pendidikan nonformal dalam konteks pemberdayaan masyarakat desa hutan - prof. dr. s. mundzir, m.pd

Upload: aditya-achmad-narendra-whindracaya

Post on 02-Mar-2016

71 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

TRANSCRIPT

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    1/67

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    2/67

    1Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    Prof. Dr. S. Mundzir, M.Pd

    PENDIDIKAN NONFORMALDALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN

    MASYARAKAT DESA HUTAN

    Pidato Pengukuhan Guru Besar

    dalam Bidang Ilmu Sosiologi Pendidikan

    pada Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)

    Disampaikan dalam Sidang Terbuka Senat

    Universitas Negeri Malang (UM)

    Tanggal 30 September 2010

    KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)

    SEPTEMBER 2010

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    3/67

    2 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    4/67

    3Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    Yth. Bapak Rektor UM Selaku Ketua Senat UM

    Yth. Bapak/Ibu Anggota Senat UM, Ketua dan Anggota Komisi

    Guru Besar UM

    Yth Bapak/Ibu Pejabat Struktural di lingkungan UM

    Yth Rekan Dosen dan Mahasiswa UM

    Yth Para Undangan serta hadirin yang berbahagia

    Assalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh

    Pertama-tama saya sampaikan rasa syukur kehadirat Al-

    lah SWT karena sampai saat ini masih diberi limpahan rahmat,

    taufiq, hidayah, dan kasih sayang-Nya sehingga dapat terseleng-gara acara pidato pengukuhan ini.

    Pidato pengukuhan ini merupakan suatu keharusan bagi

    Guru Besar (GB) di lingkungan Universitas Negeri Malang

    untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran dalam perkem-

    bangan keilmuan yang ditekuni sesuai dengan bidang studinya.

    Saya menyadari akan pentingnya kegiatan ilmiah ini, karena

    pidato pengukuhan ini merupakan puncak karier akademiksebagai seorang dosen. Sebetulnya masa jabatan GB sudah

    lebih dari dua tahun, tetapi baru saat ini saya berkesempatan

    untuk menyampaikan pidato ini, dan ini juga karena dorongan

    dari Bapak Rektor yang setiap saat selalu mengingatkan akan

    segera melaksanakan kegiatan ini, oleh karena itu pada kesem-

    patan ini saya sampaikan ucapan terima kasih atas motivasinya

    yang tiada henti.

    Pendidikan Nonformal dalam KonteksPemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    3

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    5/67

    4 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Yth Bpk Rektor dan Para hadirin yang saya mulyakan

    Forum ini merupakan suatu kesempatan yang sangat

    berharga bagi saya untuk menyampaikan beberapa pemikiran

    tentang pendidikan nonformal (PNF) dalam kontek pemberda-

    yaan Masyarakat Desa, sebagai bagian dari bidang keilmuan

    saya, yaitu: Sosiologi Pendidikan. Pemikiran saya tersebut

    merupakan paduan dua disiplin ilmu yang saya tekuni, yaitu

    Pendidikan Nonformal (S1 dan S2) di IKIP MALANG dan

    Sosiologi Pedesaan (S3) di Universitas Brawijaya Malang. Pendi-

    dikan nonformal, yang juga dikenal oleh masyarakat Indonesia

    dengan berbagai istilah menurut perkembangannya, yaitu: Pendi-dikan Masyarakat (Penmas), Pendidikan Sosial (Pensos), dan

    Pendidikan Luar Sekolah (PLS), merupakan institusi atau lemba-

    ga pendidikan yang memiliki program layanan pendidikan yang

    luas dan kaya serta spesifik sebagai perwujudan implementasi

    tentang filsafat pendidikan sepanjang hayat (life long learning).

    Dengan pendidikan sepanjang hayat, secara sosiologis, psiko-

    logis, ekonomis, dan filosofis baik di negara maju maupunnegara berkembang kenyataaannya sangat membutuhkan PLS

    yang saat ini lebih dikenal dengan pendidikan nonformal (PNF),

    karena memang dalam menghadapi pembangunan bangsa dan

    berbagai permasalahannya, tidak mungkin hanya mengandalkan

    pendidikan persekolahan atau pendidikan formal (PF) yang

    ternyata masih banyak memiliki kelemahan-kelemahan dan

    kritik terhadapnya (Sudjana, 2004, Coombs 1985, Illich, 1982,

    Freire, 1972). Secara kelembagaan di Universitas Negeri Malang

    (UM), bidang keilmuan PNF sebagai bidang studi bernaung di

    Jurusan Pendidikan Sosial (tahun 1954-1979), dan berubah

    menjadi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) secara nasional

    sampai saat ini. PNF dalam perkembangannya memiliki sejarah

    yang panjang sepanjang sejarah peradaban manusia (Sudjana,

    2000) sehingga istilah PNF sangat beragam, misalnya: learning

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    6/67

    5Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    society, lifelong learning, shogai gakushu, recurrent education,

    permanent education, coommunity education, extention edu-

    cation, social education, adult education, dan continuing edu-

    cation, (Sudjana, 2004, Kamil, 2009). Pokok kajian keilmuanPensos pada saat itu diarahkan pada peningkatan kesejahteraan

    masyarakat melalui program pendidikan, dan kajian ini sangat

    dekat dengan konsep pembangunan masyarakat yang dikem-

    bangkan para pakar pembangunan dalam perspektif sosiologi.

    Perubahan konsep Pensos menjadi PLS juga tidak lepas dari

    pemikiran pakar PNF pada saat itu, di mana arah pembangunan

    pendidikan lebih ditekankan pada proses pembelajaran masya-rakat sehingga tercipta masyarakat gemar belajar (learning

    society). Sedangkan perubahan nama PLS menjadi Pendidikan

    Nonformal (PNF) mengikuti perkembangan Undang-Undang

    Republik Indonesia No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

    Nasional, di mana pada pasal 1 (satu) ayat 10 disebutkan

    tentang satuan pendidikan terdiri atas pendidikan formal, non-

    formal dan informal.

    Pemberdayaan masyarakat desa merupakan bagian dari

    kajian Sosiologi Pedesaan yang dikembangkan dari teori sosiologi

    klasik yang berparadigma definisi sosial, di mana konsep pem-

    berdayaan masyarakat lebih menekankan pada potensi individu

    yang lebih manusiawi dibandingkan dengan pembangunan ma-

    syarakat yang mengikuti paradigma fakta sosial atau aliran

    positivisme. Pemberdayaan masyarakat berparadigma definisi

    sosial merupakan konsep yang dianggap paling sesuai dengankonsep PNF yang sebagian besar penganutnya lebih menekankan

    konsep pendidikan yang beraliran humanis dibandingkan dengan

    kajian pendidikan yang beraliran behavioris. Perkembangan

    teori sosiologi akhir-akhir ini, juga terdapat perubahan tidak

    menggunakan konsep dikotomi antara paradigma fakta sosial

    dan definisi sosial tetapi lebih tertarik untuk menggunakan

    konsep garis kontinun diantara penganut aliran positivis dan

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    7/67

    6 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    aliran subjektivis dalam menerapkan konsep pembangunan

    masyarakat, sebagaimana dikembangkan oleh Ritzer dalam

    konsep sosiologi mikro makro (Ritzer, 2003) dan Gidden

    dalam teori Strukturasi (Gidden, 2004).Pemberdayaan masyarakat dalam konteks sosiologi mikro

    makro nampaknya sangat sesuai dengan konsep PNF yang

    beraliran humanis, terutama dalam penerapan Pendidikan Orang

    Dewasa yang dikembangakan oleh Malcom Knowles, namun

    dalam perkembangan pendidikan orang dewasa saat ini tidak

    hanya mengikuti aliran humanis saja, tetapi sudah pula ada

    yang menggunakan pendekatan aliran Behavioris. MenurutElias (2005) pendidikan orang dewasa dapat dikaji berdasarkan

    filosofis terdapat dua aliran, yaitu aliran behavioris dan aliran

    humanis. Aliran behavioris lebih menkankan bahwa pendidikan

    orang dewasa lebih banyak diberikan pada pendidikan ketram-

    pilan yang diidentifikasi dari kebutuhan ketrampilan untuk

    melaksanakan tugasnya, lebih lanjut menurut Elias (2005)

    aliran humanis lebih menekankan pada inisiatif warga belajar

    sendiri yang dianggap relevan dengan kebutuhan belajar.

    Memberdayakan masyarakat desa hutan melalui PNF,

    tentunya harus disesuaikan dengan karakteristik, kondisi empirik

    dan permasalahan yang dihadapi masyarakat desa tersebut.

    Berdasarkan hasil penelitian di beberapa daerah pinggiran

    hutan di kabupaten Malang, ditemukan berbagai permasalahan

    terkait dengan masyarakat desa hutan. Permasalahan tersebut

    antara lain: a) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, dantidak memiliki ketrampilan yang cukup memadai untuk menda-

    patkan pekerjaan yang memiliki penghasilan tetap, b) penda-

    patan yang relatif rendah sehingga kurang mencukupi untuk

    menopang kehidupan keluarga apalagi untuk membiayai pendi-

    dikan anak, c) pola konsumsi yang masih belum memenuhi

    standar konsumsi sehat, d) sebagian besar masyarakat desa

    hutan tidak memiliki lahan pertanian (landless), sehingga seba-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    8/67

    7Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    gian besar masyarakat desa hutan tergantung pada pengolahan

    lahan hutan, e) tingkat ketergantungan pada stimulan dari luar

    baik berupa program maupun materi yang sangat tinggi sehingga

    sulit untuk dapat hidup secara mandiri, dan f) lokasi atau letakgeografis relatif terisolir dan kurang ditunjamg oleh infrastruktur

    tranportasi yang memadai (Mundzir, 2006, 2008 dan 2009).

    A. Perkembangan Pendidikan Nonformal

    Bapak Rektor, dan para hadirin yang saya mulyakan.

    Pada kesempatan ini saya akan menjelaskan perkembangankonsep Pendidikan Nonformal.

    1. Konsep Pendidikan Nonformal

    Pendidikan nonformal (PNF) atau yang juga populer

    dengan sebutan pendidikan luar sekolah (PLS) sebelum Undang-

    Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003, tentang Sistem

    Pendidikan Nasional, mengikuti konsep Philip H Coomb yaitu:

    Any organized educational activity outside the established

    formal system wether operating separately or as an important

    feature of some broader activity that it intended to serve

    identiviable clientlels and learning objectives (Coombs,1973).

    Selanjutnya Coombs dan Ahmad mendefinisikan PNF is any

    organized, systematic, educational activity carried on outside

    the framework of the formal system to provide selected typesof learning to particular subgroups in the population, adults as

    well as children(Rogers, 2005:78). Pendidikan nonformal adalah

    setiap kegiatan yang terorganisir dan sistematis, di luar system

    persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau meru-

    pakan bagian penting dari aktifitas yang lebih luas, yang sengaja

    dilakukan untuk melayani belajar peserta didik tertentu dalam

    mencapai tujuan belajarnya. Pendidikan nonformal melayani

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    9/67

    8 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    pendidikan kepada masyarakat baik orang dewasa maupun

    anak-anak. Untuk memahami konsep PNF secara lebih jelas

    perlu memahami perbedaan antara pendidikan nonformal de-

    ngan pendidkan formal. Pada prinsipnya antara keduanya yaituPF dan PNF bukan berbeda secara dikotomis, tetapi berbeda

    secara kontinum dan perbedaan itu dalam hal tingkat keteror-

    ganisirannya. Simkins (1976) membedakan dari sisi tujuannya,

    waktu, isi, system penyampaian, dan control. Dari segi tujuan,

    PF bersifat jangka panjang dan untuk perolehan ijazah sedang

    PNF lebih jangka pendek dan spesifik dan kurang berorientasi

    ijazah. Dari sisi waktu, PF programnya lebih lama dan menjadidasar bagi program untuk tingkat berikutnya, merupakan per-

    siapan untuk masa depan yang panjang dan waktunyafull time,

    sedang PNF waktunya lebih pendek tergantung tujuan yang

    akan dicapai dan bukan persiapan untuk hidup tetapi tergantung

    kebutuhan baik untuk orang dewasa maupun anak-anak, dan

    bersifat part time. Dari segi isi program, PF biasanya lebih

    bersifat akademik sedang PNF isi programnya lebih bersifat

    praktis dan berguna dalam kehidupan langsung. Dari sisi sys-

    tem penyampaian, perbedaannya PF lebih berorientasi pada

    kelembagaan, programnya kurang berhubungan langsung dengan

    masyarakat sekitar, lebih berorientasi pada guru, penggunaan

    sumber lebih intensif, sedang PNF lebih berorientasi pada

    lingkungan, programnya juga berkaitan langsung dengan kebu-

    tuhan lingkungan, berorientasi pada warga belajar, lebih hemat

    dalam pembiayaan. Perbedaan terakhir adalah dalam hal con-trol dan evaluasi, PF evaluasi dilakukan oleh fihak di luar diri

    siswa, sedang PNF evaluasi ditekankan pada evaluasi diri dan

    lebih bersifat demokratis.

    Undang-Undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003

    tentang Sistim Pendidikan Nasional, menyatakan bahwa definisi

    pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan

    formal yang dapat dilaksanakan secara berstruktur dan ber-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    10/67

    9Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    jenjang. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga ma-

    syarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi

    sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan

    formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.Adapun fungsinya ialah untuk mengembangkan potensi peserta

    didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan

    keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepri-

    badian profesional.

    Bila dilihat dari lingkupnya, pendidikan nonformal dalam

    konteks penddikan luar sekolah yang berkembang di dunia

    internasional, banyak istilah yg mengacu pada pengertian pendi-dikan nonformal, antara lain: permanent education, life long

    education, recurrent education, community education, extention

    education, continuing education(Sudjana, 1991:11). Disamping

    itu juga ada adult education atau pendidikan orang dewasa

    yaitu usaha pendidikan pada umumnya yang dilakukan dengan

    kemauan sendiri (orang dewasa) termasuk pemuda di luar

    masa batas tertinggi kewajiban belajar di luar lingkungan

    sekolah (Yusuf, 1979). Pendidikan orang dewasa bisa diklasifikasi

    menjadi 5 jenis yaitu: 1) pendidikan lanjutan yaitu kegiatan

    yang ditujukan kepada masyarakat pemuda yang perlu menda-

    patkan pendidikan secukupnya menjelang memasuki gerbang

    kehidupan dewasa dengan memberi satu atau beberapa keahlian

    atau pengetahuan yang bersifat umum sebagai alat untuk mencari

    nafkah. 2) Pendidikan pembaharuan yaitu pendidikan yang

    diberikan kepada orang yang sudah melampaui masa pemudaagar memperolah kedudukan dalam kerja, 3) pendidikan kader

    yaitu pendidikan yang berupa latihan atau kursus yang diseleng-

    garakan oleh organisasi atau perkumpulan baik yang berkecim-

    pung dalam dunia politik, ekonomi atau hiburan dan bertujuan

    untuk kemajuan organisasi, 4) pendidikan popular yaitu kegiatan

    pendidikan yang ditujukan kepada semua orang agar dapat

    memanfaatkan waktu senggangnya dengan baik dan membe-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    11/67

    10 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    rikan aktivitas tertentu yang berguna dan bertujuan untuk

    pemenuhan hasrat orang untuk mencari perubahan dan variasi

    hidup. 5) Pendidikan kehidupan keluarga ataufamily life edu-

    cationyaitu pendidikan yang kegiatannya secara khusus berke-naan dengan nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan kegiatan kehidupan

    keluarga yang bertujuan memperkaya dan memperluas penga-

    laman anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam keluarga

    sebagai satu kesatuan kelompok.

    2. Program dan Satuan Pendidikan Nonformal

    Undang-undang RI No 20 tahun 2003 tentang Sistim

    Pendidikan Nasional, satuan pendidikan nonformal meliputi:

    lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat

    kegiatan belajar masyarakat (PKBM), majelis taklim, serta

    satuan pendidikan lain yang sejenis. Beberapa istilah tentang

    satuan pendidikan nonformal mungkin sudah familier di masya-

    rakat, namun terdapat satu satuan pendidikan yang perlu

    dijelaskan dalam konsep satuan PNF tersebut, yaitu PKBM.

    PKBM merupakan tempat belajar yang dibentuk dari, oleh, dan

    untuk masyarakat dalam rangka usaha untuk meningkatkan

    pengetahuan, sikap, hobi, dan bakat warga masyarakat (Sihom-

    bing, 2001). Pengertian lain dikemukakan oleh Kamil (2009)

    yang dirujuk dari konsep Unesco bahwa PKBM merupakan

    salah satu wadah dalam memberikan kesempatan penuh kepada

    seluruh komponen masyarakat agar mampu: a) memberdayakanmasyarakat, b) meningkatkan kualitas hidup masyarakat, dan

    c) pengembangan dan pembangunan masyarakat. Sedangkan

    program PNF menurut Undang-Undang No 20 tahun 2003

    tentang Sistem Pendidikan Nasional meliputi beberapa pro-

    gram, sebagai berikut: a) pendidikan kecakapan hidup (life

    skills), b) pendidikan anak usia dini, c) pendidikan kepemudaan,

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    12/67

    11Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    d) pemberdayaan perempuan, e) pendidikan keaksaraan, f)

    pendidikan ketrampilan, dan g) pendidikan kesetaraan.

    Konsep lain dikemukakan oleh Patricl Boyl bahwa pro-

    gram PNF terdapat tiga jenis, yaitu developmental, institu-tional, dan informasional (Boyle, 1981). Program Pengem-

    bangan (developmental Program)ialah upaya PNF yang dimak-

    sudkan untuk membantu suatu masyarakat atau kelompok

    sosial dalam mengenali dan memecahkan masalah yang mereka

    hadapi. Ini dilakukan jika di dalam sistem sosial terdapat suatu

    masalah yang perlu dipecahkan atau suatu perbaikan yang

    perlu dilakukan, dan anggota masyarakat tersebut perlu digerak-kan untuk melakukan tindakan nyata (kongkrit). Bentuk kegiatan-

    nya bisa berupa: 1) aksi sosial misalnya gotong royong, bakti

    sosial, dll, 2) pengorganisasian masyarakat misalnya dibentuk

    koperasi, kepanitiaan, dll. Sedangkan program institusional

    (Institutional program) atau training ialah upaya pendidikan

    yang diberikan kepada perorangan dengan tujuan penguasaan

    kemampuan-kemampuan tertentu yang diperlukan untuk melak-

    sanakan tugas-tugas tertentu di lapangan kerja atau di masya-

    rakat. Program ini berupa: 1) tindak lanjut dari program

    informasional misalnya setelah mengetahui adanya teknologi

    baru, ingin belajar menggunakannya, dan 2) pemberian keteram-

    pilan baru sama sekali. Adapun program penyuluhan (Informa-

    sional program) yaitu upaya PNF yang bertujuan untuk menye-

    barkan informasi baru yang penting bagi masyarakat atau

    kelompok social dalam rangka peningkatan taraf hidup danperbaikan lingkungan. Informasi tersebut berupa: perundang-

    undangan, penemuan baru, peraturan atau kebijakan baru, dan

    sebagainya yang perlu diketahui oleh seluruh warga negara.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    13/67

    12 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Ketua Senat UM yang saya hormati

    Para hadirin yang saya mulyakan

    Perkenankan saya akan menyampaikan kosep Masyarakat DesaHutan dalam perspektif teori sosiolog

    B. Masyarakat Desa Hutan dalam Perspektif Teori Sosiologi

    Hutan rakyat merupakan penomena yang relatif baru

    dalam kamus kehutanan di Indonesia. Menurut Undang-Undang

    Republik Indonesia No.5 Tahun 1967 tentang Ketentuan PokokKehutanan istilah hutan rakyat belum dimasukkan secara pro-

    porsional. Di dalam undang-undang tersebut istilah yang digu-

    nakan adalah lahan milik rakyat yang ditanami pepohonan

    (Simon, 1998). Sementara Departemen kehutanan mendefinisi-

    kan hutan rakyat adalah:

    Suatu lapangan di luar hutan Negara yang didominasi oleh pohon-pohonan, sedemikian rupa sehingga secara keseluruhan merupakanpersekutuan hidup alam hayati beserta lingkungannya. (Dephut,1993)

    Definisi tersebut hanya membedakan lahan yang dimiliki

    pemerintah dan lahan yang dimiliki rakyat. Sedangkan menurut

    kamus kehutanan, hutan rakyat adalah:

    Lahan milik rakyat atau milik adat atau ulayat yang secara terusmenerus diusahakan untuk usaha perhutanan yaitu jenis kayu-kayuan, baik tumbuh secara alami maupun hasil tanaman (Kamus

    Kehutanan, 1990).

    Sedangkan definisi lain dikemukakan oleh Alrasyid (1973)

    bahwa hutan rakyat adalah:

    Hutan yang dibangun di lahan milik atau gabungan lahan milikyang ditanami pohon dengan pembinaan dan pengelolaannya

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    14/67

    13Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    dilakukan oleh pemiliknya atau badan usaha dengan berpedomanpada ketentuan-ketentuan yang telah digariskan pemerintah.

    Akhir-akhir ini berbagai pihak, termasuk Pemerintah dan

    masyarakat yang peduli terhadap lingkungan sadar tentang hal

    tersebut, misalnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat

    (LSM) mengembangkaan berbagai pendekatan untuk melibatkan

    masyarakat petani dalam pengeloalaan hutan yang dikenal

    dengan Perhutanan Sosial (social forestry). Pemerintah meng-

    anggap penting pelibatan masyarakat sekitar hutan dengan

    model kemitraan dalam pengelolaan hutan dengan sebutan

    petani pesanggem dan petani magersaren. Petani pesanggemdimaksud adalah petani penggarap lahan hutan yang tinggal di

    luar hutan dengan sistem kontrak bagi hasil. Sedangkan petani

    magersaren adalah petani yang tinggal di dalam hutan dan

    biasanya mereka merupakan tenaga kerja dari suatu perusahaan

    atau perkebunan milik rakyat. Kegiatan pelibatan petani pesang-

    gem merupakan kegiatan yang saling menguntungkan (mutual

    symbiosis). Petani dapat memperoleh penghasilan dari polatanam tumpangsari dan Perum Perhutani meperoleh keuntungan

    tanaman mudanya dapat terpelihara dengan baik, di samping

    itu lingkungan hutan juga terjamin kelestariannya. Apabila

    program tersebut dilakukan dengan baik akan diperoleh multi

    keuntungan, yaitu nilai ekonomi bagi petani dan pemerintah

    juga keuntungan dengan hasil hutan serta terjaganya pelestarian

    hutan sehingga kerugian akibat banjir dan longsor tidak terjadi.

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa kearifan masyarakat dalam

    melestarikan hutan baik hutan rakyat di daerah Gunung Kidul,

    maupun hutan produksi dan hutan lindung di desa Sumber-

    agung, desa Benjor di Kabupaten Malang memiliki arti penting

    dalam menanggulangi deforestasi. Kegiatan pesanggem dalam

    pelestarian hutan tidak sekedar memiliki makna dari aspek

    kelestarian hutan, tetapi juga memiliki makna untuk memenuhi

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    15/67

    14 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    kebutuhan hidup masyarakat sekitar hutan (San Afri Awang,

    2001, 2006 dan Mundzir, 2005 dan 2006).

    Konsep Perhutanan Sosial (Social Forestry) mengalami

    perubahan dari tahun ke tahun dalam rangka pelibatanpesang-gemdalam proses pengelolaan hutan di Jawa. Dalam seminar

    internasional di Yogjakarta tahun 1994 dengan tema Social

    Forestry and Sustainable Development terdapat beberapa

    pengertian yang disepakati bahwa: 1) Perhutanan Sosial adalah

    nama kolektivitas untuk strategi pengelolaan hutan yang membe-

    rikan perhatian khusus kepada pemerataan distribusi produk

    hasil hutan dalam kaitannya dengan kebutuhan berbagai kelom-pok dalam masyarakat dan partisipasi aktif dari organisasi dan

    penduduk lokal di dalam pengelolaan hutan, 2) perhutanan

    sosial dapat diartikan sebagai suatu strategi pembangunan atau

    intervensi rimbawan profesional dan organisasi pembangunan

    lainnya dengan tujuan untuk menstimulasi keterlibatan aktif

    penduduk lokal dalam berbagai macam kegiatan pengelolaan

    hutan skala kecil, sebagai tujuan antara untuk meningkatkan

    keadaan kehidupan masyarakat tersebut; 3) perhutanan sosial

    adalah suatu strategi yang difokuskan pada pemecahan masalah

    penduduk lokal di samping mengelola lingkungan wilayah.

    Oleh karena itu hasil utama dari perhutanan sosial tidak hanya

    kayu, namun hutan dapat diarahkan untuk memproduksi bera-

    gam komoditas sesuai dengan kebutuhan masyarakat di wilayah

    tersebut, termasuk kayu bakar, bahan makanan, pakan ternak,

    buah-buahan, air, hewan, alam, keindahan, perburuan dansebagainya, 4) perhutanan sosial secara mendasar ditujukan

    kepada peningkatan produktivitas, pemerataan dan kelestarian

    dalam pembangunan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam

    melalui partisipasi aktif masyarakat. Paradigma perhutanan

    sosial memiliki nilai-nilai esensial dalam pembangunan kehu-

    tanan, yaitu memposisikan rakyat dan masyarakat yang utama

    dalam pengelolaan, partisipasi dalam pengambilan keputusan

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    16/67

    15Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    dan pemerataan sosial dan pentingnya peranan sistem asli

    masyarakat serta mempertahankan biodiversitas (Awang, 2000).

    Perhutanan Sosial yang diperluas maknanya menjadi

    Perhutanan Masyarakat (community forestry)merupakan aksesbesar yang harus dikembangkan dengan membangun masyarakat

    sekitar hutan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. De-

    ngan keberhasilan pembangunan tersebut paling tidak dapat

    menjaga kelestarian hutan karena masyarakat sekitar hutan

    juga dapat menikmati hasil hutan. Hasil penelitian hutan masya-

    rakat di Gunung Kidul merupakan kisah keberhasilan pemba-

    ngunan hutan dengan modal kemampuan dan kesabaran masya-rakat (San Afri Awang, 2001).

    1. Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan dalam Konteks

    Sosiologi Mikro Makro

    Pada bagian ini akan dibahas tentang konsep teori Integrasi

    Mikro Makro Ritzer, yang merupakan perkembangan penting

    dalam teori sosiologi terakhir. Dalam pembahasan ini juga

    dihubungkan dengan konsep pendahulunya, seperti Karl Marx

    dan Peter L Berger. Analisis teori Mikro Makro berawal dari

    pemikiran dialektif Berger seperti juga dimiliki Karl Marx yang

    menyadari bahwa manusia merupakan makhluk paradoksal, di

    mana ciri paradoksal manusia itu tercermin dalam dunia inter-

    subjektivitas. Menurut Parera dalam mukadimah bukunya Ber-

    ger yang berujudul The Construction of Reality bahwa manusiamelihat kenyataan sosial yang diterima sebagai kenyataan ganda

    bukan sebagai kenyataan sosial yang tunggal (Berger, 1966:

    xx). Demikian pula pemikiran Berger tentang dialektik berangkat

    dari konsep kenyataan di satu pihakdan pengetahuandi pihak

    lain. Kenyataan diartikan sebagai suatu kualitas yang terdapat

    dalam fenomena-fenomena yang diakui sebagai memiliki keber-

    adaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak diri

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    17/67

    16 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    sendiri dan tidak dapat meniadakan dengan angan-angan. Se-

    dangkan pengetahuan diartikan sebagai kepastian bahwa feno-

    mena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik-

    karakteristik yang spesifik (Berger, 1966:1). Pengetahuan dalamkonteks pembahasan Berger mengarah pada konsep sosiologi

    pengetahuan sebagai disiplin ilmu yang menekuni analisis pem-

    bentukan kenyataan oleh masyarakat (social construction of

    reality) sedangkan kenyataan di pihak lain diartikan sebagai

    kehidupan sehari-hari tidak hanya diterima begitu saja, tetapi

    dunia yang berasal dari pikiran-pikiran dan tindakan-tindakan

    serta dipelihara sebagai sesuatu yang nyata oleh pikiran dantindakan tersebut. Lebih lanjut Berger menjelaskan dasar-dasar

    pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari, yakni: objektivasi

    (pengobjektifan) dari proses-proses subjektif, di mana dunia

    akal sehat intersubjektif tersebut dibentuk. Pembahasan berikut-

    nya tentang konsep ekstrem mikro makro, pergeseran menuju

    integrasi mikro makro dan model integrasi mikro makro, serta

    alasan pemilihan teori ini untuk menganalisis fenomena sosial

    yang terjadi pada masyarakat pesanggem yang berada di pinggiran

    hutan.

    a. Dialektika dalam Perspektif Teori Berger

    Pemikiran dialektika dalam konsep Berger dikembangkan

    dari pemikiran Karl Marx tentang paradoksal manusia, di

    mana manusia memandang kenyataan sosial yang bermaknaganda, bukan bermakna tunggal. Pemahaman dialektika antara

    kenyataan sosial dan eksistensi individu menurut Berger bukan

    sama sekali hal baru, tetapi sudah didahului Marcel Mauss

    (dalam Berger, 1966) di mana dia beranggapan bahwa pema-

    haman tentang keseluruhan fakta sosial (total social fact) akan

    dapat melindungi sosiologi terhadap reifikasi-reifikasi sosio-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    18/67

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    19/67

    18 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    bagian dari suatu dunia manusiawi yang dibuat oleh manusia,

    dihuni oleh manusia dan pada gilirannnya membuat manusia

    berada dalam suatu proses yang berlangsung secara terus

    menerus (Berger, 1966: 269). Dengan demikian masyarakattidak sekedar kumpulan manusia yang statis, tetapi manusia

    yang dalam proses sosialisasinya membentuk suatu masyarakat,

    di mana mereka berada di dalamnya. Lebih lanjut Berger

    memandang bahwa masyarakat sebagai produk manusia dan

    manusia sebagai produk masyarakat. Pemikiran Berger tersebut

    juga didukung oleh pemahaman Parera (1966) dalam tulisan

    pengantar penerbitan bukunya Berger yang berjudul The Con-struction of Reality tahun 1966 bahwa manusia adalah pencipta

    kenyataan sosial yang objektif melalui proses eksternalisasi,

    sebagaimana kenyataan objektif mempengaruhi kembali manusia

    melalui proses internalisasi yang mencerminkan kenyataan

    subjektif (Berger, 1966: xx). Oleh karena itu masyarakat berada

    baik sebagai kenyataan objektif maupun subjektif, maka setiap

    pemahaman teoretis yang dianggap memadai tentang masyarakat

    harus mencakup kedua aspek tersebut. Cara pandang terhadap

    masyarakat tersebut membawa kearah proses pemikiran dialek-

    tis yang berjalan secara terus menerus dan terdiri dari tiga

    momen, yaitu: 1) eksternalisasi, di mana individu penyesuaian

    diri dengan dunia sosio kultural sebagai produk manusia, 2)

    objektivasi adalah interaksi sosial dalam dunia subjektif dan 3)

    internalisasi adalah aktivitas individu dalam mengidentifikasikan

    diri dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempatindividu menjadi anggotanya (Berger, 1966: 185).

    Pembahasan teori mikro makro dalam kajian Ritzer

    merupakan lanjutan pembahasan teori dialektif Berger dalam

    memandang kenyataan sosial dalam perspektif teori posiitivis

    di mana pemikiran tentang masyarakat sebagai kenyataan

    objektif di satu pihak, sedangkan di pihak lain terdapat kenyataan

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    20/67

    19Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    sosial yang dibangun oleh individu dalam perspektif teori

    subjektivis, di mana masyarakat dilihat berdasarkan kenyataan

    subjektif. Konsep teori mikro makro Ritzer lebih menekankan

    pada kenyataan hidup saling berhubungan antar komponendalam bermasyarakat yang dibagi dalam empat dimensi dalam

    dua paradigma, tidak dalam tarap pemikiran sebagaimana dikon-

    sepsikan oleh Berger bahwa dialektika adalah suatu proses di

    mana masyarakat sebagai produk manusia dan manusia sebagai

    produk masyarakat.

    b. Ekstremisme Mikro Makro

    Pembagian dan penafsiran secara ekstrem kedua jenis

    aliran telah mernimbulkan konflik antara teori mikroskofik

    dan makroskofik ekstrem yang mengakibatkan penafsiran teori

    sosiologi menurut mereka masing-masing (Archer, 1982, Goul-

    der, 1970, Wardell dan Turner, 1986 dan Wiley, 1985 dalam

    Ritzer, 2003: 472- 473). Meskipun terdapat kemungkinan

    untuk menafsirkan teoretisi sosiologi klasik seperti Marx,

    Durkheim, Weber dan Simmel, sebagai teoretisi ekstrem mikro

    dan makro, namun perspektif yang berpengaruh adalah

    perhatian hubungan mikro-makro (Moscovici, 1993 dalam

    Ritzer, 2003: 472). Menurut Ritzer, Marx dapat dipandang

    sebagai teoretisi yang tertarik pada dampak penggunaan koersif

    dan mengasingkan dari masyarakat kapitalis terhadap buruh

    secara individual, sedangkan Weber yang mempunyai perhatianterhadap keburukan individu dalam kurungan besi masyarakat

    rasional formal. Adapun Simmel, menurut Ritzer lebih

    memperhatikan hubungan antara kultur objektif (makro) dan

    subjektif (individual atau mikro), begitu pula dengan Durkheim

    yang memusatkan perhatian pada pengaruh fakta sosial tingkat

    makro terhadap individu dan terhadap perilaku individu dalam

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    21/67

    20 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    kasus bunuh diri. Apabila dilihat dari pelukisan watak teoretisi

    sosiologi klasik tersebut, maka akan kelihatan bahwa para ahli

    sosiologi pada pertengahan abad ke 20 telah kehilangan per-

    hatian terhadap hubungan tersebut, dan ada dominasi ekstremmikro dan makro atau paling tidak lebih menonjolkan satu

    teori dari kubu mikro atas teori yang lain dalam kubu makro

    atau sebaliknya.

    c. Pergeseran Menuju Mikro-Makro

    Meskipun ekstremisme mikro-makro menandai banyak-nya teori sosiologi pada abad ke-20, namun pada tahun 1980-

    an terlihat gerakan menjauh dari keekstreman tersebut, yang

    sebagian besar dalam aliran sosiologi Amerika, menuju konsen-

    sus luas kearah integrasi mikro-makro atau pada tingkat analisis

    sosial. Pendekatan ini mencerminkan perubahan diam-diam

    yang terjadi pada tahun 1970-an ketika Kemeny menyatakan

    bahwa sangat kecil perhatian yang diberikan terhadap perbedaan

    istilah mikro-makro, bahkan tidak dimasukkan dalam indeks

    dalam karya sosilogi (Ritzer 2003: 474). Menurut Ritzer per-

    kembangan yang sangat dramatis terjadi pada tahun 1980-an

    dan 1990-an di mana karya teoretisi memusatkan perhatian

    hubungan mirko-makro pada masa sebelumnya yang hanya

    menekankan hubungan antara teori berskala kecil dan besar

    dalam karya HelmutWagner (1964), yang selajutanya pada

    tahun 1969, perkembangan tersebut mengarah pada pemba-hasan kontinum mikro-makro tetapi hanya menempati peran

    sekunder dalam analisisnya justru menjadi salah satu perintang

    dalam taksonomi dasar teori sosiologi yang dikembangkannya.

    Baru pada tahun 1980 an karya tentang hubungan mikro-

    makro nampak lebih jelas. Collins menyatakan bahwa karya

    tentang topik mikro-makro menjanjikan bidang kemajuan teo-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    22/67

    21Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    retis signifikan di masa mendatang (Collins, 1986 dalam Ritzer,

    2003: 474). Dan lebih lanjut Helle dan Eisentadt, (1985),

    menyimpulkan bahwa konfrontasi antara mikro-makro mestinya

    sudah berlalu, demikian pula menurut dalam ontology TheMicro Macro Link(Munch dan Smelser dalam Alexander, dkk.

    1987 dalam Ritzer, 2003: 474) menegaskan bahwa orang yang

    mempolemikkan bahwa satu tingkat lebih fundamental dari

    yang lain, seharusnya dipandang keliru. Terdapat dua butir

    utama tentang karya integrasi mikro-makro, beberapa teoreti

    memusatkan perhatian untuk mengintegrasikan teori mikro

    dan makro, sedangkan teoreti lainya memusatkan untuk mem-bangun sebuah teori yang membahas hubungan antara tingkat

    mikro dan makro dari analisis sosial. Terdapat perbedaan

    penting antara upaya untuk mengintegrasikan teori makro

    (fungsionalisme struktural) dan teori mikro (interaksi simbolik)

    dan upaya membangun sebuah teori yang dapat menjelaskan

    hubungan antara analisis sosial tingkat mikro (persepsi) dan

    analisis sosial tingkat makro (struktur sosial).

    d. Model Integrasi Mikro Makro Ritzer

    Pola pemikiran Ritzer tentang integrasi mikro-makro

    telah dimulai oleh para pendahulunya, antara lain; Abraham

    Edel, George Garvitch dan Bosserman. Menurut Ritzer, Gur-

    vitch bekerja dengan keyakinan bahwa kehidupan sosial dapat

    dikaji dari aspek lima level horizontal atau level mikro-makro (Ritzer, 2003: 475). Ke lima level tersebut, adalah: 1)

    bentuk-bentuk sosialitas, 2) pengelompokan, 3) kelas sosial, 4)

    struktur sosial dan 5) struktur global. Karya Ritzer tentang

    integrasi paradigma sosiologi sebagian dimotivasi oleh kebutuhan

    untuk membangun sebuah model analisis yang lebih sederhana

    berdasarkan pemikiran Gurvitch tersebut. Dimulai dari konti-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    23/67

    22 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    num mikro-makro 5 tingkat horizontal model Gurvitch yang

    bergerak dari pemikiran dan tindakan individual ke sistem

    dunia ke dalam enam tingkat, antara lain: 1) sistem dunia, 2)

    masyarakat, 3) organisasi, 4) kelompok, 5) interaksi dan 6)pikiran dan tindakan individu (Ritzer, 2003: A-17). Untuk lebih

    memperjelas keterkaitan antara mikro makro dengan enam

    tingkat tersebut dapat diikuti dalam diagram sebagai berikut.

    Diagram: Garis Kontinum Mikro Makro Model Gurvitch

    Kajian mikro-makro ini ditambah kontinum subjektif-

    objektif dalam tiga tingkat yang bergerak dari: 1) konstruksi

    sosial tentang realitas, norma dan sebagainya, 2) kombinasi

    dalam berbagai tingkat unsur objektif dan subjektif, 3) aktor

    tindakan, interaksi, struktur, birokrasi, hukum dan sebagainya.

    Untuk lebih memperjelas pemahaman tentang pendekatan ob-

    jektif subjektif dengan tiga tingkat tersebut dapat diikuti dia-gram sebagai berikut.

    Pikirandan

    Tindakan

    individu

    Inter

    aksi

    Kelom

    pok

    Organisa

    si

    Masya

    ra

    kat

    Sistem

    du

    nia

    Mikroskopik Makroskopik

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    24/67

    23Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    Diagram: Garis Kontinum Objektif Subjektif Model Gurvitch

    Berdasarkan pemikiran Gurvitch dengan dua model makro

    mikrto dengan enam tingkat ditambah objektif subjektif dengan

    tiga tingkat tersebut, Ritzer berusaha untuk menyederhanakan

    dan mempermudah pemahaman dengan cara menyilangkan dua

    kontinum untuk menghasilkan empat tingkat analisis sosial.

    Upaya yang dilakukan Ritzer tersebut jauh lebih mudah dipa-hami ketimbang sembilan tingkat terpisah dalam model Gur-

    vitch. Pola pemikiran Ritzer dalam kategori empat tingkat

    menyilang dan saling berhubungan dapat dilihat dalam model

    sebagai berikut.Sumber: Ritzer, 2003:476

    ObjektifSubjektif

    Aktor,tindakan,

    interaksi

    struktur,

    birokrasi,

    hukum dsb

    Kombinasidalam

    berbagai

    tingkat

    unsureobjektif dan

    subjektif,

    Konstruksisocial tentang

    realitas,

    norma dsb

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    25/67

    24 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Sumber: Ritzer, 2003:476

    Diagram: Hubungan Mikro Makro dengan Subjektif Positif

    Model Ritzer

    Dilihat dari sudut masalah mikro makro, menurut Ritzer

    isu masalah sosial tidak dapat dijelaskan terlepas dari kontinum

    objektif-subjektif. Seluruh fenomena sosial mikro makro adalah

    fenomena objektif atau subjektif. Dengan demikian konse-

    kuensinya adalah terdapat empat tingkat utama analisis sosial

    dan para sosiolog harus memusatkan perhatian pada hubungandialektik dari keempat tingkat analisis tersebut. Tingkat makro

    objektif meliputi: realitas material berskala luas seperti: masya-

    rakat, birokrasi, dan teknologi. Tingkat makro subjektif meli-

    puti: fenomena non material bersekala luas, misalnya: norma

    dan nilai. Di tingkat mikro objektif meliputi kesatuan objektif

    bersekala kecil, seperti: pola tindakan, interaksi, sedangkan

    subjektivitas mikro meliputi proses mental berskala kecil,

    Makroskopik

    Positif

    Makro-Objektif

    Contoh: Undang-

    Undang, Hukum,

    masyarakat

    Makro-Subjektif

    contoh: budaya, norma

    dan nilai

    Subjektif

    Mikro-ObjektifContohnya: pola

    perilaku, tindakan

    dan interaksi

    Mikro-SubjektifContohnya: persepsi,

    dan keyakinan individu

    yang membangun

    realitas sosial

    Mikroskopik

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    26/67

    25Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    seperti: persepsi, keyakinan individu yang membangun realitas

    sosial. Masing-masing keempat tingkat analisis ini mempunyai

    arti penting sendiri-sendiri, tetapi yang paling penting adalah

    hubungan dialektik di antara keempatnya.

    2. Masyarakat Desa Hutan dalam Perspektif Integrasi Mikro

    Makro

    Masyarakat desa hutan sebagian besar merupakan masya-

    rakat pinggiran hutan banyak berhubungan dengan berbagai

    macam lembaga, baik lembaga yang berkaitan dengan layananpublik, seperti pemerintahan desa, dinas kehutanan, perum

    Perhutani, maupun lembaga sosial, misalnya Lembaga Pemberda-

    yaan Masyarakat Desa (LPMD), Kelompok Pesanggem (KP),

    Kelompok Keagamaan dan sebagainya. Pendekatan Makro

    Mikro Ritzer apabila digunakan untuk menjelaskan fenomena

    sosial dalam masyarakat dapat mendeskripsikan berbagai kom-

    ponen kemasyarakatan, baik dari aspek struktur sosial maupun

    dinamika sosialnya. Komponen masyarakat desa hutan menurut

    pendekatan mikro makro Ritzer, dapat dikatagorikan sebagai

    berikut: 1) Pesanggem sebagai individu dengan keyakinan dan

    persepsinya terhadap hutan, tidak dapat dilepaskan dengan

    aturan-aturan perudang-undangan yang berlaku, baik peraturan

    yang terkait dengan undang-undang kehutanan maupun undang-

    undang otonomi daerah. Dalam kenyataan sosial yang objektif

    pesanggem harus tunduk pada aturan yang dibuat oleh negara,baik Pemerintah (baca: Pemerintah Pusat) maupun pemerintah

    daerah. Pesanggem melalukan penyesuaian diri terhadap pera-

    turan perundang-undangan melalui proses eksternalisasi. 2) KP

    sebagai kelompok pesanggem yang peduli terhadap hutan,

    karena fungsi lembaga yang memiliki aktivitas memelihara

    kelestarian hutan yang sekaligus sebagai mitra Perum Perhutani.

    3) Masyarakat desa hutan merupakan masyarakat pinggiran

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    27/67

    26 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    hutan yang memiliki budaya melestarikan hutan, 4) Perum

    Perhutani sebagai lembaga yang bertanggung jawab terhadap

    pengelolaan hutan dengan perangkat perundangannya dan 5)

    Pemerintah desa pinggiran hutan dengan seluruh perangkatdesanya. Ke lima komponen tersebut mempunyai hubungan

    dialektik dalam proses pelestarian hutan pada masyarakat

    desa. Secara rinci hubungan dialektik dalam konsep teori

    mikro-makro Ritzer tersebut dapat diikuti dalam diagram seba-

    gai berikut.

    Diagram: Hubungan antar Aspek Kehidupan dalam Masyarakatmenurut Pendekatan Mikro Makro Ritzer

    Kajian lain tentang berbagai faktor yang terkait dengan

    lingkungan hidup terutama manusia yang hidup di pinggiran

    hutan dilakukan oleh The International Forestry Resources and

    Institutions (IFRI) bahwa manusia memiliki dorongan dan

    Mikro subjektif:

    Persepsi individu

    thd pelestarian hutan

    di desa Hutan

    Makro Objektif:Struktur masyarakat

    desa dan UU tentang

    Kehutanan

    Mikro objektif:Partispasi pesanggem

    dlm upaya pelestarian

    hutan melalui

    Kelompok Petani

    Hutan

    Objektif Subjektif

    Makro subjektif:Norma yg berlaku

    dlm Msyarakat Desa

    Hutan

    Makroskopik

    Mikroskopik

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    28/67

    27Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    perilaku yang dipengaruhi oleh faktor sosial ekonomi dan

    demografi akan menjadi tantangan dalam ekosistem hutan

    lokal. Kegiatan masyarakat sekitar hutan tersebut dapat menim-

    bulkan kerusakan hutan dan akan berdampak terjadinya gang-guan kerusakan hutan secara fisik baik lokal maupun global

    dan selanjutnya dapat mempengaruhi faktor sosial ekonomi

    dan demografi masyarakat secara keseluruhan. Faktor sosial

    ekonomi dan demogarfi tersebut selanjutan mempengaruhi

    motivasi dan perilaku mereka terhadap ekosistem lingkungan

    hutan lokal, di mana mereka bertempat tinggal. Di samping itu

    juga terdapat faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalahfaktor kelembagaan yang mempunyai hubungan timbal balik

    dengan perilaku dan dorongan manusia dan juga mempunyai

    hubungan dengan faktor sosial ekonomi dan demografi. Demi-

    kian pula gambaran tentang kerusakan hutan dan hilangnya

    biodiversitas yang disebabkan oleh dorongan dan perilaku

    manusia. Untuk menjelaskan tentang deforestasi dan hilangnya

    biodiversitas Program riset IFRI menggambarkan dalam pe-

    ngembangan kerangka kerja oleh The Institutional Analysisand

    Development (IAD) dan digunakan oleh asosiasi koleganya

    dalam suatu workshop tentang Analisis Kebijakan dan Teori

    Politik di Indiana University Kiser and Ostrom, 1982, Ostrom,

    1986, Oakerson, 1992; Ostrom, Gadner, and Walker, 1994

    dalam Gibson, 2000: 8). Secara lebih jelas gambaran hubungan

    dorongan dan perilaku manusia dengan faktor sosial ekonomi

    dan demografi serta respon ekosistem hutan lokal dengankelembagaan dapat dilihat dalam diagram sebagai berikut.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    29/67

    28 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Sumber: Gibson, 2000: 9

    3. Masyarakat Desa Hutan dalam Perspektif Budaya Jawa

    a. Realitas dalam Perspektif Masyarakat Jawa

    Masyarakat Jawa memiliki pandangan hidup bahwa

    realitas tidak dapat dibagi dalam berbagai aspek yang terpisah-

    pisah tanpa ada hubungan satu dengan yang lain, misalnya

    sikap terhadap alam tidak terpisahkan dengan dengan sikap

    sosial, dan sikap religius tidak terpisahkan dengan non religius

    (alam). Demikian juga masalah pekerjaan, interaksi dan doa

    tidak ada perbedaan yang hakiki (Mulder, 1973 dalam Suseno,

    2003: 82). Realitas merupakan suatu kesatuan yang menyeluruh,

    di mana manusia memberi suatu struktur yang bermakna

    berdasarkan alam pengalaman. (Suseno, 2003: 82). Pandangan

    dunia bagi orang Jawa bukanlah suatu pengertian yang abstrak,

    melainkan berfungsi sebagai sarana dalam usahanya untuk

    mencapai keberhasilan dalam menghadapi masalah kehidupan.

    Global and Local

    Physical FactorsLocal Forest

    Ecosystem Response

    Human Incentives

    and BehaviorSocio economic and

    Demographic Factors

    Institutional Factors

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    30/67

    29Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    Lebih lanjut Suseno mengatakan bahwa orang Jawa tidak

    memisahkan antara teori dan praksis sebagaimana pola pikir

    orang Eropa jaman sekarang. Pandangan dunia orang Jawa

    tidak terpisah dengan kelakuan dalam dunia, sehingga keyakinanyang dimiliki dapat membuat ketenangan batin dan dapat

    mewujudkan suatu kesatuan pengalaman yang harmonis dalam

    menjalani kehidupan. Demikian pula pendapat Robert Jay

    (dalam Suseno, 2003: 83) tentang kelakuan orang Jawa, dika-

    takan bahwa orang Jawa lebih banyak mempunyai perhatian

    terhadap dunia sana demi dunia sini dari pada sebaliknya.

    Berdasarkan beberapa pendapat tentang orang Jawa tersebutdapat dikatakan bahwa orang Jawa memiliki pandangan bahwa

    kehidupan di dunia tidak terlepas dari kehidupan di akhirat.

    Kelakukan sehari-hari dikontrol oleh keyakinan tentang adanya

    kekuasaan yang menentukan kehidupan di alam akhirat. Uraian

    berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut tentang realitas sebagai

    suatu kesatuan hidup, dan prinsip kehidupan masyarakat Jawa.

    1) Realitas sebagai Suatu Kesatuan Hidup

    Mentalitas bangsa Indonesia terutama masyarakat Jawa

    berakar pada alam pikiran monisme, di mana alam pikiran

    mendarah daging dan bertengger begitu kuatnya dalam batin.

    Alam pikiran monisme berintikan faham kemanunggalan; ma-

    nunggal antara jagad ageng dengan jagad alit (baca: makro dan

    mikro kosmos), manunggal antara dunia materi dengan duniabatin, manunggal antara dunia nyata dengan gaib, dan manunggal

    pula antara Tuhan dengan makhluk ciptaan Nya. (Koentjara-

    ningrat, 1992; Suseno, 2003; Koentjaraningrat, 2002; Soesilo,

    2005). Inti pandangan masyarakat Jawa mengandung makna

    bahwa manusia sebagai individu dan juga suatu masyarakat

    atau bangsa, bukanlah diri yang otonom, tetapi ia adalah satu

    menyatu manunggal di dalam totalitas semesta. Soal sakit,

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    31/67

    30 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    makmur, bencana, keselamatan dan sebagainya, bukanlah soal

    diri sendiri, tetapi totalitas semesta; apapun yang terjadi di

    kolong langit ini, semuanya tidak terlepas dari misteri dan daya

    totalitas semesta.Di dalam totalitas semesta ini, diri manusia orang seorang

    dan diri masyarakat berkewajiban untuk berbuat yang laras

    santun, tidak melakukan loncatan-loncatan serta kejutan-

    kejutan; keselamatan orang seorang dan masyarakat luas terletak

    pada perbuatan yang laras santun. Kalau tidak, akan timbul

    mara bahaya, malapetaka, kesengsaraaan, bencana, dan hal

    tersebut merupakan suatu pertanda dari totalitas semesta yanglagi goncang ngambek - murka terhadap ulah yang tidak

    laras santun. Kalau terjadi bencana, kesengsaraan, wabah, atau

    masalah serta krisis apa saja, selalu dipulangkan pada angkara

    murka yang disebabkan oleh dosa-dosa manusia.

    Sisi lain dari alam pikiran monisme ialah memandang

    totalitas semesta sebagai suatu wadah ber daya dan sakral.

    Kesakralannya tersebar dan dikembalikan pada bagian-bagian

    tertentu semesta, seperti pada pohon beringin, pohon aren,

    kuburan, benda-benda pusaka, para wali, para kyai, para dukun,

    para pemimpin yang memperoleh wangsit dan sebagainya.

    Bagian-bagian semesta yang dipandang keramat dan sakral

    itulah tempat orang berserah diri dan mengadukan nasibnya,

    termasuk tempat memintakan keselamatan dan supaya dijauhkan

    dari aneka macam mara bahaya atau bencana; pintu berkah

    dan tata tentrem tempatnya pada bagian-bagian semesta yangdipandang keramat dan sakral tadi, karenanya orang kebanyakan

    harus pandai-pandai berbuat santun (termasuk memuja) alamat-

    alamat sakral dimaksud.

    Bawaan lain dari sikap hidup laras santun yang dituntut

    oleh monisme, ialah mengerasnya tuntutan untuk senantiasa

    memelihara cara-cara hidup yang telah diadatkan secara turun

    temurun. Melakukan kejutan, lompatan-lompatan yang lain

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    32/67

    31Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    dari biasanya, sama saja dengan berbuat tidak tahu adat

    mengundang bencana dan itu bukanlah tingkah laku terpuji.

    Dalam hubungan ini, sangat dituntut untuk menoleh kebelakang,

    yaitu bercermin pada cara-cara hidup nenek moyang, meladenipara leluhur, senantiasa meminta dan menanti restu dari orang-

    orang sepuh. Dengan demikian terjadilah apa yang disebut

    kontinuitas kebudayaan. Masih dalam hubungan ini, juga

    dituntut sikap hidup yang berupa komunalisme; yang pertama-

    tama dan utama ialah kepentingan bersama dan kebersamaan

    itu sendiri, termasuk di dalamnya sikap tenggang rasa, kompro-

    misme dan hilangnya kemerdekaan individualitas. Berpikir dirisendiri, apalagi yang tidak diselaraskan dengan suara orang

    banyak akan dicap sebagai pribadi yang tidak tahu adat.

    Karenanya, menjadi binatang ekonomi, menganut paham

    demokrasi ala barat bersikap ambisius, akan dipandang

    tidak sejalan dengan pesan para leluhur yang menjunjung tinggi

    komunalisme dan tata tenteram kebersamaan.

    Dampak dari alam pikiran monisme tersebut terhadap

    gerak maju masyarakat Indonesia tentu saja sangat besar. Para

    pengamat kebudayaan seperti Koentjaraningrat, Mukhtar Lubis,

    Mulder, Geertz, kesemuanya mengakui berat dan sukarnya

    menembus imbas rintangan mentalitas serupa untuk membangun

    landasan pacu sebagai tempat lepas landas membangun bangsa

    menuju masyarakat modern. Hal tersebut sudah terbukti dari

    gagalnya pembangunan masyarakat Indonesia pada era Orde

    Baru untuk lepas landas pada tahap pembangunan pelita kelima dan hal tersebut sudah diramal oleh Koento Wibisono

    (1983). Akibat dari kegagalan tersebut masyarakat Indonesia

    mengalami krisis berkepanjangan dan mulai membangun bangsa

    dari titik nol kembali yang mengalami kesulitan untuk memutus

    mata rantai kebijakan yang salah dalam melaksanakan pemba-

    ngunan. Ini dapat dipahami, sebab setiap upaya modernisasi

    dan pembangunan, selamanya selalu menuntut penyesuaian-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    33/67

    32 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    penyesuaian struktural dari tata kehidupan dan penghidupan

    suatu masyarakat. Dalam proses tersebut tidak dapat dihindari

    destrukturasi dan strukturasi, suatu proses yang jelas-jelas

    mesti berhadapan dengan tatanan masyarakat di Indonesia.Tatanan tersebut begitu mapan mentradisi serta mengeras

    begitu kuatnya, dan itulah rintangan teramat besarnya bagi

    upaya modernisasi serta pembangunan di tanah air ini. Tatanan

    yang mengeras dan mentradisi tersebut, apabila ditelusuri,

    sebenarnya merupakan buah atau produk dari kurikulum

    kemasyarakatan yang selama ini menyertai perjalanan sejarah

    bangsa ini.

    2) Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa

    Kajian kaidah dasar kehidupan masyarakata Jawa dalam

    pembahasan berikut merupakan kerangka acuan yang seharusnya

    dimiliki oleh masyarakat Jawa. Kerangka acuan tersebut dikem-

    bangkan berdasarkan konstruksi dari struktur teoretis oleh

    Suseno untuk memudahkan dalam mengklasifikasikan sikap

    dan kelakuan orang Jawa dalam dua katagori prinsip hidup

    (Suseno, 2003: 38). Ke dua prinsip hidup tersebut adalah

    prinsip hidup rukun dan prinsip hidup hormat. Untuk lebih

    memperjelas ke dua prinsip tersebut akan diuraikan secara

    lebih rinci sebagai berikut.

    a) Prinsip Kerukunan

    Prinsip kerukunan bertujuan untuk mempertahankan

    masyarakat dalam keadaan yang harmonis. Rukun menurut

    Suseno, berarti berada dalam keadaan selaras, tenang dan

    tenteram, tanpa perselisihan dan pertentangan, serta bersatu

    dalam maksud untuk saling membantu. Keadaan rukun terdapat

    di mana sesama pihak berada dalam keadaan damai satu sama

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    34/67

    33Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    lain, suka kerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang

    dan sepakat. (Suseno, 2003: 39). Rukun menurut Jay (Jay, 1969

    dalam Suseno, 2003) merujuk pada cara bertindak. Demikian

    pula rukun menurut Geertz Geertz, 1961 dalam Sosesno,2003) berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam

    masyarakat atau antar pribadi-pribadi sehingga hubungan sosial

    tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Berdasarkan beberapa

    pengertian tentang rukun dapat diartikan bahwa rukun merujuk

    pada cara bertindak agar dapat saling menerima untuk menghin-

    dari pertentangan antara seseorang dengan orang lain. Rukun

    merupakan suatu tuntunan yang dianut oleh setiap orang Jawaagar dapat menciptakan keadaan masyarakat yang harmonis.

    Tuntunan kerukunan merupakan kaidah penata masyarakat

    yang menyeluruh, mengandung dua segi, yaitu: a) prinsip keru-

    kunan berdasarkan pandangan Jawa tentang eksistensi kesela-

    rasan terjadi dalam keadaan normal, b) prinsip kerukunan

    tidak terkait dengan sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan

    penjagaan keselarasan dalam pergaulan. Prinsip kerukunan

    pertama berdasarkan pandangan bahwa kondisi sosial pada

    dasarnya adalah tenteram, sebagaimana kondisi air laut yang

    tidak terkena angin, atau goncangan gempa atau adanya kapal

    yang melintas. Sedangkan prinsip kerukunan ke dua mengan-

    dung makna pencegahan agar tidak terjadi konflik terbuka.

    Prinsip ini lebih menekankan pada pengaturan hubungan sosial

    yang nampak dalam pergaulan sehari-hari. Sehubungan dengan

    hal tersebut Willner (1970) mengemukakan bahwa prinsipkerukunan bukan prinsip keselarasan tetapi prinsip pencegahan

    konflik ( Wilner, 1970 dalam Suseno, 2003: 40).

    b) Prinsip Hormat

    Prinsip hormat adalah prinsip yang mengatur pola inter-

    aksi sosial dalam masyarakat Jawa. Prinsip tersebut menekankan

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    35/67

    34 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    bahwa setiap orang dalam berbicara dan membawa diri selalu

    harus menunjukkan sikap hormat kepada orang lain sesuai

    dengan drajat dan kedudukannya. Interaksi sosial dalam ma-

    syarakat Jawa membedakan individu sesuai dengan drajat(startifikasi sosial) masing-masing, misalnya dalam berkomuni-

    kasi, rakyat kecil (wong cilik) seharusnya menggunakan bahasa

    halus atau paling tidak kromo inggil apabila berhadapan dengan

    oarng yang lebih tinggi drajatnya. Demikian pula dalam berkomu-

    nikasi antara bawahan atau staf pada suatu lembaga, bawahan

    atau staf tersebut harus hormat dengan menggunakan bahasa

    halus atau paling tidak kromo inggil dengan pimpinannya.Sikap hormat juga dapat ditujukkan dalam bentuk perilaku

    yang nampak seperti menundukkan kepala apabila berpapasan

    dengan atasannya, atau tidak memandang wajah atasannya

    secara lansung apabila sedang diajak berbicara. Prinsip hormat

    dalam masyarakat Jawa tertanam dalam bentuk bahasa Jawa

    yang menggunakan tingkatan dari bahasa kromo halus, kromo

    inggil dan ngoko. Bahasa Jawa pada umumnya dipakai secara

    aktif di pedesaan dengan berbagai tingkatan. Bahasa tersebut

    sengaja diajarkan dan diparaktikan dalam kehidupan sehari-

    hari baik dalam keluarga maupun dalam tatanan masyarakat.

    Orang tua di Jawa terutama di Jawa Tengah atau Jawa Timur

    bagian barat selalu menggunakan bahasa ngoko terhadap

    anaknya, dan sebaliknya seorang anak dididik sejak kecil untuk

    menggunakan bahasa kromo halus, atau kromo inggil apabila

    terjadi pembicaraan keduanya, kecuali dalam proses membe-lajarkan anak-anak agar dapat menggunakan bahasa dengan

    benar. Proses pembelajaran bahasa jawa dalam keluarga dila-

    kukan oleh orang tua pada saat berkomunikasi dengan anaknya

    dengan menggunakan bahasa halus kepada anaknya dan sebalik-

    nya anaknya juga menggunakan bahasa halus kepada orang

    tuanya. Penggunaan bahasa Jawa tersebut telah membudaya

    dalam masyarakat Jawa, apabila tidak dilakukan dalam berko-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    36/67

    35Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    munikasi sesuai dengan norma tersebut, mereka dianggap sudah

    tidak berbudaya jawa atau disebut kodoatau gak jowo.

    b. Partisipasi menurut Ajaran Manunggaling Kawulo Gusti.

    1) Konsep Partisipasi dalam Masyarakat Jawa

    Partisipasi dalam konteks budaya Jawa merupakan

    aktivitas interaksi sosial secara horizontal. Konsep tersebut

    merupakan ajaran dari Sri Mangkunegara I yang bernama

    Raden Mas Said yang terkenal sebagai Pangeran Sambernyawa

    (Soesilo, 2005:135). Ajaran tersebut dikenal dengan Tri Dharma,di mana inti ajarannya mengandung tiga unsur, yaitu: 1)

    rumangsa melu handarbeni (merasa memiliki), 2) wajib melu

    hangrukebi(harus ikut merengkuh), dan 3) mulat sarira hangrasa

    wani (berpikir dengan berani).

    a) Rumangsa melu handarbeni merupakan ajaran di mana

    setiap masyarakat Jawa dalam melakukan pengabdian ter-

    hadap pemerintah atau kepada atasan dalam bentuk memi-liki program yang dilaksanakan oleh pemerintah melalui

    pimpinan sebagai wujud kemanunggalkan rakyat dengan

    para pimpinannya. Artinya setiap program pemerintah ma-

    syarakat merasa memilikinya. Konsep merasa memiliki bu-

    kan mempunyai hak untuk memiliki (ndaku), tetapi bersama

    mengaku bahwa program tersebut adalah milik bersama.

    Dengan demikian program pemerintah juga merupakan

    program rakyat secara keseluruhan.

    b) Wajib melu hangrukebimemiliki makna masyarakat wajib

    bertanggung atas keberhasilan program pemerintah, di

    mana mereka merasa ikut memiliki program tersebut. Pe-

    ngertian wajib dalam konteks budaya Jawa berbeda dengan

    wajib dalam konteks ajaran Islam. Wajib dalam budaya

    Jawa merupakan suatu keharusan dalam memikul tanggung

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    37/67

    36 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    jawab tidak mempunyai implikasi dosa seperti dalam ajaran

    Islam.

    c) Mulat sarira hangrasa wani memiliki makna bahwa masya-

    rakat Jawa selalu melakukan mawas diri (introspeksi) danmerasa berani melakukan sesuatu atas dasar norma yang

    berlaku, tidak boleh berlebihan. Pengertian merasa berani

    melakukan terkait dengan partisipasi dalam pemanfaatan

    hasil, di mana masyarakat tidak boleh memanfaatkan secara

    berlebihan dari keberhasilan program. Ajaran Tri Dharma

    tersebut melekat pada masyarakat bawah terutama masya-

    rakat petani termasuk petani pesanggem. Mereka mema-hami betul bahwa kepemilikan lahan andil dalam konteks

    budaya rumangsa melu handarbeni, wajib melu hangrukebi,

    mulat sarira hangrasa wani. Mereka betul-betul merasa

    memiliki sehingga ikut bertanggung jawab atas keberhasilan

    tanaman yang ada di lahan andil dan apabila memanfaatkan

    hasil lahan andil sesuai dengan kebutuhan sehari-hari dan

    tidak berlebihan apalagi untuk dijual.

    2) Partispasi Pesanggem dalam Pelestarian Hutan

    Berdasarkan falsafah hidup manunggaling Kawula Gusti

    dalam ajaran Tri Dharma tentang rumangsa melu handarbeni,

    wajib melu hangrukebi, mulat sarira hangrasa wani, maka

    petani pesanggem sebagai bagian dari Masyarakat Desa Hutan

    mereka menerima norma yang berlaku di masyarakat maupunperaturan perundang-undangan dari Pemerintah atau Perum

    Perhutani. Kepatuhan terhadap norma yang berlaku di masyara-

    kat dan peraturan perundang-undangan tidak terlepas dari

    konteks budaya Jawa yang lain tentang pola hidup tentrem,

    bahagia dan nrima ing pandhum. Konsep bahagia mengacu

    pada budaya ilmuBejoatauBegjo(bahagia), di mana hidup itu

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    38/67

    37Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    tidak boleh ngongso (memaksa) karena ngongso iku marakke

    brahala (memaksa itu menyebabkan kerusakan). Ilmu bejo

    berasal dari ajaran Ki Ageng Surya Mataram yang intinya

    mengajak warga masyarakat agar hidup sederhana, janganterlalu muluk-muluk, dan jangan neka-neka, karena cita-cita

    atau tujuan hidup itu seperti karet yang dapat ditarik ulur.

    Hidup hendaknya diatur berdasarkan kemauan, kemampuan

    dan kekuatan agar keinginan dapat tercapai dan dapat hidup

    senang dan bahagia ( Soesilo, 2005: 230). Ajaran hidup bahagia

    tersebut tertuang pitutur singkat yang diajarkan pada pengikutnya

    sebagai berikut.

    Bungah susah wis dadi sandange manungsa.

    Bungah yen keturutan karepe, susah yen ora.

    Wondene karep iku bisa diumpamake karet bisa mulur lan bisamengkeret gumantung manungsane.

    Mula yen duwe karep samadya bae supaya seneng katurutankarepe.

    (Soesilo, 2005: 228)

    Artinya:

    Bahagia dan sedih itu sudah melekat (seperti pakaian) pada manu-sia.

    Bahagia apabila tercapai kemauannya dan sedih apabila tidak

    tercapaai kemauannya.Demikian pula kemauan itu dapat diumpamakan seperti karetdapat ditarik ulur tergantung pada manusianya.

    Oleh karena itu kalau memiliki kemauan harus diukur sesuaidengan kemampuannya agar dapat tercapai kemauan tersebut.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    39/67

    38 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Makna ajaran tersebut sangat melakat bagi orang Jawa

    terutama di pedesaan, sehingga orang Jawa terkenal nrimo

    (menerima apa adanya) dalam setiap perilaku keseharian, ter-

    utama dalam menentukan tujuan hidup. Pengaruh ajaran inisampai juga pada masyarakat desa hutan (MDH) yang dibina

    oleh Perum Perhutani di Desa Benjor, Kecamatan Tumpang,

    Kabupaten Malang. Hasil penelitian menujukkan bahwa masya-

    rakat Desa Benjor hidup secara sederhana dan tidak neko-neko

    (aneh-aneh), mereka lebih tenang dengan kehidupan sebagai

    pesanggem ketimbang merantau ke luar desa yang belum tentu

    keberhasilannya. (Mundzir, 2005). Mereka umumnya hanyamemiliki tingkat pendidikan setara dengan sekolah dasar dan

    sangat sedikit sekali yang memiliki pendidikan pada tingkat

    sekolah lanjutan apalagi perguruan tinggi.

    Pada sisi lain partisipasi pesanggem terhadap program

    pelestarian hutan dapat dimaknai dalam konteks budaya Jawa,

    di mana partispasi pesanggem merupakan manifestasi dari rasa

    menunggaling warga masyarakat sebagai kawula terhadap peme-

    rintah dalam arti sebagai Gusti panutan masyarakat. Mereka

    mengerjakan apa saja yang terkait dengan pengelolaan hutan

    atas dasar pengabdian masyarakat terhadap pemerintah dalam

    hal ini adalah Perum Perhutani Ajaran Ki Ageng Surya Mataram

    yang lain merupakan ajaran yang menjadi filsafat hidup orang

    Jawa adalah Ojo Dumeh. Ajaran ini sudah membudaya di

    masyarakat pedesaan di Jawa juga masyarakat Jawa pada

    umumnya. Konsep Ojo Dumeh adalah suatu ajaran yang meng-ajak masyarakat agar hidup sederhana, tidak silau terhadap

    kekayaan dan tidak sombong kalau dia menjadi orang kaya.

    Ojo Dumeh membentuk masyarakat desa menjadi masyarakat

    yang tidak sombong walaupun mereka dapat hidup kaya, memi-

    liki jabatan atau menjadi perangkat desa yang sedang berkuasa.

    Hal ini dapat terlihat dari perangkat desanya yang dengan suka

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    40/67

    39Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    rela menerima tamu dari mana saja, mereka hidup bersahaja

    bersama warga masyarakat lain (Mundzir, 2005).

    Budaya Jawa lain yang mengakar di masyarakat desa

    Benjor adalah budaya gotong royong dalam berbagai aktivitaskehidupan sehari-hari. Kegiatan gotong royong yang paling

    kental dilakukan pada saat mengerjakan lahan andil, mereka

    secara bergantian membantu mengolah lahan, menanam bibit

    jagung (ijir) atau tanaman kedelai. Budaya gotong royong ber-

    sumber dari kebiasaan masyarakat Jawa pada zaman dulu, di

    mana para petani sangat mengandalkan tenaga kerja manusia.

    Pengerahan tenaga kerja yang banyak untuk mengerjakan lahanpertanian, tetapi tidak dapat dilakukan oleh keluarganya sendiri,

    oleh karena itu petani tersebut meminta tolong kepada orang

    lain yang tidak dibayar. Mereka cukup diberi makan siang dan

    sebagai kompensasi si petani tersebut harus mau menolong

    atau membantu terhadap orang yang dimintai tolong tersebut.

    Menurut penelitian Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa

    budaya gotong royong mengunakan berbagai ragam istilah,

    misalnyasambatan, gugur gunung, dan nyurug. Perbedaan istilah

    tersebut karena memang agak berbeda kegiatannya, namun

    pada intinya sama yaitu bekerja bersama-sama untuk menye-

    lesaikan suatu pekerjaan yang tidak dapat diselesaikan sendiri

    oleh yang bersangkutan dan orang yang bekerja tersebut tidak

    dibayar dengan uang, biasanya diberi makan siang atau makanan

    kecil sebagai sarapan pagi. Sedangkan menurut laporan Van

    der Kolff (dalam Koentjaraningrat, 1992) mengatakan bahwagotong royong mulai menyurut pada tahun 1920 terutama di

    daerah Blitar pada saat itu tenaga kerja sudah banyak dan

    munculnya uang sebagai unsur penting dalam kehidupan ma-

    nusia (Koentjaraningrat, 1992: 57-58). Namun demikian pada

    masyarakat pedesaan yang hubungan kekerabatannya masih

    kuat, aktivitas gotong royong masih tetap berjalan sampai

    sekarang.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    41/67

    40 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Ketua Senat yang saya hormati

    Para hadirin yang mulyakan

    Pada kesempatan ini saya ingin menjelaskan peranan PNFdalam konteks pemberdayaan masyarakat desa hutan

    C. Pendidikan Nonformal dan Pemberdayaan Masyarakat Desa

    Hutan

    1. Program Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan Berbasis

    Perhutanan SosialPembahasan tentang program pemberdayaan masyarakat

    desa hutan berbasis Perhutanan Sosial akan dikaji berdasarkan:

    a) kelembagaan sebagai wadah kegiatan program PNF, b)

    program pembelajaran PNF berbasis Perhutanan Sosial dan c)

    model pembelajaran PNF berbasis Perhutanan Sosial. Untuk

    lebih jelasnya pembahasan tersebut diuraikan sebagai berikut.

    a. Kelembagaan sebagai Wadah Program PNF

    Pendidikan nonformal sebagai lembaga pendidikan masya-

    rakat, dapat diklasifikasi menjadi tiga jenis program yaitu

    developmental, institutionsl, dan informasional (Boyle, 1981).

    Masing-masing akan dijelaskan berikut. Program Pengembangan

    (developmental Program)ialah upaya PNF yang dimaksudkan

    untuk membantu suatu masyarakat atau kelompok sosial dalam

    mengenali dan memecahkan masalah yang mereka hadapi. Ini

    dilakukan jika di dalam sistem sosial terdapat suatu masalah

    yang perlu dipecahkan atau suatu perbaikan yang perlu dilaku-

    kan, dan anggota masyarakat tersebut perlu digerakkan untuk

    melakukan tindakan kokrit. Bentuk kegatannya bisa berupa: 1)

    aksi sosial misalnya gotong royong, bakti sosial, dll, 2) peng-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    42/67

    41Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    organisasian masyarakat misalnya dibentuk koperasi, kepani-

    tiaan, dll. Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam pro-

    gram pengembangan, secara garis besar langkah-langkah yang

    ditempuh ialah: (1) memlih sasaran program yang spesifik, (2)melakukan analisis situasi masyarakat dengan cara mengumpul-

    kan dan menganalsis data tentang fakta dan kebutuhan serta

    kecenderungan masyarakat terhadap program, (3) menetapkan

    tujuan program, (4) mengidentifikasi sumber-sumber yang men-

    dukung pelaksanaan program, (5) membuat rancangan pro-

    gram pembelajaran berdasar data yang sudah dianalisis, (6)

    melaksanakan program atau program aksi, (7) melakukan eva-luasi program, (8) mengkomunikasikan hasil evaluasi kepada

    pihak-pihak yang berkepentingan.

    Sedangkan program institusional (Institutional program)

    atau training ialah upaya pendidikan yang diberikan kepada

    perorangan dengan tujuan penguasaan kemampuan-kemampuan

    tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas terten-

    tu di lapangan kerja atau di masyarakat. Program ini berupa:

    (1) tindak lanjut dari program informasional misalnya setelah

    mengetahui adanya teknologi baru, ingin belajar menggunakan-

    nya, dan (2) pemberian keterampilan baru sama sekali. Adapun

    langkah-langkah pemrogramannya ialah: (1) menentukan popu-

    lasi sasaran (2) mengidentifikasi kebutuhan belajar dari sasaran

    program, (3) menetukan strategi pembelajaran seesuai yang

    akan dilakukan, (4) menyusun rencana operasional kegiatan

    pembelajaran, (5) mempersiapkan pelaksaan program, (6) meng-atur pelaksanaan program dalam arti mengendalikan jalannya

    program yang sedang berjalan, (7) melakukan evaluasi pro-

    gram.

    Adapun program penyuluhan (Informasional program)

    yaitu upaya PNF yang bertujuan untuk menyebarkan informasi

    baru yang penting bagi masyarakat atau kelompok social dalam

    rangka penngkatan taraf hidup dan perbaikan lingkungan.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    43/67

    42 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    Informasi tersebut berupa: perundang-undangan, penemuan

    baru, peraturan atau kebujakan baru, dan sebagainya yang

    perlu diketahui oleh seluruh warga negara Langkah-langkah

    program informasional ialah: (1) melakukan orientasi lapanganuntuk mempelajari kondisi dan situsasi masyrakat baik melalui

    observasi, wawancara, dokumenter, atau tehnik lain. (2) menen-

    tukan informasi yang akan disampaikan berdasar hasil orientasi

    lapangan, (3) menyusun strategi penyampaian informasi sesuai

    dengan jenis informasi dan sasarannya, (4) mempersiapkan

    penyampaian informasi, (5) mengevaluasi program yang sudah

    dilaksanakan. Di dalam masyarakat sebenarnya sudah banyakragam program informasional ini misalnya melalui TV, radio,

    koran, penyuluhan-penyuluhan dan sebagainya. Demikian juga

    program yang khusus ditujukan kepada khalayak atau masyara-

    kat yang memerlukan informasi dan pengetahuan yang berkaitan

    dengan kesiapan masyarakat dalam menerima dan melalui

    proses globalisasi. Padaprinsipnya bahwa PNF harus selalu

    melakukan pengayaan dan diversifikasi terhadap program untuk

    penyebarluasan informasi kepada khalayak/masyarakat agar

    bisa mengikuti dan beradaptasi dengan terjadinya perubahan

    dalam masyarakat yang begitu cepat. Harapannya masyarakat

    bisa mendapat keuntungan dan bukan menjadi fihak yang

    dirugikan dalam proses globalisasi.

    b. Program Pembelajaran PNF Berbasis Perhutanan SosialUndang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pen-

    didikan Nasional meliputi beberapa program meliputi: a) pendi-

    dikan kecakapan hidup (life skills), b) pendidikan anak usia

    dini, c) pendidikan kepemudaan, d) pemberdayaan perempuan,

    e) pendidikan keaksaraan, f) pendidikan ketrampilan, dan g)

    pendidikan kesetaraan. Sedangkan program perhutan Sosial

    sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa penger-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    44/67

    43Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    tian Perhutanan Sosial memiliki banyak pengertian, yaitu: a)

    Perhutanan Sosial adalah nama kolektivitas untuk strategi

    pengelolaan hutan yang memberikan perhatian khusus kepada

    pemerataan distribusi produk hasil hutandalam kaitannya dengankebutuhan berbagai kelompok dalam masyarakat dan partisipasi

    aktif dari organisasi dan penduduk lokal di dalam pengelolaan

    hutan, b) perhutanan sosial dapat diartikan sebagai suatu

    strategi pembangunan atau intervensi rimbawan profesional

    dan organisasi pembangunan lainnya dengan tujuan untuk

    menstimulasi keterlibatan aktif penduduk lokal dalam berbagai

    macam kegiatan pengelolaan hutan skala kecil, sebagai tujuanantara untuk meningkatkan keadaan kehidupan masyarakat

    tersebut; c) perhutanan sosial adalah suatu strategi yang difo-

    kuskan pada pemecahan masalah penduduk lokal disamping

    mengelola lingkungan wilayah. Oleh karena itu hasil utama dari

    perhutanan sosial tidak hanya kayu, namun hutan dapat diarah-

    kan untuk memproduksi beragam komoditas sesuai dengan

    kebutuhan masyarakat di wilayah tersebut, termasuk kayu

    bakar, bahan makanan, pakan ternak, buah-buahan, air, hewan,

    alam, keindahan, perburuan dan sebagainya, d) perhutanan

    sosial secara mendasar ditujukan kepada peningkatan produk-

    tivitas, pemerataan dan kelestarian dalam pembangunan sumber

    daya hutan dan sumberdaya alam melalui partisipasi aktif

    masyarakat.

    Berdasarkan jenis program pembelajaran PNF dan penger-

    tian Perhutanan Sosial, maka dapat diambil pengertian bahwapembelajaran PNF berbasis Perhutanan Sosial adalah semua

    jenis program PNF dapat diwarnai dengan konsep Perhutanan

    Sosial, misalnya peningkatan produktivitas lahan hutan sedapat

    mungkin melibatkan petani hutan sebagai warga belajar dalam

    program pendidikan kecakapan hidup (life skills). Sebagai con-

    toh, Pendidikan Kecakapan Hidup sebagai salah satu program

    PNF sangat potensial untuk member bekal hidup melalui

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    45/67

    44 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    penambahan pengetahuan, pembentukan sikap, dan memberikan

    jenis ketrampilan sesuai kebutuhan masyarakat desa hutan

    sehingga meraka dapat melestarikan hutan dan dapat mengambil

    manfaat dari hasil hutan.Life skillssebagai salah satu programPNF diartikan sebagai suatu program yang memiliki kegiatan

    pembelajaran yang tertumpu pada peningkatan kualitas hidup

    bagi warga belajar. Kecakapan hidup merupakan interaksi

    berbagai pengetahuan dan kecakapan yang sangat penting dimi-

    liki seseorang untuk dapat digunakan sebagai bekal untuk

    hidup mandiri. Pemahaman lain dari Davis dalam Hatimah

    (2007) life skills dapat diartikan sebagai pedoman (manual)pribadi untuk memelihara tubuhnya, menumbuhkembangkan

    dirinya, membuat keputusan logis, melindungi dirinya dan

    mencapai tujuan hidup serta dapat bekerja sama dengan orang

    lain.

    Berdasarkan konsep Pendidikan Kecakapan Hidup terse-

    but dapat disimpulkan bahwa kecakapan hidup paling tidak

    mengandung beberapa unsur yang dapat digunakan sebagai

    bekal hidup mandiri. Beberapa unsur tersebut adalah: a) keca-

    kapan personal (personal skills), mencakup kecakapan mengenal

    diri (self awareness) dan kecakapan berpikir rasional (thinking

    skills), b) kecakapan sosial (social skills), c) kecakapan akademik

    (academic skills) dan kecakapan vokasional (vocational skils).

    Kecakapan personal dan kecakapan sosial merupakan keca-

    kapan hidup secara umum (generic life skills), sedangkan keca-

    kapan akademik dan kecakapan vokasional merupakan keca-kapan spesifik (specific life skills). Keempat kecakapan hidup

    tersebut dapat digambarkan dalam diagram, sebagai berikut.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    46/67

    45Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    Sumber: Hatimah, 2007: 8.5

    Kegiatan pengelolaan hutan salah satunya adalah upaya

    pelestarian hutan, di mana kegaiatan ini dapat dijadikan muatan

    kurikulum pendidikan kepemudaan atau pendidikan usia diniagar masyarakat sekitar hutan di masa mendatang dapat memi-

    liki pemahaman secara utuh tentang kelestarian hutan, dan

    masih banyak program PNF yang dapat diberi muatan berbagai

    kegiatan terkait dengan Perhutanan Sosial.

    c. Model Pembelajaran Partisipastif

    Pembahasan model pembelajaran partisipatif, meliputi:

    kajian konsep pembelajaran partisipatif, karakteristik pembela-

    jaran partisipatif dan peran fasilitator dalam pembelajaran

    partisipatif. Untuk lebih jelasnya aakan diuraikan sebagai berikut.

    Pembelajaran pendidikan nonformal sudah banyak dikem-

    bangkan para ahli pendidikan terutama bidang pendidikan

    orang dewasa. Menurut Elias (2005) pendidikan orang dewasa

    Kecakapan

    Akademik

    Kecakapan

    Personal

    Kecakapan

    Sosial

    Kecakapan

    Hidup Spesifik

    Kecakapan

    Hidup Umum

    Kecakapan

    hidup

    Kecakapan

    Vokasional

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    47/67

    46 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    dapat dikaji berdasarkan filosofis terdapat dua aliran, yaitu

    aliran beharioris dan aliran humanis. Aliran behavioris lebih

    menekankan bahwa pendidikan orang dewasa lebih banyak

    diberikan pada pendidikan ketrampilan yang diidentifikasi darikebutuhan ketrampilan untuk melaksanakan tugasnya. Sedang-

    kan aliran humanis menurut Elias (2005) lebih menekankan

    pada inisiatif sendiri yang dianggap relevan dengan kebutuhan

    belajar. Berdasarkan kebutuhan belajar tersebut proses pembela-

    jaran dirancang, dilaksanakan dan dievalusi untuk memberikan

    pengalaman dalam rangka meningkatkan pengetahuan sebagai

    bekal meningkatkan kualitas hidup. Lebih lanjut Knowless(1985) menjelaskan bahwa pembelajaran bagi orang dewasa

    hendaknya disesuaikan dengan karakteristik orang dewasa dan

    tingkat pengetahuan orang dewasa. Menurut Bloom dalam

    Galbraith (2004) terdapat enam tingkat pengetahuan, yaitu: a)

    knowledge (recalling facts), merupakan pengetahuan yang dimi-

    liki peserta didik yang diperoleh melalui pengalaman dari

    fenomena social yang ada di lingkungan sekitar, b) comprehen-

    sion (restarting knowledge), merupakan pemaknaan terhadap

    berbagai pengetahuan yang dimiliki, c) application, adalah

    penerapan pengetahuan dalam kehidupan peserta didik, d)

    analysis, merupakan suatu tingkatan di mana ppeserta didik

    dapat menganalisas berbagai pengetahuan yang sesuai dengan

    pemaknaan pengetahuan yang dimiliki e)synthesis, merupakan

    suatu kesimpulan yang diambil dari pengetahuan yang dapat

    diterima berdasarkan makna yang dimiliki, dan f) evaluation,merupakan tingkatan untuk menilai sejumlah pengetahuan yang

    sudah dianggap cocok dan dapat diaplikasikan dalam memaknai

    konsep belajar bagi dirinya. Lebih lanjut Galbraith menjelaskan

    bahwa pemilihan metode pembelajaran PNF sangat dipengaruhi

    oleh tingkat pengetahuan orang dewasa sebagai warga belajar.

    Salah satu metode pembelajaran orang dewasa adalah metode

    pembelajaran partisipatif.

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    48/67

    47Pendidikan Nonformal dalam Kon teks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan

    Pembelajaran Partisipatif diartikan sebagai upaya fasilitator

    untuk mengikut sertakan warga belajar dalam kegiatan pembela-

    jaran. Pelibatan WB dilakukan dalam 3 tahap: 1) perencanaan

    program, 2) pelaksanaan program, dan 3) penilaian keberhasilanprogram. Pelibatan warga belajar dalam perencanaan program

    diawali dari identifikasi kebutuhan belajar, permasalahan, sum-

    ber atau potensi yang dapat digunakan dalam proses pembela-

    jaran, hambatan dalam pembelajaran dan menentukan prioritas

    pemecahanan masalah berdasarkan kebutuhan belajar. Sedang-

    kan keterlibatan dalam pelaksanaan proses pembelajaran, adalah

    keterlibatan dalam menentukan iklim pembelajaran, meliputi:kedisiplinan, pembinaan hubungan antar warga belajar, interaksi

    antara fasilitator dengan warga belajar dan antar warga belajar,

    serta partisipasi aktif warga belajar dalam proses pembelajaran.

    Adapun keterlibatan dalam tahap evaluasi program pembelajaran

    adalah keterlibatan warga belajar dalam penilaian pelaksanaan

    dan hasil program pembelajaran. Penilaian pelaksanaan pro-

    gram pembelajaran mencakup penilaian proses, hasil dan dam-

    pak, sedangkan penilaian hasil belajar lebih ditekankan pada

    perubahan perilaku warga belajar sebagai hasil program pem-

    belajaran.

    Apabila partisipasi dianggap sebagai keterlibatan mental

    dan emosional, maka partisipasi merupakan bentuk perwujudan

    dari perilaku yang didasari oleh faktor psikologis, sehingga

    partisipasi erat hubungannya dengan pengetahuan, sikap dan

    ketrampilan seseorang disamping faktor-faktor yang lain. Penge-tahuan, sikap dan ketrampilan mempunyai hubungan yang erat

    dengan pendidikan karena pendidikan adalah upaya yang dilaku-

    kan dengan sadar untuk merubah perilaku manusia. Pendidikan

    secara eksternal diarahkan pada proses di mana individu belajar

    untuk menerapkan pengetahuan kognitif, afektif dan psikomotor

    dalam lingkungannya (La Belle, 1976:18). Sedangkan perubahan

    perilaku tersebut dapat dilakukan apabila seseorang telah memi-

  • 7/18/2019 Pendidikan Nonformal Dalam Konteks Pemberdayaan Masyarakat Desa Hutan - Prof. Dr. S. Mundzir, M.pd

    49/67

    48 PIDATO PENGUKUHAN GURU BESAR

    liki pengetahuan, sikap dan ketrampilan sesuai dengan perilaku

    yang diharapkan. Dengan demikian maka dapat dikataka