pengawahutanan

31
Pengawahutanan Hutan yang telah dibakar untuk pertanian di bagian selatanMeksiko . Pengawahutanan di Gran Caku , Paraguai Pengawahutanan [1] atau penghilangan hutan atau penggundulan hutan atau deforestasi adalah kegiatan penebanganhutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan untuk penggunaan nir-hutan (non- forest use) [2] , yakni pertanian , peternakan atau kawasan perkotaan . Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas (temperate mesic climate), penebangan semua pohon —sesuai dengan langkah-langkah pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forestry)—tepatnya disebut sebagai 'panen permudaan ' (harvest regeneration). [3] Di daerah tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami maupun akibat manusia. [4] Selain itu, akibat dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang terjadi secara alami. [5] [6]

Upload: radenluki23

Post on 31-Jul-2015

38 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengawahutanan

Pengawahutanan

Hutan yang telah dibakar untuk pertanian di bagian selatanMeksiko.

Pengawahutanan di Gran Caku, Paraguai

Pengawahutanan[1] atau penghilangan hutan atau penggundulan hutan atau deforestasi adalah

kegiatan penebanganhutan atau tegakan pohon (stand of trees) sehingga lahannya dapat dialihgunakan

untuk penggunaan nir-hutan (non-forest use)[2], yakni pertanian, peternakan atau kawasan perkotaan.

Istilah deforestasi sering disalahartikan untuk menggambarkan kegiatan penebangan yang semua

pohonnya di suatu daerah ditebang habis. Namun, di daerah beriklim ugahari yang cukup lengas

(temperate mesic climate), penebangan semua pohon—sesuai dengan langkah-langkah

pelaksanaan kehutanan yang berkelanjutan (sustainable forestry)—tepatnya disebut sebagai

'panen permudaan' (harvest regeneration).[3] Di daerah tersebut, permudaan alami oleh tegakan hutan

biasanya tidak akan terjadi tanpa gangguan, baik secara alami maupun akibat manusia.[4] Selain itu, akibat

dari panen permudaan seringkali mirip dengan gangguan alami, termasuk hilangnya keanekaragaman

hayati (biodiversity) setelah perusakan hutan hujan (rainforest) yang terjadi secara alami.[5][6]

Pengawahutanan dapat terjadi karena pelbagai alasan: pohon atau arang yang diperoleh dari hutan dapat

digunakan atau dijual untuk bahan bakar atau sebagai kayu saja, sedangkan lahannya dapat

dialihgunakan sebagai padang rumput untuk ternak,perkebunan untuk barang dagangan (commodity), atau

untuk permukiman (settlement). Penebangan pohon tanpa penghutanan kembali (reforestation) yang

Page 2: Pengawahutanan

cukup dapat merusak lingkungan tinggal (habitat), hilangnya keanekaragaman hayati

dankegersangan (aridity). Penebangan juga berdampak buruk terhadap penyitaan hayati

(biosequestration) karbon dioksida dari udara. Daerah-daerah yang telah ditebang habis biasanya

mengalami pengikisan tanah yang parah dan sering menjadi gurun.

Pengabaian atau ketidaktahuan nilai hakiki (intrinsic value), kurangnya nilai yang terwariskan (ascribed

value), kelengahan dalam pengelolaan hutan dan hukum lingkungan yang kurang memadai merupakan

beberapa alasan yang memungkinkan terjadinya pengawahutanan secara besar-besaran. Banyak negara

di dunia mengalami pengawahutanan terus-menerus, baik secara alami maupun akibat manusia.

Pengawahutanan dapat menyebabkan kepunahan, perubahan iklim, penggurunan (desertification), dan

ketersingkiran penduduk semula. Perubahan tersebut juga pernah terjadi pada masa lalu dan dapat

dibuktikan melalui penelitian rekaman sisa purba (fossil record).[5]

Akan tetapi, angka pengawahutanan bersih sudah tidak lagi meningkat di antara negara-negara

dengan PDB per kapita yang sedikitnya AS$4.600.[7][8]

Penyebab

Banyak pengawahutanan pada masa kini terjadi karena penyelewengan kuasa pemerintahan (political

corruption) di kalangan lembaga pemerintah,[9][10] ketidakadilan dalam pembagian kekayaan (wealth) dan

kekuasaan,[11] pertumbuhan penduduk [12] dan ledakan penduduk (overpopulation),[13]

[14] maupun pengkotaan (urbanization).[15] Kesejagatan (globalization) seringkali dipandang sebagai akar

penyebab lain yang mengakibatkan pengawahutanan,[16][17] meskipun ada pula dampak baik dari

kesejagatan (datangnya tenaga kerja, modal, barang dagangan dan gagasan baru) yang telah

menggalakkan pemulihan hutan setempat.[18]

Pada tahun 2000, Perhimpunan Pangan dan Pertanian (FAO) menemukan bahwa "peran keberubahan

penduduk (population dynamics) dalam keadaan setempat dapat berubah-ubah dari sangat berpengaruh

hingga tidak berpengaruh sama sekali," dan pengawahutanan dapat terjadi karena "tekanan penduduk dan

kemandekan keadaan ekonomi (stagnating economic conditions), masyarakat maupun teknologi."[12]

Terjadinya kemerosotan lingkungan alam hutan (forest ecosystem) juga dapat berakar dari dorongan-

dorongan ekonomi yang menonjolkan keuntungan pengalihgunaan hutan daripadapelestarian hutan.

[19] Banyak kegunaan hutan yang penting tidak ada pasaran, maka dari itu, tidak ada nilai ekonomi yang

bermanfaat bagi para pemilik hutan atau masyarakat yang bergantung pada hutan

untuk kesejahteraan mereka.[19] Dari sudut pandang negara berkembang, hilangnya manfaat hutan

(sebagai penyerap karbon (carbon sink) atau cagarkeanekaragaman hayati (biodiversity reserve)), ketika

sebagian besar sisa pohonnya dikirim ke negara-negara maju, merupakan hal yang tidak adil karena tidak

ada imbalan yang cukup untuk jasa tersebut. Negara-negara berkembang merasa beberapa negara maju,

seperti Amerika Serikat, telah mendapatkan banyak manfaat dengan menebang hutannya sendiri berabad-

abad yang lalu, dan adalah hal yang munafik apabila negara-negara maju tidak membiarkan negara-

Page 3: Pengawahutanan

negara berkembang dengan kesempatan yang sama: bahwa negara miskin tidak harus menanggung biaya

pelestarian karena negara kayalah yang telah menciptakan masalahnya.[20]

Para pakar tidak sepakat bahwa pembalakan (logging) besar-besaran bagi perdagangan memainkan

peran penting bagi pengawahutanan sejagat (global deforestation).[21][22] Beberapa pakar berpendapat

bahwa orang miskin lebih cenderung menebangi hutan karena mereka tidak punya jalan keluar yang lain.

Ada juga yang berpendapat bahwa masyarakat miskin tidak mampu membayar bahan dan tenaga kerja

yang diperlukan untuk menebang hutan.[21] Hasil dari salah satu pengkajian pengawahutanan menyatakan

bahwa hanya 8% penebangan hutan beriklim panas terjadi karena peningkatan jumlah penduduk oleh

angka kesuburan yang tinggi (high fertility rate).[23]

Rujukan

1. ̂  Kamus Lengkap Indonesia-Inggris. Diambil pada tanggal 21 Mei 2011.

2. ̂  SAFnet Dictionary|Definition For [deforestation]. Dictionaryofforestry.org (29 Juli 2008).

Diambil pada tanggal 15 Mei 2011.

3. ̂  SAFnet Dictionary|Definition For [regeneration_cut(ting)]. Dictionaryofforestry.org (14

Agustus 2008). Diambil pada tanggal 15 Mei 2011.

4. ̂  Oliver, C.D. Forest Development in North America following major disturbances. For. Ecol.

Mgmt. 3(1980):153–168

5. ^ a b Sahney, S., Benton, M.J. & Falcon-Lang, H.J. (2010). "Rainforest collapse triggered

Pennsylvanian tetrapod diversification in Euramerica" (PDF). Geology 38 (12): 1079–

1082. doi:10.1130/G31182.1.

6. ̂  Patel-Weynand, Toral. 2002. Biodiversity and sustainable forestry: State of the science

review. The National Commission on Science for Sustainable Forestry, Washington DC

7. ̂  Kauppi, P. E.; Ausubel, J. H.; Fang, J.; Mather, A. S.; Sedjo, R. A.; Waggoner, P. E.

(2006). "Returning forests analyzed with the forest identity". Proceedings of the National

Academy of Sciences 103 (46): 17574. doi:10.1073/pnas.0608343103. PMID 17101996.

8. ̂  "Use Energy, Get Rich and Save the Planet", The New York Times, April 20, 2009

9. ̂  Burgonio, T.J., "Corruption blamed for deforestation ", (Philippine Daily Inquirer), 3 Januari

2008.

10. ̂  "WRM Bulletin Number 74". World Rainforest Movement. 1 September 2003.

11. ̂  "Global Deforestation". Global Change Curriculum. University of Michigan Global Change

Program. 4 Januari 2006.

12. ^ a b Alain Marcoux (August 2000). "Population and deforestation". SD Dimensions.

Sustainable Development Department, Food and Agriculture Organization of the United

Nations (FAO).

Page 4: Pengawahutanan

13. ̂  Butler, Rhett A. "Impact of Population and Poverty on Rainforests". Mongabay.com / A

Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils They Face. Diakses pada 13 Mei

2009.

14. ̂  Jocelyn Stock, Andy Rochen. "The Choice: Doomsday or Arbor Day". Diakses pada 13 Mei

2009.

15. ̂  Karen. "Demographics, Democracy, Development, Disparity and Deforestation: A

Crossnational Assessment of the Social Causes of Deforestation". Paper presented at the

annual meeting of the American Sociological Association, Atlanta Hilton Hotel, Atlanta, GA,

Aug 16, 2003. Diakses pada 13 Mei 2009.

16. ̂  "The Double Edge of Globalization". YaleGlobal Online. Yale University Press. 1 Juni 2007.

17. ̂  Butler, Rhett A. "Human Threats to Rainforests—Economic

Restructuring". Mongabay.com / A Place Out of Time: Tropical Rainforests and the Perils

They Face. Diakses pada 13 Mei 2009.

18. ̂  Susanna B. Hecht, Susan Kandel, Ileana Gomes, Nelson Cuellar and Herman Rosa

(2006). "Globalization, Forest Resurgence, and Environmental Politics in El Salvador".World

Development Vol. 34, No. 2. pp. 308–323.

19. ^ a b Pearce, David W (Desember 2001). "The Economic Value of Forest

Ecosystems". Ecosystem Health, Vol. 7, no. 4. pp. 284–296.

20. ̂  Erwin H Bulte; Mark Joenje; Hans G P Jansen (2000). "Is there too much or too little natural

forest in the Atlantic Zone of Costa Rica?". Canadian Journal of Forest Research; 30:3.

pp. 495–506.

21. ^ a b Arild Angelsen, David Kaimowitz (February 1999). "Rethinking the causes of

deforestation: Lessons from economic models". The World Bank Research Observer, 14:1.

Oxford University Press. pp. 73–98.

22. ̂  Laurance, William F. (December 1999). "Reflections on the tropical deforestation

crisis". Biological Conservation, Volume 91, Issues 2–3. pp. 109–117.

23. ̂  Helmut J. Geist And Eric F. Lambin (February 2002). "Proximate Causes and Underlying

Driving Forces of Tropical Deforestation". BioScience, Vol. 52, No. 2. pp. 143–150.

Pengawahutanan di IndonesiaDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Page 5: Pengawahutanan

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar WikipediaMerapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Artikel ini perlu diwikifikasi agar memenuhi standar kualitas Wikipedia. Anda dapat memberikan bantuan berupa penambahan pranala dalam, atau dengan merapikan tata letak dari artikel ini.

Untuk keterangan lebih lanjut, klik [tampilkan] di bagian kanan.[tampilkan]

Deforestasi di Indragiri Hulu, Riau,Sumatera

Deforestasi dekat Taman Nasional Bukit Tiga Puluh

Deforestasi atau penebangan hutan secara liar di Indonesia telah menimbulkan dampak ekologi yang

sangat besar bagi Indonesia dan dunia. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa.

Hutan Indonesia memiliki 12% dari jumlah spesies binatang menyusui atau mamalia, pemilik 16% spesies

binatang reptil dan amphibi, 1.519 spesies burung dan 25% dari spesies ikan dunia. Sebagian diantaranya

Page 6: Pengawahutanan

adalah endemik atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut

dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan

aslinya sebesar 72%.[1] Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan

menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode

1985-1997 tercatat 1,6 juta hektare per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta

hektare per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan

tertinggi di dunia. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta

hektare hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektare berada dalam kawasan hutan.[2]

Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta

hektare. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektare atau 7

persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa oleh pohon tinggal 4 %. Pulau

Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.

Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang

terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau

dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap

kondisi perekonomian masyarakat. Industri perkayuan di Indonesia memiliki kapasitas produksi sangat

tinggi dibanding ketersediaan kayu. Pengusaha kayu melakukan penebangan tak terkendali dan merusak,

pengusaha perkebunan membuka perkebunan yang sangat luas, serta pengusaha pertambangan

membuka kawasan-kawasan hutan. Sementara itu rakyat digusur dan dipinggirkan dalam pengelolaan

hutan yang mengakibatkan rakyat tak lagi punya akses terhadap hutan mereka. Dan hal ini juga diperparah

dengan kondisi pemerintahan yang korup, dimana hutan dianggap sebagai sumber uang dan dapat dikuras

habis untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Penebangan hutan di Indonesia yang tak terkendali telah

dimulai sejak akhirtahun 1960-an, yang dikenal dengan banjir-kap, dimana orang melakukan kayu secara

manual. Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970. Dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya

izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri pada tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land

clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang

juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi

kawasan pengembangan perkotaan.

Pada tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya

kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi

peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa izin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang

dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan.

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Faktor penyebab deforestasi di Indonesia

o 1.1 Hak Penguasaan Hutan

Page 7: Pengawahutanan

o 1.2 Hutan tanaman industri

o 1.3 Perkebunan

o 1.4 llegal logging

o 1.5 Konvensi Lahan

o 1.6 Program Transmigrasi

o 1.7 Kebakaran Hutan

2 Catatan kaki

[sunting]Faktor penyebab deforestasi di Indonesia

Deforestasi di Indonesia sebagian besar merupakan akibat dari suatu sistem politik dan ekonomi yang

korup, yang menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang bisa

dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Pertumbuhan industri pengolahan kayu dan

perkebunan di Indonesia terbukti sangat menguntungkan selama bertahun-tahun, dan keuntungannya

digunakan oleh rejim Soeharto sebagai alat untuk memberikan penghargaan dan mengontrol teman-

teman, keluarga dan mitra potensialnya. Selama lebih dari 30 tahun terakhir, negara ini secara dramatis

meningkatkan produksi hasil hutan dan hasil perkebunan yang ditanam di lahan yang sebelumnya berupa

hutan. Dewasa ini Indonesia adalah produsen utama kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, pulp dan

kertas, disamping beberapa hasil perkebunan, misalnya kelapa sawit, karet dan coklat Pertumbuhan

ekonomi ini dicapai tanpa memperhatikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan atau hak-hak penduduk

lokal.

Untuk saat ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum yang terjadi

saat ini memperparah kerusakan hutan dan berdampak langsung pada semakin berkurangnya habitat

orangutan secara signifikan.

Penyebab deforestasi di Indonesia, yaitu :

[sunting]Hak Penguasaan Hutan

Lebih dari setengah kawasan hutan Indonesia dialokasikan untuk produksi kayu berdasarkan sistem

tebang pilih. Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak

penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap

pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi

secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang

telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi". Areal konsesi HPH yang mengalami degradasi

memudahkan penurunan kualitasnya menjadi di bawah batas ambang produktivitas, yang memungkinkan

para pengusaha perkebunan untuk mengajukan permohonan izin konversi hutan. Jika permohonan ini

disetujui, maka hutan tersebut akan ditebang habis dan diubah menjadi hutan tanaman industri atau

perkebunan.

Page 8: Pengawahutanan

[sunting]Hutan tanaman industri

Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara

untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini

mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. Hampir 9 juta ha lahan, sebagian besar adalah hutan alam,

telah dialokasikan untuk pembangunan hutan tanaman industri. Lahan ini kemungkinan telah ditebang

habis atau dalam waktu dekat akan ditebang habis. Namun hanya sekitar 2 juta ha yang telah ditanami,

sedangkan sisanya seluas 7 juta ha menjadi lahan terbuka yang terlantar dan tidak produktif.

[sunting]Perkebunan

Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari

deforestasi. Hampir 7 juta ha hutan sudah disetujui untuk dikonversi menjadi perkebunan sampai akhir

tahun 1997 dan hutan ini hampir dapat dipastikan telah ditebang habis. Tetapi lahan yang benar-benar

dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 1985 hanya 2,6 juta ha, sementara perkebunan

baru untuk tanaman keras lainnya kemungkinan luasnya mencapai 1-1,5 juta ha. Sisanya seluas 3 juta ha

lahan yang sebelumnya hutan sekarang dalam keadaan terlantar. Banyak perusahaan yang sama, yang

mengoperasikan konsesi HPH, juga memiliki perkebunan. Dan hubungan yang korup berkembang, dimana

para pengusaha mengajukan permohonan izin membangun perkebunan, menebang habis hutan dan

menggunakan kayu yang dihasilkan utamanya untuk pembuatan pulp, kemudian pindah lagi, sementara

lahan yang sudah dibuka ditelantarkan.

[sunting]llegal logging

Illegal logging adalah merupakan praktik langsung pada penebangan pohon di kawasan hutan negara

secara illegal. Dilihat dari jenis kegiatannya, ruang lingkup illegal logging terdiri dari : •Rencana

penebangan, meliputi semua atau sebagian kegiatan dari pembukaan akses ke dalam hutan negara,

membawa alat-alat sarana dan prasarana untuk melakukan penebangan pohon dengan tujuan eksploitasi

kayu secara illegal. •Penebangan pohon dalam makna sesunguhnya untuk tujuan eksploitasi kayu secara

illegal. Produksi kayu yang berasal dari konsesi HPH, hutan tanaman industri dan konversi hutan secara

keseluruhan menyediakan kurang dari setengah bahan baku kayu yang diperlukan oleh industri

pengolahan kayu di Indonesia. Kayu yang diimpor relatif kecil, dan kekurangannya dipenuhi dari

pembalaka ilegal. Pencurian kayu dalam skala yang sangat besar dan yang terorganisasi sekarang

merajalela di Indonesia; setiap tahun antara 50-70 persen pasokan kayu untuk industri hasil hutan ditebang

secara ilegal. Luas total hutan yang hilang karena pembalakan ilegal tidak diketahui, tetapi seorang

mantan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan, Departemen Kehutanan, Titus Sarijanto, baru-baru ini

menyatakan bahwa pencurian kayu dan pembalakan ilegal telah menghancurkan sekitar 10 juta ha hutan

Indonesia.

[sunting]Konvensi Lahan

Peran pertanian tradisional skala kecil, dibandingkan dengan penyebab deforestasi yang lainnya,

merupakan subyek kontroversi yang besar. Tidak ada perkiraan akurat yang tersedia mengenai luas hutan

Page 9: Pengawahutanan

yang dibuka oleh para petani skala kecil sejak tahun 1985, tetapi suatu perkiraan yang dapat dipercaya

pada tahun 1990 menyatakan bahwa para peladang berpindah mungkin bertanggung jawab atas sekitar 20

persen hilangnya hutan. Data ini dapat diterjemahkan sebagai pembukaan lahan sekitar 4 juta ha antara

tahun 1985 sampai 1997.

[sunting]Program Transmigrasi

Transmigrasi yang berlangsung dari tahun 1960-an sampai 1999, yaitu memindahkan penduduk dari Pulau

Jawa yang berpenduduk padat ke pulau-pulau lainnya. Program ini diperkirakan oleh Departemen

Kehutanan membuka lahan hutan hampir 2 juta ha selama keseluruhan periode tersebut. Disamping itu,

para petani kecil dan para penanam modal skala kecil yang oportunis juga ikut andil sebagai penyebab

deforestasi karena mereka membangun lahan tanaman perkebunan, khususnya kelapa sawit dan coklat, di

hutan yang dibuka dengan operasi pembalakan dan perkebunan yang skalanya lebih besar. Belakangan

ini, transmigrasi "spontan" meningkat, karena penduduk pindah ke tempat yang baru untuk mencari

peluang ekonomi yang lebih besar, atau untuk menghindari gangguan sosial dan kekerasan etnis. Estimasi

yang dapat dipercaya mengenai luas lahan hutan yang dibuka oleh para migran dalam skala nasional

belum pernah dibuat.

[sunting]Kebakaran Hutan

Pembakaran secara sengaja oleh pemilik perkebunan skala besar untuk membuka lahan, dan oleh

masyarakat lokal untuk memprotes perkebunan atau kegiatan operasi HPH mengakibatkan kebakaran

besar yang tidak terkendali, yang luas dan intensitasnyan belum pernah terjadi sebelumnya. Lebih dari 5

juta ha hutan terbakar pada tahun 1994 dan 4,6 juta ha hutan lainnya terbakar pada tahun 1997-98[rujukan?].

Sebagian dari lahan ini tumbuh kembali menjadi semak belukar, sebagian digunakan oleh para petani

skala kecil, tetapi sedikit sekali usaha sistematis yang dilakukan untuk memulihkan tutupan hutan atau

mengembangkan pertanian yang produktif[rujukan?].

Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni

menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada

perbedaan kondisi yang ekstrem. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu

akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan

terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan

mudah terbakar[rujukan?]. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan,

sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi,

dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama

(berbulan-bulan). Dan baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif.

Catatan kaki

1. ̂  World Resource Institute. 29 Agustus 1997 [1997].

2. ̂  Badan Planologi Dephut, 2003

Page 10: Pengawahutanan

Gelombang deforestasi baru mengancam ketahanan iklim Afrika, menurut para ahli

20DEC 2011

OLEH DANIEL COONEY

EmailPrint

Kredit Foto: Frank Keillor/flickr.

DURBAN (4 Desember 2011)—Gelombang deforestasi baru sedang menyapu Afrika, memusnahkan satwa liar dan mengancam ketahanan ekosistem untuk bertahan dari pengaruh perubahan iklim- khususnya di bidang ketahanan pangan, kata para ahli.“Laju deforestasi di Afrika…terus meningkat,” kata Helen Gichohi, Ketua African Wildlife Foundation dalam pidato utamanya pada acara Forest Day 5 di Durban yang dilangsungkan bersamaan dengan Konferensi Para Pihak (COP) 17. “Hutan yang terus menghilang, lahan penggembalaan semakin gundul, dan konversi padang rumput dan lahan basah, yang selama ini berfungsi menjadi suaka dari kekeringan, menjadi lahan pertanian telah menghancurkan ketahanan ekosistem ini.”Helen menghimbau agar dana REDD+ segera direalisasikan untuk menyelamatkan hutan di benua ini. REDD+ adalah singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Forest degradation, atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Mekanisme ini sedang didiskusikan di perundingan iklim PBB di Durban, yang mungkin akan menyalurkan miliaran dolar kepada negara-negara berkembang untuk melindungi hutannya.Pesan Gichohi didukung oleh pembicara utama lainnya, Bob Scholes dari Council for Scientific and Industrial Research (CSIR) di Afrika Selatan, yang mengatakan, ”gelombang deforestasi besar berikutnya sedang terjadi dan terjadi di Afrika.”“Jika kita dapat melakukan sesuatu untuk mempengaruhi deforestasi, efeknya akan lebih besar daripada segala sesuatu yang telah dicapai selama ini melalui Protokol Kyoto,” katanya. “Tantangan ini layak didukung oleh upaya kita.”Scholes menggambarkan pola khas dari deforestasi di Afrika sebagai berikut: para penebang masuk ke hutan, mereka menebang pohon-pohon besar dan mengambil kayu

Page 11: Pengawahutanan

yang berharga, kemudian produsen arang mengambil sebagian besar sisa pohon yang tertinggal, dan kemudian masuklah pertanian dengan masukan dan keluaran yang rendah, yang setelah melewati beberapa siklus panen meninggalkan lahan tersebut dalam keadaan rusak dan tak bernilai.“Hutan Afrika perlu segera dilindungi, tidak hanya karena dapat memperlambat perubahan iklim tetapi juga karena hutan merupakan pertahanan akhir dari proses penggurunan yang semakin meluas, mendukung produksi pertanian berkelanjutan, dan mendukung penghidupan puluhan juta penduduk miskin di pedalaman,” kata Frances Seymour, Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (CIFOR).Dalam sambutan pembukaannya, Tina Joemat-Pettersson, Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan Afrika Selatan mengatakan, “Perubahan iklim mengancam banyak tujuan pembangunan negara-negara Afrika dan negara berkembang lainnya di dunia, khususnya dalam bidang air, energi, kesehatan, pertanian dan kehutanan.”Para ahli telah memperingatkan bahwa daerah Sahara di Afrika akan menjadi salah satu wilayah yang paling parah terkena dampak perubahan iklim. Benua ini telah dihantam serangkaian bencana terkait iklim, yang terakhir adalah bencana kelaparan yang dipicu kekeringan di Tanduk Besar Afrika. Para ahli mengatakan bahwa kerusakan hutan dan bentuk degradasi lahan lain yang disebabkan manusia telah mengubah banyak wilayah yang tadinya dapat dimanfaatkan sebagai lahan penggembalaan dan peternakan/pertanian menjadi bentang alam yang tandus.Gichohi mengatakan bahwa 9 persen tutupan hutan di Sahara, Afrika, hilang antara tahun 1995 dan 2005, atau rata-rata laju deforestasi sebesar 40.000 km2 hutan per tahun. Sebagai contoh, Kenya telah kehilangan sebagian besar tutupan hutannya untuk pemukiman dan pertanian, sehingga hanya 1,7% wilayahnya yang masih berupa hutan .“Hutan tidak akan dapat dipertahankan jika penduduk lapar dan tata kelola sumber daya alam tidak memadai,” kata Rachel Kite, Wakil Presiden untuk Pembangunan Berkelanjutan di World Bank. “Rasa lapar menjadi beban langsung bagi hutan ketika masyarakat terpaksa masuk semakin dalam ke wilayah hutan untuk menanam… atau membuat dan menjual arang kayu untuk membeli makanan.”Dengan adanya ancaman menurunnya kondisi hutan pada kesehatan iklim dan kesejahteraan satu miliar penduduk miskin, konsorsium peneliti pertanian terbesar di dunia mengumumkan peluncuran program penelitian global yang ambisius untuk hutan dan agroforestri pada Forest Day 5. Program tersebut akan memiliki anggaran sebesar US$233 juta untuk tiga tahun pertama. Program penelitian CGIAR tentang hutan, pohon dan agroforestri bertujuan untuk membangkitkan kembali upaya-upaya untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan serta memperluas penggunaan pohon untuk pertanian.Inisiatif ini mencakup fokus pada sangat pentingnya hutan sebagai “penyimpan karbon” alami yang dapat membantu memperlambat laju perubahan iklim dan kebutuhan untuk melestarikan keanekaragaman hayati hutan. Para ahli CGIAR percaya bahwa pengelolaan hutan dan pohon yang lebih baik dapat berperan lebih besar untuk mengurangi resiko bagi petani skala kecil dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tergantung pada hutan, khususnya wanita dan kelompok yang dikesampingkan lainnya.Status terkini REDD+ dan hutan di COP 17Status negosiasi iklim saat ini, khususnya yang terkait REDD+, pelaksanaannya dan faktor-faktor pemicu deforestasi, menjadi perhatian utama diskusi di acara tersebut. Walaupun pertanian disebut sebagai salah satu pendorong deforestasi dalam rancangan

Page 12: Pengawahutanan

teks REDD+ terbaru yang dibahas di UNFCCC, lebih banyak upaya perlu dilakukan untuk mengintegrasikan pertanian dan mitigasi hutan melalui “pendekatan bentang alam” terpadu.Meneruskan pesan almarhumah Wangari Maathai, wanita Afrika pertama yang dianugerahi penghargaan Nobel perdamaian dan aktivis lingkungan yang hebat, penyelenggara Forest Day 5 menayangkan sebuah video yang menantang masyarakat hutan global untuk bertindak dengan berani untuk mengurangi ancaman perubahan iklim.“Masyarakatlah yang harus menyelamatkan lingkungan. Masyarakatlah yang harus membuat pemimpinnya berubah. Kita harus mempertahankan apa yang kita yakini dan kita tidak bisa terintimidasi,” kata Maathai dalam film yang ditayangkan tersebut.Tina Joemat-Pettersson, Menteri Pertanian, Kehutanan dan Perikanan negara Afrika Selatan South, menyampaikan kata sambutan pada saat pembukaan sesi pleno Forest Day 5.  Untuk melihat video Forest Day 5, dapat dilihat di sini

Kawasan yang dilindungiDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Safari gajah di tengah Suaka Margasatwa Jaldapara di Benggala Barat,India

Arribes del Duero Natural Park(Salamanca dan Zamora, Spanyol).

Page 13: Pengawahutanan

Taman Nasional Swiss Alps

Kawasan yang dilindungi adalah kawasan atau wilayah yang dilindungi karena nilai-nilai lingkungan

alaminya, lingkungan sosial budayanya, atau karena hal-hal lain yang serupa dengan itu. Pelbagai macam

kawasan yang dilindungi terdapat di berbagai negara, sangat bervariasi baik dalam aras atau tingkat

perlindungan yang disediakannya maupun dalam undang-undang atau aturan (internasional, nasional, atau

daerah) yang dirujuknya dan yang menjadi landasan operasionalnya. Beberapa contohnya adalah taman

nasional, cagar alam, cagar alam laut, cagar budaya, dan lain-lain.

Ada lebih dari 108.000 kawasan yang dilindungi di seluruh dunia, dan jumlah ini terus bertambah,

mencakup wilayah seluas 19.300.000 km²(7,500,000 mil²), atau lebih dari 13% luas daratan dunia;

melebihi luas Benua Afrika [1] . Pada pihak lain, sampai dengan 2008 baru sebanyak 0,8% luas lautan yang

termuat dalam sekitar 5.000 kawasan perlindungan laut [2] [3] .

Salah satu –namun bukan satu-satunya– definisi mengenai kawasan yang dilindungi dikeluarkan oleh Uni

Konservasi Dunia, IUCN.

Daftar isi

  [sembunyikan]

1 Sejarah

2 Kategori IUCN

3 Sistem kawasan yang dilindungi di Indonesia

4 Lihat pula

5 Catatan kaki

6 Pranala luar

[sunting]Sejarah

Keinginan dan tindakan manusia dalam melindungi lingkungannya yang berharga barangkali telah

dilakukan semenjak ribuan tahun yang silam. Akan tetapi salah satu yang tercatat jelas dalam sejarah ialah

apa yang dilakukan oleh Ashoka, salah seorang raja yang paling terkenal dari Dinasti Maurya, India. Pada

tahun 252 s.M. ia mengumumkan perlindungan satwa, ikan, dan hutan [4] .

Page 14: Pengawahutanan

Di zaman modern, penetapan Taman Nasional Yellowstone di Amerika Serikat pada tahun 1872

merupakan salah satu tonggak pentingkonservasi alam masa kini. Di Indonesia sendiri, pada tahun 1889

telah ditetapkan Cagar Alam Cibodas oleh Pemerintah Hindia Belandaketika itu[5], dengan tujuan untuk

melindungi salah satu hutan pegunungan yang paling cantik di Jawa.

Komitmen internasional untuk membangun suatu jaringan kawasan yang dilindungi di dunia berawal dari

tahun 1972, yakni ketika Deklarasi Stockholm memandatkan perlindungan dan pelestarian wakil-wakil

semua tipe ekosistem utama yang ada, sebagai bagian fundamental dari program konservasi di masing-

masing negara. Sejak saat itulah, upaya perlindungan dari perwakilan ekosistem perlahan-lahan tumbuh

menjadi prinsip dasar konservasi alam dan biologi konservasi; dikukuhkan oleh resolusi-resolusi PBB untuk

lingkungan seperti Piagam Dunia untuk Kelestarian Alam (1982), Deklarasi Rio (1992), serta Deklarasi

Johannesburg (2002).

Suatu set dari berbagai tipe kawasan yang dilindungi, luasan serta persebarannya di suatu negara biasa

disebut sebagai sistem kawasan yang dilindungi. Sayangnya, sistem kawasan ini umumnya masih terpaku

pada kawasan konservasi daratan, dengan sedikit sentuhan pada kawasan konservasi laut dan lahan

basah.

[sunting]Kategori IUCN

Menurut definisi IUCN, kawasan yang dilindungi adalah:

Suatu ruang yang dibatasi secara geografis dengan jelas, diakui, diabdikan dan dikelola, menurut aspek

hukum maupun aspek lain yang efektif, untuk mencapai tujuan pelestarian alam jangka panjang, lengkap

dengan fungsi-fungsi ekosistem dan nilai-nilai budaya yang terkait.

Selanjutnya IUCN membedakan aneka macam kawasan yang dilindungi ke dalam enam kategori, yakni[6]:

Ia - Strict Nature Reserve

Yakni suatu wilayah daratan atau lautan yang dilindungi karena memiliki keistimewaan atau

merupakan perwakilan ekosistem, kondisi geologis atau fisiologis, dan atau spesies, tertentu, yang

penting bagi ilmu pengetahuan atau pemantauan lingkungan.

Ib - Wilderness Area

Wilayah daratan atau lautan yang masih liar atau hanya sedikit diubah, yang masih memiliki atau

mempertahankan karakter dan pengaruh alaminya, tanpa adanya hunian yang permanen atau

signifikan; dilindungi dan dikelola untuk mempertahankan kondisi alaminya.

II - National Park

Wilayah daratan dan lautan yang masih alami, yang ditunjuk untuk (i) melindungi integritas

ekologis dari satu atau beberapa ekosistem di dalamnya, untuk kepentingan sekarang dan

generasi mendatang; (ii) menghindarkan/mengeluarkan kegiatan-kegiatan eksploitasi atau okupasi

yang bertentangan dengan tujuan-tujuan pelestarian kawasan; (iii) menyediakan landasan bagi

Page 15: Pengawahutanan

kepentingan-kepentingan spiritual, ilmiah, pendidikan, wisata dan lain-lain, yang semuanya harus

selaras secara lingkungan dan budaya.

III - Natural Monument

Wilayah yang memiliki satu atau lebih, kekhasan atau keistimewaan alam atau budaya yang

merupakan nilai yang unik atau luar biasa; yang disebabkan oleh sifat kelangkaan, keperwakilan,

atau kualitas estetika atau nilai penting budaya yang dipunyainya.

IV - Habitat/Species Management Area

Wilayah daratan atau lautan yang diintervensi atau dikelola secara aktif untuk memelihara fungsi-

fungsi habitat atau untuk memenuhi kebutuhan spesies tertentu.

V - Protected Landscape/Seascape

Wilayah daratan atau lautan, dengan kawasan pesisir di dalamnya, di mana interaksi masyarakat

dengan lingkungan alaminya selama bertahun-tahun telah membentuk wilayah dengan karakter

yang khas, yang memiliki nilai-nilai estetika, ekologis, atau budaya yang signifikan, kerap dengan

keanekaragaman hayati yang tinggi. Menjaga integritas hubungan timbal-balik yang tradisional ini

bersifat vital bagi perlindungan, pemeliharaan, dan evolusi wilayah termaksud.

[sunting]Sistem kawasan yang dilindungi di Indonesia

Pelestarian alam di Indonesia secara legal mengacu kepada dua undang-

undang (UU) induk, yakni UU no 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya; serta UU no 41 tahun 1999 tentang Kehutanan

(jo. UU no 5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan).

UU no 5/1990 bertitik berat pada pelestarian keanekaragaman hayati, baik

keanekaragaman hayati hutan maupun bukan; baik di dalam kawasan hutan

negara maupun di luarnya. Sedangkan UU no 41/1999 salah satunya mengatur

konservasi alam di kawasan hutan negara; namun bukan hanya mencakup

konservasi keanekaragaman hayati, melainkan meliputi pula perlindungan

fungsi-fungsi penunjang kehidupan yang disediakan kawasan hutan.

UU no 41/1999 membedakan dua kategori besar kawasan hutan yang

dilindungi, yakni:

Hutan lindung , yakni kawasan hutan negara yang mempunyai fungsi

pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur

tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut,

dan memelihara kesuburan tanah; dan

Page 16: Pengawahutanan

Hutan konservasi, yakni kawasan hutan negara dengan ciri khas tertentu,

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan

dan satwa serta ekosistemnya.

Selanjutnya, UU no 41/1999 lebih lanjut merinci kawasan hutan konservasi ke

dalam:

Kawasan hutan suaka alam . Ialah kawasan hutan negara dengan ciri khas

tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan

keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga

berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan.

Kawasan hutan pelestarian alam . Ialah kawasan hutan negara dengan ciri

khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem

penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan

satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.

Taman buru . Yakni kawasan hutan negara yang ditetapkan sebagai tempat

wisata berburu.

Peraturan Pemerintah RI no 68 tahun 1998[7] sebelumnya telah mendefinisikan:

Kawasan Suaka Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di

daratan maupun di perairan, yang mempunyai fungsi pokok sebagai

kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga

kehidupan.

Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik

di daratan maupun di perairan, yang mempunyai fungsi perlindungan

sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis

tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam

hayati dan ekosistemnya.

PP no 68/1998, sebagaimana juga UU no 5/1990, tidak membatasi lingkupnya

hanya pada hutan atau kawasan hutan negara. Selanjutnya PP tersebut

merinci, yang termasuk ke dalam Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah cagar

alam dan suaka margasatwa. Sedangkan yang tergolong Kawasan Pelestarian

Alam (KPA) adalah taman nasional, taman hutan raya(tahura), serta taman

wisata alam.

Page 17: Pengawahutanan

Uraian mengenai kawasan yang dilindungi yang paling luas cakupannya, ialah

yang termuat di dalam Keppres no 32 tahun 1990[8]. Keppres yang terbit

sebelum UU no 5/1990 ini mencantumkan:

Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya, terdiri

dari:

Kawasan hutan lindung

Kawasan bergambut

Kawasan resapan air.

Kawasan perlindungan setempat, terdiri dari:

Sempadan pantai

Sempadan sungai

Kawasan sekitar danau/waduk

Kawasan sekitar mata air.

Kawasan suaka alam dan cagar budaya, yakni:

Kawasan suaka alam

Kawasan suaka alam laut  dan perairan lainnya

Kawasan pantai berhutan bakau

Taman nasional , taman hutan raya dan taman wisata alam

Kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, serta

Kawasan rawan bencana

Hutan lindungDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Page 18: Pengawahutanan

Hutan lindung Gunung Tilu di wilayah Jabranti, Kuningan

Hutan lindung (protection forest) adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah atau

kelompok masyarakat tertentu untuk dilindungi, agar fungsi-fungsi ekologisnya --terutama menyangkut tata

air dan kesuburan tanah-- tetap dapat berjalan dan dinikmati manfaatnya oleh masyarakat di sekitarnya.

Undang-undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan menyebutkan[1]:

„Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem

penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah

intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.“

Dari pengertian di atas tersirat bahwa hutan lindung dapat ditetapkan di wilayah hulu sungai (termasuk

pegunungan di sekitarnya) sebagai wilayah tangkapan hujan (catchment area), di sepanjang aliran

sungai bilamana dianggap perlu, di tepi-tepi pantai (misalnya pada hutan bakau), dan tempat-tempat

lain sesuai fungsi yang diharapkan.

Dalam hal ini, undang-undang tersebut juga menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai kawasan

hutan dalam pengertian di atas adalah:

„...wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap.“

[sunting]Silang pengertian

Hutan lindung pengertiannya kerap dipertukar-tukarkan dengan kawasan lindung dan kawasan

konservasi pada umumnya. Kawasan konservasi, atau yang juga biasa disebut sebagaikawasan

yang dilindungi (protected areas), lazimnya merujuk pada wilayah-wilayah yang didedikasikan

untuk melindungi kekayaan hayati seperti halnya kawasan-kawasan suaka alam dan kawasan

pelestarian alam sebagaimana dimaksud oleh UU no 5/1990[2]. Jadi, fungsinya jelas berbeda

dengan hutan lindung.

Sedangkan kawasan lindung memiliki pengertian yang lebih luas, di mana hutan lindung

tercakup di dalamnya. Keppres no 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

menyebutkan[3]:

„Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian

lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta

budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan.“

di mana mencakup (kawasan) hutan lindung sebagai:

„ ... kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada

kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta

memelihara kesuburan tanah.“

Page 19: Pengawahutanan

dan memisahkannya dari bentuk-bentuk kawasan sempadan pantai, sempadan sungai,

serta sempadan waduk, danau, dan mata air.

[sunting]Peraturan terkait lainnya

Undang-undang RI no 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan

Ekosistemnya memuat perlindungan sistem penyangga kehidupan tersebut di atas

dalam satu bab khusus, yaitu Bab II.[2]

[sunting]Rujukan

1. ̂  Undang-undang RI no 41/1999 tentang Kehutanan

2. ^ a b Undang-undang RI no 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

dan Ekosistemnya

3. ̂  Keputusan Presiden RI no 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung

Hutan primerDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum Diperiksa

Tegakan Redwood pada hutan primer Muir Woods National Monument, Kalifornia.

Hutan primer (primary forest) adalah hutan yang telah mencapai umur lanjut dan ciri struktural tertentu

yang sesuai dengan kematangannya; serta dengan demikian memiliki sifat-sifat ekologis yang unik.[1].

Pada umumnya hutan primer berisi pohon-pohon besar berumur panjang, berseling dengan batang-batang

Page 20: Pengawahutanan

pohon mati yang masih tegak, tunggul, serta kayu-kayu rebah. Robohnya kayu-kayu tersebut biasa

membentuk celah atau rumpang tegakan, yang memungkinkan masuknya cahaya matahari ke lantai

hutan, dan merangsang pertumbuhan vegetasi lapisan bawah. Hutan primer yang minim gangguan

manusia biasa disebut hutan perawan.

Hutan serupa ini juga dikenal dengan nama-nama lain dalam bahasa Inggris seperti old-growth

forest, ancient forest, virgin forest,primeval forest, frontier forest, atau di Britania Raya, ancient woodland.

Lawan katanya adalah hutan sekunder, yakni hutan-hutan yang merupakan hasil regenerasi (pemulihan)

setelah sebelumnya mengalami kerusakan ekologis yang cukup berat; misalnya

akibat pembalakan, kebakaran hutan, atau pun bencana alam. Hutan sekunder umumnya secara perlahan-

lahan dapat pulih kembali menjadi hutan primer, yang tergantung pada kondisi lingkungannya, akan

memakan waktu beberapa ratus hingga beberapa ribu tahun lamanya. Hutan kayu daun-lebar di Amerika

Serikat bagian timur dapat pulih kembali menjadi hutan primer dalam satu atau dua generasi tumbuhan,

atau antara 150-500 tahun.

Banyak tegakan hutan primer yang terancam kelestariannya oleh sebab kerusakan habitat yang

diakibatkan oleh pembalakan atau pembukaan hutan. Kehancuran habitat ini pada gilirannya menurunkan

tingkat keanekaragaman hayati, yang memengaruhi bukan saja kelestarian hutan primer itu sendiri, namun

juga keberadaan spesies-spesies asli yang kehidupannya bergantung pada lingkungan yang disediakan

hutan primer.[2][3]

Hutan primer seringkali merupakan rumah bagi spesies-

spesies tumbuhan dan hewan yang langka, rentan atau terancam kepunahan, yang menjadikan hutan ini

penting secara ekologi. Meski demikian, keanekaragaman hayati di hutan primer bisa lebih tinggi atau lebih

rendah jika dibandingkan dengan hutan sekunder, bergantung pada berbagai kondisi lokal, variabel

lingkungan setempat, atau pun letakgeografisnya. Penebangan hutan primer adalah isu yang penting di

banyak bagian dari dunia.

Page 21: Pengawahutanan

Hutan primer European Beech di Taman Nasional Biogradska Gora,Montenegro.

Daftar isi

[sembunyikan]

1 Definisi

o 1.1 Definisi ekologis

1.1.1 Menurut karakteristik hutan

1.1.2 Menurut dinamika tegakan

1.1.3 Menurut umur tegakan

2 Lihat pula

3 Catatan kaki

4 Pranala luar

[sunting]Definisi

Banyak definisi yang telah dikemukakan mengenai apa itu hutan primer, akan tetapi umumnya dapat

digolongkan menurut tiga kategori utama, yakni definisi secara ekologis, sosial dan ekonomi.[4]

[sunting]Definisi ekologis

Tongass National Forest, Alaska.

[sunting]Menurut karakteristik hutan

Kebanyakan definisi menggunakan karakteristik tertentu untuk memastikan identitas hutan primer.

Umumnya karakter itu mencakup adanya pohon-pohon tua, tunggul atau batang-batang mati yang masih

tegak, lapisan-lapisan tajuk (kanopi) hutan yang didominasi oleh pohon-pohon sembulan (emergent), serta

akumulasi dari kayu-kayu mati berukuran besar (di antaranya adalah batang-batang rebah)[5][6].

Page 22: Pengawahutanan

[sunting]Menurut dinamika tegakan

Dari perspektif dinamika tegakan, hutan primer didefinisikan sebagai tahapan akhir yang mengikuti

tahapPertumbuhan-kembali-lapis-bawah.[7] Ringkasan tahap-tahap dinamika tegakan yang dimaksud

adalah sbb.:

1. Tahap Musnahnya tegakan, yakni adanya kejadian gangguan yang merusak dan memusnahkan

hampir semua pohon dalam tegakan hutan.

2. Tahap Tegakan tumbuh kembali, ialah saat dan proses tumbuhnya pohon-pohon baru untuk

membentuk tegakan hutan yang baru.

3. Tahap Seleksi batang, adalah masa-masa di mana pertumbuhan pohon-pohon yang semakin

besar dan rapat mengakibatkan kompetisi yang ketat dalam memperebutkan cahaya. Pohon-

pohon yang lambat tumbuh akan mati dan menyediakan ruang bagi yang mampu bertahan.

Pohon-pohon yang bertahan akan tumbuh semakin besar, dengan atap tajuk yang semakin rapat

dan padat, dan secara drastis menyusutkan jumlah cahaya matahari yang mencapai dasar hutan.

Pohon-pohon lapis-bawah kebanyakan akan mati, dan menyisakan hanya jenis-jenis yang

sanggup hidup di bawah naungan yang berat (spesies toleran).

4. Tahap Pertumbuhan kembali lapis-bawah. Sebagian pohon-pohon kemudian akan mati, baik

karena penyakit, dirusak angin, atau karena sebab-sebab lain. Tumbangnya pohon-pohon itu

akan membentuk celah hutan, yang memungkinkan cahaya –betapapun sedikitnya– dapat

mencapai lantai hutan. Maka pohon-pohon di lapis-bawah tajuk hutan, terutama jenis-jenis yang

toleran terhadap naungan, akan dapat tumbuh kembali khususnya di sekitar tempat-tempat kena

cahaya itu.

5. Tahap Hutan primer. Pohon-pohon penyusun tajuk utama hutan mulai tua dan semakin banyak

yang mati; dengan sendirinya celah hutan yang terbentuk semakin banyak, pada lokasi dan waktu

yang berbeda. Pohon-pohon lapis-bawah tumbuh dengan laju yang berbeda, bergantung pada

ketersediaan cahaya di lingkungannya; dan yang berada di sekitar celah dapat tumbuh lebih

cepat, untuk kemudian menutup celah dengan tajuknya yang meninggi.

Demikianlah, pada hutan primer akan terbentuk semacam kesetimbangan yang dinamis, di mana celah

akan selalu terbentuk dan terpulihkan kembali; secara keseluruhan membentuk mosaik pepohonan dari

pelbagai umur dan jenis. Walau begitu hutan primer belum tentu selamanya demikian, dan ada tiga

kemungkinan lain yang bisa terjadi ke depan: (a) Hutan mengalami bencana yang memusnahkan banyak

pohon, sehingga prosesnya kembali ke tahap awal tegakan. (b) Hutan memengaruhi dan membentuk

lingkungan baru, yang tak sesuai lagi bagi pertumbuhan anakan pohon yang saat ini ada. Pohon-pohon tua

akan punah dan pohon-pohon lebih kecil akan membentuk hutan tiang. (c) Pohon-pohon lapis-bawah yang

menggantikan, berasal dari jenis yang berbeda dengan jenis pembentuk kanopi semula. Dalam kondisi ini

akan terjadi kembali tahap Seleksi batang, namun melibatkan spesies-spesies yang berbeda dengan

sebelumnya.

Page 23: Pengawahutanan

Tahap hutan primer ini dapat bertahan selama ratusan bahkan ribuan tahun; akan tetapi ini bergantung

pada komposisi jenis pohon dan iklim wilayah setempat. Kebakaran hutan alami yang kerap terjadi,

umpamanya, tidak memungkinkan hutan boreal (hutan kutub) dapat tumbuh setua hutan-hutan di jajaran

pantai Pasifik di Amerika utara.

Perlu diperhatikan bahwa meski terjadi pergeseran komunitas pepohonan dalam tegakan, hutan itu tidak

selalu dapat mencapai tahapan hutan primer. Beberapa spesies pohon memiliki tajuk yang relatif terbuka,

yang memungkinkan pohon-pohon toleran tumbuh sempurna di bawah kanopi sebelum tercapainya

tahap Pertumbuhan kembali lapis-bawah. Pohon-pohon yang biasanya di lapis bawah itu pun bisa jadi

mendesak dan menyingkirkan pohon kanopi atas pada tahapan Seleksi batang; maka spesies pohon yang

dominan akan berubah, namun tegakan itu akan tetap berada pada tahap Seleksi batang.

[sunting]Menurut umur tegakan

Umur tegakan hutan juga dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menggolongkan ke dalam hutan primer[8].

Untuk masing-masing wilayah geografis, ada semacam perkiraan waktu rata-rata yang diperlukan oleh

hutan yang rusak untuk pulih kembali mencapai tahap hutan primer. Metoda ini praktis dan berguna,

karena dapat secara cepat dan obyektif menetapkan tahapan suatu tegakan hutan.

Namun demikian metoda ini mengabaikan bagaimana hutan itu berproses. Maka bisa jadi suatu tegakan

hutan dianggap bukan hutan primer, meski telah memiliki ciri-cirinya, hanya karena umurnya lebih muda

dari waktu standar tersebut. Dan sebaliknya, suatu hutan dapat dianggap sebagai hutan primer karena

telah masuk umur, walau bila menilik tanda-tandanya pada kenyataannya belum mencapai tahap itu.

Penggunaan ukuran waktu ini bisa menimbulkan masalah apabila tidak hati-hati diterapkan; karena hutan

yang dibalak hingga sejumlah 30% dari pohonnya cenderung lebih cepat pulih daripada hutan yang dibalak

hingga 80% pohonnya.

[sunting]Lihat pula

Hutan

Hutan sekunder

[sunting]Catatan kaki

1. ̂  White, David (1994). "Defining Old Growth: Implications For Management". Eighth Biennial Southern

Silvicultural Research Conference. Diakses pada 23 November 2009.

2. ̂  Protect the World's Forests dari Rainforest Action Network

3. ̂  The world's remaining great forests dari Harian   The Guardian

4. ̂  Hilbert. J. and Wiensczyk. A. 2007. Old-growth definitions and management: A literature review. BC

journal of ecosystems and management Vol 8:1, 2007

5. ̂  "Interim Old Growth Definition". US Forest Service. Diakses pada 2 April 2009.

6. ̂  "Definitions - Old-growth Forest". Regional Ecosystem Office. Diakses pada 2 April 2009.

Page 24: Pengawahutanan

7. ̂  Oliver, C., B. Larson. 1996. Forest Stand Dynamics.

8. ̂  Integrated Land Management Bureau, 2004. Provincial Non-Spatial Old Growth Order. British

Columbia, Canada

[sunting]Pranala luar

Forest Conservation Portal - committed to ending ancient forest logging

Primal Nature: Preservation and restoration of old-growth forests in the eastern United States

Old growth locations in the eastern U.S.

Old growth definitions from the Pacific northwest

Wildlife and Vegetation of Unmanaged Douglas-Fir Forests

Old-growth forests in Slovenia

Profiles of special species that live in Old growth forests

Collection of Google map links of clear cuts in or around old growth

"Of Spotted Owls, Old Growth, and New Policies: A History" (PDF)

Gifford Pinchot Task Force

Old-Growth Again Restoration Forestry

NW Old Growth Campaign

Umpqua Watersheds, Inc. information on western Oregon old-growth issues

Oregon Natural Resources Council information on Pacific Northwest old-growth issues

Forest Service

Experimental forestry designed to convert tree plantations to old-growth

Thinning To Enhance Biodiversity

Artikel ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Kedelai dan Hutan dalam Busur Deforestasi di Brasil: gencatan senjata sementara?

6AUG 2012

BY CHRISTINE PADOCH

Page 25: Pengawahutanan

Foto dari Neil Palmer/CIAT.

BOGOR, Indonesia (6 Agustus 2012)_Seiring dengan terus meningkatnya permintaan global untuk komoditas seperti kelapa sawit, kedelai dan daging sapi, dan dengan semakin berkurangnya lahan yang dapat dimanfaatkan, dapatkah hutan bertahan?Dapatkah miliaran populasi yang terus bertumbuh di planet ini memperoleh pangan, sandang dan papan yang lebih baik tanpa menghancurkan hutan tropis? Sebuah artikel baru yang ditulis oleh ilmuwan dari beberapa lembaga di Amerika Serikat dan Brasil menunjukkan bahwa upaya untuk mendorong pemanfaatan lahan pertanian yang lebih efisien bersama dengan sejumlah tindakan untuk menekan deforestasi mungkin telah mencapai sasaran tersebut di daerah yang sebelumnya paling dikenal karena lenyapnya hutan: “Busur Deforestasi” di tepi selatan Amazonia di Brasil.Dengan berfokus pada tren terkini dalam produksi kedelai dan perubahan tutupan hutan pada negara bagian MatoGrosso, Maria Macedo dan para koleganya menunjukkan dalam penelitiannya bahwa hubungan yang dianggap tidak terhindarkan antara pertumbuhan pertanian dan menghilangnya hutan bisa diputus dan sasaran-sasaran untuk melakukan konservasi hutan dan mendapatkan lebih banyak pangan, serat dan bahan bakar dapat diwujudkan secara bersamaan.

Sejumlah tindakan anti-deforestasi kemungkinan telah

mempengaruhi sektor pertanianPara penulis memusatkan penelitian mereka di daerah MatoGrosso selama tahun 2006-2010, ketika laju deforestasi yang sebelumnya sangat tinggi di negara bagian pelopor ini turun menjadi hanya 30% dari tingkat deforestasi di dekade sebelumya. Dalam periode lima tahun tersebut, produksi pertanian di MatoGrosso juga mencapai rekor tertinggi.Macedo dan rekan-rekannya menggunakan kombinasi data penginderaan jarak jauh dan informasi statistik tutupan lahan dan produksi pertanian yang dikumpulkan oleh pemerintah Brasil.  Mereka menemukan bahwa walaupun peningkatan produksi kedelai sebesar 78% selama tahun 2006-2010 terjadi karena perluasan lahan pertanian ke daerah baru (MatoGrosso adalah negara bagian produsen kedelai yang terbesar di Brasil), 91% dari perluasan tersebut dilakukan di lahan yang telah dibuka sebelumnya, sering kali untuk lahan pakan ternak. Perluasan tersebut tidak membutuhkan

Page 26: Pengawahutanan

penebangan hutan. Sebesar 22% peningkatan produksi kedelai disebabkan oleh meningkatnya hasil panen per hektar.Para penulis menyoroti bahwa penurunan kegiatan pembukaan hutan “terjadi bersamaan dengan jatuhnya pasar komoditas”, namun sejumlah kebijakan untuk mengurangi deforestasi juga diterapkan dalam periode yang sama. Perubahan ini menunjukkan bahwa bukan hanya krisis finansial yang mendorong penurunan deforestasi. Tingkat keuntungan sektor kedelai di MatoGrosso kemudian kembali ke tingkat yang sama seperti sebelum tahun 2006, namun demikian deforestasi terus menurun,  mengindikasikan bahwa “sejumlah tindakan anti-deforestasi kemungkinan telah mempengaruhi sektor pertanian”.  Data tersebut sangat menjanjikan, namun juga mengarah pada sejumlah pertanyaan penting yang ditindaklanjuti oleh para penulis.Salah satu yang perlu dicermati adalah adanya “kebocoran”, atau kemungkinan bahwa deforestasi yang dihindari di MatoGrosso berpindah ke tempat lain. Macedo dkk. hanya menemukan sedikit bukti tentang “kebocoran langsung perluasan kedelai” ke daerah savana (disebut cerrado di Brasil) tetangga yang sangat rentan di MatoGrosso, dan selama waktu tersebut laju deforestasi di beberapa negara bagian yang kaya hutan di daerah Amazon di Brasil juga menurun. Namun para penulis juga memahami bahwa tidaklah mungkin mengabaikan kemungkinan bahwa ada “perubahan penggunaan lahan tidak langsung dan kebocoran ke wilayah yang lebih jauh” yang tidak terdeteksi.Pertanyaan lain tentu saja adalah, dapatkah perluasan pertanian tanpa pertambahan deforestasi bertahan di MatoGrosso dan tempat-tempat lain? Menurut para penulis, beberapa perubahan terkini mengindikasikan bahwa hal ini mungkin terjadi. Pemerintah Brasil telah berinvestasi besar-besaran untuk memantau dan melaksanakan tindakan-tindakan anti deforestasi, dan baik pemerintah maupun beberapa kelompok industri telah “menciptakan dis-insentif yang kuat untuk perluasan ke lahan hutan”.Namun para penulis memperingatkan bahwa mempertahankan pengurangan deforestasi di tengah melambungnya ekonomi pertanian Brasil akan terus membutuhkan kebijakan insentif baru untuk mendorong pemanfaatan lahan terdegradasi yang efisien, khususnya mengingat pembangunan infrastruktur mempermudah akses ke lahan berhutan yang tersisa dan adanya teknologi baru menyebabkan potensi pemanfaatan hutan lebih menguntungkan.Peringatan para penulis memang tepat pada waktunya. Laporan baru-baru ini dari wilayah tersebut mengindikasikan kemungkinan sudah terjadi kenaikan laju deforestasi, dan dampak peraturan hutan kontroversial yang diusulkan di Brasil masih belum jelas. Sulit memperkirakan tekanan baru apa yang akan dibawa pembangunan ekonomi besar berikutnya dan ledakan harga komoditas atas lahan hutan yang tersisa di daerah tropis.Masyarakat dan pemerintah jelas perlu untuk secara berhati-hati mempertimbangkan strategi dan insentif kebijakan yang paling tepat, spesifik berdasarkan konteks, dan mempertimbangkan berbagai segi/aspek, jika mereka berharap untuk menyeimbangkan tekanan ekonomi dengan kebutuhan melestarikan hutan dan berbagai jasa yang disediakannya. Dalam artikel ini, Macedo dkk. telah berhasil menunjukkan bahwa, paling tidak di satu tempat, keseimbangan tersebut dapat dicapai (setidaknya untuk sementara waktu)