peran manajemen berbasis sekolah
TRANSCRIPT
PERAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH ( MBS) DALAM MENINGKATKAN MANAJEMEN MUTU TERPADUOleh : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si
A. Abstrak
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang
menjadi sebuah kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam
mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen
Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara relatif otonom, dengan tidak
mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan.
Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak
diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan
sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan
perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.
B. Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam
segala sendi kehidupan, baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan
mendasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran
terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini penggunaan pradigma sentralistik
selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan orientasi
paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah,
yang lebih sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.
Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan
yang lebih dinamis. Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat
(kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas
terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi secara maksimal dan optimal.
Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual, konstektual
dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.
Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan.
Sektor pendidikan selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas
sosial, budaya, ekonomi dan politik. Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai
variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh eksekutif maupun legislatif ketika mereka
menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan perhatian publik
terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan
pendidikan sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan
masyarakatnya.
Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam
perencanaan pembangunan mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari
kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan
dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi
otonomi daerah. Secara esensial landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan
kemandirian daerah menuju kematangan dan kualitas masyarakat yang dicita-citakan (Gafar, 2000).
Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam kehidupan manusia. Ia merupakan
bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan berlangsungnya eksistensi
mereka (Fakih dalam Wahono, 2000: iii). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui pendidikan diharapkan
pemberdayaan, kematangan, dan kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud.
Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang bersifat fungsional bagi setiap manusia dan
memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tantangan lainnya yang mempengaruhi pendidikan adalah perubahan yang terjadi akibat semakin
mengglobalnya tatanan pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap
sumber daya manusia yang berkualitas tidak bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang
dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya, khususnya negara tetangga di kawasan ASEAN.
Padahal saat ini kualitas sumber daya manusia negara kita berdasarkan parameter yang ditetapkan
oleh UNDP pada tahun 2000 berada pada peringkat ke-109. Padahal Singapura, Malaysia, Thailand
dan Fhilipina lebih baik peringkatnya dari kita. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya
manusia, kita semua sepakat bahwa pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan
kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan
kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).
Walaupun tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu
sumber daya manusia Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat meningkat,
tetapi tetap jalan ditempat, bahkan teridentifikasi semakin menurun. Berdasarkan laporan World
Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia pada tahun 2006 berada diurutan ke-50, Malaysia ke-
26, Singapura ke-5, India ke-43 dan Korea Selatan ke-24. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan
mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif
dan efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak.
Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan
pendidikan luar sekolah. Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utamanya dalam
pengembangan sumber daya manusia melalui pendidikan berada pada pendidikan persekolahan.
Karena itu, upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki sistem pendidikan
persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional dan global yang berada di hadapan
kita.
Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas
pendidikan persekolahan adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi
masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal
dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau School Based Management.
Mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Saat
ini memang ada masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMK atau perguruan tinggi tidak siap
memenuhi kebutuhan masyarakat. Para siswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung
jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat. Para siswa itu adalah produk sistem
pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan anggaran
kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada
sistem peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi
mendatang, dan yang lebih parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing
dari masyarakatnya.
Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan.
Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat
beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang memukul sistem pendidikan bangsa ini. Pengetahuan
yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita sebenarnya sudah ada dalam komunitas
pendidikan kita sendiri. Kesulitan utama yang dihadapi para profesional pendidikan sekarang ini
adalah ketidakmampuannya menghadapi sistem yang gagal sehingga menjadi tabir bagi para
profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang
akan memperbaiki mutu pendidikan.
Pendidikan harus mengubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus
dipertanyakan. Sekolah mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para
profesional pendidikan harus membantu para siswa mengembangkan keterampilan yang akan
mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya, kebanyakan sekolah masih
memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang lebih
besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan
meningkat bila administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru
yang terfokus pada kepemimpinan, kerja tim, kooperasi, ekuntabilitas dan pengakuan.
Para profesional pendidikan sekarang ini kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang
diperlukan untuk menyiapkan para siswanya memasuki pasar kerja global. Tradisi rupanya
menghalangi proses pendidikan untuk melakukan perubahan yang diperlukan agar programnya
sesuai dengan kebutuhan siswa. Masyarakat menuntut mutu pendidikan diperbaiki, namun
masyarakat enggan mendukung dunia pendidikan untuk mengupayakan perbaikan. Banyak
profesional pendidikan yang takut pada perubahan dan tidak tahu cara menjawab tantangan zaman.
Para profesional pendidikan mestinya sadar, program mutu di dunia komersial tidak bisa dijalankan
dalam bidang pendidikan. Karena proses kerja, budaya dan lingkungan organisasi di kedua bidang itu
berbeda. Para profesional pendidikan harus diberi program mutu yang khusus dirancang untuk dunia
pendidikan. Salah satu komponen penting program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan
sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional pendidikan mendokumentasikan dan
menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.
Masyarakat dan dunia pendidikan mesti mengeliminasi fokus jangka pendeknya. Salah satu ciri dunia
modern adalah terjadinya perubahan yang konstan. Perubahan merupakan hal penting. Manajemen
mutu dapat membantu sekolah menyesuaikan diri dengan perubahan melalui cara yang positif dan
konstruktif. Penyelesaian yang cepat tidak akan memecahkan persoalan pendidikan masa kini.
Penyelesaian masalah secara cepat sudah pernah dilakukan, dan terbukti gagal. Oleh sebab itu
diperlukan dedikasi, fokus dan keajegan tujuan dalam memperbaiki mutu pendidikan. Untuk
mencapai lingkungan pendidikan yang bermutu, semua stakeholder pendidikan mesti memiliki
komitmen pada proses transformasi.
C. Pembahasan
1. Peran Manajemen Berbasis Sekolah
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengembangkan fungsi reproduksi,
penyadaran dan mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melalui proses
pendidikan dan pembelajaran sebagai inti bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah
terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Tiga pilar fungsi sekolah yakni fungsi
pendidikan sebagai penyadaran; fungsi progresif pendidikan dan; fungsi mediasi pendidikan ( Danim,
2007:1).
Hal tersebut nampak bahwa sekolah hanyalah salah satu dari subsistem pendidikan karena lembaga
pendidikan itu sesungguhnya identik dengan jaringan-jaringan kemasyarakatan. Fungsi penyadaran
atau fungsi konservatif bermakna bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-
nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri sebagai manusia. Pendidikan sebagai
instrumen penyadaran bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran untuk tetap
berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral di mana hal ini menjadi tugas semua
orang.
Pendidikn formal, informal dan pendidikan kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral
dengan partisipasi total sebagai replica idealnya. Partisipasi anak didik dalam proses pendidikan dan
pembelajaran bukan sebagai alat pendidikan, melainkan sebagai intinya. Sebagai bagian dari jaring-
jaring kemasyarakatan, masyarakat pendidikan perlu mengemban tugas pembebasan, berupa
penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Orang tua, guru, dan dosen harus mampu
membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan
norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu membangun kesadaran
bagi lahirnya proses dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk
memecahkan masalah eksistensial mereka. Tidak menguntungkan jika anak dan anak didik diberi
pilihan tunggal ketika mereka menghadapi fenomena relatif dan normatif, termasuk fenomena
moralitas.
Fungsi konservatif atau fungsi penyadaran sekolah sebagai lembaga pendidikan masih menjelma
dalam sosok konservatisme pendidikan persekolahan, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi
budaya, ditandai denga makin terperosoknya kearifan generasi dalam mewarisi nilai-nilai mulai
peradaban masa lampau. Bukti konservatisme pendidikan formal benar-benar nyata di dalam alur
perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hatwell (1995), diperlukan waktu sekitar 100
tahun bagi teori dan ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur persekolahan.
Bersamaan dengan itu, perubahan wajah dunia terus berakselerasi. Misalnya, pada abad ke-20 telah
diproduksi konsep dan teori yang radikal tentang alam, realitas dan epistemologi.
Munculnya teori relativitas, mekanika kuantum, dan penemuan ilmiah lainnya adalah contoh nyata
revolusi di bidang keilmuan. Memang, evolusi perilaku sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan
evolusi spesies-genetik nonrekayasa. Meski kita harus pula menerima realitas bahwa pendidikan
formal belum menampakkan pergeseran fungsi progresifnya yang signifikan. Fungsi reproduksi atau
fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaru atau pengubah kondisi
masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana
pengembangan, reproduksi, dan desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Para peneliti, penulis
buku, pengamat, pendidik, guru, tutor, widyaiswara, pemakalah seminar, dan sejenisnya adalah
orang yang banyak bergulat dengan pengkajian, penelitian, penelaahan, dan desiminasi ilmu. Saat ini
fungsi progresif sekolah sebagai lembaga pendidikan terus menampakkan sosoknya, meski belum
menunjukkan capaian yang signifikan, setidaknya pada banyak daerah dan jenis sekolah. Di daerah
pedalaman misalnya, masih banyak sekolah yang sulit mempertahankan kondisinya pada taraf
sekarang, apalagi mendongkrak mutu kinerjanya. Meski harus diakui pula, pada banyak tempat telah
lahir sekolah-sekolah unggulan atau sekolah-sekolah yang diunggulkan oleh masyarakat karena
mampu mengukir prestasi, misalnya peningkatan hasil belajar siswa.
Fungsi itu akan lebih lengkap jika pendidikan juga melakukan fungsi mediasi, yaitu menjembatani
fungsi konservatif dan fungsi progresif. Hal-hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah
kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana seosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana
proses pemanusiaan dan kemanusiaan umum, serta pembinaan idealisme sebagai manusia terpelajar.
Di Negara kita, pelembagaan MBS dipandang urgen atau mendesak. Hal itu sejalan dengan tuntutan
masyarakat agar lembaga pendidikan persekolahan dapat dikelola secara lebih demokratis
dibandingkan dengan pola kerja ‘’dipandu dari atas’’ sebagaimana dianut oleh negara yang
menerapkan pemerintahan sentralistik. Persoalan utama di sini bukan terletak pada apakah format
manajemen sekolah yang dipandu secara sentralistik itu lebih buruk ketimbang pendekatan MBS
yang memuat pesan demokratisasi pendidikan, demikian juga sebaliknya. Persoalan yang paling
esensial adalah apakah dengan perubahan pendekatan manajemen sekolah itu akan bermaslahat
lebih besar dibandingkan dengan format kerja secara sentralistik ini, terutama dilihat dari
kepentingan pendidikan anak.
Maslahat aplikasi MBS bagi peningkatan kinerja sekolah dan perbaikan mutu hasil belajar peserta
didik pada sekolah-sekolah yang menerapkannya masih harus diuji di lapangan. Prakarsa menuju
perbaikan mutu melalui perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak
mungkin diperoleh secara segera. Hal ini sejalan dengan konsep Kaizen, bahwa kemajuan dicapai
bukanlah sebuah lompatan besar ke depan. Menurut Kaizen kemajuan dicapai karena perubahan-
perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu
detail yang berhubungan dengan usaha menghasilkan produk atau pelayanan.
Menurut Tony Barner (1998) asumsi yang mendasari perubahan dalam Kaizen adalah bahwa
kesempurnaan itu sebenarnya tidak ada. Hal ini bermakna bahwa tidak ada kemajuan, produk,
hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi ideal. Kondisi ideal itu hanyalah sebuah
abstraksi yang dituju. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang dan waktu untuk mengadakan perbaikan
dan peningkatan dengan jalan melakukan modifikasi, inovasi, atau bahkan imitasi kreatif. Terlepas
dari itu semua, pelembagaan MBS hampir dipastikan bahwa aplikasi MBS akan mendorong
tumbuhnya lembaga pendidikan persekolahan berbasis pada masyarakat (community-based
education) ataua manajemen pendidikan berbasis masyarakat (MPBM), khususnya di bidang
pendanaan, fungsi kontrol, dan pengguna lulusan.
Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat
persekolahan merupakan salah satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu
sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propernas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan pendidikan dasar dan
menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis seakolah/masyarakat
(school/community-based education) dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini
disebut Dewan Sekolah) di tingkat kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite
Sekolah di tingkat sekolah.
Penggunaan MBS secara ekonomi mendorong masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi
salah satu fondasi utama secara finansial bagi operasi sekolah, mengingat pendidikan persekolahan
itu tidak gratis (education is not free). Pemikiran ini tidak mereduksi peran pemerintah yang dari
tahaun ke tahun diharapkan dapat mengalokasikan anggaran untuk pendidikan pada kadar yang
makin meningkat. Secara akademik, masyarakat akan melakukan fungsi kontrol sekaligus pengguna
lulusan. Di sini akuntabilitas sekolah akan teruji. Juga secara proses, berhak mengkritisi kinerja
sekolah agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok dan fungsi utamanya. Dengan
MBS adalah keharusan bagi masyarakat untuk menjadi fondasi sekaligus tiang penyangga utama
pendidikan persekolahan yang berada pada radius tertentu tempaat masyarakat itu bermukim. Serta
MBS merupakan salah satu bentuk reformasi manajemen pendidikan (reformation in education
management) di tanah air.
Lebih lanjut Levacic (1995) dalam Bafadal (2003:91) proses menajemen peningkatan mutu
pendidikan berbasis sekolah (MPMPBS) meliputi:
a. Penetapan dan atau telaah tujuan sekolah;
b. Review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya;
c. Pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan;
d. Justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah;
e. Perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan;
f. Implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan;
g. Pelaporan hasil.
Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan political will
pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan. Ironisnya selama ini, political will tersebut tidak
utuh sebagai pendukung utama, demikian juga kepemimpinan di persekolahan yang cenderung
memakai pendekatan birokratis hirarkis dan bukannya demokratis.
Walaupun political will adakalanya terlihat tidak begitu utuh dalam menerapkan prinsip-prinsip
manajemen pendidikan berbasis sekolah, seharusya diimbangi dengan format kepemimpinan kepala
sekolah yang handal dalam memimpin persekolahan. Menurut Nurkolis (2003:141) kepemimpinan
adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa terminology Site-Based Leadership digunakan
sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka diperlukan perspektif
dalam keterampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun tingkat sekolah.
Berbagai fenomena yang terlihat dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis
sekolah, menunjukkan bahwa masih diperlukan kemauan yang kuat dari pihak pemerintah dan
lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan sistem penyelenggaraan manajemen persekolahan.
Tidak mungkin melakukan perubahan secara utuh dan komprehensif, jika semua pihak yang terlibat
tidak menunjukkan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan itu. Oleh karenanya, pengenalan
secara mendalam dan mendasar tujuan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah
merupakan sebuah keharusan oleh siapa saja yang bertanggung jawab dan merasa berkepentingan
terhadap pertumbuhan dan perkembangan persekolahan.
Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap
kejadian di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang
disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua,
anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42).
Perluasan keikutsertaan masyarakat dalam sistem manajemen persekolahan merupakan upaya untuk
meningkatkan efektivitas pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah dalam hal ini bukan lagi hanya milik
sekolah tetapi hakikat sekolah sebagai sub-sistem dalam sistem masyarakat direkonstruksi sehingga
fungsi pendidikan dikembalikan secara utuh dalam melestarikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
2. Peran Manajemen Mutu Terpadu
Dr. W. Edward Deming (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai “Bapak Mutu’’. Beberapa prinsip pokok yang
dapat diterapkan dalam bidang pendidikan antara lain:
a. Anggota dewan sekolah dan administrator harus menerapkan tujuan mutu pendidikan yang akan
dicapai.
b. Menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan
setelah peristiwanya terjadi.
c. Asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki
autcomes siswa dan administratif.
Dr. Joseph M . Juran (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai salah seorang “Bapak Mutu” . Dr. Juran berlatar
pendidikan teknik dan hukum. Seperti halnya Deming, Juran adalah ahli statistik terpandang. Juran
menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’ dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah
adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi kebutuhan pengguna seperti siswa
dan masyarakat. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih tepat ditentukan
oleh pemakai bukan oleh pemberi.
Pandangan Juran tentang mutu merefleksikan pendekatan rasional yang berdasarkan fakta terhadap
organisasi bisnis dan amat menekankan pentingnya proses perencanaan dan kontrol mutu. Titik
fokus filosofi manajemen mutunya adalah keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual.
Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu memiliki bidang yang
diperlukannya untuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para
pekerja akan membuat produk dan jasa yang secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer.
Seperti halnya Deming, Juran pun memainkan peran penting dalam membangun kembali Jepang
setelah perang Dunia II. Dia diakui jasanya oleh bangsa Jepang dan memfasilitasi persahabatan
Amerika Serikat dan Jepang. Upaya Juran menemukan prinsip-prinsip dasar proses manajemen
membawanya untuk memfokuskan diri pada mutu sebagai tujuan utama. Beberapa pandangan Juran
(Arcaro, 2006:9) tentang mutu sebagai berikut:
a. Meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir;
b. Perbaikan mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan.
c. Mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator.
d. Pelatihan, misal merupakan prasyarat mutu.
e. Setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.
Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi
Kontrol Mutu Eropa pada tahun 1966. dia mengatakan bahwa: Bangsa Jepang menonjol di dunia
dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena
tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan yang sama dengan Bangsa Jepang.
Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang dapat
membantu para profesional pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Manajemen Mutu
Terpadu dapat dipergunakan untuk mengurangi rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di
lingkungan sekolah. Manajemen Mutu Terpadu dapat digunakan sebagai perangkat untuk
membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan
bahwa para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk
mengembangkan program-program pendidikan. Manajemen Mutu Terpadu dapat memberikan fokus
pada pendidikan dan masyarakat. Manajemen Mutu Terpadu membentuk infrastruktur yang fleksibel
yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan tuntutan masyarakat. Manajemen
Mutu Terpadu dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan dana dan waktu.
Manajemen Mutu Terpadu memudahkan sekolah mengelola perubahan.
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama
terhadap mutu oleh dewan sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali
dengan mengembangkan visi dan misi mutu untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen
dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan kebutuhan kostumer, mendorong
keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai tambah
pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta
perbaikan berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih
baik.
Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa
setiap output lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas
sekolah untuk mengukur pemahaman mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvai
menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki kostumer. Memang masih lebih banyak
pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap keluaran pendidikan,
tapi mutu pendidikan tak kunjung diperbaiki.
Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja
lama harus disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya
untuk mengembangkan paradigma baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap
upaya penciptaan mutu dalam sistem pendidikan seperti dijelaskan oleh Jerome S. Ascaro (2006:12),
yakni: (1) banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan bergantung pada besarnya
dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam pendidikan
maka lebih tinggi juga mutu pendidikan dan; (2) banyak profesional pendidikan yang tetap
memandang pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan
dari tarikan profesional nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional
pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa mereka memiliki komitmen terhadap transformasi
mutu.
Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami
para profesional pendidikan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan
sistem tanpa mengembangkan pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam
sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan.
Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau prosedur kerja. Fungsi-fungsi
bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan sebagai
sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan
dan dapat memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen
lama, ‘’kalau belum rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses
dapat diperbaiki dan tidak ada proses yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila
tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak melakukannya orang lain pasti melakukannya’’.
Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.
Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu menurut Arcaro (2006:38-39) antara lain: Fokus pada
kostumer, keterlibatan total, pengukuran, komitmen dan perbaikan berkelanjutan. Sekolah memiliki
kostumer internal dan eksternal. Kostumer internal adalah orang tua, siswa, guru, administrator, staf
dan dewan sekolah yang berada di dalam sistem pendidikan. Sedangkan kostumer eksternal adalah
masyarakat, perusahaan, keluarga, militer dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi,
namun memanfaatkan output proses pendidikan.
Keterlibatan total, setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya
tanggung jawab dewan sekolah atau pengawas. Mutu menuntut setiap orang memberi kontribusi
bagi upaya mutu. Pengukuran. Ini merupakan bidang yang seringkali gagal di banyak sekolah.
Banyak hal yang baik terjadi dalam pendidikan sekarang ini, namun para professional pendidikan
yang terlibat dalam prosesnya menjadi begitu terfokus pada pemecahan masalah yang tidak bisa
mereka ukur efektivitas upaya yang dilakukannya. Dengan kata lain, anda tidak dapat memperbaiki
apa yang tidak dapat anda ukur. Sekolah tidak dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan
masyarakat, sekalipun ada sarana untuk mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar
tersebut. Para siswa menggunakan nilai ujian untuk mengukur kemajuan di kelas. Komunitas
menggunakan anggaran sekolah untuk mengukur efisiensi proses sekolah.
Komitmen pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka
tidak memiliki komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun
dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan
budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya. Orang biasanya tidak mau berubah,
tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan memberi pendidikan, perangkat, sistem
dan proses untuk meningkatkan mutu.
Perbaikan berkelanjutan secara konstan mencari cara untuk memperbaiki setiap proses pendidikan,
misalnya mengisi kegiatan dengan hal-hal sebagaimana adanya dan sekalipun ada masalah tidak
menganggapnya sebagai masalah.
D. Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai
berikut:
1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala
sekolah yang memiliki otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya.
Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir
manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political
will pemerintah dan kepemimpinan di persekolahan.
3. Proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah meliputi kegiatan: (1)
penetapan dan telaah tujuan sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah,
(3) pengembangan prioritas kerja dan jdwal waktu pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas
dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, (5) perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai
aspek perencanaan, (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan, (7)
pelaporan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah
Penerapan. Yogyakarta.
Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi menuju
Desentralisasi. Jakarta: Bumi Aksara.
Barner, Tony. 1998. Kaizen Strategies for Successful Leadership (Kepemimpinan Sukses). Jakarta:
Interaksara.
Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi Ke Lembaga Akademik.
Jakarta: Bumi Aksara.
Jerome S. Arcaro. 2006. Quality in Education: An Impelentation Handbook.
Penterjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.
Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar Pendidikan. No 1 Tahun X April
1991. Bandung: IKIP.
Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta:Insist Press.
Cindelaras. Pustaka Pelajar.
http://khoirulanwari.wordpress.com/about/peran-manajemen-berbasis-sekolah-mbs-dalam-meningkatkan-manajemen-mutu-terpadu/
Posted by admin in News No comments
AUG
10
Manajemen Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah atau yg dikenal sebagai MBS — atau di kita dikenal sebagai RISMA : Sistem Informasi Manajemen Sekolah & Madrasah — itu sama seperti fungsi-fungsi manajemen umumnya yang harus punya aspek-aspek POAC (Planning Organizing Actuating Controlling) sebagaimana yg diutarakan ama ’selebritis’ akademis Sir Henry Fayol.Adalah salah kalo dalam membangun aplikasi-aplikasi sistem informasi manajemen (SIM) yg kita banjiri dengan kegiatan-kegiatan transaksional/operasional tapi tidak melibatkan aktivitas-aktivitas lainnya. Kegiatan operasional organisasi itu sesungguhnya baru 25% dari keseluruhan fungsi MBS yg diharapkan. Itu hanya Actuating atau Pengerahan kalo dalam bahasa indonesia standar-nya.Dalam ‘peta’ SIM Sekolah & Madrasah yg dulu pernah gw bikin DNA-nya (juga arrow-diagram-nya), aku nggak (belum) mengelompokkan modul-modul aplikasi mana yang masuk dalam kegiatan manajemen mana (dari POAC itu tadi). Wal-hasil — emm, nggak apa-apa sih — tapi belum tentu aplikasi2 RISMA kita itu nantinya secara fungsional bisa bermanfaat bagi semua lini dalam struktur organisasi sekolah dan optimal membantu kegiatan mereka serta tidak membebani tugas/tanggung jawab fungsional mereka yg sudah ada.
Banyak aplikasi-aplikasi MBS yg kurang memperhatikan itu, termasuk SIAP Online (yep: SIAP Online yg dibikin ama Telkom). Banyak aplikasi2 yg berorientasi secara sepihak, seperti: cenderung berorientasi ke siswa saja, atau cenderung berorientasi ke guru saja, dan tidak mempertimbangkan elemen-elemen manajemen sekolah yg lain. Banyak juga aplikasi-aplikasi MBS yg setelah diimplementasikan JUSTRU menambah kerjaanguru-guru dan pada akhirnya disangka membebani lalu lambat laun ditinggalkan. Sistem pada akhirnya akan menjadi obsolete. Tidak digunakan.Untuk itu, gw pikir perlu, bagi gw pribadi dan bagi teman-teman di Cinox Area Network yg mungkin suatu saat akan diamanahkan membantu (atau bahkan menggantikan) peran gw di RISMA sebagai business analyst & software architect — untuk memahami konteks Manajemen Berbasis Sekolah dari perspektif multidimensional, bukan hanya dari sudut pandang fungsi operasional (per departemen) tapi juga dari sudut pandang fungsi manajemen. Yach, namanya juga SIM — M yg terakhir kan “manajemen” tuh kepanjangannya.
Berikut ini komponen MPMPBS menurut Dr. Ibrahim Bafadal, M.Pd (2006):
1. Manajemen Pembelajaran Perencanaan
1. Analisis Materi Pelajaran
2. Penyusunan Kalender Pendidikan
3. Penyusunan Program Tahunan dengan memperhatikan kalender pendidikan dan hasil analisis materi pelajaran
4. Penyusunan program caturwulan atau semester berdasarkan program tahunan yg telah disusun
5. Penyusunan program satuan pembelajaran (PSP)
6. Penyusunan rencana pembelajaran (RP)
7. Penyusunan rencana bimbingan dan penyuluhan
Pengorganisasian1. Pembagian tugas mengajar dan tugas lain
2. Penyusunan jadwal pelajaran
3. Penyusunan jadwal kegiatan perbaikan
4. Penyusunan jadwal kegiatan pengayaan
5. Penyusunan jadwal kegiatan ekstrakurikuler
6. Penyusunan jadwal kegiatan bimbingan dan penyuluhan
Pengerahan1. Pengaturan pelaksanaan kegiatan pembukaan tahun ajaran baru
2. Pelaksanaan kegiatan pembelajaran
3. Pelaksanaan kegiatan bimbingan dan penyuluhan
4. Supervisi pelaksanaan pembelajaran
5. Supervisi pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan
Pengawasan1. Evaluasi proses dan hasil kegiatan pembelajaran
2. Evaluasi proses dan hasil kegiatan bimbingan dan penyuluhan
2. Manajemen Kesiswaan Perencanaan
1. Sensus anak usia prasekolah
2. Perencanaan daya tampung
3. Perencanaan penerimaan siswa baru
4. Penerimaan siswa baru
Pengorganisasian1. Pengelompokan siswa berdasarkan pola tertentu
Pengerahan1. Pembinaan disiplin belajar siswa
2. Pencatatan kehadiran siswa
3. Pengaturan perpindahan siswa
4. Pengaturan kelulusan siswa
Pengawasan1. Pemantauan siswa
2. Penilaian siswa
3. Manajemen Kepegawaian Perencanaan
1. Analisis pekerjaan di sekolah
2. Penyusunan formasi guru dan pegawai
3. Perencanaan dan pengadaan guru dan pegawai baru
Pengorganisasian1. Pembagian tugas guru dan pegawai
Pengerahan1. Pembinaan profesionalisme guru dan pegawai
2. Pembinaan karir guru dan pegawai
3. Pembinaan kesejahteraan guru dan pegawai
4. Pengaturan perpindahan guru dan pegawai
5. Pengaturan pemberhentian guru dan pegawai
Pengawasan1. Pemantauan kinerja guru dan pegawai
2. Penilaian kinerja guru dan pegawai
4. Manajemen Sarana/Prasarana Perencanaan
1. Analisis kebutuhan sarana dan prasarana sekolah
2. Perencanaan dan pengadaan sarana dan prasarana sekolah
Pengorganisasian1. Pendistribusian sarana dan prasarana sekolah
2. Penataan sarana dan prasarana sekolah
Pengerahan1. Pemanfaatan sarana dan prasarana sekolah secara efektif dan efisien
2. Pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
3. Inventarisasi sarana dan prasarana sekolah
4. Penghapusan sarana dan prasarana sekolah
Pengawasan1. Pemantauan kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
2. Penilaian kinerja penggunaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sekolah
5. Manajemen Keuangan Perencanaan
1. Penyusunan RAPBS
Pengorganisasian1. Pengadaan dan pengalokasian anggaran berdasarkan RAPBS
Pengerahan1. Pelaksanaan anggaran sekolah
2. Pembukuan keuangan sekolah
3. Pertanggungjawaban keuangan sekolah
Pengawasan1. Pemantauan keuangan sekolah
2. Penilaian kinerja manajemen kuangan sekolah
6. Manajemen Humas Perencanaan
1. Analisa kebutuhan keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sekolah
2. Penyusunan program hubungan sekolah dengan masyarakat
Pengorganisasian1. Pembagian tugas melaksanakan hubungan sekolah dengan masyarakat
Pengerahan1. Menciptakan hubungan sekolah dengan orangtua siswa
2. Mendorong orangtua menyediakan lingkungan belajar yang efektif
3. Mengadakan komunikasi dengan tokoh masyarakat
4. Mengadakan kerjasama dengan instansi pemerintah dan swasta
5. Mengadakan kerjasama dengan organisasi sosial keagamaan
Pengawasan1. Pemantauan hubungan sekolah dengan masyarakat
2. Penilaian kinerja hubungan sekolah dengan masyarakat
7. Manajemen Layanan Khusus Perencanaan
1. Analisis kebutuhan program layanan khusus bagi warga sekolah
2. Penyusunan program layanan khusus bagi warga sekolah
Pengorganisasian1. Pembagian tugas melaksanakan program layanan khusus bagi warga sekolah
Pengerahan1. Pengaturan pelaksanaan antar jemput siswa
2. Pengaturan pelaksanaan asrama siswa
3. Pengaturan pelaksanaan makan siang siswa
4. Pengaturan pelaksanaan program koperasi sekolah
5. Pengaturan pelaksanaan program layanan khusus lainnya
Pengawasan1. Pemantauan program layanan khusus
2. Penilaian kinerja program layanan khusus bagi warga sekolah
RISMA sebaiknya dikemas sedemikian rupa sehingga mampu memfasilitasi proses-proses dalam MBS yg bersiklus yg terdiri dari:
1. pengembangan visi sekolah
2. evaluasi diri dalam rangka mengidentifikasi berbagai kebutuhan pengembangan
3. identifikasi kebutuhan-kebutuhan pengembangan
4. perumusan tujuan (misi) sekolah
5. penyusunan program peningkatan
6. implementasi program
7. evaluasi diri kembali untuk kepentingan peningkatan mutu berikutnya
Dimana mutu, kemandirian, partisipasi, dan transparansi merupakan pilar/pondasi dari MBS yg ironisnya udah banyak diterapkan pada sekolah-sekolah swasta untuk mempertahankan dan meningkatkan kualitas eksistensinya. Memang, berbeda dengan sekolah negeri yg selalu dilindungi dan dinaungi oleh pemerintah — sekolah swasta lebih banyak bekerja keras membanting tulang untuk menyokong ‘kehidupan’ sekolahnya, seringkali dalam aspek partisipatif melalui optimalisasi manajemen humas dan layanan-layanan sekolah. Kemampuan manajemen yg baik adalah kunci suksesnya. Dan hal inilah yg ingin di-injeksikan oleh pemerintah untuk ‘mendidik’ sekolah-sekolah negeri agar mampu berkembang secara mandiri dan berakibat positif pada peningkatan mutu output belajarnya.
http://www.erp-pendidikan.com/?p=378
FACEBOOK BADGE
Suherli Kusmana
Create Your Badge
BLOG ARCHIVE
► 2010 (6)
► 2009 (14)
▼ 2008 (21)
o ► Desember 2008 (1)
o ► November 2008 (3)
o ► Oktober 2008 (2)
o ► September 2008 (1)
o ► Agustus 2008 (3)
o ► Juli 2008 (2)
o ► Juni 2008 (4)
o ▼ Mei 2008 (5)
Menilik Kebijakan Sistem Pendidikan
Buku Teks Layak Pakai di Sekolah
Usia Buku Teks
Karangan Ilmiah
Puisiku
SITUS BERKAITAN
READ
APBI
SK dan KD Bahasa Indonesia
Asosiasi Pengajar Bahasa Indonesia
Translate Google
www.ziddu.com
http://pusbuk.go.id
http://depdiknas.go.id
http://e-dukasi.net
http://jardiknas.org
ShoutMix chat widget
LABELS
kalimat efektif (1)
Kebahasaan (13)
Kebijakan Publik (1)
keguruan (2)
Kependidikan (10)
pendidikan (1)
Perbukuan (11)
Unduh BSE (2)
Menilik Kebijakan Sistem Pendidikan di 16.30 Diposkan oleh Suherli Kusmana 2 komentar
Suherli
Dalam pemberlakuan Otonomi Daerah terjadi perubahan mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan. Hal itu bertolak dari
kesadaran penentu kebijakan bahwa sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam menyiapkan sumber daya
manusia. Selain itu, fenomena krisis yang melanda bangsa kita menunjukkan bahwa pendidikan dianggap belum berhasil dalam
menyiapkan SDM yang unggul, kompetitif, dan beriman. Oleh karena itu, sangat tepat jika dilakukan perubahan paradigma
penyelenggaraan pendidikan dari sentralistik menjadi desentralistik.
Desentralisasi pendidikan merupakan alternatif model pemberdayaan masyarakat. Salah satu implementasi dari desentralisasi
pendidikan adalah dihidupkannya peran serta masyarakat untuk ikut menyelenggarakan dan mengawasi pendidikan. Program yang
digulirkan pemerintah untuk keperluan ini adalah School Based Management atau Manajemen Berbasis Sekolah.
Program MBS menyiratkan konsep mendasar atas penyelenggaraan pendidikan dengan prinsip desentralisasi pendidikan. Landasan
filosofis yang perlu diperhatikan dalam memahami konsepsi ini bertolak dari terminologi desentralisasi dan otonomi. Desentralisasi
adalah penyerahan otoritas pusat ke daerah-daerah; dekonsentrasi adalah penyerahan tanggung jawab layanan sektor tertentu
pada perwakilan pemerintah pusat di daerah; delegasi adalah pengalihan tanggung jawab untuk membuat keputusan dan mengatur
pengelolaan layanan publik kepada pemerintah daerah; privatisasi adalah pengalihan otoritas sektoral kepada usaha-usaha swasta;
dan otonomi merupakan arah balik dari desentralisasi (yang berangkat dari otoritas pusat yang diserahkan kepada daerah), dan
merupakan pengakuan atas otoritas daerah (Rondinelli, 1998; Jalal, 2001:75). Dengan demikian, desentralisasi bidang pendidikan
berarti penyerahan kewenangan (otoritas) pemerintah pusat ke pemerintah daerah dan masyarakat.
Dari terminologi tersebut maka desentralisasi pendidikan menganut prinsip good governance is less governing (penyelenggaraan
pemerintahan yang baik adalah lebih kurang mengatur). Desentraliasi pendidikan adalah penyerahan wewenang penyelenggaraan
pendidikan kepada masyarakat, karena jika wewenang pusat hanya dipindahtangankan ke daerah, maka yang akan terjadi adalah
oversentralisasi pada tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu Program MBS merupakan pola implementasi pembagian porsi
wewenang penyelenggaraan pendidikan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten, dan masyarakat (sekolah) yang bobotnya
lebih besar kepada masyarakat dan stakeholder pendidikan.
Perubahan ini dirasakan sangat drastis karena selama 35 tahun sebelumnya, kita tidak merasakan perubahan yang sangat
signifikan dalam dunia pendidikan. Besarnya peranan pemerintah dalam turut mengatur terlalu banyak hal-hal teknis dalam dunia
pendidikan dianggap sebagai biang keladi dari semua keterpurukan kualitas pendidikan bangsa Indonesia dibandingkan dengan
negara-negara lain. Dari itu, dengan berbekal konsep desentralisasi pendidikan seiring dengan era reformasi yang sedang bergulir,
berbagai perubahan mendasar pengelolaan pendidikan diserahkan kepada stakeholder pendidikan. Pemerintah hanya berperan
sebagai pengatur, sesuai dengan prinsip dasar desentralisasi. Namun, kadang-kadang program yang digulirkan pemerintah
seringkali masih membingungkan masyarakat pendidikan, karena kita belum biasa.
A. Kebijakan Pendidikan Sentralistik
Kebijakan pendidikan yang sentralistik dialami dalam tiga periode, yaitu pada masa Pra-Orde Baru, Masa Orde Baru, dan Masa
Transisi. Kebijakan pada masa Pra-Orde Baru masih berorientasi politik. Sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa
kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada proses indoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar.
Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk
orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai perndidikan tinggi diarahkan untuk
perngembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin pada saat itu.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru mengarah pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini
diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari
organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada
tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Pada masa ini
pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima dengan tidak berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik serta
ketergantungan pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem pendidikan yang tidak peka terhadap daya saing dan tidak
produktif. Pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial oleh karena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya.
Pendidikan yang mengingkari kebhinekaan dengan toleransi yang semakin berkurang serta semakin dipertajam dengan bentuk
primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas melainkan pada target kuantitas.
Akuntabilitas pendidikan sangat rendah walaupun diterapkan prinsip ‘link and match”.
Pada masa transisi, kebijakan pendidikan merupakan masa refleksi terhadap arah pendidikan nasional. Tilaar (2000:5) menjelaskan
bahwa pada masa krisis membawa masyarakat dan bangsa kepada keterpurukan dari krisis moneter membuat menjadi krisis
ekonomi dan berakhir pada krisis kepercayaan. Krisis kepercayaan telah menjadi warna yang dominan di dalam kebudayaan kita
dewasa saat itu. Oleh karena pendidikan merupakan proses pembudayaan, maka krisis kebudayaan yang dialami merupakan
refleksi dari krisis pendidikan nasional. Pada masa ini direfleksi berbagai pemikiran dalam memajukan sistem pendidikan kita,
sehingga berbagai perubahannya dirasakan sangat drastis, dan sebagian pelaku pendidikan “tercengang” dan masih galau dalam
menjalankan kebijakan baru.
B. Kebijakan Pendidikan Desentralistik
Berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan, bahwa kebijakan desentralisasi berpengaruh cukup signifikan terhadap
kemajuan dan pembangunan pendidikan. Setidaknya, terdapat empat dampak positif yang dapat dikemukakan untuk mendukung
kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu: (1) peningkatan mutu, (2) efisien keuangan, (3) efisien administrasi, dan (4)
perluasan/pemerataan.
1. Peningkatan Mutu
Desentralisasi pendidikan yang antara lain dimanifestasikan dalam pemberian otonomi pada sekolah, akan meningkatkan kapasitas
dan memperbaiki manajemen sekolah. Dengan kewenangan penuh yang dimiliki sekolah, maka sekolah lebih leluasa mengelola dan
mendayagunakan potensi sumber daya yang dimiliki, misalnya, keuangan, tenaga pengajar (guru), kurikulum, sarana prasarana,
dan lain-lain. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan dapat meningkatkan mutu pendidikan dan memperbaiki mutu belajar-
mengajar, karena proses pengambilan keputusan dapat dilakukan langsung di sekolah oleh guru, kepala sekolah, dan tenaga
administratif (staf manajemen). Bahkan yang lebih penting lagi, desentralisasi dapat mendorong dan membangkitkan gairah serta
semangat mereka untuk bekerja lebih giat dan lebih baik. Pengalaman di New Zealand, misalnya, desentralisasi berdampak positif
terhadap minat belajar siswa. Sementara di Brazil, siswa kelas tiga dapat memperbaiki nilai atau angka hasil ulangan untuk mata
pelajaran dasar (bidang studi pokok).
2. Efisiensi Keuangan
Desentralisasi dimaksudkan untuk menggali penerimaan tambahan bagi kegiatan pendidikan. Hal ini dapat dicapai dengan
memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional. Untuk itu, perlu eksplorasi guna mencari cara-cara
baru dalam membuat channelling of fund, misalnya, dengan menggunakan mekanisme vouchers, atau matching grant, dan
"sponsorship dunia usaha" dalam pembiayaan pendidikan. Mekanisme ini sudah lazim digunakan di negara-negara sedang
berkembang dan anggota OECD (Organization for Economic Cooperation and Development). Pengalaman di Brazil, misalnya,
desentralisasi telah menurunkan biaya dan pelayanan pendidikan menjadi lebih baik, mulai dari pemeliharaan sekolah, pelatihan
guru, sampai pemberian makanan tambahan bagi anak di sekolah.
3. Efisiensi Administrasi
Desentralisasi memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur bertingkat-tingkat. Kompleksitas
birokrasi seperti tercermin dalam penanganan pendidikan dasar, yang melibatkan tiga institusi (Depdiknas, Depdagri, dan Depag),
tak akan terjadi. Desentralisasi akan memberdayakan aparat tingkat daerah dan lokal, dan membangkitkan motivasi aparat
penyelenggara pendidikan bekerja lebih produktif. Ini berdampak pada efisiensi administrasi. Pengalaman di Cile, misalnya,
desentralisasi secara signifikan berhasil menurunkan biaya administrasi, yang ditandai dengan perampingan jumlah pegawai pada
Departemen Pendidikan.
4. Perluasan dan Pemerataan
Secara teoritis, desentralisasi membuka peluang kepada penyelenggara pendidikan di tingkat daerah dan lokal untuk melakukan
ekspansi sehingga akan terjadi proses perluasan dan pemerataan pendidikan. Desentralisasi akan meningkatkan permintaan
pelayanan pendidikan yang lebih besar, terutama bagi kelompok masyarakat di suatu daerah yang selama ini belum terlayani.
Memang ada kemungkinan munculnya dampak negatif, yaitu, bagi daerah-daerah yang memiliki kekayaan sumber daya alam dan
potensi SDM, akan berkembang jauh lebih cepat sehingga meninggalkan daerah lain yang miskin. Namun, pemerintah pusat dapat
melakukan intervensi dengan memberi dana khusus berupa block-grant kepada daerah-daerah miskin itu, sehingga dapat
berkembang secara lebih seimbang.
C. Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Kebijakan pemerintah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 mengenai Otonomi Daerah dan sejalan dengan itu UU No. 25
tahun 1999 mengenai Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan konsekuensi dari keinginan era reformasi
untuk menghidupkan kehidupan demokrasi. Maka Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management) yang
memberi kewenangan pada sekolah untuk merencanakan sendiri upaya peningkatan mutu secara keseluruhan; (2) Pendidikan yang
berbasis pada partisipasi komunitas (community based education) agar terjadi interaksi yang positif antara sekolah dengan
masyarakat, sekolah sebagai community learning centre; dan (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigm
yang akan menjadikan pelajar-pelajar atau learner menjadi manusia yang diberdayakan. (4) Pemerintah juga mencanangkan
pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE) yang memberi pembekalan kepada pelajar untuk siap bekerja
membangun keluarga sejahtera. Dengan pendekatan itu setiap siswa diharapkan akan mendapatkan pembekalan life skills yang
berisi pemahaman yang luas dan mendalam tentang lingkungan dan kemampuannya agar akrab dan saling memberi manfaat.
Lingkungan sekitarnya dapat memperoleh masukan baru dari insan yang mencintainya, dan lingkungannya dapat memberikan
topangan hidup yang mengantarkan manusia yang mencintainya menikmati kesejahteraan dunia akhirat.
Pada awal tahun 2001 digulirkan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). Program ini diyakini akan memberdayakan
masyarakat pemerhati pendidikan (stakeholders) dalam memberikan perhatian dan kepeduliannya terhadap dunia pendidikan,
khususnya sekolah. Dalam menerapkan konsep MBS, mensyaratkan sekolah membentuk Komite Sekolah yang keanggotaannya
bukan hanya orangtua siswa yang belajar di sekolah tersebut, namun mengikutsertakan pula guru, siswa, tokoh masyarakat dan
pemerintahan di sekitar sekolah, dan bahkan pengusaha.
Tujuan program MBS di antaranya menuntut sekolah agar dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan dan layanan pendidikan
(quality insurance) yang disusun secara bersama-sama dengan Komite sekolah. Masyarakat dituntut perannya bukan hanya
membantu pembiayaan operasional pendidikan di sekolah tersebut, melainkan membantu pula mengawasi dan mengontrol kualitas
pendidikan. Salah satu di antaranya, diharapkan dapat menetapkan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS).
Realisasi dari ini, komite menghimpun dana masyarakat, termasuk dari orangtua siswa untuk membantu operasional sekolah untuk
menggapai kualitas pendidikan.
Sebetulnya, sejak program MBS ini digulirkan, peran komite sekolah mulai tampak, terutama dalam menghimpun sumber-sumber
pendanaan pendidikan, baik sebagai dukungan terhadap penyediaan sarana dan prasarana pendidikan maupun untuk peningkatan
kualitas pendidikan. Tentu saja, termasuk pula untuk peningkatan kualitas kesejahteraan guru di sekolah itu. Namun, peran komite
di tingkatan pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs) yang sudah mulai bagus ini terhapus kembali oleh program berikutnya, yaitu
Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini sesungguhnya sangat baik, sebagai salah satu bentuk tanggungjawab pemerintah
pada pendidikan, sehingga dapat membantu kepedulian masyarakat dalam membantu pembiayaan pendidikan. Namun, wacana
yang dikembangkan adalah “Sekolah Gratis” sehingga mengubur kepedulian masyarakat terhadap pendidikan yang sudah mulai
terbangun dalam MBS. Dari hal di atas, pada beberapa sekolah yang pemahaman anggota komite sekolah atau para pendidik masih
kurang, menganggap seperti halnya BP3, maka penetapan akuntabilitas pendidikan melalui peran stakeholders pendidikan semakin
menurun. Maka, tidak heran jika banyak sekolah yang rusak, lapuk, bahkan ambruk dibiarkan oleh komite sekolah, sambil berharap
datang sang penyelamat, funding father yaitu pemerintah.
Dalam hal pengelolaan mikro pendidikan pun masih terdapat beberapa masalah. Pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan
tertentu (sekolah) menjadi kewenangan kepala sekolah. Demikian pula, penyelenggaraan pendidikan di kelas memang seluruhnya
harus menjadi kewenangan guru. Berdasarkan kewenangan profesionalnya, guru bertugas merencanakan, melaksanakan, dan
mengukur hasil pembelajaran. Namun, pada SMTP dan SMTA sebagian kewenangan meluluskan hasil belajar siswa masih menjadi
“projek pemerintah pusat” dengan alasan sebagai pengendalian mutu lulusan. Demikian pula pada tingkat SD di kabupaten/kota,
ujian akhir masih menjadi kewenangan dinas pendidikan kabupaten/kota, dengan dalih “ikut-ikutan” pemerintah pusat
mengendalikan mutu pendidikan di daerah. Padahal, ditinjau dari hakikat pengajaran dan sejalan dengan desentralisasi pendidikan,
evaluasi merupakan bagian dari tugas pengajaran seorang guru, sehingga kewenangan itu jangan “direbut” oleh birokrasi
pendidikan. Kenyataan itu menunjukkan bahwa impelementasi MBS pada tataran mikro yang masih setengah hati diserahkan.
Sehubungan dengan evaluasi kebijakan pendidikan Era Otonomi masih belum terformat secara jelas maka di lapangan masih timbul
bermacam-macam metode dan cara dalam melaksanakan program peningkatan mutu pendidikan. Sampai saat ini hasil dari
kebijakan tersebut belum tampak, namun berbagai inprovisasi di daerah telah menunjukkan warna yang lebih baik. Misalnya,
beberapa langkah program yang telah dijalankan di Samarinda, berkaitan dengan kebijakan pendidikan dalam rangka peningkatan
mutu berbasis sekolah dan peningkatan mutu pendidikan berbasis masyarakat diimplementasikan sebagai berikut :
(1) Telah berlakunya UAS dan UAN sebagai pengganti EBTA /EBTANAS
(2) Telah dibentuknya Komite Sekolah sebagai pengganti BP3.
(3) Telah diterapkan muatan lokal dan pelajaran ketrampilan di sekolah SLTP
(4) Dihapuskannya sistem Rayonisasi dalam penerimaan murid baru
(5) Pemberian insentif kepada guru-guru negeri
(6) Bantuan dana operasional sekolah, serta bantuan peralatan praktik sekolah
(7) Bantuan peningkatan SDM sebagai contoh pemberian beasiswa pada guru untuk mengikuti program Pascasarjana Universitas
Mulawarman.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut berkaitan dengan peningakatan SDM di daerah sehingga selalu dilakukan perbaikan
berbagai kebijakan pada tataran meso sebagai rencana program oleh pemerintah daerah melalui dinas pendidikan.
D. Kebijakan Pendidikan di Kabupaten/Kota
Dengan berdasar pada keempat indikator sistem pendidikan nasional yaitu popularisasi, sistematisasi, profileralisasi dan politisasi
pendidikan nasional, maka usulan program pengembangan pendidikan, sebagaimana tercantum dalam Tilaar (2000:77-790 sebagai
berikut :
(1) Mengembangkan dan mewujudkan pendidikan berkualitas;
(2) Menyelenggarakan pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang bermutu;
(3) Menciptakan SDM pendidikan yang profesional dengan penghargaan yang wajar;
(4) Melakukan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan nasional secara bertahap, mulai tingkat provinsi dengan sekaligus
mempersiapkan sarana, SDM, dan dana yang memadai pada tingkat kabupaten;
(5) Melakukan perampingan birokrasi pendidikan dengan restrukturisasi departemen pusat agar lebih efisien;
(6) Menghapus berbagai peraturan perundangan yang menghalangi inovasi dan ekseperimen, dengan melaksanakan otonomi
lembaga pendidikan;
(7) Merevisi atau mengganti UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem pendidikan Nasional dengan peraturan perundangan dan
pelaksanaannya
(8) Menumbuhkan partisipasi masyarakat, terutama di daerah dalam kesadarannya terhadap pentingnya pendidikan dan pelatihan
untuk membangun masyarakat Indonesia baru. Suatu wadah masyarakat diperlukan untuk menampung keterlibatan masyarakat
tersebut.
(9) Menjalin kerjasama yang erat antara lembaga pelatihan dengan dunia usaha
(10) Melakukan depolitisasi pendidikan nasional, dengan menciptakan komitmen politik dari masyarakat dan pemerintah untuk
membebaskan pendidikan sebagai alat penguasa;
(11) Meningkatkan harkat profesi pendidikan dengan meningkatkan mutu pendidikan, syarat-syarat serta pemanfaatan tenaga
profesional, disertai dengan meningkatkan renumerasi profesi pendidikan yang memadai secara bertahap.
Berdasarkan pada prinsip otonomi, maka kebijakan pendidikan di daerah dapat dituangkan ke dalam Rencana Strategis
Pembangunan Pendidikan. Namun demikian, tampaknya daerah masih terus saja berbenah diri dalam hal kebijakan politik dan
kepegawaian yang juga mengalami perubahan yang sangat drastis. Beberapa hal yang masih menjadi pekerjaan kantor bidang
pendidikan di daerah adalah:
1) Peningkatan Mutu Pendidikan
Pemerintah daerah harus terus mendorong dan mengembangkan sekolah menerapkan konsep “Manajemen Peningkatan Mutu
Berbasis Sekolah” (MPMBS) yakni usaha peningkatan mutu pendidikan dengan menggalang segala sumber daya yang ada di
sekolah dan lingkungannya, baik guru, orangtua siswa, pemerintah setempat maupun swasta agar terkoordinasi dan terencana
dalam menunjang peningkatan mutu pendidikan di sekolahnya.
2) Perluasan Kesempatan Belajar
Dalam rangka mempercepat penuntasan program wajib belajar Pendidikan Dasar 9 tahun dan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan pendidikan maka dapat ditempuh usaha baru sebagai berikut :
(1) Pembangunan Unit Sekolah baru (USB)
(2) Pembangunan Ruang Kelas baru (RKB)
(3) Pemasayarakatan SLTP Terbuka (SLTPT)
(4) Kampanye/Penyuluhan Wajib Belajar Pendidikian Dasar
(5) Pemberian Beasiswa dan dana bantuan Operasional (DBO)
(6) Pendidikan bagi SD/MI, SLTP/MTs dan SMU/MA
(7) Pemberian Dana Operasional Pendidikan bagi SD/MI
(8) Pemberian bantuan perlengkapan belajar bagi siswa SD/MI dari keluarga tidak mampu;
(9) Membina dan mendorong penyelenggaraan pendidikan luar sekolah oleh masyarakat dalam bentuk Pusat Kegiatan Belajar (yang
menyelenggaraka Paket A, KF, Paket B, dan Paket C).
3) Efisiensi dan Efektivitas
Untuk mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang efisien dan efektif maka penyelenggara pendidikan formal perlu dibekali
dengan pengetahuan tentang :
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Sekolah
(2) Pengelolaan dan penyelenggaraan Administrasi Perkantoran
(3) Kemampuan manajerial
(4) Kemampuan Pengelola Proyek
(5) Pengelolaan dan perencanaan pendidikan
(6) Kemampuan Monitoring dan Evaluasi
4) Menyusun Peraturan Daerah Pendidikan;
Perda tentang pendidikan di Kabupaten/Kota merupakan dasar hukum yang dapat digunakan oleh seluruh masyarakat
Kabupaten/Kota tersebut sebagai kelanjutan dari Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20/2003. Bertolak dari aturan
ini maka beberapa kebijakan meso maupun mikro dapat dibuat dalam rangka menjalankan amanat Pembukaan Undang-undang
Dasar 45.
5) Angka Rata-rata Lama Sekolah;
Dalam rangka meningkatkan Indeks Pendidikan (Education Index) partisipasi masyarakat dalam mengikuti pendidikan harus terus
dipacu. Berdasarkan laporan BPS diketahui bahwa Angka RLS masyarakat Jawa Barat hanya 6,8 tahun atau setara dengan siswa
SMP Kelas satu. Dengan demikian diperlukan perjuangan yang sangat erat bagi dinas pendidikan untuk meningkatkan wajib belajar
9 tahun. Padahal wajib belajar 9 tahun sudah dikumandangkan sejak lama. Oleh karena itu, diperlukan optimalisasi pendidikan
dasar, baik melalui SD/MI dan SMP/MTs, maupun SMP Terbuka, dan Paket A dan B untuk dapat mengakselerasi Wajar Dikdas 9
tahun.
6) Angka Melek Huruf
Penopang lain dari Indeks Pendidikan adalah Angka Melek Huruf (AMH). Semula kita menduga bahwa di Kabupaten/Kota di Jawa
Barat sudah tidak ada lagi yang masih Buta Huruf (tidak bisa baca-tulis-bicara bahasa Indonesia), namun setelah dilakukan
pendataan ulang di Jawa Barat telah diketahui terdapat sekitar 251.234 yang masih kurang dalam baca-tulis-bicara bahasa
Indonesia. Tentu saja, mereka harus segera dientaskan melalui program yang fungsional (Keaksaraan Fungsional).
(7) Partisipasi dan Peranserta Masyarakat;
Pada Pasal 56 UUSPN 20/2003 diungkapkan bahwa masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan melalui
dewan pendidikan, komite sekolah atau madrasah. Sebagaimana diketahui bahwa Dewan Pendidikan di Kabupaten/Kota pada
umumnya belum banyak dirasakan perannya dalam peningkatan mutu pendidikan di kabupaten/kota, bahkan dalam proses
pembentukannya pun dikuasai pihak-pihak tertentu yang kurang menguasai masalah pendidikan. Demikian pula dengan Komite
Sekolah/Madrasah, di antara mereka masih kurang memiliki pemahaman yang mantap tentang MBS dan bahkan ada di antara
mereka yang hanya berfungsi sebagai stempel bagi sekolah dalam melegitimasi pungutan dari orangtua siswa.
(8) Otonomi Sekolah
Dalam menjalankan MBS, sekolah memiliki otorita dalam mengelola pendidikan pada tingkat satuan pendidikan. Sekolah diberi
kewenangan untuk mengelola input pendidikan, melaksanakan proses pembelajaran, dan melakukan evaluasi hasil pendidikan.
Namun, dalam beberapa hal pemerintah daerah harus melakukan pengawasan secara ketat untuk memberikan jaminan kualitas
layanan yang diberikan sekolah kepada peserta didik. Oleh karena itu, diperlukan suatu mekanisme sistem kontrol yang akurat
dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan. Sistem kontrol itu, bukan penyeragaman buku laporan pendidikan atau
melakukan Ulangan Umum Bersama melainkan menciptakan suatu mekanisme yang sahih.
(9) Kualitas SDM Pendidikan
Dalam menyikapi berbagai perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan, tentu saja harus diiringi dengan peningkatan kualitas
tenaga pendidik dan tenaga kependidikan. Harus diakui bahwa tenaga kependidikan yang saat ini tersedia merupakan produk dari
LPTK yang belum mengantisipasi reformasi dalam bidang pendidikan. Dalam beberapa hal para guru masih menggunakan
paradigma transfer of knowledge dalam penyelenggaraan pendidikan. Padahal pola pikir ini telah lama ditinggalkan oleh kalangan
innovator pendidikan. Oleh karena itu, banyak di antara mereka yang masih hanya berfungsi sebagai guru, menyampaikan materi
pelajaran kepada siswa. Konsep learning based experience dan learning by doing masih belum secara mantap diterapkan para guru.
Apalagi konsep dasar pengembangan kompetensi yang seharusnya dijadikan dasar bagi pengembangan kurikulum di sekolah.
(10) Kesejahteraan Tenaga Kependidikan
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penurunan kinerja tenaga kependidikan salah satu penyebabnya adalah rendahnya
kesejahteraan yang diterima (take home pay). Dari gaji yang diterima para guru, mereka harus rela membagi penggunaannya
dengan biaya transportasi dan konsumsi (terutama jika harus mengajar sampai dengan siang). Dengan demikian take home pay
yang diterima para guru semakin kecil dan tidak manusiawi. Berbeda dengan profesi lain, untuk keperluan transportasi dan
konsumsi biasanya tersedia pada institusi tersebut, sedangkan profesi guru harus merogoh saku gajinya. Dalam menyikapi hal ini,
tampaknya pemerintah daerah harus segera memikirkan “insentif” atau tunjangan profesi yang dapat diberikan kepada guru agar
kinerja mereka meningkat dalam rangka mempersiapkan SDM pendidikan di Kabupaten/Kota yang lebih baik. Pada daerah-daerah
tertentu, hal ini sudah dilaksanakan, misalnya Kota Bandung, DKI Jakarta, Kutai Kertanegara, Propinsi Sumatera Barat, dan
sebagainya. Mungkin jika Anggaran Pendidikan di Kabupaten Ciamis dapat diungkit hingga 20%, para guru dapat segera diberi
insentif supaya memacu mereka dalam berkompetensi meningkatkan mutu pendidikan.
(11) Organisasi Penjamin Kualitas
Untuk melakukan jaminan kualitas pendidikan di Kabupaten/Kota, tampaknya diperlukan organisasi kedinasan, setara dengan
eselon III yang membidangi peningkatan kualitas pendidikan dan tenaga kependidikan. Lembaga ini harus mampu memberikan
jaminan kualitas hasil pendidikan dan melakukan pelatihan dan pembinaan terhadap tenaga kependidikan. Sudah tidak sesuai lagi
apabila lembaga penjamin kualitas pendidikan yang memberikan pelatihan kepada tenaga pendidikan dilaksanakan oleh Badan
Kepegawaian Daerah. Lembaga ini dapat berfungsi melatih dan membina tenaga pemerintah daerah, namun untuk tenaga
kependidikan harus dilaksanakan secara khusus agar dapat memberikan pelatihan terhadap tenaga kependidikan (guru) mengarah
kepada profesionalisasi sebagaimana dituntut oleh Undang-undang Nomor 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Untuk meningkatkan
kualitas penyelenggaraan pelatihan, lembaga ini perlu mengundang educational expert dari Lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga
Kependidikan.
(12) Penggunaan Buku Teks Pelajaran
Ketentuan tentang Buku Teks Pelajaran sebagaimana dituangkan dalam Permen 11/2005 masih belum diterapkan secara
menyeluruh di sekolah. Berdasarkan ketentuan itu, Sekolah (guru dan kepala sekolah) dan Komite Sekolah dilarang menjual buku di
sekolah. Demikian pula, penerbit tidak boleh menjual buku langsung ke sekolah. Untuk keperluan peserta didik, para guru dapat
menganjurkan kepada orangtua atau peserta didik untuk menggunakan buku Teks Pelajaran yang telah berstandar nasional.
Pemerintah telah menyampaikan kebijakan tentang Buku Teks Pelajaran, bahwa Pemerintah Pusat tidak akan lagi menerbitkan atau
membagikan Buku Teks Pelajaran untuk sekolah. Pemerintah hanya menetapkan buku-buku berstandar nasional yang dapat dipilih
oleh sekolah untuk digunakan sebagai buku teks pelajaran di sekolah. Dalam memilih buku ini, sekolah harus mengajak dan
melibatkan Komite Sekolah (sebagai wakil masyarakat). Kenyataan di lapangan, masih ada sekolah atau guru menjual paksa buku
kepada siswa, menjual LKS kepada siswa, penerbit masih mengedrop buku ke sekolah, penentuan buku teks pelajaran tidak
mengajak komite sekolah. Masih banyak persoalan tentang buku teks ini, mungkin karena low inforcement yang masih lemah di
daerah, serta kesadaran masyarakat yang masih lemah.
(13) Pengembangan Kurikulum Sekolah
Kebijakan pemerintah yang terbaru, tahun 2006, yaitu Permen 22 tentang Standar Isi dan Permen 23 tentang Standar Kompetensi
Lulusan, dan Permen 24 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan masih sangat multi tafsir. Banyak di
antara tenaga kependidikan menyebutnya dengan Kurikulum 2006, padahal dalam ketentuan itu diungkapkan bahwa kurikulum itu
harus disusun oleh sekolah dengan mengikutsertakan komite sekolah. Ada pula yang menyebutnya dengan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP), padahal itu peristilah yang diberikan bagi kurikulum tersebut. Berdasarkan ketentuan tersebut, sekolah
harus mengembangkan kurikulumnya, sehingga kelak akan ada Kurikulum SD Negeri 8 Jatinagara atau Kurikulum SMP Ma’arif
Banjarsari. Dalam tataran kebijakan, pemerintah daerah harus dengan segera menyusun rambu-rambu pengembangan KTSP
sehingga dapat dijadikan acuan pengembangan kompetensi lokal yang harus dikembangkan di daerah. Oleh karena itu, tampaknya
masih sangat diperlukan sosialisasi secara mantap dan menyeluruh bagi tenaga kependidikan di daerah, sehingga pengembangan
kurikulum dapat mulai dipersiapkan oleh semua pihak dengan mengikutsertakan pakar di daerah yang menguasai bidang ini.
Bertolak dari kenyataan masih banyak persoalan yang dihadapi serta masih banyak pekerjaan bidang pendidikan yang belum
diimplementasikan, tampaknya perlu segera kita kaji kembali secara saksama. Mungkinkah konsep desentralisasi pendidikan ini
masih menyiratkan berbagai persoalan atau mungkin pula kita yang salah dalam menapsirkan dan memahaminya. Akan sangat
bijak, apabila kita coba berpikir dengan jernih, bahwa pendidikan adalah sebuah investasi jangka panjang dalam mempersiapkan
SDM yang unggul dan kompetitif. Pendidikan merupakan projek masa depan mempersiapkan bangsa berkualitas. Oleh karena itu,
sebaiknya marilah kita memposisikan diri pada fungsi, kewenangan, dan peran masing-masing sesuai kemampuan dan kompetensi
dalam pendidikan. Perencanaan pendidikan di Kabupaten/Kota memerlukan kesungguhan dan peranserta dari berbagai pihak,
karena pendidikan merupakan sektor yang telah diotonomkan kepada pemerintah Kabupaten/Kota. Berbagai kebijakan pendidikan
terkini, tampaknya harus segera diakses oleh semua pelaku pendidikan agar kita tidak tertinggal dengan kebijakan makro, meso,
maupun kebijakan mikro dalam bidang pendidikan.
http://suherlicentre.blogspot.com/2008/05/menilik-kebijakan-sistem-pendidikan.html
http://www.harianbatampos.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=8457
Implementasi Konsep MBS di SekolahOleh redaksi
Oleh: Kustrini Hardi
Kamis, 14-April-2005, 07:45:09
UPAYA peningkatan Mutu Pendidikan Dasar yang ditandai dengan dikeluarkannyaINPRES Nomor 5 Tahun 1994 tentang Program Wajib Belajar Pendidikan DasarSembilan Tahun, telah banyak memperlihatkan hasil yang positif. Namun hasil itubanyak pula mengalami penurunan karena krisis ekonomi yang diikuti oleh krisismultidimensional yang melanda dunia dan negara kita. Krisis tersebut secara umumtelah mengganggu pelaksanaan sistem pemerintahan dan pembangunan bidangpendidikan.
Untuk menata kembali sistem pemerintahan, telah dilakukan perubahan paradigmapemerintahan dari sentralisasi ke desentralisasi dengan dikeluarkannyaUndang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahkan telahdirevisi melalui Undang-undang Nomor 32 tahun 2004.
Perubahan sistem pemerintahan ini telah menggeser hak dan kewenanganpenyelenggaraan pendidikan dari pusat ke lini terdepan pendidikan, yakni sekolahdan masyarakat. Implementasi penyelenggaraan pendidikan yang berbasis kepadasekolah dan masyarakat ini diwujudkan melalui penerapan konsep manajemenberbasis sekolah (school-based management) dengan titik berat ManajemenPeningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS) dan partisipasi masyarakat (CommunityBased Participation) yang tujuannya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Beberapa ModelUpaya peningkatan mutu pendidikan sudah bukan merupakan upaya baru dan memangseharusnya menjadi komitmen semua pihak. Upaya ini telah ditempuh melaluiberbagai model. Pada tahun 1980-an, telah diujicobakan model pembelajaran CaraBelajar Siswa Aktif (CBSA). Akhir-akhir ini, kita mencoba pendekatan modelpembelajaran "joyful learning" atau yang lebih dikenal dengan model pembelajaranPAKEM (Pembelajaran Aktif, Efektif dan Menyenangkan).
Dari berbagai pengalaman yang amat berharga tersebut, dapat disimpulkan bahwaapapun konsep yang diterapkan di sekolah akan sangat bergantung kepada sekolahdan seluruh stakeholder pendidikan yang ada di sekolah.
Itulah sebabnya, maka kebijakan dan program yang sedang dan akan diluncurkanharus dimulai melalui upaya pemberdayaan sekolah dan masyarakat sebagai pemilikdan ujuk tombak pendidikan. Program "Bantuan Operasional untuk Manajemen Mutu(BOMM)" yang telah diluncurkan sejak tahun 1999 merupakan langkah maju untukmemberikan kepercayaan secara penuh kepada sekolah dan masyarakat dalam upayapeningkatan mutu pendidikan di sekolahnya. Program seperti ini sudah seharusnyaditindaklanjuti dan dikembangkan melalui program-program lainnya denganmenggunakan sumber dana dari pusat, propinsi maupun kabupaten/kota.
Program-program peningkatan mutu pendidikan dengan model sebagaimana disebutkandi atas juga telah dilaksanakan, antara lain melalui kegiatan RehabilitasiGedung Sekolah, Dana Bantuan Langsung (DBL), Bantuan Imbal Swadaya (BIS) yangdigunakan untuk membangun Ruang Kelas Baru (RKB), Program School Grant, ProgramRetrival, dll. Pelaksanaan program ini dimaksudkan sebagai upaya peningkatanmutu pendidikan di sekolah, yang sebagian dananya antara lain berasal dari APBN,hutang Pemerintah RI dengan pihak luar negeri yaitu negara-negara pemberipinjaman.
Pendekatan MBSBanyak manfaat yang telah dapat dirasakan baik oleh pemerintah daerah maupunpihak sekolah yang secara langsung menjadi sasaran pelaksanaan. Hal ini karenadalam melaksanakan program-program ini diterapkan prinsip-prinsip manajemenberbasis sekolah (MBS), mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, sampaidengan proses pelaporan dan umpan baliknya.
Dengan kata lain program-program yang dilaksanakan menganut prinsip-prinsipdemokratis, transparan, profesional dan akuntabel. Melalui pelaksanaan programini para pengelola pendidikan di sekolah termasuk kepala sekolah, guru, komitesekolah dan tokoh masyarakat setempat dilibatkan secara aktif dalam setiaptahapan kegiatan. Disinilah proses pembelajaran itu berlangsung dan semua pihaksaling memberikan kekuatan untuk memberikan yang terbaik bagi kemajuan sekolah.
Upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yangdisebutkan di atas, dikelola langsung oleh Komite Sekolah/Majelis Madrasahsebagai langkah awal aplikasi Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Peningkatan mutupendidikan melalui MBS ini berlandaskan pada asumsi bahwa sekolah/madrasah akanmeningkat mutunya jika kepala sekolah bersama guru, orangtua siswa danmasyarakat setempat diberi kewenangan yang cukup besar untuk mengelolakegiatannya sendiri. Pengelolaan ini meliputi perencanaan, pengorganisasian,pengawasan dan pembinaan, baik dalam hal keuangan maupun pembelajaran secaraumum. Bukankah upaya peningkatan mutu pendidikan merupakan akumulasi dari upayapeningkatan mutu pembelajaran di tingkat sekolah ?
Oleh karena itu sudah saatnya sekolah diberikan kewenangan bersama seluruhkomponen masyarakat yang ada di sekolah untuk merencanakan, melaksanakan,mengorganisir kegiatan yang berkaitan dengan peningkatan pembelajaran di sekolahmasing-masing. Untuk melaksanakan hal ini memang diperlukan perubahan yangsangat mendasar, terlebih dahulu adalah merubah paradigma atau cara pandang yangdimiliki para pemegang kebijakan, pembina dan pelaksana pendidikan.
Tujuan dan Strategi PelaksanaanTujuan program ini sebagaimana tujuan dari program Manajemen Berbasis Sekolahadalah (1) mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersama guru, unsur komitesekolah/mejelis madrasah dalam aspek manajemen berbasis sekolah untukpeningkatan mutu sekolah, (2) mengembangkan kemampuan kepala sekolah bersamaguru, unsur komite sekolah/majelis madrasah dalam melaksanakan pembelajaran yangaktif dan menyenangkan, baik di lingkungan sekolah maupun di masyarakatsetempat, (3) mengembangkan peran serta masyarakat yang lebih aktif dalammasalah umum persekolahan dari unsur komite sekolah dalam membantu peningkatanmutu sekolah.Strategi pengelolaan program dengan menggunakan pendekatan ini dapat ditempuhantara lain dengan langkah-langkah sbb :
* Memberdayakan komite sekolah/majelis madrasah dalam peningkatan mutupembelajaran di sekolah* Unsur pemerintah Kab/Kota dalam hal ini instansi yang terkait antara lainDinas Pendidikan, Badan Perencanaan Kab/Kota, Departemen Agama (yang menanganipendidikan MI, MTs dan MA), Dewan Pendidikan Kab/Kota terutama membantu dalammengkoordinasikan dan membuat jaringan kerja (akses) ke dalam siklus kegiatanpemerintahan dan pembangunan pada umumnya dalam bidang pendidikan.
* Memberdayakan tenaga kependidikan, baik tenaga pengajar (guru), kepalasekolah, petugas bimbingan dan penyuluhan (BP) maupun staf kantor,
pejabat-pejabat di tingkat kecamatan, unsur komite sekolah tentang ManajemenBerbasis Sekolah, pembelajaran yang bermutu dan peran serta masyarakat.* Mengadakan pelatihan dan pendampingan sistematis bagi para kepala sekolah,guru, unsur komite sekolah pada pelaksanaan peningkatan mutu pembelajaran* Melakukan supervisi dan monitoring yang sistematis dan konsisten terhadappelaksanaan kegiatan pembelajaran di sekolah agar diketahui berbagai kendala danmasalah yang dihadapi, serta segera dapat diberikan solusi/pemecahan masalahyang diperlukan.* Mengelola kegiatan yang bersifat bantuan langsung bagi setiap sekolah untukpeningkatan mutu pembelajaran, Rehabilitasi/Pembangunan sarana dan prasaranaPendidikan, dengan membentuk Tim yang sifatnya khusus untuk menangani dansekaligus melakukan dukungan dan pengawasan terhadap Tim bentukan sebagaipelaksana kegiatan tersebut.
Model pelaksanaan program yang telah dikembangkan ini, untuk tahun-tahunmendatang, sudah seharusnya mulai diupayakan untuk ditindaklanjuti. Hal inimengingat pelaksanaan program dengan pendekatan ini telah mampu menumbuhkansemangat dan motivasi untuk menstimulasi unsur masyarakat agar mauberpartisipasi aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan serta memberdayakansemua komponen yang ada di sekolah.
Aspek partisipasi masyarakat ini pulalah yang menjadi bagian terpenting untukmembina kebersamaan antara pemerintah dan masyarakat dalam memajukan duniapendidikan. Hal ini juga telah tercantum dan terumus jelas dalam Undang-undangSistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003.
Bukankah kita semua berharap bahwa wajah pendidikan kita ke depan akan semakincerah dan semarak ? Maka sudah saatnya kita mengembalikan kewenangan perencanaandan pelaksanaan peningkatan pendidikan dan pembelajaran itu dengan melibatkanpartisipasi aktif masyarakat dan pihak pemerintah berperan sebagai fasilitatordan stimulator.***
*) Kustrini Hardi, alumnus PPS UPI Bandung dan staf Bappedako Kota Batam
[Non-text portions of this message have been removed]
http://groups.yahoo.com/group/ppiindia/message/29218
Aplikasi dan Potensi TIK dalam PembelajaranOPINIWijaya Kusumah| 10 January 2010 | 23:50
2797
21 dari 1 Kompasianer menilai Inspiratif.
APLIKASI DAN POTENSI TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI (TIK) DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH
(Makalah yang disusun untuk Seminar Nasional KEMAKOM di UPI Bandung, sabtu 23 januari 2010)
Oleh: Wijaya Kusumah
A. PENDAHULUAN
Perkembangan di bidang Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) saat ini sangat pesat dan berpengaruh sangat signifikan
terhadap pribadi maupun komunitas, segala aktivitas, kehidupan, cara kerja, metode belajar, gaya hidup maupun cara berpikir. Oleh
karena itu, pemanfaatan TIK harus diperkenalkan kepada siswa agar mereka mempunyai bekal pengetahuan dan pengalaman
yang memadai untuk bisa menerapkan dan menggunakannya dalam kegiatan belajar, bekerja serta berbagai aspek kehidupan
sehari-hari, bahkan bisa juga dikembangkan menjadi kegiatan wira usaha.
Manusia secara berkelanjutan membutuhkan pemahaman dan pengalaman agar bisa memanfaatkan TIK secara optimal dalam
menghadapi tantangan perkembangan zaman dan menyadari implikasinya bagi pribadi maupun masyarakat. Siswa yang telah
mengikuti dan memahami serta mempraktekkan TIK akan memiliki kapasitas dan kepercayaan diri untuk memahami berbagai TIK
dan menggunakannya secara efektif. Selain dampak positif, siswa mampu memahami dampak negatif, dan keterbatasan TIK, serta
mampu memanfaatkan TIK untuk mendukung proses pembelajaran dan memanfatkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan semakin banyaknya situs pertemanan seperti facebook, twitter, friendster, dan myspacemembuat komunikasi dan saling
bertukar informasi semakin mudah. Belum lagi semakin menjamurnya tempat membuat blog gratis di internet seperti wordpress,
blogspot, livejurnal, dan multiply. Membuat kita dituntut bukan hanya mampu mencari dan memanfaatkan informasi saja, tetapi juga
mampu menciptakan informasi di internet melalui blog yang kita kelola dan terupdatedengan baik. Di sanalah muncul kreativitas
menulis yang membuat orang lain mendapatkan manfaat dari tulisan yang kita buat. Namun sayangnya, kebiasaan menulis dan
membaca belum menjadi budaya masyarakat Indonesia, termasuk guru dan siswa di sekolah. Para guru TIK dituntut agar para
peserta didiknya mampu memanfaatkan TIK untuk mengembangkan kreativitas menulis.
Pendidikan sebagai pondasi pembangunan suatu bangsa memerlukan pembahuruan-pembaharuan sesuai dengan tuntutan zaman.
Keberhasilan dalam pendidikan selalu berhubungan erat dengan kemajuan suatu bangsa yang berdampak meningkatnya
kesejahteraan kehidupan masyarakat. Pada era teknologi tinggi (high technology)perkembangan dan transformasi ilmu berjalan
begitu cepat. Akibatnya, sistem pendidikan konvensional tidak akan mampu lagi mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi.
Pendekatan-pendekatan modern dalam proses pengajaran tidak akan banyak membantu untuk mengejar perkembangan ilmu dan
teknologi jika sistem pendidikan masih dilakukan secara konvensional.
Keperluan akan penguasaan TIK telah diantisipasi oleh pemerintah dalam hal ini oleh Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) dengan dimasukkannya kurikulum TIK dalam kurikulum 2004 dan sekarang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) mulai dari pendidikan dasar sampai ke perguruan tinggi. Diharapkan dengan diimplementasikannya kurikulum TIK ini akan
meningkatkan kualitas proses pengajaran, kualitas penilaian kemajuan siswa, dan kualitas administrasi sekolah.
Adanya manajemen berbasis sekolah (MBS) memungkinkan setiap sekolah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan TIK yang
disesuaikan dengan tuntuntan zaman dan kemampuan/daya dukung sekolah yang bersangkutan. Munculnya
berbagai hardware dansoftware-software baru sekarang ini sangat membantu guru dalam menyampaikan bahan ajarnya.
Permasalahannya adalah, apakah para guru yang merupakan garda terdepan di sekolah telah memanfaatkan TIK dengan optimal?
Bagaimanakah mengaplikasikan TIK dalam pembelajaran di sekolah? Bagaimanakah peran guru di sekolah dalam mengaplikasikan
TIK dalam proses pembelajarannya? Adakah potensi yang dapat dikembangkan dalam TIK ini? Apakah struktur dan kultur guru di
sekolah telah siap dengan TIK? Bagaimanakah upaya perguruan tinggi menyiapkan tenaga guru profesional di bidang TIK?
Makalah ini mencoba membahas aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah dan peran guru dalam memanfaatkan
TIK, serta implikasinya dalam pembelajaran. Sekaligus juga mengeksplorasi kurikulum pendidikan TIK di Indonesia.
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian Teknologi Informasi dan Komunikasi
Teknologi Informasi adalah suatu teknologi yang digunakan untuk mengolah data, termasuk memproses, mendapatkan, menyusun,
menyimpan, memanipulasi data dalam berbagai cara untuk menghasilkan informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan,
akurat dan tepat waktu, yang digunakan untuk keperluan pribadi, bisnis, dan pemerintahan juga merupakan informasi yang strategis
untuk pengambilan keputusan. Teknologi ini menggunakan seperangkat komputer untuk mengolah data, sistem jaringan untuk
menghubungkan satu komputer dengan komputer yang lainnya sesuai dengan kebutuhan. Teknologi Komunikasi digunakan agar
data dapat disebar dan diakses secara global. Peran yang dapat diberikan oleh aplikasi TIK adalah mendapatkan informasi untuk
kehidupan pribadi seperti informasi tentang kesehatan, hobi, rekreasi, dan rohani. Juga dapat berkomunikasi dengan biaya murah
seperti fasilitas email yang dapat kita pergunakan dengan mudah di internet.
Melalui TIK, sarana kerjasama antara pribadi atau kelompok yang satu dengan pribadi atau kelompok yang lainnya sudah tidak lagi
mengenal batas jarak dan waktu, negara, ras, kelas ekonomi, ideologi atau faktor lainnya yang dapat menghambat bertukar pikiran
antar sesama kita. Perkembangan TIK memicu suatu cara baru dalam kehidupan, dari kehidupan dimulai sampai dengan berakhir,
kehidupan seperti ini dikenal dengan e-life, artinya kehidupan ini sudah dipengaruhi oleh berbagai kebutuhan secara elektronik.
Alangkah wajar bila sekarang ini sedang semarak dengan berbagai huruf yang dimulai dengan awalan e seperti e-commerce, e-
government, e-education, e-learning, e-library, e-journal, e-medicine, e-laboratory, e-biodiversitiy, dan lainnya yang berbasis TIK.
Dari semua e itu ada yang perlu endapatkan perhatian serius yaitu e-education, dimana kita mempunyai kewajiban untuk
mengembangkan TIK dalam proses pembelajaran yang tidak hanya mengajak peserta didik untuk mencari informasi, tetapi juga
menciptakan informasi. Mampu saling berkomunikasi dengan menggunakan berbagai aplikasi TIK yang membuat dirinya mampu
saling berbagi tentang apa yang disukainya dan apa yang dikuasainya. Membuat mereka mampu memanfaatkan TIK dengan baik.
2. Aplikasi dan Potensi TIK dalam Pembelajaran di Sekolah
Menghadapi abad ke-21, UNESCO melalui “The International Commission on Education for the Twenty First
Century” merekomendasikan pendidikan yang berkelanjutan (seumur hidup) yang dilaksanakan berdasarkan empat pilar proses
pembelajaran, yaitu: Learning to know (belajar untuk menguasai. pengetahuan)
Learning to do (belajar untuk menguasai keterampilan ), Learning to be (belajar untuk mengembangkan diri), dan Learning to
live together (belajar untuk hidup bermasyarakat). Untuk dapat mewujudkan empat pilar pendidikan di era globalisasi informasi
sekarang ini, para guru sebagai agen pembelajaran perlu menguasai dan menerapkan TIK dalam pembelajaran di sekolah.
Menurut Rosenberg (2001), dengan berkembangnya penggunaan TIK ada lima pergeseran dalam proses pembelajaran yaitu: (1)
dari pelatihan ke penampilan, (2) dari ruang kelas ke, di mana dan kapan saja, (3) dari kertas ke “on line” atau saluran, (4) dari
fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja, dan (5) dari waktu siklus ke waktu nyata. Komunikasi sebagai media pendidikan dilakukan
dengan menggunakan media-media komunikasi seperti telepon, komputer, internet, e-mail, dan sebagainya. Interaksi antara guru
dan siswa tidak hanya dilakukan melalui hubungan tatap muka tetapi juga dilakukan dengan menggunakan media-media tersebut.
Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh
informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber spaceatau ruang maya dengan menggunakan komputer atau
internet. Di sinilah peran guru untuk membuat kurikulumnya sendiri yang dapat membuat peserta didik beajar secara aktif.
Hal yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut “cyber teaching” atau pengajaran maya, yaitu proses
pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet. Istilah lain yang makin popuper saat ini ialah e-learning yaitu satu
model pembelajaran dengan menggunakan media TIK khususnya internet. Menurut Rosenberg (2001), e-learningmerupakan satu
penggunaan teknologi internet dalam penyampaian pembelajaran dalam jangkauan luas yang belandaskan tiga kriteria yaitu: (1) e-
learning merupakan jaringan dengan kemampuan untuk memperbaharui, menyimpan, mendistribusi dan membagi materi ajar atau
informasi, (2) pengiriman sampai ke pengguna terakhir melalui komputer dengan menggunakan teknologi internet yang standar, (3)
memfokuskan pada pandangan yang paling luas tentang pembelajaran di balik paradigma pembelajaran tradisional. Sejalan
dengan perkembangan TIK itu sendiri pengertian e-learning menjadi lebih luas yaitu pembelajaran yang pelaksanaannya didukung
oleh jasa teknologi seperti telepon, audio, video tape, transmisi satellite atau komputer (Soekartawi, Haryono dan Librero, 2002).
Saat ini e-learning telah berkembang dalam berbagai model pembelajaran yang berbasis TIK seperti: CBT (Computer Based
Training), CBI (Computer Based Instruc-tion), Distance Learning, Distance Education, CLE (Cybernetic Learning Environment),
Desktop Videoconferencing, ILS (Integrated Learning System), LCC (Learner-Cemterted Classroom), Teleconferencing, WBT
(Web-Based Training), dan sebagainya.
Selain e-learning, potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah dapat juga memanfaatkan e-laboratory dan e-library. Adanya
laboratorium virtual (virtual lab) memungkinkan guru dan siswa dapat belajar menggunakan alat-alat laboratorium atau praktikum
tidak di laboratorium secara fisik, tetapi dengan menggunakan media komputer. Perpustakaan elektronik (e-library) sekarang ini
sudah menjangkau berbagai sumber buku yang tak terbatas untuk bisa diakses tanpa harus membeli buku/sumber belajar tersebut.
Globalisasi telah memicu kecenderungan pergeseran dalam dunia pendidikan dari pendidikan tatap muka yang konvensional ke
arah pendidikan yang lebih terbuka. Globalisasi juga membawa peran yang sangat penting dalam mengarahkan dunia pendidikan
kita dengan memanfaatkan TIK dalam pembelajaran. Sebenarnya, ada empat level pemanfaatan TIK untuk pendidikan menurut
UNESCO, yaitu: Level 1: Emerging - baru menyadari pentingnya TIK untuk pendidikan; Level 2: Applying - baru mempelajari
TIK (learning tom use ICT); Level 3:Integrating - belajar melalui dan atau meng-gunakan TIK (using ICT to learn); Level
4:Transforming - dimana TIK telah menjadi katalis efektifitas dan efisiensi pembelajaran serta reformasi pendidikan secara umum.
Salah satu bentuk produk TIK yang sedang “ngetrend” saat ini adalah internet yang berkembang pesat di penghujung abad 20 dan
di ambang abad 21. Kehadirannya telah memberikan dampak yang cukup besar terhadap kehidupan umat manusia dalam berbagai
aspek dan dimensi. Internet merupakan salah satu instrumen dalam era globalisasi yang telah menjadikan dunia ini menjadi
transparan dan terhubungkan dengan sangat mudah dan cepat tanpa mengenal batas-batas kewilayahan atau kebangsaan. Melalui
internet setiap orang dapat mengakses ke dunia global untuk memperoleh informasi dalam berbagai bidang dan pada gilirannya
akan memberikan pengaruh dalam keseluruhan perilakunya. Dalam kurun waktu yang amat cepat beberapa dasawarsa terakhir
telah terjadi revolusi internet di berbagai negara serta penggunaannya dalam berbagai bidang kehidupan. Keberadaan internet
pada masa kini sudah merupakan satu kebutuhan pokok manusia modern dalam menghadapi berbagai tantangan perkembangan
global. Kondisi ini sudah tentu akan memberikan dampak terhadap corak dan pola-pola kehidupan umat manusia secara
keseluruhan. Dalam kaitan ini, setiap orang atau bangsa yang ingin lestari dalam menghadapi tantangan global, perlu meningkatkan
kualitas dirinya untuk beradaptasi dengan tuntutan yang berkembang. TIK telah mengubah wajah pembelajaran yang berbeda
dengan proses pembelajaran tradisional yang ditandai dengan interaksi tatap muka antara guru dengan siswa baik di kelas maupun
di luar kelas.
Di masa-masa mendatang, arus informasi akan makin meningkat melalui jaringan internet yang bersifat global di seluruh dunia dan
menuntut siapapun untuk beradaptasi dengan kecenderungan itu kalau tidak mau ketinggalan jaman. Dengan kondisi demikian,
maka pendidikan khususnya proses pembelajaran cepat atau lambat tidak dapat terlepas dari keberadaan komputer dan internet
sebagai alat bantu utama.
Salah satu tulisan yang berkenaan dengan dunia pendidikan disampaikan oleh Robin Paul Ajjelo dengan judul “Rebooting: The
Mind Starts at School”. Dalam tulisan tersebut dikemukakan bahwa ruang kelas di era millenium yang akan datang akan jauh
berbeda dengan ruang kelas seperti sekarang ini yaitu dalam bentuk seperti laboratorium komputer di mana tidak terdapat lagi
format anak duduk di bangku dan guru berada di depan kelas. Ruang kelas di masa yang akan datang disebut sebagai “cyber
classroom” atau “ruang kelas maya” sebagai tempat anak-anak melakukan aktivitas pembelajaran secara individual maupun
kelompok dengan pola belajar yang disebut “interactive learning” atau pembelajaran interaktif melalui komputer dan internet. Anak-
anak berhadapan dengan komputer dan melakukan aktivitas pembelajaran secara interaktif melalui jaringan internet untuk
memperoleh materi belajar dari berbagai sumber belajar. Anak akan melakukan kegiatan belajar yang sesuai dengan kondisi
kemampuan individualnya sehingga anak yang lambat atau cepat akan memperoleh pelayanan pembelajaran yang sesuai dengan
dirinya. Kurikulum dikembangkan sedemikian rupa dalam bentuk yang lebih kenyal atau lunak dan fleksibel sesuai dengan kondisi
lingkungan dan kondisi anak sehingga memberikan peluang untuk terjadinya proses pembelajaran maju berkelanjutan baik dalam
dimensi waktu maupun ruang dan materi. Dalam situasi seperti ini, guru bertindak sebagai fasilitator pembelajaran sesuai dengan
peran-peran sebagaimana dikemukakan di atas.
Robin Paul Ajjelo juga mengemukakan secara ilustratif bahwa di masa-masa mendatang isi tas anak sekolah bukan lagi buku-buku
dan alat tulis seperti sekarang ini, akan tetapi berupa: (1) komputer notebook dengan akses internet tanpa kabel, yang bermuatan
materi-materi belajar yang berupa bahan bacaan, materi untuk dilihat atau didengar, dan dilengkapi dengan kamera digital serta
perekam suara, (2) Jam tangan yang dilengkapi dengan data pribadi, uang elektronik, kode sekuriti untuk masuk rumah, kalkulator,
dsb. (3) Videophone bentuk saku dengan perangkat lunak, akses internet, permainan, musik, dan TV, (4) alat-alat musik, (5) alat
olah raga, dan (6) bingkisan untuk makan siang. Hal itu menunjukkan bahwa segala kelengkapan anak sekolah di masa itu nanti
berupa perlengkapan yang bernuansa internet sebagai alat bantu belajar.
Namun sayangnya, di negeri kita yang kaya ini, dan terdiri dari berbagai pulau, hal di atas masih seperti mimpi karena struktur dan
kultur serta SDM guru yang profesional belum merata dengan baik. Di berbagai kota besar seperti Jakarta misalnya, beberapa
sekolah maju dan internasional telah mengaplikasikannya, tetapi buat sekolah-sekolah di daerah, mungkin masih jauh panggang
dari api dalam mengaplikasikan TIK.
Meskipun TIK dalam bentuk komputer dan internet telah terbukti banyak menunjang proses pembelajaran anak secara lebih efektif
dan produktif, namun di sisi lain masih banyak kelemahan dan kekurangan. Dari sisi kegairahan kadang-kadang anak-anak lebih
bergairah dengan internetnya itu sendiri dibandingkan dengan materi yang dipelajari. Terkadang anak-anak lebih senang bermain
games ketimbang materi yang diberikan oleh guru. Karena games sangat menarik peserta didik untuk rehat sejenak dari segala
pembelajaran yang diterimanya di sekolah. Dapat juga terjadi proses pembelajaran yang terlalu bersifat individual sehingga
mengurangi pembelajaran yang bersifat sosial. Dari aspek informasi yang diperoleh, tidak terjamin adanya ketepatan informasi dari
internet sehingga sangat berbahaya kalau anak kurang memiliki sikap kritis terhadap informasi yang diperoleh. Bagi anak-anak
sekolah dasar penggunaan internet yang kurang proporsional dapat mengabaikan peningkatan kemampuan yang bersifat manual
seperti menulis tangan, menggambar, berhitung, dan sebagainya. Dalam hubungan ini guru perlu memiliki kemampuan dalam
mengelola kegiatan pembelajaran secara proporsional dan demikian pula perlunya kerjasama yang baik dengan orang tua untuk
membimbing anak-anak belajar di rumah masing-masing.
a. Pergeseran pandangan tentang pembelajaran
Untuk dapat memanfaatkan TIK dalam memperbaiki mutu pembelajaran, ada tiga hal yang harus diwujudkan yaitu (1) siswa dan
guru harus memiliki akses kepada teknologi digital dan internet dalam kelas, sekolah, dan lembaga pendidikan guru, (2) harus
tersedia materi yang berkualitas, bermakna, dan dukungan kultural bagi siswa dan guru, dan (3) guru harus memiliki pengetahuan
dan ketrampilan dalam menggunakan alat-alat dan sumber-sumber digital untuk membantu siswa agar mencapai standar
akademik. Sejalan dengan pesatnya perkembangan TIK, maka telah terjadi pergeseran pandangan tentang pembelajaran baik di
kelas maupun di luar kelas. Dalam pandangan tradisional proses pembelajaran dipandang sebagai: (1) sesuatu yang sulit dan
berat, (2) upaya mengisi kekurangan siswa, (3) satu proses transfer dan penerimaan informasi, (4) proses individual atau soliter, (5)
kegiatan yang dilakukan dengan menjabarkan materi pelajaran kepada satuan-satuan kecil dan terisolasi, (6) suatu proses linear.
Sejalan dengan perkembangan TIK telah terjadi perubahan pandangan mengenai pembelajaran yaitu pembelajaran sebagai: (1)
proses alami, (2) proses sosial, (3) proses aktif dan pasif, (4) proses linear dan atau tidak linear, (5) proses yang berlangsung
integratif dan kontekstual, (6) aktivitas yang berbasis pada model kekuatan, kecakapan, minat, dan kultur siswa, (7) aktivitas yang
dinilai berdasarkan pemenuhan tugas, perolehan hasil, dan pemecahan masalah nyata baik individual maupun kelompok.
Hal itu telah mengubah peran guru dan siswa dalam pembelajaran. Peran guru telah berubahdari: (1) sebagai penyampai
pengetahuan, sumber utama informasi, ahli materi, dan sumber segala jawaban, menjadi sebagai fasilitator pembelajaran, pelatih,
kolaborator, navigator pengetahuan, dan mitra belajar; (2) dari mengendalikan dan mengarahkan semua aspek
pembelajaran, menjadi lebih banyak memberikan lebih banyak alternatif dan tanggung jawab kepada setiap siswa dalam proses
pembelajaran. Sementara itu peran siswa dalam pembelajaran telah mengalami perubahan yaitu: (1) dari penerima informasi yang
pasif menjadipartisipan aktif dalam proses pembelajaran, (2) dari mengungkapkan kembali pengetahuanmenjadi menghasilkan
dan berbagai pengetahuan, (3) dari pembelajaran sebagai aktiivitas individual (soliter) menjadi pembelajaran berkolaboratif
dengan siswa lain.
Lingkungan pembelajaran yang di masa lalu berpusat pada guru, kini telah bergeser menjadi berpusat pada siswa. Secara rinci
dapat digambarkan sebagai berikut:
Lingkungan Berpusat pada GURU Berpusat pada SISWAAktivitas kelas Guru sebagai sentral dan bersifat didaktis Siswa sebagai sentral dan bersifat
interaktifPeran guru Menyampaikan fakta-fakta, guru sebagai
ahliKolaboratif, kadang-kadang siswa sebagai ahli
Penekanan pengajaran Mengingat fakta-fakta Hubungan antara informasi dan temuanKonsep pengetahuan Akumulasi fakta secara kuantitas Transformasi fakta-faktaPenampilan keberhasilan Penilaian acuan norma Kuantitas pemahaman, pe-nilaian acuan
patokanPenilaian Soal-soal pilihan berganda Portofolio, pemecahan masalah, dan
penampilanPenggunaan teknologi Latihan dan praktek Komunikasi, akses, kolaborasi, ekspresi
b. Kreativitas dan kemandirian belajar
Dengan memperhatikan pengalaman beberapa negara sebagaimana dikemukakan di atas, jelas sekali TIK mempunyai pengaruh
yang cukup berarti terhadap proses dan hasil pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. TIK telah memungkinkan terjadinya
individuasi, akselerasi, pengayaan, perluasan, efektivitas dan produktivitas pembelajaran yang pada gilirannya akan meningkatkan
kualitas pendidikan sebagai infrastruktur pengembangan SDM secara keseluruhan. Melalui penggunaan TIK setiap siswa akan
terangsang untuk belajar maju berkelanjutan sesuai dengan potensi dan kecakapan yang dimilikinya. Pembelajaran dengan
menggunakan TIK menuntut kreativitas dan kemandirian diri sehingga memungkinkan mengembangkan semua potensi yang
dimilikinya..
Dalam menghadapi tantangan kehidupan modern di abad-21 ini kreativitas dan kemandirian sangat diperlukan untuk mampu
beradaptasi dengan berbagai tuntutan. Kreativitas sangat diperlukan dalam hidup ini dengan beberapa alasan antara lain: pertama,
kreativitas memberikan peluang bagi individu untuk mengaktualisasikan dirinya, kedua, kreativitas memungkinkan orang dapat
menemukan berbagai alternatif dalam pemecahan masalah, ketiga,kreativitas dapat memberikan kepuasan hidup,
dan keempat, kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dari segi kognitifnya, kreativitas merupakan
kemampuan berfikir yang memiliki kelancaran, keluwesan, keaslian, dan perincian. Sedangkan dari segi afektifnya kreativitas
ditandai dengan motivasi yang kuat, rasa ingin tahu, tertarik dengan tugas majemuk, berani menghadapi resiko, tidak mudah putus
asa, menghargai keindahan, memiliki rasa humor, selalu ingin mencari pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain,
dan sebagainya. Karya-karya kreatif ditandai dengan orisinalitas, memiliki nilai, dapat ditransformasikan, dan dapat
dikondensasikan. Selanjutnya kemandirian sangat diperlukan dalam kehidupan yang penuh tantangan ini sebab kemandirian
merupakan kunci utama bagi individu untuk mampu mengarahkan dirinya ke arah tujuan dalam kehidupannya. Kemandirian
didukung dengan kualitas pribadi yang ditandai dengan penguasaan kompetensi tertentu, konsistensi terhadap pendiriannya, kreatif
dalam berfikir dan bertindak, mampu mengendalikan dirinya, dan memiliki komitmen yang kuat terhadap berbagai hal.
Dengan memperhatikan ciri-ciri kreativitas dan kemandirian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa TIK memberikan peluang untuk
berkembangnya kreativitas dan kemandirian siswa. Pembelajaran dengan dukungan TIK memungkinkan dapat menghasilkan
karya-karya baru yang orsinil, memiliki nilai yang tinggi, dan dapat dikembangkan lebih jauh untuk kepentingan yang lebih
bermakna. Melalui TIK siswa akan memperoleh berbagai informasi dalam lingkup yang lebih luas dan mendalam sehingga
meningkatkan wawasannya. Hal ini merupakan rangsangan yang kondusif bagi berkembangnya kemandirian anak terutama dalam
hal pengembangan kompetensi, kreativitas, kendali diri, konsistensi, dan komitmennya baik terhadap diri sendiri maupun terhadap
pihak lain.
2. Peran guru dalam mengaplikasikan TIK di sekolah
Semua hal itu tidak akan terjadi dengan sendirinya karena setiap siswa memiliki kondisi yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Siswa memerlukan bimbingan baik dari guru maupun dari orang tuanya dalam melakukan proses pembelajaran dengan dukungan
TIK. Dalam kaitan ini guru memegang peran yang amat penting dan harus menguasai seluk beluk TIK dan yang lebih penting lagi
adalah kemampuan memfasilitasi pembelajaran anak secara efektif. Peran guru sebagai pemberi informasi harus bergeser menjadi
manajer pembelajaran dengan sejumlah peran-peran tertentu, karena guru bukan satu-satunya sumber informasi melainkan hanya
salah satu sumber informasi. Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk
(1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai:
pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang. Sebagai pelatih
(coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya
sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu
cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar
permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan
dan kondisi yang ada. Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa
melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru.
Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal.
Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan
kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran. Sebagai partisipan, guru
tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna
bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa.
Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan
perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya
sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luar mengajar. Sebagai pembelajar, guru harus secara
terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.
Sebagai pengarang,guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan
tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang
baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus
didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya. Oleh karenanya, guru dituntut
untuk membuat buku.
Sayangnya saat ini, masih banyak guru kita yang belum melek TIK atau ICT (Information and Communcation
Technology). Mengacu pada hal tersebut di atas, sudah saatnya “GERAKAN MELEK ICT (ICT LITERACY MOVEMENT)” menjadi
gerakan nasional yang sama “urgent”nya atau lebih “urgent” dibandingkan dengan GERAKAN KELUARGA BERENCANA di jaman
Orde Baru dahulu, jaman Presiden Soeharto. Mudah-mudahan, dengan dibentuknya gerakkan melek ICT di sekolah, para guru
dapat memaksimalkan potensi TIK dalam proses pembelajarannya. Pemerintah maupun swasta perlu bekerja sama dalam
membantu guru melakukan pelatihan-pelatihan di bidang ICT, seperti penguasaan power point, ngeblog di internet, bikin software
untuk bahan ajarnya, seperti menguasai program Macromedia Flash, Camtasia, dan lain sebagainya.
Aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah yang dikembangkan oleh guru dapat memberikan beberapa manfaat
antara lain.
a. Pembelajaran menjadi lebih interaktif, simulatif, dan menarik
b. Dapat menjelaskan sesuatu yang sulit / kompleks
c. Mempercepat proses yang lama
d. Menghadirkan peristiwa yang jarang terjadi
e. Menunjukkan peristiwa yang berbahaya atau di luar jangkauan
Kurikulum TIK yang sekarang ini telah dibuat oleh pusat kurikulum yang bekerjsama dengan Badan standar Nasional (BSNP)
adalah kurikulum standar yang terdiri dari SK (Standar Kompetensi), dan KD (Kompetensi Dasar) yang masih harus dikembangkan
oleh guru itu sendiri dalam mengaplikasikannya sesuai dengan kondisi sekolah. Guru TIK dituntut untuk membuat kurikulumnya
sendiri sesuai dengan SK dan KD dengan berbagai ragam pengayaan yang dimiliki oleh guru di daerahnya masing-masing.
Sayangnya, banyak guru yang belum siap membuat kurikulumnya sendiri dan masih banyak guru yang copy and paste dalam
membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Padahal dlam KTSP guru diberikan kebebasan untuk berkreativitas dalam
memberikan materi pengayaan kepada para peserta didiknya.
B. PENUTUP
Aplikasi dan potensi teknologi informasi dan komunikasi (TIK) telah membawa pergeseran pandangan tentang pembelajaran dan
peran guru dalam proses pembelajaran di sekolah. Penerapan TIK dalam pembelajaran memungkinkan kegiatan belajar mengajar
lebih interaktif, simulatif dan lebih menarik. Oleh karena itu guru di era globalisasi informasi ini dituntut untuk mampu menguasai
dan mengalipkasikan TIK dalam pembelajaran. Mengajak peserta didik untuk mampu memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-
hari. Mampu meciptakan informasi dengan membangun connecting and sharing.
Perubahan paradigma dalam proses pembelajaran dari pembelajaran konvensional ke pembelajaran yang beriorientasi pada
penerapan TIK akan mempercepat peningkatan kualitas pendidikan yang pada akhirnya dapat mengejar ketertinggalan dari negara-
negara lain di dunia.
Bagaimanapun banyaknya dampak positif dalam penerapan TIK dalam pembelajaran di sekolah, kita mempunyai tanggungjawab
bersama dalam meminimalisasi dampak negatif yang muncul baik secara individual, maupun sosial. Jangan iarkan anak-anak kita
terlalu asyik dengan facebooknya dan games-games online lainnya. Anak harus diajarkan untuk mampu membaca dan menulis.
Menciptakan informasi di dunia maya, walupun kita tahu dunia maya tak secantik Luna Maya yang terkena kasus dengan tulisannya
di situs sosial Twitter.
Mulai saat ini marilah kita tidak GATEK, dan tidak ALERGI dengan TIK. Siapa yang menguasai TIK, pasti dia akan menguasai
dunia. Kita pun merasakan bahwa masih banyak yang harus disempurnakan untuk memperbaharui kurikulum TIK yang ada di
sekolah-sekolah kita. Perlu kerjasama (kolaborasi) antara guru di sekolah dan dosen di perguruan tinggi untuk memperbaiki kualitas
kurikulum TIK di Indonesia. Jangan sampai terjadi tumpang tindih materi dalam mengaplikasikan TIK. Semoga struktur dan kultur
berjalan seimbang di sekolah-sekolah kita, sehingga aplikasi dan potensi TIK dalam pembelajaran di sekolah berjalan dengan baik
dan sesuai dengan kurikulum yang diharapkan oleh pemerintah.
C. DAFTAR PUSTAKA
Chaeruman, Uwes Anis., “Urgensi Gerakan Melek ICT di Sekolah“, http://www.wijayalabs.wordpress.com
Kusumah, Wijaya, dkk, “Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk SMP kelas 7, 8, dan 9″,Jakarta. Rajagrafindo, 2009
Kusumah, Wijaya, dan Dedi, “Penelitian Tindakan Kelas”, Jakarta, Indeks, 2009
Kusumah, Wijaya, “Yuk Kita Nge-Blog!”, Jakarta. Rajagrafindo, 2010
Natakusumah, E.K., “Perkembangan Teknologi Informasi di Indonesia.“, Pusat Penelitian informatika - LIPI Bandung, 2002-
Natakusumah, E.K., “Perkembangan Reknologi Informasi untuk Pembelajaran Jarak Jauh.“, Orasi Ilmiah disampaikan pada Wisuda
STMIK BANDUNG, Januari 2002
Purbo, Onno W., “Teknologi E-learning”, Elex Media Komputindo, Jakarta, 2002.
Rahardjo, Budi., , “Implikasi Teknologi Informasi Dan Internet Terhadap Pendidikan, Bisnis, Dan Pemerintahan” , Pusat Penelitian
Antar Univeristas bidang Mikroelektronika (PPAUME) Institut Teknologi Bandung tahun 2000.
Soekartawi, A. Haryono dan F. Librero (2002), Greater Learning Opportunities Through Distance Education: Experiences in
Indonesia and the Philippines. Southeast Journal of Education (December 2002)
Surya, Mohamad., Makalah dalam Seminar “Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Pendidikan Jarak Jauh dalam
Rangka Peningkatan Mutu Pembelajaran”, diselenggarakan oleh Pustekkom Depdiknas, tanggal 12 Desember 2006 di Jakarta.
Sutisna, Entis.,”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan komunikasi dalam Pembelajaran, Guru SMAN 4 Tangerang, tahun 2006
Catatan:
Makalah ini akan dipresentasikan oleh Omjay pada 23 Januari 2010, mohon masukan dari teman-teman!
Salam Blogger Persahabatan
Omjay
http://edukasi.kompasiana.com/2010/01/10/aplikasi-dan-potensi-tik-dalam-pembelajaran/
PERAN MBS
7.09.2009
Oleh : Prof. Dr. H. Endang Komara, M.Si
A. Abstrak
Manajemen Berbasis Sekolah merupakan satu bentuk agenda reformasi pendidikan di Indonesia yang menjadi sebuah
kebutuhan untuk memberdayakan peranan sekolah dan masyarakat dalam mendukung pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah. Secara esensial Manajemen Berbasis Sekolah menawarkan diskursus ketika sekolah tampil secara
relatif otonom, dengan tidak mereduksi peran pemerintah, terutama dalam bidang pendanaan.
Hal tersebut tentunya akan berakibat pada mutu pendidikan. Apabila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada
pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu merupakan sarana yang memungkinkan para profesional
pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang akan bermuara pada sistem pendidikan bangsa kita.
B. Pendahuluan
Sejak bergulirnya reformasi pertengahan tahun 1998, telah terjadi gelombang perubahan dalam segala sendi kehidupan,
baik kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Perubahan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara saat ini merupakan pergeseran terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan. Selama ini
penggunaan pradigma sentralistik selanjutnya terjadi pergeseran orientasi menuju paradigma desentralistik. Perubahan
orientasi paradigma ini diberlakukan melalui penetapan perundang-undangan mengenaai Pemerintah Daerah, yang lebih
sering kita dengar dengan terminologi otonomi daerah.
Perubahan orientasi paradigma tersebut telah melahirkan sistem penyelenggaraan pemerintahan yang lebih dinamis.
Seluruh aktivitas yang dilakukan cenderung berdasarkan aspirasi setempat (kedinasan), sehingga sasaran lebih terjamin
pencapaiannya. Dengan demikian, prinsip efektivitas terhadap perencanaan nasional maupun daerah diharapkan terpenuhi
secara maksimal dan optimal. Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemetaan permasalahan bersifat objektif, aktual,
konstektual dan berbagai masalah teridentifikasi secara objektif.
Salah satu implementasi dari penerapan paradigma desentralisasi itu adalah di sektor pendidikan. Sektor pendidikan
selama ini ditengarai terabaikan dan dianggap hanya sebagai bagian dari aktivitas sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Akibatnya, sektor pendidikan dijadikan komoditas berbagai variabel di atas oleh para pengambil kebijakan, baik oleh
eksekutif maupun legislatif ketika mereka menganggap perlu mengangkat isu-isu kependidikan yang dapat meningkatkan
perhatian publik terhadap mereka. Memang ironis dan memprihatinkan ketika bangsa lain justru menjadikan pendidikan
sebagai leading sector pembangunannya, menuju keadilan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Begitulah sektor pendidikan ditempatkan selama ini, ia tidak menjadi leading sector dalam perencanaan pembangunan
mutu manusia secara nasional. Padahal amanah terpenting dari kemerdekaan bangsa ini adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa. Seharusnya seluruh perencanaan dan aktivitas apa pun yang dilakukan adalah dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa.
Pendidikan merupakan salah satu bidang yang disentralisasikan yang berkaitan erat dengan filosofi otonomi daerah.
Secara esensial landasan filosofis otonomi daerah adalah pemberdayaan dan kemandirian daerah menuju kematangan dan
kualitas masyarakat yang dicita-citakan (Gafar, 2000). Pendidikan merupakan salah satu instrumen paling penting dalam
kehidupan manusia. Ia merupakan bentuk strategi budaya tertua bagi manusia untuk mempertahankan berlangsungnya
eksistensi mereka (Fakih dalam Wahono, 2000: iii). Oleh karenanya, upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitasnya harus dilakukan secara terus menerus. Melalui pendidikan diharapkan pemberdayaan, kematangan, dan
kemandirian serta mutu bangsa secara menyeluruh dapat terwujud. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan
yang bersifat fungsional bagi setiap manusia dan memiliki kedudukan strategis untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tantangan lainnya yang mempengaruhi pendidikan adalah perubahan yang terjadi akibat semakin mengglobalnya tatanan
pergaulan kehidupan dunia saat ini. Di era globalisasi, kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas tidak
bisa ditawar lagi dengan adanya tantangan yang dihadapi yakni persaingan dengan negara lainnya, khususnya negara
tetangga di kawasan ASEAN. Padahal saat ini kualitas sumber daya manusia negara kita berdasarkan parameter yang
ditetapkan oleh UNDP pada tahun 2000 berada pada peringkat ke-109. Padahal Singapura, Malaysia, Thailand dan Fhilipina
lebih baik peringkatnya dari kita. Dalam upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia, kita semua sepakat bahwa
pendidikan memegang peran yang sangat penting. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan salah satu proses yang
terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri (Suryadi, 1999).
Walaupun tujuh tahun telah berlalu sejak penetapan UNDP tahun 2000 tentang peringkat mutu sumber daya manusia
Indonesia, ternyata hingga saat ini bukannya semakin meningkat meningkat, tetapi tetap jalan ditempat, bahkan
teridentifikasi semakin menurun. Berdasarkan laporan World Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia pada tahun
2006 berada diurutan ke-50, Malaysia ke-26, Singapura ke-5, India ke-43 dan Korea Selatan ke-24. Oleh karena itu, upaya
untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia melalui pendidikan, dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan
efisien, sesuai dengan kebutuhan yang semakin mendesak.
Terminologi pendidikan memiliki ruang lingkup yang luas, meliputi pendidikan persekolahan dan pendidikan luar sekolah.
Namun demikian kenyataan menunjukkan bahwa tumpuan utamanya dalam pengembangan sumber daya manusia melalui
pendidikan berada pada pendidikan persekolahan. Karena itu, upaya reformasi pendidikan ditujukan untuk memperbaiki
sistem pendidikan persekolahan agar dapat menjawab tantangan nasional, regional dan global yang berada di hadapan
kita.
Salah satu pendekatan yang dipilih di era desentralisasi sebagai alternatif peningkatan kualitas pendidikan persekolahan
adalah pemberian otonomi yang luas di tingkat sekolah serta partisipasi masyarakat yang tinggi dalam kerangka kebijakan
pendidikan nasional. Pendekatan tersebut dikenal dengan model Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah (MPBS) atau
School Based Management.
Mutu menjadi satu-satunya hal yang sangat penting dalam pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Saat ini memang ada
masalah dalam sistem pendidikan. Lulusan SMK atau perguruan tinggi tidak siap memenuhi kebutuhan masyarakat. Para
siswa yang tidak siap jadi warga negara yang bertanggung jawab dan produktif itu, akhirnya hanya jadi beban masyarakat.
Para siswa itu adalah produk sistem pendidikan yang tidak terfokus pada mutu, yang akhirnya hanya memberatkan
anggaran kesejahteraan sosial saja. Adanya lulusan lembaga pendidikan yang seperti itu berdampak pula pada sistem
peradilan kriminal, lantaran mereka tak dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan generasi mendatang, dan yang lebih
parah lagi, akhirnya mereka menjadi warga negara yang merasa terasing dari masyarakatnya.
Bila mutu pendidikan hendak diperbaiki, maka perlu ada pimpinan dari para profesional pendidikan. Manajemen mutu
merupakan sarana yang memungkinkan para profesional pendidikan dapat beradaptasi dengan kekuatan perubahan yang
memukul sistem pendidikan bangsa ini. Pengetahuan yang diperlukan untuk memperbaiki sistem pendidikan kita
sebenarnya sudah ada dalam komunitas pendidikan kita sendiri. Kesulitan utama yang dihadapi para profesional
pendidikan sekarang ini adalah ketidakmampuannya menghadapi sistem yang gagal sehingga menjadi tabir bagi para
profesional pendidikan itu untuk mengembangkan atau menerapkan proses baru pendidikan yang akan memperbaiki mutu
pendidikan.
Pendidikan harus mengubah paradigmanya. Norma-norma dan keyakinan-keyakinan lama harus dipertanyakan. Sekolah
mesti belajar untuk bisa berjalan dengan sumber daya yang sedikit. Para profesional pendidikan harus membantu para
siswa mengembangkan keterampilan yang akan mereka butuhkan untuk bersaing dalam perekonomian global. Sayangnya,
kebanyakan sekolah masih memandang bahwa mutu akan meningkat hanya jika masyarakat bersedia memberi dana yang
lebih besar. Padahal dana bukanlah hal utama dalam perbaikan mutu pendidikan. Mutu pendidikan akan meningkat bila
administrator, guru, staf dan anggota dewan sekolah mengembangkan sikap baru yang terfokus pada kepemimpinan, kerja
tim, kooperasi, ekuntabilitas dan pengakuan.
Para profesional pendidikan sekarang ini kurang memiliki pengetahuan atau pengalaman yang diperlukan untuk
menyiapkan para siswanya memasuki pasar kerja global. Tradisi rupanya menghalangi proses pendidikan untuk melakukan
perubahan yang diperlukan agar programnya sesuai dengan kebutuhan siswa. Masyarakat menuntut mutu pendidikan
diperbaiki, namun masyarakat enggan mendukung dunia pendidikan untuk mengupayakan perbaikan. Banyak profesional
pendidikan yang takut pada perubahan dan tidak tahu cara menjawab tantangan zaman.
Para profesional pendidikan mestinya sadar, program mutu di dunia komersial tidak bisa dijalankan dalam bidang
pendidikan. Karena proses kerja, budaya dan lingkungan organisasi di kedua bidang itu berbeda. Para profesional
pendidikan harus diberi program mutu yang khusus dirancang untuk dunia pendidikan. Salah satu komponen penting
program mutu dalam pendidikan adalah mengembangkan sistem pengukuran yang memungkinkan para profesional
pendidikan mendokumentasikan dan menunjukkan nilai tambah pendidikan bagi siswa dan komunitasnya.
Masyarakat dan dunia pendidikan mesti mengeliminasi fokus jangka pendeknya. Salah satu ciri dunia modern adalah
terjadinya perubahan yang konstan. Perubahan merupakan hal penting. Manajemen mutu dapat membantu sekolah
menyesuaikan diri dengan perubahan melalui cara yang positif dan konstruktif. Penyelesaian yang cepat tidak akan
memecahkan persoalan pendidikan masa kini. Penyelesaian masalah secara cepat sudah pernah dilakukan, dan terbukti
gagal. Oleh sebab itu diperlukan dedikasi, fokus dan keajegan tujuan dalam memperbaiki mutu pendidikan. Untuk
mencapai lingkungan pendidikan yang bermutu, semua stakeholder pendidikan mesti memiliki komitmen pada proses
transformasi.
C. Pembahasan
1. Peran Manajemen Berbasis Sekolah
Lembaga pendidikan formal atau sekolah dikonsepsikan untuk mengembangkan fungsi reproduksi, penyadaran dan
mediasi secara simultan. Fungsi-fungsi sekolah itu diwadahi melalui proses pendidikan dan pembelajaran sebagai inti
bisnisnya. Pada proses pendidikan dan pembelajaran itulah terjadi aktivitas kemanusiaan dan pemanusiaan sejati. Tiga
pilar fungsi sekolah yakni fungsi pendidikan sebagai penyadaran; fungsi progresif pendidikan dan; fungsi mediasi
pendidikan ( Danim, 2007:1).
Hal tersebut nampak bahwa sekolah hanyalah salah satu dari subsistem pendidikan karena lembaga pendidikan itu
sesungguhnya identik dengan jaringan-jaringan kemasyarakatan. Fungsi penyadaran atau fungsi konservatif bermakna
bahwa sekolah bertanggung jawab untuk mempertahankan nilai-nilai budaya masyarakat dan membentuk kesejatian diri
sebagai manusia. Pendidikan sebagai instrumen penyadaran bermakna bahwa sekolah berfungsi membangun kesadaran
untuk tetap berada pada tataran sopan santun, beradab, dan bermoral di mana hal ini menjadi tugas semua orang.
Pendidikn formal, informal dan pendidikan kemasyarakatan merupakan pranata masyarakat bermoral dengan partisipasi
total sebagai replica idealnya. Partisipasi anak didik dalam proses pendidikan dan pembelajaran bukan sebagai alat
pendidikan, melainkan sebagai intinya. Sebagai bagian dari jaring-jaring kemasyarakatan, masyarakat pendidikan perlu
mengemban tugas pembebasan, berupa penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Orang tua, guru, dan
dosen harus mampu membebaskan anak-anak dari aneka belenggu, bukan malah menindasnya dengan cara menetapkan
norma tunggal atau menuntut kepatuhan secara membabi buta. Mereka perlu membangun kesadaran bagi lahirnya proses
dialogis yang mengantarkan individu-individu secara bersama-sama untuk memecahkan masalah eksistensial mereka.
Tidak menguntungkan jika anak dan anak didik diberi pilihan tunggal ketika mereka menghadapi fenomena relatif dan
normatif, termasuk fenomena moralitas.
Fungsi konservatif atau fungsi penyadaran sekolah sebagai lembaga pendidikan masih menjelma dalam sosok
konservatisme pendidikan persekolahan, bukan sebagai wahana pewarisan dan seleksi budaya, ditandai denga makin
terperosoknya kearifan generasi dalam mewarisi nilai-nilai mulai peradaban masa lampau. Bukti konservatisme pendidikan
formal benar-benar nyata di dalam alur perjalanan sejarah. Seperti dikemukakan oleh Ash Hatwell (1995), diperlukan waktu
sekitar 100 tahun bagi teori dan ide ilmiah untuk dapat mempengaruhi isi, proses, dan struktur persekolahan. Bersamaan
dengan itu, perubahan wajah dunia terus berakselerasi. Misalnya, pada abad ke-20 telah diproduksi konsep dan teori yang
radikal tentang alam, realitas dan epistemologi.
Munculnya teori relativitas, mekanika kuantum, dan penemuan ilmiah lainnya adalah contoh nyata revolusi di bidang
keilmuan. Memang, evolusi perilaku sosial jauh lebih cepat dibandingkan dengan evolusi spesies-genetik nonrekayasa.
Meski kita harus pula menerima realitas bahwa pendidikan formal belum menampakkan pergeseran fungsi progresifnya
yang signifikan. Fungsi reproduksi atau fungsi progresif merujuk pada eksistensi sekolah sebagai pembaru atau pengubah
kondisi masyarakat kekinian ke sosok yang lebih maju. Selain itu, fungsi ini juga berperan sebagai wahana pengembangan,
reproduksi, dan desiminasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Para peneliti, penulis buku, pengamat, pendidik, guru, tutor,
widyaiswara, pemakalah seminar, dan sejenisnya adalah orang yang banyak bergulat dengan pengkajian, penelitian,
penelaahan, dan desiminasi ilmu. Saat ini fungsi progresif sekolah sebagai lembaga pendidikan terus menampakkan
sosoknya, meski belum menunjukkan capaian yang signifikan, setidaknya pada banyak daerah dan jenis sekolah. Di daerah
pedalaman misalnya, masih banyak sekolah yang sulit mempertahankan kondisinya pada taraf sekarang, apalagi
mendongkrak mutu kinerjanya. Meski harus diakui pula, pada banyak tempat telah lahir sekolah-sekolah unggulan atau
sekolah-sekolah yang diunggulkan oleh masyarakat karena mampu mengukir prestasi, misalnya peningkatan hasil belajar
siswa.
Fungsi itu akan lebih lengkap jika pendidikan juga melakukan fungsi mediasi, yaitu menjembatani fungsi konservatif dan
fungsi progresif. Hal-hal yang termasuk kerangka fungsi mediasi adalah kehadiran institusi pendidikan sebagai wahana
seosialisasi, pembawa bendera moralitas, wahana proses pemanusiaan dan kemanusiaan umum, serta pembinaan
idealisme sebagai manusia terpelajar.
Di Negara kita, pelembagaan MBS dipandang urgen atau mendesak. Hal itu sejalan dengan tuntutan masyarakat agar
lembaga pendidikan persekolahan dapat dikelola secara lebih demokratis dibandingkan dengan pola kerja ‘’dipandu dari
atas’’ sebagaimana dianut oleh negara yang menerapkan pemerintahan sentralistik. Persoalan utama di sini bukan terletak
pada apakah format manajemen sekolah yang dipandu secara sentralistik itu lebih buruk ketimbang pendekatan MBS yang
memuat pesan demokratisasi pendidikan, demikian juga sebaliknya. Persoalan yang paling esensial adalah apakah dengan
perubahan pendekatan manajemen sekolah itu akan bermaslahat lebih besar dibandingkan dengan format kerja secara
sentralistik ini, terutama dilihat dari kepentingan pendidikan anak.
Maslahat aplikasi MBS bagi peningkatan kinerja sekolah dan perbaikan mutu hasil belajar peserta didik pada sekolah-
sekolah yang menerapkannya masih harus diuji di lapangan. Prakarsa menuju perbaikan mutu melalui perubahan dari
sentralisasi ke desentralisasi pengelolaan pendidikan tidak mungkin diperoleh secara segera. Hal ini sejalan dengan konsep
Kaizen, bahwa kemajuan dicapai bukanlah sebuah lompatan besar ke depan. Menurut Kaizen kemajuan dicapai karena
perubahan-perubahan kecil yang bersifat kontinu atau tanpa henti dalam beratus-ratus dan bahkan beribu-ribu detail yang
berhubungan dengan usaha menghasilkan produk atau pelayanan.
Menurut Tony Barner (1998) asumsi yang mendasari perubahan dalam Kaizen adalah bahwa kesempurnaan itu sebenarnya
tidak ada. Hal ini bermakna bahwa tidak ada kemajuan, produk, hubungan, sistem, atau struktur yang bisa memenuhi
ideal. Kondisi ideal itu hanyalah sebuah abstraksi yang dituju. Oleh karena itu, selalu tersedia ruang dan waktu untuk
mengadakan perbaikan dan peningkatan dengan jalan melakukan modifikasi, inovasi, atau bahkan imitasi kreatif. Terlepas
dari itu semua, pelembagaan MBS hampir dipastikan bahwa aplikasi MBS akan mendorong tumbuhnya lembaga pendidikan
persekolahan berbasis pada masyarakat (community-based education) ataua manajemen pendidikan berbasis masyarakat
(MPBM), khususnya di bidang pendanaan, fungsi kontrol, dan pengguna lulusan.
Pembentukan Dewan Pendidikan di tingkat kabupaten/kota dan Komite Sekolah di tingkat persekolahan merupakan salah
satu bentuk bahwa pendidikan berbasis masyarakat menjadi isu sentral kita. Di dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000
tentang Program Pembangunan Nasional (Propernas) 2000-2004 disebutkan bahwa salah satu program pembinaan
pendidikan dasar dan menengah adalah mewujudkan manajemen pendidikan yang berbasis seakolah/masyarakat
(school/community-based education) dengan memperkenalkan Dewan Pendidikan (dalam UU ini disebut Dewan Sekolah) di
tingkat kabupaten/kota serta pemberdayaan atau pembentukan Komite Sekolah di tingkat sekolah.
Penggunaan MBS secara ekonomi mendorong masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi salah satu fondasi
utama secara finansial bagi operasi sekolah, mengingat pendidikan persekolahan itu tidak gratis (education is not free).
Pemikiran ini tidak mereduksi peran pemerintah yang dari tahaun ke tahun diharapkan dapat mengalokasikan anggaran
untuk pendidikan pada kadar yang makin meningkat. Secara akademik, masyarakat akan melakukan fungsi kontrol
sekaligus pengguna lulusan. Di sini akuntabilitas sekolah akan teruji. Juga secara proses, berhak mengkritisi kinerja sekolah
agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok dan fungsi utamanya. Dengan MBS adalah keharusan bagi
masyarakat untuk menjadi fondasi sekaligus tiang penyangga utama pendidikan persekolahan yang berada pada radius
tertentu tempaat masyarakat itu bermukim. Serta MBS merupakan salah satu bentuk reformasi manajemen pendidikan
(reformation in education management) di tanah air.
Lebih lanjut Levacic (1995) dalam Bafadal (2003:91) proses menajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah
(MPMPBS) meliputi:
a. Penetapan dan atau telaah tujuan sekolah;
b. Review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah sebelumnya;
c. Pengembangan prioritas kerja dan jadwal waktu pelaksanaan;
d. Justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah;
e. Perbaikan rencana dengan melengkapi berbagai aspek perencanaan;
f. Implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan;
g. Pelaporan hasil.
Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan political will pemerintah dan
kepemimpinan di persekolahan. Ironisnya selama ini, political will tersebut tidak utuh sebagai pendukung utama, demikian
juga kepemimpinan di persekolahan yang cenderung memakai pendekatan birokratis hirarkis dan bukannya demokratis.
Walaupun political will adakalanya terlihat tidak begitu utuh dalam menerapkan prinsip-prinsip manajemen pendidikan
berbasis sekolah, seharusya diimbangi dengan format kepemimpinan kepala sekolah yang handal dalam memimpin
persekolahan. Menurut Nurkolis (2003:141) kepemimpinan adalah isu kunci dalam MBS, bahkan dalam beberapa
terminology Site-Based Leadership digunakan sebagai pengganti Site-Based Management. Dalam implementasi MBS maka
diperlukan perspektif dalam keterampilan kepemimpinan baik pada tingkat pemerintahan maupun tingkat sekolah.
Berbagai fenomena yang terlihat dalam penerapan prinsip-prinsip manajemen pendidikan berbasis sekolah, menunjukkan
bahwa masih diperlukan kemauan yang kuat dari pihak pemerintah dan lingkungan sekolah dalam melakukan perubahan
sistem penyelenggaraan manajemen persekolahan. Tidak mungkin melakukan perubahan secara utuh dan komprehensif,
jika semua pihak yang terlibat tidak menunjukkan kemauan yang kuat untuk melakukan perubahan itu. Oleh karenanya,
pengenalan secara mendalam dan mendasar tujuan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah merupakan
sebuah keharusan oleh siapa saja yang bertanggung jawab dan merasa berkepentingan terhadap pertumbuhan dan
perkembangan persekolahan.
Dengan MBS unsur pokok sekolah (constituent) memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian di sekolah. Unsur
pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga nonstruktural yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri
dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat, dan murid (Nurkolis, 2003:42).
Perluasan keikutsertaan masyarakat dalam sistem manajemen persekolahan merupakan upaya untuk meningkatkan
efektivitas pencapaian tujuan pendidikan. Sekolah dalam hal ini bukan lagi hanya milik sekolah tetapi hakikat sekolah
sebagai sub-sistem dalam sistem masyarakat direkonstruksi sehingga fungsi pendidikan dikembalikan secara utuh dalam
melestarikan nilai-nilai yang ada di masyarakat.
2. Peran Manajemen Mutu Terpadu
Dr. W. Edward Deming (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai “Bapak Mutu’’. Beberapa prinsip pokok yang dapat diterapkan
dalam bidang pendidikan antara lain:
a. Anggota dewan sekolah dan administrator harus menerapkan tujuan mutu pendidikan yang akan dicapai.
b. Menekankan pada upaya pencegahan kegagalan pada siswa, bukannya mendeteksi kegagalan setelah peristiwanya
terjadi.
c. Asal diterapkan secara ketat, penggunaan metode kontrol statistik dapat membantu memperbaiki autcomes siswa dan
administratif.
Dr. Joseph M . Juran (Arcaro, 2006:8) diakui sebagai salah seorang “Bapak Mutu” . Dr. Juran berlatar pendidikan teknik dan
hukum. Seperti halnya Deming, Juran adalah ahli statistik terpandang. Juran menyebut mutu sebagai ‘’tepat untuk pakai’’
dan menegaskan bahwa dasar misi mutu sebuah sekolah adalah ‘’mengembangkan program dan layanan yang memenuhi
kebutuhan pengguna seperti siswa dan masyarakat. Lebih lanjut Juran mengatakan bahwa ‘’tepat untuk dipakai’’ lebih
tepat ditentukan oleh pemakai bukan oleh pemberi.
Pandangan Juran tentang mutu merefleksikan pendekatan rasional yang berdasarkan fakta terhadap organisasi bisnis dan
amat menekankan pentingnya proses perencanaan dan kontrol mutu. Titik fokus filosofi manajemen mutunya adalah
keyakinan organisasi terhadap produktivitas individual. Mutu dapat dijamin dengan cara memastikan bahwa setiap individu
memiliki bidang yang diperlukannya untuk menjalankan pekerjaan dengan tepat. Dengan perangkat yang tepat, para
pekerja akan membuat produk dan jasa yang secara konsisten sesuai dengan harapan kostumer.
Seperti halnya Deming, Juran pun memainkan peran penting dalam membangun kembali Jepang setelah perang Dunia II.
Dia diakui jasanya oleh bangsa Jepang dan memfasilitasi persahabatan Amerika Serikat dan Jepang. Upaya Juran
menemukan prinsip-prinsip dasar proses manajemen membawanya untuk memfokuskan diri pada mutu sebagai tujuan
utama. Beberapa pandangan Juran (Arcaro, 2006:9) tentang mutu sebagai berikut:
a. Meraih mutu merupakan proses yang tidak mengenal akhir;
b. Perbaikan mutu merupakan proses berkesinambungan, bukan program sekali jalan.
c. Mutu memerlukan kepemimpinan dari anggota dewan sekolah dan administrator.
d. Pelatihan, misal merupakan prasyarat mutu.
e. Setiap orang di sekolah mesti mendapatkan pelatihan.
Juran sudah memperkirakan keberhasilan bangsa Jepang dalam sebuah pidatonya untuk Organisasi Kontrol Mutu Eropa
pada tahun 1966. dia mengatakan bahwa: Bangsa Jepang menonjol di dunia dalam kepemimpinan mutu dan akan menjadi
pemimpin dunia dalam dua dekade mendatang karena tak ada pihak lain yang bergerak ke arah mutu dengan kecepatan
yang sama dengan Bangsa Jepang.
Bila diterapkan secara tepat, Manajemen Mutu Terpadu merupakan metodologi yang dapat membantu para profesional
pendidikan menjawab tantangan lingkungan masa kini. Manajemen Mutu Terpadu dapat dipergunakan untuk mengurangi
rasa takut dan meningkatkan kepercayaan di lingkungan sekolah. Manajemen Mutu Terpadu dapat digunakan sebagai
perangkat untuk membangun aliansi antara pendidikan, bisnis dan pemerintahan. Aliansi pendidikan memastikan bahwa
para profesional sekolah atau wilayah memberikan sumber daya yang dibutuhkan untuk mengembangkan program-
program pendidikan. Manajemen Mutu Terpadu dapat memberikan fokus pada pendidikan dan masyarakat. Manajemen
Mutu Terpadu membentuk infrastruktur yang fleksibel yang dapat memberikan respons yang cepat terhadap perubahan
tuntutan masyarakat. Manajemen Mutu Terpadu dapat membantu pendidikan menyesuaikan diri dengan keterbatasan
dana dan waktu. Manajemen Mutu Terpadu memudahkan sekolah mengelola perubahan.
Transformasi menuju sekolah bermutu terpadu diawali dengan mengadopsi dedikasi bersama terhadap mutu oleh dewan
sekolah, administrator, staf, siswa, guru dan komunitas. Prosesnya diawali dengan mengembangkan visi dan misi mutu
untuk wilayah dan setiap sekolah serta departemen dalam wilayah tersebut. Visi mutu difokuskan pada pemenuhan
kebutuhan kostumer, mendorong keterlibatan total komunitas dalam program, mengembangkan sistem pengukuran nilai
tambah pendidikan, menunjang sistem yang diperlukan staf dan siswa untuk mengelola perubahan, serta perbaikan
berkelanjutan dengan selalu berupaya keras membuat produk pendidikan menjadi lebih baik.
Agar sekolah mengembangkan fokus mutu, setiap orang dalam sistem sekolah mesti mengakui bahwa setiap output
lembaga pendidikan adalah kostumer. Dalam survai terakhir atas 150 pengawas sekolah untuk mengukur pemahaman
mereka atas mutu, rupanya 35% responden yang disurvai menunjukkan, mereka tak yakin bila sekolah itu memiliki
kostumer. Memang masih lebih banyak pihak dalam komunitas pendidikan yang mengakui adanya kostumer untuk tiap
keluaran pendidikan, tapi mutu pendidikan tak kunjung diperbaiki.
Transformasi mutu diawali dengan mengadopsi paradigma baru pendidikan. Cara pikir dan cara kerja lama harus
disingkirkan. Dalam bidang pendidikan, memang sungguh sulit bagi orang-orangnya untuk mengembangkan paradigma
baru pendidikan. Ada dua keyakinan pokok yang menghalangi tiap upaya penciptaan mutu dalam sistem pendidikan
seperti dijelaskan oleh Jerome S. Ascaro (2006:12), yakni: (1) banyak profesional pendidikan yakin bahwa mutu pendidikan
bergantung pada besarnya dana yang dialokasikan untuk pendidikan. Lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam
pendidikan maka lebih tinggi juga mutu pendidikan dan; (2) banyak profesional pendidikan yang tetap memandang
pendidikan sebagai sebuah ‘’jaringan anak manis’’. Mereka bersikukuh untuk bertahan dari tarikan profesional
nonpendidikan yang mempengaruhi perubahan sistem. Banyak profesional pendidikan secara terbuka menyatakan bahwa
mereka memiliki komitmen terhadap transformasi mutu.
Pendidikan mesti dipandang sebagai sebuah sistem. Ini merupakan konsep yang amat sulit dipahami para profesional
pendidikan. Umumnya orang bekerja dalam bidang pendidikan memulai perbaikan sistem tanpa mengembangkan
pemahaman yang penuh atas cara sistem tersebut bekerja. Dalam sebuah analisa rinci atas perguruan tinggi di Inggris
belum lama ini, ternyata cukup mengejutkan. Perguruan tinggi itu tak punya catatan tertulis mengenai proses atau
prosedur kerja. Fungsi-fungsi bisa berjalan lantaran memang selalu dijalankan. Hanya dengan memandang pendidikan
sebagai sebuah sistem maka para profesional pendidikan dapat mengeliminasi pemborosan dari pendidikan dan dapat
memperbaiki mutu setiap proses pendidikan.
Konsep dasarnya, mutu adalah segala sesuatu yang dapat diperbaiki. Menurut filosofi manajemen lama, ‘’kalau belum
rusak, janganlah diperbaiki’’. Mutu didasarkan pada konsep bahwa setiap proses dapat diperbaiki dan tidak ada proses
yang sempurna. Menurut filosofi manajemen yang baru, ‘’bila tidak rusak, perbaikilah, karena bila Anda tidak
melakukannya orang lain pasti melakukannya’’. Inilah konsep perbaikan berkelanjutan.
Karakteristik Sekolah Bermutu Terpadu menurut Arcaro (2006:38-39) antara lain: Fokus pada kostumer, keterlibatan total,
pengukuran, komitmen dan perbaikan berkelanjutan. Sekolah memiliki kostumer internal dan eksternal. Kostumer internal
adalah orang tua, siswa, guru, administrator, staf dan dewan sekolah yang berada di dalam sistem pendidikan. Sedangkan
kostumer eksternal adalah masyarakat, perusahaan, keluarga, militer dan perguruan tinggi yang berada di luar organisasi,
namun memanfaatkan output proses pendidikan.
Keterlibatan total, setiap orang harus berpartisipasi dalam transformasi mutu. Mutu bukan hanya tanggung jawab dewan
sekolah atau pengawas. Mutu menuntut setiap orang memberi kontribusi bagi upaya mutu. Pengukuran. Ini merupakan
bidang yang seringkali gagal di banyak sekolah. Banyak hal yang baik terjadi dalam pendidikan sekarang ini, namun para
professional pendidikan yang terlibat dalam prosesnya menjadi begitu terfokus pada pemecahan masalah yang tidak bisa
mereka ukur efektivitas upaya yang dilakukannya. Dengan kata lain, anda tidak dapat memperbaiki apa yang tidak dapat
anda ukur. Sekolah tidak dapat memenuhi standar mutu yang ditetapkan masyarakat, sekalipun ada sarana untuk
mengukur kemajuan berdasarkan pencapaian standar tersebut. Para siswa menggunakan nilai ujian untuk mengukur
kemajuan di kelas. Komunitas menggunakan anggaran sekolah untuk mengukur efisiensi proses sekolah.
Komitmen pengawas sekolah dan dewan sekolah harus memiliki komitmen pada mutu. Bila mereka tidak memiliki
komitmen, proses transformasi mutu tidak akan dapat dimulai karena kalaupun dijalankan pasti gagal. Setiap orang perlu
mendukung upaya mutu. Mutu merupakan perubahan budaya yang menyebabkan organisasi mengubah cara kerjanya.
Orang biasanya tidak mau berubah, tapi manajemen harus mendukung proses perubahan dengan memberi pendidikan,
perangkat, sistem dan proses untuk meningkatkan mutu.
Perbaikan berkelanjutan secara konstan mencari cara untuk memperbaiki setiap proses pendidikan, misalnya mengisi
kegiatan dengan hal-hal sebagaimana adanya dan sekalipun ada masalah tidak menganggapnya sebagai masalah.
D. Penutup
Berdasarkan beberapa penjelasan di atas maka dapat disimpulkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut:
1. Manajemen pendidikan berbasis sekolah, menuntut adanya sekolah yang otonom dan kepala sekolah yang memiliki
otonomi, khususnya otonomi kepemimpinan atas sekolah yang dipimpinnya. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang
bersifat implementatif dan aplikatif untuk merealisir manajemen pendidikan berbasis sekolah di lembaga pendidikan
persekolahan.
2. Keberhasilan penerapan manajemen pendidikan berbasis sekolah sangat ditentukan oleh political will pemerintah dan
kepemimpinan di persekolahan.
3. Proses manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah meliputi kegiatan: (1) penetapan dan telaah tujuan
sekolah, (2) review keberhasilan pelaksanaan rencana tahunan sekolah, (3) pengembangan prioritas kerja dan jdwal waktu
pelaksanaan, (4) justifikasi program prioritas dalam kesesuaiannya dengan konteks sekolah, (5) perbaikan rencana dengan
melengkapi berbagai aspek perencanaan, (6) implikasi sumber daya dalam pelaksanaan program prioritas dan, (7)
pelaporan hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Arcaro, Jarome S. 2006. Pendidikan Berbasis Mutu: Prinsip-prinsip Perumusan dan Tata Langkah Penerapan. Yogyakarta.
Bafadal, Ibrahim. 2003. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar, dari Sentralisasi menuju Desentralisasi. Jakarta: Bumi
Aksara.
Barner, Tony. 1998. Kaizen Strategies for Successful Leadership (Kepemimpinan Sukses). Jakarta: Interaksara.
Danim, Sudarwan. 2007. Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi Ke Lembaga Akademik. Jakarta: Bumi Aksara.
Jerome S. Arcaro. 2006. Quality in Education: An Impelentation Handbook.
Penterjemah Yosal Iriantara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nurkolis. 2003. Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo.
Suryadi, Ace. 1991. ‘’Biaya dan Keuntungan Pendidikan’’, Mimbar Pendidikan. No 1 Tahun X April 1991. Bandung: IKIP.
Wahono, F. 2000. Kapitalisme Pendidikan – Antara Kompetisi dan Keadilan. Yogyakarta:Insist Press. Cindelaras. Pustaka
Pelajar.
Diposkan oleh Endang Komara's Blog di 16:42
http://www.sdn3-leuwimunding.co.cc/2009/07/peran-mbs.html