penetapan kadar kafein minuman teh instan dengan … · ini karena efek yang ditimbulkan dapat...
TRANSCRIPT
1
PENETAPAN KADAR KAFEIN MINUMAN TEH INSTAN
DENGAN METODE SPEKTROFOTOMETRI-UV DERIVATIF
APLIKASI PEAK TO PEAK
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:
Yosepha Henny Ermawati
NIM : 038114124
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
2
Skripsi berjudul
PENETAPAN KADAR KAFEIN DALAM MINUMAN TEH INSTAN
MERK X SECARA SPEKTROFOTOMETRI-UV DERIVATIF
METODE PEAK TO PEAK
Oleh:
Yosepha Henny Ermawati
NIM : 038114124
Telah disetujui oleh:
3
4
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�
�������������������� �
����� �������� ����������
� �� ����� ��������� ��
�����������������������
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
����
Sebagai rasa hormat dan baktiku,Sebagai rasa hormat dan baktiku,Sebagai rasa hormat dan baktiku,Sebagai rasa hormat dan baktiku,
aku persembahkan karya kecil ini kepada:aku persembahkan karya kecil ini kepada:aku persembahkan karya kecil ini kepada:aku persembahkan karya kecil ini kepada:
Bapak dan Bapak dan Bapak dan Bapak dan IIIIbu yang telah melimpahkan kasih sayangbu yang telah melimpahkan kasih sayangbu yang telah melimpahkan kasih sayangbu yang telah melimpahkan kasih sayang dan perhat dan perhat dan perhat dan perhatian ian ian ian
dalam membimbingkudalam membimbingkudalam membimbingkudalam membimbingku
KakakKakakKakakKakak----kakakku terkasih kakakku terkasih kakakku terkasih kakakku terkasih Mas ”Black” Wawan, Mbak Inggit, si kecil Mas ”Black” Wawan, Mbak Inggit, si kecil Mas ”Black” Wawan, Mbak Inggit, si kecil Mas ”Black” Wawan, Mbak Inggit, si kecil
Ega, Mbak ”En” Wiwien yang selalu membantuEga, Mbak ”En” Wiwien yang selalu membantuEga, Mbak ”En” Wiwien yang selalu membantuEga, Mbak ”En” Wiwien yang selalu membantu....
����
5
PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Bapa, karena hanya atas
rahmat dan karuniaNya sajalah penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini. Tak lupa pula penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang
memberikan bantuan baik materiil maupun non materiil.
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Ibu Christine Patramurti, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang dengan
sabar telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan
kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt selaku dosen penguji yang telah memberikan
kritik dan saran untuk skripsi ini.
4. Ibu Dra. M.M. Yetty Tjandrawati, M.Si selaku dosen penguji yang telah
memberikan kritik dan saran untuk skripsi ini.
5. Bapak Y. Kristio Budiasmoro selaku dosen pembimbing akademik yang
telah membimbing selama masa perkuliahan.
6. Seluruh staf laboratorium kimia: Pak Prapto, Pak Mukmin, Pak Parlan, dan
Mas Kunto terima kasih atas bantuannya selama ini.
7. Rekan seperjuanganku “Raya” terima kasih untuk semua yang telah kita
lalui, baik senang maupun susah, terima kasih juga untuk semua bantuan dan
diskusinya.
6
8. Mbak Devi terima kasih atas diskusi, bantuan, bahan dan arahan yang sangat
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
9. Untuk “Che-mistry” 2003, terimakasih untuk kebersamaan dan canda
tawanya. Life must go on... but friendship never end.
10. Keluarga besar Wisma Rosari: Bapak dan Ibu Djoko Pamungkas.
11. Mbak Dinta terima kasih bahannya, Mas Layli Prasojo terimakasih atas
diskusinya, Vera (Ciwa), Mbak Agnes (Kibo), Wenny, Utik, Via, Ipil, Okki,
Mbak Sri (I’ie), Agnes (Con-con), Tina, Tika, dan Mbak Esti (Tong-tong),
serta teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu terima kasih
atas bantuannya selama ini
12. Untuk semua anggota P3W, karyawan, dan staff KP3 terima kasih atas
kebersamaan dan dukungannya selama ini. Pertemuan ini begitu singkat dan
melelahkan, namun terasa manis.
13. Desi dan Lintang (kakak) ”TheThreeMuskenteer” terima kasih atas
persahabatan kita yang indah, dukungan, dan sharing selama ini.
Akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu penulis menerima masukan dan kritik yang membangun demi
tercapainya kesempurnaan karya ini.
Akhir kata, semoga karya ini memberikan manfaat bagi dunia ilmu
pengetahuan dan semua pembaca khususnya.
Penulis
7
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 26 Juli 2007
Penulis
Yosepha Henny Ermawati
8
INTISARI
Penetapan kadar kafein minuman teh instan merek X secara spektrofotometri ultraviolet akan terganggu oleh adanya kandungan senyawa lain dalam ekstrak teh, antara lain tanin, teofilin, dan teobromin. Senyawa teofilin dan teobromin akan memberikan serapan maksimum pada daerah panjang gelombang yang berdekatan dengan kafein. Selain itu adanya senyawa tanin akan menyebabkan larutan berwarna sehingga mengganggu pengukuran. Oleh karena itu, dalam penelitian ini dilakukan pengembangan spektrofotometri derivatif metode peak-to-peak dimana kafein dapat dianalisis tanpa perlu dilakukan pemisahan terlebih dahulu.
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif. Penelitian ini dilakukan dengan membuat spektrum serapan normal absorbansi terhadap panjang gelombang, serta membuat spektrum derivatif pertama, kedua, ketiga, dan keempat dari larutan baku dan sampel kemudian ditentukan panjang gelombang peak-to-peak kafein. Metode ini didasarkan pada pengukuran jarak vertikal antara puncak maksimum dan minimum pada panjang gelombang peak-to-peak yang selanjutnya disebut sebagai amplitudo peak-to-peak.
Hasil penelitian menunjukkan kadar kafein dalam minuman teh instan merek X adalah sebesar 13,570 ± 0,058 mg per kemasan, nilai recovery kafein berada pada rentang 95,34%-109,74% dan nilai CV sebesar 1,033%. Dapat disimpulkan bahwa penetapan kadar kafein minuman teh instan merek X secara spektrofotometri ultraviolet derivatif peak-to-peak memberikan akurasi dan presisi yang baik. Kata kunci : kafein, teh instan, spektrofotometri deivatif peak-to-peak
9
ABSTRACT Determination of caffeine in instant tea brand X using spectrophotometry ultraviolet will be disturbed by other components in extract tea, for example tannin, theophylline, and theobromine. Theophylline and theobromine will give maximum absorbans at near wavelength with caffeine. Tannin make the solution colored which will disturb the measurement. Therefore this research will develop spectrophotometry derivative peak-to-peak method where caffeine can be analyzed without isolation. This research is descriptive non experimental research. The research has been conducted by creating normal spectrum by plotting absorbance versus wavelength, and also first , second, third, and fourth derivative spectrum of sample and caffeine standard. This method based on measurements vertically distance of maximum and minimum peak at peak-to-peak wavelength next it is called peak-to-peak amplitude. The result of this research shows that caffeine in instant tea brand X is 13,570 ± 0,058 mg per sachet, range recovery value 95,34%-109,74%, and CV value 1,033%. It can be concluded that determination of caffeine in instant tea brand X by spectrophotometry ultraviolet derivative peak-to-peak gives good accuracy and precision. Key words: caffeine, instant tea, spectrofotometry derivative peak-to-peak
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………...………......i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………...…….....ii
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………..………....iii
HALAMAN PERSEMBAHAN………………………..…………………….....iv
PRAKATA………….…………………………………..…………………….....v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………….….………………....vii
INTISARI……………..…….…………………………….…………………...viii
ABSTRACT…………………………………………………………...................ix
DAFTAR ISI……………………………………………………………..……...x
DAFTAR TABEL……………………………………………………..…….…xii
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………….....…xiii
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………..........xiv
BAB I. PENGANTAR……………………………………………………..…….1
A. Latar
Belakang.....................................................................................................1
1. Permasalahan........................................................................................2
2. Keaslian Penelitian...............................................................................3
3. Manfaat Penelitian................................................................................3
B. Tujuan Penelitian........................................................................................3
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA………………………….……..……….....4
A. Teh..............................................................................................................4
B. Teh Instan...................................................................................................5
C. Kafein.........................................................................................................5
D. Spektrofotometri UV..................................................................................6
1. Analisis kualitatif.................................................................................9
2. Analisis kuantitatif...............................................................................9
3. Instrumentasi.......................................................................................11
11
E. Metode Derivatif Peak-to-peak................................................................13
F. Validasi Metode Analisis.........................................................................15
G. Keterangan Empiris.................................................................................16
BAB III. METODE PENELITIAN……………………………….…………....18
A. Jenis dan Rancangan Penelitian...............................................................18
B. Definisi Operasional................................................................................18
C. Bahan Penelitian......................................................................................18
D. Alat Penelitian..........................................................................................19
E. Tata Cara Penelitian.................................................................................19
F. Analisis Hasil...........................................................................................21
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN….....……….....……..23
A. Pemilihan Sampel.....................................................................................23
B. Penyiapan Sampel.....................................................................................24
C. Pembacaan Serapan Kafein.......................................................................25
D. Penentuan Panjang Gelombang Peak-to-peak..........................................28
E. Pembuatan Kurva Baku Kafein.................................................................33
F. Penetapan Kadar Kafein............................................................................35
BAB V. KESIMPULAN ………………………………...................…………...38
DAFTAR PUSTAKA……………………………......…………………………..39
LAMPIRAN…………………………….......……….………………...…………41
BIOGRAFI PENULIS………………….....…………………………………......56
�
12
DAFTAR TABEL
Tabel I. Data Persamaan Kurva Baku..................................................................34
Tabel II. Data Perhitungan Kadar Kafein..............................................................35
Tabel III. Data Perhitungan Recovery dan CV.......................................................36
13
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Struktur kafein..................................................................................6
Gambar 2. Diagram tingkat energi elektronik..................................................7
Gambar 3. Instrumen Spektrofotometer berkas ganda.....................................12
Gambar 4. Penurunan spektra normal menjadi spektra derivatif.....................14
Gambar 5. Analisis kuantitatif metode derivatif..............................................14
Gambar 6. Gugus kromofor kafein..................................................................26
Gambar 7. Spektra serapan kafein...................................................................27
Gambar 8. Spektra normal gabungan kafein dan sampel.................................28
Gambar 9. Spektra derivatif pertama gabungan kafein dan sampel................30
Gambar 10. Spektra derivatif kedua gabungan kafein dan sampel....................31
Gambar 11. Spektra derivatif ketiga gabungan kafein dan sampel....................32
Gambar 12. Spektra derivatif keempat gabungan kafein dan sampel................33
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Sertifikat analisis kafein.................................................................41
Lampiran 2. Teh instan merk X..........................................................................42
Lampiran 3. Data penimbangan bahan...............................................................43
Lampiran 4. Contoh perhitungan kadar larutan baku kafein..............................44
Lampiran 5. Data optimasi delta panjang gelombang........................................45
Lampiran 6. Data perhitungan kadar kafein dalam sampel................................47
Lampiran 7. Perhitungan Recovery……………………………………………49
Lampiran 8. Contoh perhitungan derivatif peak-to-peak……………………...52
15
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Minuman teh telah dikenal lama. Sejak dahulu orang menyukai minuman
ini karena efek yang ditimbulkan dapat menyegarkan badan. Hal ini disebabkan
salah satu kandungan teh, yaitu kafein. Kafein terdapat secara alami dalam
tanaman teh dalam bentuk garam alkaloid, dan menurut Sunaryo (1995) kafein
dapat memberikan efek sebagai stimulan.
Salah satu cara tradisional untuk menyajikan teh adalah dengan
menyeduh serbuk daun teh dengan air panas dengan atau tanpa menambahkan
gula. Demi alasan kepraktisan maka produsen minuman ringan mencoba
menciptakan produk teh instan yang memudahkan konsumen dalam membuatnya.
Produsen teh instan mencantumkan bahwa produknya mengandung ekstrak teh
alami, namun tidak mencantumkan kandungan kafein dalam setiap kemasannya.
Selain itu untuk mengetahui apakah kandungan kafein dalam setiap kemasan
sesuai dengan keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor HK.00.05.23.3644 yaitu 150 mg dibagi dalam 3 dosis, dan
maksimal 50 mg per saji.
Menurut Anonim (1990) kafein dapat ditetapkan kadarnya dengan
spektrofotometri UV dengan melalui tahap isolasi. Penelitian Sartondo (2003)
membuktikan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna pada rata-rata kadar
kafein dalam larutan teh seduh yang ditetapkan secara spektrofotometri UV dan
16
HPLC (High Performance Liquid Chromatography) atau KCKT, dimana kadar
kafein dalam larutan teh yang ditetapkan secara KCKT lebih besar daripada kadar
kafein yang ditetapkan secara spektrofotometri UV. Hal ini terjadi karena pada
penetapan kadar kafein dalam larutan teh secara spektrofotometri UV kafein harus
diisolasi terlebih dahulu dengan cara ekstraksi. Ekstraksi yang dilakukan
kemungkinan kurang efektif untuk mengisolasi kafein secara optimal sehingga
kemungkinan belum semua kafein terisolasi. Menurut Alpdopogan, Karabina, and
Sungur (2000) metode derivatif peak-to-peak dapat digunakan dalam menetapkan
kadar kafein dalam minuman ringan tanpa melakukan isolasi terlebih dahulu dan
dapat memberikan akurasi dan presisi yang baik.
Spektrofotometri derivatif adalah sebuah teknik untuk analisis kuantitatif.
Teknik analisis ini relatif lebih mudah dan cepat karena tidak diperlukan
pemisahan terlebih dahulu. Metode derivatif peak-to-peak didasarkan pada
pengukuran jarak antara dua nilai ekstremum spektra derivatif pada daerah
panjang gelombang yang sama antara sampel dan kafein baku.
1. Permasalahan
Menurut keterangan di atas timbul permasalahan yang dapat diteliti
yaitu:
a. Berapakah kadar kafein dalam teh instan yang ditetapkan dengan metode
spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak ?
b. Apakah penetapan kadar kafein dalam teh instan yang dilakukan secara
dengan metode spektrofotometri UV derivatif metode aplikasi peak-to-peak
memberikan akurasi dan presisi yang baik?
17
2. Keaslian Penelitian
Penelitian dengan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-
peak sudah pernah dilakukan sebelumnya, namun pada penetapan kadar kafein
dalam minuman teh instan belum pernah dilakukan. Penelitian yang sudah pernah
dilakukan dengan metode spektrofotometri derivatif aplikasi peak-to-peak antara
lain penetapan kadar kafein dalam campuran parasetamol, salisilamida, dan kafein
(Friamita, 2006), penetapan kadar asam askorbat dalam sayuran (Aydogmus and
Cetin, 2001), dan penetapan kadar kafein dalam minuman ringan (Alpdopogan,
Karabina, and Sungur, 2000).
3. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain:
a. Manfaat Metodologis. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan ilmiah terhadap perkembangan metode spektrofotometri derivatif
aplikasi peak-to-peak.
b. Manfaat Praktis. Memberikan kontribusi analisis kuantitatif kadar
kafein dalam minuman teh instan dengan metode yang lebih praktis.
B. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar kafein dalam minuman
teh instan yang ditetapkan dengan metode spektrofotometri UV derivatif aplikasi
peak-to-peak dan apakah metode spektrofotometri UV derivatif aplikasi peak-to-
peak dapat memberikan nilai presisi dan akurasi yang baik.
18
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Teh
Daun muda kering dari tanaman Camellia sinensis (Linne) O. Kuntze
(Fam. Tehaceae) diolah menjadi minuman teh (Robbers, Speedie, Tyler, 1996).
Menurut Trease and Evans (2002) teh mengandung kafein 1-5% dan 10-24 %
tanin, serta teobromin, teofilin dan minyak atsiri dalam jumlah kecil.
Teh yang banyak beredar di Indonesia menurut cara pengolahannya dapat
dibedakan menjadi:
1. teh hijau, yaitu teh yang dibuat melalui inaktivasi enzim polifenol oksidase di
dalam daun teh segar. Metode inaktivasi enzim polifenol oksidase teh hijau
dapat dilakukan melalui pemanasan (udara panas) dan penguapan (steam/uap
air).
2. teh oolong (semifermentasi), yaitu teh yang diproses melalui pemanasan daun
dalam waktu singkat setelah penggulungan. Oksidasi terhenti dalam proses
pemanasan, sehingga teh oolong disebut dengan teh semifermentasi.
Karakteristik teh oolong berada diantara teh hijau dan teh hitam.
3. teh hitam, yaitu teh yang dibuat melalui oksidasi polifenol dalam daun segar
dengan katalis polifenol oksidase atau disebut dengan fermentasi. Proses
fermentasi ini menghasilkan teh yang berwarna kuat dan berasa tajam (Syah,
2006).
19
Menurut cara penyajiannya teh dapat dibedakan menjadi:
1. teh celup, yaitu teh yang dikemas dalam kantong dan biasanya dibuat dari
kertas.
2. teh seduh, yaitu teh yang dikemas dalam kaleng atau dibungkus dengan
pembungkus dari plastik atau kertas.
3. teh instan, yaitu teh berbentuk bubuk yang tinggal diseduh dalam air panas
atau air dingin (Anonim, 2005).
B. Teh Instan
Salah satu bentuk minuman teh yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat adalah teh instan. Teh instan mengandung ekstrak teh (ekstrak kering)
yang dibuat dengan pengeringan semprot (spray drying) seduhan tersebut setelah
dikonsentrasikan menjadi padatan 40-50% (Syah, 2006).
Menurut FAO teh instan dapat dibuat langsung dari daun teh yang masih
segar kemudian cairan yang didapatkan dari daun segar difermentasikan dan
dikeringkan. Cara lain pembuatan teh instan yaitu dengan memfermentasikan
daun segar yang telah dimaserasi, kemudian ekstrak dipekatkan dan dikeringkan
(Anonim, 1988).
C. Kafein
Kafein secara alami berada dalam bentuk garam alkaloid (Syah, 2006)
merupakan salah satu golongan basa purin (metilxantin) yang penting secara
biologis. Efek yang ditimbulkan antara lain: stimulasi sistem syaraf pusat, induksi
20
diuresis, peningkatan ekskresi asam lambung, dan penghambatan kontraksi uterus
(Robbers, Speedie, Tyler, 1996).
N
NN
N
O
H3C
O
CH3
CH3
Gambar1. Struktur Kafein 1,3,7-trimetil xantin (Anonim, 1995)
Kafein memiliki sinonim 1,3,7-trimetil xantin. Bobot molekul kafein
adalah 194,19 dengan rumus molekul C8H10N4O2. Pemerian kafein adalah berupa
serbuk putih atau bentuk jarum mengkilat; biasanya menggumpal; tidak berbau;
rasa pahit. Titik lebur pada 235o-237o. Kafein agak sukar larut dalam air, etanol,
sukar larut dalam eter, tetapi mudah larut dalam kloroform, (Anonim, 1995).
Lebih larut dalam asam encer (Clarke, 1969).
Kafein dalam 0,1 N HCl, memberikan spektra absorpsi maksimum pada
272 m� (A1%, 1 cm 470). Serapan dilambangkan A, serapan jenis (A1% 1 cm)
470 artinya kafein pada konsentrasi 1 g per 100 ml larutan dengan ketebalan
cairan 1 cm memberikan nilai serapan sebesar 470 (Watson, 2003).
D. Spektrofotometri UV
Teknik spektroskopi adalah salah satu teknik analisis fisiko-kimia yang
mengamati interaksi atom atau molekul dengan radiasi elektromagnetik. Setiap
21
spesies molekul mempunyai keadaan energi yang unik dan keadaan terendah
elektron disebut dengan ground state. Apabila pada molekul tersebut dikenakan
foton yang sesuai dengan perbedaan energi elektron dari keadaan ground state ke
tingkat energi yang lebih tinggi dari suatu radiasi elektromagnetik, maka akan
terjadi absorbsi energi. Tingkat energi yang lebih tinggi ini dikenal sebagai orbital
elektron antibonding. Energi yang dibutuhkan tersebut sesuai dengan persamaan:
λυ c h.
.h ==E (1)
Keterangan: E = tenaga foton dalam erg � = frekuensi radiasi elektromagnetik dalam hertz h = tetapan planck (6,624 x 10-34 J/det)
(Christian, 2004)
Karena elektron dalam molekul memiliki tenaga yang tak sama, maka
tenaga yang diserap dalam proses eksitasi dapat mengakibatkan terjadinya satu
atau lebih transisi tergantung pada jenis elektron yang terlihat (Sastrohamidjojo,
2001).
Ada empat tipe transisi elektronik yang mungkin terjadi yaitu ���*,
n��*, n��*, dan ���*. Diagram tingkat energi elektron pada tingkat dasar dan
keadaan tereksitasi ditunjukkan pada gambar 2.
�* Anti bonding �* Antibonding E n Non bonding � Bonding
� Bonding
Gambar 2. Diagram tingkat energi elektronik (Mulja dan Suharman, 1995)
E
22
Eksitasi elektron (���*) memberikan energi yang terbesar dan terjadi
pada daerah ultraviolet jauh yang diberikan oleh ikatan tunggal, sebagai contoh
pada alkana. Sedangkan eksitasi elektron (���*) diberikan oleh ikatan rangkap
dua dan tiga (alkena dan alkuna) juga terjadi pada daerah ultraviolet jauh. Transisi
ini menunjukkan pergeseran merah (batokromik) dengan adanya substitusi gugus-
gugus yang memberi atau menarik elektron. Pada gugus karbonil (dimetil keton
dan asetaldehid) akan terjadi eksitasi elektron (n��*) yang terjadi pada daerah
ultraviolet jauh. Eksitasi elektron (n��*) ditunjukkan oleh senyawa jenuh yang
mengandung hetero atom (oksigen, nitrogen, belerang, atau halogen) memiliki
elektron-elektron tak berikatan dan menunjukkan jalur serapan yang disebabkan
oleh transisi elektron-elektron dari orbital tak berikatan heteroatom ke orbital anti
ikatan �* (Sastrohamidjojo, 2001). Disamping itu gugus karbonil juga
memberikan eksitasi elektron (n��*) menunjukkan pergeseran biru (hipsokromik)
yang terjadi pada panjang gelombang 280-290 nm, tetapi eksitasi elektron (n��*)
adalah forbidden transition karena memberikan harga �maks kurang dari 1000,
yaitu �maks=12-16 (Mulja dan Suharman, 1995).
Gugus atom yang mengabsorpsi radiasi UV-Vis disebut sebagai
kromofor (Mulja dan Suharman, 1995). Kromofor menyatakan gugus tak jenuh
kovalen yang dapat menyerap radiasi dalam daerah-daerah ultraviolet dan terlihat.
Senyawa yang mengandung kromofor disebut dengan kromogen. Auksokrom
adalah heteroatom yang langsung terikat pada kromofor, misal: -OCH3, –Cl, -OH,
dan –NH2 dan memberikan transisi (n��*). Auksokrom tidak mengabsorbsi
radiasi tetapi jika terdapat dalam molekul, auksokrom dapat meningkatkan
23
absorpsi kromofor atau merubah panjang gelombang absorbsi jika terikat dengan
kromofor. Auksokrom mempunyai elektron n yang akan berinteraksi dengan
elektron � pada kromofor. Perubahan spektra dapat dikelompokkan menjadi:
a. Bathochromic shif, panjang gelombang absorpsi maksimum berubah ke
panjang gelombang yang lebih panjang. Pergeseran ini juga disebut
pergeseran merah.
b. Hypsochromic shift, panjang gelombang absorpsi maksimum berubah ke
panjang gelombang yang lebih pendek. Pergeseran ini disebut juga pergeseran
biru.
c. Hyperchromis, peningkatan daya serap molar (�).
d. Hypochromism, penurunan daya serap molar (�).
(Christian, 2004)
1. Analisis Kualitatif
Analisis kualitatif dengan metode spektrofotometri UV-Vis dapat
ditentukan dengan dua cara, yaitu:
a. Pemeriksaan kemurnian spektrum UV-Vis dilakukan pembandingan
kemiripan spektrum UV-Vis yang ditentukan reference standar.
b. Penentuan panjang gelombang serapan maksimum (�max) didasarkan atas
perhitungan pergeseran panjang gelombang maksimum karena adanya
penambahan gugus pada sistem kromofor induk (Mulja dan Suharman, 1995).
2. Analisis Kuantitatif
Analisis dengan spektrofotometri UV-Vis selalu melibatkan pembacaan
absorban radiasi elektromagnetik oleh molekul atau radisasi elektromagnetik yang
24
diteruskan. Keduanya dikenal sebagai absorban (A) tanpa satuan dan transmitan
(T) dengan satuan %T.
.c.b-
o
t 10 II
T ε== (2)
Keterangan : It = Intensitas radiasi yang ditransmisikan Io= Intensitas radiasi mula-mula � = daya serap molar c = konsentrasi larutan dalam (Molar) b = tebal kuvet
Intensitas dari suatu berkas radiasi akan berkurang sehubungan dengan jarak yang
ditempuhnya melalui medium penyerap. Intensitas tersebut akan berkurang
sehubungan dengan kadar molekul atau ion yang terserap dalam medium tersebut.
kedua faktor tersebut menentukan proporsi dari kejadian total energi yang timbul.
Penurunan daya radiasi monokromatis yang melalui medium penyerap yang
homogen dinyatakan secara kuantitiatif oleh hukum Beer (Anonim, 1995).
c b T1
log 10 ε=��
���
�=A (3)
Keterangan: A = absorbansi a = dayaserap b = tebal larutan (cm)
c = konsentrasi sampel (Molar)
Harga � didefinisikan sebagai daya serap molar atau koefisien ekstingsi
molar. Harga � adalah karakteristik untuk molekul atau ion penyerap dalam
pelarut tertentu, pada panjang gelombang tertentu dan tidak bergantung pada
konsentrasi dan panjang gelombang lintasan radiasi (Sastrohamidjojo, 2001).
Harga � dapat diganti dengan a yang disebut sebagai daya serap, bila konsentrasi
larutan dalam gram/liter hubungan � dan a adalah sebagai berikut:
� = a M (4)
25
Dimana M adalah berat molekul larutan (Silverstein, 1991). Harga ε bergantung
pada luas penampang senyawa yang terkena radiasi (A) dan probabilitas
terjadinya transisi energi yang diserap (P). Hubungan ε dan variabel tersebut
adalah sebagai berikut:
� = 8,7 x 1019 P A (5)
nilai harga P adalah 0,1 sampai 1 yang menunjukkan kekuatan pita absorbansi
akibat trasisi elektronik yang diperbolehkan dengan memberikan nilai ε > 104.
Sedangkan untuk harga ε < 103 atau harga P < 0,01 merupakan forbidden
transition. Secara umum dapat dikatakan bahwa harga sangat mempengaruhi
puncak spektrum suatu zat. Rincian harga ε terhadap puncak spektrum adalah
sebagai berikut: 1-10 : sangat lemah; 10-102 : lemah; 102-103 : sedang; 103-104 :
kuat; 104-105: sangat kuat (Mulja dan Suharman, 1995).
3. Instrumentasi
Untuk pelaksanaan teknik analisis spektroskopik dipakai instrumen
sebagai pengukur dan perekam sinyal hasil interaksi molekul dengan radiasi
elektromagnetik (Mulja dan Suharman, 1995).
Pada spektrofotometer double-beam (berkas ganda) cahaya melalui kuvet
sampel dan referensi bergantian. Prosedur ini memberikan koreksi automatis
untuk arus dari intensitas sumber atau respon detektor.
26
Gambar 3. Instrumen spektrofotometer berkas ganda (Skoog et al, 1994)
Bagian-bagian penting dalam spektrofotometer meliputi:
a. sumber radiasi
Sumber radiasi ultraviolet yang kebanyakan digunakan adalah lampu
hidrogen dan lampu deuterium yang terdiri atas sepasang elektroda yang
terselubung dalam tabung gelas dan diisi dengan gas hidrogen atau deuterium
pada tekanan yang rendah. Sumber radiasi yang ideal untuk pengukuran serapan
harus menghasilkan spektrum kontinyu dengan intensitas yang seragam pada
keseluruhan kisaran panjang gelombang yang sedang dipelajari.
b. monokromator
Monokromator merupakan serangkaian alat optik yang menguraikan
radiasi polikromatik menjadi jalur-jalur yang efektif/panjang gelombang
tunggalnya.
c. tempat cuplikan
Cuplikan yang akan dipelajari pada daerah ultraviolet atau terlihat
biasanya berupa gas atau larutan yang ditempatkan pada kuvet. Untuk daerah
ultraviolet biasanya digunakan quartz atau sel dari silica yang dilebur.
27
d. detektor
Setiap detektor menyerap energi foton yang mengenainya dan mengubah
energi tersebut untuk dapat diukur secara kuantitatif sebagai arus listrik atau
perubahan-perubahan panas. Persyaratan penting untuk detektor meliputi:
sensitivitas tinggi, waktu respon pendek, stabilitas lama untuk menjamin respon
secara kuantitatif, dan sinyal elektronik yang mudah diperjelas (Sastrohamidjojo,
2001).
e. alat pencatat
Fungsi alat pencatat adalah mengubah sinyal elektronik yang dihasilkan
oleh detektor menjadi bentuk yang dapat diinterpretasikan (Pecsok et al.,1976).
E. Metode Derivatif Peak-to-Peak
Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulasi spektra pada
spektrofotometri ultraviolet dan tampak (Connors,1982). Pada spektrofotometri
konvensional, spektrum normal merupakan plot serapan A terhadap panjang
gelombang �. Spektrum derivatif pertama didapatkan dengan menggambarkan
selisih absorban dua panjang gelombang (�A = A�1-A�2) terhadap harga rata-rata
dua panjang gelombang tersebut yang teratur berderet, yaitu:
2
21m
λλλ += (6)
Profil penurunan spektrum derivatif dari spektrum basal sampai derivatif keempat
tampak pada gambar berikut:
28
Gambar 4. Penurunan spektra normal menjadi spektra derivatif
a: spektra normal, b: spektra derivatif pertama, c: spektra derivatif kedua, d: spektra derivatif ketiga, e: spektra derivatif keempat (Mulja dan Suharman, 1995)
Pada prinsipnya semua spektrum yang dihasilkan oleh semua
spektrofotometer UV-Vis jenis apapun dapat diturunkan spektra derivatifnya
secara manual maupun otomatis. Metode ini dapat digunakan untuk analisis
kuantitatif campuran tanpa pemisahan terlebih dahulu (Willard, 1988). Dalam
analisis kuantitatif secara spektrofotometri ada 3 metode yang dapat digunakan
antara lain metode tangent, metode peak-peak, dan metode peak-zero (Anonim,
2006).
Gambar 5. Analisis kuantitatif metode derivatif (Anonim, 2006)
Menurut Aldopogan, Karabina, dan Sungur (2002) dalam penetapan
kadar kafein pada beberapa produk minuman ringan yang beredar, metode
spektrofotometri derivatif bisa dilakukan tanpa isolasi terlebih dahulu. Metode
29
peak-to-peak didasarkan pada pengukuran amplitudo peak-to-peak, yaitu jarak
vertikal antara puncak maksimum dan puncak minimum dua nilai ekstremum.
F. Validasi MetodeAnalisis
Validasi metode analisis adalah proses terdokumentasi yang menjamin
bahwa pelaksanaan metode analisis yang bersifat karakteristik telah sesuai dengan
tujuan pelaksanaan (Mulja dan Hanwar, 2003).
Beberapa parameter analisis yang harus dipertimbangkan dalam validasi
metode analisis:
1. Kecermatan (accuracy)
Akurasi suatu metode merupakan keterdekatan nilai pengukuran dengan
nilai sebenarnya dari analit dari sampel (Suharman dan Hanwar, 2003). Nilai
kecermatan ini dinyatakan dengan persen recovery atau perolehan kembali.
Akurasi untuk bahan obat dengan kadar kecil 90-110%, untuk kadar obat yang
lebih besar 95-105%, untuk bahan baku 98-102%, sedangkan untuk bioanalisis
rentang akurasi 80-120% masih dapat diterima. (Mulja dan Hanwar, 2003).
2. Keseksamaan (precision)
Keseksamaan suatu metode analisis merupakan sejumlah pencaran hasil
yang diperoleh dari analisis berulangkali pada suatu sampel homogen. Agar
bermakna, penelitian presisi harus dilakukan menggunakan sampel yang pasti dan
prosedur preparasi standar yang akan digunakan pada metode akhir. Presisi
dinyatakan dengan Coefficient of Variant (CV). CV < 2% dapat dikatakan metode
30
tersebut memberikan presisi yang baik, sedangkan untuk bioanalisis CV 15-20%
masih dapat diterima (Mulja dan Hanwar, 2003).
3. Linieritas
Linieritas suatu metode analisis dari suatu proedur analisis merupakan
kemampuannya untuk mendapatkan hasil uji secara langsung proporsional dengan
konsentrasi (jumlah) analit dari sampel. Rentang adalah jarak antar level terbawah
dan teratas dari metode analisis yang telah dipakai untuk mendapatkan presisi,
linieritas, dan akurasi yang bisa diterima. Persyaratan data linieritas yang bisa
diterima jika memenuhi nilai koefisien korelasi (r) > 0,999 (Mulja dan Hanwar,
2003).
4. Spesifisitas
Spesifisitas merupakan kemampuan suatu metode untuk mengukur
dengan akurat respon analit diantara seluruh komponen sampel potensial yang
mungkin ada dalam matriks sampel (Mulja dan Hanwar, 2003).
G. Keterangan Empiris
Salah satu kandungan dalam teh adalah kafein. Kafein dapat ditetapkan
dengan spektrofotometri UV karena mempunyai daerah serapan pada panjang
gelombang ultraviolet. Adanya senyawa lain dalam teh seperti: tanin, teobromin,
dan teofillin akan mengganggu proses analisis, oleh karena itu dikembangkan
spektrofotometri derivatif.
Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap
spektra pada spektrofotometri ultraviolet dan tampak. Aplikasi metode peak to
31
peak pada spektra derivatif diharapkan dapat digunakan untuk menetapkan kadar
kafein dalam minuman teh instan tanpa dilakukan isolasi.
32
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian non eksperimental deskriptif karena
tidak ada subyek uji yang dimanipulasi atau diberi perlakuan.
B. Definisi Operasional
1. Teh instan adalah teh berbentuk bubuk yang tinggal dilarutkan dalam air
panas atau air dingin.
2. Produk teh instan yang digunakan adalah produk merk X yang berbentuk
bubuk.
3. Spektrofotometri derivatif merupakan metode manipulatif terhadap spektra
pada spektrofotometri ultraviolet dan tampak.
4. Panjang gelombang peak-to-peak adalah panjang gelombang dimana kafein
baku dan sampel memberikan nilai maksimum dan minimum pada panjang
gelombang yang sama.
5. Amplitudo peak-to-peak merupakan jarak vertikal antara puncak maksimum
dan puncak minimum pada panjang gelombang peak-to-peak.
C. Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kafein kualitas
working standar (Brataco Chemika); HCl 0,1 N; KMnO4 1,5%; larutan pereduksi
(Na2SO3 dan KSCN); H3PO4; produk teh instan merk X, dan aquades.
33
D. Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Spektrofotometer
UV/Vis Perkin Elmer lambda 20, kuvet, timbangan analitik merk Scaltec,
timbangan elektrik merk Mettler, pipet mikroliter merk Soccorex, dan seperangkat
alat-alat gelas.
E. Tata Cara Penelitian
1. Pemilihan sampel
Dalam penelitian ini digunakan sampel teh instan merk X yang beredar
di pasaran yang menyatakan mengandung ekstrak teh alami.
2. Penyiapan sampel
Dari 20 kemasan sampel teh instan merk X ditimbang kemudian dicari
bobot rata-ratanya. Serbuk yang sudah ditimbang dicampur menjadi satu hingga
diperoleh sampel yang homogen.
3. Pembuatan larutan stok kafein baku
Kurang lebih 10 mg kafein baku ditimbang secara seksama, larutkan
dalam 100 ml HCl 0,1 N.
4. Pembacaan serapan kafein
Pipet 0,300 ml; 0,450 ml; 0,600 ml larutan stok kafein baku, encerkan
dalam labu ukur 10 ml. Baca serapannya pada panjang gelombang 250-310 nm
dengan selisih panjang gelombang 2 nm.
5. Penentuan panjang gelombang peak-to-peak
34
a. Penentuan spektra kafein standar. Pipet 2,0 ml larutan stok baku
kafein, encerkan dalam 10 ml 0,1 N HCl. Ukur serapannya pada panjang
gelombang 250-310 nm.
b. Penentuan spektra sampel. Kurang lebih 2 g sampel ditimbang
seksama, larutkan dalam 25 ml aquades. Pipet 10,0 ml masukkan ke dalam labu
50 ml. Tambahkan 5 ml larutan KMnO4 1,5%, diamkan selama 5 menit.
Tambahkan 10 ml larutan pereduksi, lalu tambahkan 1 ml larutan H3PO4 dan
tambahkan dengan aquades sampai batas. Ukur serapannya pada panjang
gelombang 250-310 nm.
c. Penentuan panjang gelombang peak-to-peak. Spektra serapan baku
dan serapan sampel dibuat derivat pertama hingga keempat dengan interval
panjang gelombang 2 nm. Dari spektrum derivatif kafein baku dan sampel
ditentukan panjang gelombang peak-to-peak.
6. Pembuatan kurva baku kafein
a. Pembuatan seri konsentrasi larutan baku kafein. Dari larutan stok
kafein pipet 1,750 ml; 2,000 ml; 2,250 ml; 2,500 ml; dan 3,000 ml. Masing-
masing diencerkan dengan HCl 0,1 N hingga volumenya tepat 10 ml.
b. Pembuatan kurva baku kafein. Seri konsentrasi larutan baku dibaca
serapannya dan dibuat spektra derivatif pertama hingga keempat, lalu hitung jarak
vertikal antara puncak maksimum dan puncak minimum pada panjang gelombang
peak-to-peak yang telah ditentukan sebagai amplitudo peak-to-peak. Buat
persamaan regresi linier antara konsentrasi vs anplitudo sehingga didapat
35
persamaan y=b(x)+a, dimana x adalah konsentrasi kafein dan y adalah amplitudo
peak-to-peak.
7. Pembuatan stok kafein baku adisi
Timbang kurang lebih kafein 50 mg kafein secara seksama. Larutkan
dalam 50 ml HCl 0,1 N. sehingga didapatkan konsentrasi kafein sebesar 0,1% b/v.
8. Penetapan kadar kafein dalam sampel
Timbang kurang lebih 4 g sampel secara seksama, larutkan dalam 50,0
aquades. Pipet 10,0 ml masukkan dalam labu 50 ml. Tambahkan 5 ml KMnO4
1,5% diamkan selama 5 menit. Tambahkan 10 ml larutan pereduksi, kemudian 1
ml H3PO4, larutan ini dinamakan larutan A. Tambahkan aquades sampai 50 ml,
larutan ini dinamakan larutan B. Baca serapan larutan B, lalu buat derivat
keempat. Hitung amplitudo pada panjang gelombang peak-to-peak, lalu masukkan
ke dalam persamaan regresi. Kadar kafein yang terukur dalam larutan B diberi
notasi kafein B. Ke dalam larutan A tambahkan 0,250 ml larutan stok kafein baku
adisi, kemudian encerkan sampai tanda. Hitung pada panjang gelombang peak-to-
peak lalu masukkan ke dalam persamaan regresi. Kafein yang terukur dalam
larutan C kemudian diberi notasi kafein C. Selisih kafein yang ditambahkan
ditunjukkan dengan notasi kafein (C-B).
F. Analisis Hasil
Data yang dianalisis meliputi kadar kafein dalam kemasan teh instan
merk X, validitas metode yang dianalisis meliputi data recovery dan kesalahan
acak (CV).
36
1. Kadar kafein
Kadar kafein dalam sampel diukur dari jumlah kafein total dalam larutan
B dan ditentukan oleh nilai ( SEX ± )
2. Validitas metode
Validitas metode yang digunakan dalam penetapan kadar kafein dalam
teh instan secara spektrofotometri derivatif metode peak-to-peak ditentukan oleh
parameter berikut:
a. Akurasi
Akurasi metode analisis dinyatakan dengan nilai recovery atau perolehan
kembali yang diukur dari kadar terukur dibandingkan kadar sebenarnya dikalikan
100%.
% 100 sebenarnya B)-(CKafein
terukurB) -(CKafein Recovery ×=
b. Presisi
Presisi metode analisis dinilai berdasarkan Coefficient of Variation (CV).
Jika CV < 2 % maka metode dinilai mempunyai presisi yang baik (Mulja dan
Hanwar, 2003).
100% rata-rata nilaibaku simpangan
CV ×=
37
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pemilihan Sampel
Pada penelitian ini akan ditetapkan kadar kafein dalam produk minuman
teh instan. Produk minuman teh instan yang digunakan adalah minuman teh instan
berbentuk serbuk yang beredar di Yogyakarta, memiliki nomor registrasi dan
mencantumkan kandungan ekstrak teh pada kemasannya. Produk yang memiliki
nomor registrasi tertentu sebagai ijin edar, yaitu : MD. 650110122007
menunjukkan bahwa produk tersebut merupakan produk yang diproduksi di
Indonesia. Dengan mencantumkan kandungan ekstrak teh alami diasumsikan
bahwa dalam sampel terkandung kafein, karena secara alami teh mengandung
kafein.
Produk merek X adalah produk teh instan yang dipilih karena produk
merek X merupakan salah satu produk teh instan yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat, selain itu produk merek X memiliki nomor registrasi dan
mencantumkan kandungan ekstrak teh pada kemasannya.
Produk merek X yang digunakan adalah produk yang dikemas dalam
bentuk kemasan (sachet). Jumlah kemasan yang digunakan sebanyak 20 kemasan
dari batch yang sama. Tujuan menggunakan batch yang sama untuk menunjukkan
bahwa sampel tersebut melalui tahap produksi yang sama. Selanjutnya 20
kemasan tersebut ditimbang satu per satu dan dihomogenkan.
38
B. Penyiapan sampel
Tanin merupakan komponen yang paling banyak terkandung dalam teh,
yaitu sebesar 10-24 % (Trease and Evans, 2002) dan mempunyai struktur yang
paling kompleks terdiri dari molekul karbon, hidrogen, dan oksigen (CxHyOz).
Adanya tanin dapat mengganggu pembacaan absorbansi karena senyawa tanin
akan menyebabkan larutan sampel berwarna coklat pekat, oleh karena itu senyawa
tanin harus dihilangkan terlebih dahulu dengan reaksi reduksi oksidasi (redoks).
Senyawa tanin yang tersusun atas molekul karbon, hidrogen, dan oksigen
dioksidasi menggunakan larutan kalium permanganat (KMnO4). Senyawa-
senyawa mangan(VII) mengandung ion manganat(VII) atau permanganat (MnO4–
) merupakan oksidator yang kuat (Vogel, 1979). Dengan adanya ion permanganat
(MnO4-) tanin (CxHyOz) dioksidasi menjadi CO2 dan H2O.
Oksidator yang digunakan untuk mengoksidasi tanin yaitu KMnO4 harus berlebih
supaya benar-benar yakin bahwa semua tanin sudah teroksidasi. Kelebihan
KMnO4 ini ditandai dengan adanya warna ungu dari KMnO4 setelah larutan
dicampur selama 5 menit. Hal ini menunjukkan bahwa ada sisa KMnO4 yang
tidak bereaksi dengan tanin karena tanin sudah teroksidasi semua.
Kelebihan KMnO4 ini harus dihilangkan dengan menggunakan larutan
pereduksi. Larutan pereduksi yang digunakan berisi KSCN dan Na2SO3. Dalam
suasana asam KSCN dan Na2SO3 ini mampu mereduksi ion permanganat menjadi
Oksidasi : CxHyOz � a CO2 + b H2O + n e x 3 Reduksi : MnO4 - + 4H+ + 3 e � MnO2 + 2H2O x n 3CxHyOz + n MnO4 - + 4n H+ � 3a CO2 + n MnO2 + 2n H2O + 3b H2O (9)
39
Mn2+. Penambahan asam lemah, yaitu asam fosfat bertujan untuk memberikan
suasana asam dalam larutan sehingga reaksi reduksi terhadap ion permanganat
dapat dilaksanakan.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut:
Reduksi dengan KSCN
Ion sulfit (SO32-) merupakan zat pereduksi yang kuat yang akan
mereduksi MnO4-.
Reduksi dengan Na2SO3:
MnO2 yang terbentuk berupa endapan dan akan menyebabkan larutan menjadi
coklat, untuk menghilangkan MnO2 ini digunakan asam phosphat. Asam phosphat
ini akan memberikan suasana asam yang menyebabkan terjadinya reaksi reduksi
MnO2 menjadi ion Mn2+.
6MnO2 + 4H3PO4 � 2Mn3(PO4)2 + 6H2O + 3O2� (12)
Ion Mn2+ selanjutnya akan membentuk garam Mn3(PO4)2 yang larut dalam air
(Vogel, 1969) sesuai dengan persamaan 12 sehingga larutan menjadi jernih.
Oksidasi : SCN - + 4H2O � SO42- + CN- + 8H+ + 6e x 6
2 CN - + 4 H2O � 2CO2 + N2 + 8 H+ + 10e x 3 Reduksi : MnO4 - + 4H+ + 3 e � MnO2 + 2H2O x 22 22MnO4 - + 6SCN - + 16H+ � 22MnO2 + 6SO4
2-+ 6CO2� + 3 N2� + 8H2O (10)
Oksidasi : SO3 2- +H2O � SO42- + 2H
+ + 2e- x 3 Reduksi : MnO4 - + 4H+ + 3 e � MnO2 + 2H2O x 2 2MnO4 - + 2H+ + 3SO3 � 2MnO2 + 3SO4
2-+ H2O (11)
40
N
NN
N
O
H3C
O
CH3
CH3
C. Pembacaan Serapan Kafein
Spektra serapan dibuat dengan cara melakukan pembacaan serapan pada
panjang gelombang 250 nm sampai dengan panjang gelombang 310 nm, dengan
selisih panjang gelombang pengamatan 2 nm. Selisih panjang gelombang 2 nm
adalah hasil optimasi, dimana pada selisih panjang gelombang tersebut didapatkan
panjang gelombang peak-to-peak yang jelas. Pembacaan serapan dilakukan pada
panjang gelombang 250-310 nm, karena menurut Clarke (1969) kafein dalam HCl
0,1 N mempunyai serapan maksimal pada panjang gelombang 272 nm. Aquades
memberikan serapan pada panjang gelombang 190 nm, maka panjang gelombang
250 nm sebagai batas bawah pengamatan tidak akan mengganggu serapan kafein.
Spektra serapan kafein dapat diamati pada panjang gelombang UV
karena kafein dapat menyerap radiasi sinar UV. Hal tersebut dikarenakan kafein
memiliki gugus kromofor yang ditunjukkan pada gambar 6. Gugus kromofor yang
dimiliki kafein mengandung ikatan rangkap yang menyediakan elektron pada
orbital � yang mudah tereksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi yaitu �*
apabila dikenai radiasi sinar UV yang memiliki energi yang sesuai dengan energi
yang dibutuhkan untuk terjadinya eksitasi.
Gambar 6. Gugus kromofor kafein Keterangan: (-------) gugus kromofor
41
Penentuan panjang gelombang serapan maksimal dapat digunakan untuk
analisis kualitatif (data sekunder) pada spektrofotometri ultraviolet. Dalam
Farmakope Indonesia edisi IV disebutkan bahwa pengujian panjang gelombang
serapan maksimum mempunyai makna jika serapan maksimum tersebut tepat atau
dalam batas 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan (Anonim, 1995).
Spektrum serapan kafein dibuat 3 seri kadar, yaitu 0,3.10-3 % b/v; 0,4.10-
3% b/v; dan 0,5.10-3% b/v. Digunakan ketiga konsentrasi tersebut dengan tujuan
untuk mengetahui apakah pada kenaikan konsentrasi senyawa yang dimaksud
akan memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang yang sama. Ketiga
konsentrasi tersebut menunjukkan serapan maksimum pada panjang gelombang
271,9 nm, seperti ditunjukkan pada gambar 7.
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
250
252
254
256
258
260
262
264
266
268
270
272
274
276
278
280
282
284
286
288
290
292
294
296
298
300
302
304
306
308
310
� nm
A
Gambar 7. Spektra serapan kafein (�max = 271,9 nm) Keterangan : konsentrasi 0,3 mg%(�); 0,4 mg% (�); 0,5 mg% (�)
42
Menurut Clarke (1969) spektrum serapan ultraviolet kafein dalam HCl
0,1 N memiliki serapan maksimum pada 272 nm. Dalam penelitian ini tidak
terjadi penyimpangan dan masih memenuhi persyaratan yang tercantum dalam
Farmakope Indonesia edisi IV. Hal ini membuktikan bahwa senyawa yang
digunakan adalah kafein.
D. Penentuan Panjang Gelombang Peak-to-Peak
Dalam analisis kuantitatif spektrofotometri derivatif peak-to-peak
dilakukan pengamatan panjang gelombang peak-to-peak terlebih dahulu. Sebelum
dilakukan derivatisasi spektra, dilakukan pengamatan spektra normal kafein baku
dan sampel.
-0.5
0
0.5
1
1.5
2
2.5
3
3.5
4
4.5
250 255 260 265 270 275 280 285 290 295 300 305 310
� (nm)
A
Gambar 8. Spektra normal gabungan kafein dan sampel Keterangan: kafein (�), sampel (�)
43
Selisih panjang gelombang yang digunakan pada pengamatan ini adalah 2 nm
karena pada selisih panjang gelombang inilah didapatkan pengamatan panjang
gelombang peak-to-peak yang optimal.
Pada spektra sampel terlihat spektra yang tidak berbentuk kerucut, hal ini
disebabkan adanya senyawa-senyawa lain dalam sampel yang berasal dari
kandungan ekstrak teh antara lain teofillin dan teobromin yang juga memiliki
serapan pada daerah panjang gelombang pengamatan. Menurut Clarke (1986)
teofillin dalam larutan asam mempunyai serapan maksimum pada panjang
gelombang 270 nm, sedangkan teobromin dalam larutan asam mempunyai
serapan maksimum pada panjang gelombang 272 nm. Kedua senyawa tersebut
mempunyai daerah panjang gelombang serapan maksimum yang berdekatan
dengan daerah panjang gelombang serapan maksimum kafein yang akan
menyebabkan peningkatan absorbansi total. Absorbansi total adalah penjumlahan
absorbansi masing-masing konstituen penyerap pada larutan (Day and
Underwood, 1980).
Selanjutnya dari spektrum normal tersebut dibuat spektra derivatif
pertama dengan memplotkan dA/d� terhadap panjang gelombang yang dapat
dilihat pada gambar 9 berikut ini. Tujuan derivatisasi ini untuk mendapatkan
spektra yang lebih terinci sehingga didapatkan panjang gelombang peak-to-peak.
44
-0.35
-0.3
-0.25
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
250 260 270 280 290 300 310
� (nm)
dA/d�
Gambar 9. Spektra derivatif pertama gabungan kafein dan sampel Keterangan: kafein (�), sampel (�)
Pada gambar tersebut belum ditemukan adanya spektra sampel yang
berhimpitan satu sama lain dan memberikan pola yang sama dengan kafein baku,
oleh karena itu dibuat derivatisasi selanjutnya sehingga didapatkan pemecahan
puncak-puncak yang lebih terinci dan jelas. Spektra derivatif kedua dapat dilihat
pada gambar 10.
45
-0.14
-0.12
-0.1
-0.08
-0.06
-0.04
-0.02
0
0.02
0.04
0.06
0.08
250 255 260 265 270 275 280 285 290 295 300 305 310
� (nm)
d2A
/d�
2
Gambar 10. Spektra derivatif kedua gabungan kafein dan sampel Keterangan: kafein (�), sampel (�)
Pada spektra derivatif kedua spektra sampel dan kafein dibandingkan
untuk mendapatkan pola yang sama dan berhimpitan namun pada derivatif kedua
ini belum ditemukan spektra sampel dan kafein baku yang saling berhimpitan,
oleh karena itu dibuat spektra derivatif ketiga. Spektra derivatif ketiga sampel
dan kafein baku dapat dilihat pada gambar 11.
46
-0.02
-0.01
0
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
250
252
254
256
258
260
262
264
266
268
270
272
274
276
278
280
282
284
286
288
290
292
294
296
298
300
302
304
306
308
� (nm)
d3A
/d�
3
Gambar 11. Spektra derivatif ketiga gabungan kafein dan sampel
Keterangan: kafein (�), sampel (�)
Pada spektra derivatif ketiga larutan kafein baku dan sampel terlihat
bahwa pemecahan puncak lebih terinci dan jelas namun belum ditemukan adanya
spektra yang berhimpitan satu sama lain sehingga dibuat spektra derivatif keempat
untuk menentukan panjang gelombang peak-to-peak. Spektra derivatif keempat
dapat dilihat pada gambar 12.
47
-0.03
-0.025
-0.02
-0.015
-0.01
-0.005
0
0.005
0.01
252 254 256 258 260 262 264 266 268 270 272 274 276 278 280 282 284 286 288 290 292 294 296 298 300 302 304 306
� (nm)
d4A
/d�4
Gambar 12. Spektra derivatif keempat gabungan kafein dan sampel Keterangan: kafein (�), sampel (�)
Pada spektra derivatif keempat terdapat spektra berhimpitan satu sama
lain secara total dan menghasilkan puncak maksimum pada panjang gelombang
268 nm, dan puncak minimum pada 270 nm. Panjang gelombang inilah yang
disebut dengan panjang gelombang peak-to-peak dan selanjutnya digunakan
pengamatan amplitudo peak-to-peak.
E. Pembuatan Kurva Baku Kafein
Kurva baku dibuat pada panjang gelombang peak-to-peak. Jarak vertikal
antara puncak maksimum pada panjang gelombang 268 nm dan puncak minimum
pada 270 nm pada spektra derivatif keempat dari seri konsentrasi larutan baku
dihitung dan dinyatakan sebagai nilai amplitudo peak-to-peak. Persamaan kurva
48
baku menyatakan hubungan linier antara konsentrasi dan amplitudo peak-to-peak.
Sebagai parameter linieritasnya digunakan koefisien korelasi (r). Koefisien
korelasi menunjukkan konsentrasi dan amplitudo. Dalam penelitian ini nilai r
yang digunakan adalah nilai r yang lebih besar dari nilai r tabel untuk lima data
dengan derajat bebas (db) = 3, yaitu sebesar 0,878 (pada taraf kepercayaan 95%).
Dari replikasi yang dilakukan sebanyak 3 kali, dapat dilihat bahwa nilai r
yang diperoleh semuanya lebih besar dari nilai r tabel, hal ini menunjukkan
persamaan kurva baku tersebut mempunyai korelasi yang baik sehingga dapat
digunakan untuk menghitung kadar kafein.
Tabel I. Data persamaan kurva baku kafein Replikasi 1 Replikasi 2 Replikasi 3
konsentrasi
(g/100ml) Amplitudo
konsentrasi
(g/100ml) Amplitudo
konsentrasi
(g/100ml) Amplitudo
0,00180 0,0074 0,00189 0,0113 0,00181 0,0125
0,00206 0,0124 0,00216 0,0215 0,00207 0,0122
0,00232 0,0358 0,00244 0,0744 0,00233 0,0292
0,00258 0,0492 0,00271 0,0911 0,00259 0,0518
0,00309 0,0855 0,00325 0,0983 0,00310 0,0740
A = -0,11106 A = -0,11642 A = -0,08880
B = 6,29209 B = 7,06121 B = 5,24485
r = 0,99058 r = 0,91164 r = 0,97553
SE = 0,00499 SE = 0,01912 SE = 0,00678
Dari ketiga replikasi kurva baku yang digunakan adalah replikasi pertama
karena mempunyai nilai koefisien korelasi (r) yang paling besar yaitu 0,99058 dan
nilai r ini lebih besar dari nilai r table, selain itu nilai SE terkecil diantara ketiga
replikasi.
49
F. Penetapan Kadar Kafein
Pada penetapan kadar kafein dalam sampel, dilakukan preparasi sampel
yang bertujuan untuk menghilangkan senyawa tanin yang dapat mengganggu
pembacaan absorban. Selanjutnya spektrum serapan sampel dibuat derivatif
keempat, dan pada panjang gelombang peak-to-peak, yaitu pada panjang
gelombang 268 nm sebagai puncak maksimum dan 270 nm sebagai puncak
minimum kemudian dihitung amplitudonya. Nilai amplitudo yang terukur
dihitung sebagai nilai y yang kemudian dimasukkan ke dalam persamaan kurva
baku replikasi pertama, yaitu y = 6,29209 (x) – 0,11106 sehingga didapatkan
kadar kafein dalam larutan.
Perhitungan kadar kafein dari keenam replikasi dimana setiap replikasi
dilakukan duplo didapatkan hasil perhitungan sebagai berikut:
Tabel II. Data Perhitungan Kadar kafein Replikasi Kafein
(mg per kemasan)
1 13,28789 I
2 13,77352
1 13,73287 II
2 13,84549
1 13,45772 III
2 13,29583
1 13,48670 IV
2 13,55706
1 13,50143 V
2 13,39606
50
1 13,87079 VI
2 13,64265
Kadar rata-rata = 13,57067
SE = 0,05832
Dari data di atas dapat dilihat bahwa dengan spektrofotometri derivatif peak-to-
peak didapatkan kadar kafein rata-rata perkemasan sebesar 13,570 ± 0,058 mg.
Untuk memperhitungkan nilai recovery pada larutan sampel ditambahkan
larutan kafein baku sebagai adisi dengan konsentrasi yang telah diketahui. Dari
hasil enam kali replikasi, dimana masing-masing replikasi dilakukan duplo
didapatkan hasil recovery sebagai berikut:
Tabel III. Data perhitungan recovery dan CV Replikasi Selisih Kafein (C-B) Recovery (%)
(mg / 50 ml larutan)
1 1plo 0,25578 102,29
2plo 0,25576 101,30
2 1plo 0,25329 96,49
2plo 0,26323 105,27
3 1plo 0,26074 104,28
2plo 0,24833 99,31
4 1plo 0,25580 102,30
2plo 0,23840 95,34
5 1plo 0,25329 101,30
2plo 0,25329 101,30
6 1plo 0,26729 106,89
2plo 0,27440 109,74
Rentang recovery = 95,34% - 109,74%
Rata-rata kafein (C-B) terukur = 0,25663
SD = 0,00918
SE = 0,00265
51
CV = 1,033%
Salah satu parameter validitas metode yang digunakan yaitu akurasi,
dinyatakan dengan nilai recovery atau perolehan kembali. Berdasarkan data di
atas rentang recovery yang diperoleh adalah 95.34%-109,74 %. Nilai ini
memenuhi untuk persyaratan nilai recovery yang baik untuk sampel dengan kadar
kecil yaitu 90-110% (Mulja dan Hanwar, 2003). Hasil ini menunjukkan bahwa
metode yang digunakan memiliki akurasi yang baik. Parameter validitas metode
presisi dinyatakan dengan nilai CV (Coefficient of Variation).
Nilai CV yang diperoleh adalah 1,033%. Nilai ini memenuhi syarat
presisi yang baik yaitu harga CV kurang dari 2% (Mulja dan Hanwar, 2003) dan
dapat dikatakan bahwa metode ini memiliki presisi yang baik. Dari hasil analisis
tersebut menunjukkan bahwa penetapan kadar kafein dalam minuman teh instan
secara spektrofotometri derivatif dengan metode peak-to-peak memiliki akurasi
dan presisi yang baik.
52
BAB V
KESIMPULAN
1. Kadar kafein dalam minuman teh instan merek X adalah sebesar 13,570 ±
0,058 mg per kemasan dan masih dalam batas yang ditentukan oleh BPOM,
yaitu kurang dari 50 mg per saji dan maksimal 150 mg per hari.
2. Penetapan kadar kafein dalam minuman teh instan merek X metode
spektrofotometri-UV derivatif aplikasi peak-to-peak memberikan nilai akurasi
dan presisi yang baik.
53
DAFTAR PUSTAKA
Aldopogan, Guzin., Karabina, Kadir, and Sungur, Sidika., 2000, Derivatif Spechtrophotometric Determination of Caffein in Some Beverages, Turk Journal Chemistry, 26, 295-302
Anonim, 1986, Clarke’s Isolation and Identification of Drugs, Second Edition,
254, The Pharmaceutical Press, London Anonim, 1988, Tea Processing, Agricultural Services Bulletin, 26, Compiled by J.
Werkhoven, Food and Agricultural Organization, Italia Anonim, 1990, Official Methods of Analysis, 15th Edition, 753, Edited by Kenneth
Helrich, Association of Official Analytical Chemistry Inc., USA. Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, 254, Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, Jakarta Anonim, 2003, United States of Pharmacopeia, 26th
Ed, New York, U.S.A, 2442. Anonim, 2005, Teh, http//id.wikipedia.org/wiki/Teh. Diakses pada 13 Maret 2007 Anonim,2006,http//www.iupac.org/publications/analytical_compendium/Cha10se
c352.pdf, Diakses pada 27 Maret 2006. Aydogmus, Z., Cetin, S.M., Uzgur, M.U., 2001, Determination of Ascorbic Acid
in Vegetables by Derivative Spectrophotometry, Turk Journal Chemistry, 26, 697-704
Christian, G.D., 2004, Analytical Chenistry, 6th Ed., 465, Jhon Wiley & Sons,
Inc., U.S.A. Clarke, E.G.C., 1969, Isolation and Identification of Drugs, 465, The
Pharmaceutical Press, London Connors, K.A., 1982, Textbook of Pharmaceutical Analysis, 3th Ed., 221, Wiley,
New York Day, R. A., dan Underwood, A. L., 1980, Quantitative Analysis, diterjemahkan
oleh R. Sendoro, Edisi 4, 417-419, Erlangga, Jakarta Friamita, R. D., 2006, Penetapan Kadar Kafein Dalam Campuran Parasetamol,
Salisilamida, dan Kafein Secara Spektrofotometri Derivatif dengan Aplikasi Metode Peak-to-Peak, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
54
Mulja, M., Suharman, 1995, Analisis Instrumental, 19-61, Penerbit Erlangga,
Surabaya Mulja, M., dan Hanwar, D., 2003, Prinsip-Prinsip Cara Berlaboratorium yang
Baik (Good Laboratory practice), Majalah Farmasi Airlangga, Vol III, No.2, 71-76
Pecsok, R.L., Shields, L.D., Cairns, T., dan Mc. William, I.G., 1976, Modern
Methods of Chemycal Analysis, 2nd Ed, 148-158, Jhon Wiley and Sons, New York
Robbers, E. James; Speedie, K. Marilyn; Tyler, E. Vavro, 1996, Pharmacognosy
and Biotechnology, 182-185, Williams & Wilkins, USA Sartondo, T. R., 2003, Perbandingan Metode Spektrofotometri UV dan HPLC
(High Performance Liquid Chromatography) pada Penetapan Kadar Kafein dalam Larutan Teh, Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
Sastrohamidjojo, H., 2001, Spektroskopi, 1-43, Liberty, Yogyakarta Silverstein, R.M., 1991, Spectrometric Identification of Organic Compound, 5th
Ed, 289-294, John Wiley and Sons. Inc., Singapura Skoog, West, and Holler, 1994, Analytical Chemistry, 6th Edition, 424, Saunders
College Publisher, Philadelphia Sunaryo, 1995, Farmakologi dan Terapi, Edisi 4, 226-227, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta Syah, A.N.A., 2006, Taklukkan Penyakit dengan Teh Hijau, 60-87, Agromedia
Pustaka, Jakarta Trease and Evans, 2002, Pharmacognosy, 15th Edition, 302, W.B. Saunders,
London Vogel, 1979, Textbook of Macro and Semimicro Qualitative Inorganic Analysis,
114-116, Longman Group Limited, London Watson, D.G., 2003, Pharmaceutical Analysis, 79, Churchill Livingstone, British Willard, H.H., Merrit, Jr., L.L., Dean, J.A., and Settle Jr., F.A., 1988,
Instrumental Methods of Analysis, 7th Ed, 177, Wadsworth Publishing
Company, California.
55
Lampiran 1. Sertifikat analisis kafein
56
Lampiran 2. Teh instant merk X
Komposisi:
Gula, ekstrak teh alami, aspartame 20 mg/sachet, perasa jasmin
Analisis organoleptis:
Bentuk : Serbuk
Warna : coklat muda
Bau : aroma khas teh
Rasa : manis, khas teh
57
Lampiran 3. Data Penimbangan Bahan
Data Penimbangan Bahan
a. Kafein baku
Replikasi 1 : 0,01030 gram
Replikasi 2 : 0,01082 gram
Replikasi 3 : 0,01034 gram
b. Data Penimbangan Sampel
Berat penimbangan sampel
Replikasi 1 3,99965 gram
Replikasi 2 3,99919 gram
Replikasi 3 3,99938 gram
Replikasi 4 4,00122 gram
Replikasi 5 4,00728 gram
Replikasi 6 3,99641 gram
58
Lampiran 4. Contoh perhitungan kadar larutan baku kafein
Contoh perhitungan kadar larutan baku:
a. Skema pembuatan
Kurang lebih 10 mg kafein ditimbang secara seksama
larutkan dalam 100 ml HCl 0,1 N
Pipet 1,750 ml; 2,000 ml; 2,250 ml; 2,500 ml; dan 3,000 ml
Encerkan dengan HCl 0,1 N hingga volumenya tepat 10 ml
b. Perhitungan seri kadar kafein
Bobot kafein hasil penimbangan = 0,01030 gram
Kadar kafein dalam larutan = vbml
g/%01030,0
10001030,0 =
Seri Kadar Perhitungan Kadar Kafein
1
2
3
4
5
vbvbml
ml/%10803,1/%01030,0
10750,1 3−⋅=×
vbvbml
ml/%10060,2/%01030,0
10000,2 3−⋅=×
vbvbml
ml/%10318,2/%01030,0
10250,2 3−⋅=×
vbvbml
ml/%10575,2/%01030,0
10500,2 3−⋅=×
vbvbml
ml/%10090,3/%01030,0
10000,3 3−⋅=×
59
Lampiran 5. Data optimasi delta panjang gelombang
Data optimasi panjang gelombang d�
a. Derivatif pertama
d� = 1 nm
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
250 260 270 280 290 300 310
� (nm)
dA/d�
d� = 2 nm
-0.35
-0.3
-0.25
-0.2
-0.15
-0.1
-0.05
0
0.05
0.1
250 260 270 280 290 300 310
� (nm)
dA/d�
Keterangan : kafein (�), sampel (�)
60
b. Derivatif keempat
d� = 1 nm
-0.2
-0.1
0
0.1
0.2
260 262 264 266 268 270 272 274 276 278 280 282 284 286 288 290 292 294 296 298 300 302 304 306 308
� (nm)
d4A
/d�4
Tidak ditemukan panjang gelombang peak-to-peak.
d� = 2 nm
-0.03
-0.025
-0.02
-0.015
-0.01
-0.005
0
0.005
0.01
252 254 256 258 260 262 264 266 268 270 272 274 276 278 280 282 284 286 288 290 292 294 296 298 300 302 304 306
� (nm)
d4A
/d�4
Keterangan : kafein (�), sampel (�)
Panjang gelombang peak-to-peak pada 268 nm dan 270 nm.
Lampiran 6. Data perhitungan kadar kafein dalam sampel
61
Data perhitungan kafein
a. Skema pembuatan
Timbang kurang lebih 4 gram sample secara seksama
Larutkan dengan aquades hingga 50,0 ml
Pipet larutan sebanyak 10,0 ml lalu masukkan dalam labu ukur 50 ml
Tambahkan larutan KMnO4 1,5% sebanyak 5 ml, diamkan selama 5 menit.
Tambahkan larutan pereduksi (KSCN dan Na2SO3) sebanyak 10 ml
Tambahkan 1 ml H3PO4
Encerkan dengan menambahkan aquades sampai tanda
b. Perhitungan kadar kafein terukur
Persamaan kurva baku; Y = 6,29209 (x) – 0,11106
Amplitudo peak-to-peak (Y) = 0,006938
Kadar terukur = 29209,6
11106,0006938,0 += 4,89206 mg/50 mL
= 4,892056 mg dalam 3,99965 gram sampel
Kafein tiap sachet
= emasananganTiapKrataPenimbBobotRataelbanganSampBobotPenim
nTerukurKadarKafei −×
= mggramgram
mg28789,1333577,11
99965,3892056,4 =× per kemasan
62
Replikasi
Amplitudo
Larutan B
Jumlah kafein total
Larutan B
Kafein
(mg per kemasan)
1 1 0,006938 4.688427 13,28789
2 0,011250 4.859774 13,77352
2 1 0,010875 4.844874 13,73287
2 0,011875 4.884606 13,84549
3 1 0,008438 4.748026 13,45772
2 0,007000 4.690911 13,29583
4 1 0,008750 4.760442 13,48670
2 0,009375 4.785275 13,55706
5 1 0,009063 4.772858 13,50143
2 0,008125 4.735610 13,39606
6 1 0,012063 4,892,056 13,87079
2 0,009938 4,809,700 13,64265
Analisis dari data tersebut:
X = 13,57067 mg per kemasan
SD = 0,202038
SE = 0,05832
Kadar rata-rata = X ± SE = 13,570 ± 0,058 mg per kemasan.
63
Lampiran 7. Perhitungan Recovery
a. Skema Pembuatan
Timbang kurang lebih kafein 50 mg kafein secara seksama
Larutkan dalam 50 ml HCl 0,1 N
Persiapkan larutan B sampel
Pipet larutan kafein adisi sebanyak 0,250 ml, tambahkan pada larutan B
Kemudian larutan ini disebut larutan C
b. Perhitungan kadar kafein sebenarnya
Bobot kafein hasil penimbangan : 50,01 mg
Kafein yang ditambahkan : mlmg
5001,50
ml250,0× = 0,25005 mg.
c. Perhitungan Recovery
Replikasi Kafein (C-B) Perhitungan Recovery
(mg/50 ml larutan)
1 0,26321 102,29% 100%
25005,025578,0 =×
I
2 0,24835 102,28% 100%
25005,025576,0 =×
1 0,25578 101,30% 100%
25005,025329,0 =×
II
2 0,25576 105,27% 100%
25005,026323,0 =×
III 1 0,25329 104,28% 100%
25005,026074,0 =×
64
2 0,26323 99,31% 100%
25005,024833,0 =×
1 0,26074 102,30% 100%
25005,025580,0 =×
IV
2 0,24833 95,34% 100%
25005,023840,0 =×
1 0,25580 101,30% 100%
25005,025329,0 =×
V
2 0,23840 101,30% 100%
25005,025329,0 =×
1 0,26729
106,89% 100% 25005,026729,0 =×
VI
2 0,27440
109,74% 100% 25005,027440,0 =×
Rentang Recovery :95,34% - 109,74%
65
d. Perhitungan Coefficient of Variancy (CV)
Replikasi Selisih Kafein (C-B)
(mg / 50 ml larutan)
1 1plo 0,25578
2plo 0,25576
2 1plo 0,25329
2plo 0,26323
3 1plo 0,26074
2plo 0,24833
4 1plo 0,25580
2plo 0,23840
5 1plo 0,25329
2plo 0,25329
6 1plo 0,26729
2plo 0,27440
Rata-rata kafein (C-B) terukur = 0,25663
SD = 0,00918
SE = 0,00265
CV = 1,033%
Rata-rata = 0,25663
SD = 0.00918
SE = n
SD
SE = 0.002650
CV = (SE ÷ rata-rata kafein terukur) × 100%
CV = 1,033%
66
Lampiran 8. Contoh Perhitungan Derivatif Peak-to-peak
Derivat pertama:
12
12
- A - A
ddA
λλλ=
� A 2 -
12 λλλ = dA/d�
250 0.739 250.5 0.056
251 0.795 251.5 0.058
252 0.853 252.5 0.072
253 0.925 253.5 0.069
254 0.994 254.5 0.071
255 1.065 255.5 0.077
256 1.142 256.5 0.078
257 1.22 257.5 0.079
258 1.299 258.5 0.087
259 1.386 259.5 0.086
260 1.472 260.5 0.073
261 1.545 261.5 0.079
262 1.624 262.5 0.071
263 1.695 263.5 0.078
264 1.773 264.5 0.067
265 1.84 265.5 0.05
266 1.89 266.5 0.056
267 1.946 267.5 0.056
268 2.002 268.5 0.023
269 2.025 269.5 0.029
270 2.054 270.5 0.04
271 2.094 271.5 -0.014
67
272 2.08 272.5 -0.013
273 2.067 273.5 -0.014
274 2.053 274.5 -0.013
275 2.04 275.5 -0.054
Derivat kedua:
� dA/d�
2 -
12 λλλ = d2A/d2�
250.5 0.056 251 0.002
251.5 0.058 252 0.014
252.5 0.072 253 -0.003
253.5 0.069 254 0.002
254.5 0.071 255 0.006
255.5 0.077 256 0.001
256.5 0.078 257 0.001
257.5 0.079 258 0.008
258.5 0.087 259 -0.001
259.5 0.086 260 -0.013
260.5 0.073 261 0.006
261.5 0.079 262 -0.008
262.5 0.071 263 0.007
263.5 0.078 264 -0.011
264.5 0.067 265 -0.017
265.5 0.05 266 0.006
266.5 0.056 267 0
267.5 0.056 268 -0.033
268.5 0.023 269 0.006
269.5 0.029 270 0.011
270.5 0.04 271 -0.054
271.5 -0.014 272 0.001
68
272.5 -0.013 273 -0.001
273.5 -0.014 274 0.001
274.5 -0.013 275 -0.041
Derivat ketiga:
� d2A/d2� 2 -
12 λλλ = d3A/d3�
251 0.002 251.5 0.012
252 0.014 252.5 -0.017
253 -0.003 253.5 0.005
254 0.002 254.5 0.004
255 0.006 255.5 -0.005
256 0.001 256.5 0
257 0.001 257.5 0.007
258 0.008 258.5 -0.009
259 -0.001 259.5 -0.012
260 -0.013 260.5 0.019
261 0.006 261.5 -0.014
262 -0.008 262.5 0.015
263 0.007 263.5 -0.018
264 -0.011 264.5 -0.006
265 -0.017 265.5 0.023
266 0.006 266.5 -0.006
267 0 267.5 -0.033
268 -0.033 268.5 0.039
269 0.006 269.5 0.005
270 0.011 270.5 -0.065
271 -0.054 271.5 0.055
272 0.001 272.5 -0.002
273 -0.001 273.5 0.002
274 0.001 274.5 -0.042
69
Derivat keempat:
� d3A/d3� 2 -
12 λλλ = d4A/d4�
251.5 0.012 252 -0.029
252.5 -0.017 253 0.022
253.5 0.005 254 -0.001
254.5 0.004 255 -0.009
255.5 -0.005 256 0.005
256.5 0 257 0.007
257.5 0.007 258 -0.016
258.5 -0.009 259 -0.003
259.5 -0.012 260 0.031
260.5 0.019 261 -0.033
261.5 -0.014 262 0.029
262.5 0.015 263 -0.033
263.5 -0.018 264 0.012
264.5 -0.006 265 0.029
265.5 0.023 266 -0.029
266.5 -0.006 267 -0.027
267.5 -0.033 268 0.072
268.5 0.039 269 -0.034
269.5 0.005 270 -0.070
270.5 -0.065 271 0.120
271.5 0.055 272 -0.057
272.5 -0.002 273 0.004
70
273.5 0.002 274 -0.044
Nilai amplitudo absolut total pada panjang gelombang 268 nm dan 270 nm:
Amplitudo total: 0,072 + 0,07 = 0,142
71
BIOGRAFI PENULIS
Penulis skripsi berjudul “Penetapan Kadar Kafein
Minuman Teh Instan dengan Metode
Spektrofotometri-UV Derivatif Aplikasi Peak-to-
Peak ” bernama lengkap Yosepha Henny Ermawati.
Penulis dilahirkan di Cilacap pada tanggal 10 Maret
1985 sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara dari
pasangan Amandus Kartono dan Maria Christina Sri
Widyanti.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh yaitu TK Katolik Swastiastu
Denpasar (1990-1991), SD Kanisius Kanutan (1997), SMP Negeri 1 Pandak,
Bantul (1997-2000), SMA Negeri 3 Yogyakarta (2000-2003), dan pada tahun
2003 penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta. Selama masa kuliah penulis pernah mengikuti beberapa
kepanitian serta menjadi anggota Paduan Suara Fakultas Farmasi “Veronica”.