penyakit kolesteoma
DESCRIPTION
kolesteomaTRANSCRIPT
KOLESTEATOMA
Modul Penyakit
Standard Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
Tahun 2012
Oleh:
POCUT INDAH SAFITRI1107101010053
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM BANDA ACEH
TAHUN 2015
KOLESTEATOMA
A. Definisi
Kolesteatoma adalah kista epitelial yang berisi deskuamasi epitel (keratin).
Istilah kolesteatoma mulai diperkenalkan oleh Johannes Muller pada tahun 1838.
Kolesteatoma terdiri dari epitel skuamosa yang terperangkap di dalam basis cranii.
Pada dasarnya, Kolesteatoma terdiri dari dua bagian, yaitu matriks, yang terdiri
dari epitel skuamosa berkeratin yang bertumpu pada stroma jaringan ikat, dan
central white mass, yang terdiri dari debris keratin yang dihasilkan oleh matriks.
(1,2)
Epitel skuamosa yang terperangkap di dalam tulang temporal, telinga
tengah, atau tulang mastoid memperluas diri dengan mengorbankan tulang yang
mengelilinginya. Akibatnya komplikasi yang terkait dengan semakin
membesarnya kolesteatoma adalah termasuk cedera dari struktur-struktur yang
terdapat di dalam tulang temporal. (3)
B. Epidemiologi
Insidensi dari kolesteatoma sangat beragam, Amerika Serikat ditemukan
insidensi yang lebih rendah yaitu 7 kasus per 100.000 pertahunnya. Insiden
kolesteatoma dilaporkan 3: 100.000 pada anak dan 9,2: 100.000 pada dewasa.
Laki-laki lebih dominan dari perempuan dengan perbandingan 1,4: 1. Insidens
tertinggi kolesteatoma pada telinga tengah dijumpai pada usia kurang dari 50
tahun, dan insidens kolesteatom pada telinga luar umumnya dijumpai pada usia
40-70 tahun. Prevalensi tertinggi dijumpai pada ras kulit putih dan jarang
ditemukan pada ras Asia, Indian Amerika, dan populasi Eskimo di Alaska. (4)
C. Patogenesis
Patofisiologi kolesteatom eksterna sampai saat ini masih belum jelas. Teori
terbaru terdapat dua teori utama : (5)
1. Terdapat suatu trauma minor pada kulit liang telinga yang menimbulkan
reaksi inflamasi dan ulserasi, proses selanjutnya akan menyebabkan
terjadinya periosteitis dan nekrosis pada tulang di liang telinga. Epitel
skuamosa akan masuk (invasi) ke dalamnya dan berproliferasi, proses akhir
adalah akan terbentuk kolesteatom di daerah tersebut.
2. Proses penuaan pada epitel kulit liang telinga mengakibatkan aliran darah di
tempat tersebut berkurang, jaringan kulit akan mengalami hipoksia sehingga
proses normal migrasi epitel menurun. Terjadi penumpukkan sel epitel akan
menyebakan terbentuknya kolesteatom.
D. Klasifikasi
Kolesteatoma dapat dibagi atas dua jenis menurut etiologinya :
1. Kolesteatoma kongenital
Kolesteatoma kongenital terbentuk sebagai akibat dari epitel
skuamosa terperangkap di dalam tulang temporal selama embryogenesis,
ditemukan pada telinga dengan membran timpani utuh tanpa ada tanda-
tanda infeksi. Lokasi kolesteatoma biasanya di mesotimpanum anterior,
daerah petrosus mastoid atau di cerebellopontin angle. (1)
Gambar 1. Kolesteatoma kongenital
Penderita sering tidak memiliki riwayat otitis media supuratif kronis
yang berulang, riwayat pembedahan otologi sebelumnya, atau perforasi
membran timpani. Kolesteatoma kongenital paling sering diidentifikasi pada
anak usia dini (6 bulan – 5 tahun). Saat berkembang, kolesteatoma dapat
menghalangi tuba estachius dan menyebabkan cairan telinga tengah kronis
dan gangguan pendengaran konduktif. Kolesteatoma juga dapat meluas ke
posterior hingga meliputi tulang-tulang pendengaran dan, dengan
mekanisme ini, menyebabkan tuli konduktif. (3)
2. Kolesteatoma akuisital, jenis ini terbagi dua :
a. Kolesteatoma akuisital primer
Kolesteatoma yang terbentuk tanpa didahului oleh perforasi
membrana tymphani. Kolesteatoma timbul akibat proses invaginasi dari
membran tymphani pars flaksida karena adanya tekanan negatif di telinga
tengah akibat gangguan tuba (Teori Invaginasi). (1)
Gambar 2. Kolesteatoma pada daerah atik.
Kolesteatoma akuisital primer timbul sebagai akibat dari retraksi
membran timpani. Kolesteatoma akuisital primer klasik berawal dari
retraksi pars flaksida di bagian medial membran timpani yang terlalu dalam
sehingga mencapai epitimpanum. Saat proses ini berlanjut, dinding lateral
dari epitympanum (disebut juga skutum) secara perlahan terkikis,
menghasilkan defek pada dinding lateral epitympanum yang perlahan
meluas. Membran timpani terus yang mengalami retraksi di bagian medial
sampai melewati pangkal dari tulang-tulang pendengaran hingga ke
epitympanum posterior. Destruksi tulang-tulang pendengaran umum terjadi.
(3)
Jika kolesteatoma meluas ke posterior sampai ke aditus ad antrum dan
tulang mastoid itu sendiri, erosi tegmen mastoid dengan eksposur dura
dan/atau erosi kanalis semisirkularis lateralis dapat terjadi dan
mengakibatkan ketulian dan vertigo. Kolesteatoma akuisital primer tipe
kedua terjadi apabila kuadran posterior dari membran timpani mengalami
retraksi ke bagian posterior telinga tengah. Apabila retraksi meluas ke
medial dan posterior, epitel skuamosa akan menyelubungi bangunan-atas
stapes dan membran tympani terteraik hingga ke dalam sinus timpani.
Kolesteatoma primer yang berasal dari membran timpani posterior
cenderung mengakibatkan eksposur saraf wajah (dan kadang-kadang
kelumpuhan) dan kehancuran struktur stapes. (3)
b. Kolesteatoma akuisital sekunder
Merupakan kolesteatoma yang terbentuk setelah adanya perforasi
membran timpani. Kolesteatom terbentuk sebagai akibat masuknya epitel
kulit dari liang telinga atau dari pinggir perforasi membran tympani ke
telinga tengah (Teori Migrasi) atau terjadi akibat metaplasi mukosa kavum
tymphani karena iritasi infeksi yang berlangsung lama ( Teori Implantasi).
(1)
Kolesteatoma akuisital sekunder terjadi sebagai akibat langsung dari
beberapa jenis cedera pada membran timpani. Cedera ini dapat berupa
perforasi yang timbul sebagai akibat dari otitis media akut atau trauma, atau
mungkin karena manipulasi bedah pada gendang telinga. Suatu prosedur
yang sederhana seperti insersi tympanostomy tube dapat mengimplan epitel
skuamosa ke telinga tengah, yang akhirnya menghasilkan kolesteatoma.
Perforasi marginal di bagian posterior adalah yang paling mungkin
menyebabkan pembentukan kolesteatoma. Retraksi yang mendalam dapat
menghasilkan pembentukan kolesteatoma jika retraksi menjadi cukup dalam
sehingga menjebak epitel deskuamasi. (3)
E. Gambaran Klinis
Pasien dengan kolesteatoma akuisital umumnya menunjukkan gejala
otorrhea yang rekuren atau purulen persisten dan gangguan pendengaran. Gejala
tinitus juga sering dikeluhkan. Pada beberapa kasus, namun jarang terjadi, dapat
dijumpai juga vertigo, yang merupakan akibat dari proses inflamasi pada telinga
tengah, atau juga akibat dari erosi langsung dari labirin oleh kolesteatoma. Facial
nerve twitching, palsy, atau kelumpuhan saraf fasialis dapat juga muncul sebagai
akibat dari proses inflamasi atau kompresi mekanik pada saraf. (6)
Gejala khas dari kolesteatoma adalah otorrhea tanpa rasa nyeri, baik itu
terus-menerus maupun sering berulang. Apabila kolesteatoma terinfeksi, maka
infeksi tersebut akan sulit dihilangkan. Hal ini dikarenakan kolesteatoma tidak
memiliki suplai darah sehingga antibiotik sistemik tidak dapat mencapai pusat
infeksi. Oleh karena itu, untuk kolesteatoma yang terinfeksi dapat digunakan
antibiotik topikal, namun untuk area infeksi yang luas, kolesteatoma yang
terinfeksi umumnya resisten terhadap semua jenis antimikroba. Akibatnya, gejala
ottorhea akan tetap atau berulang walaupun sudah diberikan pengobatan yang
agresif. (3)
Pada pemeriksaan fisik pada kolesteatoma akuisital primer dapat dijumpai
retraksi dari pars flacidda di kebanyakan kasus, dan pars tensa pada sedikit kasus.
Pada kedua tipe retraksi akan berisi matriks epitel skuamosa dan debris keratin.
Temuan lainnya adalah otorrhea yang purulen, polip, jaringan granulasi, dan erosi
ossicular. Pada kolesteatoma akuisital sekunder, bila kolesteatoma berkembang
dari perforasi membran timpani, maka matriks epitel skuamosa dan debris keratin
pada umumnya dapat dilihat melalui perforasi. Bila kolesteatoma berkembang
dari implantasi dari epitel skuamosa pada prosedur operasi atau perforasi yang
telah menutup, maka membrani akan tampak normal. (6)
Pada kasus kolesteatoma kongetinal, gejala klinis sangat tergantung dari
letak kolesteatom, ukuran dan komplikasi yang ditimbulkanya. Kolesteatom yang
terbatas pada kuadran anterosuperior dari membran timpani tidak menimbulkan
gejala atau asimptomatis. Gejala dapat muncul jika terjadi perluasan atau
menyebabkan kerusakan pada daerah sekitarnya. Gejala klinis yang timbul dapat
berupa gangguan pendengaran, otitis media efusi, gangguan keseimbangan,
kelumpuhan saraf fasialis, fistula retroaurikuler, maupun gejala akibat perluasan
ke intrakrania. (6)
F. Diagnosis
Diagnosis Kolesteoma dibuat berdasarkan gejala klinik dan pemeriksaan
THT terutama pemeriksaan otoskopi. Pemeriksaan penala merupakan
pemereriksaan sederhana untuk mengetahui gangguan pendengaran. Untuk
mengetahui jenis dan derajat gangguan pendengaran dapat dilakukan pemeriksaan
audiometric nada murni, audiometric tutur (speech audiometric), dan pemeriksaan
BERA (brainstem evoked response audiometric) bagi pasien anak yang tidak
koperatif dengan pemeriksaan audiometric nada murni. (1)
Berdasarkan gejala klinik didapatkan pasien mengeluh: (1)
- penurunan kemampuan mendengar
- otorrhea, biasanya kuning dan berbau tidak enak
- otalgia
- obstruksi nasal
- tinnitus, intermiten dan unilateral
- vertigo
Didapatkan juga riwayat penyakit sebelumnya seperti : (1)
- otitis media kronik
- perforasi membran timpani
- operasi telinga sebelumnya
Pada pemeriksaan otoskopi pasien dengan kolesteatoma dapat ditemukan : (1)
- perforasi tipe marginal atau atik
- terdapat kolesteatoma di liang telinga tengah (epitimpanum)
- abses atau fistel retroaurikuler (belakang telinga) pada kasus lanjut
- polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar (berasal dari telinga
tengah)
- secret berbentuk nanah dan berbau khas (aroma kolesteatoma)
Pemeriksaan Pencitraan
CT scan merupakan modalitas pencitraan pilihan karena CT scan dapat
mendeteksi cacat tulang yang halus sekalipun. Namun, CT scan tidak selalu bisa
membedakan antara jaringan granulasi dan kolesteatoma. Densitas kolesteatoma
dengan cairan serebrospinal hampir sama, yaitu kurang-lebih -2 sampai +10
Hounsfield Unit, sehingga efek dari desakan massa itu sendirilah yang lebih
penting dalam mendiagnosis kolesteatoma. (1) Defek yang dapat dideteksi dengan
menggunakan CT scan adalah sebagai berikut:
a. erosi skutum
b. fistula labirin
c. cacat di tegmen
d. keterlibatan tulang-tulang pendengaran
e. erosi tulang-tulang pendengaran atau diskontinuitas
f. anomali atau invasi dari saluran tuba
Gambar 3. CT scan yang menggambarkan erosi tulang dan kolesteatoma
MRI digunakan apabila ada masalah sangat spesifik yang diperkiraka
dapat melibatkan jaringan lunak sekitarnya. Masalah-masalah ini termasuk yang
berikut:
a. keterlibatan atau invasi dural
b. abses epidural atau subdural
c. Herniasi otak ke rongga mastoid
d. Peradangan pada labirin membran atau saraf fasialis
e. trombosis sinus sigmoid
G. Terapi
Terapi Medis
Terapi medis bukanlah pengobatan yang sesuai untuk kolesteatoma. Pasien
yang menolak pembedahan atau karena kondisi medis yang tidak memungkinkan
untuk anestesi umum harus membersihkan telinga mereka secara teratur.
Pembersihan secara teratur dapat membantu mengontrol infeksi dan dapat
memperlambat pertumbuhan kolesteatom, tapi tidak dapat menghentikan ekspansi
lebih lanjut dan tidak menghilangkan risiko komplikasi. Terapi antimikroba yang
utama adalah terapi topikal, akan tetapi terapi sistemik juga dapat membantu
sebagai terapi tambahan. (1)
Antibiotik oral bersama pembersihan telinga atau bersama dengan tetes
telinga lebih baik hasilnya daripada masing-masing diberikan tersendiri.
Diperlukan antibiotik pada setiap fase aktif dan dapat disesuaikan dengan kuman
penyebab. Antibiotik sistemik pertama dapat langsung dipilih yang sesuai dengan
keadaan klinis, penampilan sekret yang keluar serta riwayat pengobatan
sebelumnya. Sekret hijau kebiruan menandakan Pseudomonas , sekret kuning
pekat seringkali disebabkan oleh Staphylococcus, sekret berbau busuk seringkali
disebabkan oleh golongan anaerob. (7)
Kotrimokasazol, Siprofloksasin atau ampisilin-sulbaktam dapat dipakai
apabila curiga Pseudomonas sebagai kuman penyebab. Bila ada kecurigaan
terhadap kuman anaerob, dapat dipakai metronidazol, klindamisin, atau
kloramfenikol. Bila sukar mentukan kuman penyebab, dapat dipakai campuran
trimetoprim-sulfametoksazol atau amoksisillin-klavulanat. Antibitotik topikal
yang aman dipakai adalah golongan quinolon. Karena efek samping terhadap
pertumbuhan tulang usia anak belum dapat disingkirkan, penggunaan ofloksasin
harus sangat hati-hati pada anak kurang dari 12 tahun. (7)
Pembersihan liang telinga dapat menggunakan larutan antiseptik seperti
Asam Asetat 1-2%, hidrogen peroksisa 3%, povidon-iodine 5%, atau larutan
garam fisiologis. Larutan harus dihangatkan dulu sesuai dengan suhu tubuh agar
tidak mengiritasi labirin setelah itu dikeringkan dengan lidi kapas. (7)
Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan bertujuan untuk mengeluarkan kolesteatoma. Dalam
keadaan tertentu, ahli bedah dapat membuat keputusan untuk menggunakan teknik
canal wall up atau canal wall down. Jika pasien memiliki beberapa episode
kekambuhan dari kolesteatoma dan
keinginan untuk menghindari
operasi masa depan, teknik canal
wall down adalah yang paling
sesuai.
Beberapa pasien tidak dapat
menerima tindakan canal-wall
down.Pasien tersebut dapat diobati
dengan tertutup (canal wall-up),
asalkan mereka memahami bahwa
penyakit lebih mungkin kambuh dan mereka mungkin membutuhkan beberapa
serial prosedur pembedahan. (7)
Meskipun semua kelebihan dan kekurangan kedua teknik operasi itu
menjadi relatif di tangan ahli bedah yang berpengalaman, tiap ahli bedah telinga
mempunyai alasan sendiri mengapa memilih satu teknik dari teknik yang lain. Hal
yang jelas berbeda adalah bahwa timpanoplasti dinding utuh (canal wall-up)
berusaha maksimal mempertahankan bentuk fisiologis liang telinga dan telinga
tengah. (7)
Mastoidektomi radikal dengan timpanoplasti dinding runtuh
Mastoidektomi radikal klasik adalah tindakan membuang seluruh sel-sel
mastoid di rongga mastoid, meruntuhkan seluruh dinding kanalis akustikus
eksternus posterior, pembersihan total sel-sel mastoid yang memiliki drainase ke
kavum timpani. Inkus dan malleus dibuang, hanya stapes yang dipertahankan.
Begitu pula seluruh mukosa kavum tympani. (1,7)
Timpanoplasti dinding runtuh merupakan modifikasi dari mastoidektomi
radikal, bedanya adalah mukosa kavum timpani dan sisa tulang-tulang
pendengaran dipertahankan setelah proses patologis dibersihkan. Tuba eustachius
tetap dipertahankan dan dibersihkan agar terbuka. Kemudian kavitas operasi
ditutup dengan fasia m.temporalis baik berupa free fascia graft maupun berupa
jabir fasia m.temporalis, dilakukan juga rekonstruksi tulang-tulang pendengaran.
(7)
H. Komplikasi
Komplikasi yang terkait dengan semakin membesarnya kolesteatoma adalah
termasuk cedera dari struktur-struktur yang terdapat di dalam tulang temporal.
Kadang-kadang, kolesteatomas juga dapat keluar dari batas-batas tulang temporal
dan basis cranii. Komplikasi ekstrarempotal dapat terjadi di leher, sistem saraf
pusat, atau keduanya. Kolesteatomas kadang-kadang menjadi cukup besar untuk
mendistorsi otak normal dan menghasilkan disfungsi otak akibat desakan massa.
(3)
Daftar Pustaka
x
1. Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
2.Dhingra PL, Dhingra S. Disease of Ear, Nose & Throat 6th , editor. Bombai: El Sevier India; 2013.
3.Ronald P. Middle ear, Cholesteatoma. Emedicine; 2009.
4.Barath K, Huber AM, Stampfli P, Varga Z, Kolias S. Neuroradiology of Cholesteatomas. AJNR. 2011.
5.Edward Y, Amri D. Penatalaksanaan Kolesteatom Eksterna. Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Leher Kepala; 2011.
6.Lalwani AK. Current Diagnosis & Treatment in Otolaryngology - Head & Neck Surgery Phoenix: McGraw Hill; 2007.
7.Peng P. Ilmu THT Esensial. 5th ed. Jakarta: EGC Kedokteran; 2011.
x