pengaruh jumlah bambu-rongga sebagai alat … · pengaruh jumlah bambu-rongga sebagai alat...
TRANSCRIPT
33
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
PENGARUH JUMLAH BAMBU-RONGGA SEBAGAI ALAT PENGIMBUH
TERHADAP DURASI KEJUT KAPILER DAN WAKTU PEMULIHAN MUKA AIR
TANAH PADA PERIODE AWAL MUSIM PENGHUJAN
Darwis Panguriseng Jurusan Teknik Sipil, FakultasTeknik, Universitas Muhammadiyah Makassar
Email: [email protected]
.
ABSTRAK
“Bambu-rongga” adalah sebuah inovasi baru yang penulis kembangkan dalam kurun waktu dua tahun
terakhir. Penelitian dengan menggunakan Bambu-rongga untuk menemukan material baru dan teknologi
inovatif untuk alat imbuhan buatan (artificial rechange) pada air tanah dangkal yang mudah diterapkan,
murah biayanya, dan ramah lingkungan. Dalam pelaksanaan penelitian pada periode awal musim
penghujan, dihasilkan berbagai fenomena yang menarik untuk dibahas, diantaranya adalah adanya
pengaruh yang signifikan antara penerapan jumlah Bambu-rongga terhadap : (1) Durasi berlangsungnya
kejut kapiler (capillary shock); (2) Waktu pemulihan muka air tanah (groundwater recovery). Istilah kejut
kapiler (capillary shock) telah penulis perkenalkan sejak tahun 2014, yang didefinisikan sebagai “gejala
penurunan muka air tanah yang terjadi pada awal musim penghujan (beginning of rainy season) (Darwis
et al., 2014). Menurut Darwis (2017), bahwa gejala kejut kapiler disebabkan meningkatnya tekanan kapiler
akibat mengecilnya pori tanah pada vedose zone, sehingga air tanah yang berada pada saturated zone
akan terhisap (tertarik) ke lapisan tanah unsaturated, sehingga menurunkan muka air tanah yang
signifikan. Dalam tulisan ini yang dimaksudkan dengan waktu pemulihan muka air tanah adalah durasi
yang diperlukan untuk mengembalikan elevasi muka air tanah ke posisi sebelum musim hujan, setelah
sebelumnya mengalami penurunan akibat gejala kejut kapiler.
Penelitian ini dilakukan di lapangan (field experimental research), dengan menerapkan Bambu-rongga
pada 9 sumur uji dengan jumlah dan formasi titik imbuh yang berbeda, dengan sebuah sumur kontrol
yang menjadi pembanding terhadap ke sembilan sumur uji yang diamati. Pengamatan elevasi muka air
tanah dilakukan pada sesaat hujan redah, dan pada selang 24 jam redahnya hujan dan/atau sebelum
terjadi hujan berikutnya.
Dari hasil pengamatan di lapangan, terlihat beberapa kesimpulan antara lain : (1) semakin banyak Bambu-
rongga yang diterapkan sebagai titik imbuh, semakin besar penyusutan muka air tanah yang terjadi; (2)
semakin banyak Bambu-rongga yang diaplikasikan di sekitar sumur uji, semakin cepat pula periode
berakhirnya kejut kapiler; (3) semakin banyak Bambu-rongga yang diaplikasikan di sekitar sumur uji,
semakin cepat pula waktu pemulihan muka air tanah; (4) semakin banyak Bambu-rongga yang
diaplikasikan di sekitar sumur uji, semakin besar mengalami kenaikan level muka air tanah.
Kata Kunci: Bambu-rongga, Imbuhan Buatan, Kejut Kapiler, Pemulihan Muka Airtanah, Tekanan Kapiler
34
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penelitian ini dilaksanakan untuk menjawab tantangan atas terjadinya degradasi air
tanah pada beberapa lahan pertanian di Kabupaten Takalar dan Kabupaten Gowa, yang telah
mencapai kondisi yang memprihatinkan, akibat penggunaan air tanah yang cukup intensif untuk
kebutuhan tanaman mereka, yang telah dieksploitasi sejak dekade awal 1970-an. Ironisnya
karena Pemerintah setempat belum menganggap gejala tersebut sebagai permasalahan serius.
Padahal kondisi air tanah di wilayah tersebut semakin kritis, karena cukup dekat dengan pantai
sehingga sangat potensial memicu terjadi intrusi air laut dengan cepat dalam volume yang
besar.
Kemerosotan kondisi air tanah baik kuantitas dan kualitasnya, perlu diupayakan untuk
diatasi melalui pengaturan, dilandasi kebijakan yang tepat yang penyusunannya melibatkan
berbagai instansi pemerintah serta melalui sarana rekayasa teknis (Danaryanto et al., 2005).
Degradasi air tanah dapat menimbulkan berbagai dampak, berupa terjadinya proses intrusi air
laut, dan/atau penurunan kesuburan lahan, dan/atau meningkatkan temperatur udara, dan/atau
mengganggu siklus musim (climate), serta berbagai dampak lainnya (Darwis et al., 2012).
Dalam Undang undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, pada pasal-3 ditegaskan bahwa tujuan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup antara lain ; untuk mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara
bijaksana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan mengantisipasi isu lingkungan
global. Air tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang perlu terjamin ketersediaan dan
kesinambungannya untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Undang undang R.I. No.
37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, sampai saat ini belum ada peraturan
pelaksanaannya. Satu-satunya kebijakan operasional dari pemerintah yang terkait dengan usaha
konservasi air tanah yang berlaku sekarang adalah Permen ESDM No. 15 Tahun 2012 tentang
Penghematan Penggunaan Air Tanah.
Menurut Chandrakanth et al. (2012), bahwa manajemen air tanah secara umum merupakan
upaya untuk mengelola keterkaitan antara berbagai faktor penentu terhadap sumber daya air
tanah, seperti vegetasi, daerah resapan, pola peresapan, dan sumber daya manusia yang
berada dan beraktifitas pada kawasan cekungan air tanah. Cekungan air tanah adalah suatu
wilayah yang dibatasi oleh batas-batas hidrogeologis, yang menjadi tempat semua kejadian
hidrogeologis seperti proses pengimbuhan, pengaliran, dan pelepasan air tanah berlangsung
(Danaryanto et al. 2005).
Menurut Chiras (1994) dalam Hammado & Darwis (2016), bahwa dua macam perlakuan
terhadap alam yang berkembang dalam kultur manusia, yaitu : (1) budaya menundukkan alam
(frontier culture), yang menempatkan dirinya bukan sebagai sub-ordinat dari alam sekitarnya
sehingga mereka memandang alam sebagai sumber yang dipersiapkan untuk dieksploitasi
sepuasnya oleh manusia; (2) budaya menyatu dengan alam (eco friendly culture), yang
memandang bahwa semua interaksi antara manusia dengan alam sekitar akan menimbulkan
“pengaruh timbal balik” antara manusia dan alam sekitarnya, sehingga manusia tidak dapat
35
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
lepas sebagai salah satu sub-ordinat dari alam sekitarnya, dan melihat bahwa kerusakan pada
alam dan lingkungan merupakan kerusakan yang juga menimpa dirinya sendiri. Seyogianya
apabila kita ingin mewariskan sumberdaya alam kepada generasi mendatang, maka kultur yang
perlu dimiliki dan dikembangkan umat manusia adalah eco friendly culture, sehingga dapat
menumbuhkan budaya eksploitasi sumberdaya yang berwawasan, serta dapat
mengembangkan berbagai upaya pelestarian yang bersifat ramah lingkungan tanpa atau yang
minimal memberi dampak samping.
Penggunaan bambu sebagai alat imbuhan buatan, yang bertujuan untuk menjaga
sustainabilitas air tanah, akan memberikan berbagai keuntungan, antara lain : (1) Bahan bambu
sebagai alat pengimbuh, murah dan mudah didapatkan; (2) Pemasangan alat pengimbuhan
bambu sangat mudah, cukup dengan pukulan dan tidak dibutuhkan pengeboran; (3) Dapat
dipasang dalam posisi miring ke dalam tanah, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan
penampang infiltrasi yang lebih luas; (4) Dan yang terpenting bahwa alat pengimbuh yang
masuk ke dalam lapisan tanah, tidak akan menimbulkan efek pencemaran terhadap lingkungan
dalam tanah.
2. KAJIAN PUSTAKA
Menurut Arun et al., (2012), bahwa pemanfaatan air untuk berbagai macam keperluan
manusia secara teoritis tidak akan mengurangi volume air yang ada di muka bumi ini, namun
pemanfaatan air secara tidak tepat akan mengakibatkan pergeseran eksistensi pada jenis air.
Keseimbangan air daratan akan berubah seiring dengan perubahan lingkungan yang terjadi,
yang pada umumnya disebabkan oleh tindakan manusia. Volume air tanah dapat berkurang
akibat sulitnya proses infiltrasi dikarenakan permukaan tanah tertutup berbagai bangunan yang
dibuat manusia, dan hal ini akan menambah volume air permukaan dalam bentuk air banjir.
Untuk menjaga keseimbangan dan kelangsungan eksistensi air tanah pada masing-
masing komposisinya, maka perlu dilakukan tindakan konservasi air tanah dalam berbagai
bentuk kegiatan, salah satunya adalah pengimbuhan buatan (artificial rechange).
2.1. Konservasi Air Tanah
Terminologi konservasi air tanah menurut Danaryanto, et al. (2007) adalah “upaya
melindungi dan memelihara keberadaan, kondisi dan lingkungan air tanah guna
mempertahankan kelestarian atau kesinambungan ketersediaan dalam kuantitas dan kualitas
yang memadai, demi kelangsungan fungsi dan kemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan
makhluk hidup, baik waktu sekarang maupun pada generasi yang akan datang”.
Pada awalnya konservasi air tanah diartikan sebagai menyimpan air dan
menggunakannya untuk keperluan yang produktif di kemudian hari. Konsep ini disebut
konservasi segi pasokan. Perkembangan selanjutnya konservasi lebih mengarah kepada
pengurangan atau efisiensi penggunaan air, dan dikenal sebagai konservasi sisi kebutuhan
(Suripin, 2002 dalam Riastika, 2012). Konservasi air tidak bisa lepas dari konservasi tanah,
sehingga keduanya sering disebut bersamaan menjadi konservasi tanah dan air. Hal ini
mengandung makna, bahwa kegiatan konservasi tanah akan berpengaruh tidak hanya pada
perbaikan kondisi lahan tetapi juga pada perbaikan kondisi sumber daya airnya, demikian juga
36
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
sebaliknya (Suripin, 2002 dalam Riastika, 2012). Konservasi air yang baik merupakan gabungan
dari kedua konsep tersebut, yaitu menyimpan air di kala berlebihan, menggunakannya sesedikit
mungkin untuk keperluan tertentu yang produktif. Konservasi air domestik berarti
menggunakan air sesedikit mungkin (secukupnya) untuk mandi, mencuci, menggelontor toilet,
dan penggunaan-penggunaan rumah tangga lainnya. Konservasi air industri berarti pemakaian
air sesedikit mungkin (secukupnya) untuk menghasilkan suatu produk. Konservasi air pertanian
pada dasarnya berarti penggunaan air sesedikit mungkin (secukupnya) untuk menghasilkan
hasil pertanian yang sebanyak-banyaknya (optimal) (Suripin, 2002 dalam Riastika, 2012).
Untuk mendukung konservasi air tanah, maka diselanggarakan pemantauan air tanah.
Obyek pemantauan air tanah antara lain pemantauan kedudukan muka air, debit aliran, jumlah
pengambilan air tanah, kuantitas, kualitas, dan lingkungan keberadaan air tanah. Urgensi
tindakan dan upaya konservasi air tanah, secara konstitusional dijamin oleh negara. Dalam hal
ini landasan hukumnya adalah Undang-undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi
Tanah dan Air, yang mana pada pasal-1 ayat-2 ditegaskan bahwa : “Konservasi Tanah dan Air
adalah upaya pelindungan, pemulihan, peningkatan, dan pemeliharaan fungsi tanah pada lahan
sesuai dengan kemampuan dan peruntukan lahan untuk mendukung pembangunan yang
berkelanjutan dan kehidupan yang lestari”. Untuk pelaksanaan konservasi tanah dan air, dalam
pasal-2 UU tersebut ditegaskan berdasarkan pada beberapa azas, yakni ; (a) partisipatif; (b)
keterpaduan; (c) keseimbangan; (d) keadilan; (e) kemanfaatan; (f) kearifan lokal; dan (g)
kelestarian.
Pada dasarnya tujuan yang ingin dicapai dari konservasi tanah dan air tidak lain adalah
untuk menjamin pemanfaatan berkelanjutan dan kelestarian dari pada lahan yang ada. Hal ini
dapat dilihat pada pasal-3 pada UU Nomor 37 Tahun 2014, yang menegaskan bahwa
penyelenggaraan konservasi tanah dan air bertujuan :
a. Melindungi permukaan tanah dari pukulan air hujan yang jatuh, meningkatkan kapasitas
infiltrasi tanah, dan mencegah terjadinya konsentrasi aliran permukaan;
b. Menjamin fungsi tanah pada lahan agar mendukung kehidupan masyarakat;
c. Mengoptimalkan fungsi tanah pada lahan untuk mewujudkan manfaat ekonomi, sosial,
dan lingkungan hidup secara seimbang dan lestari;
d. Meningkatkan daya dukung DAS;
e. Meningkatkan kemampuan kapasitas dan memberdayakan keikutsertaan masyarakat
secara partisipatif; dan
f. Menjamin kemanfaatan konservasi tanah dan air secara adil dan merata untuk
kepentingan masyarakat.
Pelaksanaan konservasi air tanah tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan volume air
tanah, akan tetapi juga dimaksudkan untuk meningkatkan konservasi air permukaan. Konservasi
air tanah merupakan salah satu bentuk kegiatan pengelolaan air tanah, yang dapat dilakukan
untuk memperbesar pengisian air tanah di daerah imbuhan sekaligus mengurangi
permasalahan lingkungan di daerah tersebut (Darwis, 2016).
Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa kesadaran pemerintah untuk mengupayakan
keberlanjutan dan kelestarian sumber daya tanah dan air harus diikuti dengan kearifan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam segala upaya penyelenggaraan konservasi tanah dan air,
demi keberlanjutan kehidupan masyarakat bersama-sama secara adil dan merata. Menurut
37
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Darwis (2016), bahwa untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan air tanah sebagai salah satu
sumberdaya alam yang dominan untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup di atas bumi,
maka konsep pemikiran dalam merencanakan, melaksanakan dan mengawasi pelaksanaan
pembangunan dan berbagai macam aktivitas manusia dalam menggunakan sumberdaya alam
harus berlandaskan pada konsep pembangunan berkelanjutan, yang tidak hanya memikirkan
kepentingan saat ini, akan tetapi juga harus memperhatikan kebutuhan generasi mendatang.
Menurut Neolaka (2008) dalam Faturrohman (2013), bahwa pembangunan berkelanjutan
adalah pembangunan yang berusaha memahami kebutuhan dan aspirasi generasi saat ini tanpa
mengorbankan kepentingan generasi-generasi yang akan datang. Oleh karena itu
pembangunan berkelanjutan harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut :
1. Menempatkan aspek lingkungan sedini mungkin pada saat ada pembangunan.
2. Pada setiap tahap pembangunan lingkungan menjadi pertimbangan utama.
3. Menerapkan konsep efisiensi dan konservasi dalam penggunaan sumber daya alam.
2.2. Pengimbuhan Air Tanah
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa air yang disebut dengan air tanah
adalah semua air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.
Keberadaan air tanah di dalam lapisan tanah tidak terlepas dari adanya proses infiltrasi dari air
permukaan, baik air hujan ataupun air yang terdapat pada berbagai reservoir permukaan
seperti sungai, danau, embung, bendung, dan lain sebagainya. Air dari permukaan tanah
berinfiltasi ke dalam lapisan tanah untuk mengisi pori-pori tanah yang tak jenuh, akibat gaya
gravitasi bumi.
Jenis air tanah tergantung eksistensi dan letaknya secara umum dapat dikategorikan atas
dua jenis, yakni ; air tanah dangkal, yaitu air tanah yang berada dekat ke permukaan tanah; dan
air tanah dalam, yaitu air tanah yang letaknya jauh di bawah permukaan tanah. Diskripsi jenis-
jenis air tanah berdasarkan keberadaannya dalam lapisan tanah dapat dilihat pada tabel berikut
ini :
Apabila ditinjau dari sifatnya terhadap air batuan tersebut menurut Danaryanto et al.
(2005), lapisan tanah/batuan dapat dibedakan atas :
1) Akuifer (aquifer)
Suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang permeable baik yang
terkonsolidasi (lempung) maupun yang tidak terkonsolidasi (pasir) dengan kondisi jenuh air
dan mempunyai suatu besaran konduktivitas hidraulik (K) sehingga dapat membawa air
(atau air dapat diambil) dalam jumlah (kuantitas) yang ekonomis. Pasir dan kerikil
merupakan contoh suatu jenis akuifer. Keberadaan lapisan akifer ini sangat penting dalam
usaha penyadapan air tanah.
2) Aquiclude (lapisan kedap air)
Suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang kedap air
(impermeable) dengan nilai konduktivitas hidraulik yang sangat kecil sehingga tidak
memungkinkan air untuk melewatinya. Dapat dikatakan pula bahwa aquiclude ini
merupakan lapisan pembatas atas dan pembatas bawah suatu confined aquifer. Lempung
padat adalah salah satu jenis dari aquiclude.
38
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
3) Aquitard (semi impervious layer)
Suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang permeable dengan nilai
konduktivitas hidraulik yang kecil namun masih memungkinkan air melewati lapisan ini
walaupun dengan gerakan yang sangat lambat. Dapat dikatakan pula bahwa aquitard ini
merupakan lapisan pembatas atas dan pembatas bawah suatu semi confined aquifer. Salah
satu jenis lapisan aquitard adalah lempung pasiran.
4) Aquifug
Suatu lapisan, formasi, atau kelompok formasi satuan geologi yang relatif kedap air, yang
tidak mengandung ataupun tidak dapat mengalirkan air (air sama sekali tidak dapat
melewatinya). Contoh lapisan aquifug adalah jenis batuan granit.
Menurut Sophocleous et al., (2010), aliran air tanah di dalam afuifer dapat dibedakan
dalam aliran akuifer tertekan (confined aquifer), dan aliran akuifer tak tertekan (unconfined
aquifer).
1. Aquifer tertekan (confined aquifer)
Merupakan lapisan rembesan air yang berisi kandungan air tanah yang bertekanan lebih
besar dari tekanan udara bebas/tekanan atmosfir, karena bagian bawah dan atas dari
akuifer ini tersusun dari lapisan kedap air (impermeable layers). Muka air tanah dalam
kedudukan ini disebut pisometri, yang dapat berada di atas maupun di bawah muka tanah.
Apabila tinggi pisometri ini berada diatas muka tanah, maka air sumur yang menyadap
akuifer jenis ini akan mengalir secara bebas. Air tanah dalam kondisi demikian disebut
artoisis atau artesis. Dilihat dari kelulusan lapisan pengurungnya akuifer tertekan dapat
dibedakan menjadi akuifer setengah tertekan (semi-confined aquifer) atau tertekan penuh
(confined aquifer) dan dapat pula disebut akuifer dalam.
2. Aquifer tak tertekan/bebas (unconfined aquifer)
Merupakan lapisan rembesan air yang mempunyai lapisan dasar kedap air, tetapi bagian
atas muka air tanah lapisan ini tidak kedap air, sehingga kandungan air tanah yang
bertekanan sama dengan tekanan udara bebas/tekanan atmosfir. Ciri khusus dari akuifer
bebas ini adalah muka air tanah yang sekaligus juga merupakan batas atas dari zona jenuh
akuifer tersebut, sering disebut pula dengan akuifer dangkal.
Ada beberapa teknik pelaksanaan pengimbuhan air tanah dengan imbuhan buatan, seperti :
(1) Teknik Suntikan Air (Injection Technique) ; Teknik ini biasanya diterapkan untuk
pengimbuhan pada akuifer dalam, yang biasanya berupa akuifer tertekan.
(2) Teknik Pipa Komposter ; suatu teknik yang dikombinasi dengan pengomposan sampah,
sehingga air permukaan lebih mudah berinfiltrasi melalui pipa komposter tersebut.
(3) Teknik Biopori ; sebuah teknik imbuhan air tanah dengan lapisan top soil yang low
permeability cukup tipis, Hal ini disebabkan karena sistem biopori tidak dapat dibuat
lebih dalam seperti halnya pada sistem Pipa Komposter.
(4) Teknik Pipa Resapan ; yang dikembangkan oleh Darwis dkk (2012 – 2014), yang dapat
digunakan untuk pengimbuhan pada lapisan low permeability dengan penetrasi yang
lebih dalam (kedalaman dapat mencapai 6 m).
Dan pada tahap pengembangan penelitian ini, dikembangkan teknik baru dengan
menggunakan bahan material lokal, yaitu penerapan Bambu-rongga sebagai alat pengimbuh
buatan, yang mudah dan murah serta ramah lingkungan.
39
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
3. Pengembangan Teoritis
3.1. Teori Dasar
Menurut C. Wolf dalam tulisannya yang berjudul "Vom Einfluss der Temperatur auf die
Erscheinungen in Haarröhrchen, 1857”, yang ditemukan dalam bentuk manuskrip bahwa orang
yang pertama melakukan observasi mengenai cappilary action adalah oleh Leonardo da Vinci
(1519). Baru pada tahun 1660, seorang ahli kimia bernama Robert Boyle, menyatakan bahwa
ketika sebuah tabung kapiler yang dicelupkan ke dalam air, maka air akan naik lebih tinggi di
dalam tabung dibandingkan air berada di luar tabung. Selanjutnya beberapa orang lain seperti
Honoré Fabri dan Jacob Bernoulli, berpikir bahwa cairan naik di kapiler karena udara tidak dapat
masuk ke tabung kapiler semudah seperti cairan, sehingga tekanan udara lebih rendah di dalam
tabung kapiler. Sedangkan orang lain seperti Isaac Vossius, Giovanni Alfonso Borelli, Louis
Carré, Francis Hauksbee, dan Josia Weitbrecht, berpikir bahwa partikel cairan saling tertarik satu
sama lain dan melekat ke dinding pada tabung kapiler. James Jurin (1718), yang mengamati
bahwa tinggi cairan di kolom kapiler adalah fungsi hanya dari luas penampang melintang di
permukaan, bukan dimensi kolom lainnya. Dari observasi tersebut Jurin merumuskan tinggi h
kolom cair yang diberikan nama Hukum Jurin (Jurin's Law). Kemudian pada tahun 1805 dua
orang peneliti, masing-masing Thomas Young (Inggris) dan Pierre Simon Laplace (Francis),
berhasil merumuskan cappilary action equation yang disebut Young-Laplace Equation.
Selanjutnya Hukum Jurin dan formula Young-Laplace inilah banyak menginspirasi penemu
berikutnya, seperti Carl Friedrich Gauss (Germany) yang menemukan teori untuk menentukan
boundary condition yang mengatur capillary action (1830), Lord Kelvin (Inggris) yang
menemukan efek menikus pada tekanan uap cair yang dirumuskan dalam formula Kelvin
equation (1871), kemudian Franz Ernst Neumann (Germany) yang menemukan adanya interaksi
antar dua cairan yang tidak bercampur (1894).
Hukum Jurin dirumuskan dengan asumsi bahwa pada sebuah tabung kecil (radius a),
pertemuan antara dua cairan membentuk meniskus yang merupakan bagian permukaan bola
dengan radius R. Loncatan tekanan di permukaan ini adalah ;
Rp 2 and
CosaR , then;
a
Cosp .2 .........................................................(1)
Untuk menjaga keseimbangan hidrostatik, tekanan kapiler yang diinduksi diimbangi
dengan perubahan tinggi badan (h), yang dapat bernilai positif atau negatif, tergantung pada
apakah sudut pembasahan kurang atau lebih dari 90 °, dengan ρ adalah densitas fluida dan g
adalah percepatan gravitasi, maka :
Gambar 1. Spherical meniscus with wetting angle less than 90°
40
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
gaCosh
...2
.................................................................................(2)
Persamaan Young-Laplace menghubungkan perbedaan tekanan dengan bentuk
permukaan atau dinding dan secara fundamental penting dalam studi permukaan kapiler statis.
Sistimatika rumusan Young-Laplace equation adalah sebagai berikut :
p = - ..ň
p = 2 .H
21
11RR
p .................................................................................(3)
Where :
p = the pressure difference across the fluid interface,
= the surface tension (or wall tension),
ň = the unit normal pointing out of the surface
H = the mean curvature,
R1, R2 = the principal radius of curvature.
Dalam kasus umum, untuk permukaan yang bebas, dan bila ada tekanan berlebih yang
diterapkan (Δp) pada permukaan (interface), maka ada keseimbangan antara tekanan yang
diberikan, tekanan hidrostatik dan efek tegangan permukaan. Persamaan Young-Laplace
menjadi :
21
11..RR
hgp .................................................................................(4)
Persamaan ini dapat berupa non-dimensionalised dalam hal karakteristik skala dan panjang
kapiler :
g
Lc .
.................................................................................(5)
Dan tekanan karakteristiknya adalah :
gL
pc
c .. ...................................................................................(6)
Air kapiler di dalam tanah merupakan air tanah yang ditahan akibat adanya gaya kohesi
dan adhesi yang lebih kuat dibandingkan gaya gravitasi. Air kapiler bergerak ke samping atau
ke atas karena gaya kapiler. Air kapiler ini menempati pori mikro dan dinding pori makro,
ditahan pada tegangan antara 1/3 – 15 atm (pF 2,52 – 4,20). Air kapiler melapisi butiran tanah,
diikat longgar oleh partikel tanah, dapat dilepaskan oleh perakaran, dapat diserap akar.
Tekanan kapiler (Pc) didefinisikan sebagai perbedaan tekanan yang ada antara permukaan
dua fluida yang tidak tercampur (cairan-cairan atau cairan-gas) sebagai akibat dari terjadinya
41
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
pertemuan permukaan yang memisahkan mereka. Perbedaan tekanan dua fluida ini adalah
perbedaan tekanan fluida “non wetting fasa” (Pnw) dengan fluida “wetting fasa” (Pw), atau :
wnwc PPP ...................................................................................(7)
Tekanan kapiler dalam batuan berpori tergantung pada ukuran pori-pori dan macam
fluidanya. Secara kuantitatif dapat dinyatakan dalam hubungan :
hgr
Pc ..cos.2
..................................................................................(8)
Yang mana :
Pc = tekanan kapiler
σ = tegangan permukaan antara dua fluida
cos q = sudut kontak permukaan antara dua fluida
r = jari-jari lengkung pori-pori
Δρ = perbedaan densitas dua fluida
g = percepatan gravitasi
h = tinggi kolom
Tekanan kapiler mempunyai pengaruh yang penting dalam reservoir fluida dalam tanah
seperti air tanah, minyak, maupun gas, yaitu :
1) Mengontrol distribusi saturasi di dalam reservoir.
2) Merupakan mekanisme pendorong minyak dan gas untuk bergerak atau mengalir
melalui pori-pori reservoir dalam arah vertikal.
Tekanan kapiler dapat timbul karena adanya tarikan lapisan tipis permukaan air sebelah
atas. Kejadian ini disebabkan oleh adanya pertemuan antara dua jenis material yang berbeda
sifatnya. Pada prinsipnya, tarikan permukaan adalah hasil perbedaan gaya tarik antara molekul-
molekul pada bidang singgung pertemuan dua material yang berbeda sifatnya.
3.2. Kejut Kapiler
Istilah kejut kapiler (capillary shock) telah penulis perkenalkan sejak tahun 2014, yang
didefinisikan sebagai “gejala penurunan muka air tanah yang terjadi pada awal musim
penghujan (beginning of rainy season) (Darwis et al., 2014). Menurut Darwis (2017a), bahwa
gejala kejut kapiler disebabkan meningkatnya tekanan kapiler akibat mengecilnya pori tanah
pada vedose zone, sehingga air tanah yang berada pada saturated zone akan terhisap (tertarik)
ke lapisan tanah unsaturated, sehingga menurunkan muka air tanah yang signifikan. Dalam
tulisan ini yang dimaksudkan dengan waktu pemulihan muka air tanah adalah durasi yang
diperlukan untuk mengembalikan elevasi muka air tanah ke posisi sebelum musim hujan,
setelah sebelumnya mengalami penurunan akibat gejala kejut kapiler.
Akibat tekanan kapiler, air tanah tertarik ke atas melebihi permukaannya dan mengisi
ruang (pori) di antara butiran tanah. Pori-pori tanah sebenarnya bukan sistem pipa kapiler,
tetapi teori kapiler dapat diterapkan guna mempelajari kelakuan air pada zone kapiler. Air
dalam zone kapiler ini dapat dianggap bertekanan negative, yaitu mempunyai tekanan di
bawah tekanan atmosfer.
42
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Gambar 2. Diagram Kapilaritas Air dalam Tanah (Davie, T., 2008)
Diagram kapilaritas suatu lapisan tanah, dapat dilihat pada gambar 1. Tinggi minimum
dari hc(min) dipengaruhi oleh ukuran maksimum pori-pori tanah. Di dalam batas antara hc(min)
dan hc(mak), tanah dapat bersifat jenuh sebagian (partially saturated). Terzaghi dan Peck (1948)
memberikan hubungan pendekatan antara hc(mak) dan diameter butiran, sebagai berikut:
)(. 10
mmDeChc ..................................................................................(9)
Yang mana :
hc = tinggi air dalam pipa kapiler (mm)
C = konstanta (C bervariasi antara 10-50 mm2 )
D10 = diameter efektif (mm)
e = angka pori tanah
Tinggi air kapiler untuk berbagai macam tanah diberikan oleh Hansbo (1975), dapat
dilihat dalam penyajian pada tabel 1.
Tabel 1. Ketinggian air kapiler (Hansbo, 1975)
Jenis Tanah Kondisi Longsor Konisi padat
Pasir Kasar
Pasir Sedang
Pasir Halus
Lanau
Lempung
0,03 - 0,12 m
0,12 – 0,50 m
0,30 – 2,00 m
1,50 – 10,0 m
-
0,04 – 0,15 m
0,35 – 1,10 m
0,40 – 3,50 m
2,50 – 12,0 m
> 10 m
Jika pada tanah dapat dianggap sebagai campuran partikel dan pori-pori, dengan pori-
pori membentuk tabung kapiler. Gaya kapiler dalam tanah telah diuraikan oleh M.G. Bos et al.
(2009) ;
F↑= .cos x 2.r ...................................................................................(10)
Yang mana :
F↑ = Gaya angkat (Newton)
= Tegangan permukaan air terhadap udara ( = 0.073 kg.s−2 at 20°C)
= Sudut kontak antara air dengan tabung (rad); (cos = 1.0)
r = Jari-jari equivalent tabung (m)
43
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Karena gaya gravitasi, kolom air dengan ketinggian C dan massa πr2C.ρ, memberikan gaya ke
bawah (F ↓), yang melawan kenaikan kapiler, sebagai berikut :
F↓ = r2 C..g ...................................................................................(11)
Yang mana :
F↓ = Gaya ke bawah (Newton)
r = Densitas air (r = 1,000 kg/m3 )
g = Percepatan gravitasi (g = 9.81 m/s2 )
C = Ketinggian kenaikan kapiler (m)
Pada kondisi seimbang, gaya ke atas (F↑), harus sama dengan gaya ke bawah (F↓), didapat :
.cos.2r = r2 C..g
Sehingga dapat memberikan persamaan untuk kenaikan kapiler, sebagai berikut :
grC
cos2 .................................................................................(12)
Beberapa hasil penelitian yang berhubungan dengan penelitian yang penulis lakukan,
antara lain : (1) Hasil pemodelan Thomas Morville Schrøder (2003) dengan MIKE SHE modeling,
disimpulkan bahwa “kenaikan kapiler menyumbang nilai kenaikan panjang resapan bersih
dalam jangka panjang dari 200 menjadi 260 mm/tahun. Selain itu, drainase bawah permukaan
mengurangi penguapan dari daerah yang tergenang air dengan peningkatan aliran yang
besarnya satu skala lebih besar dari penurunan aquifer 2 mm/tahun”; (2) Vergnes, J.P. et al.
(2014), melakukan pemodelan dengan skema air tanah yang diterapkan pada model route
sungai, dimana Total Runoff terintegrasi pada aliran lintasan (pathways), yaitu dengan
mengamati Interaction between Soil Biosphere Atmosphere (ISBA) pada permukaan tanah.
Kesimpulan dari penelitian mereka adalah bahwa fluks kapiler ke atas di bagian bawah tanah
meningkatkan evapotranspirasi tahunan rata-rata yang disimulasikan pada domain akifer
sebesar 3,12% dan 1,54% pada resolusi tinggi dan rendah. Kenaikan ini secara lokal mencapai
50% dan 30%; (3) Xu Xu et al., (2015), melakukan studi hubungan antara kenaikan kadar air
tanah pada lahan pertanian dengan kenaikan kapiler (capillary rise) di Daerah Irigasi Hetao
(China).
4. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian pengembangan (Research and Development) dalam
bentuk penelitian eksperimen lapangan (field experimental research), yang akan meneliti dan
mengembangkan alternatif penggunaan bambu, sebagai alat pengimbuh untuk upaya
konservasi air tanah dangkal. Variabel penelitian ini berbeda pada setiap tahun seiring dengan
tujuan penelitian pada masing-masing tahap. Untuk menggambarkan variabel penelitian pada
penelitian tahun ke-1 adalah sebagai berikut :
Variabel Bebas (independent variable) : X : Jumlah titik imbuh “Bambu-rongga”
X = 8-ttk; 16-ttk; 24-ttk; 32-ttk; 40-ttk; 48-ttk; 56-ttk; 64-ttk & 128-ttk (9-formasi titik
imbuh);
Panjang bambu imbuh (h) =1,5m ; Spasi titik imbuh (s) = 5m ;
Sumur kontrol = 1 unit ; Sumur uji = 9 unit.
Variabel Terikat (dependent variable) : Y : Imbuhan Air Tanah
Indikator terukur : Kenaikan muka air tanah dalam sumur uji.
44
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Formasi titik imbuh pada 9-unit sumur uji yang diamati, seperti tergambar berikut :
Gambar 3. Sembilan Formasi Pengimbuh Yang Diuji Lapangan
Untuk mengetahui fluktuasi muka air tanah (decrease and increase of groundwater level),
maka dilakukan pengukuran langsung terhadap posisi muka air tanah sesaat setelah terjadinya
terjadi hujan dan selang 24 jam dan/atau sebelum terjadi hujan berikutnya. Untuk mengetahui
efektivitas penerapan imbuhan buatan “Bambu-rongga”, dapat dilihat dari selisih Antara
perubahan muka air tanah dalam sumur uji dengan perubahan muka air tanah pada sumur
kontrol.
Sesuai dengan variabel penelitian, data penelitian ini berupa pengamatan terhadap nilai
perubahan muka air tanah, yang terjadi pada setiap sumur uji pada tiap terjadinya
pengimbuhan (hujan). Data tersebut dianalisis dengan teknik statistik deskriptif, dan
digambarkan dalam bentuk grafik kenaikan muka air tanah pada setiap terjadinya hujan. Untuk
mengetahui pengaruh antara variabel penelitian akan dilakukan analisis regresi, dan untuk
mengetahui kekuatan hubungan variabel penelitian akan dilakukan analisis korelasi.
5. Hasil Penelitian dan Pembahasan
5.1. Karaktersitik Tanah
Sebagai bagian dari setting eksperimen di lapangan, juga telah rampung diselesaikan
pekerjaan soil testing, yang dibutuhkan untuk mengetahui karakteristik permeabIlitas tanah
setiap kedalaman di lokasi penelitian. Hasil uji laboratorium yang dilakukan dapat dilihat pada
tabel berikut.
Tabel 2. Koefisien Permeabilitas Hasil Uji Laboratorium
No Kedalaman / Lapisan Tanah Jenis Tanah Koefisien Permeabilitas
1 Top layer (0,00 s/d 1,00 m) Silty clay k = 1,14 x 10-7 mm/det
45
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
2 Medium layer (1,00 s/d 2,40 m) Sandy clay k = 1,67 x 10-4 mm/det
3 Deep layer (2,40 s/d 6,00 m) Silty sand k = 1,36 x 10-2 mm/det
Diskripsi nilai permeabilitas tanah di atas, menunjukkan bahwa lapisan top soil merupakan
tanah dengan sifat low permeable, yang sulit untuk merembeskan air ke dalam tanah, sehingga
kapasitas infiltrasi alamiah pada lahan tersebut cukup rendah. Sedangkan pada medium layer
terlihat bahwa permeabilitasnya pada tingkat sedang, sehingga fungsi pengimbuh buatan
(artificial rechange) cukup signifikan dalam merembeskan air pada proses infiltrasi.
5.2. Curah Hujan
Intensitas curah hujan yang terjadi dibaca langsung pada alat Ombrometer sederhana
yang terpasang di lokasi penelitian. Pembacaan Ombrometer dibaca setiap terjadinya hujan di
lokasi penelitian. Pada awal musim penghujan tahun 2017 intensitas curah hujan cukup rendah,
dan hal ini dapat terlihat pada pembacaan curah hujan yang digambarkan pada grafik berikut.
Gambar 4. Grafik Intensitas Curah Hujan (awal musim hujan, 2017)
5.3. Fluktuasi muka air tanah pada sumur kontrol
Pembacaan fluktuasi muka air tanah pada sumur kontrol (control well), dilakukan
bersamaan dengan pembacaan pada semua sumur uji (testing well), yaitu sebelum hujan, pasca
hujan sampai 24 jam setelah hujan berhenti. Pembacaan yang dihasilkan dari sumur kontrol,
akan menjadi referensi dan komparasi terhadap pembacaan yang dihasilkan pada kesembilan
sumur uji yang diamati. Dalam hal ini yang dibandingkan adalah baik penurunan muka air tanah
(decrease) yang terjadi pada periode awal musim hujan (fenomena kejut kapiler), maupun
peningkatan air tanah (increase) yang terjadi selepas fenomena kejut kapiler.
Pada sumur kontrol yang diamati terlihat bahwa penurunan muka air tanah (groundwater
decrease) pada periode kejut kapiler adalah sebesar 25 cm. Selain itu terlihat bahwa periode
kejut kapiler terjadi sampai pada hujan yang ke-7, dan pada hujan ke-15 terjadi pemulihan
46
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
muka air tanah (groundwater recovery), yaitu kembalinya level air tanah pada posisi yang sama
dengan level air tanah sebelum hujan pertama.
Berikut diperlihatkan grafik fluktuasi muka air tanah pada semur kontrol sejak awal musim
hujan, hingga muka air tanah mengalami peningkatan di atas muka air tanah sebelum periode
kejut kapiler.
Gambar 5. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Kontrol
5.4. Fluktuasi muka air tanah pada Sumur Uji
Fluktuasi muka air tanah pada sembilan (9) unit sumur uji yang diamati dilakukan dengan
pengukuran level air tanah pada setiap sumur uji. Pembacaan fluktuasi muka air tanah pada
semua sumur uji (testing well), dilakukan bersamaan dengan pembacaan pada sumur kontrol
(control well), yaitu sebelum hujan, pasca hujan sampai 24 jam setelah hujan berhenti.
Pada kesembilan sumur uji yang diamati terlihat bahwa penurunan muka air tanah
(groundwater decrease) pada periode kejut kapiler kurang lebih sedalam 35 sampai 38 cm.
Selain itu terlihat bahwa periode kejut kapiler terjadi pada hujan yang ke-5 sampai hujan ke-7.
Dan pada hujan ke-12 sampai hujan ke-14 terjadi pemulihan muka air tanah (groundwater
recovery), yaitu kembalinya level air tanah pada posisi yang sama dengan level air tanah
sebelum hujan pertama.
Berikut diperlihatkan grafik fluktuasi muka air tanah pada sembilan sumur uji, sejak awal
musim hujan hingga muka air tanah mengalami peningkatan di atas muka air tanah sebelum
periode kejut kapiler.
47
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Gambar 6. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-01 (8-Pengimbuh)
Gambar 7. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-02 (16-Pengimbuh)
Gambar 8. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-03 (24-Pengimbuh)
48
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Gambar 9. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-04 (32-Pengimbuh)
Gambar 10. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-05 (40-Pengimbuh)
Gambar 11. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-06 (48-Pengimbuh)
49
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Gambar 12. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-07 (56-Pengimbuh)
Gambar 13. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-08 (64-Pengimbuh)
Gambar 14. Fluktuasi Muka Airtanah pada Sumur Uji-09 (128-Pengimbu
50
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Dari grafik fluktuasi muka air tanah pada kesembilan sumur uji yang diamati, dapat
rangkum dalam tabel berikut :
Tabel 3. Hasil Pengamatan Pada 9 Sumur Uji
No. Sumur
Jumlah
Pengimbuh
(titik imbuh)
Decrease
Airtanah Kejut
Kapiler (cm)
Durasi Kejut Kapiler
(Hujan ke..)
Waktu pemulihan
m.a.t. (Hujan ke..)
Increase
Airtanah
(cm)
01 8 35 7 13 34
02 16 36 6 14 36
03 24 36 6 14 37
04 32 36 6 14 44
05 40 37 6 13 47
06 48 37 6 13 50
07 56 37 6 13 62
08 64 38 5 12 68
09 128 38 5 12 72
5.5. Pembahasan
1. Pengaruh jumlah pengimbuh terhadap penyusutan (decrease) muka air tanah; terlihat
bahwa semakin banyak Bambu-rongga yang diterapkan sebagai titik imbuh, semakin
besar penyusutan muka air tanah yang terjadi. Hal ini disebabkan karena semakin banyak
air yang berinfiltrasi melalui Bambu-rongga, semakin banyak bukaan tanah yang tertutup
pada vedose zone, sehingga pori tanah akan semakin kecil dan diameter kapiler tanah
akan semakin kecil pula. Dengan demikian tekanan kapiler akan semakin membesar dan
ketebalan lapisan tanah kapiler akan semakin tinggi, sehingga air tanah di dalam
saturated zone akan semakin banyak yang tertarik ke atas, mengisi lapisan kapiler yang
lebih tebal. Proses peningkatan tekanan kapiler inilah yang mengakibatkan penyusutan air
tanah pada periode kejut kapiler akan semakin besar, pada kondisi penerapan Bambu-
rongga yang semakin banyak (Darwis, 2017b).
2. Pengaruh jumlah pengimbuh terhadap durasi kejut kapiler (capillary shock); terlihat
bahwa semakin banyak Bambu-rongga yang diaplikasikan di sekitar sumur uji, semakin
cepat pula periode berakhirnya kejut kapiler. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
periode kejut kapiler berhenti, yaitu pada hujan ke-5 untuk sumur uji dengan titik imbuh
yang banyak, dan pada hujan ke-7 untuk sumur uji dengan titik imbuh yang sedikit.
Menurut analisis penulis bahwa gejala ini disebabkan karena tingginya tekanan kapiler
akan menyebabkan cepatnya proses pengisian air kapiler (capillary water) pada zona
kapiler. Hal ini menyebabkan gejalan kejut kapiler dengan cepat berhenti, dan selanjutnya
infiltrasi air ke dalam tanah akan mengisi dan meningkatkan level muka air tanah (Darwis
2017b).
51
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
3. Pengaruh jumlah pengimbuh terhadap waktu pemulihan muka air tanah (groudwater
recovery time); terlihat bahwa semakin banyak Bambu-rongga yang diaplikasikan di
sekitar sumur uji, semakin cepat pula waktu pemulihan muka air tanah. Dalam penelitian
ini ditemukan bahwa waktu pemulihan muka air tanah, yaitu pada hujan ke-12 untuk
sumur uji dengan titik imbuh yang banyak, dan pada hujan ke-14 untuk sumur uji dengan
titik imbuh yang sedikit. Sama halnya dengan durasi kejut kapiler, menurut analisis penulis
bahwa gejala ini disebabkan karena tingginya tekanan kapiler akan menyebabkan
cepatnya proses pengisian air kapiler (capillary water) pada zona kapiler, sehingga
efektifitas air infiltrasi semakin cepat untuk mengisi dan meningkatkan level muka air
tanah, sampai terjadi pemulihan muka air tanah pada level sebelum terjadinya kejut
kapiler (Darwis 2017b)
4. Pengaruh jumlah pengimbuh terhadap kenaikan level muka air tanah (groudwater level);
pengamatan sampai dengan hujan ke-18, terlihat bahwa semakin banyak Bambu-rongga
yang diaplikasikan di sekitar sumur uji, semakin besar mengalami kenaikan level muka air
tanah. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Bambu-rongga cukup signifikan
memberikan pengaruh terhadap kapasitas infiltrasi air hujan ke dalam lapisan tanah,
sehingga menyebabkan volume air tanah jenuh di dalam lapisan saturated zone akan
lebih cepat pula bertambah. Dengan demikian peningkatan level muka air tanah yang
terjadi terlihat lebih besar pula (Darwis 2017a)
6. Kesimpulan dan Saran
6.1. Kesimpulan
Dari hasil pengamatan dan analisis di dalam pembahasan di atas, penulis dapat
menyimpulkan beberapa hal, antara lain :
1. Jumlah Bambu-rongga berpengaruh signifikan terhadap penyusutan (decrease) muka air
tanah; terlihat bahwa semakin banyak Bambu-rongga yang diterapkan sebagai titik
imbuh, semakin besar penyusutan muka air tanah yang terjadi.
2. Jumlah Bambu-rongga berpengaruh signifikan terhadap durasi kejut kapiler (capillary
shock); terlihat bahwa semakin banyak Bambu-rongga yang diaplikasikan di sekitar sumur
uji, semakin cepat pula periode berakhirnya kejut kapiler.
3. Jumlah Bambu-rongga berpengaruh signifikan terhadap waktu pemulihan muka air tanah
(groudwater recovery time); terlihat bahwa semakin banyak Bambu-rongga yang
diaplikasikan di sekitar sumur uji, semakin cepat pula waktu pemulihan muka air tanah.
4. Jumlah Bambu-rongga berpengaruh signifikan terhadap kenaikan level muka air tanah
(groudwater level); pengamatan sampai dengan hujan ke-18, terlihat bahwa semakin
banyak Bambu-rongga yang diaplikasikan di sekitar sumur uji, semakin besar mengalami
kenaikan level muka air tanah.
6.2. Saran-saran
Berdasarkan telaah prosfek riset dan pengalaman serta berbagai kendala yang dihadapi
oleh tim peneliti di lapangan, maka beberapa saran dapat dikemukakan antara lain :
1. Sangat perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui berbagai variabel alat
pengimbuh dari bambu, dan juga tingkat efektifitas penerapannya, baik terhadap yang
52
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
terkait dengan efektivitas pengimbuhan air tanah (groundwater rechange), maupun
yang terkait dengan gejala kejut kapiler (capillary shock) dan waktu pemulihan muka air
tanah (groundwater recovery). Parameter Bambu-rongga yang memerlukan kajian
mendalam seperti pengaruh kedalaman pengimbuh, diameter pengimbuh, spasi
pengimbuh, dan jenis bambu yang digunakan sebagai alat pengimbuh.
2. Selain itu karakteristik tanah sekaligus hal-hal yang terkait dengan efektifitas penerapan
Bambu-rongga pada berbagai jenis lapisan tanah permukaan, terutama yang terkait
dengan sifat permeabilitasnya. Parameter-parameter tersebut perlu diungkapkan untuk
kesempurnaan teknologi konservasi air tanah dengan bambu pori.
Daftar Pustaka
Arun Yadav, Sonje Abhijit, Mathur Priyanka, Jain D.A., 2012. A Review on Artificial Ground Water
Rechange. Int J Pharm Bio Sci, 2012 July; 3(3): (P) 304 – 311.
Bouwer, H. (2002). Artificial recharge of groundwater: hydrogeology and engineering.
Hydrogeology Journal, 10(1), 121-142.
Chandrakanth M.G., Raveesha S., Verghese S., Thamanadevi G.L., Seema H.M., Priyanka C.N.,
Manjunatha A.V., Patil Vikram, Poornima K.N., Rashmi N., Varuni C.N., Chaitra B.S. 2012.
Groundwater conservation and management in India: Application of IoS and Wade
frameworks. Department of Agricultural Economics, University of Agricultural Sciences,
Bangalore, India. 2012.
Danaryanto H., Djaendi, Hamandi D. 2005. Air Tanah di Indonesia dan Pengelolaannya. Direktorat
Tata Lingkungan Geologi dan Kawasan Pertambangan Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumber Daya Mineral Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Jakarta, 2005.
Danaryanto H., Djaendi, Hamandi D., Mudiana W., Budiyanto. 2007. Kumpulan Panduan Teknis
Pengelolaan Air Tanah. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Badan Geologi,
Pusat Lingkungan Geologi. Bandung, 2007. ISBN 978-979-17206-18.
Darwis, (2016). Konservasi Air Tanah Dangkal Berbasis Pemberdayaan Petani Pemakai Air Tanah
(Studi Kasus di Kabupaten Takalar). Disertasi Doktor, 2016.
Darwis, (2017a). Teknologi Konservasi Air Tanah Dangkal berbasis Potensi Lokal dengan Bambu
sebagai Alat Pengimbuh. Laporan Hasil Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi (PUPT),
Oktober 2017
Darwis, (2017b). Capillary Shock Phenomenon of Groundwater at the Beginning of Rainy Season
(A case study on agricultural land in Takalar). International Journal on Advanced Science,
Engineering and Information Technology, 2017 – 11 – 19.
Darwis, Nanda R., Ardi M., Lahming, Arsyad M. (2015). Shallow Groundwater Conservation Based
Empowerment and its Influence Factors by Groundwater User Farmers in Takalar
Regency. Hydrology: Current Research, 6(1), 1.
Darwis, Nanda, R., & Idha, A. (2012; 2013). Pemodelan formasi sumur resapan untuk recovery
air tanah dan pencegahan intrusi air laut ke dalam lapisan tanah pada lahan pertanian
palawija di daerah pesisir pantai Kabupaten Takalar. Laporan Hasil Penelitian Hibah
Bersaing Tahun 2012 dan Tahun 2013.
53
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Darwis, Nanda, R., & Idha, A. (2014). Groundwater Level and Salinity Degradation in Farm Land
through Groundwater Pumping Irrigation System in Coastal Area of Takalar Regency.
Modern Applied Science, 8(4), 246.
Davie, T. (2008). Fundamentals of hydrology. New York: Taylor & Francis.
Fathurrohman Muhammad. 2013. Definisi Konservasi Lingkungan,
(https://muhfathurrohman.wordpress.com/ 2013/01/23/definisi-konservasi-lingkungan,
diakses tanggal 06 Maret 2016)
Hammado Tantu & Darwis (2012), Filsafat Ilmu PKLH. Penerbit Alauddin University Press.
Desember, 2016.
Hansbo, S. 1975. Consolidation of clay by band-shaped prefabricated vertical drains. Ground
Engineering,12 (5): 16-25.
M.G. Bos, R.A.L. Kselik, Richard G Allen, David James Molden. 2009. Water Requirements for
Irrigation and the Environment. Springer Science + Business Media B.V. 2009.
Mitchell JK. (1976 ). Fundamentals of Soil Behavior. Jhon Wiley & Sons, Inc.
Riastika Meyra. 2012. Pengelolaan Air Tanah Berbasis Konservasi di Recharge Area Boyolali.
Jurnal Ilmu Lingkungan Undip. Vol. 9, Issue 2: 86-97 (2012) ISSN 1829-8907.
Sophocleous, M. (2010). Review: groundwater management practices, challenges, and
innovations in the High Plains aquifer, USA—lessons and recommended actions.
Hydrogeology Journal, 18(3), 559-575.
Taheri, A., & Zare, M. (2011). Groundwater artificial recharge assessment in Kangavar Basin, a
semi-arid region in the western part of Iran. African journal of agricultural research, 6(18),
4370-4384.
Terzaghi and Peck (1948). Soil Mechanics in Engineering Practice. John Wiley and Sons, New
York.
Thomas Morville Schrøder. 2003. Groundwater Recharge and Capillary Rise in a Clayey Till
Catchment. Ph.D. Thesis on Environment & Resources DTU Technical University of
Denmark Copenhagen, Denmark.
Totin H.S.V., Boko M., Boukari M. (2008). Groundwater Rechange Mechanisms and Water
Management in the Coastal Sedimentary Basin of Basin. Journal of Groundwater &
Climate in Africa.
Van Duijvenbode, S. W., & Olsthoorn, T. N. (2002, September). A pilot study of deep-well
recharge by Amsterdam Water Supply. In Proceedings of the 4th International
symposium on artificial recharge of groundwater, ISAR-4, AA Balkema Publishers,
Adelaide, South Australia (pp. 447-451).
Vergnes, J.-P., B. Decharme, and F. Habets. 2014. Introduction of groundwater capillary rises
using subgrid spatial variability of topography into the ISBA land surface model:
Groundwater capillary rises in ISBA. Journal of Geophysical Research : Atmospheres. 119 ,
doi:10.1002/2014JD021573
Voudouris, K., Diamantopoulou, P., Giannatos, G., & Zannis, P. (2006). Groundwater recharge via
deep boreholes in the Patras Industrial Area aquifer system (NW Peloponnesus, Greece).
Bulletin of Engineering Geology and the Environment, 65(3), 297-308.
54
Seminar Ilmiah Nasional Teknik Sipil Universitas Bosowa SINALTSUB – I , 4 DESEMBER 2017
Wang, B., Jin, M., Nimmo, J. R., Yang, L., & Wang, W. (2008). Estimating groundwater recharge in
Hebei Plain, China under varying land use practices using tritium and bromide tracers.
Journal of Hydrology, 356(1), 209-222.
Wolf. C., (1857). Vom Einfluss der Temperatur auf die Erscheinungen in Haarröhrchen,
Manuscipt.
Xu Xu, Chen Sun, Zhongyi Qu, Quanzhong Huang, Tiago B. Ramos, Guanhua Huang. (2015).
Groundwater Recharge and Capillary Rise in Irrigated Areas of the Upper Yellow River
Basin Assessed by an Agro-Hydrological Model. Irrigation and Drainage - John Wiley &
Sons, Ltd. Volume 64, Issue 5, pages 587–599, December 2015.
------------, 2009. Undang undang R.I. No. 32 Tahun 2009, tentang Perlindungan & Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
------------, 2012. Peraturan Menteri ESDM No. 15 Tahun 2012 tentang Penghematan
Penggunaan Air Tanah.
------------, 2014. Undang undang R.I. No. 37 Tahun 2014, tentang Konservasi Tanah dan Air.
1.