pengawahutanan
TRANSCRIPT
Pengawahutanan
Hutan yang telah dibakar untuk pertanian di bagian selatanMeksiko.
Pengawahutanan di Gran Caku, Paraguai
Pengawahutanan[1] atau penghilangan hutan atau penggundulan hutan atau deforestasi adalah
kegiatan penebanganhutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan
untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use)[2], yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.
Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua
pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas
(temperate mesic climate), penebangan semua pohon—sesuai dengan langkah-langkah
pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forestry)—tepatnya disebut sebagai
'panen permudaan' (harvest regeneration).[3] Di daerah tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan
biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami maupun akibat manusia.[4] Selain itu, akibat
dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman
hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang terjadi secara alami.[5][6]
Pengawahutanan dapat terjadi karena pelbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat
digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat
dialihgunakan sebagai padang rumput untuk ternak,perkebunan untuk barang dagangan (commodity), atau
untuk permukiman (settlement). Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali (reforestation) yang
cukup dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati
dankegersangan (aridity). Penebangan juga berdampak buruk terhadap penyitaan hayati
(biosequestration) karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang telah ditebang habis biasanya
mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.
Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed
value), kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan
beberapa alasan yang memungkinkan terjadinya pengawahutanan secara besar-besaran. Banyak negara
di dunia mengalami pengawahutanan terus-menerus, baik secara alami maupun akibat manusia.
Pengawahutanan dapat menyebabkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan (desertification), dan
ketersingkiran penduduk semula. Perubahan tersebut juga pernah terjadi pada masa lalu dan dapat
dibuktikan melalui penelitian rekaman sisa purba (fossil record).[5]
Akan tetapi, angka pengawahutanan bersih sudah tidak lagi meningkat di antara negara-negara
dengan PDB per kapita yang sedikitnya AS$4.600.[7][8]
Penyebab
Banyak pengawahutanan pada masa kini terjadi karena penyelewengan kuasa pemerintahan (political
corruption) di kalangan lembaga pemerintah,[9][10] ketidakadilan dalam pembagian kekayaan (wealth) dan
kekuasaan,[11] pertumbuhan penduduk [12] dan ledakan penduduk (overpopulation),[13]
[14] maupun pengkotaan (urbanization).[15] Kesejagatan (globalization) seringkali dipandang sebagai akar
penyebab lain yang mengakibatkan pengawahutanan,[16][17] meskipun ada pula dampak baik dari
kesejagatan (datangnya tenaga kerja, modal, barang dagangan dan gagasan baru) yang telah
menggalakkan pemulihan hutan setempat.[18]
Pada tahun 2000, Perhimpunan Pangan dan Pertanian (FAO) menemukan bahwa "peran keberubahan
penduduk (population dynamics) dalam keadaan setempat dapat berubah-ubah dari sangat berpengaruh
hingga tidak berpengaruh sama sekali," dan pengawahutanan dapat terjadi karena "tekanan penduduk dan
kemandekan keadaan ekonomi (stagnating economic conditions), masyarakat maupun teknologi."[12]
Terjadinya kemerosotan lingkungan alam hutan (forest ecosystem) juga dapat berakar dari dorongan-
dorongan ekonomi yang menonjolkan keuntungan pengalihgunaan hutan daripadapelestarian hutan.
[19] Banyak kegunaan hutan yang penting tidak ada pasaran, maka dari itu, tidak ada nilai ekonomi yang
bermanfaat bagi para pemilik hutan atau masyarakat yang bergantung pada hutan
untuk kesejahteraan mereka.[19] Dari sudut pandang negara berkembang, hilangnya manfaat hutan
(sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau cagarkeanekaragaman hayati (biodiversity reserve)), ketika
sebagian besar sisa pohonnya dikirim ke negara-negara maju, merupakan hal yang tidak adil karena tidak
ada imbalan yang cukup untuk jasa tersebut. Negara-negara berkembang merasa beberapa negara maju,
seperti Amerika Serikat, telah mendapatkan banyak manfaat dengan menebang hutannya sendiri berabad-
abad yang lalu, dan adalah hal yang munafik apabila negara-negara maju tidak membiarkan negara-
negara berkembang dengan kesempatan yang sama: bahwa negara miskin tidak harus menanggung biaya
pelestarian karena negara kayalah yang telah menciptakan masalahnya.[20]
Para pakar tidak sepakat bahwa pembalakan (logging) besar-besaran bagi perdagangan memainkan
peran penting bagi pengawahutanan sejagat (global deforestation).[21][22] Beberapa pakar berpendapat
bahwa orang miskin lebih cenderung menebangi hutan karena mereka tidak punya jalan keluar yang lain.
Ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat miskin tidak mampu membayar bahan dan tenaga kerja
yang diperlukan untuk menebang hutan.[21] Hasil dari salah satu pengkajian pengawahutanan menyatakan
bahwa hanya 8% penebangan hutan beriklim panas terjadi karena peningkatan jumlah penduduk oleh
angka kesuburan yang tinggi (high fertility rate).[23]
Rujukan
1. ̂ Kamus Lengkap Indonesia-Inggris. Diambil pada tanggal 21 Mei 2011.
2. ̂ SAFnet Dictionary|Definition For [deforestation]. Dictionaryofforestry.org (29 Juli 2008).
Diambil pada tanggal 15 Mei 2011.
3. ̂ SAFnet Dictionary|Definition For [regeneration_cut(ting)]. Dictionaryofforestry.org (14
Agustus 2008). Diambil pada tanggal 15 Mei 2011.
4. ̂ Oliver, C.D. Forest Development in North America following major disturbances. For. Ecol.
Mgmt. 3(1980):153–168
5. ^ a b Sahney, S., Benton, M.J. & Falcon-Lang, H.J. (2010). "Rainforest collapse triggered
Pennsylvanian tetrapod diversification in Euramerica" (PDF). Geology 38 (12): 1079–
1082. doi:10.1130/G31182.1.
6. ̂ Patel-Weynand, Toral. 2002. Biodiversity and sustainable forestry: State of the science
review. The National Commission on Science for Sustainable Forestry, Washington DC
7. ̂ Kauppi, P. E.; Ausubel, J. H.; Fang, J.; Mather, A. S.; Sedjo, R. A.; Waggoner, P. E.
(2006). "Returning forests analyzed with the forest identity". Proceedings of the National
Academy of Sciences 103 (46): 17574. doi:10.1073/pnas.0608343103. PMID 17101996.
8. ̂ "Use Energy, Get Rich and Save the Planet", The New York Times, April 20, 2009
9. ̂ Burgonio, T.J., "Corruption blamed for deforestation ", (Philippine Daily Inquirer), 3 Januari
2008.
10. ̂ "WRM Bulletin Number 74". World Rainforest Movement. 1 September 2003.
11. ̂ "Global Deforestation". Global Change Curriculum. University of Michigan Global Change
Program. 4 Januari 2006.
12. ^ a b Alain Marcoux (August 2000). "Population and deforestation". SD Dimensions.
Sustainable Development Department, Food and Agriculture Organization of the United
Nations (FAO).
13. ̂ Butler, Rhett A. "Impact of Population and Poverty on Rainforests". Mongabay.com / A
Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils They Face. Diakses pada 13 Mei
2009.
14. ̂ Jocelyn Stock, Andy Rochen. "The Choice: Doomsday or Arbor Day". Diakses pada 13 Mei
2009.
15. ̂ Karen. "Demographics, Democracy, Development, Disparity and Deforestation: A
Crossnational Assessment of the Social Causes of Deforestation". Paper presented at the
annual meeting of the American Sociological Association, Atlanta Hilton Hotel, Atlanta, GA,
Aug 16, 2003. Diakses pada 13 Mei 2009.
16. ̂ "The Double Edge of Globalization". YaleGlobal Online. Yale University Press. 1 Juni 2007.
17. ̂ Butler, Rhett A. "Human Threats to Rainforests—Economic
Restructuring". Mongabay.com / A Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils
They Face. Diakses pada 13 Mei 2009.
18. ̂ Susanna B. Hecht, Susan Kandel, Ileana Gomes, Nelson Cuellar and Herman Rosa
(2006). "Globalization, Forest Resurgence, and Environmental Politics in El Salvador".World
Development Vol. 34, No. 2. pp. 308–323.
19. ^ a b Pearce, David W (Desember 2001). "The Economic Value of Forest
Ecosystems". Ecosystem Health, Vol. 7, no. 4. pp. 284–296.
20. ̂ Erwin H Bulte; Mark Joenje; Hans G P Jansen (2000). "Is there too much or too little natural
forest in the Atlantic Zone of Costa Rica?". Canadian Journal of Forest Research; 30:3.
pp. 495–506.
21. ^ a b Arild Angelsen, David Kaimowitz (February 1999). "Rethinking the causes of
deforestation: Lessons from economic models". The World Bank Research Observer, 14:1.
Oxford University Press. pp. 73–98.
22. ̂ Laurance, William F. (December 1999). "Reflections on the tropical deforestation
crisis". Biological Conservation, Volume 91, Issues 2–3. pp. 109–117.
23. ̂ Helmut J. Geist And Eric F. Lambin (February 2002). "Proximate Causes and Underlying
Driving Forces of Tropical Deforestation". BioScience, Vol. 52, No. 2. pp. 143–150.
Pengawahutanan di IndonesiaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar WikipediaMerapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.
Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.
Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.[tampilkan]
Deforestasi di Indragiri Hulu, Riau,Sumatera
Deforestasi dekat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh
Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang
sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa.
Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies
binatang reptil dan amphibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya
adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut
dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan
aslinya sebesar 72%.[1] Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan
menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode
1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta
hektare per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan
tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta
hektare hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektare berada dalam kawasan hutan.[2]
Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta
hektare. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7
persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau
Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.
Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang
terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau
dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap
kondisi perekonomian masyarakat. Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat
tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak,
pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan
membuka kawasan-kawasan hutan. Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan
hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal ini juga diperparah
dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras
habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah
dimulai sejak akhirtahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan kayu secara
manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya
izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri pada tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land
clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang
juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi
kawasan pengembangan perkotaan.
Pada tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya
kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi
peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa izin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang
dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Faktor penyebab deforestasi di Indonesia
o 1.1 Hak Penguasaan Hutan
o 1.2 Hutan tanaman industri
o 1.3 Perkebunan
o 1.4 llegal logging
o 1.5 Konvensi Lahan
o 1.6 Program Transmigrasi
o 1.7 Kebakaran Hutan
2 Catatan kaki
[sunting]Faktor penyebab deforestasi di Indonesia
Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang
korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa
dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan
perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun, dan keuntungannya
digunakan oleh rejim Soeharto sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol teman-
teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis
meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa
hutan. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan
kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet dan coklat Pertumbuhan
ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak-hak penduduk
lokal.
Untuk saat ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum yang terjadi
saat ini memperparah kerusakan hutan dan berdampak langsung pada semakin berkurangnya habitat
orangutan secara signifikan.
Penyebab deforestasi di Indonesia, yaitu :
[sunting]Hak Penguasaan Hutan
Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem
tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak
penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap
pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi
secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang
telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi
memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan
para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini
disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau
perkebunan.
[sunting]Hutan tanaman industri
Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara
untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini
mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam,
telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang
habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami,
sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.
[sunting]Perkebunan
Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari
deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir
tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan
baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha
lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang
mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana
para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan
menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara
lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.
[sunting]llegal logging
Illegal logging adalah merupakan praktik langsung pada penebangan pohon di kawasan hutan negara
secara illegal. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup illegal logging terdiri dari : •Rencana
penebangan, meliputi semua atau sebagian kegiatan dari pembukaan akses ke dalam hutan negara,
membawa alat-alat sarana dan prasarana untuk melakukan penebangan pohon dengan tujuan eksploitasi
kayu secara illegal. •Penebangan pohon dalam makna sesunguhnya untuk tujuan eksploitasi kayu secara
illegal. Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara
keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri
pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari
pembalaka ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi sekarang
merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang
secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi seorang
mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, baru-baru ini
menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta ha hutan
Indonesia.
[sunting]Konvensi Lahan
Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya,
merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan
yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya
pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20
persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara
tahun 1985 sampai 1997.
[sunting]Program Transmigrasi
Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau
Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen
Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu,
para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab
deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di
hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan
ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari
peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi
yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional
belum pernah dibuat.
[sunting]Kebakaran Hutan
Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh
masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran
besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnyan belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5
juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98[rujukan?].
Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani
skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau
mengembangkan pertanian yang produktif[rujukan?].
Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni
menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada
perbedaan kondisi yang ekstrem. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu
akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan
terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan
mudah terbakar[rujukan?]. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan,
sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi,
dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama
(berbulan-bulan). Dan baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.
Catatan kaki
1. ̂ World Resource Institute. 29 Agustus 1997 [1997].
2. ̂ Badan Planologi Dephut, 2003
Gelombang deforestasi baru mengancam ketahanan iklim Afrika, menurut para ahli
20DEC 2011
OLEH DANIEL COONEY
EmailPrint
Kredit Foto: Frank Keillor/flickr.
DURBAN (4 Desember 2011)—Gelombang deforestasi baru sedang menyapu Afrika, memusnahkan satwa liar dan mengancam ketahanan ekosistem untuk bertahan dari pengaruh perubahan iklim- khususnya di bidang ketahanan pangan, kata para ahli.“Laju deforestasi di Afrika…terus meningkat,” kata Helen Gichohi, Ketua African Wildlife Foundation dalam pidato utamanya pada acara Forest Day 5 di Durban yang dilangsungkan bersamaan dengan Konferensi Para Pihak (COP) 17. “Hutan yang terus menghilang, lahan penggembalaan semakin gundul, dan konversi padang rumput dan lahan basah, yang selama ini berfungsi menjadi suaka dari kekeringan, menjadi lahan pertanian telah menghancurkan ketahanan ekosistem ini.”Helen menghimbau agar dana REDD+ segera direalisasikan untuk menyelamatkan hutan di benua ini. REDD+ adalah singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest degradation, atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mekanisme ini sedang didiskusikan di perundingan iklim PBB di Durban, yang mungkin akan menyalurkan miliaran dolar kepada negara-negara berkembang untuk melindungi hutannya.Pesan Gichohi didukung oleh pembicara utama lainnya, Bob Scholes dari Council for Scientific and Industrial Research (CSIR) di Afrika Selatan, yang mengatakan, ”gelombang deforestasi besar berikutnya sedang terjadi dan terjadi di Afrika.”“Jika kita dapat melakukan sesuatu untuk mempengaruhi deforestasi, efeknya akan lebih besar daripada segala sesuatu yang telah dicapai selama ini melalui Protokol Kyoto,” katanya. “Tantangan ini layak didukung oleh upaya kita.”Scholes menggambarkan pola khas dari deforestasi di Afrika sebagai berikut: para penebang masuk ke hutan, mereka menebang pohon-pohon besar dan mengambil kayu
yang berharga, kemudian produsen arang mengambil sebagian besar sisa pohon yang tertinggal, dan kemudian masuklah pertanian dengan masukan dan keluaran yang rendah, yang setelah melewati beberapa siklus panen meninggalkan lahan tersebut dalam keadaan rusak dan tak bernilai.“Hutan Afrika perlu segera dilindungi, tidak hanya karena dapat memperlambat perubahan iklim tetapi juga karena hutan merupakan pertahanan akhir dari proses penggurunan yang semakin meluas, mendukung produksi pertanian berkelanjutan, dan mendukung penghidupan puluhan juta penduduk miskin di pedalaman,” kata Frances Seymour, Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (CIFOR).Dalam sambutan pembukaannya, Tina Joemat-Pettersson, Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Afrika Selatan mengatakan, “Perubahan iklim mengancam banyak tujuan pembangunan negara-negara Afrika dan negara berkembang lainnya di dunia, khususnya dalam bidang air, energi, kesehatan, pertanian dan kehutanan.”Para ahli telah memperingatkan bahwa daerah Sahara di Afrika akan menjadi salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Benua ini telah dihantam serangkaian bencana terkait iklim, yang terakhir adalah bencana kelaparan yang dipicu kekeringan di Tanduk Besar Afrika. Para ahli mengatakan bahwa kerusakan hutan dan bentuk degradasi lahan lain yang disebabkan manusia telah mengubah banyak wilayah yang tadinya dapat dimanfaatkan sebagai lahan penggembalaan dan peternakan/pertanian menjadi bentang alam yang tandus.Gichohi mengatakan bahwa 9 persen tutupan hutan di Sahara, Afrika, hilang antara tahun 1995 dan 2005, atau rata-rata laju deforestasi sebesar 40.000 km2 hutan per tahun. Sebagai contoh, Kenya telah kehilangan sebagian besar tutupan hutannya untuk pemukiman dan pertanian, sehingga hanya 1,7% wilayahnya yang masih berupa hutan .“Hutan tidak akan dapat dipertahankan jika penduduk lapar dan tata kelola sumber daya alam tidak memadai,” kata Rachel Kite, Wakil Presiden untuk Pembangunan Berkelanjutan di World Bank. “Rasa lapar menjadi beban langsung bagi hutan ketika masyarakat terpaksa masuk semakin dalam ke wilayah hutan untuk menanam… atau membuat dan menjual arang kayu untuk membeli makanan.”Dengan adanya ancaman menurunnya kondisi hutan pada kesehatan iklim dan kesejahteraan satu miliar penduduk miskin, konsorsium peneliti pertanian terbesar di dunia mengumumkan peluncuran program penelitian global yang ambisius untuk hutan dan agroforestri pada Forest Day 5. Program tersebut akan memiliki anggaran sebesar US$233 juta untuk tiga tahun pertama. Program penelitian CGIAR tentang hutan, pohon dan agroforestri bertujuan untuk membangkitkan kembali upaya-upaya untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan serta memperluas penggunaan pohon untuk pertanian.Inisiatif ini mencakup fokus pada sangat pentingnya hutan sebagai “penyimpan karbon” alami yang dapat membantu memperlambat laju perubahan iklim dan kebutuhan untuk melestarikan keanekaragaman hayati hutan. Para ahli CGIAR percaya bahwa pengelolaan hutan dan pohon yang lebih baik dapat berperan lebih besar untuk mengurangi resiko bagi petani skala kecil dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tergantung pada hutan, khususnya wanita dan kelompok yang dikesampingkan lainnya.Status terkini REDD+ dan hutan di COP 17Status negosiasi iklim saat ini, khususnya yang terkait REDD+, pelaksanaannya dan faktor-faktor pemicu deforestasi, menjadi perhatian utama diskusi di acara tersebut. Walaupun pertanian disebut sebagai salah satu pendorong deforestasi dalam rancangan
teks REDD+ terbaru yang dibahas di UNFCCC, lebih banyak upaya perlu dilakukan untuk mengintegrasikan pertanian dan mitigasi hutan melalui “pendekatan bentang alam” terpadu.Meneruskan pesan almarhumah Wangari Maathai, wanita Afrika pertama yang dianugerahi penghargaan Nobel perdamaian dan aktivis lingkungan yang hebat, penyelenggara Forest Day 5 menayangkan sebuah video yang menantang masyarakat hutan global untuk bertindak dengan berani untuk mengurangi ancaman perubahan iklim.“Masyarakatlah yang harus menyelamatkan lingkungan. Masyarakatlah yang harus membuat pemimpinnya berubah. Kita harus mempertahankan apa yang kita yakini dan kita tidak bisa terintimidasi,” kata Maathai dalam film yang ditayangkan tersebut.Tina Joemat-Pettersson, Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan negara Afrika Selatan South, menyampaikan kata sambutan pada saat pembukaan sesi pleno Forest Day 5. Untuk melihat video Forest Day 5, dapat dilihat di sini
Kawasan yang dilindungiDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Safari gajah di tengah Suaka Margasatwa Jaldapara di Benggala Barat,India
Arribes del Duero Natural Park(Salamanca dan Zamora, Spanyol).
Taman Nasional Swiss Alps
Kawasan yang dilindungi adalah kawasan atau wilayah yang dilindungi karena nilai-nilai lingkungan
alaminya, lingkungan sosial budayanya, atau karena hal-hal lain yang serupa dengan itu. Pelbagai macam
kawasan yang dilindungi terdapat di berbagai negara, sangat bervariasi baik dalam aras atau tingkat
perlindungan yang disediakannya maupun dalam undang-undang atau aturan (internasional, nasional, atau
daerah) yang dirujuknya dan yang menjadi landasan operasionalnya. Beberapa contohnya adalah taman
nasional, cagar alam, cagar alam laut, cagar budaya, dan lain-lain.
Ada lebih dari 108.000 kawasan yang dilindungi di seluruh dunia, dan jumlah ini terus bertambah,
mencakup wilayah seluas 19.300.000 km²(7,500,000 mil²), atau lebih dari 13% luas daratan dunia;
melebihi luas Benua Afrika [1] . Pada pihak lain, sampai dengan 2008 baru sebanyak 0,8% luas lautan yang
termuat dalam sekitar 5.000 kawasan perlindungan laut [2] [3] .
Salah satu –namun bukan satu-satunya– definisi mengenai kawasan yang dilindungi dikeluarkan oleh Uni
Konservasi Dunia, IUCN.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Sejarah
2 Kategori IUCN
3 Sistem kawasan yang dilindungi di Indonesia
4 Lihat pula
5 Catatan kaki
6 Pranala luar
[sunting]Sejarah
Keinginan dan tindakan manusia dalam melindungi lingkungannya yang berharga barangkali telah
dilakukan semenjak ribuan tahun yang silam. Akan tetapi salah satu yang tercatat jelas dalam sejarah ialah
apa yang dilakukan oleh Ashoka, salah seorang raja yang paling terkenal dari Dinasti Maurya, India. Pada
tahun 252 s.M. ia mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan [4] .
Di zaman modern, penetapan Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat pada tahun 1872
merupakan salah satu tonggak pentingkonservasi alam masa kini. Di Indonesia sendiri, pada tahun 1889
telah ditetapkan Cagar Alam Cibodas oleh Pemerintah Hindia Belandaketika itu[5], dengan tujuan untuk
melindungi salah satu hutan pegunungan yang paling cantik di Jawa.
Komitmen internasional untuk membangun suatu jaringan kawasan yang dilindungi di dunia berawal dari
tahun 1972, yakni ketika Deklarasi Stockholm memandatkan perlindungan dan pelestarian wakil-wakil
semua tipe ekosistem utama yang ada, sebagai bagian fundamental dari program konservasi di masing-
masing negara. Sejak saat itulah, upaya perlindungan dari perwakilan ekosistem perlahan-lahan tumbuh
menjadi prinsip dasar konservasi alam dan biologi konservasi; dikukuhkan oleh resolusi-resolusi PBB untuk
lingkungan seperti Piagam Dunia untuk Kelestarian Alam (1982), Deklarasi Rio (1992), serta Deklarasi
Johannesburg (2002).
Suatu set dari berbagai tipe kawasan yang dilindungi, luasan serta persebarannya di suatu negara biasa
disebut sebagai sistem kawasan yang dilindungi. Sayangnya, sistem kawasan ini umumnya masih terpaku
pada kawasan konservasi daratan, dengan sedikit sentuhan pada kawasan konservasi laut dan lahan
basah.
[sunting]Kategori IUCN
Menurut definisi IUCN, kawasan yang dilindungi adalah:
Suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek
hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap
dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait.
Selanjutnya IUCN membedakan aneka macam kawasan yang dilindungi ke dalam enam kategori, yakni[6]:
Ia - Strict Nature Reserve
Yakni suatu wilayah daratan atau lautan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan atau
merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau fisiologis, dan atau spesies, tertentu, yang
penting bagi ilmu pengetahuan atau pemantauan lingkungan.
Ib - Wilderness Area
Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang masih memiliki atau
mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya, tanpa adanya hunian yang permanen atau
signifikan; dilindungi dan dikelola untuk mempertahankan kondisi alaminya.
II - National Park
Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i) melindungi integritas
ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan
generasi mendatang; (ii) menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi
yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi
kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus
selaras secara lingkungan dan budaya.
III - Natural Monument
Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam atau budaya yang
merupakan nilai yang unik atau luar biasa; yang disebabkan oleh sifat kelangkaan, keperwakilan,
atau kualitas estetika atau nilai penting budaya yang dipunyainya.
IV - Habitat/Species Management Area
Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk memelihara fungsi-
fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies tertentu.
V - Protected Landscape/Seascape
Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana interaksi masyarakat
dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter
yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik yang tradisional ini
bersifat vital bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud.
[sunting]Sistem kawasan yang dilindungi di Indonesia
Pelestarian alam di Indonesia secara legal mengacu kepada dua undang-
undang (UU) induk, yakni UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya; serta UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
(jo. UU no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan).
UU no 5/1990 bertitik berat pada pelestarian keanekaragaman hayati, baik
keanekaragaman hayati hutan maupun bukan; baik di dalam kawasan hutan
negara maupun di luarnya. Sedangkan UU no 41/1999 salah satunya mengatur
konservasi alam di kawasan hutan negara; namun bukan hanya mencakup
konservasi keanekaragaman hayati, melainkan meliputi pula perlindungan
fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang disediakan kawasan hutan.
UU no 41/1999 membedakan dua kategori besar kawasan hutan yang
dilindungi, yakni:
Hutan lindung , yakni kawasan hutan negara yang mempunyai fungsi
pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur
tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut,
dan memelihara kesuburan tanah; dan
Hutan konservasi, yakni kawasan hutan negara dengan ciri khas tertentu,
yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistemnya.
Selanjutnya, UU no 41/1999 lebih lanjut merinci kawasan hutan konservasi ke
dalam:
Kawasan hutan suaka alam . Ialah kawasan hutan negara dengan ciri khas
tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga
berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.
Kawasan hutan pelestarian alam . Ialah kawasan hutan negara dengan ciri
khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.
Taman buru . Yakni kawasan hutan negara yang ditetapkan sebagai tempat
wisata berburu.
Peraturan Pemerintah RI no 68 tahun 1998[7] sebelumnya telah mendefinisikan:
Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di
daratan maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai
kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga
kehidupan.
Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di daratan maupun di perairan, yang mempunyai fungsi perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya.
PP no 68/1998, sebagaimana juga UU no 5/1990, tidak membatasi lingkupnya
hanya pada hutan atau kawasan hutan negara. Selanjutnya PP tersebut
merinci, yang termasuk ke dalam Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah cagar
alam dan suaka margasatwa. Sedangkan yang tergolong Kawasan Pelestarian
Alam (KPA) adalah taman nasional, taman hutan raya(tahura), serta taman
wisata alam.
Uraian mengenai kawasan yang dilindungi yang paling luas cakupannya, ialah
yang termuat di dalam Keppres no 32 tahun 1990[8]. Keppres yang terbit
sebelum UU no 5/1990 ini mencantumkan:
Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, terdiri
dari:
Kawasan hutan lindung
Kawasan bergambut
Kawasan resapan air.
Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari:
Sempadan pantai
Sempadan sungai
Kawasan sekitar danau/waduk
Kawasan sekitar mata air.
Kawasan suaka alam dan cagar budaya, yakni:
Kawasan suaka alam
Kawasan suaka alam laut dan perairan lainnya
Kawasan pantai berhutan bakau
Taman nasional , taman hutan raya dan taman wisata alam
Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, serta
Kawasan rawan bencana
Hutan lindungDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Hutan lindung Gunung Tilu di wilayah Jabranti, Kuningan
Hutan lindung (protection forest) adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau
kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya --terutama menyangkut tata
air dan kesuburan tanah-- tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya.
Undang-undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan[1]:
„Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem
penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah
intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.“
Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk
pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran
sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat
lain sesuai fungsi yang diharapkan.
Dalam hal ini, undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai kawasan
hutan dalam pengertian di atas adalah:
„...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.“
[sunting]Silang pengertian
Hutan lindung pengertiannya kerap dipertukar-tukarkan dengan kawasan lindung dan kawasan
konservasi pada umumnya. Kawasan konservasi, atau yang juga biasa disebut sebagaikawasan
yang dilindungi (protected areas), lazimnya merujuk pada wilayah-wilayah yang didedikasikan
untuk melindungi kekayaan hayati seperti halnya kawasan-kawasan suaka alam dan kawasan
pelestarian alam sebagaimana dimaksud oleh UU no 5/1990[2]. Jadi, fungsinya jelas berbeda
dengan hutan lindung.
Sedangkan kawasan lindung memiliki pengertian yang lebih luas, di mana hutan lindung
tercakup di dalamnya. Keppres no 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
menyebutkan[3]:
„Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian
lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta
budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.“
di mana mencakup (kawasan) hutan lindung sebagai:
„ ... kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada
kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta
memelihara kesuburan tanah.“
dan memisahkannya dari bentuk-bentuk kawasan sempadan pantai, sempadan sungai,
serta sempadan waduk, danau, dan mata air.
[sunting]Peraturan terkait lainnya
Undang-undang RI no 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan
Ekosistemnya memuat perlindungan sistem penyangga kehidupan tersebut di atas
dalam satu bab khusus, yaitu Bab II.[2]
[sunting]Rujukan
1. ̂ Undang-undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan
2. ^ a b Undang-undang RI no 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya
3. ̂ Keputusan Presiden RI no 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung
Hutan primerDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Tegakan Redwood pada hutan primer Muir Woods National Monument, Kalifornia.
Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu
yang sesuai dengan kematangannya; serta dengan demikian memiliki sifat-sifat ekologis yang unik.[1].
Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang
pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa
membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai
hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan
manusia biasa disebut hutan perawan.
Hutan serupa ini juga dikenal dengan nama-nama lain dalam bahasa Inggris seperti old-growth
forest, ancient forest, virgin forest,primeval forest, frontier forest, atau di Britania Raya, ancient woodland.
Lawan katanya adalah hutan sekunder, yakni hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan)
setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya
akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam. Hutan sekunder umumnya secara perlahan-
lahan dapat pulih kembali menjadi hutan primer, yang tergantung pada kondisi lingkungannya, akan
memakan waktu beberapa ratus hingga beberapa ribu tahun lamanya. Hutan kayu daun-lebar di Amerika
Serikat bagian timur dapat pulih kembali menjadi hutan primer dalam satu atau dua generasi tumbuhan,
atau antara 150-500 tahun.
Banyak tegakan hutan primer yang terancam kelestariannya oleh sebab kerusakan habitat yang
diakibatkan oleh pembalakan atau pembukaan hutan. Kehancuran habitat ini pada gilirannya menurunkan
tingkat keanekaragaman hayati, yang memengaruhi bukan saja kelestarian hutan primer itu sendiri, namun
juga keberadaan spesies-spesies asli yang kehidupannya bergantung pada lingkungan yang disediakan
hutan primer.[2][3]
Hutan primer seringkali merupakan rumah bagi spesies-
spesies tumbuhan dan hewan yang langka, rentan atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini
penting secara ekologi. Meski demikian, keanekaragaman hayati di hutan primer bisa lebih tinggi atau lebih
rendah jika dibandingkan dengan hutan sekunder, bergantung pada berbagai kondisi lokal, variabel
lingkungan setempat, atau pun letakgeografisnya. Penebangan hutan primer adalah isu yang penting di
banyak bagian dari dunia.
Hutan primer European Beech di Taman Nasional Biogradska Gora,Montenegro.
Daftar isi
[sembunyikan]
1 Definisi
o 1.1 Definisi ekologis
1.1.1 Menurut karakteristik hutan
1.1.2 Menurut dinamika tegakan
1.1.3 Menurut umur tegakan
2 Lihat pula
3 Catatan kaki
4 Pranala luar
[sunting]Definisi
Banyak definisi yang telah dikemukakan mengenai apa itu hutan primer, akan tetapi umumnya dapat
digolongkan menurut tiga kategori utama, yakni definisi secara ekologis, sosial dan ekonomi.[4]
[sunting]Definisi ekologis
Tongass National Forest, Alaska.
[sunting]Menurut karakteristik hutan
Kebanyakan definisi menggunakan karakteristik tertentu untuk memastikan identitas hutan primer.
Umumnya karakter itu mencakup adanya pohon-pohon tua, tunggul atau batang-batang mati yang masih
tegak, lapisan-lapisan tajuk (kanopi) hutan yang didominasi oleh pohon-pohon sembulan (emergent), serta
akumulasi dari kayu-kayu mati berukuran besar (di antaranya adalah batang-batang rebah)[5][6].
[sunting]Menurut dinamika tegakan
Dari perspektif dinamika tegakan, hutan primer didefinisikan sebagai tahapan akhir yang mengikuti
tahapPertumbuhan-kembali-lapis-bawah.[7] Ringkasan tahap-tahap dinamika tegakan yang dimaksud
adalah sbb.:
1. Tahap Musnahnya tegakan, yakni adanya kejadian gangguan yang merusak dan memusnahkan
hampir semua pohon dalam tegakan hutan.
2. Tahap Tegakan tumbuh kembali, ialah saat dan proses tumbuhnya pohon-pohon baru untuk
membentuk tegakan hutan yang baru.
3. Tahap Seleksi batang, adalah masa-masa di mana pertumbuhan pohon-pohon yang semakin
besar dan rapat mengakibatkan kompetisi yang ketat dalam memperebutkan cahaya. Pohon-
pohon yang lambat tumbuh akan mati dan menyediakan ruang bagi yang mampu bertahan.
Pohon-pohon yang bertahan akan tumbuh semakin besar, dengan atap tajuk yang semakin rapat
dan padat, dan secara drastis menyusutkan jumlah cahaya matahari yang mencapai dasar hutan.
Pohon-pohon lapis-bawah kebanyakan akan mati, dan menyisakan hanya jenis-jenis yang
sanggup hidup di bawah naungan yang berat (spesies toleran).
4. Tahap Pertumbuhan kembali lapis-bawah. Sebagian pohon-pohon kemudian akan mati, baik
karena penyakit, dirusak angin, atau karena sebab-sebab lain. Tumbangnya pohon-pohon itu
akan membentuk celah hutan, yang memungkinkan cahaya –betapapun sedikitnya– dapat
mencapai lantai hutan. Maka pohon-pohon di lapis-bawah tajuk hutan, terutama jenis-jenis yang
toleran terhadap naungan, akan dapat tumbuh kembali khususnya di sekitar tempat-tempat kena
cahaya itu.
5. Tahap Hutan primer. Pohon-pohon penyusun tajuk utama hutan mulai tua dan semakin banyak
yang mati; dengan sendirinya celah hutan yang terbentuk semakin banyak, pada lokasi dan waktu
yang berbeda. Pohon-pohon lapis-bawah tumbuh dengan laju yang berbeda, bergantung pada
ketersediaan cahaya di lingkungannya; dan yang berada di sekitar celah dapat tumbuh lebih
cepat, untuk kemudian menutup celah dengan tajuknya yang meninggi.
Demikianlah, pada hutan primer akan terbentuk semacam kesetimbangan yang dinamis, di mana celah
akan selalu terbentuk dan terpulihkan kembali; secara keseluruhan membentuk mosaik pepohonan dari
pelbagai umur dan jenis. Walau begitu hutan primer belum tentu selamanya demikian, dan ada tiga
kemungkinan lain yang bisa terjadi ke depan: (a) Hutan mengalami bencana yang memusnahkan banyak
pohon, sehingga prosesnya kembali ke tahap awal tegakan. (b) Hutan memengaruhi dan membentuk
lingkungan baru, yang tak sesuai lagi bagi pertumbuhan anakan pohon yang saat ini ada. Pohon-pohon tua
akan punah dan pohon-pohon lebih kecil akan membentuk hutan tiang. (c) Pohon-pohon lapis-bawah yang
menggantikan, berasal dari jenis yang berbeda dengan jenis pembentuk kanopi semula. Dalam kondisi ini
akan terjadi kembali tahap Seleksi batang, namun melibatkan spesies-spesies yang berbeda dengan
sebelumnya.
Tahap hutan primer ini dapat bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun; akan tetapi ini bergantung
pada komposisi jenis pohon dan iklim wilayah setempat. Kebakaran hutan alami yang kerap terjadi,
umpamanya, tidak memungkinkan hutan boreal (hutan kutub) dapat tumbuh setua hutan-hutan di jajaran
pantai Pasifik di Amerika utara.
Perlu diperhatikan bahwa meski terjadi pergeseran komunitas pepohonan dalam tegakan, hutan itu tidak
selalu dapat mencapai tahapan hutan primer. Beberapa spesies pohon memiliki tajuk yang relatif terbuka,
yang memungkinkan pohon-pohon toleran tumbuh sempurna di bawah kanopi sebelum tercapainya
tahap Pertumbuhan kembali lapis-bawah. Pohon-pohon yang biasanya di lapis bawah itu pun bisa jadi
mendesak dan menyingkirkan pohon kanopi atas pada tahapan Seleksi batang; maka spesies pohon yang
dominan akan berubah, namun tegakan itu akan tetap berada pada tahap Seleksi batang.
[sunting]Menurut umur tegakan
Umur tegakan hutan juga dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menggolongkan ke dalam hutan primer[8].
Untuk masing-masing wilayah geografis, ada semacam perkiraan waktu rata-rata yang diperlukan oleh
hutan yang rusak untuk pulih kembali mencapai tahap hutan primer. Metoda ini praktis dan berguna,
karena dapat secara cepat dan obyektif menetapkan tahapan suatu tegakan hutan.
Namun demikian metoda ini mengabaikan bagaimana hutan itu berproses. Maka bisa jadi suatu tegakan
hutan dianggap bukan hutan primer, meski telah memiliki ciri-cirinya, hanya karena umurnya lebih muda
dari waktu standar tersebut. Dan sebaliknya, suatu hutan dapat dianggap sebagai hutan primer karena
telah masuk umur, walau bila menilik tanda-tandanya pada kenyataannya belum mencapai tahap itu.
Penggunaan ukuran waktu ini bisa menimbulkan masalah apabila tidak hati-hati diterapkan; karena hutan
yang dibalak hingga sejumlah 30% dari pohonnya cenderung lebih cepat pulih daripada hutan yang dibalak
hingga 80% pohonnya.
[sunting]Lihat pula
Hutan
Hutan sekunder
[sunting]Catatan kaki
1. ̂ White, David (1994). "Defining Old Growth: Implications For Management". Eighth Biennial Southern
Silvicultural Research Conference. Diakses pada 23 November 2009.
2. ̂ Protect the World's Forests dari Rainforest Action Network
3. ̂ The world's remaining great forests dari Harian The Guardian
4. ̂ Hilbert. J. and Wiensczyk. A. 2007. Old-growth definitions and management: A literature review. BC
journal of ecosystems and management Vol 8:1, 2007
5. ̂ "Interim Old Growth Definition". US Forest Service. Diakses pada 2 April 2009.
6. ̂ "Definitions - Old-growth Forest". Regional Ecosystem Office. Diakses pada 2 April 2009.
7. ̂ Oliver, C., B. Larson. 1996. Forest Stand Dynamics.
8. ̂ Integrated Land Management Bureau, 2004. Provincial Non-Spatial Old Growth Order. British
Columbia, Canada
[sunting]Pranala luar
Forest Conservation Portal - committed to ending ancient forest logging
Primal Nature: Preservation and restoration of old-growth forests in the eastern United States
Old growth locations in the eastern U.S.
Old growth definitions from the Pacific northwest
Wildlife and Vegetation of Unmanaged Douglas-Fir Forests
Old-growth forests in Slovenia
Profiles of special species that live in Old growth forests
Collection of Google map links of clear cuts in or around old growth
"Of Spotted Owls, Old Growth, and New Policies: A History" (PDF)
Gifford Pinchot Task Force
Old-Growth Again Restoration Forestry
NW Old Growth Campaign
Umpqua Watersheds, Inc. information on western Oregon old-growth issues
Oregon Natural Resources Council information on Pacific Northwest old-growth issues
Forest Service
Experimental forestry designed to convert tree plantations to old-growth
Thinning To Enhance Biodiversity
Artikel ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.
Kedelai dan Hutan dalam Busur Deforestasi di Brasil: gencatan senjata sementara?
6AUG 2012
BY CHRISTINE PADOCH
Foto dari Neil Palmer/CIAT.
BOGOR, Indonesia (6 Agustus 2012)_Seiring dengan terus meningkatnya permintaan global untuk komoditas seperti kelapa sawit, kedelai dan daging sapi, dan dengan semakin berkurangnya lahan yang dapat dimanfaatkan, dapatkah hutan bertahan?Dapatkah miliaran populasi yang terus bertumbuh di planet ini memperoleh pangan, sandang dan papan yang lebih baik tanpa menghancurkan hutan tropis? Sebuah artikel baru yang ditulis oleh ilmuwan dari beberapa lembaga di Amerika Serikat dan Brasil menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong pemanfaatan lahan pertanian yang lebih efisien bersama dengan sejumlah tindakan untuk menekan deforestasi mungkin telah mencapai sasaran tersebut di daerah yang sebelumnya paling dikenal karena lenyapnya hutan: “Busur Deforestasi” di tepi selatan Amazonia di Brasil.Dengan berfokus pada tren terkini dalam produksi kedelai dan perubahan tutupan hutan pada negara bagian MatoGrosso, Maria Macedo dan para koleganya menunjukkan dalam penelitiannya bahwa hubungan yang dianggap tidak terhindarkan antara pertumbuhan pertanian dan menghilangnya hutan bisa diputus dan sasaran-sasaran untuk melakukan konservasi hutan dan mendapatkan lebih banyak pangan, serat dan bahan bakar dapat diwujudkan secara bersamaan.
Sejumlah tindakan anti-deforestasi kemungkinan telah
mempengaruhi sektor pertanianPara penulis memusatkan penelitian mereka di daerah MatoGrosso selama tahun 2006-2010, ketika laju deforestasi yang sebelumnya sangat tinggi di negara bagian pelopor ini turun menjadi hanya 30% dari tingkat deforestasi di dekade sebelumya. Dalam periode lima tahun tersebut, produksi pertanian di MatoGrosso juga mencapai rekor tertinggi.Macedo dan rekan-rekannya menggunakan kombinasi data penginderaan jarak jauh dan informasi statistik tutupan lahan dan produksi pertanian yang dikumpulkan oleh pemerintah Brasil. Mereka menemukan bahwa walaupun peningkatan produksi kedelai sebesar 78% selama tahun 2006-2010 terjadi karena perluasan lahan pertanian ke daerah baru (MatoGrosso adalah negara bagian produsen kedelai yang terbesar di Brasil), 91% dari perluasan tersebut dilakukan di lahan yang telah dibuka sebelumnya, sering kali untuk lahan pakan ternak. Perluasan tersebut tidak membutuhkan
penebangan hutan. Sebesar 22% peningkatan produksi kedelai disebabkan oleh meningkatnya hasil panen per hektar.Para penulis menyoroti bahwa penurunan kegiatan pembukaan hutan “terjadi bersamaan dengan jatuhnya pasar komoditas”, namun sejumlah kebijakan untuk mengurangi deforestasi juga diterapkan dalam periode yang sama. Perubahan ini menunjukkan bahwa bukan hanya krisis finansial yang mendorong penurunan deforestasi. Tingkat keuntungan sektor kedelai di MatoGrosso kemudian kembali ke tingkat yang sama seperti sebelum tahun 2006, namun demikian deforestasi terus menurun, mengindikasikan bahwa “sejumlah tindakan anti-deforestasi kemungkinan telah mempengaruhi sektor pertanian”. Data tersebut sangat menjanjikan, namun juga mengarah pada sejumlah pertanyaan penting yang ditindaklanjuti oleh para penulis.Salah satu yang perlu dicermati adalah adanya “kebocoran”, atau kemungkinan bahwa deforestasi yang dihindari di MatoGrosso berpindah ke tempat lain. Macedo dkk. hanya menemukan sedikit bukti tentang “kebocoran langsung perluasan kedelai” ke daerah savana (disebut cerrado di Brasil) tetangga yang sangat rentan di MatoGrosso, dan selama waktu tersebut laju deforestasi di beberapa negara bagian yang kaya hutan di daerah Amazon di Brasil juga menurun. Namun para penulis juga memahami bahwa tidaklah mungkin mengabaikan kemungkinan bahwa ada “perubahan penggunaan lahan tidak langsung dan kebocoran ke wilayah yang lebih jauh” yang tidak terdeteksi.Pertanyaan lain tentu saja adalah, dapatkah perluasan pertanian tanpa pertambahan deforestasi bertahan di MatoGrosso dan tempat-tempat lain? Menurut para penulis, beberapa perubahan terkini mengindikasikan bahwa hal ini mungkin terjadi. Pemerintah Brasil telah berinvestasi besar-besaran untuk memantau dan melaksanakan tindakan-tindakan anti deforestasi, dan baik pemerintah maupun beberapa kelompok industri telah “menciptakan dis-insentif yang kuat untuk perluasan ke lahan hutan”.Namun para penulis memperingatkan bahwa mempertahankan pengurangan deforestasi di tengah melambungnya ekonomi pertanian Brasil akan terus membutuhkan kebijakan insentif baru untuk mendorong pemanfaatan lahan terdegradasi yang efisien, khususnya mengingat pembangunan infrastruktur mempermudah akses ke lahan berhutan yang tersisa dan adanya teknologi baru menyebabkan potensi pemanfaatan hutan lebih menguntungkan.Peringatan para penulis memang tepat pada waktunya. Laporan baru-baru ini dari wilayah tersebut mengindikasikan kemungkinan sudah terjadi kenaikan laju deforestasi, dan dampak peraturan hutan kontroversial yang diusulkan di Brasil masih belum jelas. Sulit memperkirakan tekanan baru apa yang akan dibawa pembangunan ekonomi besar berikutnya dan ledakan harga komoditas atas lahan hutan yang tersisa di daerah tropis.Masyarakat dan pemerintah jelas perlu untuk secara berhati-hati mempertimbangkan strategi dan insentif kebijakan yang paling tepat, spesifik berdasarkan konteks, dan mempertimbangkan berbagai segi/aspek, jika mereka berharap untuk menyeimbangkan tekanan ekonomi dengan kebutuhan melestarikan hutan dan berbagai jasa yang disediakannya. Dalam artikel ini, Macedo dkk. telah berhasil menunjukkan bahwa, paling tidak di satu tempat, keseimbangan tersebut dapat dicapai (setidaknya untuk sementara waktu)