peran gereja terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga di gpib ekklesia dumai … · 2020. 10....

43
Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai dari Perspektif Konseling Pastoral Berbasis Budaya Oleh Engelbertha Giovanni 712015031 TUGAS AKHIR Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi, Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi (S.Si.Teol) Program Studi Teologi Fakultas Teologi UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2019

Upload: others

Post on 31-Jan-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga

    di GPIB Ekklesia Dumai dari Perspektif Konseling Pastoral Berbasis

    Budaya

    Oleh

    Engelbertha Giovanni

    712015031

    TUGAS AKHIR

    Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi,

    Disusun sebagai salah satu persyaratan mencapai gelar Sarjana Sains Teologi

    (S.Si.Teol)

    Program Studi Teologi

    Fakultas Teologi

    UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

    SALATIGA

    2019

  • i

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    KATA PENGANTAR

    Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas penyertaan dan kasih

    setia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul “Peran Gereja

    Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai dari

    Perspektif Konseling Pastoral Berbasis Budaya”. Tugas akhir ini disusun untuk

    memenuhi salah satu persyaratan menyelesaikan Program Sarjana Fakultas Teologi di

    Universitas Kristen Satya Wacana. Dalam proses penyusunan tugas akhir ini banyak

    mendapat dorongan, dukungan, motivasi, saran dan semangat dari berbagai pihak.

    Tanpa semua itu maka penulisan Tuhas Akhir ini tidak dapat berjalan dengan lancar.

    Untuk itu dengan segala penuh kerendahan hati penulis mengucapkan banyak terima

    kasih kepada:

    1. Kepada mama selaku donator terbaik yang selalu memberikan nasehat,

    semangat, kasih sayang, dalam proses pendidikan yang penulis lalui

    selama kurang lebih empat tahun

    2. Terima kasih untuk keluarga besar saya yang selalu mendukung saya

    dalam berproses selamaini.

    3. Kepada dosen wali terkeren Pdt. Rama Tulus Pilakoannu yang

    memberikan nasehat, ketegasan, senyuman, saran, dorongan, dan

    motivasi terbaik kepada saya selaku anak wali beliau

    4. Pdt. Jacob selaku pembimbing 1 yang telah membimbing saya mulai dari

    nol hingga saya mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik. Pdt.

    Nimali Fidelis Buke sebagai pembimbing 2 yang telah memberikan waktu

    untuk membimbing dan memberikan motivasi dalam penulisan Tugas

    Akhir

    5. Seluruh dosen dan pegawai tata usaha (TU) Fakultas Teologi; Pak David,

    Pak Yusak, Pak Gun, Kak Handry, Pak Eben, Kak Cindy, Kak Mery, Kak

    Iki, Pak Izak, Pak Agus, Pak Simon, Pak Tony, Ibu Elisabet, Bu Budi,

    Mas Eko, Bu Ningsih, Mas Adi yang telah membantu seluruh proses dari

    awal perkuliahan sampai pada penulisan Tugas Akhir.

  • vi

    6. Kepada GPIB TamansariSalatiga yang sudah menyediakan tempat

    berproses selama 3,5tahun di Salatiga . terima kasih kepada supervisor

    lapangan Pdt. Miss danPdt. Erika yang sudah memberikan nasehat kepada

    penulis dan memberikan tanggung jawab agar penulis menyelesaikan

    praktek di jemaat.

    7. Kepada GP Tamansari terima kasih karena sudah memberikan penulis

    kesempatan untuk bergabung dalam pelayanan GP

    8. Kepada GPIB Bukit Benuas Balikpapan terima kasih karena sudah

    menerima penulis selama 4 bulan untuk berpelayanan dan juga belajar

    mengenai jemaat yang ada. Pdt. Yunus dan keluarga (Tante Vivi,

    Pingkan, Andre, Tya) terima kasih karena sudah memberikan penulis

    tempat tinggal selama berpraktek.

    9. Kepada GP Benuas (vije, egi, tere, ontak, duwis, angel, rixy, ridel, yos,

    jos, ecin, kak desy pesik, kakartur, icil, popi, jonli, junay, lintang, nikol,

    fonza, ipan, ben, dan yang lain) terima kasih karena sudah menjaga,

    mendukung, menemani penulis selamaberproses di Balikpapan.

    10. Angkatan 2015 Fakultas Teologi yang sudah bersama-sama berjuang

    untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab selama kurang lebih 4

    tahun

    11. Tidak lupa kepada keluarga psikopathmily (windi, ermayacantik, aksel,

    inezta, sinta, erika, eca, angelamanis, yos, prinses,wido) yang selalu

    mendukung, merawat, menjaga, memberi nasehat, memberikan cinta yang

    luar biasa hingga saat ini aku cinta kalian.

    12. Anak kos kemiri hot (kak cici, kak yuyu, kak olip, pebong, nanda, tabita,

    nova, windi, angela manis, ermaya cantik, sri, kak inggi) yang selalu sabar

    mendengar keributan, cerewet , kemarahan penulis, yang selalu takut

    kalau mati lampu satu kos.

    13. Kepada anak-anak onlineku shiren, venska, uco, cantika, lala, brema,

    yawan, fajar, brene, viktor, fira, dika, metu, karen, gabysisy, nova, kevin,

    dave, vanicu, frida, petra

  • vii

    DAFTAR ISI

    LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................................i

    PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT......................................................................................ii

    PERNYATAAN PERSETUJUAN ASKES..........................................................................iii

    PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI..................................................................iv

    KATA PENGANTAR..............................................................................................................v

    DAFTAR ISI...........................................................................................................................vii

    MOTTO...................................................................................................................................ix

    ABSTRAK.................................................................................................................................x

    BAGIAN I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

    Latar Belakang .................................................................................................................... 1

    Rumusan Masalah .............................................................................................................. 4

    Tujuan Penelitian ................................................................................................................ 4

    Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 4

    Metode Penulisan ................................................................................................................ 4

    Sistematika Penulisan ......................................................................................................... 5

    BAGIAN II GEREJA DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA ...................... 6

    2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga ......................................................................... 6

    2.2 Konseling Pastoral ................................................................................................... 8

    2.3 Konselor dan Kesadaran Budaya ........................................................................ 11

    2.4 Peran Gereja sebagai Pendamping Pastoral ....................................................... 14

    2.5 Pengertian Gereja .................................................................................................. 16

    2.6 Rumah Tangga....................................................................................................... 17

    BAGIAN III TEMUAN PENELITIAN .............................................................................. 19

    3.1 Gambaran Umum Jemaat GPIB Ekklesia Dumai ............................................. 19

    3.2 Permasalahan Kekerasan Pasangan Suami-Isteri di GPIB Ekklesia Dumai .. 20

    3.3 Peran Gereja Memberikan Proses Konseling Berbasis Budaya terhadap

    Korban Kekerasan ................................................................................................ 22

    3.4. Rangkuman Temuan Penelitian ........................................................................... 24

  • viii

    BAGIAN IV PERAN GEREJA GPIB EKKLESIA DUMAI MENGHADAPI KORBAN

    KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA .................................................................... 25

    4.1 Peran Gereja GPIB Ekklesia dalam Pendampingan dan Konseling Pastoral

    Berbasis Budaya .................................................................................................... 25

    BAGIAN V PENUTUP ......................................................................................................... 30

    5.1 Kesimpulan ............................................................................................................ 30

    5.2 Saran ....................................................................................................................... 30

    DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 31

  • ix

    MOTTO

    Lakukanlah kewajibanmu dengan setia terhadap TUHAN, Allahmu, dengan hidup

    menurut jalan yang ditunjukkan-Nya, dan dengan tetap mengikuti segala ketetapan,

    perintah, peraturan dan ketentuan-Nya, seperti yang tertulis dalam hukum Musa,

    supaya engkau beruntung dalam segala yang kaulakukan dan dalam segala yang

    kautuju,

    1 Raja-raja 2 : 3

  • x

    ABSTRAK

    Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dapat terjadi dimana saja dan

    kepada siapa saja termasuk di GPIB Ekklesia Dumai. Tujuan penelitian yang ingin

    dicapai dari penelitian ialah mendeskripsikan peran GPIB Ekklesia Dumai kepada

    korban kekerasan dalam rumah tangga dan mendeskripsikan kajian konseling pastoral

    berbasis budaya terhadap peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan

    dalam rumah tangga. Metode yang digunakan dalam penulisan ini ialah metode

    deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan pengambilan data dengan teknik

    wawancara.

    Dalam tulisan ini menggunakan teori konseling pastoral berbasis budaya,

    dikarenakan dalam kehidupan bermasyarakat bukan hanya mengenai makhluk sosial

    ataupun ekonomis tetapi juga mengenai makhluk berbudaya. Serta kesadaran budaya

    adalah kemampuan seseorang untuk melihat keluar dirinya sendiri dan menyadari

    akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk.

    Jadi, dalam kasus yang diangkat ini diperlukan peran gereja untuk

    menyelesaikan permasalahan-permasalahan tersebut dengan tujuan bagaimana gereja

    dapat membina keluarga kristiani berdasarkan iman percaya kepada Tuhan Yesus.

    Tidak dapat dipungkiri banyak permasalahan-permasalahan serupa terkait dengan

    kekerasan dalam rumah tangga juga terjadi di dalam jemaat GPIB Ekklesia Dumai

    Kata kunci : kekerasan dalam rumah tangga, konseling pastoral berbasis budaya

  • 1

    BAGIAN I

    PENDAHULUAN

    Latar Belakang

    Kota Dumai merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Riau, yang

    memiliki banyak kebudayaan yang hidup berdampingan. Kota Dumai merupakan

    kota pesisir karena terletak di tepi laut, menjadikan lapangan pekerjaan bagi

    masyarakat Kota Dumai. Pada tahun 1967, sesuai dengan status Dumai sebagai kota

    kecamatan, maka berdirilah sebuah gedung Gereja sederhana terletak di jalan Datuk

    Laksamana yang berlokasi di tepi pantai Kota Dumai. Bangunan sederhana berbentuk

    “Rumah Panggung” terbuat dari papan kayu, dibangun secara swadaya warga GPIB

    yang terdiri dari berbagai profesi pekerjaan yang bertugas pada beberapa perusahaan.

    GPIB Ekklesia Dumai selanjutnya dilembagakan oleh Majelis Sinode pada tanggal 25

    Juni 1967 menjadi Jemaat GPIB “Ekklesia” Dumai, sekaligus ditetapkan sebagai hari

    ulang tahun GPIB Ekklesia Dumai sesuai keputusan Majelis Jemaat ketika itu.

    GPIB Ekklesia Dumai sejak berdiri setidaknya mengalami 2 kasus tindakan

    KDRT yang terjadi. Pertama, dialami oleh seorang ibu yang mendapat perilaku

    kekerasan dari suaminya, kasus ini terjadi dari tahun 1997- sekarang dan kasus yang

    kedua sama seperti dengan kasus yang pertama yang terjadi awal tahun 2003 hingga

    sekarang. Seperti fakta yang dijelaskan sepertinya belum ada peran Gereja dalam

    menangani kasus tersebut. Padahal kekerasan dalam rumah tangga perlu dipayungi

    oleh majelis jemaat GPIB Ekklesia Dumai. Perlakuan yang diterima oleh kedua

    korban ialah berupa kekerasan fisik dan verbal.

    Tindakan KDRT sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Allah. Allah

    menciptakan manusia segambar dan serupa dengan-Nya, Ia memanggil manusia

    menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya sekaligus untuk mencintai. Seraya

    menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya dan tidak hentinya melestarikan

    keberadaan-Nya. Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi laki-laki maupun

    perempuan dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk mengasihi

    dan hidup dalam persekutuan diberikan kepada manusia. Oleh karena itu, cinta kasih

  • 2

    merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi setiap manusia dan sudah tertera

    dalam kodratnya.1

    Definisi kekerasan telah dikatakatan oleh beberapa ahli, arti kekerasan dalam

    KBBI diartikan sebagai perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan seseorang yang

    menyebabkan kerusakan fisik. Dengan demikian kekerasan merupakan wujud

    perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka, cacat, sakit atau unsur

    yang perlu diperhatikan adalah berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang

    dilukai.2 Secara kasat mata kekerasan dapat diartikan sebagai tindakan penyerangan

    yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada orang lain dengan

    nuansa fisik seperti misalnya memukuli, menghancurkan harta benda atau rumah,

    membakar, mencekik, melukai dengan tangan kosong ataupun alat atau senjata,

    menyebabkan kesakitan fisik, luka, kerusakan temporer ataupun permanen, bahkan

    menyebabkan kematian3. Menurut Gelles dan Straus, kekerasan adalah perbuatan

    yang dilakukan dengan sengaja atau bermaksud menyakiti orang lain.4 Menurut

    penulis, kekerasan merupakan perbuatan melukai orang lain baik secara fisik ataupun

    verbal yang mengakibatkan kerusakan jasmani dan rohani.

    KDRT yang terjadi didalam keluarga kristen memerlukan proses konseling

    atau pendampingan untuk membantu penyelesaian permasalahan. Menurut

    Kartadinata pendampingan merupakan suatu proses pendidikan kepada individu

    untuk mencapai tingkat kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hari. Menurut

    Engel pendampingan merupakan suatu proses pertolongan yang membuat orang

    1Yeremias Bala Plto Duan. Keluarga Kristiani:Kabar Gembira bagi Milenium

    Ketiga.(Yogyakarta:Kanisius,2003)

    2 KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, 2008)

    3 Tony Tampake, Laporan Penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan dan Peran Agama-

    Agama Jateng dan D.IY (Studi Peranan Lembaga-Lembaga Agama dalam Mencegah dan Menangani

    Kasus KDRT di Kota Kudus, Jawa Tengah) (Semarang: Kementerian Agama, Balai Penelitian dan

    Pengembangan Agama, 2011), 17

    4 Syufri, “Perspektif Sosiologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rumah

    Tangga”, (Vol I, 2009), 98, diakses 6 Juni 2018

  • 3

    diberdayakan untuk hidup yang menghidupkan dan memanusiakan sesama manusia5.

    Menurut Van Beek pendampingan merupakan suatu kegiatan menolong orang lain

    yang karena suatu sebab perlu didampingi dengan tujuan saling menumbuhkan dan

    mengutuhkan, antara yang didampingi dan pendamping terjadi suatu interaksi sejajar

    atau relasi timbal-balik.6 Dengan kata lain, pendampingan pastoral adalah suatu

    upaya yang disengaja untuk memberi pertolongan kepada seseorang ataupun

    kelompok yang sedang mengalami masalah atau sakit, agar masalah tersebut tidak

    menjadi penghalang dalam pertumbuhan di berbagai segi kehidupan.7

    Menurut

    penulis pendampingan merupakan suatu bentuk pelayanan berupa pertolongan yang

    ditujukan kepada individu ataupun kelompok. Didalam proses pendampingan ada

    interaksi yang terjadi dan bertujuan untuk memperbaiki relasi hubungan antara

    individu. Dari hal ini juga dapat dijelaskan bahwa setiap individu tidak hanya dilihat

    sebagai makhluk sosial dan spiritual tetapi juga sebagai makhluk budaya. Berbicara

    tentang budaya saling berhubungan dengan pola pikir, pola perasaan, dan pola

    perilaku

    Judul tugas akhir penulis adalah “Peran Gereja Terhadap Korban Kekerasan

    dalam Rumah Tangga di GPIB Ekklesia Dumai dari Perspektif Konseling Pastoral

    Berbasis Budaya”. Pemilihan judul dan sub judul ini didasari pemikiran bahwa kasus

    kekerasan dalam rumah tangga belum diperhatikan oleh Gereja dan tidak menutup

    kemungkinan bahwa kasus tersebut bisa saja terjadi di keluarga kristen, yang

    mungkin saja menurut pandangan beberapa masyarakat kekerasan dalam rumah

    tangga terkhusunya di keluarga kristen sangat jarang terjadi. Saya bermaksud

    menjadikan tulisan ini sebagai kontribusi bagi Gereja jika terjadi kasus kekerasan bisa

    menjadi tolak ukur penyelesaian masalah tersebut.

    5 Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta: Gunung Mulia, 2016),

    1

    6 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: Gunung Mulia, 2011), 9

    7 Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2

  • 4

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan maka rumusan masalah

    penelitian adalah bagaimana peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan

    dalam rumah tangga dan bagaimana kajian konseling pastoral berbasis budaya

    terhadap peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan dalam rumah tangga?

    Tujuan Penelitian

    Tujuan penelitian yang ingin dicapai dari penelitian ialah mendeskripsikan

    peran GPIB Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan dalam rumah tangga dan

    mendeskripsikan kajian konseling pastoral berbasis budaya terhadap peran GPIB

    Ekklesia Dumai kepada korban kekerasan dalam rumah tangga

    Manfaat Penelitian

    Berdasarkan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan:

    1. Secara teoritis, dapat menjadi kontribusi bagi GPIB Ekklesia Dumai

    dalam mengupayakan penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga dan juga

    diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan.

    2. Secara praktis, sebagai salah satu sumber acuan informasi dalam

    penelitian lebih lanjut

    Metode Penulisan

    Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dengan

    pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif pada dasarnya merupakan cara ilmiah

    untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu secara sistematis,

    faktual, dan akurat mengenai fenomena atau hubungan antara fenomena yang

    diselidiki.8 Penelitian Kualitatif dipilih karena bersifat fleksibel, tidak terpaku pada

    konsep, fokus, teknik pengumpulan data yang direncanakan pada awal penelitian,

    8 Imam Suprayogo & Tobroni, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,

    2003), 136-137

  • 5

    tetapi dapat berubah di lapangan mengikuti situasi dan perkembangan penelitian.9

    Wawancara juga dilakukan dalam penelitian, digunakan untuk mengumpulkan

    keterangan dari seseorang yang berhubungan dengan penelitian ini. Wawancara

    merupakan percakapan yang berlangsung secara sistematis dan terorganisasi yang

    dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara dengan sejumlah orang yang

    diwawancara untuk mendapatkan sejumlah informasi yang berhubungan dengan

    masalah yang diteliti, hasil percakapan tersebut dicatat atau direkam oleh

    pewawancara.10

    Teknik wawancara dilakukan dengan tujuan memperoleh informasi

    melalui tanya jawab lisan antara satu orang atau lebih.11

    Penelitian ini bertempat di

    Dumai, Riau tepatnya di GPIB Ekklesia Dumai Riau, penulis memilih tempat

    penelitian tersebut untuk mengurangi kekerasan yang terjadi di GPIB “Ekklesia”

    Dumai.

    Sistematika Penulisan

    Penulis membagi tulisan ini kedalam lima bagian. Bagian pertama,

    pendahuluan yang berisikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, tujuan

    penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bagian

    kedua, yaitu konseling pastoral berbasis budaya, teori-teori KDRT dan peran Gereja

    dalam pendampingan pastoral. Bagian ketiga, yaitu hasil penelitian yang meliputi

    peran gereja di GPIB “Ekklesia” Dumai. Bagian keempat yaitu kajian peran gereja

    dari perspektif konseling pastoral berbasis budaya. Bagian kelima yaitu penutup yang

    berisikan temuan-temuan dan rekomendasi penelitian selanjutnya.

    9 Haris Herdiansyah, Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu Sosial (Jakarta: Salemba

    Humanika, 2010), 12

    10 Uber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: PT Refika Aditama, 2009), 312

    11 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta: Bumi

    Aksara, 2008), 78

  • 6

    BAGIAN II

    GEREJA DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

    Dalam bagian ini, akan dijelaskan tentang teori-teori mengenai pengertian kekerasan

    dalam rumah tangga, pengertian konseling pastoral, dan peran gereja sebagai

    pendamping pastoral terhadap kekerasan dalam rumah tangga.

    2.1 Kekerasan Dalam Rumah Tangga

    Dalam KBBI, kekerasan diartikan sebagai perihal (yang bersifat, berciri)

    keras; perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau

    matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain;

    paksaan. Sedangkan pengertian rumah tangga dalam KBBI yaitu yang berkenaan

    dengan urusan dalam rumah (seperti hal belanja rumah); berkenaan dengan

    keluarga.12

    Pada dasarnya setiap keluarga ingin membangun keluarga bahagia dan penuh

    rasa saling mencintai baik secara lahir maupun batin, dengan kata lain bahwa setiap

    keluarga sungguh menghendaki dapat membangun keluarga yang harmoni.13

    Tetapi,

    rumusan pengertian haruslah bersifat objektif, dipakai sebagai ukuran bukan perasaan

    subjektif korban (perempuan) yang dipakai sebagai ukuran. Bila dipakai ukuran

    subjektif yang dirasakan korban, maka pengertian kekerasan menjadi kabur, karena

    setiap subjek mempunyai ukuran yang berbeda.

    Kekerasan dalam rumah tangga dapat menimpa siapa saja, baik laki-laki

    maupun perempuan, dari anak-anak sampai dewasa. Namun, yang menarik perhatian

    publik adalah kekerasan yang menimpa kaum perempuan.

    12

    KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, 2008)

    13 Rochmat Wahab, “Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan Edukatif”

    (UNISIA No.61,2006),1, diakses 11 Juni 2018

  • 7

    Terminologi kekerasan terhadap perempuan mempunyai ciri bahwa tindakan

    tersebut:14

    1. Dapat berupa fisik maupun non-fisik (psikis)

    2. Dapat dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat)

    3. Dikehendaki/diminati oleh pelaku

    4. Ada akibat/kemungkinan akibat yang merugikan pada korban (fisik atau

    psikis), yang tidak dikehendaki oleh korban

    Adapun bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga Menurut Undang-

    Undang Nomor 23 Tahun 2004 yang tercantum dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ,dan

    Pasal 9, yaitu15

    :

    1. Kekerasan fisik, yaitu perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit

    atau luka berat

    2. Kekerasan psikis, yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya

    rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya dan atau

    penderitaan psikis berat pada seseorang

    3. Kekerasan seksual, yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan

    terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Selain itu juga

    berarti pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah

    tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial atau tujuan tertentu

    4. Penelantaran rumah tangga juga dimaksukkan dalam pengertian

    kekerasan, karena setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah

    tangga, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

    perjanjian ia wajib memberikan penghidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada

    orang tersebut. Penelantaran tersebut juga berlaku bagi setiap orang yang

    14

    Moerti Hadiati. Kekerasan dalam RumahTangga: Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis.

    (Jakarta: Sinar Grafika, 2011)

    15 Republik Indonesia, “Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

    2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga,” (Jakarta: Kementerian Hukum dan

    HAM Republik Indonesia, 2004)

  • 8

    mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi atau melarang untuk

    bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban di bawah kendali

    orang tersebut

    Menurut penulis, kekerasan dalam rumah tangga ialah kejadian/perkara yang

    terjadi dalam kehidupan berumah tangga yang menyebabkan kekerasan fisik berupa

    pemukulan menggunakan benda ataupun bagian anggota tubuh yang menyebabkan

    luka, dan juga kekerasan psikis yang biasa sering terjadi dipermasalahkan dalam

    berumah tangga mulai dari hal yang terkecil hingga hal besar. Kekerasan psikis juga

    dapat menyebabkan luka batin dan berakibat sakit hati, perubahan emosional, dan

    terkadang dendam yang dipendam. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering

    terdengar masyarakat ialah kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada isteri.

    2.2 Konseling Pastoral

    Pada hakikatnya, konseling pastoral merupakan proses perjumpaan

    pertolongan antara dua orang manusia sebagai subyek, yakni konselor dengan

    konseli. Perjumpaan pertolongan itu bertujuan untuk menolong konseli agar dapat

    menghayati keberadaannya dan pengalamannya secara penuh dan utuh. Dalam hal ini

    pengertian penuh berkaitan dengan kerangka waktu oleh yang diperlukan konseli

    untuk menghayati pengalaman dan cerita hidupnya. Sedangkan pengertian utuh

    berkaitan dengan seluruh isi keberadaan, pengalaman, dan perasaan yang harus

    dialami oleh konseli sedemikian rupa sehingga dapat menggunakan sumber-sumber

    yang tersedia untuk berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal dalam aspek fisik,

    mental, spiritual, dan sosial. Hakikat konseling pastoral demikian menimbulkan

    proses interelasi, interaksi, dan inter-transaksi yang berkesinambungan antara

    konselor dan konseli. Dengan demikian proses konseling pastoral bersifat dinamis

    dan berubah dari waktu ke waktu.16

    Konseling diartikan sebagai proses pemberian bantuan atau bimbingan yang

    dilakukan oleh konselor kepada konseli dengan menggunakan metode psikologis,

    16 Totok Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Diandra Pustaka

    Indonesia, 2014), 64

  • 9

    bisa berbentuk pengarahan atau penyuluhan sehingga konseli dapat memahami

    kemampuan dirinya sendiri untuk dapat menyelesaikan berbagai masalah.17

    Konseling (pastoral) adalah percakapan teraputik antara konselor (atau

    pastor/pendeta) dengan konseli/kliennya, di mana konselor mencoba membimbing

    konselinya kedalam suatu suasana percakapan konseling yang ideal (conductive

    atmosphere) yang memungkinkan konseli tersebut dapat mengenal dan mengerti apa

    yang sedang terjadi dalam dirinya sendiri (self-awareness), persoalan yang ia sedang

    hadapi, kondisi hidupnya dan mengapa ia merespons semua itu dengan pola pikir,

    perasaan, dan sikap tertentu.18

    Dalam konseling pastoral juga dikenal logo konseling

    yang merupakan pengembangan dari model logo terapi Viktor Frankl dan produk

    akhir penelitian tentang pengembangan model logo konseling yang efektif untuk

    memperbaiki harga diri spiritual yang rendah.19

    Pendampingan mengacu pada hubungan antara dua subyek, yakni orang yang

    mendampingi (pendamping) dengan yang didampingi. Keduanya dalam posisi

    sederajat tidak yang lebih tinggi atau rendah20

    . Model logo konseling adalah program

    intervensi konseling untuk memperbaiki permasalahan perkembangan dan dimensi

    harga diri spiritual yang rendah, dengan tujuan pribadi setiap individu yang

    mengalami harga diri spiritual yang rendah dapat mengidentifikasi kekuatan dan

    kelemahannya, mengembangkan keyakinan inti seimbang, mengembangkan evaluasi

    diri seimbang, mengembangkan kepercayaan diri, serta memperoleh harga diri

    spiritual yang rendah dan menemukan makna hidupnya21

    .

    17

    KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, 2008)

    18 Yakub B Susabda, Konseling Pastoral: Pendekatan Konseling Pastoral Berdasarkan

    Integrasi Teologi dan Psikologi, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2014), 7

    19 Jacob Daan Engel, Nilai Dasar Logo Konselin,g (Yogyakarta, Kanisius, 2014), 1

    20Totok Wiryasaputra & Rini Handayani, Pengantar Kedalam Konseling Pastoral, (Salatiga:

    AKPI, 2003), 21-22

    21Engel, Nilai Dasar, 82

  • 10

    Adapun beberapa fungsi pendampingan dan konseling pastoral dideskripsikan

    sebagai berikut.22

    1. Fungsi Bimbingan (Guiding)

    Fungsi bimbingan membantu konseli yang berada dalam kebingungan untuk

    menentukan pilihan-pilihan dan pengambilan keputusan yang pasti, jika pilihan dan

    keputusan demikian dipandang sebagai yang mempengaruhi keadaan jiwanya

    sekarang dan yang akan datang. Fungsi membimbing berarti membantu konseli

    ketika harus mengambil keputusan di antara pilihan-pilihan yang ada karena pilihan-

    pilihan tersebut timbul dari relasi pastoral yang mempengaruhi keadaannya di masa

    sekarang dan akan datang.

    2. Fungsi Penopangan (Sustaining)

    Menopang atau menyokong sebagai fungsi pastoral dimaksudkan sebagai

    penghiburan dan penguatan yang dirasakan konseli dari relasi pastoral sewaktu ada

    kesusahan karena mengalami kehilangan, rasa sedih, sakit, dan penderitaan. Fungsi

    menopang adalah menolong konseli menghadapi keadaan sekarang sebagaimana

    adanya, dan menerima kenyataan pahit yang dialami serta tetap berjuang untuk

    menjalani hidup dengan baik.

    3. Fungsi Penyembuhan (Healing)

    Fungsi menyembuhkan ini menuntun konseli mengungkapkan perasaan

    hatinya yang terdalam. Sebab bukan tidak mungkin secara fisik merupakan akibat

    dari sebuah tekanan secara psikis emosional. Fungsi penyembuhan merupakan

    pelayanan pastoral secara holistik, lahir dan batin, jasmani dan rohani, tubuh dan

    jiwa. Fungsi penyembuhan mengatasi kerusakan dilakukan dengan cara

    mengembalikan konseli pada suatu keutuhan dan menuntunnya kearah yang lebih

    baik dari sebelumnya.

    22

    Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling (Jakarta, BPK Gunung Mulia,

    2016),5-9

  • 11

    4. Fungsi Memulihkan/Memperbaiki Hubungan (Reconciling)

    Fungsi memulihkan berarti membantu konseli memperbaiki kembali

    hubungan yang rusak antara dirinya dan orang lain. Fungsi memulihkan menolong

    konseli memaafkan kesalahan yang telah dilakukan orang dan memberi mereka

    pengampunan. Dengan mengampuni, hubungan konseli dan sesama yang telah rusak

    diperbaiki kembali. Pendampingan pastoral tidak hanya memulihkan relasi

    komunikasi dengan sesama tetapi juga mengembangkan spiritualitasnya dalam

    hubungan dengan Tuhan.

    5. Fungsi Memelihara/Mengasuh (Nurturing)

    Clinebell mengatakan bahwa fungsi memelihara atau mengasuh memampukan

    konseli untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepadanya.

    Potensi yang dapat dilihat dalam proses tersebut adalah apa yang dapat ditumbuh

    kembangkan sebagai kekuatan dalam melanjutkan kehidupannya, sehingga mereka

    didorong kearah pertumbuhan dan perkembangan secara holistik. Dengan demikian,

    pendampingan dan konseling pastoral melaksanakan fungsi pengembalaan dengan

    tujuan utama mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya,

    yakni fisik, sosial, mental, dan spiritualnya.

    2.3 Konselor dan Kesadaran Budaya

    Mempelajari keragaman budaya menjadi salah satu solusi konselor untuk

    terhindar dari berbagai hambatan dalam berinteraksi saat melakukan konseling

    multikultural. Setiap budaya memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap

    tingkah laku verbal dan non verbal. Untuk itu sebagai konselor lintas budaya

    sebaiknya sadar akan budaya konselor sendiri maupun konseli dalam proses

    konseling

  • 12

    a. Kesadaran budaya

    Kesadaran budaya adalah kemampuan seseorang untuk melihat keluar dirinya

    sendiri dan menyadari akan nilai-nilai budaya, kebiasaan budaya yang masuk,

    Wunderle menyebutkan bahwa kesadaran budaya sebagai suatu kemampuan

    mengakui dan memahami pengaruh budaya terhadap nilai-nilai dan perilaku manusia.

    Ada beberapa komponen yang dapat terhindar dari prejudis, miskonsepsi dan

    ketidakmampuan dalam menghadapi konsdisi masyarakat majemuk,yaitu:

    a. Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan, menyimpulkan, berinteraksi)

    b. Kemampuan proses (bernegosiasi, lobi, mediasi, fasilitasi).

    c. Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis, multimedia).

    d. Kemampuan memiliki kesadaran dalam informasi.

    e. Cara mengakses informasi.

    f. Dan menggunakan informasi.

    Beberapa kompetensi diatas memberikan peran penting dalam menghadapi

    masyarakat yang multikultural dan juga penting bagi konselor dalam kesadaran

    budaya. Fowers dan Davidov mengemukakan bahwa proses untuk menjadi sadar

    terhadap nilai yang dimiliki, dan keterbatasan meliputi eksplorasi diri pada budaya

    hingga seseorang belajar bahwa perspektifnya terbatas, memihak, dan relatif pada

    latar belakang diri sendiri.

    Terbentuknya kesadaran budaya pada individu merupakan suatu hal yang

    terjadi begitu saja. Akan tetapi melalui berbagai hal dan melibatkan beragam faktor

    diantaranya adalah persepsi dan emosi maka kesadaran akan terbentuk.

    b. Tingkat kesadaran budaya

    Wunderle mengemukakan lima tingkat kesadaran budaya23

    , yaitu:

    23

    Jacob Daan Engel, Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer,(Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 2016),78

  • 13

    a. Data dan informasi.

    Data merupakan tingkat terendah dari tingkatan informasi secara kognitif.

    Data terdiri dari signal-signal atau tanda-tanda yang tidak melalui proses komunikasi

    antara setiap kode-kode yang terdapat dalam sistem, atau rasa yang berasal dari

    lingkungan yang mendeteksi tentang manusia. Dalam tingkatan ini penting untuk

    memiliki data dan informasi tentang beragam perbedaan yang ada. Dengan adanya

    data dan informasi maka hal tersebut dapat membantu kelancaran proses komunikasi.

    b. Culture consideration (Pertimbangan Budaya).

    Setelah memiliki data dan informasi yang jelas tentang suatu budaya maka

    kita akan dapat memperoleh pemahaman tentang budaya dan faktor apa saja yang

    menjadi nilai-nilai dari budaya tertentu. Hal ini akan memberikan pertimbangan

    tentang konsep-konsep yang dimiliki oleh suatu budaya secara umum dan dapat

    memaknai budaya yang ada. Pertimbangan budaya ini akan membantu kita untuk

    memperkuat proses komunikasi dan interaksi yang akan terjadi.

    c. Culture knowledge (Pengetahuan Budaya).

    Informasi dan perimbangan yang telah dimiliki memang tidak mudah untuk

    dapat diterapkan dalam pemahaman suatu budaya. Namun, pentingnya pengetahuan

    budaya merupakan faktor penting bagi seseorang untuk menghadapi situasi yang akan

    dihadapinya. Pengetahuan budaya tersebut tidak hanya pengetahuan tentang budaya

    orang lain namun juga penting untuk mengetahui budaya sendiri. Oleh karena itu

    pengetahuan terhadap budaya dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan khusus.

    Tujuannya adalah untuk membuka pemahaman terhadap sejarah suatu budaya. Ini

    termasuk pada isu-isu utama budaya seperti kelompok, pemimpin, dinamika,

    keutamaa budaya, dan keterampilan bahasa agar dapatmemahami budaya tertentu.

    d. Cultural understanding (Paham Budaya).

    Memiliki pengetahuan tentang budaya yang dianutnya dan juga budaya orang

    lain melalui berbagai aktivitas dan pelatihan penting agar dapat memahami dinamika

    yang terjadi dalam suatu budaya tertentu. Oleh karena itu, penting untuk terus

    menggali pemahaman dan kesadaran mendalam pada kekhususan budaya yang

  • 14

    memberikan pemahaman hingga pada proses berfikir, faktor-faktor yang memotivasi,

    dan isu lain yang secara langsung mendukung proses pengambilan suatu keputusan.

    e. Cultural competence (Kompetensi Budaya).

    Tingkat tertinggi dari kesadaran budaya adalah kompetensi budaya.

    Kompetensi budaya berfungsi untuk dapat menentukan dan mengambil suatu

    keputusan dan kecerdasan budaya. Kompetensi budaya merupakan pemahaman

    terhadap kelenturan budaya. Dan hal ini penting karena dengan kecerdasan budaya

    yang memfokuskan pemahaman pada perencanaan dan pengambilan keputusan pada

    suatu situasi tertentu. Implikasi dari kompotensi budaya adalah pemahaman secara

    intensif terhadap kelompok tertentu

    Berdasarkan tingkatan dari kesadaran budaya diatas perlu bagi konselor untuk

    memiliki pemahaman dalam menggunakan tingkatan-tingkatan tersebut untuk

    memahami budaya. Tingkatan-tingkatan tersebut dapat diigunakan untuk

    menggambarkan aplikasi guna memahami fitur-fitur kunci pada perbedaan budaya.

    Sehingga dapat diaplikasikan dengan menggunakan teknik-teknik yang tepat untuk

    memahami dalam pelaksanaan konseling.

    2.4 Peran Gereja sebagai Pendamping Pastoral

    Di dalam perkembangan gereja, penyembuhan adalah bagian yang intergral

    dari seluruh bagian dalam pelayanan gereja. Pelayanan gereja yang di maksud adalah

    pendampingan pastoral dan di dalam pendampingan pastoral itu sendiri masih

    terdapat beberapa bagian layanan, dan salah satunya adalah konseling pastoral.

    Apabila konseling pastoral dipahami dalam seluruh fungsi gereja menurut Rasul

    Petrus, maka konseling pastoral adalah suatu perspektif Kristen untuk menolong dan

    menyembuhkan individu yang bermasalah dengan menghadiri situasi kehidupannya

    sehingga perbuatan-perbuatan besar dari Allah itu dapat terbaca oleh umat manusia.

  • 15

    Pendeta Sebagai Konselor

    Dalam kaitan dengan Tri tugas panggilan gereja, yaitu koinonia, konseling

    pastoral mempunyai peranan penting untuk menolong orang dalam pengembangan

    kompetensi hubungan antara manusia. Panggilan seorang pendeta dalam konseling

    pastoral dapat memperkuat arti dari konseling pastoral dengan beberapa alasan

    bahwa:24

    1. Pendeta adalah rekan sekerja Allah, yang mengarahkan hatinya kedalam

    pelayanan yang terpusat kepada Allah dan setia memampukan orang lain untuk

    mengenal diri sendiri dan Allah.

    2. Pendeta mendapatkan pelayanan di dalam terang Roh Kudus dalam menjawab

    pergumulan-pergumulan di sekitar masalah – masalah kemanusiaan.

    3. Pendeta sebagai konselor pastoral selalu bersentuhan dengan apa yang disebut

    dengan relasi dengan sesama.

    Pentingnya seorang pendeta berlaku sebagai pembimbing atau konselor di

    dalam pelayanan adalah untuk menolong orang lain, untuk dapat mengenal dirinya,

    mengetahui kemampuan dan kekurangannya sehingga orang yang dibimbing dapat

    mengidentifaksikan apa yang menjadi kekurangan, danapa yang menjadi kelebihan

    dalam hidupnya. Pendeta sebagai konselor harus bisa menjaga kepercayaan

    bimbingannya, tidak membocorkan rahasia, menghormati dan menghargai

    bimbingan, menghindari untuk mengalihkan masalah bimbingannya kepada orang

    lain tanpa persetujuan yang dibimbingan.

    Bertumpu pada tujuan dan manfaat konseling yang menciptakan suatu

    pembinaan dalam meningkatkan kerohanian jemaat dalam gereja, maka dapat

    dikatakan bahwa konseling harus dilakukan oleh Pendeta atau hamba Tuhan sebagai

    suatu tugas dengan cara: Pertama, seorang konselor harus bersandar sepenuhnya

    kepada Allah pada saat menolong atau membimbing anggota jemaat yang sedang

    24

    Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 91-92

  • 16

    bermasalah. Kedua, seorang konselor harus berdoa dan mendoakan kliennya

    (bimbingannya), sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian

    anggota jemaat dapat tertolong dari persoalan-persoalan, baik secara pribadi maupun

    di dalam keluarga, sehingga kerohanian jemaat dapat mengalami peningkatan.25

    2.5 Pengertian Gereja

    Menurut KBBI, Gereja merupakan gedung (rumah) tempat berdoa dan

    melakukan upacara agama Kristen; badan (organisasi) umat Kristen yang sama

    kepercayaan, ajaran, dan tata ibadahnya.26

    Secara etimologi, kata Gereja berasal dari

    bahasa Portugis yaitu igreya dan berasal dari kata Yunani ekklesia yang berarti

    dipanggil keluar (ek=keluar; klesia dari kata kaleo=memanggil). Ekklesia berarti

    persekutuan orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan datang kepada terang

    Allah yang ajaib27

    .

    Tugas gereja yang cukup strategis adalah tugas pendidikan atau pembinaan

    bagi umat atau jemaatnya. Tugas ini dianggap penting karena bagaimana pun apa

    yang diinginkan terjadi bagi jemaat, baik secara invidivu maupun komunal hanya

    mungkin kalau ada tugas pendidikan atau apapun namanya. Tugas seperti ini selalu

    melekat dalam komunitas apapun, apalagi komunitas dalam iman atau agama.28

    .

    Menurut penulis gereja bukan hanya sekedar bangunan yang biasa digunakan

    jemaat dalam melakukan ibadah tetapi sesungguhnya gereja itu adalah diri kita

    sendiri yang mempertemukan kita dengan Yesus secara langsung melalui iman dan

    sikap spiritual yang kita lakukan.

    25

    P.Tuhumury. “Pedoman Pimbinaan Pendidikan Kristen”(Makassar: STT Jaffray,2003), 54-

    56. Diakses 21 Juli 2018

    26 KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, 2008)

    27 Ismail Andar, Selamat Bergereja: 33 Renungan tentang Komunitas Iman, (Jakarta: Gunung

    Mulia, 2009)

    28 Daniel Nuhamara, Pembimbingan PAK, (Bandung, Jurnal Infomedia, 2007),125

  • 17

    2.6 Rumah Tangga

    Dalam teori ini lebih menekankan tentang keluarga yang ada dalam kehidupan

    bermasyarakat. Menurut KBBI keluarga merupkan 1) ibu dan bapak beserta anak-

    anaknya; seisi rumah: 2) orang seisi rumah yang menjadi tanggungan; batih 3) sanak

    saudara; kaum kerabat 4) seluruh kekerabatan yang sangat mendasar dalam

    masyarakat.29

    Keluarga Kristen adalah pemberianTuhan yang tidak ternilai. Keluarga

    Kristen sejati seharusnya tidak saling menuntut pasangan harus dengan yang lain,

    melainkan keluarga yang takut akan Tuhan harus memulai dari diri sendiri yaitu

    memberikan kasih kepada pasangan bukan menuntut kasih dari pasangan. Keluarga

    yang harmonis merupakan impian semua orang yang mau membentuk keluarga

    maupun yang sudah berkeluarga. Namun, ada banyak keluarga yang tidak mengerti

    keharmonisan tidak datang dengan sendirinya atau datang secara tiba-tiba di dalam

    keluarga, melainkan harus didasarkan pada usaha dan upaya bersama-sama di dalam

    keluarga.30

    Keluarga merupakan kelompok sosial yang pertama dijumpai dalam

    kehidupan manusia. Menurut Ki Hajar Dewantara, keluarga berasal dari bahasa Jawa

    kuno kawula yang berarti hamba dan warga artinya anggota. Secara bebas dapat

    diartikan bahwa keluarga adalah anggota hamba atau warga. Artinya setiap anggota

    dari kawula merasakan sebaga isatu kesatuan yang utuh sebagai bagian dari dirinya

    dan dirinya juga merupakan bagian dari warga yang lainnya secara keseluruhan.

    Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih memiliki hubungan

    darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai sekumpulan orang yang tinggal

    dalam satu rumah yang masih mempunyai hubungan kekerabatan/hubungan darah

    karena perkawinan, kelahiran, adopsi dan lain sebagainya.31

    29

    KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, 2008)

    30 Sadiria Gulo, Prinsip Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga bagi Keluarga Banua Niha

    Keriso Protestan (BNKP) Gunungsitoli, (Gunungsitoli: BNKP,2017)

    31 Eko Setiyawan, Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak Keberadaan

    Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Studi pada TPA Permata Hati di Desa Wonokerto,

  • 18

    Menurut penulis keluarga sebuah wadah kehidupan sosial yang pertama kali

    kita temui. Di dalam kehidupan keluarga banyak pengajaran yang didapat baik secara

    langsung dan tidak langsung yang mampu membawa kita ke dalam kehidupan

    bermasyarakat.

    Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta,2012),

    10

  • 19

    BAGIAN III

    TEMUAN PENELITIAN

    Bagian ini akan menjelaskan temuan Peneliti di lokasi penelitian dalam

    memgumpulkan data-data terkait dengan gambaran pelayanan yang terjadi di GPIB

    Ekklesia Dumai dan kondisi jemaat yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah

    Tangga.

    3.1 Gambaran Umum Jemaat GPIB Ekklesia Dumai

    GPIB Ekklesia Dumai terletak di Jl. Air Bersih No. 01 Dumai-Riau. Jemaat

    GPIB Ekklesia Dumai mempunyai berbagai macam mata pencaharian dari berbagai

    macam mulai dari pedagang, pengusaha, pegawai kantoran, buruh, dan pns. Rata-rata

    pendidikan warga jemaat di GPIB Ekklesia Dumai SMA hingga S1.

    GPIB Ekklesia Dumai memiliki 1 (satu) Pendeta selaku Ketua Majelis Jemaat

    serta 3 (tiga) Pendeta Pos Pelayanan dan Kesaksian Pelayanan, Pengurus Harian

    Majelis Jemaat GPIB Ekklesia Dumai memiliki 11 (sebelas) anggota dan Majelis

    GPIB Ekklesia Dumai dalam hal ini penatua sebanyak 22 orang dan diaken 22 orang.

    Pelayanan konseling pendeta di GPIB Ekklesia Dumai dilakukan setiap hari dan jam

    yang disesuaikan. Saat ini pelayanan di GPIB Ekklesia Dumai mempunya jangkauan

    wilayah yang cukup luas yang terbagi dalam 4 (empat) Sektor Pelayanan yang

    berjumlah ±220 KK dan juga melakukan pelayanan di 5 (lima) Pos Pelayanan dan

    Kesaksian (Pelkes).32

    Berdasarkan data yang ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh

    peneliti, ada banyak permasalahan yang dihadapi didalam Jemaat GPIB Ekklesia

    Dumai, namun permasalahan-permasalahan tersebut Peneliti mengambil objek

    penelitian yang menjadi pergumulan adalah masalah kekerasan dalam hubungan

    pasangan suami isteri. Kekerasan dalam hubungan pasangan suami isteri merupakan

    keprihatinan yang perlu dijadikan perhatian publik dalam suatu kehidupan secara

    utuh ditengah-tengah keluarga kristen saat ini. Kehidupan keluarga pada dasarnya

    32

    April Yantonius Sihura, Website GPIB Ekklesia Dumai, 2017. diakses 27 Februari 2019

  • 20

    merupakan basis dari pembentukkan kehidupan sosial dan pembentukkan karakter

    pola pikir seorang individu. Menjadi permasalahan ketika tempat (keluarga) yang

    seharusnya dapat menjadi dasar seorang individu membentuk kehidupan sosial dan

    karakter kepribadiannya, sebaliknya menjadi tempat sumber masalah bagi individu

    untuk menjalani kehidupannya.

    3.2 Permasalahan Kekerasan Pasangan Suami-Isteri di GPIB Ekklesia

    Dumai

    Dari penelitian dan permasalahan kekerasan dalam pasangan suami isteri yang

    ditemui di GPIB Ekklesia Dumai, penulis menggunakan dua orang informan kunci

    untuk dijadikan sumber data observasi yang dilakukan, yakni Ibu AK (52) dan Ibu

    BM (40), masing-masing informan merupakan korban kekerasan yang terjadi di

    dalam kehidupan keluarga yang dilakukan oleh pasangan mereka.

    3.2.1 Wawancara Dengan Ibu AK33

    Ibu AK(52) merupakan wanita karir disalah satu kantor pemerintahan di Kota

    Dumai adalah anggota jemaat GPIB Ekklesia Dumai dan pernah menjadi presbiter

    atau mejelis gereja. Memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan suami yang

    sering mengalami kekerasan secara psikis dan fisik yang dilakukan oleh suami

    menyebabkan luka batin sehingga memberikan dampak kurang baik dalam menjalani

    kehidupannya baik pekerjaan dan pelayanan di gereja, hal ini juga yang menyebabkan

    mengapa dia memilih mundur menjadi presbiter atau tidak melanjutkan menjadi

    pelayan di GPIB Ekklesia Dumai. Hingga sampai wawancara dilakukan kekerasan

    yang dilakukan suami masih terjadi walaupun yang dilakukannya tidak seburuk

    beberapa tahun belakangan ini.

    Kekerasan yang terjadi atau yang dialami oleh Ibu AK ini diakibatkan dari

    perbedaan umur dengan suami (60 tahun) dan rasa cemburu suami yang berlebihan

    ini menyebabkan perubahan dari suami yang berujung pada kekerasan, ini bisa dilihat

    pada saat Ibu AK masih menjabat sebagai majelis disaat melakukan pelayanan di

    33

    Wawancara Ibu AK pada 16 Agustus 2018 pukul 18.15 WIB di GPIB Ekklesia Dumai

  • 21

    Persekutuan Kaum Perempuan dimana setelah ibadah biasanya diadakan latihan

    menyanyi, tetapi hal tersebut menjadi persoalan bagi suami dengan alasan latihan

    menyanyi tersebut tidak perlu terlalu sering dilakukan dan membuat suami uring-

    uringan dan curiga, hal ini menjadi alasan dimana Ibu AK tidak melanjutkan

    pelayanannya menjadi majelis di GPIB Ekklesia Dumai pada periode berikutnya.

    Suami beranggapan bahwa Pendeta jemaat disaat masih menjadi Ketua Jemaat di

    GPIB Ekklesia Dumai tidak benar, dengan alasan semua kegiatan baik sinode dan

    mupel hanya istrinya yang berangkat.

    Kekerasan fisik yang dialami oleh Ibu AK disaat Pendeta jemaat beserta

    suami pendeta mengantar Ibu AK pulang ke rumah setelah mengikuti agenda gereja

    sesampai dirumah suami langsung memukul Ibu AK hal ini dihadapan istri pendeta

    yang berusaha menenangkan amarah suami Ibu AK dan kebetulan suami Pendeta

    berada didalam mobil dan juga melihat kejadian tersebut. Rasa cemburu yang kuat

    dari suami Ibu AK ini menjadi alasan dikarenakan suami mempunyai latar belakang

    masa lalu yang berat yang menghantui dirinya mengingat umur yang semakin tinggi,

    fisik semakin lemah tapi tetap menunjukkan eksistensi sebagai suami dengan cara

    yang salah.

    3.2.2 Wawancara Dengan Ibu BM34

    Informan kedua, yakni ibu BM (40), merupakan ibu rumah tangga yang telah

    menjalani pernikahannya selama 16 tahun. Ibu B merupakan korban kekerasan dalam

    kehidupan rumah tangga dikarenakan perselingkuhan yang dilakukan suaminya. Dari

    pengakuan, informan sudah mengetahui perselingkuhan yang dilakukan suaminya

    sejak delapan tahun terakhir. Untuk menutupi perselingkuhan, suaminya mencari

    kesalahan informan sampai melakukan tindak kekerasan, yakni memukul, menampar,

    bahkan menendang.

    34

    Wawancara Ibu BM pada 13 Februari 2019 pukul 13.45 WIB via telepon

  • 22

    Sebelum Ibu BM punya anak, suaminya memperlakukan selayaknya seorang

    wanita yang selalu diperhatikan suaminya. Kehidupan pernikahannya normal dan

    tidak ada permasalahan yang berarti sampai Ibu BM pun positif hamil, sejak saat itu

    suami mulai berubah. Sewaktu di rumah pun, Ibu BM dan suami jarang ngobrol, Ibu

    BM tetap berpikir positif bahwa suami sibuk dengan kerjaannya.

    Sampai suatu ketika Ibu BM mengajak berbicara suami namun suami bereaksi

    membentak marah-marah tidak jelas disertai makian dan sumpah serapah dan

    membuat Ibu BM takut dan tidak berani melawan, karna menurut Ibu BM penah ada

    pengalaman disaat dia melawan yang ada tamparan disertai tendangan diberikan oleh

    suaminya. Hal ini membuat Ibu BM mencari tau apa yang membuat perubahan

    suaminya ternyata ada perselingkuhan yang telah dilakukan oleh suami Ibu BM dan

    itu diakui oleh suami Ibu BM.

    3.3 Peran Gereja Memberikan Proses Konseling Berbasis Budaya terhadap

    Korban Kekerasan

    Pendeta Jemaat GPIB Ekklesia Dumai diwawancarai terkait peran pendeta

    sebagai konselor untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial yang

    terjadi di lingkungan gereja terutama permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.

    Pendeta mengatakan bahwa gereja turut hadir dalam perkujungan dan pendampingan

    dalam menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga ini untuk

    memulihkan keluarga tersebut terutama korban kekerasan dalam hal ini ibu AK dan

    Ibu BM.

    Pendeta menggunakan tahapan-tahapan untuk melakukan konseling terhadap

    korban kekerasan dalam rumah tangga tidak langsung mengorek ke inti permasalahan

    yang mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Pertama melalui perkunjungan

    namun sebelum perkunjungan, koordinator sektor yang mengetahui ada permasalahan

    di lingkungan pelayanannya maka dia memprioritaskan keluarga tersebut menjadi

    bagian keluarga yang harus di kunjungi. Kedua melakukan perkunjungan, disaat

    perkunjungan juga tidak serta merta Pendeta dan koordinator sektor tidak

    menanyakan langsung ke inti masalah biasanya Pendeta akan menanyakan terkait

  • 23

    dengan pelayanan gereja apa yang kurang dan apa yang bisa menjadi masukan bagi

    gereja. Ketiga Pendeta mengatakan apabila ada keluarga memerlukan pelayanan dari

    Gereja maka kami siap melayani. Apabila dari ketiga tahapan itu akhirnya ada

    pengakuan dari keluarga dalam hal ini korban namun butuh bicara khusus dengan

    pendeta maka perlu diberikan waktu khusus untuk melakukan konseling dalam

    menyelesaikan permasalahan kekerasan dalam rumah tangga si Ibu AK dan BM.35

    Presbiter GPIB Ekklesia Dumai yang diwawancarai mengatakan bahwa dalam

    hal pelayanan yang dilakukan korban mulai berubah setelah kejadian tersebut dan

    juga dalam berinteraksi juga semakin berubah. Sewaktu korban masih menjadi

    anggota PHMJ yang mengharuskan melakukan kegiatan mupel dan sinode di luar

    kota suami mulai curiga kepada isterinya, yang paling mendapat perhatian ialah

    sewaktu ibadah minggu suami mulai membicarakan kepada jemaat bahwa pendeta

    pada saat itu tidak benar dalam melakukan tugas. Itulah yang menjadi salah satu

    alasan mengapa ia tidak mau dipilih lagi menjadi presbiter dalam periode selanjutnya.

    Sebenarnya pada saat menjadi presbiter korban menjalani tugas dan tanggung

    jawabnya dengan integritas yang baik walaupun ada harga yang harus ia bayar.

    Sebagai rekan kerja pelayanan sangat menyayangkan korban tidak mau dipilih dalam

    periode selanjutnya karena korban termasuk orang yang memiliki potensi yang bagus

    dan disiplin tetapi dari kacamata sebagai jemaat itu baik karena korban memiliki

    komitmen untuk tetap melayani dalam pelayan teruna. Dalam perkunjungan korban

    meminta pendampingan atau perkunjungan dari presbiter yang korban anggap

    suaminya akan segan terhadap dia, dengan melakukan hal ini korban berusaha

    menciptakan suasana yang kondusif dan memperhitungkan suami serta efek yang

    akan ia dapatkan.36

    35

    Wawancara Ketua Majelis Jemaat GPIB Ekklesia Dumai pada 14 Februari 2019 pukul 12.15

    WIB di GPIB Ekklesia Dumai

    36 Wawancara Presbiter ST pada 15 Februari 2019 pukul 11.20 WIB di GPIB Ekklesia Dumai

  • 24

    3.4. Rangkuman Temuan Penelitian

    Dengan demikian dapat disimpulkan atau dapat dirangkum Kasus

    Kekerasasan Dalam Rumat Tangga yang dialami oleh Ibu AK (52) dan Ibu BM (40)

    yang adalah jemaat GPIB Ekklesia Dumai, adapun kekerasan yang didapatkan oleh

    Ibu AK (52) dan Ibu BM (40) yang merupakan korban dalam hal ini yakni :

    A. Kekekerasan Fisik berupa pemukulan yang mengakibatkan luka memar

    dibeberapa bagian tubuh. Faktor yang menyebabkan terjadi kekerasan fisik adalah

    suami memiliki rasa cemburu jika melihat isteri berbicara dengan laki-laki lain dan

    juga suami yang berselingkuh

    B. Kekerasan Verbal atau Kekerasan Psikis yang mengakibatkan luka batin

    mendalam bagi kedua korban.

    Melihat kondisi yang dihadapi anggota jemaat GPIB Ekklesia Dumai ini maka

    dapat dilihat beberapa peran Gereja turut hadir dalam menyelesaikan koflik rumah

    tangga yang berujung pada kekerasan dalam rumah tangga yakni :

    a. Gereja hadir dengan beberapa tahapan pertama melihat skala prioritas jemaat

    yang perlu dikunjungi dengan melihat urgensi masalah. Kasus Kekerasan Dalam

    Rumah Tanggayang dialami Ibu AK (52) dan Ibu BM (40) menjadi prioritas untuk

    diselesaikan. Tahapan kedua perkunjungan dilakukan oleh Pendeta dan majelis sektor

    namun tidak langsung menuju ke permasalahan kekerasan dalam rumah tangga yang

    dialami oleh Ibu AK (52) dan Ibu BM (40). Tahapan Ketiga Konseling dengan

    memberikan waktu khusus dengan pendeta untuk menyelesaikan permasalahan

    kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Ibu AK (52) dan Ibu BM (40).

    b. Konseling dengan waktu khusus ini tidak digunakan oleh korban

    dimungkinkan karena rasa malu yang dihadapi Ibu AK (52) dan Ibu BM (40)

    mengingat permasalahan korban ini sudah menjadi rahasia umum.

  • 25

    BAGIAN IV

    PERAN GEREJA GPIB EKKLESIA DUMAI MENGHADAPI KORBAN

    KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

    Bagian ini akan menjelaskan terkait dengan hasil penelitian yang telah di analisis

    berdasarkan teori -teori yang berhubungan peran gereja dalam menghadapi korban

    yang merupakan jemaat gereja dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga.

    4.1 Peran Gereja GPIB Ekklesia dalam Pendampingan dan Konseling

    Pastoral Berbasis Budaya

    Gereja yang merupakan pusat pendidikan kristiani bagi anggota jemaat

    memilki fungsi dalam menghadapi permasalahan-permasalahan sosial salah satunya

    adalah kekerasan dalam rumah tangga yakni korban AK (52) dan BM (40) yang

    merupakan anggota jemaat GPIB Ekklesia Dumai, dengan kasus ini maka peran

    gereja dapat ini analisis berdasarkan fungsi pendampingan dan konseling pastoral.

    Dalam hal ini Gereja memberikan bimbingan kepada jemaat yang menghadapi

    problem kekerasan rumah tangga dengan mendukung mereka dalam keharmonisan

    rumah tangga sehingga perbuatan terkait kekerasan rumah tangga tersebut tidak

    terulang kembali. Pada saat memberikan bimbingan Gereja tidak memberikan sekali

    bimbingan tetapi secara berkala walaupun tidak intens. Gereja menopang atau

    menyokong fungsi pastoral dengan memberikan penghiburan dan penguatan kepada

    keluarga dalam hal ini korban kekerasan dalam rumah tangga yakni ibu yang

    mengalami kekerasan secara fisik atau psikis. Gereja menjalankan penyembuhan

    dengan mengungkapkan isi hati yang terdalam terkait dengan anggota keluarga yang

    mengalami kekerasan dalam rumah tangga dalam hal ini ibu yang mengalami

    kekersan fisik.

    Gereja belum sepenuhnya melakukan fungsi pemulihan kepada korban.

    Gereja memampukan korban kekerasan dalam rumah tangga untuk mengembangkan

    potensi-potensi yang diberikan Allah kepadanya sehingga korban yang mengalami

  • 26

    kekerasan mengalami pertumbuhan holistik yang mampu ditularkan didalam keluarga

    dan memberikan output bagi keluarga yang dulunya tidak harmonis dapat tumbuh

    menjadi lebih baik.

    Dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial didalam gereja adalah hal ini

    permasalahan-permasalahan terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga maka

    pendeta sebagai Ketua Jemaat dalam hal ini Ketua Jemaat GPIB Ekklesia Dumai

    dapat berfungsi sebagai konselor dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait dengan

    kekerasan dalam rumah tangga.

    Hasil temuan penulis dalam penelitian dalam wawancara dengan Pendeta

    Jemaat GPIB Ekklesia Dumai maka dianalisis kasus kekerasan dalam rumah tangga

    dapat dilakukan konseling dengan berdasarkan konsep yang ditemukan

    mengidentifikasikan 4 komponen yang dapat terhindar dari prejudis, miskonsepsi dan

    ketidakmampuan dalam menghadapi konsdisi masyarakat majemuk,yaitu:

    a. Kemampuan berkomunikasi (mendengarkan, menyimpulkan, berinteraksi).

    Pendeta mendengarkan, menyimpulkan dan berinteraksi dengan mendalam

    mengingat kasus ini harus diselesaikan karena merupakan anggota jemaat tapi juga

    harus berhati-hati mengingat permasalahan ini merupakan ranah hukum pidana.

    b. Kemampuan proses (bernegosiasi, lobi, mediasi, fasilitasi).

    Apabila ada korban yang merupakan jemaat memerlukan mediasi atau memfasilitasi

    penyelesaian permasalahan ini dengan mempertemukan korban dan pelaku kekerasan.

    c. Kemampuan menjaga informasi (penelitian, menulis, multimedia).

    Pendeta yang melakukan tugas sebagai konselor harus mampu menjaga informasi

    dari korban dari siapa pun demi menjaga kenyamanan bersama.

    d. Kemampuan memiliki kesadaran dalam informasi.

    Pendeta tanggap informasi terkait permasalahan yang dihadapi jemaat dengan melihat

    atau mendengarkan informasi dari majelis dari setiap sektor pelayanan.

    Pendeta yang merupakan konselor juga peka terhadap terbentuknya kesadaran

    budaya pada individu merupakan suatu hal yang terjadi begitu saja. Akan tetapi

  • 27

    melalui berbagai hal dan melibatkan beragam faktor diantaranya adalah persepsi dan

    emosi maka kesadaran akan terbentuk. Berdasarkan hal di atas, pentingnya nilai-nilai

    yang menjadi faktor penting dalam kehidupan manusia akan turut mempengaruhi

    kesadaran budaya (terhadap nilai-nilai yang dianut) seseorang dan memakainya.

    Penting bagi kita untuk memiliki kesadaran budaya agar dapat memahami budaya itu

    sendiri.

    Hal ini diakui dari cara Pendeta GPIB Ekklesia Dumai melihat persoalan

    bahwa ada latar belakang budaya yang berbeda berdasarkan suku korban dan pelaku,

    budaya dari lingkungan dibesarkan korban dan pelaku maupun lingkungan korban

    dibesarkan.

    Berdasarkan teori yang dikemukan oleh Wunderle mengemukakan lima

    tingkat kesadaran budaya, maka peran gereja dapt di implementasikan sebagai upaya

    penyelesaian kasus kekerasan dalam rumah tangga yakni :

    a. Data dan informasi.

    Data dan informasi langsung dapat diketahui melalui anggota jemaat

    langsung disaat perkunjungan atau datang disaat jam kerja maupun waktu yang telah

    diagihkan. Sementara data atau informasi tidak langsung dapat diketahui Gereja

    GPIB Ekklesia Dumai melalui sumber-sumber arsip terkait data dan informasi dari

    setiap warga gereja atau anggota jemaat, dari asal suku, umur, pekerjaan dan tempat

    tinggal, jumlah anggota keluarga dan lain-lain . Terkait dengan permasalahan-

    permasalahan yang dihadapi anggota jemaat gereja GPIB Ekklesia Dumai dapat

    dihimpun dari kordinator di sektor pelayanan masing-masing.

    b. Culture consideration (Pertimbangan Budaya).

    Dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dihadapi oleh Ibu AK (52)

    dan Ibu BM (40) Gereja telah mengetahui bahwa Ibu AK dan pelaku kekerasan

    memiliki perbedaan suku yang berlatarbelakang suku atau karakter sama-sama keras,

    suami Ibu AK pensiunan pelayaran (pelaut) sedangkan Ibu AK masih bekerja sebagai

    seorang PNS, sementara kasus dari Ibu BM pelaku yakni suaminya memilki

  • 28

    lingkungan pertemanan yang tidak sehat. Faktor-faktor ini menjadi pertimbangan dari

    cultural code mengakibatkan Pendeta sebagai konselor untuk mengambil sikap dalam

    berkomunikasi sehingga tidak mencederai klien sehingga interaksi dengan klien dapat

    dilakukan dan memberikan penyelesaian yang terbaik bagi korban dan pelaku

    kekerasan.

    c. Culture knowledge (Pengetahuan Budaya).

    Pengetahuan budaya dari Pendeta yang selaku konselor penting dimana

    konselor yakni GPIB Ekklesia Dumai dapat melihat latar belakang pendidikan, latar

    belakang budaya, dan latar belakang pekerjaan serta latar belakang linngkungan

    menjadi faktor pendeta dalam menentukan cara penyelesain yang tepat bagi kedua

    korban kekerasan dalam rumah tangga.

    d. Cultural understanding (Paham Budaya).

    Pemahaman budaya ini penting bagi konselor sehingga mampu memotivasi

    dalam konteks ini Pendeta GPIB Ekklesia Dumai paham akan perannya dan mengerti

    bahwa ada perbedaan budaya antara korban AK dan BM, sehingga Pendeta mampu

    memberikan motivasi-motivasi jalan terbaik untuk menyelesaikan permasalahan

    dalam rumah tangga tersebut.

    Dengan melihat menganalisis berdasarkan teori-teori maka Pendeta dapat

    merepresentasikan tritugas panggilan gereja yakni kononia, konseling pastoral

    mempunyai peran penting untuk menolong orang dalam mengembangkan kompetensi

    hubungan antar manusia. Sehubungan dalam menghadapi permasalahan-

    permasalahan sosial seperti kekerasan dalam rumah tangga maka peran pendeta

    sangat diutamakan untuk membantu menyelesaikan persoalan-persoalan korban

    dalam rumah tangga tersebut. Keluarga yang merupakan anggota jemaat GPIB

    Ekklesia Dumai mendapatkan pelayanan konseling pastoral dari Gereja terutama

    terkait penyelesaian permasalahan-permasalahan sosial yakni contohnya kekerasan

    dalam rumah tangga.

  • 29

    e. Cultural Competence (Kompetensi Budaya)

    Setelah melakukan pengetahuan dan paham budaya Pendeta sebagai konselor

    membantu pemecahan masalah KDRT ini dengan cara memberikan pendampingan

    agar tidak terjadi masalah KDRT lagi. Pentingnya seorang pendeta berlaku sebagai

    pembimbing atau konselor di dalam pelayanan adalah untuk menolong orang lain,

    untuk dapat mengenal dirinya dalam hal ini ialah korban KDRT, mengetahui

    kemampuan dan kekurangannya sehingga orang yang dibimbing dapat

    mengidentifaksikan apa yang menjadi kekurangan, dan apa yang menjadi kelebihan

    dalam hidupnya.

    Bertumpu pada tujuan dan manfaat konseling yang menciptakan suatu

    pembinaan dalam meningkatkan kerohanian jemaat dalam gereja,maka dapat

    dikatakan bahwa konseling harus dilakukan oleh Pendeta atau hamba Tuhan sebagai

    suatu tugas dengan cara: Pertama, seorang konselor harus bersandar sepenuhnya

    kepada Allah pada saat menolong atau membimbing anggota jemaat yang sedang

    bermasalah. Kedua, seorang konselor harus berdoa dan mendoakan kliennya

    (bimbingannya), sesuai dengan masalah yang sedang dihadapinya. Dengan demikian

    anggota jemaat dapat tertolong dari persoalan-persoalan, baik secara pribadi maupun

    di dalam keluarga, sehingga kerohanian jemaat dapat mengalami peningkatan.

  • 30

    BAGIAN V

    PENUTUP

    5.1 Kesimpulan

    Dengan demikian tugas akhir ini dapat disimpulkan bahwa terkait dengan

    kekerasan dalam rumah tangga di Jemaat GPIB Ekklesia Dumai diperlukan peran

    gereja untuk menyelesaian permasalahan-permasalahan tersebut dengan tujuan

    bagaimana gereja dapat membina keluarga kristiani berdasarkan iman percaya kepada

    Tuhan Yesus. Tidak dapat dipungkiri banyak permasalahan-permasalahan serupa

    terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga juga terjadi di dalam jemaat GPIB

    Ekklesia Dumai namun para korban kekerasan menutupinya karena merupakan aib

    bagi keluarga mereka.

    Sehubungan dengan peran pendeta GPIB Ekklesia Dumai sebagai konselor

    sudah dapat menyelesaikan beberapa permasalahan di dalam keluarga anggota Jemaat

    GPIB Ekklesia Dumai yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dengan

    melihat beberapa faktor yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah

    tangga tersebut.

    5.2 Saran

    Adapaun saran yang diberikan oleh Penulis yakni :

    1. Gereja harus lebih aktif melihat kondisi jemaat terkait permasalahan-

    permasalahan yang berhubungan dengan ranah hukum dalam konteks ini

    permasalahan kekerasan dalam rumah tangga.

    2. Gereja harus memilki metode yang tepat melihat kompleksitas permasalahan

    yang dihadapi satu keluarga yang membutuhkan konseling.

  • 31

    DAFTAR PUSTAKA

    Andar, Ismail. Selamat Bergereja: 33 Renungan tentang Komunitas

    Iman.Jakarta: Gunung Mulia,2009.

    Beek, Aart Van. Pendampingan Pastoral.Jakarta: Gunung Mulia, 2011

    Benner, David G. Strategic Pastoral Counseling: A Short-Term Model.Grand

    Rapids: Baker Book House, 1992.

    Duan, Yeremias Bala Plto. Keluarga Kristiani: Kabar Gembira bagi Milenium

    Ketiga. Yogyakarta:Kanisius, 2003.

    Engel, Jacob Daan. Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling.Jakarta:BPK

    Gunung Mulia, 2016.

    Engel, Jacob Daan. Konseling Pastoral dan Isu-isu Kontemporer.Jakarta:BPK

    Gunung Mulia, 2016.

    Engel, Jacob Daan. Nilai Dasar Logo Konseling. Yogyakarta: Kanisius. 2014.

    Gulo, Sadiria. Prinsip Pendidikan Agama Kristen dalam Keluarga bagi

    Keluarga Banua Niha Keriso Protestan (BNKP) Gunungsitoli.

    Gunungsitoli: BNKP 2017.

    GPIB, Majelis Sinode . Buku IV Tata Gereja GPIB (Persidangan Sinode XX

    GPIB: Balikpapan)

    Herdiansyah, Haris. Metode Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-ilmu

    Sosial.Jakarta: Salemba Humanika, 2010.

    Hadiati, Moerti. Kekerasan dalam Rumah Tangga: DalamPerspektif Yuridis-

    Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

    KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen

    Pendidikan Nasional, 2008.

    Nuhamara, Daniel . Pembimbingan PAK,.Bandung:Jurnal Infomedia, 2007.

    Setiyawan, Eko. Disfungsi Sosialisasi dalam Keluarga sebagai Dampak

    Keberadaan Lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD): Studi pada

    TPA Permata Hati di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten

    Sleman, Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.

    2012.

    Silalahi, Uber. Metode Penelitian Sosial.Bandung: PT Refika Aditama, 2009.

    Sihura, April Yantonius. Website GPIB Ekklesia Dumai. 2017. Diakses 27

    Februari 2019

    Suprayogo, Imam, dan Tobroni. Metode Penelitian Sosial .Bandung: PT

    Remaja Rosdakarya, 2003.

  • 32

    Susabda, Yakub B. Konseling Pastoral: Pendekatan Konseling Pastoral

    Berdasarkan Integrasi Teologi dan Psikologi.Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 2014.

    Syufri. “Perspektif Sosiologis Tentang Kekerasan Terhadap Perempuan

    Dalam Rumah Tangga”. 2009. Diakses 6 Juni 2018

    Tampake, Tony. Laporan Penelitian Kekerasan Terhadap Perempuan dan

    Peran Agama-Agama Jateng dan D.IY (Studi Peranan Lembaga-

    Lembaga Agama dalam Mencegah dan Menangani Kasus KDRT di

    Kota Kudus, Jawa Tengah).Semarang: Kementerian Agama, Balai

    Penelitian dan Pengembangan Agama, 2011.

    Tuhumury, P. “Pedoman Pimbinaan Pendidikan Kristen”. Makassar: STT

    Jaffray, 2003. Diakses 21 Juli 2018

    Republik Indonesia. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

    Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

    Tangga. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

    2004

    Usman, Husaini, dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian

    Sosial.Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

    Wahab, Rochmat. Kekerasan dalam Rumah Tangga: Perspektif Psikologis dan

    Edukatif. UNISIA No.61. 2006. Diakses 11 Juni 2018

    Wiryasaputra,Totok. Pengantar Konseling Pastoral.Yogyakarta: Diandra

    Pustaka Indonesia, 2014.

    Wiryasaputra, Totok dan Rini Handayani, Pengantar Kedalam Konseling

    Pastoral, Salatiga: AKPI, 2003.

    Wawancara

    Wawancara Ibu AK pada 16 Agustus 2018 pukul 18.15 WIB di GPIB

    Ekklesia Dumai

    Wawancara Ibu BM pada 13 Februari 2019 pukul 13.45 WIB via telepon

    Wawancara Ketua Majelis Jemaat GPIB Ekklesia Dumai pada 14 Februari

    2019 pukul 12.15 WIB di GPIB Ekklesia Dumai

    Wawancara Presbiter ST pada 15 Februari 2019 pukul 11.20 WIB di GPIB

    Ekklesia Dumai