peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan...
TRANSCRIPT
PERAN AGEN-AGEN SOSIALISASI DALAM KEBERAGAMAAN PARA PENYANDANG
TUNANETRA USIA DEWASA (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufuin Tangerang Selatan)
SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada jurusan Sosiologi
Oleh: SAPTO WIBOWO NIM: 102032224698
Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta 2010 M
iv
ABSTRAK
Sapto Wibowo, “PERAN AGEN-AGEN SOSIALISASI DALAM KEBERAGAMAAN PARA PENYANDANG TUNANETRA USIA DEWASA (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan), 16 Juni 2010, vii, 58 hal.
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran konkrit mengenai peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa. Ketunanetraan terbagi dua, yaitu totally blind (tunanetra total) dan low vision (yang masih memiliki penglihatan namun rendah). Penyebab ketunanetraan bisa berupa bawaan dari lahir atau genetic, maupun disebabkan faktor dari luar
atau eksogen, seperti kecelakaan, sakit, dan lain sebagainya.
Sedangkan agen-agen sosialisasi terdiri dari keluarga, teman bermain, sekolah dan media massa. Agen-agen sosialisasi ini adalah pihak-pihak yang berperan dalam proses pengenalan seseorang terhadap lingkunganya, atau dengan kata lain pihak yang membantu seseorang untuk bermasyarakat.
Objek penelitian ini adalah para informan yang mengalami ketunanetraan
saat mereka sudah berusia dewasa. Ini artinya, para informan bukan penyandang tunanetra sejak lahir.
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa peran agen-agen
sosialisasi dalam memberikan pengetahuan keagamaan cukup besar, terutama peran agen sosialisasi teman bermain serta media massa. Sedangkan yang berperan besar dalam memberikan motivasi dan semangat hidup para penyandang tunanetra usia dewasa adalah pihak keluarga dan teman bermain.
Dengan bertambahnya pengetahuan keagamaan serta semangat hidup yang
diperoleh para informan lewat agen-agen sosialisasi membuat mereka lebih semangat dan yakin dalam menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya.
i
PERAN AGEN-AGEN SOSIALISASI DALAM KEBERAGAMAAN PARA PENYANDANG
TUNANETRA USIA DEWASA (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta untuk mendapatkan gelar
Sarjana Sosial (S.Sos) pada jurusan Sosiologi
Oleh
SAPTO WIBOWO NIM: 102032224698
Di bawah bimbingan,
Ahmad Abrori, M.Si
NIP. 19760225 200501 1 005
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan berjudul “Peran Agen-Agen Sosialiasi dalam Keberagamaan
Tunanetra Usia Dewasa (Studi Kasus di Yayasan Raudlatul Makhfufin
Tangerang Selatan)” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 06
Desember 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S 1) pada Program Studi Sosiologi.
Jakarta, 20 Desember 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua merangkap Anggota, Sekretaris merangkap penguji,
Dr. Hendro Prasetyo, MA Dra. Joharotul Jamilah, M.Si NIP. 19640719 199003 1 001 NIP. 19680816 199703 2 002
Anggota:
Penguji I, Penguji II,
Dra. Hj. Ida Rosyidah, MA Dra. Joharotul Jamilah, M.Si NIP. 19630616 199003 2 002 NIP. 19680816 199703 2 002
Pembimbing,
Ahmad Abrori, M.Si NIP. 19760225 200501 1 005
LEMBAR PERNYATAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skrispi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 (S 1) di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 16 Juni 2010
Sapto Wibowo
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, dengan segenap perasaan yang tulus ikhlas, penulis
mengucapkan syukur ke hadirat Allah SWT. Berkat rahmat dan hidayah-Nya,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan kuliah dengan penuh perjuangan dan
rintangan. Mengingat waktu yang dibutuhkan sangat berliku untuk menyelesaikan
ini, penulis begitu bersyukur akhirnya selesai.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurahkan ke hadirat Nabi
Muhammad SAW, nabi akhir zaman, yang membuat begitu banyak perubahan,
sehingga umat manusia tercerahkan hidupnya. Semoga kita termasuk umatnya di
hari akhir kelak, amin.
Bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak serta kritikan, sangat berharga
dalam penyusunan tugas akhir ini penulis dapatkan. Maka, pada kesempatan ini
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Bachtiar Effendy, MA (Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
2. Dra. Joharatul Jamilah, M. Si., (Sekretaris Jurusan Sosiologi). Terima
kasih atas segala perhatian, motivasi, dan arahan kepada penulis, sehingga
penulisan skripsi ini dapat penulis selesaikan.
3. Bapak Ahmad Abrori, M.Si, sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi
ini, yang dengan penuh sabar dan teliti memberikan masukan, arahan,
bimbingan kepada penulis. Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis
haturkan, atas segala perhatian dan waktu yang diluangkan untuk penulis
dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
vi
4. Bapak dan ibu petugas perpustakaan utama, terima kasih atas pelayanan
dan bantuan yang diberikan kepada penulis saat mencari literatur.
5. Bapak dan ibu petugas perpustakaan fakultas, yang memberikan pelayanan
sepenuh hati kepada penulis dalam melengkapi berbagai literatur dalam
penulisan skripsi ini.
6. Ayahanda penulis, Bapak Ujang Firadi, yang dengan penuh kesabaran
memberikan motivasi kepada penulis untuk segera menyelesaikan
penulisan skrips ini. Kemudian ibunda penulis, ibu Suparmi, yang dengan
penuh ketelatenan dan kesabaran mendorong dan memberikan nasihat agar
menyelesaikan kuliah penulis yang sempat terbengkalai.
7. Kakak-kakak penulis, keponakan penulis, yang dengan penuh sabar
membacakan dan mengetikkan bahan-bahan penulisan skripsi serta
memberikan dukungan dan bantuan sehingga skripsi ini dapat penulis
selesaikan.
8. Teman-teman penulis di jurusan Sosiologi angkatan 2002: Ina, Yana, Eva,
dan teman-teman lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Terima kasih secara khusus penulis tujukan kepada Aminudin, yang
dengan penuh kesabaran menemani penulis dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Terima kasih atas dukungan dan segala bantuan yang
diberikan.
9. Para informan yang sudi meluangkan waktu untuk penulis wawancarai.
Semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat, baik kepada
penulis maupun khalayak umum yang membutuhkan tambahan wacana
mengenai ketunanetraan.
vii
10. Bapak dan ibu pengurus Yayasan Mitra Netra, yang sejak penulis
menempuh pendidikan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, begitu banyak
memberikan bantuan dan semangat kepada penulis. Semoga keberadaan
yayasan ini dapat memberikan manfaat kepada para penyandang tunanetra
dan memberdayakan mereka, sehingga dapat menjalani kehidupan ini
dengan sebaik-baiknya.
Akhirnya, harapan penulis, semoga atas segala bantuan dan perhatian yang
diberikan mendapat balasan yang berlipat dari Allah SWT, amin ya rabbal alamin.
Selain itu, semoga segala aktivitas yang kita kerjakan diberi kemudahan dan
menjadi nilai ibadah di sisi-Nya, amin. Sekali lagi terima kasih.
Jakarta, 1 Juli 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................... v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6
D. Metodologi Penelitian ............................................................. 7
E. Sistematika Penelisan .............................................................. 10
BAB II KAJIAN TEORI
A. Tunanetra ................................................................................ 11
1. Pengertian Tunanetra ............................................. 11
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketunanetraan . 12
B. Sosialisasi ................................................................................ 15
1. Pengertian Sosialisasi ............................................ 15
2. Agen-agen Sosialisasi ............................................ 17
3. Pola Sosialisasi ...................................................... 23
C. Keagamaan ............................................................................. 24
ix
1. Pengertian Agama dan Keberagamaan ................. 24
2. Dimensi-dimensi Keberagamaan .......................... 27
BAB III GAMBARAN UMUM SUBJEK PENELITIAN
A. Dunia Pendidikan ................................................................... 29
B. Perilaku Keberagamaan .......................................................... 30
C. Status Sosial Ekonomi ........................................................... 31
D. Visi dalam Hidup .................................................................... 33
E. Yayasan Raudlatul Makhfufin ................................................ 34
BAB IV AGEN SOSIOALISASI DAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN
PENYANDANG TUNANETRA DEWASA
A. Agen Sosialisasi dan Pengetahuan Agama Penyandang
Tunanetra Dewasa ................................................................. 38
B. Praktik Keagamaan Penyandang Tunanetra Dewasa ............. 43
C. Harapan Hidup Penyandang Tunanetra Dewasa sebagai
Hasil dari Pengetahuan dan Praktik Keagamaan Mereka ..... 47
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................. 55
B. Saran-saran .............................................................................. 56
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 57
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia, sebagai makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna,
mempunyai tanggung jawab yang berat di muka bumi. Karena manusia
merupakan khalifah Allah, yang bertugas untuk menjaga dan melestarikan alam
beserta isinya. Tugas dan tanggung ini sebelumnya sudah pernah diberikan kepada
makhluk lainnya, seperti malaikat, jin, dan sebagainya, namun mereka tidak ada
yang menyanggupinya. Hanya manusialah yang berani untuk mengambil
tanggung jawab ini.
Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut, manusia diberi bekal oleh
Allah SWT, berupa akal, emosi, dan seperangkat organ tubuh yang
memungkinkannya untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh
makhluk lain. Dari semua bekal yang diberikan oleh Allah kepada manusia,
akallah yang paling membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Karena
dengan akal pikiran manusia dapat membedakan mana yang baik dan mana yang
buruk.
Selain akal, manusia juga memilik indera yang bisa digunakan untuk
merasa, mencium, meraba, mendengar, melihat atau yang lebih dikenal dengan
panca indera. Dengan indera inilah manusia menggunakan akalnya untuk
menentukan atau memutuskan suatu hal yang sekiranya dianggap baik bagi
dirinya sendiri maupun orang lain. Sejalan dengan perkembangan zaman, melalui
2
akal dan indera juga, manusia menemukan berbagai macam teknologi yang
digunakan untuk memudahkan hidup mereka.
Namun satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh manusia adalah,
kewajiban mereka terhadap Tuhan, yang telah menciptakan mereka. Dalam
bahasa agama Islam disebut ibadah. Ini adalah salah satu bentuk kewajiban
manusia dalam mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana jika salah satu indera manusia
tersebut berkurang?
Secara psikologis, seseorang yang mengalami perubahan dalam hidupnya,
baik dalam bentuk fisik maupun dalam bentuk materi, maka orang tersebut akan
mengalami keguncangan. Perubahan yang penulis maksud di sini lebih bersifat
perubahan yang berasal dari baik menjadi tidak baik, atau dari sempurna menjadi
tidak sempurna.
Salah satu indera yang jika oleh Allah diambil, yaitu mata, membuat
manusia tidak bisa melihat atau dalam kadar tertentu penglihatannya berkurang
dan kurang maksimal. Istilah ini lebih sering disebut sebagai tunanetra.
Secara etimologi pengertian tunanetra adalah “tuna” yaitu “rusak”, dan
“netra” yaitu “mata”, jadi tunanetra adalah “cacat mata”. Istilah tunanetra
menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan pada indera
penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan “buta”
adalah melukiskan keadaan di mana mata sebaga indera untuk melihat mengalami
kerusakan, baik kerusakannya itu sebagian maupun seluruhnya (kedua-duanya),
3
sehingga mata tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya (tidak dapat
melihat).”1
Pemerintah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penderita cacat
adalah “seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai kelainan
fisik yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan untuk
melakukan kegiatan secara layak”.2
Orang-orang yang mengalami ketunanetraan itu berbeda-beda. Mereka
yang mengalami ketunanetraan dari lahir, umumnya bisa menerima dan ikhlas
kekurangannya tersebut merupakan takdir Allah SWT, yang dibalik semua itu
tersimpan hikmah yang terkadang manusia belum bisa menemukannya. Mereka
yang menyandang tunanetra sejak lahir (bawaan) ketika beranjak dewasa dan
memasuki usia dewasa sudah bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan dan
sekitarnya. Namun bagaimana dengan mereka yang mengalami ketunanetraan
ketika beranjak atau memasuki usia dewasa? Tentu membutuhkan waktu untuk
menyesuaikan diri terhadap lingkungan dan sekitarnya.
Dalam proses penyesuaian diri terhadap lingkungan, para penyandang
tunanetra usia dewasa membutuhkan bantuan orang lain agar dapat bersosialisasi
dengan keadaan yang baru tersebut. Untuk itu agen-agen sosialisasi yang terdiri
dari keluarga, media, dan teman sepermainan, sistem pendidikan tentu saja
memiliki pengaruh dalam proses adaptasi tersebut.
Di sinilah kemudian agen-agen sosialisasi penulis anggap memiliki peran
terhadap keberagamaan para penyandang tunanetra. Agen-agen sosialisasi bisa
1 Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, (Bandung: CV Masa, 1997), Cet.
Ke-1, hal. 12 2 Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah 36/1980 tentang Usaha Kesejahteraan
Sosial bagi Penderita Cacat, penjelasan Pasal demi Pasal, hal. 1
4
jadi akan memberikan pengetahuan dan semangat bagi para penyandang
tunanetra usia dewasa tersebut dalam melanjutkan hidupnya, atau bisa juga agen-
agen sosialisasi tidak memiliki peran apa-apa dalam memberikan motivasi
terhadap penyandang tunanetra dewasa.
Apa yang penulis kemukakan di atas adalah bagaimana peran agen-agen
sosialisasi dalam kehidupan beragama tunanetra usia dewasa. Lebih jauh,
bagaimana para penyandang tunanetra dewasa tersebut dalam melakukan
sosialisasi dengan masyarakat, atau bagaimana mereka berinteraksi dengan agen-
agen sosial lainnya? Karena tidak bisa dipungkiri, dalam kehidupan sosial,
manusia senantiasa bersinggungan dengan agen-agen sosial tersebut.
Fuller dan Jacobs, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto
menjelaskan bahwa terdapat 4 agen sosialisasi utama, yaitu: keluarga, kelompok
bermain, media massa, dan sistem pendidikan.3 Peran keempat agen sosialisasi
tersebut sangat besar terhadap seorang individu, terutama bagi mereka yang
memiliki kekurangan fisik dengan tidak berfungsinya salah satu indera yang ada.
Para penyandang tunanetra usia dewasa, sebelumnya telah memiliki
memori tentang berbagai hal. Mereka sudah pernah melihat benda-benda dan
makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Sehingga saat menjadi tunanetra, para
penyandang tunanetra usia dewasa tersebut tentu saja mengalami peralihan yang
ekstrim, sehingga memerlukan penyesuaian yang tidak sebentar.
Di sinilah para agen sosialisasi memerankan perannya. Keluarga,
kelompok bermain, media massa, dan sistem pendidikan memiliki peran yang
vital dalam memberikan motivasi maupun semangat hidup bagi para penyandang
3 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004)
5
tunanetra tersebut. Selain agama, para agen sosialisasi tersebut dapat memberikan
motivasi dan semangat hidup bagi para penyandang tunanetra usia dewasa agar
bisa terus meneruskan perjalanan hidup mereka sebagaimana mestinya, meskipun
indera penghilatan mereka sudah tidak berfungsi lagi.
Berdasarkan uraian singkat di atas, penulis terdorong untuk mengadakan
penelitian dan menuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN AGEN-
AGEN SOSIALISASI DALAM KEBERAGAMAAN PARA
PENYANDANG TUNANETRA USIA DEWASA (Studi Kasus di Yayasan
Raudlatul Makhfufin, Tangerang Selatan Banten).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar penulisan ini mempunyai arah dan terfokus, maka masalah yang
akan dibahas dibatasi pada peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan
para penyandang tunanetra usia dewasa, dengan rincian pembatasan sebagai
berikut:
a. Sosialisasi yang dimaksud dalam skripsi ini adalah kebiasaan yang
dipunyai manusia tersebut – di bidang ekonomi, keluarga, pendidikan,
agama, politik dan sebagainya – harus dipelajari oleh setiap anggota
baru suatu masyarakat. 4 Sedangkan agen-agen sosialisasi terdiri dari
keluarga, media massa, kelompok bermain, dan sistem pendidikan.
b. Keberagamaan yang dimaksud di sini adalah kehidupan beragama
yang terdiri dari 5 dimensi. Namun penulis hanya memfokuskan
4 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004), hal.
21
6
penelitian ini pada dimensi keyakinan, ritual dan pengalaman.
c. Tunanetra yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mereka yang
menyandang ketunanetraan bukan dari lahir melainkan saat sudah
dewasa.
d. Dewasa dalam penelitian adalah mereka yang berusia di atas 17 tahun.
2. Perumusan Masalah
Dari pembahasan di atas penulis dapat merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
Bagaimana peran agen-agen sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai
keagamaan kepada para penyandang tunanetra dewasa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui keyakinan penyandang tunanetra usia dewasa
tentang agamanya.
b. Untuk mengetahui ritual keagamaan penyandang tunanetra usia
dewasa dalam menjalankan kehidupan beragama.
c. Untuk mengetahui peran agen-agen sosialisasi dalam keberagamaan
penyandang tunanetra usia dewasa.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai keyakinan
penyandang tunanetra terhadap agama yang berperan dalam
7
bersosialisasi di masyarakat.
b. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai ritual keagamaan
penyandang tunanetra dalam menjalani kehidupan beragama.
c. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai harapan
penyandang tunanetra dalam menjalani hidup beragama.
d. Sebagai masukan bagi alim ulama dan instansi pemerintah serta juga
masyarakat untuk memberikan perhatian terhadap keberadaan
penyandang tunanetra sebagai bagian dari masyarakat itu sendiri.
Sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang kontstruktif
terhadap penyandang tunanetra.
D. Metodologi Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Yayasan Raudlatul Makhfufin
Tangerang Selatan. Alasan penulis mengambil lokasi ini karena seluruh
informan yang merupakan penyandang tunanetra usia dewasa aktif di yayasan
ini.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini berlangsung selama 6 bulan, 1 bulan untuk penelusuran
buku-buku dan naskah yang terkait dengan masalah yang dibahas. Lima bulan
berikutnya untuk penelitian lapangan, penulis melakukan penelitian lapangan
dari bulan Desember 2009 - April 2010.
8
3. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah penelitian lapangan (field research).
4. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualititif yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk studi
kasus yang dapat memberikan nilai tambah pada pengetahuan kita secara unik
tentang fenomena individu.5 Hasil temuan tersebut kemudian penulis analisa
dengan menggunakan teori-teori yang sudah dicantumkan sebelumnya,
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.
5. Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah para penyandang tunanetra usia dewasa
yang aktif di Yayasan Raudlatul Makhfufin Tangerang Selatan. Dalam
penelitian ini penulis mengambil 4 informan yang penulis wawancarai.
6. Teknik Pengumpulan Data
Adapun cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu yang
dilakukan oleh peneliti sebagai pewawancara dengan mengajukan
pertanyaan kepada masyarakat sebagai objek yang diwawancarai, yang
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut.6
Dalam penelitian ini penulis mewawancari 4 informan yang
penulis wawancarai. Mereka adalah: informan EM berusia 38 tahun,
5 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Rosda Karya, 1998), h. 3 6 Lexy J. Meleong, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1997), h.
3
9
informan ARK berusia 25 tahun, dan informan NS berusia 27 tahun. Lalu
informan informan AG berusia 37 tahun.
Alasan penulis hanya mewawancarai 4 orang informan adalah
karena dari awal rencana 9 informan, ternyata 4 informan lainnya ada yang
memiliki kendala seperti meninggal dunia, pindah tempat tinggal, dan
dalam perawatan medis. Hal ini membuat proses wawancara tidak bisa
dilangsungkan.
7. Metode Analisa Data
Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, sehingga menjadi sebuah
laporan penelitian, penulis memilih data yang sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Data yang dikumpulkan melalui daftar pertanyaan yang diajukan
ke responden sebagai informan, dalam hal ini penyandang tunanetra yang
mengalami ketunanetraan saat dewasa, akan dianalisa dengan menggunakan
metode deskirptif analitis. Data-data yang penulis peroleh dari wawancara,
baik wawancara terikat maupun wawancara bebas, penulis deskripsikan dalam
bentuk tulisan kemudian penulis analisa dengan menggunakan pengetahuan
penulis terhadap teori-teori sosial yang ada.
Data wawancara yang nantinya dilakukan, penulis kategorikan kepada
tiga hal, yaitu pengetahuan keagamaan, praktik keagamaan dan harapan hidup.
8. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan
buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi)
karangan Hamid Nasuhi et.al. yang diterbitkan oleh CeQDA tahun 2007
10
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pembahasan, maka skripsi ini akan penulis uraikan
menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
masalah dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan.
Bab II Kajian teori, dalam bab ini diterangkan mengenai Tunanetra, yang
terdiri dari pengertian tunanetra, faktor-faktor yang menyebabkan
ketunanetraan. Kemudian teori tentang sosialisasi yang terdiri dari
pengertian sosialisasi, agen-agen sosialisasi, pola sosialisasi.
Kemudian teori keagamaan yang membahas tentang pengertian agama
dan keberagamaan, dimensi-dimensi keberagamaan.
Bab III Gambaran Umum Subjek Pesnelitian. Bab ini membahas tentang
dunia pendidikan, perilaku keberagamaan, status sosial ekonomi, visi
dalam hidup, dan Yayasan Raudlatul Makhfufin.
Bab IV Agen Sosialisasi dan Nilai-Nilai Keagamaan Penyandang Tunanetra
Dewasa. Bab ini membahas tentang agen sosialisasi dan pengetahuan
agama penyandang tunanetra dewasa, praktik keagamaan penyandang
tunanetra dewasa, harapan hidup tunanetra dewasa sebagai hasil dari
pengetahuan dan praktik keagamaan mereka.
Bab V Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
11
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tunanetra
1. Pengertian Tunanetra
Secara etimologi pengertian tunanetra adalah “tuna” yaitu “rusak”, dan
“netra” yaitu “mata”, jadi tunanetra adalah “cacat mata”. Istilah tunanetra
menggambarkan keadaan penderita yang mengalami kelainan pada indra
penglihatan, baik kelainan itu bersifat berat maupun ringan. Sedangkan
“buta” adalah melukiskan keadaan di mana mata sebaga indra untuk melihat
mengalami kerusakan, baik kerusakannya itu sebagian maupun seluruhnya
(kedua-duanya), sehingga mata tersebut tidak lagi berfungsi sebagaimana
mestinya (tidak dapat melihat).”1
Pemerintah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penderita cacat
adalah “seseorang yang menurut ilmu kedokteran dinyatakan mempunyai
kelainan fisik yang oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan
untuk melakukan kegiatan secara layak”.2
Sedangkan yang dimaksud dengan tunanetra dalam penelitian skripsi
ini adalah seseorang yang mengalami hambatan atau kecacatan dalam
penglihatan baik itu secara total atau buta (blind) maupun lemah penglihatan
(low vision), baik tanpa hambatan intelektual maupun disertai dengan
hambatan intelektual (multi disable).
1 Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, (Bandung: CV Masa, 1997), Cet.
Ke-1, hal. 12 2 Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah 36/1980 tentang Usaha Kesejahteraan
Sosial bagi Penderita Cacat, penjelasan Pasal demi Pasal, hal. 1
12
Dengan melihat pernyataan pemerintah di atas maka dapat dipastikan
orang yang mengalami cacat akan mendapatkan hambatan dan rintangan
dalam melakukan berbagai aktivitas dalam hidupnya. Dengan demikian, masa
depan penyandang cacat selamanya akan menjadi gelap dan suram, sehingga
ia tidak dapat memperbaiki hidup ke taraf yang lebih baik lagi.
Masalah ketunanetraan sesungguhnya bukan hanya menjadi masalah
bagi si penyandangnya, melainkan masalah bagi seluruh komponen dan
masyarakat dan bangsa, karena sesungguhnya penyandang tunanetra
merupakan bagian dari kesatuan masyarakat Indonesia. Penyandang tunanetra
sesungguhnya mempunyai bakat dan kemampuan yang tidak jauh berbeda
dengan orang normal lainnya. Kemampuan dan bakat penyandang dapat
diberdayakan dengan baik, yaitu dengan jalan mengajarkan keterampilan dan
memberikan mereka sedikit kesempatan untuk mengembangkan potensi diri.
2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Ketunanetraan
Ada beberapa faktor ketunanetraan, di antaranya yaitu: faktor
keturunan (bawaan), faktor ketuaan, faktor kecelakaan dan faktor penyakit:
a. Faktor keturunan (bawaan)
“Merupakan sebagai proses dari pertumbuhan dan perkembangan
anak sewaktu masih dalam kandungan yang disebabkan oleh ibu
hamil yang mengalami gangguan atau karena unsur-unsur penyakit
yang bersifat menahun, sehingga merusak sel-sel darah tertentu
selama pertumbuhan janin dalam kandungannya.”3
3 Sukini Pradopo, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, hal. 23
13
b. Faktor ketuaan
Usia lanjut akan mudah mengalami beberapa penyakit, seperti
hipertensi dan katarak. Katarak merupakan penyakit kebutaan yang
dialami oleh orang lanjut usia dan sebetulnya katarak dapat
disembuhkan dengan jalan operasi, tetapi karena faktor usia maka
sebagian orang lanjut usia tidak melakukan operasi dan dianggapnya
sebagai rotasi dari perjalanan hidup manusia.
c. Faktor kecelakaan
Kecelakaan akan membuat orang yang mengalaminya menjadi trauma
dan akan menyebabkan menjadi cacat. Orang yang pekerjaannya
menjadi tukang las akan mudah menderita kerusakan pada matanya,
karena pekerjaannya itu selalu berhubungan dengan sinar ultra violet.
Atau karena kecelakaan akibat jatuh dan terbentur benda tumpul yang
mengakibatkan sel syaraf mata terputus.
d. Faktor penyakit
1) Jenis-jenis penyakit yang dapat menyebabkan ketunanetraan,
adalah Glaukoma, adalah suatu penyakit yang memberikan
gambaran klinik berupa peningkatan tekanan bola mata,
penggunaan pupil syaraf optik dengan efek lapangan pandangan
mata.”4
2) Katarak adalah pengeruhan lensa mata. Katarak ada dua jenis,
yaitu katarak lunak dan katarak keras. Katarak lunak terjadi
4 Sidarta Ilyas, Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
2000), Cet. Ke-2, Jilid 2, hal. 97
14
pada anak-anak, sedangkan katarak keras biasanya terjadi pada
orang lanjut usia.5
3) Trakoma adalah penyakit pada permukaan kelopak mata bagian
dalam yang terlihat seperti bintik-bintik merah dan terasa sangat
gatal, kalau tidak ditangani secara segera akan mengalami
kebutaan.6
Terdapat pendapat lain yang menjelaskan tentang penyebab
ketunanetraan. Anastasia memjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan
ketunanetraan, yaitu faktor endogen dan faktor eksogen.
a. Fakto endogen
Ialah faktor yang sangat erat kaitannya dengan keturunan dan
pertumbuhan seorang anak dalam kandungan:
1) Perkawinan antar keluarga (perkawinan antar keluarga yang
dekat) dan perkawinan antar keluarga tunanetra itu sendiri.
2) Mempunyai orang tua atau nenek moyang yang tunanetra dengan
kata lain, pengaruhnya bersifat herediter.
3) Gangguan yang diderita ibu pada saat hamil atau karena unsur-
unsur penyakit yang bersifat menahun (misalnya TBC) sehingga
merusak pertumbuhan janin. Anak tunanetra yang lahir karena
faktor endogen memperlihatkan ciri-ciri bola mata yang normal
tetapi tidak dapat menerima persepsi sinar (cahaya) kadang-
kadang pada bola matanya tertutup selaput putih atau keruh.
5 Sidarta Ilyas, Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, hal. 84 6 Sidarta Ilyas, Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, hal, 70
15
b. Faktor eksogen
Faktor lain misalnya seseorang mengalami penyakit seperti:
1) Exeropphalnea, yakni suatu penyakit karena kekurangan vitamin
A. Penyakit ini terdiri atas stadium buta senja, stadium selaput
putih kiri kanan dan selaput bening kelihatan kering dan stadium
bening menjadi lunak, keruh, dan hancur.
2) Trachoma, dengan gejala bintil-bintil pada selaput putih dengan
perubahan pada selaput bening dan stadium terakhir selaput putih
menjadi keras sakit dan luka.
3) Katarak, glukoma dan lain-lain penyakit yang dapat menimbulkan
ketunanetraan.
c. Faktor eksogen lain ialah kecelakaan yang langsung dan tidak
langsung mengenai bola mata, misalnya kecelakaan karena
kemasukan kotoran barang keras, benda tajam, atau barang cairan
yang berbahaya.
d. Penyakit kelamin, sipilis/raja singa, diabetes meletus, tekanan darah
tinggi, stroke, dan radang kantung air mata.7
B. Sosialisasi
1. Pengertian Sosialisasi
Peter Berger, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto Sunarto,
mencatat adanya perbedaan antara manusia dengan makhluk lain. Berbeda
dengan makhluk lain yang seluruh perilakuknya dikendalikan oleh naluri
7 Anastasia Widjadjatin dan Imanuel Hititew, Ortopedagogik Tunanetra Pertama, (Jakarta: Depdikbud, 1995), hal. 35
16
yang diperoleh sejak awal hidupnya, maka di saat lahir manusia merupakan
makhluk tak berdaya karena dilengkapi dengan naluri yang relatif tidak
lengkap. Oleh sebab itu manusia kemudian mengembangkan kebudayaan
untuk mengisi kekosongan yang tidak diisi oleh naluri.8
Manusia harus memutuskan apa yang harus dimakannya dan
kebiasaan yang kemudian ditegakkannya menjadi bagian kebudayaannya.
Karena keputusan yang diambil suatu kelompok dapat berbeda dengan
kelompok lain maka dijumpai keanekaragaman kebiasaan di bidang makanan.
Ada kelompok yang makanan pokoknya nasi; ada yang sagu; ada yang roti.
Kalau hewan berjenis kelamin berlainan dapat saling berhubungan karena
naluri, maka manusia harus mengembangkan kebiasaan mengenai hubungan
laki-laki dan perempuan. Kebiasaan-kebiasaan yang berkembang dalam tiap
kelompok tersebut kemudian menghasilkan bermacam-macam sistem
pernikahan yang berbeda satu dengan yang lain. Keseluruhan kebiasaan yang
dipunyai manusia tersebut – di bidang ekonomi, kekeluargaan, pendidikan,
agama, politik dan sebagainya – harus dipelajari oleh setiap anggota baru
suatu masyarakat melalui suatu proses yang dinamakan sosialisasi
(socialization).
Berger mendefinisikan sosialisasi sebagai “a process by which a child
learns to be a participant member of society” (proses melalui mana seorang
anak belajar menjadi seorang anggota yang berpartisipasi dalam masyarakat.9
Teori sosialisasi didasarkan pada pandangan teori fungsional yang
mengatakan bahwa ada norma inti dan nilai-nilai tertentu yang disepakati
8 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004), hal. 21
9 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 21
17
oleh segenap anggota masyarakat. Tentu saja gambaran tentang suatu
kebudayaan yang sepenuhnya utuh yang mempunyai norma dan nilai-nilai
yang dipatuhi oleh semua anggota masyarakat hanyalah merupakan sebuah
model untuk mengawali suatu analisis. Teori sosialisasi tertuju bahwa
perilaku sosial, baik yang bersifat menyimpang maupun yang patuh,
dikendalikan terutama oleh norma dan nilai-nilai yang dihayati.
Penyimpangan disebabkan oleh adanya gangguan (disrupsi) pada proses
penghayatan dan pengalaman nilai-nilai tersebut dalam perilaku seseorang.10
George Herbert Mead menguraikan tahap pengembangan diri (self)
manusia. Manusia yang baru lahir belum mempunyai diri. Diri manusia
berkembang secara bertahap melalui interaksi dengan anggota masyarakat
lain. Menurut Mead pengembangan diri manusia ini berlangsung melalui
tahap-tahap play stage, tahap game stage, dan tahap generalized other.
Setiap anggota baru masyarakat harus mempelajari peran-peran yang
ada dalam masyarakat – suatu proses yang dinamakan pengambilan peran
(role taking). Dalam proses ini seseorang belajar untuk mengetahui peran
yang harus dijalankannya serta peran yang harus dijalankan orang lain.
Melalui penguasaan peran yang ada dalam masyarakat ini seseorang dapat
berinteraksi dengan orang lain.
2. Agen-agen Sosialisasi
Fuller dan Jacobs, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto,
mengidentifikasikan empat agen sosialisasi utama: keluarga, kelompok
bermain, media massa, dan sistem pendidikan.
10 Yusron Razak (ed.), Sosiologi Suatu Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, (Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008), Cet. Ke-1, hal. 210-211
18
a. Keluarga
Pada awal kehidupan manusia biasanya agen sosialisasi terdiri
atas orang tua dan saudara kandung. Pada masyarakat yang mengenal
sistem keluarga luas (extended family) agen sosialisasi bisa berjumlah
lebih banyak dan dapat mencakup pula nenek, kakek, paman, bibi dan
sebagainya.
Pada sistem komun yang dijumpai di Republik Rakyat Tiongkok
atau berbagai negara Eropa Timur sebelum runtuhnya Uni Soviet, pada
sistem Kibbutz di Israel, atau pada sistem penitipan anak dalam hal
kedua orang tua bekerja, sosialisasi terhadap anak di bawah usia lima
tahun mungkin dilakukan pula oleh orang lain yang sama sekali bukan
kerabat seperti tetangga, babi sitter, pekerja sosial, petugas tempat
penitipan anak dan sebagainya. Di kalangan lapisan menengah dan atas
dalam masyarakat perkotaan seringkali dijumpai pembantu rumah tangga
pun sering memegang peran penting sebagai agen sosialisasi anak,
setidak-tidaknya pada tahap-tahap awal.
Gertrude Jaeger, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto,
mengemukakan bahwa peran para agen sosialisasi pada tahap awal ini,
terutama orang tua, sangat penting. Sang anak (khususnya pada
masyarakat modern Barat) sangat tergantung pada orang tua dan apa
yang terjadi antara orang tua dan anak pada tahap ini jarang diketahui
orang luar. Dengan demikian anak tidak terlindung terhadap
19
penyalahgunaan kekuasaan yang sering dilakukan orang tua terhadap
mereka seperti penganiyaan (child abuse), perkosaan dan sebagainya.11
b. Teman Bermain
Setelah mulai dapat bepergian, seorang anak memperoleh agen
sosialisasi lain, teman bermain, baik yang terdiri atas kerabat maupun
tetangga dan teman sekolah. Di sini seorang anak mempelajari berbagai
kemampuan baru. Kalau dalam keluarga interaksi yang dipelajarinya di
rumah melibatkan hubungan yang tidak sederajat (seperti antara kakek
atau nenek dengan cucu, orang tua dengan anak, paman atau bibi dengan
kemenakan, kakak dengan adik, atau pengasuh dengan anak asuh) maka
dalam kelompok bermain seorang anak belajar berinteraksi dengan orang
yang sederajat karena sebaya. Pada tahap inilah seorang anak memasuki
game stage – mempelajari aturan yang mengatur peran orang yang
kedudukannya sederajat. Dalam kelompok bermain pulalah seorang anak
mulai belajar nilai-nilai.12
c. Sekolah
Di sini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya
dalam keluarga atau pun kelompok bermain. Pendidikan formal
mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian
hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orang tuanya.
Robert Dreeben, sebagaimana yang dikutip oleh Kamanto,
berpendapat bahwa yang dipelajari anak di sekolah – di samping
membaca, menulis dan berhitung – adalah aturan mengenai kemandirian
11 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 24 12 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 25
20
(independence), prestasi (achievement), universalisme (universalism),
dan spesifisitas (specificity). Pemikiran Dreeben ini dipengaruhi oleh
dikotomi yang dikembangkan oleh Talcott Parsons – misalnya antara
ascription dan achievement, particularism dan universalism, diffuseness
dan specificity.
Menurut Dreeben di sekolah seorang anak harus belajar untuk
mandiri. Kalau di rumah seseorang anak dapat mengharapkan bantuan
orang tuanya dalam melaksanakan berbagai pekerjaan, maka di sekolah
sebagian besar tugas sekolah harus dilakukan sendiri dengan penuh rasa
tanggung jawab. Ketergantungan pada orang tua yang dijumpai di rumah
tidak terdapat di sekolah; guru menuntut kemandirian dan tanggung
jawab pribadi bagi tugas-tugas sekolah. Kerja sama dalam kelas hanya
dibenarkan bila tidak melibatkan penipuan atau kecurangan.
Aturan kedua yang dipelajari anak melibatkan prestasi. Di rumah
peran seorang anak terkait dengan askripsi – peran-peran yang
dimilikinya, seperti peran sebagai anak laki-laki atau anak perempuan,
sebagai adik atau sebagai kakak merupakan peran yang dibawa sejak
lahir. Di sekolah, di pihak lain, peran yang diraih dengan berprestasi
merupakan peran yang menonjol. Kedudukan anak di suatu jenjang
pendidikan tertentu, atau peringkatnya dalam jenjang prestasi di dalam
kelas, misalnya, hanya dapat diraih melalui presatasi. Meskipun orang
tua pun berperan dalam mendorong anak untuk berprestasi, namun
menurut Dreeben peran sekolah masih lebih besar. Sekolah menuntut
siswa untuk berprestasi, baik dalam kegiatan kurikuler maupun ekstra
21
kurikuler. Seorang siswa didorong untuk giat berusaha mengembangkan
kemampuan dan bersaing agar meraih keberhasilan dan menghindari
kegagalan. Kemampuan yang diperoleh serta keberhasilan maupun
kegagalan yang dicapai menjadi dasar bagi penentuan peran di masa
mendatang.
Aturan ketiga yang dipelajari anak ialah aturan mengenai
universalisme. Aturan mengenai universalisme merupakan lawan aturan
mengenai partikularisme. Dalam keluarga seorang anak cenderung
mendapat perlakukan khusus dari orang tuanya karena ia adalah anak
mereka. Anak orang lain biasanya tidak mendapat perlakuan yang sama.
Di sekolah, di pihak lain, setiap anak mendapat perlakuan sama.
Perlakuan berbeda hanya dibenarkan bila didasarkan pada kelakukan
siswa di sekolah – apakah ia berkemampuan, bersikap dan bertindak
sesuai dengan apa yang diharapkan sekolah.
Spesifisitas merupakan aturan keempat dan merupakan kebalikan
dari kekaburan (diffusenees). Di sekolah kegiatan siswa serta penilaian
terhadap kelakukan mereka dibatasi secara spesifik. Kekeliruan yang
dilakukan seorang siswa dalam mata ajaran matematika, misalnya, sama
sekali tidak mempengaruhi penilaian gurunya terhadap prestasinya dalam
mata ajaran bahasa Indonesia. Ia dapat memperoleh pujian dalam jam
pelajaran berikutnya. Dalam keluarga, di pihak lain, kegiatan anak serta
penilaian terhadapnya tidak dibatasi sespesifik itu. Seorang anak yang
dihukum oleh orang tuanya karena melakukan kesalahan di suatu bidang
tertentu (seperti misalnya memecahkan piring di kala makan, pergi tanpa
22
izin, berkelahi di jalan atau pulang terlambat) mungkin mengalami
bahwa hukuman yang diterimanya itu diberlakukan pula di bidang-
bidang lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan
pelanggaran yang telah dilakukannya.
d. Media Massa
Media massa yang terdiri atas media cetak (surat kabar, majalah)
maupun elektronik (radio, televisi, film, internet) diidentifikasikan
sebagai suatu agen sosialisasi yang berpengaruh pula terhadap perilaku
khayalaknya. Peningkatan teknologi yang memungkinkan peningkatan
kualitas pesan serta peningkatan frekuensi penerpaan masyarakat pun
memberi peluang bagi media massa untuk berperan sebagai agen
sosialisasi yang semakin penting.
Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media elektronik dapat
mengarahkan khalayak ke arah perilaku prososial maupun antisosial.
Penayangan secara berkesinambungan dari laporan-laporan mengenai
perang seperti perang Teluk, perang di Somalia atau di kawasan Balkan
atau penayangan film-film seri dan film kartun yang menonjolkan
kekerasan dianggap sebagai satu faktor yang memicu perilaku agresif
pada anak-anak yang melihatnya.
Kesadaran akan arti penting media massa bagi sosialisasi pun
telah mendorong para pendidik untuk memanfaatkan media massa. Di
banyak negara, televisi digunakan untuk menayangkan siaran-siaran
pendidikan yang bertujuan mempengaruhi pengetahuan, keterampilan
23
dan sikap khalayaknya. Dalam masyarakat Indonesia, TVRI serta stasiun
televisi swasta pun secara teratur menayangkan acara-acara pendidikan.
Menurut penelitian Robert Hodge dan David Tripp pada tahun
1966 televisi tidak memberikan pesan tunggal yang sederhana melainkan
menyajikan berbagai pesan yang rancu dan saling bertentangan, dan
bahwa pesan televisi membawa banyak dampak positif seperti
merangsang interaksi, eksperimen dan pertumbuhan mental serta sosial
anak.13
3. Pola Sosialisasi
Beberapa tahun yang lalu masyarakat Indonesia dihebohkan oleh
beberapa kasus hukuman fisik yang dilakukan orang tua terhadap anak
mereka yang dinilai tidak menaati perintah sehingga mengakibatkan kematian
anak tersebut. Kasus ini merupakan contoh ekstrem satu pola sosialisasi yang
oleh Jaeger dinamakan sosialisasi represif (repressive socialization).
Sosialisasi represif menekankan pada penggunaan hukuman terhadap
kesalahan. Menurut Jaeger sosialisasi represif pun mempunyai ciri lain seperti
penekanan pada penggunaan materi dalam hukuman dan imbalan; penekanan
pada kepatuhan anak pada orang tua; penekanan pada komunikasi yang
bersifat satu arah; nonverbal dan berisi perintah; penekanan titik berat
sosialisasi pada orang tua dan pada keinginan orang tua; dan peran keluarga
sebagai significant other.
Pola kedua yang disebutkan Jaeger ialah sosialisasi partisipatoris
(participatory socialization). Sosialisasi partisipatoris menurut Jaeger
13 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 28
24
merupakan pola yang di dalamnya anak diberi imbalan manakala berperilaku
baik; hukuman dan imbalan bersifat simbolik; anak diberi kebebasan;
penekanan diletakkan pada interaksi; komunikasi bersifat lisan; anak menjadi
pusat sosialisasi; keperluan anak dianggap penting; dan keluarga menjadi
generalized other.14
C. Keagamaan
1. Pengertian Agama dan Keberagamaan
Agama ialah suatu jenis sistem sosial yang dibuat oleh penganut-
penganutnya yang berporos pada kekuatan-kekuatan nonempiris yang
dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi
mereka dan masyarakat luas umumnya.15
Secara mendasar dan umum agama dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan antara manusia
dengan alam ghaib -khususnya dengan Tuhannya- mengatur hubungan
manusia dengan manusia lainnya dan mengatur hubungan manusia dengan
alam lingkungannya.16 Sedangkan secara lebih khusus dengan
memperhatikan hal-hal yang telah dikemukakan diatas, agama dapat
didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-
tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam
menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan
diyakini sebagai yang ghaib dan suci.
14 Kamanto Sunarto, Pengantar Sosiologi, hal. 31 15 Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet. Ke-16, h. 34 16 Roland Robertson, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis (Jakarta: PT
Rajawali Press, 1988), h. v
25
Sebagai suatu sistem keyakinan maka agama berbeda dengan sistem
keyakinan dan isme-isme lainnya karena landasan keyakinan agama adalah
konsep suci (sacred) dan ghaib (supranatural) yang dibedakan dari yang
duniawi (profane) dan hukum-hukum alamiah (natural). Selain itu hal lain
yang membedakan agama dengan isme-isme lainnya adalah karena ajaran-
ajaran agama selalu bersumber pada wahyu Tuhan atau wangsit-dalam
agama-agama lokal dan primitif- yang diturunkan kepada nabi sebagai
pesuruh-Nya. Adapun ciri yang mencolok dari agama yang berbeda dengan
isme-isme adalah penyerahan diri secara total kepada Tuhannya.
Dalam kamus sosiologi pengertian agama (religion) mencakup tiga
aspek yakni : pertama menyangkut kepercayaan terhadap hal-hal yang
bersifat speritual. Kedua, merupakan perangkat kepercayaan dan praktek-
praktek speritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri. Ketiga, ideologi
mengenai hal-hal yang bersifat supranatural.17
Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara sederhana bahwa agama
merupakan seperangkat peraturan atau undang-undang yang dapat mengikat
manusia untuk dijadikan pedoman dalam hidupnya. Agama dianut oleh
manusia untuk mengatur perikehidupannya di dunia ini agar menjadi teratur
dan selaras sesuai dengan ajaran-ajaran yang ada dalam agama sehingga tidak
terjadi kekacauan. Dalam disiplin perbandingan agama, suatu aliran
kepercayaan bisa disebut sebagai agama apabila di dalamnya ditemukan lima
aspek, kelima aspek tersebut adalah sebagai berikut :
1) Adanya ajaran-ajaran kepercayaan (aqidah)
17 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: CV. Rajawali Press, 1993), h. 430
26
2) Adanya sistem pemujaan atau penyembahan (ibadah atau ritual)
3) Adanya aturan-aturan dalam melaksanakan hubungan dengan Tuhan
dan sesama manusia (Syariat).
4) Adanya Nabi yang membawa risalah/
5) Adanya kitab suci yang dijadikan sumber hukum.
Agama dan keberagamaan adalah dua istilah yang dapat difahami
secara terpisah meskipun kedua mempunyai makna yang sangat erat.
Mengenai definisi agama telah dijelaskan di atas sedangkan keberagamaan
berarti pembicaran mengenai pengalaman atau fenomena yang manyangkut
hubungan antar agama dengan penganutnya atau suatu keadaan yang ada
dalam diri seseorang (penganut utama) yang mendorong untuk bertingkah
laku yang sesuai dengan agamanya.
Kata keberagamaan berasal dari kata “beragama”. Kata beragama
dalam Kamus Bahasa Indonesia yaitu antara lain :
1) Menganut (memeluk) agama
2) Beribadat, taat kepada agama (baik hidupnya menurut agama),
misalnya dia berasal dari keluarga yang taat beragama.
Menurut Djamaluddin mendefinisikan keberagamaan sebagai
“manifestasi” seberapa jauh individu penganut agama meyakini, memahami,
menghayati dan mengamalkan agama yang dianutnya dalam kehidupan
sehari-hari dalam semua aspek kehidupan.18
18 Muhammad Djamaluddin, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi (Yogyakarta:
UGM Press, 1995) , h. 44
27
2. Dimensi-dimensi Keberagamaan
Menurut R Stark dan C.Y Glock dilihat dari sudut dimensi sosiologi
agama terdapat lima dimensi utama dalam memahami masyarakat agama,
yaitu :
a. Dimensi keyakinan merupakan dimensi yang berisikan pengharapan-
pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada
pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin
tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan
dimana para penganut diharapkan taat walaupun demikian isi dan
ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya diantara agama-
agama, tetapi sering kali juga diantara tradisi-tradisi dalam agama
yang sama. Dalam setiap agama mesti terdapat sistem kepercayaan
yang harus dipertahankan dimana penganutnya diharapkan
mentaatinya.19
b. Dimensi praktek agama menurutnya, dimensi ini mencakup perilaku
pemujaan-pemujaan serta ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang
untuk menunjukkan sebuah komitmen terhadap agama yang
dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas
penting yaitu : pertama, ritual mengacu kepada seperangkat ritus,
tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua
agama mengharapkan para penganutnya melaksanakan. Kedua,
ketaatan, apabila aspek ritual dari komitmen sangat formal dan khas
publik semua agama yang dikenal juga mempunyai seperangkat
19 Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, h. 295
28
tindakan persembahan dan kontemplasi personal yang relatif spontan,
informal dan khas pribadi.
c. Dimensi pengalaman, dimensi ini berisikan dan memperhatikan fakta
bahwa semua agama mengandung pengharapan-pengharapan tertentu
walaupun tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama
dengan baik pada suatu waktu akan tercapai pengetahuan subjektif
dan langsung mengenai kenyataan terakhir bahwa ia akan mencapai
suatu keadaan kontak dengan perantara supranatural.
d. Dimensi pengetahuan agama, dimensi ini mengacu pada harapan
bahwa seseorang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah
minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus,
kitab suci dan tradisi agama yang dianutnya. Glock melihat bahwa
dimensi ini tidak selalu sejalan dengan prakteknya. Seseorang dapat
berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya atau
kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.
e. Dimensi konsekuensi, konsekuensi komitmen agama berlainan dari
keempat dimensi di atas. Dimensi ini mengacu kepada identifikasi
akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman, dan
pengetahuan seseorang dari hari ke hari. Istilah “kerja” dalam
pengertian teologis digunakan disini walaupun agama banyak
menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan
bertindak dalam kehidupan sehari-hari tidak sepenuhnya jelas sebatas
konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan
semata-mata berasal dari agama.
29
BAB III
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Dunia Pendidikan
Para penyandang tunanetra usia dewasa, umumnya memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi. Dari lima orang yang penulis jadikan subjek penelitian, 3
orang diantaranya adalah luluan perguruan tinggi, 1 orang tidak lulus perguruan
tinggi, dan 1 orang lagi tidak lulus SLTA.
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan dengan melakukan
wawancara terhadap para informan, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar
informan adalah berpendidikan perguruan tinggi, meskipun satu orang di
antaranya (ARK) tidak menyelesaikan pendidikannya. Sedangkan satu informan
lainnya (AS) karena keadaan ekonomi, hanya sampai pada tingkat pendidikan
menengah atas, meskipun tidak sampai lulus.
Tingkat pendidikan informan yang terbilang tinggi, menurut pengamatan
penulis, hal ini dikarenakan para informan adalah mereka yang mengalami
ketunanetraan pada saat mereka berusia dewasa. Tingkat pendidikan yang dicapai
oleh para informan, umumnya ditempuh saat mereka masih dalam kondisi bisa
melihat, belum mengalami ketunanetraan.
Selain karena faktor tersebut, penulis juga menyimpulkan bahwa kondisi
ekonomi para informan terbilang cukup, sehingga mampu untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Selain karena faktor kondisi ekonomi
yang cukup, faktor tingginya tingkat pendidikan informan adalah karena mereka
mengalami ketunanetraan saat beranjak dewasa. Informan yang tidak melanjutkan
30
ke perguruan tinggi (AS), dikarenakan keterbatasan ekonomi keluarganya. Berikut
ini adalah tabel tingkat pendidikan para penyandang tunetra usia dewasa, di mana
data yang penulis peroleh berasal dari hasil wawancara.
Tabel 1
Tingkat pendidikan para informan
No Inisial
Informan
Usia Status Pendidikan Terakhir Usia saat Mengalami
Tunanetra
1
2
3
4
NS
ARK
EM
AS
27
25
40
37
Belum menikah
Belum menikah
Menikah
Belum menikah
S 1
S 1 (Tidak Lulus)
S 1
SLTA (Tidak lulus)
23
21
35
31
B. Perilaku Keberagamaan
Mengenai keberagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa yang
menjadi subjek penelitian dalam skripsi ini, para informan umumnya mengaku
bahwa saat belum menyandang tunanetra, mereka masih awam dalam hal agama.
Ini artinya, bahwa para informan mengaku sebelum menyandang tunanetra,
pemahaman agama mereka kurang mendalam. Begitu juga dengan ritual ibadah
sehari-hari, terkadang dari 5 waktu shalat wajib ada yang tidak mereka kerjakan
karena kesibukan saat itu.1
Saat menyandang tunanetra, para informan mengaku bahwa mereka lebih
banyak punya waktu untuk beribadah, sehingga dari segi frekuensi mereka
mengalami peningkatan. Di samping hal ini disebabkan oleh maraknya syiar Islam
melalui tayangan audio visual, juga disebabkan banyaknya kegiatan keagamaan
1 Data penulis peroleh dari wawancara pribadi dengan para informan.
31
dalam bentuk pengajian, peringatan hari besar, Maulid dan sebagainya yang bisa
diikuti oleh kalangan tunanetra. Banyaknya syiar dan kegiatan keagamaan itu
sangat mungkin karena mayoritas penduduk Tangerang Selatan adalah muslim.
Berdasarkan komposisi penduduk menurut agama, pemeluk agama Islam
yaitu sebanyak 90,98%. Penduduk selebihnya memeluk agama Protestan (4,07%),
Kristen (3,14%), Budha (1,21%) dan Hindu (0,60%). Komposisi penduduk
berdasarkan agama ini diolah dari Kompilasi Data untuk Penyusunan RT/RW
Kota Tangerang Selatan. Karena ada ketidakcocokan antara jumlah total
penduduk yang ada dalam Kabupaten Tangerang Dalam Angka Tahun 2007/2008
yang digunakan sebagai acuan, angka yang digunakan adalah angka persentase
dan bukan angka absolut dengan asumsi bias tersebar ke dalam semua kelompok
data.
Sarana peribadatan yang tersedia untuk para pemeluk agama adalah mesjid
sebanyak 436 buah, langgar/mushola 1.268 buah, gereja 42 buah, vihara/kuil 7
buah. Pondok pesantren berjumlah 24 buah dengan 66 orang kiai dan 295 orang
ustadz serta 4.405 orang santri.2
C. Status Sosial Ekonomi
Kategori status sosial ekonomi dalam penelitian ini mengikuti penjelasan
Badan Pusat Statistik (BPS) tentang klasifikasi masyarakat miskin yang
mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT).3
2 Data penulis peroleh dari http://tangerangselatankota.go.id/compilation_sosial.php,
diakses pada tanggal 28 Maret 2010 3 Rumah tangga penerima BLT ditentukan berdasarkan 14 variabel dan diklasifikasikan
ke dalam 3 kategori yaitu Sangat Miskin, Miskin dan Mendekati Miskin. Tingkat kesejahteraan keluarga terbagi ke dalam 5 kategori yaitu Keluarga Pra Sejahtera, Sejahtera Tahap I, Sejahtera Tahap II, Tahap III dan Tahap III Plus. Data diambil dari dari
32
Berdasarkan tingkat kesejahteraan, jumlah keluarga dengan tingkat
kesejahteraan Pra Sejahtera adalah sebesar 8.789 Keluarga atau 3,65% dari total
24.700 keluarga, sedangkan tingkat kesejahteraan KS I adalah sebesar 39.319
Keluarga atau 16,34%. Sisanya, yaitu sebanyak 192.592 Keluarga atau 80,01%
adalah Keluarga Sejahtera Tahap II, Tahap III dan Tahap III Plus.
Berdasarkan validasi data Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dilakukan
oleh BPS pada tahun 2008, jumlah rumah tangga penerima Bantuan Langsung
Tunai (BLT) di Kota Tangerang Selatan adalah sebanyak 19.104 RT. Jumlah
penerima paling banyak di Pamulang yaitu sebanyak 5.963 rumah tangga,
sedangkan paling sedikit di Ciputat Timur yaitu sebanyak 1.685 rumah tangga.
Dapat terjadi perbedaan angka antara masyarakat miskin dalam BLT dengan
masyarakat miskin berdasarkan tingkat kesejahteraan BKKBN karena terdapat
perbedaan kriteria dan kategori dalam penentuan kelompok masyarakat miskin.
Berkenaan dengan status sosial para informan, dari hasil wawancara yang
penulis lakukan, status sosial mereka dapat penulis gambarkan dalam tabel berikut
ini.
http://tangerangselatankota.go.id/compilation_sosial.php, diakses pada tanggal 28 Maret 2010. pengertian dari masing-masing tingkatan ekonomi suatu keluarga tersebut: (a) Keluarga pra-sejahtera, adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya (pangan, sandang, papan, kesehatan dan pendidikan), (b) Keluarga sejahtera 1, adalah keluarga-keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal tapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologisnya seperti kebutuhan : ibadah, protein, pakaian, ruang interaksi keluarga, keadaan sehat, penghasilan,baca tulis dan KB. (c) Keluarga sejahtera 2, adalah keluarga-keluarga yang telah memenuhi kebutuhan dasarnya juga telah memenuhi seluruh kebutuhan sosial psikologisnya,tetapi belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan pengembangannya: (peningkatan agama, nabung, interaksi, kegiatan di masyarakat dan mampu memperoleh informasi. (d) Keluarga sejahtera 3, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhan dasarnya, kebutuhan sosial psikologisnya dan pengembangannya, namun belum dapat memberikan sumbangan yang maksimal kepada masyarakat secara teratur materil dan keuangan serta berperan aktif seperti jadi pengurus. (e) Keluarga sejahtera 3 plus, adalah keluarga yang telah dapat memenuhi seluruh kebutuhannya, dasar, sosial psiklogis, pengembangannya dan beri sumbangan secara berkelanjutan.
33
Tabel 2
Status sosial ekonomi para informan
No Inisial Informan Tingkat Ekonomi
1
2
3
4
5
NS
BJ
ARK
EM
AS
Keluarga Sejahtara II
Keluarga Sejahtara II
Keluarga Sejahtara III
Keluarga Sejahtara II
Keluarga Sejahtera I
Dari penjelasan BPS tentang klasifikasi masyarakat miskin yang layak
mendapatkan BLT, maka para informan dalam penelitian ini masuk dalam
kategori bukan masyarakat miskin. Indikatornya adalah bahwa para informan
tersebut tidak termasuk orang yang mendapatkan BLT.
D. Visi dalam Hidup
Para informan yang merupakan penyandang tunanetra usia dewasa,
memiliki harapan untuk tetap dapat melanjutkan hidup mereka, tanpa harus
menyesali apa yang menimpa diri mereka. Dari hasil wawancara dengan para
informan, penulis mendapatkan penjelasan bahwa sebagian besar informan
memang merasa tidak memiliki masa depan lagi saat mereka divonis menyandang
tunanetra total. Peralihan dari kondisi di mana mereka bisa melihat ke kondisi
tidak dapat melihat sama sekali, membutuhkan waktu penyesuaian yang tidak
sebentar. Walaupun di awal mereka pesimis, tetapi seiring dengan waktu akhirnya
mereka memiliki optimisme untuk tetap semangat hidup.
34
Untuk menjaga semangat hidup mereka lalu menyibukkan diri dengan
berbagai macam kegiatan. Berbagai keterampilan yang diperlukan untuk tetap
menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya, mereka tempuh dengan cara aktif di
yayasan yang memiliki perhatian terhadap para penyandang tunanetra. Salah satu
yayasan di mana para informan aktif di dalamnya adalah yayasan Mitra Netra,
yang berada di Lebak Bulus. Di yayasan ini, para informan memperoleh berbagai
pelatihan untuk tetap bisa bekerja. Bahkan yayasan ini memberikan beasiswa bagi
para penyandang tunanetra untuk tetap melanjutkan pendidikan mereka.
Di antara informan yang melanjutkan pendidikannya adalah informan NS
yang memutuskan untuk menempuh pendidikan tersebut di UMJ dengan masuk
fakultas agama Islam jurusan Tarbiyah, angkatan 2008 meskipun usianya sudah
tidak muda lagi. Hal ini dilakukan oleh informan NS untuk menambah bekal yang
nantinya diharapkan dapat menunjang kehidupannya.
Selain informan NS yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya,
informan ARK juga ikut aktif di yayasan Mitra Netra setelah mengalami
ketunanetraan total untuk menambah keterampilan hidupnya. Informan ARK
semasa masih bisa melihat, adalah mahasiswa di ITI (Institut Teknologi
Indonesia) Serpong semester 7. Setelah mengalami ketunanetraan total, informan
ARK berhenti dari kuliahnya, kemudian aktif di yayasan Mitra Netra.
E. Yayasan Radlatul Makhfufin
Yayasan Radlatul Makhfufin adalah sebuah lembaga sosial keagamaan
yang bergerak dalam bidang pendidikan keagamaan tunanetra. Yayasan ini
beralamatkan di Jalan Raya Puspiptek Gang Rais Kampung Jati Desa Buaran RT
35
05 RW 02 Kecamatan Serpong Tangerang Selatan. Ide awal pendirian Yayasan
ini dari Halim Sholeh seorang tunanetra yang berprofesi sebagai guru agama di
sekolah luar biasa. Halim Sholeh yang menuntut ilmu di madrasah luar biasa
milik Yayasan Kesejahteraan Tunanetra Islam di Yogyakarta, mendapat pesan
dari gurunya agar mengajarkan Islam kepada tunanetra di mana saja mereka
berada.
Dari pesan gurunya itu serta keprihatinan terhadap nasib sesama tunanetra,
Sholeh kemudian mengajak teman-temannya untuk membentuk sebuah lembaga
yang dapat memberikan pendidikan keagamaan bagi tunanetra. Ajakan itu
mendapat sambutan dari Joni Watimena yang menjadi sahabatnya. Sambutan juga
datang dari para tunanetra lainnya. Para tunanetra ini pun kemudian mendirikan
majlis taklim tunanetra. Anggota majlis taklim ini terus bertambah. Pada tanggal
26 November 1983 lembaga yang mereka cita-citakan berdiri dengan nama
Yayasan Radlatul Makhfufin.4
Dana awal pendirian yayasan ini hanya dengan uang sebesar Rp. 25.000,-
yang berasal dari sumbangan majlis taklim Khairun Nisa di Bekasi. Untuk
membiayai jalannya yayasan mereka mencari simpati dari masyarakat untuk
membantu usaha mereka.
Pada awal pendiriannya, Radlatul Makhfufin mengalami dua kali
perpecahan yaitu perpecahan internal pengurus dan perpecahan dengan donatur
utama mereka. Perpecahan pertama berakibat dengan mundurnya sebagian dari
pendiri dan pengurus Yayasan, dan perpecahan yang kedua mendatangkan
kesulitan pendanaan bagi Yayasan. Untuk mempertahankan eksistensi yayasan
4 Ade Ismail, “Kiprah Yayasan Raudlatul Makhfufin dalam Mensyiarkan Islam di Kalangan Tunanetra di Jakarta 1983-2005, Skripsi, (Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Jakarta, 2009), h. 85
36
para pengurus meningkatkan upaya mereka dalam menggalang simpati
masyarakat.
Dalam perannya sebagai lembaga sosial keagamaan, Raudlatul Makhfufin
mengadakan program-program yang bertujuan meningkatkan kualitas pemahaman
keagamaan bagi tunanetra. Secara umum program-program Yayasan Raudlatul
Makhfufin terfokus pada tiga hal yaitu pendidikan, pelatihan, dan pengadaan
sarana belajar keagamaan. Dari program-program tersebut antara lain: P4B yaitu
pemberantasan buta huruf latin, pemberantasan buta huruf Arab Braille,
pemberantasan buta al-Qur’an dan pemberantasan ilmu-ilmu agama. Dalam
melaksanakan itu tunanetra belajar membaca tulisan Braille latin dan Arab,
membaca al-Qur’an dan materi-materi keagamaan. Pesantaren tunanetra, yaitu
pesantren bagi para tunanetra. Pencetakan al-Qur’an dan buku-buku ke-Islaman
dalam huruf Braile. Dari program-program tersebut ada yang terlaksana seperti
pencetakan al-Qur’an Braille dan P4B, dan pesantren, ada yang tersendat-sendat
seperti pelatihan Qari’ dan Qari’ah tunanetra dan pelatihan dakwah dan ada pula
yang gagal seperti pembentukan madrasah bagi tunanetra.5
Kendala yang dihadapi oleh Yayasan Radlatul Makhfufin dalam
menjalankan misinya adalah karena kurangnya dana serta kurangnya sumber daya
manusia yang ahli dalam masalah yang sering dihadapi oleh yayasan. Namun
demikian, kurangnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh yayasan tidak serta
merta membuat pengurus yayasan untuk menyerah dalam mengembangkan
yayasan dari segi pendanaan.
5 Ade Ismail, “Kiprah Yayasan Raudlatul Makhfufin dalam Mensyiarkan Islam di
Kalangan Tunanetra di Jakarta 1983-2005, h. 86
37
Susunan pengurus Yayasan Raudlatul Makhfufin
Dewan Pendiri : Halim Sholeh
: Joni Watimena
Dewan Pembina : dr. Okiniwati Hattaradjasa
Ketua : Nur Kholiq, SQ
Sekretaris : Zainal Abidin
Bendahara Umum : Ngatijo
Bendahara I : Ilma Hasanah, S.Ag
Kesejahteraan Umat : Abbas Sukardi, BA
Abdul Wahab
Pendidikan dan Dakwah : Ahmad Muzakir
Muhyi Khairuddin, SQ
Sapto Wibowo, S.Sos
38
BAB IV
AGEN SOSIOALISASI DAN NILAI-NILAI KEAGAMAAN
PENYANDANG TUNANETRA DEWASA
A. Agen Sosialisasi dan Pengetahuan Agama Penyandang Tunanetra
Dewasa
Dalam bab sebelumnya telah penulis jelaskan mengenai agen-agen
sosialisasi yang terdiri dari keluarga, teman sebaya, dunia pendidikan dan media
massa. Dalam bab ini, penulis berusaha untuk menggali lebih dalam bagaimana
pengetahuan keagamaan para penyandang tunanetra usia dewasa.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, penulis
mendapatkan bahwa peran keluarga dalam memberikan pengetahuan keagamaan
kepada para penyandang tunanetra usia dewasa dirasakan oleh sebagian para
informan hanya saat mereka masih usia anak-anak. Setelah usia itu, para
informan mengaku bahwa mereka kurang mendapat pengetahuan keagamaan dari
keluarga. Seperti yang diungkapkan oleh informan EM berikut:
“Kalau saya pribadi, merasa bahwa pengetahuan keagamaan yang saya dapat dari orang tua itu, itu hanya saat saya masih kecil. Sedangkan saat saya mengalami tunanetra, kedua orang tua saya sudah meninggal. Hal ini membuat pengetahuan keagamaan yang saya dapat lebih banyak berasal dari media massa”1
Hal senada juga diungkapkan oleh informan AS. Menurutnya,
pengetahuan keagamaan yang ia peroleh lebih banyak berasal dari media massa,
terutama media elektronik yang diwakili radio. Sedangkan dari keluarga, menurut
informan AS tidak banyak memberikan pengetahuan keagamaan. Meskipun
1 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010
39
informan AS masih dekat dengan keluarga, tapi masalah pengetahuan keagamaan
ia jarang mendapatkannya dari keluarga. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
informan AS:
“Kalau saya pribadi merasakan bahwa pengetahuan keagamaan lebih banyak saya peroleh dari radio. Dulu waktu sebelum menjadi tunanetra saya memang sempat mengaji, biasalah orang Betawi tempatnya di musholla. Tapi setelah beranjak dewasa, dan saya mengalami ketunanetraan, saya lebih banyak mendengarkan ceraman-ceramah keagamaan dari para ustadz maupun mubaligh yang berasal dari radio.”2 Saat penulis menanyakan lebih jauh sumber pengetahuan keagamaan yang
diperoleh informan AS, ia menjawab bahwa sesekali ia mendengarkan ceramah
yang berasal dari televisi. Ia mencontohkan bahwa ia sering mendengarkan
ceramah tentang kajian tafsir yang disampaikan oleh M. Quraish Shihab di Metro
TV saat bulan puasa. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh informan AS:
“Kalau ditanya selain radio, dari mana saya mendapatkan pengetahuan keagamaan, saya bisa mengatakan bahwa hal tersebut saya dapatkan dari televisi. Kan waktu bulan puasa di Metro TV ada ceramah tentang kajian tafsir. Kalau nggak salah disampaikan oleh M. Quraish Shihab. Menurut saya itu acara yang bagus sekali.”3 Pendapat yang berbeda disampaikan oleh informan ARK. Ia mengaku
bahwa ia banyak mendapat pengetahuan keagamaan dari keluarga, terutama
orang tua. Menurut pernyataan yang disampaikan oleh informan ARK, ia sering
memperoleh pengetahuan keagamaan tersebut dari orang tua karena pada saat
kuliah ia tinggal dengan orang tua. Setelah mengelami ketunanetraan pun
informan ARK mengaku masih mendapatkan pengetahuan keagamaan dari orang
tua. Sebagaimana yang disampaikan kepada penulis:
“Waktu kuliah kebetulan saya tidak indekos, saya tinggal dengan orang tua. Hal ini membawa pengaruh yang baik buat saya, karena tinggal
2 Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010 3 Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010
40
dengan orang tua, saya banyak berbicara mengenai pengetahuan keagamaan dengan mereka. Mungkin berbeda kalau seandainya saya tidak tinggal dengan orang tua, tapi indekos di sekitar kampus.”4 Senada dengan apa yang disampaikan oleh informan ARK, informan NS
pun mengaku bahwa pengetahuan agama banyak ia peroleh dari keluarga.
Menurut pengakuannya, keluarga informan NS berasal dari keluarga yang Islami,
bahkan kakek informan NS adalah ketua NU (Nahdlatul Ulama) tingkat
Kecamatan, yang sering memberinya nasihat untuk tidak melupakan shalat.
Seperti yang diungkapkan oleh informan NS:
“Pengetahuan keagamaan banyak saya peroleh dari keluarga. Maklum saja, keluarga saya termasuk keluarga islamis, bahkan kakek saya adalah ketua NU tingkat kecamatan, yang sering menasehati saya untuk tidak melupakan shalat.”5 Saat penulis menanyakan lebih jauh tentang peran teman sebaya informan
NS dalam memberikan pengetahuan keagamaan maupun nasihat-nasihat
keagamaan, informan NS mengaku bahwa dirinya memang lebih cocok untuk
mendengarkannya dari teman sebaya dibandingkan dengan nasihat yang berasal
dari keluarga. Hal ini menurut informan NS dikarenakan terlalu seringnya
anggota keluarga memberikan nasihat maupun pengetahuan keagamaan. Seperti
yang diungkapkan informan NS kepada penulis:
“Kalau ditanya tentang mana yang lebih cocok dalam memberikan nasihat maupun pengetahuan keagamaan, saya merasa teman sebayalah yang lebih cocok. Kan tau sendiri, kita terlalu sering mendengarkan nasihat dan pengetahuan keagamaan pihak keluarga. Jadi kalau ada teman sebaya yang memberikan nasihat atau pengetahuan tersebut, perasaan lebih cepat diserap aja.”6 Namun demikian, berdasarkan pengakuan informan NS, tetap saja
4 Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayaan Mitra Netra Lebak Bulus, tanggal 28
Desember 2009 5 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 15 April 2010 6 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 15 April 2010
41
keluarga memiliki peran dalam memberikan nasihat keagamaan maupun
pengetahuan keagamaan kepada dirinya.
Adapun frekuensi keikutsertaan para informan mengikuti pengajian yang
diselenggarakan di majlis-majlis taklim, mereka mengaku bahwa keinginan
mereka untuk hadir dalam pengajian tersebut terkendala dengan kondisi fisik
mereka yang belum stabil. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan ARK,
yang mengaku bahwa tumor otak yang dideritanya sering kali membuat kondisi
tubuhnya labil, sehingga ia mengurungkan niatya untuk mengikuti pengajian di
majlis taklim. Sebagaimana yang diungkapkan oleh informan ARK kepada
penulis:
“Sebenarnya, saya ingin mengikuti pengajian yang diadakan di majlis-majlis taklim. Tapi berhubung kondisi badan saya yang belum stabil, saya tidak bisa melakukannya. Kalau lagi badan ngedrop, saya kehilangan keseimbangan, sehingga untuk jalan pun sempoyongan. Kalau udah begitu, paling saya tiduran aja.”7 Kemudian penulis menanyakan tentang bagaimana keberadaan komunitas
tunanetra dalam menambah pengetahuan keagamaan para informan. Dari hasil
wawancara, penulis memperoleh informasi, bahwa komunitas tunanetra yang
berbentuk yayasan banyak memberikan peningkatan pemahaman keagamaan bagi
para informan. Beberapa informan menyatakan bahwa keberadaan komunitas
tersebut sangat membantu mereka dalam menambah pengetahuan keagamaan.
Seperti yang diutarakan oleh informan AS, informan EM, dan informan ARK
yang mengaku bahwa keberadaan yayasan Raudlatul Mahfufin sangat membantu
dalam peningkatan pemahaman keagamaan mereka.
Informan AS menyatakan bahwa dengan berkumpul di Raudlatul
7 Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayasan Mitra Netra Lebak
Bulus, tanggal 28 Desember 2009
42
Mahfufin, ia banyak mendapatkan pengetahuan yang berkenaan dengan baca tulis
al-Qur’an braille, dan pemahaman keagamaan lainnya. Seperti yang diungkapkan
oleh informan AS:
“Sejak saya aktif di pengajian yang diadakan di Raudlatul Mahfufin, saya mendapat banyak pengetahuan keagamaan di sana. Salah satunya adalah baca tulis al-Qur’an braille. Selain juga saya banyak belajar tentang pemahaman keagamaan yang lain seperti fiki, tafsir, dan lain sebagainya.”8 Senada dengan informan AS, informan EM juga mengaku bahwa dengan
berada di komunitas tunanetra, yaitu di Yayasan Raudlatul Mahfufin, di mana
awal-awal informan EM mengalami ketunanetraan, ia tinggal di asrama dan
mendapatkan banyak pengetahuan keagamaan di sana. Seperti yang diungkapkan
oleh informan EM kepada penulis:
“Dulu awal-awal saya mengalami ketunanetraan, saya tinggal di asrama Yayasan Raudlatul Mahfufin. Di sana saya diajarkan pengetahuan keagamaan yang berlangsung pada malam hari. Dari situ saya merasa pengetahuan keagamaan saya semakin meningkat.”9 Selain di Yayasan Raudlatul Makhfufin, informan EM juga aktif di
yayasan Khazanah Kebajikan. Di yayasan ini, informan EM sering mengikuti
pelaksanaan shalat sunnah malam dan kajian al-Qur’an. Seperti yang
diungkapkan informan EM kepada penulis, “Selain itu saya juga aktif di Yayasan
Khazanah Kebajikan. Di yayasan ini, saya sering ikut shalat malam berjamaah,
dan kajian al-Qur’an.”10
Dari pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan kepada
penulis, dapat diambil kesimpulan bahwa peran agen-agen sosialisasi dalam
memberikan nasihat keagamaan maupun pengetahuan keagamaan dirasakan
8 Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010. 9 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan, tanggal 14 April 2010 10 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan, tanggal 14 April 2010
43
sangat besar oleh para informan. Mereka umumnya mengakui bahwa peran
keluarga, teman sebaya, maupun media massa, terutama media elektronik yang
berbentuk radio, memiliki peran dalam meningkatkan pengetahuan keagamaan
mereka.
Secara teoritis bisa dijelaskan bahwa di antara agen sosialisasi yang ada,
lembaga pendidikan dan keluargalah yang yang paling berperan dalam
membentuk perilaku keagamaan. Dalam konteks penelitian ini, diskusi dan
peran-peran keagamaan itu terwujud dalam kajian al-Qur’an dan shalat
berjamaah yang dilakukan di Yayasan Raudlatul Makhfufin. Di Yayasan ini
berlangsung berbagai kajian keagamaan, antara lain: baca tulis al-Qur’an Braille,
tafsir, fikih, sejarah Islam dan tauhid. Selain lembaga pendidikan, agen sosialisasi
lain yang mempengaruhi keberagamaan penyandang tunanetra usia dewasa
adalah keluarga, terutama orang tua. Pengaruh orang tua meskipun ada, tapi tidak
serta merta diterima sebagai bentuk pemberontakan seorang dewasa yang sedang
mencari jati diri terhadap peran dominan orang tua. Adapun peran media massa
masih dianggap sebagai media hiburan, meskipun tidak bisa dipungkiri media
massa menjadi salah satu pilihan untuk mendapatkan pengetahuan keagamaan.
B. Praktek Keagamaan Penyandang Tunanetra Dewasa
Berkenaan dengan praktik keagamaan para penyandang tunanetra dewasa,
dari hasil wawancara penulis dengan para informan dapat dideskripsikan
pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh para informan mengenai praktik
keagamaan mereka. Dalam sub bab ini penulis lebih memfokuskan pembahasan
praktik keagamaan setelah para informan mengalami ketunanetraan.
44
Sebagian besar informan mengaku bahwa setelah mengalami
ketunanetraan, mereka mengalami masalah dalam hal penyesuaian diri dengan
lingkungan sekitar. Demikian halnya dengan praktik keagamaan. Salah seorang
informan, yaitu informan EM mengaku bahwa setelah dirinya mengalami
ketunanetraan ia jarang ke masjid atau mushalla dibandingkan saat ia masih
belum mengalami ketunanetraan. Namun demikian, bukan berarti informan EM
tidak ingin melaksanakan shalat lima waktu di masjid atau mushalla, ia hanya
tidak ingin menyusahkan orang lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh
informan EM kepada penulis:
“Setelah saya mengalami ketunanetraan total, saya sudah jarang melaksanakan shalat lima waktu di mushalla maupun di masjid. Paling-paling saya pergi ke masjid pada saat shalat Jum’at. Dalam hati sih pengen juga setiap shalat lima waktu dilaksanakan di mushalla atau masjid, namun saya tidak ingin menyusahkan orang lain.”11 Dengan kondisinya tersebut, informan EM mengaku bahwa ia lebih sering
melaksanakan ibadah shalat lima waktu di rumah. Sedangkan mengenai ibadah-
ibadah lain, seperti pelaksanaan ibadah shalat sunnah, maupun puasa sunnah dan
membaca al-Qur’an, informan EM mengaku bahwa setelah ia mengalami
ketunanetraan, ibadah yang mengharuskan untuk melihat seperti membaca al-
Qur’an menjadi berkurang. Sebagai gantinya, informan EM membaca surat-surat
pendek yang ia hafal sewaktu masih belum mengalami ketunanetraan.
Sebagaimana yang disampaikan oleh informan EM kepada penulis:
“Masalah ibadah sehari-hari, khususnya ibadah sunnah, saya merasakan ada perbedaan setelah saya mengalami tunanetra. Saya sudah mulai melaksanakan shalat sunnah dhuha, puasa senin kamis, dan menghafal surat-surat pendek yang dulu pernah saya hafal sebelum menjadi tunanetra. Kalau harus membaca al-Qur’an dengan huruf Braille saya
11 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010
45
masih merasa kurang.”12 Adapun informan NS menyatakan bahwa dirinya merasa lebih rajin dalam
menjalankan praktik keagamaan setelah mengalami ketunanetraan. Informan NS
mengaku bahwa dirinya memang tidak terlalu sering bertemu dengan ustadz.
Tapi ustadz tersebut memberikannya amalan untuk dipraktikkan, sehingga
informan NS merasa lebih dekat dengan Allah, dan ibadahnya semakin
meningkat. Ia mengaku bahwa peningkatan tersebut tidak hanya terasa pada
dirinya, tapi juga keluarga maupun orang di sekitarnya. Seperti yang diungkapkan
informan NS kepada penulis:
“Setelah mengalami ketunanetraan, dari sisi ibadah saya merasakan ada peningkatan. Meskipun saya tidak terlalu sering bertemu dengan ustadz, tapi dari ustadz tersebut saya mendapatkan amalan yang dianjurkan untuk dilaksanakan. Dengan pengamalan tersebut, saya merasa lebih dekat kepada Allah, dan ibadah saya lebih meningkat. Peningkatan ibadah saya tidak hanya terasa pada diri saya, tapi juga keluarga dan orang yang ada di sekitar saya.”13 Saat penulis menanyakan lebih jauh bentuk peningkatan ibadah yang
dialami oleh informan NS, ia mengaku, jika waktu masih awas dirinya
melaksanakan shalat lima waktu kadang-kadang dan suka menunda-nunda,
setelah mengalami ketunanetraan ia tidak lagi melakukan hal tersebut. Bahkan ia
berharap dapat melaksanakan shalat lima waktu lebih awal lagi. Bahkan informan
NS mengaku kalau dirinya sudah mulai melakukan shalat sunnah seperti shalat
tahajjud, kemudian berpuasa sunnah berupa Puasa Senin Kamis. Ia merasa bahwa
semakin banyak ia beribadah, ia merasa lebih tenang. Ketunanetraan yang ia
alami yang menurut sebagian orang adalah musibah atau cobaan, ia merasakan
hal tersebut sebagai nikmat dan rizki baginya. Sehingga apa yang ia rasakan itu
12 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010 13 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 17 April 2010
46
menjadi motivasi bagi orang lain. Seperti yang diungkapkannya:
“Alhamdulillah saya merasakan peningkatan dalam praktik keagamaan saya. Kalau dulu saya suka bolong-bolong dan menunda-nunda dalam melaksanakan shalat lima waktu, sekarang sudah tidak lagi. Bahkan saya ingin melaksanakannya lebih awal, sehingga pahalanya lebih banyak. Selain itu juga saya mulai melakanakan shalat sunnah sepreti shalat tahajjud, dan melaksanakan puasa sunnah seperti puasa senin kamis. Saya merasa semakin banyak saya beribadah, saya lebih tenang. Kalau orang bilang bahwa ketunanetraan saya ini adalah musiban dan ujian, justru saya merasakan ini adalah nikmat dan rizki dari Allah SWT. Dengan begitu, semoga saja apa yang terjadi dengan diri saya menjadi motivasi bagi orang lain.”14 Hal yang hampir sama disampaikan oleh informan AS. Ia mengaku bahwa
dirinya mengalami peningkatan dalam praktik keagamaan, seperti melaksanakan
shalat sunnah sebelum tidur, melaksanakan shalat dhuha, namun ia mengaku
masih berat untuk melaksanakan puasa sunnah. Sedangkan shalat lima waktu
informan AS mengaku tidak pernah melewatkannya. Sedangkan pelaksanaan
shalat malam, informan AS mengaku masih berat, karena masih suka bergadang.
Seperti yang diungkapkan informan AS kepada penulis:
“Alhamdulillah, yang saya rasakan ada peningkatan dalam menjalankan ibadah. Seperti saya sudah mulai terbiasa untuk melaksanakan shalat sunnah sebelum tidur, shalat dhuha juga. Tapi kalau untuk melaksanakan puasa sunnah, saya masih merasa berat, karena belum kuat menahan lapar dan rokok. Kalau shalat lima waktu sih, alhamdulillah tidak pernah kelewatan. Cuma untuk shalat malam, saya masih merasa berat, karena sampai saat ini saya masih suka begadang.”15 Dari hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap para informan, dapat
diambil kesimpulan bahwa hampir seluruh informan mengaku mereka mengalami
peningkatan dalam hal praktik keagamaan. Peningkatan tersebut meliputi
peningkatan dalam melaksanakan ibadah wajib seperti shalat lima waktu, yang
sebelumnya sering bolong-bolong atau menunda-nunda, setelah para informan
14 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 17 April 2010 15 Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010
47
mengalami ketunanetraan, mereka mengaku bahwa hal tersebut tidak terjadi lagi.
Selain itu para informan juga mengalami peningkatan dalam ibadah sunnah,
seperti pelaksanaan shalat-shalat sunnah, dan puasa-puasa sunnah.
Secara teoritis, fenomena praktek keagamaan kalangan tunanetra dewasa
ini bisa dijelaskan dalam dimensi keyakinan dan praktek keagamaan sebagaimana
kategorisasi yang dibuat oleh Stark dan Glock. Menurut keduanya, orang
beragama akan berpegang teguh pada teologi yang diyakini oleh mereka dan
berusaha menunjukkan komitmen pada keyakinan teologi mereka melalui
praktek-praktek ritual. Dalam konteks penelitia ini ditemukan bahwa kalangan
tunanetra dewasa tetap berpegang teguh pada keyakinan ke-Islaman mereka. Hal
ini mereka tunjukkan dengan komitmen mereka untuk melaksanakan shalat dan
puasa. Meski variasi praktek keagamaan mereka beragam, dalam arti ada yang
mengerjakan ibadah wajib dan ada juga yang mampu melaksanakan ibadah
sunnah, tapi sesungguhnya semua itu ingin menunjukkan bahwa mereka adalah
orang beragama dan menjaga hubungan dengan Sang Maha Pencipta di tengah-
tengah kondisi mereka yang mengalami keterbatasan dalam melihat secara fisik.
C. Harapan Hidup Penyandang Tunanetra Dewasa sebagai Hasil dari
Pengetahuan dan Praktik Keagamaan Mereka
Peralihan dari satu kondisi ke kondisi yang lain membutuhkan
penyesuaian yang tidak sebentar. Demikian juga yang dialami oleh para informan
dalam penelitian yaitu mereka yang mengalami ketunanetraan di usia dewasa.
Dari hasil wawancara yang penulis lakukan, umumnya para informan saat
pertama kali mengalami ketunanetraan total, mereka mengaku butuh waktu untuk
48
menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.
Para penyandang tunanetra usia dewasa mengaku bahwa mereka
merasakan shock saat divonis oleh dokter bahwa penglihatan mereka tidak akan
berfungsi kembali. Hal ini seperti yang dialami oleh informan ARK. Berbagai
usaha telah dilakukan informan ARK untuk dapat memulihkan kembali fungsi
penglihatannya dengan pergi ke dokter beberapa kali. Namun setelah berusaha
semaksimal mungkin, akhirnya informan ARK mengaku pasrah dan menerima
keadaannya ini. seperti yang diungkapkan informan ARK tentang penyebab
ketunanetraannya kepada penulis:
“awal mula ketunanetraan saya saat kerja praktek, lokasinya panas, di kawasan industri, yang berdebu banyak. Di sana mulai terasa seperti hilang keseimbangan, pusing, mual. Wah ini kecapean, pikir saya. Ini akumulasi, ditambah adik saya kena cacar. Saya belum pernah kena cacar, saya terkena penyakit cacar tertular oleh adik. Saya pikir cacar saja. Beberapa hari kemudian cacar saya sembuh namun mual tidak hilang, saya pikir jangan-jangan efek dari kawasan industri. Saya ke dokter, di vonis tumor otak, ada gumpalan di otak. Saya masuk rumah sakit tidak sadar, langsung dioperasi. Operasi pertama di RSCM, pemakaian selang. Treatmen awal memang seperti itu. Dari kepala sampai ke bawah perut, untuk mengalirkan cairan yang kumpul di otak.16 Para informan umumnya telah melakukan berbagai usaha untuk
memulihkan penglihatan mereka dengan menempuh pengobatan, baik melalui
dokter maupun pengobatan alternatif. Hal ini dilakukan oleh para informan,
dengan harapan bahwa penglihatan mereka akan segera pulih kembali. Seperti
yang dilakukan oleh informan NS. Informan NS mengaku bahwa kalau untuk
pergi ke dokter medis, ia sudah mulai bosan karena begitu seringnya dan tidak
ada kemajuan yang berarti. Informan NS merasa bahwa di dokter medis ia seperti
kelinci percobaan, yang oleh para dokter dijadikan bahan praktik. Sepeti yang
16 Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus, tanggal
28 Desember 2009
49
diungkapkan oleh informan NS kepada penulis:
“Saya sudah melakukan berbagai usaha untuk menyembuhkan penglihatan saya. Kalau ditanya pernahkah saya berobat ke dokter, saya malah merasa bahwa pergi ke dokter sudah mulai bosan. Saya check rutin di RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) hampir setengah tahun lamanya. Tapi di rumah sakit tersebut saya merasa seperti kelinci percobaan. Bayangin saja, umumnya kan satu dokter menangani satu pasien, ini tidak. Saya ditangani oleh beberapa dokter, jadi kayak bahan praktik aja.”17 Setelah merasa dijadikan bahan praktik, akhirnya informan NS
memutuskan untuk berusaha mengembalikan penglihatannya dengan pergi ke
pengobatan alternatif. Tapi pendapat orang-orang tersebut hampir sama, bahwa
penglihatannya tidak bisa dikembalikan seperti semula, mereka hanya berusaha
untuk mencegah agar penglihatan informan NS tidak bertambah buruk. Seperti
yang disampaikan oleh informan NS:
“Saya masih ingat, sekitar tahun 2003 saya mulai bangkit. Saya pergi ke balai pengobatan mata, tempat-tempat penyembuhan yang sekiranya bisa mengembalikan penglihatan saya. Mereka pendapatnya sama, bahwa kesempatan mata saya sembuh nihil, bahkan untuk dioperasipun tidak bisa. Kesempatan yang ada hanya menahan agar mata saya tidak bertambah buruk. Tapi nyatanya penglihatan saya semakin lama semakin buruk. Lalu saya beralih ke pengobatan alternatif. Cuma ya itu, hasilnya tidak jauh beda, makin buruk.”18 Sedangkan informan NS mengaku bahwa bahwa saat dirinya mengalami
ketunanetraan, ia merasa bingung. Informan NS merasa bahwa ilmunya tidak
akan berguna sama sekali, tidak ada pegangan untuk masa depannya kelak. Hal
ini ditambah dengan kenyataan bahwa informan NS adalah penyandang tunanetra
di keluarganya. Namun ia mengaku mendapat motivasi saat menyaksikan di TV
semasa penglihatannya belum mengalami buta total, tentang seorang anak kecil
yang mengalami tunanetra sejak lahir, bisa berumah tangga, berkeluarga secara
17 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan tanggal 17 April 2010 18 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan tanggal 17 April 2010
50
normal dan mencukupi kebutuhan keluarganya. Seperti yang diungkapkan
informan NS kepada penulis:
“Saat pertama kali mengalami ketunanetraan, saya merasa bingung sekali. Saya merasa bahwa ilmu yang saya punyai tidak akan berguna sama sekali, sehingga saya tidak punya pegangan untuk menatap masa depan. Namun pada saat saya masih memiliki penglihatan yang sudah mulai menurun, pada tahun 2003 saya melihat di TV ada seorang anak kecil yang menderita tunanetra sejak lahir, bisa berumah tangga dengan normal, bisa mencukupi kebutuhannya, bekerja dengan layak. Dari situlah saya termotivasi untuk bisa belajar menambah keterampilan untuk menghadapi masa depan.”19 Proses peralihan para informan yang mengalami ketunanetraan di usia
dewasa, sangat mengguncang perasaa mereka. Namun sebagian ada yang merasa
bahwa hal tersebut seakan-akan sudah menjadi takdirnya, karena proses yang
dialami oleh salah seorang informan berlangsung perlahan-lahan. Hal ini
membuat perasaan informan tidak terlalu kaget dan tidak terlalu berat, bahkan
informan tersebut masih bisa menyangkal kalau sebenarnya dirinya adalah
seorang tunanetra. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh informan EM kepada
penulis:
“Ketika saya mengalami ketunanetraan total, saya merasa bahwa hal tersebut tidak membuat saya begitu kaget. Karena saya mengalami ketunanetraan total itu secara bertahap, tidak langsung terjadi begitu saja. Hal ini lah yang membuat saya merasa bahwa beban tersebut tidak terlalu berat meskipun saya kecewa juga. Terkadang terbersit pertanyaan, kenapa kok saya bisa begini. Bahkan saya waktu itu masih menentang kalau saya ini orang buta.”20 Berbeda dengan apa yang dialami oleh informan EM yang mengaku
bahwa dirinya tidak terlalu kaget dengan ketunanetraan total yang dialaminya,
informan AS mengaku dirinya sangat kaget. Bahkan ia merasa sangat bingung,
sehingga untuk keluar rumah saja informan AS merasa takut. Seperti yang
19 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan tanggal 17 April 2010 20 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan tanggal 14 April 2010
51
diungkapkan oleh informan AS kepada penulis:
“Saat saya mengalami kebutaan total, saya merasa bingung sekali. Bahkan untuk keluar rumah saja saya masih takut banget.”21 Hal yang sedikit berbeda dinyatakan oleh informan ARK. Ia berpendapat
bahwa peralihan kondisi awas ke kondisi buta menurutnya berlangsung lucu.
Menurutnya keadaan terang kemudian berubah menjai gelap, membuatnya aneh
dan bingung. Ia merasa bahwa ia tidak terbiasa dengan kegelapan. Yang menurut
informan ARK lucu adalah, bahwa saat ia membuka mata, namun tetap saja tidak
ada cahaya. Saat ia memegang sesuatu, ia bisa merasakan teksturnya tapi tidak
bisa melihat benda tersebut. Seperti yang dituturkan kepada penulis:
“Perasaan saya setelah saya mendapat vonis buta total dari dokter adalah menurut saya agak lucu. Peralihan keadaan terang ke keadaan gelap, membuat saya merasa aneh, bingung dan takut. Saya tidak biasa dengan gelap. Tapi ada satu hal yang membuat saya merasa bahwa hal ini lucu adalah, saat saya membuka mata, tetapi tetap saja tidak ada cahaya yang masuk. Kemudian saat saya memegang sesuatu, saya bisa merasakan teksturnya tapi saya tidak bisa melihatnya.”22 Dari beberapa pernyataan yang disampaikan oleh para informan, mereka
mengaku bahwa sebagian dari mereka ada yang sudah merasa siap untuk
menghadapi ketunanetraan total, karena proses tersebut sudah berlangsung cukup
lama. Namun ada juga beberapa informan yang mengaku sangat bingung dengan
kondisi baru mereka, sehingga mereka membutuhkan waktu yang lama untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada.
Berkenaan dengan kondisi baru yang dialami oleh para informan
penyandang tunanetra usia dewasa, mereka mengaku bahwa harapan mereka
untuk hidup tetap ada dan terus mereka jaga. Seperti yang disampaikan oleh
21 Wawacara pribadi dengan informan AS, Tangerang Selatan tanggal 19 April 2010 22 Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayasan Mitra Netra Lebak Bulus tanggal 28
Desember 2009
52
informan AS, ia mengaku bahwa ia yakin kepada Tuhan, bahwa dirinya pasti
akan dikuatkan. Allah sudah pasti telah menyiapkan segala kebutuhan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dengan kondisi baru mereka.
Informan AS mengakui bahwa untuk masalah pergaulan dirinya merasa kurang,
hal ini dikarenakan perubahan yang terjadi pada dirinya. Seperti yang
diungkapkan oleh informan AS kepada penulis:
“Kalau ditanyakan kepada saya bagaimana dengan masa depan saya setelah mengalami ketunanetraan total, saya yakin sama Tuhan, bahwa saya pasti akan diberi kekuatan untuk menjalani masa depan saya tersebut. Saya yakin Allah sudah menyiapkan segala kebutuhan sesuai dengan kemampuan kita. Memang saya mengaku bahwa untuk urusan pergaulan saya kurang, tapi tidak mengapa. Wajar kan, kalau dulu saya masih awas ya enak aja bergaulnya, berbeda ketika saya sudah mengalami ketunanetraan.”23 Kemudian penulis mengarahkan pertanyaan kepada bagaimana harapan
hidup para informan setelah mereka mengalami peningkatan dalam pengetahun
keagamaan dan praktik keagamaan mereka. Di antara informan ada yang
memberikan jawaban, bahwa setelah ia mengalami perubahan dengan menjadi
tunanetra total, ia tetap memiliki semangat untuk terus melanjutkan hidup dengan
berbekal ilmu pengetahuan yang mereka peroleh baik sewaktu belum mengalami
ketunanetraan maupun sesudah mengalami ketunanetraan. Hal ini seperti yang
diungkapkan oleh informan EM, di mana dirinya mengaku bahwa ia masih
memiliki semangat untuk terus melanjutkan hidup. Praktik keagamaan yang
dirasakan oleh informan EM, memberikan harapan baginya bahwa Allah SWT
akan memberikan jalan yang terbaik bagi kelangsungan hidupnya. Seperti yang
disampaikan oleh informan EM kepada penulis:
“Jujur saya, kalau masalah semangat hidup, saya merasakan hal tersebut
23 Wawacara pribadi dengan informan AS, Tangerang Selatan tanggal 19 April 2010
53
masih ada dalam diri saya. Saya yakin bahwa Allah SWT memberikan jalan yang terbaik buat saya, walaupun saya harus kehilangan penglihatan saya. Dengan semakin meningkatnya praktik keagamaan, saya berharap semakin meningkat pula kualitas hidup saya di mata Allah SWT.”24 Sedangkan informan AS mengaku bahwa dirinya tidak memiliki
pegangan lagi selain berpegang pada Allah SWT. Ia mengaku dengan bertemu
sesama komunitas tunanetra, baik di Mahfufin maupun di Yayasan Mitra, ia
bertemu dengan orang-orang baik dan sering memberikan motivasi maupun
masukan yang baik bagi dirinya. Menurutnya, dengan berpegang teguh kepada
Allah, adalah cara untuk menjadi orang yang lebih kuat dalam menjalani
kehidupan ini. Seperti yang diungkapkan informan AS kepada penulis:
“Kalau ditanya apa yang diharapkan dari Allah, saya jawab bahwa kalau tidak berpegang kepada Allah, kepada siapa lagi kita akan berpegang. Saya juga merasa dengan menemukan komunitas tunanetra, baik di Mahfufin maupun di Yayasan Mitra Netra, saya mendapatkan teman-teman yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada saya untuk menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Saya bisa mengatakan, bahwa dengan berpegang teguh kepada Allah, kita akan menjadi orang yang kuat untuk tetap menjalani hidup di dunia ini.”25 Berdasarkan pernyataan yang disampaikan oleh para informan, dapat
disimpulkan bahwa para informan tetap memiliki harapan hidup yang lebih besar
setelah mereka mengalami peningkatan dalam pengetahuan keagamaan dan
praktik keagamaan. Para informan mengaku bahwa mereka juga ingin diri
mereka bermanfaat bagi orang lain.
Secara teoritis, temuan di atas sesuai dengan apa yang dikemukakan Stark
dan Glock bahwa pad adimensi pengalaman, orang yang beragama akan memiliki
harapan-harapan tertentu yang tidak lepas dari pengalamannya melaksanakan
perintah agama-Nya. Dalam konteks penelitian ini, pengalaman itu tergambar
24 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan, tanggal 14 April 2010 25 Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010
54
pada upaya mereka untuk bangkit setelah mengalami shock karena kehilangan
indera penglihatan mereka. Upaya-upaya medis yang mereka lakukan pada
akhirnya berujung pada sikap pasrah dan tawakkal, berharap dengan berpegang
teguh kepada Allah memunculkan harapan hidup yang lebih positif dan menjalani
kehidupan ini dengan penuh ketabahan.
55
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa peran
agen-agen sosialisasi dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada para
penyandang tunanetra usia dewasa sangat besar. Dari 4 (empat) agen sosialisasi
yaitu keluarga, teman bermain, sekolah, dan media massa, yang paling berperan
adalah lembaga pendidikan informal yang berbentuk Yayasan.
Peran lembaga pendidikan dirasakan sangat besar oleh para informan,
karena di dalam lembaga pendidikan tersebutlah para informan mengaku banyak
melakukan kajian-kajian atau diskusi-diskusi keagamaan.
Agen sosialisasi lainnya yang berperan dalam keberagamaan penyandang
tunanetra usia dewasa adalah keluarga. Hal ini dikarenakan setelah para informan
mengalami ketunanetraan, mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan
keluarga, sehingga pihak keluargalah yang sering memberikan nasihat atau
pengetahuan keagamaan kepada para informan.
Hasil dari analisa yang penulis lakukan, dengan adanya peningkatan
pengetahuan keagamaan yang mereka peroleh dari agen-agen sosialisasi, para
informan mengaku mereka mengalami peningkatan dalam hal praktik keagamaan.
Sedangkan nasihat yang diperoleh dari agen-agen sosialisasi membuat para
informan semakin positif dalam menatap masa depan dan yakin bahwa mereka
dapat menjalani hidup dengan sebaik-baiknya, tanpa merasa terhambat dengan
tiadanya penglihatan mereka.
56
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis berikan adalah sebagai berikut:
1. Kepada orang-orang tunanetra pada usia dewasa, hendaknya lebih
banyak bergaul dengan masyarakat yang tidak terbatas hanya pada
komunitas tunanetra. Hal ini mengingat bahwa para informan mengaku
minder saat harus bersosialisasi dengan masyarakat umum.
2. Adanya perhatian dari berbagai instansi pemerintah maupun organisasi
kemasyarakatan untuk lebih memperhatikan keberadaan para
penyandang tunanetra. Perhatian tersebut tidak harus berupa santunan
maupun pemberian bantuan, tapi lebih kepada pemberdayaan para
penyandang tunanetra agar dapat menjalani hidup dengan sebaik-
baiknya.
57
DAFTAR PUSTAKA
Djamaluddin, Muhammad, Religiusitas dan Stress Kerja pada Polisi, Yogyakarta: UGM Press, 1995
Ilyas, Sidarta, Kedaruratan dalam Ilmu Penyakit Mata, Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 2000, Cet. Ke-2, Jilid 2 Kahmad, Dadang, Sosiologi Agama, Bandung:Remaja Rosda Karya,2000 Meleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda Karya, 1998 Pradopo, Sukini, Pendidikan Anak-anak Tunanetra, Bandung: CV MAsa, 1997,
Cet. Ke-1 Puspito, Hendro, Sosiologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 2000, Cet. Ke-16 Rakhmat, Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1999 Razak, Yusron (ed.), Sosiologi Suatu Pengantar; Tinjauan Pemikiran Sosiologi
Perspektif Islam, Ciputat: Laboratorium Sosiologi Agama, 2008, Cet. Ke-1 Robertson, Roland, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: PT
Rajawali Press, 1988 Sarwono, Sarlito Wirawan, Pengantar Umum Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang,
1996 Sekretariat Negara RI, Peraturan Pemerintah 36/1980 tentang Usaha
Kesejahteraan Sosial bagi Penderita Cacat, penjelasan Pasal demi Pasal Soekanto, Soerjono, Kamus Sosiologi, Jakarta: CV. Rajawali Press, 1993 Sullivan, Thomas J. dan Kenrick S. Thompson, Sosicology; Concepts, Issues and
Applications, New York: McMillan Publishing Company, 1986 Sunarto, Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FEUI, 2004 Vredenberg, J., Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia,
1984 Widjadjatin, Anastasia dan Imanuel Hititew, Ortopedagogik Tunanetra Pertama,
Jakarta: Depdikbud, 1995
58
Wawancara: Wawancara pribadi dengan informan AS, Tangerang Kota, tanggal 19 April 2010 Wawancara pribadi dengan informan ARK, Yayaan Mitra Netra Lebak Bulus,
tanggal 28 Desember 2009 Wawancara pribadi dengan informan EM, Tangerang Selatan, tanggal 14 April
2010 Wawancara pribadi dengan informan NS, Tangerang Selatan, tanggal 15 April
2010 Website: http://tangerangselatankota.go.id/compilation_pendidikan.php, diakses pada
tanggal 28 Maret 2010
1. Menurut anda, apakah keluarga berperan dalam peningkatan pemahaman keagamaan
anda?
2. Bisa jelaskan lebih jauh bagaimana peran tersebut?
3. Bagaimana dengan teman-teman sebaya? Entah itu teman bermain, teman ngumpul,
maupun teman semasa kecil.
4. Apakah saat anda berada di sekitar teman semasa kuliah/sekolah mendapatkan
pengetahuan keagamaan?
5. Seandainya ya, bisa ceritakan bagaimana proses penyampaian tersebut?
6. Bagaimana dengan media massa? Adakah yang membuat anda semakin bertambah
dalam hal pengetahuan agama? Media massa seperti tv, radio, internet, Koran, dan lain
sebagainya
7. Di antara agen-agen social tersebut, manakah yang lebih dominan dalam menambah
wawasan keagamaan anda?
8. Bagaimana kehidupan keagamaan anda sehari-hari? Maksudnya setelah anda mengalami
ketunanetraan.
9. Apa yang membuat anda tetap semangat menjalani hidup?
10. Jika boleh tahu, adakah target dalam hidup anda? Bisa dijelaskan lebih jauh?
11. Saat anda sudah mengalami peningkatan dalam hal praktik keagamaan, apakah hal
tersebut menambah semangat anda dalam menjalani hidup?
1
HASIL WAWANCARA DENGAN PARA INFORMAN
NUR SHOLEH
PURBALINGGAI 14 JULI 1980
SD di SDN 15 Cengkareng Timur, masuk pertengahan 1986 lulu 1992-1993.
Masuk SMP N 248 Cengkareng lulus 1996, masuk SMK Pelayaran Riumata Jaya
Kalideres, lulus 1999.
Ketika di SMP atau SMK pernah aktif di organisasi?
Di SMK pernah. Kalau di sana Korps Taruna, semacam OSIS. Saya pernah jadi
danton komandan pleton. Waktu di pelayaran saya aktif di pramuka, ambalan.
Saya ngajar pramuka di SDN 230 kalau nggak salah.
Saat mau masuk SMK apa motifnya?
Saya alhamdulilah di teirma di sma terbaik, 33 Cengkareng. Karena dari orang tua
minta ke kejuruan aja karena langsung bisa kerja. Karen apertimbangan orang tua.
Dari brosur yang ktia dapat di pelayaran langsung bisa kerja. Akhirnya saya
masuk pelayaran.
Setelah lulus pelayaran ngapain?
Langsung kerja di laut. Tapi sebelumnya saya kerja di darat dulu selama 6
bulanan, di daerah pasar kemis, bagian enginering, mesin besar.
Bagian enginering di pasar kemis. Setelah itu saya berlayar saat terjadi kerusuhan
di ambon. Saat bersandar di manado, saya terkena imbasnya. Setiap orang yang
dari jawa dikeroyok, kemudian kami terlantar di sebuah masjid, dan pulang ke
tanjung priok. Sebagai jaminan, buku dokumen yang kami bawa. Setelah saya
pisah dari orang tua ternyata tidak baik. Sekitar tahun 2000.
Setelah itu kerja apa?
2
Saya punya keahlian teknisi computer, elektronik, saya kerja di perusahaan
elektronik di tangerang sebagai teknisi. Alhamdulillah, baru kerja 1-2 bulan, mata
saya mulai ada gejala. Setelah mengantar barang ke konsumen, tiba-tiba mata saya
buram.
Itu mulai terjadi penurunan penglihatan sejak kerja di situ tahun berapa?
Pulang dari kapal, sekitar 2001.
Proses menurunnya bagaimana?
Sebenarnya sebelum kejadian itu, selepas dari kapal, saya sudah kambuh-
kambuhan. Tiba-tiba gelap, lalu terang-terang. Ibu saya mulai ngelarang naik
motor. Ketika di elektronik tadi, ada teman yang maksa saya nganter barang pake
motor. Kalau saya naik motor, ngebut, tidak pakai kaca mata, lalu buram. Sejak
itu berangsung-angsur jadi tunanetra total.
Jadi bertahap proses kebutaannya? Pernahkah mencoba berobat ke dokter?
Kalau ke dokter medis, sudah lumayan bosan. Seperti di RSCM, sudah hamper
setengah tahun. Tapi di sana malah jadi kelinci percobaan. Biasanya satu dokter
menangani satu pasien. Tapi di sana banyak dokter menangani satu pasien.
Kapan itu?
Masih sekitar 2001-2002. Saya masih ingat 2003 saya mulai bangkit. Ke balai
pengobatan mata, macam-macam. Mereka pendapatnya sama, kesempatan
sembuhnya nihil, bahkan untuk dioperasi pun tidak bisa. Yang ada hanya bisa
menahan tidak tambah buruk. Tapi nyatanya lebih buruk. Lalu saya beralih ke
alternative. Tidak jauh beda, makin buruk.
Ketika berobat ke dokter medis, dokter mendiagnosa penyakit apa?
Saya termasuk kategori imunologi. Daya tahan tubuh saya, tidak bisa menerima
benda asing. Mungkin ada benda asing yang masuk ke dalam tubuh saya. Saat
ditanyakan benda apa itu, dokter tidak tahu.
3
Setelah mendapatkan penjelasan seperti itu, ada pikiran g kenapa bisa seperti
itu?
Dokter lebih mengarahkan ke kejadian ke masa lalu. Ketika SD saya pernah
dicakar sama kucing, mata sama muka kucing kurang lebih 2 cm, kucing lagi
emosi banget. Mungkin kemasukan bulu atau apa, lewat cakarannya. Kejadian
tersebut sudah lama sekali. Pikiran saya mungkin waktu di engineering saya
belum pernah pegang las, mesin gede, pakai pelindung berlipat-lipat, bisa mabok
las. Untuk pertama kali mata bakal bengkak, saya waktu itu dengan keyakinan
penuh, insyaallah tidak karena pake pelindung penuh. Saya ngotot pake las besar.
Setelah itu 3 hari tidak bisa merem amupun melek, bengkaknya besar sekali,
sarafnya tidak karuan. Minum obat sudah berkali-kali. Sudah dikompres pake
timun, tetap bengkak, tidak enak dibuat aktivitas. Tapi saya piker tidak mungkin,
karena dikaitkand engan masukan dari pendapat, tidak ke sana.
Akhirnya jadi tunanetra netal sejak tahun berapa?
Tahun 2005-2006. Saya sempat drop, kurang lebih tiga tahun. Dan sempet
kepikiran bunuh diri 3 kali. Tapi kemudian saya dapat hidayah, sekitar tahun 2003
saya mencoba untuk bangkit kembali, saya punya keinginan untuk memperdalam
agama.
Dari 2002-2005 penurunan jarak pandang, bisa diceritakan tidak?
Kadang-kadang kalau sedang apa gitu blank, tiba-tiba kembali bisa melihat.
Tadinya enam meter, tiba-tiba blank, kembali lagi jadi 5 meter. Setelah 5 meter,
syarafnya ketarik, blank lagi, pas dapat melihat lagi, jarak pandangnya jadi 3
meter. Kejadian tersebut berulang-ulang, hingga akhirnya total.
Waktu sering blank, buram, diiringi dengan sakit yang luar biasa pada mata,
bengkak, mata merah, setlah buta total tidak ada sakit lagi.
Saat 2003 ketika penglihatan menurun, sempat ada keinginan bunuh dan lain
sebagainya. Proses mendapatkan hidayahnya gimana?
4
Sejak pelayaran saya jauh dari agama, karena backgroun jelek. Dari situ, pertama
kali tuna netra saya bingung. Ilmu say atidak berguna saya sekali, dan saya blank,
pegangan buat masa depan apa. Ditambah orang tua, saya tunanetra pertama,
keluarga sangat khawatir. Jarak 5 meter pun diawasi banget. Saya merasa
terkekang, membuat saya buat apa hidup, tidak bisa apa-apa. Di tahun 2003, saya
lihat di TV anak kecil tunanetra dari lahir, bisa berumah tangga, berkeluarga
normal, awas, bisa mencari penghasilan, bisa bekerja layak, mulai dari situlah
saya termotivasi untukb isa belajar menambah keterampilan segala sesuatunya
untuk mengahdapi masa depan.
Untuk masalah agama, saya termotivasi, ketika bolak balik ke alternatif, saya lihat
di tv ada ustadz yang memang fokus, karena saya pencandu narkoba, saya insyaf
saat mau lulus pelajaran. Ustadz itu fokus ke rehabilitasi narkoba, saya ke sana,
dibentengi dengan ilmu agama yang luar biasa. Dari situlah saya termotivasi
untuk memperdalam ilmu agama, keinginan bunuh diri hilang. Saya lebih optimis
untuk menatap masa depan.
Kalau dari pihak keluarga, awal mengalami ketunanetraan ada yang
memberimotivasi untuk membangkitkan semangat hidup?
Dari keluarga mereka memotivasi, berdoalah sama Allah. Cuma dari diri saya
sendiri yang belum bisa membuka, karena kalau dinasehati orang tua itu dari
kecil, kesannya sudah makanan sehari-hari. Tapi ketika diberi nasehat orang lain,
benar-benar mengena, sampai sekarang teringat dan termotivasi dengan nasehat
dari ustadz tadi.
Kalau nasehat dari keluarga, apa yang masih diingat?
Keluarga mencoba untuk memberikan motivasi agar selalu tegar. Untuk masalah
peningkatan ibadah, belum ya. Keluarga saya dari islam yang lumayan, kakek
ketua PBNU tingkat kecamatan. Jangan lupa shalat dan nasehat yang biasa saja.
Kalau dari lingkungan, seperti tetangga, teman sekitar atau ngumpul ada tidak
yang memberikan motivasi keagamaan atau umum?
5
Dari luar keluarga, hampir sama. Mereka bilang, sabar saja, mudah-mudahan ini
cobaan sementara. Minta petunjuk saja sama Allah, hampir sama dengan
keluarga, untuk shalat tahajud, shalat hajat. Lebih banyak dari keluarga
sebenarnya.
Yang lebih mudah diterima, nasehat dari mana?
Dari keluarga, karena saya tahu latar belakagn keluarga saya, kakek saya kiai,
agamanya lebih.
Setelah mengalami ketunanetraan, dari sisi ibadah, ada peningkatan sebelumnya
atau gimana?
Meskipun saya ketemu ustadz tidak sering, tapi dari dia saya diberikan amalan,
saya semakin merasa dekat sama Allah, dan ibadah saya semakin meningkat.
Dulu hanya shalat ibadarnya senin kamis, semakin hari semakin baik. Amalan
yang diberikan benar benar terlihat, tidak hanay pada diri saya, baik keluarga
maupun orang di sekitar kita.
Ibadah apa yang dirasakan lebih rajin?
Shalat lima waktu, tadinya kadang-kadang suka nunda-nunda, sekarang insyaallah
tidaklah. Kalau bisa ke depan shalat lebih awal. Shalat sunnah yang dulunya tidak
dikerjakan, sekarang dikerjakan seperti shalat tahajud. Puasanya, senin kamis bisa
dilakukan. Makin banyak ibadah yang bisa saya lakukan, terasa semakin tenang.
Alhamdulillah, yang tadinya putus asa, sekarang berubah menjadi nikmat. Orang
bilang tenang ya dapat musibah, saya bilang ini bukan musibah, ini nikmat kok,
ini rizki saya. Kadang-kadang itu menjadi motivasi mereka.
Setelah tunanetra ada kecenderungan untuk menghadiri majlis taklim ga?
Keinginan ada, tapi suka bentrok. Saya pengen di mana ada majlis ilmu, saya
ingin datang. Setiap majlis ilmunya beda, walaupun materi sama, belum tentu
penjelasannya sama pula. Pasti dapat suatu ilmu yang baru. Tapi karena ada
aktivitas lain, atau kendala.
Frekuensinya sebelum dan sesudah tunanetra?
6
Ketika sesudah.. kalau dulu jujur jarang banget.
Dalam ibadah, untuk kecenderungan shalat lebih senang jamaah di masjid atau
mushalla atau sendiri di rumah?
Kalau masih baru-baru, lebih banyak di rumah. Kalau dulu 80% di rumah,
sekarang berkurang, banyak di luar ke masjid.
7
ABDUL RAHMAN KURNIAWAN
LAHIR DI JAKARTA 15 MARET 1983
Pendidikan formal gimana?
Tahun 1988 lulus SD, karena masuk SD 5 tahun.
Tinggal di daerah mana?
SD kelas 1 awal masuk di Jakarta, Gambir. Lalu pindah ke sini nerusin di sini. Di
sana Cuma 3 atau 6 bulan saya pindah ke sini.
Setelah lulus SD Pamulang Timur 2 melanjutkan ke mana?
Ke SMP, sekarang namanya SMP 1, dulu namanya SLTPN 2. Domisili di
Pamulang.
Ketika duduk di bangkus SMP, pernah menjadi pengurus organisasi g?
Tidak. Saya ikut, kelompok ilmiah remaja atau KIR. Kalau yang lain tidak.
Lulus tahun?
1997
Masuk SMU mana?
SMU 1 Ciputat. Di dekat PG 56, belakang stadiun.
Kemudian masuk ke universitas?
Angkatan 2000, saya paling mudah di ITI. Namanya FTT_TT ada penjurusan lagi
setelah semester 6. Kita dibagi dua, industry pertanian dan bioteknologi, saya
ngambil yang bioteknologi.
Berapa tahun kuliah?
2004 saya sakit, 7 semester.
Selama 3,5
8
Saya tergaung dalam HMTTIT, saya kabid 2 membawahi mental dan spiritual,
salah satu kegiatannya studi lingkungan. Rohani islam, keputrian, dan lain
sebagainya. Kalau di MPM, utusan dari tiap-tiap himpunan jurusan.
Sudah sampai skripsi belum?
Belum, lagi kerja praktek atau KKN di salah satu perusahaan swasta di pulo
gadung, perusahaan ban.
Kuliah berhenti karena sakit apa?
Saat kerja praktek, lokasinya panas, kawasan industry, debu banyak. Di sana
mulai terasa seperti hilang keseimbangan, pusing, mual. Wah ini kecapean. Ini
akumulasi, ditambah adik saya kena cacar. Saya belum pernah kena cacar, kena
pas adik. Saya piker cacar saja. Cacar sembuh mual tidak hilang, saya piker
jangan-jangan efek dari kawasan industry. Saya ke dokter, di vonis tumor otak,
ada gumpalan di otak. Saya masuk rumah sakit tidak sadar, langsung dioperasi.
Operasi pertama di RSCM, pemakaian selang. Treatmen awal memang seperti itu.
Dari kepala sampai ke bawah perut, untuk mengalirkan cairan yang kumpul di
otak.
Ketika itu belum ada tanda-tanda menjalar ke mata atau belum?
Belum. Menurut nalar saya, mata itu tidak buta karena seperti itu. Kalau
kecelakaan mungkin, tapi kalau penyakit tidak seperti itu. Allah
mendatangkannya perlahan. Ibrahnya banyak, iktibarnya banyak. Waktu itu saya
digolongkan pasien akut, tumor otak stadium 2.
Masih di tahun 2004, bulan april. Saya dioperasi tanggal 24 april.
Setelah operasi, dampak perubahaan fisik?
Semua syaraf terganggu, semua. Sebab gangguan ada di kepala, pusat syaraf.
Penglihatan, hidung, pengecap/lidah, pendengaran, penciuman, bahkan peraba.
Kelima indra semua terganggu. Lalu lambat laun tidak sampai 2 bulan, berangsur-
angsur pulih yang lain, tinggal yang satu, mata. Tidak bisa ditolong. Ada yang
bilang ini gejala normal, gejala setelah dioperasi semua badan tidak enak.
9
Ketika indra yang lain normal, tapi mata belum apa langkah yagn diambil?
Saya bersikeras, termasuk keluarga bahwa mata bisa sembuh. Saya balik ke
rumah sakit di jakarta selatan. Di sana saya dirujuk ke dokter mata untuk lebih
jelasnya. Meskipun dokter ahli syaraf tidak perlu, tapi bapak bersikeras mau tahu.
Kata dokter mata, sudah tidak bisa ditolong lagi.
Saat dokter mata mendiagnosa dokter mendiagnosa apa?
Tumor otak, merambat yang ada di otak kecil yang menyebabkan cairan ke
bawah. Nomarlnya tiap orang ada cairan 5 cc. Tapi karena saya ada tumornya,
berlebih, produksi terus tapi distribusi tidak jalan. Cairan berkumpul di otak,
menekan otak saya.
Saat tidak bisa melihat, apakah secara total atau menurun secar aperlahan?
Dalam jangka 40 hari dari masuk rumah sakit sampai buta turun perlahan-lahan.
Kejadiannya tepatnya?
April 2004. Kira-kira bulan Juni selesai.
Bagaimana perasaan anda setelah ada vonis dari dokter?
Wah ini kondisinya lucu. Keadaan terang ke gelap, saya merasa aneh, bingung,
takut. Tidak biasa. Tapi satu yang saya anggap lucu. Kok gini ya rasanya, saya
buka mata tapi tidak ada cahaya. Saya pegang sesuatu, merasakan teksturnya tapi
tidak terlihat. Saya merasa yakin bisa sembuh.
Masih berobat ya?
Iya, tapi tidak ke dokter mata. Karena sudah bilang tidak ada obat untuk
menyembuhkan lagi. Kalau ke rumah sakit, berobat untuk tumornya.
Bagaimana sikap keluarga, ada tidak yang memberikan motivasi dengan nasehat
keagamaan atau yang lainnya?
Tidak keluarga aja sih, orang sekitar juga. Ini kehendak allah, berserah pada allah,
berusaha menjadi manusia lebih baik.
10
Dari keluarga, siapa yang lebih sering ngasih motivasi?
Orang tua.
Nasehat apa yang diingat?
Sabar. Terus bersyukur,
11
EDI MARYADI
SAYA LAHIR DI JAKARTA, 15 MARET 1969
Di rumah di panggil adi, karena nama bapak saya ada edinya juga, biar ga
bingung. Pendidikan pertama 1976 SDN 06 Menteng Dalam. Kurang lebih usia 7
tahun. Dulu kan harus 7 tahun baru bisa masuk SD. Kalau TK saya tidak, karena
waktu itu TK hanya buat orang-orang kayaMasuk SMP 1983, saya agak lupa 145.
Saat SMP pernah aktif di organisasi?
Di organisasi saya nggak pernah ikut. Sampai lanjutan di STM tidak ikut. Kecuali
di rumah.
Lulus SMP 1987, setelah itu masuk masuk STM PGRI 2 Kebon Sereh, sakarang
pisangan baru, jakarta timur dekat Jatinegara. Waktu itu pas seleksi fisik, kurang
baik saya tidak diterima di negeri. Lulus 1990.
Setelah selasi STM?
Saya masuk IKIP rawamangun, dulu fakultas ada embe-embel fakultas pendidikan
teknologi dan kejuruan, kayak pkk, tata boga tata busana, saya masuk jurusan
teknik industri. Lulus 1998.
Saat di kampus pernah aktif di organisasi?
Waktu kecil-kecilan. Dulu namanya HIMA, HMJ. Saya paling jadi bagian
anggota perlengkapan. Saya pernah di Senat, di bidang minat dan bakat. Pernah
juga ikut organisasi peminat mahasiswa, pernah menjadi petugas perpustakaan,
humas, pernah jadi ketuanya.
Pas tahun kedua saya kuliah aktif di HIMA, sekitar tahun 1992. Sebelumnya
hanya sekedar jadi panitia, belum masuk organisasinya.
Kalau Senat tahun 1995.
Semua itu masuk organisasi intra kampus. Kalau HMI kan di luar, ekstra.
setelah kuliah 1998, aktivitas apa yang dilakukan?
12
Itu puncak krisis, reformasi, saya waktu itu berpikir jangankan masuk kerja, kan
banyak orang di PHK, ngapain juga ngelamar. Saya coba ternak ikan kecil-
kecilan, wirausaha. Tapi tidak berjalan lama, sekitar 6 bulan. Waktu kuliah pun
saya bisa photo, tingkatan 3 M (makasih, makasih, makasih), bantu teman saja.
Waktu itu saya tidak punya peralatan, tidak bisa secara serius terjun. Kalau lagi
ada teman yang suruh bantu, saya mulai ikut sama dia. Lama juga, sampai 1999.
Saya mulai kerja di tempat yang marketing researt sebagai interviewer, 2 tahun.
Sampai saya keserang mata. Karena persoalan mata, saya tidak bisa baca, saya
tidak di sana lagi.
Kerja 1999 sampai 2001 untk formalnya, namanya?
DK Marketing Research, sebagai pewancara.
Itu untuk research produk-produk, waktu itu lebih banyak produk univeler. Seperti
sampo lifeboy. Kalau ada produk, bagiamana respon responden. Bagaimana
pemakaian. Quisener. Kadang-kadang turun ke lapangan, atau ke daerah, balai
desa atau apa, kita undang orang sekitarnya untuk dijadikan responden, kita kasih
produk untuk dipakai terus ditanya.
Berhenti karena adalah masalah mata, bagaimana awal mulai kena mata?
Waktu itu perlahan-lahan.
Proses awal tunanetra, mulai kerasanya kan tahun 2001 terus gimana?
Berobat ya aja. Awalnya keserang ke dokter mata. Itu pun sudah selang seminggu.
Mata saya udah mulai enakan, tapi ada hitam di putih mata saya saya. Saya
periksa itu, di kasih obat. Dianjurin ke rumah sakit ini ga, saya bilang saya ke sini
karena ga kuat biayanya. Sebulan kemudian, keserang lagi, mulai sakit lagi.
Seminggu kemudian sembuh, 2 minggu lagi keserang lagi. Waktunya tidak
ketahuan. Lama-lama intensitas mata turun. Saya bilang dari mulai bisa berapa
meter, sampai blank tahun 2003. Sebelumnya berobat jalan ke aini selama 4 bulan
atas anjuran supervisor saya. Dikasih obatnya itu-itu saja, penghilatan tambah
turun. Karena biaya sudah distop, stok obat masih banyak, ketika obat habis mulai
keserang. Dengan pake biay ateman, saya ke aini, dirujuk ke RSCM, biaya murah,
13
biar mudah ke mana-mana. Sekitar 5 bulan dengan terapi sama, obat minum dan
tetes. Tapi penghilangan terus menurun. Diagnosanya kekebalan tubuh saya
menyerang ke mata, mata jadi keruh. 2003 awal saya sudah tidak ke dokter.
Alternatif pernah nyoba tapi ga lama, itu juga ga bisa rutin.
Divonis tunanetra total tahun berapa?
Tidak ada dari dokter. Pindah rumah dari cibinong masih low vision, huruf kecil
harus pake kaca pembesar, sampai jadi total.
Mengalami low vision dari tahunb erapa?
2001 sampai 2002 bulan april tahu-tahu drop, buram saat awal piala dunia korea
jepang. Terakhir dari aini saya disuntik, mata saya pas final piala dunia masih
lihat gambar tv walaupun tidak begitu jelas. 2002 akhir tambah buram, udah
mengarah ke total, kelihatan terang tapi gak jelas. Hanya cahaya terang,
bentuknya sudah tidak kelihatan.
Bagaimana perasaan saat mengalmai buta total?
Karena tidak terlalu kaget karena perlahan, saya kecewa tapi tidak terlalu berat.
Ada pertanyaan kenapa saya kok begini. Saya waktu itu masih menentang kalau
saya orang buta. Seperti ada teman yang nawarin obat alternatif.
Karena ada harapan sembuh dari alternatif ya?
Dari 2005, saya harus belajar jadi orang buta.
Saat menjadi tunanetra ada tidak dari keluarga, lingkungan sekitar atau teman
yang memberikan motivasi agar menjalnai hidup dengan semangat?
Teman-teman saya, motivasinya tidak secara langsung. Datang ke tempat saya,
bilang sabar lah.
Itu dari teman-teman kampus?
Teman rumah, teman kampus. Awalnya saya dibantu oleh teman-teman saya dari
segi keuangan.
14
Kalau dari media massa, saat nyetel radio, tv, saat ada nasehat ada ga
pengaruhnya?
Ada kali ya. Misalnya ceramah tentang hal yang baik.
Dari pihak keluarga bagaimana?
Pas saya mulai buta netral, ibu bapak sudah meninggal.
Kalau saudara?
Kalau ama saudara tidak begitu memperhatikan kalau saya memiliki masalah
dengan mata. Mereka sepertinya juga tidak begitu tahu, kalau saya sudah jadi
tunanetra.
Ada ga ngasih motivasinya dari sudut pandang agama?
Kalau dijawab ga, bolehkan.
Kalau ada dari mana?
Dari teman-teman rumah dan kuliah.
Kalau nyetel radio, lebih banyak nyetel apa?
Awal-awalnya, variasi. Ada jamnya. Saya suka ceramah-ceramah, saya dengerin
musik.
Dari ceramah agama ada tidak nilai yang membangkitkan semangat?
Ada juga. Ada nilai sufinya juga. Yang tertanam dari materi yang disampaikan.
Ada ceramah radio yang paling membekas yang membangkitkan semangat?
Tidak tahu deh. Mungkin ada. Kesendirian saya di cibinong, kadang-kadang
dengerin yang ringan. Saya pernah dengerin siwo tentang kesufian. Lebih ke sisi
kemanusiaannya.
Untuk ibadah, ketika sebelum dan sesudah tunanetra ada perbedaannya ga?
15
Banyakperubahan. Saya akui banyak. Awalnya dulu pernah saat smp sma tidak
shalat sering juga. Kuliah juga, awalnya belum bisa 5 waktu apalagi subuhnya.
Lebih banyak bolongnya. Sekarang alhamdulillah bisa 5 waktu.
Selain 5 waktu, ada ibadah tambahan ga?
Tidak terlalu banyak. Paling kadang-kadang, karena berat juga. Kalau bangun
malam, ada rasa mulai ga nyaman.
Setelah tunanetra, keinginan hadir di majlis taklim atau ceramah keagamaan
gimana?
Awalnya biasa-biasa saja. Waktu itu saya berpikir hanya bisa baca al-qur’an, tidak
berpikir ikut pengajian.
Dari teman-teman, ada pengaruhnya ga?
Waktu itu awal-awal, saya tidak banyak interaksi dengan teman-teman saya.
Karena pas saya pindah di cibinong, mereka pernah maen juga. Kalau masalah
keagamaan, tidak begitu banyak. Lebih sering ngobrol-ngobrol biasa.
Saya mengalir saja. Kadang-kadang saya merasa ada Allah, pada saat saya perlu
kayaknya ada. Kayaknya lebih disayangi aja gitu. Misalnya berapa klai saya
sudah mendekati total, saya belum pake tongkat. Kalau jalan, mau belok, gimana
caranya. Kadang-kadang ada tukang somay, itu seakan-akan pertolongan dari
Allah. Hal-hal kecil lah, tapi saya merasa ada sesuatu.
Yang membuat anda semangat hidup, ada tujuan atau apa?
Ya itu tadi, mengalir saja, anggap enteng aja. Dari mulai belum total, saya juga
sudah begitu. Waktu SD saya mikir saya ga berpikir bisa ke SMP, begitu
seterusnya. Waktu kuliah juga demikian, apa bisa lulus. Saya jalaninya, ternyata
bisa juga. Makanya saja biarkan mengalir saja.
Bahkan sampai sekrang berumah tangga pun saya anggap biasa saja.
Kalau giat beribadah, mungkin saja berharap semoga allah memberi apa gitu?
16
Kalau saya berdoa, biar mata saya bisa ngelihat lagi. Tapi lama-lama saya nggak
minta itu lagi, tapi yang terbaik saja buat saya. Dulu tiap habis shalat selalu minta
bisa lihat lagi.
Saat bergaul dengan tunanetra yang banyak beribadah gimana?
Itu jelas. Dulu saya sering ibadah sendiri. Pas lagi ramadhan, aura ibadahnya lebih
gede. Saya bilang 3 tahun di sana itu sendiri, pas punya temen seneng banget.
Bisa ngobrol, bisa membicarakan sesuatu dan segala macam.
17
AGUS SUHARYONO
TANGERANG 2 OKTOBER 1972
Nama desanya
Kelurahanlarangan indah, kecamatan larangan, kota tangerang
Awal masuk sekolah?
SD 1979 usia 7 tahun, dulu SD 1 larangan lulus 1985. Trus SMP 245 Jakarta
daerah kembangan, lulus 1988. Masuk SMA, kelas satu langsung sakit.
Anda berapa bersaudara?
9, putri 5 putra 5 anak yang ke-6.
Penyebab ketunanetraan, kalau bisa diulang?
Pertama, menurut dokter syaraf. Tidak bisa dipertahankan, lalu saya ke alternatif,
gagal-gagal juga. Karena saya kurang kontinu berobatnya.
Tunanetra total sekitar 2008.
Ketika berproses, menjadi low vision ada perasaan gimana?
Saya tidak terlalu cemas, karena bisa jalan. Cemas plas ngeblank, bingung karena
ga bisa apa-apa.
Saat mengalami total, bagaimana peran keluarga dalam membangkitkan semangat
hidup?
Santai saja, karena saya mandiri. Ke mitra saja sendiri. Mulai penurunan yang
tahu Cuma saya. Keluarga tidak ada yang saya kasih tahu.
Apa-apa saya mandiri, tidak terlalu bergantung pad aorang tua. Ibu juga sudah
tidak ada.
Keluarga tahunya dari dulu hanya penurunan, plas ngeblank baru aja.
Saat tunanetra total gimana?
18
Bingung, mau keluar aja takut.
Itu kan untuk mengenal lingkungan. Kalau mikir masa depan, ada yang
dipikirkan?
Saya yakin sama tuhan, pasti kuat. Allah pasti sudah menyiapkan segala
kebutuhan sesuai dengan kemampuan dia. Kalau bergaul, saya kurang. Karena
dulu saya kan bergaul dengan orang awas.
Sikap keluarga biasa saja, saya bingung beraktivitas saja. Say apaling ngobrol
dengan adik-adik, teman-teman.
Kalau dari pihak tetangga, teman ada yangmemerikanmotivasi?
Tetangga pun tidak tahu kalau saya total. Mereka tahu pas saya ke mitra pake
tongkat. Mereka tahunya saya tidak bisa baca huruf kecil.
Saat mereka tahu anda total, ada yagn memberikan nasehat ga?
Paling mereka hanya negur saja, seperti mau ke mana? Jangan jauh-jauh.
Kalau ngaji itu kan kecil aja.
SD kelas 6 shalat sudah nggak pernah putus, walaupun tidak tepat waktu.
Kalau agama mendapatkan pengetahuan dari waktu kecil?
Betawi pinggiran, ngaji ga pernah
Kalau pas tunanetra?
Dari radio.
Kalau di tv, suka dengerin g?
Kurang, paling kalau puasa ada tafsir al-misbah M. Quraish Shihab.
Ketika awal tunanetraan total, saat dengar ceramah di radio atau tv ada yang
membangkitkan semangat hidup?
19
Jelas donk. Sebelumnya kita kan tahu, Tuhan pasti menciptakan kebutuhannya.
Ada ayat yang mengatakan kita diuji dengan ketakutan, kekurangan pangan, dan
lain sebagainya. Sama saja kok, paling ribet jalannya.
Ada ceramah yang berkesan g di radio?
Kalau allah diuji dengan mata, janjinya surge. Ada saya pernah denger, alqur’an
juga. Yang penting sabar aja, kalau baru-baru memang sering protes.
Kalau pengen sesuatu suntuk, dulu langsung bila keluar.
Kalau ada majils taklim, mauled, isra mi’raj, pernah ikut?
Belum, baru focus di mitra aja ke mahfufin. Kalau bergabugn dengan orang lain
belum pede
Keinginan sih ada, belum pd aja. Kita merasa ngerepotin orang, tidak semua
orang bisa menerima. Kalau sama tunanetra bisa saling membantu.
Saat low vision, suka pengajian?
Saya aktif di ikatan remaja, mauled, tujuh belasan, saya dulu wakil ikatan remaja
di sini.
Berubah dari awas ke low vision, terus ke total, dari dimensi ibadah ada
pengaruh?
Ketika total, 2002-2003, lebih banyak di rumah ibadah. Low vision masih bandel.
Sekarang yang ada manfaatnya aja, kaya pengajian di mitra. Duitnya juga saying
kalau Cuma maen doing.
Peningkatan ibadah gimana?
Sebelum tidur shalat, dhaha selalu berjalan, kalau puasa belum, g kuat nahan lapar
sama rokok.
Kalau shalat 5 waktu ada perubahan?
Tidak pernah ninggalin, paling kalau jalan-jalan lupa. Alhamdulillah tidak pernah
lewat. Kalau shalat malam agak berat, karena suka bedagang.
20
Apa yang diharapkan dari Allah?
Mau pegangan sama siapa lagi? Kalau tidak sama Allah sama siapa lagi. Kalau
dating ke mitra dan mahbubin, banyak dipertemukan dengan orang-orang yang
baik. Berpegang tegu kepada Allah, adalah bagaimana kita menjadi kuat.
Setelah ikut pengajian, ada pengaruh dalam semangat hidup?
Jelas, kita tidak sendiri. Tuhan pasti menciptakan teman. Ibadah juga demikian,
peningkatan lebih mendalam.
Kalau sekarang suka shalat sunnah?
Kalah rawatib, itu masih agak berat. Kalau puasa tidak, karena tidak tergesa-gesa.
Banyak orang yang panik, bagaimana masa depan. Padahal bisa lihat dan tidak
lihat juga bingung.
Kalau shalat lebih sering di mana?
Di rumah. Mushalla deket, tapi setelah buta total lebih sering di masjid. Kalah
Jum’at pasti di masjid. Kalau 5 waktu di rumah terus, kurang terbiasa di mushalla.
Kalau dulu maghrib pasti ke mushalla, sekarang agak males. Adaptasi masih
kurang pede.
Selain shalat, ibadah apa lagi yang sering dilakukan setelah tunanetra?
Lebih cenderung tasawuf, mendekatkan diri.