penerapan pengalaman langsung pada pembelajaran bahasa …
TRANSCRIPT
Prosiding SENASBASA http://research-report.umm.ac.id/index.php/SENASBASA
(Seminar Nasional Bahasa dan Sastra) Edisi 2 Tahun 2018
Halaman 183-196 E-ISSN 2599-0519
183 | Halaman
PENERAPAN PENGALAMAN LANGSUNG PADA PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA DI STAB KERTARAJASA
Latifah1*, Hery Yanto The2*, Ary Budiyanto3*
a Sekolah Tinggi Agama Buddha Kertarajasa
Jl. Ir. Soekarno No. 311 Batu, Kode Pos 65322, Jawa Timur
[email protected] b Zhejiang Yuexiu University of Foreign Languages
Qun Xian Zhong Road 2801, Yue Cheng District, Shaoxing 312000, Zhejiang, China
[email protected] cProdi Antropologi, Universitas Brawijaya
Jl. Veteran Malang 65145
Abstrak Tujuan pembelajaran Bahasa Indonesia secara umum adalah mampu menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dengan berbagai konteksnya. Matakuliah Bahasa Indonesia di perguruan
tinggi (PT) menjadi bekal bagi mahasiswa untuk mampu berkomunikasi dalam ruang lingkup ilmiah
dengan latar belakang keilmuannya masing-masing.Untuk itu, di dalam matakuliah Bahasa Indonesia
mahasiswa mempelajari konvensi penulisan karya ilmiah.Namun, selain dari segi teknik penulisan, kontribusi dalam bidang akademik juga memerlukan penguasaan segi isi penulisan yang mencakup
penguasaan bidang ilmu terkait sesuai dengan perkembangan khazanah keilmuannya.Karakteristik
mahasiswa STAB Kertarajasa yang sebagian besar hidup dalam lingkungan monastik sebagai pabajitayang ruang lingkupnya terbatas sedikit banyak mempengaruhi motivasi belajar dan daya
jangkau terhadap sumber-sumber belajar bidang studi Dharma Achariya (pendidikan guru agama
Buddha). Experiential learning (pengalaman langsung) dalam pembelajaran bahasa Indonesia di
STAB Kertarajasa tidak hanya memberikan pengalaman langsung dalam hal kemampuan teknis menulis karya tulis ilmiah. Namun, kuliah ini juga memberikan makna lebih dengan menyajikan
pengalaman langsung kepada mahasiswa untuk terlibat dengan berbagai sumber pustaka dan digital
dalam pengembangan keilmuan Dharma Achariya seperti strategi pembelajaran, Buddhist Studies, dan kajian agama-agama.Paper ini memaparkan pengalaman belajar-mengajar matakuliah Bahasa
Indonesia dengan metode experiential learning sebagai suatu bentuk deskriptif-evaluatif pencatatan
kemajuan mahasiswa.Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method yang memadukan antara survei dengan studi kasus.Perpaduan metode ini termasuk Quantitatively driven approaches karena
data utama yang dikaji adalah hasil perhitungan deskriptif statitistik yang kemudian dianalisis lebih
mendalam menggunakan data kualitatif.Penelitian menunjukkan pengaruh positif dari penerapan
pengalaman belajar langsung dalam mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah terkait dengan bidang keilmuan mahasiswa.
Kata Kunci: experiential leaning, pembelajaran bahasa, Pendidikan Tinggi Agama Buddha, Bahasa
Indonesia di Perguruan Tinggi
PENDAHULUAN
Penelitian ini terinsipari oleh Benjamin Lee Worf, pakar di bidang linguistic
relativity, yang menyatakan, “Language shapes the way we think, and determines what we
can think about.” Ujaran ini menekankan signifikansi bahasa dalam mempengaruhi
184 | Halaman
pandangan dan cara berpikir seseorang. Pendapat Worf dapat diperkuat dengan uraian yang
disampaikan oleh Alwasilah (2005: 171) bahwa di samping fungsinya sebagai media dalam
interaksi sosial, bahasa merupakan sarana berpikir meskipun berpikir tidak selalu
memerlukan bahasa. Dengan mengacu pada pendapat Kleden (2003), Alwasilah (2005)
berpendapat bahwa kekacauan bahasa merupakan perwujudan rendahnya kemauan berpikir.
Hal ini tampak dalam kerancuan penggunaan bahasa para pejabat publik seperti yang telah
dikaji oleh Widiatmoko (2012). Widiatmoko memberikan contoh kerancuan bahasa para
pejabat publik yang cenderung mencampuradukkan bahasa politik yang bernuansa relatif
dengan bahasa agama yang bersifat mutlak dalam kata korupsi yang hampir selalu
disandingkan dengan kata dosa. Akibatnya, tindak pidana korupsi dipandang sebagai hal
privat yang menyangkut hubungan personal individu dengan Tuhannya, bukan sebagai
kejahatan publik. Dalam konteks ruang lingkup akademik, penguasaan bahasa Indonesia
sebagai sarana berpikir dan berkomunikasi secara ilmiah sangat penting karena menyangkut
komunikasiyang jelas dan penyampaian informasi yang bermakna. Untuk itu, bahasa
Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Perguruan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional RI No.:43/DIKTI/Kep/2006 sebagai matakuliah wajib di perguruan
tinggi (PT).
Dalam penerapan Keputusan Dirjen PT Depdiknas RI tersebut substansi kajian untuk
matakuliah Bahasa Indonesia yang difokuskan kepada menulis akademik, tidak semata-mata
dapat dicapai melalui penguasaan kaidah-kaidah kebahasaan. Jika penguasaan kaidah-kaidah
kebahasaan dijadikan sebagai satu-satunya fokus dalam pemelajaran bahasa
Indonesia,matakuliah ini akan terasing dari pergaulan dengan ilmu-ilmu lainnya. Pengajaran
bahasa yang diarahkan pada penguasaan aspek kebahasaan saja, terlepas dari fenomena
sosial, akan semakin membuat kuliah Bahasa Indonesia dipandang sebelah mata karena
dianggap kurang relevan dengan bidang keilmuan mahasiswa. Umumnya, keikutsertaan
mahasiswa di dalam kuliah Bahasa Indonesia ini, seperti juga halnya di Sekolah Tinggi
Agama Buddha (STAB) Kertarajasa, lebih didasari oleh kewajiban, tanpa minat khusus,
sehingga motivasi dan hasil belajar pun rendah. Evaluasi secara berkelanjutan untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran Bahasa Indonesia, khususnya di Perguruan Tinggi perlu
mempertimbangkan perpaduan dan keterhubungan antara aspek kebahasaan yang dipelajari
dengan bidang ilmu yang menjadi minat mahasiswa. Didasarkan pada pertimbangan
pentingnya hubungan perkuliahan Bahasa Indonesia dengan bidang ilmu lain, tulisan ini
secara khusus memaparkan penelurusan terhadap pelaksanaan pembelajaran Bahasa
Indonesia melalui pengalaman langsung (experiental learning) di Sekolah Tinggi Agama
185 | Halaman
Buddha (STAB) Kertarajasa, Batu, Malang. Dengan demikian, rumusan masalah dari riset
makalah ini adalah bagaimana implikasi experiental learning (EL) menulis ilmiah bagi
mahasiswa STABK dalam pembelajaran Bahasa Indonesia yang kontekstual bagi
penngembangan minat kajian dalam Dharma Achariya (Pendidikan Guru Agama Buddha)?
Penelitian ini bertujuan menjelaskan manfaat pengalaman langsung terhadap peningkatan
kemampuan mahasiswa dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk menulis di bidang
keilmuannya, yaitu Pendidikan Agama Buddha.
Karakteristik STAB Kertarajasa sebagai penyelenggara program pendidikan brahmacari
atau pabajita bagi sebagian besar mahasiswa-mahasiswinya merupakan salah satu poin
pertimbangan perlunya kajian penerapan experiental learning dalam pembelajaran Bahasa
Indonesia. STAB Kertarajasa mencakup program studi tunggal tingkat Strata 1 (S-1), yaitu
Dharma Achariya (Pendidikan Guru Agama Buddha). Selama berkuliah para mahasiswa-
mahasiswi diharapkan menjadi atthasilani (bagi perempuan) dan samanera (bagi laki-laki)
yang menjalani latihan kemoralan dan tinggal di lingkungan Vihara Padepokan Dhammadipa
Arama, Batu, Malang. Ajaran moral itu didasarkan pada prinsip dasasila untuk samanera dan
delapan aturan pokok untuk atthasilani. Para samanera dan atthasilani tersebut secara ketat
menjalani ajaran moral yang mereka pegang teguh sebagaimana digambarkan oleh Sentot
(2016:77).
“Every morning chanting they have to renew their precept, and every full moon and dark moon day they have to renew their precepts from the upasampada bhikku. If they break
certain rule, they must ask forgiveness from bhikku and the bhikkhu will give punishment
(dandakamma) to offender. Besides the main precepts, samanera should behave according to
75 sekhiya for bhikkhu which contains proper behavior how to eat, to wear robe, to walk,
etc....”
Karakteristik lain mahasiswa STAB Kertarajasa adalah latar belakang geografis, sosial, dan
ekonomi. Di samping motivasi mengembangkan Buddhadhamma (ajaran Buddha),
mahasiswa memilih kuliah di STAB Kertarajasa karena melanjutkan pendidikan tinggi
dengan dana pendidikan yang terbatas. Mahasiswa STAB umumnya berkuliah dengan dana
bantuan, baik dari pemerintah maupun dari yayasan atau donatur. Para mahasiswa pabajita
(atthasilani dan samanera) yang berkewajiban tinggal di asrama vihara menerima bantuan
dana pendidikan penuh dan juga memperoleh bantuan dana untuk keperluan hidup. Di
samping mahasiswa pabajita, terdapat jenis mahasiswa lain yang biasa disebut sebagai
mahasiswa regular atau umum. Mereka hidup di kos atau rumah sewa sekitar vihara dan tidak
menggunakan jubah kuning bagi laki-laki seperti samanera atau baju putih bagi perempuan
seperti atthasilani. Meskipun tidak menerima bantuan penuh, sebagian besar mahasiswa
186 | Halaman
umum juga menerima keringanan biaya kuliah dan bantuan dari donatur melalui bhikkhu
sangha (Latifah, Budiyanto, dan Metta, 2014). Dengan latar belakang mahasiswa seperti ini
tidak mudah bagi pengajar untuk mewajibkan mereka membeli sumber-sumber belajar
sendiri. Sumber atau bahan belajar lebih banyak bersumber dari dosen. Instruktur/dosen perlu
untuk merancanakan kegiatan yang memungkinkan mahasiswa untuk menggunakan sumber-
sumber belajar yang tersedia di perpustakaan kampus atau perpustakaan Vihara. Kedua
perpustakaan ini memiliki koleksi kajian Buddha yang sangat memadai, namun belum
memiliki koleksi yang memadai di bidang Ilmu Pendidikan.
Rendahnya akses dan minat terhadap sumber dan bahan belajar dan referensi-referensi
ilmiah secara umum mempengaruhi kemampuan berbahasa mahasiswa secara umum.Hal ini
terlihat dalam karya ilmiah yang dihasilkan mahasiswa selama ini meskipun terdapat
sejumlah kecil pengecualian. Kosakata yang terbatas membuat mahasiswa sulit menyerap
bacaan, terutama dalam membuat parafrase kalimat-kalimat yang dikutipnya. Akibatnya,
tingkat plagiarisme di kalangan mahasiswa masih cukup memprihatinkan. Alih-alih persoalan
moral dalam dunia akademik, keterampilan dalam membaca dan menulis lebih dapat
dikatakan sebagai faktor utama merebaknya plagiarisme tersebut. Pembelajaran bahasa
Indonesia sebelumnya kurang memberikan pengalaman belajar secara langsung sehingga
mahasiswa kurang terlibat aktif, kurang memahami pelajaran, dan kurang mendapatkan
pengalaman yang bisa diterapkan dalam kehidupan nyata.
Perkuliahan Bahasa Indonesia di STAB Kertarajasa mencakup dua matakuliah, yaitu
Bahasa Indonesia I dan Bahasa Indonesia II. Kedua mata kuliah ini merupakan matakuliah
wajib umum (MKWU) dengan bobot masing-masing 2 SKS. Keduanya diberikan pada tahun
pertama sebagai pertimbangan bahwa matakuliah ini akan menjadi bekal keterampilan
menulis yang diperlukan dalam kehidupan akademis selanjutnya. Kurangnya pengalaman
langsung dalam pembelajaran Bahasa Indonesia menyebabkan mahasiswa mengaku sudah
tidak ingat lagi materi Bahasa Indonesia saat mereka menulis skripsi sehingga kualitas aspek
kebahasaan sebagian besar skripsi masih tergolong rendah. Namun, sesungguhnya mahasiswa
tidak hanya memerlukan bekal keterampilan menulis untuk dapat menjalani kehidupan
sebagai mahasiswa, mereka juga memerlukan modal sikap mental sebagai pembelajar dewasa
dan mandiri agar pembelajaran dapat berlangsung secara berkelanjutan. Oleh karena itu,
pengalaman belajar langsung (experiental learning) penting bukan hanya untuk
mengembangkan teknik menulis karya ilmiah, melainkan membangun jiwa pembelajar sejati.
Paper ini memaparkan pengalaman belajar-mengajar matakuliah Bahasa Indonesia dengan
metode experiential learning sebagai suatu bentuk deskriptif-evaluatif pencatatan kemajuan
187 | Halaman
mahasiswa Penelitian ini mencoba menunjukkan implikasi atau pengaruh positif dari
penerapan pengalaman belajar langsung dalam mengembangkan kemampuan menulis karya
ilmiah terkait dengan bidang keilmuan mahasiswa.
Sebagaimana Kolb kemukakan bahwa pembelajaran efektif terlihat saat seseorang
menempuh empat tahap: (1) pengalaman konkret yang diikuti dengan (2) pengamatan dan
refleksi yang mengarah pada (3) pembentukan konsep-konsep abstrak (analisis) dan
generalisasi (simpulan) yang kemudian (4) digunakan untuk menguji hipotesis di masa-masa
mendatang, yang merupakan hasil pengalaman-pengalaman baru (McLeod, 2017).
Pembelajaran bahasa Indonesia di STAB Kertarajasa dikembangkan dengan upaya
meningkatkan pengalaman belajar langsung. Mahasiswa mengenal berbagai referensi terkait
bidang keilmuannya yang digunakan sebagai sumber belajar yang kontekstual dalam
matakuliah Bahasa Indonesia. Setelah itu, mahasiswa pun dapat membaca dan
mengeksplorasi sendiri referensi-referensi sejenis yang diperlukannya di matakuliah lain.
Begitu pula dengan keterampilan menulis yang dikembangkan melalui pengalaman menulis
secara bertahap dengan bimbingan dosen.
Selain landasan teori Kolb tersebut, terdapat beberapa penelitian terdahulu yang dapat
dijadikan landasan penelitian ini. Peran strategis perkuliahan Bahasa Indonesia dalam
menyongsong MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN menjadi fokus kajian Fuadin (2017).
Pembelajaran bahasa Indonesia mengasah keterampilan berkomunikasi, baik lisan maupun
tulisan, yang merupakan salah satu syarat untuk dapat bersaing dalam era kompetisi lobal.
Penguasaan bahasa Indonesia melalui mata kuliah Bahasa Indonesia di perguruan tinggi akan
membawa kemantapan berbahasa di kalangan generasi muda. Dengan terjaganya kewibaan
bahasa Indonesia, pergaulan internasional dalam era MEA tidak akan mengancam eksistensi
bahasa Indonesia.
Urgensi matakuliah Bahasa Indonesia sebagai modal dalam kehidupan akademis
menjadi latar belakang penelitian Aryanika (2015) dalam penelitiannya yang berjudul
“Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi”. Penelitian ini dilakukan
dengan model CIPP yang menghasilkan sejumlah temuan bahwa kualitas pembelajaran
Bahasa Indonesia di perguruan tinggi masih berhadapan dengan masalah-masalah antara lain
lemahnya sumber belajar dalam perkuliahan Bahasa Indonesia; rendahnya kualitas SDM
pengajar Bahasa Indonesia; pengajar tidak memiliki latar belakang pendidikan dalam bidang
bahasa Indonesia; dan tidak adanya standar implementasi pembelajaran. Penelitian ini juga
mengungkap bahwa pada umumnya dosen Bahasa Indonesia masih lemah dalam persiapan
188 | Halaman
mengajar dan bahan ajar. Salah satu elemen dalam evaluasi adalah daftar kehadiran yang
memperlihatkan bahwa tingkat kehadiran siswa lebih rendah dari tingkat kehadiran guru.
Pengembangan model pembelajaran merupakan upaya penting untuk mengatasi
berbagai permasalahan pembelajaran Bahasa Indonesia. Penelitian Sriani, Sutama, dan
Darmayanti (2015) merupakan salah satu upaya mengatasi hambatan yang sering dialami
dalam dalam pelajaran Bahasa Indonesia, yaitu menulis karena dipandang sebagai
keterampilan berbahasa yang paling kompleks. Dengan penelitian berjudul “Penerapan
Model Pembelajaran Experiential Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis
Paragraf Deskripsi Pada Siswa Kelas VII B SMP Negeri 2 Tampaksiring”, peneliti
melakukan penelitian tindakan kelas (PTK) yang memperlihatkan adanya pengaruh positif
penerapan EL terhadap kemampuan siswa menulis paragraf deskriptif. Temuan lainnya
adalah langkah-langkah yang dianggap efektif dalam penerapan EL dalam membimbing
siswa membuat paragraf deskriptif. Hasilnya, siswa senang dan aktif dalam proses
pembelajaran sehingga siswa memperoleh pemahaman baru dan dapat menerapkannya dalam
kehidupan nyata.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan mixed-method (Creswell & Clark, 2011)
yang memadukan antara survei dengan studi kasus. Perpadauan antara metode terutama
dilakukan pada tahapan analisis data. Data kuantitatif dari hasil survei yang telah
memberikan gambaran umum kecenderungan pendapat mahasiswa kemudian dihubungkan
kembali dengan temuan dari data kualitatif pada jawaban pertanyaan terbuka dan hasil
catatan lapangan dan jurnal pengajaran salah satu peneliti yang juga adalah pengejar bahasa
Indonesia di STAB Kertarajasa. Perpaduan metode ini termasuk quantitatively driven
approaches/designs (Johnson, Onwuegbuzie, & Turner, 2007), karena data utama yang dikaji
adalah hasil perhitungan deskriptif statitistik yang kemudian dianalisis lebih mendalam
menggunakan data kualitatif.
Survei yang dilakukan berskala kecil mencakup dua kelompok mahasiswa,
mahasiswa semester awal (SA) dan semester lanjut (SL). Sampel populasi digunakan untuk
mengumpulkan data dari mahasiswa tingkat satu dan sampel acak diterapkan untuk
mengumpulkan data dari mahasiswa tingkat lanjut.Peneliti menetapkan jumlah sampel untuk
setiap kelompok sebanyak 31, namun setelah disortir dan ditabulasi sampel yang berhasil
dijaring hanya mampu mencapai 90,32%.Target ideal tidak dapat dicapai karena terdapat
189 | Halaman
mahasiswa yang izin kuliah dalam waktu yang cukup lama dan sakit selain terdapat pula data
yang rusak.
Data utama dikumpulkan dengan menggunakan kuisioner yang mencakup pertanyaan
tertutup dan pertanyaan terbuka. Proses pengisian kuisioner dilakukan secara langsung oleh
salah seorang peneliti yang juga berperan sebagai dosen pengampu matakuliah Bahasa
Indonesia di STAB Kertarajasa. Kuisioner yang terkumpulkan kemudian dikoding dan
berdasarkan hasil koding data ditabulasi ke dalam tabel distribusi frekuensi dan tabel silang.
Sebelum melakukan koding, tiap peneliti membuat panduan koding berdasarkan
kuesioner. Panduan koding tersebut kemudian didiskusikan bersama untuk menemukan
kesamaan pendapat dan dirumuskan panduan koding untuk dilakukan bersama.Masing-
masing peneliti kemudian melakukan koding terhadap data. Hasil koding kemudian
dicocokkan kembali untuk mencapai kesepakatan. Hasil koding pada tabel kemudian diolah
menggunakan fungsi kalkulasi statistik deskripsi yang terdapat pada MSExcel menjadi tabel
distribusi frekuensi dan tabel silang.
Tidak banyak hambatan di dalam melakukan koding jawaban untuk pertanyaan
tertutup, namun bervariasinya jawaban pada pertanyaan terbuat membuat koding lebih rumit
untuk bagian ini. Keberagaman pendapat mahasiswa seperti ini tidak dapat dikesampingkan
untuk memperoleh informasi penting yang dapat menjelaskan data kuantitatif secara lebih
mendalam.Penyajian data pada tulisan ini bersifat deskriptif. Kecenderungan data dalam
bentuk persentase disajikan untuk memperkuat argumen peneliti dan dihubungkan kembali
dengan kerangka teori EL dari Kolb dan Scaffolding dari Wood dkk. yang mendasari
argumen tersebut.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Responden penelitian ini dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama
merupakan mahasiswa semester awal (SA) yang masih mengikuti perkuliahan Bahasa
Indonesia pada saat penelitian dilakukan. Mahasiswa SA sekarang sudah memasuki kuliah
semester kedua. Kelompok kedua merupakan mahasiswa semeter lanjut (SL) yang telah
mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia pada tahun-tahun sebelumnya. Kelompok pertama,
meskipun belum menyelesaikan proses perkuliahan Bahasa Indonesia II, lebih banyak
mendapat pengalaman langsung dalam pembelajaran Bahasa Indonesia dibanding dengan
kelompok kedua. Pengalaman belajar langsung meningkat karena dosen menambahkan
jumlah kegiatan praktik dalam proses belajar kelompok ini untuk mengembangkan
pengalaman belajar langsung. Berdasarkan atas data yang berhasil diperoleh, tanggapan dan
190 | Halaman
penyerapan pengalaman belajar langsung tersebut berbeda antar-individu dan dapat
dibandingkan antara kelompok SA dengan kelompok SL.
Kedua kelompok mahasiswa memiliki tingkat kemampuan yang sangat berbeda
pada tahap sebelum mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia. Mahasiswa SA sebagian besar
(83,33%) merasa memiliki kemampuan yang baik sebelum mengikuti perkuliahan Bahasa
Indonesia. Bila dibandingkan dengan semester lanjut, 64,52% menyatakan kemampuannya
menulis kurang sebelum mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia. Perbedaan yang besar ini
bisa dikarenakan mahasiswa telah memiliki pengetahuan yang lebih mendalam tentang
standar penulisan akademik yang dapat mereka gunakan sebagai acuan untuk menilai
kemampuan dirinya sendiri pada saat pra-dan pasca-perkuliahan Bahasa Indonesia. Di sisi
lain, mahasiswa SA mengukur kemampuan menulisnya sekarang dibandingkan dengan
kemampuan menulis dirinya sebelum menjadi mahasiswa.
Terkait proses belajar, mahasiswa SA lebih merasa mendapatkan pengalaman belajar
yang memadai dibandingkan mahasiswa SL. Enam puluh persen mahasiswa SA merasa
mendapatkan pengalaman belajar secara langsung yang sangat memadai. Di sisi lain,
sebagian besar (57,69%) mahasiswa SL merasa kurang mendapatkan pengalaman belajar
langsung. Dengan demikian, terdapat perkembangan yang signifikan dalam hal proses
pengalaman belajar langsung dalam mata kuliah Bahasa Indonesia saat ini dengan adanya
penambahan kegiatan-kegiatan praktik.
Pengalaman langsung dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia terkait langsung
dengan variasi dan kualitas kegiatan kelas. Dalam hal ini, umumnya mahasiswa SA (62,50%)
merasa bahwa variasi dan kualitas kegiatan kelas sangat baik, sementara 29% mahasiswa
memberikan penilaian baik dan 24% sangat baik. Upaya memberikan pengalaman langsung
semaksimal mungkin memberikan variasi kegiatan yang lebih banyak bagi mahasiswa
SA.Salah satu variasi kegiatan tersebut terdapat dalam tugas membuat daftar pustaka.Bila
mahasiswa SL mengerjakan latihan daftar pustaka melalui lembar kerja yang berisi data
pustaka, mahasiswa SA membuat daftar pustaka dengan langsung melihat berbagai jenis
referensi ilmiah terkait bidang ilmu mereka. Dengan demikian, mahasiswa dapat mengenal
dan membaca langsung beragam publikasi ilmiah, seperti prosiding, jurnal, laporan
penelitian, dan buku di samping terampil membuat catatan referensi. Mahasiswa pun dapat
mendapatkan wawasan topik-topik penelitian seputar keilmuannya, seperti Ilmu Pendidikan,
Pendidikan Anak Usia Dini, Studi Agama-Agama, dan Studi Agama Buddha. Mengajak
mahasiswa semester awal berkenalan secara langsung dengan tema-tema kajian-kajian lanjut
191 | Halaman
keilmuan mereka diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk menemukan passion
masing-masing sehingga lebih termotivasi untuk belajar.
Dalam hal kualitas instruksional, 56,52% mahasiswa SA menilai sangat baik dan
62,07% mahasiswa SL menganggap baik. Bagaimanapun, metode ceramah masih digunakan
instruktur dalam kelas Bahasa Indonesia. Namun, Ceramah tidak selalu disampaikan oleh
instruktur/dosen secara langsung. Mahasiswa dapat langsung belajar dari para penulis
terkemuka melalui video pembelajaran, misal Ayu Utami dalam materi menulis esai. Selain
itu, instruktur menggunakan video sebagai media pembelajaran meskipun hanya
memanfaatkan video yang telah tersedia di Youtube dan saluran-saluran pendidikan lain.
Penggunaan video sangat disenangi oleh mahasiswa karena menarik secara audio dan visual,
misalnya materi Sejarah dan Kedudukan Bahasa Indonesia.Video juga memberikan gambaran
langsung fenomena kebahasaan di masyarakat, misalnya dalam materi ragam bahasa.
Mendiskusikan video pendidikan yang dibuat oleh mahasiswa dari kampus lain membuat
mahasiswa STAB yang hidup dalam lingkup asrama vihara dan sekitarnya terhubung dengan
mahasiswa “umum” tersebut.
Dalam tataran hasil pembelajaran, pengalaman langsung dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia diharapkan dapat membuka wawasan mahasiswa terhadap sumber-sumber
belajar.Sebelum mengikuti perkuliahan ini 41,18% mahasiswa SA merasa kurang mengetahui
sumber untuk mendukung penulisannya. Di sisi lain, mahasiswa SL (58,82%) merasa bahwa
sebelum menempuh kuliah ini mereka kesulitan mendapatkan sumber-sumber untuk
mendukung penulisannya. Kesulitan mahasiswa untuk mendapatkan sumber berkaitan
dengan kurangnya wawasan tentang referensi terkait dengan bidang keilmuan dan rendahnya
akses ke sumber referensi.Secara langsung atau tidak, karakteristik sebagian besar mahasiswa
dan mahasiswi STAB Kertarajasa sebagai pabajita atau brahmacari yang terbatas ruang
geraknya secara langsung atau tidak mempengaruhi tingkat wawasan dan akses tersebut.
Karakteristik lainnya yang berpengaruh adalah latar belakang sosial, ekonomi, dan geografis
mahasiswa yang dapat dikatakan marginal (Latifah, Budiyanto, dan Dewi, 2014).Dengan
latar belakang tersebut, mahasiswa SA perlu menyesuaikan diri untuk terbiasa dengan iklim
akademik. Namun, sumber belajar yang pada umumnya masih bertumpu pada
instruktur/dosen pun kurang mendorong mahasiswa untuk bereksplorasi sendiri sehingga
mahasiswa kurang berinisiatif untuk mencari bahan dan sumber belajar serta referensi ilmiah
sendiri.
Perkuliahan Bahasa Indonesia dengan pengalaman belajar langsung telah mengubah
cara belajar dan kemampuan mahasiswa. Setelah mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia,
192 | Halaman
sebagian besar mahasiswa SA (56%) merasa kemampuannya dalam menulis akademik
meningkat menjadi sangat baik. Di sisi lain, sebagian besar mahasiswa SL (66,67%) masih
menganggap kemampuannya kurang setelah mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia.
Meskipun hampir 67% mahasiswa SL mengangap kemampuannya kurang bukan berarti
perkuliahan tersebut tidak meningkatkan kemampuan mereka dalam menulis, namun lebih
menyangkut kepada pertimbangan mereka mengenai kemampuan untuk menulis tugas
akhirnya yang dirasakan masih kurang.Peningkatan kepercayaan diri mahasiswa dalam
menilai kualitas karya ilmiahnya setelah melalui pengalaman belajar secara langsung yang
lebih banyak juga ditunjukkan secara signifikan pada data. Mahasiswa SA memang
menyatakan lebih banyak mendapatkan proporsi pengalaman langsung dalam belajar setelah
mengikuti mata kuliah Bahasa ini dibandingkan dengan SL. Sebanyak 60% mahasiswa SA
menyatakan pengalaman langsungnya dalam perkuliahan sangat memadai. Di sisi lain,
sebanyak 50% siswa SL menyatakan bahwa pengalaman langsungnya dalam perkuliahan
Bahasa Indonesia masih kurang. Kekurangan tersebut perlu mereka lengkapi dengan terus
berlatih melalui berbagai kegiatan menulis, baik di dalam maupun di luar kampus.
Proporsi pengalaman belajar secara langsung ini mempengaruhi pengetahuan dan
akses mahasiswa terhadap sumber-sumber untuk mendukung pembelajaran dan penulisannya.
Setelah mengikuti perkuliahan Bahasa Indonesia 52,94% mahasiswa SA merasa banyak
mengetahui dan mengakses sumber-sumber belajar tersebut, sementara sebanyak 66,67%
mahasiswa SL masih merasa pengetahuan dan aksesnya terhadap sumber-sumber belajar
yang mendukung pembelajaran dan karya tulis ilmiahnya kurang. Mahasiswa SA dapat
dikatakan lebih terpacu membaca berbagai jenis bacaan terkait dengan bidang ilmu mereka,
tidak hanya membaca diktat perkuliahan.Mereka pun dapat lebih berupaya untuk mensiasati
berbagai keterbatasan dalam ruang lingkup belajar mereka, misal keterbatasan akses dan daya
beli dapat diatasi dengan membaca e-book atau jurnal-jurnal open access.
Selain itu, pengalaman belajar secara langsung berpengaruh terhadap sikap mental
mahasiswa terhadap kegiatan menulis ilmiah. Sebelum mengikuti kuliah Bahasa Indonesia,
sebanyak 35,09% mahasiswa SL dan 20% mahasiswa SA merasa terbebani oleh tugas dalam
membuat karya tulis ilmiah. Angka ini menurun setelah mengikuti perkuliahan Bahasa
Indonesia, yaitu sebanyak 15,79% mahasiswa SL merasa terbebani dan sebanyak 9%
mahasiswa SA yang masih merasa terbebani. Meskipun persentase keduanya sama-sama
menurun, beban mahasiswa SA lebih banyak berkurang karena mereka lebih banyak
mendapatkan pengalaman belajar secara langsung. Pengalaman belajar secara langsung telah
memberikan bekal keterampilan bagi mahasiswa untuk menyelesaikan tugas menulis secara
193 | Halaman
bertahap dan mampu melihat kegiatan menulis sebagai sebuah proses. Sikap mental lainnya
adalah memandang sukar kepenulisan akademik. Sebanyak 30% mahasiswa SA menganggap
sukar menulis akademik, sementara mahasiswa SL justru jauh lebih banyak yang merasa
sukar, yaitu 52,62%. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin banyak hal yang telah mereka
pelajari justru bisa membuat mereka lebih melihat kompleksitas kepenulisan ilmiah sehingga
memandangnya sebagai hal yang sukar. Pandangan ini diperkuat dengan kurangnya
pengalaman belajar secara langsung dalam berbagai aspek kepenulisan akademik. Meskipun
sukar, mahasiswa SA dan SL merasa bahwa menulis ilmiah itu menarik dan penting untuk
dipelajari. Tidak dapat ditampik bahwa banyak pula mahasiwa yang menganggap bahwa
pelajaran menulis ilmiah sebagai hal yang membosankan, yaitu mahasiswa SA sebanyak 12%
dan mahasiswa SL 21,05%. Dengan demikian, tampak bahwa experiential learning yang
lebih banyak diterapkan pada mahasiswa SA dapat mengurangi tingkat kebosanan
mahasiswa.Experiental learning telah mampu membantu mahasiswa melihat produk tulisan
ilmiah yang pada awalnya terlihat sukar dan kompleks sebagai suatu kegiatan /permasalahan
yang dapat diselesaikan sedikit demi sedikit dengan ketekunan dan ketelitian.
Dari segi aspek materi pelajaran kuliah Bahasa Indonesia, mahasiswa SA
mendapatkan pengalaman secara langsung terbanyak berturut-turut dari yang terbesar ke
terendah sebagai berikut: membaca, parafrase, ulasan karya ilmiah (review), referensi, daftar
pustaka, dan presentasi ilmiah. Di pihak lain, urutan pengalaman belajar secara langsung
mahasiswa SL adalah sebagai berikut: ulasan karya ilmiah (review), membaca, parafrase,
presentasi ilmiah, dan daftar pustaka. Namun, semua materi pembelajaran menulis karya
ilmiah itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, semuanya saling terhubung dan mendukung,
seperti halnya keterampilan menulis yang tidak dapat dipisahkan dari kemampuan membaca
secara aktif. Mahasiswa mampu melihat dengan jelas proses konstruksi sebuah tulisan dari
fondasi sampai dengan ke produk akhir melalui latihan dari kegiatan-kegiatan yang mudah
dan terus-menerus bertambah tingkat kesulitannya.
Selain teknik menulis, dari pengalaman belajar secara langsung dalam kuliah Bahasa
Indonesia, mahasiswa juga mendapatkan pengetahuan tentang referensi-referensi untuk
mengembangkan bidang ilmunya, yaitu Pendidikan Agama Buddha. Hal ini mencakup
pengenalan berbagai sumber refensi dan sumber belajar, penggalian referensi, terutama buku
dan jurnal elektronik serta digital library, juga cara penulisan dan pengutipan. Perluasan
referensi ini bukan hanya menambah pengalaman belajar dalam mata kuliah Bahasa
Indonesia, melainkan juga mata kuliah lain. Sebagai contoh, pada umumnya mahasiswa lebih
berkutat seputar teori-teori strategi pembelajaran. Melalui pengalaman belajar secara
194 | Halaman
langsung dalam kuliah Bahasa Indonesia ini, mahasiswa menjadi terbiasa untuk melihat studi
penerapan berbagai strategi pembelajaran itu dalam jurnal-jurnal ilmiah Ilmu Pendidikan.
Begitu pula dalam studi agama, mahasiswa tidak hanya mempelajari teori-teori Kajian
Agama dan teologi, tetapi terbuka pula wawasannya untuk juga mengkaji praktik
keberagamaan masyarakat dalam konteks yang lebih luas.
Selain itu, dalam menanggapi pertanyaan yang sifatnya terbuka, mahasiswa secara
umum menyatakan bahwa mereka senang mengikuti kuliah Bahasa Indonesia karena
mempelajari banyak hal baru, menikmati penggunaan media belajar yang variatif,
mendapatkan motivasi belajar, menarik, dan merasakan manfaatnya untuk mengerjakan
tugas-tugas kuliah lain serta merasakan perkembangan, dari tidak bisa menjadi bisa menulis
karya tulis ilmiah. Kuliah Bahasa Indonesia pun dapat menjadi pemacu semangat untuk
belajar lebih lanjut. Namun, tidak sedikit juga yang menyatakan kesulitan dalam mengikuti
pembelajaran Bahasa Indonesia melalui pengalaman langsung. Ada mahasiswa yang
menyatakan kesulitan memahami pelajaran; ada juga yang menyatakan bahwa kuliah ini sulit
karena membutuhkan ketelitian tinggi.
Peningkatan pengalaman belajar secara langsung memberikan porsi yang lebih besar
pada pembelajaran melalui praktik keterampilan berbahasa. Pengalaman belajar langsung ini
memberikan peluang kepada mahasiswa untuk dapat berkembang lebih optimal karena
mahasiswa dapat mengkonstruksi pengetahuan kognitifnya berdasarkan atas pengalaman
kegiatannya sendiri (Nurhidayati, 2017: 13).
Proses pembelajaran langsung (EL) ini dilakukan dengan metode scaffolding yang
efektif (Wood, dkk. 1976:90). Para orang tua, pengajar, instruktur, atau dosen perlu
memberikan sokongan kepada anak, siswa, atau mahasiswa dalam proses pembelajaran
sampai mereka mencapai tingkat kompetensi yang diharapkan. Bantuan yang efektif bersifat
variatif, tergantung pada tingkat kebutuhan dan kesulitan yang dihadapi oleh mereka.Saat
menghadapi tantangan atau masalah yang besar, mereka perlu mendapatkan sokongan yang
lebih besar atau instruksi yang lebih spesifik hingga mendapatkan kemajuan dalam belajar.
Dalam proses belajar menulis ilmiah di STAB Kertarajasa, bimbingan ini diberikan dengan
memecah proyek menulis menjadi beberapa tahapan berjenjang, misal proses menulis ilmiah
dimulai dari kegiatan membaca aktif, membuat ringkasan, ikhtisar, parafrase, hingga sintesis.
Proses ini dapat membantu mengendalikan tingkat frustasi mahasiswa dalam menghadapi
tugas pembelajaran. Bentuk sokongan dan tuntunan (scaffolding) lainnya dalam proses
pembelajaran langsung (EL) adalah memperagakan (mendemostrasikan) cara membuat
parafrase dan sintesis. Lalu mahasiswa mempraktikkannya sendiri secara langsung secara
195 | Halaman
berkelompok sehingga mereka dapat belajar dari teman sebaya (peer review). Implikasi
lainnya adalah keterampilan berjejaring yang merupakan salah satu bentuk pengembangan
kecerdasan sosial. Keterlibatan mahasiswa dalam proses belajar ini dapat dibangun dengan
memberikan tujuan pembelajaran dan gambaran tentang manfaat yang dapat diraih dari
keterampilan menulis ilmiah. Sebagai contoh, selain untuk memenuhi syarat perkuliahan di
kampus, keterampilan menulis ilmiah dapat memberikan kesempatan untuk melanglang
buana dengan beasiswa untuk mengikuti konferensi atau berkuliah di luar negeri.
SIMPULAN
“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” ‘Di depan,
seorang pendidik harus memberi contoh tindakan yang baik, di antara murid, guru harus
menciptakan prakarsa, dan dari belakang seorang guru harus memberikan dorongan dan
Arahan.’ Semboyan Ki Hajar Dewantara ini bisa dengan sempurna menyimpulkan kajian
tentang aplikasi dan implikasi pembelajaran secara langsung (EL) dalam matakuliah Bahasa
Indonesia di STAB Kertarajasa. Melalui pendekatan teori Kolb, pengetahuan kognitif
dibangun melalui pengalaman-pengalaman langsung. Proses belajar ini dilakukan dengan
metode scaffolding, dosen memandu atau membimbing mahasiswa sesuai dengan kebutuhan
masing-masing hingga akhirnya mahasiswa menjadi pembelajar mandiri. Pembelajaran
dengan pengalaman langsung juga dilakukan dengan menciptakan kondisi kontekstual, yaitu
dengan menggunakan bahan dan sumber belajar terkait bidang keilmuan mahasiswa, Studi
Pendidikan Agama sehingga mahasiswa merasakan relevansi dan dapat menerapkan hasil
pembelajaran matakuliah Bahasa Indonesia di matakuliah atau konteks lain dalam
kehidupannya mendatang.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, A. C. (2005). Pendidikan Berpikir Kritis: dari CDA sampai Kurikulum
Pembelajaran. Makalah pada Kongres Linguistik Nasional, 171-172
Aryanika, S. (2015). Evaluasi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Al-
Idarah: Jurnal Kependidikan Islam, 5(1).
Creswell, J. W., & Plano Clark, V. L. (2011). Designing and Conducting Mixed Methods
Research. Los Angeles, CA: Sage.
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. (2006)“Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor:
43/Dikti/Kep/2006 Tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Matakuliah
Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi”. Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia.
Fuadin, A. (2017). Kontribusi Pembelajaran Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi Dalam
Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean. Semantik, 5(1), 1-11.
196 | Halaman
Johnson, R. B., Onwuegbuzie, A. J., & Turner, L. A. (2007). Toward a Definition Mixed
Methods Research. Journal of Mixed Methods Research, 1, 112-133.
Latifah, Budiyanto, A. Dewi, Metta Puspita. (2014). The Dhamma of Hope: Kertarajasa
Buddhist College Experienced in Educating the ‘Unequal’. Dalam The Importance of
Promoting Buddhist Education. Vietnam: Religion Press.
McLeod, Saul. Kolb’s Learning Style. https://www.simplypsychology.org/learning-kolb.html.
Diunduh pada 29 April 2018.
Nurhidayati, E. (2017). Pedagogi konstruktivisme dalam praksis pendidikan
Indonesia. Indonesian Journal of Educational Counseling, 1(1), 1-14.
Sentot, Santacitto. (2016). “The Life of Brahmacari: A Way of Improving the Quality of Buddhist
Education Among Student at Kertarajasa Buddhist College, Indonesia. Makalah dalam 4th
International Conference Association of Theravada Budddhist Universities (IATBU).
Magelang, 10-13 November 2016, 77.
Sriani, N. K., Sutama, I. M., & Darmayanti, I. A. M. (2015). Penerapan Model Pembelajaran
Experiential Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Menulis Paragraf Deskripsi
Pada Siswa Kelas VII B Smp Negeri 2 Tampaksiring. Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Undiksha, 3(1).
Widiatmoko, B. (2012). Analisis Bahasa Politik Pejabat Publik Indonesia Berdasarkan
Tinjauan Filsafat Nilai. Jurnal Lppm: Paradigma, 8(01).
Wood, D., Bruner, J., & Ross, G. (1976). The Role of Tutoring in Problem Solving. Journal
of Child Psychology and Child Psychiatry, 17, 89−100.