peningkatan kwalitas hidup penderita thalasemia

23
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Thalasemia Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut. Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya (Ganie, 2005). Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009). Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin. Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa (α) dan 2 rantai beta (β) yang meliputi HbA (α2β2 = 97%), sebagian lagi HbA2 (α2δ2 = 2,5%) sisanya HbF (α2ƴ2 = 0,5%). 6

Upload: suciie-dwi-n

Post on 06-Nov-2015

30 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

pdf

TRANSCRIPT

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Thalasemia

    Thalasemia berasal dari bahasa Yunani yaitu thalasso yang berarti laut.

    Pertama kali ditemukan oleh seorang dokter Thomas B. Cooley tahun 1925 di

    daerah Laut Tengah, dijumpai pada anak-anak yang menderita anemia dengan

    pembesaran limfa setelah berusia satu tahun. Anemia dinamakan splenic atau

    eritroblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama

    penemunya (Ganie, 2005).

    Thalasemia adalah suatu penyakit keturunan yang diakibatkan oleh

    kegagalan pembentukan salah satu dari empat rantai asam amino yang

    membentuk hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak terbentuk sempurna. Tubuh

    tidak dapat membentuk sel darah merah yang normal, sehingga sel darah merah

    mudah rusak atau berumur pendek kurang dari 120 hari dan terjadilah anemia

    (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam.M. 2009).

    Hemoglobin adalah suatu zat di dalam sel darah merah yang berfungsi

    mengangkut zat asam dari paru-paru ke seluruh tubuh, juga memberi warna merah

    pada eritrosit. Hemoglobin manusia terdiri dari persenyawaan hem dan globin.

    Hem terdiri dari zat besi (Fe) dan globin adalah suatu protein yang terdiri dari

    rantai polipeptida. Hemoglobin pada manusia normal terdiri dari 2 rantai alfa ()

    dan 2 rantai beta () yang meliputi HbA (22 = 97%), sebagian lagi HbA2 (22

    = 2,5%) sisanya HbF (22 = 0,5%).

    6

  • 7

    Gambar 1. Rantai hemoglobin.

    Sumber : Virginia 2007.

    Rantai globin merupakan suatu protein, maka sintesisnya dikendalikan oleh

    suatu gen. Dua kelompok gen yang mengatur yaitu kluster gen globin- terletak

    pada kromosom 16 dan kluster gen globin- terletak pada kromosom 11. Penyakit

    thalasemia diturunkan melalui gen yang disebut sebagai gen globin beta. Gen

    globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk

    hemoglobin. Gen globin beta hanya sebelah yang mengalami kelainan maka

    disebut pembawa sifat thalassemia-beta. Seorang pembawa sifat thalassemia

    tampak normal atau sehat, sebab masih mempunyai 1 belah gen dalam keadaan

    normal dan dapat berfungsi dengan baik dan jarang memerlukan pengobatan.

    Kelainan gen globin yang terjadi pada kedua kromosom, dinamakan penderita

    thalassemia mayor yang berasal dari kedua orang tua yang masing-masing

    membawa sifat thalassemia. Proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah

    gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi dari ayahnya. Satu dari orang tua

    menderita thalasemia trait/bawaan maka kemungkinan 50% sehat dan 50%

    thalasemia trait. Kedua orang tua thalasemia trait maka kemungkinan 25% anak

    sehat, 25% anak thalasemia mayor dan 50% anak thalasemia trait (Ganie. R.A,

    2008).

  • 8

    Gambar 2. Skema Penurunan Gen Thalassemia menurut Hukum Mendel.

    Sumber : Ganie.R.A, 2008

    2.2.1. Klasifikasi Thalasemia

    Thalasemia diklasifikasikan berdasarkan molekuler menjadi dua yaitu

    thalasemia alfa dan thalasemia beta.

    1. Thalasemia Alfa

    Thalasemia ini disebabkan oleh mutasi salah satu atau seluruh globin rantai

    alfa yang ada. Thalasemia alfa terdiri dari :

    a. Silent Carrier State

    Gangguan pada 1 rantai globin alfa. Keadaan ini tidak timbul gejala sama

    sekali atau sedikit kelainan berupa sel darah merah yang tampak lebih pucat.

    b. Alfa Thalasemia Trait

    Gangguan pada 2 rantai globin alpha. Penderita mengalami anemia ringan

    dengan sel darah merah hipokrom dan mikrositer, dapat menjadi carrier.

  • 9

    c. Hb H Disease

    Gangguan pada 3 rantai globin alfa. Penderita dapat bervariasi mulai tidak

    ada gejala sama sekali, hingga anemia yang berat yang disertai dengan

    perbesaran limpa.

    d. Alfa Thalassemia Mayor

    Gangguan pada 4 rantai globin alpha. Thalasemia tipe ini merupakan kondisi

    yang paling berbahaya pada thalassemia tipe alfa. Kondisi ini tidak terdapat

    rantai globin yang dibentuk sehingga tidak ada HbA atau HbF yang

    diproduksi. Janin yang menderita alpha thalassemia mayor pada awal

    kehamilan akan mengalami anemia, membengkak karena kelebihan cairan,

    perbesaran hati dan limpa. Janin ini biasanya mengalami keguguran atau

    meninggal tidak lama setelah dilahirkan.

    2. Thalasemia Beta

    Thalasemia beta terjadi jika terdapat mutasi pada satu atau dua rantai globin

    beta yang ada. Thalasemia beta terdiri dari :

    a. Beta Thalasemia Trait.

    Thalasemia jenis ini memiliki satu gen normal dan satu gen yang bermutasi.

    Penderita mengalami anemia ringan yang ditandai dengan sel darah merah

    yang mengecil (mikrositer).

    b. Thalasemia Intermedia.

    Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi tetapi masih bisa produksi sedikit

    rantai beta globin. Penderita mengalami anemia yang derajatnya tergantung

    dari derajat mutasi gen yang terjadi.

  • 10

    c. Thalasemia Mayor.

    Kondisi ini kedua gen mengalami mutasi sehingga tidak dapat memproduksi

    rantai beta globin. Gejala muncul pada bayi ketika berumur 3 bulan berupa

    anemia yang berat. Penderita thalasemia mayor tidak dapat membentuk

    hemoglobin yang cukup sehingga hampir tidak ada oksigen yang dapat

    disalurkan ke seluruh tubuh, yang lama kelamaan akan menyebabkan

    kekurangan O2, gagal jantung kongestif, maupun kematian. Penderita

    thalasemia mayor memerlukan transfusi darah yang rutin dan perawatan

    medis demi kelangsungan hidupnya (Dewi.S 2009 dan Yuki 2008).

    2.1.1. Gejala

    Penderita thalasemia memiliki gejala yang bervariasi tergantung jenis

    rantai asam amino yang hilang dan jumlah kehilangannya. Penderita sebagian

    besar mengalami anemia yang ringan khususnya anemia hemolitik

    (Tamam.M. 2009).

    Keadaan yang berat pada beta-thalasemia mayor akan mengalami

    anemia karena kegagalan pembentukan sel darah, penderita tampak pucat

    karena kekurangan hemoglobin. Perut terlihat buncit karena hepatomegali dan

    splenomegali sebagai akibat terjadinya penumpukan Fe, kulit kehitaman

    akibat dari meningkatnya produksi Fe, juga terjadi ikterus karena produksi

    bilirubin meningkat. Gagal jantung disebabkan penumpukan Fe di otot

    jantung, deformitas tulang muka, retrakdasi pertumbuhan, penuaan dini

    (Herdata.N.H. 2008 dan Tamam. M. 2009).

  • 11

    2.1.2. Diagnosis

    Penderita pertama datang dengan keluhan anemia/pucat, tidak nafsu

    makan dan perut membesar. Keluhan umumnya muncul pada usia 6 bulan,

    kemudian dilakukan pemeriksaan fisis yang meliputi bentuk muka mongoloid

    (facies Cooley), ikterus, gangguan pertumbuhan, splenomegali dan

    hepatomegali.

    Pemeriksaan penunjang laboratorium yang dilakukan meliputi : Hb bisa

    sampai 2-3 g%, gambaran morfologi eritrosit ditemukan mikrositik

    hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan makroovalositosis,

    mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly,

    poikilositosis dan sel target. Pemeriksaan khusus juga diperlukan untuk

    menegakkan diagnosis meliputi : Hb F meningkat 20%-90%, elektroforesis

    Hb (Dewi.S. 2009 dan Herdata.H.N. 2009).

    2.1.3. Terapi

    Penderita thalasemia sampai saat ini belum ada obat yang dapat

    menyembuhkan secara total. Pengobatan yang dilakukan meliputi pengobatan

    terhadap penyakit dan komplikasinya. Pengobatan terhadap penyakit dengan

    cara tranfusi darah, splenektomi, induksi sintesa rantai globin, transplantasi

    sumsum tulang dan terapi gen. Pengobatan komplikasi meliputi mencegah

    kelebihan dan penimbunan besi, pemberian kalsium, asam folat, imunisasi.

    Pemberian vitamin C 100-250 mg/hari untuk meningkatkan ekskresi besi dan

    hanya diberikan pada saat kelasi besi saja. Vitamin E 200-400 IU/hari untuk

  • 12

    memperpanjang umur sel darah merah. Transfusi harus dilakukan seumur

    hidup secara rutin setiap bulannya (Herdata.H.N.2008 dan Tamam.M. 2009).

    2.2. Dampak Transfusi Berulang Pada Thalasemia Mayor

    Penderita thalasemia mayor membutuhkan transfusi seumur hidup untuk

    mengatasi anemia. Transfusi diberikan apabila kadar Hb < 8 gr/dl dan diusahakan

    kadar Hb diatas 10 gr/dl namun dianjurkan tidak melebihi 15 gr/dl dengan tujuan

    agar suplai oksigen ke jaringan-jaringan cukup juga mengurangi hemopoesis yang

    berlebihan dalam sumsum tulang dan mengurangi absorbsi Fe dari traktus

    digestivus. Transfusi diberikan sebaiknya dengan jumlah 10-20 ml/kg BB dan

    dalam bentuk PRC (paked read cells) (Priyantiningsih R.D. 2010).

    Tindakan transfusi yang dilakukan secara rutin selama hidup selain untuk

    mempertahankan hidup juga dapat membahayakan nyawa penderita karena

    berisiko terinfeksi bakteri dan virus yang berasal dari darah donor seperti infeksi

    bakteri Yersinia enterocolitica, virus hepatitis C, hepatitis B dan HIV (Herdata

    N.H. 2009 dan Kartoyo P.dkk 2003).

    Transfusi yang berulang-ulang setiap bulan akan mengakibatkan

    penumpukan zat besi pada jaringan tubuh seperti hati, jantung, pankreas, ginjal.

    Akumulasi zat besi pada jaringan hati mulai terjadi setelah dua tahun mendapat

    transfusi. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998, melaporkan didapat

    gangguan faal hati yang terjadi pada transfusi ke 20 hingga 30, dengan jumlah

    total darah yang ditransfusikan 2.500-3.750 ml pada usia penderita 2-9 tahun

    (Priyantininsih R.D. 2010). Penimbunan zat besi pada jaringan sangat berbahaya

    dan apabila tidak dilakukan penanganan yang serius dapat berakibat kematian.

  • 13

    Mengurangi penimbunan dapat dilakukan dengan terapi khelasi besi, yang sering

    digunakan adalah deferoksamin, deferipron dan deferasirox. Pemberian obat ini

    pada usia 3 tahun yang melalui infus subkutan dan dapat juga melalui oral.

    Penimbunan zat besi pada jaringan akan menyebabkan terjadinya hemosiderosis

    dan hemokromatosis (Herdata N.H.2008 dan Priyantiningsih R.D.2010).

    2.2.1. Hemosiderosis

    Hemosiderosis sebagai akibat dari transfusi berulang-ulang karena

    dalam 1 liter darah terkandung 750 mikrogram zat besi. Zat besi tersebut akan

    menambah jumlah zat besi dalam tubuh. Manusia normal zat besi plasma

    terikat pada trasnferin, kemampuan transferin mengikat zat besi sangat

    terbatas sehingga apabila terjadi kelebihan zat besi maka seluruh transferin

    berada dalam keadaan tersaturasi. Besi dalam plasma berada dalam bentuk

    tidak terikat atau NTBI (non-transferrin bound plasma iron) yang dapat

    menyebabkan pembentukan radikal bebas hidroksil dan mempercepat

    peroksidasi lipid membran in vitro. Kelebihan zat besi terbanyak

    terakumulasi dalam hati, namun paling fatal adalah akumulasi di jantung

    karena menyebabkan hemosiderosis miokardium dan berakibat gagal jantung

    yang berperan pada kematian awal penderita. Penimbunan besi di hati yang

    berkelebihan berakibat pada gangguan fungsi hati. (Priyantiningsih

    R.D.2010).

    2.2.2. Hemokromatosis

    Hemokromatosis yaitu gangguan fungsi hati sebagai akibat dari

    penimbunan zat besi dan saturasi transferin. Hemokromatosis terjadi disertai

  • 14

    dengan kadar feritin serum > 1000 g/L. Ferritin merupakan suatu protein

    darah yang kenaikannya berhubungan dengan jumlah besi yang tersimpan

    dalam tubuh. Kadar feritin yang tinggi dapat meningkat pada infeksi-infeksi

    tertentu seperti hepatitis virus dan peradangan lain dalam tubuh. Kenaikan

    ferritin tidak spesifik untuk mendiagnosis hemokromatosis. Pemeriksaan lain

    untuk mendiagnosa hemokromatosis adalah TIBC dan transferi saturation.

    TIBC adalah suatu pengukuran jumlah total besi yang dapat dibawa dalam

    serum oleh transferrin. Transferrin saturation adalah suatu jumlah yang

    dihitung dengan membagi serum besi oleh TIBC, hasil angka yang

    mencerminkan besarnya persentase dari transferrin yang sedang dipakai

    untuk mengangkut besi. Hasil transferrin saturation pada manusia sehat

    antara 20 dan 50 %. Penderita dengan hemokromatosis keturunan, serum besi

    dan transferrin saturation hasilnya di atas normal. Tes yang paling akurat

    untuk mendiagnosis hemokromatosis adalah dengan biopsi jaringan hati

    sehingga dapat melihat langsung seberapa besar kerusakan hati. Gejala klinis

    yang paling sering dijumpai adalah hepatomegali, pada stadium lanjut dapat

    terjadi sirosis yang ditandai dengan splenomegali, ikterus, asites dan edema.

    Sirosis dapat mengakibatkan kanker hati. Penderita thalasemia lebih beresiko

    terkena hemokromatosis sebagai akibat dari penimbunan zat besi pada hati

    (Herdata.N.H.2009 dan Kartoyo.P. dkk 2003).

    2.3. Hati

    Hati merupakan organ intestinal terbesar yang terletak dalam rongga perut

    sebelah kanan atas tepatnya di bawah diafragma dan disamping kirinya terletak

  • 15

    organ limpa. Hati terbagi atas dua bagian besar yaitu lobus kanan dan kiri, juga

    satu bagian kecil ditengah yaitu lobus asesorius. Hati tersusun atas tiga jarinagn

    yang meliputi saluran empedu, susunan pembuluh darah dan sel parenkim. Hati

    juga memiliki dua suplai darah yang berasal dari saluran cerna dan limfa melalui

    vena porta hepatika dan dari aorta melalui arteri hepatika. Hati terdiri atas

    bermacam-macam sel, 60 % adalah hepatosit dan sisanya terdiri dari sel-sel

    epithelial system empedu dan sel-sel parenkimal yang termasuk di dalamnya

    endotelium, sel kupffer dan sel stellata yang berbentuk seperti bintang. Sel-sel lain

    yang terdapat dalam dinding sinusoid adalah sel fagositik. Sel kupffer yang

    merupakan bagian penting sistem retikuloendothellial dan lebih mudah dilalui sel-

    sel makro. Sel stellata memiliki aktifitas yang dapat membantu pengaturan aliran

    darah. Sel-sel hati menghasilkan bilirubin dan serum-serum yang digunakan

    sebagai pemantau fungsi hati. Hati sebagai pusat metabolisme tubuh (Fathoni

    2008 dan Sudoyo dkk 2006).

    Gambar 3. Struktur hati.

    Sumber : Fathoni F, 2008

  • 16

    2.3.1. Fungsi hati

    Hati mempunyai fungsi dasar hati dapat dibagi menjadi:

    1. Fungsi vaskular untuk menyimpan dan menyaring darah.

    Hati tempat mengalir darah yang besar dan juga sebagai penyimpanan

    sejumlah besar darah. Aliran limfe dari hati juga sangat tinggi karena pori

    dalam sinusoid hati sangat permeabel, di hati terdapat sel Kupffer yang

    berfungsi untuk menyaring darah ( Fathoni F, 2008).

    2. Fungsi dalam sistem metabolisme tubuh meliputi karbohidrat, lemak,

    protein.

    Hati sebagai metabolisme karbohidrat adalah mengubah pentosa dan

    heksosa yang diserap dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini

    disebut glikogenesis. Glikogen ditimbun di dalam hati kemudian hati akan

    memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen mjd

    glukosa disebut glikogenelisis, karena proses-proses ini maka hati merupakan

    sumber utama glukosa dalam tubuh. Hati mengubah glukosa melalui heksosa

    monophosphat dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa untuk

    menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan

    membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon yaitu piruvic acid (asam piruvat

    diperlukan dalam siklus krebs) (Fathoni F 2008).

    Metabolisme lemak juga dilakukan di hati yang tidak hanya

    membentuk/mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan katabolisis asam

    lemak yang dipecah menjadi beberapa komponen yaitu senyawa 4 karbon,

    senyawa 2 karbon, pembentukan cholesterol, pembentukan dan pemecahan

    fosfolid. Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan

  • 17

    ekskresi kholesterol, dimana kolesterol menjadi standar pemeriksaan

    metabolisme lipid (Frathoni F, 2008).

    Peran dalam metabolisme protein dengan proses deaminasi, hati

    mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Proses transaminasi, hati

    memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati merupakan

    satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan - globulin dan organ

    utama bagi produksi urea. - globulin selain dibentuk di dalam hati, juga

    dibentuk di limpa dan sumsum tulang globulin hanya dibentuk di dalam

    hati (Fathoni F, 2008).

    3. Sekresi dan ekskresi hati dalam membentuk empedu.

    Fungsi sekresi hati membentuk empedu sangat penting, salah satu zat

    yang dieksresi ke empedu adalah pigmen bilirubin yang berwarna kuning-

    kehijauan. Bilirubin aadalah hasi akhir dari pemecahan hemoglobin. Empedu

    dibentuk oleh hati, melalui saluran empedu interlobular yang terdapat di

    dalam hati, empedu yang dihasilkan dialirkan ke kantung empedu untuk

    disimpan. Bilirubin atau pigmen empedu yang menyebabkan warna kuning

    pada jaringan dan cairan tubuh sebagai indikator penyakit hati dan saluran

    empedu (Fathoni F, 2008).

    Hati juga mempunyai fungsii metabolik yang lain yaitu :

    1. Hati merupakan tempat penyimpanan vitamin.

    Hati juga menyimpan vitamin dan sebagai sumber vitamin tertentu yang baik

    pada penggobatan pasien. Vitamin yang paling banyak disimpan adalah

  • 18

    vitamin A, tetapi sejumlah besar vitamin D dan vitamin B12 juga disimpan

    secara normal.

    2. Hati menyimpan besi dalam bentuk ferritin

    Besi sebagian besar disimpan dihati dalam bentuk ferritin. Besi yang tersedia

    dalam cairan tubuh apabila jumlahnya banyak maka besi akan berikatan

    dengan apoferritin membentuk ferritin dan disimpan di dalam sel hati sampai

    diperlukan, bila besi dalam sirkulasi cairan tubuh mencapai kadar yang

    rendah maka ferritin akan melepaskan besi.

    3. Hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah.

    Zat-zat yang dibentuk dihati yang digunakan pada proses koagulasi meliputi

    fibrinogen, protrombin, globulin, akselereratol, factor VII, dan beberapa

    faktor koagulasi penting lain. Vitamin K dibutuhkan oleh proses metabolisme

    hati, untuk membentuk prototrombin dan factor VII, IX dan X.

    4. Hati mengekresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

    Medium kimia yang aktif dari hati adalah dalam melakukan detoksifikasi atau

    eksresi berbagai obat-obatan ke dalam empedu. Hormon yang disekresi oleh

    kelenjar endokrin di ekskresikan atau dihambat secara kimia oleh hati,

    meliputi tiroksin atau semua hormon steroid seperti esterogen, kortisol, dan

    aldesteron. Kerusakan hati dapat mengakibatkan penimbunan hormon ini

    didalam cairan tubuh yang menyebabkan aktivitas berlebihan sistem hormon.

    (Fathoni F. 2008, Jawi M.I.dkk 2006 dan Sardini. S. 2007).

  • 19

    2.3.2. Pemeriksaan laboratorium fungsi hati

    Organ hati terdapat enzim-enzim sebagai detoksifikasi pada hati,

    sehingga enzim-enzim tersebut dapat digunakan sebagai parameter kerusakan

    hati (Gatot. D. 2007). Dua macam enzim transamine yang sering digunakan

    dalam diagnosis klinik kerusakan sel hati adalah SGOT dan SGPT.

    Transamine adalah sekelompok enzim yang bekerja sebagai katalisator dalam

    proses pemindahan gugus amino dari suatu asam alfa amino ke suatu asam

    alfa keto. Trasamine dalam plasma pada kadar di atas nilai normal memberi

    gambaran peningkatan kecepatan kerusakan jaringan (Kharima.N.R.N. dkk

    2010 dan Qodariyah 2006). SGOT dan SGPT dalam jumlah kecil diproduksi

    oleh sel otot, jantung, pankreas, dan ginjal. Sel-sel otot apabila mengalami

    kerusakan maka kadar kedua enzim ini pun meningkat. Kerusakan sel-sel otot

    dapat disebabkan oleh aktivitas fisik yang berat, luka, atau trauma, sebagai

    contoh ketika mendapat injeksi intra muskular seperti suntik lewat jaringan

    otot, maka sel-sel otot pun bisa mengalami sedikit kerusakan dan

    meningkatkan kadar enzim transaminase (Fathoni 2008 dan Jawi dkk 2003).

    1. SGOT

    SGOT disebut juga AST (aspartat aminotransferase). SGOT selain di

    hati terdapat juga di jantung, otot rangka, otak dan ginjal. Kenaikan SGOT

    bisa bermakna kelainan non hepatik atau kelainan hati yang didominasi

    kerusakan mitokondria karena SGOT berada dalam sitosol dan mitokondria

    (Sardini. S. 2007).

  • 20

    2. SGPT

    SGPT disebut juga ALT (alanin aminotransferase). Jaringan hati

    mengandung banyak SGPT daripada SGOT. SGPT paling banyak ditemukan

    dalam sitoplasma sel hati, sehingga dianggap lebih spesifik untuk mendeteksi

    kelainan hati dibanding SGOT (Kosasih.E.N. dkk 2011).

    Peningkatan kadar SGOT dan SGPT akan terjadi jika adanya pelepasan

    enzim secara intraseluler ke dalam darah yang disebabkan adanya kerusakan

    hati secara akut. Kerusakan hati yang disebabkan oleh keracunan atau infeksi

    berakibat pada kenaikan aktivitas SGOT dan SGPT dapat mencapai 20-100 X

    nilai batas normal tertinggi. Kenaikan aktivitas SGPT terjadi pada kerusakan

    hati yang meningkat (Fathoni 2008).

    2.4. Ginjal

    Ginjal adalah bagian organ ekskresi yang berbentuk mirip kacang dan

    bagian dari sistem urin. Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh yang

    terletak pada dinding belakang abdomen di luar rongga peritonium. Ginjal

    memiliki tiga bagian utama yaitu, korteks, medulla, dan pelvis renalis. Bagian

    korteks ginjal mengandung nefron. Sisi medial ginjal merupakan daerah lekukan

    yang disebut hilum yang merupakan tempat dilaluinya arteri dan vena renalis,

    cairan limfatik, suplai darah dan ureter yang membawa urin akhir dari ginjal ke

    vesica urinaria. Sistem sirkulasi di ginjal terdiri dari dua bentuk kapiler yaitu

    kapiler glomerulus dan kapiler peritubulus. Ginjal pada bagian belakang

    dilindungi oleh iga dan otot-otot sedangkaan bagian depan dilindungi oleh

    bantalan usus. Lebih dari 90% darah yang masuk ke ginjal didistribusikan ke

  • 21

    korteks, sedangkan sisanya didistribusikan ke medula. Nefron merupakan unit

    fungsional ginjal terdiri dari komponen kapsula Bowman, tubulus kontortus

    proksimal, lengkung Henle, dan tubulus kontotus distal. Ginjal akan mengalami

    kegagalan dalam menjalankan fungsinya jika lebih dari 70 % nefronnya tidak

    seimbang dalam menjalankan fungsi (Price.S.A dkk 2006, Purnomo 2008 dan

    Satriana 2008).

    Gambar 4. Struktur ginjal

    Sumber : Satriana 2008

    2.4.1. Fungsi ginjal

    Ginjal melakukan fungsinya dengan cara menyaring plasma darah, zat-

    zat yang tidak dibutuhkan lagi diekskresikan melalui urin dan zat yang masih

    dibutuhkan tubuh dikembalikan ke dalam darah. Zat-zat sisa produk

    metabolisme tubuh yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh meliputi urea,

    kreatinin, asam urat, bilirubin, metabolit hormon, dan toksin.

    Ginjal memiliki fungsi yang multipel sebagai pengatur keseimbangan

    air dan elektrolit, pengaturan konsentrasi osmolitas cairan tubuh, pengatur

    keseimbangan asam basa, ekskresi produk sisa metaboli dan bahan kimia

    asing serta sekresi hormon (Purnomo B.B 2008 dan Satriana.2008).

  • 22

    1. Pengaturan keseimbangan air dan elektrolit.

    Ekskresi air dan elektrolit sesuai dengan asupan dalam tubuh.

    2. Pengaturan keseimbangan asam-basa.

    Ginjal bersama dengan sistem dapar paru dan cairan tubuh mengatur

    keseimbangan asam-basa dengan mengekskresikan asam dan menyimpan

    dapar cairan tubuh.

    2. Ekskresi produk sisa metabolik dan bahan kimia asing.

    Ginjal membuang produk sisa-sisa metaboloisme yang tidak diperlukan

    tubuh seperti urea, kreatinin, asam urat, produk akhir pemecahan hemoglobin.

    4. Pengaturan tekanan arteri

    Ginjal berperan dalam pengaturan tekanan arteri jangka panjang dengan

    mengekskresikan sejumlah natrium dan air, juga dalam pengaturan tekanan

    arteri jangka pendek dengan mengekskresi faktor atau zat vasoaktif.

    5. Glukoneogenesis

    Ginjal mensintesis glukosa dari asam amino dan prekursor lainnya selama

    masa puasa yang panjang, sama seperti hati.

    6. Pengaturan produksi eritrosit

    Ginjal menyekresikan eritropoietin, yang merangsang pembentukan sel

    darah merah. Kira-kira 90 persen dari seluruh eritropoietin dibentuk dalam

    ginjal.

    7. Organ endokrin

    Ginjal menghasilkan kinin, 1,25-dihidroksikolekalsiferol serta membentuk

    dan mensekresi renin.

  • 23

    2.4.2. Pemeriksaan laboratorium fungsi ginjal

    Pemeriksaan fungsi ginjal yang biasa dilakukan diantaranya penilaian

    kadar ureum dan kreatinin. Ureum adalah hasil pembakaran protein dalam

    tubuh. Kreatinin adalah hasil produk akhir keratin dalam otot. Kedua zat ini

    dikeluarkan dari tubuh melalui ginjal dan bila terjadi gangguan atau

    kerusakan pada ginjal, kadar zat ini dapat meningkat. (Kosasih.E.N dkk

    2010).

    1. Ureum

    Ureum berasal dari metabolisme protein yang dibentuk di hati dari CO2

    dan NH3 melalui proses biokimia yang dikenal siklus Ornithin. Ureum

    dihidrolisis dalam air dan menghasilkan NH3 dan CO 2. Ornithin bersama

    CO2 dengan NH3 akan bereaksi menghasilkan senyawa sitrulin dan hasilnya

    akan bereaksi kembali dengan NH3 akan menghasilkan senyawa arginin.

    Arginin ini akan bereaksi dengan H2O mengalami reaksi arginase dan

    menghasilkan ureum dan ornithin. Sitrulin dan arginin merupakan kelompok

    asam amino (Satriana 2008).

    Gambar 5. Skema mekanisme pembentukan ureum

    Sumber : Satriana 2008

    Kenaikan ureum dalam darah dipengaruhi oleh beberapa hal seperti

    gagal ginjal akut maupun kronik, gagal jantung, kekurangan elektrolit dan

    cairan tubuh. Kenaikan kadar ureum dalam darah tidak selalu menunjukkan

    Ornithin + CO2 + NH3 sitrulin + NH3

    Ureum arginase

    Arginin + H2O

  • 24

    adanya kerusakan ginjal. Kadar ureum dapat dikatakan sebagai tanda

    kerusakan ginjal apabila disertai pemeriksaan urin yang hasilnya

    menunjukkan diatas nilai normal, selain itu juga harus didukung dengan

    diagnosa klinis (Satriana 2008).

    2. Kreatinin

    Kreatinin adalah produk katabolisme dari kreatin fosfat yang ada di

    dalam otot. Secara kimiawi, kreatinin merupakan derivat dari kreatin.

    Biosintesis kreatin sendiri juga berasal dari glisin, arginin, dan metionin Hasil

    katabolisme tersebut memiliki nilai yang konstan dalam tiap individu setiap

    harinya. Kreatinin sangat bergantung dari masa otot. Proses reaksi dehidratasi

    dalam otot, kreatin akan diubah menjadi kreatinin yang dapat diperfusi ke

    seluruh cairan tubuh dan diekskresikan melalui urin (Satriana 2008).

    Gambar 6. Skema mekanisme pembentukan kreatinin.

    Sumber : Satriana 2008

    Jumlah kreatinin yang dikeluarkan seseorang setiap hari bergantung

    pada massa otot total daripada aktivitas otot atau tingkat metabolisme protein,

    Pembentukan kreatinin setiap harinya tetap, kecuali jika terjadi cedera fisik

    yang berat atau penyakit degeneratif yang menyebabkan kerusakan masif

    pada otot.

    Kenaikan kadar kreatinin mengindikasikan adanya gangguan fungsi

    ginjal. Peningkatan kadar kreatinin dijumpai pada : gagal ginjal akut maupun

    Kreatin dehidratasi kreatinin

    urin

  • 25

    kronis, nekrosis tubular akut, glomerulonefritis, dehidrasi, leukemia, diet

    tinggi protein, obat-obatan juga dapat meningkatkan kreatinin (Satriana

    2008).

    2.5. Metabolisme Gangguan Fungsi Hati dan Ginjal Thalasemia Mayor.

    Penderita thalasemia mayor mengalami kelainan pada gen globin

    menyebabkan produksi hemoglobin berkurang dan sel darah merah mudah

    rusak/berumur lebih pendek dari sel darah merah normal. Kerusakan sel darah

    merah pada penderita thalasemia mengakibatkan zat besi akan tertinggal di dalam

    tubuh. Manusia normal, zat besi yang tertinggal dalam tubuh digunakan untuk

    membentuk sel darah merah yang baru. Penderita thalasemia, zat besi yang

    ditinggalkan sel darah merah yang rusak akan menumpuk dalam organ tubuh

    seperti hati dan dapat mengganggu fungsi organ tubuh. Zat besi paling banyak

    terakumulasi di hati karena fungsi hati sebagai sintesis ferritin (simpanan besi)

    dan transferin (protein pengikat besi) juga tempat penyimpanan terbesar cadangan

    besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin. Penderita thalasemia mayor harus

    mendapat suplai darah terus menerus dari darah transfusi untuk mengatasi anemia

    sehingga akan menambah penumpukan zat besi di dalam hati. Penumpukan zat

    besi ini harus dikeluarkan karena akan sangat membahayakan dan dapat berujung

    pada kematian (Herdata N.H, 2008).

    Penumpukan zat besi juga terdapat di ginjal. Kelebihan zat besi dapat

    dikurangi dengan terapi kelasi besi berupa obat yang diberikan secara oral

    maupun lewat infus. Fungsi ginjal diantaranya sebagai ekskresi sisa metabolik dan

    bahan kimia asing juga produk akhir pemecahan hemoglobin. Obat khelasi besi

  • 26

    selain bermanfaat namun juga berbahaya karena mengandung bahan kimia.

    Sebagian besar zat besi diekskresikan melalui feses dan < 10 % lewat urin, dengan

    cara mengeliminasi atau mengurangi ikatan serum non transferin besi. Obat

    khelasi besi ini diabsorbsi dan bersirkulasi selama beberapa jam. Jangka waktu

    yang lama maka menambah beban ginjal sebagai ekskresi yang dapat

    mengakibatkan kerusakan ginjal. Ginjal juga berfungsi sebagai pengatur produksi

    sel darah merah, ginjal menyekresikan eritropoetin yang merangsang

    pembentukan sel darah merah. 90 % dari seluruh eritropoetin dibentuk dalam

    ginjal. Penderita thalasemia mayor pembentukan sel darah merah lebih cepat

    sehingga ginjal akan lebih sering menyekresikan eritropoetin untuk pembentukan

    sel darah merah baru, lama kelamaan dapat mengakibatkan kerusakan fungsi

    ginjal (Fathoni F.2008, Herdata N.H.2008 dan Qodariah N.R.2006) .

    2.6. Kerangka Teori

    Hemosiderosis

    Pembuangan kelebihan

    zat besi

    Hemosiderosis

    Hemokromatosis

    Gangguan hati

    Thalasemia mayor

    Transfusi

    berulang-ulang

    Gangguan ginjal

    SGOT dan SGPT Ureum dan Kreatinin

  • 27

    2.7. Kerangka Konsep

    2.8. HIPOTESIS

    1. Ho : Tidak ada perbedaan kadar SGOT pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.

    Ha : Ada perbedaan kadar SGOT pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.

    2. Ho : Tidak ada perbedaan kadar SGPT pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.

    Ha : Ada perbedaan kadar SGPT pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.

    3. Ho : Tidak ada perbedaan kadar ureum pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.

    Ha : Ada perbedaan kadar ureum pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.

    SGOT dan SGPT Ureum dan kreatinin

    Thalasemia mayor

  • 28

    4. Ho : Tidak ada perbedaan kadar kreatinin pada penderita thalasemia

    mayor berdasarkan lamanya transfusi.

    Ha : Ada perbedaan kadar kretinin pada penderita thalasemia mayor

    berdasarkan lamanya transfusi.