adalah termasuk penanganan kebijakan (policy) secara

    operasional yang akan mewarnai proses pelaksanaan dari perencanaan

    pendidikan. Maka ketepatan pelaksanaan dari perencanaan pendidikan.

    Dalam penentuan kebijakan sampai kepada palaksanaan perencanaan

    pendidikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu : siapa yang memegang

    kekuasaan, siapa yang menentukan keputusan, dan faktor-faktor apa saja yang

    perlu diperhatikan dalam pengambilan keputusan. Terutama dalam hal pemegang

    kekuasaan sebagai sumber lahirnya keputusan, perlu memperoleh perhatian,

    misalnya mengenai system kenegaraan yang merupakan bentuk dan system

    manajemennya, bagaimana dan siapa atau kepada siapa dibebankan tugas-tugas

    yang terkandung dalam kebijakan itu. Juga masalah bobot untuk jaminan dapat

    terlaksananya perencanaan pendidikan. Hal ini dapat diketahui melalui output atau

  • 13

    hasil system dari pelaksanaan perencanaan pendidikan itu sendiri, yaitu dokumen

    rencana pendidikan.

    Dari beberapa rumusan tentang perencanaan pendidikan tadi dapat dimaklumi

    bahwa masalah yang menonjol adalah suatu proses untuk menyiapkan suatu konsep

    keputusan yang akan dilaksanakan di masa depan. Dengan demikian, perencanaan

    pendidikan dalam pelaksanaan tidak dapat diukur dan dinilai secara cepat, tapi

    memerlukan waktu yang cukup lama, khususnya dalam kegiatan atau bidang

    pendidikan yang bersifat kualitatif, apalagi dari sudut kepentingan nasional.

    E. Pengertian Karakter

    Istilah karakter diambil dari bahasa Yunani, yaitu to mark yang artinya

    menandai. Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua

    pengertian tentang karakter. Pertama, karakter menunjukkan bagaimana seseorang

    bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, ataupun rakus,

    tentulah orang tersebut dianggap memiliki perilaku buruk. Sebaliknya, apabila

    seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut dianggap

    memiliki karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan

    personality. Seseorang baru bisa disebut orang yang berkarakter, apabila

    tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Imam Ghozali menganggap bahwa karakter

    lebih dekat dengan akhlaq, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau

    melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam dirinya.

    Menurut Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional, Karakter adalah

    bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat,

    temperamen, watak. Sementara berkarakter adalah berkepribadian, berperilaku,

    bersifat, bertabiat dan berwatak.

    Dengan demikian, karakter mulia, berarti individu itu memiliki pengetahuan

    tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai seperti reflektif, percaya

  • 14

    diri, rasional, logis, kritis, analitis, kreatif dan inovatif, mandiri, hidup sehat,

    bertanggung jawab, cinta ilmu, sabar, berhati-hati, rela berkorban, pemberani,

    dapat dipercaya, jujur, menepati janji, adil, rendah hati, malu berbuat salah, pemaaf,

    berhati lembut, setia, bekerja keras, tekun, ulet/gigih, teliti, berinisiatif, berpikir

    positif, disiplin, antisipatif, inisiatif, visioner, bersahaja, bersemangat, dinamis,

    hemat/efisien, menghargai waktu, pengabdian/dedikatif, pengendalian diri,

    produktif, ramah, cinta keindahan (estetis), sportif, tabah, terbuka, tertib. Individu

    juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik ataupun unggul. Selain itu,

    individu itu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.

    Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual,

    emosional, sosial, etika, dan perilaku).

    Individu yang berkarakter baik ataupun unggul adalah seseorang yang

    berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya,

    sesamanya, lingkungannya, bangsa dan negaranya, serta dunia internasional pada

    umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan disertai

    dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).

    Dalam merumuskan hakikat karakter, Simon Philips (2008:235)

    berpendapat bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu

    sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan.

    Sedangkan Doni Koesoema A (2007:80) memahami bahwa karakter sama dengan

    kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri, atau karakteristik, atau gaya,

    atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang

    diterima dari lingkungan, misalnya lingkungan keluarga pada masa kecil dan juga

    bawaan seseorang sejak lahir.

    Dari pendapat di atas dapat dipahami bahwa karakter itu berkaitan dengan

    kekuatan moral, berkonotasi positif, bukan netral. Jadi, orang berkarakter

    adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian,

  • 15

    pendidikan membangun karakter, secara implisit mengandung arti membangun

    sifat atau pola perilaku yang didasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang

    positif, bukan yang negatif. Gagasan dikaitkan secara langsung character

    strength dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur

    psikologis yang membangun kebajikan. Salah satu kriteria utama dari character

    strength adalah bahwa karakter tersebut berkontribusi besar dalam mewujudkan

    sepenuhnya potensi dan cita-cita seseorang dalam membangun kehidupan yang

    baik dan bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan bangsanya.

    Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang

    terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan

    sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan

    terdiri atas sejumlah nilai, moral dan norma. Wujudnya berupa sikap jujur, berani

    bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang

    dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa.

    Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui

    pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup

    dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter

    individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya

    yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya

    dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta

    didik dari lingkungan.

  • 16

    BAB 3

    RUMUSAN MASALAH

    Dalam penyusunan perencanaan pembelajaran tentu memerhatikan aspek

    aspek yang menentukan kesuksesan pendidikan itu sendiri, salah satunya dalah

    peran karakter. Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of

    knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building

    dan perilaku. Isu pendidikan karakter menjadi mengedepan disebabkan oleh

    keprihatinan kita terhadap praksis pendidikan yang semakin hari semakin tidak

    jelas arah dan hasilnya.

    Pendidikan yang dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS

    bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang

    beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

    berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

    bertanggung jawab (pasal 3). Hanya dalam kenyatan, justru banyak warga negara

    yang tidak berakhlak mulia (sejenis korupsi, penyalahgunaan narkoba, dan

    kekerasan), kurang mandiri (konsumtif), tidak bertanggung jawab, dan kasus lain

    yang justru bertentangan dengan tujuan pendidikan nasional.

    Untuk itu perlunya pendidikan berkarakter , baik dengan terintregrasi dengan

    mata pelajaran atau lewat pendidikan secara khusus. Agar terlaksana kita harus

    tahu bagaimana merencanakan pembelajaran dengan terintegrasi dengan

    character buiding. Dengan kasus demikian maka rumusan masalah dapat

    disimpulkan Bagaimana menentukan perencanaan pembelajaran berbasis

    karakter?.

  • 17

    BAB 4

    PEMBAHASAN

    A. Konsep Pendidikan Karakter

    Pendidikan adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan

    masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan

    bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi,

    pendidikan merupakan sarana pembudayaan dan penyaluran nilai (enkulturisasi

    dan sosialisasi). Anak harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi

    dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga

    hal paling mendasar, yaitu:

    1. Afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia

    termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul dan kompetensi estetis;

    2. Kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk

    menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi;

    3. Psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan

    keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.

    Menurut Prof. Wuryadi, manusia pada dasarnya baik secara individu dan

    kelompok, memiliki apa yang jadi penentu watak dan karakternya yaitu dasar dan

    ajar. Dasar dapat dilihat sebagai apa yang disebut modal biologis (genetik) atau

    hasil pengalaman yang sudah dimiliki (teori konstruktivisme), sedangkan ajar

    adalah kondisi yang sifatnya diperoleh dari rangkaian pendidikan atau perubahan

    yang direncanakan atau diprogram.

    Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem

    Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan

    nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di

    Indonesia. Pasal 3 UU Sisdiknas menyebutkan, Pendidikan nasional berfungsi

  • 18

    mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

    dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa; bertujuan untuk berkembangnya

    potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada

    Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri

    dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Tujuan

    pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia

    yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan. Oleh karena itu,

    rumusan tujuan pendidikan nasional menjadi dasar dalam pengembangan karakter

    bangsa.

    Atas dasar pemikiran itu, pengembangan pendidikan karakter sangat strategis

    bagi keberlangsungan dan keunggulan bangsa di masa mendatang. Pengembangan

    itu harus dilakukan melalui perencanaan yang baik, pendekatan yang sesuai, dan

    metode belajar serta pembelajaran yang efektif. Sesuai dengan sifat suatu nilai,

    pendidikan budaya dan karakter bangsa adalah usaha bersama sekolah; oleh

    karenanya harus dilakukan secara bersama oleh semua guru dan pemimpin

    sekolah, melalui semua mata pelajaran, dan menjadi bagian yang tak terpisahkan

    dari budaya sekolah.

    Di sinilah, pendidikan karakter menjadi suatu sistem penanaman nilai-nilai

    karakter warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau

    kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan

    karakter juga dapat dimaknai sebagai the deliberate use of all dimensions of school

    life to foster optimal character development. Dalam pendidikan karakter di

    sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk

    komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses

    pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran,

    pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler,

    pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga

  • 19

    sekolah. Di samping itu, pendidikan karakter juga dapat dimaknai sebagai suatu

    perilaku yang harus dilakukan warga sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan

    yang berkarakter.

    Pendidikan karakter dimaknai sebagai berikut: character education is the

    deliberate effort to help people understand, care about, and act upon core ethical

    values. When we think about the kind of character we want for our children, it is

    clear that we want them to be able to judge what is right, care deeply about what is

    right, and then do what they believe to be right, even in the face of pressure from

    without and temptation from within. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan

    karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan guru, yang mampu mempengaruhi

    karakter peserta didik. Guru membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini

    mencakup keteladanan bagaimana perilaku guru, cara guru berbicara atau

    menyampaikan materi, bagaimana guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait

    lainnya.

    Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan

    moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya

    menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik.

    Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik dan warga negara

    yang baik bagi suatu masyarakat dan bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial

    tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh

    karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia

    adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari

    budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi

    muda.

    Pendidikan karakter berpijak dari karakter dasar manusia, yang bersumber dari

    nilai moral universal (bersifat absolut) sebagai pengejawantahan nilai-nilai agama

    yang biasa disebut the golden rule. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang

  • 20

    pasti, apabila berpijak dari nilai-nilai karakter dasar tersebut. Menurut para ahli

    psikolog, beberapa nilai karakter dasar tersebut adalah: cinta kepada Allah dan

    ciptaan-Nya (alam dengan isinya), tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih

    sayang, peduli, kerjasama, percaya diri, kreatif, kerja keras, pantang menyerah,

    keadilan kepemimpinan, baik, rendah hati, toleransi, cinta damai dan cinta

    persatuan.

    Pendapat lain mengatakan bahwa karakter dasar manusia terdiri dari: dapat

    dipercaya, rasa hormat, perhatian, peduli, jujur, tanggung jawab, tulus, berani,

    tekun, disiplin, visioner, adil, dan integritas. Atas dasar itulah, penyelenggaraan

    pendidikan karakter di sekolah harus berpijak kepada nilai-nilai karakter dasar yang

    selanjutnya dikembangkan menjadi nilai-nilai yang lebih banyak atau lebih tinggi

    (yang bersifat tidak absolut atau bersifat relatif) sesuai dengan kebutuhan, kondisi

    dan lingkungan sekolah itu sendiri.

    Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas

    pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan

    tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya

    kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus

    dekadensi moral lainnya. Bahkan, di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah

    sampai pada taraf yang sangat meresahkan. Oleh karena itu, lembaga pendidikan

    formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat

    meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui

    peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

    Para pakar pendidikan pada umumnya sependapat tentang pentingnya upaya

    peningkatan pendidikan karakter pada jalur pendidikan formal. Namun demikian,

    ada perbedaan-perbedaan pendapat di antara mereka tentang pendekatan dan

    modus pendidikannya. Berhubungan dengan pendekatan, sebagian pakar

    menyarankan penggunaan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang

  • 21

    dikembangkan di negara-negara barat, seperti: pendekatan perkembangan moral

    kognitif, pendekatan analisis nilai dan pendekatan klarifikasi nilai. Sebagian yang

    lain menyarankan penggunaan pendekatan tradisional, yakni melalui penanaman

    nilai-nilai sosial tertentu dalam diri peserta didik.

    Berdasarkan grand design yang dikembangkan Kemendiknas, secara

    psikologis dan sosial kultural pembentukan karakter dalam diri individu merupakan

    fungsi dari seluruh potensi individu manusia (kognitif, afektif, konatif, dan

    psikomotorik) dalam konteks interaksi sosial kultural (dalam keluarga, sekolah,

    dan masyarakat) dan berlangsung sepanjang hayat. Konfigurasi karakter dalam

    konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dapat

    dikelompokkan dalam: Olah Hati (Spiritual and emotional development) , Olah

    Pikir (intellectual development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic

    development) dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development)

    yang secara diagramatik dapat digambarkan sebagai berikut.

    OLAH HATI

    OLAH PIKIR

    OLAH RASA/KARSA

    OLAH RAGA

    beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, bertanggung jawab,

    berempati, berani mengambil resiko,

    pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa

    patriotik

    ramah, saling menghargai, toleran,

    peduli, suka menolong, gotong royong,

    nasionalis, kosmopolit , mengutamakan

    kepentingan umum, bangga menggunakan

    bahasa dan produk Indonesia, dinamis,

    kerja keras, dan beretos kerja

    bersih dan sehat, disiplin, sportif, tangguh, andal, berdaya tahan,

    bersahabat, kooperatif,

    determinatif, kompetitif, ceria,

    dan gigih

    cerdas, kritis, kreatif, inovatif,

    ingin tahu, berpikir terbuka, produktif, berorientasi Ipteks,

    dan reflektif

    RUANG LINGKUP PENDIDIKAN KARAKTER

    Gambar 1.1 Ruang lingkup Pendidikan Karakter

  • 22

    Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pendidikan moral,

    diantara berbagai teori yang berkembang, ada lima teori yang banyak digunakan;

    yaitu: 1) pendekatan pengembangan rasional, 2) pendekatan pertimbangan, 3)

    pendekatan klarifikasi nilai, 4) pendekatan pengembangan moral kognitif, dan 5)

    pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasifikasi tersebut, Elias (1989)

    mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni: 1)

    pendekatan kognitif, 2) pendekatan afektif, dan 3) pendekatan perilaku. Klasifikasi

    didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi,

    yakni: perilaku, kognisi, dan afeksi.

    Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter

    merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk

    membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhu-

    bungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,

    kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan dan perbuat-

    an berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya dan adat istiadat.

    B. Pentingnya Pendidikan Karakter dalam Pembelajaran

    Undang-undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

    pada Pasal 3,menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

    kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang bermartabat

    dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan

    untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman

    dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,

    cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

    bertanggung jawab.

    Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan

    di setiap jenjang, harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan

  • 23

    tersebut. Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik

    sehingga mampu bersaing, beretika, bermoral, sopan santun dan berinteraksi

    dengan masyarakat.

    Pendidikan karakter merupakan perpaduan yang seimbang diantara empat

    hal yaitu, olah hati, olah pikir, olah rasa, dan olah raga. Olah hati bermakna

    berkata, bersikap, dan berperilaku jujur. Olah pikir, cerdas yang selalu merasa

    membutuhkan pengetahuan. Olah rasa artinya memiliki cita-cita luhur, dan olah

    raga maknanya menjaga kesehatan seraya menggapai cita-cita tersebut. Dengan

    memadukan secara seimbang keempat anasir kepribadian itu, peserta didik akan

    mampu menghayati dan membatinkan nilai-nilai luhur pendidikan karakter.

    Banyak yang beranggapan kesuksesan seseorang banyak ditentukan oleh

    pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja. Sesungguhnya tidaklah

    benar bila ditentukan oleh pengetahuan dan kemampuan teknis semata, tetapi

    lebih dominan ditentukan oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft

    skill). Kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan sisanya

    80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil

    dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal

    ini mengisyaratkan bahwa pendidikan karakter sangat penting untuk

    dikembangkan.

    Berbicara masalah pendidikan karakter, tentu tidak terlepas dari pengertian

    karakter itu sendiri. Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang

    berhubungan dengan Sang Pencipta, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan,

    dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan

    perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat

    istiadat. Dengan demikian, pendidikan karakter dapat pula dimaknai sebagai suatu

    sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi

    komponen pengetahuan, kesadaran dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai

  • 24

    tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan,

    maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

    Penerapan pendidikan karakter dalam konteks keindonesiaan, merupakan

    kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Para putra putri bangsa telah

    banyak pemborong medali dalam setiap kompetisi olimpiade sains internasional.

    Mereka mereka membutuhkan penghargaan sebagai bagian implementasi

    pendidikan karakter. Namun di sisi lain, kasus siswa-siswi cacat moral seperti

    siswi married by accident, aksi pornografi, kasus narkoba, plagiatisme dalam

    ujian, dan sejenisnya, senantiasa marak menghiasi sejumlah media. Bukan

    hanya terbatas pada peserta didik, lembaga-lembaga pendidikan maupun instansi

    pemerintahan yang notabene diduduki oleh orang-orang penyandang gelar

    akademis, pun tak luput terjangkiti virus dekadensi moral.

    Realitas mencengangkan tersebut dapat dianalogikan sebagai sebuah

    tamparan keras bagi bangsa. Para stakeholders dan pendidik yang tadinya

    diharapkan menjadi ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut

    wuri handayani, malah lebih menyuburkan slogan sarkastik: guru kencing berdiri,

    murid kencing berlari.

    "Ketidaksehatan" lingkungan pendidikan inilah yang akhirnya mendorong

    munculnya tren homeschooling dan pendidikan virtual. Model pendidikan baru ini

    kian membuat sistem pendidikan formal tersisih. Tak sedikit keluarga peserta

    didik yang lantas mengalihkan anaknya untuk mengikuti program homeschooling

    karena khawatir akan pengaruh lingkungan sekolah yang tak lagi steril.

    Penyebab lain, tak jarang peserta didik mengalami tekanan psikologis di sekolah

    non-virtual disebabkan interaksi dengan guru yang terlalu kaku dan otoriter, plus

    tekanan pergaulan antarsiswa. Naasnya, pendidikan virtual bukannya memberikan

    solusi, malah membuat peserta didik semakin tercabut dari persinggungan realitas

    sosialnya.

  • 25

    Berbagai fenomena di atas menuntut agar sistem pendidikan dikaji ulang.

    Dalam hal ini, kurikulum sebagai standar pedoman pembelajaran belum

    sepenuhnya mengejawantahkan tujuan utama pendidikan itu sendiri, yaitu

    membentuk generasi cerdas komprehensif. Oleh karena itu, diperlukan reformasi

    pendidikan, demi memulihkan kesenjangan antara kualitas intelektual dengan

    nilai-nilai moral etika, budaya dan karakter.

    Proses pendidikan di samping sebagai transfer pengetahuan, seharusnya

    menjadi alat transformasi nilai-nilai moral dan character building.Semakin

    terdidik seseorang, secara logis, seharusnya semakin tahu mana jalan yang benar

    dan mana jalan yang menyimpang, sehingga ilmu dan kualitas akademis yang

    didapatkan tidak disalahgunakan.

    Pendidikan karakter berupaya menjawab berbagai problema pendidikan

    dewasa ini. Pendidikan tersebut adalah sebuah konsep pendidikan integratif

    yang tidak hanya bertumpu pada pengembangan kompetisi kognitif peserta didik

    semata, tetapi juga pada penanaman nilai etika, moral, dan spritual.

    Untuk mewujudkan pendidikan karakter, tidaklah perlu dibuat mata pelajaran

    baru, tetapi cukup diintegrasikan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran.

    Salah satu cara yang efektif dengan mengubah atau menyusun silabus dan RPP

    dengan menyelipkan norma atau nilai-nilai dalam konteks kehidupan sehari-hari.

    Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran

    kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam

    kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat. Salah satunya dengan

    mengambangkan pembelajaran kontekstual.

    Pendidikan karakter mengantarkan siswa untuk belajar memaknai kearifan.

    Meski secara fisiologis dan psikologis, siswa belum mengerti tentang hal itu,

    namun bila melihat bahwa esensi pendidikan pada hakikatnya adalah peniruan dan

    pembiasaan, maka kearifan patut dikenalkan sejak dini.

  • 26

    C. Landasan Utama Pendidikan Berbasis Karakter

    Landasan utama pengembangan model pendidikan karakter ini adalah: (1)

    pendekatan komprehensif dalam pendidikan karakter, (2) pembelajaran

    terintegrasi, dan (3) pengembangan kultur.

    1. Pendekatan Komprehensif dalam Pendidikan Karakter

    Kondisi masa kini sangat berbeda dengan kondisi masa lalu. Pendekatan

    pendidikan karakter yang dahulu cukup efektif, tidak sesuai lagi untuk

    membangun generasi sekarang dan yang akan datang. Bagi generasi masa lalu,

    pendidikan karakter yang bersifat indoktrinatif sudah cukup memadai untuk

    membendung terjadinya perilaku yang menyimpang dari norma-norma

    kemasyarakatan, meskipun hal itu tidak mungkin dapat membentuk

    pribadi-pribadi yang memiliki kemandirian. Sebagai gantinya, diperlukan

    pendekatan pendidikan karakter yang memungkinkan subjek didik mampu

    mengambil keputusan secara mandiri dalam memilih nilai-nilai yang saling

    bertentangan, seperti yang terjadi dalam kehidupan pada saat ini. Strategi tunggal

    tampaknya sudah tidak cocok lagi, apalagi yang bernuansa indoktrinasi.

    Pemberian teladan saja juga kurang efektif, karena sulitnya menentukan yang

    paling tepat untuk dijadikan teladan. Dengan kata lain, diperlukan

    multipendekatan atau yang oleh Kirschenbaum (1995) disebut pendekatan

    komprehensif.

    Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup

    berbagai aspek. Pertama, isinya harus komprehensif, meliputi semua

    permasalahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi

    sampai pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum.

    Kedua, metodenya harus komprehensif. Termasuk di dalamnya inkulkasi

    (penanaman) nilai, pemberian teladan, penyiapan generasi muda agar dapat

    mandiri dengan mengajarkan dan memfasilitasi pembuatan keputusan moral

  • 27

    secara bertanggung jawab, dan berbagai keterampilan hidup (soft skills).

    Generasi muda perlu memeroleh penanaman nilai-nilai tradisional dari orang

    dewasa yang menaruh perhatian kepada mereka, yaitu para anggota keluarga,

    pendidik, dan pemuka masyarakat. Mereka juga memerlukan teladan dari orang

    dewasa mengenai integritas kepribadian dan kebahagiaan hidup. Demikian juga

    mereka perlu difasilitasi untuk berlatih memecahkan masalah, serta mempelajari

    keterampilan-keterampilan (soft skills) yang diperlukan supaya sukses dalam

    kehidupan.

    Ketiga, pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses

    pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakurikuler, dalam proses bimbingan dan

    penyuluhan, dalam upacara-upacara pemberian penghargaan, dan semua aspek

    kehidupan. Beberapa contoh mengenai hal ini misalnya kegiatan belajar kelompok,

    penggunaan bahan-bahan bacaan dan topik- topik tulisan mengenai 1)kebaikan, 2)

    pemberian teladan ,3) tidak merokok, 4)tidak korup, 5)tidak munafik,

    6)dermawan, 7)menyayangi sesama makhluk Tuhan, dan sebagainya.

    Keempat, pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam

    masyarakat. Orang tua, ulama, penegak hukum, polisi, dan organisasi

    kemasyarakatan, semua perlu berpartisipasi dalam pendidikan karakter.

    Konsistensi semua pihak dalam melaksanakan pendidikan karakter mempengaruhi

    karakter generasi muda.

    Selanjutnya akan diuraikan beberapa hal terkait dengan pendekatan

    komprehensif dalam pendidikan karakter.

    a. Metode Komprehensif

    Metode komprehensif meliputi dua metode tradisional, yaitu inkulkasi

    (penanaman) nilai dan pemberian teladan serta dua metode kontemporer, yaitu

    fasilitasi nilai dan pengembangan keterampilan hidup (soft skills).

    Inkulkasi (penanaman) nilai memiliki ciri-ciri berikut ini:

  • 28

    1) mengomunikasikan kepercayaan disertai alasan yang mendasarinya;

    2) memperlakukan orang lain secara adil;

    3) menghargai pandangan orang lain;

    4) mengemukakan keragu-raguan atau perasaan tidak percaya disertai dengan

    alasan dan dengan rasa hormat;

    5) tidak sepenuhnya mengontrol lingkungan untuk meningkatkan kemungkinan

    penyampaian nilai-nilai yang dikehendaki, dan mencegah kemungkinan

    penyampaian nilai-nilai yang tidak dikehendaki;

    6) menciptakan pengalaman sosial dan emosional mengenai nilai-nilai yang

    dikehendaki, tidak secara ekstrem;

    7) membuat aturan, memberikan penghargaan, dan memberikan konsekuensi

    disertai alasan;

    8) tetap membuka komunikasi dengan pihak yang tidak setuju; dan

    9) memberikan kebebasan bagi adanya perilaku yang berbeda-beda, apabila

    sampai pada tingkat yang tidak dapat diterima, diarahkan untuk memberikan

    kemungkinan berubah.

    Pendidikan karakter seharusnya tidak menggunakan metode indoktrinasi yang

    memiliki ciri-ciri yang bertolak belakang dengan inkulkasi seperti tersebut di atas.

    Dalam pendidikan karakter, pemberian teladan merupakan metode yang biasa

    digunakan. Untuk dapat menggunakan metode ini, ada dua syarat yang harus

    dipenuhi. Pertama, pendidik atau orang tua harus berperan sebagai model atau

    pemberi teladan yang baik bagi peserta didik atau anak-anak. Kedua, anak-anak

    harus meneladani orang-orang terkenal yang berakhlak mulia, terutama Nabi

    Muhammad saw. bagi yang beragama Islam dan para nabi yang lain bagi yang

    beragama selain Islam (non-Muslim). Cara guru dan orang tua menyelesaikan

    masalah secara adil, menghargai pendapat anak, dan mengritik orang lain secara

    santun, merupakan perilaku yang secara alami dijadikan teladan oleh anak-anak.

  • 29

    Demikian juga apabila guru dan orang tua berperilaku yang sebaliknya,

    anak-anak juga secara tidak sadar akan menirunya. Oleh karena itu, para guru dan

    orang tua harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertindak, supaya tidak

    tertanamkan nilai-nilai negatif dalam sanubari anak.

    Guru dan orang tua perlu memiliki keterampilan asertif dan keterampilan

    menyimak. Kedua keterampilan ini sangat diperlukan untuk menjalin hubungan

    antarpribadi dan antarkelompok. Oleh karena itu, perlu dijadikan contoh bagi

    anak-anak. Keterampilan asertif adalah keterampilan mengemukakan pendapat

    secara terbuka, dengan cara-cara yang tidak melukai perasaan orang lain.

    Keterampilan menyimak ialah keterampilan mendengarkan dengan penuh

    pemahaman dan secara kritis. Kedua keterampilan ini oleh Bolton (Darmiyati

    Zuchdi, 2010: 177) digambarkan sebagai yin dan yang. Keduanya harus

    dikembangkan secara seimbang karena merupakan komponen vital dalam

    berkomunikasi.

    Inkulkasi dan keteladanan mendemonstrasikan kepada subjek didik cara yang

    terbaik untuk mengatasi berbagai masalah, sedangkan fasilitasi nilai melatih

    subjek didik mengatasi masalah-masalah tersebut. Bagian yang terpenting dalam

    metode fasilitasi ini adalah pemberian kesempatan kepada subjek didik.

    Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh subjek didik dalam pelaksanaan metode

    fasilitasi nilai membawa dampak positif pada perkembangan kepribadian.

    Metode yang terakhir, pengembangan keterampilan hidup (soft skills). Ada

    berbagai keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat mengamalkan

    nilai-nilai yang dianut, sehingga berperilaku konstruktif dan bermoral dalam

    masyarakat. Keterampilan tersebut antara lain: berpikir kritis, berpikir kreatif,

    berkomunikasi secara jelas, menyimak, bertindak asertif, dan menemukan resolusi

    konflik, yang secara ringkas disebut keterampilan akademik dan keterampilan

    sosial.

  • 30

    b. Evaluasi Komprehensif

    Evaluasi dilakukan untuk mengetahui ketercapaian tujuan. Oleh karena itu,

    perlu dibahas lebih dulu secara ringkas tujuan pendidikan karakter. Secara

    lengkap, tujuan pendidikan karakter harus meliputi tiga kawasan yakni

    pemikiran/penalaran, perasaan, dan perilaku.

    Supaya tujuan pendidikan karakter yang berujud perilaku yang baik dapat

    tercapai, subjek didik harus sudah memiliki kemampuan berpikir/bernalar dalam

    permasalahan nilai/moral sampai dapat membuat keputusan secara mandiri dalam

    menentukan tindakan apa yang harus dilakukan. Dalam hal ini

    Kohlberg, berdasarkan penelitian longitudinal, telah berhasil meredefinisi

    pemikiran Dewey mengenai reflective thinking dan memvalidasi karya Piaget

    mengenai perkembangan berpikir, kemudian menyusun tingkat-tingkat

    perkembangan moral Kohlberg menemukan tiga tingkat penalaran mengenai

    permasalahan (issue) moral dan dalam setiap tingkat ada dua tahap sehingga

    seluruhnya ada enam tahap penalaran moral. Tiga tingkat tersebut adalah

    prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional (Darmiyati Zuchdi, 2009).

    Tingkat prakonvensional ditandai oleh keyakinan bahwa berarti mengikuti

    aturan konkret untuk menghindari hukuman penguasa. Perilaku yang benar adalah

    yang dapat memenuhi keinginan sendiri atau keinginan penguasa. Pada tingkat

    konvensional, berarti memenuhi harapan masyarakat. Keinginan bertindak sesuai

    dengan harapan masyarakat mengarahkan seseorang untuk berperilaku yang baik.

    Pandangan sosial, loyalitas, dan persetujuan oleh pihak lain merupakan perhatian

    utama orang yang penalarannya pada tingkat konvensional. Yang terakhir, tingkat

    pascakonvensional atau berprinsip ditandai oleh kebenaran, nilai, atau

    prinsip-prinsip yang bersifat umum atau universal yang menjadi tanggung jawab,

    baik individu maupun masyarakat untuk mendukungnya (Arbuthnot, lewat

    Darmiyati Zuchdi, 1988: 29).

  • 31

    Untuk mengetahui kedudukan seseorang dalam tahap perkembangan

    penalaran moral di atas, Kohlberg menggunakan dilema moral. Dari keputusan

    moral seseorang dalam menghadapi dilema tersebut, disertai alasan yang

    mendasari keputusan tersebut, dapat ditentukan pada tahap yang mana seseorang

    berada.

    Namun diskusi dilema moral hanya dapat meningkatkan pemikiran moral

    seseorang, belum dapat mencapai kesatuan antara pemikiran moral dan tindakan

    moral. Oleh karena itu, evaluasi yang dapat menggambarkan tingkat dan tahap

    penalaran moral tersebut harus dilengkapi dengan evaluasi terhadap tingkat

    perkembangan afektif yang terkait dengan permasalahan nilai/moral.

    Sebagai halnya Kohlberg yang telah menghasilkan temuan tentang

    perkembangan moral dalam ranah kognitif, Dupont (Darmiyati Zuchdi, 2009:27)

    telah menemukan tahap-tahap perkembangan afektif sebagai berikut:

    1) Impersonal, egocentric: tidak jelas strukturnya.

    2) Heteronomous: berstruktur unilateral, vertikal.

    3) Antarpribadi: berstruktur horizontal, bilateral.

    4) Psychological-Personal: menjadi dasar keterlibatan orang lain atau komitmen

    pada sesuatu yang ideal.

    5) Autonomous: didominasi oleh sifat otonomi.

    6) Integritous: memiliki integritas, mampu mengontrol diri secara sadar.

    Untuk menentukan seseorang berada pada tahap perkembangan afektif yang

    mana, Dupont menggunakan instrumen yang menuntut adanya respons yang

    melibatkan perasaan. Di samping cara tersebut, dapat juga dilakukan pengukuran

    dengan menggunakan skala sikap, seperti yang dikembangkan oleh Likert atau

    Guttman, semantic differential yang dikembangkan oleh Nuci, atau cara yang lain.

    Meskipun namanya skala sikap, karakteristik afektif yang dievaluasi dapat pula

    minat, motivasi, apresiasi, kesadaran akan harga diri, dan nilai.

  • 32

    Perilaku moral atau tindakan moral (moral action) hanya mungkin dievaluasi

    secara akurat dengan melakukan pengamatan dalam jangka waktu yang relatif

    lama, secara terus-menerus. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan apakah

    perilaku orang yang diamati sudah menunjukkan karakter atau kualitas akhlak

    yang akan dievaluasi, misalnya, apakah orang tersebut benar-benar jujur, adil,

    disiplin, beretos kerja, bertanggung jawab, dsb. Pengamat harus orang yang

    sudah mengenal orang-orang yang diamatii agar penafsirannya terhadap perilaku

    yang muncul tidak salah.

    2. Pembelajaran Terintegrasi

    Pembelajaran terintegrasi dapat memberikan pengalaman yang bermakna

    kepada peserta didik, karena mereka memahami konsep-konsep,

    keterampilan-keterampilan dan nilai-nilai yang mereka pelajari dengan

    menghubungkannya dengan konsep dan keterampilan lain yang sudah mereka

    pahami. Konsep dan keterampilan tersebut dapat berasal dari satu bidang studi

    (intrabidang studi), dapat pula dari beberapa bidang studi (antarbidang studi).

    Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan, mengingat masalah yang

    dihadapi hanya mungkin dapat diatasi secara tuntas dengan memanfaatkan

    berbagai bidang ilmu secara interdisipliner atau multidisipliner.

    Pembelajaran terpadu beranjak dari suatu tema sebagai pusat perhatian, yang

    digunakan untuk menguasai berbagai konsep dan keterampilan. Hal ini dapat

    mengembangkan pengetahuan dan keterampilan secara simultan. Dengan

    menggabungkan sejumlah konsep dan keterampilan, diharapkan peserta didik

    akan belajar dengan lebih baik dan bermakna.

    Ada berbagai model pembelajaran terpadu, tiga di antaranya adalah model

    terhubung (connected), model jaring laba-laba (webbed), dan model terintegrasi

    (integrated). Model terhubung adalah model pembelajaran yang menghubungkan

    secara eksplisit suatu topik dengan topik berikutnya, suatu konsep dengan konsep

  • 33

    lain, suatu keterampilan dengan keterampilan lain, atau suatu tugas dengan tugas

    berikutnya, dalam satu bidang studi. Berikutnya model jaring laba-laba

    merupakan model pembelajaran yang menggunakan pendekatan tematik untuk

    mengintegrasikan beberapa beberapa bidang studi. Yang terakhir, model

    terintegrasi ialah model pembelajaran yang menggabungkan berbagai bidang studi

    dengan mene-mukan konsep, keterampilan, dan sikap yang saling tumpah tindih.

    Di antara ketiga model tersebut, yang paling sering digunakan adalah model

    yang kedua, yakni model yang menggunakan pendekatan tematik. Tema-tema

    yang digunakan untuk pendidikan karakter dengan pendekatan komprehensif,

    yang diintegrasikan dalam perkuliahan dan pengembangan kultur universitas pada

    program implementasi tahun pertama (2010), antara lain: ketaatan beribadah,

    kejujuran, tanggung jawab, kedisplinan, kerja sama, kepedulian, dan hormat pada

    orang lain.

    3. Pengembangan Kultur

    Guna menciptakan kultur yang bermoral perlu diciptakan lingkungan sosial

    yang dapat mendorong subjek didik memiliki moralitas yang baik/karakter yang

    terpuji. Sebagai contoh, apabila suatu perguruan tinggi memiliki iklim demokratis,

    para mahasiswa terdorong untuk bertindak demokratis. Sebaliknya apabila suatu

    perguruan tinggi terbiasa memraktikkan tindakan-tindakan otoriter, sulit bagi

    mahasiswa untuk dididik menjadi pribadi-pribadi yang demokratis.

    Demikian juga apabila perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan sosial

    yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka lebih mudah

    bagi para mahasiswa untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi yang jujur dan

    bertanggung jawab. Namun, masyarakat secara umum juga perlu memiliki kultur

    yang senada dengan yang dikembangkan di lembaga pendidikan.

    Berikut ini enam elemen kultur lembaga pendidikan yang baik :

    a. Pimpinan lembaga pendidikan memiliki kepemimpinan moral dan akademik.

  • 34

    b. Disiplin ditegakkan di lembaga pendidikan secara menyeluruh.

    c. Masyarakat kampus memiliki rasa persaudaraan.

    d. Organisasi siswa / mahasiswa menerapkan kepemimpinan demokratis dan

    menumbuhkan rasa bertanggung jawab bagi para mahasiswa untuk menjadikan

    perguruan tinggi mereka menjadi perguruan tinggi yang terbaik.

    e. Hubungan semua warga kampus bersifat saling menghargai, adil, dan

    bergotong royong.

    f. Perguruan tinggi / sekolah meningkatkan perhatian terhadap moralitas

    dengan menggunakan waktu tertentu untuk mengatasi masalah-masalah moral.

    D. Tujuan, Fungsi, dan Media Pendidikan karakter

    Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,

    kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa

    patriotik, berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang

    semuanya dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan

    Pancasila.

    Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati

    baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun

    perilaku bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang

    kompetitif dalam pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui

    berbagai media yang mencakup keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil,

    masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.

    E. Nilai-nilai Pembentuk Karakter

    Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan karakter telah

    teridentifikasi 18 nilai yang bersumber dari agama, Pancasila, budaya dan tujuan

    pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius, (2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin, (5)

  • 35

    Kerja keras, (6) Kreatif, (7) Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa Ingin Tahu, (10)

    Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12) Menghargai Prestasi, (13)

    Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta Damai, (15) Gemar Membaca, (16) Peduli

    Lingkungan, (17) Peduli Sosial, & (18) Tanggung.

    F. Menentukan Perencanaan Pembelajaran berbasis Pendidikan Karakter

    Beredar anggapan bahwa sesungguhnya pendidikan karakter sudah

    ditanamkan semenjak dulu. Namun kenapa sekarang dihadirkan kembali dalam

    ranah pembelajaran? Ini tak lepas dari tuntutan dunia pendidikan modern yang

    mensyaratkan adanya perencanaan, proses hingga penilaian pembelajaran yang

    dapat diukur dengan jelas oleh siapapun dan kapanpun. Salah satu caranya adalah

    dengan penyedian perangkat pembelajaran berbasis pendidikan karakter. Menurut

    Kemdikbud, beberapa langkah yang harus dilakukan guru dalam persiapan

    pembelajaran, yaitu:

    1) Merumuskan tujuan pembelajaran, dalam pelaksanaan KTSP diwujudkan

    dalam bentuk indikator. Indikator pencapaian kompetensi dikembangkan oleh

    sekolah, disesuaikan dengan lingkungan setempat, dan media serta lingkungan

    belajar yang ada di sekolah.

    2) Merumuskan alat evaluasi/asesmen, baik bentuk, cara, waktu, dan model

    evaluasi yang akan dilakukan. Evaluasi ini bisa berupa formatif (evaluasi untuk

    memperbaiki pembelajaran) maupun sumatif (evaluasi untuk melihat keberhasilan

    belajar siswa).

    3) Memilih materi pelajaran yang esensial untuk dikuasai dan dikembangkan

    dalam strategi pembelajaran. Materi pelajaran yang dipilih terutama berkaitan

    dengan prinsip, yang berisi sejumlah konsep dan konten yang menjadi alat untuk

    mendidik dan mengembangkan kemampuan siswa.

  • 36

    4) Berdasarkan karakterisktik materi (bahan ajar) maka guru memilih strategi

    pembelajaran sebagai proses pengalaman belajar siswa. Pada tahap ini guru harus

    menentukan metode, pendekatan, model, dan media pembelajaran, serta teknik

    pengelolaan kelas (laboratorium).

    Perencanaan persiapan pembelajaran tidak hanya mempertimbangkan hal-hal

    yang berpengaruh terhadap komponen pembelajaran seperti strategi, media dan

    metode yang digunakan. Namun dalam mempersiapkan pembelajaran juga harus

    ditimbang keadaan internal di sekitar ruang yang akan digunakan dalam kegiatan

    belajar mengajar. Misalnya saja tentang bagaimana kondisi sosial siswa dan orang

    tuanya, kesadaran untuk terus belajar. Hal ini dilakukan agar perencanaan

    pembelajaran yang disusun, tidak hanya dapat dicerna siswa saat berada di dalam

    kelas, melainkan pula siswa sudah memiliki persiapan dan modal awal untuk

    mempraktikkanya ketika mereka sudah kembali ke rumahnya masing-masing.

    Penulis buku kependidikan, Kusrini menegaskan ada beberapa faktor yang

    berkaitan dengan persiapan pembelajaran yakni:

    1) Guru perlu menelaah analisis hari efektif dan analisis Program Pembelajaran.

    Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui jumlah hari efektif dan hari libur tiap

    pekan atau tiap bulan sehingga memudahkan penyusunan program pembelajaran

    selama satu semester.

    2) Guru perlu membuat program tahunan, program semester dan program

    tagihan. Hal ini dilakukan agar keutuhan dan kesinambungan program

    pembelajaran atau topik pembelajaran yang akan dilaksanakan dalam dua

    semester tetap terjaga.

    3) Guru perlu menyusun silabus. Ini dilakukan agar garis besar, ringkasan,

    ikhtisar, atau pokok-pokok isi atau materi pelajaran mampu mengantarkan siswa

    mencapai standar pembelajaran yang dituju.

  • 37

    4) Guru perlu menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran. Hal ini dilakukan

    agar proses pelaksanaan pembelajaran terarah dan dapat berlangsung sesuai

    harapan.

    5) Guru perlu melakukan penilaian pembelajaran. Hal ini dilakukan agar proses

    pembelajaran yang berlangsung dapat ditentukan keberhasilan atau kegagalannya

    dalam skala nilai. (Kusrini, 2005: 135-139)

    Perencanaan pembelajaran merupakan hal baru yang dilakukan oleh guru.

    Dikatakan demikian, karena sebagian guru merasa aneh dan kesulitan dalam

    membuat perencanaan pembelajaran. Hal ini terjadi karena guru yang

    bersangkutan belum memahami sepenuhnya tentang hubungan pembelajaran

    dengan efektifitas kegiatan belajar mengajar. Di samping itu, sebagian guru juga

    memiliki persepsi dan pandangan yang berbeda tentang perencanaan

    pembelajaran. Di satu sisi, perencanaan pembelajaran membantu guru untuk

    mempermudah dalam proses pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, namun di sisi

    lain, penyusunan perencanaan pembelajaran yang rumit dan melelahkan

    menjadikan guru agak malas untuk membuatnya. Ini yang menjadikan ada

    sebagian guru ada yang mengusulkan agar kewajiban untuk membuat perencanaan

    pembelajaran dihapuskan saja.

    Dalam pandangan mereka, sebaiknya guru dituntut untuk mengadopsi saja

    perencanaan pembelajaran dengan situasi dan kondisi tempat mereka mengajar.

    Hal inilah yang akan memperingan beban tugas guru dalam kegiatan belajar

    mengajar.

    G. Peran Guru dalam Perencanaan Pembelajaran Berbasis Pendidikan

    Karakter

    Kecenderungan guru untuk kurang terbiasa dalam membuat perencanaan

    pembelajaran dikarenakan rendahnya budaya tulis menulis. Hal inilah yang

    menyebabkan pembuatan perencaan pembelajaran sebagai sesuatu yang

  • 38

    melelahkan. Bila ditelisik, dalam menyusun perencanaan pembelajaran, terdapat

    beberapa hal yang harus dilakukan guru di dalam kelas. Hal itu tersaji dalam tabel

    berikut ini:

    Tugas Peran dalam Pembelajaran

    Pertama Analis dan pengembang kurikulum. Pada konteks ini,

    aktivitas yang dilakukan adalah menganalisis isi kurikulum

    dan mengembangkannya menjadi suatu perangkat yang

    fokus ke arah implementasi di depan kelas.

    Kedua Analis klinis potensi siswa. Pada konteks ini, aktivitas

    yang dilakukan adalah mengidentifikasi, dan

    mengembangkan potensi fisik dan psikologis siswa yang

    menjadi tanggungjawabnya melalui pelayanan,

    pembimbingan, pembelajaran dan pelatihan.

    Ketiga Manajer kelas, dalam konteks ini, aktivitas yang

    dilakukan adalah; merencanakan, melaksanakan dan

    mengevaluasi pembimbingan pembelajaran dan pelatihan.

    Keempat Fasilitator yakni melakukan tindakan memfasilitasi

    siswa, hal ini fokus pada penyiapan perangkat dan

    sumber-sumber belajar di sekolah/madrasah.

    Tabel 1.1 Peran Guru dalam Pembelajaran (Disdik Jabar, t.t: 2)

    Berdasarkan tabel di atas, peran guru begitu beragam dalam pembelajaran. Di

    satu sisi ia memerankan diri sebagai manajer kelas, namun di sisi lain ia bagaikan

    seorang dokter yang mendiagnosis beberapa keluhan siswa mengapa mereka

  • 39

    begitu sulit mencerna pembelajaran yang diterimanya. Maka dari itu, langkah

    pembelajaran yang harus disusun oleh guru, dilakukan secara berurutan untuk

    mencapai tujuan pembelajaran. Penentuan urutan langkah pembelajaran sangat

    penting artinya bagi materi-materi yang memerlukan prasyarat tertentu. Selain itu,

    pendekatan pembelajaran yang bersifat spiral (mudah ke sukar; konkret ke abstrak;

    dekat ke jauh) juga memerlukan urutan pembelajaran yang terstruktur. Rumusan

    pernyataan dalam langkah pembelajaran minimal mengandung dua unsur yang

    mencerminkan pengelolaan pengalaman belajar siswa, yaitu: kegiatan siswa dan

    materi.

    Tabel 1.2 Contoh Pernyataan pembelajaran

    Ditetapkannya kurikulum tingkat satuan pendidikan sebagai kurikulum

    standar yang dipergunakan di sekolah/madrasah memacu guru untuk lebih giat

    lagi dalam mengelola pembelajaran. Kini, untuk dapat mengampu mata pelajaran,

    guru pun dituntut mampu memperhitungkan apa yang akan diajarkannya kepada

    siswa. Bagaimana strategi yang digunakan hingga pada penilaian seperti apa yang

    mampu memotret kemampuan siswanya. Menjadi guru di era modern tak jauh

    bedanya dengan seorang manajer. Segala sesuatunya harus tersistem. Dengan

  • 40

    adanya desain pembelajaran maka guru akan mendapatkan rancangan/gambaran

    mengenai segala sesuatu yang dilakukannya dalam merencanakan, melaksanakan

    hingga menilai kegiatan belajar mengajar yang diampunya.

    Pada tahap perencanaan pembelajaran, guru mulai memperhitungkan mana

    konsep pembelajaran yang abstrak dan sulit diterjemahkan dalam ranah praksis,

    serta mana pembelajaran yang dapat diperluas konteks strategi maupun materi

    yang ingin disampaikan kepada siswa.

    Perencanaan pembelajaran pendidikan karakter disusun dengan desain yang

    menggambarkan: Apa yang akan diajarkan kepada siswa (what), bagaimana cara

    pembelajaran yang dilakukan (how), mengapa pembelajaran tersebut perlu

    ditanamkan (why), kapan seharusnya pembelajaran tersebut dilaksanakan (when),

    dimana tempat paling sesuai dengan proses pembelajaran tersebut (where), dan

    media apa yang paling tempat digunakan dalam pembelajaran tersebut (which).

    Melalui kegiatan penyusunan perencanaan pembelajaran, guru akan memiliki

    keunggulan dengan persiapan yang matang dan terpola dalam membangun sistem

    pembelajaran efektif. Perencanaan pembelajaran yang baik merupakan tahap awal

    dalam mendesain pembelajaran pendidikan karakter berkualitas.

    Pembelajaran merupakan perubahan tingkah laku seseorang melalui

    pengalaman yang diulang-ulang. Hal tersebut bukanlah respon pembawaan yang

    dibawa seseorang, serta bukan sekedar proses kematangan yang bersifat

    sementara. Dengan begitu, perencanaan pembelajaran pendidikan karakter dapat

    dikatakan sebagai konsep pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa

    berkenaan dengan materi pendidikan karakter. Lalu apa sebenarnya yang

    dimaksud dengan perencanaan pembelajaran pendidikan karakter yang bermutu?

    Paling tidak sebuah pembelajaran dikatakan memiliki nilai-nilai pendidikan

    karakter dan bermutu jika dalam diri siswa nampak adanya perubahan. Dari yang

    tidak tahu menjadi tahu, dari yang belum bisa menjadi bisa. Thontowi menyebut

  • 41

    bahwa tujuan pembelajaran mengarah kepada pengembangan tiga hal dalam setiap

    diri siswa yakni pertama, pengetahuan (knowledge).

    Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak mengetahui menjadi

    mengetahui, dari tidak mengerti menjadi mengerti, dan sebagainya. Kedua,

    keterampilan (skill); Perubahan yang diharapkan adalah dari tidak bias membuat,

    melakukan, membentuk dan sebagainya berubah bisa membuat, melakukan,

    membentuk sesuatu, dan sebagainya. Ketiga, sikap (attitude); Perubahan yang

    diharapkan adalah dari sikap negatif menjadi sikap positif, dari sikap salah

    menjadi sikap baik dan sebagainya.(Thontowi, t.t: 100).

    Pengetahuan, keterampilan dan sikap merupakan komponen utama dalam

    membangun manusia berkarakter. Untuk itu, ketiga domain dalam pembelajaran

    ini tidak boleh tertinggal. Semuanya saling terkait satu sama lain. Jika semuanya

    dapat saling terkait maka akan terbentuk manusia yang memiliki karakter dan

    memiliki nilai lebih di mata orang lain,

    H. Pemetaaan Nilai-Nilai Pendidikan Karakter dalam Perencanaan

    Pembelajaran

    Pemupukan pengetahuan, keterampilan dan sikap sudah semestinya dilakukan

    secara terorganisir dan disesuaikan dengan keadaan di masing-masing

    sekolah/madrasah.

    Inilah alasan utama mengapa pendidikan karakter perlu diintegrasikan dalam

    seluruh aspek pembelajaran. Semua mata pelajaran mengusung pendidikan

    karakter sebagai salah satu subtansi pengetahuan dan nilai yang ingin ditanamkan

    kepada siswa.

    Berikut disajikan nilai-nilai pendidikan karakter dalam setiap mata pelajaran

    mata peajaran sebagaimana dilansir oleh Kementrian Pendidikan dan

    Kebudayaan yaitu sebagai berikut :

  • 42

    No. Mata Pelajaran Nilai Utama

    1 Pendidikan

    Agama

    Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, santun, disiplin, bertanggung jawab,

    cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai

    keberagaman, patuh pada aturan sosial, bergaya

    hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja

    keras

    2 PKn Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, nasionalis, patuh pada aturan sosial,

    menghargai keberagaman, sadar akan hak dan

    kewajiban diri dan orang lain

    3 Bahasa Indonesia Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, berpikir logis, kritis, kreatif dan

    inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin

    tahu, santun, nasionalis

    4 Matematika Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, berpikir logis, kritis, kerja keras, ingin

    tahu, mandiri, percaya diri

    5 IPS Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, nasionalis, menghargai keberagaman,

    berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli

    sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, kerja

    keras

    6 IPA Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif,

    dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya

    diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri,

  • 43

    bertanggung jawab, cinta ilmu.

    7 Bahasa Inggris Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, menghargai keberagaman, santun,

    percaya diri, mandiri, bekerjasama, patuh pada

    aturan sosial

    8 Seni Budaya Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, menghargai keberagaman, nasionalis,

    dan menghargai karya orang lain, ingin tahu,

    disiplin.

    9 Penjasorkes Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, bergaya hidup sehat, kerja keras,

    disiplin, percaya diri, mandiri, menghargai karya

    dan prestasi orang lain

    10 TIK/Ketrampilan Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, berpikir logis, kritis, kreatif, dan

    inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan

    menghargai karya orang lain

    11 Muatan Lokal Religius, jujur, cerdas, tangguh, peduli,

    demokratis, menghargai keberagaman, menghargai

    karya orang lain, nasionalis

    Tabel 1.3 Nilai utama tiap mata pelajaran

    Pemetaan nilai-nilai pendidikan karakter dalam mata pelajaran merupakan

    kerangka kerja konseptual dalam membantu guru merencanakan sekaligus

    melaksanakan kegiatan belajar mengajar yang berbasis pendidikan karakter.

    Banyak alasan yang mengemuka untuk menjawab problem tersebut: pertama,

    dikatakan bahwa jam pelajaran pendidikan karakter hanya terselip dalam semua

  • 44

    pembelajaran. Hal ini menyebabkan penanaman pengetahuan dan nilai (transfer of

    knowledge and values) yang diberikan menjadi kurang maksimal. Kedua, guru

    terlalu sibuk untuk membuat desain penilaian yang bersifat kognitif. Demikian

    pula dengan siswanya yang termotivasi mengikuti mata pelajara berbasis

    pendidikan karakter, hanya untuk sekedar mendapat nilai baik di rapor. Ketiga,

    pembelajaran pendidikan karakter tidak membekas dalam kehidupan di sekolah

    apalagi masyarakat karena pembelajarannya tidak dapat menggugah siswa untuk

    menerapkannya.

    Meski terkendala waktu pertemuan yang sempit, bukan berarti pendidikan

    karakter hanya menjadi penghias, pelengkap, dan penderita dari mapel yang ada.

    Justru dengan keadaan demikian, pendidikan karakter harus mampu mendarah

    daging di kehidupan sekolah dan diwujudkan tidak hanya dari segi pengetahuan,

    tetapi juga menjadi budaya keseharian sekolah. Untuk itulah, aspek terpenting dari

    pembelajaran pendidikan karakter tidak terletak dari materi pelajaran yang

    disajikan. Namun terpusat pada sisi implementasi dan keteladanan. Sebab

    pendidikan karakter sesungguhnya adalah materi dan nilai dari pembelajaran

    moralitas dan spiritualitas yang terus berkembang. Untuk itu, pendidikan karakter

    yang ada di sekolah/madrasah merupakan akar dalam memberikan pembekalan

    nilai-nilai luhur dalam bermasyarakat dan simbolisasi budaya religius dimanapun

    seseorang tersebut berada. Dengan kata lain, pendidikan karakter seyogyanya

    tidak hanya menjadi refleksi dari pemahaman hidup agamis di dunia namun juga

    berarti menjadi cerminan kepribadian siswa dan guru dalam menjalani hidup

    dalam dua kehidupan (dunia dan akhirat).

    Fokus pembelajaran pendidikan karakter yang masih tersandera pada aspek

    akademik belaka, perlu dibebaskan. Meski sebagian guru mengetahui bahwa bila

    pendidikan karakter hanya diajarkan dengan menitikberatkan pada aspek kognitif,

    namun kenyataannya memang sebagian besar penilaian pembelajaran ini juga

  • 45

    lebih mengkedepankan penilaian sisi itu. Siswa pun hanya termotivasi

    mempelajari pendidikan karakter untuk sekedar selamat dan prestasi di atas kertas

    rapor atau lembar hasil belajar siswa. Namun kurang begitu tertarik dan tertantang

    untuk menjelmakannya dalam kehidupan pribadinya, antar teman sepergaulan,

    orang tua apalagi masyarakat.

    Adanya perubahan orientasi penilaian pendidikan karakter merupakan

    keniscayaan. Sudah saatnya titik konsentrasi pendidikan karakter tertuju kepada

    penilaian afektif. Sebab bagaimanapun untuk anak sekolah, tingkat kognisi

    pendidikan karakter yang diajarkan tidak sedalam siswa madrasah maupun

    pesantren. Jadikan saja bahwa penilaian afektif sangat mempengaruhi terhadap

    kenaikan kelas siswa melebihi dari balutan angka yang terkadang hanya

    menggambarkan sisi pengamalan pendidikan karakter di permukaan namun tidak

    akurat bila dijadikan penilaian yang sesungguhnya.

    Ini yang akan memaksa siswa untuk menyerap pendidikan karakter sebagai

    jalan kehidupan di kehidupan sekolah daripada menargetkan mendapatkan nilai

    10 di kelas. Apalagi banyak fakta yang memperlihatkan setiap ganti tahun

    ajaran baru, sejumlah siswa mengalami lupa atau sulit mengingat kembali materi

    dan nilai-nilai pendidikan karakter yang diberikan. Hal ini dikarenakan karena

    daya serap siswa terhadap materi dan nilai-nilai pendidikan karakter masih pada

    short term memory (memori jangka pendek). Adanya kecenderungan ini bisa jadi

    disebabkan : pertama, gaya pengajaran yang diberikan guru terlihat kurang

    menginspirasi siswa. Kedua, siswa tidak termotivasi atau mendapatkan impian

    untuk menerapkan pendidikan karakter di kehidupannya sehingga mapel

    pendidikan karakter tidak membekas dalam kehidupannya. Agar pendidikan

    karakter dapat teringat dan terinspirasi selalu dalam kehidupan siswa (long term

    memory), mapel ini harus disajikan dengan contoh yang ada sangkut pautnya

    dengan kehidupan siswa. Penyajian pendidikan karakter yang banyak bersentuhan

  • 46

    dengan persoalan yang menukik dengan keseharian siswa akan menjadikan siswa

    tidak hanya sekedar mengikuti kegiatan belajar mengajar tersebut, tetapi juga

    karena mereka merasa butuh. Persoalan kehidupan siswa yang dapat diangkat

    guru untuk disajikan ke dalam pembelajaran pendidikan karakter antara lain:

    narkoba, pacaran, jati diri remaja, jihad dalam belajar, pola berbakti kepada orang

    tua dan sebagainya.

    Titik tolakan inilah yang akan mengubah pola pandang siswa dalam

    memahami pendidikan karakter, dari sekedar materi pembelajaran yang penuh

    dengan normatif untuk mengembangkan menjadi pendidikan ilmu kehidupan di

    dunia dan di akhirat. Inilah sebuah langkah mendasar (backbone) dalam

    membentuk siswa berkarakter melalui pembumian nilai-nilai pendidikan karakter

    dari kehidupan paling terdekat siswa.

    I. Aktivitas Guru dalam Penyusunan Perencanaan Pembelajaran

    Kesuksesan suatu lembaga pendidikan dipengaruhi oleh kualitas gurunya.

    Jika lembaga pendidikan tersebut dipenuhi dengan guru yang berkualitas, maka

    output yang dihasilkan pun akan lebih terjamin dan maksimal. Begitu pula

    sebaliknya, jika lembaga pendidikan tersebut banyak dihuni oleh guru yang

    kualitasnya jauh dari unsur kemutuan, maka output yang dikeluarkannya menjadi

    kurang maksimal dan bisa jadi malah tidak bisa menyamai standar pembelajaran

    yang diharapkan.

    Terus tumbuhnya kesadaran baru dalam menyajikan mata pelajaran yang

    menyentuh semua aspek siswa menjadi dorongan bagi guru untuk terus

    meningkatkan kemampuan mengajarnya. Seiring dengan itu, benih-benih

    kesadaran guru untuk terus memperbaiki kualitas pengajarannya pun terus

    menggeliat. Ini menjadi semacam modal dasar dalam merancang pembelajaran

    dan pendidikan karakter yang multi makna.

  • 47

    Ketuntasan dan keefektifan pembelajaran tidak hanya ditentukan strategi dan

    materi yang diajarkan. Melainkan pula dipengaruhi juga oleh faktor guru. Sebuah

    kaidah pembelajaran dari Arab menyatakan al- thariqoh ahammu min al-maddah,

    wa lakin al-mudarris ahammu min al-thariqah. Kaidah tersebut mengandung

    pengertian bahwa metode (pembelajaran) lebih penting daripada materi (belajar),

    akan tetapi eksistensi guru (dalam proses belajar mengajar) jauh lebih penting

    daripada metode pembelajaran itu sendiri. Untuk itulah, mengampu pembelajaran

    dan pendidikan karakter tidak boleh diajarkan kepada guru amatir. Proses

    penanaman pendidikan karakter tidak hanya bertumpu kepada sekedar

    pemindahan (transfer) materi-materi, tetapi transformasi/pengubahan

    (transformation); baik itu pengetahuan, keterampilan, maupun nilai. (Berkson dan

    Wettersten, 2003: V).

    Menanamkan nilai-nilai pendidikan karakter memerlukan sosok dengan

    kecakapan keilmuan yang kompleks. Apalagi, pendidikan karakter sesungguhnya

    mempunyai kedekatan dengan kehidupan sehari-hari siswa. Proses interaksi

    antara orang tua dan anak, proses jual beli di toko kelontong dekat rumah, sejarah

    candi-candi di sekitar tempat tinggalnya merupakan contoh kehidupan yang

    didalamnya penuh dengan muatan pendidikan karakter. Oleh karena itu, dalam

    melaksanakan kegiatan pembelajaran, apa yang semua yang terjadi, tergelar dan

    berkembang di masyarakat dan lingkungan sekitar serta lingkungan alam semesta

    dijadikan sumber belajar, contoh dan teladan (alam taka