perkawinansalah bujangdangadis di kecamatan pamenang...
TRANSCRIPT
PerkawinanSalah BujangdanGadis di Kecamatan Pamenang,
KabupatenMerangin, Provinsi Jambi
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.H)
Oleh:
IBRAHIM 1110044100077
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017 M/1438 H
ii
iii
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukurdipanjatkan kehadiran Allah SWT, yang telah memberikan
rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat dan salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad
SAW, yang telah membawakan agama Islam dari zaman jahiliyyah/Kebodohan
sehingga zaman yang terang benderang yang dirasakan saat ini.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
dihadapi, namun syukur alhamdulilah berkat rahmat dan ridha-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya, sehingga pada
ahirnya skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada
kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-
dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A, sebagai Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.A, dan Arip Purqon M.A, sebagai ketua Prodi dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Syariah dan Hukun,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Afwan Faizin M.A, sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga, pikiran selama membimbing dalam penyelesaian skripsi
ini.
4. Dra. Hj. Maskufa, M.A, sebagai dosen penasehat akademik yang telah
memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis.
5. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum Univesitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan .
vi
6. dengan tulus dan ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat serta
menjadi keberkahan bagi penulis.
7. Segenap staf Karyawan Akademik, perpustakaan Utama UIN dan
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
kemudahan penulis dalam mencari referensi.
8. Terima Kasih Kakak Yanti Ernadewi, Saidah, Ulfa Noprida, Ali Nafiah,
yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis sehingga
skripsi ini dapat terselesaikan.
9. Terima kasih kepada Neng Uti tercinta yang telah meluangkan waktu,
tenaga, pikiran dalam penyelesaian Skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan peradilan agama angkatan 2010.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada ayahanda, H Sayuti Sulaiman, dan
ibunda Hj Siti Zaleha Ishak, yang selalu memberikan dorongan, bimbingan kasih
sayang, dan do’a tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa
memberikan kesehatan dan melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada
mereka.
Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak,
semoga Allah SWT, membalas dan melipat gandakan jasa dan kebaikan
semuanya. Akhir kata, dengan kerendahan hati semoga tugas ahir ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan, terutama bagi penulis dan
pembaca pada umumnya.
Penulis mohon maaf apabila dalam penyusunan tugas ahir ini banyak
kekurangan kehilafaan. Semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kita semua. Amin.
Jakarta, 03 Maret 2017
Ibrahim
vii
ABSTRAK
Ibrahim. NIM 1110044100077. “PerkawinanSalah BujangdanGadis di Kecamatan Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi”. Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui faktor dan prosesi perkawinan adat salah bujang dan gadis, serta bagaimana keberlanjutan rumah tangga bagi pelaku perkawinan adat salah bujang dan gadis di Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
Penelitian ini mengunakan Metode penelitian Field Research (penelitian lapangan). Spesifikasi penelitian ini adalah dengan deskriftif analitis yang berusaha menggambarkan kejadian perkawinan adat salah bujang dan gadis di Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin Provinsi Jambi.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pernikahan adat salah bujang dan gadis adalah Pernikahan yang terjadi apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan ditempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani, yang kemudian ditangkap atau digrebek.
Pasangan yang tertangkap ini wajib dinikahkan untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama Islam dan didenda adat bagi keduanya. Sanksi dendanya berupa “kambing sekok. beras 20, dan 2 kayu kain” atau berarti “seekor kambing, 20kg beras dan 2 kayu kain” yang dibebani kepada pihak bujang atau lelaki yang digunakan untuk acara kumpul bersama masyarakat sekitar tempat kejadian pasangan tersebut dibawa ketetua adat.
Pernikahan adatmenurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya, pasangan yang menikah secara adat tersebut mayoritas menajalankan kehidupan rumah tangganya sebagaimana pasangan lain yang menikah secara umum, walaupun ada dari beberapa pasangan yang melakukan pencatatan pernikahan dan ada juga yang tidak. Namun, aturan adat mengenai pernikahan adat salah bujang dan gadismasih dipertahankan karena bertujuan untuk menghindari sumbang atau fitnah kepada sang perempuan.
Pernikahan adat salah bujang dan gadisdalam hukum Islam bagaimanapun model pernikahannya selagi rukun dan syaratnya terpenuhi maka perkawinan itu dianggap sah, menurut undang-undang perkawinan pernikahan dapat berkekuatan hukum tetap apabila sudah dicatatkan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN).
Pembimbing : Afwan Faizin, MA
Daftar Pustaka : Tahun 1964 s.d. Tahun 2016
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
ABSTRAK .............................................................................................................vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 3
C. Rumusan Masalah ............................................................................... 4
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 4
E. Metode Penulisan dan Penelitian ........................................................ 5
F. Review Studi Terdahulu ..................................................................... 7
G. Kerangka Teori .................................................................................. 8
H. Sistematika Penulisan ....................................................................... 10
BAB II : PERKAWINAN MENURUT BAHASA, HUKUM
ISLAM,HUKUM POSITIF, DAN HUKUM ADAT
A. Pengertian Perkawinan ..................................................................... 12
B. Syarat dan Rukun Perkawinan .......................................................... 21
C. HakdanKewajibanSuamiIstri ............................................................ 23
D. Eksistensi Perkawinan Adat ............................................................. 26
BAB III : PERKAWINAN ADAT SALAH BUJANG DAN GADIS
MENURUT HUKUK ADAT
A. Pengertian Perkawinan Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang
Kabupaten Merangin, Jambi ............................................................. 33
B. Macam Macam Perkawinan Adat di Kecamatan Pamenang
Kabupaten Merangin, Jambi ............................................................ 34
C. Peraktik perkawinan adat di Kecamatan Pamenang .......................... 36
ix
D. Sistem Hukum adat di Kecamatan Pamenang ................................... 40
BAB IV : PERKAWINAN SALAH BUJANG DAN GADIS MENURUT
ADAT di KECAMATAN PAMENANG
A. DefinisiPerkawinanAdatSalah BujangdanGadis ............................... 43
B. SyaratdanRukunPerkawinanAdatSalah BujangdanGadis.................. 44
C. PencatatanNikah .............................................................................. 46
D. Analisis Penulis ............................................................................... 49
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 60
B. Saran Saran ..................................................................................... 62
DAFTARPUSTAKA ............................................................................................. 63
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita
masing-masing menjadikan suami dan isteri dalam rangka memperoleh
kebahagian hidup dan membangun keluarga dalam sinar Ilahi1. Sedangkan
tujuan perkawinan menurut kompilasi Hukum Islam yang terdapat dalam
pasal 3 bahwa perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Dalam hukum Islam, kata perkawinan dikenal dengan istilah nikah.
Menurut ajaran Islam melangsungkan pernikahan berarti melaksanakan
ibadah. Melakukan perbuatan ibadah berarti juga melaksanakan ajaran
agama. “Barang siapa yang kawin berarti ia telah melaksanakan separuh
(ajaran) agamanya, yang separuh lagi, hendaklah ia taqwa kepada Allah”.
Demikian sunnah qauliyah (sunah dalam bentuk perkataan) Rasulullah.
Rasulullah memerintahkan orang-orang yang telah mempunyai kesanggupan,
kawin, hidup berumah tangga karena perkawinan akan memeliharanya dari
(melakukan) perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah2.
Sedangkan menurut hukum positif di Indonesia yang diberlakukan pada
masa pemerintahan orde baru sesuai dengan UU No. 1 tahun 1974 pasal 2
ayat (1) menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”3.
Undang-undang No. 1 tahun 1974 ini dan hukum Islam memandang bahwa
perkawinan itu tidak hanya dilihat dari aspek formal semata, tetapi juga
dilihat dari aspek agama dan sosial.
Dalam konsepsi hukum perdata barat, perkawinan itu dipandang
dalam hubungan keperdataan saja.Maksudnya bahwa UU tidak ikut campur
dalam upacara-upacara yang diadakan oleh gereja.UU hanya mengenal
1Amin Syarifuddin,”Hukum Perkawinan Islam di Indonesia”, 2009 h. 40 2 Mohamad Daud Ali,”Hukum Islam dan Peradilan Agama”, (Kumpulan Tulisan, Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. Ke-2., h. 3 3Wardah Nuroniyah, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan
Hukum Positif”, (Yogyakarta: CV Mitra Utama, 2011), h. 374
2
“perkawinan perdata”, yaitu perkawinan yang di langsungkan dihadapan
seorang pegawai catatan sipil4. Namun pluralitas sistem hukum yang berlaku
di Indonesia dapat dilihat juga dari segi pluralitas jenis penduduknya, dapat
dikatakan bahwa masyarakat di Indonesia mempunyai sistem hukum yang
berlaku sejak zaman primitif dari kebiasaan atau adat istiadat sampai dengan
ketentuan yang diyakini bersama untuk dipatuhi5. Dari uraian diatas dapat
dilihat bahwa di Indonesia berlaku tiga sistem hukum, yaitu hukum adat,
hukum Islam dan hukum barat6.
Pada umumnya pelaksanaan upacara perkawinan di Indonesia
dipengaruhi oleh bentuk dan sistem perkawinan adat setempat, hal ini
berkaitan erat dengan susunan masyarakat atau kekeluargaan yang
dipertahankan oleh masyarakat yang bersangkutan. Upacara perkawinan
dalam konteks budaya merupakan salah satu tradisi yang bersifat ritualistik
sebagaimana halnya aspek-aspek kehidupan lain dalam sistem kebudayaan
tersebut. Prosesi yang dilakukan sebagai serangkaian upacara perkawinan
tersebut biasanya menghadirkan sejumlah simbol-simbol budaya yang
mewakili norma-norma budaya dan oleh karena itulah sering pula dikenal
dengan perkawinan adat7. Contohnya dalam adat masyarakat Kecamatan
Pamenang, Merangin, Jambi, ada beberapa proses perkawinan yang menjadi
adat istiadat masyarakat setempat, diantaranya adalah Duduk Betunang,
Beciri Tuo, Kawin Selaju Berelek, Lahi Kawin dan Kawin Salah Bujang dan
Gadis.
Mengenai tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya
adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan
kehidupan masyarakat adatnya8. Begitupun yang masih dipertahankan oleh
masyarakat Kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi dengan salah satu
4Salim HS dan R.M Sudikno Merto Kusumo, “Pengantar Hukum Perdata Tertulis”,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2003), h. 61 5Wardah Nuroniyah,”Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan
Hukum Positif”,(Yogyakarta: CV Mitra Utama, 2011), h.327 6Wardah Nuroniyah, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan Fiqih dan
Hukum Positif”, (Yogyakarta: CV Mitra Utama, 2011), h. 328 7Saefudin Aep, “Makna Filosofis Tembang Sawer Dalam Upacara Perkawinan Adat”,
(Yogyakarta: 2010), h. 1 8Taufiqurrohman Syahuri, “Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group 2013), h. 64
3
hukum adat perkawinan Salah Bujang dan Gadis dimana perkawinan ini
terjadi apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan ditempat sepi
pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani, yang kemudian
ditangkap atau digerbek oleh masyarakat, lalu pasangan ini dibawa tetua adat
dan wajib dinikahkan dan didenda adat bagi keduanya baik laki-laki maupun
perempuan.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penulis tertarik untuk
membahas lebih lanjut salah satu adat perkawinan yang ada di Kecamatan
Pamenang, Merangin, Jambi yakni Kawin Salah Bujang dan Gadis dalam
skripsi yang berjudul: “Perkawinan Salah Bujang dan Gadis di Kecamatan
Pamenang, Kab. Merangin, Jambi”. Proses penelitian ini merupakan awal
untuk mengetahui permasalahan pada adat kawin tersebut juga dengan
caramengamati serta mencari informasi tentang Kawin Salah Bujang dan
Gadis pada masyarakat setempat.
B. Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Aturan dalam adat pernikahan salah bujang dan gadis yakni
pernikahan yang ditentukan oleh aturan daerah di desa Pamenang Merangin
Jambi yang mengharuskan pasangan muda mudi menikah jika mereka
tertangkap basah sedang berduaan di waktu dan tempat tertentu yang
dianggap tidak lazim, hal ini sangat bertentangan dengan UU Perkawinan
No. 1 tahun 1974 beserta Pasal 2 KHI. Sementara adanya peraturan adat
salah bujang dan gadis itu bertujuan untuk memberikan pembelajaran
kepada seluruh masyarakat untuk tidak melakukan hal tersebut serta untuk
menghindari kejadian yang tidak diinginkan.
2. Batasan Masalah
Agar lingkupnya tidak terlalu luas, maka penulis membatasi
penelitiannya hanya meliputi peraturan Adat pernikahan salah bujang dan
gadis di Desa Pamenang, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, baik
4
menurut peraturan adat tersebut maupun hukum positif yang berlaku di
Indonesia seperti Undang-Undang RI No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah di atas, maka permasalahan yang ada Adalah
sebagai mengenai pernikahan adat salah bujang dan gadis yang terjadi di desa
Pamenang Kabupaten Merangin Provinsi Jambiyang berlaku di Indonesia.
Adapun rumusan masalahnya adalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi faktor terjadinyaperkawinan adat salah bujang dan gadis
di Kec. Pamenang Merangin Jambi?
2. Bagaimana prosesi perkawinan adat salah bujang dan gadis di Kec.
Pamenang Merangin Jambi?
3. Bagaimana keberlanjutan rumah tangga perkawinan adat salah bujang dan
gadis di Kec. Pamenang Merangin Jambi?
D. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan rumusan diatas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan adat salah
bujang dan gadis di Kec. Pamenang, Merangin Jambi.
2. Menjelaskan prosesi pernikahan salah bujang dan gadisdi Kec. Pamenang,
Merangin Jambi.
3. Menjelaskan keberlanjutan rumah tangga dari pasangan yang menikah
dengan cara pernikahansalah bujang dan gadis sesuai dengan aturan adat
yang berlaku di Kec. Pamenang, Merangin, Jambi.
Kegunaan penelitian tersebut adalah:
1. Sebagai bahan kajian dan penelitian lebih lanjut dalam rangka
memperkaya hasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang hukum
Islam.
2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sebuah wacana
keilmuan tentang kawin salah bujang dan gadis pada masyarakat desa
Pamenang, Merangin, Jambi, khususnya dan masyarakat adat pada
umumnya.
5
E. Metode Penulisan dan Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan sosiologis dan pendekatan secara empiris. Kedua pendekatan
tersebut dipilih untuk memaksimalkan ketepatan dan keakuratan kajian
yang diteliti dan proses analisa.
2. Jenis Penelitian
Corak penelitian skripsi ini mengarah pada jenis penelitian
kualitatif. Dimana penulis berusaha mengupas permasalahan-permasalahan
berdasarkan teori secara umum kemudian penulis melakukan penelitian
dengan terjun langsung kelapangan untuk menggali dan meneliti data yang
berkenaan dengan nikahsalah bujang dan gadisdi Kec. Pamenang,
Merangin Jambi.
3. Data dan Sumber Data
Pengumpulan data-data maupun informasi berdasarkan sumber dari
data primer, yakni sesuai dengan hasil wawancara langsung dengan tetua
adat yang berada di Lembaga Adat Masyarakat (LAM) Kabupaten
Merangin dan penduduk Desa Pamenang Merangin Jambi, Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI.Kemudian
setelah mendapatkan data pasangan yang menikah secara adat salah
bujang dan gadis dari Lembaga Adat Masyarakat, penulis mengambil data
dari hasil wawancara dengan pelaku yang melakukan pernikahan tersebut.
Kemudian sumber sekunder yaitu buku-buku, artikel atau tulisan yang
terkait dengan biaya nikah yang berasal dari media cetak maupun
elektronik, untuk mempermudah penjelasan dari pada sumber primer.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam
menghimpun seluruh data dan fakta yang menunjang permasalahan adalah
sebagai berikut:
6
a. Wawancara (Interview)
Wawancara dilakukan terhadap responden-responden yang telah
dipilih sebelumnya, yaitu tokoh masyarakat atau lebih dikenal dengan
tetua adat di Lembaga Adat Masyarakat Kabupaten Merangin dan
penduduk Desa Pamenang Merangin Jambi.
Halini dikerjakan secara sistematis berdasarkan pada tujuan
penyelidikan. Dalam proses wawancara ini, penulis mempersiapkan
terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Hal ini
digunakan untuk mendapatkan bukti yang kuat sebagai pendukung
argumentasi.
b. Dokumentasi
Pengambilan data melalui dokumen tertulis maupun elektronik dari
lembaga/institusi. Dokumen diperlukan untuk mendukung kelengkapan
data yang lain.
c. Observasi
Observasi yang merupakan salah satu teknik pengumpulan data
yang tidak hanya mengukur sikap dari responden (wawancara dan
angket) namun juga dapat digunakan untuk merekam berbagai
fenomena yang terjadi (situasi, kondisi). Teknik ini digunakanuntuk
mempelajari perilaku manusia, proses kerja, gejala-gejala alam yang
terjadi di lingkungan sekitar9.
1. Pengolahan
Dari hasil berbagai penelitian yang dilakukan penulis, penulis
mencobamerangkum dan mengolah dari hasil penelitian tersebut
menjadi sebuahtulisan yang mudah difahami.
2. Analisis Deskriptif
Memusatkan perhatian pada permasalahan yang ada pada
saatpenelitian dilakukan atau permasalahan yang bersifat aktual,
Menggambarkan fakta tentang permasalahan yang diselidiki
sebagaimana adanya.
9Sukandarrumidi, “Metodelogi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula”, ( Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2004), h. 104
7
5. Teknik dan Metode Analisa Data
Penulis menggunakan analisa deskriptif kualitatif, yaitu metode
analisa data yang mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh
dari berbagai sumber dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian,
kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori hukum positif
dan hukum adat yang terkait, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan
untuk menjawab permasalahan yang ada.
F. Review Studi Terdahulu
Dalam penyusunan sebuah skripsi, studi pustaka sangat dibutuhkan
dalam rangka menambah wawasan terhadap masalah yang akan dibahas oleh
penulis dan sebelum melangkah lebih jauh dalam permasalahan ini, penulis
terlebih dahulu meneliti beberapa buku atau karya ilmiah yang berkaitan
dengan permasalahan yang dibahas.Dari hasil penelusuran terhadap literatur
yang membahas tentang perkawinan adat. Adapun skripsi yang terkait dengan
pembahasan perkawinan adat salah bujang gadis adalah:
Skripsi Riyani yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Adat
Lahi Kawin (Studi Kasus di Rejosari, Jambi)” yang dibuat tahun 2011.Skripsi
ini membahas mengenai lahi kawin atau kawin lari yang menjadi salah satu
adat kawin di desa RejosariJambi.
Perkawinan adat salah bujang dan gadis yang terjadi di masyarakat
Pamenang, Merangin, Jambi sangat berbeda dengan pembahasan yang telah
ditulis sebelumnya, karena penelitian yang sangat berbeda tersebut maka adat
yang digunakan tentu berbeda pula. Dengan demikian dari paparan di atas
maka penyusun belum menemukan karya ilmiah yang membahas tentang
“Tinjauan Hukum Positif Terhadap Perkawinan Salah Bujang dan Gadis (Studi
Kasus di Desa Pamenang, Merangin, Jambi)”, maka dari ini penulis mencoba
membahas permasalahan tersebut sesuai dengan kemampuan yang penulis
miliki.
8
G. Kerangka Teori
Pernikahan secara bahasa (etimologi) mempuyai arti
mengumpulkan,menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath‟i).
Dalam istilahbahasa Indonesia,nikah sering disebut dengan “kawin”.
Sedangkan menurutistilah (terminologi), pernikahan atau perkawinan ialah
“ikatan lahir batinantara seorang pria dan seorang wanita dalam sebuah
rumah tangga,berdasarkan kepada tuntunan agama”. Ada juga yang
mengartikan dengan“suatu perjanjian/aqad (ijab-qabul) antara seorang laki-
laki dan seorangperempuan untuk menghalalkan hubungan badaniyah
sebagaimana suami-istriyang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-
rukun yang ditentukan oleh syari’at Islam”10.
Sedangkan menurut hukum adat, perkawinan bukan saja merupakan
soal yang mengenai orang-orang yang bersangkutan (sebagai suami istri),
melainkan juga merupakan kepentingan seluruh keluarga dan bahkan
masyarakat adatpun ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu.Bagi
hukum adat perkawinan itu adalah perbuatan-perbuatan yang tidak hanya
bersifat keduniaan, melainkan juga bersifat kebatinan atau
keagamaan11.Hukum adat sudah seharusnya merupakan salah satu pusat
perhatian dalam studi hukum dan masyarakat. Sebagaimana dipahami, studi
hukum dan masyarakat menghendaki agar pembicaraan hukum itu senantiasa
dikaitkan secara sistematis kepada masyarakat tempat ia berlaku.
Sebagai sebuah sistem yang meliputi segala segi kehidupan manusia,
maka Islam tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan.Ayat-ayat yang
mengandung dan mengatur hubungan sesama manusia, misalnya hubungan
tentang suami dan istri, orang tua dan anak, pemimpin dan rakyat.Hal ini
menunjukkan adanya perhatian Islam terhadap interaksi antar sesama
manusia.Seperti yang telah diketahui bahwa hubungan manusia dengan
manusia itu yang berkembang terus menerus yang kemudian membentuk
masyarakat.
10 Kementrian Agama RI “Modul TOT Kursus Pra Nikah”, (Jakarta: 2010),h. 17 11Syahuri Taufiqurrohman, “Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia”, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group 2013), h. 64
9
Kawin salah bujang dan gadis dalam masyarakat desa Pamenang
merupakan permasalahan yang muncul dalam hukum Islam terhadap hukum
positif yang berlaku di Indonesia.Karena kawin salah bujang dan gadis ini
merupakan perkawian yang pada dasarnya tidak dikehendaki oleh salah satu
atau kedua belah pihak dan perkawinan ini terjadi ketika seorang laki-laki dan
perempuan berdua-duaan ditempat yang dianggap tidak lazim ataupun tempat
sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani, maka
kemudian mereka ditangkap oleh masyarakat, lalu pasangan ini dibawa
ketetua adat dan wajib dinikahkan dan didenda adat bagi keduanya baik laki-
laki maupun perempuan. Karena perkawinan ini pada awalnya dilakukan
secara siri atau rahasia, hal ini dianggap memiliki banyak kerugian pada
pihak perempuan atau istri yang dinikahkan secara siri, juga karena tidak
tercatat di Kantor Urusan Agama pernikahan ini dinilai lemah hukum bila
terjadi sesuatu yang buruk jika menimpa pihak perempuannya.
Perkawinan dalam Islam mempunyai syarat dan rukun, yang apabila
telah terpenuhi maka hukumnya sah, hal ini berbeda dengan pandangan
peraturan perkawinan Indonesia yang menyatakan bahwa perkawinan yang
tidak dicatatkan pada pejabat yang berwenang, maka perkawinan tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum.
Di Indonesia, hukum yang mengatur tata cara pernikahan yang sah
menurut agama Islam dan sah menurut hukum Negara telah diatur dalam
Undang-undang perkawinan nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menyebutkan bahwa “Tiap-tiap pernikahan harus dicatat dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku”12. Ketentuan ini lebih lanjut diperjelas
dalam Bab 11 Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang intinya:
Sebuah pernikahan baru dianggap memiliki kekuatan hukum dihadapan
Undang-undang jika dilaksanakan menurut aturan agama dan telah dicatatkan
oleh pegawai pencatat nikah. Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
“agar terjamin ketertiban bagi masyarakat Islam maka setiap perkawinan
harus dicatat13. Sedangkan berdasarkan konsep konvensional pernikahan
12 Pasal 2 ayat (2) 13 Pasal 5 ayat (1)
10
dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat dan hukum perkawinan. Untuk
pengertian perkawinan adat selanjutnya yang terjadi di desa Pamenang,
Merangin, Jambi akan dijelaskan pada bab III.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh hasil penelitian yang sistematis dan baik, serta
dapat diuraikan secara singkat maka pembahasan dan penelitian di bagi
menjadi beberapa sub-bab, yaitu:
Bab Pertama merupakan latar belakang masalah yang memuat awal
ide bagi penelitian ini, kemudian pokok masalah penelitian, dan dilanjutkan
dengan tujuan dan kegunaan penelitian, serta studi review yang sebagai tolak
ukur penguasaan litelatur dalam pembahasan dan menguraikan persoalan
dalam penelitian ini. Dan bab ini diakhiri dengan sistematika penulisan agar
penulisan ini mudah dipahami.
Bab Kedua menguraikan tentang gambaran umum tentang pengertian
perkawinan, syarat dan rukun perkawinan, hikmah dan tujuan perkawinan
seputar perwalian dan walimah menurut hukum Islam di Indonesia. Pada bab
kedua ini juga merupakan penjelasan awal untuk menunjukkan ketentuan-
ketentuan umum mengenai perkawinan Hukum Positif dan juga Hukum Adat
secara ideal.
Bab Ketiga menjelaskan tentang pemaparan mengenai kawin adat
salah bujang dan gadis serta faktor-faktor terjadinya kawin adat salah bujang
dan gadis dan proses pelaksanaannya. Hal ini dijelaskan untuk mengetahui
bagaimana lokasi penelitian dan bagaimana kawin adat salah bujang dan
gadis menurut masyarakat setempat.
Bab Keempat merupakan jawaban dari permasalahan yang terdapat
dalam proposal skripsi ini. Pada bab ini juga mendeskripsikan tentang kawin
adat salah bujang dan gadis, analisis tentang faktor-faktor terjadinya kawin
adat salah bujang dan gadis serta analisis hukumnya. Analisis pertama
mengenai bagaimana Hukum Islam melihat faktor yang melatarbelakangi
terjadinya kawin adat salah bujang dan gadis tersebut. Analisis yang kedua
11
merupakan bagaimana hukum Islam melihat kawin adat salah bujang dan
gadis sebagai salah satu cara pernikahan.
Bab Kelima bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran-saran serta
dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap
penting.
12
BAB II
PERKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM, HUKUM POSITIF, DAN
HUKUM ADAT
A. Pengertian Perkawinan
1. Pengertian
Secara etimologi, Nikah mempunyai arti mengumpulkan,
menggabungkan, menjodohkan, atau bersenggama (wath’i). Dalam
memaknai hakekat nikah, ada ulama yang menyatakan bahwa pengertian
hakiki dari nikah adalah bersenggama (wath’i) sedangkan pengertian nikah
sebagai aqad merupakan pengertian yang bersifat majazy14. Arti nikah
menurut bahasa Arab ialah bergabung dan berkumpul; dipergunakan juga
dengan arti wata’, sedangkan nikah menurut syara’ ialah akad yang
membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan perempuan tertentu
dan pada waktu aqad mempergunakan lafal “nikah” atau “tazwij” atau
terjemahnya15. Nikah (kawin) menurut Imam Syafi’i ialah hubungan
seksual tetapi menurut arti majazi (mathaporic) atau arti Hukum ialah aqad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri
antara seorang pria dan seorang wanita16.
Sedangkan akad nikah adalah artinya perjanjian untuk mengikat
diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki.
Selain itu menurut pengertian fuqoha, perkawinan adalah akad yang
mengandung ketentuan hukum membolehkan hubungan kelamin dengan
lafadz nikah atau ziwaj yang makna keduanya17.
14Asrorun Ni’am Sholeh, “Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga” (Jakarta:
Paramuda Jakarta, 2008), h. 3 15Dr. Peunoh Daly, “Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2005), h.
104 16M. Idris Ramulyo, S.H. “Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam”,(Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990), h. 1 17Zakiyah Drjat, Ilmu Fiqih Jilid 2, (Yogyakarta: Dana Bakti, 1995), h. 37
12
13
Menurut golangan malikiyah, nikah adalah yang mengandung
ketentuan hukum semata-mata untuk membolehkan watha’ bersenang-
senang dan menikmati yang ada pada wanita yang boleh menikah
dengannya18.
Menurut hanafiyah, kawin adalah akad yang memberi faedah untuk
melakukan mut’ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki
untuk beristimta’ dengan seorang wanita dengan seorang wanita selama
tidak faktor yang menghalangi sahnya perkawinan tersebut secara sya’i.
Selain itu, menurut Hanabilah kawin adalah akad yang mengunakan lafaz
nikah yang bermakna tazwij dengan maksud mengambil manfaat untuk
bersenang-senang19.
Golongan Ulama syafi’yah berpendapat bahwa kata nikah itu
berarti akad dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapat juga untuk
hubungan kelamin, namun dalam arti sebenarnya (arti majazi).
Penggunaan kata untuk bukan arti sebenarnya itu memerlukan penjelasan
diluar kata itu sendiri. Dengan maksud hakikat dari akad itu bila
dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu
boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut berlangsung di antara
keduanya tidak boleh bergaul20.
Ulama Hambaliyyah, menyebutkan bahwa perkawinan adalah akad
dengan mengunakan kata nikah atau tazwij untuk mendapatkan kepuasan.
Artinya, seorang laki-laki mendapat kepuasan dari seorang perempuan dan
sebaliknya.
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi
diantaranya adalah:
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang ditetapkan syara’
untuk membolehkan bersenang-senang atara laki-laki dengan perempuan
dan menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki’’.
18Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, (Bengkulu: Dina Utama Semarang,1993), h.3. 19Abdurrahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Mudzahib al –Arba’ah, (Dar Ihya al-Turas al-Arabi,
1986), Juz IV, h. 3. 20Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencama, 2007), h. 37.
14
Definisi yang diberikan oleh ulama-ulama fikih diatas bernuansa
biologis, nikah hanya dilihat sebagai akad yang menyebaab kehalalan
melakukan persetubuhan. Hal ini semakin tegas karna menurut al-Azhari
makna asal kata nikah bagi orang arab adalah al-wat’ (persetubuhan)21.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal
1) perkawian itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan
Pancasila dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/ jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1/1974,
menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan
Pasal 2 ayat (2), mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku22.
Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 (Pasal
1) perkawian itu ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Pertimbangannya ialah sebagai negara yang berdasarkan
Pancasila dimana Sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa,
maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur
lahir/ jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang
penting.
21Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974 sampai KHI, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2006), h. 39-40.
22Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.
15
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 1/1974,
menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan
Pasal 2 ayat (2), mengatur bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku23.
2. Tujuan Melakukan Perkawinan
Tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan
rumah tangga yang damai dan teratur24.Selain ituada pula pendapat yang
mengatakan bahwa tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi
kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk
membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam
menjalani hidupnya di dunia ini, juga mencegah perzinahan, agar tercipta
ketenangan dan ketentraman keluarga dan masyarakat25.
Sedangkan tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi
tuntutan hajat tabiat kemanusiaan, berhubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia
dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang
sah dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah
diatur oleh Syari’ah26.
Adapun tujuan perkawinan antara lain sebagai berikut:
1. Mendapatkan Keturunan
Naluri manusia cenderung untuk mempunyai keturunan yang sah,
keabsahan anak keturunan yang yang diakui oleh dirinya sendiri,
masyarakat, negara dan kebenaran keyakinan agama islam memberikan
jalan untuk itu. Agama berikan jalan hidup manusia agar hidup bahagia
dunia dan akhirat. Kebahagian dunia dan akhirat itu dicapai dengan hidup
23Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan. 24 Yunus Mahmud, “Hukum Perkawinan Dalam Islam”, (Jakarta: CV Al-Hidayaht,
1964), h. 26. 25 Masdar Helmi, Drs. H, “Islam dan Keluarga Berencana”, (Semarang: CV Thoha
Saputra, Cet. Ke-2, 1969) h. 26. 26M. Idris Ramulyo, S.H. “Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam”,(Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990), h. 12.
16
berbakti kepada Allah SWT secara sendiri-sendiri, berkeluarga dan
bermasyarakat. Kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain
ditentukan oleh kehadiran anak-anak yang merupakan buah hati dan
belahan jiwa. Banyak orang yang hidup berumah tangga kandas karena
tidak mendapatkan karunia anak. Sebagai mana yang tercantum dalam
surat Al-furqon ayat 74 berbunyi:
إ ین ق ت م ل نا ل ل ع اج و ین ع ة أ ر نا ق یات ر ذ نا و اج و ز أ ن نا م ل بنا ھب ون ر ول ق ی ین ذ ال او ام م
Artinya: “ Dan orang-orang yang berkata: “ ya tuhan kami
anugrahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami),....(Q.S.Al-Furqan/25/74).
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
Manusia diciptakan oleh allah SWT mempunyao untuk
berhubungan antara pria dan wanita, sebagaimana firman Allah SWT pada
surat Al-Baqarah ayat 187 yang menyatakan:
هللا م ل ع ھن اس ل ب ل م ت ن أ و م ك اس ل ب ل ھن م ك ائ س ن ى ل إ ث ف الر ام ی الص ة ل ی ل م ك ل ل ح أ م ت ن ك م ك ن أ
ف ن أ ون تان متخ ك ل هللا تب ا ك وا م ابتغ و وھن ر اش ب ن اآل ف م ك ن ا ع ف ع و م یك ل ع تاب ف م ك ..س
Artinya:“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun
adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak
dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah
apa yang telah ditetapkan Allah untukmu…(Q.S.Al-Baqarah:187)
Disamping perkawinan itu untuk mengatur naluri seksual juga
untuk menyalurkan cinta kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara
harmonis dan bertanggung jawab. Namun, penyaluran cinta dan kasih
sayang yang diluar perkawinan tidak akan mengsilkan keharmonisan dan
17
tanggung jawab yang layak, karna didasarkan atas kebebasan yang tidak
terkait oleh suatu norma27.
3. Memenuhi pangilan agama, memelihara diri dari kerusakan dan
kejahatan
Orang yang tidak melakukan penyaluran dengan perkawinan akan
mengalami ketikwajaran dan dapat menimbulkan kerusakan, karena
manusia mempunyai nafsu sedangkan nafsu itu cenderung untuk mengajak
kepada perbutan yang tidak baik. Sebagaiman diyatakan dalam Al-Qur’an
surat yusuf ayat 53:
ة ار م أل س ف الن ن ي إ س ئ نف ر ب ا أ م یم و ح ور ر ف بي غ ر ن بي إ ر م ح ا ر م ال إ وء الس ب
Artinya: “....sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan...(Q.S. Yusuf :53).
4. Menumbuhkan kesunguhan untuk bertanggung jawab menerima hak serta
hak dan kewajiban, juga bersungguh untuk memperoleh harta dan
kekayaan yang halal.
5. Membangun rumah tangga yang membentuk masyarakat yang tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.
Dalam hidup manusia mempunyai memerlukan ketenangan dan
ketentraman hidup. Ketenangan dan ketentraman untuk mencapai
kebahagian yang mana dapat dicapai dengan adanya ketenangan dan
ketentraman anggota keluarga dalam keluarganya. Ketenangan dan
ketentraman kelurga tergantung dari keberhasilan pembinaan yang
harmonis antara suami istri dalam suatu rumah tangga.
Selain itu, Allah menjadikan keluarga yang dibina dengan
perkawinan antara suami istri dalam membentuk keluarga dan ketentraman
serta mengembangkan cinta dan kasih sayang sesama warganya.
Sebagaimana yang tertera dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21, yakni:
م ح ر و ة د و م م ینك ب ل ع ج ا و یھ ل وا إ ن ك تس ا ل اج و ز أ م ك س ف ن أ ن م م ك ق ل ل خ ن أ ھ ات آی ن م ل و في ذ ن إ ات ة ی ك آل
ون ر ك تف ی م و ق . ل
27Abdur Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h. 28.
18
Artinya: “ Dan diatara tanda-tanda kekuasaan-Nya dia
menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa terntram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir’’(Q.S. Ar-
Rum: 21).
3. Hikmah Melakukan Perkawinan
Allah menjadikan makhlukNya berpasang-pasangan, menajdikan
manusia laki-laki dan perempuan menjadikan hewan jantan dan betina
begitu pula tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah
supaya manusia itu hidup berpasang-pasangan, hidup suami isteri
membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah
diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tak mungkin putus dan
diputuskan, ialah ikatan aqad nikah atau ijab kabul perkawinan. Dari itu
manusia akan melahirkan keturunan yang sah dalam masyarakat.
Kemudian keturunan mereka itu akan membangun pula rumah tangga
yang baru dan keluarga yang baru dan begitulah seterusnya. Dari beberapa
keluarga dan rumah tangga itu berdirilah kampung, berdirilah desa, dan
dari beberapa desa lahirlah negeri dan dari negeri lahirlah negara. Itulah
hikamhnya Allah menajdikan Adam jadi khalifah di muka bumi ini,
sehingga anak-anaknya berkembang biak meramaikan bumi yang luas ini.
Agama Islam menetapkan bahwa untuk membangun rumah tangga
yang damai dan teratur itu haruslah dengan perkawinan dan aqad nikah
yang sah, serta diketahui sekurang-kurangnya oleh dua orang saksi,
bahkan dianjurkan supaya diumumkan kepada tetangga dan karib kerabat
dengan mengadakan pesta perkawinan (walimah). Dengan demikian
terpeliharalah keturunan tiap-tiap keluarga dan mengenal tiap-tiap anak
dan bapaknya. Lain dari pada itu kehidupan suami-istri dengan
keturunannya turun temurun adalah berhubung rapat dan bersangkut paut
laksa rantai yang sama kuat dan tak ada putusnya ketika anak masih kecil
dan dipelihra oleh orang tuanya, bila anak sudah dewasa dan orang tuanya
19
sudah lemah dan tak sangup berusaha, maka dijaga dan dipelihara pula
oleh anaknya. Begitulah seterusnya turun temurun, sehingga mereka hidup
agar sehat dan makmur.
4. Hukum Perkawinan
Hukum melakukan perkawinan menurut jumhur ulama bahwa
perkawinan itu hukumnya adalah sunah. Golongan zhahiriyah berpendapat
perkawinan itu hukumnya wajib bagi sebagian orang, sunah untuk
sebahagian lainnya dan mubah untuk golongan orang yang lain28.
Selain itu, menurut al-jazary bahwa sesuai dengan keadaan orang
yang melakukan perkawinan, hukum perkawinan berlaku untuk hukum-
hukum syara’ yang lima, adakalnya wajib, haram, makruh, sunnah
(mandub) dan mubah29.
Ulama syafi’yah mengatakan bahwa hukum asal nikah adalah
mubah, disamping ada yang sunnah, wajib, wajib, haram, dan makruh30.
Terlepas dari pendapat imam mazhab, berdasarkan nash-nash baik
Al-Qur’an maupun sunnah (Al-Hadist) Islam sangat menganjurkan kaum
muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan. Namun, kalau
dilihat dari segi kondisi orang yang melaksanakan serta tujuan
melaksanakannya. Maka melakukan perkawinan itu dapat dikenankan
hukum wajib, sunnah, haram, mataupun makruh ataupun mubah.
1. Melakukan perkawinan yang wajib
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
menikah dan dikwatirkan akan tergelincir pada perbutan zina seandainya
tidak menikah, maka hukumnya wajib. Hai ini didasarkan pada pemikiran
hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang
terlarang31.
28Ibn u Rusyd, Bidayatul al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, (Beirut: Dar al-Fikr), jilid
2, h. 2. 29Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al Fiqh ‘ala al-madzahib al-Arba’ah, (Mesir: Dar al-Irsyad),
jilid VII, h. 4. 30Abdurrahman al-Jaziry, Kitab al Fiqh ‘ala al-madzahib al-Arba’ah h. 6. 31Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 18-19.
20
Ulama malikiyyah menyatakan bahwa menikah itu wajib bagi
orang yang meyukainya dan takut dirinya terjerumus ke jurang perzinaan
jika dia tidak menikah sedangkan berpuasa iya tidak sangup.
2. Melakukan perkawinan yang sunnah
Bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk
melakukan perkawinan, tetapi kalu tidak menikah tidak dikhawatirkan
akan berbuat zina, maka hukamnya adalah sunnah. Sekalipun demikian
perkawinan adalah lebih baik baginya, karna Rasululah melarang kita
untuk hidup sendirian tanpa menikah.
Bagi perempuan yang belum mempunyai keinginan untuk menikah
tetepi butuh perlindungan dan nafkah dari seorang suami maka hukumnya
sunnah baginya.
3. Melakukan perkawinan yang haram
Bagi orang yang tidak mempunyai kemauan dan tidak mempuyai
kemampuan serta tanggung jawab untuk melakukan keawajiban-kewajiban
rumah tanggga. Sehingga apabila melangsungkan perkawinan akan
terlantar dirinya dan istrinya, maka hukumnya adalah haram.
Al-Qurtubi, berpendapat bahwa apabila seorang calon suami
menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar
mahar (mas kawin) untuk istrinya atau kewajiban lain yang menjadi hak
istri, haram untuk mengawininya.
4. Melakukan perkawian yang makruh
Bagi orang yang menpunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan
juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak
memunkinkan dirinya tergelincir dari perbuatan zina sekiranya tidak
kawin32. Hanya orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk
dapat memenuhi kewajiban suami istri yang baik.
5. Melakukan perkawinan yang mubah
Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi
apabila tidak melakukannya tidak dikhawatirkan akan berbuat zina dan
apabila melakukannya juga tidak melantarkan istri. Perkawinan tersebut
32Abdur Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 21.
21
hanya didasarkan untuk memenuhi kesenngan bukan debgan tujuan
menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga sejahtera. Hukum
mubah ini juga dutujukan bagi orang yang antara pendorong dan
penghambat menikah itu sama, sehingga menimbulkan keraguai
mempunyain orang yang melakukan perkawinan, seperti mempunyai
keinginan tetapi belum mempunyai kemampuan, mempuyai kemauan
untuk melakukannya tetapi belim mempunyai kemauan yang kuat.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan
Pernikahan merupakan sunnah nabi SAW yang dapat membentuk
keluarga yangsakinah, mawaddah dan warahmahserta menjaga seorang
laki-laki dan perempuan dari hubungan yang dilarang oleh agama, serta
mewujudkan hak dan kewajibannya sebagai suami-istri dalam keluarga.
Untuk mewujudkan perkawinan yang sah harus memenuhi beberapa unsur
pokok yang harus dipenuhi seperti rukun dan syarat perkawinan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi rukun pernikahan itu
ialah: calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.
Sedangkan sepakat para ulama bahwa aqad nikah itu baru terjadi setelah
dipenuhinya rukun-rukun dan syarat nikah, yaitu:
1. Adanya calon penganten laki-laki dan calon penganten perempuan,
2. Calon penganten itu kedua-duanya sudah dewasa dan berakal (aqil
baligh),
3. Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh ada
paksaan),
4. Harus ada wali bagi calon penganten perempuan,
5. Harus ada mahar (mas kawin) dari calon penganten laki-laki yang
diberikan setelah resmi menjadi suami-istri kepada istrinya,
6. Harus dihadiri sekurang-kurangnya dua orang saksi yang adil dan
laki-laki Islam merdeka,
7. Harus ada upacara ijab qabul. Iajb ialah penawaran dari pihak calon
istri atau walinya atau wakilnya dan qabul penerimaan oleh calon
suami dengan menyebutkan besarna mahar (mas kawin) yang
22
diberikan; setelah proses ijab qabul itu resmilah terjadinya
perkawinan (aqad nikah) antara seorang wanita dengan seorang pria
membentuk rumah tangga (keluarga) yang bahagia kekal dan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,
8. Sebagai tanda bahwa telah resmi terjadinya aqad nikah (perkawinan)
maka seyogyanya diadakan walimah (pesta pernikahan) walaupun
hanya sekedar minum teh atau sepotong kaki kambing untuk bahan
sop,
9. Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, sesuai dengan analogi
Q.II : 282 harus diadakan ‘ilanun nikah (pendaftaran nikah), kepada
Pejabat Pencatat nikah, sesuai pula dengan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974
Pendaftaran ini penting pembuktian bagi generasi berikutnya, baik
tentang keturunan berupa anak, dan cicit maupun pembuktian tentang sahnya
perkawinan kelak33. Karena perkawinan adalah sah, apabila diperlakukan
menurut hukum Islam masing-masing agamanya dan kepercayaan itu. Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku34.
Bagi golongan orang-orang Islam harus diperlakukan Hukum
Perkawinan Islam seperti yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, tentang perkawinan tersebut dan sahnya perkawinan menurut
Hukum Islam harus memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat sebagai berikut:
a. Syarat Umum
Perkawinan itu tidak dilakukan yang bertentangan dengan larangan-
larangan termaktub dalam ketentuan Q.II ayat 221 yaitu larangan
perkawinan karena perbedaan agama dengan pengecualiannya dalam surah
Al-Maidah ayat 5 (q.v :5), yaitu khusus orang-orang laki-laki Islam boleh
mengawini perempuan-perempuan ahli Kitab, seperti Yahudi dan Nasrani.
33 M. Idris Ramulyo, S.H. “Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990), h. 48. 34Asnawi Moch. “Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI Tentang perkawinan Serta
Peraturan Pelaksanaan”, (Kudus: Penerbit Menara, 1975), h. 232.
23
Kemudian tidak bertentangan dengan larangan-larangan tersebut dalam
Al-Quranul Karim surah Annisa ayat 22,23, dan 24.
b. Syarat Khusus
b.1. Adanya calon penganten laki-laki dan calon penganten perempuan,
b.2.Kedua calon mempelai itu haruslah Islam, aqil baligh (dewasa da
berakal), sehat baik rohani maupun jasmani,
c. Harus ada persetujuan bebas antara kedua calon penganten, jadi tidak boleh
perkawinan itu dipaksakan,
d. Harus ada wali nikah,
e. Harus ada dua (2) orang saksi, Islam, dewasa dan adil,
f. Bayarlah Mahar (mas kawin)
g. Sebagai proses terakhir dan lanjutan dari aqad nikah ialah pernyataan ijab
dan qabul.Itulah syarat-syarat dan rukun-rukun untuk syahnya perkawinan
menurut hukum Islam35.
C. Hak dan Kewajiban Suami dan Istri
Tata-cara Adat perkawinan salah bujang dan gadis masih ada dan ditaati
oleh masyarakat Kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Mereka beranggapan
bahwa tata-cara adat perkawinan ini sah menurut norma sosial yang berlaku
pada masyarakat. Karena keberadaan aturan adat tersebut diyakini untuk
menjaga kemaslahatan atau kebaikan daerah setempat.
Adapun keberlanjutan rumah tangga bagi pasangan yang menikah secara
adat salah bujang dan gadis ini sama seperti masyarakat yang menikah pada
umumnya. Yakni, mereka yang menikah secara adat salah bujang dan gadis
memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagai pasangan suami istri pada
umumnya yang apabila akad nikah telah berlangsung dan memenuhi syarat
rukunnya, maka menimbulkan akibat hukum. Dengan demikian, akad tersebut
juga menimbulkan hak serta kewajiban selaku suami istri dalam keluarga, yang
meliputi: hak suami istri secara bersama, hak suami atas istri dan hak istri
suami. Termasuk di dalamnya adab suami terhadap istrinya seperti yang telah
35M. Idris Ramulyo, S.H. “Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974 Dari Segi
Hukum Perkawinan Islam”, h. 52.
24
dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Hak dan kewajiban tersebut adalah seperti
berikut36:
1. Hak Bersama Suami Istri
a. Suami dan istri dihalalkan mengadakan hubungan seksual. Perbuatan
ini merupakan kebutuhan suami istri yang dihalalkan secara timbal
balik. Suami halal melakukan apa saja terhadap istrinya, demikian
pula bagi istri terhadap suaminya. Mengadakan kenikmatan hubungan
merupakan hak bagi suami istri secara bersamaan.
b. Haram melakukan pernikahan, artinya baik suami maupun istri tidak
boleh melakukan pernikahan dengan saudaranya masing-masing.
c. Dengan adanya ikatan pernikahan, kedua belah pihak saling mewarisi
apabila salah seorang diantara keduanya telah meninggal meskipun
belum bersetubuh.
d. Anak mempunyai nasab yang jelas
e. Kedua pihak wajib bertingkah laku dengan baik sehingga dapat
melahirkan kemesraan dalam kedamaian hidup.
2. Kewajiban Suami Istri
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa, kewajiban suami istri,
secara rinci adalah sebagai berikut37:
a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah
tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang menjadi sendi dasar
dari susunan masyarakat.
b. Suami istri wajib salling mencintai, menghormati, setia, dan memberi
bantuan lahir batin.
c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-
anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani, maupun
kecerdasannya, serta pendidikan agamanya.
36Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap”, (Jakarta: Rajawali Pers.,2009), h. 153. 37Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap”, h. 155.
25
d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan agama.
1. Hak Suami Atas Istri
Diantara beberapa hak suami terhadap istrinya, yang paling pokok adalah38:
a. Ditaati dalam hal-hal yang tidak maksiat,
b. Istri menjaga dirinya sendiri dan harta suaminya,
c. Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan
suami,
d. Tidak bermuka masam dihadapan suami,
e. Tidak menunjukkan keadaan yang tidak disenangi suami.
2. Kewajiban Suami Terhadap Istri
Sesuai dengan penghasilannya suami mempunyai kewajiban terhadap istri,
yaitu39:
a. Memberi nafkah, pakaian dan tempat tinggal,
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan
anak,
c. Biaya pendidikan bagi anak.
3. Kewajiban Istri Terhadap Suami
Diantara beberapa kewajiban seorang istri terhadap suami adalah sebagai
berikut40:
a. Taat dan patuh terhadap suami,
b. Pandai mengambil hati suami melalui makanan dan minuman,
c. Mengatur rumah dengan baik,
d. Menghormati keluarga suami,
38Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap”, h. 156. 39Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap”, h. 157. 40Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap”, h. 157.
26
e. Bersikap sopan penuh senyum kepada suami,
f. Tidak mempersulit suami dan selalu mendorong suami untuk maju,
g. Ridho dan syukur terhadap apa yang diberikan suami,
h. Selalu berhemat dan suka menabung,
i. Selalu berhias bersolek untuk atau dihadapan suami
j. Jangan selalu cemburu buta.
Jika suami sama-sama menjalankan tanggung jawabnya masing-
masing, maka akan terwujudlah ketentraman dan ketenangan hati sehingga
sempurnalah kebahagiaan hidup berumah tangga. Dengan demikian, tujuan
hidup bekeluarga akan terwujud sesuai dengan tuntunan agama, yaitu
sakinah mawaddah dan rahmah41.
D. EKSISTENSI PERKAWINAN ADAT
a. Definisi Adat
Kata ‘’adat’’ Sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang berarti
kebiasaan. Pendapat lain mengatakan, bahwa adat sebenarnya berasal dari
bahasa Sansekerta ‘a’’ (berarti’’bukan’’) dan ‘’dato’’ (yang artinya sifat
‘’kebendaan’’) Dengan demikian, maka adat sebenarnya berarti sifat
immateril :artinya, adat menyankut hal-hal yang berkaitan dengan sistim
kepercayaan42. Hukum adat Indonesia tidak hanya terbatas pada wilayah
Republik Indonesia, akan tetapi sampai pada kepulauan Nusantara.
b. Azas-Azas Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata berarti suatu
ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan isteri
untuk bermaksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina
kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan
hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari
pihak suami43. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan
41 Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih Nikah
Lengkap”, h. 158 42 Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH., MA “Hukum Adat Indonesia”, (Jakarta: Rajawali,
1986), h. 83. 43Hilman Hadikusuma, SH.“HukumPerkawinan Adat”, (Bandung: Penerbit Alumni,1983),
h. 70.
27
kekerabatan untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan
kekerabatan yang rukun dan damai.
Dengan terjadinya perkawinan, maka diharapkan agar dari
perkawinan itu didapat keturunan yang akan menjadi penerus silsilah
orang tua dan kerabat, menurut garis ayah atau garis ibu ataupun garis
orang tua. Adanya silsilah yang menggambarkan kedudukan seseorang
sebagai anggota kerabat, adalah merupakan barometer dari asal-usul
keturunan seseorang yang baik dan teratur.
Selanjutnya sehubungan dengan azas- azas perkawinan yang dianut
oleh UU No. 1/1974, maka azas-azas perkawinan menurut hukum adat
adalah sebagai dibawah ini:
a. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan
hubungan kekerabatan yang rukun dan damai, bahagia dan kekal.
b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama
dan atau kepercayaan, tetapi juga harus mendapat pengakuan dari
pada anggota kerabat.
c. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa
wanita sebagai isteri yang kedudukannya masing-masing ditentukan
menurut hukum adat setempat.
d. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota
kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau isteri
yang tidak diakui masyarakat adat.
e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup
umur atau masih anak-anak. Begitu pula walaupun sudah cukup umur
perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan kerabat
f. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak dibolehkan.
Perceraian antara suami dan isteri dapat berakibat pecahnya hubungan
kekerabatan antara dua pihak.
g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri-isteri berdasarkan
ketentuan hukum adat yang berlaku, ada isteri yang berkedudukan
sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan ibu rumah tangga.
28
Dengan telah berlakunya UU No. 1 tahun 1974 diharapkan agar
masyarakat adat akan dapat menyesuaikan hukum adatnya dengan undang-
undang tersebut. Tetapi sejauh mana masyarakat akan dapat menyesuaikan
dirinya tergantung dari pada perkembangan masyarakat adat itu sendiri,
dan kesadaran hukumnya. Karena apa yang menjadi jiwa perundang-
undangan belum tentu seuai dengan alam fikiran masyarakat. Karena
menurut hukum adat perkawinan itu merupakan urusan kerabat, urusan
keluarga, urusan masyarakat, urusan derajat dan urusan pribadi, satu sama
lain dalam hubungan yang sangat berbeda-beda44.
c. Hukum Adat di Kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi
Adapun eksistensi perkawinan adat yang terjadi di Kecamatan
Pamenang, Merangin, Jambi, itu diatur oleh Lembaga Adat Masyarakat
(LAM), yang memiliki arti dan fungsi sebagai berikut:
1. Pengertian Lembaga Adat
Lembaga adat merupakan kata yang berasal dari gabungan
antara kata lembaga dan kata adat. Kata lembaga dalam bahasa Inggris
disebut dengan institution yang berarti pendirian, lembaga, adat dan
kebiasaan. Dari pengertian literatur tersebut, lembaga dapat diartikan
sebagai sebuah istilah yang menunjukkan kepada pola perilaku manusia
yang mapan terdiri dari interaksi sosial yang memiliki struktur dalam
suatu kerangka nilai yang relevan. Sehingga lembaga adat adalah pola
perilaku masyarakat adat yang mapan yang terdiri dari interaksi sosial
yang memiliki struktur dalam suatu kerangka nilai adat yang relevan.
Menurut ilmu budaya, lembaga adat diartikan sebagai suatu bentuk
organisasi adat yang tersusun tetap atas pola-pola kelakuan, peranan-
peranan, dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu,
mempunyai otoritas formal dan sanksi hukum adat guna tercapainya
kebutuhan-kebutuhan dasar.
Sedangkan menurut pengertian lainnya, lembaga adat adalah
suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu
44 Mr. B Ter Haar Bzn diterjemahkan oleh Soebakti Pesponoto “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat”, (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013) h. 159.
29
masyarakat hukum adat tertentu mempunyai wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan
mengurus serta menyelesaikan hal- hal yang berkaitan dengan adat.
Kemudian yang dimaksud dengan lembaga adat menurut Peraturan
Daerah Kabupaten Kerinci, Nomor 23 Tahun 2007 tentang lembaga
adat ialah lembaga kemasyarakatan yang dibentuk untuk membantu
Pemerintah Daerah dan merupakan mitra dalam memberdayakan,
melestarikan dan mengembangkan adat istiadat yang dapat mendukung
pembangunan.
Pengertian lembaga adat menurut Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga
Kemasyarakatan, Lembaga Adat adalah Lembaga Kemasyarakatan baik
yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan
berkembang di dalam sejarah masyarakat atau dalam suatu masyarakat
hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta
kekayaan di dalam hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang
untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan
kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan
hukum adat yang berlaku.
Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
lembaga adat adalah suatu organisasi atau lembaga masyarakat yang
dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang dimaksudkan
untuk membantu pemerintah daerah dan menjadi mitra pemerintah
daerah dalam memberdayakan, melestarikan dan mengembangkan adat
istiadat yang dapat membangun pembangunan suatu daerah tersebut.
2. Fungsi Lembaga Adat
Lembaga Adat berfungsi bersama pemerintah merencanakan,
mengarahkan, mensinergikan program pembangunan agar sesuai
dengan tata nilai adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang
berkembang dalam masyarakat demi terwujudnya keselarasan,
keserasian, keseimbangan, keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, Lembaga adat berfungsi sebagai alat kontrol keamanan,
30
ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat, baik preventif
maupun represif, antara lain45:
a. Menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan,
b. Penengah (Hakim Perdamaian) mendamaikan sengketa yang timbul
di masyarakat.
Kemudian, lembaga adat juga memiliki fungsi lain yaitu:
a. Membantu pemerintah dalam kelancaran dan pelaksanaan
pembangunan di segala bidang terutama dalam bidang keagamaan,
kebudayaan dan kemasyarakatan,
b. Melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya
c. Memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal
yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial kepadatan
dan keagamaan.
d. Membina dan mengembangkan nilai-nilai adat dalam rangka
memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
nasional pada umumnya dan kebudayaan adat khususnya.
e. Menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk
kesejahteraan masyarakat desa adat.
3. Wewenang Lembaga Adat
Adat Lembaga adat memiliki wewenang yang meliputi46 :
a. Mewakili masyarakat adat dalam pengurusan kepentingan
masyarakat adat tersebut.
b. Mengelola hak-hak dan/atau harta kekayaan adat untuk
meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat ke arah yang
lebih baik.
c. Menyelesaikan perselisihan yang menyangkut perkara adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat sepanjang penyelesaiannya
tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
45Aulia Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, (Jambi: Gelar Depati Muaro
Langkap, 2015) h. 28.
46Aulia Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, h. 30.
31
d. Memusyawarahkan berbagai hal yang menyangkut masalah-
masalah adat dan agama untuk kepentingan desa adat.
e. Sebagai penengah dalam kasus-kasus adat yang tidak dapat di
selesaikan pada tingkat desa
f. Membantu penyelenggaraan upacara keagamaan di kecamatan,
kabupaten/ kota desa adat tersebut berada.
4. Tugas dan Kewajiban Lembaga Adat
Lembaga Adat mempunyai tugas dan kewajiban yaitu :
a. Menjadi fasilitator dan mediator dalam penyelesaian perselisihan
yang menyangkut adat istiadat dan kebiasaan masyarakat.
b. Memberdayakan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya
budaya daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari budaya
nasional.
c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta
obyektif antara Ketua Adat, Pemangku Adat, Pemuka Adat dengan
Aparat Pemerintah pada semua tingkatan pemerintahan di
Kabupaten daerah adat tersebut.
d. Membantu kelancaran roda pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan dan/atau harta kekayaan lembaga adat dengan tetap
memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat.
e. Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat
memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama
pemerintah desa/kelurahan dalam pelaksanaan pembangunan yang
lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan
demokratis.
f. Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya
kebinekaan masyarakat adat dalam rangka memperkokoh persatuan
dan kesatuan bangsa.
g. Membina dan melestarikan budaya dan adat istiadat serta hubungan
antar tokoh adat dengan Pemerintah Desa dan Lurah.
h. Mengayomi adat istiadat
32
i. Memberikan saran usul dan pendapat ke berbagai pihak
perorangan, kelompok/lembaga maupun pemerintah tentang
masalah adat
j. Melaksanakan keputusan-keputusan paruman dengan aturan yang
di tetapkan
k. Membantu penyuratan awig-awig
l. Melaksanakan penyuluhan adat istiadat secara menyeluruh.
5. Pembinaan Lembaga Adat
Pembinaan desa adat dapat dilaksanakan dengan pola
melaksanakan ceramah-ceramah pembinaan desa adat, penyuluhan,
penyuratan desa adat pada setiap tahunnya, yang pada dasarnya
bertujuan untuk mencapai, melestarikan kesejahteraan masyarakat,
dan mewujudkan hubungan manusia dengan manusia sesama makhluk
ciptaan Tuhan. Selain itu pembinaan lembaga adat sebagai usaha
melestarikan adat istiadat serta memperkaya khasanah kebudayaan
masyarakat, Aparat Pemerintah pada semua tingkatan mempunyai
kewajiban untuk membina dan mengembangkan adat istiadat yang
hidup dan bermanfaat dalam pembangunan dan ketahanan nasional47.
6. Pembiayaan Lembaga Adat
Dana pembinaan terhadap Lembaga Adat pada semua
tingkatan, disediakan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN), Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Propinsi,
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten/Kota, Berta
sumber-sumber lainnya yang tidak mengikat48.
47Aulia Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, h. 43. 48Aulia Tasman, Membongkar Adat Lamo Pusako Usang, h. 89.
33
33
BAB III
PERKAWINAN ADAT SALAH BUJANG DAN GADIS DI KECAMATAN
PAMENANG KABUPATEN MERANGIN PROPINSI JAMBI
A. Pengertian Perkawinan Adat Masyarakat Pamenang Kabupaten
Merangin, Jambi
Perkawinan adat merupakan perkawinan yang sesuai dengan hukum
adat yang berlaku, perkawinan adat tersebut mengikuti aturan-aturan hukum
adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran,
upacara perkawinan dan putusnya perkawinan. Aturan-aturan hukum adat
disetiap daerah berbeda-beda, dikarenakan sifat kemasyarakatan yang
berbeda pula. Di samping itu juga dikarenakan kemajuan zaman, jadi
walaupun sudah berlaku undang-undang perkawinan yang bersifat nasional
yang berlaku untuk seluruh warga Indonesia, namun diberbagai daerah dan
berbagai golongan masyarakat juga masih berpegang pada hukum adat,
apalagi undang-undang hanya mengatur hal-hal yang bersifat umum, tidak
mengatur hal-hal khusus daerah tersebut.
Perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk
mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan
masyarakat adatnya. Mengenai batas umur perkawinan, hukum adat tidak
mengaturnya, oleh karna itu diperbolehkan perkawinan anak yang masih
dibawah umur, meskipun dalam hal ini keduanya baru bisa hidup bersama
sebagai suami istri setelah menjadi baliq ataupun dewasa.
Pada umumnya suatu perkawinan adat didahului dengan pertunangan,
yang dimaksud pertunangan ialah hubungan hukum yang dilakukan antara
orang tua pihak laki-laki dengan orang tua pihak perempuan untuk maksud
megikat perkawinan anak-anak mereka dengan jalan peminangan.
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya di kecamatan Pamenang
ada lima macam tata-cara perkawinan.
a. Duduk betunang,
b. Beciri tuo,
c. Kawin selaju berelek,
34
d. Lahi kawin,
e. Kawin salah bujang gadis,
Hukum adat merupakan hukum yang mengatur terutama tingkah laku
manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan
keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di
masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota
masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan
yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam
keputusan-keputusan para penguasa adat yaitu mereka yang mempunyai
kewajiban dan berkuasa memberi keputusan dalam masyarakat adat itu, ialah
yang terdiri dari lurah, penghulu agama, pembantu lurah, wali tanah, kepala
adat dan hakim49.
Hukum adat Indonesia sudah bersemayam dalam perasaan hati nurani
masyarakatnya. Dalam wilayah Indonesia yang sangat luas ini, hukum adat
tumbuh, dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial
dan tata tertib hukum diantara manusia, yang sama bergaul di dalam suatu
masyarakat, supaya dapat dihindarkan segala bencana dan bahaya yang
mungkin atau telah mengancam. Ketertiban yang dipertahankan oleh hukum
adat itu baik bersifat batiniah maupun jasmaniah, kelihatan dan kelihatan,
tetapi diyakini dan dipercayai sejak kecil sampai berkubur baur dengan tanah
kembali.
B. Macam-Macam Perkawinan Adat di Desa Pamenang Kabupaten
Merangin, Jambi
Dalam melakukan pernikahan antara masyarakat satu dengan yang
lainnya tidaklah sama, hal ini dikarenakan mereka mempunyai adat dan
kebiasaan sendiri. Di masyarakat Kecamatan Pamenang ada lima macam tata-
cara perkawinan: Duduk Betunang, kedua Beciri Tuo, ketiga Kawin Selaju
Berelek, keempat Kawin Salah Bujang Gadis, kelima Lahi Kawin. Berlakunya
hukum adat perkawinan tergantung pada pola susunan masyarakat adatnya.
49 Prof Bushar Muhammad, SH. “Asas-Asas Hukum Adat” (Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013) h. 19
35
Oleh karena itu tanpa mengetahui bagaimana sistem masyarakat adat yang
bersangkutan, maka tidak mudah mengetahui hukum perkawinannya.
Dalam adat masyarakat Jambi, khususnya Kecamatan Pamenang proses
terjadinya perkawinan terbagi menjadi lima50:
1. Duduk Betunang, yaitu perkawinan yang menggunakan upacara adat yang
sempurna. Mulai dari proses peminangan yang biasa disebut dengan
bekampung merunding anak dilamar orang yang berarti orang
(mengumpul suku) adalah berundingnya kedua belah pihak dalam proses
menjelang melangsungkan lamaran, bekampung duduk betunang yang
berarti dua belah pihak duduk dalam satu ruangan dalam prosesi lamaran,
bekampung menyemua banyak yang berarti semua suku induk
mengantarkan telimak ke rumah pihak perempuan, dan bekampung
menyerah lek yang berarti berkumpul mengadakan pesta pernikahan.
Proses perkawinan yang seperti ini sama-sama sudah disetujui oleh
keluarga calon pengantin laki-laki dan keluarga calon pengantin
perempuan. Proses pernikahan ini biasanya sama dengan pernikahan pada
umumnya.
2. Beciri Tuo, yaitu proses pernikahan yang masih ada ikatan famili/keluarga.
Tata-caranya hampir sama dengan proses perkawinan di atas, hanya saja
proses tersebut tidak dihadiri oleh tetua adat.
3. Kawin Selaju Berelek, yaitu perkawinan yang dari proses peminangan
hingga pernikahan tidak memiliki jeda waktu yang lama.
4. Lahi Kawin, yaitu larinya seorang laki-laki dan perempuan dengan
ditemani oleh orang lain ke rumah imam atau tetua adat untuk
mengadakan pernikahan tanpa adanya peminangan seperti lazimnya, untuk
menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama Islam.
5. Kawin Salah Bujang Gadis, yaitu perkawinan yang pada dasarnya tidak
dikehendaki oleh salah satu atau kedua belah pihak. Perkawinan ini terjadi
apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan di tempat sepi pada
malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani, yang kemudian
50Wawancara dengan Narasumber Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan Pamenang, 02
Desember 2016, Jam 19:30-20:30.
36
ditangkap atau digrebek. Pasangan yang tertangkap ini wajib dinikahkan
dan didenda adat.
Berangkat dari realitas yang ada, bahwa adat kawin salah bujang dan
gadis ini adalah suatu sistem perkawinan yang ada dalam masyarakat
Kecamatan Pamenang. Bagi mereka yang beragama Islam tentu saja ingin
mengetahui bagaimana kepastian hukum Islam terhadap beberapa
pernikahan adat yang berkembang di masyarakat seperti kenyataan yang
ada.
C. Praktik Perkawinan Adat di Kecamatan Pamenang
Perkawinan merupakan salah satu ikatan yang sakral dan hampir
semua manusia dimuka bumi ini melakukan perkawinan, walaupun ada
beberapa diantarnya tidak melakukan perkawinan sampai ajal menjemput.
Oleh karena itu, setiap orang tua merasa senang dan bahagia kalau
anaknya telah melakukan pernikahan.
Perkawinan diKecamatan Pamenang terkesan rumit karna banyak
tahapan-tahapan sebelum dan sesudah melakukan perkawinan.
Kerumitan tersebut muncul karna perkawinan di masyarakat
Kecamatan Pamenang harus mendapatkan restu baik dari orang tua
maupun keluarga besar dari kedua belah pihak, jika ada diantara keluarga
mereka yang tidak merestui maka akan sulit untuk melangsungkan
perkawinan. Adapun diantara banyaknya tahapan-tahapan yang harus
dilakukan sebelum dan sesudah melangsungkan perkawinan51.
1. Lamaran
Lamaran di jambi disebut sebagai antar tando sebelum diadakan acara
lamaran, biasanya akan ada utusan dari pihak laki-laki yang akan
bersilahturahmi ke keluarga dari pihak perempuan. Dengan tujuan untuk
mencari tau apakah pihak perempuan ini sudah ada yang melamar atau
belum, jika wanita yang di maksud belum ada yang melamar maka setelah
itu adkan dilakukan prosesi lamaran. yang dihadiri oleh tuo tanganai dari
51Wawancara dengan Narasumber Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan Pamenang, 02 Desember 2016, Jam 19:30-20:30.
37
kedua belah pihak laki-laki maupun perempuan. Adapun syarat-syarat
adat yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sebagai berikut,
diantaranya52:
a. Cincin pemikat, cincin hanya dipakai untuk wanita bukan cincin satu
pasang karena tukar cincin baru akan dilakukan saat akad nikah nanti.
b. Pakaian sepelulusan, berupa kain kain kebaya untuk acara akad dan kain
bawahannya bisa berupa batiik dan songket, terkadang juga dilengkapi
dengan selop dan dompet.
c. Sirih pinang, berupa perlengkapan untuk makan sirih berupa daun sirih,
kapur sirih, tembakau serta pinang dan diletakkan di tempat sirih
khususnya.
Pembicaraan yang dilakukan antara lain; prosesi lamaran biasanya
berupa seloko-seloko (berbalas pantun) antara wakil keluarga pihak laki-
laki dan pihak perempuan, isinya adalah menanyakan maksud dan tujuan
keluarga laki-laki bertemu dengan keluarga perempuan. Setelah prosesi
lamaran itu sendiri berupa pemasangan cincin ke calon wanita, kemudian
dilanjutkan dengan acra makan bersama. Selesai makan-makan maka akan
dilakukan perundingan dari pihak keluarga inti, untuk membicarakan
kelanjutan lamaran tersebut. Didalam perbincangan tersebut, maka
keluarga akan membahas antara lain:
a. Tanggal perkawinan, apakah upacara perkawinan dilakukan sepanen
jagung (3 bulan) sepanen padi (6 bulan) atau yang lain.
b. Adat yang digunakan, apakah akan mengunakan adat jambi atau ada
campuran dari adat lain.
c. Seserahan, apa saja hantaran yang akan diberikan keluarga laki-laki
kepada pihak keluarga perempuan
d. Uang adat, uang adat disini ada dua (2) yaitu, uang adat biasanya hanya
bejumlah sedikit berkisar 50-100 ribu. Uang lemak samanis jumlahnya
cukup besar itu pun bisa disesuai dengan kemampuan pihak laki-laki.
52Wawancara dengan Narasumber Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan Pamenang, 02 Desember 2016, Jam 19:30-20:30.
38
Uang lemak semanis ini untuk membantuk belanja resepsi perkawinan
nanti.
2. Hantaran
Adat jambi, memiliki keunikan tersendiri dalam melakukan hantaran.
Adapun beberapa barang yang harus dibawa ketika prosesi hantaran,
antara lain53:
a. isi kamar berupa tempat tidur, lemari, meja rias, kasur, bad caper,
sampai gorden untuk kamar pengantin.
b. Peralatan make-up.
c. Bahan pakaian atau kebayak atasan dan bawahan (2 pasang).
d. Sepatu atau selop (2 pasang).
e. Tas (2Pcs).
f. Baju tidur (2 pasang).
g. Kain panjang (2 lembar) gunanya untuk kain basahan ketika mandi
disungai.
h. Peralatan mandi berupa sabun, sampho dan lain-lain. Beberapa daerah
di jambi ada yang menbawa gayung dan ember yang dihias dengan
pita.
i. Perlengkapan ibadah.
j. Bumbu dapur berupa cabe, bawang, merica tomat, gara, beras, telur
dan lain-lainnya. Bahkan ada yang membawa kerbau yang dihias
dengan pita dan dimasukkan kedalam tempat dimana acara ini
diselenggarakan. Hal ini merupakan perlambangan dari keluarga laki-
laki turut serta membantu acara resepsi.
k. Uang lemak semanis.
3. Perkawinan
a. Akad nikah
Akad nikah biasanya dilakukan dirumah mempelai wanita atau
Mesjid. Penganten pria bersama rombongan datang kerumah
penganten perempuan dihadiri oleh ninik makak (orang tua). Maka
diadakan akad nikah yang dihadiri oleh penghulu, wali, dan saksi-
53Wawancara dengan Narasumber Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan Pamenang, 02 Desember 2016, Jam 19:30-20:30.
39
saksi. Setelah selesai maka kedua belah pihak keluarga makan bersama
ataupun syukuran, yang telah disediakan oleh pihak perempuan.
b. Resepsi perkawinan
Setelah melakukan akad nikah maka akan diadakan resepsi atau
pesta, mengundang para tamu undangan, kerabat dekat maupun jauh.
Resepsi ini diadakan dirumah penganten perempuan namun ada juga
dilakukan dirumah penganten laki-laki sesuai dengan kesepakatan
kedua belah pihak keluarga. Pada acara resepsi ini penganten memaki
baju adat lengkap dengan dihiasi pelaminan, biasanya dihibur dengan
music, gambus, organ tunggal untuk menghibur ttamu undangan.
Setelah acara respsi perkawinan selesai masih ada tradi adat yang
harus dilakukan oleh kedua penganten baru yaitu54:
1. Ulu Anta, mamak (paman) dari pihak laki-laki mengantarkan anak
laki-lakinya kepihak keluarga perempuan yang diterima oleh ninik
makak dari pihak keluarga perempuan.
2. Tunjuk Aja (mengajarkan), mamak (paman) dari kedua belah
pihak atau perankat desa memberikan pengajaran tentang
bagaimana cara berumah tangga dan mengajarkan ahlak atau adab
terhadap keluarga kedua belah pihak.
3. Ajum Arah (diatur atau mengarahkan) ninik mamak menunjukkan
arah mana yang harus dituju kepada kedua mepelai dalam
kehidupan rumah tangga agar bisa mengatasi masalah setelah
mereka menikah.
4. Ma Urak Silo, niik mamak megajarkan kepada mempelai laki-laki
cara duduk basilo (duduk dengan melipatkan kaki kanan diatas dan
kaki kiri dibawah) yang benar. Hal ini menunjukkan ahlak yang
sopan kepada keluarga perempuan agar diterima dengan baik
didalam keluarga.
54Haysim Ismail, Buku Adat Pamenang, 31 Jnuari 2006.
40
D. Sistem Hukum Adat Kecamatan Pamenang
Hukum yang berlaku dalam masyarakat pamenang adalah hukum adat,
tentu juga berlaku hukum negara, yang berasal adat basendisara’.
Sara’basendi kitabullah. Ketaatan masyarakat terhadap hukum adat melebihi
ketaatan terhadap hukum nasional maupun hukum islam. walaupun mayoritas
penduduknya beragama islam.
Sesuai seloko adat:
Diasak Layu Di angoh Mati
Adat adalah pegang pakai masyarakat Desa Pamenang sehari-hari
Sesuai dengan seloko adat:
Kok jago baundo jago
Kok tidok baundo tidok
Kok bajalan baundo bajalan,
Kok duduk baundo duduk
Adat atau hukum adat merupakan filosofis masyarakat dalam setiap
melakukan kegiatan-kegiatan. Walaupun demikian, hukum adat rasanya sulit
untuk dipatuhi oleh masyarakat apabila tidak diimbangi dengan adanya
pemangku adat yang menjadi pilar-pilar penegakan hukum adat.
Adapun Adat lembago (Aturan Penduduk Pribumi dan Pendatang)
Sesuai dengan Seloko adat lembago:
Adat nan dilambung tinggi lembogo nan disintak tuhun
(aturan untuk penduduk pribumi yang ditinggikan atau untuk pendatang yang
diringankan)
Lembaga nan dilambung tinggi adat nan disintak tuhun
(aturan untuk pendatang yang ditinggikan dan aturan untuk penduduk
pribumi yang diringankan)
Lembago adalah adat untuk membedakan antara orang pendatang dengan
masyarakat pribumi.
Lembago terbagi 4 diantaranya55:
1. Lembago jati
55Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, (Jambi, 1987), h. 40.
41
Merupakan penduduk asli daerah tersebut, dari nenek moyang samapi
kepada dia sendiri asal daerah tersebut. Berlaku adat nan dilambung tinggi
danlembago nan disintak tuhun. Hukumnya adalah yang paling berat
dibandingkan dengan penduduk lain, hal ini diberlakukankan karna
mustahil orang pribumi asli tidak tahu adat istiadat daerah setempat.
2. Lembago Tali
Merupakan perantau atau yang telah mendapatkan bapak angkat atau
induk semang, lalu menikah dengan gadis desa tersebut melalui perantara
bapak angkat atau induk semangnya. Sesuai seloko, karna dibuek tali
mako bungo naek kepalok (disebabkan oleh tali maka bunga naik kepala)
3. Lembago Tambang
Adalah orang perantau yang menetap didesa tersebut dan terbukti
mempuyai prilaku yang baik, karena prilaku baiknya itulah maka
dijodohkan dengan salah satu gadis didesa tersebut, tetapi setelah menikah
dia kembali ke daerah asalnya dengan membawa istrinya.
4. Lembago Tuang
Untuk orang menetap di daerah itu hanya sebagi menambah jumlah
masyarakat, baik dari segi ekonomis maupun dari segi sosial politik. Tipe
ini mempunyai ciri-ciri harus tidak merupakan yang hanya menumpang
mencari hidup, oleh tempatnyo bapijak sesaknyo nyalang batinggang (alas
tempat berpijak sesaknya menjelang dia lepas bebas berdiri), dengan kata
lain benar-benar mau menetap secara permanen di daerah ini.
Sesuai pantun:
Tinggi umput dek padi Tinggi rumput dari padi
Dapek mato beliong Dapat mata beliong
Untuk peyambut setelah awak mati Untuk peyambut setelah saya mati
Dibuek anak cucong Oleh anak cucu
Hukuman bagi lembago yang tiga tentang orang perantauan
berlaku lembago nan dilambung tinggi adat nan disintak tuhun, yaitu
dengan denda tegoh sapa ninek mamak (tegur sapa nenek mamak)
dendanya paling tinggi seekor kambing selemak semanis dan serendah-
rendahnya seekor ayam selemak semanis, hal tersebut dinamakan kuah
42
nan kuneng nasi nan puteh (kuah yang kuning nasi yang putih). Sesuai
dengan seloko disapo antu demam disapo ninek mamak bautang (ditegur
hantu demam ditegur ninek mamak dihukum)56.
56Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, (Jambi, 1987), h. 40.
43
BAB IV
PERKAWINAN SALAH BUJANG DAN GADIS MENURUT
ADAT PAMENANG, MERANGIN, JAMBI
A. Defenisi Perkawinan Salah Bujang dan Gadis
Hukum adat perkawinan yang merupakan aturan hukum adat yang
mengatur tentang bentuk-bentuk perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara
perkawinan dan putusnya perkawinan masih berlaku di beberapa daerah di
Indonesia, khususnya di Kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi. Aturan-
aturan hukum adat tersebut disetiap daerah memiliki aturan yang berbeda-beda
pula, dikarenakan sifat dan tradisi kemasyarakatan yang berbeda. Di samping
itu juga dikarenakan kemajuan zaman, walaupun sudah berlaku undang-undang
perkawinan yang bersifat nasional yang berlaku untuk seluruh warga
Indonesia, namun diberbagai daerah dan berbagai golongan masyarakat juga
masih berpegang pada hukum adat, apalagi undang-undang hanya mengatur
hal-hal yang bersifat umum, tidak mengatur hal-hal khusus daerah tersebut57.
Berdasarkan kebutuhan yang sesuai dengan sifat dan tradisi yang
dimiliki oleh masyarakat Pamenang, Merangin, Jambi, maka diberlakukanlah
aturan adat yang senantiasa diikuti dan dipatuhi oleh masyarakatnya,
sebagaimana yang diatur oleh Lembaga Adat Masyarakat di Kecamatan
Pamenang, Merangin, Jambi. Aturan tersebut mencangkup peraturan mengenai
perkawinan adat salah satunya yakni, perkawinan adat salah bujang dan gadis.
Perkawinan ini pada dasarnya tidak dikehendaki oleh salah satu atau kedua
belah pihak. Perkawinan ini terjadi apabila seorang laki-laki dan perempuan
berdua-duaan ditempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang
menemani, yang kemudian ditangkap atau digrebek. Pasangan yang tertangkap
ini wajib dinikahkan untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama
Islam dan didenda adat bagi keduanya. Sanksi dendanya berupa “kambing
sekok, beras 20, dan 2 kayu kain” atau berarti “seekor kambing, 20kg beras dan
2 kayu kain” yang dibebani dari pihak bujang atau lelaki yang digunakan untuk
acara kumpul bersama masyarakat sekitar tempat kejadian pasangan tersebut
57Haysim Ismail,”Buku Adat Pamenang”, 31 Jnuari 2006.
43
44
dibawa ketetua adat. Hal ini bertujuan untuk menghindari sumbang atau fitnah
kepada sang perempuan58.
B. Syarat dan Rukun Perkawinan Salah Bujang dan Gadis
Hukum adat sudah seharusnya merupakan salah satu pusat perhatian
dalam studi hukum dan masyarakat. Sebagaimana dipahami, maka studi hukum
dan masyarakat itu menghendaki agar pembicaraan hukum itu senantiasa
dikaitkan secara sistematis kepada masyarakat tempat ia berlaku.
Sebagai sebuah sistem yang meliputi segala segi kehidupan manusia,
maka Islam tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan. Ayat-ayat yang
mengandung dan mengatur hubungan sesama manusia, misalnya hubungan
tentang suami dan istri, orang tua dan anak, pemimpin dan rakyat. Hal ini
menunjukkan adanya perhatian Islam terhadap interaksi antar sesama manusia,
sebab seperti sudah diketahui bahwa hubungan manusia dengan manusia itu
yang berkembang terus menerus yang kemudian yang membentuk masyarakat.
Salah satu yang menjadi syarat dalam perkawinan adalah wali, begitu
juga dalam pelaksanaan perkawinan yang menggunakan adat salah bujang dan
gadis. Dalam pekawinan adat ini syarat dan rukun yang digunakan sesuai
dengan hukum Islam yang berlaku. Pernikahan salah bujang dan gadis juga di
dalamnya terdapat aqad, layaknya aqad-aqad lain yang memerlukan adanya
persetujuan kedua belah pihak yang mengadakan aqad. Adapun rukun
nikahnya sama seperti hukum Islam yang mengharuskan adanya (1) mempelai
laki-laki, (2) mempelai perempuan, (3) wali; Wali dalam perkawinan adalah
wali bagi calon mempelai perempuan yang menikahkannya atau memberi izin
pernikahannya. Seorang wali dapat langsung melaksanakan aqad tersebut atau
mewakilkannya dengan orang lain59 , (4) dua orang saksi, (5) shigat ijab
qabul60 . Sedangkan syarat yang digunakan yang merupakan syarat perkawinan
yang bertalian dengan rukun-rukun perkawinan juga sama dengan yang berlaku
58Wawancara dengan Narasumber Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan Pamenang, 03
Desember 2016, Jam 20:00-21:00. 59 Djamar Nur, “Fiqh Munakahat” (Semarang: Toha Putra, 1993), h. 62. 60Slamet Abidin, “Fiqh Munakahat”, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 48.
45
di dalam hukum Islam yang berlaku. Yaitu syarat bagi calon mempelai, wali,
saksi, dan ijab qabul.
a. Syarat-syarat Suami:
1. Bukan mahrom dari calon istri
2. Atas kemauan sendiri
3. Orangnya tertentu, jelas
4. Tidak sedang ihram
b. Syarat-syarat Istri:
1. Tidak ada halangan syarak, tidak bersuami, bukan amhram, tidak
sedang dalam iddah
2. Merdeka, atas kemauan sendiri
3. Jelas orangnya
4. Tidak seadng ihram
c. Syarat-syarat Wali:
1. Laki-laki
2. Baligh
3. Waras akalnya
4. Tidak dipaksa
5. Adil
6. Tidak sedang ihram
d. Syarat-syarat Saksi:
1. Laki-laki
2. Baligh
3. Waras akalnya
4. Adil
5. Dapat mendengar dan melihat
6. Bebas, tidak dipaksa
7. Tidak sedang mengerjakan ihram
8. Memahami bahasa yang dipergunakan untuk ijab qabul
Ulama mazhab sepakat bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan
dengan aqad yang mencangkup ijab dan qabul antara calon mempelai
perempuan (yang dilaksanakan oleh walinya) dengan calon mempelai laki-laki
46
(atau wakilnya)61. Menurut ulama mazhab perkawinan adalah sah jika
dilakukan jika mengucap kata-kata zawwajtu atau ankahtu (aku nikahkan) dari
pihak perempuan yang dilakukan oleh wali nikahnya, dan kata-kata qabiltu
(aku menerima) atau kata-kata raditu (aku setuju) dari pihak-pihak calon
mempelai laki-laki atau orang yang mewakilinya62 .
E. Pencatatan Nikah
Pencatatan nikah merupakan kewajiban setiap warga negara Indonesia
kepada Negara atau Pemerintah (ulil amri), tetapi tingkat kewajiban orang
Islam Indonesia kepada ulil amri itu tidak disertai dengan memperlemah atau
memperlumpuhkan Hukum Perkawinan Islam yang sah. Menurut Prof. Bagir
Manan, mantan Ketua Mahkamah Agung Indonesia, mengemukakan bahwa
perkawinan sah adalah perkawinan yang memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu sah menurut agama, yang
mempunyai akibat hukum yang sah pula. Perkawinan menurut masing-masing
agama (syarat-syarat agama) merupakan syarat tunggal sahnya suatu
perkawinan, dengan alasan-alasan berikut:
Pertama, pasal 2 ayat (1) dengan tegas menyebutkan “suatu perkawinan
sah apabila dilakukan menurut masing-masing agamanya”. Suatu rumusan
yang sangat jelas (plain meaning), sehingga tidak mungkin ditafsirkan,
ditambah atau dikurangi.
Kedua, penjelasan pasal 2 ayat (2) menyebutkan : pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan dan peristiwa-peristiwa
penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian.
Berdasarkan penjelasan Pasal 2 ayat (2), pencatatan kelahiran, pencatatan
kematian, demikian pula pencatatan perkawinan sekedar dipandang sebagai
suatu peristiwa penting, bukan suatu peristiwa hukum. Demikian pula
pencatatan perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, bukan
lagi peristiwa hukum atau syarat hukum, karena perkawinan sebagai peristiwa
61 Mughniyah, Muhammad Jawad, “Fiqh Liam Mazhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali”, ( Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 309. 62Mughniyah, Muhammad Jawad, “Fiqh Liam Mazhab, Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i,
Hambali”, h. 309.
47
hukum ditentukan oleh agama, karena itu (pencatatan perkawinan) tidak perlu
dan tidak akan mempunyai akibat hukum, apalagi dapat mengesampingkan
sahnya perkawinan yang telah dilakukan menurut (memenuhi syarat-syarat)
masing-masing agama63 .
Menurut Prof. Bagir Manan, sebagai mana dikutip oleh Neng Djubaidah
S.H., M.H. dalam buku ”Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak
Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam”, selanjutnya
mengemukakan bahwa berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 yang menjelaskan bahwa “Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila,
dimana sila yang Pertama ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga
perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang
bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang pula merupakan tujuan
perkawinan, pemeliharaan, dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang
tua64 .”, dapat ditafsirkan sebagai berikut:
1. Didalam Negara Republik Indonesia tidak boleh terjadi atau tidak
boleh berlaku “Hukum perkawinan” yang bertentangan dengan kaidah-kaidah
Islam bagi orang-orang Islam, atau “Hukum perkawinan” yang bertentangan
dengan agama lainnya yang berlaku Indonesia
2. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at atau hukum
“perkawiann” Islam bagi orang Islam, hukum “perkawinan Nasrani bagi orang
Nasrani, hukum “perkawinan” Hindu bagi orang Hindu, hukum “perkawinan”
berdasarkan ajaran Kong Hu Cu bagi orang Kong Hu Cu, sekedar dalam
menjalankan hukum perkawinan itu memerlukan bantuan atau perantaraan
kekuasaan Negara.
63Neng Djubaidah S.H., M.H.,”Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 158. 64 Thalib, Sayuti, “Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat Islam”, (Jakarta:
Bina Angkasa, 1985), h. 170.
48
Jadi bagi orang Islam sahnya perkawinan adalah apabila dilakukan
menurut Hukum Islam, sedangkan pencatatan perkawinan hanya sebagai
kewajiban administrasi65 .
Ada beberapa pasangan yang menikah secara adat salah bujang dan gadis
di Kecamatan Merangin Provinsi Jambi yang melakukan pencatatan
pernikahan di Kantor Urusan Agama, dengan adanya kesepakatan dari keluarga
besar mereka, beberapa pasangan melakukan pencatatan karena kebutuhana
administratif dan juga faktor untuk mendapat perlindungan hukum dan
memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan pernikahan.
Pasangan tersebut mengikuti segala bentuk prosedur yang dibutuhkan
untuk dapat memiliki akta nikah yang sah. Langkah pertama, pasangan tersebut
melengkapi persyaratan pernikahan yang dibutuhkan oleh Peradilan Agama
terdekat dimana mereka melakukan pernikahan salah bujang dan gadis.
Kemudian Peradilan Agama memproses dengan segala prosedur pengesahan
perkawinan atau biasa disebut Istbat Nikah dan setelah dinyatakan
pernikahannya sah, maka pasangan tersebut baru dapat mengurus proses
selanjutnya yakni mengurus akta pernikahan yang sah sesuai dengan prosedur
yang berlaku di Kantor Urusan Agama setempat dengan melampirkan surat
Putusan Istbat Nikah yang menunjukkan adanya pernikahan yang sah diantara
kedua pasangan tersebut.
Ada 8 pelaku perkawinan salah bujang dan gadis tersebut ada yang
mencatatkan perkawinannya setelah mereka melakukan pernikahan adat
bersama tokoh masyarakat, tetua adat dan tokoh agama.
Namun ada juga yang tidak dicatat, 10 pelaku perkawinan salah bujang
dan gadis tidak mencatatkan perkawinannya di KUA mereka hanya
melangsungkan pernikahan bersama dengan tokoh masyarakat, tetua adat dan
tokoh agama setempat serta menghadirkan saksi kemudian melaksanakan akad
nikah secara sederhana.
65Neng Djubaidah S.H., M.H.,”Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam”, h. 214.
49
E. Analisis Penulis
1. Keadaan Penduduk di Kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi
Masyarakat kecamatan Pamenang sebagian besar bermata pencaharian
sebagai petani yaitu berkebun/berladang dengan penghasilan utamanya
karet dan kelapa sawit, selain itu sebagian masyarakat juga berprofesi
sebagai pegawai negeri sipil, pengrajin industri, rumah tangga, peternak,
nelayan, dan buruh. Walaupun demikian masyarakat kelurahan pamenang
mempunyai emosional yang kuat, khususnya dalam kegiatan-kegiatan
yang bersifat positif bagi warga66.
Kecamatan pamenang dapat dikatagorikan sebagai wilayah dengan
jumlah penduduknya relatif besar jika dibandingkan dengan Kecamatan
lain yang ada di provinsi jambi. Secara sosial, masyarakat kecamatan
pamenang dikenal ramah dan sangat santun dalam bersikap. Hal ini
minsalnya terlihat dari penilaian-penilaian yang dilontarkan oleh beberapa
pendatang musiman maupun yang telah menetap lama.
Mayoritas masyarakat di Kecamatan Pamenang memeluk
beragama Islam, sehingga hampir seluruhnya kegiatan-kegiatan yang
dilakukan masyarakat lebih mengarah kepada unsur keagamaan, setiap
tahun masyarakat selalu mengadakan kegiatan agama seperti maulud,
rajab, dan setiap minggu selalu mengadakan kegitan pengajian rutin seperti
yasinan dan majlis ta’lim yang di ikuti oleh bapak-bapak, ibu-ibu.
Di kecamatan Pamenang jarang ditemui kegiatan-kegiatan untuk
remaja sehingga meyebabkan banyak kaum remaja putra mapun putri yang
dapat melakukan pergaulan tanpa adanya batas-batas dari dalam dirinya.
Karena kurangnya pemahaman keagamaan dalam diri mereka ditambah
kurangnya perhatian kedua orang tua dan mudahnya membuka situs-situs
berbau pornografi akibat dari internet tidak sehat. Kondisi remaja di
Kelurahan Pamenang perlu di perhatikan dan perlu adanya kegiatan-
kegitan yang positif agar dapat menambah pemahaman mereka67.
66Wawancara Pribadi dengan Ibu Saidah S.Pd.i, Bendahara Kecamatan Pamenang, 30
November 2016, Jam 14:00-15:00. 67Wawancara Pribadi dengan Bapak Syamsuddin, Tokoh Agama Kecamatan Pamenang,
28 November 2016, Jam 19:30-20:30.
50
2. Gambaran Perkawinan Salah Bujang dan Gadis di Kecamatan
Pamenang
Pernikahan memiliki peran yang sangat strategis dalam kehidupan
bermasyarakat. Pernikahan merupakan gerbang awal untuk membentuk
sebuah keluarga yang merupakan unit terkecil dari sebuah masyarakat.
Tujuan pernikahan tidak terbatas pada hubungan biologis semata.
Pernikahan memiliki tujuan yang lebih jauh dari itu, yaitu mencakup
tuntunan hidup yang penuh kasih sayang sehingga manusia bisa hidup
tenang dalam keluarga dan masyarakat. Namun disisi lain, ada fenomena
pernikahan adat yang masih terjadi di Indonesia, salah satunya perkawinan
salah bujang dan gadis di kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi yang
cukup menarik perhatian berbagai kalangan karena fenomena pernikahan
salah bujang dan gadis terjadi karena pada dasarnya tidak dikehendaki
oleh salah satu atau kedua bepihak68. Namun demi ketertiban hukum adat
yang berlaku di masyarakat Pamenang dan demi kemaslahatan kondisi
lingkungannya, maka aturan tersebut masih diberlakukan bagi masyarakat
di Pamenang.
Berdasarkan hasil data yang di dapat dari Lembaga Adat Masyarakat
Kecamatan Pamenang Merangin Jambi, diperoleh data 18 kasus yang
menikah secara kawin adat salah bujang dan gadis69 dari penduduk awal
tahun 2005 sampai akhir tahun 2015 dengan total keseluruhan jumlah
penduduk dari tahun tersebut sebanyak 40.242 jiwayang tinggal di
Kecamatan Pamenang70. Dilihat dari jumlah pasangan yang dinikahkan
secara adat salah bujang dan gadis memiliki rata-rata usia menikah sekitar
16-30 tahun71. Usia tersebut memang merupakan usia produktif untuk
menikah. Namun hal ini lah yang seharusnya menjadi perhatian
masyarakat agar para remaja yang memasuki usia dewasa memiliki
pengetahuan bagaimana mereka dapat bergaul sesaui dengan norma-norma
68 Wawancara Pribadi dengan Bapak Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan Pamenang, 3 Desember 2016, Jam 20:00-21:00.
69Data Lembaga Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang Tahun 2005-2015. 70Data Potensi Masyarakat Kecamatan Pamenang Tahun 2005-2016. 71Data Lembaga Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang Tahun 2005-2016.
51
yang berlaku. Yang bertujuan agar ketika mereka memiliki keinginan
untuk menikah dapat merealisasikan ikatan hubungan kekeluargaan sesuai
dengan tujuan pernikahan yang sesungguhnya.
3. Faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan adat salah bujang
dan gadis di Kec. Pamenang, Merangin Jambi.
Faktor penyebab terjadinya perkawinan salah bujang dan gadis ini
dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Rendahnya tingkat pendidikan
mereka sangat mempengaruhi pola pikir mereka dalam memahami dan
mengerti tentang hakekat dan tujuan perkawinan. Faktor ekonomi maupun
lingkungan tempat mereka tinggal juga bisa menjadi penyebab terjadinya
perkawinan salah bujang dan gadis72.
Perkawinan adat salah bujang dan gadis tetap memenuhi
persyaratan dan rukun perkawinan menurut agama Islam. Perkawinan
yang pelaksanaannya dilakukan dihadapan tetua adat. Berikut data jumlah
penduduk di awal tahun 2005 hingga akhir 2015 yang diperoleh dari
Kecamatan Pamenang berdasarkan data jumlah penduduk akhir tahun dari
Dukcapil Kab.Merangin73 serta data jumlah perkawinan yang dilakukan
secara adat salah bujang dan gadis di Kecamatan Pamenang dari Lembaga
Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang74:
72Wawancara Pribadi denganJunaidi, 21 Desember 2016. Timan, 21 Desember 2016. Hendarsyah, 27 Desember 2016. Narasumber/Pelaku Perkawinan Salah Bujang dan Gadis. 73 Data Potensi Masyarakat Kecamatan Pamenang Tahun 2005-2016. 74 Data Lembaga Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang 2005-2016.
52
JUMLAH PENDUDUK DIAWAL TAHUN 2005 DAN TOTAL
JUMLAH PENDUDUK DIAKHIR TAHUN 2015 SERTA
JUMLAH KASUS PERNIKAHAN SALAH BUJANG DAN
GADIS DI KECAMATAN PAMENANG
NAMA
KEL/DESA
Jml pddk
awal
2005
Pddk
Lahir
05-15
Pddk
Mati 05-
15
Pddk
Pdtg
05-15
Pddk
Pdh
05-15
Total jml
Pddk
akhir
2015
JUMLAH PASANGAN
YANG MENIKAH SALAH
BUJANG DAN GADIS
Kel. Pamenang 6618 720 210 33 56 7.105 4
Karang Berahi 2102 410 80 31 38 2.425 2
Jelatang 2581 530 120 26 42 2.975 1
Muaro
Belengo
2093 370 180 18 16 2.285 1
Keroya 1693 420 130 10 12 1.981 2
Tanjung
Gedang
1075 400 180 8 15 1.288 -
Empang Benao 1477 450 80 20 21 1.846 -
Pauh Menang 2330 550 110 17 19 2.768 2
Sungai Udang 1866 540 70 22 29 2.329 -
Pematang
Kancil
1203 660 100 13 12 1.764 -
Pelakar Jaya 1259 490 90 32 40 1.651 -
Tanah Abang 4325 680 80 29 27 4.927 3
Rejosari 2924 600 140 11 22 3.373 1
Sialang 3117 580 170 14 16 3.525 2
JUMLAH 33.980 7.400 1.740 284 365 40.242 18 kasus
Sumber Jumlah Masyarakat: Data Potensi Masyarakat Kecamatan Pamenang Sumber Jumlah Perkawinan Salah Bujang Gadis: Data Lembaga Adat Kecamatan.
53
Berdasarkan tabel diatas, sesuai dengan jumlah keseluruhan penduduk
di awal tahun 2005 hingga akhir 2015 dengan total jumlah penduduk diakhir
2015 sebanyak 40.242 jiwa yang diperoleh dari Kecamatan Pamenang
berdasarkan data dari Dukcapil Kabupaten Merangin, Jambi. Telah terjadi 18
kasus perkawinan adat salah bujang dan gadis sesuai dengan data yang
diperoleh dari Lembaga Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang.
Adapun terjadinya perkawinan salah bujang dan gadis yang terajdi di
Kecamatan Pamenang, Merangin, Jambi, disebabkan oleh:
Faktor-Faktor Terjadinya Pernikahan Salah Bujang dan Gadis
NO Faktor-faktor Jumlah
1 Ekonomi dan Pendidikan 8
2 Orang Tua 4
3 Media massa 6
JUMLAH 18 pasangan
Jika dilihat tabel diatas, kriteria yang menyababkan terjadinya pernikahan
adat salah bujang dan gadis di Kec. Pamenang, Merangin Jambi adalah
sebagai berikut:
A. Ekonomi dan Pendidikan
Berdasarkan hasil wawancara dengan 18 pelaku perkawinan salah
bujang dan gadis, ditemukan ada 8 kasus yang melakukan pernikahan
tersebut karna faktor kesulitan ekonomi dan pendidikan yang rendah75.
Perkawinan salah bujang dan gadis banyak terjadi karenakeadaan
keluarga yang hidup di garis kemiskinan dan rendahnya tingkat
pendidikan yang menyebabkan kecendrungan seseorang bergaul tidak
sesuai dengan norma adat yang berlaku karena faktor kurangnya
pemahaman mengenai pengetahuan hakikat nilai pernikahan yang
sebenarnya.
75Wawancara Pribadi denganJunaidi, 21 Desember 2016. Timan, 21 Desember 2016. Rainah, 18 Desember 2016, Maya, 11 Desember 2016. Ahmadi, 24 Desember 2016, Didi Firdaus, 29 Desember 2016, Ridwan, 7 Desember 2016. Narasumber/Pelaku Perkawinan Salah Bujang dan Gadis.
54
Dengan kondisi tingkat pendidikan masyarakat yang rendah ini
dapat menjadikan suatu cara pola berpikir masyarakat menjadi rendah,
kurang dewasa, mudah mengikuti segala sesuatu dan ketika beraktifitas
tanpa disadari pemikiran yang panjang serta dalam kehidupan sehari-hari
cenderung pasrah dan menerima dengan keadaan, karakteristik
masyarakat seperti inilah yang menjadi salah satu penyebab perkawinan
salah bujang dan gadis.
B. Faktor orang tua
Selanjutnya tidak adanya restu dari orang tua juga termasuk dalam
permasalahan sehingga perkawinan salah bujang dan gadis ini terjadi.
Dari 18 kasus yang terjadi di Kecamatan Pamenang, faktor orang tua
sebagai sebab pernikahan salah bujang dan gadis terjadi sebanyak 4
kasus76.
C. Media massa dan Biologis
Gencarnya ekspose seks di media massamenyebabkan remaja
modern kian permisif terhadap seks. Dari perkembangannya media massa
juga memiliki sisi negatif bagi penggunanya yang tidak bisa bijak dalam
menggunakan media internet. Sehingga muncullah faktor lain yakni,
pengaruh terhadap faktor biologis seseorang.
Faktor biologis ini muncul karena faktor media massa dan internet,
dengan mudahnya akses informasi tersebut didapat bahkan pada anak-
anak atau remaja dapat mengetahui hal yang belum seharusnya mereka
tahu diusianya. Maka, terjadilah hubungan di luar nikah. Hal inilah yang
menjadi penyebab dari pasangan tersebut dinikahkan secara perkawinan
adat salah bujang dan gadis. Kareana adanya faktor media massa dan
Biologis ini 6 pasangan dari 18 kasus yang terjadi dinikahkan secara adat
kawin salah bujang dan gadis77.
76Wawancara dengan Beberapa Narasumber/Pelaku Perkawinan Salah Bujang dan Gadis.
77Wawancara dengan Beberapa Narasumber/Pelaku Perkawinan Salah Bujang dan Gadis.
55
4. Prosesi pernikahan salah bujang dan gadis di Kec. Pamenang,
Merangin Jambi.
Prosesi pernikahan salah bujang dan gadis di Keacamatan Pamenang,
Merangin, Jambi cukup panjang. Karena pernikahan ini merupakan
pernikahan yang terjadi karena adanya aturan adat yang berlaku diamana
aturan tersebut dikenakan karena adanya pasangan yang berdua-duaan
ditempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani,
yang kemudian ditangkap atau digrebek oleh masyarakat setempat
kemudian diserahkan kepada tetua adat setempat. Pasangan yang tertangkap
ini wajib dinikahkan untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan
agama Islam sehingga tidak menimbulkan sumbang (fitnah kepada
keduanya). Adapun prosesnya adalah sebagai berikut78:
A. Berusik Sirih Beruo Pinang
Tahapan pertama disebut dengan berusik sirih beruo pinang, yaitu
pertemuan antara pria dan wanita didampingi ibu dari pihak wanita serta
seorang laki- laki yang dituakan di keluarga pihak laki- laki.Pihak laki-
laki akan mengadakan pemanatuan yang umumnya dilakukan oleh bibi
tertua dari pihak laki- laki, sebelum acara melamar. Kemudian keluarga
pihak laki- laki membawa sirih pinang, susu, kopi, gula, tepung terigu,
dan sebagainya untuk acara lamaran. Dalam prosesi melamar dihadiri
juga oleh tuo tengganai (orang yang dituakan di masyarakat) dari kedua
belah pihak keluarga.
B. Duduk Batuik Tegak Betanyo
Yang kedua disebut dengan duduk batuik tegak betanyo. Yaitu
mempertanyakan identitas pihak pria. Hal ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi dari pihak pria tersebut. Dan apabila diketahui bahwa pria
tersebut sudah memiliki istri maka sanksi adat kawin salah bujang dan
gadis tetap diberlakukan, demi tertibnya hukum adat yang berlaku di
masyarakat setempat.
C. Diikat Kuat Janji Sebanyo
78Wawancara Pribadi dengan Nurdin Ishak, Tokoh Adat Masyarakat Kecamatan
Pamenang, 3 Desember 2016, Jam 20:00-21:00.
56
Yang ketiga adalahdiikat kuat janji sebanyo, yang artinya
kesepakatan keluarga untuk merealisasikan hubungan dari pasangan
tersebut ke tahap yang lebih serius lagi.Kemudian pihak laki-laki
memberikan tanda yang biasanya berupa cincin sebentuk yang
diserahkan pada pihak perempuan.
Setelah prosesi lamaran tersebut dilaksanakan, maka dilanjutkan
dengan upacara pernikahannya. Sebagaimana upacara pernikahan sesuai
dengan Hukum Islam yang berlaku. Begitupun rukun nikahnya sama
seperti hukum Islam yang mengharuskan adanya (1) mempelai laki-laki,
(2) mempelai perempuan, (3) wali; Wali dalam perkawinan adalah wali
bagi calon mempelai perempuan yang menikahkannya atau memberi izin
pernikahannya. Seorang wali dapat langsung melaksanakan aqad tersebut
atau mewakilkannya dengan orang lain , (4) dua orang saksi, (5) shigat
ijab qabul.
Jika proses lamaran juga pernikahannya sudah dilaksanakan,
maka hal lain yang harus dilakukan oleh pasangan tersebut adalah
mengadakan kumpul bersama dengan masyarakat sekitar tempat kejadian
mereka dibawa ke tetua adat. Sanksi denda yang berupa “kambing
sekok”, 20 gantang beras dan 2 kayu kain” atau berarti “seekor kambing,
20kg beras dan 2 kayu kain” yang dibebani dari pihak bujang atau lelaki,
digunakan untuk acara kumpul bersamadengan masyarakat tersebut79.
Hal ini bertujuan untuk menghindari sumbang atau fitnah kepada sang
perempuan.
5. Keberlanjutan rumah tangga dari pasangan yang menikah dengan
cara pernikahan salah bujang dan gadis sesuai dengan aturan adat
yang berlaku di Kec. Pamenang, Merangin, Jambi.
Keberlanjutan rumah tangga dari pasangan yang menikah dengan
cara pernikahan salah bujang dan gadis memiliki kecenderungan kondisi
mental yang labil, khususnya bagi pasangan yang masih berumur belia
79Wawancara Pribadi dengan Nurdin Ishak, Tokoh Adat Masyarakat Mecamatan Pamenang, 5 Desember 2016, Jam 15:40-17:00.
57
atau yang belum pernah melaksanakan pernikahan sebelumnya. Apalagi
tren anak muda saat ini kurang memiliki sikap kemandirian. Hal tersebut
juga dikhawatirkan akan memberikan dampak negatif bagi psikologi sang
anak, apalagi bila belum memiliki pengetahuan mendalam tentang
perkawinan dan kehidupan berumah tangga, termasuk semua hak dan
kewajiban yang akan dijalani setelah pernikahan.
Adapun dampak yang bisa terjadi karena adanya pernikahan salah
bujang dan gadis khususnya yang terjadi pada pasangan yang masih
sangat muda adalah sebagai berikut80:
Dampak Perkawinan Salah Bujang dan Gadis
NO Dampak Jumlah
1 Kurang mampu mengelola emosi 7
2 Kondisi finansial yang belum stabil 5
3 Belum Siap Terikat 2
4 Belum bisa bertanggung jawab 4
JUMLAH 18 pasangan
Berikut peneliti uraikan dampak-dampak pernikahan adat salah bujang
dan gadis yang terjadi di Kecamatan Pamenang:
1. Kurang mampu mengelola emosi
Dalam penelitian ini ditemukan 7 pasangan yang mengaku bahwa
setelah pernikahan berlangsung, mereka kurang mampu untuk
mengelola emosinya, Pernikahan membutuhkan adaptasi yang cukup
besar. Khususnya pasangan yang menikah dengan pernikahan salah
bujang dan gadispada usia 20-an pola berpikir biasanya masih belum
begitu matang dan masih ingin merasakan kebebasan serta pengalaman
masa muda. Saat menghadapi konflik, kondisi emosi masih cenderung
tidak stabil, sehingga kerap berujung pada pertengkaran.
2. Kondisi finansial yang belum stabil
80Wawancara dengan Beberapa Narasumber/Pelaku Perkawinan Salah Bujang dan Gadis.
58
Membangun rumah tangga membutuhkan perencanaan keuangan.
Konflik rumah tangga kerap terjadi akibat aspek finansial, baik
ketidakmatangan pasangan muda dalam mengatur keuangan serta
kondisi penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dari
adanya kondisi tersebut peneliti menemukan 5 pasangan yang
memiliki masalah kondisi finansial yang belum stabil setelah
melangsungkan pernikahan salah bujang dan gadis.
3. Belum Siap Terikat
Dari 18 pasangan yang ditemukan menikah secara pernikahan adat
salah bujang dan gadis, terdapat 2 pasangan suami-istri yang
menyatakan sebenarnya mereka belum siap terikat dalam pernikahan
ketika kawin adat itu terjadi, mereka merasa ingin lepas dari ikatan
pernikahan.Karena ketika teman-teman seusia mereka masih
menikmati masa muda, pasangan yang dinikahkan dengan pernikahan
adat salah bujang dan gadis ini disibukkan dengan urusan rumah
tangga yang menuntut tanggung jawab besar. Beberapa
pasanganterkadang tidak bisa menyembunyikan rasa iri mereka, ketika
keduanya melihat teman-temanya memiliki kebebasan di usia muda.
Namun karena hukum adat yang berlaku di Kecamatan Pamenang,
maka ke 2 pasangan tersebut harus menikah secara perkawinan adat
salah bujang dan gadis.
4. Belum bisa bertanggung jawab
Usiamemang bukan patokan bagi seseorang untuk bersikap
dewasa, walaupun ucapan bisa berkata sudah dewasa. Pasangan yang
menikah dengan cara pernikahan salah bujang dan gadis terkadang
belum punya tanggung jawab pernikahan. Sebagian dari mereka,
secara psikis dan pola fikir belum cukup dewasa atau masih kurang
memahami masalah perkawinan. Dampak tersebut dirasakan oleh 4
pasangan setelah dinikahkan secara kawin adat salah bujang dan gadis.
Dengan adanya beberapa dampak yang dirasakan oleh pasangan
yang menikah secara pernikahan adat salah bujang dan gadis tersebut.
Maka sudah seharusnya peran masyarakat terutama orang tua dalam
59
mencegah pernikahan tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan
proses penyadaran akan pentingnya pendidikan sebagai instrumen
untuk menata kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan dapat pula dikatakan sebagai proses pewarisan nilai-
nilai budaya. Dalam keluarga, pendidikan merupakan proses
transformasi kebudayaan yang dapat mempengaruhi anggota keluarga
dalam cara berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Agar
tujuan dan hikmah pernikahan, yakni kemaslahatan hidup berumah
tangga, bermasyarakat dan jaminan keamanan bagi kehamilan, serta
terbentuknya keluarga sakinah dan memperoleh keturunan yang
berkualitas dapat tercapai dengan baik.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah yang ditemukan penulis dalam perkawinan
salah bujang dan gadis yang terjadi di Kecamatan Pamenang Merangin Jambi,
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Faktor penyebab terjadinya perkawinan salah bujang dan gadis terjadi
karena adanya beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut:
a. Faktor ekonomi dan Pendidikan yang rendah, menjadi faktor yang
dominan terjadinya perkawinan salah bujang dan gadis. Hal tersebut
menyebabkan kecendrungan seseorang bergaul tidak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku. Sehingga mereka melakukan hal-hal yang
tidak boleh dilakukan yang bisa berakibat pada seks bebas.
b. Faktor orang tua, tidak adanya restu dari orang tua juga termasuk dalam
permasalahan sehingga perkawinan salah bujang dan gadis ini terjadi.
Mereka yang mengaku tidak mendapat restu dari orang tua mengambil
jalan belakang atau mereka bertemu secara diam-diam. Dan hal tersebut
yang mereka lakukan dianggap terlewat batas oleh masyarakat sekitar
sehingga terjadilah perkawinan adat salah bujang dan gadis.
c. Faktor media massamudahnya akses informasi yang didapat oleh anak-
anak atau remaja untuk mengetahui hal yang belum seharusnya mereka
tahu diusianya. Mereka dengan sangat mudah terpengaruh dan mengikuti
hal yang seharusnya mereka tidak lakukan, sehingga terjadilah hubungan
di luar nikah. Hal inilah yang menjadi penyebab dari pasangan tersebut
dinikahkan secara perkawinan adat salah bujang dan gadis.
2. Adapun prosesi perkawinan adat salah bujang dan gadis yang merupakan
perpaduan unsur sifat, karakteristik, kepercayaan, hukum, dan peraturan
agama yang kesemuanya saling menopang satu sama lain, awal proses
terjadinya adalah apabila seorang laki-laki dan perempuan berdua-duaan
ditempat sepi pada malam hari tanpa adanya orang lain yang menemani,
yang kemudian ditangkap atau digrebek. Pasangan yang tertangkap ini
wajib dinikahkan untuk menjalin rumah tangga yang sesuai dengan agama
60
61
Islam dan didenda adat bagi keduanya. Sanksi dendanya berupa “kambing
sekok. beras 20kg. 2 kayu kain” atau berarti “seekor kambing, 20kg beras
dan 2 kayu kain” yang dibebani dari pihak bujang atau lelaki yang
digunakan untuk acara kumpul bersama masyarakat sekitar tempat kejadian
pasangan tersebut dibawa ketetua adat. Hal ini bertujuan untuk
menghindari sumbang atau fitnah kepada sang perempuan.
3. Sedangkan keberlanjutan rumah tangga berdasarkan hasil wawancara
penulis kepada pelaku perkawinan adat salah bujang dan gadis adalah
sebagai berikut:
a. Ada yang dicatat di KUA setempat. 8 pelaku perkawinan salah bujang
dan gadis tersebut ada yang mencatatkan perkawinannya setelah mereka
melakukan pernikahan adat bersama tokoh masyarakat, tetua adat dan
tokoh agama.
b. Ada yang tidak dicatat, 10 pelaku perkawinan salah bujang dan gadis
tidak mencatatkan perkawinannya di KUA mereka hanya melangsungkan
pernikahan bersama dengan tokoh masyarakat, tetua adat dan tokoh
agama setempat serta menghadirkan saksi kemudian melaksanakan akad
nikah secara sederhana.
Sedangkan secara keseluruhan pandangan pelaku terhadap
perkawinan salah bujang dan gadis, mayoritas pelaku perkawinan salah
bujang dan gadis bahagia dengan kehidupan perkawinannya dan mereka
berusaha untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa
rahmah dengan segala kekurangan yang ada.
62
B. Saran-saran
Setelah penulis mengemukakan kesimpulan diatas, maka perlu kiranya
saran-saran sebagai berikut:
1. Bagi pemerintah di Kecamatan Pamenang harus adanya sosialisasi melalui
penyuluhan, pengajian, atau mendatangi sekolah-sekolah yang ada di
Kecamatan Pamenang untuk memberikan pemahaman tentang perkawinan.
Untuk mencapai tujuan dari perkawinan itu memmbentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan Yang Maha Esa.
2. Bagi orang tua, agar menjaga dan memperhatikan anak-anaknya baik dalam
pergaulan dilingkungan tempat tinggal maupun di lingkungan sekolah.
63
DAFTAR PUSTAKA
Abdur Rahman Ghazaly, “Fiqih Munakahat”, Bogor: Kencana, 2003.
Abdurrahman al-Jaziri, “Kitab ‘ala Mudzahib al –Arba’ah, Dar Ihya al-
Turas al-Arabi”, 1986, Juz IV.
Abdurrahman al-Jaziry,“Kitab al Fiqh ‘ala al-madzahib al-
Arba’ah”,Mesir: Dar al-Irsyad, jilid VII.
Aep Saefudin, Makna Filosofis Tembang Sawer Dalam Perkawinan Adat,
Yogyakarta, 2010.
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, “Hukum Perdata Islam di
Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1/1974
sampai KHI”, Jakarta: Prenada Media Grup, 2006.
Amir Syarifuddin, “Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqih
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan”, Jakarta: Kencama, 2007.
Asnawi Moch. “Himpunan Peraturan dan Undang-undang RI Tentang
perkawinan Serta Peraturan Pelaksanaan”, Kudus: Penerbit Menara, 1975.
Asrorun Ni’am Sholeh, “Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan
Keluarga” Jakarta: Paramuda Jakarta, 2008.
Aulia Tasman, “Membongkar Adat Lamo Pusako Usang”, Jambi: Gelar
Depati Muaro Langkap, 2015.
Aziz, Abdul, Perkawinan dan Masalahnya,Jakarta, Pustaka Al-Kautsar,
1993.
Data Lembaga Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang Tahun 2005-2015.
Data Potensi Masyarakat Kecamatan pamenang Tahun 2005-2016.
Djamaan Nur, Fiqih Munakahat, Bengkulu: Dina Utama Semarang,1993.
Djamar Nur, “Fiqh Munakahat”, Semarang: Toha Putra, 1993.
Dr. Peunoh Daly, “Hukum Perkawinan Islam”, Jakarta: PT Bulan Bintang,
2005.
Haysim Ismail, “Buku Adat Pamenang”, 31 Jnuari 2006.
Hilman Hadikusuma, SH. “Hukum Perkawinan Adat”, Bandung: Penerbit
Alumni,1983.
64
Husein Umar, Metodelogi Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,
Jakarta, Rajawali Pers, 2011.
Ibn u Rusyd, “Bidayatul al- Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid”,Beirut:
Dar al-Fikr, jilid 2.
Kementrian Agama RI, Modul TOT Kursus Pra Nikah, Jakarta, 2010.
M. Idris Ramulyo, S.H. “Tinjauan Beberapa Pasal UU No. 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam”, Jakarta: Ind.Hill-Co, 1990.
Masdar Helmi, Drs. H, “Islam dan Keluarga Berencana”, Semarang: CV
Thoha Saputra, Cet. Ke-2, 1969.
Mohamad Daud Ali, Hukum Islam dan Peradilan Agama, Kumpulan
Tulisan, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2001, Cet. Ke-2.
Mr. B Ter Haar Bzn diterjemahkan oleh Soebakti Pesponoto “Asas-Asas
dan Susunan Hukum Adat”, Jakarta: PT Balai Pustaka, 2013.
Mughniyah, Muhammad Jawad, “Fiqh Liam Mazhab, Ja’fari, Hanafi,
Maliki, Syafi’i, Hambali”, Jakarta: Lentera Basritama, 1996
Mustofa S.H.i, Staff Lembaga Adat Masyarakat Kecamatan Pamenang, 25
Nopember 2016
Nasution, Amin, Rahasia Perkawinan dalam Islam,1994.
Neng Djubaidah S.H., M.H.,”Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan
Tidak Dicatat Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam”, Jakarta:
Sinar Grafika, 2010.
Nuroniyah Wardah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Perbandingan
Fiqih dan Hukum Positif, Yogyakarta, CV Mitra Utama, 2011.
Pedoman Adat Istiadat Daerah Jambi, Jambi, 1987.
Prof. Bushar Muhammad, SH. “Asas-Asas Hukum Adat”, Jakarta: PT
Balai Pustaka, 2013.
Prof. Dr. H. M.H. Tihami, M.A., M.M., “Fikih Munakahat Kajian Fikih
Nikah Lengkap”, Jakarta: Rajawali Pers.,2009.
Prof. Dr. Soerjono Soekanto SH., MA “Hukum Adat Indonesia”, Jakarta:
Rajawali, 1986.
Saifudin Azwar, Metodelogi Penelitian, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
2005.
65
Salim HS dan R.M Sudikno Merto Kusumo, Pengantar Hukum Perdata
Tertulis, Jakarta, Sinar Grafika, 2003.
Slamet Abidin, “Fiqh Munakahat”, Bandung: Pustaka Setia, 1999
Sukandarrumidi, Metodelogi Penelitian: Petunjuk Praktis untuk Peneliti
Pemula, Yogyakarta, Gajahmada University Press, 2004.
Syahuri Tufiqurrohman, Legislasi Hukum Perkawinan di Indonesia,
Jakarta, Kencana Prenada Media, 2013.
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta, 2009.
Thalib, Sayuti, “Hukum Kekeluargaan Indonesia, Berlaku Bagi Umat
Islam”, Jakarta: Bina Angkasa, 1985.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Tentang Perkawinan.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan
Pamenang, 2 Desember 2016, Jam 19:00-21:00.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan
Pamenang, 3 Desember 2016, Jam 20:00-21:00.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Nurdin Ishak, Tokoh Adat Kecamatan
Pamenang, 5 Desember 2016, Jam 15:40-17:00.
Wawancara dengan Beberapa Narasumber/Pelaku Perkawinan Salah
Bujang dan Gadis.
Wawancara Pribadi dengan Bapak Syamsuddin, Tokoh Agama Kecamatan
Pamenang, 28 November 2016, Jam 19:30-20-30.
Wawancara Pribadi dengan Ibu Saidah S.Pd.i, Bendahara Kecamatan
Pamenang, 30 November 2016, Jam 14:00-15:00.
Yunus Mahmud, “Hukum Perkawinan Dalam Islam”, Jakarta: CV Al-
Hidayaht, 1964.
Zakiyah Drjat, Ilmu Fiqih Jilid 2, Yogyakarta: Dana Bakti, 1995.