abdul aziz-fsh.pdf
TRANSCRIPT
i
PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI
ALASAN PERCERAIAN
(STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA)
Oleh:
ABDUL AZIZ 104044101382
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1432 H/2010 M
ii
PERBEDAAN KARAKTER SUAMI ISTERI SEBAGAI
ALASAN PERCERAIAN
STUDI KASUS PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JAKARTA UTARA
Skripsi Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Abdul Aziz
NIM : 104044101382
Pembimbing :
Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH NIP : 19500306 197603 1 001
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A P R O G R A M S T U D I H U K U M K E L U A R G A
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1432 H/2010 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Strata 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 13 Februari 2011 M 10 Rabiul Awal 1432 H
Abdul Aziz
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi dengan judul “PERBEDAAN SIFAT DAN PRILAKU ISTERI SEBAGAI
ALASAN PERCERAIAN (Studi Perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”,
telah diujikan dalam munaqosah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada hari Rabu Tanggal 24 Agustus 2011, skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Strata Satu (S1)
pada Jurusan Peradilan Agama.
Jakarta, 28 Juli 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM Nip: 19550505 198203 1 012
PANITIA UJIAN 1. Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH
Nip. 19500306 197603 1 001
2. Sekretaris Rosdiana, MA Nip. 19690610 200312 2 001
3. Pembimbing Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MH Nip. 19500306 197603 1 001
4. Penguji 1 Drs. Djawahier Hejjaezy, SH. MH Nip. 19551015 197903 1 002
5. Penguji 2 Dr. H. Supriyadi Ahmad, M.A Nip. 19581128 199403 1 001
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Sebagai suri teladan yang sempurna bagi kita
semua.
Selama masa perkuliahan hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini, banyak
pihak yang telah memberikan bantuan dan motivasi kepada Penulis. Sebagai tanda
syukur atas terselesaikannya Penulisan skripsi yang berjudul “PERBEDAAN
SIFAT DAN PRILAKU SUAMI-ISTERI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN
(STUDI PERKARA NOMOR : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU”. Maka Penulis ingin
mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Bapak:
1. Prof. Dr. H. M. Amin Suma, SH., MA., MM., Dekan Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif hidayatullah.
2. Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., Ketua Jurusan Akhwal Syakhshiyyah
sekaligus Dosen pembimbing yang selalu memberikan bimbingan serta
dukungan dan motivasi kepada Penulis untuk segera menyelesaikan skripsi
ini. Merupakan suatu kehormatan dan kebanggaan tersendiri bagi Penulis bisa
vi
berada di bawah bimbingan beliau. Semoga amal beliau diterima disisi Allah
sebagai kebaikan yang berlipat ganda. (Amin)
3. Ibu Rosdiana sebagai sekretaris jurusan. Semoga pekerjaan beliau menjadi
sebuah ibadah tersendiri yang diberkahi Allah SWT.
4. Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Yang telah memberikan bantuan berupa
bahan-bahan yang menjadi referensi dalam Penulisan skripsi.
5. Secara khusus Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam
kepada kedua orangtua Penulis tercinta, Ayahanda H. Ahmad Zaini dan
ibunda Hj. Siti Badi’ah yang senantiasa membimbing dan memotivasi Penulis
dengan tulus, serta selalu mendoakan Penulis agar selalu sukses dalam segala
hal.
6. Adik-adik tercinta Muhammad Shofwan & Azmiyati yang selalu memberikan
spirit agar masa-masa ini cepat berlalu.
7. Untuk semua orang tuaku; KH. Muhammad Syarif Hidayat Munjih (Pondok
Pinang), Abah Endang (Cijeruk), Kyai Rasyid (Marunda Lama), terima kasih
atas doa-doamu yang selalu menyertai anakmu ini.
8. PSIK INDONESIA: Fahru Rozi, Goeswin, Zaenal Abidin, Hiton Bazawi,
Ahmad Sapei, Tirta Rismahadi Wijaya.
9. BANTEN PRESS; Miming Ismail, Sigit Sungkono, Lyus Oktari, Irvan Habibi
Sukardi Hasan, Rahmat Muslim.
vii
10. Seluruh teman-teman LINK Ciputat; Syafi’i Hazami, Ramfalak, Kurnia,
Ulum, Kidsi, Jilbong dll
11. Seluruh teman-teman Cordova; Rangga, Imam, Abet, Barna, Devi dll
12. Sahabat dan teman seperjuangan di Jurusan Peradilan Agama; Asep
Jubaedillah, Rahchman Fitrianto, Lusan Bun tink (Perbankan Syari’ah)
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT.
Kesempurnaan haya milik Allah SWT mudah-mudahan semua yang telah Penulis
lakukan mendapat Ridha Allah SWT, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Amin.
Jakarta, 19 Mei 2011
AbdulAziz
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………..…..… i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING………………………………… ii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………............ iii
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………………. iv
KATA PENGANTAR………………………………………….………………. v
DAFTAR ISI……………………………….…………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………. 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... ….. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………….. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………… 7
D. Review Studi Terdahulu …………………………………………. 8
E. Metodologi Penelitian…………………..………………………… 9
F. Sistematika Penulisan………………………………………….... 12
BAB II PERKAWINAN DAN PERCERAIAN………….……….............14
A. Tujuan Perkawinan……………………………………………....14
B. Dasar Hukum Perceraian……………………………………….. 19
C. Perbedaan Cerai Talak dan Gugat Cerai……………………..…. 22
D. Alasan danTata Cara Perceraian…………………………..….… 25
E. Perbedaan Karakter Suami-Istri menurut Hukum Islam………... 30
vi
BAB III PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA……..... 51
A. Sejarah Singkat Pembentukan…………………………………... 51
B. Wilayah Hukum, Struktur Organisasi dan Profil Jabatan ……... 54
C. Visi Misi dan Rencana Strategis………………………………… 60
D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan……………………………. 60
BAB IV ANALISIS BEDA KARAKTER SUAMI-ISTERI SEBAGAI
ALASAN PERCERAIAN………………………………..………. 64
A. Posita/Duduknya Perkara………………………………………. 64
B. Petitum/Tuntutan…………………………………………........... 65
C. Alat Bukti……………………………………………………….. 66
D. Pertimbangan Hukum…………………………………………... 67
E. Putusan………………………………………………………….. 70
F. Analisis Penulis…………………………………………………. 70
BAB V PENUTUP…………………………………………………………. 82
A. Kesimpulan…………………………………………………........ 82
B. Saran-Saran……………………………………………………… 84
DAFTAR PUSTAKA………..……………………………………………….... 86
DAFTAR LAMPIRAN
1. Putusan Perkara No. 0206/Pdt.G/2008/PA.JU…………………………..... 90
2. Laporan Tahunan Pengadilan Agama Jakarta Utara 2010…………........ 95
4. Surat Permohonan Data dan Wawancara……………………………….. 115
5 .Laporan Hasil Wawancara……………………………………………….. 116
6. Surat Keterangan telah Melakukan Observasi dan Wawancara………. 121
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan mendapat tempat yang tinggi dan sangat terhormat dalam Agama
Samawi (Islam khususnya) dan termaktub dalam tata aturan yang telah ditetapkan Al-
Qur’an sebagai kitab suci umat Islam. Perkawinan juga menjadi sarana bagi umat
untuk membentuk sebuah keluarga, berketurunan dan melanjutkan hidup sesuai tata
norma yang berlaku baik norma agama, hukum dan adat.
Perkawinan (nikah atau zawaj) berasal dari bahasa arab yang secara etimologi
(bahasa) berarti “berkumpul dan menindih” atau dengan ungkapan lain bermakna
“aqad dan setubuh.”1 Menurut istilah syar’i perkawinan merupakan suatu akad yang
menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim
dan akad ini menimbulkan hak dan kewajiban antara keduanya.2 Sedangkan menurut
Ulama Fiqh pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan
kepada pria hak memiliki penggunaan terhadap farj (kemaluan) perempuan dan
seluruh tubuhnya untuk kenikmatan sebagai tujuan primer.3
1 Ahmad Sudirman Abbas, Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, (Jakarta:
PT. Prima Heza Lestari, 2006), Cet ke-2, h.1 2 M. Abdul Mujib, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: PT. Pustaka Firdaus,
1994), Cet ke-2. h.249 3 Bakri A. Rahman dan A. Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan
dan Hukum Perdata B/W, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h. 12
2
Sebagaimana kita ketahui Al-Qur’an menyebut perkawinan sebagai tali
yang kokoh (Mitsaqan ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.4 Karena perkawinan merupakan ikatan lahir bathin antara suami
dan istri yang banyak menimbulkan aspek hukum yang mengikat setelah
pelaksanaannya. Aspek-aspek itu antaranya adalah dengan adanya perkawinan maka
suami dan istri menjadi halal dalam melakukan hubungan biologis, hidup satu atap,
saling memenuhi hak dan kewajiban, hadirnya anak, timbulnya konsep waris, harta
bersama dan lain sebagainya. Maka dari itu perkawinan juga mengandung aspek
ibadah kepada Allah SWT bagi yang melaksanakannya.
Sedangkan tujuan diadakannya pernikahan tak lain adalah menciptakan
kondisi keluarga yang bahagia, tenteram, aman serta nyaman antar kedua belah pihak
baik suami maupun istri. Tentunya ini sesuai dengan tujuan perkawinan/pernikahan
dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 3 bahwa Perkawinan bertujuan untuk
mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.5
Rumah tangga bahagia merupakan idaman setiap keluarga. Tujuan
perkawinan/pernikahan yang dilandasi oleh cita-cita luhur ikatan suci dibalut kasih
sayang pasangan suami isteri dalam lingkar agama sebagai suatu ibadah kepada Allah
SWT. Setiap individu yang ingin melangsungkan pernikahan sejatinya harus
menyiapkan kebutuhan-kebutuhan yang kelak akan dihadapinya—baik kebutuhan
moril maupun materil.
4 Pusat Studi Wanita, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2004), h.1 5 Kompilasi Hukum Islam Pasal 3
3
Berumah tangga sejatinya menciptakan kehidupan yang harmonis dan
dipenuhi dengan perasaan kasih sayang antara kedua belah pihak baik suami maupun
isteri, saling menghormati perbedaan masing-masing dan lain sebagainya.
Pernikahan juga tak selamanya berjalan sesuai dengan tujuan yang
diharapkan—tercipta kebahagiaan, rasa tentram dan damai. Adakalanya rumah
tangga diguncang konflik suami isteri baik yang datang dari dalam maupun luar
keluarga yang disebabkan oleh banyak faktor.
Ada kalanya konflik-konflik dalam sebuah rumah tangga dapat diselesaikan
dengan baik oleh kedua belah pihak dan rumah tangga tersebut kembali dalam
kebahagiaannya sedia kala. Namun, ada kalanya konflik-konflik dalam rumah tangga
tak dapat di atasi oleh kedua belah pihak baik suami maupun isteri. Bahkan konflik
tersebut berlarut-larut dan menjadi perselisihan yang tak dapat dibendung lagi yang
berujung pada runtuhnya sendi-sendi rumah tangga—Perceraian.
Dalam hukum Islam perceraian adalah perbuatan halal yang mempunyai
prinsip dilarang oleh Allah SWT.6 Artinya perceraian merupakan hal yang boleh
untuk dilakukan namun dibenci Allah SWT. Karena perceraian merupakan solusi
terakhir dalam menyelesaikan masalah yang terjadi antara suami isteri dengan adanya
pemutusan hubungan perkawinan.
6 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2006), Cet.ke-1,
h.73
4
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah dalam haditsnya bahwa suatu perbuatan
halal yang dibenci oleh Allah SWT adalah Talak/Perceraian (Hadits Riwayat Abu
Dawud, Ibn Majah, dan Hakim).7
Walaupun perceraian diperbolehkan oleh agama, namun pada prinsipnya
perceraian yang diatur oleh Perundang-undangan Indonesia (misalnya dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan berusaha semaksimal
mungkin adanya perceraian dapat dikendalikan dan menekan angka perceraian
kepada titik yang paling rendah).8 Artinya lembaga Peradilan Agama yang menangani
kasus-kasus perceraian berusaha mendamaikan pasangan suami isteri bila ada salah
satu atau kedua pasangan tersebut melakukan permohonan/gugat cerai.
Undang-undang Perkawinan tidak melarang perceraian, hanya dipersulit
pelaksanaannya, artinya tetap dimungkinkan terjadinya perceraian jika seandainya
memang benar-benar tidak dapat dihindarkan, itu pun harus dilaksanakan secara baik
dihadapan sidang pengadilan.9
Sedangkan mengenai pelaksanaannya, untuk melakukan permohonan
perceraian pemohon harus memiliki alasan-alasan yang memang sudah diatur dalam
7 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, (Surabaya, Al-
Hidayah), Juz 3, h.168 8 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet.ke-1,
h. 8 9 Ibid., h.9
5
Perundang-undangan, bahwasanya untuk melakukan perceraian harus ada cukup
alasan bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.10
Dalam hal ini alasan-alasan seputar perceraian dijelaskan baik dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jis. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Perkawinan Pasal 19, Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Pasal 116 menjelaskan untuk melakukan perceraian harus ada alasan-
alasan diperbolehkannya seorang suami atau isteri mengajukan permohonan cerai
ataupun gugatan cerai bila memang salah satu dari pasangan tersebut menghendaki
adanya pemutusan perkawinan melalui perceraian.
Berkaitan dengan semua itu, alasan-alasan perceraian dalam Perundang-
undangan Indonesia baik dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Perkawinan Pasal 19 serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
tentang KHI Pasal 116 menjadi pedoman Hakim Pengadilan Agama dalam
mempertimbangkan kasus-kasus perceraian yang terjadi di Indonesia. Namun, khusus
di Pengadilan Agama Jakarta Utara mendapati putusan Majelis Hakim yang salah
satu alasan perceraiannya mencantumkan redaksi Perbedaan Karakter suami-isteri
sebagai alasan perceraian yang sama sekali tidak termuat dalam Perundang-undangan
yang dijadikan patokan Hakim dalam memutuskan perkara perceraian.
10 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 ayat (2)
6
Maka dari itu merasa sangat perlu dan tertantang untuk memperhatikan lebih
dalam dengan meneliti alasan tersebut dengan memberi judul pada penelitian kali ini
“Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara
Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Menyadari luasnya permasalahan pada hukum perkawinan, maka Penulis
memfokuskan persoalan kehidupan rumah tangga dengan pembatasan masalah pada
Perbedaan Karakter Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian (Studi Perkara Nomor:
0206/Pdt.G/2008/PA.JU). Adapun perbedaan karakter yang dimaksud dalam hal ini
adalah perilaku isteri yang melarang suami untuk bekerja pada malam hari,
sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada siang hari.
2. Perumusan Masalah
Untuk uraian skripsi ini mencoba merumuskan permasalahan sebagai berikut;
Menurut Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta Inpres No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam alasan perceraian karena perbedaan karakter
suami-istri tidak tercatat di dalamnya. Namun kenyataannya, putusan di Pengadilan
Agama Jakarta Utara mengabulkan perbedaan karakter suami-istri terhadap sebagai
Alasan Perceraian.
7
Rumusan tersebut di atas, Penulis merincinya dalam bentuk pertanyaan sebagai
berikut;
1. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang perbedaan karakter
suami-istri terhadap suami dapat dijadikan alasan perceraian?
2. Sejauh mana perbedaan karakter dapat mempengaruhi keutuhan sebuah keluarga?
3. Apakah dasar hukum yang melatarbelakangi putusan Majelis Hakim mengenai
perbedaan karakter suami-istri dapat dijadikan alasan perceraian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan permasalahan
sebagaia berikut :
1. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang
Perbedaan Karakter istri terhadap suami dalam sebuah rumah tangga menjadi
satu alasan perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
2. Untuk mengetahui apa yang melatarbelakangi perbedaan Karakter suami-istri
terhadap suami.
3. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hukum yang digunakan Majelis Hakim
dalam memutuskan perkara tersebut.
Adapun manfaat dari penelitian ini antara lain:
a. Secara Akademis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
keilmuan khususnya dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia.
8
b. Selain itu, Penelitian ini dipharapkan dapat memperkaya penelitian
sebelumnya disamping sebagai kontribusi tertulis pada Fakultas Syariah UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
c. Selanjutnya, Peneliatian ini juga diharapkan dapat menambah wawasan
masyarakat Islam Indonesia, khususnya masyarakat Jakarta Utara mengenai
pemahaman keilmuan dalam Hukum Islam dan Hukum Positif tentang
Perceraian.
4. Review Studi Terdahulu
Dalam Review Studi Terdahulu kali ini, mendapati skripsi karya Ahmad
Sauqi (106044101386)11 yang berjudul “Perselisihan Terus Menerus antara Suami
Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua sebagai Alasan Perceraian (Kajian terhadap
Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT).
Sejauh pengamatan, skripsi yang ditulis oleh Ahmad Sauqi pada inti
permasalahannya adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif
mengenai turut campur orang tua dalam rumah tangga anak, faktor apa saja yang
mempengaruhi keikut-sertaan orang tua dalam rumah tangga anak serta bagaimana
Hakim Pengadilan Agama Jakarta Timur menyelesaikan perkara tersebut. Fokus
utama dalam skripsi yang ditulis oleh Sauqi adalah adanya campur tangan orang tua
dalam keluarga anak sebagai alasan perceraian.
11 Ahmad Sauqi, Perselisihan Terus Menerus antara Suami Isteri akibat Campur Tangan Orang Tua
sebagai Alasan Perceraian: Kajian terhadap Putusan Pengadilan Agama Jaktim No: 1164/Pdt.G/2008/PA.JT, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
9
Sedangkan pembahasan yang lakukan adalah seputar perbedaan karakter
suami-isteri terhadap suaminya sebagai alasan perceraian. Persamaannya adalah
adanya dampak pertengkaran yang terus menerus dalam bahtera rumah tangga suami-
isteri yang dapat dijadikan alasan perceraian. Namun, perbedaan yang mendasar
antara lain:
a. Penelitian dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara.
b. Fokus alasan perceraian yaitu mengenai perbedaan karakter suami-isteri
sebagai alasan perceraian.
c. Pandangan Hukum Islam (fikih) serta Hukum Positif mengenai perbedaan
karakter suami isteri.
d. Seberapa jauh perbedaan karakter ini mempengaruhi keutuhan rumah tangga.
e. Sejauh mana karakter isteri ini dapat dijadikan alasan pada prakteknya di
Pengadilan Agama Jakarta Utara.
E. Metodologi Penelitian
Dalam penyusunan proposal skripsi ini, menggunakan metode penelitian
sebagai berikut:
1. Jenis dan Pendekatan
Dari sisi data yang digunakan, penelitian ini adalah penelitian kualitatif
dengan pendekatan Conten Analysis. Yaitu, menguraikan dengan cara
mendeskripsikan isi dari putusan yurisprudensi dengan nomor perkara:
(0206/pdt.G/2008/PA.JU) yang penulis dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta
10
Utara, kemudian menganalisis putusan Pengadilan tersebut agar mendapatkan data
yang objektif dan sistematis sesuai dengan tujuan penulisan ini.
2. Kriteria Data
Dalam pengumpulan data, digunakan kriteria sebagai berikut:
a) Kriteria Data Primer: Data primer sebagai bahan tulisan ini adalah putusan
Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan Nomor Perkara: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU.
b) Kriteria Data Sekunder: Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan
mengadakan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan masalah yang sedang diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah berupa
Al-Quran, Hadits, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang No.1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama Jo. Undang-undang No.3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-
undang Peradilan Agama, Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan, Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Acara Peradilan Agama dan
dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan judul penelitian serta arsip
Peradilan Agama Jakarta Utara yang berkaitan dengan Perbedaan Karakter
Suami-Isteri sebagai Alasan Perceraian.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data dengan cara sebagaimana berikut:
11
a. Survey untuk mendapatkan data tentang perbedaan karakter sebagai alasan
perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Utara.
b. Interview/Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan atau melalui
wawancara, dimana dua orang atau lebih secara fisik langsung berhadap-hadapan
yang satu dapat melihat muka yang lain dan masing-masing menggunakan saluran
komunikasi secara wajar dan lancar.12
Dalam hal ini melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait, sebagai bukti
memperoleh kebenaran terhadap fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara yang
teliti. Kiranya dari hasil wawancara tersebut bisa mendapatkan sumber-sumber
data yang berkaitan dengan judul yang sedang diajukan.
c. Studi Dokumenter: Menganalisis dan menafsirkan putusan Pengadilan Agama
Jakarta Utara khususnya perkara Nomor: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dalam rangka
memahami proses berlangsungnya perkara, pihak-pihak yang terkait sampai
putusnya perkara dan juga pertimbangan yang digunakan oleh Majelis Hakim itu
sendiri dalam memutuskan perkara berkaitan dengan Perbedaan Karakter Suami-
isteri sebagai alasan perceraian.
d. Studi Pustaka: Mengambil sumber-sumber ilmiah dari berbagai sumber buku,
kitab-kitab klassik, kamus, perundang-undangan dan lain sebagainya.
12 Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Metode
Penelitian Sosial (terapan dan kebijaksanaan, (Jakarta: 2000), h.39
12
4. Teknik Analisis Data
Dalam melakukan analisis data menggunakan cara pengumpulan sumber-
sumber data yang sudah ada di Pengadilan Agama Jakarta Utara. Adapun tahanpan-
tahapan yang dilakukan pertama adalah dengan cara mengambil data yang sudah ada
sampelnya berupa putusan dan hasil dari isi putusan tersebut diolah datanya dengan
menggunakan metode tertentu lalu ditarik kesimpulannya. Setelah itu, hasil laporan
yang sudah didapat bisa diinterpretasikan dalam bentuk laporan hasil penelitian yang
berguna untuk (khususnya) dan publik umumnya.
5. Teknik Penulisan Data
Sementara untuk teknik penulisan skripsi ini menggunakan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Tahun
2007”13 dengan pengecualian terjemahan Al-Qur’an dan Hadits satu spasi walaupun
kurang dari lima baris dan dalam daftar pustaka Al-Qur’an ditulis awal.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah pemahaman mengenai penulisan terhadap penelitian
ini secara menyeluruh, perlu disajikan sistematika penulisan agar dapat memberikan
gambaran umum. Adapun penulisan skripsi ini dibuat dalam empat bab, dengan
sistematika sebagai berikut:
Bab Pertama membahas tentang Pendahuluan, di dalam bab ini dibahas latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
13 Djawahir Hejazziey, ed., Buku Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007)
13
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan teknik penulisan serta sistematika
penulisan.
Bab Kedua membahas tentang Perkawinan dan Perceraian, dalam bab ini
menjabarkan tentanng tujuan perkawinan, dasar hukum perceraian, perbedaan cerai
talak dan cerai gugat, alasan dan tata cara perceraian, perbedaan karakter suami-isteri
menurut hukum Islam.
Bab Ketiga membahas Profil Pengadilan Agama Jakarta Utara, dalam bab ini
dibahas seputar sejarah singkat pembentukan Pengadilan, struktur organisasi, visi dan
misi Pengadilan serta tugas pokok dan fungsi Pengadilan.
Bab Keempat tentang Analisis Beda Karakter Isteri sebagai Alasan Perceraian yang
meliputi posita (duduk perkara), petitum (tuntutan perkara), alat bukti, pertimbangan
hukum serta analisis terhadap putusan tersebut.
Bab kelima Penutup, bab ini berisikan kesimpulan serta saran
14
BAB II
PERKAWINAN DAN PERCERAIAN
A. Tujuan Perkawinan
Islam dengan Al-Qur’annya menggambarkan perkawinan sebagai tali
perkawinan yang kokoh (mitsaqon ghalidza) untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.1 Yang mana Rasulullah sendiri menegaskan
dalam haditsnya kepada umatnya untuk menikah bila sudah mampu dalam hal
sandang, pangan dan papan karena perkawinan dapat menjaga mata serta kemaluan
dari hal-hal yang yang dialarang oleh agama.
Sebagaimana Rasulullah Muhammad Saw menjelaskan dalam haditsnya:
����� ���� � � ���� ��������� ����� ��� : ���� ���!��� � � ��"�# � � $������ ����� : %&����' (��) ��*�+�, �%*-(��) ./�0�, ��12���3 4�51 67!()��3 �89:�-)(� ��$;��� <��=7��� ��� �>�1-1&)� ���) ��� �5�%�? @:�A� ���) ��12���3 �B��1*)��� ���!����3 �C�=7��' ) �!�� E?7�(٢
Artinya: “Hai sekalian pemuda, siapa diantara kamu telah sanggup untuk menikah,
maka menikahlah, karena menikah itu menundukkan mata dan lebih memelihara farj (kemaluan). Dan barang siapa belum mampu, maka hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu baginya adalah penawar/ penekan nafsu syahwat.”
1 Sri Mulyati, ed, Relasi Suami Isteri dalam Islam, (Jakarta: PSW UIN JAKARTA,2004), h.1 2 Abu Daud al-Sijistani, Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, (Amman: Dar al-‘Alam,
2003), h. 314
15
Perkawinan selain bertujuan untuk mentaati Allah dan mengikuti anjuran
Rasul juga memiliki beberapa tujuan mulia yaitu untuk memenuhi tuntutan hajat
tabiat kemanusiaan yaitu berhubungannya antara laki-laki dan wanita dalam rangka
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan rasa cinta kasih sayang untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan
syara’.3
Ada beberapa tujuan dari disyaratkannya perkawinan atas umat Islam yang
menurut pengamatan penulis tak kalah pentingnya dari pada tujuan-tujuan yang telah
penulis paparkan sebelumnya. Diantaranya adalah:
1. Untuk mendapatkan anak keturunan yang sah bagi melanjutkan generasi yang
akan datang.4 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surat An-nisa Ayat 1:
���$G17)� ��'�H�)� �I.'J' �K�I��� �L� �IA� M �I��� E��N �8O�+�1 �P(?2 ���� ��$;�G��N �Q�H�)� ��$;1�� R:J��21 �S%�!�T�U �V)�A�� ...
Artinya : “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan”.
2. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
kewajiban, juga bersunguh-sunguh untuk memperoleh harta kekayaan yang halal.5
3 Moh. Idris Romulya, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Analisis dari Undang-undang No. I Tahun 1974 dan KHI, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), Cet ke 1, h. 27
4 Amir syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,(Jakarta: Putra Grafika, 2006), Cet
1. h. 46
16
Tujuan lain dari perkawinan menurut Basiq Djalil dalam bukunya Tebaran
Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo adalah untuk bersenang-senang.6 Sebagaimana
diterangkan Al-Qur’an dalam Surat Al-A’raf ayat 189:
�I�!�)�� ��$;��!�) �IA� M �I��� �X�A �8O�+�1 �P(?2 ���� ��$;�G��N �Q�H�)���Y Artinya: “Dialah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (adam) dan
daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya.”
Menurutnya, dari ayat ini kita juga tampaknya tidak dilarang bersenang-
senang tentunya tidak sampai meninggalkan hal-hal yang penting karenanya, karena
memang diakui bahwa rasa senang itu salah satu unsur untuk mendukung sehat
ruhani dan jasmani.7
Sedangkan Sulaiman Al-Mufaraj dalam bukunya Bekal Pernikahan,
menjelaskan beberapa poin tentang tujuan perkawinan diantaranya, yaitu:
1) Sebagai ibadah dan mendekatdiri kepada Allah SWT. Nikah juga dalam
rangka taat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya.
2) Untuk iffah (menjauhkan diri dari hal-hal yang dilarang; ihsan membentang
diri dan mubadho’ah bisa melakukan hubungan intim).
3) Memperbanyak umat Muhammad SAW.
4) Menyempurnakan agama.
5 Zakiyah Darajat, Ilmu Fiqih, (Jakarta: Depag RI, 1989), Jilid 3, h. 64 6 Basiq Djalil, Tebaran Pemikiran KeIslaman di Tanah Gayo, (Jakarta: QALBUN SALIM,
2007), Edisi Pertama, h.87 7 Ibid., h.87
17
5) Menikah termasuk sunnahnya para utusan Allah.
6) Melahirkan anak yang dapat memintakan pertolongan Allah untuk ayah dan
ibu mareka saat masuk surga.
7) Menjaga masyarakat dari keburukan, runtuhnya moral, perzinahan, dan lain
sebagainya
8) Legalitas untuk melakukan hubungan intim, menciptakan tanggung jawab
bagi suami dalam memimpin rumah tangga, memberikan nafkah dan
membantu istri dirumah.
9) Mempertemukan tali keluarga yang berbeda sehingga memperkokoh
lingkaran keluarga.
10) Saling mengenal dan menyayangi.
11) Menjadikan ketenangan kecintaan dalam jiwa suami dan istri.
12) Sebagai pilar untuk membangun rumah tangga Islam yang sesuai dengan
ajaran-Nya terkadang bagi orang yang tidak menghiraukan kalimat Allah
SWT. Maka tujuan nikahnya akan menyimpang.
13) Suatu tanda kebesaran Allah SWT, kita melihat orang yang sudah menikah,
awalnya mereka tidak saling mengenal satu sama lainnya, tetapi, dengan
melangsungkan tali pernikahan hubungan keduanya bisa saling mengenal dan
sekaligus mengasihi.
14) Memperbanyak banyak keturunan umat Islam dan menyemarakkan bumi
melalui proses pernikahan.
18
15) Untuk mengikuti panggilan iffah dan menjaga pandangan kepada hal-hal
yang diharamkan.8
Sedangkan Tujuan perkawinan menurut hukum positif yang ada di Indonesia
seperti seperti dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah terwujudnya kebahagiaan rumah tangga yang kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa Tujuan tersebut dapat tercapai dengan adanya rasa hormat
menghormati, toleransi, saling pengertian dan keserasian.9
Untuk mewujudkan kebahagiaan ruamh tangga yang kekal Joko Prakoso
dalam bukunya mengomentari tujuan Undang-undang Perkawinan diatas bahwa
antara suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat
mengembangkan kepribadiannya membantu dan mecapai kesejahteraan spiritual dan
material.10
Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan bahwa landasan filosofis perkawinan nasional ialah
pancasila dengan mengaitkan perkawinan berdasarkan sila pertama, yaitu
berdasarkan ketuhanan yang maha esa. Landasan filosofis itu dipertegas dan diperluas
dalam Pasal 2 KHI yang berisi:
a. Perkawinan semata-mata mentaati perintah Allah
8 Sulaiman Al-Mufarraj, Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair, Wasiat,
Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003), h. 5
9 Basiq Djalil, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif Fiqih dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: QALBUN SALIM, 2005), Cet.ke-1, h.165
10 Joko Prakoso dan I ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.13
19
b. Melaksakan perkawinan adalah ibadah
c. Ikatan perkawinan bersifat mitsaqon gholidzan11
B. Dasar Hukum Perceraian
Perceraian merupakan jalan akhir dari segala upaya yang dilakukan oleh
suami-isteri maupun Pengadilan dalam mengambil solusi dari masalah yang dihadapi
suami-isteri dalam sebuah keluarga.
Di Indonesia Perceraian sering juga disebut sebagai talak, walaupun pada
hakekatnya tidak semua perceraian dapat disebut talak. Djoko Prakoso dan I Ketut
Murtika dalam buku Azas-azas Perkawinan Indonesia12 menjelaskan bahwa talak
adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh suami untuk menolak atau menghentikan
berlangsungnya suatu perkawinan.
Menurut Hisako Nakamura dalam bukunya Perceraian Orang Jawa, talak
adalah satu bentuk perceraian yang dinyatakan oleh suami secara lisan atau tulisan,
dengan bunyi: “Aku talak engkau” atau “Aku ceraikan engkau”, juga bisa digunakan
kata-kata lain yang sama artinya, dimana maksud suami menceraikan isterinya itu
jelas.13
11 Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, h.51 12 Djoko Prakoso & I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: PT. Bina
Aksara, 1987), Cet ke-1, H. 178 13 Hisako Nakamura, Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di Kalangan
Orang Islam Jawa. Penerjemah H. Zaini Ahmad Noeh, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991), h. 34
20
Sedangkan dalam Islam Perceraian sendiri berasal dari bahasa arab ( ���–
������� ) yang berarti pemutusan14. Dalam istilah perkawinan Islam talak menurut
bahasa artinya perpisahan dan melepaskan. Sedangkan menurut syara’ adalah
melepaskan ikatan suami-isteri yang sah oleh pihak suami-isteri dengan lafal tertentu
atau yang sama kedudukannya seketika itu atau masa mendatang.15
Mengenai talak/perceraian, Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh al-Sunnah,
memberikan definisi sebagai berikut:
+ZX 1%)�����=� [)�.6 �2�� �[1!�A(� �:�I$[1!�A� 16)� $[�G���)١٦
Artinya: “Lepasnya ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.”
Kamus Istilah Fiqh juga menjelaskan makna talak yang berarti melepaskan
ikatan perkawinan (nikah) dari pihak suami dengan kata-kata (sighat) tertentu.
Misalnya si suami mengatakan kepada isterinya: “engkau telah ku talak.”17
Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa pada
intinya perceraian (talak) ialah pemutusan hubungan suami-isteri dengan
14 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), Cet.25,
h.861 15 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqih Muslimah, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), Cet.3, h.279 16Sayyid Sabbiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990, h.206 17 M. Abdul Mujieb, Mabruri Thalhah, Syafi’ah AM, Kamus Istilah Fiqh, h.181
21
menggunakan lafadz-lafadz tertentu yang dapat mengakibatkan putusnya hubungan
perkawinan antara suami-isteri.
Sebagaimana kita ketahui bahwa pernikahan memiliki kekuatan yang
mengikat antar pihak suami maupun isteri, namun dengan adanya perceraian,
kekuatan yang tadinya mengikat dan sangat kokoh (mitsaqon ghalidzan) akan runtuh
bahkan tidak jarang antara suami-isteri atau keluarga masing-masing saling
bermusuhan karena perceraian tersebut.
Dalam Islam sendiri, perceraian antara suami dengan isteri memang bukan
lagi menjadi hal baru. Bahkan, praktek perceraian sudah ada jauh sebelum umat Nabi
Muhammad Saw.
Menurut hukum Yahudi kuno18, seorang suami dapat menceraikan isterinya
karena sebab apa pun yang dilakukannya dan tak disebagai suaminya, serta tak ada
ketentuan untuk menengahi dan membatasi kekuasaan suaminya.
Di Romawi, suami mempunyai hak untuk begitu saja membunuh isterinya
dengan membuat perbuatan-perbuatan seperti meracuni, minum-minuman keras, dan
menukar anak haram.19 Sedangkan orang arab, hak suami untuk menceraikan isteri
tidak ada batasnya. Mereka tidak mengenal aturan perikemanusiaan atau keadilan
dalam memperlakukan isteri-isterinya.20
18 A. Rahman I Doi, Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan,penerjemah
Zaimudin dan Rusydi Sulaiman (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996), Cet. 1, h.312 19 Ibid., h.314 20 Ibid., h.314
22
Jadi, secara historis hukum perceraian telah dikenal dan dipraktikkan umat
manusia sepanjang masa dengan cara yang sangat tidak adil dan bersifat semena-
mena. Islam datang meluruskan hukum perceraian itu, dan melaksanakannya secara
adil dan benar antara suami dan isteri yang bertikai itu.21
Sebagaimana Al-Qur’an di bawah ini menganjurkan bagi tiap-tiap suami yang
hendak menjatuhkan talak pada isterinya untuk memetakan kondisi-kondisi psikis
isteri pada saat akan dijatuhkan talak oleh suami. Sebagaimana firman Allah SWT
dalam surat at-Thalaq ayat 1:
�'1O��)(� ����*�+�, 1��I�\1O���) 1��Y��$G]��=�3 �:��)� ���7(G���_ �� �� .a�-1)��I.'���8 )bc=)�/ef: g(
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar dan hitunglah waktu iddah itu).”(Q.S. Ath-Thalaq/65: 1)
Rasulullah Saw bersabda dalam haditsnya:
����� �K�I��� � a��� %K�� ����� ��� : ���� ���!���� � ���# � � $������ ����� : ������h(� �/i���, �b����=)� � � ��)�� ).�)���� j�+ ��� k�A� �U�h� �ll# �A�� ��� � �� ��� m� �(٢٢
Artinya: “Dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda, perbuatan halal yang sangat dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Dawud dan Hakim dan disahkan olehnya).
C. Perbedaan Cerai Talak dengan Gugat Cerai
Secara garis besar, cerai talak dengan cerai gugat merupakan dua kata yang
berbeda, namun keduanya juga memiliki persamaan. Penulis sebelumnya
21 Ibid., h. 315
22 Sayyid Imam Muhammad bin Ismail al-Kahalani dan Ash-Shon’ani, Subulus Salam, h.168
23
memaparkan pengertian perceraian secara umum dengan pengertian yang juga umum,
namun di bawah ini akan penulis paparkan perbedaan kedua cerai secara mendalam.
Perceraian merupakan jalan akhir dari sebuah permasalahan yang terjadi
dalam keluarga setelah juru damai tak mampu lagi mendamaikan kedua belah
pasangan yang bertikai. Bila pernikahan tersebut terus dilangsungkan maka akan
saling timpangnya hak dan kewajiban masing-masing pasangan karena satu sama lain
sudah tidak lagi sejalan dalam mengemudikan kendali rumah tangga.
Dalam lingkungan Pengadilan Indonesia dikenal dua sifat atau corak
mengajukan permintaan pemeriksaan perkara kepada Pengadilan. Yang pertama
disebut “permohonan” dan lainnya disebut “gugatan”.23 Yang dalam bahasa sehari-
hari kita mengenalnya dengan istilah cerai talak dan gugat cerai.
Menurut Rachmadi Usman misalnya dalam bukunya Aspek-aspek Hukum
Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia menyebutkan pengertian cerai talak yang
berarti putusnya ikatan tali perkawinan sebab dinyatakan talak oleh seorang suami
terhadap isterinya yang perkawinannya dilangsungkan menurut hukum Islam.24
Jadi, cerai talak merupakan cerai yang dilakukan oleh suami dengan alasan-
alasan yang dibenarkan oleh agama maupun Undang-undang. Dalam hal ini suami
sebagai pemohon harus mengucapkan ikrar talaknya di muka sidang.
23 Elfrida R Gultom, Hukum Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h.16 24 Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006), Cet.1, h.400
24
Sedangkan cerai gugat adalah putusnya ikatan perkawinan yang disebabkan
adanya gugatan perceraian seorang isteri yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam atau isteri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.25
Menurut Subekti, dalam kamus hukumnya menyatakan gugatan berasal dari
kata gugat dengan akhiran “an”, yaitu penarikan ke muka hakim Pengadilan untuk
dimintakan perhukuman (perkara perdata).26
Subekti merumuskan bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan
dengan putusan hakim atau tuntunan salah satu pihak dalam perkawinan ketika para
pihak masih hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan suatu
putusan Pengadilan.27
Dalam literatur fiqh, cerai gugat disebut sebagai khulu’ yaitu suatu perceraian
yang diminta oleh seorang isteri dengan adanya tebusan dari pihak isteri, tentunya
disertai dengan alasan-alasan yang rasional. Khulu’ tersebut bisa terjadi ketika sang
isteri dalam keadaan suci atau tidak haid, karena khulu’ itu sendiri terjadi akibat
permintaan isteri. Namun dalam hal ini suami tidak boleh dipaksa menerima
permintaan talak tebus (khulu’).28
25 Ibid.,hal.401 26 Subekti, Kamus Hukum, (Jakarta: Paradya Paramita, 1982), h.49 27 Ibid., h.15 28 Muhammad Ibnu Qasim, Fathul Qarib (terj), (Kudus: Menara Kudus, 1983), Cet.1, h. 58
25
Jadi cerai gugat adalah salah satu cara bagi suami-isteri yang menginginkan
perpisahan dalam rumah tangganya disebabkan suatu alasan yang mengharuskan
mereka untuk berpisah, dengan permintaan atas keinginan isteri sendiri. Dalam
definisi disebutkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan dengan adanya gugatan
yang diajukan oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus.29
D. Alasan dan Tata Cara Perceraian
a. Alasan Perceraian
Salah satu Azas yang terdapat dalam Undang-undang Perkawinan adalah
mempersukar terjadinya perceraian.30 Seperti dalam Pasal 39 ayat 2 Undang-undang
No.1 Tahun 1974 menentukan bahwa antara suami-isteri itu tak akan dapat hidup
rukun sebagai suami isteri. Jadi walaupun pada dasarnya perceraian itu tidak dilarang,
namun undang-undang menentukan seseorang tidak dengan mudah memutuskan
ikatan perkawinan tanpa adanya alasan dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) ditentukan
bahwa alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
29 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), Cet.1,
h. 274 30 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, h.14
26
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain;
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.31
Penjelasan Pasal di atas diatur persis dalam Pasal 19 Undang-undang No.9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan menentukan perceraian
dapat terjadi karena alasan sebagaimana diuraikan di atas, sedangkan Kompilasi
Hukum Islam memuat tambahan alasan, yakni alasan suami melanggar ta’lik talak
dan alasan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-
rukunan dalam rumah tangga (Pasal 116).32
b. Tata Cara Perceraian
Agar tercipta ketertiban dalam pelaksanaan penyelesaian perkara-perkara
hukum keluarga, maka Negara membuat instrumen-instrumen penegakkan keadilan
dalam lingkup hukum keluarga. Penyelenggara dalam hal ini adalah Pengadilan
Agama setempat.
31 Abd. Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2010), Cet.I, h.340 32 Ibid., h.340
27
Tata cara perceraian sudah diatur dan ditentukan dalam Undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Jo. Undang-undang No.7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (UUPA) dan Inpres Presiden RI No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 115 menjelaskan tata cara perceraian.
Adapun tata cara perceraian tersebut, sebagaimana termaktub dalam UUPA
Pasal 66 yaitu;
1) Seorang suami beragama Islam yang menceraikan isterinya mengajukan
permohonan kepada Pengadilan untuk mengadakan sidang guna menyaksikan ikrar
talak
2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon kecuali
apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman yang ditentukan
bersama tanpa izin pemohon.
3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan diajukan
kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman pemohon.
4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri, maka
permohonan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
28
5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama
suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak atau
sesudah ikrar talak diucapkan.33
Setelah permohonan cerai talak diajukan ke Pengadilan Agama, Pengadilan
Agama melakukan pemeriksaan mengenai alasan-alasan yang menjadi dasar
diajukannya permohonan tersebut. Hal itu diatur dalam Pasal 68 Undang-undang
Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dan Pasal 131 Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Berikut ini adalah bunyi Pasal 68 Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yaitu;
(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh majelis hakim selambat-
lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat permohonan cerai talak
didaftarkan di kepaniteraan.
(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.34
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam mengenai tata cara perceraian
termuat dalam Pasal 131 ayat:
(1) Pengadilan Agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud Pasal
129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon
33 Lihat Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah
tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h. 742-743 34 Lihat Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama Pasal 66 dan 68
29
dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan
dengan maksud menjatuhkan talak.
(2) Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasihati kedua belah pihak dan
ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak
mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, Pengadilan Agama menjatuhkan
keputusan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.
(3) Setelah keputusan mempunyai kekuatan hukum tetap, suami mengikrarkan
talaknya di depan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.
(4) Bila suami tidak mengikrarkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulan terhitung
sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan
ikatan perkawinan tetap utuh.
(5) Setelah sidang penyaksian ikrar talak, Pengadilan Agama membuat penetapan
tentang terjadinya talak, Pengadilan Agama membuat penetapan tentang
terjadinya talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas
suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada
Pegawai Pencatatan Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan
pencatatan, Helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri,
dan helai keempat disimpan di Pengadilan Agama.35
35 Lihat Cik Hasan Bisri, ed. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.II, h.179-180
30
E. Perbedaan Karakter Suami-Isteri dalam Keluarga Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Perbedaan Sifat dan Perilaku menurut fikih
Islam adalah agama perdamaian.36 Maka dari itu segala bentuk perselisihan
yang diakibatkan dari perbedaan antara sesama harus diminimalisir sedikit pun kalau
perlu ditiadakan sama sekali. Islam dan masyarakat muslim terkait erat dengan tiga
hukum bawaan Rasulullah Muhammad SAW baik hukum-hukum yang tertera dalam
Nash-nash Al-Qur’an maupun al-Hadits.
Hubungan-hubungan tersebut menjadi sebuah tatanan hukum yang menurut
Fathurrahman Djamil antara lain mengatur tatanan hidup manusia secara Vertikal
(hubungan manusia dengan Tuhannya) dan secara Horizontal (antara sesama
manusia).37 Selanjutnya menurutnya bahwa kebanyakan ahli fiqih telah menetapkan
kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara
sesama manusia (mu’amalat) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang
menunjukkan sesuatu itu diterlarang.38
Tatanan hidup manusia terkait dengan Hubungan manusia pada Tuhan
mengenai masalah-masalah Ukhrawi kebanyakan mengandung prinsip-prinsip yang
khusus dan baku. Sedangkan dalam masalah-masalah keduniaan, dapat dikatakan
bahwa Islam hanya mengajarkan prinsip-prinsip umum. Islam tidak mengetengahkan
36 Tarmizi Taher, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia. (Jakarta:
PPIM-IAIN,1998), Cet.2, h.133 37 Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam,(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1, h.
40
38 Ibid., h.40
31
pola yang final tentang bagaimana masalah-masalah duniawi seharusnya diatur.39
Hadirnya fikih di tengah-tengah masyarakat Islam membuktikan bahwa masalah-
masalah keduniawian yang ada semakin kompleks dan membutuhkan interpretasi-
interpretasi yang segar terhadap nash-nash Al-Qur’an maupun Hadits.
Fikih secara sederhana memilki pengertian sebagai pengetahuan mengenai
hukum-hukum Syari’at yang dihasilkan dari penalaran teks-teks keagamaan Al-
Qur’an maupun al-Hadits yang berkaitan dengan aturan tingkah laku manusia.40
Kata Syari’ah secara harfiah berarti “Jalan menuju tempat air,” atau dalam
kata lain “sumber kehidupan”. Namun, kasarnya syariah adalah keseluruhan perintah
Allah SWT kepada orang mukmin. Karena kata syariah mencakup Norma-norma
akidah, hukum dan akhlak.41 Syariah juga menjadi sumber hukum dan petunjuk
moral, pijakan untuk hukum maupun etika.42
Sedangkan Fazlur Rahman mendefinisikan Syariat sebagai jalan yang
ditetapkan oleh Tuhan dimana manusia harus mengarahkan hidupnya untuk
merealisir kehendak Tuhan. Ia merupakan konsep praktis yang berhubungan dengan
tingkah laku pribadi an sich. Tetapi di sini menyangkut seluruh tingkah laku—
39 Tarmidzi, Menuju Ummatan Wasathan—Kerukunan Beragama di Indonesia h,109 40 Faqihuddin Abdul Qadir, ed, Fiqih Anti Trafiking: Jawaban atas Berbagai Kasus
Kejahatan Perdagangan Manusia dalam Perspektif Hukum Islam (Jakarta:Fahmina-Institute, 2006), Cet.I, h.4
41 Cik Hasan Bisri, ed, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum
Nasional, h. 117 42 John L. Esposito, Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(al-Shirat al-
Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), Cet.ke-1, h.94
32
spiritual, mental dan fisik.43 Artinya Agama mengatur segala sesuatu termasuk di
dalamnya karakter yang berhubungan dengan sifat serta tingkah laku manusia baik
berupa ajaran terhadap keimanan, kepribadian maupun fisik seseorang.
Karakter merupakan merupakan tabiat, watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak,
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lainnya.44 Perbedaan
Karakter yang berkaitan dengan sifat dan prilaku suami-isteri memang tidak memiliki
pengertian khusus di dalam hukum Islam dalam hal ini fikih, hanya saja memang
Islam banyak membicarakan permasalahan yang berkaitan dengan akhlak yang pada
akhirnya membuahi sifat dan perilaku umat sendiri baik terhadap Tuhannya,
sesamanya maupun lingkungannya.
Sedangkan pada hakikatnya akhlak ialah suatu kondisi atau sifat yang telah
meresap dalam jiwa dan menjadi kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai
macam perbuatan dengan cara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat dan tanpa
memerlukan pemikiran.45
Secara umum sifat memiliki pengertian rupa dan keadaan yang tampak pada
suatu benda, tanda lahir.46 Menurut Raymond B. Catttell seorang psikolog
mendefinisikan sifat sebagai suatu “struktur mental”, suatu penyimpulan yang
43 Fazlur Rahman, Islam Penerjemah Ahsin Mohammad, (Bandung: Pustaka, 2003), cet.V,
h.141 44 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h.512 45 Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), cet.2, h.3 46Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2007), Cet.4, h.1062
33
didasarkan pada tingkah laku yang dapat diobservasi untuk menjelaskan keteraturan
atau regulitas dan ketetapan atau konsistensi dalam tingkah laku ini.47
Sedangkan perilaku/tingkah adalah ulah (perbuatan) yang aneh-aneh atau
yang tidak sewajarnya, lagak, canda.48 Perilaku pada umumnya berorientasi pada
tujuan (goal-oriented). Dengan kata lain, perilaku kita pada umumnya dimotivasi oleh
keinginan untuk mencapai tujuan tertentu.49
Sedangkan perbedaan sendiri memiliki arti beda, selisih.50 Perbedaan
merupakan keadaan, sifat dan karakter yang diciptakan Tuhan dengan tujuan agar
manusia saling mengenal, berinteraksi, saling memahami dan memberi manfaat satu
sama lain.51
Jadi dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter erat kaitannya
dengan sifat dan perilaku seseorang, dengan kata lain bahwa perilaku seseorang
menunjukkan sifat orang tersebut. Sedangkan perbedaan karakter kaitannya dengan
isteri terhadap suaminya di sini adalah perbedaan atau perselisihan mengenai
pandangan terhadap Sifat dan perilaku pasangan dalam rumah tangga sehari-hari.
47 A. Supratiknya ,ed, Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, (Yogyakarta:
Kanisius, 1993), h.149 48 Ibid., h.1197 49 J.Winardi, Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, (Jakarta: Rajwali Pers, 2008),
h.32 50 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, h.90 51 Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan Pengertian.Html,
diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB
34
2. Faktor penyebab serta Pengaruh Perbedaan Karakter Suami-Isteri
Berbicara keluarga tak lepas dari hubungan suami-isteri. Sedangkan berbicara
hubungan suami-isteri sudah dapat dipastikan membicarakan peran masing-masing
pasangan (suami-isteri) dalam rumah tangga/keluarga. Karena keluarga juga
merupakan kelompok sosial yang pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia
belajar menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam interaksi sosial dengan
kelompoknya.52
Perbedaan karakter baik sifat dan perilaku suami-isteri merupakan hal yang
wajar terjadi, karena pada dasarnya sudah merupakan fitrah manusia diciptakan
berbeda-beda satu sama lain, karena bukan hal yang mustahil bagi Allah SWT untuk
menjadikan manusia sama keseluruhan—baik sifat, perilaku ataupun bentuk-bentuk
fisik penciptaan manusia. Namun, Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya:
V8O�+�� V[1�$, n�1)� �X�o�) p.�� 9:Jq���) p.�� ��+1� ��� ��)�r ��!�?��7�s�� �t��$)�6' ��) ���I�G��N p�)��H�) K���U �u1K\ �n�1)� �[1�v(� ��� �1IA �t�w�����w�) p�� $[) �Y�/gg :ggxy ggz(
Artinya: “Dan seandainya tuhanmu menghendaki, maka pastilah Dia jadikan
manusia umat yang tunggal. Namun mereka akan tetap berselisih, kecuali tuhanmu merahmatinya. Lantaran itulah Dia ciptakan mereka itu, dan telah sempurnalah kalimat (keputusan) Tuhanmu:”Pastilah Aku penuhi Jahannam dengan isi dari jin dan manusia.”(Q.S. Hud/11: 118-119)
Dalam surat lain juga disebutkan:
52 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: PSG STAIN, 2006), Cet.1, h.41
35
����'{ �\���N (��E1�)� K��|� (�9}���~ �N��7������, ()���7$;���, ()��2�$;�� �r�t�3 � a�)�p�) 'J�|� ])(����!�K�)�) B %)�/�� : ��(
Artinya: “dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah menciptakan langit dan bumi, perbedaan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang mengetahui.”(Q.S. Ar-Rum/30: 22)
Memang jelas sekali adanya Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada
manusia seperti perbedaan baik perbedaan warna kulit, bahasa dan budaya.
Perbedaan antara laki-laki dan wanita, perbedaan bangsa dan suku bangsa. Hanya saja
perbedaan itu harus disadari juga sebagai tanda-tanda kebesaran Allah.53
Sebagaimana suami-isteri misalnya, dalam keluarga tentunya terjadi begitu
banyak perbedaan baik sifat maupun perilaku keduanya dan tak jarang perbedaan-
perbedaan tersebut menjadi pondasi konflik hubungan keluarga mereka. Antara
suami-isteri tidak lagi saling mengerti dan memahami, keras kepala, acuh sampai
pada akhirnya menjadi sebuah konflik-konflik yang berkepanjangan.
Padahal sebagaimana yang disebutkan Al-Qur’an bahwa salah satu tujuan
perkawinan adalah untuk menjadikan suami-isteri atau yang terlibat di dalamnya
dipenuhi ketenangan lahir maupun batin. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ar-
Rum ayat 21:
'�� ���� "t�� V[K�+� V81��1� ��$;�!� �X�A �I�!�)�� ����$;��7�) �A� �M�, ��$;��$?�2�, ���� ��$;�) E��N (t�, ���\��%�;�?71' �B���G�) �['J�) p�)� �a�39 �t� )B %)�/�� : �g(
53 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, ( Jakarta: Kencana, 2007), Cet.1, h.211
36
Artinya:“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderungdan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah SWT) bagi kaum yang berpikir.” (Q.S. Ar-Rum/30: 21)
Menurut Qaradhawi, ayat di atas menunjukkan tiga pondasi bagi berdirinya
sebuah keluarga yaitu ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Yang dimaksud dengan
ketenangan adalah ketenangan jiwa dari gejolak dan keinginan terhadap lawan jenis
dan untuk memenuhi keinginan yang dibolehkan di bawah lindungan keridhaan Allah
SWT.54
Ayat di atas juga menjadi prasyarat untuk membangun keluarga yang
harmonis dan diliputi kasih sayang menuju keluarga yang berkeadilan dan
bermartabat. Sebagaimana dikutip dalam buku kekerasan berbasis gender terdapat 3
(tiga) kata kunci yang a long life strugle dalam kehidupan berkeluarga:55
a. Mawaddah (To love each other), saling mencintai/ menyayangi antara satu
dengan lainnya. Mawaddah bukanlah sekedar cinta terhadap lawan jenis
dengan keinginan selalu ingin berdekatan dengan cinta penuh gelora dan
menjadikannya terlena dan layu sebelum berkembang, karena melampaui
batas kewajaran yang ditentukan agama.
54 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim: Berinteraksi dengan
Al-Qur’an. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, (Jakarta: Gema Insani Press, 2000), Cet. Ke-2, h.144
55 Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, h.138-139
37
Mawaddah dapat diartikan sebagai “cinta plus”, yaitu cinta yang tampak
dampaknya pada perlakuan, satu kata dan perbuatan.56
b. Rahmah (Relieve from suffering through symphaty, to show human
understanding from the one other, love and respect one other). Saling simpati,
menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lainnya. Sikap
rahmah itu termanifestasikan dalam bentuk perasaan saling simpati,
menghormati dan saling mengagumi antara kedua belah pihak sehingga akan
muncul kesadaran saling memiliki dan keinginan untuk melakukan yang
terbaik bagi pasangannya sebagaiman dirinya ingin diperlakukan.
c. Sakinah (To be or become tranquil; peaceful; god-inspired, peace and mind),
kedamaian dan ketentraman. Sakinah merupakan kesadaran perlunya
kedamaian, ketentraman. Keharmonisan, kejujuran dan keterbukaan yang
diinspirasikan dan berlandaskan pada spiritualitas ketuhanan. Ujung-ujungnya
spiritualitas ketuhanan yang Maha Lembut, yang Maha Pengasih dan Maha
Penyayang perlu dijadikan sumber ilham dan inspirasi yang agung untuk
menempuh hidup baru yang dicita-citakan.
Keadaan sakinah, mawaddah dan rahmah tidak akan tercapai dalam sebuah
rumah tangga bila penghuninya tidak saling memahami dan menghormati perbedaan
yang ada pada masing-masing pasangan. Karena semua manusia, betapa pun
56 Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an Tematik),
(Jakarta: Lajnah Pentashih Mushaf Al-Qur’an, 2009), Cet.1, h.429
38
hebatnya pasti ada kekurangannya, begitu pula sebaliknya. Dalam kehidupan rumah
tangga suami-isteri tentu tidak luput dari kelemahan, sehingga suami-isteri harus
saling melengkapi dan menyayangi.57
Sifat dan perilaku secara umum erat kaitannya dengan kepribadian seseorang,
yang merupakan bawaan sejak lahir atau anugerah yang diberikan Tuhan pada
manusia begitu juga pada suami ataupun isteri. Sedangkan kepribadian sendiri dalam
Psikologi Perkembangan diartikan sebagai karakteristik atau cara bertingkah laku
yang menentukan penyesuaian dirinya (manusia) yang khas terhadap
lingkungannya.58
Dalam Psikologi Perkembangan, Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh
beberapa faktor, adapun yang mempengaruhi kepribadiannya antara lain:
1. Potensi bawaan
Seorang bayi telah diwarnai unsur-unsur yang diturunkan oleh kedua orang tuanya
dan tentu diwarnai pula oleh perkembangan dalam kandungan ibunya.
2. Pengalaman dalam budaya/lingkungan
Proses perkembangan mencakup suatu proses belajar untuk bertingkah laku sesuai
dengan harapan masyarakat tanpa kita sadari lagi, pengaruh nilai-nilai dan
masyarakat dalam kehidupan kita telah kita terima dan menjadi bagian dari diri
kita.
57 Ibid., h.429 58 Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan—Pendekan Ekologi Kaitannya dengan
Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja, (Bandung, PT Refika Aditama, 2006), Cet.1, h128
39
Pengaruh lain dari budaya adalah mengenai peran seseorang dalam kelompok
masyarakat. Misalnya seseorang yang dilahirkan berjenis kelamin laki-laki akan
menerima beban untuk berperan sebagai lak-laki menurut masyarakatnya dan
sejenisnya.
3. Pengalaman yang unik
Selain potensi bawaan dan tuntutan peran oleh masyarakat yang juga turut
membentuk kepribadian seseorang dan yang membedakannya dari orang lain
adalah pengalaman dirinya yang khas. Orang, selain berbeda dalam bentuk badan,
potensi bawaan juga berbeda dalam perasaan reaksi emosi dan daya tahannya.59
Kaitan ketiga hal tersebut dalam hubungan suami-isteri adalah ketika
pasangan berada dalam lingkup keluarga dan menyatukan dua kepala yang berbeda
baik potensi bawaannya yang sudah ada sejak lahir, budaya maupun pengalamannya
masing-masing maka akan dijumpai banyak perbedaan baik yang krusial maupun
biasa dan tak jarang membuat perbedaan yang ada semakin meruncing bila tidak
diantisipasi dan dapat menimbulkan perselisihan serta pertengkaran.
Sedangkan faktor lain yang juga sering menjadi perselisihan antara suami-isteri
dalam sebuah rumah tangga menurut Mufidah dalam Psikologi Keluarga Islam60
bahwa seringkali antara suami-isteri enggan memecahkan masalah dengan pikirannya
yang jernih dilandasi oleh beberapa faktor, antara lain:
59 Ibid.,129-130 60 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender, (Malang: UIN Malang
Press,2008), h.189-194
40
a. Faktor emosi
Dalam menghadapi masalah, suami-isteri diharapkan mampu mengendalikan
emosi karena emosi dan mudah marah merupakan bagian dari perbuatan setan.
Jika suami-isteri masih dalam emosi dan masing-masing mempertahankan egonya
maka tidak akan menyelesaikan masalah. Rasulullah SAW menegaskan dalam
hadisnya:
� � � ������� �t�, �8%�'%�Y �a���, ���.����� B : ���(?2 �O�'�O1&)� �K12�r �[��%1*)��� �O�'�O1&)� P�!�) ���i)(� O���)Q��s-)� m� �(٦١ Artinya:“Dari abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda “orang-
orang yang kuat bukannya orang yang kuat secara fisik, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan emosinya ketika ia sedang marah”. (HR. Bukhari)
b. Faktor kurang pengertian/ pemahaman
Seringkali keterbatasan pemahaman dan pengertian suami-isteri terhadap masalah
yang dihadapi menyebabkan kesalahan pemhaman sehingga masalahnya menjadi
semakin rumit. Dalam kondisi seperti ini, sebaiknya suami isiteri saling
mengkomunikasikan apa yang dipahami oleh masing-masing tentang masalah
yang sedang dihadapi, menjelaskan duduk persoalannya agar masing-masing
menemukan satu pemahaman untuk mencari jalan keluar yang terbaik.
Sebagaimana ditegaskan dalam firman-Nya berikut ini dalam QS. Ali-Imran ayat
159:
61 Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, (Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t), h.2267
41
...� %��9}(� a�3 ���Y��� �q � � ���� (X�U�7�3 u��6� �� ���3 �!��]U�7�K()� .��l�' 9 � �t�r � )t�%K� ��/�: gfz(
Artinya:“...Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah SWT sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”(QS. Ali-Imran/3: 159)
c. Faktor Gender Stereotype (Pelabelan Negatif)
Perbedaan cara pandang seringkali mengarah pada perasaan su’udzhan/buruk
sangka, saling menuduh dan melempar tanggung jawab. Gender stereotype
memberikan lebih negative atas dasar perbedaan jenis kelamin merupakan salah
satu penyebab buruk sangka pada pasangannya. Untuk menghilangkan gender
stereotype suami-isteri merupakan langkah positif agar dapat menumbuhkan rasa
saling menghargai, saling percaya dan memandang positif pasangannya.62
Sebagaimana Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya:
��$;�) �%�!N ��Y �V��!q ����Y%(;\ (t�, ��� ��$;�) �%q ��Y �V��!q ���.-�l�\ (t�, ��� ��) ���7�2�, ������' � � �t���K����\)8%G-)�/�: �eg( Artinya: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu Allah SWT maha mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
62 Ibid., h 189-194
42
d. Faktor dominasi pihak yang kuat
Suami dalam pandangan masyarakat sebagai kepala keluarga adalah positif ketika
menjalankan fungsi melindungi, mangayomi dan memberdayakan. Tetapi posisi
sebagai pemimpin tidak selamanya diiringi dengan fungsi-fungsi yang
semestinya, sehingga memicu lahirnya hubungan suami-isteri yang timpang.
Pihak yang merasa kuat, kuasa dengan dalih meluruskan isteri, biasanya suami
yang sering muncul sebagai pihak yang dominan. Demikian pula pihak yang
merasa lemah, kendatipun mempunyai ide yang cemerlang tidak akan mengambil
peran dan memberikan kontribusinya terhadap penyesuaian masalah.63
Allah menjelaskan dalam firmannya:
...�H�)� $X(T��� ���� ��� �%��K()��� 1��I�!��� �Q )8%G-)�/� :��x(
Artinya: “… dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah/2: 228)
e. Faktor Kafaah (kesetaraan)
Kafaah menurut hukum Islam adalah keseimbangan dan keserasian antara calon
isteri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk
melangsungkan perkawinan.64
Adanya perbedaan dalam memilih pasangan suami atau istri yang tidak sekufu’
(setara) baik dalam hal harta, status, keturunan, maupun agama juga seringkali
juga menjadi faktor penyebab ketidak-harmonisan dalam rumah tangga.
63 Ibid., 194 64 Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009),
hal.56
43
Ketidakharmonisan ini ketika tidak bisa dipulihkan dalam bangunan rumah
tangga terkadang suami atau istri memutuskan untuk melakukan perceraian.65
Perselisihan dan percekcokan sering terjadi Akibat dari semakin runcingnya
perbedaan-perbendan sifat dan perilaku suami-isteri yang tidak disikapi dengan saling
menghargai serta menghormati satu sama lain. Perbedaan yang ada pun mestinya
menjadi motivasi satu sama lain untuk saling mengangkat persamaan yang ada
kepermukaan dan menenggelamkan sisi-sisi perbedaan karakter baik sifat maupun
perilaku masing-masing yang hanya akan merugikan keutuhan sebuah rumah tangga.
Maka dari itu Rasulullah menjelaskan dalam haditsnya kiat-kiat memilih
pasangan agar umatnya tidak menyesal dikemudian hari. Sebagaimana sabda
Rasulullah saw dalam hadisnya:
� �8%�'%�Y �a���, ���.< .� a�-1)� ��� .B .����� :�C����w�) $8�,�%K()� �k�;��\ : �I�-�l�) �������� �I��'�O�) �I�)�Ko�) .��O' �u��%\ ���'O)� �|��H�� �%9�?(���3.) ����� m� �(٦٦ Artinya: “Dari Abu Hurairah, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Wanita itu
dinikahi karena empat perkara; Harta, keturunan, rupa dan agama. Pilihlah wanita yang beragama. Mudah-mudahan kamu beruntung.” (HR. Muslim)
Jika keempat alasan tersebut semuanya ada pada seorang laki-laki, tentulah
merupakan calon suami yang ideal. Seorang calon suami yang kaya raya, dari
keturunan yang baik-baik atau keturunan bangsawan misalnya, wajahnya tampan dan
65 A.Zuhdi Muhdlor, Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk,
Cet.ke-2, (Bandung: al-Bayan, 1995), h. 43 66 Muslim, Sahih Muslim (ttp, al-Qanāah, tt), I: 623, “ Kitab an-Nikah,” “Bāb Istihbāb an-
Nikāhi zāti ad-Dini.”
44
taat beribadah. Atau sebaliknya, seorang gadis yang kaya, keturunan orang baik-baik
atau ningrat, cantik rupawan dan taat mengamalkan ajaran agama. Tentulah
merupakan calon istri yang amat ideal. Akan tetapi, dari hadis tersebut juga kita bisa
mengambil pelajaran dalam rangka memilih pasangan yang tepat, yaitu kita boleh
memilih calon pasangan karena alasan apapun, tetapi tidak boleh lepas dari alasan
agama.67
Biasanya konflik perbedaan yang terjadi dalam sebuah rumah tangga ada yang
bisa terselesaikan dan antara suami-isteri rukun kembali. Namun, ada juga konflik-
konflik yang terjadi dalam rumah tangga berlarut-larut bahkan menyentuh hal-hal
yang prinsipil. Perbedaan sifat dan perilaku keduanya pun semakin terlihat jelas dan
timpang. Suami-isteri saling acuh, karena sama-sama merasa paling benar dan tak ada
yang mau mengalah sampai salah satu dari keduanya Nusyuz (durhaka) dan terjadi
Syiqaq.
Nusyuz sendiri memiliki pengertian durhaka. yaitu jika suami-isteri
meninggalkan kewajiban-keawjibannya.68 Nusyuz suami dapat terjadi ketika
meninggalkan hak dan kewajibannya baik materi maupun non materi. Seperti materi
yang bersifat nafkah lahir, sedangkan yang non materi diantaranya muasyarah bil
ma’ruf atau menggauli isterinya dengan cara yang baik.
67 A. Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 1999), Cet IX, hlm.
18. 68 M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.251
45
Bila isteri nusyuz Al-Qur’an memberikan solusi penyelesaian, sebagaimana
tertera dalam firmannya sebagaimana berikut:
1��YM���&�2 �t��$3�s\ ��\���)� 1��Y�����%��� �C�A����(� ��3 1��Y� �%�o�Y� 1��Y��$����3 ) :��)�/� :��(
Artinya:”Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya (meninggalkan
kewajiban rumah tangga), maka nasihatilah mereka dan pisah diri dari tempat tidur mereka dan pukullah mereka.”(Q.S. An-Nisa/4: 34)
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan, apabila suami khawatir akan
nusyuznya isteri yang diakibatkan oleh sikap serta tingkah-laku isteri setidaknya ada
tiga tahapan yang harus dilakukan oleh seorang suami dalam menanganinya. Antara
lain:
1) Memberi nasihat yang baik dan bijaksana kepada isteri, agar ia sadar dan mau
kembali kepada tugasnya yang mulia dan utama sebagai ibu rumah tangga yang
baik dan bijaksana.
2) Memisahkan diri dari tempat tidur isteri, dengan maksud agar isteri dapat mawas
diri dan mendambakan kerukunan lagi, serta kehidupan keluarga yang baik.
Langkah pemisahan tempat tidur antara suami-isteri hanya boleh ditempuh,
apabila nasihat suami tidak dihiraukan lagi oleh isteri.
3) Memberikan pukulan yang cukup ringan (tidak boleh keras /berat, sampai
melukai atau menyakiti badan isteri). Langkah ini hanya boleh ditempuh oleh
46
suami dalam keadaan terpaksa, bila pemberian nasihat dan pemisahan tempat
tidur tidak membawa hasil (isteri masih tetap membangkang).69
Sedangkan bila sebaliknya, dalam hal ini isteri yang terkena nusyuz dari pihak
suami, Al-Qur’an menjelaskan tindakan seperti apa yang mesti diambil. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 128:
��� �u�3�N �8�,%��� �t�r �Sl(��# �K�I�!� �l���*�' (t�, JK�I�!��� ���A ����3 �S��%���r � �, �SM���&�2 �I����� .. ):��)�/� :g�x( Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa baginya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya.”(Q.S. An-Nisa/4: 128)
Dampak selanjutnya yang terjadi akibat adanya perbedaan sifat dan perilaku
suami-isteri adalah terjadinya Syiqaq. Syiqaq adalah krisis memuncak yang terjadi
antara suami-isteri sedemikian rupa, sehingga antara suami-isteri terjadi pertentangan
pendapat dan pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan dan
kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya.70Syiqaq juga merupakan perbuatan
tidak baik yang dapat mengganggu keutuhan ikatan perkawinan.71
Dalam rumah tangga tak jarang dijumpai perselisihan, sepanjang perselisihan
itu bisa diatasi sendiri, maka tak perlu ada campur tangan dari pihak ketiga dalam
menyelesaikannya. Tetapi apabila perselisihan tersebut sudah parah, maka sebaiknya
69 Masjfuk Zuhdi, Studi Islam Jilid 3: Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo, 1993), Cet.II, hal.47-48
70 Ghazaly, Fiqih Munakahat, h.214
71 M. Abdul Mujib, Mabruri Tholhah, Syafi’ah A.M, Kamus Istilah Fikih, h.347
47
mengangkat dua orang hakam, seorang dari pihak suami seorang lagi dari pihak isteri.
apabila hakam sepakat untuk mendamaikan kembali suami-isteri, maka keduanya
berkewajiban untuk kembali hidup rukun. Tetapi apabila hakam mengalami jalan
buntu, alangkah baiknya kedua hakam dalam usaha mendamaikan meminta nasehat
Tokoh agama. Setelah usaha-usaha itu dilakukan dan kedua hakam memutuskan tidak
ada jalan lain kecuali cerai, maka ada dua cara penyelesaiannya:
a. Hakam dari pihak suami menjatuhkan thalak, atau
b. Hakam dari pihak isteri melakukan Khulu’ (thalak tebus).72
3. Perbedaan Karakter suami-isteri sebagai alasan perceraian
Dasar pembentukan sebuah keluarga adalah perkawinan, yang mengikat
antara seorang pria dan seorang wanita dengan ikatan syariat yang kuat dan kokoh
yang dilandasi dengan ketakwaan kepada Allah SWT dan keridhaan-Nya.73
Sebuah rumah tangga yang anggota keluarganya jauh dari sisi-sisi keimanan
kepada Allah sebagai pondasinya lambat laun akan rapuh tergerus berbagai macam
gesekan masalah yang terjadi dalam keluarga. Ketentraman sebuah keluarga
merupakan dambaan setiap orang yang mendiami bahtera rumah tangga. Keadaan
tenang tak akan pernah terjadi apabila penghuni keluarga yang mendiaminya—suami-
isteri serta anak tidak memerankan posisinya masing-masing di dalamnya.
72 Ibid., h.347 73 Yusuf al-Qaradhawi, Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani Al-Azhim— Berinteraksi dengan
Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, h. 143
48
Apabila peran-peran penghuni keluarga tidak berjalan semestinya dan
timpang akan pemenuhan terhadap hak dan kewajiban suami-isteri di dalamnya,
maka sebuah keluarga akan tertatih-tatih dalam menjalani bahtera rumah tangga.
Karena, ibarat tubuh yang hanya memiliki satu kaki untuk berjalan saja. Hal-hal
semacam ini dikhawatirkan akan terjadi pemutusan hubungan perkawinan dalam
rumah tangga bila berlarut-larut.
Putusnya perkawinan dalam hal ini berarti berakhirnya hubungan suami-isteri.
Putusnya perkawinan itu ada dalam beberapa bentuk tergantung dari segi siapa
sebenarnya yang berkehendak untuk putusnya perkawinan itu.74 Setidaknya Menurut
Amir Syarifudin ada empat kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah
tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:
a. Putusnya perkawinan atas kehendak Allah SWT sendiri melalui matinya salah satu
suami-isteri. Dengan kematian itu dengan sendirinya berakhir pula hubungan
perkawinan.
b. Putusnya perkawinan atas kehendak si suami oleh alasan tertentu dan dinyatakan
kehendaknya itu dengan ucapan tertentu. Perceraian dalam bentuk ini disebut
talak.
74 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hukum Perkawinan Islam di
Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), Cet ke-2, h. 197
49
c. Putusnya perkawinan atas kehendak si isteri karena si isteri melihat sesuatu yang
menghendaki putusnya perkawinan, sedangkan si suami tidak menghendaki itu.
Putusnya perkawinan dengan cara ini disebut khulu.
d. Putusnya perkawinan atas kehendak hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat
adanya sesuatu pada suami-isteri yang menandakan tidak dapatnya hubungan
perkawinan itu dilanjutkan. Putusnya perkawinan dalam bentuk ini disebut
fasakh.75
Telah kita ketahui bersama dalam pembahasan pada sub sebelumnya
bahwasanya alasan-alasan perceraian diterangkan dalam Perundang-undangan baik
dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat 2 Jis.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan Pasal 19 huruf (f), Inpres Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam pasal 116.
Adapun perbedaan Karakter dalam hal ini sifat dan perilaku isteri sebagai
alasan perceraian tidak disebutkan secara definitif ataupun khusus pada tiga produk
perundang-undangan di atas sebagai alasan yang dapat diterima sebagai alasan
perceraian.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Pasal 19 Jo. KHI Pasal 116 huruf (f)
dijelaskan bahwa Antara suami-isteri terjadi pertengkaran yang terus menerus dan
75 Ibid., h. 197
50
sulit untuk di damaikan.76 Artinya, dampak yang ditimbulkan dari perbedaan sifat dan
perilaku tersebut yang mengakibatkan isteri pada akhirnya melalaikan kewajiban-
kewajibannya sebagaimana mestinya dan perbedaan sifat dan perilaku isteri terhadap
suaminya ini dapat dijadikan alasan sebagai permohonan cerai/gugat cerai ke
Pengadilan Agama.
Kerukunan yang terjalin dalam sebuah rumah tangga tentunya akan
berpengaruh terhadap keluarga baik suami, isteri, anak ataupun keluarga dari masing-
masing pihak suami ataupun isteri (mertua). Kehidupan rumah tangga yang penuh
perbedaan baik sifat maupun perilaku yang mengakibatkan timpangnya pemenuhan
hak dan kewajiban masing-masing suami-isteri tentunya akan meruntuhkan sendi-
sendi keluarga di dalamnya.
Rumah tangga pun akan cepat digoncang ketegangan-ketegangan yang
tentunya negatif dan bila berlarut-larut akan menimbulkan pertengkaran-pertengkaran
yang terus menerus sehingga jalan akhir ketika terjadi perselisihan suami-isteri itu
menimbulkan permusuhan, menanam bibit kebencian antara keduanya atau terhadap
kaum kerabat mereka, sedangkan ikhtiar untuk perdamaian tidak dapat disambung
lagi maka tidak ada jalan lagi selain perceraian.77
76 Lihat PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Pasal 19 huruf
(f), juga lihat KHI pasal 116 huruf (f) 77 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam: Hukum Fiqih Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1994), Cet.27, h.401
51
BAB III
PROFIL PENGADILAN AGAMA JAKARTA UTARA
A. Sejarah Singkat Pembentukan1
Pengadilan Agama Jakarta Utara didirikan dengan Surat Keputusan Menteri
Agama Nomor 63 tahun 1963, yang pada waktu itu bernama Kantor Cabang
Pengadilan Agama Jakarta Utara dan berkantor di Jalan Taman Fatahillah, Jakarta
Kota (sekarang gedung Museum Perjuangan). Adapun induknya adalah Pengadilan
Agama Istimewa Jakarta Raya (sekarang Pengadilan Agama Jakarta Pusat). Pada
waktu itu Pengadilan Agama Istimewa Jakarta Raya mempunyai dua cabang, yaitu:
Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara dan Cabang Pengadilan Agama Jakarta
Tengah.
Sebagai Salah satu Pengadilan Agama yang berada di wilayah Jawa-Madura,
semula eksistensi dan kewenangan absolutnya berdasarkan Stbl. 1882 No. 152 dan
Stbl. 1937 No. 116 dan 610, berada di bawah Mahkamah Islam Tinggi Surakarta.
Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Menteri Agama nomor 71 tahun 1976
dengan telah dibentuknya Cabang Mahkamah Islam Tinggi Bandung, maka
Pengadilan Agama Jakarta Utara berada di bawah Cabang Mahkamah Islam Tinggi
Bandung tersebut. Dalam perkembangannya selanjutnya Mahkamah Islam Tinggi
Surakarta dipindahkan ke Jakarta (Surat Keputusan Menteri Agama nomo: 61 tahun
1Untuk pembahasan Sejarah singkat ini Penulis hanya mencantumkan 1 sumber saja yaitu,
http://www.pa-jakartautara.go.id yang diakses pada Kamis, 7 Maret 2011, pukul 20.50 WIB
52
1985) dan berubah menjadi Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, yang realisasinya baru
pada tanggal 30 Oktober 1987.
Berdasarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 4 Tahun 1967, Kantor
Cabang Pengadilan Agama Jakarta Utara kemudian diubah namanya menjadi
Pengadilan Agama Jakarta Utara, dan ditingkatkan statusnya menjadi Pengadilan
Agama yang berdiri sendiri dan tidak sebagai cabang dari Pengadilan Agama
Istimewa Jakarta Raya lagi.
Sejak ditetapkan menjadi Pengadilan Agama yang berdiri sendiri, semula
Pengadilan Agama Jakarta Utara berkantor di rumah KH Wintanu, Lorong 19,
Tanjung Priok, Jakarta Utara, kemudian pindah kantor ke rumah KH Mugni, Jalan
Digul, Lorong 63, Nomor 36, Tanjung Priok, Jakarta Utara dengan menempati satu
ruangan yang berlokasi di Komplek YUKS, Jalan Donggala Nomor 23, Tanjung
Priok, Jakarta Utara (di daerah pinggiran laut). Pada saat Kantor Departemen Tenaga
Kerja dipugar, ruangan kantor Pengadilan Agama Jakarta Utara sempat berpindah-
pindah ruangan, bahkan sempat pula menempati garasi mobil yang berukuran 5 X 2,5
m saja.
Dalam kurun waktu berikutnya, Pengadilan Agama Jakarta Utara pernah
berkantor menumpang pada berkas ruangan Kantor Suku Dinas Sosial Jakarta Utara,
Lorong C, nomor 11, Pasir Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara satu gedung dengan
Kantor Pendidikan Agama dan Kantor Kelurahan Koja, Tanjung Priok, Jakarta
Utara.
53
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksana UU
Perkawinan, kewenangan absolut Pengadilan Agama bertambah, hal mana berakibat
meningkatnya volume perkara yang harus diselesaikan. Sehubungan dengan hal
tersebut, agar bisa memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat pencari
keadilan, maka Pengadilan Agama Jakarta Utara pindah kantor di komplek Kantor
Walikota Jakarta Utara, Lantai II, di Jalan Yos Sudarso, Jakarta Utara. Tidak lama
kemudian pindah lagi ke lantai 3 di komplek kantor Walikota tersebut.
Pada tahun 1980, atas bantuan Walikotamadya Jakarta Utara bersama-sama
dengan Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kepala
Kantor Departemen Agama Jakarta Utara, dibangunkanlah gedung kantor Pengadilan
Agama Jakarta Utara dengan luas tanah sekitar 500 m2 dan luas bangunan 342 m2
(terletak di belakang Kantor Departemen Agama Jakarta Utara dan Bank Mandiri).
Kantor tersebut ditempati selama kira-kira 28 tahun.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 tahun 1999, tentang perubahan UU
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, pembinaan
administrasi dan finansial Pengadilan Agama yang semula berada di bawah
Departemen Agama dialihkan ke Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan
lainnya. Bagi peradilan agama, peralihan tersebut efektif mulai tahun 2004.
Pada tahun 2006, dengan anggaran MA, dialokasikan dana pengadaan tanah
Pengadilan Agama Jakarta Utara dengan pagu Rp 5.750.000.000,- dan tahun 2007
dialokasikan dana pembangunan gedung dengan pagu Rp 8.799.999.000,- dan
54
kemudian dilengkapi dengan alokasi dana pengadaan sarana dan prasarana pada
tahun anggaran 2008 dengan pagu sebesar Rp 2.000.000.000,-.
Dengan anggaran tersebut akhirnya sejak Juni 2008, Pengadilan Agama
Jakarta Utara telah pindah dan menempati gedung baru yang cukup megah yang
dibangun di atas tanah seluas 2000 m2, dengan bangunan gedung berlantai 3 dengan
luas keseluruhan sekitar 2.298 m2, yang berlokasi di Jalan Raya Plumpang Semper
No. 5, Kelurahan Tugu Selatan, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, 14260.
B. Wilayah Hukum, Struktur Organisasi serta Profil Jabatan
1. Wilayah hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara
Wilayah Hukum Pengadilan Agama Jakarta Utara meliputi seluruh wilayah
Kota Jakarta Utara, terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, 35 (tiga puluh lima) kelurahan,
yang terinci sebagai berikut:2
a. Kecamatan meliputi:
1) Kec. Cilincing
2) Kec. Kelapa Gading
3) Kec. Koja
4) Kec. Tanjung Priok
5) Kec. Penjaringan
6) Kec. Pademangan
7) Kepulauan Seribu, hal ini berdasarkan PP. No.5 Tahun 2001 meningkat
2 http://www.pa-jakartautara.go.id/index.php/wilayah-hukum.html, Jum’at, pukul 14:11 WIB
55
menjadi Kabupaten Administrasi Kecamatan Kepulauan Seribu Utara dan
Kecamatan pulau seribu Selatan3
b. Kelurahan Meliputi:
1) Kec. Kep. Seribu :
- Kel. Pulau Panggang
- Kel. Pulau Kelapa
- Kel. Pulau Untung Jawa
- Kel. Pulau Tidung
2) Kec. Penjaringan:
- Kel. Kamal Muara
- Kel. Kapuk Muara
- Kel. Pejagalan
- Kel. Penjaringan
- Kel. Pluit
3) Kec. Pademangan:
- Kel. Ancol
- Kel. Pademangan Timur
- Kel. Pademangan Barat
4) Kec. Tanjung Priok:
- Kel. Sunter jaya
- Kel. Papanggo
- Kel. Sungai Bambu
- Kel. Kebon Bawang
3 Lampiran, Laptah Pengadilan Jakarta Utara, tahun 2010, h.107-108
56
- Kel. Tanjung Priok
- Kel. Sunter Agung
- Kel. Warakas
5) Kec. Koja
- Kel. Koja Utara
- Kel. Koja Selatan
- Kel. Lagoa
- Kel. Tugu Utara
-Kel. Tugu Selatan
- Kel. Rawa Badak
6) Kec. Kelapa Gading
- Kel. Kelapa Gading Timur
- Kel. Kelapa Gading Barat
- Kel. Pegangsaan Dua
7) Kec. Cilincing
- Kel. Kalibaru
- Kel. Cilincing
- Kel. Semper Timur
- Kel. Semper Barat
- Kel. Sukapura
- Kel. Rorotan
- Kel. Marunda4
4 http://www.pa-jakartautara.go.id/index.php/wilayah-hukum.html, Jum’at, pukul 2:11
57
2. Struktur Organisasi
Berikut adalah bagan Struktur organisasi Pengadilan Agama Jakarta Utara:
Sumber: http://www.pa-jakartaUtara.go.id
3. Profil Jabatan
Nama-nama yang tertuang dalam struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta
Utara pada akhir Tahun 2010 adalah sebagai berikut:
Ketua Drs. H. Busra, SH., MH.
Wakil Ketua Drs. Tata Sutayuga, SH.
ketua
Wakil ketua
Hakim
Panitera/Sekretaris
Pan. Mud. Permohonan
Jurusita/Jurusita Pengganti
Panitera Pengganti
Kasub. Bag. Kepegawaian
Pan. Mud. Gugatan
Kasub. Bag. Keuangan Kasub. Bag. Umum
Wakil Panitera
Pan. Mud. Hukum
Wakil Sekretaris
58
Hakim Dra. Hj. Rosmida M. Noor, SH.
Drs. H. Anwar Hidayat, SH.
Dra. Hj. Syamsidar, SH., MH.
Drs. Mahmud HD, MH.
Drs. Ahmad Zawawi
Drs. Muhammad Taufik, SH., MH.
Dra. Sarbiati, SH.
Drs. H. Abdurrakhman Maskur, SH.
Drs. H. Abdurrakhman Maskur, SH.
Drs. Eko Budiono, SH., MH.
Panitera/Sekretaris Sufyan, SH
Wakil Panitera H. Imanudin Tiflen, SH.
Wakil Sekretaris Wahida Muslihah, S.Sos.
Panitera Muda Hukum Asis Hidayanti, SH.
Panitera Muda Permohonan Rahyuni, SH.
Panitera Muda Gugatan Drs. H. Abdul Chaer HN, SH.
Kepala Sub. Bag. Kepegawaian Purwanto Sigit Wibowo, SE.
Kepala Sub. Bag. Umum Agus Triyogo, SE.
Kepala Sub. Bag. Keuangan Siti Fajriah, SE.
Panitera Pengganti Idris M. Ali, SH.
Dra. Hasbiah
59
Dra. Ermiyati Arifah
Abdul Hamid, S.Ag.
Turchamun Ichwanuddin, SH.
H. Kamaludin, SH., MH.
Nurlaelah, SH.
Lusiah Saragih, S.Ag., MH.
Rifa'i, SH
Fitri Astini, SH
Milhan Affani Istiqlal, SH
Achmad Sarkowi, S.HI.
Jurusita Pengganti Zamzam Lubis, SH.
Abdul Djamat
Hafas
Toto Sudarto
Feridiansyah Putra
Agus Wiyono, A.Md
Rona Handayani
Yuri Ditya Putra Fernanda, A.Md.
Dini Triana, S.Sos.
Frimi Agustina, A.Md.
Bendahara Pengeluaran Dini Triana, S.Sos.
60
Bendahara Penerimaan Rona Handayani
Staf Ahmad
Hikmayati, SH
Jaenudin
Abdul Haris Rahmansyah, SE.
Mustofa Supri Zulfatoni, S.Hi.
Mochamad Taufik, S.Ag.
Aji Sucipto, A.Md.
Sumber: Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010
C. Visi Misi dan Rencana Strategis
1. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara:
a. Visinya adalah Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung
b. Adapun Misi Pengadilan Agama Jakarta Utara antara lain adalah:
1) Menjaga kemandirian Badan Peradilan
2) Memberikan pelajaran hukum yang berkeadilan kepada pencari keadilan.
3) Meningkatkan kualitas kepemimpina Badan Peradilan
4) Meningkatkan kredibilitas dan transparansi Badan Peradilan.5
D. Tugas Pokok dan Fungsi Pengadilan
Pengadilan Agama Jakarta Utara berfungsi sebagai Pengadilan Tingkat
Pertama dan merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman, mempunyai tugas
5 Lampiran, Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010, h.102-104
61
pokok antara lain Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh dan ekonomi
syari’ah. Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.6
Untuk mendukung Tugas Pokok dan Fungsi dalam pelayanan masyarakat
khususnya masyarakat pencari keadilan maka pimpinan serta jajarannya termasuk
hakim telah menyusun Standard Operating Prosedure yang sampai saat ini masih
terus dirumuskan untuk dijadikan sebagai Standard Nasional Pengadilan oleh
Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama MA-RI. Sedangkan di bidang
kesekretariatan yang merupakan pendukung tugas pokok dan fungsi pengadilan telah
menyediakan sarana dan prasarana demi kelancaran tugas pokok dan fungsi termasuk
penyusunan struktur organisasi Pengadilan Jakarta Utara.7
Pengadilan Agama juga memiliki kekuasaan-kekuasaan kewenangan dalam
menyelesaikan perkara-perkara hukum keluarga yang terjadi di masyarakat. Diantara
kekuasaan Pengadilan Agama sendiri antara lain termuat dalam Undang-undang
Peradilan Agama 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-undang
6 http://www.pa-jakartautara.com/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011
pukul 21.01 WIB
7 Lampiran, Laptah Pengadilan Agama Jakarta Utara – Tahun 2010, h.101-102
62
Peradilan Agama.8 Kekuasaan Pengadilan Agama sebagaimana bunyi Pasal 49
Undang-undang Peradilan Agama No.7 Tahun 1989, bahwa:
(1) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
c. Wakaf dan shadaqah.
(2) Bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (a)
ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai
perkawinan yang berlaku.
(3) Bidang Kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b ialah
penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan
melaksanakanpembagian harta peninggalan tersebut.9
Sedangkan Perubahan Pasal 49 dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama ke dalam Undang-undang No. 3 Tahun 2003 menjadikan
kekuasaan Peradilan Agama sendiri semakin luas cakupan wilayah kewenangannya.
8 http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17 maret 2011
pukul 20.53 wib
9 Amir Syarifudin, Harun al-Rashid, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989), Cet.1, h.738-739
63
Perubahan Pasal tersebut menyatakan bahwa “Pengadilan agama bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. warta;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.”10
10 Lihat Undang-undang No 3 Tahun 2003 tentang Perubahan Undang-undang Peradilan
Agama No. 7 Tahun 1989 Pasal 49.
64
BAB IV
ANALISA BEDA KARAKTER ISTERI SEBAGAI ALASAN
PERCERAIAN
A. Posita/Duduk Perkara
Adapun posita/duduk perkara dari kasus ini adalah perkara cerai talak
yang pada mulanya antara Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang
sah dengan yang dikeluarkan dan dicatat pada tanggal 20 Januari 2008 di kantor
urusan agama (KUA) yang berada di Jakarta Utara. Setelah pernikahan tersebut
Pemohon dan Termohon tinggal di rumah orang tua Pemohon
Selama berumah tangga, rumah tangga Pemohon dan Termohon
berjalan dengan baik, harmonis sebagaimana layaknya suami-isteri namun
belum dikarunia keturunan. Akan tetapi sejak bulan januari 2008, Pemohon
dengan Termohon mulai terjadi perselisihan yang terus-menerus dan sulit untuk
didamaikan yang disebabkan antara lain:
(1) Termohon tidak memperbolehkan Pemohon bekerja di malam hari,
sementara pekerjaan Termohon tidak terbatas waktunya, bahkan sampai
larut malam.
(2) Termohon dengan Pemohon mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda,
selalu berbeda pendapat dalam segala hal, yang akibatnya Termohon
minta diceraikan.
65
(3) Bahwa, Pemohon sudah berusaha mencari Termohon tapi tidak
diketemukan.
(4) Bahwa pada bulan maret 2008 merupakan puncak keretakan hubungan
yaitu berpisah tempat tinggal antara Termohon dengan Pemohon serta
Termohon pergi tanpa seizin dan sepengetahuan Pemohon, dan saat ini
Termohon sudah tidak diketahui lagi tempat tinggalnya.
(5) Bahwa Pemohon telah menepis harapan terciptanya suasana hidup rukun
dan tentram dalam mahligai rumah tangga, dengan keadaan yang sudah
demikian itu Pemohon sudah tidak ada kecocokan lagi dalam membina
rumah tangga dan sudah tidak ada harapan serta sudah tidak sanggup lagi
untuk melanjutkan hidup berumah tangga dengan Termohon.
Karena itu sesuai dengan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun
1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal
116 Kompilasi Hukum Islam cukup alasan untuk permohonan Pemohon,
karenanya Pemohon memohon kepada Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta
Utara Cq. Ketua Majelis Hakim yang menyidangkan perkara ini berkenan
memberikan izin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak terhadap
Termohon.1
B. Petitum/Tuntutan Putusan
Berdasarkan pada beberapa dalil yang telah dijelaskan pada
posita/duduk perkara, maka Majelis Hakim Pengadilan Agama segera
1 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.91
66
memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan putusan perkara
sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon
2. Memberikan ijin kepada Pemohon untuk menjatuhkan talak satu kepada
Termohon.
3. Biaya perkara menurut hukum dan atau menjatuhkan putusan yang seadil-
adilnya.2
C. Alat Bukti
Pembuktian berasal dari bahasa arab yaitu “bayyinah” yang artinya
“suatu yang menjelaskan” ibnul Qayyim dalam kitabnya at-Thuruq al-
Hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang
dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu.3
Adapun dalam perkara ini bukti-bukti yang dihadirkan oleh Pemohon
adalah sebagai berikut:
a. Foto kopi akta nikah serta aslinya
b. Foto kopi Kartu Tanda Penduduk (KTP)
c. Tiga orang saksi, paman, adik serta ibu kandung Pemohon4
2 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.91 3 Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991),
h.153 4 Ibid., Lampiran, h. 92
67
D. Pertimbangan Hukum
Adapun pertimbangan hukumnya, bahwa maksud dan tujuan
permohonan Pemohon adalah seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa antara
Pemohon dan Termohon adalah suami isteri yang sah berdasarkan bukti kutipan
akta nikah terlampir. Pemohon dan Termohon juga belum dikarunia keturunan.
Sedangkan alasan pokok yang dimohon Pemohon terhadap Termohon bahwa
rumah tangga Pemohon dan Termohon sering terjadi cekcok yang disebabkan
karena:
(a) Termohon tidak membolehkan Pemohon bekerja pada malam hari
sedangkan Pemohon pekerjaannya tidak terbatas hanya pada siang hari,
(b) Termohon mempunyai sifat dan perilaku yang berbeda dengan Pemohon
dalam sagala hal akibatnya Termohon minta diceraikan oleh Pemohon.
(c) Termohon tidak pernah hadir dipersidangan sedangkan ia telah dipanggil
dengan cara patut, sedangkan ketidakhadiran Termohon tidak memiliki
alasan yang sah.
(d) Majelis telah mendengar keterangan Termohon maupun saksi-saksi di
persidangan.5
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka Majelis Hakim
menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon tersebut yang berdasarkan
pada Pasal 39 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
5 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.93
68
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan dan sejalan dengan Inpres Presiden
RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal 116 huruf (f)
dalam hal ini kaitannya dengan Perbedaan sifat dan perilaku isteri sebagai
alasan perceraian.
Sedangkan dalam permohonan tersebut ada beberapa alasan yang
menyebabkan suami mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama Jakarta
Utara salah satunya alasan tersebut adalah perbedaan sifat dan perilaku isteri
dalam segala hal terhadap suami.
Adapun pertimbangan Majelis Hakim mengabulkan permohonan
Pemohon kepada isterinya bahwa Termohon meragukan akan terciptanya
suasana yang rukun dan tentram dalam rumah tangga mereka dan Pemohon
merasa tidak sanggup lagi melanjutkan bahtera keluarga Pemohon dengan
Termohon dikarenakan salah satu alasannya adalah perbedaan sifat dan perilaku
mereka masing-masing yang mengakibatkan sering terjadinya percekcokan.
Pertimbangan Majelis Hakim selanjutnya adalah bahwa alasan-alasan
Pemohon dapat dibuktikan dengan kehadiran tiga orang saksi antara lain;
paman Pemohon, adik Pemohon serta ibu kandung Pemohon yang masing-
masing telah disumpah sesuai dengan agama Islam. Dalam kesaksian para saksi
di muka sidang Pengadilan, Pemohon membenarkan keterangan mereka.
Selanjutnya dalam perkara ini, Hakim menilai bahwa keterangan para
saksi saling berhubungan dan berpendapat bahwa dalil-dalil atau alasan-alasan
permohonan Pemohon tersebut telah terbukti kebenarannya.
69
Dari pertimbangan-pertimbangan tersebut Majelis Hakim mengabulkan
permohonan Pemohon karena alasan-alasan Pemohon telah memenuhi unsur-
unsur yang terkandung dalam Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dan telah sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal
116 huruf (f).
Sebagaimana bunyi produk Perundang-undangan yang dijadikan
rujukan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara untuk menyelesaikan perkara
ini. Diantaranya adalah bunyi Pasal 39 ayat (2) UUP adalah “Untuk melakukan
perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat
rukun sebagai suami isteri.6 Sedangkan selanjutnya bunyi Pasal 19 huruf (f) PP
No. 9 Tahun 75 bahwa Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.”7 Selanjutnya, Pasal 116 huruf (f) KHI : Antara suami
dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Maka dengan menimbang hal-hal sebagaimana telah dipaparkan di atas
permohonan Pemohon dikabulkan Majelis Hakim dengan Verstek dan
6 Lihat Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 39 (2) 7 Lihat Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Perkawinan Pasal 19 huruf (f)
70
mengikrarkan talak satu kepada Termohon dihadapan sidang Pengadilan Jakarta
Utara.
E. Putusan
Dalam putusan perkara ini, pertama Majelis Hakim memutuskan
perkara permohonan Pemohon dengan putusan verstek karena Termohon tidak
pernah hadir di muka sidang. Kedua, Memberi ijin kepada Termohon untuk
mengucapkan ikrar talak satu kepada Termohon di hadapan sidang Pengadilan
Agama Jakarta Utara setelah putusan ini memiliki kekuatan hukum yang tetap
serta yang ketiga membebankan kepada Pemohon untuk membayar perkara
sebesar Rp. 281.000,- (dua ratus delapan puluh ribu rupiah).8
F. Analisis Penulis
Dewasa ini, hukum Islam eksistensinya semakin membutuhkan
penyegaran interpretasi bagi masyarakat Islam sendiri khususnya. Terbukti,
seperti di Negara kita Indonesia hukum Islam yang sudah dipositifkan
berkenaan dengan hukum keluarga seperti Undang-undang Perkawinan dan lain
sebagainya ternyata belum dapat mewakili aspirasi dalam mencari solusi
masalah yang terjadi di masyarakat.
Positivisasi hukum Islam disatu sisi banyak menimbulkan manfaat
tersendiri bagi masyarakat muslim. Namun di sisi lain Perundang-undangan
tersebut nampaknya masih sangat terbatas dalam mencakup seluruh
8 Lampiran, Putusan Perkara No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU, h.94
71
permasalahan kehidupan umat muslim sendiri. Karena karakteristik zaman dan
lingkungan serta teknologi terus mengalami perkembangan serta perubahan
disana-sini.
Paling tidak Said Agil dalam bukunya Hukum Islam dan Pluralitas
Sosial menyebutkan terdapat Tiga unsur pokok yang berperan penting dalam
merespons perkembangan zaman, yaitu keluwesan sumber-sumber hukum
Islam, semangat ijtihad berdasarkan keahlian dan berijtihad dengan metodologi
ushul fiqh.9
Secara umum kata “hukum” memiliki banyak perbedaan definisi,
namun secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum adalah “seperangkat
peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh Negara
atau kelompok masyarakat, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya.”10
Namun, bila hukum dirangkai dengan kata Syara’ yaitu “hukum syara’”
akan memiliki arti “sebagai perangkat peraturan berdasarkan ketentuan Allah
tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta mengikat
untuk semua ummat yang beragama Islam.”11
9 Said Agil Husin al-Munawar, Hukum Islam dan Prluralitas Sosial, (Jakarta:
Penamadani, 2004), Cet.1, h.23 10 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet.1,
h.281 11 Ibid.,h.281
72
Sedangkan hukum positif sendiri adalah produk dari kekuatan-kekuatan
politik yang melahirkannya. Sedangkan hukum yang hidup adalah hukum yang
tersosialisasikan dan diterima oleh masyarakat secara persuasif.12
Secara teoritis kaidah-kaidah hukum yang hidup dalam masyarakat
memang dapat dijadikan rujukan bagi Seorang Hakim dalam memutuskan suatu
perkara yang diajukan kepadanya. Ketentuan Pasal 27 UU Nomor 14 Tahun
1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengakui, dan
memahami nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat.”13
Tujuan dibuatnya hukum Islam menurut Syatibi adalah untuk
mewujudkan maslahah bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.14 Selain
itu adanya hukum juga salah satu tujuannya adalah untuk memenuhi keperluan
hajat hidup manusia yang bersifat primer, sekunder dan tertier, yang dalam
kepustakaan hukum Islam masing-masing disebut dengan istilah daruriyyat,
hajjiyat dan tahsiniyyat.15
Kebutuhan Primer (Daruriyyat) adalah kebutuhan utama yang harus
dilindungi dan dipelihara sebaik-baiknya oleh hukum Islam agar kemaslahatan
12 Ibid., h.30 13 Ibid., h.30 14 Abu Ishaq Ibrahim al-Syatibi, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), Buku 1, Juz ke-2, h.4 15 Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet.10, h.55
73
hidup manusia terwujud. Kebutuhan sekunder (Hajjiyat) adalah kebutuhan yang
diperlukan untuk mencapai kebutuhan primer, seperti misalnya kemerdekaan,
persamaan, dan sebagainya yang menunjang eksistensi kebutuhan primer.
Selanjutnya adalah kebutuhan tertier (tahsiniyyat) adalah kebutuhan hidup
manusia selain dari yang sifatnya primer dan sekunder itu yang perlu diadakan
dan dipelihara untuk kebaikan hidup masyarakat misalnya, sandang, pangan,
perumahan dan lain-lain.16
Dalam analasis kali ini, penulis menganalisa alasan perceraian karena
perbedaan karakter isteri terhadap suami. Secara garis besar penulis
membingkainya dalam dua perspektif yang berbeda—Perspektif hukum Islam
dan hukum positif.
Adapun putusan Pengadilan, khususnya putusan Pengadilan Jakarta
Utara No : 0206/Pdt.G/2008/PA.JU yang mencantumkan redaksi perbedaan
sifat dan perilaku isteri sebagai alasan perceraian menurut penulis tidak
mendasar. Ini dikarenakan bahwasanya sudah menjadi fitrah setiap manusia
dalam hal ini umat Islam diberikan perbedaan karakter khususnya pada sifat
dan perilaku satu dengan lainnya oleh Allah SWT. Mustahil manusia
memaksakan kehendak untuk berkarakter sama dalam sifat dan perilaku mereka
satu sama lain.
16 Ibid.,h.55
74
Namun berbeda memang, ketika perbedaan-perbedaan tersebut terus
diangkat kepermukaan oleh salah satu dari mereka atau kedauanya dan
berdampak pada saling melalaikan hak dan kewajiban mereka sebagai pasangan
suami ataupun isteri. Tentunya akan menjadikan pertengkaran dan percekcokan
yang terus menerus dan berujung pada ketidak-harmonisan kehidupan
keluarga.
Oleh karenanya, jika perkawinan yang sudah goyah tersebut tetap
dipertahankan, dapat berakibat lebih buruk bagi mereka yang menjalankannya,
sehingga hal ini harus dihilangkan. Sebagaimana kaidah fiqih yang berbunyi:
١٧ا�ر ��ال
Dalam menghilangkan yang madarat, tidak boleh dengan menempuh
madarat yang sama atau yang lebih berat madaratnya. Sebagaimana prinsip
hukum Islam yang lain, menghindari yang mengandung kerusakan lebih
diutamakan dari pada sekedar mendatangkan maslahat, karena prinsip hukum
Islam adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemadaratan.
Dengan menggunakan kaidah fiqih ini juga dapat dibenarkan. Sebab
jika sudah jelas dan terbukti bahwa perselisihan dan pertengkaran itu memang
terjadi dan sulit untuk hidup rukun kembali, maka Pengadilan Agama Jakarta
17 Asjmuni Abdurrahman, Qaidah-qaidah Fiqih, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), Cet.I,
h.85
75
Utara sebagai lembaga kenegaraan berhak untuk memutuskan hubungan
perkawinan.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan karakter pasangan
dalam kehidupan rumah tangga menurut Sarbiati.,S.H, M.H saat diwawancarai
mengenai hal tersebut menjelaskan faktornya antara lain:
Pertama, Kultur yang berbeda. Misalnya orang Sumatera (Medan) menikah
dengan orang Jawa atau Sunda. Kita bisa melihat bahwasanya dari
segi kultur yang berbeda biasanya akan memunculkan watak dan
karakter yang berbeda antara suami isteri dalam sebuah rumah
tangga. Karena masing-masing memiliki background kultur yang
beda.
Kedua, Tidak adanya “Kesalingan”. Artinya Antara suami isteri tidak terbuka
dalam hal apapun. Antara suami isteri tidak saling berkomunikasi
justru sebaliknya mis komunikasi, diam-diaman. Antara suami isteri
tidak saling menyayangi, menghormati, menghargai dan lain
sebagainya. Bentuk-bentuk ketidak-salingan ini sebenarnya sudah
keluar dari koridor ketentuan tujuan pernikahan itu sendiri.18
Padahal Islam sendiri mengajarkan umatnya untuk lemah lembut dalam
berkata-kata. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ali-Imran ayat 159:
18 Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati.
Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.
76
�������� ���� �� ����� �� ����� ��� �� ���������� ���� � !�"#� �$�# �%�� &�'()��� ���� ����* ��+�,�+ ��-��� .��/0�'1�� ��� ��2����3���� #� 456��1�� �7�8�+ ��9����� �/��:�#;�+ � ��� 4 �< :=5�� �>�?(%#� �@�/��A�� !�� )=�1�+ C�/E: GHI(
Artinya: Dan dengan adanya rahmat Allah maka engkau (Muhammad)
bersikap lunak (lemah lembut) kepada mereka. Seandainya engkau kasar dan keras hati, maka pastilah mereka akan menyingkir dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohon ampunan bagi mereka, dan ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan (keduniaan). Dan bila engkau telah berketetapan hati, maka bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah cinta kepada orang-orang yang bertawakkal. (Q.S. Ali Imran/3: 159)
Bila diteliti, ayat tersebut—sekalipun ditujukan kepada Nabi, namun
umatnya juga termasuk—mempunyai 4 pesan moral; (1) perintah untuk lemah
lembut dalam bertutur kata, (2) banyak memberi maaf, (3) dan banyak istigfar,
(4) pasrahkan urusan kepada Allah setelah mengambil keputusan.19 Begitu pun
kehidupan suami isteri diharapkan dapat berlemah-lembut serta mudah
memberi maaf kepada masing-masing pasangannya.
Sebagaimana Nabi Muhammad sendiri adalah teladan bagi umatnya
segala hal termasuk akhlak di dalamnya. Sebagaimana firman Allah SWT:
���$K �1�L56� �M��!#����5 �� ���N1�> �=��� ��A@ O ���P�� OQ��.�R ��� �C��.�� 4�� �=�� �S1!�T�� 5���1���8��)�6�U�9/EE : VG(
19 Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an
Tematik) ,h.222
77
Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang berharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut nama Allah.” (QS. Al-Ahzab/33: 21)
Dalam ayat lain juga ditemukan firman Allah SWT sebagaimana berikut:
��!���+ �W� �L 4� �X�� �*Y&�<��)$��� / Z[ :\( Artinya:“…Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang
luhur.” (QS. Al-Qalam/68: 4)
Nabiyullah Muhammad Saw juga bersabda:
�Y&��� �]� L�#�� �_��� ��a�5�b^�� ��#T�X�c)Q1>12 dR �+ KX. �c�(�� Artinya:“Bahwasanya saya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang baik”.
(HR. Sa’ad dari Abi Hurairah)
Dikutip dalam buku Etika berkeluarga, bermasyarakat dan berpolitik21
bahwa Allah telah menganugerahkan akhlak yang luhur kepada Nabi
Muhammad Sallallahu ‘alaihi wa sallam. Wujud keluhuran akhlak Rasulullah
tersebut seperti yang dijelaskan oleh Ummul Mukminin ‘Aisyah kepada orang-
orang bertanya tentang akhlak Rasulullah, bahwa akhlak beliau adalah Al-
Qur’an.”
Secara umum pengertian akhlak mengacu pada sifat manusia secara
umum tanpa mengenal perbedaan diantara laki-laki dan perempuan; sifat
20 Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Baker as-Suyuti, al-Jaami’us Shagir, (Darul
Qolam, 1996), h.92 21 Depag RI, Etika Berkeluarga, Bermasyarakat dan Berpolitik (Tafsir Al-Qur’an
Tematik), h.3
78
manusia yang baik maupun sifat manusia yang buruk.22 Oleh sebab itu akhlak
terbagi dua, al-Ahlaq al-Hasanah (akhlak yang baik) atau al-Ahlaq al-
Mahmudah (akhlak yang terpuji dan al-Ahlaq al-Qabihah (akhlak yang buruk)
atau al-Ahlaq al-Mazmumah (akhlak tercela).23
Akhlak bersumber pada jiwa. Jika jiwa seseorang itu bersih, jernih dan
bening, maka akhlak orang itu akan baik dan mulia. Sebaliknya, jika jiwa
seseorang itu kotor dan penuh noda maka dari jiwa yang demikian tidak akan
pernah memancarkan akhlak yang baik dan mulia.karena kualitas akhlak
seseorang ditentukan oleh keadaan jiwannya.24
Bagaimanapun karakter-karakter suami isteri yang berkaitan dengan
sifat dan prilakunya dalam sebuah rumah tangga mesti diperhatikan secara
teliti. Karena kehidupan keluarga adalah kehidupan yang menyatukan dua
kepala berbeda. Akhlak masing-masing pihak akan menjadikan sebuah keluarga
bagai surga ataupun neraka.
Sebagai contoh dalam kasus yang penulis teliti adalah sikap isteri yang
melarang suami untuk bekerja pada malam hari sedangkan pekerjaan suami
tidak terbatas pada siang hari. Contoh lainnya suami atau isteri melakukan
perselingkuhan, salah satu pasangan tidak lagi bisa melaksanakan kewajiban-
kewajibannya sebagai suami ataupun isteri tanpa alasan yang dibenarkan oleh
22 Ibid, h.2 23 Ibid., h.2 24 Ibid., h.6
79
Syar’i. Contoh-contoh perilaku ini sudah dapat dijadikan alasan perceraian—
baik permohonan ataupun gugatan.25
Selanjutnya dari perspektif hukum positif bahwasanya perbedaan sifat
dan perilaku isteri tidak diatur secara khusus dalam perundang-undangan
Indonesia sebagai sebuah alasan perceraian baik dalam Undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 atau Undang-undang No.9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan serta dalam Instruksi Presiden No.1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam sendiri.
Oleh karena Perbedaan karakter kaitannya dengan sifat dan perilaku
isteri tidak diatur secara khusus dalam Perundang-undangan Indonesia, maka
bagi para penegak hukum untuk menemukan kepastian hukumnya. Dalam hal
ini dibutuhkan kecerdasan Seorang Hakim untuk memecahkan perkara yang
memang tidak secara khusus diatur dalam perundang-undangan Indonesia (baik
itu UUP No.1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975 atau KHI) semakin tertantang.
Dalam hal ini metode ijtihad Hakim dalam meramu segala permasalahan yang
berkaiatan dengan alasan-alasan perceraian seperti Perbedaan sifat dan perilaku
isteri ini.
Seperti dijelaskan dalam wawancara penulis dengan Hakim bahwa
memang alasan perbedaan sifat dan perilaku suami isteri tidak diatur dalam
Perundang-undangan, namun alasan tersebut dapat dimasukkan kedalam
25 Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati.
Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.
80
kategori pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Perkawinan Jo. Instruksi Presiden No.1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam pasal 116 huruf (f) yaitu bahwa Antara
suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Menurut keterangan yang penulis dapatkan bahwa perbedaan sifat dan
perilaku ini sebagai pemicu adanya ketimpangan hak dan kewajiban suami
isteri yang dapat menyebabkan Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.26
Sedangkan mengenai alat bukti, khususnya dalam perkara ini, yaitu
dengan adanya keterangan berupa lisan dari Pemohon, surat-surat seperti akta
nikah dan lainnya serta saksi-saksi yang didatangkan dari pihak Pemohon.
Dari putusan yang penulis dapatkan Majelis Hakim mengabulkan
permohonan Pemohon dengan verstek, karena Termohon tidak hadir dan tidak
pula mengirim wakil sebagai kuasanya untuk hadir di muka sidang padahal
Termohon telah dipanggil secara patut oleh Pengadilan.
Menurut Hakim saat diwawancarai, Setiap masalah dapat dibuktikan
oleh Pemohon atau penggugat dan memenuhi unsur-unsur pembuktian—
26 Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara. Jakarta,
Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB.
81
keterangan Pemohon/ penggugat, surat-surat, maupun para saksi. Inilah yang
menjadi dasar Hakim dalam memutuskan suatu putusan.
Dalam hal ini Hakim mengaitkan mengaitkan permasalahan pada
putusan perkara Pengadilan No: 0206/Pdt.G/2008/PA.JU dengan PP No. 9
Tahun 1975 Pasal 19 huruf (f) Jo. KH Pasal 116 huruf (f) yang menyatakan
alasan perceraian karena terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Karena
adanya perbedaan karakter dalam hal sifat dan perilaku dari masing-masing
pasangan dalam segala hal, dalam kurun waktu yang lama, sifat dan perilaku ini
akan memicu terjadinya hal tersebut (pertengkaran terus menerus). Maka
Majelis Hakim berpendapat bahwa alasan perceraian tersebut dikabulkan
Pengadilan.
Selanjutnya, oleh karena perkara ini adalah perkara dalam bidang
perkawinan, maka dalam menyangkut semua biaya dalam perkara ini
dibebankan kepada Pemohon. Ini sesuai berdasarkan Undang-undang Peradilan
Agama No. 1 Tahun 1974 pasal 89 ayat (1) Jo. Undang-undang No.7 Tahun
1989 biaya perkara dibebankan kepada Pemohon.
82
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari Uraian di atas penulis penulis dapat menarik beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Menurut Hukum Islam perbedaan karakter kaitannya dengan sifat dan prilaku
suami isteri adalah hal yang wajar terjadi. Khususnya untuk sifat yang merupakan
bawaan sejak lahir manusia. Sedangkan prilaku sebagaimana telah penulis
jelaskan memiliki faktor-faktor pembentuknya tersendiri.
Dalam hal ini, secara umum Nabi Muhammad adalah orang yang mestinya
dicontoh karakternya baik dari sifat dan prilaku kita sebagai muslim. Bagaimana
pun Nabi Muhammad diutus oleh Allah SWT sebagai uswatun hasanah (suri
teladan) bagi umatnya. Dari sudut pandang ini, menurut hemat Penulis mestinya
memang kehidupan bahtera rumah tangga antara suami isteri saling menghormati
perbedaan-perbedaan sifat dan prilaku masing-masing—selagi karakter-karakter
itu tidak merusak keutuhan rumah tangga.
Menurut hukum positif, Perbedaan karakter isteri sebagai alasan perceraian
memang sejatinya tidak pernah termuat dalam Perundang-undangan Indonesia
sebagai dalil untuk meneguhkan keinginan suami dalam menceraikan isterinya.
Namun pada prakteknya ditemukan alasan-alasan Perceraian yang tidak termuat
83
dalam Perundang-undangan Indonesia dikabulkan Majelis Hakim. Ini dimaklumi,
karena ternyata Hakim melihat adanya pertengkaran yang terus-menerus
dikhawatirkan terjadi syiqaq. Dari sinilah Majelis hakim berkesimpulan dengan
melihat maslahah mursalahnya. Bahwa demi kebaikan bersama antara suami isteri
maka perceraian harus ditempuh sebagai jalan akhir untuk menyudahi pertikaian
yang terus-terusan terjadi. Sedangkan pada perkara ini perbedaan karakter isteri
sebagai pemicu terjadinya perceraian.
Sedangkan penulis melihat bahwasanya perbedaan sifat dan prilaku isteri yang
dijadikan alasan untuk menguatkan argumen suami dalam meloloskan
permohonannya tidak mendasar. Karena manusia memang sudah kodratnya
diciptakan berbeda baik fisik maupun sifat (ruhaniah). Maka dari itu menurut
hemat Penulis, Hakim mestinya tidak memberikan kesempatan pada suami untuk
menceraikan isterinya dalam keadaan demikian. Karena bagaimanapun dengan
adanya putusan perkara ini sudah dapat dipastikan ada pihak-pihak yang
dirugikan—lebih-lebih dari pihak isteri.
2. Dalam hal ini, penyebab perbedaaan karakter suami isteri dalam keluarga yang
berakibat pada perceraian adalah prilaku isteri yang tidak membolehkan suami
untuk bekerja pada malam hari sedangkan pekerjaan suami tidak terbatas pada
siang hari. Faktor lain, antara suami-isteri memiliki perbedaan pandangan masing-
masing mengenai sifat dan prilaku dalam segala hal. Artinya baik suami ataupun
84
isteri memiliki sifat egois karena tidak ada satupun yang berusaha mencairkan
keadaan dalam sebuah keluarga ketika masalah sedang mendera mereka.
3. Sedangkan yang melatarbelakangi pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Utara adalah pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan beserta penjelasannya dan pasal 19 huruf F Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan Juncto pasal 116 huruf F Instruksi Presiden RI
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi bahwa
“alasan perceraian antara suami isteri yaitu terjadi perselisihan dan pertengkaran
yang terus menerus.” Sedangkan penyebab pertengkaran tersebut karena
perbedaan karakter suami isteri.
B. SARAN-SARAN
1. Perlunya sosialisasi oleh pihak-pihak terkait kepada masyarakat baik melalui
media cetak atau elektronik berupa ceramah-ceramah keagamaan, Khatib jum’at,
seminar-seminar dan lain sebagainya dengan menekankan bahwa pada dasarnya
tujuan perkawinan bukanlah hanya untuk sekedar pemenuhan nafsu biologis dan
tujuan sesaat semata namun juga bernilai ibadah kepada Allah SWT.
2. Menekankan kepada masyarakat pengetahuan tentang perceraian. Bahwa
perceraian adalah hal yang dibenci Allah SWT dan sebagai solusi terakhir apabila
85
tidak ada lagi jalan untuk menyelesaikan perkara yang terjadi dalam sebuah
rumah tangga.
3. Perlunya penekanan pembelajaran tentang akhlak sedini mungkin, baik sejak
duduk bangku Sekolah Dasar (SD), SLTP maupun jenjang SMA. Agar sedini
mungkin muslim Indonesia memahami adanya perbedaan dan persamaan diantara
manusia (khususnya suami-isteri) baik yang berupa sifat maupun prilaku.
86
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
Abbas, Ahmad Sudirman. Pengantar Pernikahan: Analisa Perbandingan antar Madzhab, Jakarta: PT. Prima Heza Lestari, 2006.
Abdurrahman, Asjmuni, Qaidah-qaidah Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1976
Agustiani, Hendriati. Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika Aditama, 2006.
Al-Bukhari, Sahih Bukhari Juz V, Darul Ihya Turosul al-A’roby, t.t Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2006 Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002. Al-Jamal, Ibrahim Muhammad. Fiqih Muslimah, Jakarta: Pustaka Amani,1999. Al-Mufarraj, Sulaiman. Bekal Pernikahan: Hukum, Tradisi, Hikmah, Kisah, Syair,
Wasiat, Kata Mutiara, (Jakarta: Qisthi Press, 2003) Al-Kahalani, Sayyid Muhammad Ibn Ismail dan San’ani. Subulus Salam, Surabaya,
Al-Hidayah, Juz 3. Al-Sijistani Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman:
Dar al-‘Alam, 2003.
Al-Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim, al-Muwafatqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th, Buku 1, Juz ke-2.
Al-Qaradhawi, DR. Yusuf. Kaifa Nata’ amalu Ma’a al-Qur’ani al-Azhim—
Berinteraksi dengan Al-Qur’an, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
As, Asmaran. Pengantar Studi Akhlak, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994
87
Assuyuti, Imam Jalaluddin Abdurrahman bin Abi baker. al-Jaami’us Shagir, Darul Qolam, 1996.
Basyir , A. Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 1999.
Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan agama di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999.
____________ Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003.
Al-Sijistani, Abu Daud. Sunan Abi Daud: Ili-Imam al-Hafiz Abi Daud, Amman: Dar
al-‘Alam, 2003
Darajat, Zakiyah. Ilmu Fiqih, Jakarta: Depag RI, 1989
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ke III, Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Doi, A. Rahman I. Syariah The Islamic Law; Karakteristik Hukum Islam dan
Perkawinan, penerjemah, Zaimudin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,1996.
Djalil, Basiq, Tebaran Pemikiran Keislaman di Tanah Gayo, Jakarta: Qalbun Salim,
2007. __________, Perkawinan Lintas Agama: Dalam Perspektif dan Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: QALBUN SALIM, 2005. Djamil , H. Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam,Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
Dr. Wahbah. Al-Fiqhu al-Isamiy wa Adillatuhu, Beirut: Darul Fikr. Esposito, L. John. Islam Warna-warni: Ragam Ekspresi menuju “Jalan Lurus”(al-
Shirat al-Mustaqim), Penerjemah Arif Maftuhin, Jakarta: Paramadina, 2004. Kauma, Fuad. Membimbing Istri Mendampingi Suami,Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2003. Gozaly, Rahman, Abdul, H. Drs. Fiqih Munakahat, Jakarta: PT. Kencana, 2003.
Gultom, Elfrida R. Hukum Perdata, Jakarta: Literata, 2010.
88
Hejazziey. Djawahir. Buku Pedoman Penulisan Skripsi, Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN) Syarif Hidayatullah, 2007
Mahfud, Moh. Spiritualitas Al-Qur’an dalam Membangun Kearifa Umat,Yogyakarta:
UII Press, 1997. Muhdlor, A.Zuhdi. Memahami Hukum Perkawinan: Nikah, Talak, Cerai, dan Rujuk,
Bandung: al-Bayan, 1995. Mujib, M.Abdul. Kamus Istilah Fiqh, Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994. Mulyati, Sri. ed. Relasi Suami Isteri dalam Islam, .Jakarta: PSW UIN Syarif
Hidayatullah, 2004. Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progresif,
2002. Nakamura, Hisako. Perceraian Orang Jawa, Studi tentang Pemutusan Perkawinan di
kalangan Orang Islam Jawa. Penerjemah. H. Zaini Ahmad Noeh, Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1991.
Prakoso, Djoko. Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bina
Aksara,1987. Rahman, Bakri A. Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-undang Perkawinan
dan Hukum Perdata B/W, Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981. Rahman , Fazlur. Islam penerjemah Ahsin Mohammad, Bandung: Pustaka, 2003. A.
Rasyid, Roihan. Hukum Acara peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.
Said, Fuad. Perceraian Menurut Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1994. Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, Juz. 2, Kairo: Al-Fathu I’lami Al-Araby, 1990. Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia,
Jakarta: Kencana, 2010. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh, Jilid 1, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.
89
________________. Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Pemerintah tentang Badan-badan Peradilan di Indonesia, Jakarta: Pustaka Ghalia, 1989.
Subekti. Kamus Hukum, Jakarta: Paradya Paramita, 1982. Supratiknya ,ed. Psikologi Kepribadian III Teori Sifat dan Behavioristik, Yogyakarta:
Kanisius, 1993. Taher, Tarmizi. Menuju Ummatan Wasathan: Kerukunan Beragama di Indonesia,
Jakarta: PPIM,1998. Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perorangan dan Kekeluargaan di Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Winardi, J. Motivasi dan Pemotivasian dalam Manajemen, Jakarta: Rajwali Pers,
2008. Zuhdi, Masjfuk. Studi Islam Jilid 3: Muamalah, Jakarta: RajaGrafindo, 1993.
Perundang-undangan dan Internet:
1. Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
2. Undang-undang No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang
No.3 Tahun 2003 tentang perubahan UUPA
3. Wawancara Pribadi dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Utara, Sarbiati.
Jakarta, 4 April 2011, jam 13.30 WIB
4. http://www.pa-jakartautara.go.id/wilayah-hukum.html, diakses pada kamis, 17
maret 2011 pukul 20.53 wib
5. Http://Niahidayati.Net/Memahami-Dan-Menyikapi-Perbedaan-Dengan
Pengertian.Html, diakses pada Jum’at 25 April 2011, pukul 16.57 WIB