pendidikan bagi calon pengantin* sururin & moh. muslim a

13
1 PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A. PENGANTAR Sengaja istilah yang digunakan “Pendidikan bagi Calon pengantin” bukan “Kursus Calon Pengantin“ karena pendidikan 1 mempunyai makna yang luas dan memberikan implikasi dalam berbagai aspek. Pada intinya, pendidikan bagi calon pengantin adalah bagaimana mempersiapkan warga Negara Indonesia yang akan melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga, dapat mewujudkan keluarga yang bahagia lahir dan batin, melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat. Bentuk pendidikan bagi calon pengantian, atau pendidikan pra nikah, bisa dimasukkan dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Oleh sebab itu, Kursus Calon Pengantin (SUSCATIN) menjadi bagian dari Pendidikan bagi Calon Pengantin. Pengertian Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Peserta didik, sebagaimana tersebut di atas, mempunyai makna yang luas, tidak hanya dalam arti siswa di sekolah/madrasah atau mahasiswa di perguruan tinggi, akan tetapi meliputi seluruh anggota masyarakat, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 4 bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu. Calon pengantin menjadi bagian dari peserta didik dengan karakteristik tersendiri, yaitu fase yang sangat potensial dalam mengembangkan pengetahuan dan kecakapannya dalam membina keluarga. Mengacu pada pengertian tersebut, maka pendidikan bagi calon pengantin perlu dilakukan secara terencana dan sistematis, serta melalui berbagai jenjang dan jalur pendidikan, sehingga akan memberikan hasil dan manfaat yang optimal. Dengan demikian, diharapkan fungsi pendidikan dapat terwujud. Fungsi Pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 2 Tulisan ini hendak memperluas cakupan dan materi “ Kursus bagi Calon Pengantin” atau disingkat SUSCATIN. yang selama ini telah dilaksanakan oleh BIMAS

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

1

PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN*

Sururin & Moh. Muslim

A. PENGANTAR

Sengaja istilah yang digunakan “Pendidikan bagi Calon pengantin” bukan

“Kursus Calon Pengantin“ karena pendidikan1 mempunyai makna yang luas dan

memberikan implikasi dalam berbagai aspek. Pada intinya, pendidikan bagi calon

pengantin adalah bagaimana mempersiapkan warga Negara Indonesia yang akan

melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga, dapat mewujudkan keluarga yang

bahagia lahir dan batin, melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat. Bentuk

pendidikan bagi calon pengantian, atau pendidikan pra nikah, bisa dimasukkan dalam

pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal. Oleh sebab itu,

Kursus Calon Pengantin (SUSCATIN) menjadi bagian dari Pendidikan bagi Calon

Pengantin.

Pengertian Pendidikan sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1 ayat 1 adalah usaha sadar dan terencana

untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.

Peserta didik, sebagaimana tersebut di atas, mempunyai makna yang luas, tidak

hanya dalam arti siswa di sekolah/madrasah atau mahasiswa di perguruan tinggi, akan

tetapi meliputi seluruh anggota masyarakat, sebagaimana tertuang dalam pasal 1 ayat 4

bahwa peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi

diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan

tertentu. Calon pengantin menjadi bagian dari peserta didik dengan karakteristik

tersendiri, yaitu fase yang sangat potensial dalam mengembangkan pengetahuan dan

kecakapannya dalam membina keluarga.

Mengacu pada pengertian tersebut, maka pendidikan bagi calon pengantin perlu

dilakukan secara terencana dan sistematis, serta melalui berbagai jenjang dan jalur

pendidikan, sehingga akan memberikan hasil dan manfaat yang optimal. Dengan

demikian, diharapkan fungsi pendidikan dapat terwujud. Fungsi Pendidikan nasional

adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa

yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,

dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.2

Tulisan ini hendak memperluas cakupan dan materi “ Kursus bagi Calon

Pengantin” atau disingkat SUSCATIN. yang selama ini telah dilaksanakan oleh BIMAS

Page 2: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

2

Islam. Di samping itu, dijabarkan pula persiapan yang harus dilakukan oleh calon

pengantin dan stakeholder yang berperan dalam pendidikan bagi calon

pengantin/pendidikan pra nikah.

B. PENTINGNYA PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN

Menurut UU No 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara

seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhan-an Yang Maha

Esa. Tidak mudah untuk medefinisikan keluarga bahagia, sebagian menyamakan

keluarga bahagia dengan keluarga harmonis. Secara umum keluarga bahagia dimaknai

dengan keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah wa maslahah, yang merupakan

tujuan perkawinan.

Perkawinan merupakan langkah awal untuk membentuk sebuah keluarga. Oleh

karenanya pembahasan tentang perkawinan tidak akan lepas dari pembahasan tentang

keluarga. Fakta dalam satu keluarga hampir bisa dipastikan adanya konflik antara suami

dan isteri maupun antar orang tua dan anak. Dengan adanya konflik tersebut kondisi

rumah tanggah akan goyah dan mengalami guncangan. Suasana rumah tangga yang

guncang ada yang bisa pulih dan normal kembali karena kedua suami istri telah siap

menghadapi problematika hidup, sehingga menemukan solusinya. Namun tidak jarang

dijumpai pasangan suami isteri yang tidak siap menghadapi konflik dalam rumah tangga

dan menemui jalan buntu, hingga akhirnya berujung pada perceraian.

Setiap tahun lebih dari 2,2 juta pasangan menikah yang tercatat oleh Kantor Urusan

Agama seluruh Indonesia.

Tabel 1

Perkawinan dan Perceraian di Indonesia tahun 2009-20133

Tahun Nikah Cerai %

2009 2,162,268 216, 286 10

2010 2,207,364 285, 184 13

2011 2,319,821 158, 119 6,8

2012 2,291,265 372, 577 16

2013 2,218,130 324,527 14,6

Dari data tabel 1 tentang Perkawinan dan Perceraian di Indonesia menunjukkan

menurunnya perkawinan tercatat berbanding berbalik dengan tingginya angka kasus

perceraian. Menurunnya angka pasangan pengantin yang tercatat menjadi pertanyaan

tersendiri, hal ini menguatkan hasil penelitian Balitbang Kemenag RI tahun 2013 yang

mengungkapkan masih banyaknya kasus perkawinan tidak tercatat dan perkawinan anak

Page 3: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

3

(dibawah umur 18 tahun). Penurunan pencatatan nikah berbanding berbalik dengan kasus

perceraian. Artinya tiap tahun terjadi peningkatan kasus perceraian. Pada tahun 2012

tercatat 297,841, sementara tahun 2013 mengalami peningkatan sebanyak 324,527

perceraian.

Tabel 2

Daftar Penyebab Perceraian4

No Penyebab

Perceraian

2009 2010 2011 2012 2013

1 Tidak ada

keharmonisan

72,274 91,841 51,882 91,388 97,615

2 Tidak ada

tanggung jawab

61,128 78,407 42,701 81,227 81,266

3 Ekonomi 43,309 67,891 35,480 70,427 74,559

4 Gangguan pihak

ketiga

16,077 20,199 12,082 23,690 25,310

5 Cemburu 8,284 10,029 5,824 10,524 9,338

6 Krisis ahlak 6,486 7,641 4,217 8,537 10,649

7 Kawin paksa 2,064 2,185 1,140 2,071 3,380

8 KDRT 1,965 2,191 1,605 3,697 4,439

9 Poligami tidak

sehat

1,196 1,389 758 1,876 1,951

10 Cacat biologis 865 678 440 737 1,247

11 Menyakiti mental 587 560 432 1,108 1,491

12 Dihukum 459 418 143 392 714

13 Politis 402 334 327 423 2,094

13 Kawin di bawah

umur

384 550 184 432 600

15 Lain lain 806 871 364 1,312 4,413

Jumlah 216,286 285,184 158,119 297,841 324,527

Data di atas menujukkan beragam faktor yang menyebabkan perceraian. Kasus yang

dominan adalah karena tidak ada keharmonisan dalam keluarga dan tidak ada tanggung

jawab. Oleh sebab itu perlu diberikan bekal bagaimana mewujudkan keharmonisan

dalam keluarga dan tanggung jawab suami istri dalam keluarga. Dengan bekal yang

memadai, diharapkan pasangan yang hendak menikah siap untuk mengarungi bahtera

rumah tangga, siap menghadapi masalah yang mungkin terjadi serta sudah siap dengan

solusinya.

Salah satu tujuan pernikahan adalah melahirkan generasi yang berkualitas,

sebagaimana tersebut dalam al-Qur’an surat Al-nisa (4): 1

Page 4: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

4

Artinya : Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan

kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari

pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang

banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-

Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan

silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.

Tugas mulia orang tua adalah melahirkan generasi penerus. Akan tetapi, dalam

kenyataannya banyak dijumpai kasus kekerasan yang dihadapi oleh anak, termasuk di

dalamnya kekerasan pada anak dalam keluarga 5

. Data KPAI menujukkan tiap tahun

mengalami peningkatan kasus kekerasan pada anak. Pada Tahun 2012 terdapat 3.332

laporan kasus, dengan 62% di antaranya merupakan kekerasan seksual kepada anak-anak

yang dilakukan oleh orang dewasa atau orang terdekat. Sementara, tahun 2013, dari

Januari-Maret 2013 tercatat 919 kasus pengaduan tindak kekerasan pada anak.

Kekerasan anak meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual,

kekerasan sosial dan kekerasan/eksploitasi ekonomi. Sedangkan lingkungan kekerasan

menurut Study on Violence Against Children Outline terbagi menjadi 5 (lima) yaitu:

1. Kekerasan di lingkungan rumah dan keluarga (Violence in the home and family);

2. Kekerasan di lingkungan sekolah dan lingkungan pendidikan (Violence in school

and education settings);

3. Kekerasan di dalam Institusi lain, seperti perawatan/pengasuhan termasuk anak

yang berkonflik dengan hukum (Violence in other institusional settings,

orphanages, including children in conflict with the law);

4. Kekerasan di komunitas dan jalan (Violence in the community and on the streets);

5. Kekerasan di lingkungan kerja (Violence in work situation).

Kekerasan yang dialami oleh anak di lingkungan keluarga antara lain dilakukan oleh

ayah, ibu dan saudara. Secara terperinci kasus kekerasan anak yang sering terjadi dalam

keluarga, berdasarkan pengaduan kepada KPAI, dapat dilihat dalam grafik sebagai

berikut:

Grafik 1.

Data kasus kekerasan pada anak dalam keluarga6

Page 5: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

5

Data di atas menunjukkan beragam bentuk kekerasan psikis anak, dan sebagian

besar pelakunya adalah ibu. Sedangkan kekerasan psikologis yang sering dilakukan

dengan kekerasan verbal, seperti menyebut anak bodoh, nakal, pemalas dan lainnya lebih

banyak dilakukan oleh ayah. Relasi suami istri dalam keluarga yang tidak harmonis akan

memunculkan diskriminasi dan dapat mengakibatkan kekerasan.

Ketimpangan pendidikan laki-laki-laki dan perempuan memberikan dampak

dalam pola asuh anak. Seringkali pendidikan anak diserahkan kepada istri/ibu, sedangkan

suami/ayah hanya mencari nafkah keluar rumah, dengan demikian sangat beralasan

apabila ibu yang banyak menjadi pelaku kekerasan ringan, karena setiap hari berhadapan

langsung dengan anak.

Maria Ulfah Anshor, Komisioner KPAI, menyebutkan beberapa faktor penyebab

kekerasan pada anak dalam keluarga, yaitu:

1. Disfungsi keluarga, dimana peran orang tua tidak berjalan sebagaimana

seharusnya. Peran ayah sebagai pemimpin keluarga dan peran ibu sebagai sosok

yang membimbing dan menyayangi, tidak ditemukan dalam keluarga.

2. Faktor ekonomi, yaitu kekerasan timbul karena tekanan ekonomi atau kondisi

keluarga yang disebabkan himpitan ekonomi.

3. Pandangan keliru tentang posisi anak dalam keluarga, Orang tua dan saudara

sekandung terutama kakak sering menganggap bahwa anak adalah seseorang yang

tidak tahu apa-apa.

Orang tua perlu mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai terkait

dengan tugas dan perannya sebagai ayah dan ibu. Pembekalan bagi calon orang tua

menjadi penting dan mendesak untuk ditangani secara serius, sehingga kasus-kasus

kekerasan terhadap anak bisa diminimalisir. Oleh karena itu perlu persiapan tersendiri

bagi calon orang tua (calon pengantin) dalam menjalani kehidupan berumah tangga.

0

10

20

30

40

50

60

Mencubit Membandingkan

dng saudara /

anak lainnya

Membentak dng

suara keras dan

kasar

Menyebut,

bodoh, pemlas,

nakal

Ayah 32 37.3 48.1 35.3

Ibu 51.1 43.4 45.5 29.9

Saudara 28.7 20 31.7 22

32 37.3

48.1

35.3

51.1

43.4 45.5

29.9 28.7

20

31.7

22

Page 6: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

6

C. PERSIAPAN BAGI CALON PENGANTIN

Sebelum membahas isi materi yang diberikan kepada calon pengantin, maka ada

beberapa persiapan khusus bagi calon pengantin

1. Persiapan Fisik

Pertumbuhan jasmani dalam fase kehidupan manusia akan mengalami perkembangan

yang sangat signifikan ketika memasuki usia remaja, karena pada usia remaja sudah

mulai tumbuh dan berfungsi organ reproduksinya. Pertumbuhan fisik akan semakin

kuat saat mengakhiri usia remaja, demikian pula dengan fungsi organ reproduksi akan

berjalan dengan baik saat berakhir usia remaja, dan semakin matang ketika memasuki

fase dewasa. Menurut ilmu kesehatan, fase terbaik untuk melahirkan adalah usia 20-

30 tahun.

Faktor usia menjadi prasyarat dalam melangsungkan pernikahan yang salah satu

tujuannya adalah melanjutkan generasi penerus. Usia ideal menikah untuk laki-laki

antara usia 25-30 tahun dan perempuan antara usia 20-25 tahun. Ini adalah usia

ideal,dimana usia calon pengantin sudah cukup dewasa. Sangat beralasan ketika

BKKBN membagi tiga fase terkait upaya mewujudkan generasi yang berkualitas

dengan 3 hal:

a) Menunda perkawinan dan kehamilan di bawah usian 20 tahun

b) Masa menjarangkan kehamilan pada usia 20-35 tahun

c) Masa mencegah kehamilan di atas usia 35 tahun

Selain usia yang cukup, perlu pula dilakukan pemeriksaan kesehatan pranikah,

antara lain:

a) Penyakit genetik, misalnya : talasemia, buta warna, hemofilia, dan lain-lain.

b) Penyakit tertentu yang diturunkan, misalnya kecenderungan diabetes mellitus

(kencing manis), hipertensi (tekanan darah tinggi), kelainan jantung, dan

sebagainya.

c) Penyakit infeksi, misalnya, penyakit menular seksual (PMS), Hepatitis B, dan

HIV/AIDS

d) Vaksinasi. Hal ini dilakukan untuk kekebalan terhadap virus rubella. Infeksi

rubella pada kehamilan dapat menimbulkan kelainan pada janin seperti kepala

kecil, tuli, kelainan jantung, bahkan kematian. Perlu pula pemeriksaan virus

herpes karena dapat menyebabkan cacat janin dan kelahiran prematur.

e) Suntik Tetanus Toxoid (TT)

Tidak hanya kesiapan fisik yang dibutuhkan, akan tetapi juga perlu memahami fungsi dan

peran reproduksi, khususnya kesehatan reproduksi perempuan, karena dapat

mempengaruhi keturunan yang akan melanjutkan generasi ke depan. Dengan demikian

pendidikan kesehatan reproduksi bagi calon pengantin menjadi wajib diberikan. Idealnya,

pendidikan kesehatan reproduksi dimulai sejak dini, antara lain dengan mengenal organ

reproduksi, merawat dan menjaganya, dan hanya difungsikan sesuai dengan syariat.

Page 7: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

7

2. Persiapan Mental

Untuk mewujudkan keluarga yang harmonis, tentram dan bahagia, perlu persiapan

mental, antara lain:

a) Harus seiman

b) Adanya pemahaman yang sama tentang tujuan pernikahan.

c) Berkepribadian yang matang, termasuk dalam kriteria ini adalah: tabiat, budi pekerti,

minat dan kebiasaan.

d) Memiliki pengetahuan dan wawasan yang seimbang, hal ini terkait dengan

pendidikan, termasuk di dalamnya pengetahuan dan pengamalan agama. Selain itu

perlu pengetahuan tentang pengasuhan anak, komunikasi, pengendalian diri,

memahami perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

e) Bekal yang harus pula dipersiapkan adalah ilmu parenting (pola asuh anak oleh orang

tua), sehingga orang tua dapat memberikan pendidikan terbaik bagi anaknya, baik

pendidikan dalam keluarga (pendidikan informal), pendidikan di sekolah/madrasah

(formal), dan pendidikan di lingkungan masyarakat.

f) Konseling untuk mengubah perilaku yang tidak sehat seperti : merokok, minum

alkohol, atau memakai narkoba. Seringkali calon suami yang perokok, tidak paham

bahwa asap rokok sangat berbahaya bagi ibu maupun janin.

.

3. Persiapan Sosial dan ekonomi

Selain persiapan fisik dan mental (psikis), maka harus pula dipersiapkan secara

sosial dan ekomoni. Diantara persiapan dalam lingkup sosial, menurut Sururin dkk

adalah:

a) Latar belakang sosial keluarga. Latar belakang keluarga dapat dilihat dari

pendidikan dalam rumah, bukan pendidikan di sekolah, seringkali ditanya hanya

latar belakang sekolah, bukan bagaimana pendidikan dalam keluarga. Hal ini

perlu dilakukan untuk mengetahui kebiasaan calon pasangan ketika telah menjadi

pasangannya kelak.

b) Latar belakang budaya.

c) Pergaulan. Dengan mengetahui lingkungan, teman pergaulan dan aktifitas

memudahkan calon suami dan isteri beradaptasi dengan anggota keluarga kedua

belah pihak, tetangga, masyarakat dan lingkungan.

d) Calon suami dan isteri sebaiknya telah mandiri secara ekonomi, dan ulet mengais

rizki.7

e) Persiapan lain terkait dengan ekonomi adalah mempunyai ketrampilan. Calon

pasangan suami istri perlu mempunyai ketrampilan, antara lain: memasak,

menjahit, mengurus rumah tangga, membersihkan dan memperbaiki kerusakan

peralatan dan barang-barang.

D. MATERI PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN

Peraturan Dirjen Bimas Islam tentang kursus calon pengantin No. DJ.II/491 Tahun 2009

menyebutkan suscatin diselenggarakan dengan durasi 24 jam pelajaran yang meliputi :

Page 8: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

8

1. tatacara dan prosedur perkawinan selama 2 jam

2. pengetahuan agama selama 5 jam

3. peraturan perundangan di bidang perkawinan dan keluarga selama 4 jam

4. hak dan kewajiban suami istri selama 5 jam

5. kesehatan reproduksi selama 3 jam

6. manajemen keluarga selama 3 jam

7. psikologi perkawinan dan keluarga selama 2 jam.

Susunan materi tersebut cukup lengkap, walaupun belum ada materi terkait dengan

parenting. Demikian pula waktu yang harus disediakan durasinya bisa 3 hari (satu hari 8

jam), sedikit memadai. Akan tetapi dalam prakteknya, berdasar pada hasil penelitian

Rahima dengan BP4 tahun 20138, materi-materi yang disampaikan dalam SUSCATIN

yaitu: UU Perkawinan, Fiqh Munakahat, PKK (Kesejahteraan Keluarga), kesehatan

reproduksi dan KB. Materi-materi tersebut hanya disampaikan sekitar 4-5 jam waktu

efektif. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa waktu untuk menyampaikan

materi kurang efektif, karena hanya 4-5 jam. Dengan demikian materi yang disampaikan

hanya pengantar saja, atau garis besarnya saja, kurang mendalam dan tidak menyeluruh.

Bila dilihat dari penyebab perceraian, sebagaimana tersebut pada tabel 2 yaitu karena

tidak ada keharmonisan, akan tetapi tidak ada materi terkait dengan cara mengatasi

konflik dalam keluarga, berikut contoh-contohnya. Tambahan kesimpulan dari penelitian

tersebut adalah penyampaian materi SUSCATIN masih bias, karena materi yang

diberikan lebih banyak menyebutkan tugas dan kewajiban istri dari pada haknya, dan

sebaliknya lebih banyak berbicara hak suami dari pada kewajibannya.

Terdapat banyak hal yang menjadi kendala dalam pelaksanaan SUSCATIN.

Dari sekian banyak hal itu yang paling dominan diantaranya adalah belum menjadi

kewajiban bagi pasangan calon pengantin untuk mengikuti kursus bagi pra nikah,

sehingga waktu yang ada sangat terbatas dan mengikuti jadwal calon pengantin. Tidak

adanya ijin dari tempat kerja menjadi salah satu alasan tidak hadirnya pasangan calon

pengantin mengikuti SUSCATIN. Jalan keluar yang ditawarkan adalah pihak KUA

memberikan kursus singkat dengan istilah face to face. Yaitu, saat calon pengantin

mendaftar pada saat itu pula diberikan penasehatan dan pengetahuan terkait pernikahan.

E. STRATEGI PELAKSANAAN PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN

Berdasar pada permasalahan tersebut, perlu dirumuskan berbagai strategi pendidikan bagi

calon pengantin, tidak hanya terbatas pada lembaga penyelenggaranya, akan tetapi juga

memperluas lingkup dan cakupannya.

1. Butuh Keseriusan Pemerintah: Advokasi tiada Henti

Pemerintah mempunyai peran penting dalam penyelenggaraan pendidikan

bagi calon pengantin. Persiapan fisik bagi calon pengantin akan mempengaruhi

proses dalam menjalankan fungsi reproduksinya. Sebagaimana dikemukaan di

atas, bahwa usia ideal menikah perempuan minimal usia 20 tahun, sedangkan

laki-laki 25 tahun. Akan tetapi dalam aturan perundangan yang ada, yaitu UU No

1 tahun 1974 membolehkan perempuan menikah usia 16 tahun. Dalam UU No 23

tahun 2002 tentang perlindungan anak, menyebutkan bahwa usia batasan usia

anak 18 tahun. Dengan demikian, perlu terus diperjuangkan adanya perubahan

Page 9: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

9

usia menikah bagi perempuan dan laki-laki yang tercantum dalam UU tersebut.

Berbagai gerakan telah dilakukan, termasuk diantaranya “Gerakan Nasional Stop

Pernikahan pada Anak” yang pada tanggal 3 Oktober 2014 kerjasama KPP-PA,

BKKBN, Plan Indonesia dan berbagai Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan,

dilakukan seminar, diskusi, pengajian, dan sebagainya, akan tetapi kasus

pernikahan usia anak masih tinggi di Indonesia karena peraturan yang ada, UU

No 1 tahun 1974, masih berlaku. Butuh keseriusan pemerintah untuk merevisi

UU tersebut, khususnya terkait dengan batas minimal usia perempuan menikah.

Kebijakan lainnya—terkait dengan tidak efektifnya SUSCATIN selama

ini—Pemerintah hendaknya mewajibkan seluruh calon pengantin untuk mengikuti

pendidikan pra nikah. Kebijakan tersebut akan memberikan konsekwensi pada

peraturan lainnya, antara lain berupa edaran tentang kewajiban lembaga/instansi

memberikan ijin bagi karyawan/pegawainya untuk mengikuti pendidikan bagi

calon pengantin secara intensif. Selama ini SUSCATIN terkendala

pelaksanaannya karena tidak adanya ijin dari perusahaan/instansi tempat bekerja.

Pemerintah perlu menyusun kurikulum SUSCATIN yang ideal dengan

memberikan ruang bagi pengembangan bagi penyelenggara SUSCATIN.

Walaupun selama ini sudah ada aturan akreditasi lembaga penyelenggara

SUSCATIN, akan tetapi belum berjalan.

Peran pemerintah akan kuat apabila memasukkan pendidikan pra nikah

dalam kurikulum pendidikan formal. Dengan catatan, materi-materi nya tidak

hanya UU perkawinan dan fiqh munakahat, akan tetapi diseimbangkan dengan

materi tentang ketrampilan hidup, termasuk di dalamnya parenting, sehingga

memenuhi tujuan dari penyelenggaraan pendidikan bagi calon pengantin.

2. Pendidikan Informal (Peran Orang Tua)

Orang tua menjadi model bagi anaknya, termasuk dalam mengarungi

bahtera rumah tangga yang dibinanya. Pola asuh dan kehidupan dalam keluarga

akan terekam dalam kehidupan anak. Apabila kehidupan yang dialami seseorang

dalam keluarga bahagia, damai penuh kasih sayang maka ia akan berusaha

mewujudkan kehidupan keluarganya kelak sebagaimana kehidupan orang tuanya

saat kecil, Akan tetapi, bila kehidupan yang dilalui dalam suasana konflik, banyak

masalah dan kurang kasih sayang, maka dua altenatif yang muncul. Pertama dia

akan mengalami kehidupan yang sama dengan masa kecilnya, artinya meniru apa

yang sudah dilakukan orang tua. Dia akan berprilaku bagaimana dia diperlakukan.

Kedua, pengalaman pahit dalam kehidupan akan menjadi cambuk dan pelajaran

berharga, sehingga dia tidak akan mengulangi pengalaman pahit dalam hidupnya.

Oleh sebab itu orang tua berpengaruh terhadap kehidupan keluarga anaknya.

Orang tua tidak hanya memberi teladan, akan tetapi juga doktrin (ajaran)

dan pemahaman terkait membangun keluarga yang sakinah mawaddah wa

Page 10: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

10

rahmah. Prinsip-prinsip hidup akan ditanamkan oleh orang tua kepada anaknya.

Demikian juga ketrampilan hidup menjadi salah satu “materi” yang diberikan

dalam kehidupan dalam keluarga, salah satunya dengan pembiasaan.

Tidak mudah mengubah pola asuh dan kebiasaan yang sudah terbina

dalam keluarga, maka langkah awal yang paling strategis adalah melalui

pendidikan bagi calon orang tua, dalam hal ini para calon pengantin. Sebelum

melangsungkan ikrar (aqad ijab qobul) calon pengantin perlu diberikan

pendidikan yang akan menjadi bekal dalam mengarungi rumah tangga yang akan

dibinanya

3. Pendidikan Formal (Peran Sekolah/Perguruan Tinggi)

Terdapat dua cara untuk memasukkan materi pendidikan pra nikah:

pertama menjadi satu mata pelajaran/mata kuliah yang berdiri sendiri. Mata

kuliah yang terkait langsung dengan persiapan pra nikah adalah Psikologi

Keluarga. Sementara untuk menjadi satu mata pelajaran khusus, perlu dipikirkan

dan didiskusikan kembali. Belum menjadi perhatian dari para pemikir pendidikan

Indonesia untuk memasukkan pendidikan dalam rangka membangun keluarga

dalam satu mata pelajaran tersendiri. Kedua, dimasukkan (insert) dalam mata

kuliah/pelajaran tertentu. Mata pelajaran terkait dengan pendidikan pra nikah:

biologi, PkN, IPS, Fiqh, Ekonomi, sosiologi, dan lain lain: Mata kuliah yang

terkait dengan pendidikan pra nikah: Psikologi Perkembangan, Psikologi Agama,

Psikologi Anak, Psikologi Perempuan, Bimbingan Konseling, Fiqh, Tafsir,

Hadits, dll. Perlu diberikan orientasi khusus bagi penyusun kurikulum dan penulis

buku untuk memasukkan pentingnya pendidikan pra nikah. Dengan demikian

diharapkan pendidikan pra nikah dapat masuk dalam kurikulum yang dirancang

untuk semua peserta didik.

Perlu persiapan khusus dalam menyusun perangkat pendukung pelakanaan

pendidikan bagi calon pengantin (pendidikan pra nikah), baik dari aspek

kurikulum, metode, media, penyelenggara, dan sebagainya.

Pada sisi lain, strategi yang bisa dilakukan adalah dengan membuka pusat

studi yang mengkaji tema terkait dengan keluarga atau anak. Sebagai contoh,

menurut Statuta yang baru, di lingkungan Perguruan Tinggi Agama Islam,

khususnya PTAIN, terdapat Pusat Studi Gender dan Anak. PSGA UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, misalnya, mempunyai tugas dan fungsi menciptakan

lingkungan ramah anak. Lingkungan ramah anak diawali dari keluarga ramah

terhadap anak, sekolah ramah anak, dan masyarakat (lingkungan) ramah anak.

Untuk itu para orang tua perlu dibekali pendidikan dalam keluarga yang ramah

anak. Pembekalan tersebut dapat diberikan kepada mahasiswa dan masyarakat

lainnya yang hendak membangun keluarga.

Page 11: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

11

4. Pendidikan Non Formal (Peran Masyarakat)

Selama ini pendidikan bagi calon pengantin hanya dilaksanakan dalam bentuk

pendidikan non formal, yaitu Kursus bagi Calon Pengantin SUSCATIN.

Pelaksanaan SUSCATIN didominasi oleh KUA..

Karena jalur non formal yang digunakan, maka istiulah yang digunakan

adalah Kursus bagi Calon Pengantin (SUSCATIN). Istilah kursus, yaitu satuan

pendidikan luar sekolah yang terdiri atas sekumpulan warga masyarakat yang

memberikan pengetahuan, keterampilan dan sikap mental tertentu bagi warga

belajar. Kursus merupakan pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar

pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang

Memang, pendidikan luar sekolah memiliki keleluasaan jauh lebih besar dari

pada pendidikan sekolah untuk secara cepat disesuaikan dengan kebutuhan

masyarakat yang senantiasa berubah. Menurut pasal 14 UU Nomor 73 Tahun

1991 Tentang Pendidikan Luar Sekolah, Kursus diselenggarakan bagi warga

belajar yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri, bekerja, mencari

nafkah dan/atau melanjutkan ke tingkat atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Dengan demikian, penggunaan istilah kursus tersebut diartikan bahwa hanya bagi

orang yang memerlukan bekal untuk mengembangkan diri yang perlu kursus,

tidak menjadi kewajiban untuk melaksanakannya. Hal ini berbeda dengan istilah

pendidikan, yang mempunyai makna lebih luas, dan dapat mengikat warga

bangsa bahkan mewajibkannya, misalnya dikenal istilah wajib belajar (wajar) 7

tahun, wajar 9 tahun, bahkan wajar 12 tahun

Konsekwensi lainnya bila menggunakan istilah pendidikan adalah bisa

masuk dalam kurikulum sekolah dan perguruan tinggi. Dampak lainnya adalah

akan lebih luas pihak penyelenggara, tidak hanya dibatasi oleh Dirjen Bimas

Islam, dalam hal ini penghulu, penyuluh dan BP4, akan tetapi bisa dilakukan oleh

berbagai kalangan.

Pendidikan bagi calon pengantin atau pendidikan pra nikah belum menjadi

kewajiban dan belum menjadi gerakan nasional, sehingga penganggarannya pun

masih menjadi kendala

Selain BIMAS ISLAM, KUA dan BP4, organisasi keagamaan sudah

melakukan konseling pra nikah (pendidikan pra nikah), akan tetapi

pelaksanaannya pun belum optimal. Berbagai kajian telah dilakukan, akan tetapi

belum terimplementasikan dengan baik. Sebagai contoh: Rahima (salah satu LSM

yang aktif memperjuangkan aspirasi perempuan) telah melaksanakan program

konseling bagi calon pengantin, demikian pula Fatayat NU, pada periode 2006-

2010 mengembangkan program Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Calon

Pengantin, dan mulai tahun 2013 memperluas program, tidak hanya sebatas

kesehatan reporduksi akan tetapi memberikan bekal bagi calon pengantin secara

luas, termasuk relasi dalam keluarga.

Penutup.

Page 12: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

12

Pendidikan bagi calon pengantin merupakan upaya untuk mempersiapkan

individu yang akan melangsungkan pernikahan dan membentuk keluarga,

sehingga dapat mewujudkan keluarga yang harmonis, bahagia lahir dan batin,

melahirkan generasi yang berkualitas dan bermartabat.

Keharmonisan dalam rumah rumah tangga selalu menjadi dambaan bagi

setiap calon pengantin. Namun selama mengarungi bahtera kehidupan tidak

sedikit hambatan yang menghadang sehingga suasana harmonis tinggal angan-

angan belaka. Oleh sebab itu perlu diberikan bekal bagaimana mewujudkan

keharmonisan dalam keluarga dan tanggung jawab suami istri dalam keluarga.

Dengan bekal yang memadai, diharapkan pasangan yang hendak menikah siap

untuk mengarungi bahtera rumah tangga, siap menghadapi masalah yang

mungkin terjadi serta sudah siap dengan solusinya.

Bentuk pendidikan bagi calon pengantin, atau pendidikan pra nikah, bisa

dimasukkan dalam pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan

informal.

Begitu pentingnya problema di atas, dirasa perlu untuk menyusun .strategi

pendidikan bagi calon pengantin yang tidak hanya terbatas pada lembaga

penyelenggaranya, akan tetapi juga memperluas lingkup dan cakupannya.

*Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Bimas Islam Volume 07 No 02 tahun 2014

1 UU no 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1, Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara

2 Ibid, Pasal 1 ayat 4

3 Prof. Dr. Abdul Jamil, MA, Bimas Islam dan Majlis Ta’lim, paparan materi dipresentasikan dalam

Musyawarah Kerja Nasional Himpunan Daiyah dan Majlis Ta’lim Muslimat NU (HIDMAT MNU), Jakarta, 31 Mei 2014

4 Ibid

5 Menurut UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 13 menyebutkan: Kekerasan pada anak

adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi:

Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking jual-beli anak. 6 Data dikutip dari: Maria Ulfah Anshor, Stop Kekerasan pada Anak secara Sistematis, disampaikan dalam

diskusi Kelas Gender PSGA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 4 Juni 2014. 7 Sururin, dkk, Pendidikan Kesehatan Reproduksi bagi Calon Pengantin, (Jakarta: PP Fatayat NU, cet. III,

2010) 8 Tim Peneliti Rahima dan BP4, Peran BP4 dalam Mewujudkan Keluarga Sakinah, Hasil Penelitian di 6

Wilayah, (Jakarta: Rahima, 2013) Referensi dari internet http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/13662/nprt/538/uu-no-20-tahun-2003-sistem-pendidikan-nasional

Page 13: PENDIDIKAN BAGI CALON PENGANTIN* Sururin & Moh. Muslim A

13

1) Sururin, dosen FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Koordinator Bidang Hukum dan Advokasi PP Muslimat NU, Sekretaris HIDMAT Muslimat NU, email: [email protected] 2) Moh. Muslim, Dosen Institut Bisnis Nusantara Jakarta, email: [email protected]