peran imunologi dalam dunia farmasi

Upload: merry-tan

Post on 09-Jan-2016

142 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

peran imunologi dalam dunia farmasi

TRANSCRIPT

  • Merry Suryani-I22112010

    Pengobatan Systemic Lupus Erythematosus (SLE) Menggunakan Imunomodulator

    Sistem kekebalan tubuh (imunitas) memegang peranan yang mendasar bagi kesehatan, tentunya harus disertai dengan pola

    makan yang sehat, olahraga yang cukup, dan terhindar dari masuknya toksin ke dalam tubuh. Ketika toksin masuk ke dalam tubuh,

    maka harus segera dikeluarkan. Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup. Dalam tubuh yang sehat terdapat sistem

    kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga kuat. Pada bayi yang baru lahir, pembentukan sistem

    kekebalan tubuhnya belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya

    tahan tubuh bayi. Semakin dewasa, sistem kekebalan tubuh terbentuk sempurna. Namun, pada orang lanjut usia, sistem kekebalan

    tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya timbul penyakit degeneratif atau penyakit penuaan. Pola hidup modern menuntut

    segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Hal ini berdampak juga pada pola makan. Sarapan di dalam kendaraan, makan siang

    serba tergesa, dan malam karena kelelahan tidak ada nafsu makan, kualitas makanan yang dikonsumsi, polusi udara, kurang

    berolahraga, dan stres. Apabila terus berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan mudah terserang penyakit.

    Karena itu, banyak orang yang masih muda mengidap penyakit degeneratif. Kondisi stres dan pola hidup modern sarat polusi, diet

    tidak seimbang, dan kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya

    tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan dini pada usia produktif.

    Penjabaran diatas merupakan penjelasan tentang sistem kekebalan tubuh, dimana sistem kekebalan tubuh termasuk dalam

    bidang ilmu imunologi yang merupakan cabang ilmu biomedis yang berkaitan dengan respon organisme terhadap penolakan antigen,

    efek biologis, serologis dan kimia, fisika fenomena imun. Beberapa peran imunologi sendiri dalam bidang farmasi yaitu, produksi

    antibodi dan vaksin, serta imunoterapi. Kali ini akan dibahas tentang imunoterapi dalam pengobatan Systemic Lupus Erythematosus

    (SLE). SLE merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan imunologi dimana yang dalam pengobatannya menggunakan

    terapi imunomodulator yang berperan sebagai imunosupresan yaitu menekan sistem imun yang diproduksi secara berlebihan sehingga

    dapat menyerang organ-organ tubuh yang dikira merupakan antigen yang dapat merusak tubuh.

    Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 51 kasus per 100.000 penduduk,sementara prevalensi SLE di Amerika

    dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.10,11 Belum terdapat data

    epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

    didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin

    Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.

    SLE merupakan penyakit autoimun kompleks yang dapat mengenai hampir semua sistem organ dan memiliki manifestasi

    klinis yang bervariasi. Pasien dapat memiliki keluhan pada kulit, membran mukosa, sendi, ginjal, komponen hematologik, sistem

    saraf pusat, sistem retikulo endotelial, sistem pencernaan, jantung, dan paru. Penyakit ini dapat mengenai berbagai usia dan jenis

    kelamin, terutama pada perempuan usia produktif (20-40 tahun). Oleh karena manifestasinya yang sangat bervariasi, penegakkan

    diagnosis penyakit SLE merupakan sebuah tantangan yang harus dihadapi oleh para dokter praktisi klinis. Di antara berbagai organ

    yang terlibat, kulit merupakan organ terluar tubuh yang dapat dilihat secara kasat mata sehingga seringkali menjadi salah satu kondisi

    yang dikeluhkan oleh pasien. Manifestasi SLE pada kulit dapat ditemukan pada 59-85 % pasien dan dapat menjadi penanda pertama

    yang mengarahkan penegakkan diagnosis SLE. Namun, bentuk klinis SLE pada kulit dapat sangat bervariasi sehingga banyak dokter

    praktisi klinis di pelayanan kesehatan primer yang keliru mengenali kelainan kulit SLE atau menggambarkan berbagai perubahan

    kulit pada pasien SLE sebagai akibat dari proses autoimun penyakitnya.

    Prinsip pertama dalam tata laksana pasien SLE adalah pencegahan dengan menghindari faktor pencetus, misalnya paparan

    sinar matahari, terapi estrogen dengan dosis yang tinggi, konsumsi obat yang menyebabkan kulit menjadi lebih fotosensitif

    (hidroklorotiazid, griseofulvin, tetrasiklin, dan piroxicam), dan konsumsi obat lain yang dapat menyetuskan timbulnya SLE (captoril,

    fenitoin, omeprazole, dan sebagainya). Terapi konvensional yang diberikan pada pasien SLE antara lain adalah pengobatan dengan

    glukokortikoid, metotreksat, antimalaria, retinoid, dapson, azatrioprin, atau thalidomide. Pemahaman terbaru mengenai mekanisme

    disregulasi sistem imun pada lupus eritematosus telah mengarahkan pengembangan terapi penyakit ini pada pendekatan berbagai jalur

    yang terlibat baik pada tingkat sitokin ataupun selular, yaitu dengan terapi imunomodulator.

    Terapi imunomodulator sendiri terdiri dari banyak jenis, beberapa diantaranya yaitu: cyclosporine terutama bermanfaat unutk

    nefritis membranos dan untuk sindromanefrotik yang refrakter. Dosis 2,5-5,0 mg/kgBB/hari pada umumnya dapat ditoleransi dan

    menimbulkan perbaikan nyata terhadap proteinurea, sitopenia, parameter imunologi seperti C3, C4, dan anti-ds DNA serta aktivitas

    penyakit. Efek samping yang sering terjadi adalah hipertensi, hyperplasia, gingival, hyperplasia gingival, hipertrichosis dan

    peningkatan serum reatinin. Berikutnya adalah Mycophenolate mofetil (MMF) yang merupakan inhibitor reversible inosine

    monophosphate dehydrogenase, suatu enzim penting untuk sintesis purin. MMF akan mencegah proliferasi sel B dan sel T serta

    mengurangi ekspresi molekul adhesi. MMF merupakan pengobatan yang efektif untuk lupusnefritis. MMF dapat mengurangkan

    proteinurea dan memperbaiki serum kreatinin pada penderita SLE dan nefritis resisten dengan cyclophosphamide. Efek samping

    MMF pada umumnya hanyalah leucopenia, nausea, dan diare. MMF diberikan dengan dosis 500-1000 mg, 2 kali per hari

    Perkembangan terapi terakhir telah memusatkan perhatian terhadap fungsi sel B dalam mengambil autoantigen dan

    mempresentasikannya melalui imumunoglobulin spesifik terhadap sel T dipermukaan sel yang selanjutnya akan mempengaruhi

    respon imun dependen sel T. Anti CD 20 adalah suatu antibody monoclonal chimeric yang melawan reseptor DC 20 yang

    diprsentasikan sel B limfosit. Anti CD 20 atau Rituximab memiliki potensi terapi untuk SLE yang refrakter, antara lain pada sistem

    saraf pusat, renal, vaskulitis, dan gangguan hemologic. LJP 394 atau Abetimus sodium dapat mencegah rekurensi flare renal pada

    pasien nefritis dengan mengurangi antibodi terhadap dsDNA melalui toleransi spesifik antigen secara selektif. Substansi ini

    merupakan senyawa sintetik yang terdiri dari rangkaian deoxyribonukleotoda yang terikat pada rangka trietilen glikol. Stimulator

    limfosit B atau BlyS merupakan bagian dari tumor necrosis factor (TNF) cytokine yang mempresentasikan sel B. lymphoStatB

    merupakan antibody monoclonal human terhadap BlyS.

  • Daftar Pustaka 1. Schwartzman JS, Gross R, Putterman C. Management of lupus in 2010: how close are the biologics?. J Musculoskel Med.

    2010;27(11):427-40.

    2. Walling HW, Sontheimer RD. Cutaneus lupus erythematosus. Issues in diagnosis and treatment. Am J Clin Dematol. 2009;

    10(6):365-81.

    3. Rothfield N, Sontheimer RD, Bernstein M. Lupus erythematosus: systemic and cutaneous manifestations. Clin Dermatol. 2006;

    24(5):348-62.

    4. Font J, Cervera R, Ramos-Casals M, Garcia-Carrasco M, Sents J, Herrero C, et al. Clusters of clinical and immunologic features in

    systemic lupus erythematosus: analysis of 600 patients from a single center. Semin Arthritis Rheum. 2004;33(4):217-30.

    5. Karim MY, Pisoni CN, Khamashta MA. Update on immunotherapy for systemic lupus erythematosus: whats hot and whats not. Rheumatology. 2009;48(3):332-41.

    6. American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum

    1999;42(9):1785-96.