penerapan asas equality before the law terhadap...
TRANSCRIPT
PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP
PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK
PIDANA (ANALISA PUT. MK. NO. 76/PUU-XII/2014)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH).
Oleh:
IRVAN ZIDNIY
NIM: 1112048000002
KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA
P R OG R A M S T U D I I L M U H U K U M
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
iv
ABSTRAK
Irvan Zidniy. NIM 1112048000002. PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE
THE LAW TERHADAP PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA
TINDAK PIDANA (ANALISA PUTUSAN MK.NO. 76/PUU-XII/2014)
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M.
Skripsi ini bertujuan untuk meneliti dan menganalisis tentang kewenangan
mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian Undang-undang Terhadap
Undnag-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan implikasinya
terhadap putusan Mahkamah Kosntitusi yang menambahkan norma baru pada
suatu undang-undang. Penulis meneliti pada pokok permasalahan yakni bahwa
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menjadi negative legislator akan tetapi
disini Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menajdi positive legislator.
Pasal 245 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD menyatakan bahwa pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidanaharus mendapat persetujuan tertulis dari presiden (berdasarkan
ketetapan Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014.) Ayat (2) dalam hal persetujuan
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh presiden dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak dterimanya permohonan, pemanggilan
dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud ayat (1)
dapat dilakukan. Tujuan dari skripsi ini untuk megetahui posisi hukum pemberian
persetujuan tertulis terhadap anggota dewan yang terduga melakukan tindak
pidana di tinjau dari aspek negara hukum.
Penulis menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan
menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statue approach), dan
dikaitkan dengan persamaan hak di depan hukum. Pendekatan perundang-
undangan mengacu kepada undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD dan DPRD.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dalam pasal 245 Undang-undang
No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Mengenai persetujuan
tertulis dari presiden terhadap anggota dewan yang terduga melakukan tindak
pidana tidak sesuai dengan asas persamaan didepan hukum dan idependensi
peradilan ayng bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945.
Kata Kunci: Izin Penyidikan, Anggota DPR, Mahkamah Konstitusi.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur hanya untuk Allah Swt, karena berkat rahmat,
nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
PENERAPAN ASAS EQUALITY BEFORE THE LAW TERHADAP
PEMERIKSAAN ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK PIDANA
(ANALISA PUTUSAN MK.NO. 76/PUU-XII/2014)
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan serta nabi akhir
zaman yakni, Muhammad Saw, yang telah membawa umat manusia dari zaman
jahiliyah ke zaman yang terang benderang ini.
Skripsi ini tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan
dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu,
penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Asep Saepudin Jahar. MA,. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Asep Syarifuddin Hidayat S.H., M.H., Ketua Program
Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum., Sekretaris
Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. J.M. Muslimin, MA., Dosen Pembimbing yang telah
bersedia memberikan saran, kritik, bantuan, dan masukan selama saya
menyusun dan menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas waktu dan
pikiran yang telah diberikan untuk membimbing penulis.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dam Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, khususnya dosen program studi Ilmu Hukum. Semoga ilmu
ix
yang diajarkan selama penulis menjadi mahasiswa Ilmu Hukum, dapat
bermanfaat bagi penulis, baik di dalam kampus, maupun ketika telah
lulus.
5. Segenap staff Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, staff
Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan staff
Perpustakaan Umum Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan
guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Kedua orang tua penulis tercintah dan sangat penulis sayangi Achmad
Luthfi dan Nur Jannah, yang selalu mengirimkan do’a dan
mencurahkan segala pikiran serta kasih sayangnya dalam mendidik
penulis hingga ke perguruan tinggi. Semoga Allah selalu
membahagiakan mereka dunia akhirat.
7. Faradilla Sentiana Amarella yang telah memberikan waktu luangnya
dalam penuulisan skripsi penulis.
8. Seluruh sahabat-sahabat Ilmu Hukum angkatan 2012. Kebesamaan di
kampus telah membuat hubungan hubungan kekeluargaan yang terjalin
dengan baik, dengan sama-sama berjuang dalam menyelesaikan tugas
akhir, semoga Allah meridhoi setiap langkah kita.
9. Seluruh keluarga Besar Ilmu Hukum, khususnya kepada senior-senior
yang telah lebih dulu lulus dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
terutama kepada Muhammad Iqbal S.H, Muhammad Hisyam
x
Rasfanjani S.H, dan lain-lain yang tidak bisa saya ucapkan satu persatu
namun tidak mengurangi rasa hormat saya.
Harapan Penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada
khususnya dan segenap para akademisi dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, 10 Oktober 2016
Irvan ZIdniy
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
ABSTRAK ........................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .......................................................................................... v
DAFTAR ISI ...................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .............................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 10
D. Tinjauan Studi terdahulu ......................................................... 11
E. Kerangka Konseptual ............................................................. 13
F. Metode penelitian ................................................................... 13
G. Sistematika penulisan .............................................................. 17
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NEGARA HUKUM DAN
MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Teori Negara Hukum ............................................................. 19
B. Tinjauan Umum Pembatasan Kekuasaan ............................... 23
C. Tinjauan Umum mengenai DPR ............................................. 35
D. Tinjauan Umum mengenai Mahkamah Konstitusi ................ 39
ix
BAB III TINJAUAN UMUM PRO-KONTRO TEHADAP IZIN
PRESIDEN BAGI ANGGOTA DEWAN TERDUGA TINDAK
PIDANA.
A. Prinsip Pertanggungjawaban pidana ...................................... 47
B. Prinsip Equality Before The Law ........................................... 54
C. Pro-Konta terhadap putusan MK ........................................... 56
BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.76/PUU-XII/2014
A. Duduk Perkara ....................................................................... 65
B. Pertimbangan Majelis Hakim Konstitusi ............................. 71
C. Analisis Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 ......................... 73
BAB V PENUTUP.
A. Kesimpulan ............................................................................ 81
B. Saran ...................................................................................... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
The founding fathers ketika medirikian Negara Indonesia, merumuskan
bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum (rechstaat.) dan bukan sebagai
negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machstaat). Oleh karena itu, hukum
hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan
menyelesaikan berbagai persoalan yang menjalankan roda kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Demikianlah penegasan yang terdapat
dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal ini berarti bahwa negara hukum Indonesia sebagaimana digariskan
adalah negara hukum yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan menjamin
kedudukan yang sama dan sederajat bagi setiap warga negara dalam hukum dan
pemerintahan, yang mana implementasi dari konsep negara hukum ini tertuang
dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu “Segala warga negara
bersamaan kedudukanya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.1
Selain daripada tujuan negara sebagaimana yang dimaksud diatas, negara
hukum yang dibentuk dan dicita-citakan Indonesia setidaknya harus mempunyai
1 Satjipto Rahardjo, Hukum dan masyarakat, (Bandung : Angkasa, 1980 ), h. 117
2
unsur-unsur dasar sebagai negara hukum. Unsur-unsur tersebut sesuai dengan
pendapat yang diketengahkan oleh A.V Dicey, yaitu :
a. Supremasi hukum (Supremacy of law), maksudnya tidak ada
kesewenangwenang (Absence of power), seseorang boleh dihukum jika
melanggar hukum.2 karena itu Hukum bagi kita merupakan sesuatu yang
bersifat supreme atau yang paling tinggi diantara lembaga-lembaga tinggi
negara yang lainnya.3 Dari konsepsi demikian maka tumbuhlah istilah
„supremasi hukum‟ diamana hukum ditempatkan pada tempat yang
tertinggi diantara dimensi-dimensi kehidupan yang lain, terutama dimensi
politik. Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang komando
tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Sesungguhnya, yang memimpin
dalam penyelenggaraan negara adalah negara hukum itu sendiri, sesuai
dengan prinsip “the rule of law, and not man”, yang sejalan dengan
pengertian “nomocratie” yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum,
“nomos”.
b. Kedudukan yang sama dalam hukum (equality before the law). dalam
usaha mencapai tata kehidupan yang adil dan makmur sebagaimana yang
dicitatakan oleh UUD 1945, membuta pemerintah berperan aktif dalam
kehidupan masyarakat. Dalam tata kehidupan yang demikian itu dijamin
persamaan kedudukan warga masyarakat dalam hukum. agar terjadinya
2 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), h.81
3 Ilhami Bisri, Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip & Implementasi Hukum di
Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2011) h. 81.
3
keserasian, keseimbanagan, dan keselarasan antara kepentingan
perorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum
dalam pembangunan.4
c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang.5
Tujuan hak asasi manusia adalah “mempertahankan hak-hak manusia
dengan sarana kelembagaan terhadap penyalahgunaan kekuasaan yang
digunakan oleh aparat negara, dan, pada waktu yang bersamaan,
mendorong perkembangan pribadi manusia yang multidimensional.”6 akan
tampak juga, bahwa pengetian hak asasi manusia tidaklah statis melainkan
dinamis, dan mungkin sekali aka nada banyak perdebatan mengenai
apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan sebagai
hak dalam arti yang sebenarnya- apapun artinya.7
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia
mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tinggi
negara. Di bawahnya terdapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai
lembaga tertinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai lembaga tertinggi
negara, MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald
liege allein bei der majelis) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh
4 Martima Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU
PTUN 2004, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005), h.1
5 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 58.
6 I. Szabo, “ Historical Foundation of Human Rights and Subsequent Developmenth”,
terj. A. Hadyana Pudjaatmaka dalam Vasak, Vol. 1, hlm 11.
7 Scoot Davidson, Hak Asasi Manusia, terj. A. Hadyana Pudjaatmaka, dari Human
Rights(Jakarta: PT Pustaka Utama Grafity, 2008) h.9.
4
rakyat Indonesia. Sementara itu DPR yang merupakan perwakilan lembaga rakyat,
dinyatakan DPR adalah kuat dan senantiasa mengawasi tindakan-tindakan
presiden. Bahkan, jika DPR menganggap bahwa presiden sungguh melanggar
haluan negara yang telah ditetapkan oleh UUD 1945 atau oleh MPR, maka DPR
dapat mengundang MPR untuk menyelengarakan sidang istimewa guna meminta
pertanggung jawaban.8
Setelah amandemen, DPR mengalami perubahan, fungsi legislasi yang
sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945
fungsi legislasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulum itu dapat dibaca dengan
adanya perubahan secara substansial pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dari presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR,
menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
Akibat dari pergeseran itu, hilangnya dominasi presiden dalam proses
pembentukan undang-undang. Perubahan itu penting artinya karena undang-
undang adalah produk hukum yang paling dominan unruk menerjemahkan
rumusan-rumusan normatif yang terdapat dan UUD 1945.
Dalam tugas dan kewenangan keberadaan DPR sangat dominan, karena
kompleksitas dalam tugas dan wewenangnya tersebut yaitu: (1) DPR mempunyai
kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap RUU dibahas oleh DPR dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama; (3) jika RUU tidak mendapat
persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR
pada masa itu; (4) Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama
8 Titik TriwulanTutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945, (jakarta: Kencana, 2011), h. 191.
5
untuk menjadi UU; (5) dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak
disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU itu disetujui, RUU
tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan.
Dalam melaksakan tugas dan wewenangnya, berdasarkan pasal 20A ayat
(2) UUD 1945 jo. Pasal 27 UU No. 22 tahun 2003 tentang Susunan MPR, DPR,
DPD dan DPRD menyatakan sebagi lembaga perwakilan rakyat DPR memiliki
hak, antara lain:
a. Hak interpelasi.
b. Hak Angket.
c. Hak menyatakan pendapat.
Sementara diluar hak institusi, anggota DPR juga memilki hak,
diantaranya:
a. Mengajukan RUU.
b. Mengajukan pertanyaan.
c. Menyampaikan usul dan pemdapat.
d. Hak imunitas.9
Perubahan pasca amandemen UUD 1945 ini ialah mengenai hak anggota
DPR yang menyatakan bahwa, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usulan dan pendapat, serta hak imunitas.10
Reformasi membawa pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan
ketatanegaraan Indonesia, termasuk terhadap parlemen Indonesia. khususnya
9 Titik TriwulanTutik, Konstruksi Hukum ……..h. 195.
10 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, . . . . . . . .h. 105-106.
6
Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR).11
Dibidang legislasi,
mislanya, DPR adalah lembaga tertinggi untuk menyusun Undang-undang. Hal
ini diatur dalam pasal 20 ayat (1) UUD 1945, yang meyetakan bahwa DPR sangat
penting dalam susunan ketatanegaraan Indonesia. Hasil perubahan UUD
melahirkan bangunan kelembagaan negara yang satu sama yang lain dalam posisi
setara dengan saling melakukan control (check and balances), mewujudkan
supremasi hukum dan berkeadilan serta menjamin dan melindungi hak. Asasi
manusia. Kesetaraan atau ketersediaan mekanisme saling control ini, merupakan
prinsip dari sebuah negara demokrasi atau negara hukum.12
Sementara itu berkaitan dengan keanggotaan DPR diatur berdasarkan
Pasal 11 Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD menyatakan bahwa susunan DPR terdiri dari anggota
partai politik pemenang pemilu, dang anggota ABRI yang diangkat dengan
keseluruhan jumlah 500 anggota. Pada perkembangan zaman pada tahun 2003
Undang-Undang No 4 Tahun 1999 tentang MPR, DPR, dan DPRD diganti dengan
Undang-Undang No 22 Tahun 2003 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD karena
tidak sesuai lagi engan aspirasi rakyat dan perkembangan ketatanegaraan di
Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut susunan keanggotaan berubah, dalam
pasal 16 menyatakan bahwa DPR terdiri dari anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. Sementara pasal 24
mengatakan bahwa Kedudukan DPR merupakan lemba perwakilan rakyat yang
11
Sebastian Salang, dkk, Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan, (Jakarta:
Forum Sahabat, 2009), h. 21
12 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi tata Negara . . . . . . . . (Jakarta: Kencana 2010), h.1.
7
berkedudukan sebagai lembaga negara. Undang-Undang No 22 Tahun 2003
kemudian diganti dengan Undang-Udnag No. 22 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD untuk meningkatkan peran dan tanggung jawab lembaga
perwakilan rakyat. Berselang 5 tahun, Undnag-Undang No. 27 Tahun 2009
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD. Namun, beberapa bulan kemudian Undang-Undang No.17
Tahun 2014 diganti dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2014 tentang MPR,
DPR, DPD, DPRD.
Sisi lain, menguatnya peranan dan wewenang serta kekuasaan legislatif
ternyata tidak otomatis menggambarkan semakin menguatnya peranan rakyat.13
Padahal reformasi pada kelembagaan ini pada dasrnya merupakan harapan rakyat
guna memastikan kepentingan-kepentingan mereka teakomodasi dalam pelbagai
kebijakan negara.14
Hidayat Nurwahid15
mengatakan dalam putusan Mahkamah Konstitusi
(dan selengkapnya disebut MK) anggota DPR adalah orang yang terhorham, oleh
karena itu anggota DPR terlalu mudah untuk di panggil dalam hal permintaan
keterangan untuk penyidikan.ini menimbulkan citra yang buruk di mata publik
terhadap parlemen. Problem ketika anggota DPR dipanggil menjadi saksi atau
pemeriksaan penyidikan suatu kasus yang tetimpanya, menurut Hidayat Nur
13
Paimin Napitupulu, Menuju Pemerintahan Perwakilan, (Bandung: PT Alumni, 2007).
h.ix.
14 Formappi, Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisi Sebelum dan Sesudah
perubahan UUD NRI 1945, (Jakarta: FORMAPPI, 2005) h.9.
15 Putusan MK NO. 76/PUU-XII/2014.
8
Wahid hal seperti itu akan menimbulkan opini publik yang buruk terhadap
anggota DPR.16
Pada sisi lain MK merubah Ketetapan UU No. 17 Tahun 2014 yang
awalnya pnenyilidikan yang dilakukan oleh penyidik apabila ada seorang anggota
DPR melakukan tindak pidana harus mendapatkan izin tertulis dari MKD diubah
menjadi izin tertulis dari presiden. Menurut penulis ketaetapan yang dibuat oleh
MK terdapat kejanggalan diantaranya dianggap mengahambat proses peradilan,
padahal salah satu asas dari peradilan yaitu, proses cepat, sederhana dan biaya
ringan. Selain itu menimbulkan ketidakpastian hukum, jia presiden RI tidak
mengelurkan izin tertulis, proses hukum terhadapt anggota legilatif tersebut yang
menjadi tersangka tidak bisa dilanjutkan kembalidan juga tidak ada jangka waktu
permohonan izin tersebut. Selain itu adanya diskriminasi antara warga penduduk
dengan anggota dewan, karena bertentangan dengan prinsip negara hukum. dan
dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh koalisinya. Ini akan menimbulkan
ketegangan dan kegaduhan politik baru. Sebagai pengemban fungsi eksekutif,
pemberlakuan norma ini justru dapat membuat priseden RI menggunakan
wewenangnya tersebut untuk melindungi koalisinya dan menyerang oposisinya.17
Dalam konteks ini kemajuan demokrasi, reformasi kelembagaan parlemen
merupakan bagian penting dari proses konsolidasi demokrasi, dimana institusi-
16
Erdy Nasrul, “ DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses apda 10
November 2014 dari http://m.republika . co.id?berita/nasiuonal/politik/14/08/29/nm2h4q-dpr-
bentuk-mahkamah-kehormatan-dewan.
17 International Corruption Watch, “kejanggalan putusan MK soal pemeriksaan,” artikel
ini diakses http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/09/25/nv8876354-soal
pemeriksaan-dpr-keputusan-mk-timbulkan-kerancuan-hukum
9
insti\tusi kenegaraan ditatasedemikian rupa sehingga memenuhi indicator
demokrasi.18
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan penelitian ini terarah dan tersusun secara sistematis pada
tema bahasan yang menjadi titik sentral, maka perlu penulis uraikan pokok-pokok
bahasan dengan memberikan perumusan dan pembatasan masalah.
Untuk mendapatkan pembahasan yang objektif, maka penulis
membatasinya dengan pembahasan mengenai analisa putusan mahkamah
konstitusi mengenai pengajuan judicial review uu No.17 tahun 2014 tentang
pemeriksaan anggota dewan atas izin presiden terduga tindak pidana (putusan No.
76/PUU-XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.
2. Rumusan Masalah
Perumusan masalah adalah langkah untuk mengidentifikasi persoalan yang
diteliti secara jelas, biasanya berisi pertanyaan-pertanyaan kritis, sistematis dan
representatif untuk mencari jawaban dari persoalan yang ingin dipecahkan. Arti
penting perumusan masalah adalah sebagai pedoman bagi tujuan dan manfaat
penelitian dalam rangka mencapai kualitas penelitian yang optimal. Berdasarkan
hal tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan diteliti adalah meliputi:
1. Bagaimana pertimbangan hukum pada putusan Mahakamah Konstitusi
(MK) NO. 76/PUU-XII/2014 dalam judicial review Undang-Undang
18
FORMAPPI, Lembaga Perwakilan Rakyat …….. h.9.
10
Nomor 17 Tahun 2014 terkait dengan pemeriksaan anggota dewan terduga
tindak pidana?
2. Faktor apa saja yang mempengarungi terhadap putusan hakim Mahkamah
Konstitusi dalam Putusan NO. 76/PUU-XII/2014 ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan diadakannya penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui dan memahami substansi putusan Mahakamah
Konstitusi (MK) dalam judicial review Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014
b. Untuk mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengarungi putusan
hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan NO. 76/PUU-XII/2014
2. Kegunaan Penelitian.
Kegunaan penelitian ini diuraikan menjadi dua bagian, yaitu kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis.
a. Kegunaan teoritis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan dan
wawasan serta memberikan suatu pemahaman dan kontribusi dalam menanggapi
masalah hukum, khususnya tentang analisa putusan mahkamah konstitusi
mengenai pengajuan Judicial Review UU No. 17 Tahun 2014 tentang
Pemeriksaan Anggota Dewan atas Izin Presiden Terduga Tindak Pidana (Putusan
No. 76/PUU-XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.
b. Kegunaan Praktis.
11
Adapun manfaat praktis dari penilitian ini dapat diharapkan menjadi bahan
pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan dan
konsukuensi hukum yang berkaitan dengan analisa putusan mahkamah konstitusi
pengajuan Judicial Review UU No. 17 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Anggota
Dewan atas Izin Presiden Terduga Tindak Pidana (Putusan No. 76/PUU-
XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.
D. Tinjauan Studi Terdahulu.
No Nama penulis/judul
skripsi, jurnal/ tahun
Substansi Perbedaan
dengan penulis.
1 Muhammad Iqbal
Hidayatullah
Skripsi ini membahas
mengenai
Problematika
Pemberian Izin
Penyidikan oleh
Mahkamah
Kehormatan dewa
Terhadap ANggota
DPR yang diduga
melakukan tindak
pidana
Perbedaan dari
skripsi ini
dengan skripsi
penulis adalah
penulis
membahas
mengenai
pemeriksaan
anggota dewan
terduga tindak
pidana (analisa
put. Mk No. 76/
PUU-XXI/2014.
2 Drs. Abu Tamrin, SH. Buku ini membahas Perbedaan
12
M.Hum
Nur Habibi Ihya, SHI,
MH. Hukum Tata
Negara, 2010
mengenai Hukum
Tata Negara yang
berobyekkan sebuah
negara dan menganut
sistem common law.
skripsi ini
dengan skripsi
penulis adalah
penulis
membahas
mengenai
penerapan asas
equality before
the law terhadap
anggota dewan
terduga korupsi
atas izin
presiden.
2 Drs. Abu Tamrin, SH.
M.Hum
Nur Habibi Ihya, SHI,
MH. Hukum Tata
Negara, 2010
Buku ini membahas
mengenai Hukum
Tata Negara yang
berobyekkan sebuah
negara dan menganut
sistem common law.
Perbedaan
skripsi ini
dengan skripsi
penulis adalah
penulis
membahas
mengenai
penerapan asas
equality before
13
the law terhadap
anggota dewan
terduga korupsi
atas izin
presiden.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.
The founding fathers ketika medirikian Negara Indonesia, merumuskan
bahwa Negara Indonesia merupakan negara hukum. (rechstaat) dan bukan sebagai
negara yang berdasarkan atas kekuasaan (machstaat). Oleh karena itu, hukum
hendaknya dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan
menyelesaikan berbagai persoalan yang menjalankan roda kehidupan masyarakat,
berbangsa dan bernegara yang bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa yang
aman, tertib, sejahtera dan berkeadilan. Demikianlah penegasan yang terdapat
dalam Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
DPR adalah kepanjangan dari Dewan Perwakilan Rakyat adalah salah satu
lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan
lembaga perwakilan rakyat. DPR terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
F. Metode Penelitian.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu
kegiatan know-how dalam ilmu hukum yang bersifat perspektif, bukan sekedar
know-about. Sebagai kegiatan know-how penilitian hukum dilakukan untuk
14
memecahkan isu hukum yang dihadapi. Di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis
masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecehan atas masalah
tersebut.19
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam menjawab
permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini dan untuk memenuhi
penulisan skripsi ini penulis menggunakan jenis metode Penelitian yuridis
normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-
kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.20
Sedangkan sifat dari penelitian
ini adalah deskriptif yaitu tipe penelitian untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang suatu gejala atau fenomena, agar dapat membantu dalam
memperkuat teori-teori yang sudah ada, atau mencoba merumuskan teori baru.
2. Pendekatan Penelitian.
Sehubungan dengan penelitian penulis menggunakan jenis penilitian yaitu
penelitian normatif, maka dalam hal teknik pengumpulan data dalam penelitian
normatif, penulis menggunakan beberapa pendekatan, yaitu berupa pendekatan
perundang-undangan(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual
approach), dan pendekatan historis (historical approach).
Pendekatan perundang-undangan dimaksudkan untuk memperoleh
kejelasan mengenai ketentuan hukum mengenai pengajuan Judicial Review UU
19 Peter Mahmud Marzuki, Penilitian Hukum, cet. VIII, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2013), h. 60
20Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. (Malang:
Bayumedia Publishing, 2008), h. 294.
15
No. 17 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Anggota Dewan atas Izin Presiden
Terduga Tindak Pidana (Putusan No. 76/PUU-XII/2014). Sedangkan pendekatan
konseptual dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana konsep dan teori mengenai
pengajuan Judicial Review UU No. 17 Tahun 2014 tentang Pemeriksaan Anggota
Dewan atas Izin Presiden Terduga Tindak Pidana (Putusan No. 76/PUU-
XII/2014) ditinjau dari asas negara hukum.
Sedangkan pendekatan historis dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana
sebenarnya pertimbangan hakim dalam memutuskan judicial review dalam UU
MD3.
3. Sumber Penelitian.
Adapun dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber penelitian yang
berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bahan hukum tersier
yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti, dengan rincian sebagai
berikut:
a. Bahan Hukum Primer.
Merupakan data-data yang diperoleh dari sumber aslinya, memuat segala
keterangan-keterangan yang beerkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber
tersebut berupa UUD 1945, dan Peraturan Perundang-Undangan yang terkait Asas
Negara Hukum. Bahan hukum primer merupakan data yang diperoleh dari bahan
kepustakaan.21
b. Bahan hukum sekunder.
21
Soejono Sokanto, Pengantar Penelitian Hukum,( Jakarta: Pustaka Pelajar, 1992.), h.51.
16
Merupakan data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan-bahan
primer yang diambil dari sumber-sumber tambahan yang memuat segala
keterangan-keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini, terdiri dari atas
buku-buku (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de
herseende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum,
yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik
penelitian skripsi ini. Dalam penulisan skripsi, penulis mengacu kepada buku
pedoman penulisan skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2012.
c. Bahan Hukum Tersier.
Merupakan bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum,
encyclopedia, dan lain-lain.22
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan metode pengumpulan data
melalui studi dokumen/ kepustakaan (library research) yaitu dengan melakukan
penelitian terhadap berbagai sumber bacaan seperti buku-buku yang berkaitan
dengan pasar modal, pendapat sarjana, surat kabar, artikel, kamus dan juga berita
yang penulis peroleh dari internet.
Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier
diinvetarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.
Dalam upaya mengumpulkan data yang diperlukan, digunakan Metode
Dokumentasi, metode ini dimaksudkan dengan mencari hal-hal atau variabel
22
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodelogi Penelitian……..h. 296
17
berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti,
notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.23
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data.
Adapun bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan hukum
sekunder, serta bahan hukum tersier diuraikan dan dihubungkan sedemikian rupa,
sehingga ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab
permasalah yang telah dirumuskan.Cara pengolahan bahan hukum dilakukan
secara deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. Selanjutnya setelah bahan
hukum diolah, dilakukan analisis terhadap bahan hukum dengan melakukan
analisis secara kritis dan mendalam Bagaimana kedudukan perkara dalam hal
putusan Mahakamah Konstitusi (MK) dalam judicial review Undang-Undang
Nomor 17 Tahun 2014 terkait dengan pemeriksaan anggota dewan terduga tindak
pidana dan Apakah putusan MK NO. 76/PUU-XXI/2014 bertentangan dengan
asas negara hukum ?
G. Sistematika Penulisan.
Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan
pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi,
dan dibagi menjadi 5 (lima) bab dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
23 M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatfi ,(Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2007), h. 201.
18
Pada bab ini memuat Latar Belakang Masalah, Batasan dan
Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Studi
Terdahulu, Kerangka Konseptual, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II: TINAJUAN UMUM MENGENAI NEGARA HUKUM dan
MAHKAMAH KOSNTITUSI
Menguraikan tentang konsep negara hukum, pembatasan
kekuasaan, Dewan Perwakilan Rakyar dan Menguraikan tentang
Sejarah Mahkamah konstitusi, Kewenangan dan kedudukan
Mahkamah Konstitusi
BAB III: PRO-KONTRA TENTANG IZIN BAGI ANGGOTA DPR
TERDUGA PELAKU TINDAK PIDANA
Menguraikan tentang prisnip pertanggungjawaban pidana, asas
equality before the law, dan pro-kontra mengenai izin presiden
bagi anggota dewan terduga tindak pidana
BAB IV : ANALISIS PUTUSAN MK No. 76/PUU-XII/2014.
Pada bab ini akan membahas mengenai analisis MK No. 76/PUU-
XII/2014 dan akibat hukumnya ditinjau dari negara hukum.
BAB V : PENUTUP
Pada bab penutup ini, berisi kesimpulan serta saran yang berkaitan
denganpermasalahan tersebut yang penulis dapatkan dari hasil
menganalisis Perkara Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014.
19
BAB II
NEGARA HUKUM DAN MAHKAMAH KONSTITUSI
A. Tinjauan Tentang Negara Hukum
Istilah negara yang dikenal sekarang mulai timbul pada zaman renaissance
di eropa pada abad ke-15. Pada masa itu telah dipergunakan oleh orang istilah “
Lo Stato” yang berasal dari bahasa italia yang kemudian menjelma menjadi
perkataan “L’Etat” dalam bahasa perancis, “The State” dalam bahasa Inggris,
atau “Der Staat” dalam bahasa jerman, dan “De Staat” dalam bahasa Belanda.1
Negara adalah suatu organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yang
memenuhi persyaratan unsur-unsur tertentu, yang harus ada: pemerintahan yang
berdaulat, wilayah tertentu dan rakyat yang hidup dengan teratur.2
Menurut Aristoteles dalam bukunya politca ia mengatakan bahwa negara
itu merupakan suatu persekutuan yang mempunyai tujuan tertentu. Cara berfikir
yang bersifat analystis dalam bukunya ethica dilanjutkan dalam bukunya politica
untuk dapat menerangkan asal-mula dan perkembangan negara. Negara terjadi
karena penggabungan keluarga –keluarga menjadi kelompok yang lebih besar,
kelompok itu bergabung lagi hingga menjadi desa. Dan desa itu bergabung lagi,
demikian seterusnya hingga timbul negara, yang sifatnya masih merupakan suatu
kota atau polis.
1 C.S.T Kansil, dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Republik Indonesia,
(Jakarta: Rineke Citpa, 2000), h.1.
2 C.S.T Kansil dkk, Kamus Istilah Aneka Hukum, (Jakarta: jalan permata, 2010), h. 274.
20
Desa yang sesuai kodaratnya adalah desa yang bersifat genealogis, yaitu
desa yang berdasarkan kepada keturunan. Dengan demikian menurut Aristoteles
adanya negara itu sudah menurut atau berdasarkan kodrat. Manusia sebagai
anggota keluarga menurut kodratnya tidak dapat dipisahkan oleh negara. Sebab
manusia itu adalah sutau mahkluk sosial atau zoonpoliticon, maka dari itu tidak
bisa dipisahkan dari masyarakat atau negara. 3Maka dari pada itu, Aristoteles
beranggapan bahwa negara sebagai negara hukum yang terdapat sejumlah warga
negara yang ikut serta dalam permusyawaratan negara (ecclesia). Yang dimaksud
dengan negara hukum ialah negara yang berdiri diatas hukum, yang menjamin
keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya
kebahagian hidup warga negara yang baik. Demikian pula dengan hukum yang
sebenarnya dimana peraturan tersebut mencerminkan keadilan bagi pergaulan
hidup antara warga negaranya.4
Secara embrionik, gagasan negara hukum pertama kali dikemukakan oleh
Plato dengan konsep Nomoi. Menurut Plato penyelenggaraan yang baik adalah
yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. Ide ini didukung oleh
Aristoteles, yang menuliskan dalam bukunya politica, yang didalamnya terdapat
sabda bahwa negara yang baik adalah negara yang diperintah oleh konstitusi, dan
berkedaulatan hukum.5
3 Soehino, Ilmu Negara, (Yogyakarta: Liberty, 1998), h.24-25.
4 Moh. Kusnardi, dan Prof. Dr. Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2000), h. 48
5 M. Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi Tetang Prinsip-Prinsipnya (Jakarta:
Bulan Bintang, 1992), h. 66.
21
Dalam Kepustakaan Indonesia, Istilah negara Hukum merupakan
terjemahan langsung dari Rechstaat.6. hal ini juga sama dikemukakan oleh
Notohamidjojo. “dengan timbulnya gagasan-gagasan pokok yang dirumuskan
dalam konstitusi-kosntitusi dari abad XI itu maka timbul juga istilah negara
hukum atau Rechstaat”.7
Sumrah dalam kertas kerjanya yang disampaikan pada seminar Hak-hak
Asasi manusia pada tahun 1967, Mengatakan: “ yang telah kita kenal lebih lama
adalah pengertian rechstaat, atau negara hukum atau untuk meminjam kata-kata
dalam penjelasan Undang-undang Dasar 1945, negara berdasarkan atas hukum”.8
Konsep rechstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutism sehingga
sifatnya revolusioner. Hal ini tampak dari isi atau kreteria rechstaat dan kreteria
the rule of law. Konsep rechstaat bertumpu pada atas sistem hukum continental
yang disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu pada sistem
hukum yang disebut comman law, karakteristik civil law adalah administrative,
sedangkan comman law adalah judicial.9 Dalam sejarahnya dikenal dua konsep
yang sangat berpengaruh, yaitu Rechstaat “jerman” dan the rule of law “inggris”.
6 Padmo Wahjoyo, Ilmu Negara Suatu Sistemetik dan Penjelasan 14 Teori Ilmu Negara
dari jellinek, (Jakarta: Melaty Study Group, 1997), h.30.
7 O. Nothohamidjojo, Makna Negara Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1970), h.
27.
8 H. Muh. Yamin, Proklamasi dan Kosntitusi Republik Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1982), h.72.
9 Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: Binia
Ilmu, 1987), h. 92.
22
Istilah rechstaat mulai terpopuler di eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran
tentang itu sudah lama adanya.10
Negara hukum itu diartikan sebagai negara dimana tindakan pemerintah
maupun rakyatnya didasarkan atas hukum untuk mencegah adanya tindakan
sewenang-wenang dari pihak penguasa dan tindakan rakyat menurut kehendaknya
sendiri. Sebagai unsur-unsur yang klasik yang dipakai dengan negara hukum yaitu
diakuinya adanya hak-hak asasi yang harus dilindungi oleh pihak penguasa dan
sebagai jaminan ialah diadakan pembagian kekuasaan.
Negara hukum ini timbul sebagai reaksi terhadap kekuasaan raja-raja yang
absolut, oleh karena itu tujuan dari hukum mula-mula hendak membebaskan diri
dari campur tangan negara.
Rakyat akan menyelenggarakan kepentingan sendiri, dan didalam
penyelenggaraan itu tindakan perselisihan, maka barulah negara campur tangan.
Lama-kelamaan dirasakan bahwa negara tidak dapat bersifat pasif terus menerus
terutama dalam hal yang berhubungan dengan ketentuan umum.11
Selain itu, konsep negara hukum juga berkaitan dengan istilah Nomocratie
yang berarti penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.
Menurut Stahl, konsep negara hukum yang disebut dengan istilah rechstaat
mencakup empat elemen penting, yaitu:12
10
Dr. Bagir Manan, Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2006), h.75.
11 Moh. Kusnardi, dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara . . . . . . .h.92
12 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Cetakan Pertama, (Jakarta:
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2004), h.122.
23
1. Perlindungan hak asasi manusia.
2. Pembagian kekuasaan.
3. Pemerintahan yang berdasarkan undang-undang.
4. Peradilan tata usaha negara.
Adapun A.V.Dicey menyebutkan tiga ciri penting The Rule of Law,
Yaitu:13
1. Supremacy of Law.
2. Equality Before The Law.
3. Due Process Of Law.
Negara hukum materiil mencakup pengertian yang lebih luas termasuk
keadilan didalamnya. Tugas negara tidak hanya ,menjaga ketertiban dengan
melaksanakan hukum, tapi juga mencapai kesejahteraan rakyat sebagai bentuk
keadilan (Welfarestate). Materi konstitusi tentang wewenang dan cara bekerjanya
lembaga-lembaga negara biasanya disebut dengan sistem pemerintahan negara.
Menurut sejarah pembagian kekuasaan negara itu dimulai dari gagasan tentang
pemisahan kekuasaan negara ke dalam berbagai organ agar tidak terpusatnya di
tangan seorang monarki (raja absolut).
B. Tinjauan Umum Pembatasan Kekuasaan
1. fungsi kekuasaan.
Salah satu ciri negara hukum, yang dalam bahasa inggrisnya disebut
dengan legal state atau state based on the rule of law, dalam bahasa belandanya
13 A. V. Dicey, Introduction to study of the Law of the Constitution, Tenth Edition,
(London: Macmilan Education LTD, 1959.
24
dan jermannya rechstaat, adalah adanya ciri pembatasan kekuasaan dalam
penyelenggaraan kekuasaan negara. Meskipun kedua istilah rechstaat dan rule of
law itu memiliki latar belakang sejarah dan pengertian yang berbeda, tetapi sama-
sama mengandung ide pembatasan kekuasaan. Pembatasan itu dilakukan dengan
hukum yang kemudian menjadi ide dasar paham konstitusiolisme modern.oleh
karena itu, konsep negara hukum disebut dengan negara konstitusional atau
constitusional state, yaitu negara yang dibatasi oleh konstitusi. Dalam konteks
yang sama, gagasan negara demokrasi atau kedaulatan rakyat disebut pula dengan
istilah constitusional democracy yang dihubungkan dengan pengertian negara
demokrasi yang berdasarkan atas hukum.14
Dalam empat ciri klasik negara hukum eropa continental yang biasa
disebut rechstaat, terdapat elemen pembatasan kekuasaan sebagai salah satu ciri
pokok negara hukum.15
Ide pembatasan kekuasaan itu dianggap mutlak harus ada,
karena sebelumnya semua fungsi negara terpusat dan terkonsentrasi di tangan satu
orang, yaitu ditangan raja atau ratu yang memimpin negara secara turun menurun.
Bagaimana kekuasaan negara itu dikelola sepenuhnya tergantung kepada
kehendak pribadi sang raja atau ratu tersebut tanpa adanya kontrol yang jelas
kekuasaan itu tidak menindas atau meniadakan hak-hak dan kebebasan rakyat.
Upaya untuk mengadakan pembatasan terhadap kekuasaan itu tidak
berhenti hanya dengan munculnya gerakan pemisahan antara kekuasaan raja dan
14
Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta, PT Raja
Grafindo Persada, 2009), h.281.
15 Mengenai Rechstaat, lihat dan cermati beberpa tulisan para pakar dalam sri soemantri,
dkk, ketatanegaraan Indonesia dalam kehidupan politik Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-
Undang Dasar 1945, (Jakarta: Pustaka Sinar Harahap, 1993).
25
kekuasaan pendeta serta pimpinan gereja. Upaya pembatasan dilakukan dengan
mengadakan pola-pola pembatasan didalam pengelolaan internal kekuasaan
negara itu sendiri, yaitu dengan mengadakan pembedaan dan pemisahan
kekuasaan negara kedalam beberapa fungsi yang berbeda-beda. Dalam hubungan
ini, yang dianggap yang paling berpengaruh pemikirannya dalam mengadakan
pembedaan fungsi-fungsi kekuasaaan itu adalah Montesqiue yang bernama
lengkap yaitu Charles De Secondat, Baron De La brede et de Montesqiue. Dengan
pola pemikirannya yaitu Trias Politicanya16
yaitu cabang kekuasaan legislatif,
cabang kekuasaan eksekutif atau administrasif, dan cabang kekuasaan yudisial.
Menurut Montesqiue, dalam bukunya “L’Esprit des Lois” (1748), yang
mengikuti jalan pemikiran John Locke, membagi kekuasaan negara dalam tiga
cabang, yaitu:
a. Kekuasaan Legisltaif sebagai pembuat Undang-Undang.
b. Kekuasaan Eksekutif sebagai pelaksana undang-undang.
c. Dan kekuasaan yudikatif sebagai kekuasaan yang menghakimi.
Dari klasifikasi Montesqiue inlah dikenal pembagian kekuasaan modern
dalam tiga fungsi, yaitu:
a. Legislatif (The legislative funcition).
b. Eksekutif (the executive or administrative funcition).
c. Dan yudisial (the judicial function).17
16
Prof. Dr. Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.282.
17
O. Hood Phillips, Paul Jackson, and Patricia Leopold, Constitutional and
Administrative Law, (London: Sweet & Maxwell, 2001) h. 10-11.
26
Dalam bidang legislatif dan eksekutif, pendapat kedua sarjana itu
tampaknnya mirip. Akan tetapi, dalam bidang yang ketiga, pendapat mereka
berbeda. John locke mengutamakan fungsi federatif, sedangkan Baron de
Montesqiue mengutamakan fungsi kekuasaan kehakiman (yudisial). Montesqiue
lebih melihat pembagian atau pemisahan kekuasaan itu dari segi Hak Asasi
Manusia setiap warga negara, sedangkan John Locke lebih melihat dari segi
hubungan ke dalam dan ke luar negara-negara lain. Bagi John Locke, penjelmaan
fungsi defencie baru timbul apabila fungsi diplomacie terbukti gagal. Oleh sebab
itu, yang dianggap penting adalah fungsi federatif, sedangkan fungsi yudisial bagi
John Locke cukup dimasukan ke dalam kategori fungsi eksekutif, yaitu terkait
dengan fungsi pelaksaan hukum.
Kalau kita bandingkan kedua teori tersebut di atas, maka terlihat bahwa
pada teori John Locke tidak ada kekuasaan yudikatif, sebab menurutnya
kekuasaan yudikatif telah tercakup dalam kekuasaan federatif, sedangkan pada
teori montesqiue tidak ada kekuasaan federatif, sebab menurutnya kekuasaan
federatif itu sudah mencakup dalam kekuasaan legislatif, karena hubungan luar
negeri menghasilkan perjanjian atau traktat, dan perjanjian atau traktat ini
merupakan ikatan atau kewajiban bagi yang membuatnya. Jadi merupakan hukum
yang mengikat kedua belah pihak, oleh karena itu kekuasaan federatif dipandang
tidak perlu berdiri terpisah sendiri. Sebaliknya montesqiue selaku mantan hakim
menganggap perlu kekuasaan kehakiman itu terpisah dari yang lain agar dapat
berdiri sendiri secara tegak tanpa adanya pemihakan dari siapapun yang
ditanganinya.
27
1. Pembagian atau pemisahan Kekuasaan.
Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali dalam
tulisan John Locke, Second Treatis of Civil Government yang berpendapat bahwa
kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh dipegang sendiri oleh
mereka yang menerapknya. Sarjana hukum Prancis Baron de Montesqiue, yang
menulis berdasarkan hasil penelitiannya terhadap sistem konstitusi Inggris,
pemikiran John Locek itu diteruskannya dengan mengembangkan Trias
Politicanya yang membagi kekuasan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu
legislatif, eksekutif, dan yudikatif.18
pandangna inilah yang menajdi doktrin
separation of power di zaman sesudahnya.
Istilah “pemisahan kekuasaan” dalam bahasa Indonesia merupakan
terjemahan dari perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica
atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesqiue, harus dibedakan
dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak saling mencampuri
urusan masing-masing.
Yang dianggap pertama kali mencetuskan teori pemisahan kekuasaan ialah
John Locke. Dalam karya tulisnya berjudul Two Treatises of Civil Government
yang diterbitkan pada tahun 1690 ia memisahkan negara dalam tiga kekuasaan,
yaitu:
a. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan pembentuk undang-undang.
b. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan yang melaksanakan undang-undang.
18 Michael T. Molan, Constitutional Law: Machinery of Government, 4
th editioan,
(London: Old Bailey Press, 2003), h. 63-64.
28
c. Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar
negeri dan menyatakan perang dan damai.
Pemishaan kekuasaan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah
agar kekuasaan negara tidak terpusatkan di satu tangan, sebab kekuasaan yang
terpusatkan di satu tangan cenderung membawa akibat disalahgunakan.19
Pendapat Montesqiue tidaklah samadengan kenyataan di inggris,
disebabkan latar belakang negaranya pada waktu itu diperintahkan seacara
absolut. Oleh katrenanya kata Sir Ivor Jennings, ia tidak melihat sama sekali
praktek ketatanegaraan di inggris seperti yang dikemukakan oleh Montesqiue,
House of Lord pada saat ini nmasih merupakan bagian parlemen, dan raja selaku
eksekutif juga mempunyai peran penting dalam legislatif. Dalam karyanya yang
ditulis berjudul The Law and The Constitution, ia membedakan pemisahan
kekuasaan dalam arti material dan pemisahan kekuasaan dalam arti formal.
Pemisahan dalam arti material adalah pemishan kekuasaan yang dipertahankan
secara tegas dalam tugas-tugasnya (fungsi) kenegaraan yang secara
karakteristikmemperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu dalam tiga bagian:
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan
kekuasaan dalam arti formal adalah apabila pemisahan kekuasaan itu tidak
dipertahankan secara tegas.20
Ismail sunny berpandapat bahwa pemisahan
kekuasaan dalam arti material sepantasnya disebut dengan “pemisahan
19
Azhary, Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang Unsur-unsurnya,
( Jakarta: UI Press, 1995), h.93.
20 S.I. Jennings, The Law and The Contitution, (London: University of London Press,
1959), h.267.
29
kekuasaan”, sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan
“pembagian kekuasaan” 21
Menurut pendapat tersebut, Akhirnya Sunny berkesimpulan bahwa
pemisahan kekuasan dalam arti material tidak terdapat dan tidak pernah
dilaksanakan di Indonesia, yang ada dilaksanakan ialah pemisahan kekuasaan
dalam arti formal. Atau dengan perkataan lain, di Indonesia terdapat pembagian
kekuasaan dengan tidak menekankan pada pemisahannya, “bukan
pemisahannya.”22
Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan
oleh Montesqiue itu dianggap oleh para ahli sebagai pandangan yang tidak
realistis dan jauh dari kenyataan. Pandangan-pandangannya itu dianggap oleh para
ahli sebagai kekeliruan Montsqiue dalam memahami sistem ketatanegaraan
inggris yang dijadikan objek telaah untuk mencapai kesimpulan mengeai trias
politicanya. Di dalam bukunya L’Esprit des Lois (1748). Tidak ada satu negara
pun yang sungguh-sunggung mencerminkan gambaran Montesqiue tentang
pemisahan kekuasaan. Dengan demikian, struktur dan sistem ketatanegaraan
Inggris yang dijadikan objek penelitian dalam menyelesaikan bukunya itu juga
tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan seperti yang dibayangkan.23
Banyak sekali pro kontra yang timbul di kalangan para sarjana mengenai
pandangan Montesqiue di lapangan ilmu politik dan hukum. Oleh karena itu,
dengan menyadari banyaknya kritik terhadap teori Trias Politica Montesqiue,
21
Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), h.4
22 Ismail Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara . . . . . . . h.44
23 Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.286.
30
para ahli hukum Indonesia sering sekali menarik kesimpulan seakan-akan istilah
pemsihan kekuasaan (Separation of power) yang dipakai oleh Montesqiue itu
sendiripun tidak dapat dipergunakan. Kesimpulan demikian terjadi, karena
penggunaan istilah pemisahan kekuasaan itu biasanya diindentikan dengan teori
Trias Politicanya Montesqiue, dan seolah-olah istilah pemisahan kekuasaan itu
sendiri konsep yang bersifat umum, seperti halnya konsep pembagian kekuasaan
juga dipakai oleh banyak sarjana dengan pengertian-pengertian yang berbeda-
beda satu dengan yang lain.24
Sebagai kandungan atas konsep pemisahan kekuasaan (Separation of
power) para ahli biasa menggunakan pula istilah pembagian kekuasaan sebagai
terjemahan perkataan Division of power atau Distribution of power. Ada pula
sarjana yang justru menggunakan istilah Division of power merupakan bentuk
speciesnya. Bahkan, misalnya Arthur Mass membedakan pengertian pembagian
kekuasaan (Divion of power) tersebut kedalam dua pengertian, yaitu: (i) Capital
Division of power; dan (ii) Territorial division of power, pengertian yang pertama
bersifat fungsional dan sedangkan kedua bersifat kewilayahan dan kedaerahan.
Untuk membatasi pengertian separation of power itu, dalam bukunya
Constitutiona Theory,25
G. Marshall membedakan ciri-ciri doktrin pemisah
kekuasaan (separation of power) itu dalam lima aspek:
1. Differentiation;
2. Legal incompatibility of office holding;
24
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.287.
25 G. Marshall, Constitutional Theory, (Clarendon: Oxford University Press, 1971),
chapter 5.
31
3. Isolation, immunity, independence;
4. Check and balances;
5. Coordinate status and lack of accountability.
Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) itu bersifat
membedakan fungsi-fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Legislator
membuat aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai
konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan
menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik ata perselisihan.
Kedua, doktrin pemishan kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan
di lembaga legislatif tidak boleh merangkap jabatan di luar cabang legislatif.
Meskipun demikian, dalam praktik sistem pemerintahan parlemen, hal yang tidak
diterapkan secara konsisten. Para menteri kabinet di inggris justru dipersyaratkan
harus berasal dari mereka yang duduk sebagai anggota parlemen.
Ketiga, doktrin pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-
masing organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap
kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing-masing cabang
kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya. Keempat, dalam doktrin
pemisahan kekuasaan itu, yang juga dianggap paling penting adalah adanya
prinsip check and balances, dimana setiap cabang kekuasaan mengendalikan dan
mengawasi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya
perimbangan yang lain mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen.
Kemudian yang terakhir, kelima, adalah prinsip koordinasi dan kesederajatan,
32
yaitu semua organ atau lembaga (tinggi) negara menjalankan fungsi legislatif,
eksekutif dan yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai
hubungan bersifat koordinatif, tidak bersifat subordinatif satu denga yang
lainnya.26
Dalam pengalaman ketatanegaraan Indonesia, istilah “Pemisahan
Kekuasaan” (Separation of power) itu sendiri cenderung dikonotasikan dengan
pendapat Montesqiue secara absolut konsep pemisahan kekuasaan tersebut
dibedakan secara diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power)
yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secara mutlak menolak ide
pemisahan kekuasaan ala trias politica Montesqiue. Dalam siding BPUPKI pada
1945,27
Soepomo misalnya menegaskan bahwa UUD 1945 tidak menganut
doktrin trias politica dalam arti paham pemisahan kekuasaan ala Montesqiue,
melainkan menganut sistem pembagian kekuasaan.
Namun demikian, menurut Jimly Assiddiqie setelah UUD 1945
mengalami emapt kali perubahan, dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi kita
menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberap bukti mengenai
hal ini antara lain adalah:
1. Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR.
Bandingkan saja antara ketentuan pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum
perubahan dengan pasal 5 ayat (1) dan pasal (20) ayat (1) UUD 1945
26
John Alder and Teter English. (Constitutional and Administratif Law. London:
Macmillan, 1989), h. 56.
27 Lihat risalah siding BPUPKI dalam Saefroedin Bahar, dkk. (Ed.)., Risalah SIdang
BPUPKI-PPKI, (Jakarta: Sekretariatan Negara Republik Indonesia, 1992), h. 137-290 (SIdang
BPUPKI) dan h.292-324 (Sidang PPKI).
33
setelah perubahan. Kekuasaan untuk membentuk undang-undang yang
sebelumnya berada di tangan presiden, sekarang beralih ke Dewan
Perwakilan Rakyat.
2. Diadopsikan sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai
produk legislatif ke Mahkamah Konstitusi. Sebelumnya belum dikenal
adanya mekanisme semacam itu, karena pada pokoknya undang-undang
tidak dapat di ganggu gugat dimana hakim dianggap hanya menerapkan
undang-undang dan tidak boleh menilai undang-undang.
3. Diakuinya dimana lembaga kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas ke
pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau
tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat. Presiden,
anggota DPR, anggota DPD sama-sama dipilih secara langsung oleh
rakyat dan arena itu sama-sama merupakan pelaksanaan langsung prinsip
kedaulatan rakyat.
4. Dengan demikian, MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi
negara, melainkan merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama
derajatnya dengan lembaga-lembaga (tinggi) negara lainnya, seperti
Presiden, DPR, DPD, MK, dan MA.
5. Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling
mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsi check and balances.
Dari kelima prinsip tersebut diatas, dapat diketahui bahwa UUD 1945
tidak lagi dapat dikatakan dengan menganut prinsip pembagian kekuasaan yang
bersifat vertical, tetapi juga tidak menganut paham trias politica Montesqiue yang
34
memisahkan cabang-cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudisial secara
mutlak dan tanpa diiringi dengan hubungan saling mengendalikan satu dengan
yang lainnya. Dengan perkataan lain, sistem baru yang dianut oleh UUD 1945
pasca perubahan keempat adalah sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip
check and balances kalaupun istilah pemisahan kekuasaan (separation of power)
itu hendak dihindari, sebenarnya, kita juga dapat menggunakan istilah pembagian
kekuasaan (division of power) seperti yang digunakan oleh Arthur Mass, yaitu
Capital division of power untuk pengertian yang bersifat horizontal, dan teretorial
division of power untuk pengertian yang bersifat vertikal.
Akan tetapi, perlu dicatat bahwa mengenai kekuasaan itu dipergunakan
oleh pasal 18 ayat (1) uud 1945 untuk pengertian pembagian dalam konteks
pengertian yang bersifat vertikal atau teretorial division of power. Pasal 18 ayat
(1) tersebut berbunyi:
“Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi,
dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi,
kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan
undang-undang”
Artinya, dalam wadah NKRI terdapat provinsi-provinsi yang merupakan
daerah-daerah bagiannya, dan tiap-tiap daerah provinsi terdapat pula kabupaten-
kabupaten dan kota yang merupakan daerah-daerah bagian dan provinsi-provinsi
tersebut. Untuk mengatasi hal itu, maka ketika rancangan perubahan kedua UUD
1945 dibahas pada Tahun 2000, ketentuan pasal 18 ayat (1) UUD 1945 tersebut
tidak sengaja menggunakan istilah “… dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan
35
daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota …” dengan penggunaan istilah
ini, ingin ditegaskan bahwa hubungan antara pusat dan daerah, dan anatar provinsi
dan kabupaten/kota kembali bersifat hierarkis vertikal. Dengan demikian, UUD
1945 secara sadar menggunakan istilah “pembagaian” itu dalam konteks
pengertiannya yang bersifat vertikal sehingga konseppembagian kekuasaan
(division of power) haruslah diartikan sebagai pembagian dalam konteks
pengertian yang bersifat vertikal pula.
Oleh karena itu, untuk pengertian dalam konsep pengertian pembagian
kekuasaan dalam konteks pengertian yang bersifat horizontal atau seperti yang
digunakan oleh Artur Mass dengan Capital division of power, haruslah diartika
sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power), meskipun bukan dalam
pengertian trias polita ala Montesqiue. Dengan perkataan lain, saya menganjurkan
agar tidak perlu ragu-ragu menggunakan istilah pemisahan kekuasaan berdasarkan
prinsip check and balances untuk menyebut sistem yang dianut oleh UUD 1945
pasca perubahan keempat, karena menurut saya pengertian yang bersifat
horizontal seperti yang digunakan oleh Artur Mass dengan Capital division of
power sama halnya dengan pemisahan kekuasaan (separation of power), asalkan
tidak dipahami dalam konteks pengertian trias politica ala Montesqiue.28
C. Tinjaun Umum mengenai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Lembaga legislatif sangat penting karena merupakan mesin yang
mempunyai arti lebih-lebih dalam hubungannya dengan asas demokrasi. Lembaga
28
Jimly Ashiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, . . . . . . . h.288-294.
36
ini pada prinsipnya berwenang menetapkan hukum tertulis yang akan
dilaksanakan oleh lembaga-lembaga tersebut.
Membicarakan tentang kekuasaan legislatif ini menurut C.F. Strong maka
ada dua pola negara:
a. Hakekatnya sistem pemilihan dalam mana anggota-anggota lower house
duduk di dalamnya.
b. Hakekat pada the second chamber atau upper house.29
Kedudukan legislatif yang dimaksud yaitu DPR (Dewan Perwakilan
Rakyat). Kedudukan DPR RI di masa orde baru kuat karena lembaga tersebut
dipilih rakyat lewat pemilu legislatif. 30
Perubahan pertama terhadap UUD 1945
terjadi pada 19 oktober 1999, dalam sidang umum MPR yang berlangsung pada
tanggal 14-21 oktober 1999. Dalam perubahan ini, terjadi pergeseran kekuasaan
presiden dalam membentuk undang-undang, yang diatur dalam pasal 5, berubah
menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan
Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang (Pasal 20).
Perubahan pasal ini memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional yang
semula berada di tangan presiden, beralih ke tangan DPR. Rumusan pasal 20
(baru) berbunyi sebagai berikut.31
a. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
29
Abu daud busroh, Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan Konstitusi Sembilan
Negara, (Jakarta: Bina Askara, 1987), h.15.
30 Abu Tamrin, dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, (Jakarta: LEMBAGA
PENELITIAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA, 2010), h. 113
31 Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, . . . . . . . . . . .h.167
37
b. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
c. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama,
rancangan undang-undang itu tidak dapat diajukan lagi dalam persidangan
Dewan Perwakilan Rakyat masa itu.
d. Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama untuk menjadi undang-undang.
e. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut
tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan
undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Sebelum perubahan UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia
mengenal Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi. Di
bawahnya mendapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai lembaga
tinggi termasuk DPR. Dalam kedudukannya sebagai lembaga negara tertinggi,
MPR pemegang kekuasaan negara tertinggi (die gezamte staatgewald liege
alleinbei der majelis ) karena lembaga ini merupakan penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia (vertretungsorgaan des willens des staatsvolkes). Sementara itu, DPR
yang merupakan lembaga perwakilan rakyat, dinyatakan DPR adalah kuat dan
senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan presiden. Bahkan, jika DPR
menganggap bahwa presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah
ditetapkan oleh UUD 1945 atau MPR, maka DPR dapat mengundagng MPR
38
untuk menyelenggarakan sidang istimewa guna meminta pertanggungjawaban
presiden.32
Secara umum, dipahami oleh masyarakat bahwa fungsi DPR meliputu
fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi budget. Diantara tiga fungsi itu,
biasanya yang paling menarik perhatian politisi untuk diperbincangkan adalah
tugas sebagai pembuatan undang-undang. Namun, jika ditelaah secara kritis, tugas
pokok yang pertama yaitu sebagai pengambil inisiatif pembuatan undang-undang,
dapat dikatakan telah mengalami kemunduran serius dalam perkembangan akhir-
akhir ini.
Biasanya dalam berbagai konstitusi negara-negara berdaulat diadakan
perumusan mengenai tugas pembuatan undang-undang (legislasi) dan tugas
pelaksanaan undang-undang itu (eksekutif) ke dalam dua kelompok pelembagaan
yang menjalankan peranan yang berbeda. Meskipun demikian sesungguhnya tidak
satupun teks konstitusi maupun praktik dimanapun yang memisahkan cabang-
cabang kekuasaan legislative dan eksekutif itu secara kaku. Baik dalam rumusan
formal apalagi dalam kenyataan praktik, fungsi-fungsi legisatif dan eksekutif
selalu bersifat tumpang tindih.33
Setelah terjadi perubahan, beban tugas dan tanggung jawab DPR menjadi
bertambah berat. Akan tetapi, itulah yang seharusnya dilakukan karena salah satu
32
Titik TriwulanTutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen
UUD 1945……..h. 191.
33
Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah
Telaah Perbandingan Konstitus Berbagai Negara, (Jakarta: UI Press, 1996), h.39.
39
fungsi DPR adalah menjalankan fungsi legislasi, disangping fungsi pengawasan
dan budget.
Pergeseran kewenangan membentuk undang-undang dari sebelumnya di
tangan presiden dialihkan kepada DPR merupakan langkah konstitusional untuk
meletakan secara tepat fungsi-fungsi lembaa negara sesuai bidang tugasnya
masing-masing yakni DPR sebagai lembaga pembentuk undang-undang
(kekuasaan legislatif) dan presiden sebagai pelaksana undang-undang (kekuasaan
eksekutif).
D. Tinjauan Umum Mengenai Mahkamah Konstitusi
1. Sejarah terbentuknya Mahkamah Konstitusi
Penanaman paham kosntitusi adalah salah satu cara untuk merealisasikan
tujuan nasional dari Negara Kesatuan Republik Indonesia yang telah diuraikan
sebelumnya. Paham konstitusi disebut dengan konstitualisme (Constitualism)
yakni yang berarti faham atau aliran yang menghendaki pembatasan kekuasaan
(limited of power). Dalam kaitannya dengan negara dan pemerintah,
Konstitualisme adalah paham atau aliran yang menghendaki pembatasan
kekuasaan negara (limitation of state power) atau pembatasan kekuasaan
pemerintah (limitation of power of government atau limited government).34
Pembatasan kekuasaan tersebutlah yang dibagi menjadi tiga bagian utama
dalam UUD 1945, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan
yudikatif. Adanya pembatasan kekuasaan negara atau organ-organ negara dengan
cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan
34
Bagir Manan dan Susi Dwi Harijanti, Memahami Konstitusi “makna dan
aktualitas”, (Jakrata: PT. RajaGrafindo Persada), 2014, h.146.
40
kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap
kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-
wenang, seperti yang dikatakan oleh Lord Action” Power tend to corrupt, and
absolute power corrupt absolutely”35
Dalam perspektif historis dan yuridis, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan
legislatif mengalami perubahan yang signifikan pasca amandemen UUD 1945,
dimana perubahan sistem ketatanegaraan dari parlementer ke presidensil yang
cukup mempengaruhi kewenangan dua lembaga kekuasaan tersebut. Sedangkan
kekuasaan kehakiman, pasca amandemen UUD 1945 ketiganya telah mengalami
perubahan dari segi substansi dan kelembagaan. Yakni, setelah disahkannya
perubahan ketiga UUD 1945 maka dalam rangka pembentukan MK, MPR
menetapkan MA menjalankan fungsi sementara sebagaimana diatur dalam pasal
III aturan peralihan UUD hasil amandemen keempat. DPR dan pemerintah
kemudian membuat rancangan undang-undang mengenai Mahkamah Konstitusi.
Setelah pembahasan yang mendalam, DPR dan pemerintah menyetujui bersama
UU Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13
Agustus 2003 dan disahkannya oleh presiden pada hari itu. (Lembaran Negara
Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316).36
Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui
Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 mengangkat 9(sembilan) hakim
35
Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi suatu studi Adjudikasi Konstitusional sebagai
mekanisme Penyelesaian sengketa Normatif, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h. 5.
36 Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.
Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September
2015 pukul 12.45 wib.
41
konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah
jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003.
Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA
ke MK, pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK
sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan Undang-
Undang Dasar 1945. Mulai beroperasinya kegiatan MK juga menandai
berakhirnya kewenangan MA dalam melaksanakan kewenangan MK sebagaimana
diamanatkan oleh pasal 3 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.37
Berdasarkan landasan kosntitusional pula, sejarah terbentuknya
Mahkamah Konstitusi diawal dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court)
dalam amandemen Konstitusi yang dilakukan oleh MPR pada Tahun 2001
sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan pasal 24 ayat (2), pasal 24C dan pasal
7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen ketiga yang disahkan pada 9
November 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan
pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang mucul pada abad ke-20.38
Ditegaskan dalam pasal 24 ayat (1) UUD NKRI 1945 yang menyatakan
bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.39
Dimana
kekuasaan kehakiman yang dimaksud adalah kekuasaan kehakiman yang tidak
37
Sekretariatan Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, 2011.
38 Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.
Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh pada 1 September
2015 pukul 12
39 Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id
/index.php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 september 2015 pukul 19.57.
42
hanya terdiri dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Melainkan terdiri
dari peradilan-peradilan yang ada dibawah Mahkamah Agung.
Terbentuknya MK juga tidak lepas dari perspektif historis, gagasan untuk
mendapatkan lembaga yang dapat menguji undang-undang terhadap UUD 1945
nyatanya telah ada sejak Rapat Besar Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan, tanggal 15 juni 1945, yakni ketika Yamin menyampaikan usulan
perihal perbandingan undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Dibentuknya Mahkamah Agung pada saat itu, menurut Yamin agar
melakukan kekuasaan kehakiman dan menbandingkan undang-undang dengan
Undang-undang Dasar. Dan pendapat Balai Agung disampaikan kepada Presiden,
yang mengabarkan berita itu kepada Dewan Perwakilan, dan melakukan aturan
pembatalan.40
Hadirnya Mahkamah Konstitusi, sebagai tanda bahwa telah lahir lembaga
yang mampu menguji substansi undang-undang, yang sebelumnya tidak
diakomodir pada masa orde baru. Semua produk undang-undang dapat ditinjau
substansinya maupun prosedur pembuatannya. Sehingga hak-hak warga negara
dan demokrasi dapat terlindungi dari kemingkinan potensi negatif pembentukan
undang-undang yang ingin mereduksi bahkan menggerogoti prinsip-prinsip
negara hukum, hak asasi manusia, (Warga Negara) maupun substansi demokras.41
40
Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 Buku VI tentang
Kekuasaan Kehakiman, Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah onstitusi RI, 2010, h.17-
18
41 Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan gagasan
Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014), h.1-2
43
Khusus untuk memelihara kebersesuaian dan ketaatan undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, UUD 1945 memberi kewenangan dan
tugas itu kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Kosntitusi adalah sebuah
lembaga dalam rumpun kekuasaan kehakiman dengan kewenangan khusus antara
lain untuk menguji konstitusionalitas UU terhadap UUD bahkan membatalkan
(sebagian) UU yang pembentukannya telah disepakati bersama oleh DPR dan
Presiden. Sebagai lembaga dalam rumpun kekuasaan Yudikatif itu proses kerja
Mahkamah Konstitusi adalah proses sebuah lembaga peradilan.42
Dengan memiliki beberapa perpektif diatas, pada akhirnya MK merupakan
lembaga negara baru buah reformasi ketatanegaraan Republik Indonesia melalui
perubahan (amandemen) UUD NRI 1945 diberikan kewenangan mengadili pada
tingka pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberika oleh Undang-undang Dasar;
3. Memutus pembubaran partai politik;
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan
5. Memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Jika diperhatikan secara seksama, seluruh kewenangan yang diberikan
kepada MK oleh UUD 1945 tersebut berkaitan dengan upaya untuk mencapai
kedua tujuan kembar yakni sebagai upaya untuk mewujudkan Indonesai sebagai
42
Jakop Tobing, Membangun Jalan Demokrasi (kumpulan pemikiran Jacob Tobing
tentang Perubahan UUD 1945), (Jakarta: Konstitusi Press, 2008), h.251.
44
negara hukum yang demokratis dan sekaligus negara demokrasi berdasarkan
hukum.43
Agaknya dua istilah tersebut tidaklah berlebihan jika disandingkan satu
sama lain, bahwa negara hukum dan demokrasi sangatlah berkesinambungan,
karena sulit dibayangkan sebuah negara hukum tanpa demokrasi atau demokrasi
tanpa hukum itu sendiri.
Mahkamah Konstitusi sebagai garda konstitusi adalah bentuk realisasi dari
dua hal tersebut yakni dijalankan demokrasi karena mengedepankan hak-hak
konstitusional warga negara melalui kewenangan yang melekat yakni pengujian
undang-undang terhadap UUD 1945 dan menjunjung tinggi hukum karena
dilaksanakannya kewenangannya berdasarkan amanah UUD 1945 sebagai negara
hukum tertinggi di Indonesia. Hal tersebutlah yang senada dengan apa yang
ditekankan oleh John Norton Moore:
Constitutuons should embody the fundamental compact with the people –
such constitutions should serve as the highest from of law to which all other laws
and governmental actions must conform. As such, constitutions should embody the
fundamental precepts of a democratic society rather than serving to incorporate
ever – changing laws more appropriartely dealt with by statue. Similarly,
governmental structures and actions should seriously conform with constitutional
norms, and constitutions should not be mere ceremonial or aspirational
documents.
43
Mahkamah Konstitusi, Judical Review, dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I Dewa
Gede Palguna, Sekretariat Jendral dan Kepaninteraan Mahkamah Konstitusi, 2008, h.9
45
Atas dasar hal tersebut, dapat dikatakan bahwa “negara hukum”
mempengaruhi adalnya kelaziman sebuah konstitusi untuk memuat hak-hak dasar
atau hak asasi manusia (basic right) setiap warga negara yang kemudian
dinyatakan sebagai hak konstitusional. Fungsi utama Mahkamah Konstitusi inlah
yang menjamin bahwa konstitusi benar-benar ditaati dan dilaksanakan dalam
praktik.44
2. Kedudukan dan Susunan Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Mahkaamah Konstitusi berdasarkan Undang-undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Mahkamah Kosntitusi, yaitu, Mahkamah Konstitusi
merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
mempunyai peranan penting guna menegakkan konstitusi dan prinsip negara
hukum sesuai kewenangan dan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonseisia Tahun 1945. Mahkamah
Konstitusi Berkedudukan di Ibokota Negara Republik Indonesia.
Susunan Mahkamaha Konstitusi berdasarkan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2011 Tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu, Mahkamah Konstitusi
mempunyai 9 (Sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan dengan
keputusan presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri dari seorang Ketua
merangkap sebagai anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7
(Tujuh) orang anggota hakim konstitusi. Ketua dipilih dari dan oleh Hakim
Konstitusi untuk masa jabatan selama 2 tahun 6 bulan terhitung sejak tanggal
pengangkatan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi terpilih, rapat
44
Mahkamah Konstitusi, Judicial Review, dan Walfare State Kumpulan Pemikiran I
dewa Gede Palguna, h.75-77
46
pemilihan ketua dan wakil ketua Mahkamah Konstitusi dipimpin oleh hakim
konstitusi yang tertua usiannya.
3. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi RI mempunyai 4 (empat) kewenangan
dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945.
1. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Memutus sengeta kewenangan lembaga negaa yang kewenangannya
diberikan oleh UUD 1945
3. Memutuskan pembubaran partai politik, dan
4. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.45
Kewajiabn Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas
pendapat DPR bahwa presiden dan/wakil presiden diduga:
1. Telah melanggar hukum berupa
a) Penghianatan terhadap negara
b) Korupsi
c) Penyuapan
d) Tindak pidana berat lainnya
2. Atau perbuatan tercela, dan/atau
3. Tidak lagi memenugi syarat sebagai presiden dan/wakil presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun
1945.
45
Sekretariatan Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, 2011.
47
BAB III
PRO-KONTRA TENTANG IZIN BAGI ANGGOTA DPR TERDUGA
PELAKU TINDAK PIDANA
A. Prinsip Pertanggungjawaban Pidanaa
a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Seseorang yang melakukan tindak pidana baru boleh dihukum apabila si
pelaku sanggup mempertanggungjawabkan perbuatan yang telah diperbuatnya,
masalah penanggungjawaban erat kaitannya dengan kesalahan, oleh karena
adanya asas pertanggungjawaban yang menyatakan dengan tegas "Tidak dipidana
tanpa ada kesalahan" untuk menentukan apakah seorang pelaku tindak pidana
dapat dimintai pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah
orang tersebut pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Secara
doktriner kesalahan diartikan sebagai keadaan pysikis yang tertentu pada orang
yang melakukan perbuatan tindak pidana dan adanya hubungan antara kesalahan
tersebut dengan perbuatan yang dilakukan dengan sedemikian rupa, sehingga
orang tersebut dapat dicela karena, melakukan perbuatan pidana.
Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan pelaku, jika melakukan
suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan oleh
undang-undang. Dilihat dari terjadinya perbuatan yang terlarang, ia akan diminta
pertanggungjawaban apabila perbutan tersebut melanggar hukum. Dilihat dari
sudut kemampuan bertanggungjawab maka hanya orang yang mampu
bertanggungjawab yang dapat diminta pertanggungjawaban.
48
a. Definisi Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada
pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang
terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak. Dalam Pasal 34 Naskah Rancangan KUHP Baru (1991/1992)
dirumuskan bahwa pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang
objektif pada tindak pidana berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.1 Secara
subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-syarat dalam undang-undang
(pidana) untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu. Sedangkan, syarat
untuk adanya pertanggungjawaban pidana atau dikenakannya suatu pidana, maka
harus ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan.
Pasal 27 konsep KUHP 1982/1983 mengatakan pertanggungjawaban
pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindakan berdasarkan
hukum yang berlaku, secara subjektif kepada pembuat yang memenuhi syarat-
syarat undang-undang yang dapat dikenai pidana karena perbuatannya itu.2Konsep
Rancangan KUHP Baru Tahun 2004/2005, di dalam Pasal 34 memberikan
definisi pertanggungjawaban pidana sebagai berikut:
“Pertanggungjawaban pidana ialah diteruskannya celaan yang objektif yang
ada pada tindak pidana dan secara subjektif kepada
1 Hamzah Hatrik, SH. MH. Asas Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana
Indonesia, Jakarta:Raja Grafindo, 1996, h. 11
2 Djoko Prakoso, SH. Pembaharuan Hukum Pidana Di Indonesia. Yogyakarta: Liberty,
1987. h. 75
49
seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena
perbuatannya itu.”
Di dalam penjelasannya dikemukakan: Tindak pidana tidak berdiri
sendiri, itu baru bermakna manakala terdapat pertanggungjawaban pidana. Ini
berarti setiap orang yang melakukan tindak pidana tidak dengan sendirinya harus
dipidana. Untuk dapat dipidana harus ada pertanggungjawaban pidana.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan diteruskannya celaan (vewijbaarheid)
yang objektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai tindak pidana yang
berlaku, dan secara subjektif kepada pembuat tindak pidana yang memenuhi
persyaratan untuk dapat dikenai pidana karena perbuatannya.3
Dalam bahasa Belanda, istilah pertanggungjawaban pidana menurut
Pompee terdapat padanan katanya, yaitu aansprakelijk, verantwoordelijk, dan
toerekenbaar.4 Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan
toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawaban
kepada orang. Biasa pengarang lain memakai istilah toerekeningsvatbaar. Pompee
keberatan atas pemakaian istilah yang terakhir, karena bukan orangnya tetapi
perbuatan yang toerekeningsvatbaar.
Kebijakan menetapkan suatu sistem pertanggungjawaban
pidana sebagai salah satu kebijakan kriminal merupakan persoalan
pemilihan dari berbagai alternatif. Dengan demikian, pemilihan dan
penetapan sistem pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari
3 Naskah Rancangan KUHP Baru Buku I dan II Tahun 2004/2005 (penjelasan).
4 DR. Andi Hamzah, SH. Asas Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1994, h.131
50
berbagai pertimbangan yang rasional dan bijaksana sesuai dengan keadaan dan
perkembangan masyarakat
Sehubungan dengan masalah tersebut di atas maka Romli Atmasasmita
menyatakan sebagai berikut :
“Berbicara tentang konsep liability atau “pertanggungjawaban”
dilihat dari segi falsafat hukum, seorang filosof besar dalam bidang hukum
pada abad ke-20, Roscou Pound, dalam An Introduction to the Philosophy
of Law, telah mengemukakan pendapatnya ”I …. Use the simple word
“liability” for the situation whereby one exact legally and other is legally
subjected to the exaction.5 Bertitik tolak pada rumusan tentang
“pertanggungjawaban” atau liability tersebut diatas,
Sejalan dengan semakin efektifnya perlindungan undang-undang terhadap
kepentingan masyarakat akan suatu kedamaian dan ketertiban, dan adanya
keyakinan bahwa “pembalasan” sebagai suatu alat penangkal, maka pembayaran
“ganti rugi” bergeser kedudukannya, semula sebagai suatu “hak istimewa”
kemudian menjadi suatu “kewajiban”. Ukuran “ganti rugi” tersebu tidak lagi
dari nilai suatu pembalasan yang harus “dibeli” melainkan dari sudut kerugian
atau penderitaan yang ditimbulkan oleh perbuatan pelaku yang bersangkutan.
b. Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
Pembicaraan mengenai pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan
dari pembicaraan mengenai perbuatan pidana. Orang tidak mungkin
dipertanggungjawabkan untuk dipidana, apabila ia tidak melakukan tindak
5Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cetakan Pertama
Jakarta: Yayasan LBH, 1989, h. 79
51
pidana. Para penulis sering menggambarkan bahwa dalam menjatuhkan pidana
unsur “ tindak pidana” dan “pertanggungjawaban pidana” harus dipenuhi.
Unsur tindak pidana dan kesalahan (kesengajaan) adalah unsur yang
sentral dalam hukum pidana. Unsur perbuatan pidana terletak dalam
lapangan objektif yang diikuti oleh unsur sifat melawan hukum, sedangkan unsur
pertanggungjawaban pidana merupakan unsur subjektif yang terdiri dari
kemampuan bertanggung jawab dan adanya kesalahan (kesengajaan
dan kealpaan).
1. Sistem Pertanggungjawaban Pidana dalam KUHP
tidak menyebutkan secara eksplisit sistem pertanggung jawaban
pidana yang dianut. Beberapa pasal KUHP sering menyebutkan kesalahan
berupa kesengajaan atau kealpaan.
Namunsayang, kedua istilah tersebut tidak dijelaskan lebih lanjut o
leh undang-undang tentang maknanya. Jadi, baik kesengajaan maupun kealpaan
tidak ada keterangan lebih lanjut dalam KUHP.
Dari rumusan yang tidak jelas itu, timbul pertanyaan, apakah pasal-
pasal tersebut sengaja dibuat begitu, dengan maksud ke arah
pertanggungjawaban terbatas (strict liability)? Kalau
benar, tanpa disadari sebenarnya KUHP kita juga menganut pengecualian
terhadap asas kesalahan, terutama terhadap pasal-pasal pelanggaran.
2. Sistem Pertanggungjawaban Pidana di Luar KUHP
52
Untuk mengetahui kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem
pertanggungjawaban pidana di luar KUHP, Seperti contoh dalam perundang-
undangan dibawah ini :
a. UU No. 7 Drt. Tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
b. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
c. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
d. UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-undang tersebut sengaja dipilih khusus yang menyimpang dari ketentuan
KUHP dan KUHAP yang bersifat umum,terutama mengenai subjek delik dan
pertanggungjawaban pidana, serta proses beracara di pengadilan dari masing-
masing undang-undang tersebut dapat dianalisis kecenderungan legislatif dalam
menetapkan sistem pertanggungjawaban pidana sesuai dengan perkembangan
sosial ekonomi Masyarakat yang berdampak pada perkembangan kejahatan. Baik
negara-negara civil law maupun common law, umumnya pertanggungjawaban
pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti dalam hukum pidana Indonesia,
sebagaimana civil law system lainnya undang-undang justru merumuskan
keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak
dipertanggungjawabkan.6 Perumusan pertanggungjawaban pidana secara negatif
dapat terlihat dari ketentuan Pasal 44, 48, 49, 50, dan 51 KUHP. Kesemuanya
merumuskan hal-hal yang dapat mengecualikan pembuat dari pengenaan pidana.
Perumusan negatif tersebut berhubungan dengan fungsi represif hukum
pidana. Dalam hal ini, dipertanggungjawabkannya seseorang dalam hukum pidana
6 Andi Zaenal Abidin, Hukum Pidana I, Jakarta:Sinar Grafika, 1983, hal 260
53
berarti dipidana. Dengan demikian, konsep pertanggungjawaban pidana
merupakan syarat-syarat yang diperlukan untuk mengenakan pidana terhadap
seorang pembuat tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana dapat dihubungkan dengan fungsi preventif
hukum pidana. Pada konsep tersebut harus terbuka kemungkinan untuk sedini
mungkin pembuat menyadari sepenuhnya konsekuensi hukum perbuatannya.
Dengan demikian, konsekuensi atas tindak pidana merupakan risiko yang sejak
awal dipahami oleh pembuat.7
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang
itu adalah tindak pidana yang dilakukannya. Maka, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu
mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk berekasi terhadap
pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan tertentu.
Dapat dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan
dijatuhi pidana jika ia tidak melakukan tindak pidana. Tetapi meskipun ia telah
melakukan tindak pidana, tidak pula selalu ia akan dijatuhi pidana. Pembuat suatu
tindak pidana akan hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam
melakukan tindak pidana tersebut. Kapankah orang dikatakan mempunyai
kesalahan, adalah hal yang merupakan masalah pertanggungjawaban pidana.
7 Dr. Choerul Huda, SH. MH. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada
Tiada Pertanggungjawaban Pidana tanpa Kesalahan, Jakarta:Kencana, 2006 hal. 62-63.
54
Lalu bagaimana mekanisme yang harus dilakukan dalam menghadapi
anggota DPR ketika ada anggota DPR yang terkena kasus pidana yang
memerlukan klarifikasi? Pasca putusan MK No 76/PUU-XII/2014 MK mengubah
frasa yang tertulis “Persetujuan Tertulis dari MKD menjadi Persetujuan Tertulis
dari Presiden” menurut penulis frasa tersebut bertentangan UUD 1945.
B. Prinsip Equality Before The Law
Negara Republik Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum.
Undang-undang Dasar 1945 menetapkan bahwa Negara Republik Indonesia itu
suatu negara hukum (rechstsaat) dibuktikan dari Ketentuan dalam pembukaan,
Batang tubuh, dan Penjelasan Undang-undang Dasar 1945. termasuk dalam Pasal
27 ayat ( 1 ) yang menyatakan bahwa : Segala warga Negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.8 Ini merupakan pengakuan dan
jaminan hak kesamaan semua warganegara dalam hukum dan pemerintahan.
Teori dan konsep equality before the law seperti yang dianut oleh Pasal 27
ayat ( 1 ) Amandemen Undang-undang Dasar 1945 tersebut menjadi dasar
perlindungan bagi warga Negara agar diperlakukan sama dihadapan hukum dan
pemerintahan. Hal ini dimaksud, bahwa semua orang diperlakukan sama di depan
hukum. Equality before the law dalam arti sederhananya bahwa semua orang
sama di depan hukum. Persamaan dihadapan hukum atau equality before the law
adalah salah satu asas terpenting dalam hukum modern. Asas ini menjadi salah
satu sendi doktrin Rule of Law yang juga menyebar pada negara-negara
8Yasir Arafat. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan perubahannya,
Permata Press. hal 26.
55
berkembang seperti Indonesia. Kalau dapat disebutkan asas equality before the
law ini merupakan salah satu manifestasi dari Negara hukum (rechtstaat)
sehingga harus adanya perlakuan sama bagi setiap orang di depan hukum
(gelijkheid van ieder voor de wet).9 Dengan demikian, elemen yang melekat
mengandung makna perlindungan sama di depan hukum (equal justice under the
law) dan mendapatkan keadilan yang sama di depan hukum. Perundang-undangan
Indonesia mengadopsi asas ini sejak masa kolonial lewat Burgelijke Wetboek
(KUHPerdata) dan Wetboek van Koophandel voor Indonesie (KUHDagang) pada
30 April 1847 melalui Stb. 1847 No. 23. Tapi pada masa kolonial itu, asas ini
tidak sepenuhnya diterapkan karena politik pluralisme hukum yang memberi
ruang berbeda bagi hukum Islam dan hukum adat disamping hukum kolonial.
Asas persamaan dihadapan hukum merupakan asas dimana terdapatnya
suatu kesetaraan dalam hukum pada setiap individu tanpa ada suatu pengecualian.
Asas persamaan dihadapan hukum itu bisa dijadikan sebagai standar untuk
mengafirmasi kelompok-kelompok marjinal atau kelompok minoritas. Namun
disisi lain, karena ketimpangan sumberdaya (kekuasaan, modal dan informasi)
asas tersebut sering didominasi oleh penguasa dan pemodal sebagai tameng untuk
melindungi aset dan kekuasaannya.
Asas equality before the law bergerak dalam payung hukum yang berlaku
umum (general) dan tunggal. Ketunggalan hukum itu menjadi satu wajah utuh di
antara dimensi sosial lain, misalnya terhadap ekonomi dan sosial. Persamaan
“hanya” di hadapan hukum seakan memberikan sinyal di dalamnya, bahwa secara
9 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2007), hal. 20.
56
sosial dan ekonomi orang boleh tidak mendapatkan persamaan. Perbedaan
perlakuan “persamaan” antara di dalam wilayah hukum, wilayah sosial dan
wilayah ekonomi itulah yang menjadikan asas equality before the law tergerus di
tengah dinamika sosial dan ekonomi.
Hukum acara pidana tidak mengenal adanya peraturan yang memberikan
perlakuan khusus kepada terdakwa sehingga pengadilan mengadili dengan tidak
membeda-bedakan orang sebagaimana ditentukan Pasal 5 ayat (1) Undang-
undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 jo.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan penjelasan umum angka 3 huruf (a).
Salah satu ciri penting dalam konsep Equality before the Law atau persamaan
dalam hukum selain dari supremasi hukum (Supremacy of Law) dan hak asasi
manusia (Human Rights). Namun disisi lain MK memutuskan Perkara No
76/PUU-XII/2014 yang berakibat tentang adanya pengkhususan untuk penyidakan
bagi anggota dewan yang terduga tindak pidana. Dengan alasan lain putusan
tersebut MK mengakui pentingnya menjaga wibawa dan kehormatan seorang
pejabat. Namun pengkhususan ini tidak boleh samapai pada terhambatnya proses
penegakan hukum. Terkait pengkhususan tersebut menurut Bivitri SUsanti ada
dua pendekatan yang relevan digunakan yaitu, Forum Prevelgiatum dan
Parlementery Previlages.10
C. Perdebatan Tentang Izin Bagi Anggota DPR Terduga Pelaku Tindak Pidana.
Perdebatan soal izin bagi anggota dewan atau DPR yang terduga
melakukan tindak pindana sudah mulai terdengar pada Putusan Mahkamah
10
Bivitri Susanti, Mahkamah Kehormatan Dewan Dalam Konteks Negara Hukum,
(Jakarta: Makalah, 9 Oktober 2014)
57
Konstitusi No. 73/PUU-IX/2011 yang dimana ada menurut mahkamah “Bahwa
berdasarkan putusan MK No.73/PUU-IX/2011 dengan adanya persyaratan
persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan,
akan memgambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung
mengintervensi sistem penegakan keadilan. Oleh karena itu kekuasaan kehakiman
yang meliputi keseluruhan sistem peradilan pidana, dalam tugas penegakan
hukumnya, aparat penegak hukum berdasarkan hukum harus bebas dari campur
tangan pihak kekuasaan negara, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi maupun intervensi yang datang dari pihak manapun”11
Dalam putusan tersebut sangatlah jelas sekali bahwa izin bagi anggota
DPR sangat tidak relevan pada saat sekarang. Karena menurtnya akan banyak
pertentangan oleh negara kita baik menurut Konsep negara hukum maupun dari
Undang-Undang Dasar 1945. Dari pada itu pada tahun 2014 seorang Advokat
yang bernama Supriyadi Widodo Eddyono memohonkan pengujian review
kembali Undang-undang No.17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD.
Berselang hampir 1 Tahun lamanya MK mengeluarkan putusan berupa Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-XII/2014 yang memutuskan Bahwa
Anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus terlebih dahulu harus
mendapatkan izin dari presiden, alasannya adalah karena menurut Mahkamah
memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan martabat pejabat
negara dan lembaga negara agar tidak diperlukan secara sembrono dan sewenang-
wenan. Namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan prinsip-
11
Putusan MK No.73/PUU-IX/2011
58
prinsip negara hukum dan asas peradilan pidana apalagi terhambatnya proses
hukum.12
Disinilah adanya perdebatan dkalangan aktivis dan akademisi yag
menilai bahwa putusan Mahkamah itu bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Tahun 1945. Penulis akan menjelaskan mengenai Pro-Kontro tetang
putusan MK tersebut.
a. Pro Terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014
1. Wahiduddin Adams (hakim MK) (di saat berlangsungnya persidangan dan
setelah persidangan)
Argumentasi beliau yaitu “ini bukanlah sesuatu yang baru. Pasalnya
pemberian persetujuan presiden ke pejabat yang sedang mengalami proses hukum
sebenernya sudah diatur dalam sejumlah UU, antara lain UU MK, UU BPK, dan
UU MA. Karena itu, Wahiduddin Adams mengatakan,MK menilai pemberian izin
pemanggilan anggota dewan dari MKD adalah bagian dari alat kelengkapan
dewan dan tidak lagi berhubungan langsung dengan sistem peradilan pidana.
Mahkamah juga berpendapat mahkamah juga berpendapat, pemeberian izin dari
MKD akan sarat kepentingan. Sebab, kata Wahiduddin Adams, anggota MKD
merupakan bagian dari anggota dewan itu sendiri.”
Selain itu. Kata wahiduddin adams, putusan ini sebagai bentuk fungsi dan
upaya membenarkan mekanisme check and balances antara legislatif dan
eksekutif. di sini juga kita tidak membicarakan mengenai persetujuan tertulis dari
presiden terhadap anggota dewan terduda melakukan tindak pidana melaikan juga
bangi anggota DPRD harus mendapatkan izin Mendagri.
12
Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014
59
2. Arief Hidayat.
Saat ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam
persidangan-persidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra
buruk di mata masyarakat, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap
parlemen. DPR itu di manapun adalah orang yang terhormat. Daripada itu
mestinya mestinya memang mereka adalah orang yang terhormat.13
b. Kontra Terhadap Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014
1. Jimly Asshiddiqie (mantan ketua MK)
Salah satu prinsip pokok negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan
tidak memihak (independent and impartial judiciary, yaitu menjalankan tugas
judicialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik oleh
kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk
menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke
dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari
lingkungan kekuasaan eksekutif maupun dari lingkungan kekuasaan legislatif
ataupun dari kalangan lingkungan masyarakat dan media massa. Dalam
menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun kecuali
hanya kebenaran keadilan. .14
2. Supriyadi Widodo Eddyono (Advokat)
Menurutnya bahwa putusan MK itu bertentangngan dengan UUD 1945
13
Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 26 14
Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h.10
60
a. Pasal tersebut bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan
hukum.
Pasal tersebut bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) “ segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintah dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Bahwa beliau menilai kepada rujukan putusan MK No. 73/PUU-
IX/2011 yang dimana menuru Mahkamah “ pejabat negara yang menjalankan
tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang
berbeda dari dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, namun pejabat
negarajuga merupakan warga negara”15
b. Pasal tersebut bertentangan dengan prinsip Non Diskriminasi.
Pasal tersebut bertentangan dengan pasal 28I ayat (2) “setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskrminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif”
Pembedaan kemudian penting dikemukakan sebab seandainya suatu
undang-undang mengingkari hak dari semua orang maka pengingkaran demikian
lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due process, namun, apabila suatu undang-
undang ternyata meniadakan suatu hak bagi beberapa orang tetapimemberikan hak
demikian kepada orang-orang lainnya maka keadaan tersebu dianggapsebagai
pelanggaran terhadap prinsip equal protection.16
3. Bivitri Susanti (saksi ahli)
15
Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h.15.
16 Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 17
61
Dalam pandangan ahli bahwa wibawa dan kehormatan sudah tidak layak
lagi dipergunakan dalam koteks negara hukum yang kontemporer, pengkhususan
untuk kelancaran pelaksaan tugas tersebut tetap memerlukan batasan agar tetap
berada dalam koridor negara hukum. dalam hal ini, ahli bersepakat dengan
pendapat mahkamah dalam putusan tersebut untuk membatasi pengkhususan
dengan peradilan pidana. Pengkhususan tersebut tidak boleh sampai berakibat
pada terhambatnya proses hukum. Ada dua prinsip negara hukum yang relevan
dalam kasus ini, pertama, adalah prinsip persamaan dihadapan hukum dan yang
kedua adalah prinsip independensi kekuasaan kehakiman. Jangan sampai prinsip
negara hukum ini tercorengkan oleh putusan Mahkamah nanti.
Pemberian izin tenyata bertentangan dengan prinsip kemandirian,
kekuasaan kehakiman, dan berakibat kepada terhambatnya proses hukum,
sehingga tidak tepat untuk digunakan sebagai bentuk kekhususkan yang
dimaksud.17
4. Komite Hak Asasi Manusia
Hak atas kesetaraan dihadapan pengadilan yang adil adalah sebuah elemen
yang sangat penting bagi perlindungan hak asasi manusia dan merupakan
pengangkat procedural untuk menjamin terjaminya rule of law. Dalam undang-
undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal 3 ayat (2)
menyatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
17
Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 19-20.
62
pengakuan hukum yang adil, serta mendapatkan kepastian hukum dan perlakuan
yang sama di hadapan hukum”18
5. Ruhut Sitompul (Anggota Komisi III DPR)
Menyesalkan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengharuskan penyidik
meminta izin terlebih dulu kepada presiden sebelum memeriksa anggota MPR,
DPR, dan DPD. Menurut dia, putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi
proses penegakan hukum maupun bagi parlemen. “(Putusan) itu akan membuat
anggota DPR makin sombong,”19
Ruhut mengatakan, MK seharusnya membuat
putusan yang menjunjung asas kesetaraan hukum. Namun, menurut dia, putusan
MK kali ini sangat mengistimewakan anggota Dewan sebagai pejabat negara.
“Ini tidak menjunjung asas equality before the law,” kata politisi Partai
Demokrat ini.
Ia mengaku tak yakin izin dari presiden bisa mudah diterbitkan saat
kepolisian, Komisi Pemberantasan Korupsi, atau kejaksaan hendak memeriksa
anggota DPR yang terjerat masalah hukum. Ruhut khawatir, ketentuan baru ini
akan dimanfaatkan oleh orang-orang dekat presiden untuk membantu anggota
DPR lolos dari permasalahan hukum yang menjeratnya.
“Masalahnya bukan pada presiden, tapi para pembantunya ini, apalagi
kalau pembantunya dari partai, ya sudahlah,”
18 Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014, h. 29.
19 Jurnal Hukum yang ditulis oleh Amalia pada Tanggal 25 september 2015 pada pukul
10:36 WIB
63
MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon atas uji materi Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Dalam amar putusan, hakim konstitusi Arief Hidayat memaparkan bahwa frasa
“persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam Pasal 245 ayat
(1) UU MD3 diubah menjadi “persetujuan tertulis dari presiden” sehingga
dimaknai pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota DPR, yang
diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas, harus
mendapat persetujuan presiden.
Pemohon perkara Nomor 76/PUU-XI/2014 adalah Supriyadi Widodo
Eddyono sebagai pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan
Peradilan Pidana sebagai pemohon II. Pada kesempatan yang sama, permohonan
dengan nomor perkara 83/PUU-XII/2014 juga mengajukan permohonan yang
sama, yaitu terkait aturan penyidikan anggota DPR pada Pasal 245 UU MD3.
Pemohon permohonan tersebut adalah Febi Yonesta dan Rizal.
“Frasa persetujuan tertulis pada Pasal 245 ayat 1 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MD3 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai persetujuan presiden,”
kata Arief saat membacakan amar putusan di Gedung MK, Jakarta.
Pasal 245 UU MD3 mengatur tentang perlindungan terhadap anggota DPR
berupa pemberian izin oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR selama 30 hari
apabila penegak hukum hendak memanggil anggota DPR untuk dimintai
keterangan terkait suatu tindak pidana.Putusan MK ini tidak hanya berlaku bagi
64
anggota DPR, tetapi juga pada anggota MPR dan DPD. Adapun untuk anggota
DPRD provinsi, izin pemanggilan harus mendapat persetujuan menteri dalam
negeri, sementara pemanggilan anggot DPRD kabupaten/kota harus mendapat izin
gubernur.
65
BAB IV
ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 76/PUU-XII/2014
A. Duduk Perkara
Pada tanggal 5 Agustus 2014 pemohon yang bernama Supriyadi Widodo
Eddyono yang berprofesi sebagai advokat dan beralamat di Jalan Teratai XV Q-
R, RT/RW 003/02, Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan yang disebut
sebagai pemohon I dan Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan Pidana
yang disebut sebagai Pemohon II dalam hal ini memberikan surat kuasanya pada
tanggal 4 Agustus 2014 kepada Ifdhal Kasim S.H., Erasmus A. T. Napitulu S.H
Wahyudi Djafar, S.H., Ruly Novian, S.H., Robert Sidauruk S.H., Adi Candro
Wibowo S.H., dan Alfeus Jebabun S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada
kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang beralamat di jalan
Cempaka Nomor 4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa. mengajukan permohonan untuk pengujian Undang-Undang No.
17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD atau yang disebut sebagai Undang-
Undang MD3 terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesai Tahun 1945.
Permohonan yang diterima kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia pada Tanggal 13 Agustus 2014 dengan registrasi perkara
Nomor 76/PUU-XXI/2014. Permohonan tersebut telah diperbaiki dan diterima di
kepaniteraan Mahkamah Kosntitusi Republik Indonesia pada tanggal 10
September 2014.
Pemohon memohonkan kepada Mahkamah Konstitusi untuk melakukan
pengujian pasal 245 Undang-undang tentang MPR, DPR, dan DPD terhadap
66
Undang-undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bunyi selengkapnya
pada pas 245 sebagai berikut ayat (1) pemanggilan dan permintaan keterangan
untuk melakukan penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan
tindak pidana harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan ayat (2) Dalam persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama
30 (tiga puluh) hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan
permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan, ayat (3) ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak
berlaku apabila anggota DPR: a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana: b.
disangka melakukan tindakan pidana kejahatan yang diancam pidana mati atau
pidana seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusian dan
keamanan negara berdasarkan bukti pemulaan yang cukup; atau c. disangka
melakukan tindak pidana khusus.
Menurut pemohon yang domohonkan tersebut bertentangan dengan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut;
pada pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum. pada pasal 24 ayat
(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, pada pasal
27 ayat (1) segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan intu tidak ada
kecualinya, pada pasal 28D ayat (1) setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama
67
dihadapan hukum, pada pasal 28I ayat (2) setiap orang berhak bebas dar perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.
Akibat pemberlakuan pasal 245 ayat (1) tentang MPR, DPR, dan DPD,
menurut pemohon berdasarkan penalaran yang wajar berpotensi akan terjadinya
kerugian yang sebagaimana dikatakan oleh International Coruption Wacth atau
disebut dengan ICW jika ada salah satu dari anggota DPR yang melakukan tindak
pindan maka harus terlebih dahulu izin kepada MKD akan terjadinya pertama,
adanya sifat diskriminatif antara anggota DPR dan Warga Biasa, pada dasarnya
sifat yang diskriminatif bertentang dengan pasal 28I UUD 1945. Kedua, adanya
penghambatan dari kekuasaan peradilan karena proses hukum justru tergantung
kepada izin presiden. Padahal pada putusan MK sebelumnta yaitu Putusan
Mahkamah Kosntitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 disebutkan, syarat persetujuan
tertulis dari presiden untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan akan
menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung
mengintervensi sistem penegakan keadilan padahal pada pasal 24 ayat (1) UUD
1945 jelaslah sangatlah bertentangan. Ketiga, putusan Mahkamah Kosntitusi
menimbulkan ketidakpastian hukum dan menghambat proses hukum. hal ini salah
satunya dikarenakan tidak ada batasab jangka waktu permhonan izin tersebut.
Artinya, jika presiden RI tidka mengeluarkan izin tertulis, proses hukum terhadap
anggota legislatif yang sudah menjadi tersangka tidak bisa dilanjutkan kembali.
Keempat, putusan Mahkamah Kosntitusi ini akan menimbulkan ketegangan dan
kegaduhan politik baru. Sebagai pengembang fungsi eksekutif, pemberlakuan
68
norma ini justru dapat membuat presiden RI menggunakan wewenangannya
tersebut untuk melindungi koalisinya dan menyerang oposisiya.1
Putusan ini banyak sekali kritikan dari kalangan aktivis dan akademisi di
bidang hukum. karena putusan tersebut dianggap suatu kemunduran pada era
kepemimpinan Mahfud MD, Mahkamah Konstitusi sebenrnya sudah
menghilangkan peran presiden dalam pemerikasaan kepadal daerah. Sehingga
bagi para penegak hukum tidak perlu lagi melakukan perizinan terlebih dahulu
kepada presiden dalam memeriksa anggota dewan. ICJR juga selaku pemohon
dalam gugatan pasal 245 UU MD3 ini menilai putusan Mahkamah Konstitusi bisa
menimbulkan Konflik kepentingan. Dia menilai presiden mempunyai hubungan
dengan DPR sehingga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum. “konflik
pemberian izin sangan berpotensi terjadi konflik kepentingan. Terlebih apabila
izin tersebut dapat dimaknai sebagai perlindungan terhadap segala tindakan dari
pejabat negara dalah hal ini adalah anggota DPR dan dalam tahapan peradilan
yang tidak jelas.
Menimbang bahwa setelah Mahkamah Konstitusi memeriksa dengan
seksama permohonan pemohon, keterangan saksi pemohon serta bukti-bukti
surat/tulisan yang diajukan pemohon, kesimpulan pemohon dan keterangan
pemerintah sebagaimana termuat pada bagian duduk perkara Mahkama Konstitusi
berpendapat sebagai berikut: a. Menimbang bahwa Pasal 245 UU MD3
bertentangan dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan Kehakiman yang
merdeka (Independent of Judiciary).
1 Kompas tanggal 27-09-2015.
69
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Pasal 24 ayat (1) UUD Negara
Republik Indonesia menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan. Berdasarkan hal ini sudah jelas bahwa Kekuasaan
Kehakiman yang meliputi seluruh proses sistem peradilan pidana, dalam tugas
penegakan hukumnya, aparat penegak hukum berdasarkan hukum harus bebas
dari campur tangan pihak kekuasaan negara, dan kebebasan dari paksaan,
direktiva atau rekomendasi maupun intervensi yang dating dari pihak manapun.
Dari UU yang saat ini berlaku di Indonesia, ijin untuk melakukan proses
hukum dating dari lembaga lain diluar pejabat nega (eksekuti: Presiden dan Jaksa
Agung) maupun dalam struktur yang lebih tinggi untuk menjaga prinsip check
and balances yang merupakan salah satu unsur negara hukum, hal ini yang
berbeda dengan anggota DPR dimana ijin harus melalui Mahkaman Kehormatan
Dewan DPR yang bagi pemohon tidak tepat sesuai dengan rezim hukum yang ada.
Berdasarkan alasan tersebut, nyata-nyata ketentuan dalam Pasal 245 UUD
MD3 bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, asas-asas peradilan
pidana dalam kemerdekaan kehakiman, dan secara langsung berpotensi berakibat
pada terhambatnya proses hukum.
b. Menimbang Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip persamaan
dihadapan hukum.
Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas jabatannya sebagai
anggota DPR harus diberlakukan sama di hadapan hukum, bahwa ketentuan
70
dalam PAsal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota
DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang tepat.
c. Menimbang Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan Prinsip non
diskriminasi.
Proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya dapat
dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan, merupakan dalam
kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung perlakuan berbeda yang
bertentangan dengan prinsip equal protecition sebagaimana yang dijamin oleh
Pasal 27 ayat (1) dan PAsal 28 D ayat (3), UUD 1945 yaitu persamaan atau
kesederajatan di hadapan umum dan pemerintahan.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka Mahkamah
Kosntitusi mengabukan permohona pemohon dalam pengujian pemohon pada
pasal 245 Undang-undang tentang MPR, DPR, dan DPD Tambahan lembaran
Negara Nomor 5568 dan penjelasannya bertentangan dengan Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Dengan demikian, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 76/PUU-
XII/2014 telah menjamin hak-hak individu warga negara Indonesia yang telah
memiliki hak konstitusionalnya yang tertuang dalam pasal 28C ayat (2), pasal
28D (2), pasal 28D ayat (3), dan pasal 29E ayat (1) Undang-undang Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif, membangun masyarakat, bangsa dan
negaramnya.
71
B. Pertimbangan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
1. Kewenangan Mahkamah.
Berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-undang Daar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011,
salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945.
Karena permohonan para Pemohon mengenai pengujian materiin UU No. 17
Tahun 2014 tentang MD3 terhadapt UUD 1945 maka Mahkamah berwenang
mengadili permohonan a quo.
2. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon.
Memperhatikan dalil-dalil permohonan Pemohon I, hal yang dipersoalkan
Pemohon I adalah adanya kerugian Pemohon I sebagai advokat dan pembayar
pajak (tax payer) yang melakukan advokasi, pendampingan, bantuan hukum bagi
kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana. Menurut Mahkamah,
kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon I tidaklah bersifat spesifik dan
tidak dapat dipastikan akan terjadi, dan juga Pemohon I tidak membuktikan
bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon I sebagai kerugian atau
potensi kerugian atas hak konstitusional Pemohon I sebagai advokat tidak lagi
atau tidak akan terjadi. Serta tidak adanya hubungan kausalitas pengujian
konstitusionalistasnya, dan tidak menerangkan pula hubungan kausalitas antara
Undang-undang yang diuji dengan kerugian konstitusional Pemohon I sebagai
advokat. Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon I tidak memenuhi
72
syarat serta tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo.
Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat peduli dengan isu
pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia,
yang bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests
advocacy) yang didalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo,
sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal
standing) sebagai pemohon dalam permohonan a quo.
3. Pokok Permohonan.
Bahwa pokok permohonan Pemohon II adalah mengenai pengujian
konstitusionalitas Pasal 245 UU MD3 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1),
PAsal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Menimbang
bahwa anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum berdasarkan Psal 20
ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Sebagai
pejabat negara pemegang kekuasaan pembetuk Undang-undang dalam
pelaksanaan kekuaannya masing-masing anggota DPR mempunyai hak
interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak mengajukan pertanyaan,
menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas. Pelaksanaan fungsi hak
konstitusional anggota DPR tersebut juga harusdiimbangi dengan adanya
perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR
tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh diskriminasi pada saat menjalankan
fungsi dan kewenangan konstitusionalnya sepanjang dilakukan dengan itikad baik
dan penuh tanggung jawab.
73
Menurut Mahkamah adanya persyaratan persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan dalam hal pemanggilan dan permintaan
keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPRbertentangan dengan prinsip
persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Menurut Mahkamah, adanya proses pengaturan persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan kepada anggota DPR yang sedang dilakukan
penyidikan menurut Mahkamah adalah tidak tepat karena Mahkamah Kehormatan
Dewan meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya adalah alat kelengkapan
DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung
dalam sistem peradilan pidana.
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang memadaidan bersifat khusus
bagi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi dan hak konstitusionalnya adalah
dengan diperlukannya persetujuan atau izin tertulis dari presiden dalam hal
anggota DPR tersebut dipanggil dan dimintai keterangan karena diduga
melakukan tindak pidana. Hal ini sebagai salah satu fungi dan upaya penegakan
mekanisme checks and balances antara pemegang kekuasaan legislatif dengan
pemegang kekuasaan eksekutif, sehingga Mahkamah berpendapat bahwa izin
tertulis a quo seharusnya berasalah dari presiden dan bukan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan.
C. Analisis Putusan MK No. 76/PUU-XII/2014 dan Akibat Hukumnya Ditinjau
dari Negara Hukum
Undang-undang tentang MD3 pasca putusan Mahkamah Konstitusi
merupakan kebijakan politik sebagai arah kebijakan hukum (legal policy) yang
74
harus dijadikan pedoman untuk membangun atau menegakkan sistem hukum yang
diinginkan oleh suatu negara. Tinggi rendahnya tingkat kesadaran hukum akan
dapat dilihat dari derajat kepatuhan yang terwujud di dalam pola perilaku manusia
yang nyata. Jika hukum ditaati maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa
hukum tersebut penting dan hukum telah berjalan efektif.2 Pembentukan hukum
ini harus dibimbing oleh suatu rasa keadilan dengan prinsip kesamaan (equaty),
yang kemudian melahirkan keadilan distributive dan keadilan korektif (remedial).
Keadilan distributive inilah yang mengacu kepada pembagian barang dan jasa
kepada setiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, dan
perlakuan yang sama terhadap kesederajatan dihadapan hukum (Equality Before
the Law) 3
يأمركم أن تؤدوا إن الل األماوات إلى أهلها وإذا حكمتم بيه الىاس أن تحكمىا بالعدل إن الل
كان سميعا بصيرا ا يعظكم به إن الل وعم
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di
antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah
memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah
Maha mendengar lagi Maha melihat”. (Q.S. An-nisa: 58 )
Maksud ayat diatas adalah keadilan mengandung pengertian perimbangan
atau keadaan seimbang. Dalam hal ini, menyatakan bahwa keadilan masyarakat
mengharuskan kita untuk memperhatikan dengan pertimbangan yang tepat kepada
perimbangan berbagai keperluan yang ada. Mengenai keadilan, pembentukan
hukum dalam semua peraturan perundang-undangan harus sesuai dengan desain
2 R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Bandung: Armico, 1999), Cetakan Ketiga, h.
51
3 Ishaq, Dasar-dasar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.193.
75
dan tujuan negara yang kemudian melahirkan sebuah sistem hukum. tujuan negara
adalah menegakkan hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya. Dalam
pengertian kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan yang merupakan
penjelmaan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan
tertinggi atau kedaulatan.4
Bahwa negara menciptakan hukum berarti manusia dalam kapasitasnya
sebagai organ negara menciptakan hukum sesuai dengan norma-norma legal yang
mengatur penciptaan hukum.5Hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan
sebagai alkat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of socal engineering).6
Hukum dapat berperan di depan untuk memimpin perubahan dalam
kehidupan masyarakat dengan memperlancar pergaulan masyarakat, mewujudkan
perdamaian dan ketertiban serta mewujudkan keadilan bagi seluruh masyarakat.
Dlam pelaksanaan untuk pembaharuan dapat berjalan dengan baik, hendaknya
perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti
pemikiran Sociological jurisprudence, yaitu hukum yang baik adalah hukum yang
hidup di masyarakat. Dasar-dasar dari sistem hukum biasanya diletakan di dalam
undang-undang dasar atau konstitusi. Pembentukannya undang-undang
hendaknya dapat melhirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan
bagi semua idividu. Perudnang-undangan itu hendaknya dapat memberikan
4 Salim, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2010)
Cetakan Kesatu, h.132
5 Hals Kelsen, Dasar-dasar Hukum Normatif, (Bandung: Nusa Media, 2009), h. 374.
6 R. Otje Salman, Ikhtisar Filsafat Hukum, . . . . . . . . . h. 52.
76
kebahagiaan terbesar bagi masyarakat, agarundang-undang yang dihasilkan nanti
berfaedah atau sesuai dengan daya guna (efektif) 7
Judicial review dan Constitusional review dapat dipandang sebagai salah
satu instrument untuk menjamin ketepatan arah itu atau sebagai pengawal
ketetapan isi dama pembuatan hukum.8 Akan tetapi, undang-undang hanya
mencerminkan kehendak politik DPR yang ditentukan berdasarkan prinsip Rule
by Majority tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai dan norma keadilan yang
lebih tinggi derajatnya yang terkandung dalam konstitusi.
Implikasi hukum secara substantive dari putusan tersebut adalah mengenai
“izin tertulis dari presiden” dari Mahkamah Konstitusi tentang presentase tiket
keadilan. Permasalahannya yaitu, apakah suatu putusan Mahkamah mampu
mencerminkan keadilan, dalam arti sesuai dengan heterogenitas masyarakat
Indonesia.9 Karena ada yang beranggapan bahwa sekali hakim konstitusi memutus
maka ratusan masyarakat Indonesia harus tunduk dan patuh.10
Atas tindakan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menyebabkan adanya
implikasi teerhadap segi penegakkan hak konstitusional warga negara, implikasi
pada keharusan adanya izin dari presiden untuk memeriksa anggota dewan terkait
pidana umum, dan implikasi terhadap indenpendensi peradilan.
7 Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009),
Cetakan Ketiga, h.17.
8 Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Pustaka
LP3ES Indonesia, anggota Ikapi, 2006), h.125.
9 Samsul Wahidin, Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2014), h. 200.
10 Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Pogresif, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas,
2010), h. 164.
77
Mahkamah memutuskan putusan Nomor 76/PUU-XII/2014 karena
menurut alasan salah satu Hakim Mahkamah Arief Hidayat adalah Mahkamah
Konstitusi menilai persetujuan dari presiden terse.ut penting karena anggota DPR
berbeda dengan masyarakat umumnya, karena memiliki resiko yang sesuai
dengan tugas, pokok, dan fungsinya. Arief menambahkan privilege rights seperti
ini juga terjadi di negara lain .11
Implikasi pada keharusan adanya izin dari presiden untuk memeriksa
anggota dewan terkait pidana umum sebagaimana diketahui, dalam amar putusan
MK bernomor 76/PUU-XII/2014 tersebut seorang penegak hukum diharuskan
meminta izin dari presiden saat hendak memeriksa atau meminta keterangan dari
anggota dewan, sepanjang dalam kerangka pidana umum (KUHP), misalnya
pelecehan seksual, pembunuhan, penganiayaan, dan sebagainya. Sehingga,
menurut Ketua MK Arief Hidayat, pidana yang bersifat khusus seperti Korupsi,
Narkotika dan Psikotropika, dan Terorisme tetap tidak membutuhkan izin dari
presiden.“Kecuali dalam hal Operasi Tangkap Tangan (OTT), terorisme, korupsi,
putusan itu tidak diberlakukan,”12
Namun demikian, Mantan Ketua MK Jimly Assidique menilai bahwa
putusan MK tersebut akan membuat birokrasi pemerintahan tambah rumit. Jimly
menilai hal tersebut akan membuat sistem birokrasi di Indonesia akan menjadi
panjang karena Presiden mesti menyiapkan standar (tata cara prosedur) pemberian
izin agar bisa dieksekusi dengan cepat oleh penegak hukum.“Kita harus
11
Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014.
78
menghormati putusan pengadilan. Tapi, ini jadi ribet urusannya, menambah
birokrasi politik baru yang tidak perlu,”
Padahal pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011
Makamah berpendapat” dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden
untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan
proses peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan
keadilan.Memang pada dasarnya perizinan sudah dikenal di beberapa undang-
undang, namun izin untuk melakukan proses hukum datangnya dari lembaga lain
diluar pejabat negara.
Implikasi terhadap indenpendensi peradilan, pada UUD 1945 Pasal 24 ayat
(1) menyatakan sangat jelas bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan. Menurut Ketua MK Jimly Assidique menilai bahwa salah satu prinsip
pokok negara hukum adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak
(independent and impartial judiciary, yaitu dalam menjalankan judisianya, hakim
tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga baik karena kepentingan jabatan
(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).13
Dari beberapa segi implikasi yang telah penulis paparkan, dapat diketahui
beberapa faktor yang memepngaruhi putusan Mahkamah Konstitusi:
Faktor yuridis dan sosiologis, faktor pertimbangan hakim dari landasan
yuridis international, menurut analisa penulis yaitu kembali lagi kepada prinsip
13
Putusan MK NO 76/PUU-XXI/2014.
79
utama dari konsep negara hukum ialah perlindungan hak asasi manusia yang
tertuang pada UUD 1945, tentu negara memiliki andil untuk membentuk aturan
bagi masyarakatnya. Maka tak lain faktor utama yang mendorong putusan
Mahkamah Konstitusi ialah konstitusi sebagai teks utama dalam pertimbangan
hakim yakni untuk menegakkan hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945.
Kosntitusi sebagai dasar utama karena normnya yang hidup dan berjiwa
sebagaimana menut Montesqiue yang pernah mengemukakan.14
“Hakim-hakim rakyat tidak lain hanya corong yang mengucapkan teks undang-
undang. Jika teks itu tidak berjiwa dan manusiawi, para hakim tidak boleh
mengubahnya, baik tentang kekuatannya, maupun tentang ketaatannya”
Menilik hak tersebut hal tersbut, maka tindakan Mahkamah adalah
tindakan untuk menjadikan undang-undang berjiwa dan bernyawa kembali sesuai
dengan nilai-nilai dasar dalam UUD 1945.
Faktor sosiologis, pergolakan dinamika yang berkembang di tengah
masyarakat tentu menjadi salah satu landasan atau pertimbangan Mahkamah
dalam memutuskan permohonan judicial review ini. Gelombang pergolakan
politik yang kerap mempengaruhi kualitas dari suatu lemabaga negara adalah hal
yang disoroti. Putusan Mahkamah Konstitusi diputus yakni pada tanggal 22
september 2015. Atas pergolakan yang terjadi tersebut, akhirnya masyarakat
seperti disadarkan bahwa putusan yang telah dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi telah merugikan masyarakat hal ini berdasarkan dengan diskriminasi
14
Achmad Ali, Sosiologis Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2012), h.41.
80
warga negara biasa dengan warga negara yang duduk di lembaga pemerintahan
khususnya anggota dewan.
Allah Swt Berfirman:
Artinya: Aku mohon perlindungan kepada Allah daripada menahan seorang,
kecuali orang yang kami ketemukan harta benda kami padanya, jika kami berbuat
demikian, maka benar-benarlah kami orang-orang yang zalim".(Q.S: Yusuf: 79)
Dari ayat di atas tesebut mengandung bahwa ketika perbuatan sudah
sepatutnya untuk ditahan, dibatasi, dan dicegah, agar sesuatu pengaruhnya dapat
memberikan kemanfaatan dan kemashlahatan bagi seluruh masyarakat. Dan
bahwa setiap tindakan yang dilakukan seharusnya dapat dibatasi dan ditahan
ketika undang-undang sudah dengan jelas memberikan pembagian kekuasaan
antar lembaga negara.
Adapun faktor sosiologis yang telah diuraikan di atas memanglah hal yang
berpengaruh atas putusan Mahkamah oleh karena sosialisasi mengenai
keberlakuan atau tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi adalah hal yang
patut di perhatikan. Jika tindak lanjut belum terpenuhi, setidaknya sosialisasi
putusan tersebut haruslah menyentuh keseluruh lapisan agar tidak terjadi
kontradiksi atar penegak hukum yang akan berhadapan langsung dengan kasus di
lapangan.
81
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan dari bab-bab terdahulu dan untuk mengakhiri
pembahasan dalam skripsi ini, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan perkara
nomor 76/PUU-XII/2014 menurut penulis hanya berdasarkan pertimbangan
mengenai hak-hak konstitusional warga negara yang dijamin hak
konstitusionalnya dalam UUD 1945 yaitu dalam menjamin hak asasi manusia
yang dimiliki warga negara, tidak berdasarkan pertimbangan mengenai alasan
atau latar belakang pasal 245 ayat (1) yang dianggap bertentangan dengan
UUD 1945. Sehingga dengan adanya putusan tersebut akan lebih
mempertanyakan mengenai keindependensian kekuasaan kehakiman yang
merdeka dan tidak memihak kepada siapapun dan kesetaraan di hadapan
hukum. Seharusnya Mahkamah Kosntitusi memberikan pendapat dalam
putusannya apa yang harus dilakukan oleh pembuat undang-undang dalam
menjadikan anggota dewan untuk tidak membuat tindakan yang melawan
hukum, karena anggota dewan adalah panutan bagi rakyatnya itu sendiri.
2. Mengenai faktor yang mempengaruhi pasca putusan Mahkamah Kosntitusi
Nomor 76/PUU-XII/2014 yakni dalam faktor yurudis dan sosiologis. Faktor
yurudis yaitu bertentangan dengan Negara Hukum. putusan yang telah
dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi telah merugikan masyarakat hal ini
berdasarkan dengan diskriminasi warga negara biasa dengan warga negara
82
yang duduk di lembaga pemerintahan khususnya anggota dewan. Mengenai
perizinan presiden terhadap anggota dewan terduga tindak pidana harus
dipertanyakan kembali karena adanya putusan 76/PUU-XII/2014. Sehingga
diberikannya kelonggaran hukum bagi anggota dewan yang terduga tindak
pidana.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah di paparkan, melalui penelitian ini,
penulis mengajukan beberapan saran konstruktif sebagai berikut:
1. Seharusnya seluruh kelembagaan negara Indonesia menjunjung tinggi
prinsip check an balances dengan melaksanakan perintah undang-undang
yang memuat kewenangan masing-masing lembaga negara. prinsip
tersebut haruslah dipertegas, dan harus lebih efektif. Agar tidak terjadi
hilangnya penegasan terhadap check and balances antar lembaga negara.
2. Seharusnya Mahkamah Konstitusi lebih mementingkan hak konstitusional
warga negara, ketimbang dengan hak konstitusional anggota dewan.
Karena demikian akan tercapainya keadilan bagi seluruh warga negara.
83
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Al-Qur’an al-Karim
A Legowo, T. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat di Indonesia: Studi dan
Analisis Sebelum dan Sedudah Perubahan UUD 1945. FORMAPPI:
Jakarta.
_________ dkk. 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat Di Indonesia Studi Dan
Analisis Sebelum dan Setelah Perubahan UUD 1945. FORMAPPI dan
AusAID: Jakarta.
Alder, John, dkk. 1989. Constitutional and Administratif Law. Macmilan:
London.
Ali, Achmad. 2012. Sosiologis Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan,
Prenada Media Group: Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly. 2004. Konstitusi & Konstitualisme Indonesia. Cetakan
Pertama, Jakarta: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
_________ 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. PT Raja Grafindo
Persada: Jakarta,
_________ 1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah
Telaah Perbandingan Konstitus Berbagai Negara. UI Press : Jakarta..
Azhary, 1995. Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Tentang
Unsur-unsurnya. UI Press: Jakarta.
Bisri, Ilhami, 2011. Sistem Hukum Indonesia Prinsip-prinsip & Implementasi
Hukum di Indonesia. Rajawali Press: Jakarta.
Burhan Bungin, M. 2007. Penelitian Kualitatfi. Kencana Prenada Media Group:
Jakarta.
Davidson, Scoot, terj. A. Hadyana Pudjaatmaka, 2008. Hak Asasi Manusia, PT
Pustaka Utama Grafity: Jakarta.
Daud busroh, Abu. 1987. Intisari Hukum Tatanegara Perbandingan Konstitusi
Sembilan Negara. Bina Askara: Jakarta.
FORMAPPI, 2005. Lembaga Perwakilan Rakyat: Studi dan Analisi Sebelum dan
Sesudah perubahan UUD NRI 1945. FORMAPPI: Jakarta.
84
Hood Phillips, O, dkk. 2001. Constitutional and Administrative Law, Sweet &
Maxwell: London.
Huda, Ni’matul. 2011. Hukum Tata Negara, Rajawali Press: Jakarta.
________ 2014. Perkembangan Hukum Tata Negara Perdebatan dan gagasan
Penyempurnaan, FH UII Press: Yogyakarta.
Ibrahim, Johnny. 2008. Teori dan Metodelogi Penelitian Hukum Normatif.
Bayumedia Publishing: Malang.
Ihza Mahendra, Yusril. 1996. Dinamika Tata Negara Indonesia. Gema Insani
Press: Jakarta
Ishaq, 2009. Dasar-dasar Ilmu Hukum. Sinar Grafika : Jakarta.
Jennings, S. 1959. The Law and The Contitution. University of London Press:
London.
Kansil C.S.T, dkk, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Rineka Cpta:
Jakarta.
________ dkk, 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Rineka Cpta:
Jakarta.
Kelsen, Hals, 2009. Dasar-dasar Hukum Normatif. Nusa Media: Bandung.
Kusnardi, Moh, dkk. 2000. Ilmu Negara. Gaya Media Pratama: Jakarta. Alder,
John, dkk. 1989. Constitutional and Administratif Law. Macmilan: London.
M Hadjon, Phillipus. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Binia
Ilmu: Surabaya.
Mahfud MD, Moh, 2006. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.
Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta.
________ Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. 2011,
PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Mahmud Marzuki, Peter. 2013. Penilitian Hukum, cet. VIII. Kencana Prenada
Media Group. Jakarta.
Manan, Abdul. 2009. Aspek-aspek Pengubah Hukum. Kencana Prenada Media:
Jakarta.
85
Manan Bagir, Manan. 2006. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara
Hukum. Gaya Media Pratama: Jakarta.
Manan. Bagir dan Susi Dwi Harijanti.2014. Memahami Konstitusi “makna dan
aktualitas”, PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Marshall, G, 1971, Constitutional Theory. Oxford University Press: Clarendon.
Mirian, Budiardjo, 1998. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Dian Rakyat: Jakarta.
N Marbun, B, 1992. DPR-RI Pertumbuhan dan Cara Kerjanya. PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Napitupulu, Paimin. 2007. Menuju Pemerintahan Perwakilan. PT Alumni:
Bandung.
Nothohamidjojo, O. 1970. Makna Negara Hukum. Badan Penerbit Kristen:
Jakarta.
Otje Salman, R. 1999. Ikhtisar Filsafat Hukum. Armico: Bandung.
Prodjohamidjojo, Martim. 2004. Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara
dan UU PTUN. Ghalia Indonesia: Bogor.
Rahardjo, Satjipto. 1980. Hukum dan masyarakat, Angkasa: Bandung.
________ 2010. Penegakan Hukum Pogresif. Penerbit Buku Kompas: Jakarta.
Salang, Sebastian, dkk, 2009. Menghindari Jeratan Hukum bagi Anggota Dewan.
Forum Sahabat: Jakarta.
Salim, 2010. Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum. Rajawali Press: Jakarta.
Soehino. 1998. Ilmu Negara. Liberty: Yogyakarta.
Soekanto, Soejono. 1992. Pengantar Penelitian Huku., Pustaka Pelajar: Jakarta.
Soemantri Sri, dkk. 1993. Ketatanegaraan Indonesia Dalam Kehidupan Politik
Indonesia: 30 Tahun Kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Pustaka
Sinar Harahap: Jakarta.
Sunny, Ismail. 1985. Pembagian Kekuasaan Negara. Aksara Baru: Jakarta.
Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi suatu studi Adjudikasi
Konstitusional sebagai mekanisme Penyelesaian sengketa Normatif,.
Pradnya Paramita: Jakarta.
86
T Molan, Michael. 2003. Constitutional Law: Machinery of Government, 4th
editioan, London: Old Bailey Press.
Tahir Azhary, M. 1992. Negara Hukum: Suatu Studi Tetang Prinsip-Prinsipnya,
Bulan Bintang: Jakarta.
Tamrin, Abu. dan Nur Habibi Ihya, Hukum Tata Negara, 2010. LEMBAGA
PENELITIAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA: Jakarta.
Tobing Jakop Tobing. 2008. Membangun Jalan Demokrasi, Konstitusi Press:
Jakarta.
Triwulan Tutik, Titik. 2011. Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Amandemen UUD 1945. Kencana: Jakarta.
V Dicey, A. 1982. dalam, dalam bukunya Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu
Politik. Gramedia: Jakarta.
________ 1959. Introduction to study of the Law of the Constitution. Tenth
Edition. Macmilan Education LTD: London.
Wahjoyo, Padmo. 1997. Ilmu Negara Suatu Sistemetik dan Penjelasan 14 Teori
Ilmu Negara dari jellinek. Melaty Study Group: Jakarta.
Wahidin, Samsul. 2014. Distribusi Kekuasaan Negara Indonesia. Pustaka Pelajar:
. Yogyakarta.
Yamin, Muh. 1982. Proklamasi dan Kosntitusi Republik Indonesia: Ghalia
Indonesia: Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indinesia Tahun 1945
Undang-undang MPR, DPR, dan DPD
Undang-Undang Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Putusan Nomor 73/XII-PUU/2014
Putusan Nomor 76/XII-PUU/2014.
Sumber Internet.
Erdy Nasrul, “ DPR Bentuk Mahkamah Kehormatan Dewan,” Artikel diakses
apda 10 November 2014 dari http://m.republika .
87
co.id?berita/nasiuonal/politik/14/08/29/nm2h4q-dpr-bentuk-mahkamah-
kehormatan-dewan.
International Corruption Watch, “kejanggalan putusan MK soal pemeriksaan,”
artikel ini diakses
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/09/25/nv8876354-soal
pemeriksaan-dpr-keputusan-mk-timbulkan-kerancuan-hukum.
Kedudukan Mahkamah Konstitusi,c.n, http://www.mahkamah konstitusi.go.id
/index.php?page.website.KedudukanMK diunduh pada 1 september 2015 pukul
19.57.
Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.
Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh
pada 1 September 2015 pukul 12.45 wib.
Profil Sejarah Berdurunya Lembaga Mahkamah Konstitusi, c.n, http://www.
Mahkamah konstitusi.go.id/index.php?page.website.ProfilSejarahMK diunduh
pada 1 September 2015 pukul 12.45 WIB.
Sumber Jurnal
Mahkamah Konstitusi, Judical Review, dan Welfare State Kumpulan Pemikiran I
Dewa Gede Palguna, Sekretariat Jendral dan Kepaninteraan Mahkamah
Konstitusi. 2008
Sekretariatan Jendral dan kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,
Jakarta, 2011.
SALINAN
PUTUSAN Nomor 76/PUU-XII/2014
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan
oleh:
1. Nama : Supriyadi Widodo Eddyono
Pekerjaan : Advokat
Alamat : Jalan Teratai XV Q-6, RT/RW 003/002, Tanjung Barat,
Jagakarsa, Jakarta Selatan
Sebagai -------------------------------------------------------------------------------Pemohon I;
2. Nama : Perkumpulan Masyarakat Pembaharuan Peradilan
Pidana
Alamat : Jalan Cempaka Nomor 4, Poltangan, Pasar Minggu,
Jakarta Selatan
Sebagai ------------------------------------------------------------------------------ Pemohon II;
Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus bertanggal 4 Agustus 2014
memberi kuasa kepada Ifdhal Kasim, S.H., Erasmus A. T. Napitupulu, S.H., Wahyudi Djafar, S.H. , Rully Novian, S.H., Robert Sidauruk, S.H., Adi Condro Bawono, S.H., dan Alfeus Jebabun, S.H., Advokat dan Konsultan Hukum pada
Kantor Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), yang beralamat di Jalan
Cempaka Nomor 4 Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bertindak untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
Selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------- para Pemohon;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
2
[1.2] Membaca permohonan para Pemohon;
Mendengar keterangan para Pemohon;
Mendengar keterangan Presiden;
Mendengar dan membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat;
Mendengar keterangan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
Mendengar keterangan Pihak Terkait Partai Nasional Demokrat;
Mendengar dan membaca keterangan Pihak Terkait Fahri Hamzah,
Muhammad Nasir Djamil, H. Sa’duddin dan Hadi Mulyadi;
Memeriksa bukti-bukti para Pemohon;
Mendengar keterangan saksi dan ahli para Pemohon dan Pihak Terkait;
Membaca kesimpulan para Pemohon dan Pihak Terkait Fahri Hamzah,
Muhammad Nasir Djamil, H, Sa’duddin dan Hadi Mulyadi.
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
dengan surat permohonan bertanggal 5 Agustus 2014, yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah)
pada tanggal 5 Agustus 2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan
Nomor 175/PAN.MK/2014, dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi pada tanggal 13 Agustus 2014 dengan Nomor 76/PUU-XII/2014, yang
telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 10
September 2014, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut:
A. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1. Bahwa amandemen UUD 1945, salah satunya telah menghasilkan perubahan
terhadap Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan,“Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”;
2. Bahwa selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
3
Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum”;
3. Bahwa berdasarkan ketentuan di atas, maka MK berwenang melakukan
pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yang juga didasarkan pada
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan: “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: (a) menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”;
4. Bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai lembaga pengawal konstitusi
(the guardian of constitution).Artinya, apabila terdapat Undang-Undang yang
berisi atau terbentuk bertentangan dengan konstitusi (inconstitutional), maka
Mahkamah Konstitusi dapat menganulirnya dengan membatalkan keberadaan
Undang-Undang tersebut secara menyeluruh atau pun perpasalnya;
5. Bahwa sebagai pengawal konstitusi, Mahkamah Konstitusi juga berwenang
memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal Undang-
Undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi. Tafsir Mahkamah
Konstitusi terhadap konstitusionalitas pasal-pasal Undang-Undang tersebut
merupakan tafsir satu-satunya (the sole interpreter of constitution) yang
memiliki kekuatan hukum. Oleh karena itu, terhadap pasal-pasal yang memiliki
makna ambigu, tidak jelas, dan/atau multi tafsir dapat pula dimintakan
penafsirannya kepada Mahkamah Konstitusi;
6. Bahwa ketentuan Pasal 245 UU MD3 menurut para Pemohon telah
menciptakan suatu ketidakpastian hukum, melahirkan penafsiran yang ambigu,
tidak jelas, dan multi tafsir, serta mengekang pemenuhan hak-hak
konstitusional warga negara, khususnya para Pemohon, sehingga merugikan
hak-hak konstitusional para Pemohon;
7. Bahwa oleh karena itu melalui permohonan ini para Pemohon mengajukan
pengujian Pasal 245 UU MD3 terhadap UUD 1945;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
4
8. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, karena permohonan pengujian ini
merupakan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945,
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, maka
Mahkamah Konstitusi berwenang untuk memeriksa dan mengadili
permohonan pengujian materiil undang-undang ini;
B. Kedudukan Hukum Para Pemohon
9. Bahwa pengakuan hak setiap warga negara Indonesia untuk mengajukan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945 merupakan satu indikator perkembangan ketatanegaraan yang positif,
yang merefleksikan adanya kemajuan bagi penguatan prinsip-prinsip negara
hukum;
10. Bahwa Mahkamah Konstitusi, berfungsi antara lain sebagai “guardian” dari
“constitutional rights” setiap warga negara Republik Indonesia. Mahkamah
Konstitusi merupakan badan yudisial yang bertugas menjaga hak asasi
manusia sebagai hak konstitusional dan hak hukum setiap warga negara.
Dengan kesadaran inilah Para Pemohon kemudian memutuskan untuk
mengajukan permohonan uji materiil Pasal 245 UU MD3 terhadap UUD 1945;
11. Bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi juncto Pasal 3
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman
Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang menyatakan bahwa:
Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c. badan hukum publik atau privat;
d. lembaga negara.
12. Bahwa di dalam penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8
Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi dinyatakan bahwa ”Yang dimaksud dengan hak konstitusional
adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
5
13. Bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005
dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang hadir berikutnya, Mahkamah
Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian konstitusional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK, yakni sebagai
berikut:
a. harus ada hak dan/atau kewenangan konstitutional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan
oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik
dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau
kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan
pengujian; dan
e. ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi.
14. Bahwa selain lima syarat untuk menjadi Pemohon dalam perkara pengujian
undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, yang ditentukan di
dalamPutusan Mahkamah Konstitusi Nomor 022/PUU-XII/2014, disebutkan
bahwa “warga masyarakat pembayar pajak (tax payers) dipandang memiliki
kepentingan sesuai dengan Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi. Hal ini sesuai dengan adagium “no taxation without
participation” dan sebaliknya “no participation without tax”. Ditegaskan MK
“setiap warga negara pembayar pajak mempunyai hak konstitusional untuk
mempersoalkan setiap Undang-Undang”; Pemohon Perorangan Warga Negara Indonesia 15. Bahwa Pemohon I merupakan individu warga negara Indonesia (Bukti P-3),
yang bekerja sebagai advokat Hak asasi manusia. disamping itu Pemohon I
selama ini juga telah aktif memperjuangkan dan mengadvokasi, khususnya
dalam setiap pengambilan kebijakan negara yang terkait dengan isu sistem
peradilan pidana dan reformasi hukum pidana;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
6
16. Bahwa sebagai advokat Pemohon I juga melakukan pendampingan dan
bantuan hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana,
dalam hal ini terkait dengan sistem dan prosedur peradilan pidana khususnya
dalam prosedur penyidikan dan penuntutan tindak pidana. Bahwa dengan
adanya ketentuan pasal a quo berpotensi berakibat pada terhambatnya kerja-
kerja pemohon dalam melakukan advokasi, pendampingan dan bantuan
hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana untuk
mendapatkan prosedur keadilan dengan cepat. Dengan adanya Pasal a quo
maka potensi advokasi, pendampingan dan bantuan hukum yang dilakukan
oleh Pemohon akan terhambat dan merugikan pembelaan Pemohon I sebagai
advokat, dengan ini maka hak konstitusional pemohon I terutama terkait
dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan kehakiman yang merdeka
(Independent of judiciary),prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan
hukum.Oleh karena itulah eksistensi pasal a quo nyata-nyata atau setidak-
tidaknya potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon I; 17. Bahwa selain itu, Pemohon I, juga merupakan pembayar pajak (tax payer)
yang dibuktikan dengan fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) (vide Bukti P-3). Para Pemohon sebagai tax payer menyatakan kepentingan
konstitusionalnya telah terlanggar dengan adanya ketentuan pasal a quo,
dimana proses penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
dalam sistem peradilan pidana, yang salah satu pembiayaannya berasal dari
APBN yang salah satu sumbernya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh
warga negara Indonesia berpotensi akan mengalami keterlambatan;
18. Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon memiliki kedudukan
hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
Pemohon Badan Hukum Privat 19. Bahwa Pemohon II adalah Pemohon yang merupakan Badan Hukum Privat,
yang memiliki legal standing dan menggunakan haknya untuk mengajukan
permohonan ini dengan menggunakan prosedur organization standing (legal
standing);
20. Bahwa Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) sebagai
Pemohon pengujian Undang-Undang karena terdapat keterkaitan sebab akibat
(causal verband) dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
Tentang MPR, DPR, DPD, DPRD Terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
7
Republik Indonesia Tahun 1945. sehingga menyebabkan hak konstitusional
Pemohon dirugikan; 21. Bahwa doktrin organization standing atau legal standing merupakan sebuah
prosedur beracara yang tidak hanya dikenal dalam doktrin akan tetapi juga
telah dianut dalam berbagai peraturan perundangan di Indonesia, seperti UU
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan;
22. Bahwa pada praktik peradilan di Indonesia, termasuk dalam proses peradilan di
Mahkamah Konstitusi legal standing telah diterima dan diakui menjadi
mekanisme dalam upaya pencarian keadilan, yang mana dapat dibuktikan
antara lain:
a. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022/PUU-I/2003
tentang Pengujian UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan;
b. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 060/PUU-II/2004 tentang
Pengujian UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air terhadap
UUD 1945;
c. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 73/PUU-IX/2011 tentang
Pengujian UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945;
d. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-X/2012 tentang
Pengujian UU Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara terhadap
UUD 1945
23. Bahwa organisasi dapat bertindak mewakili kepentingan publik/umum adalah
organisasi yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan maupun yurisprudensi, yaitu: a. berbentuk
badan hukum atau yayasan; b. dalam anggaran dasar organisasi yang
bersangkutan menyebutkan dengan tegas mengenai tujuan didirikannya
organisasi tersebut; b. telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran
dasarnya.
24. Bahwa Pemohon II adalah Organisasi Non Pemerintah atau Lembaga
Swadaya Masyarakat yang tumbuh dan berkembang secara swadaya, atas
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
8
kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang didirikan atas dasar
kepedulian untuk dapat mendorong transparansi dan akuntabilitas
penyelenggaraan negara, turut berpartisipasi dalam pemberantarasan korupsi,
memajukan perlindungan hak asasi manusia, serta menumbuhkembangkan
partisipasi dan insiatif masyarakatdalam pembangunan;
25. Bahwa Pemohon II yang selama ini concern dalam isu pembaharuan hukum
pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia sehingga
keberadaan pasal-pasal a quo telah menciptakan situasi ketidakpastian hukum
dalam penegakan hukum di Indonesia, sehingga berakibat pada terlanggarnya
hak-hak konstitusional setiap warga negara di Indonesia. Bahwa situasi
tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya potensial akan menggagalkan
usaha dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon II sebagai lembaga yang
memiliki visi pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan.
Terutama dalam isu reformasi prosedur penyidikan dan penuntutan di
Indonesia. Dengan ini maka hak konstitusional pemohon II terutama terkait
dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan kehakiman yang merdeka
(Independent of judiciary),prinsip kepastian hukum dan persamaan di depan
hukum.Oleh karena itulah eksistensi pasal a quo nyata-nyata atau setidak-
tidaknya potensial telah merugikan hak-hak konstitusional Pemohon II; 26. Bahwa berdasarkan uraian di atas, jelas keseluruhan Para Pemohon telah
memenuhi kualitas maupun kapasitas sebagai Pemohon pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana ditentukan Pasal 51 huruf c UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah
diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan UU Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maupun Peraturan Mahkamah
Konstitusi dan sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi yang memberikan
penjelasan mengenai syarat-syarat untuk menjadi pemohon pengujian Undang-
Undang terhadap UUD 1945. Oleh karenanya, jelas pula keseluruhan Para
Pemohon memiliki hak dan kepentingan hukum mewakili kepentingan publik
untuk mengajukan permohonan pengujian materiil terhadap UUD 1945;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
9
C. Pokok Perkara Ruang Lingkup Pasal yang Diuji Ketentuan
Rumusan
Pasal 245 UU MD3
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang didugamelakukan tindak pidana
harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak diberikan olehMahkamah Kehormatan Dewan
paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya
permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk
penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan
keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang
cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Dasar Konstitusional yang Digunakan Ketentuan UUD 1945
Materi
Pasal 1 ayat (3) Negara Indonesia adalah negara hukum.
Pasal 24 ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 27 ayat (1)
Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan
tidak ada kecualinya.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
10
Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hokum.
Pasal 28I ayat (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas
dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan
yang bersifat diskriminatif itu.
Alasan-alasan Permohonan Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. C.1. Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip Negara Hukum dan Kekuasaan kehakiman yang merdeka (Independent of judiciary)
27. Bahwa Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum”;
28. Bahwa menurut Jimly Asshiddiqie, Salah satu prinsip pokok negara hukum
adalah adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and
impartial judiciary), yaitu dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak
boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik)
maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan
kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses
pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan
kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan
media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak
kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan;
29. Bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia menyatakan bahwa
Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
30. Bahwa independensi kekuasaan kehakiman yang diamanatkan Pasal 24 ayat
(1) UUD Negara Republik Indonesia juga dimanifestasikan ke dalam Pasal 3
ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, yang menegaskan “Segala campur tangan dalam urusan peradilan
oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.”;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
11
31. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VIII/2010 juncto Putusan
MK Nomor 73/PUU-IX/2011, bahwa tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-
hal yang berkaitan dengan penegakan hukum dan keadilan dalam
penyelenggaraan sistem peradilan pidana, sehingga sifat independensi
peradilan meliputi keseluruhan proses sistem peradilan pidanayang dimulai
sejak penyelidikan, penyidikan, penuntutan, proses persidangan, sampai
penjatuhan dan pelaksanaan hukuman; (bukti P-4) dan (bukti P-5) 32. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, Mahkamah
berpendapat “Dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan, akan menghambat percepatan proses
peradilan dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakan
keadilan. Mahkamah mempertimbangkan pendapat tertulis dari KPK yang
menyatakan bahwa persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden telah
menghambat keseluruhan proses peradilan. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 jelas
menjamin bahwa sistem peradilan di Indonesia harus bebas dari intervensi”;
33. Bahwa oleh karena itu, maka Kekuasaan Kehakiman yang meliputi
keseluruhan sistem peradilan pidana, dalam tugas penegakan hukumnya,
aparat penegak hukum berdasarkan hukum harus bebas dari campur tangan
pihak kekuasaan Negara, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau
rekomendasi maupun intervensi yang datang dari pihak manapun;
34. Bahwa dalam putusan aquo mahkamah juga berpendapat “Menurut Mahkamah
memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan martabat
pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan secara sembrono
dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan
dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi
sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum”; (vide bukti P-5)
35. Bahwa merujuk kembali pandangan mahkamah perlakuan menjaga martabat
pejabat negara tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum
dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya
proses hukum, perlu dilihat apa-apa saja dalam pengaturan Pasal 245 UU MD3
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas
peradilan pidana; (vide bukti P-5)
36. Bahwa pemberian ijin kepada proses hukum terhadap pejabat negara memang
telah dikenal di beberapa Undang-Undang:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
12
Nomor Pejabat Undang-Undang Keterangan
1. Kepala Daerah UU Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan
Daerah
izin presiden untuk tahap
penyelidikan dan penyidikan suatu
tindak pidana tidak dibutuhkan
kecuali untuk tindakan Penahanan
2. Hakim Mahkamah
Konstitusi
UU Nomor 8 Tahun 2011
Tentang Perubahan Atas
UU Nomor 24 Tahun 2003
Tentang Mahkamah
Konstitusi
Hakim konstitusi hanya dapat dikenai
tindakan kepolisian atas perintah
Jaksa Agung setelah mendapat
persetujuan tertulis dari Presiden
3. Hakim Mahkamah
Agung
UU Nomor 14 Tahun 1985
tentang Mahkamah Agung
juncto UU Nomor 5 Tahun
2004 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah
Agung
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan
Hakim Anggota Mahkamah Agung
dapat ditangkap atau ditahan hanya
atas perintah Jaksa Agung setelah
mendapat persetujuan Presiden
4. Hakim Pengadilan
UU Nomor 2 Tahun 1986
tentang Peradilan Umum
juncto UU Nomor 8 Tahun
2004 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 2 Tahun
1984 tentang Peradilan
Umum; UU Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara juncto
UU Nomor 9 Tahun 2004
tentang Perubahan Atas
UU Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata
Usaha Negara; dan UU
Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama
Penangkapan dan penahanan
terhadap hakim dilakukan atas
perintah Jaksa Agung setelah
mendapatpersetujuan dari Ketua
Mahkamah Agung
5. Pimpinan dan
Anggota Badan
Pemeriksa
UU Nomor 15 Tahun 2006
tentang Badan Pemeriksa
Keuangan
Tindakan kepolisian terhadap
anggota BPK guna pemeriksaan
suatu perkara dilakukan atas perintah
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
13
Keuangan Jaksa Agung setelah terlebih dahulu
mendapat persetujuan tertulis
Presiden
6. Pimpinan dan
Anggota Dewan
Gubernur Bank
Indonesia
UU Nomor 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia
juncto UU Nomor 3 Tahun
2004 tentang Perubahan
Atas UU Nomor 23 Tahun
1999 tentang Bank
Indonesia
pemanggilan, permintaan keterangan
dan penyidikan terhadap anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia
harus mendapat persetujuan tertulis
dari Presiden
7. Jaksa UU Nomor 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan
Republik Indonesia
apabila dalam melaksanakan tugas
jaksa diduga melakukan tindak
pidana, maka pemanggilan,
pemeriksaan, penggeledahan,
penangkapan dan penahanan
terhadap jaksa yang bersangkutan
hanya dapat dilakukan atas izin
Jaksa Agung
37. Bahwa dari UU yang saat ini berlaku di Indonesia, ijin untuk melakukan proses
hukum datang dari lembaga lain diluar pejabat negara (eksekutif: Presiden dan
jaksa Agung) maupun dalam struktur yang lebih tinggi untuk menjaga prinsip
check and balances yang merupakan salah satu unsur dari negara hukum, hal
ini yang berbeda dengan anggota DPR dimana ijin harus melalui Mahkamah
Kehormatan Dewan DPR yang bagi pemohon tidak tepat sesuai dengan rezim
hukum yang ada;
38. Bahwa berdasarkan Pasal 119 ayat (2) UU MD3 tujuan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini menunjukkan
bahwa Dewan Kehormatan Dewan merupakan lembaga etik yang merupakan
alat kelengkapan DPR sendiri yang tidak memiliki hubungan langsung pada
sistem peradilan pidana, sehingga dapat berjalan sendiri-sendiri. Struktur
Mahkamah Kehormatan Dewan juga bukan merupakan struktur yang lebih
tinggi. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan diisi pula oleh anggota DPR
sendiri untuk melakukan penyelidikan dan verivikasi atas pengaduan terhadap
anggota dewan, hal ini merupakan bentuk konflik kepentingan dari anggota
dewan dan bertentangan dengan prinsip negara hukum;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
14
39. Bahwa frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang didugamelakukan tindak pidana” dalam Pasal 245
UU MD3 menunjukkan bahwa ijin tertulis diberikan pada tahapan penyidikan
kepada anggota DPR yang sudah ditetapkan menjadi tersangka, dimana
berdasarkan KUHAP, penetapan seseorang menjadi tersangka didasarkan
pada adanya 2 alat bukti yang cukup, sehingga pemangilan tersebut didasari
alasan yang kuat untuk melakukan pemanggilan;
40. Bahwa berdasarkan pendapat mahkamah dalam putusan aquo, yang
menyebutkan “Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun
mungkin mengganggu kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan
daerah, namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan
tugasnya. Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan
disidik masih dapat melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa” sehingga
pemanggilan terhadap pejabat negara termasuk anggota DPR dalam proses
penyidkan terlebih sebagai tersangka tidak akan mengganggu kinerja dari
anggota DPR, sehingga anggota DPR tidak membutuhkan perlindungan yang
berlebih dalam proses penyidikan suatu kasus tindak pidana; (vide bukti P-5)
41. Bahwa berdasarkan pendapat mahkamah dalam putusan a quo, juga
menyebutkan “Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan
dan penyidikan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat
proses hukum, yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana,
dan berbiaya ringan”, bahwa terhadap anggota DPR, persyaratan ijin oleh
Dewan Kehormatan Dewan juga berpotensi menghambat proses hukum, yang
seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan
sehingga bertentangan dengan asas peradilan pidana; (vide bukti P-5)
42. Bahwa dengan adanya tenggat waktu 30 hari dalam UU aquo,maka ketentuan
tersebut akan memperlambat proses peradilan karena prosedur birokrasi
perijinan yang bertambah dan rumit, serta akan menambah biaya dari APBN
karena secara otomatis mengikuti rangkaian prosedur yang lebih lama;
43. Bahwa tenggat waktu 30 hari dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3, anggota DPR
yangdiduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya
penghapusan jejaktindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti, seluruh
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
15
hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi yang juga
menghambat proses peradilan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR
44. Bahwa berdasarkan alasan tersebut nyata-nyata ketentuan dalam Pasal 245
UU MD3 bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, asas-asas
peradilan pidana dalam kemerdekaan kehakiman, dan secara langsung
berpotensi berakibat pada terhambatnya proses hukum.”
C.2. Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip persamaan dihadapan Hukum 45. Bahwa Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Segala Warga
Negarabersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya";
46. Bahwa Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 berbunyi, "Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum ";
47. Bahwa merujuk pandangan Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 73/PUU-
IX/2011 halaman 73 menyebutkan bahwa, “menurut Mahkamah, pejabat
negara dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara
yang diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat
negara, namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek
hukum terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di
hadapan hukum”; (vide bukti P-5) 48. Bahwa hal yang sama juga dapat dilihat dalamPutusan MK Nomor 49/PUU-
X/2012 halaman 47 mengenai proses penegakan hukum terhadap notaris
tanpa harus meminta persetujuan Majelis Pengawas Daerah, yang
menguraikan bahwa “perlakuan yang berbeda dapat dibenarkan sepanjang
perlakuan itu berkaitan dengan tindakan dalam lingkup kode etik yaitu berkaitan
dengan sikap, tingkah laku, dan perbuatan notaris dalam melaksanakan tugas
yang berhubungan dengan moralitas. Menurut Mahkamah perlakuan yang
berbeda terhadap jabatan notaris tersebut diatur dandiberikan perlindungan
dalam Kode Etik Notaris, sedangkan notaris selaku warga negara dalam proses
penegakan hukum pada semua tahapan harus diberlakukan sama di hadapan
hukum sebagaimana dimaksud dan dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal
28D ayat (3), UUD 1945.”; (bukti P – 6)
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
16
49. Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas jabatannya sebagai
anggota DPR harus diberlakukan sama dihadapan hukum, bahwa ketentuan
dalam Pasal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota
DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang
tepat;
50. Bahwa dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap dan tindakan
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti keiistimewaan
proses diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative
actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu
atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga
mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju;
51. Bahwa keistimewaan dalam proses peradilan atau affirmative actionsdalam
prinsip kesetaraan harusnya diberikan kepada subjek yang tepat dalam hal
subjek hukum adalahkelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu, anak atau kelompok rentan, ataupun dalam hal
perlindungan saksi dan korban serta praktik restoratif justice; (vide bukti P-4 dan P-5)
52. Bahwa dalam putusan aquo, Mahkamah berpendapat bahwa “Menurut
Mahkamah memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat dan
martabat pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan secara
sembrono dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan
pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum”; (vide bukti P-4 dan P-5)
53. Bahwa ketentuan dalam Pasal 245 UU MD3 bukanlah keistimewaan untuk
menjaga harkat dan martabat pejabat negara, melainkan bentuk pembedaan
terhadap subjek hukum lainnya. Pembedaan ini juga menjadi hambatan
terhadap korban untuk mencapai keadilan, sesuai dengan adegium Justice
Delayed is Justice Denied, makaterhambatnya proses hukum secara langsung
berpotensi menghambat penagakan hukum untuk mencapat keadilan, terutama
terhadap korban;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
17
C.3 Pasal 245 UU MD3 bertentangan dengan prinsip non diskriminasi 54. Bahwa Pasal 28I ayat (2) berbunyi: Setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atasdasar apa pun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifatdiskriminatifitu;
55. Bahwa berdasarkan Putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005 halaman 41 tafsir
persoalan diskriminasi dalam suatu undang-undang dapat dilihat dari persepktif
bagaimana konstitusi merumuskan perlindungan terhadap suatu hak
konstitusional, dalam arti apakah hak tersebut oleh konstitusi perlindungannya
ditempatkan dalam rangka due process ataukan dalam rangka perlindungan
yang sama (equal protection). Pembedaan demikian penting dikemukakan
sebab seandainya suatu undang-undang mengingkari hak dari semua orang
maka pengingkaran demikian lebih tepat untuk dinilai dalam rangka due
process, namun, apabila suatu Undang-Undang ternyata meniadakan suatu
hak bagi beberapa orang tetapi memberikan hak demikian kepada orang-orang
lainya maka keadaan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap
prinsip equal protection. (bukti P - 7) 56. Bahwa proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya
dapat dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan,
merupakan dalam kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung
perlakukan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protecition
sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3), UUD
1945 yaitu persamaan atau kesederajatan di hadapan umum dan
pemerintahan.
57. Pasal 7 The Universal Declaration of HumanRightsberbunyi: "Semua orang
sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa
diskriminasi Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap
bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap
segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini";
58. Pasal 2 ayat (1) ICCPR berbunyi: "Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini
berjanji untuk menghormati danmenjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan
ini bagi semua orang yangberada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah
hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, wama kulit, jenis kelamin,
bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial,
kekayaan, kelahiran atau status Iainnya";
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
18
59. Pasal 26 ICCPR berbunyi: "Semua orang berkedudukan sama di hadapan
hukum dan berhak atas perlindungan hukumyang sama tanpa diskriminasi
apapun Dalam hal ini hukum harus melarang diskriminasi apapun, dan
menjamin perlindungan yang sama dan efektif bagi semua orang terhadap
diskriminasi atas dasar apapun seperti ras, wama, jenis kelamin, bahasa,
agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial kekayaan,
kelahiran atau status lain";
60. Bahwa berdasarkan instrumen hukum yang ada, Indonesia telah mengakui
adanya prinsip non diskriminasi terhadap warga negaranya, bahwa
berdasarkan prinsip negara hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia
menjadi suatu hal yang mutlak, dimana hak untuk tidak didiskriminasi dan hak
untuk diperlakukan setara adalah prinsip utama hak asasi manusia;
61. Bahwa Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga
terdapat perlakukan yang berbeda untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang
berhadapan dengan proses hukum. Di mana pihak penyidik harus memperoleh
ijin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan penyidikan
yang diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda tersebut tidak
diberlakukan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara langsung
melakukan penyidikan. Hal inilah yang mengakibatkan diskriminasi atas dasar
status jabatan publik, dan bertentangan dengan prinsip non diskriminasi;
D. Petitum Berdasarkan alasan-alasan hukum dan konstitusional di atas, maka para Pemohon
dalam hal ini memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia untuk dapat memutus hal-hal sebagai berikut:
1. Mengabulkan seluruh permohonan pengujian Undang-Undang yang
diajukan oleh para Pemohon untuk seluruhnya;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD bertentangan dengan UUD 1945;
3. Menyatakan ketentuan Pasal 245 UU Nomor 17 tentang MPR, DPR, DPD,
DPRD tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atau apabila Majelis Mahkamah Konstitusi berpendapat lain mohon putusan yang
seadil-adilnya (ex aeque et bono).
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
19
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, para Pemohon
telah mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai
dengan bukti P-7, sebagai berikut:
1 Bukti P-1 Fotokopi UU MD 3;
2 Bukti P-2 Fotokopi UUD 1945;
3 Bukti P-3 Fotokopi Identitas para Pemohon;
4 Bukti P-4 Fotokopi Putusan MK Nomor 6-13-20/PUU-VII/2011;
5 Bukti P-5 Fotokopi Putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011;
6 Bukti P-6 Fotokopi Putusan MK Nomor 49/PUU-X/2012;
7 Bukti P-7 Fotokopi Putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005.
Selain itu, Pemohon juga mengajukan tiga orang ahli yaitu Bivitri Susanti, Roichatul Aswidah, S.Ip., M.A. dan Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M, yang telah didengar keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal
9 Oktober 2014 dan 29 Oktober 2014 serta memberikan keterangan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 4 November 2014, yang
menerangkan sebagai berikut: 1. Bivitri Susanti Bahwa kekhususan dalam menjalani proses hukum untuk pejabat-pejabat publik
tertentu dapat diterima dalam konteks negara hukum karena ada tugas-tugas
yang harus mereka jalankan. Namun Kekhususan tersebut harus dilihat semata-
mata untuk alasan pelaksanaan tugas, bukan untuk alasan lainnya karena itu
konsep-konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang
dikembangkan.
Adanya konsep parliamentary privileges dan forum privilegiatum yang
dikembangkan untuk alasan tersebut, ahli tidak sependapat dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 73 Tahun 2011 yang mengakui pentingnya
menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara sebagai “lambang
dari kepemimpinan pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi
pemerintahan, yaitu presiden” dalam memahami pemberian perlakuan khusus
bagi kepala daerah.
Bahwa dalam pandangan ahli argumentasi wibawa dan kehormatan sudah tidak
layak lagi dipergunakan dalam konteks negara hukum yang kontemporer.
Pengkhususan untuk kalancaran pelaksanaan tugas tersebut tetap memerlukan
batasan agar tetap berada dalam koridor negara hukum. Dalam hal ini, ahli
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
20
bersepakat dengan pendapat Mahkamah dalam putusan tersebut untuk
membatasi pengkhususan dengan asas peradilan pidana. Pengkhususan
tersebut tidak boleh sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.
Bahwa batasan terhadap pengkhususan juga akan dibahas pada bagian ini
karena batasan itu diperlukan untuk tetap menempatkan pengkhususan anggota
dewan dalam koridor negara hukum.
Bahwa prinsip negara hukum dan lembaga perwakilan. Ada dua prinsip negara
hukum yang relevan dibahas dalam kasus ini, pertama adalah prinsip
persamaan di hadapan hukum dan yang kedua adalah prinsip independensi
kekuasaan kehakiman. Untuk prinsip persamaan di hadapan hukum, sudah
dituangkan dengan jelas dalam konstitusi Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat
(1). Prinsip-prinsip negara hukum, pada dasarnya merupakan hasil refleksi atas
praktik dan pemikiran mengenai bagaimana seharusnya tatanan masyarakat
diatur oleh hukum. Prinsip-prinsip itu merupakan patokan yang sifatnya umum
dan selagi diterapkan ada banyak aspek dalam praktik yang membutuhkan
pemikiran dan rasional yang memadai, salah satunya adalah pengkhususan
dalam proses hukum untuk anggota dewan.
Ada 2 pendekatan yang relevan untuk didiskusikan untuk membahas putusan
ini, pertama adalah prosedur khusus untuk pejabat negara untuk dapat diproses
hukum secara cepat yang lazim dikenal sebagai forum priveligiatum dan kedua
adalah hak-hak khusus legeslatori yang sering kali disebut dengan parlementeri
priveliges. Pertama tentang forum preveligiatum yaitu forum khusus yang
diberikan untuk pejabat negara tertentu agar dapat menjalankan proses hukum
secara cepat sehingga prosesnya hanya ada di satu tingkatan dan langsung
bersifat final dan mengikat, dari segi proses persis dengan yang dilaksanakan
oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin integritas proses cepat tersebut
forum ini biasanya dilakukan di pengadilan tertinggi Mahkamah Agung dan
proses penyidikan dan penuntutannya pun dilakukan secara khusus, Indonesia
mengenalnya dari masa penjajahan Belanda. Konstitusi Belanda Pasal 119
berbunyi diterjemahkan dalam bahasa Inggris, “Present and former member of
the parliament, minister, and state secretaries shall be tried by supreme court for
offenses committed while in office. Proceeding shall be instituted by royal
decree or by resolution of the second chamber”. Forum ini di Belanda
dilaksanakan sejak 1893 sebenarnya forum ini sudah dibatasi hanya untuk
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
21
perkara-perkara perdata, di sana di Belanda bukan pidana dan lebih dari 100
tahun yang lalu.
Adanya forum priveligiatum tersebut, ahli tidak menemukan alasan yang
mendalam kecuali bahwa orang-orang yang mempunyai jabatan tinggi harus
mempunyai sebuah forum khusus. Penelusuran selanjutnya menunjukkan
aspek sejarah, forum ini dimulai diadakan pada sekitar abad ke-15 untuk bisa
membawa pejabat-pejabat dan pengusa periode pada masa itu yang tidak mau
dan sangat sulit untuk dibawa ke pengadilan karena merasa lebih tinggi dari
pengadilan. Forum ini diadakan untuk membuat mereka bersedia masuk ke
ranah pengadilan tapi di sisi lainnya memang ada gunanya untuk publik karena
akhirnya bisa membuat penguasa bertanggung jawab dihadapan hukum. Tentu
saja ini perlu ditelusuri lebih jauh karena ahli tidak dapat berbahasa Belanda,
kalau ditelusuri lebih jauh barang kali bisa ditemukan alasan-alasan lainnya
yang lebih menarik.
Bahwa setelah kemerdekaan aturan tersebut terus diadopsi dan dituangkan
dalam UUD RIS maupun UUDS 1950. Pasal 106 UUD 1950, menyatakan
bahwa presiden, wapres, menteri-menteri, ketua dan wakil ketua, dan anggota
DPR, ketua dan wakil ketua dan anggota Mahkamah Agung, jaksa agung pada
Mahkamah Agung, ketua dan wakil ketua, dan anggota dewan pengawas
keuangan, presiden bank sirkulasi dan juga pegawai-pegawai anggota dan
seterusnya pun sesudah mereka berhenti berhubung dengan kejahatan dan
pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang
dilakukannya pada masa pekerjaannya kecuali jika ditetapkan lain dengan
Undang-Undang. Dalam melihat UUDS 1950 Supomo tidak menjelaskan dari
mana asal Pasal ini dengan pasti, ia hanya menyatakan bahwa pasal-pasal
UUDS 1950 diambil begitu saja dari konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan
pasal ini diadopsi dari peraturan kolonial yang mengaturnya sebelum
kemerdekaan
Adanya Staatsblad 1967 Nomor 10 yang diubah berkali-kali dan terakhir
Staatsblad 1941 Nomor 31 dan aturan soal forum previligiatum resmi
diberlakukan di Hindia Belanda dengan didasarkan pada penggolongan hukum
eropa timur, timur asing, dan bumi putra. Kemudian oleh penguasa Jepang
diadopsi tanpa penggolongan hukum namun kemudian UUD 1945 tidak memuat
adanya forum ini di dalamnya, forum ini baru diadopsi kembali dengan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
22
diberlakukannya UUD RIS 1949 yang isinya kemudian diambil sebagai UUDS
1950 yang dikutip di atas.
Berdasarkan ketentuan tersebut tercatat paling tidak menteri negara Sultan
Hamid, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdul Ghani, Menteri Kehakiman Djody
Gondokusumo dan beberapa pejabat lainnya pernah diadili dengan mekanisme
forum preveligiatum. Dengan diberlakuanya kembali UUD 1945 pada 1959
forum ini tidak lagi berlaku dan pada 1959 dalam catatan Sebastian Pompe
Mahkamah Agung memutuskan untuk tidak lagi mempunyai jurisdiksi ini, ini
kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Mahkamah Agung dan Undang-
Undang kekuasaan kehakiman yang dibuat kemudian.
Bahwa yang perlu diperhatikan sesungguhnya prosedur perizinan untuk
pemeriksaan pejabat negara termasuk dalam forum priveligiatum. Konsep forum
istimewa ini tidak hanya mengatur hukum acara di pengadilan tetapi juga proses
hukum secara umum, penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Bahwa nampaknya kewajiban izin bagi pejabat negara yang kita anut sekarang
merupakan penggalan dari forum preveligiatum yang sebenarnya sudah tidak
kita miliki lagi. Ini bisa dilihat dari antara lain bagian penjelasan umum Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 1970 tentang Tata Cara Tindakan Kepolisian
Terhadap Anggota-Anggota/Pimpinan MPR Sementara dan DPR Gotong
Royong. Dikatakan intinya, Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengenal
apayang disebut forum priveligiatum sehingga apa yang diatur dalam undang-
undang ini hanyalah mengenai tata cara tindakan kepolisian tersebut yang
dimasukkan pula ke dalamnya mengenai pemanggilan sehubungan tindak
pidana dan meminta keterangan tentang tindak pidana tanpa menyampingkan
hukum acara yang berlaku.
Namun kemudian dalam perjalana selanjutnya, adanya izin sebagai penggalan
dari konsep forum priveligiatum tadi dilestarikan dengan masuknya ketentuan itu
dalam berbagai Undang-Undang, dengan rasional menjaga harkat dan martabat
pejabat negara, pemeriksaan pejabat negara harus dengan izin presiden
sebagai kepala negara meskipun bagian lain dan yang terpenggal yaitu proses
yang khusus beracara dalam forum priveligiatum sudah tidak ada lagi dalam
sistem peradilan Indonesia.
Hal kedua yang relevan untuk dibahas selain forum priveligiatum tadi adalah
konsep parliamentary privileges. Keistimewaan ini dikenal sangat jamak dalam
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
23
berbagai praktik kenegaraan. Dalam tradisi westminster disebut dengan
parliamentary privileges tapi kemudian juga dalam misalnya di house of
representatives di Amerika Serikat ada juga privileges pada house of
representatives. Intinya ada dua tujuan dari keistimewaan ini. Pertama,
memberikan imunitas bagi anggota lembaga perwakilan agar tidak dapat
dituntut secara perdata. Lagi-lagi perlu ahli garis bawahi di sini, secara perdata
di muka hukum karena apa yang dinyatakannya dalam sidang. Tanpa hak
imunitas, bisa jadi legislator merasa tak bebas mengemukakan pendapat dan
mendorong perbaikan bagi konstituennya karena selalu terancam digugat
secara hukum oleh lawan-lawan politiknya.
Esensi kebebasan berbicara inilah satu-satunya alasan yang membuat legislator
seakan-akan kebal hukum, namun mereka tidak sepenuhnya kebal, merkea
hanya tidak bisa dihukum atas apa yang diucapkannya dalam sidang. Di luar
kapasitasnya sebagai wakil rakyat, legislator tetap warga negara biasa karena
itulah, parliamentary privileges ataupun hak imunitas hanya berlaku untuk
perkara perdata, khususnya untuk soal pencemaran nama baik atau
semacamnya. Kemudian untuk membatasi kebebasan berbicara tersebut,
dibuat pula perangkat aturan sidang mengenai bahasa yang tidak dapat
digunakan di dalam sidang parlemen.
Bahwa kata-kata kasar, makian, dan kebohongan tidak boleh digunakan dalam
sidang-sidang parlemen. Dalam tradisi parlemen Inggris, ini disebut
unparliamentary language. Tujuan pemberian kekhususan itu yang kedua
adalah efektivitas kerja mereka sebagai anggota dewan dan ini saya kira yang
sama pentingnya dengan imunitas tadi. Bentuknya adalah perlindungan bagi
anggota dewan untuk supaya tidak bisa ditahan untuk kasus perdata, lagi-lagi
kasus perdata selama masa sidang. Bila ditahan, mereka juga tidak akan
itahan, mereka tidak akan bisa berpartisipasi dalam sidang. Dengan alasan
yang sama di negara dengan sistem juri, mereka dibebaskan dari kewajiban
mereka menjadi anggota juri dan juga tidak diperkenankan menjadi saksi.
Intinya adalah kegiatan-kegiatan di pengadilan yang bisa membuat mereka tidak
hadir dalam sidang dewan. Perlu dicatat, namun demikian, di luar masa sidang
mereka tetap dapat ditahan untuk kasus perdata dan yang lebih penting, tidak
ada pengecualian sama sekali bagi mereka untuk perkara pidana.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
24
Adanya persyaratan izin dari Mahkamah Kehormatan Dewan terlepas sekali lagi
ahli kesampingkan dulu soal batas waktu dan pengecualian, sesungguhnya
merupakan bentuk intervensi kekuasaan kehakiman. Meski izin ini tidak
berkaitan langsung dengan hakim, kekuasaan kehakiman seperti yang
Mahkamah juga sudah akui, juga mencakup proses peradilan secara luas.
Aparat penegak hukum karena itu dalam melaksanakan proses peradilan, mulai
dari penyelidikan sampai adanya putusan pengadilan, tidak boleh mendapatkan
tekanan apapun. Mahkamah Konstitusi pun telah berpendapat mengenai hal ini
dalam Putusan MK Nomor 73 Tahun 2011, di mana Mahkamah berpendapat
dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari presiden untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan akan menghambat percepatan proses peradilan
dan secara tidak langsung mengintervensi sistem penegakkan keadilan. Begitu
juga pendapat Mahkamah yang ahli tidak perlu bacakan ulang, tetapi sangat
penting untuk dijadikan rujukan tentu saja, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 73 Tahun 2011, intinya tafsir kekuasaan kehakiman meliputi hal-hal yang
berkaitan dengan penegakkan hukum dan keadilan. Dengan begitu, untuk
prinsip negara hukum dalam hal independensi kekuasaan kehakiman dalam
pandangan ahli, persyaratan izin untuk memeriksa anggota dewan tidak tepat.
Bahwa menurut Undang-Undang MD3 Mahkamah Kehormatan Dewan
merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap dan bertugas menjaga
serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga
perwakilan rakyat. Terdiri dari 17 orang, dari berbagai fraksi di DPR, dengan
memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi dan
terkait dengan bentuk kelembagaan Mahkamah Kehormatan Dewan, ada tiga
hal yang ingin ahli soroti. Pertama, mengenai posisi Mahkamah Kehormatan,
kedua, mengenai potensi benturan kepentingan dan ketiga mengenai tujuan
pengaturan.
Bahwa mengenai posisi Mahkamah Kehormatan seperti dibahas di atas,
persyaratan adanya izin pemeriksaan bagi pejabat negara di Indonesia, akarnya
sebenarnya ada pada forum privilegeliatum yang dulu pernah diterapkan di
Indonesia. Rasionalnya adalah untuk menjaga harkat dan martabat pejabat
negara dalam konteks pejabat negara sebagai lambang dari kepemimpinan
pemerintahan yang memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu presiden.
Dengan demikian, kalau memang mau diterapkan yang seharusnya
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
25
memberikan izin adalah kepala negara atau dalam konteks aparat penegak
hukum, atasan aparat penegak hukum tesrebut sedangkan Mahkamah
Kehormatan Dewan sebenarnya merupakan lembaga etik yang setara dengan
anggota lainnya, yang tidak memiliki hubungan langsung apapun pada sistem
peradilan pidana.
Bahwa adanya tambahan wewenang Mahkamah Kehormatan untuk
memberikan izin pemeriksaan berada di luar tugas sebuah lembaga etik. Kedua,
adanya potensi benturan kepentingan yang sangat besar, tentu saja mengingat
anggotanya yang terdiri dari fraksi-fraksi yang ada. Kerja Badan Kehormatan
DPR, pada periode-periode yang lalu dapat dijadikan rujukan untuk pandangan
ini. Untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang melibatkan partai
berkuasa, badan kehormatan pada periode-periode yang lalu terlihat ragu dalam
mengambil keputusan. Sementara bagi anggota DPR yang posisinya hanya
sebagai anggota, badan kehormatan dapat mengambil putusan yang signifikan,
bahkan sampai memecatnya dari keanggotaan DPR. Ada sebuah penelitian
yang ahli kutip, dalam makalah singkat ahli berkaitan dengan kasus Anggota
DPR Azidin misalnya, yang dilaporkan ke Badan Kehormatan karena kasus
berkaitan dengan pencaloan pemondokan haji dan catering. Dikatakan dalam
penelitian tersebut, kasus tersebut diputus dalam waktu hanya 6 minggu,
padahal bukti yang dilaporkan terbatas karena hanya berupa kutipan di media
massa. Sementara itu dalam kasus pengaduan Ketua DPR Agung Laksono
terkait dengan safari ramadhan yang dilakukannya, kasusnya dibekukan.
Badan Kehormatan menyatakan tidak ada kasus yang perlu digali lebih jauh
karena buktinya tidak otentik, padahal ada bukti rekaman dari tiga daerah pada
saat safari ramadhan itu dilakukan.
Bahwa meski dalam hal materi muatan alat-alat kelengkapan ke semua dewan
yang diatur dan MPR yang diatur dalam Undang-Undang MD3 mempunyai
kesamaan dalam penamaan, penamaan Mahkamah Kehormatan ini hanya
diberikan untuk DPR sedangkan untuk DPD, MPR, maupun untuk DPRD
terminologi badan kehormatan masih digunakan. Demikian pula, kewajiban
memintakan izin pemeriksaan itu hanya berlaku untuk DPR dan tidak untuk
dewan-dewan lainnya. Kelihatannya, ini terjadi karena Mahkamah Kehormatan
memang mempunyai pemahaman tersendiri.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
26
Bahwa karena minimnya akses ke dokumen pembahasan, ahli belum
menemukan jawaban pasti mengenai tujuan pembentukan Mahkamah
Kehormatan ini. Namun dari penelusuran pemberitaan di internet dari media
yang cukup mempunyai kredibilitas, terlihat adanya tujuan khusus untuk
memberikan wewenang pemberian izin pemeriksaan anggota DPR kepada
Mahkamah Kehormatan. Perubahan nama badan menjadi Mahkamah ditujukan
untuk menempatkan alat kelengkapan ini sebagai semacam lembaga yang
mempunyai kedudukan yang ditinggikan, misalnya saja Anggota DPR Benny
Harman, pernah mengatakan ketika Undang-Undang MD3 masih dalam tahap
pembahasan, “didiskusikan” didiskusikan tidak hanya anggota DPR saja atau
tokoh-tokoh masyarakat. Kalau rumusan MD3, melakukan pelanggaran sumpah
janjinya yang mengadili adalah BK, tingkatkan otoritasnya supaya lebih
berwibawa, membentuk komite khusus untuk penyelidikan, opini lainnya yang
lebih menjurus yang bisa banyak, tetapi yang ahli kutip hanya dua ini, yang lebih
menjurus diungkapkan oleh Anggota Komisi 1 DPR RI Hidayat Nur Wahid yang
menekankan kehormatan Anggota DPR RI.
Bahwa nampak ada keprihatinan mengenai banyaknya anggota DPR yang
terlibat kasus korupsi. Harian Republika mengutip, Hidayat menyatakan pada
saat itu, “Saat ini anggota DPR terlalu mudah dipanggil menjadi saksi dalam
persidangan-persidangan kasus korupsi. Hal ini menurutnya menimbulkan citra
buruk dimata masyarakat, dan mengurangi kepercayaan publik terhadap
parlemen.” Izinkan ahli mengutipnya dalam tanda kutip penuh, “DPR itu di
manapun adalah orang yang terhormat, mestinya memang mereka adalah
orang yang terhormat. Jadi, di MD3 itu ada ketentuan bahwa nanti Badan
Kehormatan itu nanti akan berganti menjadi Mahkamah Kehormatan Dewan,
Mahkamah Kehormatan itu yang melaksanakan tugas-tugas Badan
Kehoramatan, sekarang ditambah dengan beberapa hal lain, termasuk kalau
terkait dengan korupsi, terutama terkait dengan korupsi, apalagi tangkap tangan
itu kembali lagi pada hukum KPK.” Ujar Hidayat.
Bahwa bila tujuan pengaturan ini terkonfirmasi, maka sesungguhnya Pasal 245
yang tengah diperiksa ini memang sengaja didesain untuk mempersulit
pemanggilan anggota dewan oleh aparat penegak hukum, dalam pandangan
ahli. Mengenai skema ideal pengkhususan proses hukum bagi anggota dewan,
meskipun ahli paham dalam kesempatan ini ahli tidak perlu menyampaikan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
27
masukan pembahasan di atas, dalam pandangan ahli tidak akan jelas
maksudnya bila tidak berujung pada skema ideal yang tepat bagi negara hukum
Indonesia.
Bahwa dalam konteks negara hukum anggota dewan mempunyai peran
signifikan. Dalam negara hukum ada aktor-aktor yang mempunyai peran penting
dalam pelaksanaannya, peran aparat penegakan hukum dijaga dengan adanya
prinsip independensi peradilan, darinya diturunkan perangkat aturan mengenai
kode etik dan kode perilaku. Anggota dewan di sisi lainnya berperan sebagai
pembentuk peraturan, pembentuk perangkat hukum. Konteks peran anggota
dewan berbeda dengan adanya konteks kompetisi dalam prosedur politik,
namun dalam tugasnya sebagai pembentuk perangkat hukum sesungguhnya
terkandung suatu bentuk kerentanan, yaitu dalam menyatakan pendapat dalam
sidang dewan sebagai forum publik. Anggota dewan berperan menyuarakan
aspirasi publik, kalau boleh ahli meminjam istilah yang digunakan oleh Daniel
Dhakidae ada kuasa wicara atau power of speech pada diri anggota dewan.
Kuasa wicara ini perlu diberikan proteksi khusus dalam konteks negara hukum
agar bisa digunakan secara maksimal dalam proses pembentukan hukum,
legislator harus merasa bebas dalam melaksanakan kuasa wicaranya. Karena
itu dalam pandangan saya pengkhususan ini dapat dibenarkan dalam konteks
negara hukum sepanjang tetap berada dalam koridor prinsip kemandirian,
kekuasaan kehakiman, ditambah sesuai pendapat Mahkamah Konstitusi
perlakuan khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas-asas peradilan
pidana apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum.
Pemberian izin ternyata bertentangan dengan prinsip kemandirian, kekuasaan
kehakiman, dan berakibat pada terhambatnya proses hukum, sehingga tidak
tepat untuk digunakan sebagai bentuk kekhususan yang dimaksud. Apalagi
rasional proses pemberian izin ini tidak sejalan dengan pemahaman mengenai
negara hukum karena sebenarnya merupakan warisan pengaturan yang sudah
bersifat usang dan tak layak lagi diterapkan, yaitu penjagaan martabat dan
kehormatan pejabat.
Argumen pemberian kekhususan yang lebih dapat diterima dalam konteks
negara hukum dan jamak dipraktikan dalam praktik ketatanegaraan
kontemporer adalah argumen pelaksanaan tugas. Jadi bukan untuk kehormatan
dan martabat pelaksanaan tugas, apalagi dalam konteks penegakan hukum di
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
28
Indonesia pada saat ini yang masih belum bisa memberikan kepastian waktu
dalam proses peradilan. Selain itu perlu digarisbawahi dalam praktik ada
concern mengenai kriminalisasi terhadap pejabat negara. Dalam konteks politik
dan hukum Indonesia pada saat ini concern itu sangat valid dan telah terbukti
terjadi, misalnya dalam kasus kriminalisasi Pimpinan Komisi Pemberantasan
Korupsi pada 2009 lalu. Untuk itu, skema ideal yang perlu dipertimbangkan
adalah dikembalikannya forum privilegiatum dalam hukum Indonesia. Perlu ada
prosedur yang dipercepat, terbuka, dan dapat dipertanggungjawabkan agar
pejabat-pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya sebagai pejabat
negara tanpa melanggar prinsip kesamaan kedudukan di hadapan hukum dan
independensi kekuasaan kehakiman.
2. Roichatul Aswidah Bahwa tentang hak atas kesetaraan di hadapan hukum sebagai hak diakui dan
dijamin oleh konstitusi, di mana Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya.
Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap
orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ketentuan ini dapat
kita pandang sebagai salah satu pengejawantahan dari jaminan
nondiskriminasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) konstitusi kita
yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang
bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan
terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Ketentuan-ketentuan tersebut serupa dengan ketentuan dari Kovenan
Internasional Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, di mana Pasal 14 ayat (1) juga
menjamin hak untuk setara di hadapan hukum. Hal ini juga dipandang sebagai
pengejewantahan prinsip umum kesetaraan, sebagaimana dijamin dalam Pasal
26 Kovenan Hak Sipil dan Politik dan dari risalah persidangan untuk perumusan
ketentuan tersebut, dapat kita ketahui bahwa kesetaraan di hadapan pengadilan
adalah sebuah prinsip umum yang penting dari rule of law.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
29
Komite Asasi Manusia menegaskan bahwa hak atas kesetaraan di hadapan
pengadilan dan peradilan yang adil adalah sebuah elemen yang sangat penting
bagi perlindungan hak asasi manusia dan merupakan perangkat prosedural
untuk menjamin terjaminnya rule of law. Pasal 14 Kovenan ini bertujuan untuk
menjamin administrative of justice yang layak dan pada akhirnya menjamin
serangkaian hak asasi manusia. Prinsip ini harus dibaca secara bersama
dengan larangan diskriminasi, sebagaimana dinyatakan pada Pasal 21 Kovenan
Hak Sipil dan Politik. Dalam hal ini, praktik diskriminiatif oleh peradilan,
utamanya atas alasan-alasan, sebagaimana diatur oleh Pasal 21 seperti ras,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, atau pandangan lainnya, asal
usul kebangsaan, atau sosial, hak milik, status kelahiran, atau status lainnya
juga dapat merupakan pelanggaran dari Pasal 14 ayat (1) Kovenan Hak Sipil
dan Politik.
Bahwa hak tersebut dijamin juga oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tersebut
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan pengakuan hukum yang adil, serta mendapat kepastian
hukum dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Bahwa kaitannya dengan hak atas kesetaraan di hadapan hukum, hak atas
asas pada pengadilan, dan dampaknya bagi pemenuhan hak korban. Hal ini
terkait dengan ketentuan dari Pasal 245 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang MD3 yang dalam hal ini menyatakan bahwa pemanggilan dan
permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga
melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah
Kehormatan Dewan. Ayat (2) menyatakan, “Dalam hal persetujuan tertulis,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan, paling lambat 30 hari sejak diterimanya permohonan,
pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.” Ayat (3) nya menyatakan, “Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR
tertangkap tangan melakukan tindak pidana, disangka melakukan tindak pidana
kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau pidana penjara seumur
hidup, atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan
negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup atau disangka melakukan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
30
tindak pidana khusus.” Pertanyaannya adalah apakah rumusan Pasal 245
Undang-Undang MD3 merupakan bentuk diskriminasi ataupun penyimpangan
terhadap prinsip kesetaraan di hadapan hukum, oleh karena dalam beberapa
hal memberikan imunitas pada anggota parlemen? Dalam hal ini, ahli merujuk
pada ketentuan dan pemaknaan dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah
ahli sampaikan bahwa Kovenan tersebut telah disahkan oleh Indonesia melalui
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal 14 padaKovenan yang mengatur
kesetaraan di hadapan pengadilan, pada dasarnya meliputi hak atas asas pada
pengadilan, dimana hak ini menjamin tidak tidak ada satu orang pun yang
terkurangi haknya untuk menuntut keadilan.
Bahwa hak tersebut memang tidak bersifat absolut dan dapat dibatasi berdasar
atas pembatasan yang sah,misalnya, pembatasan dalam periode waktu
tertentu, peraturan terkait anak, orang dengan keterbatasan mental, ataupun
imunitas parlemen, serta imunitas dari organisasi internasional. Oleh karena itu,
dapat dinyatakan bahwa kesetaraan di hadapan peradilan memang tetap tidak
terpengaruh, misalnya oleh diplomatic privilege ataupun oleh imunitas parlemen.
Artinya, imunitas ataupun privilege memang masih diperkenankan dan bukan
merupakan penyimpangan dari prinsip kesetaraan di hadapan pengadilan dan
tidak menyimpang dari prinsip diskriminasi. Namun demikian, Komite Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa pembatasan apa pun terkait dengan hak atas
akses pada pengadilan, haruslah tetap berdasarkan atas hukum dan harus sah
berdasar atas alasan yang objektif dan masuk akal. Komite Hak Asasi Manusia
menyatakan bahwa sebuah pelanggaran atas Pasal 14 dari kovenan hak sipil
dan politik apabila pembatasan dilakukan dengan tidak berdasar hukum tidak
diperlukan untuk mencapai tujuan yang sah. Atau jika akses pada individu
kemudian akan mengurangi esensi hakiki dari hak yang dijamin oleh Pasal 14
kovenan hak sipil dan politik.
Pengadilan hak asasi manusia di Eropa menerapkan tes yang serupa, di mana
pembatasan tidak boleh mengurangi esensi hak, serta harus memenuhi asas
proporsionalitas dan diperlukan untuk tujuan yang sah. Imunitas parlemen
memang diperkenankan, akan tetapi sebagai dasar pembatasan hak, harus pula
menjalani tes proporsionalitas dan asas keperluan. Dalam hal ini, hal-hal yang
harus dicermati adalah bahwa dalam sejarahnya, imunitas parlemen lahir
dengan sebuah alasan yang sangat kuat, yaitu untuk membentengi parlemen
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
31
dari tirani penguasa. Pada abad modern saat ini, di negara-negara demokratis
semakin dipandang bahwa anggota parlemen tidak memiliki ketakutan dari
kekuasaan para raja. Imunitas dan privilege yang diberikan kemudian, justru
dipandang seperti membentengi yang kuat melawan yang lemah daripada yang
sebaliknya. Oleh karena itu, pengadilan hak asasi manusia Eropa mengakui
praktik-praktik di banyak negara yang memberikan imunitas pada parlemen
hanya untuk mencapai tujuan yang sah dalam rangka melindungi kebebasan
berbicara di parlemen, serta menjaga pembagian kekuasaan separation of
power antara legislator dan penegak hukum.
Bahwa kecenderungan yang terjadi, kemudian di banyak negara demokratis
adalah adanya pembatasan lingkup imunitas. Di Perancis izin dari majelis tidak
lagi diperlukan bagi penyidikan kasus pidana sejak Reformasi Konstitusi
Perancis pada Tahun 1995. Demikian juga di Italia, serta di Rumania, sejak
reformasi konstitusi pada 2003, di mana terhadap senator dapat langsung
dilakukan penyidikan pidana, maupun penyidikan untuk tindak pidana atau
untuk tindak yang tidak terkait langsung dengan pendapat, ataupun pemberian
suara dalam rangka pelaksanaan tugas mereka sebagai senator. Inggris juga
hanya menerapkan imunitas pada perkara perdata. Namun untuk tindak pidana,
anggota parlemen diperlakukan sama seperti orang pada umumnya.
Bahwa dampak pengaturan Pasal 245 Undang-Undang MD3 terhadap
pemenuhan hak korban atas keadilan. Pasal 14 Kovenan Hak Sipil dan Politik
menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya, undue
delay. Hal ini bukan hanya melingkupi hak seseorang untuk diadili dalam waktu
yang masuk akal tanpa penundaan yang tidak semestinya, akan tetapi
sesungguhnya juga untuk menjamin agar hak korban dari kasus terkait hak
mendapatkan keadilannya. Oleh karena itu, penundaan proses penyidikan
kemudian akan melanggar hak korban untuk mendapatkan keadilan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Pasal 245 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tentang MD3 memuat imunitas parlemen untuk mengikuti proses
hukum dalam ranah pidana yang dapat dipandang sebagai pembatasan
kesetaraan di hadapan hukum, serta hak atas akses pada pengadilan. Imunitas
tersebut walaupun pada umumnya diperkenankan, namun dalam hal ini tidak
memenuhi asas proporsionalitas dan tidak diperlukan untuk mencapai tujuan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
32
yang sah, imunitas tersebut oleh karena menunda proses yang harus dilakukan
kemudian telah memengaruhi dan melanggar hak korban atas keadilan.
3. Dr. Luhut M.P. Pangaribuan, S.H., LL.M A. lzin untuk melakukan pemeriksaan terhadap anggota DPR RI
yang diduga melakukan tindak pidana adalah bentuk lntervensi dalam sistem peradilan pidana
Sistem peradilan pidana sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan
pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945. Hal ini berarti kekuasaan
kehakiman yang merdeka itu merupakan norma fundamental atau constitutional
rights oleh karena itu diatur dalam UUD 1945. Dalam rangka melaksanakan
Pasal 245 UUD 1945 tersebut maka kekuasaan eksekutif maupun legislatif
harus dibatasi atau dikurangi untuk menjamin wewenang kekuasaan
kehakiman yang merdeka berdasarkan konstitusi itu. Konkritnya, jangan pernah
ada intervensi dalam bentuk apapun, langsung atau tidak langsung terhadap
kekuasaan kehakiman yang merdeka yang kaedahnya sudah ditentukan dalam
UUD 45.
Apabila kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan pidana
"bercampur-aduk" dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan
seseorang akan berada dalam suatu kekuasaan yang dilakukan secara tidak
berkepastian hukum yang dapat mengaburkan upaya mencari kebenaran dan
merumuskan keadilan sebagai tugas utama peradilan itu sendiri . Di lain pihak,
kalau kekuasaan kehakiman dalam sistem peradilan pidana tersebut bersatu
dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak
semena-mena dan menindas. Peradilan akan menjadi alat kekuasaan
sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah peradilan di Indonesia yakni
Mahkamah Agung disamakan dengan kementerian negara. Dengan demikian,
sistem peradilan pidana yang tidak "bercampur-aduk" dengan kekuasaan lain
tapi melainkan tetap mandiri dan bebas dari intervensi harus senantiasa kapan
dan dimanapun karena pada dasarnya merupakan bagian dari upaya untuk
menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan terhadap
warganegara casu quo para pencari keadilan. lndependensi peradilan itu harus
dimaterialisasikan pada lembaga-lembaga dalam sistem peradilan itu. Menurut
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
33
Pasal 38 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa badan-badan lain yang fungsinya
berkaitan dengan kekuasan kehakiman yang juga harus mandiri dan bebas dari
campur tangan pihak lain, yaitu meliputi: penyelidikan dan penyidikan,
penuntutan, pelaksanaan putusan, pemberian jasa hukum dan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan. Jika hal ini tidak terjadi pada lembaga atau
badan-badan itu, maka peranan dari lembaga peradilan akan terdistorsi dan
bahkan inkonsisten dengan konsep dasarnya. Sebagai akibatnya, turunnya
kepercayaan publik kepada lembaga peradilan yang dapat menimbulkan akibat
berantai seperti akan tingginya upaya "main hakim" sendiri dalam masyarakat.
Dengan kata lain, masyarakat akan mencari jalannya sendiri-sendiri.
Montesquieu menegaskan, tidak seorang pun bisa dikatakan bebas jika
kebebasan terpenting tidak ada. Menurutnya kebebasan terpenting itu
ialah independensi lembaga-lembaga dalam sistem peradilan. Dalam
konteks demokrasi, kekuasaan yudikatif yang independen dan iinparsial
serta obyektif memberikan manfaat bagi keseimbangan yang stabil antara
dirinya dengan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan yudikatif memastikan hak-
hak dasar warga negara yang rentan dari kemungkinan diabaikan oleh
eksekutif maupun legislatif. Pada saat yang sama lndependensi sistem
peradilan merupakan faktor kunci dari pemberantasan korupsi, menghindari
manipulasi politik dan meningkatkan kepercayaan publik kepada penyelenggara
negara. Dalam prakteknya, lntervensi terhadap independensi peradilan potensial
dapat datang dari eksekutif, legislatif, pemerintah lokal, aparat pemerintah atau
anggota parlemen, elit politik, kekuatan ekonomi, militer, dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, secara konkrit, Pasal 3 ayat (2) dan 3 UU No.48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan kehakiman ("UU Kekuasaan Kehakiman menyatakan
bahwa "Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam ha/ ha/ sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945." Bahkan, setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan
tersebut atau dengan sengaja melakukan intervensi terhadap sistem peradilan
dikriminalisasi yakni dinyatakan dapat dipidana sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan. Pada praktiknya, prosedur tambahan dalam
sistem peradilan pidana diatur sepanjang hanya mengenai prosedur yang tidak
mengurangi kewenangan dari lembaga dalam peradilan pidana itu dan bukan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
34
mengenai substansi perkara yang sedang diperiksa atau diadili. Sebagai contoh,
dalam Pasal 26 UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat ("UU Advokat") dikenal
Dewan Kehormatan Profesi Advokat yang bertugas menjaga martabat dan
kehormatan profesi Advokat dengan mengadili setiap pelanggaran kode etik
profesi advokat. Namun demikian, pada saat yang sama, Pasal 26 ayat (3) UU
Advokat telah pula menegaskan bahwa keputusan Dewan Kehormatan Profesi
Advokat tidak menghilangkan tanggung jawab pidana apabila pelanggaran
terhadap kode etik profesi advokat mengandung unsur pidana. Pada saat yang
sama ada Nota Kesepahaman antara Kepolisian Negara Republik Indonesia
dengan Perhimpunan Advokat Indonesia No.B/7/11/2012-002/PERADl-
DPN/MoU/ll/2012 tentang Proses Penyidikan Yang Berkaitan Dengan
Pelaksanaan Profesi Advokat. Dalam Pasal 3 Nota kesepahaman tersebut
dinyatakan bahwa proses pemanggilan seorang Advokat dilakukan melalui
organisasi advokat.
Namun demikian, prosedur itu bukan untuk memberikan izin atau tidak atas adanya pemanggilan penyidik atas dugaan suatu tindak pidana. Organisasi Advokat justru harus segera memproses pemanggilan tersebut dan
memberikan hasil pemeriksaan tersebut kepada penyidik paling lambat 14 hari
dan kemudian menghadirkan advokat tersebut kepada penyidik apabila dugaan
tindak pidana itu beralasan. Latar belakang diberlakukannya 'prosedur izin'
sebelum memeriksa pejabat negara ialah dalam rangka melindungi harkat,
martabat dan wibawa pejabat negara dan lembaga negara agar diperlakukan
secara hati-hati, cermat, tidak sembrono dan tidak sewenang-wenang.
Rationya karena pejabat Negara dan Lembaga Negara itu merupakan
personifikasi dari sebuah Negara. Bahkan dalam masa Jalu dikenal forum
prevelegiatum, yang kemudian sudah ditinggalkan.
Dalam catatan sejarah, mengapa hal seperti forum prevelegiatum
ditinggalkan adalah karena sudah tidak sesuai dengan asas-asas dalam sistem
peradilan pidana yang terus berkembang seperti : (i) Asas persamaan di depan
hukum (equality before the law); karena di dalam 'prosedur ijin' terkandung
'perlindungan hukum' bagi pejabat negara yang tidak dimiliki oleh warga negara
biasa, (ii) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan; karena prosedur
ijin memerlukan waktu yang lama dan melalui birokrasi yang panjang, sehingga
secara tidak langsung membutuhkan waktu dan biaya operasional untuk
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
35
mengurusnya, (iii) Asas independensi kekuasaan kehakiman; karena 'prosedur
izin' secara tidak Jangsung dapat dijadikan alat intervensi terhadap penanganan
perkara pidana yang dilakukan penegak hukum atau bahkan sebagai
perlindungan terhadap perbuatan pidana yang dilakukan sekaligus. Perlu
menjadi catatan bahwa fourm preve/egiatum yang ideal adalah justru
memberikan kekhususan bagi pejabat negara dengan prosedur peradilan
pidana yang dipercepat, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, agar
pejabat negara tetap dapat menjalankan tugasnya dengan baik, tanpa
melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum dan tidak mengintervensi
pengadilan dengan menghambat prosedur peradilan. Prosedur pemberian ijin
oleh Mahkamah Kehormatan Dewan dalam melakukan pemeriksaan anggota
DPR justru merupakan salah satu hambatan dalam proses penegakan hukum
karena proses penyidikan menjadi terhambat karena menunggu keluarnya ijin
pemeriksaan. Bahkan, ijin yang diminta dapat tidak diberikan jawaban, yaitu
apakah disetujui atau ditolak, sehingga penanganan perkaranya menjadi tidak
jelas dan terkatung-katung setidaknya selama 30 hari sebagaimana dalam
Pasal 245 ayat (2) UU MD3. Untuk memastikan dampak penundaan selama 30
hari tersebut haruslah menjadi bagian yang diteliti dalam praktik penyidikan
selama ini, namun berdasarkan penalaran yang wajar maka efek terhambatnya
proses penyidikan agak berimplikasi langsung dan masif pada proses peradilan
pidana secara keseluruhan. Penundaan tersebut akan bertentangan dengan
prinsip peradilan pidana, secara langsung bertentangan dengan hak tersangka
sebagaimana dijamin dalam Pasal 50 ayat (1} dan (2} KUHAP.
Lebih lanjut Pasal 9 ayat (3} jo. Pasal 14 Kovenan hak sipil dan politik
mengatur mengenai hak seseorang untuk diadili dalam jangka waktu yang wajar
dan menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak semestinya.
Sehingga dalam keadaan yang sama penundaan 30 hari justru akan melanggar
hak dari tersangka, selain menghambat kinerja dari aparat penegak hukum.
Sistem peradilan pidana juga tidak hanya mengatur mengenai kepentingan
penegakan hukum dan perlindungan hak dari tersangka, namun secara
bersamaan juga harus melindungi kepentingan korban. Berdasarkan Pasal 14
Kovenan Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah disebutkan sebelumnya,
bukan hanya melingkupi hak seseorang untuk diadili dalam jangka waktu yang
wajar dan menjamin hak untuk diadili tanpa penundaan yang tidak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
36
semestinya, akan tetapi dalam konsep tujuan peradilan pidana untuk mencari
keadilan materiil, sesungguhnya juga untuk menjamin kepastian korban
mendapatkan keadilan. Oleh karena itu penundaan proses penyidikan secara
langsung akan menunda, menghambat atau bahkan berpotensi menghilangkan
hak korban untuk mendapatkan keadilan.
B. Mahkamah Kehormatan Dewan adalah lembaga etik, dan tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana
Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga etik merupakan
instrumen lembaga in casu DPR untuk mengatur dan mengawasi disiplin dan
etika anggota DPR dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Oleh
karena anggota DPR merupakan pelaksana kedaulatan rakyat yang
menjalankan fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan terhadap eksekutif,
maka agar tidak disalahgunakan kewenangannya, kedudukan sebagai anggota
DPR memerlukan pengawasan oleh Lembaga Etik. Penegakan disiplin dan etika anggota DPR dan penegakan hukum pidana oleh lembaga peradilan pidana adalah merupakan dua hal yang berbeda. Di satu sisi, Majelis
Kehormatan Dewan memeriksa dan mengadili pelanggaran disiplin dan kode
etik oleh anggota DPR. Di sisi lain, keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan
tidak boleh menghilangkan tanggung jawab pidana serta pada saat yang sama
tidak boleh pula mengakibatkan terhambatnya proses pemeriksaan penyidik terhadap anggota DPR, mempengaruhi proses penyidikan terhadap
tersangka lainnya dalam perkara yang melibatkan anggota DPR, sehingga
penyidikannya menjadi lamban bahkan akan tidak berjalan.
Pasal 245 UU MD3 telah menempatkan Mahkamah Kehormatan Dewan
sebagai lembaga yang dapat menunda proses hukum berupa pemanggilan oleh
penyidik, untuk itu perlu mengetahui kelembagaan Mahkamah Kehormatan
Dewan guna melihat relevansinya dengan sistem peradilan pidana. Mahkamah
Kehormatan Dewan merupakan alat kelengkapan DPR. Dari segi struktur
Mahkamah Kehormatan Dewan juga bukan merupakan struktur yang lebih tinggi
dari alat kelengkapan DPR lainnya. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan
diisi pula oleh anggota DPR sendiri yang sejajar secara struktur dengan anggota
DPR lainnya. Melihat dari kelembagaan Mahkamah Kehormatan Dewan maka
dapat dipastikan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan bukan merupakan
bagian dari sistem peradilan pidana. Sebab dalam konteks kekuasaan eksekutif
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
37
dan aparat penegak hukum, terkait kewenangan penyidikan, izin hanya dapat
diberikan oleh pemimpin tertinggi eksekutif yaitu kepala negara ataupun atasan
aparat penegak hukum terkait pemanggilan pejabat negara, dengan catatan
mekanisme izin tersebut dalam hal forum prevelegiatum yang telah disebutkan
sebelumnya.
Dengan alasan bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan adalah lembaga
etik, yang mana anggotanya memiliki struktur sejajar dengan anggota DPR
lainnya untuk melakukan penyelidikan dan verivikasi atas pengaduan terhadap
anggota DPR, maka bisa dipastikan akan ada perbenturan kepentingan dan
pemeriksaan yang tidak independen dan bebas, sebab didasarkan atas
pertimbangan subjektif, etis dan politis, bukan atas dasar penegakan hukum.
Memberikan kewenangan bagi Mahkamah Kehormatan Dewan yang merupakan
lembaga etik dan sekaligus tidak dikenal dalam sistem peradilan pidana
untuk menghambat proses hukum selama 30 hari akan merusak sistem
peradilan pidana itu sendiri. Dengan begitu maka sistem peradilan pidana yang
merupakan alat untuk membuat substansi hukum efektif dalam penegakannya
bila terjadi kasus pidana akan terhambat, dalam skala yang lebih besar akan
tidak terwujud.
C. Menjaga harkat dan martabat manusia agar tidak diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang dalam sistem peradilan pidana adalah kewajiban dari Negara (penyidik) dan hak setiap warga negara, bukan hanya semata-mata untuk anggota DPR.
Dalam hukum acara pidana, sesuai dengan Pasal 1butir 14 KUHAP,
seseorang hanya dapat ditetapkan sebagai Tersangka atau diduga melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup (probable cause).
Apabila telah diperoleh bukti permulaan yang cukup serta seseorang ditetapkan
sebagai Tersangka, maka pada dasarnya penyidik dapat melakukan
pemeriksaan Tersangka dengan melakukan pemanggilan yang patut dan sah
sebagaimana diatur dalam Pasal 112 KUHAP tanpa perlu meminta ijin kepada
pihak manapun.
Dalam Peraturan Kapolri No.14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana, telah ditentukan bahwa bukti permulaan adalah alat
bukti berupa laporan polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah dan meyakinkan,
yang digunakan untuk menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
38
pidana. Oleh karena itu, untuk menghilangkan terjadinya kesewenang-
wenangan penyidik dalam melaksanakan kewenangannya untuk menetapkan
seseorang sebagai Tersangka, penyidik haruslah menerapkan klausula bukti
permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud oleh Hukum Acara Pidana.
Konkritnya, "alat bukti yang sah dan meyakinkan" bermakna kualitatif bukan
kuantitatif, yaitu penyidik telah memperoleh alat bukti yang memenuhi syarat
formil dan materil yang bersumber pada keterangan saksi, keterangan ahli,
surat maupun petunjuk yang menunjukkan bahwa Tersangka benar-benar patut
diduga melakukan tindak pidana.
Terdapatnya batasan dan syarat menjadi dasar agar aparatur negara
tidak sewenang-wenang dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.
Kewajiban aparatur negara untuk menjaga harkat dan martabat manusia
sebagai bagian dari hak asasi manusia telah diejahwantahkan dalam KUHAP.
Untuk pertama kali, setelah pemberlakuan Herziene Jndische Reglement {HIR}
sebagai hukum acara di Indonesia, dasar perlindungan hak asasi manusia
dipertimbangkan dalam Undang-Undang, yaitu dalam KUHAP Tahun 1981.
Beberapa catatan seperti hak tersangka dan terdakwa, bantuan hukum, ganti
kerugian sampai dengan pembentukan lembaga baru seperti praperadilan untuk
menjamin hak warga negara dari tindakan sewenang-wenang aparat negara,
tertuang dalam KUHAP. Melacak sejarahnya, khusus praperadilan, muncul dari
semangat untuk memasukkan konsep habeas corpus dalam sistem hukum
acara pidana lndonesia.Konsep ini hadir sebagai mekanisme testing atas sah
tidaknya suatu tindakan penangkapan dan penahanan, karena tindakan tersebut
merupakan 'indruising' terhadap hak-hak dan kebebasan seseorang, sehingga
membutuhkan pengujian dari pengadilan.
Konsep ini menunjukkan bahwa penekanan KUHAP terhadap
perlindungan hak asasi manusia begitu besar. Dalam sudut melihat Pasal 245
UU MD3, menjadi tidak relevan apabila terjadi pengkhususan sedemikian besar
terhadap anggota DPR, sebab konsep perlindungan harkat, martabat dan hak
asasi manusia diatur secara umum dalam KUHAP, tidak semata-mata hanya
untuk anggota DPR, kewajiban perlindungan harkat, martabat dan hak asasi
manusia menjadi melekat dalam setiap proses peradilan pidana begitu diatur
dalam KUHAP Tahun 1981. Dalam pandangan perlindungan anggota DPR,
maka konsep Parliamentary Privileges harus dilihat secara lebih dalam.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
39
,
Anggota DPR harus dilindungi dalam hal hak berbicara dan mengeluarkan
pendapat, ini merupakan hak imunitas dari anggota DPR untuk melindungi
dirinya, dalam UU MD3, hak tersebut diatur dalam Pasal 244 UU MD3. Menjadi
rancu dan patut dipertanyakan apabila ada konsep perlindungan lain terhadap
anggota DPR agar tidak diperlakukan secara sembrono dan sewenang-
wenang, padahal perlindungan tersebut sudah diatur dalam bentuk hak
imunitas untuk anggota DPR yang khusus telah dijamin dalam Pasal 244 UU
MD3, dan secara umum hak dan jaminan perlindungan tersebut sudah dijamin
dalam KUHAP.
Untuk itu pembedaan terhadap anggota DPR dalam hal jabatan terbatas
diberikan dalam konsep hak imunitas argumen bahwa Pasal 245 UU MD3
dirumuskan khusus untuk menjaga harkat martabat anggota DPR agar tidak
diperlakukan secara sembrono dan sewenang-wenang dalam jabatan, akan
menurunkan derajat kewajiban dari aparat negara untuk melindungi dan
menjamin harkat dan martabat warga negara secara keseluruhan.dalam sistem
peradilan pidana di Indonesia.
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Majelis
Permusyawaratan Rakyat memberi keterangan lisan dalam persidangan tanggal
23 September 2014, sebagai berikut:
a. Bahwa ketika pimpinan MPR memberikan sumbangan pemikiran kepada
Pansus, MPR mengusulkan agar Undang-Undangtersendiri diadakan bukan
disatukan tetapi mengingat Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, MPR yang terdiri atas
anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan Undang-Undang;
b. Bahwa yang di usulkan MPR adalah supaya Undang-Undangtersebut tidak
disatukan tetapi diatur dengan Undang-Undangtersendiri. Demikian juga semua
yang ditetapkan diatur dalam Undang-Undangtersendiri.
c. Bahwa usul berikutnya yang diajukan oleh pimpinan MPR adalah tentang
penguatan lembaga MPR dengan memberikan wewenang yang lebih luas,
dalam arti untuk menetapkan atau memperankan tugas MPR sebagai lembaga
dalam memasyarakatkan Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal
Ika, serta mengusulkan agar ada reformulasi perancangan pembangunan
nasional model GBHN.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
40
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan Rakyat memberi keterangan lisan dalam persidangan tanggal 23
September 2014 dan menyampaikan keterangan tertulis yang diterima di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 25 September 2014 sebagai berikut:
A. KETENTUAN UU NOMOR 17 TAHUN 2014 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH (SELANJUTNYA DISINGKAT UU MD3) YANG DIMOHONKAN PENGUJIAN TERHADAP UUD TAHUN 1945
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengajukan pengujian atasUU
MD3 sebagai berikut:
- Pasal 84 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang
wakit ketua yang dipilih dari dan oleh aggota DPR.
(2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan
oleh anggota DPR dalam satu paket dan bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam
rapat paripurna DPR.
(4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimppinan DPR.
(5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara
musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara
dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan
DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7) Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR
dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7)
berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang
berbeda.
(9) Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
41
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR
diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
- Pasal 97 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat
kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3
(tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi dalam
satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan
prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimpinan komisi.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan komisi berdasarkan musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
(6) Pimpinan komisi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan komisi
diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
- Pasal 104 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang
bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling
banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota
Badan Legislasi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan
usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimpinan Badan Legislasi.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Legislasi berdasarkan
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
42
(5) Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan
DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
(6) Pimpinan Badan Legislasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan
Legislasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
- Pasal 109 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang
bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling
banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota
Badan Anggaran dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan
usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimpinan Badan Anggaran.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Anggaran berdasarkan
musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan
DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.
(6) Pimpinan Badan Anggaran ditetapkan dengan keputusan pimpinan
DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan
Anggaran diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
- Pasal 121 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu kesatuan
pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang
ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan
oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang
bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip
musyawarah untuk mufakat.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
43
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan
berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara
terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Mahkamah Kehormatan
Dewan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan
dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditetapkan dengan keputusan
pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan
Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam peraturan DPR tentang
tata tertib.
- Pasal 152 yang berbunyi sebagai berikut:
(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat
kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3
(tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT dalam
satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan
prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1
(satu) orang bakal calon pimpinan BURT.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan BURT berdasarkan musyawarah untuk
mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan
diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah
penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
(6) Pimpinan BURT ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan BURT
diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
44
terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 5 ayat (1), Pasal 20
ayat (1), Pasal 22E ayat (3), Pasal 28D dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP PARA PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU MD3
Para Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial
menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh berlakunya
Pasal a quo UU MD3 dengan alasan-alasan sebagaimana diuraikan dalam
permohonan yang pada pokoknya sebagai berikut:
1) bahwa ketentuan Pasal 84 UU a quo tentang mekanisme pemilihan
pimpinan dan wakil pimpinan DPR yang dilakukan dari dan oleh anggota
telah merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan dan/atau hak
konstitusional para Pemohon karena dengan adanya ketentuan hukum ini
menimbulkan akibat hukum menghilangkan hak konstitusional Pemohon I
sebagai partai pemenang dalam Pemilihan Umum Calon Anggota DPR,
DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota Tahun 2014 dan Pemohon II
serta Pemohon III untuk menjadi Ketua DPR RI; bertentangan dengan Pasal
28D UUD Tahun 1945 yang menjamin pengakuan dan jaminan hukum;
2) bahwa dengan diberlakukannya Pasal 84 UU a quo secara mutatits-
mutandis juga berlaku potensi kerugian bagi hak-hak konstitusional para
Pemohon sebagaimana diatur dalam Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal
115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU a quo, yaitu untuk pimpinan Komisi,
Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan
dan BURT tidak lagi diberikan kepada partai politik sesuai dengan
perolehan kursi secara proporsional, melainkan dipilih langsung dari dan
oleh anggota DPR (vide Permohonan hal. 23, angka III.2.2), sehingga
menimbulkan ketidakadilan dan merugikan kepentingan dan/atau hak
konstitusional bagi Pemohon I (DPP PDI Perjuangan), Pemohon II dan
Pemohon III atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum
yang adil, memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan, perlindungan, pemajuan, penegakan
dan pemenuhan HAM, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dalam naungan negara hukum;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
45
3) bahwa dalam penyusunan UU MD3, para Pemohon beranggapan telah
terjadi kesalahan prosedur pembuatan Undang-Undang sebagaimana
dimaksud dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan DPR Nomor 1 tentang Tata
Tertib, khususnya terkait asas keterbukaan, disebabkan materi final muatan
pasal-pasal a quo tidak berasal dari Naskah Akademik yang diajukan di
awal pembahasan DPR dan disampaikan kepada Pemerintah, dimana
Pemerintah pun tidak mengajukan usulan perubahan muatan sebagaimana
telah dirumuskan dalam Naskah Akademik RUU MD3 dari pihak DPR,
sehingga merugikan atau berpotensi merugikan kepentingan dan/atau hak
konstitusional para Pemohon karena UU MD3 yang dihasilkan kemudian
menghilangkan hak konstitusional Pemohon II dan Pemohon III untuk dapat
terpilih menjadi ketua DPR dan ketua DPRD;
C. KETERANGAN DPR
Terhadap dalil-dalil para Pemohon sebagaimana diuraikan dalam
Permohonan a quo, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
Tentang Kedudukan Hukum (legal standing). Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam Perkara
Nomor 73/PUU-XII/2014, DPR berpendapat sebagai berikut:
a. Bahwa Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 telah menentukan bahwa Anggota
DPR dipilih melalui pemilihan umum. Bahwa peserta pemilihan umum
untuk memilih anggota DPR adalah partai politik sebagaimana termaktub
dalam Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Bahwa anggota partai politik yang
terpilih dikelompokkan dalam fraksi-fraksi di DPR. Pemohon I yaitu Ketua
Umum DPP PDI Perjuangan, Pemohon II, Pemohon III, Pemohon IV dan
Pemohon V sebagai anggota partai PDI Perjuangan telah terwakili di
dalam fraksi di DPR, sedangkan Sekretaris DPP PDI Perjuangan
berstatus sebagai anggota DPR mempunyai hak konstitusional
berdasarkan Pasal 20A ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, “Selain
hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan
pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas”.
Begitu pula hak konstitusional Dewan Perwakilan Rakyat untuk
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
46
melaksanakan fungsinya, baik legislasi, anggaran, dan pengawasan,
tercantum dalam Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan,
“Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-
pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat
mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”
Sementara Pasal 21 UUD 1945 juga telah memberikan hak kepada
Anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan Undang-Undang yang
selengkapnya menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak
mengajukan usul rancangan undang-undang.”;
b. Bahwa berdasarkan Pasal 21 dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, maka
para Pemohon sebagai partai politik yang telah terwakili dalam Fraksi PDI
Perjuangan dan anggota DPR dari F-PDI Perjuangan selaku Pemohon
menjadi bagian yang penting ketika pembuatan Undang-Undang a quo.
Oleh karenanya, DPR berpendapat tidak ditemukan adanya tindakan
diskriminasi terhadap diri Pemohon, selaku partai politik dan anggota
DPR ketika Undang-Undang a quo dibentuk, sehingga tidak tepat ketika
setelah menjadi Undang-Undang justru dipersoalkan
konstitusionalitasnya yang berarti mempersoalkan tindakan fraksi dan
anggotanya sendiri di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi.
Dengan demikian, para Pemohon dalam perkara 73/PUU-XII/2014 tidak
memiliki kedudukan hukum (legal standing) karena sebagai partai politik telah
diwakili oleh fraksi dan anggotanya. Hal ini sesuai dengan pertimbangan
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Perkara Nomor 151/PUU-VII/2009
dalam halaman 84-85.
2. Tentang Pengujian atas UU Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Terhadap permohonan pengujianPasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal
109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 sebagaimana dalil-dalil para
Pemohon dalam permohonan a quo DPR menyampaikan pandangan sebagai
berikut:
a. Tentang Pengujian Formil (1) Bahwa para Pemohon mengajukan permohonan pengujian formil UU
MD3 dengan dalil proses penyusunan UU MD3 telah melanggar
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
47
ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (UU P3) dan Peraturan DPR Nomor 1 Tahun
2009 tentang Tata Tertib (Tata Tertib) (vide Permohonan angka 1, hal.
13);
(2) Bahwa pengujian formil Undang-Undang adalah pengujian Undang-
Undang yang dianggap dalam pembentukannya tidak memenuhi
ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UUD 1945 (vide
Pasal 57 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi);
(3) Bahwa pembentukan Undang-Undang secara formil diatur Pasal 20
UUD NRI Tahun 1945 yang memberikan kewenangan konstitusional
kepada DPR untuk membentuk undang-undang, dan setiap rancangan
Undang-Undang dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan
persetujuan bersama. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pembentukan undang-undang berdasarkan Pasal 22A UUD 1945,
diatur dengan undang-undang, maka dibentuklah UU P3;
(4) Bahwa berdasarkan Pasal 20, Pasal 22A UUD 1945, secara formil
pembentukan undang-undang dapat dilihat dari 2 (dua) hal. Pertama,
lembaga negara yang berwenang dalam proses pembentukan, yaitu
DPR dan Presiden. Kedua, mengenai proses pembahasan RUU yang
dijabarkan dalam Bab VII tentang Pembahasan dan Pengesahan RUU
Pasal 66 dan Pasal 67 UU P3, yang menyatakan:
a. Pasal 66 UU P3 juncto Pasal 148 UU 27 Tahun 2009
“Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan melalui 2
(dua) tingkat pembicaraan”.
b. Pasal 67 UU P3 juncto Pasal 149 UU 27 Tahun 2009
“Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66
terdiri atas:
1. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan
komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau
rapat Panitia Khusus; dan
2. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna.”
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
48
Tingkat pembicaraan dalam pembahasan RUU oleh DPR dan
Presiden, berdasarkan Pasal 152 UU 27 Tahun 2009 diatur dengan
Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2009 tentang Tata Tertib.
(5) Bahwa terkait Pembicaraan Tingkat I, dinyatakan dalam Pasal 150 UU
27 Tahun 2009 juncto Pasal 136 ayat (1) Tata Tertib yang berbunyi
sebagai berikut:
“Pembicaraan Tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah;
c. penyampaian pendapat mini sebagai sikap akhir; dan
d. pengambilan keputusan.”
Dalam Pasal 138 ayat (1) Tata Tertib dinyatakan pula
Pembicaraan Tingkat I dilakukan dalam rapat kerja, rapat panitia kerja,
rapat tim perumus/tim kecil, dan/atau rapat tim sinkronisasi.
(6) Bahwa pembahasan RUU MD3 telah melalui proses yang dimulai dari
penugasan Badan Musyawarah kepada Panitia Khusus pada tanggal
23 Januari 2014. Berdasarkan penugasan Badan Musyawarah, Panitia
Khusus RUU MD3 dibentuk pada tanggal 28 Januari 2014 dan telah
melakukan rangkaian pembahasan RUU MD3 dalam Pembicaraan
Tingkat I yang meliputi rapat kerja dengan pemerintah, rapat dengar
pendapat (RDP), rapat dengar pendapat umum (RDPU), rapat panitia
kerja, dan rapat tim perumus dan tim sinkronisasi. Rangkaian tahapan
pembahasan RUU MD3 tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:
Nomor Kegiatan Periode Waktu
1. Rapat Paripurna DPR RI 24 Oktober 2013
2. Rapat Badan Musyawarah 23 Januari 2014
3. Pembentukan Pansus 28 Januari 2014
4. Rapat Kerja 4 Maret – 14 Mei 2014
dan 12 Juni 2014
5. Rapat Dengar Pendapat (RDP) 19 Mei – 4 Juni 2014
6. Rapat Dengar Pendapat Umum
(RDPU) 20 Mei – 2 Juni 2014
7. Rapat Panitia Kerja 12 Juni – 7 Juli 2014
8. Rapat Tim Perumus 2 – 4 Juli 2014
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
49
9. Rapat Tim Sinkronisasi 4 – 6 Juli 2014
10. Raker Pansus 7 Juli 2014
Keseluruhan proses sebagaimana dimaksud dalam tabel di atas telah
diketahui oleh para Pemohon dan dinyatakan pula dalam
permohonannya (vide: Permohonan angka III.1 hal. 13-22);
(7) bahwa dalam proses pembahasan RUU baik dalam Pembicaraan
Tingkat I maupun Pembicaraan Tingkat II, Pemohon menghadiri dan
mengikuti proses pembahasan RUU MD3 sebagaimana dapat dilihat
dalam daftar hadir rapat dan risalah rapat pembahasan RUU MD3
terlampir;
(8) Bahwa terkait dengan munculnya ketentuan mengenai mekanisme
pemilihan Pimpinan DPR dalam pembahasan yang dipermasalahkan
secara formil oleh para Pemohon, dapat dijelaskan bahwa dalam
Raker Pansus Pembicaraan Tingkat I pada tanggal 7 Juli 2014,
substansi tersebut telah disepakati dengan beberapa alternatif
rumusan untuk diambil keputusan dalam Pembicaraan Tingkat II dalam
Rapat Paripurna tanggal 8 Juli 2014. Terkait mekanisme penambahan
substansi tersebut, sebenarnya telah disepakati pada Raker 12 Juni
2014 yang menyepakati mekanisme pembahasan utama adalah
berdasarkan DIM namun tidak menutup kemungkinan adanya usulan
baru di luar DIM yang berasal dari hasil RDP, RDPU, Rapat Konsultasi
maupun wacana yang berkembang di pansus;
(9) Bahwa hasil Pembicaraan Tingkat I atas pembahasan RUU dilanjutkan
pada Pembicaraan Tingkat II untuk mengambil keputusan dalam rapat
paripurna yang didahului salah satunya dengan pernyataan
persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota, apabila
persetujuan tidak tercapai secara musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak (vide
Pasal 151 UU 27 Tahun 2009 juncto Pasal 150 ayat (1) dan ayat (2)
Tata Tertib);
(10) Bahwa suara terbanyak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 150
ayat (2) Tata Tertib adalah sah apabila diambil dalam rapat yang
dihadiri oleh anggota dan unsur fraksi, dan disetujui oleh lebih dari
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
50
separuh jumlah anggota yang hadir (vide Pasal 277 ayat (1) Tata
Tertib);
(11) Bahwa ketentuan mengenai mekanisme pemilihan Pimpinan DPR
telah disetujui dalam Pembicaraan Tingkat II DPR melalui
pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak. Oleh
karenanya, proses pembahasan RUU MD3 telah memenuhi syarat
formil sebagaimana diatur dalam Pasal 20, dan Pasal 22A UUD
1945, UU 27 Tahun 2009, UU 12 Tahun 2011 dan Tata Tertib;
(12) Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat bahwa UU MD3
secara formil tidak bertentangan dengan UUD 1945.
b. Tentang Pengujian Materiil Sebelum kami menyampaikan keterangan terhadap pengujian materiil
di atas beberapa pasal yang dimohonkan Pemohon, perkenankan kami
menyampaikan secara ringkas berkaitan dengan prinsip demokrasi, hak
memilih dan dipilih, independensi lembaga, perbandingan pengisian
pimpinan lembaga negara, dan tata cara pengisian Pimpinan DPR dan
pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya sejak DPR dibentuk sampai
dengan DPR periode 2009-2014.
(1) Bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang telah diakui dan
dipraktikkan sejak lama. Dalam sistem demokrasi, rakyat memiliki hak
dan kedudukan sebagai penentu dalam penyelenggaraan
pemerintahan, suara rakyat adalah suara Tuhan “Vox Populei Vox
Dei”. Rakyat memilih para wakilnya untuk menyelenggarakan
pemerintahan. Demokrasi melahirkan sistem perwakilan yang menjadi
latar belakang munculnya ide lembaga perwakilan atau lembaga
parlemen. Parlemen mewakili suara mayoritas rakyat dan sebagai
tempat bagi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan
penyelenggaraan pemerintahan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh
C. F Strong bahwa, “A system of government in which the majority if
the grown members of a political community participate through a
method of a representation which secures that the government is
ultimately responsible for its action to that majority.” Konsep negara
demokrasi di Indonesia dinyatakan dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (2)
yang menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
51
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Indonesia juga
menganut konsep negara hukum, sehingga demokrasi di Indonesia
dibatasi oleh hukum (nomokrasi),sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945bahwa “Negara Indonesia adalah negara
hukum.” Selanjutnya, pemilihan merupakan mekanisme pelaksanaan
kedaulatan rakyat. Dalam Pasal 19 ayat (1) UUD 1945 diatur “Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum” juncto
Pasal 22E ayat (2) “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Selanjutnya pemilihan umum menghasilkan besaran perolehan
suara“majority”. Pada negara yang menganut sistem dwi partai, partai
yang memperoleh mayoritas suara dinyatakan sebagai partai
pemenang pemilu dan menguasai parlemen (majority rule). Berbeda
dengan negara yang menganut sistem multi partai, untuk memperoleh
suara mayoritas yang melebihi50% sulit untuk dicapai, terhadap hal
seperti ini koalisi antar beberapa partai merupakan opsi politik untuk
mencapai majority rule. Terciptanya koalisi membuka ruang kompromi
dan kompetisi antara berbagai partai politik di parlemen, termasuk
dalam hal pemilihan pimpinan.
(2) Bahwa hak memilih dan dipilih merupakan hak konstitusional yang
harus dilaksanakan untuk memberikan kesempatan yang sama dalam
hukum dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1)
serta Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, yang juga secara
spesifik dimuat dalam Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi, “Setiap warga negara
berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan
persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.” Hak memilih juga tercantum dalam
International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political
Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik).
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
52
Berdasarkan prinsip hak asasi manusia, hak memilih dan dipilih
melekat pada setiap individu termasuk pada diri setiap anggota
lembaga perwakilan, meskipun mereka sudah menjadi anggota
lembaga perwakilan yang dipilih oleh rakyat, sehingga setiap anggota
lembaga perwakilan memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih
sebagai pimpinan meskipun berasal dari partai minoritas di parlemen.
(3) Bahwa lembaga perwakilan sebagai lembaga negara yang dibentuk
berdasarkan konstitusi memiliki independensi untuk mengaturdan
mengurus kelembagaannya (independent and self-regulatory bodies),
serta menentukan berbagai mekanisme di lembaga tersebut. Salah
satu contohnya adalah dalam hal mengatur mekanisme pemilihan
pimpinan.
(4) Bahwa pengisian pimpinan secara independen yang dipilih “dari dan
oleh anggota”,juga dilakukan oleh lembaga negara lainnya, seperti
pemilihan pimpinan MPR, DPD, BPK, MA, dan bahkanpimpinan MK
sendiri dipilih dari dan oleh anggota MK. Sejak DPR dibentuk sampai
dengan September 2009, pimpinan DPR selalu dipilih dari dan oleh
anggota DPR. Penetapan pimpinan DPR yang berasal dari anggota
partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sampai
dengan kelima di DPRhanya pada DPR periode 2009 – 2014 saja.
Oleh karenanya, pemilihan pimpinan berdasarkan perolehan suara
terbanyak bukan merupakan konvensi ketatanegaraan.
Terhadap pokok-pokok permohonan pengujian ketentuan Pasal 84,
Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU
MD3,DPR memberikan keterangan sebagai berikut:
(1) Bahwa para Pemohon dalam permohonannya menghendaki agar
pimpinan DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik
dengan perolehan kursi terbanyak di DPR, sebagaimana yang diatur
pada Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009, sehingga Pemohon sebagai
pemenang Pemilu Legislatif DPR, DPD, DPRD Provinsi dan
Kabupaten/Kota Tahun 2014 merasa berhak menjadi Ketua DPR RI.
Akan tetapi, ketentuan tersebut diubah dengan Pasal 84 UU MD3;
(2) Bahwa para Pemohon beranggapan sudah menjadi hal yang umum
untuk mengadopsi konvensi partai politik pemenang pemilu legislatif
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
53
menjadi Ketua Parlemen, sebagaimana yang dilaksanakan di Amerika
Serikat. Terhadap anggapan para Pemohon tersebut, dapat dijelaskan
bahwa justru pola kepemimpinan di Kongres Amerika Serikat dikuasai
oleh partai pemenang pemilu atau partai mayoritas. Thomas Jefferson,
Charles de Montesquieu, Alexis de Tocqueville, dan Alexander
Hamilton dalam berbagai tulisan mengkritik sistem demokrasi
perwakilan di parlemen Amerika yang dikuasai oleh partai mayoritas
sebagai suatu tirani legislatif (legislative tyranny), dimana partai
mayoritas sering memiliki agenda pribadi terselubung, serta
mengabaikan suara dari partai minoritas dan suara rakyatitu sendiri.
Tirani mayoritas juga dialami oleh Yunani ketika demokrasi perwakilan
yang dijalankan tidak disertai dengan pembatasan, sehingga
mengurangi esensi demokrasi.
(3) Bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis harus
menerapkan prinsip check and balances. Apabila pemerintah dan
parlemen berasal dari satu partai politik yang sama, prinsip check and
balances menjadi kurang efektif dalam pemerintahan, serta akan
terjadi pemusatan kekuatan partai politik.
(4) Bahwa ketentuan Pasal 84 UU MD3 mengatur pemilihanpimpinan dari
dan oleh anggota DPR, merupakan pilihan kebijakan untuk
menegakkan prinsip demokrasi di parlemen. Model yang diadopsi oleh
UU MD3 ini telah sesuai dengan konsep kedaulatan rakyat yang
mengakui hak anggota lembaga perwakilan untuk tetap memiliki hak
memilih dan dipilih di dalam lembaga perwakilan (DPR), sebagaimana
telah diatur dalam Pasal 80 huruf d UU MD3. Ketentuan dalam pasal a
quo sekaligus memberikan perlindungan terhadap hak dan
kepentingan partai minoritas. Meskipun demikian, pengisian pimpinan
DPR melalui pemilihan tetap memberikan ruang musyawarah untuk
mufakat yang merupakan ciri demokrasi Indonesia.
(5) Bahwa sesuai dengan pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan
perkara Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004, hak
memilih dan dipilih (rights to vote and right to be candidate) dijamin
oleh konstitusi, undang-undang, dan konvensi internasional.
Pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan akan hak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
54
dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak asasi dari warga
negara. Dalam menentukan pimpinan di DPR pun tidak diperlukan
pembatasan, penyimpangan, peniadaan, dan penghapusan hak bagi
setiap anggota untuk memilih dan dipilih. Pemilihan pimpinan DPR
secara demokratis menjamin kualitas sesuai dengan yang diinginkan
oleh para anggota DPR, bukan keinginan fraksi semata yang akhirnya
memperlemah citra DPR di mata publik.
(6) Bahwa diaturnya tata cara pengisian pimpinan DPR UU MD3 melalui
mekanisme dipilih dari dan oleh anggota, tidak merugikan hak para
Pemohon sebagai partai politik yang memperoleh suara dan kursi
terbanyak pada pemilu legislatif tahun 2014, karena Pemohon tetap
memiliki kesempatan untuk dipilih menjadi pimpinan DPR.
(7) Bahwa sebagai lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan
sebagai lembaga negara, DPR memiliki hak untuk mengatur dan
mengurus dirinya sendiri menurut konstitusi.Pengisian pimpinan DPR
merupakan pilihan kebijakan untuk memberikan pengakuan dan
menegakkan independensi secara kelembagaan.
(8) Bahwa praktik pengisian pimpinan lembaga negara secara independen
juga diberlakukan pada lembaga negara lainnya berdasarkan UUD
1945. Selanjutnya, perkenankan kami menyampaikan beberapa tata
cara pengisian pimpinan lembaga negara:
No Lembaga Negara
Dasar Hukum Tata Cara Pengisian Pimpinan
1 MPR Pasal 15 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pimpinan MPR dipilih dari dan oleh anggota MPR
2 DPD Pasal 260 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pimpinan DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD.
3 BPK Pasal 15 UU Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK
Ketua dan Wakil Ketua BPK dipilih dari dan oleh anggota BPK
4 MA Pasal 24A ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 8 ayat 7 UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU
Ketua dan Wakil Ketua MA dipilih dari dan oleh hakim agung.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
55
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA
5 MK Pasal 24C ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 dan Pasal 4 ayat (3) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK
Ketua dan Wakil Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim konstitusi
6 KY Pasal 7 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
Pimpinan Komisi Yudisial dipilih dari dan oleh anggota Komisi Yudisial
(9) Penetapan Ketua DPR berasal dari anggota partai politik yang
memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR, bukan merupakan
konvensi ketatanegaraan karena sejak DPR berdiri sampai dengan
September 2009, Ketua DPR selalu dipilih dari dan oleh anggota DPR,
hanya pada DPR periode 2009 – 2014 saja, Ketua DPR ditetapkan
dari anggota partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di
DPR. Demikian juga dengan pimpinan AKD lainnya, penetapan Ketua
AKD berasal dari anggota partai politik yang memperoleh kursi
terbanyak pertama di DPR juga bukan merupakan konvensi
ketatanegaraan. Berikut diuraikan tata cara pengisian Pimpinan DPR
dan Pimpinan AKD lainnya sejak DPR berdiri sampai dengan DPR
periode 2009 - 2014:
Periode Keanggotaan
DPR
Dasar Hukum Tata Cara Pengisian Pimpinan DPR dan/atau Pimpinan AKD Lainnya
Periode Komite Nasional Pusat (KNP) dan Badan Pekerja KNP
Peraturan Tata Tertib KNP (Disahkan dalam rapat Badan Pekerja KNP tanggal 1 Desember 1949)
---
Pasal 1 dan Pasal 2 Peraturan Tata Tertib Badan Pekerja KNP (Disahkan dalam rapat Badan Pekerja tanggal 10 Juni 1947)
• Ketua Badan Pekerja ialah Komite Nasional Pusat.
• Wakil Ketua I dan Wakil Ketua II dipilih oleh Badan Pekerja di antara anggota-anggotanya
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
56
Periode DPR dan Senat RIS
Pasal 9 s. d. Pasal 26 Peraturan Tata Tertib Senat RIS
Ketua dan Wakil Ketua Senat dipilih dari dan oleh anggota Senat
Periode DPR Sementara (16 Agustus 1950 – 25 Maret 1956)
• Pasal 5 s. d. Pasal 17, Pasal 28 ayat (2), dan Pasal 31 ayat (1) dan ayat (3) Keputusan DPR Sementara Nomor 30/K/1950 tentang Peraturan Tata Tertib DPRS
• Ketua dan Wakil-Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota DPRS
• Pimpinan AKD lainnya (Seksi-Seksi dan Bahagian-Bahagian) dipilih dari dan oleh anggotanya
Periode DPR hasil Pemilu Tahun 1955, 26 Maret 1956 – 22 Juli 1959)
Pasal 2 s. d. Pasal Pasal 13 Keputusan DPR Nomor 8/DPR-45/59 tentang Peraturan Tata Tertib DPR (TLN Tahun 1959 Nomor1897)
• Ketua dan Wakil-Wakil Ketua dipilih dari dan oleh anggota DPR
• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPR ditetapkan oleh AKD (Badan Perlengkapan DPR) yang bersangkutan.
Periode DPR hasil Pemilu 1955, Berlandaskan UUD 1945, 22 Juli 1959 – 29 Juli 1960)
Pasal 2 dan Pasal 12 Peraturan Presiden RI Nomor 14 Tahun 1960 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat (TLN Tahun 1960 Nomor 1897)
• Pimpinan DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPR) ditetapkan oleh AKD (Badan Perlengkapan DPR) yang bersangkutan.
Periode DPRGR, Orde Lama, 24 Juni 1960 – 15 Nopember 1965)
Pasal 2, Pasal 12, dan Pasal 15 Peraturan Presiden RI Nomor 28 Tahun 1960 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR (LN Nomor 176 Tahun 1960)
• Pimpinan DPR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPR) diangkat oleh pimpinan DPR
• Pasal 3, Pasal 11, Pasal 14 dan Pasal 17, Peraturan Presiden RI Nomor 32 Tahun 1964 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR (LN Nomor 91 Tahun 1964, TLN Tahun 1964 Nomor 2684)
• Pimpinan DPRGR diangkat dan diberhentikan oleh Presiden/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi
• Pimpinan AKD (Badan Perlengkapan DPRGR) diangkat oleh pimpinan DPRGR
Periode DPRGR Minus PKI, 15 November 1965 – 19 November 1966)
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 1966 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR (LN Nomor 91 Tahun 1964, TLN Tahun 1964 Nomor 2684
---
Pasal 5, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 27 Keputusan
• Ketua dan Wakil - Wakil Ketua DPRGR dipilih dari
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
57
DPRGR Nomor 31/DPR-GR/IV/65-66 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR
dan oleh anggota • Pimpinan AKD (Badan
Perlengkapan DPRGR) ditetapkan oleh pimpinan DPRGR dengan memperhatikan pertimbangan kelompok-kelompok
Pasal 1 Keputusan DPRGR Nomor 30/DPR-GR/IV/65-66 tanggal 17 Mei 1966 tentang Peraturan Tata Tertib Pemilihan Pimpinan DPR
Pimpinan DPR dipilih oleh dan dari anggota DPRGR
Periode DPRGR dalam zaman Orde Baru, 19 November 1966 – 28 Oktober 1971)
Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 1966 tentang Kedudukan MPRS dan DPRGR Menjelang Pemilihan Umum
Ketua dan para Wakil Ketua DPR-GR dipilih oleh dan dari anggota
Pasal 27 dan Pasal 30 Keputusan DPRGR Nomor 10/DPR-GR/III/1967-1968 tentang Peraturan Tata Tertib DPRGR
Pimpinan Badan Kelengkapan DPRGR ditetapkan oleh pimpinan DPRGR
Periode DPR hasil Pemilu Tahun 1971, 28 Oktober 1971 – 30 September 1977
Pasal 16 UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
Pasal 35, Pasal 43, dan Pasal 45 Keputusan DPR Nomor 7/DPR-RI/III/71-72 tanggal 8 Januari 1972
• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
• Pimpinan Panitia Rumah Tangga ditetapkan oleh Badan Musyawarah
• Pimpinan komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi
Periode DPR hasil Pemilihan Umum 1977, tanggal 1 Oktober 1977 – 30 September 1982
UU Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
Pasal 44, Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 59 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 17/DPR-RI/IV/77-78 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI sebagaimana telah diubah dengan Keputusan DPR RI Nomor 14/DPR-RI/IV/78-79 tentang Penyempurnaan Tata Tertib DPR RI
• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan
Periode DPR RI hasil Pemilu
UU Nomor 5 Tahun 1975 tentang Perubahan UU
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
58
Tahun 1982, dilantik dan diambil sumpahnya tanggal 1 Oktober 1982
Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
Pasal 46, Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 63 ayat (1) dan ayat (2), dan Pasal 67 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 10/DPR-RI/III/82-83 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI
• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota
• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan
Periode DPR RI hasil Pemilu 23 April 1987 (DPR Periode 1987 – 1992)
UU Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 1969 Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 1975
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
Periode DPR RI hasil Pemilu 9 Juni 1992 (DPR Periode 1992 – 1997)
UU Nomor 2 Tahun 1985 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 1969 Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 1975
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
Periode DPR RI hasil Pemilu 29 Mei 1997 (DPR Periode 1997 – 1999)
UU Nomor 5 Tahun 1995 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD Sebagaimana Telah Beberapa Kali Diubah, Terakhir dengan UU Nomor 2 Tahun 1985
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
Pasal 46, Pasal 58 ayat (2), Pasal 63 ayat (2), dan Pasal 67 ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI
• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan
Periode DPR RI hasil Pemilu 1999 (DPR Periode 1999 – 2004)
Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD
Pemilihan
Pasal 24, Pasal 36, Pasal 41, Pasal 45, Pasal 49, dan Pasal 53 Keputusan DPR Nomor 16/DPR RI/1999-2000 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI
• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan
Periode DPR RI hasil Pemilu 2004 (DPR Periode
Pasal 21 UU Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh Anggota DPR
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
59
2004 – 2009) MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 23, Pasal 36 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 45 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 54 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 58 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan DPR RI Nomor 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI
• Pimpinan DPR dipilih dari dan oleh anggota DPR
• Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan
Periode DPR RI hasil Pemilu 2009 (DPR Periode 2009 – 2014)
Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pimpinan DPR berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR
Pasal 95, Pasal 101, Pasal 106, Pasal 119, Pasal 125, dan Pasal 132 UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
Pimpinan AKD lainnya dipilih dari dan oleh anggota AKD yang bersangkutan
(10) Bahwa berdasarkan uraian di atas, maka DPR berpendapat ketentuan
Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan
Pasal 152 UU MD3 sebagaimana dimaksudkan dalam permohonan
a quo adalah tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Demikian Keterangan DPR untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Hakim
Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk memeriksa, memutus dan mengadili
perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menolak permohonan para Pemohon atau setidaknya menyatakan
Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima;
2. Menyatakan Keterangan DPR diterima untuk seluruhnya;
3. Menyatakan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121,
dan Pasal 152 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan
dengan UUD 1945;
4. Menyatakan Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121,
dan Pasal 152 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014
Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tetap mempunyai
kekuatan hukum mengikat.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
60
[2.5] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden
memberi keterangan lisan dalam persidangan tanggal 23 September 2014,
sebagai berikut:
1. Bahwa Pemerintah mengapresiasi dan menghargai usaha-usaha yang
dilakukan oleh masyarakat termasuk juga oleh Para Pemohon untuk
mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang MD3. Tentunya
kesemuanya adalah satu tujuannya adalah dalam rangka menjaga dan
memperbaiki demokrasi dan sistem ketatanegaraan agar dapat berjalan sesuai
dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
yang menurut Pemerintah hal ini adalah tepat diajukan ke Mahkamah
Konstitusi untuk mendapatkan putusan dan menjadi jalan keluar yang terbaik; 2. Bahwa terkait dengan permohonan pengujian Pasal 84 Undang-Undang MD3
yang pada intinya mengatur tentang tata cara pemilihan pimpinan DPR, yaitu
bahwa calon pimpinan DPR terdiri atas satu orang ketua dan empat orang
wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang
bersifat tetap.Adapun calon pimpinan dapat disampaikan dalam rapat
paripurna oleh masing-masing fraksi yang selanjutnya dipilih secara
musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan oleh ketua atau keputusan DPR. 3. Bahwa pascaperubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami banyak perubahan
termasuk kelembagaan pemusyawaratan perwakilan, yaitu MPR, DPR, dan
DPD, dan DPRD. Perubahan dimaksud adalah dalam rangka untuk
mewujudkan lembaga pemusyawaratan perwakilan yang lebih demokratis,
efektif, dan akuntabel. 4. Bahwa pimpinan DPR dan pimpinan alat kelengkapan DPR adalah bagian dari
anggota MPR sehingga dapat dimungkinkan adanya proses pemilihan dengan
suara terbanyak jika penyelesaian melalui musyawarah mufakat tidak tercapai.
Hal ini dimaksudkan agar terwujudnya pimpinan lembaga permusyawaratan
yang lebih demokratis dengan mengedepankan proses musyawarah mufakat
dan suara terbanyak. Hal tersebut, merupakan suatu proses yang sesuai
dengan nilai-nilai demokratis dalam pola pemilihan yang melibatkan seluruh
unsur fraksi yang ada di dalam DPR sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
61
5. Bahwa dengan adanya ketentuan yang menjadi objek permohonan a quo,
maka tidak menutup kemungkinan bahwa partai politik yang memperoleh
suara terbanyak dapat mengajukan calonnya untuk menjadi pimpinan DPR. 6. Bahwa terhadap beberapa Pasal yang dimohonkan pengujian terkait dengan
keterwakilan perempuan, menurut perimbangan anggota di tiap-tiap partai,
yaitu sebagaimana tercantum di dalam Ketentuan Pasal 97, Pasal 104, Pasal
109, kemudian Pasal 115, Pasal 125, dan Pasal 152 yang terkait dengan alat
kelengkapan DPR dan keterwakilan perempuan, maka menurut Pemerintah
hal tersebut merupakan salah satu langkah perbaikan demokrasi penataan
kelembagaan negara yang berbasis kepada kedaulatan anggota dalam
rekrutmen pimpinan secara proporsional. Meskipun dalam ketentuan a quo
tidak menyebutkan adanya klausal keterwakilan perempuan, namun bukan
berarti membatasi peran serta perempuan untuk duduk sebagai unsur
pimpinan di dalam lembaga negara tersebut. Justru ketentuan tersebut
menurut Pemerintah telah memberikan keleluasaan seluas-luasnya agar
perempuan dapat berkiprah lebih jauh dan lebih menentukan pada lembaga-
lembaga negara tersebut. 7. Bahwa terkait dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang MD3 yang
mengatur tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota DPR yang
diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari
Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan bagian dari pelaksanaan asas
praduga tak bersalah, dan persamaan kedudukan hukum, berkesamaan
kedudukan di muka hukum dalam rangka menjaga wibawa hukum.
Pengaturan tersebut dimaksudkan untuk tidak menghalang-halangi proses
penegakan hukum dalam rangka melakukan penyelidikan dan penyidikan,
namun lebih kepada persyaratan administratif untuk meyakinkan bahwa
dugaan pidana terhadap anggota DPR telah memiliki bukti atau basis yuridis
yang kuat. 8. Bahwa dalam ketentuan Pasal 245 juga telah memberikan jalan keluar, yaitu
apabila dalam kurun waktu 30 hari persetujuan tertulis tidak diberikan, maka
proses penyelidikan dan penyidikan dapat dilaksanakan tanpa persetujuan
tertulis dari Dewan Kehormatan Dewan, dan ketentuan ini menurut Pemerintah
telah memberikan kepastian hukum bagi aparat penegak hukum
melaksanakan tugasnya.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
62
9. Bahwa berdasarkan seluruh penjelasan tersebut di atas, Pemerintah
memohon Mahkamah Konstitusi yang memeriksa, mengadili, dan memutus
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
untuk memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-adilnya, ex aequo et
bono
[2.6] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait
Fahri Hamzah, Muhammad Nasir Djamil, S.Ag., Dr.H.Sa’duddin, M.M., dan Hadi Mulyadi memberi keterangan lisan dan tertulis dalam persidangan tanggal 23
September 2014, sebagai berikut:
I. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) 1. Bahwa Pihak Terkait adalah perseorangan warga negara Republik
Indonesia yang merupakan Calon Legislatif DPR RI dari Partai Keadilan
Sejahtera yang ditetapkan oleh KPU sebagai anggota DPR RI terpilih
periode 2014-2019;
2. Bahwa dengan adanya pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perkara Nomor73/PUU-
XII/2014, sangat berkaitan dengan para Pihak Terkait dalam kapasitasnya
sebagai anggota DPR RI terpilih periode 2014-2019;
3. Bahwa di dalam permohonan yang diajukan oleh para Pemohon, pokok
permohonan dan petitum yang dimohonkan secara jelas dan nyata-nyata
akan sangat merugikan hak konstitusional dan kepentingan PIHAK
TERKAIT sebagai anggota DPR RI Terpilih periode 2014-2019;
4. Bahwa Pihak Terkait adalah anggota DPR RI Terpilih Periode 2014-2019
yang memiliki kedudukan yang sama dihadapan hukum dan pemerintahan
untuk memilih dan dipilih menjadi pimpinan DPR sesuai dengan amanah
Pasal 27 UUD 1945 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”
5. Bahwa berdasarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara PengujianUndang-
Undangberdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) “Pihak Terkait yang
dimaksud Pasal 13 ayat (1) huruf g adalah pihak yang berkepentingan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
63
langsung atau tidak langsung dengan pokok permohonan.dan ayat (2)
“Pihak Terkait yang berkepentingan langsung adalah pihak yang hak
dan/atau kewenangannya terpengaruh oleh pokok permohonan.”
6. Bahwa dengan diajukannya pengujian Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dalam Perkara Nomor 73/PUU-
XII/2014 oleh para Pemohon, Pihak Terkait berkepentingan langsung yang
hak dan kewenangannya terpengaruh dengan pokok permohonan.
7. Atas dasar alasan-alasan sebagaimana diuraikan diatas, secara jelas dan
nyata Pihak Terkait akan dirugikan hak-hak dan kepentingannya apabila
Permohonan Pengujian Undang-Undang yang diajukan para Pemohon
diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Konstitusi tanpa kehadiran dan
mendengarkan keterangan Pihak Terkait;
8. Bahwa oleh karenanya untuk membela hak-hak konstitusional dan
kepentingan hukum, maka Pihak Terkait mempunyai kedudukan hukum
atau legal standing untuk mengajukan permohonan sebagai Pihak Terkait
dan menyampaikan keterangan dalam pemeriksaan perkara aquo,
sehingga beralasan hukum bagi Ketua Mahkamah Konstitusi untuk
memeriksa dan mengadili perkara a quo serta menerima dan
mempertimbangkan Keterangan yang kami sampaikan.
II. EKSEPSI II.1 PERMOHONAN PARA PEMOHON PREMATURE Bahwa terkait dengan Permohonan yang diajukanPemohon, Pihak Terkait
mengajukan eksepsi mengenai Permohonan para Pemohon Premature,
dengan dasar-dasar dan alasan-alasan sebagai berikut:
9. Bahwa Pemohon telah salah dalam menafsirkan batas tenggang waktu
pengajuan uji formil terhadap diundangkannya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014 sebagaimana pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-
VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Pemohon tidak mencermati makna
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-VII/2009 di maksud yang
secara tegas menyatakan “Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam
pokok permohonan a quo Mahkamah memandang perlu untuk
memberikan batasan waktu atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
64
secara formil. Pertimbngan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat
karakteristik dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil.
Sebuah Undang-Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara
sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahuui
dibandingkan dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan
dengan UUD 1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu
dapat diketahui lebih cepat statusnya apakah telah dibuat secara sah atau
tidak, sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang
batal sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh
lima hari setelah Undang-Undang dimut dalam Lembaran Negara sebagai
waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-
Undang”.Atau dengan kata lain Uji formil dapat diajukan permohonannya
dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah RUU disahkan
menjadi Undang-Undang dan dimasukkan dalam LembaranNegara;
10. Bahwa Pemohon telah salah dalam menetapkan tanggal 8 Juli 2014
adalah sebagai tanggal pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2014, bahwa dalam dalil perbaikan permohonan para Pemohon tertanggal
29 agustus 2014 halaman 12 menyatakan “Bahwa UU 17/2014 disahkan
pada tanggal 8 Juli 2014 dan diundangkan pada tanggal 5 Agustus 2014,
sementara pengajuan permohonan a quo pada tanggal 24 Juli 2014, maka
permohonan uji formil atas Pasal 84 UU 17/2014 masih dalam tenggang
waktu sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-
VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009” .
Faktanya Undang-Undanga quo dimaksud disahkan pada tanggal 5
Agustus 2014 sebagaimana tertulis dalam halaman terakhir naskah
Undang–Undang Nomor 17 Tahun 2014. Tanggal 8 Juli 2014 adalah
tanggal persetujuan bersama oleh DPR dan Presiden terhadap RUU
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD 3). Hal mana
sebagaimana tertuang dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu: “Setiap
rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama’;
11. Bahwa permohonan Pemohon didaftarkan pada tanggal 25 Juli 2014
yang kemudian diregister dalam perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 atau
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
65
ketika UU Nomor 17 Tahun 2014 masih dalam bentuk Rancangan
Undang-Undang karena belum disahkan dan belum dimasukan dalam
Lembaran Negara. Bahkan, meskipun perbaikan permohonan Para
Pemohon tertanggal 29 Agustus 2014 namun secara formal yuridis masih
belum masuk jangka waktu diajukannya permohonan judicial review
Undang-Undang a quo.
12. Bahwa Undang Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru disahkan dan
diundangkan masuk dalam lembaran Negara Republik Indonesia pada
tanggal 5 Agustus 2014 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, maka terbukti permohonan
aquo premature karena Undang-Undang yang diajukan masih berupa
Rancangan Undang-Undang (RUU) dan cukup beralasan hukum bagi
Mahkamah menyatakan Permohonan a quo tidak dapat diterima
(nietontvankelijk verklaard);
II.2 PEMOHON TIDAK MEMPUNYAI LEGAL STANDING Bahwa terkait dengan Permohonan yang diajukan Pemohon, Pihak Terkait
mengajukan eksepsi bahwa Pemohon tidak mempunyai legal standing untuk
mengajukan permohonan dengan dasar-dasar dan alasan-alasan sebagai
berikut:
13. Bahwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
(selanjutnya disebut UU MK), menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak
yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu
a. perorangan warga negara Indonesia;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
66
Dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang MK dinyatakan
bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang
diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Hal ini berarti bahwa adanya
hak–hak yang secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 yang termasuk “Hak
konstitusional”. Oleh karena itu menurut Undang-Undang MK, agar
seseorang atau suatu pihak dapat diterima sebagai pihak Pemohon yang
memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam permohonan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945, maka terlebih dahulu harus
menjelaskan dan membuktikan:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan penjelasan Undang-Undang MK
yang dianggapnya telah dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-
Undang yang dimohonkan pengujiannya;
b. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon sebagai
akibat dari berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujiannya
14. Bahwa Mahkamah konstitusi telah memberikan pengertian dan batasan
tentang kerugian konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu
Undang Undang berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK sebagaimana
tertuang dalam Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Putusan 010/PUU-
III/2005 yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang
yang dimohonkan pengujiannya;
c. kerugian konstitusional pemohon yang dimaksud bersifat spesifik
(khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut
penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (casual verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
67
Apabila kelima syarat tersebut di atas tidak dipenuhi oleh Pemohon maka
pemohon tidak memiliki kualifikasi kedudukan hukum (legal standing)
sebagai pihak Pemohon;
15. Bahwa berdasarkan pada ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang
MK serta persyaratannya menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005 dan Putusan Nomor 010/PUU-III/2005, Pihak Terkait
berpendapat bahwa tidak ada kerugian konstitusional para Pemohon atau
kerugian yang bersifat potensial akan terjadi dengan berlakunya Pasal
84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014, dengan penjelasan sebagai
berikut:
a. Bahwa dalam permohonan a quo Pemohon tidak menjelaskan secara
konkrit hak-hak konstitusionalnya yang dirugikan sebagai akibat
berlakunya Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
b. Bahwa dalil para Pemohon yang mendalilkan bahwa dengan berlakunya
Pasal tersebut berpotensi merugikan para Pemohon untuk menjadi
pimpinan DPR dan pimpinan kelengkapan DPR dimana hak menjadi
pimpinan DPR dan Pimpinan Kelengkapan DPR menjadi hilang sangat
berlebihan dan tidak berdasar;
c. Bahwa Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 justru
mengakomodir hak – hak setiap anggota DPR untuk menjadi Calon
Pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR sebagaimana yang
diamanahkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yaitu “segala warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya”
d. Bahwa setiap anggota DPR RI berhak dan mempunyai kedudukan yang
sama untuk menjadi bakal calon pimpinan DPR, dengan demikian dalil
tersebut hanyalah asumsi para Pemohon, sesungguhnya para
Pemohon sama sekali tidak mengalami kerugian konstitusional seperti
yang didalilkan;
16. Bahwa dengan dikabulkannya permohonan para Pemohon justru akan
mengakibatkan adanya kerugian hak dan kewenangan konstitusional bagi
Pihak Terkait selaku anggota DPR RI Terpilih Periode 2014-2019 karena
tidak dapat dicalonkan untuk menjadi pimpinan DPR, jelas hal ini
melanggar Pasal 27 ayat (1) UUD 1945;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
68
17. Bahwa ketentuan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal
22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang
dijadikan dasar oleh para Pemohon untuk mendalilkan adanya kerugian
konstitusional para Pemohon adalah tidak terbukti karena pada dasarnya
prinsip prinsip yang terkandung dalam Pasal-Pasal UUD 1945 a quo sudah
masuk dalam Pasal-Pasal dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 yang
dianggap merugikan oleh Para Pemohon, yaitu Pasal 84, UU Nomor 17
Tahun 2014. Oleh karenanya sudah jelas dan dapat dipastikan tidak ada
kerugian konstitusional yang spesifik (khusus) dan aktual yang dialami
para Pemohon;
18. Bahwa berdasarkan uraian tersebut Pihak Terkait berpendapat bahwa
sesungguhnya tidak sedikitpun terdapat hak konstitusional para Pemohon
yang dirugikan, ataupun sama sekali berpotensi menimbulkan kerugian
konstitusional terhadap para Pemohon;
19. Bahwa oleh karena tidak sedikitpun hak dan kewenangan para Pemohon
yang dirugikan maupun adanya potensi kerugian dengan berlakunya
Pasal-Pasal a quo maka sudah sepatutnya Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi Yang Mulia menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat
diterima (niet ontvankelijk verklaard);
20. Bahwa Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing), Pihak
Terkait berpendapat Pemohon I sebagai Partai Politik telah menempatkan
kader-kadernya sebagai sebagai wakilnya dengan menjadi anggota DPR,
Fraksi PDIP, yang memiliki kewenangan untuk membuat Undang-Undanga
quo, dengan kata lain Partai Politik yang menempatkan kadernya sebagai
anggota DPR tentulah menjadi bagian dari pembuatan Undang-Undang
dalam hal ini termasuk sebagai bagian Lembaga DPR;
21. Bahwa yang memegang sebagai kekuasaan membentuk Udang-Undang
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 adalah DPR sebagai Institusi
atau lembaga sehingga sungguh janggal jika Undang-Undang yang dibuat
oleh DPR dan menjadi kekuasaan DPR untuk membentuknya masih dapat
diuji konstitusionallitasnya oleh DPR sendiri yang telah ikut membahas
dalam proses pembentukan Undang-Undanga quo;
22. Bahwa oleh karenanya Pemohon I tidak tepat sebagai pihak yang
mengajukan permohonan pengajuan Undang-Undanga quo karena
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
69
substansi persoalan dalam permohonan a quo adalah persoalan legislative
review, apalagi berkaitan dengan pengaturan yang bersifat open legal
policy, yang kewenangannya dimiliki oleh anggota Dewan Perwakilan
Rakyat itu sendiri. Sehingga menurut Pihak Terkait alangkah tepatnya jika
Pemohon I melalui wakilnya di DPR melakukan usul untuk melakukan
perubahan Undang-Undang tersebut, in casu ketentuan yang dimohonkan
uji oleh Pemohon (vide Putusan Mahkamah Nomor 20/PUU-VI/2007).
III. KETERANGAN PIHAK TERKAIT Bahwa Pihak Terkait menolak dengan tegas dalil-dalil permohonan Pemohon,
kecuali terhadap hal-hal yang diakui kebenarannya dalam keterangan ini;
Bahwa eksepsi Pihak Terkait adalah merupakan satu kesatuan dengan
keterangan Pihak Terkait, selanjutnya terhadap dalil-dalil Para Pemohondalam
pokok permohonan, perkenankan Pihak Terkait menyampaikan bantahan
dalam Keterangan Pihak Terkait sebagai berikut:
23. Bahwa para Pemohon dalam permohonan pada pokoknya mengemukakan
bahwa ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 bertentangan
dengan Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (2), Pasal 22E ayat
(3), Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;
24. Bahwa dalam permohonan pemohon halaman 10, telah menjadikan Pasal
82 UU Nomor 27 Tahun 2009 sebagai rujukan tentang PDIP sebagai
partai politik yang memperoleh suara terbanyak di DPR serta merta
menjadi Ketua DPR RI sementara dengan diberlakukannya ketentuan
Pasal 84 ayat (1) UU Nomor 17 Tahiun 2014 permohonannya Pemohon
menyimpulkan bahwa hak untuk menjadi Ketua DPR bagi anggota DPR
dari PDI Perjuangan hilang setelah disahkannya Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014;
25. Bahwa seharusnya Pemohon menyandingkan juga dengan ketentuan
Undang-Undang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, pada tahun-tahun sebelumnya yaitu dari tahun 1999 dan Tahun
2003.Sebagaimana dimaksud Pasal 17 UU Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Susduk MPR, DPR dan DPRD, Pasal 21 UU Nomor 22 Tahun 2003
tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan Pasal 82 UU Nomor 27
Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
70
Faktanya Partai pemenang Pemilu pada tahun 1999 adalah PDI
Perjuangan, namun dalam mekanisme pemilihan ketua DPR RI
berdasarkan Pasal 17 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 1999 dipilih
berdasarkan usulan fraksi yang mencerminkan fraksi-fraksi berdasarkan urutan besarnya jumlah anggota fraksi sehingga terpilihlah
Ketua DPR RI periode 1999-2004 adalah Ir. Akbar Tanjung dari Fraksi Partai GOLKAR yang bukan pemenang Pemilu. Demikian juga Pada Tahun 2004Partai Pemenang Pemilu adalah Partai
Golkar dengan mekanisme pemilihan ketua berdasarkan Pasal 21 ayat (1)
dipilih dari dan oleh Anggota DPR dalam Sidang Paripurna DPR terpilihlah
Ketua DPR RI periode 2004-2009 adalah Dr. H.R. Agung Laksono dari Fraksi Partai GOLKAR. Dengan demikian walaupun tidak disebutkan bahwa yang berhak menjadi
Pimpinan DPR maupun Pimpinan kelengkapan DPR dipilih dari partai
politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR pada
faktanya tidak menghilangkan hak dan kewenangan dari partai politik
pemenang pemilu untuk menjadi pimpinan DPR;
26. Bahwadengan demikian dalil Para Pemohon yang menyatakan hak dan
kewenangan konstitusinya hilang atau dirugikan karena berlakunya Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 dan bertentangan dengan UUD 1945hanyalah asumsi dan tidak beralasan menurut hukum;
27. Bahwa materi muatan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 apabila dihapuskan dalam hal ini kembali kepada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 justru bertentangan dengan
UUD 1945 karenamenimbulkan ketidakadilan bagi Pihak Terkait sebagai
warga negara Indonesia memiliki hak-hak yang dijamin konstitusi berupa
hak-hak konstitusional untuk mendapatkan pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan,
perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia,
dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam
naungan negara hukum termasuk didalamnya menjadi calon pimpinan
dewan dan pimpinan kelengkapan dewan sebagaimana dimaksud Pasal 1
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
71
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 22E ayat (3), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) UUD 1945;
28. Bahwa dengan mekanisme pemilihan pimpinan DPR sebagaimana diatur
dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 maka pemilihan
pimpinan DPR menjadi lebih demokratis dan mempunyai prinsip
pengakuan hak yang sama bagi setiap anggota DPR RI untuk memilih dan
dipilih;
ALASAN FORMIL 29. Dalil Pemohon Terkait bahwa uji formil Undang-UndangNomor 17 Tahun
2014 masih dapat dilakukan karena pembuatan Undang-Undanga quo
belum melampaui waktu 45 hari sebagaimana ditentukan Mahkamah
dalam Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009 tertanggal 30 Desember
2009.(Dalil Pemohon Angka III.1, Hal. 23-25);
Bahwa Mahkamah dalam pertimbangan hukum sebagaimana dimuat
dalam paragraph “3.34” Putusan Nomor 27/PUU-VII/2009, yaitu:
[3.34] Menimbang bahwa terlepas dari putusan dalam pokok permohonan
a quo Mahkamah memandang perlu untuk memberikan batasan waktu
atau tenggat suatu Undang-Undang dapat diuji secara formil.
Pertimbangan pembatasan tenggat ini diperlukan mengingat karakteristik
dari pengujian formil berbeda dengan pengujian materiil. Sebuah Undang-
Undang yang dibentuk tidak berdasarkan tata cara sebagaimana
ditentukan oleh UUD 1945 akan dapat mudah diketahui dibandingkan
dengan Undang-Undang yang substansinya bertentangan dengan UUD
1945. Untuk kepastian hukum, sebuah Undang-Undang perlu dapat lebih
cepat diketahui statusnya apakah telah dibuat secara sah atau tidak,
sebab pengujian secara formil akan menyebabkan Undang-Undang batal
sejak awal. Mahkamah memandang bahwa tenggat 45 (empat puluh lima)
hari setelah Undang-Undang dimuat dalam Lembaran Negara sebagai
waktu yang cukup untuk mengajukan pengujian formil terhadap Undang-
Undang;
30. Bahwa Pemohontelah salah dalam menafsirkan batas tenggang waktu
pengajuan uji formil terhadap diundangkannya Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014, sebagaimana pada Putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-
VII/2009 tertanggal 30 Desember 2009. Pemohon tidak mencermati makna
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
72
putusan Mahkamah Nomor 27/PUU-VII/2009 di maksud yang secara tegas
menyatakan bahwa tenggang waktu pengujian formil terhadap Undang-
Undang adalah 45 (empat puluh lima) hari setelah Undang-Undang dimuat
dalam Lembaran Negara. Atau dengan kata lain Uji formil dapat diajukan
permohonannya dalam tenggat waktu 45 (empat puluh lima) hari setelah
RUU disahkan menjadi Undang-Undang dan di masukan dalam lembaran
negara;
31. Bahwa Pemohon telah salah dalam menetapkan tanggal 8 Juli 2014
adalah sebagai tanggal pengesahan Undang-UndangNomor 17 Tahun
2014. Faktanya UU Nomor17 Tahun 2014 disahkan pada tanggal 5
Agustus 2014 sebagaimana tertulis dalam halaman terakhir
naskahUndang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 dan diundangkan pada
tanggal 5 agustus 2014 dan dimasukkan dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182;
32. Bahwa Tanggal 8 Juli 2014 adalah tanggal persetujuan bersama oleh DPR
dan Presiden terhadap RUU MD3. Hal mana sebagaimana tertuang
dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945, yaitu:
“Setiap rancangan Undang-Undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”
33. Bahwa oleh karena permohonan Pemohon didaftarkan pada tanggal 25 Juli
2014 yang kemudian diregister dalam perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 atau
ketika UUNomor17 Tahun 2014 masih dalam bentuk RUU dan belum
dimasukan dalam Lembaran Negara, maka terbukti permohonan a quo
premature karena diajukan sebelum disahkan menjadi Undang-Undang dan
cukup beralasan hukum bagi Mahkamah menyatakan Permohonan aquo
tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard);
34. Bahwa dalilpermohonan Pemohon terkait denganpembentukan Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2014 yang bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur pada Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011, terutama asas “keterbukaan,”
disebabkan materi final muatan Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tidak berasal dari “Naskah Akademik” yang diajukan di awal
pembahasan DPR dan disampaikan kepada Pemerintah, dimana
Pemerintah pun tidak mengajukan usulan perubahan materi muatan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
73
sebagaimana telah dirumuskan dalam Naskah Amademik RUU MD3 dari
pihak DPR.(Dalil Pemohon Hal. 24). Maka, Pihak Terkait berpendapat
Bahwa dalam Penjelasan Undang-UndangRepublik Indonesia Nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 52341; Lampiran
IUndang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Teknik penyusunan naskah akademik Rancangan
Undang-Undang,Rancangan peraturan daerah provinsi, dan rancangan
peraturan daerah Kabupaten/Kota
Disebutkan Pada Bab I Huruf (C) bahwa: “Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik Sesuai
dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas,
tujuan penyusunan Naskah Akademik dirumuskan sebagai berikut:
1) Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan
berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat serta cara-cara mengatasi
permasalahan tersebut.
2) Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan
Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi permasalahan
dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.
3) Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis
pembentukan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
4) Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup
pengaturan, jangkauan, dan arah pengaturan dalam Rancangan
Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.
Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik adalah sebagai acuan atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah.”
Kata “Acuan atau referensi” menunjukan bahwa Naskah Akademik hanya
menjadi acuan atau referensi saja dalam menyusun rancangan suatu
Undang-Undangsehingga ada tidaknya naskah akademik tidak
menentukan sah atau tidaknya Undang-Undang yang sudah disahkan.
35. Bahwa terkait dengan [ermohonan Pemohon tentang pengujian formil atas
Pasal84Undang-Undang 17 Nomor 2014 dilakukan dengan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
74
mempertimbangkan prosedur pembentukan peraturan perundang-
undangan sebagaimana diatur dalam UU 12/2011, menurut Pihak Terkait
Pemohon telah keliru dalam memahami mengenai doktrin dan asas-asas
pengujian formil (toetsingsrecht). Dalam pengujian formil atas suatu
Undang-Undang, maka objek pengujiannya adalah proses pembentukan
Undang-Undang dalam arti suatu Undang-Undang dan bukan ketentuan
dalam Undang-Undang secara parsial apakah telah sesuai atau tidak
dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan di bawahnya
sebagai pelaksana perintah konstitusi yang berkaitan dengan: a. lembaga
pembentuknya berwenang atau tidak; b. prosedur pembentukannya sesuai
atau tidak dengan UUD 1945 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 sebagimana
yang telah diuraikan di atas. Hal ini berarti yang dinilai adalah keseluruhan
ketentuan Undang-Undang yang merupakan isi atau materi muatan suatu
Undang-Undang. Suatu ketentuan dapat dikatakan sebagai norma yang
mengikat ketika norma;norma tersebut dibuat dalam bentuk tertentu dan
diputuskan oleh lembaga yang diberikan kewenangan oleh konstitusi serta
telah mendapatkan legitimasi baik administrasi maupun publik
(pengesahan dalam lembaran negara). Hal ini berarti peraturan
perundang-undangan sebagai keputusan tertulis yang dikeluarkan
pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan
tingkah laku yang bersifat atau mengikat secara umum dimana aturan
tingkah laku tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang hak, kewajiban,
fungsi, status dan suatu tatanan;
36. Bahwa oleh karena objectumlitis Pemohon tidak sesuai dengan doktrin
dan asas pengujian formil yaitu Pasal 84 yang merupakan bagian dari
ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014. Karena objectumlitis
pengujian formil adalah terhadap prosedur pembentukan suatu Undang-
Undang dalam hal ini prosedur pembentukan Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2014. Dengan demikian, objek permohonan Pemohon Perkara
Nomor 73/PUU-XII/2014 tidak berdasar hukum dan tidak memiliki alasan
yang dibenarkan hukum atau obscuur libel, dan oleh karena itu
permohonan pengujian formil Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun
2014 harus ditolak.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
75
ALASAN MATERIL BahwaPihak Terkait menolak dalil Para Pemohon a quo untuk keseluruhannya dengan alasan sebagai berikut:
37. Bahwa perubahan UUD 1945 yang cukup mendasar dan mengubah
paradigma ketatanegaraan adalah pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,
sedangkan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 merupakan penegasan secara
eksplisit tentang dianutnya prinsip Negara hukum. Pada Pasal 1 ayat (2)
UUD 1945 dinyatakan bahwa: ”Kedaulatan di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Penegasan ini
menunjukkan bahwa demokrasi sebagai paradigma tidak berdiri sendiri,
tetapi paradigma demokrasi yang dibangun harus dikawal bahkan harus
didasarkan pada nilai hukum, sehingga produk demokrasi dapat dikontrol
secara normatif oleh paradigma hukum. Hal ini berarti paradigma
demokrasi berbanding lurus dengan paradigma hukum dan inilah
paradigma negara demokrasi berdasar atas hukum atau negara hukum
yang demokratis. Paradigma ini berimplikasi pada kelembagaan negara,
model kekuasaan negara, prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and
balances, serta kontrol normatif yang pelaksanaannya dilakukan oleh
lembaga peradilan. Oleh karena itu paradigma tersebut mengubah
paradigma supremasi parlemen menjadi paradigma supremasi hukum
(Negara, pemerintah dan masyarakat diatur dan diperintah oleh hukum).
Prinsip supremasi hukum bermakna bahwa semua kebijakan publik,
lembaga-lembaga publik dan pemilihan pejabat-pejabat publik harus
didasarkan pada aturan hukum. Prinsip ini maka the rule of law dalam
kehidupan berbangsa dan bernagara menjadi unsur landasan tata tertib
kehidupan, sehingga pemerintahan dijalankan berdasarkan atas hukum
dan tidak oleh manusia. Perhatian publik terhadap dunia hukum semakin
meningkat bersamaan dengan atmosfir keterbukaan yang dinikmati oleh
bangsa Indonesia sejak memasuki masa reformasi. Pertanyaan dan
perdebatan kritis mengemuka dan menyentuh hingga persoalan-persoalan
mendasar. Keterbukaan dan perdebatan publik semakin lama semakin
menunjukkan bahwa hukum dan penegakan hukum di Indonesia perlu
perubahan mendasar, tidak saja dalam praktiknya melainkan juga pada
tataran konstruksi ilmu hukum dan pemaknaan terhadap hukum. Meskipun
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
76
UUD 1945 telah berubah, namun pemahaman atas hukum dan cara
berhukum, terutama akademisi, legislator, penegak hukum, belum banyak
mengalami perubahan. Oleh karena itu hukum di Indonesia saat ini masih
memiliki watak konservatif. Kondisi hukum dan penegakan hukum di atas
telah melahirkan cara berhukum yang kehilangan sukma moral dan
keadilan. Hukum berbelok menjadi semata-mata urusan formal-prosedural.
Nilai-nilai etika, moral, dan rasa keadilan seringkali diabaikan. Jika ditarik
ke permasalahan yang mendasar, masih terdapat ambiguitas konsepsi
negara hukum yang dianut, antara rechtsstaat yang mengedepankan
kepastian hukum dan konsepsi the rule of law yang menekankan pada
rasa keadilan;
38. Bahwa Penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis tercermin dalam
’recruitment’ kepala pemerintahan, dan anggota perwakilan
(DPR/DPD/DPRD) serta cara pengambilan keputusan yang berkaitan
dengan kepentingan publik oleh lembaga yang diberikan kewenangan dan
tugas untuk kepentingan itu. Persoalannya adalah bagaimana proses
politik justru tidak mencederai demokrasi itu sendiri. Artinya produk politik
yang digodok di lembaga perwakilan sebagai representasi rakyat
menghasilkan produk kebijakan yang mampu mendorong partisipasi dalam
perwujudan kesejahteraan bersama. Agar menghasilkan produk kebijakan
yang memiliki kaulitas tinggi dan pemihakan yang jelas terhadap
kesejahteraan bersama, maka diperlukan pemikiran, konsep yang
teknokratis yang dapat diukur dan diuji keberhasilannya. Prinsip demokrasi
tercermin dalam aspek ’legitimasi’ dan prinsip teknokrasi tercermin dalam
aspek ’kompetensi’ Keseimbangan antara prinsip ’legitimasi’ dan prinsip
’kompetensi’ akan mengasilkan kebijakan publik yang diterima oleh
masyarakat dan sekaligus mempercepat terhadap perwujudan indikator
kesejahteraan bersama. Dalam perspektif ini, maka proses ’recruitment’
harus didasarkan pada prinsip demokrasi yang dipandu oleh prinsip hukum
(legal), dan akan menghasilkan pemimpin yang diterima oleh sebagaian
besar masyarakat (legitimate) karenakesalehan intelektual, moral dan
berkeinerja tinggi (competence). Oleh karena itu, Pemilu memiliki posisi
yang strategis dalam membangun demokrasi yang bermartabat, maka
penyelenggaraannya harus mengacu pada prinsip mandiri; jujur; adil;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
77
kepastian hukum; tertib penyelenggara Pemilu; kepentingan umum;
keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; dan
efektifitas. Jika proses ’recruitment’ untuk mengisi jabatan publik, dan cara
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan publik
dilakukan melalui proses demokrasi yang bermartabat dan berkeadilan,
maka hasilnya bukan saja kepastian, tetapi didalamnya terangkum
keadilan dan kemanfaatan dalam kerangka memajukan kesejahteraan
bersama;
39. Bahwa dalam prinsip demokrasi, tidak menganut kesetaraan formal
melainkan kesetaraan substantif. Kesetaraan substantif memutar ulang
konsep keadilan lama dari Aristoteles: “yang sama diperlakukan sama,
yang tidak sama diperlakukan lain”.Demos adalah konsep yang berpagar.
Kesetaran hanya berlaku pada demos sebagai yang terbatas. Demos
diukur berdasarkan partisipasinya terhadap substansi politik
yangsamadalam arti yang tidak berbagi substansi politik yang sama adalah
non-demos, sehingga boleh diperlakukan tidak sama. Demokrasi berkerja
dengan gagasan homogenitas, bukan heterogenitas. Prinsip homogenitas
mengkaitkan dengan gagasan kesetaraan atau kesamaan kedudukan
dalam hukum (equality befor the law), sehingga subyek hukum disebut
Pihak dan bukan subordinat dengan mengedepankan
kepentinganbersama (individu) dan kepentingan umum (kolektif). Oleh
karena itu dalam tataran konsolidasi demokrasi, maka demokrasi
merupakan “the only game in town” (satu-satunya aturan yang berlaku).
Keyakinanakan demokrasi tersebut bahkan tetap terpelihara dalam situasi
politik dan ekonomi yang sangat buruk sekalipun, sehingga mayoritas
rakyat tetap meyakini perubahan politik harus tetap dilakukan berdasarkan
parameter-parameter yang terdapat dalam prosedur demokrasi. Untuk
melancarkan konsolidasi demokrasi tersebut, terdapat beberapa agenda:
1) Memperluas akses warga Negara terhadap sistem peradilan dan
membangun suatu rule of law yang sesungguhnya; 2) Mengendalikan
perkembangbiakan korupsi politik yang dapat meningkatkan sinisme dan
pengasingan dari proses politik; 3) Penguatan pembuatan hukum dan
kekuasaan investigatif badan legislatif sehingga menjadi badan yang
professional dan independen;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
78
40. Bahwasalah satu prinsip demokrasi yang paling penting adalah majority
rule, artinya kedaulatan suara mayoritas, sebagai penentu suara
demokrasi itu. Dalam demokrasi, suara mayoritas adalah merupakan suatu
syarat bagi terbentuknya sistem politik yang mencerminkan demokrasi.
Oleh karena itu menurut Abu Daud Busroh (1994; 57) bahwa prinsip
mayoritas (Majority Principle) paling sedikit terdiri dari tiga tipe: (1)
mayoritas absolut (absollut majority), yaitu setengah jumlah anggota
ditambah satu atau 50 plus satu; (2) mayoritas biasa (simple majority),
yaitu apabila keputusan di setujui oleh sebanyak-banyaknya suara
sehingga tampak perbedaan antara mayoritas dan minoritas; (3) mayoritas
bersyarat (qualified majority) yang menetapkan keputusan berdasarkan
perhitungan tertentu, sehingga 3/4 atau 2/3 suara. Berdasarkan hal
tersebut norma yang termaktub dalam Pasal 84 Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi
konstitusional yang berlaku secara universal, yakni prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat sesuai dengan amanah ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2
UUD 1945 dan telah sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UUD 1945;
41. Bahwa Pasal 19 ayat (2) UUD 1945 berbunyi “Susunan Dewan Perwakilan
Rakyat diatur dengan Undang-Undang”. Jadi Konstitusi tidak menentukan
bagaimana cara pengisian Pimpinan DPR, oleh karena itu mekanisme
pemilihan ketua dan wakil ketua DPR merupakan open legal policy, yang
merupakan kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk mengaturnya.
Hal ini dikarenakan untuk mewujudkan dan memaksimalkan DPR dalam
melaksankan fungsi sebagai pengawasan, anggaran, pembentuk Undang-
Undang dibolehkan memilih mekanisme apa yang buat untuk
menentukan/memilih ketua dan wakil ketua DPR serta pimpinan
kelengkapan DPR. Norma yang terkandung dalam Pasal 84Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2014 dimaksud menganut absolute majority
system sebagaimana telah pula dipraktekkan dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia. Sistem ini jauh lebih demokratis dan legitimate
dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya yang menggunakan
simple majority system yang mengatur Pimpinan DPR ialah anggota DPR
yang berasal partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
79
DPR. Dengan mekanisme apapun, Siapa pun dan dari partai apa pun yang
mengisi Ketua dan Wakil Ketua DPR haruslah memiliki komitmen untuk
mewujudkan dan memaksimalkan fungsi DPR demi terwujudnya cita-cita
negara menuju masyarakat adil dan makmur;
42. Bahwa partai pemenang pemilu/kursi terbanyak otomatis menjadi ketua
DPR biasanya terdapat pada sistem dua partai seperti di Amerika, karena
pemenang Pemilu dapat dipastikan sebagai pemenang secara absolute
majority, sedangkan sistem demokrasi yang menganut multi partai
pengisian Pimpinan DPR melalui musyawarah mufakat dan suara
terbanyak menjadi rasional karena merupakan wujud kedaulatan rakyat.
Justru kurang legitimate apabila Ketua DPR dan kelengkapannya dipimpin
oleh partai pemenang Pemilu yang hanya 18,95% jumlah kursi DPR.
Ketua dan Wakil Ketua DPR adalah simbol dari kekuasaan legislatif yang
mengontrol eksekutif untuk mewujudkan aspirasi dan memastikan
kedaulatan rakyat tidak dinegasikan, maka pemilihan melalui musyawarah
mufakat dan pemilihan menjadi niscaya dan penting. Hal ini sebagai upaya
melaksanakan tugas dan fungsinya berdasarkan prinsip saling
mengimbangi checks and balances;
43. Bahwa setiap anggota DPR memiliki kedudukan yang sama dihadapan
hukum dan pemerintahan untuk memilih dan dipilih menjadi pimpinan DPR
sesuai amanatPasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa,
“segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
44. Bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan tersebut di atas, maka norma
yang termaktub dalam Pasal 84 Undang-UndangNomor 17 Tahun
2014tidak bertentangan dengan UUD 1945; 45. Bahwa dengan demikian dalil pemohon adalah tidak benar dan harus
dikesampingkan oleh Mahkamah karena dasar filosofis lahirnya Undang-
UndangNomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD
berangkat dari pemikiran bahwa penentuan pimpinan DPR yang mengaju
pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 didasarkan pada peraih
suara terbanyak (pemenang pemilu) justru tidak relevan dan sangat tidak
demokratis karena merugikan partai-partai peserta pemilu yang
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
80
memperoleh suara/kursi kecil diparlemen sehingga partai-partai kecil tidak
memiliki kesempatan untuk menduduki pimpinan DPR RI.
46. Bahwa sebaliknya lahirnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 justru
memberikan rasa keadilan dan persamaan hak bagi setiap anggota DPR
RI sebagaimana dijamin oleh konstitusi kita (UUD 1945) sehingga dapat
memberikan kesempatan kepada setiap Partai Peserta Pemilu yang lolos
parliamentary tresshold untuk mencalonkan setiap anggotanya sebagai
pimpinan DPR RI, karena syarat penentuan pimpinan DPR dipilih dari dan
oleh anggota DPR bukan didasarkan pada partai politik peraih suara
terbanyak.
IV. PETITUM Berdasarkan alasan-alasan yuridis di atas, dengan ini perkenankan kami
memohon agar Majelis Hakim berkenan memutus dengan amar sebagai berikut:
DALAM EKSEPSI
- Menerima eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya
- Menyatakanpermohonan Pemohon tidak dapat diterima.
DALAM POKOK PERMOHONAN
- Menolakpermohonan Pemohon untuk seluruhnya.
- Menyatakan ketentuan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak bertentangan dengan UUD 1945.
- Menyatakan ketentuan Pasal 84Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah tetap memiliki kekuatan hukum mengikat.
Atau:
Apabila Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon Putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
[2.7] Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait
Partai Nasional Demokrat memberi keterangan lisan dan tertulis dalam
persidangan tanggal 23 September 2014, sebagai berikut:
I. Legal Standing Sebagai Pihak Terkait
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
81
1. Bahwa Pihak Terkait (Partai NasDem) adalah Partai Politik peserta
Pemilihan Umum 2014 yang telah mengikuti pelaksanaan pemilihan umum
2014.
2. Bahwa hasil Pemilu 2014 telah menempatkan Pihak Terkait sebagai partai
yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari suara sah nasional
dan berhak menempatkan wakil-wakil rakyat terpilih dalam Fraksi Partai
NasDem untuk DPR RI periode 2014-2019.
3. Bahwa karena Pihak Terkait adalah Partai Politik yang memiliki Fraksi di
DPR RI maka UU Nomor 17/2014 tentang MD3 yang sedang diuji oleh
Mahkamah akan mengatur keberadaan Fraksi Partai NasDem dan
anggota-anggota terpilih DPR RI dari Partai NasDem (Pihak Terkait).
4. Bahwa UU Nomor 17/2014 tentang MD3 dibahas DPR RI Periode 2009-
2014 dan disahkan pada tanggal 8 Juli 2014, setelah perolehan suara
Pemilu Legislatif 2014 diketahui secara nasional dan ditetapkan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU).
5. Bahwa ketika pembahasan dan pengesahan UU Nomor 17/2014 tentang
MD3, Pihak Terkait belum terlibat karena belum memiliki fraksi dan
anggota di DPR.
6. Bahwa menurut Pihak Terkait terdapat permasalahan konstitusionalitas
dalam hal formil maupun materil atas UU Nomor 17/2014 tentang MD3
yang akan diuraikan lebih lanjut dalam Pokok-Pokok Keterangan Pihak
Terkait; di samping itu, pengesahan UU MD3 yang dilakukan setelah
perolehan suara Pemilu Legislatif ditetapkan serta adanya beberapa pasal
dalam UU MD3 yang langsung berlaku bagi seluruh fraksi dan anggota
DPR RI termasuk Partai NasDem segera setalah pelantikan anggota
Dewan, menjadikan Pihak Terkait memiliki kepentingan hukum terhadap
UU Nomor 17/2014 tentang MD3 yang sedang diuji Mahkamah ini.
7. Karena Pihak Terkait memiliki kepentingan hukum secara langsung
sebagaimana dimaksud Pasal 14 ayat (1), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 14
ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, maka
dengan ini Partai NasDem memiliki kedudukan hukum sebagai Pihak
Terkait untuk didengar keterangannya, menghadirkan saksi dan ahli,
sebagaimana dimaksud Pasal 41 ayat (4) huruf f dan Pasal 42A ayat (1)
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
82
UU Nomor24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
II. POKOK-POKOK KETERANGAN PIHAK TERKAIT A. Tentang Pengujian Formil UU MD3 8. Bahwa Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 yang diajukan Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) menguji prosedur pembentukan
Undang-Undang a quo atau menguji secara formil Undang-Undang a quo
terhadap UUD 1945.
9. Terhadap pengujian formil tersebut Pihak Terkait menerangkan hal-hal
sebagai berikut:
a. Bahwa kekuasaan DPR untuk membentuk Undang-Undang yang
diberikan oleh Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 tetaplah harus berpegang
teguh pada prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (3) UUD 1945.
b. Bahwa UU Nomor 17/2014 tentang MD3 adalah Undang-Undang yang
mengatur kewenangan, kelembagaan, tugas pokok dan fungsi DPR RI
sebagai lembaga legislatif. Karena itu, DPR RI ketika membahas,
memutuskan dan menetapkan Undang-Undang yang mengatur dirinya
sendiri harus berpedoman teguh pada prinsip-prinsip hukum universal
sehingga tidak terjadi benturan kepentingan (conflict of interest).
c. Bahwa sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan membentuk
Undang-Undang, DPR RI tidak dapat menghindari dirinya untuk
membuat Undang-Undang yang terkait dengan kelembagaan,
kewenangan, tugas pokok dan fungsi DPR, sama seperti Mahkamah
Konstitusi yang tidak dapat menghindari dirinya untuk memeriksa
pengujian Undang-Undang terkait Mahkamah Konstitusi. Untuk
menghindari conflict of interest dan tetap menjaga asas nemo judex
indoneus in propria (tidak seorangpun dapat menjadi hakim dalam
perkaranya sendiri) dalam memutuskan norma pada Undang-
Undangaquo ini penting untuk ditelusuri dan dipastikan apakah
badan/lembaga yang memutus terkait aturan/ketentuan tentang dirinya
sendiri tersebut telah melakukannya sesuai dengan prinsip-prinsip
hukum, menjaga imparsialitas, mengesampingkan kepentingan dirinya
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
83
dan menempatkan kepentingan publik serta amanat konstitusi di atas
kepentingan diri atau kelompoknya.
d. Secara khusus, Pihak Terkait menyampaikan posisi hukumnya terkait
dengan munculnya perubahan Pasal 82 UU Nomor 27 Tahun 2009
Tentang MD3 (UU lama) yang kemudian menjadi Pasal 84 UU Nomor
17/2014 tentang MD3 secara tiba-tiba tanpa melalui prosedur dan
tanpa proses yang sesuai dengan hukum, konvensi-konvensi
penyusunan dan pembahasan Undang-Undang yang selama ini
berlaku di DPR, serta asas-asas hukum dalam pembentukan Undang-
Undang.
e. Usulan mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR yang kemudian
dituangkan menjadi Pasal 84 dalam UU Nomor 17/2014 tentang MD3
tersebut muncul di masa-masa akhir pembahasan Undang-Undang
a quo dimana sebelumnya tidak pernah muncul dan tidak pernah
menjadi point pembahasan. Yang patut digarisbawahi adalah
ketentuan mengenai pemilihan pimpinan DPR ini baru mulai muncul di
dalam Daftar Isian Masalah (DIM) yang baru yang mengubah DIM
137A pada tanggal 30 Juni 2014 (sebagaimana dalil Pemohon perkara
Nomor 73/PUU-XII/2014), yakni setelah komposisi perolehan suara
secara nasional (9 Mei 2014) dan perolehan kursi DPR RI (14 Mei
2014) ditetapkan oleh KPU.
f. Bahwa dalam hal tata cara pemilihan pimpinan DPR RI, sebelum UU
Nomor 17/2014 tentang MD3 ditetapkan, UU MD3 yang lama yakni UU
Nomor 27 Tahun 2009 mengatur ketentuan tersebut dalam Pasal 82
sebagai berikut:
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPR.
(2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR.
(3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua, ketiga, keempat, dan kelima.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak dalam pemilihan umum.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
84
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara sama, ketua dan wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditentukan berdasarkan persebaran perolehan suara.
Tata cara pemilihan pimpinan DPR RI di atas telah dipergunakan untuk memilih pimpinan DPR RI periode 2009-2014. Dengan UU yang baru, Pasal 84 UU Nomor 17/2014 tentang MD3 mengubah ketentuan lama di atas menjadi: (1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat)
orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR. (2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari
dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap. (3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan
dalam rapat paripurna DPR. (4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat
mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR. (5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih
secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7) Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
(9) Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR. (10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan
DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 Tentang MD3 telah dijalankan
pada DPR RI periode 2009-2014 tanpa ada masalah dan tidak
terdapat suatu kebutuhan untuk diubah. Namun tiba-tiba ketentuan
baru yang tertuang menjadi Pasal 84 UU 17/2014 tersebut
dimunculkan dan diputuskan setelah hasil pemilu legislatif ditetapkan
dan setelah adanya kesepakatan “koalisi” antar partai. Sehingga,
Fraksi-Fraksi di DPR dapat melakukan kalkulasi terlebih dahulu untuk
membawa kepentingannya masing-masing sebelum menetapkan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
85
adanya ketentuan baru yang mengatur tata cara pemilihan pimpinan
DPR RI.
g. Suatu perubahan norma Undang-Undang dari yang telah berjalan
kemudian digantikan dengan norma baru, harus didasarkan pada
suatu kebutuhan atas perubahan tersebut. Untuk mengkaji dan menilai
adanya kebutuhan ini diperlukan suatu evaluasi terhadap penerapan
norma yang selama ini berjalan apakah sudah berjalan baik atau
terdapat kekurangan atau menimbulkan kerugian-kerugian sehingga
perlu diubah. Apabila tidak ada penilaian yang didasarkan pada
evaluasi melainkan hanya didasarkan pada kepentingan politik
kekuasaan kelompok tertentu, maka syarat perubahan norma Undang-
Undang menjadi tidak terpenuhi.
h. Menurut pendapat Pihak Terkait, tidak dibenarkan adanya suatu norma
Undang-Undang yang dibuat didasarkan pada kepentingan diri sendiri,
kepentingan politik kekuasaan tertentu atau kepentingan kelompok
semata. Norma Undang-Undang harus memuat kepentingan publik
dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang. Menjadi preseden
buruk apabila norma Undang-Undang dibuat hanya didasarkan pada
kepentingan sesaat, sehingga setiap kepentingan jangka pendek
tertentu muncul maka dibuatlah norma Undang-Undangnya. Dalam hal
inilah peran Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi
(the guardian of the constitution) dibutuhkan untuk menjaga tegaknya
negara hukum di Indonesia.
i. Oleh karena itu, Pihak Terkait menyatakan bahwa pembentukan UU
Nomor 17/2014 tentang MD3, khususnya dalam hal pembahasan dan
penetapan Pasal 84, melanggar konstitusi secara formil.
B. Tentang Pengujian Materil Pasal 84 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3
10. Bahwa selanjutnya Pihak Terkait akan memberikan keterangan
sehubungan dengan pengujian Pasal 84 Pemohon perkara Nomor
73/PUU-XII/2014.
11. Bahwa terhadap pengujianPasal 84 UU Nomor 17/2014 tentang MD3,
Pihak Terkait menyampaikan sikap dan pandangan sebagai berikut:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
86
a. Bahwa seluruh keterangan Pihak Terkait pada bagian tentang
Pengujian Formil di atas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan
keterangan Pihak Terkait tentang Pengujian Materil dan secara mutatis
mutandis menjadi bagian keterangan Pihak Terkait dalam pengujian
materil.
b. Bahwa Pihak Terkait pada prinsipnya menyadari bahwa permasalahan
mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR memang merupakan
pillihan kebijakan hukum yang dapat ditentukan pembuat Undang-
Undang. Namun demikian, kebijakan hukum tersebut harus
memperhatikan dua aspek dalam konstitusi yakni prinsip negara hukum
yang terkandung dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dan prinsip
persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan
sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta prinsip
kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan
hukum sebagaimana dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
c. Bahwa diubahnya ketentuan mengenai tata cara pemilihan pimpinan
DPR dari ketentuan lama menjadi ketentuan baru dalam UU Nomor
17/2014 tidak didasari atas kepentingan hukum melainkan kepentingan
politik sesaat dan kepentingan kelompok tertentu. Akibatnya, secara
materil norma Undang-Undang yang dibuat tidak berdasarkan hukum
melainkan berdasar politik kepentingan semata.
Norma Undang-Undang tetap harus memiliki dasar legalitas dari segi
hukum, tidak boleh norma Undang-Undang dipandang sebagai alat
politik untuk mendapatkan keuntungan tertentu bagi kelompok tertentu.
Norma Undang-Undang yang muatannya mengandung hanya unsur
politik kekuasaan semata tanpa memperhatikan prinsip hukum untuk
kemanfaatan publik menjadikan norma tersebut bertentangan dengan
prinsip negara hukum sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (3) UUD
1945.
Bahwa kepentingan politik kekuasaan ini muncul karena norma baru
yang menggantikan norma lama tidak didasarkan pada kebutuhan
hukum. Norma baru dalam Pasal 84 UU Nomor 17/2014 dibuat karena
adanya kebutuhan politik kekuasaan. Terlebih lagi tidak ada alasan bagi
pembuat Undang-Undang untuk mengganti norma yang baru satu kali
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
87
dilaksanakan pada saat pemilihan Pimpinan DPR RI Tahun 2009
menjadi norma baru, tanpa adanya evaluasi terhadap penerapan Pasal
lama tersebut.
d. Selanjutnya, berdasarkan ketentuan yang lama yakni Pasal 82 UU
Nomor 27 Tahun 2009, pimpinan DPR ditentukan berdasarkan urutan
perolehan kursi terbanyak di DPR. Sehingga jika pada tahun 2014 ini
masih digunakan ketentuan yang lama maka partai pemenang pemilu
yakni PDI Perjuangan selaku Pemohon perkara Nomor 73/PUU-
XII/2014 berhak menjadi Ketua DPR. Namun karena ketentuan lama
tersebut diubah dengan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 yang dimunculkan
dan ditetapkan setelah diketahui hasil pemilu dan setelah adanya
kesepakatan “koalisi” membuat hak Pemohon menjadi terhalangi oleh
sebab politik bukan semata oleh sebab hukum. Adalah hal yang wajar
dalam suatu negara demokratis bahwa partai politik pemenang Pemilu
menjadi Ketua DPR. Terhalanginya hak Pemohon karena sebab politik
kekuasaan ini membuat hak Pemohon untuk mendapatkan jaminan
persamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan
sebagaimana dimaksud Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 serta kepastian
hukum yang adil dan jaminan persamaan di hadapan hukum
sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjadi
terhalangi.
e. Meskipun menurut hitung-hitungan politik, bagi Pihak Terkait justru
ketentuan baru mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR dalam
Pasal 84 UU Nomor 17/2014 justru membuka peluang bagi Pihak
Terkait, Partai NasDem untuk menjadi salah satu pimpinan dan
sebaliknya ketentuan yang lama menutup peluang Pihak Terkait, namun
bagi Pihak Terkait menjalankan fungsi legislasi yang berpedoman pada
prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusi jauh lebih penting untuk dijaga
demi tegaknya negara hukum yang demokratis.
f. Berdasarkan hal tersebut di atas, menurut Pihak Terkait, alasan
Pemohon yang menyatakan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 tentang MD3
bertentangan dengan konstitusi, beralasan hukum.
12. Bahwa terhadap ketentuan Pasal 84 UU Nomor 17/2014 yang dimintakan
dibatalkan oleh para Pemohon, Pihak Terkait berpendapat bahwa pasal-
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
88
pasal tersebut inkonstitusional dan harus dinayatakan tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat. Terhadap pasal-pasal lain yang diajukan para
Pemohon, terutama yang memuat permohonan bagi Mahkamah untuk
memberikan makna konstitusi dengan konstisusional bersyarat ataupun
inkonstitusional bersyarat, Pihak Terkait memberikan pendapat terbatas
sebagaimana diuraikan di atas dan menyerahkan sepenuhnya penilaian
kepada Mahkamah Konstitusi.
III. PETITUM Berdasarkan hal-hal tersebut di atas mohon Majelis Mahkamah Konstitusi
berkenan memutus perkara yang sedang diperiksa yang diajukan para
Pemohon dengan Putusan sebagai berikut:
Dalam Pengujian Formil 1. Mengabulkan Permohonan Uji Formil yang diajukan oleh Pemohon Perkara
Nomor 73/PUU-XII/2014 untuk sebagian.
2. Menyatakan Pembentukan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sepanjang
untuk Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tidak memenuhi ketentuan
pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945
3. Menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak memiliki
kekuatan hukum mengikat
4. Menyatakan berlakunya Pasal 82 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
5. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Dalam Pengujian Materil 1. Mengabulkan Permohonan Uji Materil yang diajukan Pemohon Perkara
Nomor 73/PUU-XII/2014 untuk seluruhnya.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
89
2. Menyatakan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertentangan
dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat
3. Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Atau, apabila majelis hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain, mohon
Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
[2.8] Menimbang bahwa Pemohon dan Pihak Terkait telah menyampaikan
kesimpulan tertulis yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 5
November 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya;
[2.9] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
Kewenangan Mahkamah
[3.1] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945),
Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji
Undang-Undang terhadap UUD 1945;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
90
[3.2] Menimbang bahwa oleh karena permohonan para Pemohon mengenai
pengujian materiil Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,
dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 182 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5568, selanjutnya disebut UU MD3) terhadap UUD 1945 maka Mahkamah
berwenang mengadili permohonan a quo;
Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK, yang dapat
bertindak sebagai Pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang terhadap
UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia, termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama;
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD
1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
[3.4] Menimbang pula bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-
III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal
20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
91
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat
spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran
yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband)antara kerugian dimaksud
dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka
kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak
akan atau tidak lagi terjadi;
[3.5] Menimbang bahwa Pemohon I adalah perseorangan warga negara
Indonesia dan berprofesi sebagai advokat di bidang hak asasi manusia dan
pembayar pajak (tax payer) yang juga melakukan pendampingan dan bantuan
hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana. Menurut
Pemohon I dengan adanya ketentuan pasal a quo berpotensi berakibat pada
terhambatnya kerja Pemohon I dalam melakukan advokasi, pendampingan, dan
bantuan hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban tindak pidana untuk
mendapatkan prosedur keadilan dengan cepat. Dengan adanya pasal a quo maka
potensi advokasi, pendampingan, dan bantuan hukum yang dilakukan oleh
Pemohon I akan terhambat dan merugikan pembelaan yang dilakukan oleh
Pemohon I sebagai advokat;
Bahwa Pemohon II sebagai badan hukum privat yang concern dalam isu
pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan pidana di Indonesia
sebagaimana ditegaskan dalam AD/ART organisasinya beranggapan bahwa
keberadaan pasal a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam
penegakan hukum di Indonesia yang berakibat pada terlanggarnya hak-hak
konstitusional setiap warga negara di Indonesia. Menurut Pemohon II situasi
tersebut secara faktual atau setidak-tidaknya potensial akan menggagalkan usaha
dan kegiatan yang dilakukan oleh Pemohon II sebagai lembaga yang memiliki visi
pembaharuan hukum pidana Indonesia yang berkeadilan. Menurut Pemohon II,
pasal a quo merugikan hak-hak konstitusional Pemohon II yang dijamin oleh UUD
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
92
1945 khususnya Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat
(1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, karena memuat norma hukum yang
menimbulkan perlakuan yang tidak adil, perlakuan yang berbeda di hadapan hukum,
dan perlakuan diskriminatif;
[3.6] Menimbang bahwa memperhatikan dalil-dalil permohonan Pemohon I,
hal yang dipersoalkan Pemohon I adalah adanya kerugian Pemohon I sebagai
advokat dan pembayar pajak (tax payer) yang melakukan advokasi,
pendampingan, dan bantuan hukum bagi kliennya yang berposisi sebagai korban
tindak pidana;
Menurut Mahkamah, kerugian konstitusional yang didalilkan Pemohon I
tidaklah bersifat spesifik dan tidak dapat dipastikan akan terjadi. Pemohon I
juga tidak membuktikan bahwa dengan dikabulkannya permohonan Pemohon I
kerugian atau potensi kerugian atas hak konstitusional Pemohon I sebagai
Advokat tidak lagi atau tidak akan terjadi. Pemohon I tidak mendalilkan bentuk
kerugian dari haknya yang dilindungi oleh Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal
27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang dirugikan
secara spesifik oleh pasal-pasal yang dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya,
dan tidak menerangkan pula hubungan kausalitas antara Undang-Undang yang
diuji dengan kerugian konstitusional Pemohon I yang berprofesi sebagai Advokat
sesuai dengan yang disyaratkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, serta putusan-putusan selanjutnya;
Menimbang bahwa Pemohon I juga menyatakan dirinya sebagai warga
masyarakat pembayar pajak (tax payers), sehingga Pemohon I berpandangan
memiliki kepentingan konstitusional yang telah terlanggar dengan adanya
ketentuan pasal a quo, dimana dalam menjalankan profesinya pada sistem
peradilan pidana sumber pembiayaannya, antara lain, berasal dari APBN yang
salah satu sumbernya berasal dari pajak yang dibayarkan oleh warga negara
Indonesia berpotensi akan mengalami keterlambatan;
Bahwa meskipun dalam praktik Mahkamah sejak tahun 2003 perseorangan
warga negara Indonesia, terutama pembayar pajak (tax payer), dianggap memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian, baik
formil maupun materiil suatu Undang-Undang terhadap UUD 1945 sebagaimana
putusan Mahkamah dalam permohonan Nomor 003/PUU-I/2003, bertanggal 29
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
93
Oktober 2004, yang kemudian dipertegas dalam putusan Nomor 27/PUU-V/2009,
tanggal 16 Juni 2010, namun dalam kaitan dengan permohonan a quo in casu
Pemohon I, Mahkamah berpendapat bahwa Pemohon I sebagai pembayar pajak
(tax payer) yang menganggap hak konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya
pasal a quo tidak memiliki legal standing, karena tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK. Suku kata “nya” dalam
anak kalimat “...yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya”
yang tercantum dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang a quo, mengandung arti
bahwa kerugian konstitusional itu harus bersifat spesifik dan merupakan kerugian
aktual atau potensial yang mempunyai kaitan yang jelas dengan berlakunya
Undang-Undang tersebut. Dalam hal ini kerugian yang dialami oleh Pemohon I
tidak spesifik dan tidak jelas kaitannya dengan berlakunya Undang-Undang
tersebut, karena kerugian tersebut bersifat umum yang dialami oleh semua
pembayar pajak, sementara itu kaitan antara pajak yang dibayar oleh Pemohon I
dengan Pasal 245 UU MD3 tidak menunjukkan kaitan yang cukup (sufficient).
Lagipula kerugian yang mungkin dialami oleh Pemohon I bukanlah kerugian
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UU MK.
Dengan demikian, menurut Mahkamah Pemohon I tidak memenuhi syarat
sebagaimana pendirian Mahkamah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005, dan putusan-putusan selanjutnya.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah Pemohon I tidak
mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan
a quo;
[3.7] Menimbang bahwa Pemohon II sebagai badan hukum privat yang sangat
peduli dalam isu pembaharuan hukum pidana dan reformasi sistem peradilan
pidana di Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam AD/ART Pemohon II yang
bertujuan untuk memperjuangkan kepentingan umum (public interests advocacy)
yang di dalamnya tercakup substansi dalam permohonan a quo, sehingga
Mahkamah berpendapat Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing)
sebagai Pemohon dalam permohonan a quo;
[3.8] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo serta Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing)
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
94
untuk mengajukan permohonan a quo maka selanjutnya Mahkamah akan
mempertimbangkan pokok permohonan;
Pokok Permohonan
Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon II adalah mengenai pengujian
konstitusionalitas Pasal 245 yang menyatakan,
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota
DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan
tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari
terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan
keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila
anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan
terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan
yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
UU MD3 terhadap Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D
ayat (1), Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan:
Pasal 1 ayat (3): “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Pasal 24 ayat (1): “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.
Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal 28D ayat (1): “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
95
Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap
perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.
[3.9] Menimbang bahwa Pemohon II memohon pengujian konstitusionalitas
Pasal 245 UU MD3 terhadap UUD 1945, dengan alasan yang pada pokoknya
sebagai berikut:
1) Bahwa pemberian izin terhadap pejabat negara dalam menghadapi proses
hukum memang telah diatur dalam beberapa Undang-Undang:
NO PEJABAT UNDANG-UNDANG KETERANGAN
1. Kepala Daerah UU No. 32 Th 2004 tentang Pemerintahan Daerah
izin presiden untuk tahap penyelidikan dan penyidikan suatu tindak pidana tidak dibutuhkan kecuali untuk tindakan Penahanan
2. Hakim Mahkamah Konstitusi
UU No. 8 Th 2011 tentang Perubahan Atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
Hakim konstitusi hanya dapat dikenai tindakan kepolisian atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Presiden
3. Hakim Mahkamah Agung
UU No. 14 Th 1985 tentang Mahkamah Agung jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Presiden
4. Hakim Pengadilan UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. UU No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 2 Tahun 1984 tentang Peradilan Umum; UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo. UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara; dan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Penangkapan dan penahanan terhadap hakim dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan dari Ketua Mahkamah Agung
5. Pimpinan dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan
UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Tindakan kepolisian terhadap anggota BPK guna pemeriksaan suatu perkara dilakukan atas perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis Presiden
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
96
6. Pimpinan dan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia jo. UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan terhadap anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden
7. Jaksa UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia
apabila dalam melaksanakan tugas jaksa diduga melakukan tindak pidana, maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung
2) Bahwa dari Undang-Undang yang saat ini berlaku di Indonesia, izin untuk
melakukan proses hukum datang dari lembaga lain di luar pejabat negara
(eksekutif: Presiden dan Jaksa Agung) maupun dalam struktur yang lebih
tinggi untuk menjaga prinsip check and balances yang merupakan salah satu
unsur dari negara hukum, hal ini yang berbeda dengan anggota DPR dimana
izin harus melalui Mahkamah Kehormatan Dewan DPR yang bagi Pemohon
tidak tepat sesuai dengan rezim hukum yang ada;
3) Bahwa berdasarkan Pasal 119 ayat (2) UU MD3 tujuan dari Mahkamah
Kehormatan Dewan adalah untuk menjaga serta menegakkan kehormatan dan
keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat. Ini menunjukkan
bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai alat kelengkapan DPR
merupakan lembaga etik yang tidak memiliki hubungan langsung dengan
sistem peradilan pidana, sehingga dapat berjalan sendiri-sendiri. Struktur
Mahkamah Kehormatan Dewan juga bukan merupakan struktur yang lebih
tinggi dari Dewan sendiri. Selain itu, Mahkamah Kehormatan Dewan diisi pula
oleh anggota DPR sendiri untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi atas
pengaduan terhadap anggota dewan, hal ini merupakan bentuk konflik
kepentingan dari anggota dewan dan bertentangan dengan prinsip negara
hukum;
4) Bahwa frasa “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana” dalam Pasal
245 UU MD3 menunjukkan bahwa izin tertulis diberikan pada tahapan
penyidikan kepada anggota DPR yang sudah ditetapkan menjadi tersangka,
dimana berdasarkan KUHAP, penetapan seseorang menjadi tersangka
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
97
didasarkan pada adanya 2 (dua) alat bukti yang cukup, sehingga pemanggilan
tersebut didasari alasan yang kuat untuk melakukan pemanggilan;
5) Bahwa tenggat waktu 30 hari dalam Pasal 245 ayat (2) UU MD3, anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya
penghapusan jejak tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti, seluruh
hambatan ini secara jelas dapat disebut sebagai bentuk intervensi yang juga
menghambat proses peradilan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan;
6) Bahwa anggota DPR sebagai subjek hukum, terlepas dari jabatannya sebagai
anggota DPR harus diberlakukan sama di hadapan hukum, bahwa ketentuan
dalam Pasal 245 UU MD3 telah memberikan keistimewaan terhadap anggota
DPR yang sedang menjalani proses hukum tanpa rasionalitas hukum yang
tepat;
7) Bahwa dalam rangka prinsip persamaan, segala sikap dan tindakan
diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya seperti keistimewaan
proses diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-
tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative
actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu
atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga
mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok
masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju;
8) Bahwa keistimewaan dalam proses peradilan atau affirmative actions dalam
prinsip kesetaraan harusnya diberikan kepada subjek yang tepat dalam hal
subjek hukum adalah kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga
masyarakat tertentu, anak atau kelompok rentan, ataupun dalam hal
perlindungan saksi dan korban serta praktik restorative justice;
9) Bahwa proses peradilan oleh penyidik terhadap anggota dewan yang hanya
dapat dilakukan dengan persetujuan Mahkamah Kehormatan Dewan,
merupakan kelompok pengaturan yang seharusnya tidak mengandung
perlakukan berbeda yang bertentangan dengan prinsip equal protection
sebagaimana yang dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD
1945 yaitu persamaan atau kesederajatan di hadapan hukum dan
pemerintahan.
10) Bahwa berdasarkan instrumen hukum yang ada, Indonesia telah mengakui
adanya prinsip non-diskriminasi terhadap warga negaranya, bahwa
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
98
berdasarkan prinsip negara hukum, pengakuan terhadap hak asasi manusia
menjadi suatu hal yang mutlak, dimana hak untuk tidak didiskriminasi dan hak
untuk diperlakukan setara adalah prinsip utama hak asasi manusia;
11) Bahwa Pasal 245 UU MD3 hanya diterapkan untuk anggota DPR, sehingga
terdapat perlakukan yang berbeda untuk warga negara Indonesia (WNI) yang
berhadapan dengan proses hukum dimana pihak penyidik harus memperoleh
izin tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan sebelum melakukan
penyidikan yang diduga dilakukan oleh anggota DPR. Perlakuan berbeda
tersebut tidak diterapkan untuk WNI Iainnya, pihak penyidik dapat secara
langsung melakukan penyidikan. Hal inilah yang mengakibatkan diskriminasi
atas dasar status jabatan publik dan bertentangan dengan prinsip non-
diskriminasi;
[3.10] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalilnya, Pemohon II telah
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-7, ahli yaitu Bivitri Susanti dan Roichatul Aswidah yang telah didengar
keterangannya di bawah sumpah dalam persidangan tanggal 9 Oktober 2014 dan
29 Oktober 2014, serta keterangan tertulis dari ahli Luhut MP Pangaribuan yang
diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 November 2014, yang masing-
masing pada pokoknya menerangkan pasal yang dimohonkan pengujian
bertentangan dengan UUD 1945. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian
Duduk Perkara;
[3.11] Menimbang terhadap permohonan Pemohon II, Pemerintah memberikan
keterangan lisan dalam persidangan pada tanggal 23 September 2014 yang pada
pokoknya menerangkan pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk
Perkara;
[3.12] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon II, Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat menyampaikan
keterangan lisan pada tanggal 23 September 2014, yang pada pokoknya
menerangkan pasal yang dimohonkan pengujian tidak bertentangan dengan UUD
1945. Keterangan selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
99
[3.13] Menimbang terhadap permohonan Pemohon II, Pihak Terkait Partai
Nasional Demokrat dan Pihak Terkait Fahri Hamzah, Muhammad Nasir Djamil,
S.Ag., Dr.H.Sa’duddin, M.M., dan Hadi Mulyadi telah memberikan keterangan
dalam persidangan pada tanggal 23 September 2014, yang keterangan
selengkapnya termuat dalam bagian Duduk Perkara;
[3.14] Menimbang bahwa sebelum Mahkamah mempertimbangkan lebih lanjut
permohonan a quo, Mahkamah akan terlebih dahulu menguraikan tentang proses
penyidikan yang telah dipertimbangkan dalam putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-
IX/2011, bertanggal 26 September 2012, sebagai berikut:
[3.20] Menimbang bahwa dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 40/PUU-
IX/2011 bertanggal 8 Februari 2012, Mahkamah berpendapat bahwa proses
penyelidikan dilakukan dalam rangka menentukan ada atau tidak adanya suatu
tindak pidana dalam kasus tertentu dan untuk mencari bukti-bukti awal untuk
menentukan siapa pelaku tindak pidana. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka 5
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3209 selanjutnya KUHAP), bahwa “Penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa
yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”;
Dalam tahap penyelidikan pula, seseorang belum tentu mengetahui bahwa dirinya
sedang dalam proses penyelidikan, dan proses penyelidikan tidak memiliki
tenggang waktu, sehingga tidak diketahui kapan masa penyelidikan akan berakhir.
Permohonan persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan
terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dapat membuka
kerahasiaan proses penyelidikan itu sendiri. Dalam tahapan penyelidikan belum
ada kepastian seseorang akan disidik atau tidak disidik, belum dilakukan pencarian
dan pengumpulan bukti, namun hanya pengumpulan informasi. Dengan demikian
terhadap proses penyelidikan, seseorang tidak akan dikurangi dan dibatasi gerak
dan aktivitasnya, kecuali jika dilakukan penangkapan. Kepala daerah dan/atau
wakil kepala daerah yang diselidiki tetap dapat memimpin pemerintahan daerah;
Persetujuan tertulis dari Presiden yang disyaratkan dalam proses penyelidikan
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
100
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal
36ayat (1) UU Pemda menurut Mahkamah akan menghambat proses penyelidikan,
karena Presiden diberi waktu 60 hari untuk mengeluarkan persetujuan tersebut.
Dalam tenggang waktu itu, kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah yang
diduga melakukan tindak pidana berpeluang melakukan upaya penghapusan jejak
tindak kejahatan, atau penghilangan alat bukti. Bahkan penyelidikan yang
dirahasiakan dapat diketahui oleh yang bersangkutan;
[3.21] Menimbang bahwa dalam putusan Mahkamah Nomor 40/PUU-IX/2011
bertanggal 8 Februari 2012, Mahkamah berpendapat dalam tahap penyidikan,
penyidik melakukan pencarian dan pengumpulan bukti, hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 1 angka 2 KUHAP yang menyatakan bahwa “Penyidikan merupakan
serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam
KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”. Di
dalam proses penyidikan, KUHAP mengatur bahwa yang dilakukan adalah
memeriksa tersangka, maupun saksi-saksi yang terkait. Terhadap tersangka dan
saksi akan dipanggil untuk dimintai keterangan oleh penyidik, tidak ada
pembatasan ruang dan gerak yang membatasi kebebasan orang yang
bersangkutan, kecuali dianggap perlu untuk kepentingan penyidikan. Menurut
KUHAP, untuk keperluan penyidikan, penyidik dapat melakukan tindakan
penangkapan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan, pemeriksaan
surat dan penahanan. Dua tindakan yang menurut Mahkamah akan membatasi
gerak tersangka adalah penangkapan dan penahanan. Namun KUHAP
menegaskan bahwa penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan dengan
syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu dilakukan terhadap
seseorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan
kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana. Demikian halnya
dengan penangkapan yang oleh KUHAP ditegaskan bahwa untuk melakukannya
hanya untuk kepentingan penyelidikan dan penyidikan, dengan syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 KUHAP yaitu terhadap seorang yang diduga
keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Tanpa
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
101
memenuhi syarat tersebut, maka penahanan dan penangkapan tidak dapat
dilakukan;
Dengan demikian, menurut Mahkamah tidak ada pembatasan gerak bagi
tersangka yang sedang disidik, kecuali terhadapnya dilakukan tindakan
penangkapan ataupun penahanan. Dalam proses penyidikan, kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah tetap dapat menjalankan tugasnya, dan tidak ada
kekosongan jabatan yang perlu digantikan;
Selain itu, terkait dengan persetujuan tertulis dan batasan waktu
persetujuan tertulis dalam hal dilakukan penyidikan, Mahkamah perlu mengutip
pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Nomor 73/PUU-IX/2011,
bertanggal 26 September 2012, sebagai berikut:
“[3.23] Menimbang bahwa salah satu prinsip yang dianut oleh Indonesia sebagai
negara hukum adalah adanya persamaan di hadapan hukum, sebagaimana
dijamin oleh Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, bahwa ‘Setiap warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya’; Dengan adanya syarat
persetujuan tertulis dari Presiden untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan,
akan menghambat percepatan proses peradilan dan secara tidak langsung
mengintervensi sistem penegakan keadilan. Mahkamah mempertimbangkan
pendapat tertulis dari KPK yang menyatakan bahwa persyaratan persetujuan
tertulis dari Presiden telah menghambat keseluruhan proses peradilan. Pasal 24
ayat (1) UUD 1945 jelas menjamin bahwa system peradilan di Indonesia harus
bebas dari intervensi;
Persyaratan persetujuan tertulis dari Presiden bagi penyelidikan dan penyidikan
kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah juga menghambat proses hukum,
yang seharusnya sesuai asas yaitu bersifat cepat, sederhana, dan berbiaya ringan;
Proses penyelidikan dan penyidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah yang diduga melakukan tindak pidana, meskipun mungkin mengganggu
kinerja kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan daerah, namun tidak
menghalangi yang bersangkutan untuk menjalankankan tugasnya. Kepala daerah
dan/atau wakil kepala daerah yang diselidiki dan disidik masih dapat
melaksanakan tugas sehari-hari seperti biasa;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
102
Menurut Mahkamah, persetujuan tertulis pada tahap penyelidikan dan penyidikan
terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah atau pejabat manapun tidak
memiliki rasionalitas hukum yang cukup, dan akan memperlakukan warga negara
secara berbeda di hadapan hukum. Terhadap adagium yang menyatakan bahwa
terhadap sesuatu yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda, dan terhadap
sesuatu yang sama harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara
dalam menjalankan tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang
diembannya memang berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara,
namun pejabat negara juga merupakan warga negara. Sebagai subjek hukum,
terlepas dari jabatannya, kepala daerah pun harus diperlakukan sama di hadapan
hukum;
Oleh karena itu persetujuan tertulis dari Presiden tidak boleh menjadi hambatan
bagi proses penyelidikan dan penyidikan kepala daerah yang bersangkutan,
karena esensi dari persetujuan tertulis Presiden hanyalah agar Presiden sebagai
pimpinan dari para kepala daerah mengetahui bahwa pimpinan dari suatu daerah
akan mengalami proses hukum yang membatasi ruang geraknya, sehingga yang
bersangkutan tidak dapat menjalankan tugas pemerintahan dengan baik, dan akan
berakibat pada terjadinya kekosongan pimpinan daerah. Berdasarkan hal itu
Presiden melalui Menteri Dalam Negeri segera dapat mengambil langkah-langkah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
[3.24] Menimbang bahwa tindakan hukum yang akan mengganggu dan
menghambat pelaksanaan tugas menjalankan pemerintahan daerah adalah jika
kepala daerah ditahan, apapun bentuk penahanannya, akan membuat yang
bersangkutan kehilangan kebebasannya, sehingga penahanan terhadap seorang
kepala daerah akan membatasi gerak dan aktivitas yang bersangkutan bukan
hanya sebagai kepala daerah, tetapi juga sebagai seorang warga negara,
sebagaimana dialami pula oleh warga negara lain yang ditahan;
Penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah akan
menghambat roda pemerintahan daerah karena kepala daerah merupakan
pimpinan administratif tertinggi pemerintahan di daerah. Untuk itu masih diperlukan
adanya persetujuan tertulis dari Presiden terhadap tindakan penahanan yang
dikenakan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah. Menurut
Mahkamah yang memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden hanya tindakan
penahanan. Dengan demikian maka tindakan penyidikan dapat dilakukan oleh
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
103
penyidik tanpa harus memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden. Namun
demikian, tindakan penahanan yang dilakukan untuk kepentingan penyidikan
sebagaimana diatur dalam Pasal 36 ayat (3) UU Pemda tetap memerlukan
persetujuan tertulis dari Presiden. Dalam rangka proses hukum yang lebih efektif
dan efisien yang menjamin kepastian hukum maka Mahkamah memandang perlu
untuk memberi batas waktu persetujuan dari Presiden dalam waktu yang lebih
singkat;
[3.25] Menimbang bahwa Mahkamah pada sisi lain juga memahami pentingnya
menjaga wibawa dan kehormatan seorang pejabat negara, dalam hal ini kepala
daerah dan/atau wakil kepala daerah. Proses penyelidikan dan penyidikan yang
diikuti dengan tindakan penahanan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah dalam Undang-Undang ini dimaksudkan untuk memberi perlakukan khusus
terhadap pejabat negara, dalam hal ini kepala daerah dan/atau wakil kepala
daerah. Hal ini karena kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah sebagai
pejabat negara merupakan lambang dari kepemimpinan pemerintahan yang
memiliki pimpinan tertinggi pemerintahan yaitu Presiden. Perlakuan khusus
dilakukan hanya untuk menjaga harkat dan martabat pejabat negara yang
bersangkutan, sehingga dibutuhkan sikap kehati-hatian dari penegak hukum dalam
melakukan tindakan hukum bagi para pejabat negara;
Menurut Mahkamah memang diperlukan adanya perlakuan yang menjaga harkat
dan martabat pejabat negara dan lembaga negara agar tidak diperlakukan secara
sembrono dan sewenang-wenang. Namun perlakuan demikian tidak boleh
bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan
pidana, apalagi sampai berakibat pada terhambatnya proses hukum;
[3.26] Menimbang bahwa terdapat Pasal-Pasal dan Undang-Undang yang terkait
dengan persetujuan tertulis atas penyelidikan, penyidikan, dan penahanan
terhadap anggota DPRD provinsi yang memerlukan persetujuan dari Menteri
Dalam Negeri atas nama Presiden dan anggota DPRD kabupaten/kota yang
memerlukan persetujuan dari Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri
sebagaimana diatur dalam Pasal 53 UU a quo dan Pasal 340 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD maka menurut
Mahkamah pembentuk Undang-Undang perlu melakukan penyesuaian-
penyesuaian;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
104
[3.27] Menimbang bahwa terhadap ketentuan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda yang
mengecualikan syarat persetujuan tertulis dari Presiden atas tindak pidana
kejahatan yang tertangkap tangan, tindak pidana kejahatan yang diancam dengan
pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, menurut
Mahkamah, pengecualian demikian masih diperlukan terhadap penyidikan yang
dilanjutkan dengan penahanan, karena kejahatan tertangkap tangan adalah
kejahatan yang telah terang benderang dan didukung oleh bukti yang cukup,
sehingga proses penyidikan dapat segera dilanjutkan pada tahap selanjutnya. Jika
harus menungggu persetujuan tertulis Presiden, dikhawatirkan tersangka akan
menghilangkan barang bukti dan jejak kejahatan yang dilakukannya;
Terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara, tidak lagi memerlukan persetujuan tertulis
dari Presiden untuk melakukan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan,
karena kejahatan tersebut adalah kejahatan berat yang jika harus menunggu
persetujuan tertulis, akan berpotensi membahayakan nyawa orang lain, atau
berpotensi membahayakan keamanan negara;
Oleh karena Pasal 36 ayat (5) UU Pemda mengatur batas waktu dua kali 24 jam
untuk melapor kepada Presiden setelah dilakukan tindakan penahanan atas tindak
pidana kejahatan tertangkap tangan, tindak pidana kejahatan yang diancam
pidana mati, atau tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara, menurut
Mahkamah kentuan batas waktu tersebut tetap diperlukan dan tetap harus melekat
dengan Pasal 36 ayat (4) UU Pemda”.
[3.15] Menimbang bahwa hal penting yang menjadi penilaian Mahkamah
dalam permohonan a quo adalah, apakah Pasal 245 Undang-Undang a quo
bertentangan dengan prinsip judicial independent, prinsip equality before the law,
dan prinsip non-diskriminasi, yang dijamin oleh Pasal 24 ayat (1), Pasal 27 ayat
(1), Pasal 28D ayat(1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945;
[3.16] Menimbang bahwa anggota DPR yang dipilih melalui pemilihan umum
berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang. Sebagai pejabat negara pemegang kekuasaan pembentuk
Undang-Undang dalam pelaksanaan kekuasaannya masing-masing anggota DPR
mempunyai hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, hak
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
105
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas
sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945. Pelaksanaan fungsi dan hak
konstitusional anggota DPR tersebut juga harus diimbangi dengan adanya
perlindungan hukum yang memadai dan proporsional, sehingga anggota DPR
tidak dengan mudah dan bahkan tidak boleh dikriminalisasi pada saat dan/atau
dalam rangka menjalankan fungsi dan kewenangan konstitusonalnya sepanjang
dilakukan dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab.
[3.17] Menimbang bahwa menurut Mahkamah adanya persyaratan
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan dalam hal pemanggilan
dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR bertentangan
dengan prinsip persamaan kedudukan di hadapan hukum dan pemerintahan.
Proses penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana,
sesuai dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan, meskipun dapat
mengganggu kinerja anggota DPR dalam menjalankan tugas dan fungsinya,
namun tidak menghalangi yang bersangkutan untuk melaksanakan tugasnya.
Anggota DPR yang diselidiki dan/atau disidik masih tetap dapat melaksanakan
tugasnya sehari-hari. Adanya adagium yang menyatakan bahwa terhadap sesuatu
yang berbeda seharusnya diperlakukan berbeda dan terhadap sesuatu yang sama
harus diperlakukan sama, menurut Mahkamah, pejabat negara dalam menjalankan
tugas dan kewenangannya terkait jabatan negara yang diembannya memang
berbeda dari warga negara lain yang bukan pejabat negara, karena dalam rangka
menjalankan fungsi dan haknya, pejabat negara memiliki risiko yang berbeda
dengan warga negara lainnya. Namun demikian, adanya pembedaan itu harus
berdasarkan prinsip logika hukum yang wajar dan proporsional yang secara
eksplisit dimuat dalam Undang-Undang serta tidak diartikan sebagai pemberian
keistimewaan yang berlebihan. Meskipun memang diperlukan adanya perlakuan
yang berbeda untuk menjaga independensi dan imparsialitas lembaga negara dan
pejabat negara, namun perlakuan demikian tidak boleh bertentangan dengan
prinsip negara hukum dan asas-asas peradilan pidana, apalagi sampai berakibat
pada terhambatnya proses hukum.
[3.18] Menimbang bahwa menurut Mahkamah, adanya proses pengaturan
persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan kepada anggota DPR
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
106
yang sedang dilakukan penyidikan menurut Mahkamah adalah tidak tepat karena
Mahkamah Kehormatan Dewan meskipun disebut “Mahkamah” sesungguhnya
adalah alat kelengkapan DPR yang merupakan lembaga etik yang tidak memiliki
hubungan langsung dalam sistem peradilan pidana. Proses pengisian anggota
Mahkamah Kehormatan Dewan yang bersifat dari dan oleh anggota DPR akan
menimbulkan konflik kepentingan. Oleh karenanya, menurut Mahkamah, proses
persetujuan tertulis terhadap anggota DPR yang kepadanya akan dilakukan
penyidikan maka persetujuan tertulis tersebut haruslah dikeluarkan oleh Presiden
dalam kedudukannya sebagai kepala negara dan bukan oleh Mahkamah
Kehormatan Dewan.
[3.19] Menimbang bahwa salah satu bentuk perlindungan hukum yang
memadai dan bersifat khusus bagi anggota DPR dalam melaksanakan fungsi dan
hak konstitusionalnya adalah dengan diperlukannya persetujuan atau izin tertulis
dari Presiden dalam hal anggota DPR tersebut dipanggil dan dimintai keterangan
karena diduga melakukan tindak pidana. Hal ini penting sebagai salah satu fungsi
dan upaya menegakkan mekanisme checks and balances antara pemegang
kekuasaan legislatif dengan pemegang kekuasaaan eksekutif sehingga Mahkamah
berpendapat bahwa izin tertulis a quo seharusnya berasal dari Presiden dan bukan
berasal dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
Dengan adanya persyaratan izin atau persetujuan tertulis dari Presiden
dalam hal anggota DPR dipanggil dan dimintai keterangan dalam konteks adanya
dugaan tindak pidana diharapkan, di satu pihak, tetap dapat melaksanakan fungsi
dan kewenangannya sebagai anggota DPR, di lain pihak, tetap menjamin adanya
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
sebagaimana dijamin oleh UUD 1945. Namun demikian, tindakan penyidikan yang
dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 245 Undang-Undang a quo yang
memerlukan persetujuan tertulis dari Presiden tersebut harus diterbitkan dalam
waktu yang singkat. Hal tersebut dilakukan dalam rangka mewujudkan proses
hukum yang berkeadilan, efektif, dan efisien, serta menjamin adanya kepastian
hukum. Pemberian persetujuan secara tertulis dari Presiden kepada pejabat
negara yang sedang menghadapi proses hukum, khususnya penyidikan terhadap
pejabat negara, telah diatur di beberapa Undang-Undang, antara lain, UU MK, UU
BPK, dan UU MA, sehingga hal demikian bukan merupakan sesuatu yang baru.
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
107
Berdasarkan pertimbangan tersebut, permohonan pengujian
konstitusionalitas Pasal 245 UU MD3 beralasan menurut hukum untuk sebagian
dan harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar putusan di bawah;
[3.20] Menimbang bahwa terkait dengan proses penyidikan yang diatur dalam
Undang-Undang a quo memang hanya dikhususkan untuk anggota DPR
sedangkan untuk anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
tidak diatur dalam bagian atau paragraf secara khusus. Hal ini berbeda dengan UU
Nomor 27 Tahun 2009 (UU MD3 2009) dimana ketentuan mengenai proses
penyidikan diatur secara khusus bukan hanya untuk anggota DPR tetapi juga
untuk semua anggota MPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD
dan DPRD, ketentuan mengenai penyidikan terhadap anggota MPR diatur dalam
Bab II, Bagian Kesebelas, Penyidikan, Pasal 66. Penyidikan terhadap anggota
DPR diatur dalam Bagian Keenam Belas, Penyidikan, Pasal 220. Penyidikan
terhadap anggota DPD diatur dalam Bagian Keempat Belas, Penyidikan, Pasal
289. Penyidikan terhadap anggota DPRD provinsi diatur dalam Bagian Kelima
Belas, Penyidikan, Pasal 340, dan penyidikan terhadap anggota DPRD
kabupaten/kota diatur dalam Bagian Kelima Belas, Penyidikan, Pasal 391.
Dengan demikian menurut Mahkamah perihal pengaturan proses
penyidikan khususnya terkait dengan adanya syarat persetujuan tertulis dari
Presiden juga harus diberlakukan untuk anggota MPR dan anggota DPD,
sedangkan untuk anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota
pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota
DPRD provinsi yang disangka melakukan tindak pidana harus mendapat
persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri dan untuk anggota DPRD
kabupaten/kota harus mendapat persetujuan tertulis dari Gubernur.
[3.21] Menimbang bahwa adanya syarat persetujuan tertulis dari Presiden bagi
anggota DPR dalam proses penyidikan sebagaimana telah diuraikan Mahkamah di
atas juga berlaku terhadap Pasal 224 ayat (5) Undang-Undanga quo sehingga
Pasal 224 ayat (5) juga harus dimaknai sebagaimana akan disebutkan dalam amar
putusan di bawah;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
108
[3.22] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang
diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon II beralasan
menurut hukum untuk sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon I tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.3] Pemohon II memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[4.4] Permohonan Pemohon II beralasan menurut hukum untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Permohonan Pemohon I tidak dapat diterima;
2. Mengabulkan permohonan Pemohon II untuk sebagian:
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
109
2.1. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.2. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis
dari Presiden”;
2.3. Pasal 245 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya
menjadi, “Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan
terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus
mendapat persetujuan tertulis dari Presiden”;
2.4. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis dari Presiden”;
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
110
2.5. Frasa “persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan” dalam
Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “persetujuan tertulis
dari Presiden”;
2.6. Pasal 224 ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) selengkapnya
menjadi,“Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR
yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden”.
3. Menolak permohonan Pemohon II untuk selain dan selebihnya;
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya;
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan
Hakim Konstitusi yaitu Hamdan Zoelva, selaku Ketua merangkap Anggota, Arief
Hidayat, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar,
Ahmad Fadlil Sumadi, Muhammad Alim, dan Aswanto, masing-masing sebagai
Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh, bulan November, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal dua puluh dua, bulan September, tahun dua ribu lima belas, selesai diucapkan pukul 14.02 WIB, oleh
delapan Hakim Konstitusi, yaitu Arief Hidayat selaku Ketua merangkap Anggota,
Anwar Usman, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar,
Suhartoyo, I Dewa Gede Palguna, dan Manahan M.P Sitompul, masing-masing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Hani Adhani sebagai Panitera
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]
111
Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon atau kuasanya, Presiden atau yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Arief Hidayat
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Wahiduddin Adams
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Patrialis Akbar
ttd.
Suhartoyo
ttd.
I Dewa Gede Palguna
ttd.
Manahan M.P Sitompul
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Hani Adhani
Untuk mendapatkan salinan resmi, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email: [email protected]