peran manajemen berbasis sekolah

47
PERAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( MBS) DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN MUTU TERPADU Oleh : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si A. Abstrak Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan. Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita. B. Pendahuluan Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah. Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dinamis. Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif. Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan perhatian publik terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan pendidikan sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya. Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam perencanaan pembangunan mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Upload: nozadia-sarastika

Post on 27-Jun-2015

1.066 views

Category:

Documents


25 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

PERAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( MBS) DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN MUTU TERPADUOleh : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si

A. Abstrak

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang

menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam

mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen

Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak

mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan.

Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak

diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan

sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan

perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.

B. Pendahuluan

Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam

segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan

mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran

terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik

selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi

paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah,

yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.

Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan

yang lebih dinamis. Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat

(kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas

terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal.

Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual

dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.

Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan.

Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas

sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai

variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka

menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan perhatian publik

terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan

pendidikan sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan

masyarakatnya.

Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam

perencanaan pembangunan mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari

kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan

dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi

otonomi daerah. Secara esensial landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan

kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan (Gafar, 2000).

Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam kehidupan manusia. Ia merupakan

bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan berlangsungnya eksistensi

Page 2: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

mereka (Fakih dalam Wahono, 2000: iii). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan

meningkatkan kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui pendidikan diharapkan

pemberdayaan, kematangan, dan kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud.

Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang bersifat fungsional bagi setiap manusia dan

memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tantangan lainnya yang mempengaruhi pendidikan adalah perubahan yang terjadi akibat semakin

mengglobalnya tatanan pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap

sumber daya manusia yang berkualitas tidak bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang

dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya, khususnya negara tetangga di kawasan ASEAN.

Padahal saat ini kualitas sumber daya manusia negara kita berdasarkan parameter yang ditetapkan

oleh UNDP pada tahun 2000 berada pada peringkat ke-109. Padahal Singapura, Malaysia, Thailand

dan Fhilipina lebih baik peringkatnya dari kita. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya

manusia, kita semua sepakat bahwa pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan

kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan

kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).

Walaupun tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu

sumber daya manusia Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat meningkat,

tetapi tetap jalan ditempat, bahkan teridentifikasi semakin menurun. Berdasarkan laporan World

Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia pada tahun 2006 berada diurutan ke-50, Malaysia ke-

26, Singapura ke-5, India ke-43 dan Korea Selatan ke-24. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan

mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif

dan efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak.

Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan

pendidikan luar sekolah. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utamanya dalam

pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan berada pada pendidikan persekolahan.

Karena itu, upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki sistem pendidikan

persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional dan global yang berada di hadapan

kita.

Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas

pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi

masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal

dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau School Based Management.

Mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Saat

ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMK atau perguruan tinggi tidak siap

memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung

jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat. Para siswa itu adalah produk sistem

pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran

kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada

sistem peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi

mendatang, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing

dari masyarakatnya.

Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan.

Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat

beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang memukul sistem pendidikan bangsa ini. Pengetahuan

yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita sebenarnya sudah ada dalam komunitas

pendidikan kita sendiri. Kesulitan utama yang dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini

Page 3: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

adalah ketidakmampuannya menghadapi sistem yang gagal sehingga menjadi tabir bagi para

profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang

akan memperbaiki mutu pendidikan.

Pendidikan harus mengubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus

dipertanyakan. Sekolah mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para

profesional pendidikan harus membantu para siswa mengembangkan keterampilan yang akan

mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah masih

memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang lebih

besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan

meningkat bila administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru

yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperasi, ekuntabilitas dan pengakuan.

Para profesional pendidikan sekarang ini kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang

diperlukan untuk menyiapkan para siswanya memasuki pasar kerja global. Tradisi rupanya

menghalangi proses pendidikan untuk melakukan perubahan yang diperlukan agar programnya

sesuai dengan kebutuhan siswa. Masyarakat menuntut mutu pendidikan diperbaiki, namun

masyarakat enggan mendukung dunia pendidikan untuk mengupayakan perbaikan. Banyak

profesional pendidikan yang takut pada perubahan dan tidak tahu cara menjawab tantangan zaman.

Para profesional pendidikan mestinya sadar, program mutu di dunia komersial tidak bisa dijalankan

dalam bidang pendidikan. Karena proses kerja, budaya dan lingkungan organisasi di kedua bidang itu

berbeda. Para profesional pendidikan harus diberi program mutu yang khusus dirancang untuk dunia

pendidikan. Salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan

sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional pendidikan mendokumentasikan dan

menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.

Masyarakat dan dunia pendidikan mesti mengeliminasi fokus jangka pendeknya. Salah satu ciri dunia

modern adalah terjadinya perubahan yang konstan. Perubahan merupakan hal penting. Manajemen

mutu dapat membantu sekolah menyesuaikan diri dengan perubahan melalui cara yang positif dan

konstruktif. Penyelesaian yang cepat tidak akan memecahkan persoalan pendidikan masa kini.

Penyelesaian masalah secara cepat sudah pernah dilakukan, dan terbukti gagal. Oleh sebab itu

diperlukan dedikasi, fokus dan keajegan tujuan dalam memperbaiki mutu pendidikan. Untuk

mencapai lingkungan pendidikan yang bermutu, semua stakeholder pendidikan mesti memiliki

komitmen pada proses transformasi.

C. Pembahasan

1. Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengembangkan fungsi reproduksi,

penyadaran dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melalui proses

pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah

terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Tiga pilar fungsi sekolah yakni fungsi

pendidikan sebagai penyadaran; fungsi progresif pendidikan dan; fungsi mediasi pendidikan ( Danim,

2007:1).

Hal tersebut nampak bahwa sekolah hanyalah salah satu dari subsistem pendidikan karena lembaga

pendidikan itu sesungguhnya identik dengan jaringan-jaringan kemasyarakatan. Fungsi penyadaran

atau fungsi konservatif bermakna bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-

nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Pendidikan sebagai

instrumen penyadaran bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran untuk tetap

berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral di mana hal ini menjadi tugas semua

Page 4: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

orang.

Pendidikn formal, informal dan pendidikan kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral

dengan partisipasi total sebagai replica idealnya. Partisipasi anak didik dalam proses pendidikan dan

pembelajaran bukan sebagai alat pendidikan, melainkan sebagai intinya. Sebagai bagian dari jaring-

jaring kemasyarakatan, masyarakat pendidikan perlu mengemban tugas pembebasan, berupa

penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Orang tua, guru, dan dosen harus mampu

membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan

norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu membangun kesadaran

bagi lahirnya proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk

memecahkan masalah eksistensial mereka. Tidak menguntungkan jika anak dan anak didik diberi

pilihan tunggal ketika mereka menghadapi fenomena relatif dan normatif, termasuk fenomena

moralitas.

Fungsi konservatif atau fungsi penyadaran sekolah sebagai lembaga pendidikan masih menjelma

dalam sosok konservatisme pendidikan persekolahan, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi

budaya, ditandai denga makin terperosoknya kearifan generasi dalam mewarisi nilai-nilai mulai

peradaban masa lampau. Bukti konservatisme pendidikan formal benar-benar nyata di dalam alur

perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hatwell (1995), diperlukan waktu sekitar 100

tahun bagi teori dan ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur persekolahan.

Bersamaan dengan itu, perubahan wajah dunia terus berakselerasi. Misalnya, pada abad ke-20 telah

diproduksi konsep dan teori yang radikal tentang alam, realitas dan epistemologi.

Munculnya teori relativitas, mekanika kuantum, dan penemuan ilmiah lainnya adalah contoh nyata

revolusi di bidang keilmuan. Memang, evolusi perilaku sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan

evolusi spesies-genetik nonrekayasa. Meski kita harus pula menerima realitas bahwa pendidikan

formal belum menampakkan pergeseran fungsi progresifnya yang signifikan. Fungsi reproduksi atau

fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaru atau pengubah kondisi

masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana

pengembangan, reproduksi, dan desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Para peneliti, penulis

buku, pengamat, pendidik, guru, tutor, widyaiswara, pemakalah seminar, dan sejenisnya adalah

orang yang banyak bergulat dengan pengkajian, penelitian, penelaahan, dan desiminasi ilmu. Saat ini

fungsi progresif sekolah sebagai lembaga pendidikan terus menampakkan sosoknya, meski belum

menunjukkan capaian yang signifikan, setidaknya pada banyak daerah dan jenis sekolah. Di daerah

pedalaman misalnya, masih banyak sekolah yang sulit mempertahankan kondisinya pada taraf

sekarang, apalagi mendongkrak mutu kinerjanya. Meski harus diakui pula, pada banyak tempat telah

lahir sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah yang diunggulkan oleh masyarakat karena

mampu mengukir prestasi, misalnya peningkatan hasil belajar siswa.

Fungsi itu akan lebih lengkap jika pendidikan juga melakukan fungsi mediasi, yaitu menjembatani

fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal-hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah

kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana seosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana

proses pemanusiaan dan kemanusiaan umum, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar.

Di Negara kita, pelembagaan MBS dipandang urgen atau mendesak. Hal itu sejalan dengan tuntutan

masyarakat agar lembaga pendidikan persekolahan dapat dikelola secara lebih demokratis

dibandingkan dengan pola kerja ‘’dipandu dari atas’’ sebagaimana dianut oleh negara yang

menerapkan pemerintahan sentralistik. Persoalan utama di sini bukan terletak pada apakah format

manajemen sekolah yang dipandu secara sentralistik itu lebih buruk ketimbang pendekatan MBS

yang memuat pesan demokratisasi pendidikan, demikian juga sebaliknya. Persoalan yang paling

esensial adalah apakah dengan perubahan pendekatan manajemen sekolah itu akan bermaslahat

Page 5: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

lebih besar dibandingkan dengan format kerja secara sentralistik ini, terutama dilihat dari

kepentingan pendidikan anak.

Maslahat aplikasi MBS bagi peningkatan kinerja sekolah dan perbaikan mutu hasil belajar peserta

didik pada sekolah-sekolah yang menerapkannya masih harus diuji di lapangan. Prakarsa menuju

perbaikan mutu melalui perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak

mungkin diperoleh secara segera. Hal ini sejalan dengan konsep Kaizen, bahwa kemajuan dicapai

bukanlah sebuah lompatan besar ke depan. Menurut Kaizen kemajuan dicapai karena perubahan-

perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu

detail yang berhubungan dengan usaha menghasilkan produk atau pelayanan.

Menurut Tony Barner (1998) asumsi yang mendasari perubahan dalam Kaizen adalah bahwa

kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Hal ini bermakna bahwa tidak ada kemajuan, produk,

hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi ideal. Kondisi ideal itu hanyalah sebuah

abstraksi yang dituju. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang dan waktu untuk mengadakan perbaikan

dan peningkatan dengan jalan melakukan modifikasi, inovasi, atau bahkan imitasi kreatif. Terlepas

dari itu semua, pelembagaan MBS hampir dipastikan bahwa aplikasi MBS akan mendorong

tumbuhnya lembaga pendidikan persekolahan berbasis pada masyarakat (community-based

education) ataua manajemen pendidikan berbasis masyarakat (MPBM), khususnya di bidang

pendanaan, fungsi kontrol, dan pengguna lulusan.

Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat

persekolahan merupakan salah satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu

sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional

(Propernas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan

menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis seakolah/masyarakat

(school/community-based education) dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini

disebut Dewan Sekolah) di tingkat kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite

Sekolah di tingkat sekolah.

Penggunaan MBS secara ekonomi mendorong masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi

salah satu fondasi utama secara finansial bagi operasi sekolah, mengingat pendidikan persekolahan

itu tidak gratis (education is not free). Pemikiran ini tidak mereduksi peran pemerintah yang dari

tahaun ke tahun diharapkan dapat mengalokasikan anggaran untuk pendidikan pada kadar yang

makin meningkat. Secara akademik, masyarakat akan melakukan fungsi kontrol sekaligus pengguna

lulusan. Di sini akuntabilitas sekolah akan teruji. Juga secara proses, berhak mengkritisi kinerja

sekolah agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok dan fungsi utamanya. Dengan

MBS adalah keharusan bagi masyarakat untuk menjadi fondasi sekaligus tiang penyangga utama

pendidikan persekolahan yang berada pada radius tertentu tempaat masyarakat itu bermukim. Serta

MBS merupakan salah satu bentuk reformasi manajemen pendidikan (reformation in education

management) di tanah air.

Lebih lanjut Levacic (1995) dalam Bafadal (2003:91) proses menajemen peningkatan mutu

pendidikan berbasis sekolah (MPMPBS) meliputi:

a. Penetapan dan atau telaah tujuan sekolah;

b. Review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya;

c. Pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan;

d. Justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah;

e. Perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan;

f. Implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan;

g. Pelaporan hasil.

Page 6: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan political will

pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan. Ironisnya selama ini, political will tersebut tidak

utuh sebagai pendukung utama, demikian juga kepemimpinan di persekolahan yang cenderung

memakai pendekatan birokratis hirarkis dan bukannya demokratis.

Walaupun political will adakalanya terlihat tidak begitu utuh dalam menerapkan prinsip-prinsip

manajemen pendidikan berbasis sekolah, seharusya diimbangi dengan format kepemimpinan kepala

sekolah yang handal dalam memimpin persekolahan. Menurut Nurkolis (2003:141) kepemimpinan

adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa terminology Site-Based Leadership digunakan

sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka diperlukan perspektif

dalam keterampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun tingkat sekolah.

Berbagai fenomena yang terlihat dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis

sekolah, menunjukkan bahwa masih diperlukan kemauan yang kuat dari pihak pemerintah dan

lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan sistem penyelenggaraan manajemen persekolahan.

Tidak mungkin melakukan perubahan secara utuh dan komprehensif, jika semua pihak yang terlibat

tidak menunjukkan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan itu. Oleh karenanya, pengenalan

secara mendalam dan mendasar tujuan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah

merupakan sebuah keharusan oleh siapa saja yang bertanggung jawab dan merasa berkepentingan

terhadap pertumbuhan dan perkembangan persekolahan.

Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap

kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang

disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua,

anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42).

Perluasan keikutsertaan masyarakat dalam sistem manajemen persekolahan merupakan upaya untuk

meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah dalam hal ini bukan lagi hanya milik

sekolah tetapi hakikat sekolah sebagai sub-sistem dalam sistem masyarakat direkonstruksi sehingga

fungsi pendidikan dikembalikan secara utuh dalam melestarikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

2. Peran Manajemen Mutu Terpadu

Dr. W. Edward Deming (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai “Bapak Mutu’’. Beberapa prinsip pokok yang

dapat diterapkan dalam bidang pendidikan antara lain:

a. Anggota dewan sekolah dan administrator harus menerapkan tujuan mutu pendidikan yang akan

dicapai.

b. Menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan

setelah peristiwanya terjadi.

c. Asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki

autcomes siswa dan administratif.

Dr. Joseph M . Juran (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai salah seorang “Bapak Mutu” . Dr. Juran berlatar

pendidikan teknik dan hukum. Seperti halnya Deming, Juran adalah ahli statistik terpandang. Juran

menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’ dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah

adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa

dan masyarakat. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih tepat ditentukan

oleh pemakai bukan oleh pemberi.

Pandangan Juran tentang mutu merefleksikan pendekatan rasional yang berdasarkan fakta terhadap

organisasi bisnis dan amat menekankan pentingnya proses perencanaan dan kontrol mutu. Titik

fokus filosofi manajemen mutunya adalah keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual.

Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang

Page 7: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

diperlukannya untuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para

pekerja akan membuat produk dan jasa yang secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer.

Seperti halnya Deming, Juran pun memainkan peran penting dalam membangun kembali Jepang

setelah perang Dunia II. Dia diakui jasanya oleh bangsa Jepang dan memfasilitasi persahabatan

Amerika Serikat dan Jepang. Upaya Juran menemukan prinsip-prinsip dasar proses manajemen

membawanya untuk memfokuskan diri pada mutu sebagai tujuan utama. Beberapa pandangan Juran

(Arcaro, 2006:9) tentang mutu sebagai berikut:

a. Meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir;

b. Perbaikan mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan.

c. Mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator.

d. Pelatihan, misal merupakan prasyarat mutu.

e. Setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.

Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi

Kontrol Mutu Eropa pada tahun 1966. dia mengatakan bahwa: Bangsa Jepang menonjol di dunia

dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena

tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan yang sama dengan Bangsa Jepang.

Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang dapat

membantu para profesional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Manajemen Mutu

Terpadu dapat dipergunakan untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di

lingkungan sekolah. Manajemen Mutu Terpadu dapat digunakan sebagai perangkat untuk

membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan

bahwa para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk

mengembangkan program-program pendidikan. Manajemen Mutu Terpadu dapat memberikan fokus

pada pendidikan dan masyarakat. Manajemen Mutu Terpadu membentuk infrastruktur yang fleksibel

yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. Manajemen

Mutu Terpadu dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu.

Manajemen Mutu Terpadu memudahkan sekolah mengelola perubahan.

Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama

terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali

dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen

dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan kostumer, mendorong

keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah

pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta

perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih

baik.

Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa

setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas

sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvai

menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki kostumer. Memang masih lebih banyak

pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap keluaran pendidikan,

tapi mutu pendidikan tak kunjung diperbaiki.

Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja

lama harus disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya

untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap

upaya penciptaan mutu dalam sistem pendidikan seperti dijelaskan oleh Jerome S. Ascaro (2006:12),

Page 8: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

yakni: (1) banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya

dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam pendidikan

maka lebih tinggi juga mutu pendidikan dan; (2) banyak profesional pendidikan yang tetap

memandang pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan

dari tarikan profesional nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional

pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap transformasi

mutu.

Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami

para profesional pendidikan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan

sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam

sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan.

Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau prosedur kerja. Fungsi-fungsi

bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai

sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan

dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.

Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen

lama, ‘’kalau belum rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses

dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila

tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya’’.

Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.

Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu menurut Arcaro (2006:38-39) antara lain: Fokus pada

kostumer, keterlibatan total, pengukuran, komitmen dan perbaikan berkelanjutan. Sekolah memiliki

kostumer internal dan eksternal. Kostumer internal adalah orang tua, siswa, guru, administrator, staf

dan dewan sekolah yang berada di dalam sistem pendidikan. Sedangkan kostumer eksternal adalah

masyarakat, perusahaan, keluarga, militer dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi,

namun memanfaatkan output proses pendidikan.

Keterlibatan total, setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya

tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas. Mutu menuntut setiap orang memberi kontribusi

bagi upaya mutu. Pengukuran. Ini merupakan bidang yang seringkali gagal di banyak sekolah.

Banyak hal yang baik terjadi dalam pendidikan sekarang ini, namun para professional pendidikan

yang terlibat dalam prosesnya menjadi begitu terfokus pada pemecahan masalah yang tidak bisa

mereka ukur efektivitas upaya yang dilakukannya. Dengan kata lain, anda tidak dapat memperbaiki

apa yang tidak dapat anda ukur. Sekolah tidak dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan

masyarakat, sekalipun ada sarana untuk mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar

tersebut. Para siswa menggunakan nilai ujian untuk mengukur kemajuan di kelas. Komunitas

menggunakan anggaran sekolah untuk mengukur efisiensi proses sekolah.

Komitmen pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka

tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun

dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan

budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah,

tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan memberi pendidikan, perangkat, sistem

dan proses untuk meningkatkan mutu.

Perbaikan berkelanjutan secara konstan mencari cara untuk memperbaiki setiap proses pendidikan,

misalnya mengisi kegiatan dengan hal-hal sebagaimana adanya dan sekalipun ada masalah tidak

menganggapnya sebagai masalah.

Page 9: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

D. Penutup

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai

berikut:

1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala

sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya.

Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir

manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.

2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political

will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.

3. Proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah meliputi kegiatan: (1)

penetapan dan telaah tujuan sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah,

(3) pengembangan prioritas kerja dan jdwal waktu pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas

dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, (5) perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai

aspek perencanaan, (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan, (7)

pelaporan hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah

Penerapan. Yogyakarta.

Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi menuju

Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara.

Barner, Tony. 1998. Kaizen Strategies for Successful Leadership (Kepemimpinan Sukses). Jakarta:

Interaksara.

Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi Ke Lembaga Akademik.

Jakarta: Bumi Aksara.

Jerome S. Arcaro. 2006. Quality in Education: An Impelentation Handbook.

Penterjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.

Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar Pendidikan. No 1 Tahun X April

1991. Bandung: IKIP.

Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta:Insist Press.

Cindelaras. Pustaka Pelajar.

http://khoirulanwari.wordpress.com/about/peran-manajemen-berbasis-sekolah-mbs-dalam-meningkatkan-manajemen-mutu-terpadu/

Page 10: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

 Posted by admin in News       No comments

AUG

10

Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah atau yg dikenal sebagai MBS — atau di kita dikenal sebagai RISMA : Sistem Informasi Manajemen Sekolah & Madrasah — itu sama seperti fungsi-fungsi manajemen umumnya yang harus punya aspek-aspek POAC (Planning Organizing Actuating Controlling) sebagaimana yg diutarakan ama ’selebritis’ akademis Sir Henry Fayol.Adalah salah kalo dalam membangun aplikasi-aplikasi sistem informasi manajemen (SIM) yg kita banjiri dengan kegiatan-kegiatan transaksional/operasional tapi tidak melibatkan aktivitas-aktivitas lainnya. Kegiatan operasional organisasi itu sesungguhnya baru 25% dari keseluruhan fungsi MBS yg diharapkan. Itu hanya Actuating atau Pengerahan kalo dalam bahasa indonesia standar-nya.Dalam ‘peta’ SIM Sekolah & Madrasah yg dulu pernah gw bikin DNA-nya (juga arrow-diagram-nya), aku nggak (belum) mengelompokkan modul-modul aplikasi mana yang masuk dalam kegiatan manajemen mana (dari POAC itu tadi). Wal-hasil — emm, nggak apa-apa sih — tapi belum tentu aplikasi2 RISMA kita itu nantinya secara fungsional bisa bermanfaat bagi semua lini dalam struktur organisasi sekolah dan optimal membantu kegiatan mereka serta tidak membebani tugas/tanggung jawab fungsional mereka yg sudah ada.

Banyak aplikasi-aplikasi MBS yg kurang memperhatikan itu, termasuk SIAP Online (yep: SIAP Online yg dibikin ama Telkom). Banyak aplikasi2 yg berorientasi secara sepihak, seperti: cenderung berorientasi ke siswa saja, atau cenderung berorientasi ke guru saja, dan tidak mempertimbangkan elemen-elemen manajemen sekolah yg lain. Banyak juga aplikasi-aplikasi MBS yg setelah diimplementasikan JUSTRU menambah kerjaanguru-guru dan pada akhirnya disangka membebani lalu lambat laun ditinggalkan. Sistem pada akhirnya akan menjadi obsolete. Tidak digunakan.Untuk itu, gw pikir perlu, bagi gw pribadi dan bagi teman-teman di Cinox Area Network yg mungkin suatu saat akan diamanahkan membantu (atau bahkan menggantikan) peran gw di RISMA sebagai business analyst & software architect — untuk memahami konteks Manajemen Berbasis Sekolah dari perspektif multidimensional, bukan hanya dari sudut pandang fungsi operasional (per departemen) tapi juga dari sudut pandang fungsi manajemen. Yach, namanya juga SIM — M yg terakhir kan “manajemen” tuh kepanjangannya.

Berikut ini komponen MPMPBS menurut Dr. Ibrahim Bafadal, M.Pd (2006):

1. Manajemen Pembelajaran Perencanaan

1. Analisis Materi Pelajaran

2. Penyusunan Kalender Pendidikan

3. Penyusunan Program Tahunan dengan memperhatikan kalender pendidikan dan hasil analisis materi pelajaran

4. Penyusunan program caturwulan atau semester berdasarkan program tahunan yg telah disusun

5. Penyusunan program satuan pembelajaran (PSP)

6. Penyusunan rencana pembelajaran (RP)

7. Penyusunan rencana bimbingan dan penyuluhan

Pengorganisasian1. Pembagian tugas mengajar dan tugas lain

2. Penyusunan jadwal pelajaran

3. Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan

4. Penyusunan jadwal kegiatan pengayaan

5. Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler

6. Penyusunan jadwal kegiatan bimbingan dan penyuluhan

Pengerahan1. Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan tahun ajaran baru

2. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran

3. Pelaksanaan kegiatan bimbingan dan penyuluhan

4. Supervisi pelaksanaan pembelajaran

Page 11: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

5. Supervisi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan

Pengawasan1. Evaluasi proses dan hasil kegiatan pembelajaran

2. Evaluasi proses dan hasil kegiatan bimbingan dan penyuluhan

2. Manajemen Kesiswaan Perencanaan

1. Sensus anak usia prasekolah

2. Perencanaan daya tampung

3. Perencanaan penerimaan siswa baru

4. Penerimaan siswa baru

Pengorganisasian1. Pengelompokan siswa berdasarkan pola tertentu

Pengerahan1. Pembinaan disiplin belajar siswa

2. Pencatatan kehadiran siswa

3. Pengaturan perpindahan siswa

4. Pengaturan kelulusan siswa

Pengawasan1. Pemantauan siswa

2. Penilaian siswa

3. Manajemen Kepegawaian Perencanaan

1. Analisis pekerjaan di sekolah

2. Penyusunan formasi guru dan pegawai

3. Perencanaan dan pengadaan guru dan pegawai baru

Pengorganisasian1. Pembagian tugas guru dan pegawai

Pengerahan1. Pembinaan profesionalisme guru dan pegawai

2. Pembinaan karir guru dan pegawai

3. Pembinaan kesejahteraan guru dan pegawai

4. Pengaturan perpindahan guru dan pegawai

5. Pengaturan pemberhentian guru dan pegawai

Pengawasan1. Pemantauan kinerja guru dan pegawai

2. Penilaian kinerja guru dan pegawai

4. Manajemen Sarana/Prasarana Perencanaan

1. Analisis kebutuhan sarana dan prasarana sekolah

2. Perencanaan dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah

Pengorganisasian1. Pendistribusian sarana dan prasarana sekolah

2. Penataan sarana dan prasarana sekolah

Pengerahan1. Pemanfaatan sarana dan prasarana sekolah secara efektif dan efisien

Page 12: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

2. Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah

3. Inventarisasi sarana dan prasarana sekolah

4. Penghapusan sarana dan prasarana sekolah

Pengawasan1. Pemantauan kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah

2. Penilaian kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah

5. Manajemen Keuangan Perencanaan

1. Penyusunan RAPBS

Pengorganisasian1. Pengadaan dan pengalokasian anggaran berdasarkan RAPBS

Pengerahan1. Pelaksanaan anggaran sekolah

2. Pembukuan keuangan sekolah

3. Pertanggungjawaban keuangan sekolah

Pengawasan1. Pemantauan keuangan sekolah

2. Penilaian kinerja manajemen kuangan sekolah

6. Manajemen Humas Perencanaan

1. Analisa kebutuhan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah

2. Penyusunan program hubungan sekolah dengan masyarakat

Pengorganisasian1. Pembagian tugas melaksanakan hubungan sekolah dengan masyarakat

Pengerahan1. Menciptakan hubungan sekolah dengan orangtua siswa

2. Mendorong orangtua menyediakan lingkungan belajar yang efektif

3. Mengadakan komunikasi dengan tokoh masyarakat

4. Mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta

5. Mengadakan kerjasama dengan organisasi sosial keagamaan

Pengawasan1. Pemantauan hubungan sekolah dengan masyarakat

2. Penilaian kinerja hubungan sekolah dengan masyarakat

7. Manajemen Layanan Khusus Perencanaan

1. Analisis kebutuhan program layanan khusus bagi warga sekolah

2. Penyusunan program layanan khusus bagi warga sekolah

Pengorganisasian1. Pembagian tugas melaksanakan program layanan khusus bagi warga sekolah

Pengerahan1. Pengaturan pelaksanaan antar jemput siswa

2. Pengaturan pelaksanaan asrama siswa

3. Pengaturan pelaksanaan makan siang siswa

4. Pengaturan pelaksanaan program koperasi sekolah

5. Pengaturan pelaksanaan program layanan khusus lainnya

Page 13: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Pengawasan1. Pemantauan program layanan khusus

2. Penilaian kinerja program layanan khusus bagi warga sekolah

RISMA sebaiknya dikemas sedemikian rupa sehingga mampu memfasilitasi proses-proses dalam MBS yg bersiklus yg terdiri dari:

1. pengembangan visi sekolah

2. evaluasi diri dalam rangka mengidentifikasi berbagai kebutuhan pengembangan

3. identifikasi kebutuhan-kebutuhan pengembangan

4. perumusan tujuan (misi) sekolah

5. penyusunan program peningkatan

6. implementasi program

7. evaluasi diri kembali untuk kepentingan peningkatan mutu berikutnya

Dimana mutu, kemandirian, partisipasi, dan transparansi merupakan pilar/pondasi dari MBS yg ironisnya udah banyak diterapkan pada sekolah-sekolah swasta untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas eksistensinya. Memang, berbeda dengan sekolah negeri yg selalu dilindungi dan dinaungi oleh pemerintah — sekolah swasta lebih banyak bekerja keras membanting tulang untuk menyokong ‘kehidupan’ sekolahnya, seringkali dalam aspek partisipatif melalui optimalisasi manajemen humas dan layanan-layanan sekolah. Kemampuan manajemen yg baik adalah kunci suksesnya. Dan hal inilah yg ingin di-injeksikan oleh pemerintah untuk ‘mendidik’ sekolah-sekolah negeri agar mampu berkembang secara mandiri dan berakibat positif pada peningkatan mutu output belajarnya.

http://www.erp-pendidikan.com/?p=378

FACEBOOK BADGE

Suherli Kusmana

Create Your Badge

BLOG ARCHIVE

►     2010 (6)

►     2009 (14)

Page 14: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

▼     2008 (21)

o ►     Desember 2008 (1)

o ►     November 2008 (3)

o ►     Oktober 2008 (2)

o ►     September 2008 (1)

o ►     Agustus 2008 (3)

o ►     Juli 2008 (2)

o ►     Juni 2008 (4)

o ▼     Mei 2008 (5)

Menilik Kebijakan Sistem Pendidikan

Buku Teks Layak Pakai di Sekolah

Usia Buku Teks

Karangan Ilmiah

Puisiku

SITUS BERKAITAN

READ

APBI

SK dan KD Bahasa Indonesia

Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia

Translate Google

www.ziddu.com

http://pusbuk.go.id

http://depdiknas.go.id

http://e-dukasi.net

http://jardiknas.org

ShoutMix chat widget

LABELS

kalimat efektif (1)

Kebahasaan (13)

Kebijakan Publik (1)

Page 15: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

keguruan (2)

Kependidikan (10)

pendidikan (1)

Perbukuan (11)

Unduh BSE (2)

Menilik Kebijakan Sistem Pendidikan di 16.30 Diposkan oleh Suherli Kusmana  2 komentar

Suherli

Dalam pemberlakuan Otonomi Daerah terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal itu bertolak dari

kesadaran penentu kebijakan bahwa sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya

manusia. Selain itu, fenomena krisis yang melanda bangsa kita menunjukkan bahwa pendidikan dianggap belum berhasil dalam

menyiapkan SDM yang unggul, kompetitif, dan beriman. Oleh karena itu, sangat tepat jika dilakukan perubahan paradigma

penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.

Desentralisasi pendidikan merupakan alternatif model pemberdayaan masyarakat. Salah satu implementasi dari desentralisasi

pendidikan adalah dihidupkannya peran serta masyarakat untuk ikut menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan. Program yang

digulirkan pemerintah untuk keperluan ini adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah.

Program MBS menyiratkan konsep mendasar atas penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip desentralisasi pendidikan. Landasan

filosofis yang perlu diperhatikan dalam memahami konsepsi ini bertolak dari terminologi desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi

adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah; dekonsentrasi adalah penyerahan tanggung jawab layanan sektor tertentu

pada perwakilan pemerintah pusat di daerah; delegasi adalah pengalihan tanggung jawab untuk membuat keputusan dan mengatur

pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah; privatisasi adalah pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta;

dan otonomi merupakan arah balik dari desentralisasi (yang berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan kepada daerah), dan

merupakan pengakuan atas otoritas daerah (Rondinelli, 1998; Jalal, 2001:75). Dengan demikian, desentralisasi bidang pendidikan

berarti penyerahan kewenangan (otoritas) pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan masyarakat.

Dari terminologi tersebut maka desentralisasi pendidikan menganut prinsip good governance is less governing (penyelenggaraan

pemerintahan yang baik adalah lebih kurang mengatur). Desentraliasi pendidikan adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan

Page 16: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

pendidikan kepada masyarakat, karena jika wewenang pusat hanya dipindahtangankan ke daerah, maka yang akan terjadi adalah

oversentralisasi pada tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu Program MBS merupakan pola implementasi pembagian porsi

wewenang penyelenggaraan pendidikan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, dan masyarakat (sekolah) yang bobotnya

lebih besar kepada masyarakat dan stakeholder pendidikan.

Perubahan ini dirasakan sangat drastis karena selama 35 tahun sebelumnya, kita tidak merasakan perubahan yang sangat

signifikan dalam dunia pendidikan. Besarnya peranan pemerintah dalam turut mengatur terlalu banyak hal-hal teknis dalam dunia

pendidikan dianggap sebagai biang keladi dari semua keterpurukan kualitas pendidikan bangsa Indonesia dibandingkan dengan

negara-negara lain. Dari itu, dengan berbekal konsep desentralisasi pendidikan seiring dengan era reformasi yang sedang bergulir,

berbagai perubahan mendasar pengelolaan pendidikan diserahkan kepada stakeholder pendidikan. Pemerintah hanya berperan

sebagai pengatur, sesuai dengan prinsip dasar desentralisasi. Namun, kadang-kadang program yang digulirkan pemerintah

seringkali masih membingungkan masyarakat pendidikan, karena kita belum biasa.

A. Kebijakan Pendidikan Sentralistik

Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa

Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa

kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar.

Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk

orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk

perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.

Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini

diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari

organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada

tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini

pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta

ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak

produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya.

Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk

primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas.

Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun diterapkan prinsip ‘link and match”.

Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan

bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis

ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita

Page 17: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan

refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita,

sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam

menjalankan kebijakan baru.

B. Kebijakan Pendidikan Desentralistik

Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap

kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung

kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4)

perluasan/pemerataan.

1. Peningkatan Mutu

Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas

dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan

mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana,

dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-

mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga

administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta

semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zealand, misalnya, desentralisasi berdampak positif

terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata

pelajaran dasar (bidang studi pokok).

2. Efisiensi Keuangan

Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan

memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara

baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme vouchers, atau matching grant, dan

"sponsorship dunia usaha" dalam pembiayaan pendidikan. Mekanisme ini sudah lazim digunakan di negara-negara sedang

berkembang dan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Pengalaman di Brazil, misalnya,

desentralisasi telah menurunkan biaya dan pelayanan pendidikan menjadi lebih baik, mulai dari pemeliharaan sekolah, pelatihan

guru, sampai pemberian makanan tambahan bagi anak di sekolah.

3. Efisiensi Administrasi

Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas

birokrasi seperti tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag),

tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat

penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya,

Page 18: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai pada

Departemen Pendidikan.

4. Perluasan dan Pemerataan

Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan

ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan

pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani.

Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan

potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat

melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat

berkembang secara lebih seimbang.

C. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi

Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25

tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi

untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal

Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang

memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang

berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan

masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm

yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan

pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja

membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang

berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat.

Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan

topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat. 

Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan

masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan,

khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya

bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan

pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.

Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan

(quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya

membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas

Page 19: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).

Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk

menggapai kualitas pendidikan.

Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber

pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan

kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite

di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu

Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah

pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana

yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai

terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih

kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin

menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap

datang sang penyelamat, funding father yaitu pemerintah. 

Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan

tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya

harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan

mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi

“projek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota,

ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat

mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan,

evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi

pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan. 

Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul

bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari

kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya,

beberapa langkah program yang telah dijalankan di Samarinda, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan

mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :

(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS

(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.

(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP

(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru

(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri

Page 20: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah

(7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana Universitas

Mulawarman.

Peningkatan mutu pendidikan tersebut berkaitan dengan peningakatan SDM di daerah sehingga selalu dilakukan perbaikan

berbagai kebijakan pada tataran meso sebagai rencana program oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan.

D. Kebijakan Pendidikan di Kabupaten/Kota

Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu popularisasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi

pendidikan nasional, maka usulan program pengembangan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Tilaar (2000:77-790 sebagai

berikut :

(1) Mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas;

(2) Menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu;

(3) Menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar;

(4) Melakukan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap, mulai tingkat provinsi dengan sekaligus

mempersiapkan sarana, SDM, dan dana yang memadai pada tingkat kabupaten;

(5) Melakukan perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien;

(6) Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan ekseperimen, dengan melaksanakan otonomi

lembaga pendidikan;

(7) Merevisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional dengan peraturan perundangan dan

pelaksanaannya

(8) Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan

untuk membangun masyarakat Indonesia baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat

tersebut.

(9) Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha

(10) Melakukan depolitisasi pendidikan nasional, dengan menciptakan komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk

membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa;

(11) Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan, syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga

profesional, disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.

Berdasarkan pada prinsip otonomi, maka kebijakan pendidikan di daerah dapat dituangkan ke dalam Rencana Strategis

Pembangunan Pendidikan. Namun demikian, tampaknya daerah masih terus saja berbenah diri dalam hal kebijakan politik dan

kepegawaian yang juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan kantor bidang

pendidikan di daerah adalah:

Page 21: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

1) Peningkatan Mutu Pendidikan

Pemerintah daerah harus terus mendorong dan mengembangkan sekolah menerapkan konsep “Manajemen Peningkatan Mutu

Berbasis Sekolah” (MPMBS) yakni usaha peningkatan mutu pendidikan dengan menggalang segala sumber daya yang ada di

sekolah dan lingkungannya, baik guru, orangtua siswa, pemerintah setempat maupun swasta agar terkoordinasi dan terencana

dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.

2) Perluasan Kesempatan Belajar

Dalam rangka mempercepat penuntasan program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan maka dapat ditempuh usaha baru sebagai berikut :

(1) Pembangunan Unit Sekolah baru (USB)

(2) Pembangunan Ruang Kelas baru (RKB)

(3) Pemasayarakatan SLTP Terbuka (SLTPT)

(4) Kampanye/Penyuluhan Wajib Belajar Pendidikian Dasar

(5) Pemberian Beasiswa dan dana bantuan Operasional (DBO)

(6) Pendidikan bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA

(7) Pemberian Dana Operasional Pendidikan bagi SD/MI

(8) Pemberian bantuan perlengkapan belajar bagi siswa SD/MI dari keluarga tidak mampu;

(9) Membina dan mendorong penyelenggaraan pendidikan luar sekolah oleh masyarakat dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar (yang

menyelenggaraka Paket A, KF, Paket B, dan Paket C).

3) Efisiensi dan Efektivitas

Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang efisien dan efektif maka penyelenggara pendidikan formal perlu dibekali

dengan pengetahuan tentang :

(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Sekolah

(2) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Perkantoran

(3) Kemampuan manajerial

(4) Kemampuan Pengelola Proyek

(5) Pengelolaan dan perencanaan pendidikan

(6) Kemampuan Monitoring dan Evaluasi

4) Menyusun Peraturan Daerah Pendidikan;

Perda tentang pendidikan di Kabupaten/Kota merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat

Page 22: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Kabupaten/Kota tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003. Bertolak dari aturan

ini maka beberapa kebijakan meso maupun mikro dapat dibuat dalam rangka menjalankan amanat Pembukaan Undang-undang

Dasar 45. 

5) Angka Rata-rata Lama Sekolah;

Dalam rangka meningkatkan Indeks Pendidikan (Education Index) partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan harus terus

dipacu. Berdasarkan laporan BPS diketahui bahwa Angka RLS masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau setara dengan siswa

SMP Kelas satu. Dengan demikian diperlukan perjuangan yang sangat erat bagi dinas pendidikan untuk meningkatkan wajib belajar

9 tahun. Padahal wajib belajar 9 tahun sudah dikumandangkan sejak lama. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pendidikan

dasar, baik melalui SD/MI dan SMP/MTs, maupun SMP Terbuka, dan Paket A dan B untuk dapat mengakselerasi Wajar Dikdas 9

tahun. 

6) Angka Melek Huruf

Penopang lain dari Indeks Pendidikan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Semula kita menduga bahwa di Kabupaten/Kota di Jawa

Barat sudah tidak ada lagi yang masih Buta Huruf (tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Indonesia), namun setelah dilakukan

pendataan ulang di Jawa Barat telah diketahui terdapat sekitar 251.234 yang masih kurang dalam baca-tulis-bicara bahasa

Indonesia. Tentu saja, mereka harus segera dientaskan melalui program yang fungsional (Keaksaraan Fungsional).

(7) Partisipasi dan Peranserta Masyarakat;

Pada Pasal 56 UUSPN 20/2003 diungkapkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan melalui

dewan pendidikan, komite sekolah atau madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota pada

umumnya belum banyak dirasakan perannya dalam peningkatan mutu pendidikan di kabupaten/kota, bahkan dalam proses

pembentukannya pun dikuasai pihak-pihak tertentu yang kurang menguasai masalah pendidikan. Demikian pula dengan Komite

Sekolah/Madrasah, di antara mereka masih kurang memiliki pemahaman yang mantap tentang MBS dan bahkan ada di antara

mereka yang hanya berfungsi sebagai stempel bagi sekolah dalam melegitimasi pungutan dari orangtua siswa.  

(8) Otonomi Sekolah

Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi

kewenangan untuk mengelola input pendidikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan.

Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara ketat untuk memberikan jaminan kualitas

layanan yang diberikan sekolah kepada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang akurat

dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, bukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau

melakukan Ulangan Umum Bersama melainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih. 

Page 23: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

(9) Kualitas SDM Pendidikan

Dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, tentu saja harus diiringi dengan peningkatan kualitas

tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Harus diakui bahwa tenaga kependidikan yang saat ini tersedia merupakan produk dari

LPTK yang belum mengantisipasi reformasi dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa hal para guru masih menggunakan

paradigma transfer of knowledge dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal pola pikir ini telah lama ditinggalkan oleh kalangan

innovator pendidikan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang masih hanya berfungsi sebagai guru, menyampaikan materi

pelajaran kepada siswa. Konsep learning based experience dan learning by doing masih belum secara mantap diterapkan para guru.

Apalagi konsep dasar pengembangan kompetensi yang seharusnya dijadikan dasar bagi pengembangan kurikulum di sekolah.

(10) Kesejahteraan Tenaga Kependidikan

Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kinerja tenaga kependidikan salah satu penyebabnya adalah rendahnya

kesejahteraan yang diterima (take home pay). Dari gaji yang diterima para guru, mereka harus rela membagi penggunaannya

dengan biaya transportasi dan konsumsi (terutama jika harus mengajar sampai dengan siang). Dengan demikian take home pay

yang diterima para guru semakin kecil dan tidak manusiawi. Berbeda dengan profesi lain, untuk keperluan transportasi dan

konsumsi biasanya tersedia pada institusi tersebut, sedangkan profesi guru harus merogoh saku gajinya. Dalam menyikapi hal ini,

tampaknya pemerintah daerah harus segera memikirkan “insentif” atau tunjangan profesi yang dapat diberikan kepada guru agar

kinerja mereka meningkat dalam rangka mempersiapkan SDM pendidikan di Kabupaten/Kota yang lebih baik. Pada daerah-daerah

tertentu, hal ini sudah dilaksanakan, misalnya Kota Bandung, DKI Jakarta, Kutai Kertanegara, Propinsi Sumatera Barat, dan

sebagainya. Mungkin jika Anggaran Pendidikan di Kabupaten Ciamis dapat diungkit hingga 20%, para guru dapat segera diberi

insentif supaya memacu mereka dalam berkompetensi meningkatkan mutu pendidikan.

(11) Organisasi Penjamin Kualitas

Untuk melakukan jaminan kualitas pendidikan di Kabupaten/Kota, tampaknya diperlukan organisasi kedinasan, setara dengan

eselon III yang membidangi peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan. Lembaga ini harus mampu memberikan

jaminan kualitas hasil pendidikan dan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap tenaga kependidikan. Sudah tidak sesuai lagi

apabila lembaga penjamin kualitas pendidikan yang memberikan pelatihan kepada tenaga pendidikan dilaksanakan oleh Badan

Kepegawaian Daerah. Lembaga ini dapat berfungsi melatih dan membina tenaga pemerintah daerah, namun untuk tenaga

kependidikan harus dilaksanakan secara khusus agar dapat memberikan pelatihan terhadap tenaga kependidikan (guru) mengarah

kepada profesionalisasi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan

kualitas penyelenggaraan pelatihan, lembaga ini perlu mengundang educational expert dari Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga

Kependidikan.

Page 24: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

(12) Penggunaan Buku Teks Pelajaran

Ketentuan tentang Buku Teks Pelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permen 11/2005 masih belum diterapkan secara

menyeluruh di sekolah. Berdasarkan ketentuan itu, Sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Komite Sekolah dilarang menjual buku di

sekolah. Demikian pula, penerbit tidak boleh menjual buku langsung ke sekolah. Untuk keperluan peserta didik, para guru dapat

menganjurkan kepada orangtua atau peserta didik untuk menggunakan buku Teks Pelajaran yang telah berstandar nasional.

Pemerintah telah menyampaikan kebijakan tentang Buku Teks Pelajaran, bahwa Pemerintah Pusat tidak akan lagi menerbitkan atau

membagikan Buku Teks Pelajaran untuk sekolah. Pemerintah hanya menetapkan buku-buku berstandar nasional yang dapat dipilih

oleh sekolah untuk digunakan sebagai buku teks pelajaran di sekolah. Dalam memilih buku ini, sekolah harus mengajak dan

melibatkan Komite Sekolah (sebagai wakil masyarakat). Kenyataan di lapangan, masih ada sekolah atau guru menjual paksa buku

kepada siswa, menjual LKS kepada siswa, penerbit masih mengedrop buku ke sekolah, penentuan buku teks pelajaran tidak

mengajak komite sekolah. Masih banyak persoalan tentang buku teks ini, mungkin karena low inforcement yang masih lemah di

daerah, serta kesadaran masyarakat yang masih lemah.

(13) Pengembangan Kurikulum Sekolah

Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi

Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Banyak di

antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dalam ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu

harus disusun oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum Tingkat

Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kurikulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah

harus mengembangkan kurikulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 8 Jatinagara atau Kurikulum SMP Ma’arif

Banjarsari. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP

sehingga dapat dijadikan acuan pengembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, tampaknya

masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi tenaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan

kurikulum dapat mulai dipersiapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai bidang ini.  

Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak pekerjaan bidang pendidikan yang belum

diimplementasikan, tampaknya perlu segera kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan ini

masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat

bijak, apabila kita coba berpikir dengan jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersiapkan

SDM yang unggul dan kompetitif. Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh karena itu,

sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi

dalam pendidikan. Perencanaan pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbagai pihak,

karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan

Page 25: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

terkini, tampaknya harus segera diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebijakan makro, meso,

maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.

http://suherlicentre.blogspot.com/2008/05/menilik-kebijakan-sistem-pendidikan.html

http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8457

Implementasi Konsep MBS di SekolahOleh redaksi

Oleh: Kustrini Hardi

Kamis, 14-April-2005, 07:45:09

UPAYA peningkatan Mutu Pendidikan Dasar yang ditandai dengan dikeluarkannyaINPRES Nomor 5 Tahun 1994 tentang Program Wajib Belajar Pendidikan DasarSembilan Tahun, telah banyak memperlihatkan hasil yang positif. Namun hasil itubanyak pula mengalami penurunan karena krisis ekonomi yang diikuti oleh krisismultidimensional yang melanda dunia dan negara kita. Krisis tersebut secara umumtelah mengganggu pelaksanaan sistem pemerintahan dan pembangunan bidangpendidikan.

Untuk menata kembali sistem pemerintahan, telah dilakukan perubahan paradigmapemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dengan dikeluarkannyaUndang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan telahdirevisi melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.

Perubahan sistem pemerintahan ini telah menggeser hak dan kewenanganpenyelenggaraan pendidikan dari pusat ke lini terdepan pendidikan, yakni sekolahdan masyarakat. Implementasi penyelenggaraan pendidikan yang berbasis kepadasekolah dan masyarakat ini diwujudkan melalui penerapan konsep manajemenberbasis sekolah (school-based management) dengan titik berat ManajemenPeningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan partisipasi masyarakat (CommunityBased Participation) yang tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Beberapa ModelUpaya peningkatan mutu pendidikan sudah bukan merupakan upaya baru dan memangseharusnya menjadi komitmen semua pihak. Upaya ini telah ditempuh melaluiberbagai model. Pada tahun 1980-an, telah diujicobakan model pembelajaran CaraBelajar Siswa Aktif (CBSA). Akhir-akhir ini, kita mencoba pendekatan modelpembelajaran "joyful learning" atau yang lebih dikenal dengan model pembelajaranPAKEM (Pembelajaran Aktif, Efektif dan Menyenangkan).

Dari berbagai pengalaman yang amat berharga tersebut, dapat disimpulkan bahwaapapun konsep yang diterapkan di sekolah akan sangat bergantung kepada sekolahdan seluruh stakeholder pendidikan yang ada di sekolah.

Itulah sebabnya, maka kebijakan dan program yang sedang dan akan diluncurkanharus dimulai melalui upaya pemberdayaan sekolah dan masyarakat sebagai pemilikdan ujuk tombak pendidikan. Program "Bantuan Operasional untuk Manajemen Mutu(BOMM)" yang telah diluncurkan sejak tahun 1999 merupakan langkah maju untukmemberikan kepercayaan secara penuh kepada sekolah dan masyarakat dalam upayapeningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Program seperti ini sudah seharusnyaditindaklanjuti dan dikembangkan melalui program-program lainnya denganmenggunakan sumber dana dari pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.

Page 26: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Program-program peningkatan mutu pendidikan dengan model sebagaimana disebutkandi atas juga telah dilaksanakan, antara lain melalui kegiatan RehabilitasiGedung Sekolah, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Imbal Swadaya (BIS) yangdigunakan untuk membangun Ruang Kelas Baru (RKB), Program School Grant, ProgramRetrival, dll. Pelaksanaan program ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatanmutu pendidikan di sekolah, yang sebagian dananya antara lain berasal dari APBN,hutang Pemerintah RI dengan pihak luar negeri yaitu negara-negara pemberipinjaman.

Pendekatan MBSBanyak manfaat yang telah dapat dirasakan baik oleh pemerintah daerah maupunpihak sekolah yang secara langsung menjadi sasaran pelaksanaan. Hal ini karenadalam melaksanakan program-program ini diterapkan prinsip-prinsip manajemenberbasis sekolah (MBS), mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampaidengan proses pelaporan dan umpan baliknya.

Dengan kata lain program-program yang dilaksanakan menganut prinsip-prinsipdemokratis, transparan, profesional dan akuntabel. Melalui pelaksanaan programini para pengelola pendidikan di sekolah termasuk kepala sekolah, guru, komitesekolah dan tokoh masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam setiaptahapan kegiatan. Disinilah proses pembelajaran itu berlangsung dan semua pihaksaling memberikan kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan sekolah.

Upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yangdisebutkan di atas, dikelola langsung oleh Komite Sekolah/Majelis Madrasahsebagai langkah awal aplikasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Peningkatan mutupendidikan melalui MBS ini berlandaskan pada asumsi bahwa sekolah/madrasah akanmeningkat mutunya jika kepala sekolah bersama guru, orangtua siswa danmasyarakat setempat diberi kewenangan yang cukup besar untuk mengelolakegiatannya sendiri. Pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengorganisasian,pengawasan dan pembinaan, baik dalam hal keuangan maupun pembelajaran secaraumum. Bukankah upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan akumulasi dari upayapeningkatan mutu pembelajaran di tingkat sekolah ?

Oleh karena itu sudah saatnya sekolah diberikan kewenangan bersama seluruhkomponen masyarakat yang ada di sekolah untuk merencanakan, melaksanakan,mengorganisir kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan pembelajaran di sekolahmasing-masing. Untuk melaksanakan hal ini memang diperlukan perubahan yangsangat mendasar, terlebih dahulu adalah merubah paradigma atau cara pandang yangdimiliki para pemegang kebijakan, pembina dan pelaksana pendidikan.

Tujuan dan Strategi PelaksanaanTujuan program ini sebagaimana tujuan dari program Manajemen Berbasis Sekolahadalah (1) mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru, unsur komitesekolah/mejelis madrasah dalam aspek manajemen berbasis sekolah untukpeningkatan mutu sekolah, (2) mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersamaguru, unsur komite sekolah/majelis madrasah dalam melaksanakan pembelajaran yangaktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakatsetempat, (3) mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih aktif dalammasalah umum persekolahan dari unsur komite sekolah dalam membantu peningkatanmutu sekolah.Strategi pengelolaan program dengan menggunakan pendekatan ini dapat ditempuhantara lain dengan langkah-langkah sbb :

* Memberdayakan komite sekolah/majelis madrasah dalam peningkatan mutupembelajaran di sekolah* Unsur pemerintah Kab/Kota dalam hal ini instansi yang terkait antara lainDinas Pendidikan, Badan Perencanaan Kab/Kota, Departemen Agama (yang menanganipendidikan MI, MTs dan MA), Dewan Pendidikan Kab/Kota terutama membantu dalammengkoordinasikan dan membuat jaringan kerja (akses) ke dalam siklus kegiatanpemerintahan dan pembangunan pada umumnya dalam bidang pendidikan.

* Memberdayakan tenaga kependidikan, baik tenaga pengajar (guru), kepalasekolah, petugas bimbingan dan penyuluhan (BP) maupun staf kantor,

Page 27: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, unsur komite sekolah tentang ManajemenBerbasis Sekolah, pembelajaran yang bermutu dan peran serta masyarakat.* Mengadakan pelatihan dan pendampingan sistematis bagi para kepala sekolah,guru, unsur komite sekolah pada pelaksanaan peningkatan mutu pembelajaran* Melakukan supervisi dan monitoring yang sistematis dan konsisten terhadappelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah agar diketahui berbagai kendala danmasalah yang dihadapi, serta segera dapat diberikan solusi/pemecahan masalahyang diperlukan.* Mengelola kegiatan yang bersifat bantuan langsung bagi setiap sekolah untukpeningkatan mutu pembelajaran, Rehabilitasi/Pembangunan sarana dan prasaranaPendidikan, dengan membentuk Tim yang sifatnya khusus untuk menangani dansekaligus melakukan dukungan dan pengawasan terhadap Tim bentukan sebagaipelaksana kegiatan tersebut.

Model pelaksanaan program yang telah dikembangkan ini, untuk tahun-tahunmendatang, sudah seharusnya mulai diupayakan untuk ditindaklanjuti. Hal inimengingat pelaksanaan program dengan pendekatan ini telah mampu menumbuhkansemangat dan motivasi untuk menstimulasi unsur masyarakat agar mauberpartisipasi aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan serta memberdayakansemua komponen yang ada di sekolah.

Aspek partisipasi masyarakat ini pulalah yang menjadi bagian terpenting untukmembina kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan duniapendidikan. Hal ini juga telah tercantum dan terumus jelas dalam Undang-undangSistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.

Bukankah kita semua berharap bahwa wajah pendidikan kita ke depan akan semakincerah dan semarak ? Maka sudah saatnya kita mengembalikan kewenangan perencanaandan pelaksanaan peningkatan pendidikan dan pembelajaran itu dengan melibatkanpartisipasi aktif masyarakat dan pihak pemerintah berperan sebagai fasilitatordan stimulator.***

*) Kustrini Hardi, alumnus PPS UPI Bandung dan staf Bappedako Kota Batam

[Non-text portions of this message have been removed]

http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/29218

Aplikasi dan Potensi TIK dalam PembelajaranOPINIWijaya Kusumah| 10 January 2010 | 23:50

2797

21 dari 1 Kompasianer menilai Inspiratif.

Page 28: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

APLIKASI DAN POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH

(Makalah yang disusun untuk Seminar Nasional KEMAKOM di UPI Bandung, sabtu 23 januari 2010)

Oleh: Wijaya Kusumah

A. PENDAHULUAN

Perkembangan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat pesat dan berpengaruh sangat signifikan

terhadap pribadi maupun komunitas, segala aktivitas, kehidupan, cara kerja, metode belajar, gaya hidup maupun cara berpikir. Oleh

karena itu, pemanfaatan TIK harus diperkenalkan kepada siswa agar mereka mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman

yang memadai untuk bisa menerapkan dan menggunakannya dalam kegiatan belajar, bekerja serta berbagai aspek kehidupan

sehari-hari, bahkan bisa juga dikembangkan menjadi kegiatan wira usaha.

Manusia secara berkelanjutan membutuhkan pemahaman dan pengalaman agar bisa memanfaatkan TIK secara optimal dalam

menghadapi tantangan perkembangan zaman dan menyadari implikasinya bagi pribadi maupun masyarakat. Siswa yang telah

mengikuti dan memahami serta mempraktekkan TIK akan memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk memahami berbagai TIK

dan menggunakannya secara efektif. Selain dampak positif, siswa mampu memahami dampak negatif, dan keterbatasan TIK, serta

mampu memanfaatkan TIK untuk mendukung proses pembelajaran dan memanfatkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Dengan semakin banyaknya situs pertemanan seperti facebook, twitter, friendster, dan myspacemembuat komunikasi dan saling

bertukar informasi semakin mudah. Belum lagi semakin menjamurnya tempat membuat blog gratis di internet seperti  wordpress,

blogspot, livejurnal, dan multiply. Membuat kita dituntut bukan hanya mampu mencari dan memanfaatkan informasi saja, tetapi juga

mampu menciptakan informasi di internet melalui blog yang kita kelola dan terupdatedengan baik. Di sanalah muncul kreativitas

menulis yang membuat orang lain mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Namun sayangnya, kebiasaan menulis dan

membaca belum menjadi budaya masyarakat Indonesia, termasuk guru dan siswa di sekolah. Para guru TIK dituntut agar para

peserta didiknya mampu memanfaatkan TIK untuk mengembangkan kreativitas menulis.

Pendidikan sebagai pondasi pembangunan suatu bangsa memerlukan pembahuruan-pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.

Keberhasilan dalam pendidikan selalu berhubungan erat dengan kemajuan suatu bangsa yang berdampak meningkatnya

kesejahteraan kehidupan masyarakat. Pada era teknologi tinggi (high technology)perkembangan dan transformasi ilmu berjalan

begitu cepat. Akibatnya, sistem pendidikan konvensional tidak akan mampu lagi mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.

Pendekatan-pendekatan modern dalam proses pengajaran tidak akan banyak membantu untuk mengejar perkembangan ilmu dan

teknologi jika sistem pendidikan masih dilakukan secara konvensional.

Keperluan akan penguasaan TIK telah diantisipasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Departemen Pendidikan Nasional

(Depdiknas) dengan dimasukkannya kurikulum TIK dalam kurikulum 2004 dan sekarang Kurikulum Tingkat Satuan  Pendidikan

(KTSP) mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Diharapkan dengan diimplementasikannya kurikulum TIK ini akan

meningkatkan kualitas proses pengajaran, kualitas penilaian kemajuan siswa, dan kualitas administrasi sekolah.

Adanya manajemen berbasis sekolah (MBS) memungkinkan setiap sekolah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan TIK yang

disesuaikan dengan tuntuntan zaman dan kemampuan/daya dukung sekolah yang bersangkutan. Munculnya

berbagai hardware dansoftware-software baru sekarang ini sangat  membantu guru dalam menyampaikan bahan ajarnya.

Page 29: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Permasalahannya adalah, apakah para guru yang merupakan garda terdepan di sekolah telah memanfaatkan TIK dengan optimal?

Bagaimanakah mengaplikasikan TIK dalam pembelajaran di sekolah? Bagaimanakah peran guru di sekolah dalam mengaplikasikan

TIK dalam proses pembelajarannya? Adakah potensi yang dapat dikembangkan dalam TIK ini? Apakah struktur dan kultur guru di

sekolah telah siap dengan TIK? Bagaimanakah upaya perguruan tinggi menyiapkan tenaga guru profesional di bidang TIK?

Makalah ini mencoba membahas aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah dan peran guru dalam memanfaatkan

TIK, serta implikasinya dalam pembelajaran. Sekaligus juga mengeksplorasi kurikulum pendidikan TIK di Indonesia.

B. PEMBAHASAN

1. Pengertian  Teknologi Informasi dan Komunikasi

Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun,

menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan,

akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan juga merupakan informasi yang strategis

untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk

menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan. Teknologi Komunikasi digunakan agar

data dapat disebar dan diakses secara global. Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi TIK adalah mendapatkan informasi untuk

kehidupan pribadi seperti informasi tentang kesehatan, hobi, rekreasi, dan rohani. Juga dapat berkomunikasi dengan biaya murah

seperti fasilitas email yang dapat kita pergunakan dengan mudah di internet.

Melalui TIK, sarana kerjasama antara pribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau kelompok yang lainnya sudah tidak lagi

mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran

antar sesama kita. Perkembangan TIK memicu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir,

kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik.

Alangkah wajar bila sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e seperti  e-commerce, e-

government, e-education, e-learning, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan lainnya yang berbasis TIK.

Dari semua e itu ada yang perlu endapatkan perhatian serius yaitu e-education, dimana kita mempunyai kewajiban untuk

mengembangkan TIK dalam proses pembelajaran yang tidak hanya mengajak peserta didik untuk mencari informasi, tetapi juga

menciptakan informasi. Mampu saling berkomunikasi dengan menggunakan berbagai aplikasi TIK yang membuat dirinya mampu

saling berbagi tentang apa yang disukainya dan apa yang dikuasainya. Membuat mereka mampu memanfaatkan TIK dengan baik.

2. Aplikasi dan Potensi TIK dalam Pembelajaran di Sekolah

Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty First

Century” merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses

pembelajaran, yaitu: Learning to know (belajar untuk menguasai. pengetahuan)

Learning to do (belajar untuk menguasai keterampilan ), Learning to be (belajar untuk mengembangkan diri), dan Learning to

live together (belajar untuk hidup bermasyarakat). Untuk dapat mewujudkan empat pilar pendidikan di era globalisasi informasi

sekarang ini, para guru sebagai agen pembelajaran perlu menguasai dan menerapkan TIK dalam pembelajaran di sekolah.

Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan  TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1)

dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke, di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) dari

fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan  dilakukan

dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan sebagainya. Interaksi antara guru

dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut.

Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh

informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber spaceatau ruang maya dengan menggunakan komputer atau

internet. Di sinilah peran guru untuk membuat kurikulumnya sendiri yang dapat membuat peserta didik beajar secara aktif.

Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses

pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin popuper saat ini ialah e-learning yaitu satu

model pembelajaran dengan menggunakan media TIK khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001), e-learningmerupakan satu

Page 30: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1)  e-

learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau

informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3)

memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional.  Sejalan

dengan perkembangan TIK itu sendiri pengertian e-learning menjadi lebih luas yaitu pembelajaran yang pelaksanaannya didukung

oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, video tape, transmisi satellite atau komputer (Soekartawi, Haryono dan Librero, 2002).

Saat ini e-learning telah berkembang dalam  berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: CBT (Computer Based

Training), CBI (Computer Based Instruc-tion), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment),

Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning System), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT

(Web-Based Training), dan sebagainya.

Selain e-learning, potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah dapat juga memanfaatkan e-laboratory dan e-library.  Adanya

laboratorium virtual (virtual lab) memungkinkan guru dan siswa dapat belajar menggunakan alat-alat laboratorium atau praktikum

tidak di laboratorium secara fisik, tetapi dengan menggunakan media komputer. Perpustakaan elektronik (e-library) sekarang ini

sudah menjangkau berbagai sumber buku yang tak terbatas untuk bisa diakses tanpa harus membeli buku/sumber belajar tersebut.

Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke

arah pendidikan yang lebih terbuka. Globalisasi juga membawa peran yang sangat penting dalam mengarahkan dunia pendidikan

kita dengan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran. Sebenarnya, ada empat level pemanfaatan TIK untuk pendidikan menurut

UNESCO, yaitu: Level 1: Emerging - baru menyadari pentingnya TIK untuk pendidikan; Level 2: Applying - baru mempelajari

TIK (learning tom use ICT); Level 3:Integrating - belajar melalui dan atau meng-gunakan TIK (using ICT to learn); Level

4:Transforming - dimana TIK telah menjadi katalis efektifitas dan efisiensi pembelajaran serta reformasi pendidikan secara umum.

Salah satu bentuk produk TIK yang sedang “ngetrend” saat ini adalah internet  yang berkembang pesat di penghujung abad 20 dan

di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai

aspek dan dimensi. Internet merupakan salah satu instrumen dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi

transparan dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengenal batas-batas kewilayahan atau kebangsaan. Melalui

internet setiap orang dapat mengakses ke dunia global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada gilirannya

akan memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilakunya. Dalam kurun waktu yang amat cepat beberapa dasawarsa terakhir

telah terjadi revolusi internet di berbagai negara serta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Keberadaan internet

pada masa kini sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan

global. Kondisi ini sudah tentu akan memberikan dampak terhadap corak dan pola-pola kehidupan umat manusia secara

keseluruhan. Dalam kaitan ini, setiap orang atau bangsa yang ingin lestari dalam menghadapi tantangan global, perlu meningkatkan

kualitas dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan yang berkembang. TIK telah mengubah wajah pembelajaran yang berbeda

dengan proses pembelajaran tradisional yang ditandai dengan interaksi tatap muka antara guru dengan siswa baik di kelas maupun

di luar kelas.

Di masa-masa mendatang, arus informasi akan makin meningkat melalui jaringan internet yang bersifat global di seluruh dunia dan

menuntut siapapun untuk beradaptasi dengan kecenderungan itu kalau tidak mau ketinggalan jaman. Dengan kondisi demikian,

maka  pendidikan khususnya proses pembelajaran cepat atau lambat  tidak dapat terlepas dari keberadaan komputer dan internet

sebagai alat bantu utama.

Salah satu tulisan yang berkenaan dengan dunia pendidikan disampaikan oleh Robin Paul Ajjelo dengan judul “Rebooting: The

Mind Starts at School”. Dalam tulisan tersebut dikemukakan bahwa ruang kelas di era millenium yang akan datang akan jauh

berbeda dengan ruang kelas seperti sekarang ini yaitu dalam bentuk seperti laboratorium komputer di mana tidak terdapat lagi

format anak duduk di bangku dan guru berada di depan kelas. Ruang kelas di masa yang akan datang disebut sebagai  “cyber

classroom” atau “ruang kelas maya” sebagai tempat anak-anak melakukan aktivitas pembelajaran secara individual maupun

kelompok dengan pola belajar yang disebut “interactive learning” atau pembelajaran interaktif melalui komputer dan internet. Anak-

anak berhadapan dengan komputer dan melakukan aktivitas pembelajaran secara interaktif melalui jaringan internet untuk

memperoleh materi belajar dari berbagai sumber belajar. Anak akan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan kondisi

kemampuan individualnya sehingga anak yang lambat atau cepat akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang sesuai dengan

dirinya. Kurikulum dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk yang lebih kenyal atau lunak dan fleksibel sesuai dengan kondisi

lingkungan dan kondisi anak sehingga memberikan peluang untuk terjadinya proses pembelajaran maju berkelanjutan baik dalam

Page 31: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

dimensi waktu maupun ruang dan materi. Dalam situasi seperti ini, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran sesuai dengan

peran-peran sebagaimana dikemukakan di atas.

Robin Paul Ajjelo juga mengemukakan secara ilustratif bahwa di masa-masa mendatang isi tas anak sekolah bukan lagi buku-buku

dan alat tulis seperti sekarang ini,  akan tetapi berupa: (1) komputer notebook dengan akses internet tanpa kabel, yang bermuatan

materi-materi belajar yang berupa bahan bacaan, materi untuk dilihat atau didengar, dan dilengkapi dengan kamera digital serta

perekam suara, (2) Jam tangan yang dilengkapi dengan data pribadi, uang elektronik, kode sekuriti untuk masuk rumah, kalkulator,

dsb. (3) Videophone bentuk saku dengan perangkat lunak, akses internet, permainan, musik, dan TV, (4) alat-alat musik, (5) alat

olah raga, dan (6) bingkisan untuk makan siang.  Hal itu menunjukkan bahwa segala kelengkapan anak sekolah di masa itu nanti

berupa perlengkapan yang bernuansa internet sebagai alat bantu belajar.

Namun sayangnya, di negeri kita yang kaya ini, dan terdiri dari berbagai pulau, hal di atas masih seperti mimpi karena struktur dan

kultur serta SDM guru yang profesional belum merata dengan baik. Di berbagai kota besar seperti Jakarta misalnya, beberapa

sekolah maju dan internasional telah mengaplikasikannya, tetapi buat sekolah-sekolah di daerah, mungkin masih jauh panggang

dari api dalam mengaplikasikan TIK.

Meskipun TIK dalam bentuk komputer dan internet telah terbukti banyak menunjang proses pembelajaran anak secara lebih efektif

dan produktif, namun di sisi lain masih banyak kelemahan dan kekurangan. Dari sisi kegairahan kadang-kadang anak-anak lebih

bergairah dengan internetnya itu sendiri dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Terkadang anak-anak lebih senang bermain

games ketimbang materi yang diberikan oleh guru. Karena games sangat menarik peserta didik untuk rehat sejenak dari segala

pembelajaran yang diterimanya di sekolah. Dapat juga terjadi proses pembelajaran yang terlalu bersifat individual sehingga

mengurangi pembelajaran yang bersifat sosial. Dari aspek informasi yang diperoleh, tidak terjamin adanya ketepatan informasi dari

internet sehingga sangat berbahaya kalau anak kurang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh. Bagi anak-anak

sekolah dasar penggunaan internet yang kurang proporsional dapat mengabaikan peningkatan kemampuan yang bersifat manual

seperti menulis tangan, menggambar, berhitung, dan sebagainya. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan dalam

mengelola kegiatan pembelajaran secara proporsional dan demikian pula perlunya kerjasama yang baik dengan orang tua untuk

membimbing anak-anak belajar di rumah masing-masing.

a. Pergeseran pandangan tentang pembelajaran

Untuk dapat memanfaatkan TIK dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus diwujudkan yaitu (1) siswa dan

guru harus memiliki akses kepada teknologi digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru, (2) harus

tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi siswa dan guru, dan (3) guru harus memiliki pengetahuan

dan ketrampilan dalam menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar mencapai standar

akademik. Sejalan dengan pesatnya perkembangan TIK, maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran baik di

kelas maupun di luar kelas. Dalam pandangan tradisional proses pembelajaran dipandang sebagai: (1) sesuatu yang sulit dan

berat, (2) upaya mengisi kekurangan siswa, (3) satu proses transfer dan penerimaan informasi, (4) proses individual atau soliter, (5)

kegiatan yang dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan terisolasi, (6) suatu proses linear.

Sejalan dengan perkembangan TIK telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran yaitu pembelajaran sebagai: (1)

proses alami, (2) proses sosial, (3) proses aktif dan pasif, (4) proses linear dan atau tidak linear, (5) proses yang berlangsung

integratif dan kontekstual, (6) aktivitas yang berbasis pada model kekuatan, kecakapan, minat, dan kultur siswa, (7) aktivitas yang

dinilai berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik individual maupun kelompok.

Hal itu telah mengubah peran guru dan siswa dalam pembelajaran. Peran guru telah berubahdari: (1) sebagai penyampai

pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi sebagai fasilitator pembelajaran, pelatih,

kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar; (2) dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek

pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses

pembelajaran. Sementara itu peran siswa dalam pembelajaran telah mengalami perubahan yaitu: (1) dari penerima informasi yang

pasif menjadipartisipan aktif dalam proses pembelajaran, (2) dari mengungkapkan kembali pengetahuanmenjadi menghasilkan

dan berbagai pengetahuan, (3) dari pembelajaran sebagai aktiivitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif

dengan siswa lain.

Lingkungan pembelajaran yang di masa lalu berpusat pada guru, kini telah bergeser menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci

dapat digambarkan sebagai berikut:

Page 32: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Lingkungan Berpusat pada GURU Berpusat pada SISWAAktivitas kelas Guru sebagai sentral dan bersifat didaktis Siswa sebagai sentral dan bersifat

interaktifPeran guru Menyampaikan fakta-fakta, guru sebagai

ahliKolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai ahli

Penekanan pengajaran Mengingat fakta-fakta Hubungan antara informasi dan temuanKonsep pengetahuan Akumulasi fakta secara kuantitas Transformasi fakta-faktaPenampilan keberhasilan Penilaian acuan norma Kuantitas pemahaman, pe-nilaian acuan

patokanPenilaian Soal-soal pilihan berganda Portofolio, pemecahan masalah, dan

penampilanPenggunaan teknologi Latihan dan praktek Komunikasi, akses, kolaborasi, ekspresi

b. Kreativitas dan kemandirian belajar

Dengan memperhatikan pengalaman beberapa negara sebagaimana dikemukakan di atas, jelas sekali TIK mempunyai pengaruh

yang cukup berarti terhadap proses dan hasil pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. TIK telah memungkinkan terjadinya

individuasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran yang pada gilirannya akan meningkatkan

kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan SDM secara keseluruhan. Melalui penggunaan TIK setiap siswa akan

terangsang untuk belajar maju berkelanjutan sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Pembelajaran dengan

menggunakan TIK menuntut kreativitas dan kemandirian diri sehingga memungkinkan mengembangkan  semua potensi yang

dimilikinya..

Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan untuk mampu

beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain:  pertama,

kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat

menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga,kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup,

dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan

kemampuan berfikir yang memiliki kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya kreativitas

ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik dengan tugas majemuk, berani menghadapi resiko, tidak mudah putus

asa, menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain,

dan sebagainya. Karya-karya kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan, dan dapat

dikondensasikan. Selanjutnya kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab kemandirian

merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian

didukung dengan kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif

dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal.

Dengan memperhatikan ciri-ciri kreativitas dan kemandirian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa TIK memberikan peluang untuk

berkembangnya kreativitas dan kemandirian siswa. Pembelajaran dengan dukungan TIK memungkinkan dapat menghasilkan

karya-karya baru yang orsinil, memiliki nilai yang tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan yang lebih

bermakna. Melalui TIK siswa akan memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga

meningkatkan wawasannya. Hal ini merupakan rangsangan yang kondusif bagi berkembangnya kemandirian anak terutama dalam

hal pengembangan kompetensi, kreativitas, kendali diri, konsistensi, dan komitmennya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap

pihak lain.

2. Peran guru dalam mengaplikasikan TIK di sekolah

Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya.

Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan

TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi

adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi

manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya

salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk

(1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai:

pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih

(coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya

sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu

Page 33: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar

permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan

dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa

melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru.

Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal.

Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan

kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru

tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna

bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa.

Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan

perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya

sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar mengajar. Sebagai  pembelajar, guru harus secara

terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.

Sebagai pengarang,guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan

tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang

baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus

didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya. Oleh karenanya, guru dituntut

untuk membuat buku.

Sayangnya saat ini, masih banyak guru kita yang belum melek TIK atau ICT (Information and Communcation

Technology). Mengacu pada hal tersebut di atas, sudah saatnya “GERAKAN MELEK ICT (ICT LITERACY MOVEMENT)” menjadi

gerakan nasional yang sama “urgent”nya atau lebih “urgent” dibandingkan dengan GERAKAN KELUARGA BERENCANA di jaman

Orde Baru dahulu, jaman Presiden Soeharto. Mudah-mudahan, dengan dibentuknya gerakkan melek ICT di sekolah, para guru

dapat memaksimalkan potensi TIK dalam proses pembelajarannya. Pemerintah maupun swasta perlu bekerja sama dalam

membantu guru melakukan pelatihan-pelatihan di bidang ICT, seperti penguasaan power point, ngeblog di internet, bikin software

untuk bahan ajarnya, seperti menguasai program Macromedia Flash, Camtasia, dan lain sebagainya.

Aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah yang dikembangkan oleh guru dapat memberikan beberapa manfaat

antara lain.

a. Pembelajaran menjadi lebih interaktif, simulatif, dan menarik

b. Dapat menjelaskan sesuatu yang sulit / kompleks

c. Mempercepat proses yang lama

d. Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi

e. Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau di luar jangkauan

Kurikulum TIK yang sekarang ini telah dibuat oleh pusat kurikulum yang bekerjsama dengan Badan standar Nasional (BSNP)

adalah kurikulum standar yang terdiri dari SK (Standar Kompetensi), dan KD (Kompetensi Dasar) yang masih harus dikembangkan

oleh guru itu sendiri dalam mengaplikasikannya sesuai dengan kondisi sekolah. Guru TIK dituntut untuk membuat kurikulumnya

sendiri sesuai dengan SK dan KD dengan berbagai ragam pengayaan yang dimiliki oleh guru di daerahnya masing-masing.

Sayangnya, banyak guru yang belum siap membuat kurikulumnya sendiri dan masih banyak guru yang copy and paste dalam

membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Padahal dlam KTSP guru diberikan kebebasan untuk berkreativitas dalam

memberikan materi pengayaan kepada para peserta didiknya.

B. PENUTUP

Aplikasi dan potensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa pergeseran pandangan tentang pembelajaran dan

peran guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Penerapan TIK dalam pembelajaran memungkinkan kegiatan belajar mengajar

Page 34: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

lebih interaktif, simulatif dan lebih menarik. Oleh karena itu guru di era globalisasi informasi ini dituntut untuk mampu menguasai

dan mengalipkasikan TIK dalam pembelajaran.  Mengajak peserta didik untuk mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-

hari. Mampu meciptakan informasi dengan membangun connecting and sharing.

Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang beriorientasi pada

penerapan TIK akan mempercepat peningkatan kualitas pendidikan yang pada akhirnya dapat mengejar ketertinggalan dari negara-

negara lain di dunia.

Bagaimanapun banyaknya dampak positif dalam penerapan TIK dalam pembelajaran di sekolah, kita mempunyai tanggungjawab

bersama dalam meminimalisasi dampak negatif yang muncul baik secara individual, maupun sosial. Jangan iarkan anak-anak kita

terlalu asyik dengan facebooknya dan games-games online lainnya. Anak harus diajarkan untuk mampu membaca dan menulis.

Menciptakan informasi di dunia maya, walupun kita tahu dunia maya tak secantik Luna Maya yang terkena kasus dengan tulisannya

di situs sosial Twitter.

Mulai saat ini marilah kita tidak GATEK, dan tidak ALERGI dengan TIK. Siapa yang menguasai TIK, pasti dia akan menguasai

dunia. Kita pun merasakan bahwa masih banyak yang harus disempurnakan untuk memperbaharui kurikulum TIK yang ada di

sekolah-sekolah kita. Perlu kerjasama (kolaborasi) antara guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi untuk memperbaiki kualitas

kurikulum TIK di Indonesia. Jangan sampai terjadi tumpang tindih materi dalam mengaplikasikan TIK. Semoga struktur dan kultur

berjalan seimbang di sekolah-sekolah kita, sehingga aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah berjalan dengan baik

dan sesuai dengan kurikulum yang diharapkan oleh pemerintah.

C. DAFTAR PUSTAKA

Chaeruman, Uwes Anis., “Urgensi Gerakan Melek ICT di Sekolah“,  http://www.wijayalabs.wordpress.com

Kusumah, Wijaya, dkk, “Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk SMP kelas 7, 8, dan 9″,Jakarta. Rajagrafindo, 2009

Kusumah, Wijaya, dan Dedi, “Penelitian Tindakan Kelas”, Jakarta, Indeks, 2009

Kusumah, Wijaya, “Yuk Kita Nge-Blog!”, Jakarta. Rajagrafindo, 2010

Natakusumah, E.K., “Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia.“, Pusat Penelitian informatika - LIPI Bandung, 2002-

Natakusumah, E.K., “Perkembangan Reknologi Informasi untuk Pembelajaran Jarak Jauh.“, Orasi Ilmiah disampaikan pada Wisuda

STMIK BANDUNG, Januari 2002

Purbo, Onno W.,  “Teknologi E-learning”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002.

Rahardjo, Budi., , “Implikasi Teknologi Informasi Dan Internet Terhadap Pendidikan, Bisnis, Dan Pemerintahan” , Pusat Penelitian

Antar Univeristas bidang Mikroelektronika (PPAUME) Institut Teknologi Bandung tahun 2000.

Soekartawi, A. Haryono dan F. Librero (2002), Greater Learning Opportunities Through Distance Education: Experiences in

Indonesia and the Philippines. Southeast Journal of Education (December 2002)

Surya, Mohamad., Makalah dalam Seminar “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan Jarak Jauh dalam

Rangka Peningkatan Mutu Pembelajaran”, diselenggarakan oleh Pustekkom Depdiknas, tanggal 12 Desember 2006 di Jakarta.

Sutisna, Entis.,”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi dalam Pembelajaran, Guru SMAN 4 Tangerang, tahun 2006

Catatan:

Makalah ini akan dipresentasikan oleh Omjay pada 23 Januari 2010, mohon masukan dari teman-teman!

Page 35: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Salam Blogger Persahabatan

Omjay

http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/10/aplikasi-dan-potensi-tik-dalam-pembelajaran/

PERAN MBS

7.09.2009

Oleh : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si

A. Abstrak

Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah

kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan

pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara

relatif otonom, dengan tidak mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan.

Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada

pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional

pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.

B. Pendahuluan

Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan,

baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini

penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan

orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih

sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.

Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dinamis.

Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin

pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi

secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual,

konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.

Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan

selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh

eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan

perhatian publik terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan pendidikan

sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.

Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam perencanaan pembangunan

mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan

bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi otonomi daerah.

Secara esensial landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan

kualitas masyarakat yang dicita-citakan (Gafar, 2000). Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam

Page 36: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

kehidupan manusia. Ia merupakan bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan berlangsungnya

eksistensi mereka (Fakih dalam Wahono, 2000: iii). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan

kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui pendidikan diharapkan pemberdayaan, kematangan, dan

kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan

yang bersifat fungsional bagi setiap manusia dan memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Tantangan lainnya yang mempengaruhi pendidikan adalah perubahan yang terjadi akibat semakin mengglobalnya tatanan

pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas tidak

bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya, khususnya negara

tetangga di kawasan ASEAN. Padahal saat ini kualitas sumber daya manusia negara kita berdasarkan parameter yang

ditetapkan oleh UNDP pada tahun 2000 berada pada peringkat ke-109. Padahal Singapura, Malaysia, Thailand dan Fhilipina

lebih baik peringkatnya dari kita. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita semua sepakat bahwa

pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang

terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).

Walaupun tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu sumber daya manusia

Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat meningkat, tetapi tetap jalan ditempat, bahkan

teridentifikasi semakin menurun. Berdasarkan laporan World Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia pada tahun

2006 berada diurutan ke-50, Malaysia ke-26, Singapura ke-5, India ke-43 dan Korea Selatan ke-24. Oleh karena itu, upaya

untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan

efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak.

Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah.

Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utamanya dalam pengembangan sumber daya manusia melalui

pendidikan berada pada pendidikan persekolahan. Karena itu, upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki

sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional dan global yang berada di hadapan

kita.

Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan

adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan

pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau

School Based Management.

Mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Saat ini memang ada

masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMK atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Para

siswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat.

Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan

anggaran kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada sistem

peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, dan yang lebih

parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya.

Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu

merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang

memukul sistem pendidikan bangsa ini. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita

sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri. Kesulitan utama yang dihadapi para profesional

pendidikan sekarang ini adalah ketidakmampuannya menghadapi sistem yang gagal sehingga menjadi tabir bagi para

profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang akan memperbaiki mutu

pendidikan.

Pendidikan harus mengubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus dipertanyakan. Sekolah

mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para profesional pendidikan harus membantu para

siswa mengembangkan keterampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya,

kebanyakan sekolah masih memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang

Page 37: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

lebih besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan meningkat bila

administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja

tim, kooperasi, ekuntabilitas dan pengakuan.

Para profesional pendidikan sekarang ini kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang diperlukan untuk

menyiapkan para siswanya memasuki pasar kerja global. Tradisi rupanya menghalangi proses pendidikan untuk melakukan

perubahan yang diperlukan agar programnya sesuai dengan kebutuhan siswa. Masyarakat menuntut mutu pendidikan

diperbaiki, namun masyarakat enggan mendukung dunia pendidikan untuk mengupayakan perbaikan. Banyak profesional

pendidikan yang takut pada perubahan dan tidak tahu cara menjawab tantangan zaman.

Para profesional pendidikan mestinya sadar, program mutu di dunia komersial tidak bisa dijalankan dalam bidang

pendidikan. Karena proses kerja, budaya dan lingkungan organisasi di kedua bidang itu berbeda. Para profesional

pendidikan harus diberi program mutu yang khusus dirancang untuk dunia pendidikan. Salah satu komponen penting

program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional

pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.

Masyarakat dan dunia pendidikan mesti mengeliminasi fokus jangka pendeknya. Salah satu ciri dunia modern adalah

terjadinya perubahan yang konstan. Perubahan merupakan hal penting. Manajemen mutu dapat membantu sekolah

menyesuaikan diri dengan perubahan melalui cara yang positif dan konstruktif. Penyelesaian yang cepat tidak akan

memecahkan persoalan pendidikan masa kini. Penyelesaian masalah secara cepat sudah pernah dilakukan, dan terbukti

gagal. Oleh sebab itu diperlukan dedikasi, fokus dan keajegan tujuan dalam memperbaiki mutu pendidikan. Untuk

mencapai lingkungan pendidikan yang bermutu, semua stakeholder pendidikan mesti memiliki komitmen pada proses

transformasi.

C. Pembahasan

1. Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengembangkan fungsi reproduksi, penyadaran dan

mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti

bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Tiga

pilar fungsi sekolah yakni fungsi pendidikan sebagai penyadaran; fungsi progresif pendidikan dan; fungsi mediasi

pendidikan ( Danim, 2007:1).

Hal tersebut nampak bahwa sekolah hanyalah salah satu dari subsistem pendidikan karena lembaga pendidikan itu

sesungguhnya identik dengan jaringan-jaringan kemasyarakatan. Fungsi penyadaran atau fungsi konservatif bermakna

bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri

sebagai manusia. Pendidikan sebagai instrumen penyadaran bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran

untuk tetap berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral di mana hal ini menjadi tugas semua orang.

Pendidikn formal, informal dan pendidikan kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral dengan partisipasi

total sebagai replica idealnya. Partisipasi anak didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran bukan sebagai alat

pendidikan, melainkan sebagai intinya. Sebagai bagian dari jaring-jaring kemasyarakatan, masyarakat pendidikan perlu

mengemban tugas pembebasan, berupa penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Orang tua, guru, dan

dosen harus mampu membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan

norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu membangun kesadaran bagi lahirnya proses

dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka.

Tidak menguntungkan jika anak dan anak didik diberi pilihan tunggal ketika mereka menghadapi fenomena relatif dan

normatif, termasuk fenomena moralitas.

Fungsi konservatif atau fungsi penyadaran sekolah sebagai lembaga pendidikan masih menjelma dalam sosok

konservatisme pendidikan persekolahan, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi budaya, ditandai denga makin

terperosoknya kearifan generasi dalam mewarisi nilai-nilai mulai peradaban masa lampau. Bukti konservatisme pendidikan

formal benar-benar nyata di dalam alur perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hatwell (1995), diperlukan waktu

Page 38: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

sekitar 100 tahun bagi teori dan ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur persekolahan. Bersamaan

dengan itu, perubahan wajah dunia terus berakselerasi. Misalnya, pada abad ke-20 telah diproduksi konsep dan teori yang

radikal tentang alam, realitas dan epistemologi.

Munculnya teori relativitas, mekanika kuantum, dan penemuan ilmiah lainnya adalah contoh nyata revolusi di bidang

keilmuan. Memang, evolusi perilaku sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan evolusi spesies-genetik nonrekayasa.

Meski kita harus pula menerima realitas bahwa pendidikan formal belum menampakkan pergeseran fungsi progresifnya

yang signifikan. Fungsi reproduksi atau fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaru atau pengubah

kondisi masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana pengembangan,

reproduksi, dan desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Para peneliti, penulis buku, pengamat, pendidik, guru, tutor,

widyaiswara, pemakalah seminar, dan sejenisnya adalah orang yang banyak bergulat dengan pengkajian, penelitian,

penelaahan, dan desiminasi ilmu. Saat ini fungsi progresif sekolah sebagai lembaga pendidikan terus menampakkan

sosoknya, meski belum menunjukkan capaian yang signifikan, setidaknya pada banyak daerah dan jenis sekolah. Di daerah

pedalaman misalnya, masih banyak sekolah yang sulit mempertahankan kondisinya pada taraf sekarang, apalagi

mendongkrak mutu kinerjanya. Meski harus diakui pula, pada banyak tempat telah lahir sekolah-sekolah unggulan atau

sekolah-sekolah yang diunggulkan oleh masyarakat karena mampu mengukir prestasi, misalnya peningkatan hasil belajar

siswa.

Fungsi itu akan lebih lengkap jika pendidikan juga melakukan fungsi mediasi, yaitu menjembatani fungsi konservatif dan

fungsi progresif. Hal-hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana

seosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses pemanusiaan dan kemanusiaan umum, serta pembinaan

idealisme sebagai manusia terpelajar.

Di Negara kita, pelembagaan MBS dipandang urgen atau mendesak. Hal itu sejalan dengan tuntutan masyarakat agar

lembaga pendidikan persekolahan dapat dikelola secara lebih demokratis dibandingkan dengan pola kerja ‘’dipandu dari

atas’’ sebagaimana dianut oleh negara yang menerapkan pemerintahan sentralistik. Persoalan utama di sini bukan terletak

pada apakah format manajemen sekolah yang dipandu secara sentralistik itu lebih buruk ketimbang pendekatan MBS yang

memuat pesan demokratisasi pendidikan, demikian juga sebaliknya. Persoalan yang paling esensial adalah apakah dengan

perubahan pendekatan manajemen sekolah itu akan bermaslahat lebih besar dibandingkan dengan format kerja secara

sentralistik ini, terutama dilihat dari kepentingan pendidikan anak.

Maslahat aplikasi MBS bagi peningkatan kinerja sekolah dan perbaikan mutu hasil belajar peserta didik pada sekolah-

sekolah yang menerapkannya masih harus diuji di lapangan. Prakarsa menuju perbaikan mutu melalui perubahan dari

sentralisasi ke desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak mungkin diperoleh secara segera. Hal ini sejalan dengan konsep

Kaizen, bahwa kemajuan dicapai bukanlah sebuah lompatan besar ke depan. Menurut Kaizen kemajuan dicapai karena

perubahan-perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang

berhubungan dengan usaha menghasilkan produk atau pelayanan.

Menurut Tony Barner (1998) asumsi yang mendasari perubahan dalam Kaizen adalah bahwa kesempurnaan itu sebenarnya

tidak ada. Hal ini bermakna bahwa tidak ada kemajuan, produk, hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi

ideal. Kondisi ideal itu hanyalah sebuah abstraksi yang dituju. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang dan waktu untuk

mengadakan perbaikan dan peningkatan dengan jalan melakukan modifikasi, inovasi, atau bahkan imitasi kreatif. Terlepas

dari itu semua, pelembagaan MBS hampir dipastikan bahwa aplikasi MBS akan mendorong tumbuhnya lembaga pendidikan

persekolahan berbasis pada masyarakat (community-based education) ataua manajemen pendidikan berbasis masyarakat

(MPBM), khususnya di bidang pendanaan, fungsi kontrol, dan pengguna lulusan.

Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat persekolahan merupakan salah

satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000

tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan

pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis seakolah/masyarakat

(school/community-based education) dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini disebut Dewan Sekolah) di

tingkat kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah.

Page 39: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

Penggunaan MBS secara ekonomi mendorong masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi salah satu fondasi

utama secara finansial bagi operasi sekolah, mengingat pendidikan persekolahan itu tidak gratis (education is not free).

Pemikiran ini tidak mereduksi peran pemerintah yang dari tahaun ke tahun diharapkan dapat mengalokasikan anggaran

untuk pendidikan pada kadar yang makin meningkat. Secara akademik, masyarakat akan melakukan fungsi kontrol

sekaligus pengguna lulusan. Di sini akuntabilitas sekolah akan teruji. Juga secara proses, berhak mengkritisi kinerja sekolah

agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok dan fungsi utamanya. Dengan MBS adalah keharusan bagi

masyarakat untuk menjadi fondasi sekaligus tiang penyangga utama pendidikan persekolahan yang berada pada radius

tertentu tempaat masyarakat itu bermukim. Serta MBS merupakan salah satu bentuk reformasi manajemen pendidikan

(reformation in education management) di tanah air.

Lebih lanjut Levacic (1995) dalam Bafadal (2003:91) proses menajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah

(MPMPBS) meliputi:

a. Penetapan dan atau telaah tujuan sekolah;

b. Review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya;

c. Pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan;

d. Justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah;

e. Perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan;

f. Implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan;

g. Pelaporan hasil.

Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan political will pemerintah dan

kepemimpinan di persekolahan. Ironisnya selama ini, political will tersebut tidak utuh sebagai pendukung utama, demikian

juga kepemimpinan di persekolahan yang cenderung memakai pendekatan birokratis hirarkis dan bukannya demokratis.

Walaupun political will adakalanya terlihat tidak begitu utuh dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan

berbasis sekolah, seharusya diimbangi dengan format kepemimpinan kepala sekolah yang handal dalam memimpin

persekolahan. Menurut Nurkolis (2003:141) kepemimpinan adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa

terminology Site-Based Leadership digunakan sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka

diperlukan perspektif dalam keterampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun tingkat sekolah.

Berbagai fenomena yang terlihat dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah, menunjukkan

bahwa masih diperlukan kemauan yang kuat dari pihak pemerintah dan lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan

sistem penyelenggaraan manajemen persekolahan. Tidak mungkin melakukan perubahan secara utuh dan komprehensif,

jika semua pihak yang terlibat tidak menunjukkan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan itu. Oleh karenanya,

pengenalan secara mendalam dan mendasar tujuan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan

sebuah keharusan oleh siapa saja yang bertanggung jawab dan merasa berkepentingan terhadap pertumbuhan dan

perkembangan persekolahan.

Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur

pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri

dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42).

Perluasan keikutsertaan masyarakat dalam sistem manajemen persekolahan merupakan upaya untuk meningkatkan

efektivitas pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah dalam hal ini bukan lagi hanya milik sekolah tetapi hakikat sekolah

sebagai sub-sistem dalam sistem masyarakat direkonstruksi sehingga fungsi pendidikan dikembalikan secara utuh dalam

melestarikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.

2. Peran Manajemen Mutu Terpadu

Dr. W. Edward Deming (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai “Bapak Mutu’’. Beberapa prinsip pokok yang dapat diterapkan

dalam bidang pendidikan antara lain:

a. Anggota dewan sekolah dan administrator harus menerapkan tujuan mutu pendidikan yang akan dicapai.

b. Menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan setelah peristiwanya

Page 40: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

terjadi.

c. Asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki autcomes siswa dan

administratif.

Dr. Joseph M . Juran (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai salah seorang “Bapak Mutu” . Dr. Juran berlatar pendidikan teknik dan

hukum. Seperti halnya Deming, Juran adalah ahli statistik terpandang. Juran menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’

dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi

kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih

tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi.

Pandangan Juran tentang mutu merefleksikan pendekatan rasional yang berdasarkan fakta terhadap organisasi bisnis dan

amat menekankan pentingnya proses perencanaan dan kontrol mutu. Titik fokus filosofi manajemen mutunya adalah

keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual. Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu

memiliki bidang yang diperlukannya untuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para

pekerja akan membuat produk dan jasa yang secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer.

Seperti halnya Deming, Juran pun memainkan peran penting dalam membangun kembali Jepang setelah perang Dunia II.

Dia diakui jasanya oleh bangsa Jepang dan memfasilitasi persahabatan Amerika Serikat dan Jepang. Upaya Juran

menemukan prinsip-prinsip dasar proses manajemen membawanya untuk memfokuskan diri pada mutu sebagai tujuan

utama. Beberapa pandangan Juran (Arcaro, 2006:9) tentang mutu sebagai berikut:

a. Meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir;

b. Perbaikan mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan.

c. Mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator.

d. Pelatihan, misal merupakan prasyarat mutu.

e. Setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.

Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi Kontrol Mutu Eropa

pada tahun 1966. dia mengatakan bahwa: Bangsa Jepang menonjol di dunia dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi

pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan

yang sama dengan Bangsa Jepang.

Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang dapat membantu para profesional

pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Manajemen Mutu Terpadu dapat dipergunakan untuk mengurangi

rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di lingkungan sekolah. Manajemen Mutu Terpadu dapat digunakan sebagai

perangkat untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan bahwa

para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan program-

program pendidikan. Manajemen Mutu Terpadu dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. Manajemen

Mutu Terpadu membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan

tuntutan masyarakat. Manajemen Mutu Terpadu dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan

dana dan waktu. Manajemen Mutu Terpadu memudahkan sekolah mengelola perubahan.

Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan

sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu

untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan

kebutuhan kostumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai

tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan

berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih baik.

Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output

lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman

mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvai menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki

Page 41: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

kostumer. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap

keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan tak kunjung diperbaiki.

Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus

disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengembangkan paradigma

baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya penciptaan mutu dalam sistem pendidikan

seperti dijelaskan oleh Jerome S. Ascaro (2006:12), yakni: (1) banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan

bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam

pendidikan maka lebih tinggi juga mutu pendidikan dan; (2) banyak profesional pendidikan yang tetap memandang

pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan dari tarikan profesional

nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa

mereka memiliki komitmen terhadap transformasi mutu.

Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional

pendidikan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan

pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris

belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau

prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan

sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat

memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.

Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, ‘’kalau belum

rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses

yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak

melakukannya orang lain pasti melakukannya’’. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.

Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu menurut Arcaro (2006:38-39) antara lain: Fokus pada kostumer, keterlibatan total,

pengukuran, komitmen dan perbaikan berkelanjutan. Sekolah memiliki kostumer internal dan eksternal. Kostumer internal

adalah orang tua, siswa, guru, administrator, staf dan dewan sekolah yang berada di dalam sistem pendidikan. Sedangkan

kostumer eksternal adalah masyarakat, perusahaan, keluarga, militer dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi,

namun memanfaatkan output proses pendidikan.

Keterlibatan total, setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan

sekolah atau pengawas. Mutu menuntut setiap orang memberi kontribusi bagi upaya mutu. Pengukuran. Ini merupakan

bidang yang seringkali gagal di banyak sekolah. Banyak hal yang baik terjadi dalam pendidikan sekarang ini, namun para

professional pendidikan yang terlibat dalam prosesnya menjadi begitu terfokus pada pemecahan masalah yang tidak bisa

mereka ukur efektivitas upaya yang dilakukannya. Dengan kata lain, anda tidak dapat memperbaiki apa yang tidak dapat

anda ukur. Sekolah tidak dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan masyarakat, sekalipun ada sarana untuk

mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar tersebut. Para siswa menggunakan nilai ujian untuk mengukur

kemajuan di kelas. Komunitas menggunakan anggaran sekolah untuk mengukur efisiensi proses sekolah.

Komitmen pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki

komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu

mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya.

Orang biasanya tidak mau berubah, tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan memberi pendidikan,

perangkat, sistem dan proses untuk meningkatkan mutu.

Perbaikan berkelanjutan secara konstan mencari cara untuk memperbaiki setiap proses pendidikan, misalnya mengisi

kegiatan dengan hal-hal sebagaimana adanya dan sekalipun ada masalah tidak menganggapnya sebagai masalah.

D. Penutup

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:

1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki

Page 42: Peran Manajemen Berbasis Sekolah

otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang

bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan

persekolahan.

2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan

kepemimpinan di persekolahan.

3. Proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah meliputi kegiatan: (1) penetapan dan telaah tujuan

sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah, (3) pengembangan prioritas kerja dan jdwal waktu

pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, (5) perbaikan rencana dengan

melengkapi berbagai aspek perencanaan, (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan, (7)

pelaporan hasil.

DAFTAR PUSTAKA

Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta.

Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi

Aksara.

Barner, Tony. 1998. Kaizen Strategies for Successful Leadership (Kepemimpinan Sukses). Jakarta: Interaksara.

Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi Ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.

Jerome S. Arcaro. 2006. Quality in Education: An Impelentation Handbook.

Penterjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.

Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar Pendidikan. No 1 Tahun X April 1991. Bandung: IKIP.

Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta:Insist Press. Cindelaras. Pustaka

Pelajar.

Diposkan oleh Endang Komara's Blog di 16:42

http://www.sdn3-leuwimunding.co.cc/2009/07/peran-mbs.html