peranan oditur militer dalam penyelesaian perkara … · psikotropika ini, seperti salah satu...
TRANSCRIPT
PERANAN ODITUR MILITER DALAM PENYELESAIAN
PERKARA PIDANA PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA
YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI-AD
JURNAL
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
F. AGUNG WIJAYA NPM : 0810012111274
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS BUNG HATTA
PADANG 2013
2
1
PERANAN ODITUR MILITER DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
PENYALAHGUNAAN PSIKOTROPIKA YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA
TNI-AD
(Studi Kasus Korem 032/Wirabraja Sumatra Barat)
F.AgungWijaya1, Uning Pratrimaratri
1, Syafridatati
2
Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta
E-mail :[email protected]
Abstract
The Republic of Indonesia is a State Law. It is written in Article 1 paragraph (3) of the
Constitution of the Republic of Indonesia Year 1945. Law as a system, play well in the
community if the instrument is equipped executive powers in the field of law enforcement.
Problem of this study were (1) How is the role of the military prosecutor in solving criminal
cases abuse of psychotropic? (2) How does the inspection process conducted military
prosecutors in solving criminal cases abuse of psychotropic drugs? (3) Are the constraints
faced by military prosecutors in solving criminal cases abuse of psychotropic drugs? This
study uses a socio-juridical approach, the data used are primary data obtained through
interviews, and secondary data obtained by the study of documents. The collected data was
analyzed qualitatively. The results can be concluded: (1) The role of trial counsel in
criminal abuse of psychotropic substances are obliged to formulate opinions to Papera
news event. (2) The process of examination conducted by the Military Judge Advocate in
solving criminal cases abuse of psychotropic substances carried by members of the army
through the following steps: a. Docket acceptance stage, b. Stage of case processing; c.
Additional examination stage; litigation stage d, e. Preparation stage of the indictment; f.
Submission of the case to the stage. (3) The main obstacle encountered in the proof: the test
group test psychotropic costly and no forensic laboratory in the city of Padang.
Keywords: Roles, Military Judge Advocate, Psychotropic, Member army.
Pendahuluan
Negara Republik Indonesia
merupakan Negara Hukum. Hal ini
sebagaimana tertulis dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Hukum mempunyai
peran yang sangat strategis dan posisi
dominan dalam kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Hukum sebagai
sistem, dapat berperan dengan baik dan benar
di tengah masyarakat apabila instrumen
pelaksananya dilengkapi dengan
kewenangan-kewenangan dalam bidang
penegakan hukum.
Sebagai warga negara republik
Indonesia, militer bukan merupakan kelas
tersendiri karena setiap anggota militer
adalah juga sebagai masyarakat biasa,
2
sebagaimana tercantum dalam pedoman
hidup Tentara Nasional Indonesia yaitu Sapta
Marga dalam Marga Kesatuan menyatakan “
Kami Warga Negara Kesatuan Republik
Indonesia Yang Bersendikan Pancasila”.
Tetapi dengan adanya beban kewajiban
sebagai inti dari pembelaan dan pertahanan
negara, diperlukan suatu pemeliharaan
ketertiban yang lebih berdisiplin dalam
menjaga keutuhan organisasi. Untuk itu
diperlukan suatu hukum yang khusus militer.
Kekhususan itu ialah bahwa masyarakat
tentara itu adalah pengkhususan dari
masyarakat umum.(Moch.Faisal Salam,
1996: hlm11).
Dalam kehidupan yang tenteram
menghendaki ketertiban serta pentaatan
disiplin bagi seluruh anggotanya. Begitu juga
dalam kesatuan TNI-AD, adanya asas
kesatuan komando (unity of command)
membawa konsekuensi yaitu
pertanggungjawaban tunggal dari komando
kesatuan mengenai pelaksanaan tugas dan
segala sesuatunya yang terjadi dalam
kesatuannya.
Dalam bidang hukum, komando
memiliki hak yang disebut dengan hak
menghukum. Komando kesatuan merupakan
atasan yang berhak menghukum, yang
berwenang melaksanakan proses
pemeriksaan pendahuluan terhadap
anggotanya yang tersangkut perkara pidana.
Hal ini merupakan penyimpangan terhadap
ketentuan hukum pidana umum, dimana yang
berwenang melakukan pemeriksaan
pendahuluan adalah penyidik.
Mengenai pengertian Atasan yang
berhak menghukum ini dapat dilihat dalam
ketentuan Pasal 1 angka 9 Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer yang menyatakan:
“Atasan yang berhak menghukum
adalah atasan langsung yang
mempunyai wewenang untuk
menjatuhkan hukuman disiplin
menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
akan berwenang melakukan
penyidikan berdasarkan undang-
undang ini”.
Apabila seseorang anggota TNI-AD
dari suatu kesatuan diduga melakukan tindak
pidana, maka atasan langsung tersangka
segera mengadakan pemeriksaan
pendahuluan atau membentuk tim yang
terdiri dari perwira dan bintara yang bertugas
untuk mengadakan pemeriksaan, karena
Ankun adalah komandan kesatuan maka
tidak mungkin ia turut melakukan penyidikan
terhadap suatu peristiwa pidana walaupun itu
adalah perkara anak bawahannya, oleh
karena itu demi efektifnya pelaksanaan
kewenangan penyidikan dari Ankum dan
supaya Ankum dapat lebih memusatkan
perhatian, tenaga dan waktu dalam
melaksanakan tugas pokoknya dalam
memimpin kesatuannya, maka pelaksanaan
1
3
penyidikan dilakukan oleh penyidik Polisi
Militer atau Oditur Militer.
Walaupun komandan meminta
pendapat Oditur Militer dalam perkara
pidana anak buahnya, tetapi oditur militer
tidak berwenang menentukan diadakannya
pemeriksaan pendahuluan yang lebih lanjut.
Artinya oditur tidak dapat memeriksa secara
langsung seorang tersangka anggota TNI-AD
tanpa adanya instruksi dari komandan
kesatuan si tersangka.
Karena pendapat oditur bersifat tidak
mengikat, maka penentuan akhir mengenai
perkara pidana anak buahnya akan
diserahkan di pengadilan militer atau tidak,
berada di tangan komandan kesatuan sebagai
penanggung jawab ketertiban dan
terlaksananya tujuan-tujuan operasional dari
kesatuannya. Komandan adalah satu-satunya
pejabat yang dibebani kewajiban
mempertanggungjawabkan ke atas, maka
tidak ada tempat lagi bagi Oditur Militer
untuk campur tangan dalam melakukan
pemeriksaan pendahuluan terutama mengenai
penyerahan perkara ke pengadilan1.
Keputusan untuk menyerahkan suatu
perkara pidana oleh Papera kepala oditur
militer agar perkara tersebut diselesaikan
melalui sidang Pengadilan Militer merupakan
suatu hal yang penting dalam Hukum Acara
Pidana Militer, karena dalam peristiwa itu
terjadi beralihnya kewenangan untuk
melakukan penuntutan guna menentukan
1 Ibid, hlm.169.
nasib tersangka, artinya memberikan
hukuman atau penjatuhan pidana kepada
Terdakwa apabila terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan Oditur Militer
ataupun menyatakan Terdakwa tidak
bersalah karena tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan Oditur Militer.
Dalam hukum acara pidana militer
kewenangan untuk menyerahkan perkara ke
pengadilan militer tidak pada oditur militer,
akan tetapi kewenangan tersebut berada di
tangan Panglima angkatan yang dikenal
dengan sebutan Perwira Penyerah Perkara
(PAPERA). Yang dimaksud dengan
penyerahan perkara adalah keputusan tertulis
seorang Papera untuk, menyerahkan suatu
perkara pidana setelah selesai diperiksa dan
setelah mendengar pendapat oditur militer
pada tingkat komando yang bersangkutan,
kepada Pengadilan Militer yang dianggap
berwenang untuk memeriksa dan mengadili
olehnya.
Dalam hal terjadi perbedaan pendapat
antara oditur militer dengan Ankum selaku
Papera untuk menentukan apakah perkara
tersebut diselesaikan melalui sidang
pengadilan atau diselesaikan di luar sidang
pengadilan, maka berdasarkan Pasal 43 dan
127 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997,
oditur militer dapat mengajukan surat
permohonan Kepada Pengadilan Militer
Utama (Kadilmiltama) dengan
4
mengemukakan alasan-alasan pertimbangan
seperlunya kepada Kadilmiltama, agar
perbedaan pendapat itu diputuskan oleh
Pengadilan Militer Utama di dalam
sidangnya. Bila ditinjau dari asas komando
tunggal atau Unity of command, maka pasal
tersebut adalah pasal yang mengantisipasi
agar Ankum selaku Papera tidak otoriter
dalam mengambil keputusan yang
menyangkut anggotanya.
Pasal itu memberikan kesempatan
adanya pertentangan atau konflik antara
putusan komando dengan pendapat oditur
militer yang akhirnya setelah melalui
prosedur yang berlaku, ketetapan untuk
menyerahkan perkara pidana seorang
anggota TNI-AD, ialah Pengadilan Militer
Utama yaitu instansi yang tidak termasuk
ramai komando (shain of command) yang
berada di luar pertanggungjawaban
Komandan (Command Responsibility) dari
organisasi militer. Prakteknya, kesempatan
untuk mengajukan permohonan itu jarang
atau tidak pernah dipergunakan oleh Oditur
Militer yang bersangkutan2.
Dengan adanya kelembagaan Papera
ini sering mengakibatkan kesulitan di dalam
penyelesaian atau mengajukan suatu perkara
ke sidang Pengadilan sehingga banyak
perkara terlambat karena menunggu Surat
Keputusan Penyerahan Perkara (Skeppera)
dari Papera. Banyaknya perkara ini selain
disebabkan asas unity of command juga
2 Op cit, hlm. 167
disebabkan oleh banyaknya pekerjaan
PAPERA yang perlu segera diselesaikan.
Meskipun sudah ada peradilan
tersendiri, namun pada dasarnya semua asas
hukum acara pidana umum juga berlaku bagi
militer dalam hal proses beracaranya.
Apabila anggota TNI melakukan pelanggaran
hukum atau melakukan perbuatan
bertentangan dengan norma-norma yang ada,
dia dapat dijatuhi hukuman sesuai dengan
prosedur yang berlaku baginya, karena
dipandang dari segi hukum, militer
mempunyai kedudukan yang sama dengan
anggota masyarakat biasa. Sebagai warga
negara, baginya pun diberlakukan semua
ketentuan yang berlaku baik hukum pidana,
hukum perdata, hukum acara pidana, hukum
acara perdata.
Bila ditelesuri sejarah penggunaan
psikotropika ini, seperti salah satu contohnya
Amfetamin ditemukan oleh OGATO dari
Jepang pada Tahun 1919. Pertama kali
dipergunakan untuk obat asma dan
dipergunakan secara massal pada masa
Perang Dunia II untuk menghilangkan rasa
kantuk dan lelah. Dan berbagai alasan dan
penyebab penyalahgunaan Psikotropika ini
tidaklah dibenarkan baik secara medis
maupun secara hukum dan sebagai latar
belakang penegakan hukum terhadap
penyalahgunaan psikotropika ini, didasarkan
atas suatu asumsi bahwa terdapat korelasi
antara pengkonsumsi psikotropika ini,
dengan sikap negatif yang ditimbulkan,
5
antara lain mempunyai sikap dan tingkah
laku yang cenderung memiliki potensi untuk
melakukan perbuatan kriminal.(Sisantoro
Sunarsono, 2004: hlm.5).
Dalam rangka memberi efek
psikologis kepada masyarakat khususnya
anggota TNI-AD agar tidak melakukan
tindak pidana penyalahgunaan psikotropika,
perlu ditetapkan ancaman pidana yang lebih
berat atau maksimum, mengingat tingkat
bahaya yang ditimbulkan akibat
penyalahgunaan psikotropika sangat
mengancam ketahanan dan keamanan
nasional serta dapat merusak kondisi mental
bangsa, misalnya kepribadian adiksi, yakni
menyembunyikan tindakan, menipu, ingkar
janji, menurutnya kapasitas berpikir dan
kemampuan mengambil keputusan.
Tindak pidana psikotropika
berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun
1997 tentang Psikotropika, memberikan
sanksi pidana cukup berat, di samping dapat
dikenakan hukuman dan juga dikenakan
pidana denda bahkan pidana tambahan
berupa pemecatan dari kesatuan bagi
terdakwa anggota TNI, tetapi dalam
kenyataannya para pelaku justru semakin
meningkat. Hal ini disebabkan oleh faktor
penjatuhan pidana tidak memberikan dampak
atau deterren effect terhadap para pelakunya.
Masalah Psikotropika ini sebenarnya
masalah yang cukup lama tapi tak ditangani
secara serius, contohnya ganja, heroin, sabu-
sabu, dan putau. Di masa orde baru, terdapat
kekuasaan yang melindungi sindikat
peredaran Psikotropika yang menyebabkan
polisi sering putus asa menghadapi kejahatan
tersebut dan juga karena lemahnya aparat
penegak hukum. Memberantas Psikotropika
sepertinya Militer dan Polisi tidak mau
bersungguh-sungguh karena banyak dari
mereka yang terlibat. Contohnya, Anggota
militer yang bernama Agus Isrok berpangkat
letnan Inf, jabatannya wakil komandan unit
khusus debasement 411 grup 4, dari kesatuan
Kopassus dan merupakan Putra mantan
KSAD Subagyo HS. Agus Isrok diadili oleh
pengadilan militer pada tingkat pertama
dengan tuduhan menyimpan barang bukti
berupa satu kantung berisi kristal warna biru
(psikotropika), dua kantung plastik kecil
berisi kristal warna putih (psikotropika), dan
satu kantung berisi serbuk daun ganja kering
(narkotika), di vonis 4 tahun penjara dan
dijatuhi hukuman berupa pemecatan sebagai
anggota TNI. Dalam memutuskan perkaranya
Pengadilan militer menjalankannya melalui
proses yang panjang3.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar
belakang masalah di atas, maka penelitian
membatasi pokok permasalahan yang akan di
teliti sebagai berikut:
3 Law Skripsi, Pertimbangan Hukum
Pengadilan Militer terhadap Anggota Militer yang
Menyalahgunakan Narkotika dan Psikotropika,
http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_co
ntent&view=article&id=29&Itemid=29, Diakses
Pukul 11.16 WIB, 17 Desember 2012
6
1. Bagaimanakah peranan oditur militer
dalam penyelesaian perkara tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika
yang dilakukan oleh anggota TNI-AD
di lingkungan Korem 032/Wirabraja
di Sumatera Barat?
2. Bagaimanakah proses pemeriksaan
yang dilakukan oleh oditur militer
dalam menyelesaikan perkara tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika
terhadap anggota TNI-AD di
lingkungan Korem 032/Wirabraaja di
Sumatera Barat?
3. Apakah kendala yang dihadapi oleh
oditur militer dalam menyelesaikan
perkara tindak pidana penyalahgunaan
psikotropika di lingkungan Korem
032/Wirabraja di Sumatera Barat?
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Untuk mendapatkan data dan segala
hal yang dibutuhkan dalam penyusunan
skripsi ini penulis menggunakan metode
penelitian dengan pendekatan yuridis
sosiologis yaitu dengan melakukan penelitian
tentang ketentuan-ketentuan yang berlaku
dan pelaksanaannya di lapangan, kemudian
melakukan analisis terhadap persoalan-
persoalan yang muncul. Pembahasan tidak
dititikberatkan pada ketentuan-ketentuan
hukum yang berlaku saja, tetapi melihat
praktek atau kenyataan yang ada di lapangan.
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat
deskriptif, yaitu penelitian pada umumnya
bertujuan untuk mendeskripsikan atau
memberikan gambaran tentang suatu keadaan
secara sistematis, faktual dan akurat terhadap
suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai
sifat-sifat, karakteristik-karakteristik atau
faktor-faktor tertentu.(Bambang Sunggono.
2003: hlm.36)
Hasil dan Pembahasan
A. Peranan Oditur Militer dalam
Menyelesaikan Perkara Tindak Pidana
Penyalahgunaan Psikotropika yang
Dilakukan oleh Anggota TNI-AD di
Lingkungan Korem 032/Wirabraja.
Adapun hasil wawancara penulis
tentang peran oditur militer dalam proses
penyelesaian tindak pidana yang dilakukan
oleh prajurit TNI-AD di lingkungan Korem
032/Wirabraja, khususnya tindak pidana
penyalahgunaan psikotropika dalam hal ini
dilakukan oleh salah seorang anggotanya
dengan pangkat Sertu Nrp. 21010008890280
berdasarkan petunjuk pelaksana tatalaksana
administrasi di lingkungan peradilan militer
(SKEP KA BABINKUM ABRI
SKEP/186/X/1980) dimulai pada tahap
sebagai berikut :4
1. Tahap Penerimaan Berkas Perkara
4 Wawancara dengan Bapak Letkol Laut
(KH) I Komang Suciawan, Selaku Oditur Militer,
pada hari Selasa tanggal 14 bulan 5 Tahun 2013,
Pukul 10.00 WIB
7
Dimana berkas perkara yang diterima
dari polisi militer terhadap tersangka tersebut
disertai dengan surat pengantar dan berkas-
berkas perkara yang dicatat oleh kepala tata
usaha dan urusan dalam (Kataud) dalam
agenda surat masuk. Sedapat mungkin Oditur
Militer pengolah yang ditunjuk adalah Oditur
Militer yang kelak akan bertindak sebagai
penuntut umum. Kemudian Kaurlahkara
segera meneliti kelengkapan berkas perkara
mengenai syarat formil dan materil:
1) Syarat formil :
a) Kelengkapan berkas perkara
b) Status tersangka (mutasi,
schorsing, dipecat, MPP, pensiun,
dikaryakan dan lain-lain)
c) Apakah ada surat pengaduan
dari yang berhak mengadu, jika
perkara yang bersangkutan
merupakan delik aduan
(klachdelict).
2) Syarat materil:
- Apakah rangkaian perbuatan
tersangka sudah memenuhi
unsur-unsur tindak pidana.
2. Tahap Pengolahan Perkara
Berkas perkara yang diterima dari
Polisi Militer segera dicatat dalam daftar
register (Formulir Model: 81), barang-barang
bukti dicatat dalam register barang bukti
(Formulir Model: 83) dan pada barang bukti
yang bersangkutan diberi atau diletakkan
label barang bukti (Formulir Model: 84).
Oditur yang bersangkutan kemudian
mengolah perkara atas nama tersangka
tersebut dan menuangkan dalam Berita Acara
Pendapat (Formulir Model : 29). Berita acara
pendapat Oditur tersebut dapat berupa suatu
pendapat yang menyatakan bahwa perkara
tersebut harus diserahkan kepada Pengadilan
Militer untuk diperiksa di persidangan.
3. Tahap Pemeriksaan Tambahan
Apabila dari hasil penelitian ternyata
terdapat kekurangan kelengkapan dalam hal
syarat formil atau materil, maka Kaotmil
dapat mengambil langkah-langkah sebagai
berikut:
a) Dalam hal kurang lengkap syarat
formil.
Kaotmil mengembalikan berkas
perkara tersebut kepada Polisi Militer
(Instansi Penyidik Semula) disertai dengan
petunjuk atau pengarahan untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan atau melengkapi
sendiri.
b) Dalam hal kurang lengkap syarat
materil
Kaotmil dapat mengembalikan berkas
perkara tersebut kepada Polisi Militer
dengan petunjuk atau pengarahan secara
terperinci tentang hal-hal yang harus
dilakukan untuk menyempurnakan berkas
perkara tersebut dengan melakukan
pemeriksaan tambahan terhadap tersangka
dan saksi (Formulir Model: 38, 39) atau
dapat memerintahkan kepada Oditur militer
untuk melakukan pemeriksaan tambahan
8
sendiri terhadap tersangka atau saksi,
Penyidik (Pom/Ormil) dimungkinkan juga
memeriksa tersangka dan saksi baru yang
belum pernah diperiksa, melakukan
penyitaan dan penyegelan terhadap surat-
surat dan barang-barang yang belum di sita.
c) Di samping untuk kepentingan
hal-hal yang tersebut di atas
pemeriksaan tambahan dilakukan
juga dalam beberapa hal antara
lain sebagai berikut :
1) Perubahan status dari status
seorang saksi menjadi
tersangka atau sebaliknya dari
tersangka menjadi saksi.
2) Menambah saksi atau
tersangka yang semula belum
ditemukan dalam berkas.
Usaha untuk melengkapi dan
menyempurnakan berkas perkara,
baik yang dilakukan oleh Pom
maupun Ormil, harus selesai
secepatnya dan dilaporkan kepada
Kaotmil, namun tahap pemeriksaan
tambahan ini tidak dilakukan oleh
Oditur Militer terhadap tersangka,
karena berkas perkara atas nama
tersangka tersebut telah lengkap baik
secara formil maupun materil.5
4. Tahap Pengajuan Perkara Kepada
Papera
5 Wawancara dengan Bapak Mayor CHK
Yusdiharto, Selaku Oditur Militer, pada hari Jumat
tanggal 17 bulan 5 Tahun 2013, Pukul 10.00 WIB
Suatu berkas perkara yang telah
selesai diolah oleh Oditur yang ditunjuk,
harus diajukan kepada Papera untuk
mendapatkan keputusan penyelesaian
selanjutnya. Pengajuan permohonan
dimaksud dilakukan dengan cara mengajukan
surat pendapat hukum dan saran penyelesaian
perkara yang ditandatangani oleh Kaotmil
(Formulir Model : 30).
Surat pendapat hukum tersebut harus
sesuai dan senada dengan berita acara
pendapat oditur, tidak boleh bertentangan
antara satu dengan yang lainnya. Selanjutnya
Kaurlahkara menghimpun surat-surat
pendapat hukum, berita acara pendapat dan
konsep surat keputusan penyelesaian perkara,
selanjutnya menyerahkan kepada Kataud
untuk dikirimkan kepada Danrem
032/Wirabraja selaku Papera.
Surat pendapat hukum yang
diajukan kepada Danrem
032/Wirabraja selaku Papera harus
dilampirkan :
1) Berita Acara Pendapat Oditur
(Formilir Model: 29)
2) Konsep surat keputusan
penyelesaian perkara sesuai
dengan saran pendapat hukum
Kaotmil, dapat berupa Skeppera
(Formulir Model: 31), apabila
perkara itu akan diserahkan
kepada Pengadilan Militer I-03
Padang.
5. Tahap Penyiapan Surat Dakwaan
9
Suatu perkara pidana yang telah
ditentukan akan diajukan kepada pengadilan,
Oditur pengolah perkara harus membuat
surat dakwaan. Setelah Skeppera diterima,
maka konsep surat dakwaan disempurnakan
dengan mencantumkan nomor skeppera.
Surat dakwaan ditandatangani oleh Oditur
yang membuat surat dakwaan.
6. Tahap Penyerahan Perkara Kepada
Pengadilan Militer
Kataud meneliti kelengkapan berkas
atas nama tersangka tersebut apabila sudah
dianggap cukup, berkas perkara asli berikut
kelengkapannya dilimpahkan atau dikirimkan
ke Pengadilan Militer I-03 Padang dengan
surat pelimpahan perkara (Formulir Model:
36). Bersamaan dengan pelimpahan atau
pengiriman berkas perkara kepada
Pengadilan Militer, kepada terdakwa
diserrahkan Surat Dakwaan, Skeppera dan
tebusan surat pelimpahan perkara disertai
dengan relas penerimaan (Formulir Model :
49).
Apabila terjadi penggantian Oditur
Penuntut Umum sebelum surat dakwaan
dibacakan dipersidangan. Oditur Penuntut
Umum yang baru tetap menggunakan surat
dakwaan yang sudah ada. Kemudian apabila
terdapat pelimpahan perkara dari Otmil atau
Dilmil lain, Oditur Penuntut Umum yang
baru dapat menggunakan surat dakwaan yang
sudah ada atau menggantinya dengan surat
dakwaan baru. Perubahan atau penggantian
surat dakwaan harus diberitahukan kepada
terdakwa.
B. Proses pemeriksaan yang dilakukan
oleh Oditur Militer dalam
Menyelesaikan Perkara Tindak Pidana
Penyalahgunaan Psikotropika
terhadap Anggota TNI-AD di
Lingkungan Korem 032/Wirabraja
Pada dasarnya setiap perkara pidana
yang terjadi di lingkungan TNI-AD harus
diselesaikan melalui pengadilan yang
berwenang. Untuk penyelesaian perkara di
luar pengadilan hanya dapat ditempuh
melalui saluran hukum disiplin militer atau
penutupan perkara demi kepentingan hokum,
kepentingan militer dan kepentingan umum.
Setiap komandan wajib membantu
kecepatan dan kelancaran proses
penyelesaian perkara pidana di
lingkungannya. Dalam pelaksanaan kegiatan
penyelesaian perkara pidana di lingkungan
TNI-AD, Ankum selaku penyidik dan
komandan kesatuan memiliki beberapa
kewenangan berdasarkan Undang-undang
yang dalam penerapannya didelegasikan
kepada pihak-pihak tertentu. Hal ini agar
mobilitas kesatuan tidak terganggu dengan
kesibukan Ankum dalam penyelesaian
perkara anggota komandonya dan agar
Ankum dapat lebih berkonsentrasi dalam
memimpin pelaksanaan tugas kesatuannya.
Sebagaimana halnya Hukum Pidana
Umum, proses penyelesaian perkara pidana
10
militer terbagi atas beberapa tahapan yang
meliputi tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di pengadilan militer dan
berakhir dengan proses eksekusi. Adanya
tahapan-tahapan tersebut terkait pula dengan
pembagian tugas dan fungsi dari berbagai
institusi dan satuan penegak hukum di
lingkungan TNI yang pengaturan
kewenangannya adalah sebagai berikut :
a. Komandan Satuan selaku Ankum
dan Papera
b. Polisi militer selaku penyidik
c. Oditur Militer selaku penyidik,
penuntut umum dan eksekutor
d. Hakim militer di pengadilan militer
yang mengadili, memeriksa dan
memutuskan perkara pidana yang
dilakukan oleh prajurit TNI atau yang
dipersamakan sebagai prajurit TNI
menurut Undang-undang, berikut
tahapannya:6
1. Tahap Penelitian Berkas Perkara
Berkas perkara atas nama tersangka
tersebut di atas tadi yang diterima dari oditur
militer dicatat oleh Kataud dalam agenda
surat masuk, selanjutnya berkas perkara
digabungkan dengan surat-surat lain yang
terkait dengan perkara tersebut. Kemudian
Kadilmil menyerahkan berkas perkara.
Selanjutnya Kadilmil segera meneliti dan
mempelajari berkas perkara berikut lampiran
6 Wawancara dengan Bapak Mayor SUS
Mairuzi Sihombing, Selaku Oditur Militer, pada hari
rabu tanggal 22 bulan 5 Tahun 2013, Pukul 10.00
WIB
yang diterima dari Otmil untuk mengetahui
apakah berkas perkara tersebut telah
memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Dalam hal Kadilmil berpendapat
bahwa perkara tersebut termasuk dalam
kewenangan pengadilan yang dipimpinnya,
maka ia segera menunjuk hakim militer yang
nantinya akan menyidangkan perkara
tersebut. Jika hakim militer yang ditunjuk
berpendapat bahwa terdapat kekeliruan dan
kekurangan dalam surat dakwaan, ia dapat
memberitahukan kepada Oditur yang
bersangkutan untuk memperbaiki surat
dakwaan dengan memberikan petunjuk dan
saran. Kemudian Kadilmil mengeluarkan
surat penetapan penunjukan hakim (Tapkim,
Formulir Model : 41) dengan menunjuk
hakim militer yang sejak semula menangani
perkara tersebut sebagai hakim ketua.
2. Persiapan Hakim dan Oditur
Penuntut
Hakim Ketua dan kedua hakim
anggota yang telah ditunjuk untuk memeriksa
dan mengadili perkara atas nama tersangka
tersebut segera mempelajari berkas perkara,
selanjutnya hakim ketua menetapkan hari
sidang (Formulir Model : 45). Perkara yang
terdakwanya berada dalam tahanan
didahulukan penyidangannya. Kemudian
surat penetapan hari sidang harus memuat
perintah kepada Oditur penuntut umum
supaya memanggil terdakwa dan para saksi
untuk dating, serta menghadapkan barang
bukti ke sidang.
11
Penunjukan majelis hakim pada
pengadilan militer atau pengadilan militer
tinggi kecuali Dilmillub, ditetapkan oleh
Kaldilmil yang bersangkutan dengan
mengutamakan tenaga hakim militer atau
hakim perwira yang tersedia di daerah
hukummnya. Majelis hakim terdiri dari tiga
orang, yaitu seorang hakim militer yang
bertindak sebagai hakim ketua dan dua orang
hakim lainnya yang dapat terdiri dari hakim
militer atau hakim perwira yang bertindak
sebagai hakim anggota.
Permintaan Oditur Penuntut Umum
untuk mengubah surat dakwaan dengan
maksud untuk disempurnakan, dapat
dikabulkan apabila diajukan sebelum
ditetapkan hari sidang atau selambat-
lambatnya tujuh hari sebelum sidang dimulai.
Perubahan hari sidang, Kaurlahkara
menyerahkan Tapsid dan berkas perkara
beserta lampirannya kepada Oditur yang
akan bertindak sebagai Penuntut Umum.
Setelah itu Kaotmil mengeluarkan
surat panggilan kepada terdakwa dan saksi
yang mencantumkan waktu dan tempat
sidang serta dalam hal apa mereka dipanggil.
Surat panggilan itu sudah harus diterima oleh
terdakwa dan saksi selambat-lambatnya tiga
hari sebelum sidang. Dalam surat panggilan
dicantumkan kewajiban terdakwa dan saksi
untuk datang dalam sidang pada waktu dan
tempat yang telah ditentukan. Khusus kepada
terdakwa dicantumkan pula kewajiban untuk
menghadap Oditur segera setelah menerima
surat panggilan atau selambat-lambatnya
sebelum sidang dimulai guna diberikan
penjelasan mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan persidangan dan hal-hal
yang belum dipahami mengenai surat
dakwaan.
Oditur menjelaskan kepada terdakwa
tentang hak-haknya, antara lain hak terdakwa
untuk didampingi penasehat hukum dalam
sidang nanti. Dalam hal ini terdakwa
didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun
atau lebih tidak mampu membiayai penasehat
hukum sendiri atau pengadilan akan
menyediakan penasehat hukum atas
tanggungan Negara.
3. Tahap Sidang dengan Acara
Pemeriksaan
a) Pembukaan Sidang dan Pembacaan
Surat Dakwaan
Semua pemeriksaan di sidang
pengadilan militer dinyatakan terbuka untuk
umum kecuali dalam perkara kesusilaan.
Sidang pertama dibuka oleh hakim ketua
dengan mengucapkan : “Sidang pengadilan
militer I-03 yang bersidang di padang dalam
memeriksa dan mengadili pada tingkat
perkara pidana atas nama tersangka tersebut
saya buka dan saya nyatakan terbuka untuk
umum, diikuti ketukan tiga kali.
Selanjutnya hakim ketua
mempersilahkan Oditur untuk membacakan
surat dakwaan, dan memerintahkan kepada
terdakwa untuk berdiri dalam sikap sempurna
12
dan menghadap majelis hakim guna
mendengarkan dakwaan Oditur.
b) Pemeriksaan Saksi
Para saksi dihadapkan ke depan
sidang sendiri-sendiri menurut urutan yang
dipandang terbaik oleh hakim ketua setelah
mendengar pendapat Oditur, Terdakwa dan
Penasehat Hukum. Yang pertama-tama
didengar keterangannya adalah saksi yang
melihat, mendengar dan mengalami sendiri
kejadian sebenarnya.
c) Pemeriksaan terdakwa
Pemeriksaan terdakwa dimulai
setelah semua saksi selesai didengar
keterangannya. Hakim Ketua menanyakan
kepada terdakwa segala hal yang dipandang
perlu untuk memperoleh kebenaran materil.
Setelah hakim ketua selesai mengajukan
pertanyaan, kemudian memberikan
kesempatan kepada hakim anggota, Oditur
militer dan penasehat hukum secara berturut-
turut mengajukan pertanyaan kepada
terdakwa.
d) Pemeriksaan Barang Bukti
Setelah pemeriksaan semua saksi dan
terdakwa selesai, hakim ketua
memperlihatkan kepada terdakwa semua
barang bukti dan menanyakan kepadanya
apakah ia mengenal benda itu serta
menanyakan sangkut paut benda tersebut
dengan perkara, untuk memperoleh kejelasan
tentang peristiwanya. Jika ada sangkut
pautnya dengan saksi tertentu, barang bukti
itu diperlihatkan juga kepada saksi yang
bersangkutan.
e) Tuntutan
Setelah hakim ketua berpendapat
bahwa pemeriksaan terhadap terdakwa,
saksi-saksi, barang bukti dan alat-alat bukti
lainnya telah selesai, maka hakim ketua
menyatakan pemeriksaan selesai, kemudian
memberikan kesempatan kepada Oditur
Militer untuk membacakan tuntutannya.
Setelah Oditur membacakan tuntutannya,
setelah itu menyerahkannya kepada hakim
ketua dan terdakwa atau penasehat
hukumnya masing-masing satu eksamplar.
f) Musyawarah Majelis Hakim
Setelah semua acara pemeriksaan
selesai, maka hakim ketua menyatakan
pemeriksaan ditutup, kemudian menunda
sidang untuk memberikan kesempatan
kepada majelis hakim bermusyawarah guna
mengambil keputusan. Pada dasarnya
putusan dalam musyawarah majelis hakim
merupakan hasil pemufakatan secara bulat.
Dalam pelaksanaan musyawarah
majelis hakim, hakim anggota yang termuda
(dalam kepangkatan) memberikan
pandangan, pendapat dan saran urutan
pertama, disusul oleh hakim anggota yang
lainnya, dan hakim ketua memberikan
pandangan, pendapat dan saran urutan
terakhir. Pelaksanaan pengambilan keputusan
dalam musyawarah majelis hakim dicatat
dalam buku himpunan putusan yang bersifat
rahasia.
13
g) Penucapan Putusan Pengadilan
Sebelum majelis hakim
menjatuhkan pidana terhadap terdakwa
tersebut dalam perkara tersebut
memperhatikan hal-hal yang dapat
meringankan dan memberatkan pidananya
yaitu :
1) Hal-hal yang meringankan :
a) Bahwa terdakwa
berterus terang dalam
persidangan.
b) Bahwa terdakwa
mengakui perbuatannya
dan berterus terang di
persidangan.
c) Bahwa terdakwa baru
sekali ini melakukan
tindak pidana.
d) Bahwa terdakwa
pernah melakukan
operasi militer.
2) Hal-hal yang memberatkan
:
a. Perbuatan terdakwa
bertentangan dengan
Sapta Marga, Sumpah
Prajurit dan 8 wajib
TNI
b. Perbuatan terdakwa
dapat merusak nama
baik TNI khususnya
TNI-AD di mata
masyarakat.
Majelis hakim pengadilan militer I-
03 Padang yang memeriksa dan mengadili
perkara atas nama terdakwa tersebut telah
diputus menyatakan :
1. Terdakwa tersebut di atas secara sah
dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana Dakwaan
Alternatif Kesatu: “Tanpa Hak
Membawa Psikotropika”.
2. Menjatuhkan pidana penjara selam 5
(lima) bulan dipotong masa tahanan
dengan perintah terdakwa tetap
ditahan.
3. Menjatuhkan pidana denda sebesar
Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh
ribu rupiah). Subside kurungan
pengganti selama 1 (satu) bulan
4. Menetapkan barang-barang bukti
berupa surat-surat tetap diletakkan
dalam berkas perkara dan barang bukti
berupa pil ekstasi dirampas untuk
dimusnahkan
5. Membebankan biaya perkara kepada
terdakwa dalam perkara ini Rp.
7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
C. Kendala-kendala yang dihadapi
Oditur Militer dalam menyelesaikan
perkara tindak pidana
penyalahgunaan psikotropika yang
dilakukan oleh anggota TNI-AD di
lingkungan Korem 032/Wirabraja.
Dalam hukum acara pidana dipakai
sistem “pembuktian negatif” , dimana sistem
14
pembuktian tersebut termuat dalam Pasal 185
KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981) yang menegaskan :”Tiada seorang pun
dapat dihukum, kecuali jika hakim
berdasarkan alat-alat bukti yang sah,
memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana
telah terjadi dan bahwa terdakwa telah
melakukannya”.
Berdasarkan hal tersebut maka pada
akhirnya penentuan sanksi terhadap terdakwa
adalah keyakinan hakim. Walaupun bukti-
bukti yang diperoleh jaksa penuntut umum
dalam hal ini oditur militer bertumpuk, akan
tetapi hakim tidak yakin dengan kesalahan
terdakwa tersebut, maka terdakwa harus
dibebaskan.
Bilamana terjadi suatu tindak pidana
yang dilakukan oleh seorang anggota TNI
dari suatu kesatuan, maka di samping akan
mengganggu kepentingan TNI itu sendiri
juga akan mengganggu dengan sendirinya
kepentingan masyarakat umum. Sebab
kepentingan TNI itu pada hakekatnya juga
adalah kepentingan masyarakat umum.
Dengan demikian maka akan ada dua
kepentingan yaitu kepentingan Negara yang
umumnya bersifat operasi militer dan
kepentingan masyarakat.
Sedangkan seorang Oditur Militer
sebagai penegak hukum harus bertindak
sesubjektif mungkin, akan menilai tiap
tindakan pidana yang dilakukan oleh anggota
tentara dari segi kepentingan hukum saja,
walaupun mungkin dari aspek militer
akibatnya akan mengganggu kepentingan
militer.
Dalam Pasal 182 ayat (1) huruf a
KUHAP ditentukan bahwa setelah
pemeriksaan dinyatakan selesai, penuntut
umum mengajukan tuntutan pidana. Maka
dapat dikatakan bahwa tuntutan pidana
merupakan bagian dalam proses penuntutan.
Menjadi bagian terpenting dalam proses
penuntutan yaitu resume dari tahap
pemeriksaan di sidang pengadilan oleh jaksa
penuntut umum dalam hal ini oditur militer
untuk membentuk keyakinan hakim atas
dakwaan oleh oditur militer.
Tuntutan pidana oleh oditur militer
bertujuan untuk menetapkan pidana yang
diharapkan akan diputus oleh hakim
pengadilan dimana dibuat berdasarkan
dakwaan yang telah disampaikan sebelumnya
pada sidang pengadilan dan telah memulai
tahap pemeriksaan di sidang pengadilan.
Kendala yang dihadapi oleh oditur
militer adalah masalah pengujian terhadap
alat bukti berdasarkan KUHAP, untuk
melakukan tes uji terhadap jenis dan
golongan psikotropika, harus ditunjang
keberadaan laboratorium forensic, dimana
kegunaan laboratorium ini adalah untuk
melakukan tes urine dan darah terhadap
pelaku yang diduga melakukan tindak pidana
psikotropika, sebagai saran untuk
pembuktian dan untuk meneliti jenis barang
bukti yang dimiliki pelaku agar dapat
ditentukan psikotropika golongan berapa
15
yang dimilikinya. Namun pada
kenyataannya, labor tersebut tidak ada di
kota Padang, sehingga harus menggunakan
labor yang ada di kota lain. Selama ini
oditurat militer mengadakan kerjasama
dengan laboratorium yang ada di kota
medan7. Hal ini tentu membuat proses
penyelesaian mengalami kendala, karena
akan memakan waktu yang lama akibat
jauhnya lokasi laboratorium tersebut.
Sistem ancaman pidana maksimum
khusus dan minimal umum yang dianut
KUHP Negara Republik Indonesia,
memberikan kebebasan kepada jaksa
penuntut umum untuk menetapkan berapa
tuntutan pidana yang akan diberikannya,
asalkan ia bergerak dalam batas-batas
maksimal dan minimal yang telah ditetapkan
Undang-undang. Hal ini memungkinkan
Penuntut Umum untuk menetapkan tuntutan
pidana mulai dari satu hari penjara sampai
batas maksimal. Lain halnya dengan
ancaman pidana yang terdapat dalam
Undang-undang tentang psikotropika dimana
tidak ada ancaman hukuman minimal umum
yang ada hanya ancaman hukum maksimal.
Selama ini sanksi pidana yang
dijatuhkan oleh para hakim terhadap pelaku
kejahatan di sidang pengadilan banyak
menjatuhkan vonis sangat berat, tapi masih
banyak bukti adanya ketidakadilan di dalam
7 Wawancara dengan Bapak Mayor CHK
Muhammad Rizal, Selaku Oditur Militer, pada hari
kamis tanggal 23 bulan 5 Tahun 2013, Pukul 10.00
WIB
penjatuhan hukum pidananya. Aturan hukum
telah menetapkan hukuman maksimal, tapi
sebagian hakim lainnya tidak pernah
menetapkan penerapan hukuman maksimal
tersebut. Dengan demikian sanksi pidana
yang dijatuhkan oleh para hakim dinilai
masih belum memberikan rasa takut dan
dipengaruhi oleh norma-norma di luar norma
hukum sehingga dapat menjadi kendala
terhadap penegakan hukum secara
konsekuen8.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan bab
demi bab penulis mengambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
1. Peran Oditur militer dalam proses
penyelesaian perkara yang dilakukan
oleh prajurit TNI-AD di lingkungan
Korem 032/Wirabraja khususnya tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika
adalah selain berkewajiban menyusun
berita acara pendapat kepada Papera
untuk terangnya suatu perkara pidana,
juga bertindak selaku pejabat yang diberi
wewenang untuk bertindak sebagai
penuntut umum dan sebagai pelaksana
putusan atau penetapan pengadilan
Militer. Oditur Militer juga dapat
bertindak sebagai penyidik untuk
melakukan pemeriksaan tambahan guna
8 Wawancara dengan Bapak Mayor SUS
Mairuzi Sihombing, Selaku Oditur Militer, pada hari
jumat tanggal 24 bulan 5 Tahun 2013, Pukul10.00
WIB
16
melengkapi hasil pemeriksaan penyidik
Polisi Militer apabila dinilai belum
lengkap.
2. Proses pemeriksaan yang dilakukan
oleh Oditur Militer dalam
menyelesaikan perkara tindak pidana
penyalahgunaan psikotropika terhadap
anggota TNI-AD di lingkungan
Korem 032/Wirabraja sudah sesuai
dengan tahapan-tahapan dan aturan
yang berlaku.
3. Oditur Militer dalam menyelesaikan
perkara tindak pidana penyalahgunaan
psikotropika yang dilakukan oleh
anggota TNI-AD di lingkungan
Korem 032/Wirabraja menghadapi
beberapa kendala antara lain dalam
hal pembuktian, karena perkara
psikotropika memiliki kesulitan dalam
pembuktiannya karena untuk
melakukan tes uji terhadap jenis dan
golongan psikotropika membutuhkan
biaya cukup besar. Untuk
mengungkap secara medis kasus
psikotropika, harus ditunjang dengan
keberadaan laboratorium forensic
yang hanya ada di Sumut. Kendala
lain yaitu dalam kebebasan
menetapkan tuntutan pidana kepada
terdakwa karena dalam prakteknya,
tuntutan pidana oditur militer dengan
mengajukan rencana tuntutan.
Saran
Demi perbaikan penegakan hukum
ke depan, khususnya dalam penyelesaian
perkara oleh oditur militer terhadap tindak
pidana penyalahgunaan psikotropika yang
dilakukan oleh anggota TNI, maka penulis
mengajukan beberapa saran, yakni:
1. Oditur Militer dalam menetapkan
tuntutan pidana agar bersikap
professional sehingga akan tercapai
rasa keadilan terhadap penegakan
hukum dan diharapkan tuntutan
pidana yang ditetapkan oleh Oditur
Militer benar-benar pantas dan sesuai
dengan perbuatan terdakwa.
2. Faktor peningkatan kesadaran dan
penegakan hukum bagi Prajurit TNI
perlu dijadikan sebagai prioritas
kebijakan dalam pembinaan personil
TNI, karena kurangnya pemahaman
hukum di kalangan Prajurit TNI
merupakan salah satu penyebab
terjadinya pelanggaran hukum di
samping pengaruh-pengaruh lainnya
baik yang bersifat internal maupun
eksternal.
3. Ketentuan-ketentuan yang mengatur
peranan penegak hukum, maka perlu
diatur tata cara pemberian informasi,
pemberian jaminan keamanan dan
perlindungan hukum, yang harus
secara tegas diatur dalam materi
undang-undang psikotropika tersebut.
52
17
Daftar Pustaka
Bambang Sunggono, 2003, Metodologi
Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo,
Jakarta.
H. Masrullah, Fadillah Sabri dan Yusdira,
2002. Diktat Pengantar Hukum
Indonesia, Fakultas Hukum Padang:
Universitas Andalas.
Moch. Faisal Salam, 1996, Hukum Acara
Pidana Indonesia, Bandung: Mandar
Maju.
S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer di
Indonesia, Alumni AHAEM-
PETEHAEM, Jakarta.
Sisantoro Sunarsono, 2004, Penegakan
Hukum Psikotropika Dalam Tinjauan
Sosiologis, Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
W.J.S Poerdaminta, 1976. Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta PN. Balai
Pustaka.
Regulasi (Undang-undang)
Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang
Peradilan Militer.
Undang-undang No.5 Tahun 1997 tentang
Psikotropika.
Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
Undang-undang No. 26 Tahun 1997 tentang
Hukum Disiplin Militer.
Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang
Tentara Nasional Indonesia.
Kolonel Arm. Bambang Subagio, Danrem
032/Wirabraja dalam amanat serah
terima jabatan Dan Yonif 131/Braja
Sakti, Harian Umum Haluan, 12
September 2007.
Law Skripsi, Pertimbangan Hukum
Pengadilan Militer terhadap Anggota
Militer yang menyalahgunakan
Narkotika dan Psikotropika,
http://www.lawskripsi.com/index.ph
p?option=com_content&view=article
&id=29&Itemid=29, Diakses Pukul
11.16 WIB, 17 Desember 2012.